Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama
Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama
Jakarta, 22 Desember 2014
Ringkasan Ekskutif Laporan ini disusun oleh Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama. Pelapor Khusus adalah mekanisme pemantauan yang independen dan dibentuk oleh Komnas Perempuan dalam kerangka melaksanakan mandatnya sebagai mekanisme nasional hak asasi manusia yang berfokus pada penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Laporan ini mendasarkan diri pada hasil pemantauan Pelapor Khusus dan timnya di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai dengan Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan sebanyak 407 narasumber, terdiri dari 301 perempuan dan 106 laki-laki dari berbagai latar belakang, antara lain 326 korban dan anggota komunitas korban yang diwawancarai; 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat yang berada di sekitar lokasi pemantauan. Kasus utama yang diangkat untuk memotret pengalaman ini adalah kasus Ahmadiyah, Gki Yasmin, HKBP Cikeuting dan HKBP Filadelfia, Syiah, Bahai, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan mesjid, di samping mendata berbagai persoalan yang sejenis dalam berbagai kasus lainnya penutupan gereja dan vihara. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi. Seperti juga anggota komunitas yang laki-laki, mereka harus menghadapi situasi penyerangan dan intimidasi yang memposisikan mereka berhadapan dengan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Namun, perempuan juga berhadapan dengan bentuk dan dampak kekerasan yang khas karena jenis kelamin dan gendernya. Posisinya di dalam keluarga dan dikomunitas juga membedakan pengalamannya akan kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi dan pelanggaran hak konstitusional kebebasan beragama. Sebagaimana terekam dalam pendokumentasian ini, seluruh perempuan komunitas minoritas agama rentan menjadi korban kekerasan fisik saat terjadi penyerangan, terutama dilempari dan didorong-dorong. Perempuan pemimpin komunitas rentan menjadi target penganiayaan fisik; seorang pendeta perempuan melaporkan pemukulan yang ia alami ketika hendak membantu seorang pimpinan gereja yang menjadi korban penusukan. Juga, menjadi target penaklukan, misalnya dengan pemaksaan tanda tangan menyetujui kehendak intoleran untuk tidak menghentikan ibadah bersama, baik di lokasi ibadah yang disengketakan maupun di rumah. Perempuan juga mengalami pemiskinan akibat pemerasan, penjarahan dan perampasan sumber penghidupan. Pelapor Khusus mencatat seorang perempuan Baha’i yang dipecat dari pekerjaannya sebagai guru dan seorang lainnya selalu diganggu ruang usahanya karena keyakinan yang mereka anut. Juga, 5 perempuan Ahmadiyah dimutasi karena keyakinannya. Perempuan pengungsi yang adalah jemaah Ahmadiyah dan Syiah kehilangan akses mereka pada seluruh aset dan hak milik di kampung asal. Karena jenis kelaminnya dan posisinya sebagai simbol kesucian serta objek perlindungan komunitasnya, perempuan juga rentan kekerasan seksual, yaitu dalam bentuk ancaman perkosaan dan pelecehan seksual. Pelapor Khusus menggarisbawahi kerentanan khusus pada kekerasan seksual yang dihadapi perempuan pengungsi karena lokasi tempat tinggalnya, terutama bagi perempuan penyandang disabilitas di sana. Dalam posisinya sebagai istri, perempuan minoritas agama dapat berhadapan dengan kekerasan rumah tangga ketika ia diancam perceraian atau poligami karena tidak mau mengubah keyakinannya sesuai dengan kehendak suami atau keluarga besar. Akibat serangan ataupun kriminalisasi, perempuan dalam posisinya sebagai istri menjadi pencari nafkah utama dan/atau orang tua tunggal. Selain kekerasan, perempuan Ahmadiyah dan Baha’i harus berhadapan dengan diskriminasi berlapis. Mereka tidak memperoleh hak atas kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, yang mewujud dalam bentuk kesulitan memperoleh Kartu Tanda Penduduk dan dihambat untuk mencatatkan pernikan. Meski ini dialami juga oleh laki-laki, dampaknya menjadi berbeda bagi perempuan dibandingkan laki-laki, terutama ketika mereka juga menjadi pengungsi. Ketiadaan KTP menyebabkan perempuan juga kesulitan mengakses layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi. Perempuan juga harus berhadapan dengan stigma “perempuan tidak bermoral” dan kehilangan perlindungan hukum dalam perkawinan akibat perkawinannya tidak diakui. Perempuan Bahai’i tetap menghadapi situasi diskriminatif ini sekalipun sejak tahun 2000 telah ada Surat
Keputusan presiden yang menegaskan posisinya sebagai agama tersendiri dan kewajiban negara untuk melindunginya. Seluruh pengalaman kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi menyebabkan perempuan kehilangan rasa aman. Di tengah trauma dan rasa takut akan adanya serangan berulang, perempuan korban intoleransi banyak menyuarakan kecemasan mereka pada pendidikan dan keselamatan anak, hubungan keluarga yang terganggu serta relasi sosial yang terkoyak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembakuan peran perempuan sebagai ibu yang didaulat memegang tanggungjawab utama atas pengasuhan anak dan merawat keluarga dan lingkungan. Rasa aman semakin terguncang akibat posisi aparat negara dan aparat hukum yang kerap dinilai meneguhkan diskriminasi dan intoleransi berbasis agama, yaitu dengan turut menyegel rumah ibadah, tidak sigap dalam menghadapi kekerasan dengan alasan kekurangan personel, pendekatan keamanan yang menekankan pada kepatuhan kelompok minoritas pada kehendak kelompok intoleran, serta kriminalisasi atas dasar keyakinan seseorang. Apalagi, negara juga secara aktif melanggengkan diskriminasi berbasis agama lewat kebijakan di tingkat nasional maupun daerah dalam hal menghakimi keyakinan dan membatasi ruang untuk mendirikan rumah ibadah. Sikap negara yang cenderung berpihak pada kelompok intoleran juga tampil dalam hal penanganan pengungsi yang mensyaratkan korban mengubah keyakinan jika mau pulang ke kampung halaman, mengakses hak-hak miliknya di sana dan untuk memperoleh jaminan keamanan. Dalam situasi ini dan dengan menggunakan bingkai hak konstitusional, yaitu hak-hak warga negara yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pelapor Khusus menemukan bahwa sekurang-kurangnya ada 30 hak konstitusional yang dilanggar. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan diatur dalam enam pasal yang terpisah yang menunjukkan betapa seriusnya komitmen negara; namun dalam praktiknya tertinggal hanya di atas kertas. Dari pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama, berbagai hak lainnya juga tidak dapat dinikmati oleh perempuan minoritas agama, terutama hak atas perlindungan hukum, bebas dari diskriminasi, hak atas rasa aman dan hak atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di tengah persoalan ini, perempuan korban terus menunjukkan sikap yang proaktif dalam menata kembali hidupnya dan memastikan kelanjutan hidup keluarganya. Sikap ini muncul baik dalam hal mencari penghasilan dan membangun raung saling meneguhkan di dalam komunitasnya. Juga, dalam bentuk membekali anaknya untuk menyikapi situasi darurat, tak henti menjembatani rasa benci anak terhadap komunitas lain dan terhadap aparat negara, serta dengan mengupayakan kemungkinan-kemungkinan pertemuan dengan komunitas lintas iman agar rasa kebersamaan dapt terajut kembali. Salah satu upaya yang perlu diapresiasi adalah ruang solidaritas anak bangsa yang peduli pada tegaknya negara hukum, penghormatan pada hak konstitusional dan kebhinnekaan lewat ibadah dua mingguan di depan Istana merdeka yang dimotori oleh jemaah GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Hal ini menunjukkan kepemimpinan perempuan dalam sejarah perjalanan bangsa, sebab yang mereka perjuangkan bukan sekedar penikmatan haknya saja melainkan konsistensi pada visi misi negara bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di dalam Konstitusi. Berbasis pada suara korban, Pelapro Khusus merumuskan 24 butir rekomendasi, yang diarahkan baik kepada pemerintah pusat dan daerah, aparatur penyelenggara negara juga penegak hukum, serta kepada komponen di dalam masyarakat. Adapun sejumlah rekomendasi utamanya adalah: 1. Presiden, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dengan segera dan secara tegas menyikapi isu intoleransi dengan, a.l.: 1.1. Memerintahkan kepala daerah tunduk pada hukum, termasuk dengan memastikan jaminan keamanan untuk penyelenggaraan ibadah Natal 2014 dan pendirian ruamh ibadah bagi GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di lokasi masing-masing. 1.2. Memerintahkan Kepala Daerah dan Menteri Agama memfasilitasi perbaikan rumah-rumah ibadah yang dirusak atau disegel, dan menyediakan lokasi ibadah bagi komunitas minoritas agama yang belum dapat memenuhi prasyarat pendirian rumah ibadah; 1.3. Memerintahkan pemulangan pengungsi korban intoleransi agama, yaitu bagi jemaah Ahmadiyah dan Syiah, dengan jaminan keamanan 1.4. Memerintahkan penanganan komprehensif bagi korban intoleransi, dengan perhatian khusus pada kerentanan perempuan dan anak sesuai dengan UU Penanganan konflik Sosial. 2.
Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan substantif untuk meningkatkan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, a.l.:
2.1. 2.2. 2.3. 3.
Segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah UU No. 1/PNPS/1965 untuk kepentingan mencegah tindak intoleransi agama dan menjamin kemerdekaan beragama secara hakiki Melakukan harmonisasi hukum dan kebijakan agar sejalan dengan janji Konstitusi dan kovenan yang telah diratifikasi Membentuk mekanisme sanksi kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan pengadilan dalam hal pendirian rumah ibadah.
Presiden selaku kepala pemerintahan memerintahkan kepada kementerian terkait:: 3.1. mencabut SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung tentang Larangan Penyebarluasan Ajaran Ahmadiyah. 3.2. mengubah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09 tahun 2006 untuk mempermudah pendirian rumah ibadah 3.3. menggunakan kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah tentang agama karena bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 3.4. mengkaji dan memperingatkan Majelis Ulama Indonesia dalam perannya membina kerukunan umat beragama; 3.5. mendorong kepemimpinan berbagai kelompok yang berpikiran toleran, demokratis dan inklusif di dalam masyarakat guna menangkal pemaham keagaman yang intoleran yang memanifestasi dalam tindakan kekerasan yang brutal dan destruktif.