Daftar Isi Refleksi “Agama dan.... (Arlina G Latief) ..................... 3 Agama dan kekerasan (Noorhalis M.) ..................... 10 Agama dan Kekerasan (Arifin Assegaf) .................... 12 Kembali pada Keyakinan.... (Irfan S. Awwas) .................. 19 Pagar sebuah Kebebasan (Prajnavira Mahasthavira)... 27 Agama dan Kekerasan (I Nyoman Sadra) ................ 29 Gejala Bergesernya ...... (Suhadi) ............................... 31 Beberapa Aspek Tentang ..... (Wahadi Ghuna) .................. 35 Kekerasan dan Krisis ..... (Laode Arham) ...................... 38 Dan Kita Pun Malu Bercermin (Darwis Waru) .................... 48 Hidup Beragama Bukan ..... (John Ire) .............................. 50 Agama dan Konflik Sosial (Muhammad Azhar) ............ 51 Bumi Yang Damai (Listia) .................................. 54 Melemahnya Kekuatan ...... (Fanfaidin) .......................... 56 Refleksi Pemikiran ....... (Sudarto) ............................. 60 Bernaung di Bawah ..... (Rip Tockary) ...................... 66 Kekerasan atas nama Agama (Yuberlian Padele) .............. 72 Transformasi Agama ..... (Abidin Wakano) ................ 74 Teologi Perang ..... (Musa Asy’arie) ................. 76 Agama sebagai Kambing ......... (Putu Wijaya) .................... 79 Kekerasan dalam Agama ..... (Zakaria J. Ngelow) ............ 89
(I) Dalam buku “Sebutkanlah nama-nama Kami”, C.S. Song mengangkat sebuah cerita rakyat Tiongkok berjudul “Cermin”. Syahdan, di negeri Cina hiduplah seorang Bapak yang cukup bodoh, yang berinisial Wang III. Istrinya menyuruhnya membeli sebuah sisir berbentuk sabit. Supaya Wang tidak lupa, si istri menunjuk bulan di langit yang pada saat itu berbentuk sabit. Beberapa hari kemudian, bulan sudah purnama. Tatkala Wang ingat akan pesanan istrinya, ia menatap bulan yang sedang purnama. Ternyata bukan sisir yang dibelinya, melainkan sebuah cermin yang berbentuk bulat. Maklum ia harus membeli sesuatu seperti bulan. Wang membawa cermin itu ke rumahnya dan memberikan kepada istrinya. Ketika melihat cermin itu, murkalah istrinya lantas menghentakkan kaki lalu pulang ke rumah orangtuanya dan berkata kepada ibunya: “Suamiku telah mengambil seorang selir.” Sang ibu mertua y an g melih at cer min itu langsung mengeluh, “mengapa ia mengambil seorang perempuan tua yang demikian jelek dan mengerikan ini? Seharusnya ia memilih seorang wanita muda!” Perkara ini dibawa ke hadapan hakim wilayah. Ketika melihat cermin itu, hakim geram, “Berani benar kalian membawa perkara ini
kepadaku dengan berpakain seperti aku. Sungguh tidak masuk akal.” Si istri, ibu mertua dan hakim wilayah tidak sadar dan marah ketika melihat cerminan wajah mereka masingmasing. Apakah cermin harus dipecahkan bila memperhatikan wajah kita yang belum ceria alias kusam? (ii) Perjalanan bangsa Indonesia dalam 10 tahun terakhir meninggalkan jejak duka yang mendalam dan memilukan. Betapa tidak! Hampir dalam segala bidang kehidupan kita berduka, sedih, bingung, suasana selalu menegangkan. Kita seakan nanar memandang aneka kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme yang menyusup dalam sumsum kehidupan berbangsa. Wajah kita pucat pasi, kusam masai! Tapi kita tidak boleh naif dalam menyingkapkan lembaran hitam bangsa kita melalui penelanjangan yang memalukan. Dalam kondisi yang memilukan dan memalukan ini, dibutuhkan keberanian, kerja keras dan kearifan untuk melakukan proses pencerminan sehingga mampu memilih dan menempuh langkah-langkah pemulihan yang sehat dan melegakan. (iii) Pluralitas agama adalah satu kenyataan dalam kehidupan. Hampir tak satu
Penanggungjawab: Elga Sarapung, Pemimpin Redaksi: Noegroho Agoeng, Redaksi: Wiwin Siti Aminah, Haryandi, Listia, Alfred B. Jogo Ena, Konsultan: IGB Harimurty Desain/Layout: Haryandi & Sarnuji Keuangan: Eko Putro Sekretaris: Wiwin Siti Aminah, Octavia Christiani Distributor: Susanto, Sarnuji. Newsletter ini diterbitkan oleh: Institut DIAN/Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./Fax. : 0274-880149, E-mail:
[email protected]
Edisi Khusus 2003
1
Editorial masyarakat pun membentengi diri dengan agama tertentu. Agama-agama hakikatnya menawarkan diri sebagai “jembatan” antara manusia dan Allah dan manusia dengan sesama manusia lainnya. Dengan menjadi jembatan, agama-agama membiarkan manusia untuk melewatinya dengan damai, aman, melegakan dan membahagiakan. Akan tetapi dalam konteks Indonesia beberapa tahun terakhir, agama tampil dengan wajah yang kontradiktoris. Agama tidak saja menjadi “jembatan” tetapi malah menjadi “kuda tunggangan” atau “dagang sapi” dalam kancah politik bangsa. Agama selalu dikaitkan dan seolah-olah identik dengan politik Indonesia yang juga selalu diwarnai/disertai kekerasan. Ini bukan barang baru bahwa agama selalu dipakai dalam pertarungan dunia perpolitikan Indonesia. Agama dijadikan simbol, kekuatan legitimatif partai atau kekuasaan, sebagai “topeng” untuk melakukan tindak kekerasan demi memenangkan perjuangan politik kekuasaan yang sifatnya sementara, bukan untuk kepentingan rakyat banyak yang sifatnya jangka panjang. Mengapa agama begitu mudah diperalat oleh politik dan kekuasaan sebagai kekuatan yang melegitimasi tindakan-tindakan politik kotor? Di mana kekuatan agama yang bisa memberi corak positif bagi perkembangan politik di Indonesia? Di mana fungsi agama sebagai “jembatan” yang menyeberangkan manusia menuju Allah dan sesama cum amore, dengan penuh kasih sayang, damai, aman dan membahagiakan? Yang terjadi adalah “jembatan” sine amore, tanpa kasih sayang, tanpa keamanan dan kedamaian, menakutkan dan penuh kekerasan? (iv) Menanggapi situasi tersebut di atas, lembaga-lembaga antar-iman kembali bertemu dalam Forum Refleksi Bersama pada tanggal 1823 Februari 2003 di Ashram Gedong Gandhi, Candi Dasa, Karangasem, Bali. Kegiatan ini merupakan tindaklanjut dari Forum Refleksi
2
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter Kelompok Antar-iman se-Indonesia, di Malino, Sulawesi Selatan, 23-27 Januari 2002, yang digagas dan diprakarsai oleh Institut Dian/ Interfidei. Tema Forum Refleksi Bersama adalah “Agama dan Kekerasan”. Tema ini dipilih karena dianggap relevan dengan situasi dan konteks bangsa Indonesia saat ini, dan masyarakat dunia umumnya. Isu di sekitar “agama dan kekerasan” sangat signifikan, di tengah pergulatan kemajemukan masyarakat Indonesia dengan segala perkembangan dan perubahan yang sedang berlangsung. Dalam Newsletter edisi khusus kali ini, kami menyajikan tulisan-tulisan, refleksi pengalaman lembaga-lembaga antar-iman yang ada di berbagai daerah atau pribadi-pribadi yang concern pada isu-isu di sekitar tema “Agama dan Kekerasan” yang terjadi di tanah air. Kita akan menemukan berbagai dinamika dan kajian seputar tema di atas. Ada yang berupa Opini, refleksi yang mengkritisi eksistensi negara dan agama, ada ungkapan pengalaman atas “kekerasan” yang dialami atas nama agama, wacana-wacana maupun realitas kekerasan yang terjadi dalam masyarakat. Tulisan-tulisan yang ada memperlihatkan kepada kita bahwa betapa agama dan kekerasan “bagaikan” sekeping uang logam yang punya dua sisi yang berlainan. Apakah agama identik dengan kekerasan? Apakah kekerasan merupakan realisasi ajaran agama sehingga kekerasan harus melahirkan kekerasan lainnya (M.K. Gandhi)? Semoga tulisan-tulisan yang tersajikan di sini semakin membuka cakrawala, khususnya dalam memahami hidup keagamaan kita. Apakah kita mampu bercermin dari pengalaman hidup sehari-hari, bagaimana hidup keberagamaan kita? Apakah kita juga memanfaatkan agama untuk melakukan kekerasan terhadap sesama? SELAMAT MEMBACA!
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
REFLEKSI
“AGAMA DAN KEKERASAN” Pengantar Refleksi ini dituangkan dalam bentuknya yang masih 'partial', belum secara menyeluruh. Dengan perkataan lain baru mengatakan sejumlah pokok pikiran, masih banyak 'missing link'. Harapan saya lewat pertemuan dan diskusi kita beberapa hari mendatang di Gedong Gandhi Ashram di pulau Dewata ini, dapat menemukan butir-butir kaitan yang belum ketemu tersebut. Pada bagian pertama dari refleksi ini, dituangkan beberapa pokok pikiran yang muncul ketika saya mencoba memahami dan memaknai kedua kata tersebut dan mencoba menghubungkan keduanya untuk kemudian mencari tahu di mana ketemu dan tidak ketemunya. Pada bagian kedua, dengan berbekal pikiran pada bagian pertama saya coba melihat beberapa fenomena bangsa kita saat ini. Pada bagian ketiga tentang apa yang seyogyanya kita lakukan. Demikian pengantar saya, disertai ungkapan syukur kepada Yang Maha Empunya karena saya mempunyai peluang untuk sejenak memiliki keleluasaan berpikir tentang tema tersebut. Terima kasih banyak kepada rekanrekan di Interfidei yang memberi stimulans bagi saya untuk mengalokasikan waktu bagi hal tersebut. Semoga ada manfaat bagi kita bersama. Pengertian Agama Pertama-tama, kita coba telusuri makna atau pengertian agama secara harafiah dari definisi bahasanya, dalam hal ini dipilih dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian agama adalah: “Kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
bertalian dengan kepercayaan itu.: Islam; Kristen; Buddha Hindu, dst”. Sedangkan dalam bahasa Inggris, menurut “Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English”, agama adalah: (1) “Belief in the existence of a supernatural ruling power, the creator and controiler of the universe, who has given to man a spiritual nature which continues to exist after the death of the body” (2) One of the various systems of faith and worship based on such belief, the great religions of the world (e.g. Christianity, Islam, Buddhism, etc.) (3) Live as live under the rules of monastic order (4) Matter of conscience: something that one considers oneself bound to do... Sementara menurut “Chamber twentieth Century Dictionary”, agama adalah: (1) Belief in, recognition of or an awakened sense of, a higher unseen controlling power or powers, with the emotion and morality connected therewith: rites or worship (2) Any system of belief or worship; (3) Devoted fidelity; (4) Monastic life; (5) A monastic order: Mencermati uraian beberapa definisi tersebut, bisa disimpulkan beberapa hal pokok, antara lain: (1) Agama adalah: kepercayaan kepada, pengakuan akan adanya, kesadaran akan adanya Tuhan (apapun sebutanNya) yang 'menciptakan', 'memiliki' dan 'mengatur' serta mengendalikan alam semesta beserta isinya. Jadi Agama BUKAN Tuhan Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pengelola, Pengendali alam semesta beserta segala isinya. Agama TIDAK BISA dan TIDAK BOLEH MENGGANTIKAN Tuhan Pencipta, Pemilik,
* Guru Besar pada fakultas psikologi UNHAS Makassar.
Edisi Khusus 2003
3
Agama dan Kekerasan
Pengatur, Pengelola, Pengendali alam semesta beserta segala isinya. Jadi Agama TIDAK LEBIH PENTING dari Tuhan Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pengelola, Pengendali alam semesta beserta segala isinya. (2) Agama berisi ajaran, ke-bakti-an, ibadat, ritual dalam rangka berhubungan dengan Tuhan sesuai sistem keyakinan tertentu. Jadi setiap agama mempunyai ajaran cara berhubungan dengan Tuhan sesuai keyakinannya tentang Tuhan, tentang diri mereka dan tentang keterhubungan mereka dengan Tuhan. Jadi selalu mungkin dan sangat masuk akal ajaran berbagai agama, berbeda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan sistem keyakinan yang dianutnya. Akan tetapi apabila kita sepakat Tuhan adalah Esa, bahkan Maha Esa, maka seyogyanya yang dituju oleh semua agama adalah DIA Yang Esa itu, tidak ada lain. Maka HANYA DIA Yang punya hak menerima /menolak cara penyembahan atau hubungan kita denganNYA. Dengan perkataan lain, kita sebagai manusia tidak punya wewenang/otoritas untuk menilai apakah cara ibadat/cara berhubungan dengan Tuhan yang diajarkan suatu agama diterima/ ditolak oleh TUHAN Yang Maha ESA tersebut. Juga kita sebagai manusia, salah satu makhluk isi alam semesta ini, tidak punya hak, wewenang ataupun otoritas untuk 'memaksakan' cara kita beribadat kepada orang lain. Tujuan berbakti, beribadat, menyembah TUHAN YANG ESA, implisit mengandung makna 'merendahkan hati', 'respek' dan 'taat' serta 'apa adanya' dari mereka yang beribadat. Oleh karena itu, manakala kita dari berbagai agama melakukan ibadat, sembah sujud kepadaNya, implisit 'saling merendahkan hati', 'saling respek' dan 'toleransi pada ketaatan masing-masing' serta 'saling menghargai apa adanya'. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk 'kecongkakan/arrogance', 'mau menang sendiri', 'tidak peduli orang lain terganggu', 'tidak menghargai', dsb. karena alasan apapun, (termasuk agama besar/kecil, mayoritas/minoritas, dst;) sebab dihadapanNya kita sedang beribadat.
4
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
(3) Agama berisi ajaran tentang panggilan, hak dan kewajiban yang patut dilakukan oleh penganutnya dalam kehidupan kesehariannya, secara ikhlas (volunteer, pilihan, bukan paksaan) dengan taat dan penuh rasa syukur. Apa isi panggilan, hak dan kewajiban yang dimaksudkan? Pada hakekatnya, apabila manusia adalah ciptaan TUHAN, maka panggilan, hak dan kewajiban manusia sebagai 'human being' sama, yaitu 'respek dan kasih'. Kalau ada perbedaan, barangkali dalam bentuk perwujudan respek dan kasih tersebut, yang amat bervariasi dari satu budaya ke budaya lain, dari satu keluarga ke keluarga lain, bahkan dari satu individu ke individu lain. Dengan perkataan lain ada perbedaan ranah dalam memaknai panggilan, hak dan kewajiban. Pada ranah yang lebih aktual operasional, tentunya terpengaruh oleh konteks lokal, yang bisa saja bervariasi, tetapi tidak kehilangan esensinya yang ada di ranah yang lebih 'dalam' yang saya yakin adalah sama, karena keluar dari TUHAN YANG SAMA. Oleh karena itu yang operasional tidak boleh mengalahkan yang essensial. Untuk hal ini saya kira diperlukan kesungguhan mencari mana yang essensi, mana yang operasional, dan diperlukan hikmah dan kebijaksanaan yang daripadaNya YANG MAHA MENGETAHUI. Dalam penyelenggaraan panggilan, hak dan kewajiban ini, selalu mungkin terjadi perbedaan bahkan pertentangan antara satu agama dengan agama lain. Hal ini bisa terjadi hanya apabila kita melihat pada yang operasionalnya saja, tidak kepada essensinya. Sekali lagi bilamana kita melihat pada essensinya, maka wujud operasional dari essensi tersebut tidaklah satu, tetapi banyak alternatif, sehingga tidak perlu ada gesekan. (4). Pada dasarnya Agama berkenaan dengan halhal yang berhubungan dengan 'conscience', atau 'sanubari', 'kata hati dan hati nurani', atau 'qalbu', atau apapun namanya. Ia berhubungan dengan sesuatu yang padanya orang menganggap dirinya terikat untuk melakukan (Matter of conscience: something that one considers oneself bound to do: ...)
interfidei newsletter
Jadi agama berkenaan dengan isi 'conscience', tetapi agama bukan 'conscience'. Artinya, agama tidak serta merta membuat penganutnya menjalankan apa yang diajarkan agama tersebut. Yang menjalankan ajaran agama adalah individu yang menganut dan mengimani apa yang dipaparkan oleh agama. Individu mana perlu menganggap dirinya terikat untuk melakukan isi consciencenya. Dengan perkataan lain agama tidak berhubungan langsung dengan perilaku, meskipun agama menawarkan model perilaku. Antara perilaku yang diajarkan agama dengan perilaku pemeluk agama tersebut, terdapat jarak yang cukup lebar dan berisi sejumlah proses, antara lain: Agama lewat tokohnya mengupayakan sosialisasi (bisa subyektif, bisa bias) ajaran kepada umat. Agama = sumber moral force Individu umat memproses input sosialisasi tersebut lewat persepsinya (bisa bias), mengolahnya dengan proses mental (bisa keliru tergantung modal dasar yang dimilikinya) menghasilkan kognisi tentang ajaran tersebut, beserta emosi iringannya proses di ranah kejiwaan Apabila individu selanjutnya meng 'adopt' kognisi tersebut dan 'memaknai dalam terang imannya', maka kognisi tersebut ditransformasikan menjadi 'hikmah' atau 'wisdom', yang ia 'internalisasikan' ke dalam hati sanubarinya. Itulah yang menjadi isi 'conscience'nya, proses di ranah spiritualnya Selanjutnya dalam hidup keseharian sebagai individu, ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan perilakunya. Satu diantaranya adalah 'conscience'nya. Apabila ia terlatih mendengar suara hatinya, maka berlakulah kebenaran yang diimaninya, dan kehendak berperilakunya terikat pada kebenaran tersebut. Akan tetapi apabila ia tidak terlatih mendengar suara hatinya, atau sering membekukan diri terhadap suara hatinya, maka lama kelamaan suara hati itu tidak terdengar lagi. Dengan perkataan lain 'consciencenya' tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga pertimbangan perilakunya tidak lagi melibatkan ranah spiritual, tetapi mungkin hanya ranah kejiwaan (pikiran, perasaan dan kehendak), atau
Edisi Khusus Candi Dasa
bahkan hanya perilaku reaktif otomatis, di ranah jasmaninya. Kata 'conscience' sendiri berarti “together with God”. Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai kerinduan untuk bersama dengan Tuhan, sehingga ia akan mencari Sang Pencipta. Agama boleh jadi menolong pencarian tersebut. Akan tetapi yang terpenting dan yang ingin dicari bukanlah agama, tetapi TUHAN SANG EMPUNYA. Jadi yang pantas dirindukan, dipegang teguh, disembah, diprioritaskan dan dikejar BUKANLAH agama tetapi TUHAN SANG PENCIPTA. Apabila hakikinya demikian, maka tentunya tidak ada alasan untuk mempertaruhkan agama dalam konflik. Sehingga bila terjadi pertentangan agama atau konflik agama, maka terjadi pada tataran lain, pada fungsi sekundernya, sebagai aksesoris yang mewarnai kehidupan bermasyarakat. (5) Merujuk pada uraian di atas, maka agama yang perlu dilihat dan dipahami dalam konteks kehidupan masyarakat, adalah sebuah lembaga moral (bukan lembaga organisasi) yang lekat dengan budaya, yang berada pada tataran nilainilai. Modus operandinya memakai sosialisasi persuasi, tidak memakai 'force'. Jadi apabila agama mengaktualisasikan misinya lewat modus operandi organisasi atau politik, dengan komoditi 'force', 'kekuasaan', maka ia kehilangan nilai hakiki existensinya sebagai sumber penghantar pencarian kebenaran Ilahi. Semakin terorganisasikan suatu agama, semakin terperangkap ke dalam level organisasionalnya, yang mau tidak mau akan berurusan dengan 'kekuasaan' dan 'paksaan otoritas'. Dengan demikian akan semakin kehilangan esensi existensinya sebagai sumber penghantar bertemunya manusia dengan SANG PENCIPTA. Pengertian Kekerasan Selanjutnya kita telaah arti harafiah dari kata kekerasan, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras (2) perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
Edisi Khusus 2003
5
Agama dan Kekerasan
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. (3) paksaan dengan kekerasan. Kalau keduanya berhubungan, maka keberadaan agama dalam hal ini bukan pada fungsi primer kehadirannya sebagai penghantar kepada 'pencarian Tuhan', tetapi pada peran aksesoris dari konteks budaya masyarakat, yang nyelonong masuk ke level organisasional (politik/hukum) dengan instrumen 'kekuasaan' dan 'kekuatan'nya. Sebagai aksesoris, selalu mungkin dikonversikan menjadi komoditi sosial atau komoditi politik. Jadi arti kata 'keras', antar lain mengandung beberapa hal yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) 'masif', dan tidak mudah berubah (padat, kuat, tidak mudah berubah bentuknya, gigih dan dengan sungguh-sungguh hati) (2) mengandung kuantitas dan kualitas lebih (sangat kuat, sangat teguh, cepat, payah, hebat, menjadi-jadi, ketat, sungguh-sungguh, kencang, deras, nyaring, lebat sekali, berat, terlampau kuat daya reaksinya, sangat merangsang) (3) berlawanan dengan 'kasih' (tidak mengenal belas kasihan, tidak lemah lembut, bersifat mengharuskan) (4) tidak lentur, kaku (sukar dibuka atau ditarik; tidak memegas lagi) Dalam bahasa Inggris pun tidak banyak berbeda, yaitu “state of being violent” atau “the state or quality of being violent; excessive unrestrained; or unjustifiable force”. Sementara 'violent' diartikan sebagai 'intensely forcible'. Dari berbagai ungkapan di atas, nampak bahwa dalam kekerasan ada unsur pemaksaan secara berlebihan terhadap pihak lain, yang menimbulkan kerusakan atau kehilangan pada pihak yang terkena, tidak mudah diubah dan berlawanan dengan 'kasih sayang'. Jadi pada konsep kekerasan, terkandung unsur hakiki yang berlawanan dengan esensi panggilan berhubungan dengan PENCIPTA, yaitu KASIH kepada ALLAH dan kepada SESAMA. Jadi pada fungsi eksistensialnya agama tidak mungkin dapat melakukan tindak
6
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
kekerasan , tetapi oknum, orang atau kelompok orang. Jadi kalau ada orang/pihak yang mengatasnamakan agama, maka mereka sedang 'menurunkan' hakekat eksistensi 'agama' yang merupakan sumber bagi upaya proses spiritual (moral bagi masyarakat), ke dalam tataran kejiwaan (organisasional-politik bagi masyarakat) bahkan ke dalam level yang lebih bawah lagi yaitu level survival, menjadi komoditi jasmani (level sosial-ekonomi bagi masyarakat). Hal itu perlu dicegah, sebab bila tidak, umat akan kehilangan peluang kemudahan bertemu dengan PENCIPTANYA, yang pada gilirannya bisa kehilangan conscience yang berarti juga kehilangan jati diri, esensi dari kemanusiaannya, 'the being' dari 'human being'. Mencermati Situasi Indonesia Setelah mencoba memaknai pengertian tema, kini kita coba menerapkannya dalam konteks keadaan bangsa kita akhir-akhir ini. Saya kira tidak perlu kita ulang uraian yang sudah kita kaji sejak Malino, dan yang telah sangat komprehensif dituangkan oleh pemrakarsa (dalam hal ini Institut DIAN/Interfidei) dalam bagian pendahuluan dari proposalnya. Dengan merujuk pada fenomena tersebut, saya ingin melihat dimana dan bagaimana tema kita berada. Berikut ini ada beberapa pokok pikiran: (1) Mengenai keberagamaan kita di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah kebijakan diambil berkenaan dengan kehidupan agama. Di Malino kita membicarakan persoalan pelarangan sejumlah agama, bersamaan dengan itu pengakuan hak hidup sejumlah agama. Mencermati kajian pada bagian I, lalu muncul pertanyaan: Apakah negara punya hak/otoritas untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan agama di kawasannya? Apakah pemerintah punya hak/wewenang mengatur agama dalam fungsi eksistensialnya mengantar/memfasilitasi pertemuan manusia dengan Sang Penciptanya? (2) Kita seringkali lebih memprioritaskan agama dan ritus serta ritualnya ketimbang tujuan
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
utama beragama yaitu, MENDEKATKAN menunggu pimpinan dari pemimpin. Perlu DIRI BERTEMU SEDEKAT MUNGKIN dikaji lebih lanjut, apakah orang tua pun DENGAN SANG EMPUNYA. Kita seringkali kehilangan respek yang seyogyanya mereka lebih terperangkap oleh aturan-aturan yang dapatkan dari anak-anak mereka? Apakah kita ciptakan (termasuk undang-undang) guru-guru pun kehilangan privelege sebagai ketimbang hal esensi mewujudkan rasa pembina? Bagaimana dengan pemimpin KASIH kepadaNya dan kepada sesama serta agama? seisi ALAM SEMESTA. Khusus di bidang agama, barangkali (3) Kita juga seringkali merasa hanya kita yang pembinaan hidup keberagamaan kita amat punya hak dan kewajiban, tanpa menyadari diwarnai oleh budaya 'pengkultusan' tokoh bahwa orang lainpun punya hak dan pemimpin agama, meskipun para nabi kita kewajiban yang sama dengan kita, meskipun selalu mengingatkan untuk tidak barangkali wujud perilakunya berbeda. Hal mengkultuskan mereka. Tetapi nampaknya, ini terjadi karena kita seringkali terlalu takut seringkali kita lupa lalu mengkultuskan kehilangan eksistensi diri kita. Padahal yang pemimpin yang nyata dan riil, tangible di sebenarnya terjadi adalah kita sedang hadapan kita. Apa kata dia, itulah yang paling memperjuangkan benar, kemudian aksesoris, bukan kitapun segera Kita seringkali lebih terperangkap esensi; kita menutup peluang oleh aturan-aturan yang kita memperjuangkan bahwa mereka, peran-peran kita p ara pemimpin ciptakan (termasuk undang-undang) bukan keberadaan agama itu selalu ketimbang hal esensi mewujudkan being kita. Sebab bila mungkin keliru, rasa KASIH kepadaNya dan kepada berbicara tentang sebagai manusia. hak dan kewajiban, Itu sebabnya perlu sesama serta seisi ALAM SEMESTA. maka kita berbicara kita ingatkan tentang posisi dan kembali yang kita peran. Pada saat yang sama kita sedang dalam junjung, yang kita cari dan ikuti, yaitu proses melupakan siapa diri kita. Saya kuatir TUHAN SANG PENCIPTA. Belakangan ini para vokalis negeri ini yang banyak bicara, fenomena personifikasi agama pada figur tetapi tanpa melihat kemanusiaan manusia. tokoh semakin tampak. Keadaan ini Yang ada hanya kedudukan, jabatan dan mengindikasikan bahwa para tokoh semakin kekuasaan. kehilangan kepercayaan diri dari umat. (4) Secara historis kita dikenal sebagai bangsa Makanya umat mencari dan menggali sendiri Timur yang Paternalistik. Karena itu kita kebenaran Ilahi dari sumber-sumber lain yang hormat dan patuh (secara berlebihan) kepada jauh lebih absah, seperti dari kitab suci, alam, para pemimpin kita, termasuk para pemimpin dari fenomena peristiwa yang terjadi di dunia, agama. Seringkali kita begitu takut untuk dst. Kita malas mencari, malas berpikir, lalu tidak patuh pada figur otoritas, karena kita berharap dan bertumpu pada orang lain memang kita dididik untuk patuh pada yang 'tugasnya memang itu', terlepas dari otoritas, bahkan kita kadang memiliki apakah dia punya peluang keliru atau tidak, kecenderungan untuk meng'kultus'kan maka akibatnya orang menjadi sangat pimpinan kita. Belakangan ini gejalanya kolektif, dan emosional kolektif. berbalik, seakan penghargaan terhadap figur (5) Secara historis, kita sering diingatkan sebagai pemimpin kehilangan gregetnya. Bahkan di bangsa besar yang tradisional agraris, level manapun di sektor apapun, ada sehingga primordial kita begitu kuat. kecenderungan untuk melawan, menentang Keterikatan kita kepada tanah begitu lekat, figur otoritas, karena ada ketidakpercayaan tetapi keterikatan kita kepada tanah air terhadap figur otoritas, ada ketidaksabaran agaknya semakin mengendor. Identitas
Edisi Khusus 2003
7
Agama dan Kekerasan
berbangsa kita semakin tidak terdengar, baik di kalangan pemimpin, pengamat, maupun rakyat kecil. Apa identitas bangsa? Apakah lunturnya identitas berbangsa merupakan indikator hilangnya identitas diri (jati diri) kita? Sebab bukan tidak sengaja Tuhan menciptakan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Masing-masing diciptakan unik, dan punya kesamaan sebagai bangsa Indonesia, bukan pilihan, tetapi 'given'. Barangkali perlu kita sadari bahwa wilayah Indonesia diisi oleh lebih banyak air daripada tanah. Sehingga perlu kita pertanyakan apakah budaya keterikatan kepada tanah perlu dimodifikasi lebih luas sampai ke air, sehingga kita boleh menjadi bangsa yang juga terikat, melekat pada tanah air yang 'given', dan berarti melekat pada keberadaan kita dihadapan SANG PENCIPTA. (6) Kalau belakangan ini semakin sering kita diperhadapkan pada hubungan kekerasan dengan agama, maka menurut kajian pada bagian pertama, berarti agama di masyarakat kita lebih berfungsi sebagai asesoris sosial politik, ketimbang fungsi esensial spiritual. Dengan begitu lalu kita merasa legitimate mempergunakan instrumen sosial politik, maka kita bicara tentang 'kekuasaan', 'koordinasi', 'keharusan', 'mayoritasminoritas', tentang 'aspirasi umat', dan seterusnya, yang kesemuanya merupakan instrumen dalam level organisasi politik dan hukum. Kita kehilangan fungsi esensial agama sebagai fasilitas ranah spiritual, yang berbicara tentang 'benar-salah di mata Tuhan', tentang 'inspirasi', 'pencerahan', 'kesadaran bangun', 'kasih', 'amal', 'soleh', dst. Belakangan ini orang takut berbicara berbeda dari mayoritas, takut bersuara lantang tentang kebenaran yang seharusnya memberi inspirasi kepada para pemimpin, bukan tenggelam di dalam aspirasimasyarakat banyak. Agama bisa memfasilitasi orang-orang beriman untuk secara lantang dan berani menyuarakan inspirasi hasil dialognya dengan SANG PENCIPTA, kepada masyarakat, kepada para pemimpin bangsa, meskipun suara itu minor
8
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
dibandingkan dengan aspirasi mayoritas bangsa ini. Selanjutnya bilamana kita kaji lebih dalam, apa yang sebenarnya mendasari kekerasan? (7) Saya sependapat dengan de Mello (Awareness, 1990), bahwa dibalik kekerasan adalah rasa takut yang mencekam pelaku kekerasan tersebut, rasa tidak berdaya mengatasi ketakutannya, rasa kehilangan kepercayaan diri bahwa ia dapat menemukan alternatif solusi bagi ketakutan, kecemasannya. Paradoks sekali, mengatasai rasa takut dengan melakukan kekerasan, seakan dirinya/pihaknya punya kelebihan tenaga, punya kelebihan kuasa, dengan demikian berharap menimbulkan rasa takut pada orang lain. Selayaknya untuk mengatasi rasa takut ini, orang lari kepada DIA YANG MAHA KUASA, untuk itu agama bisa memfasilitasi orang untuk menemukan cara mengatasi rasa takut tersebut. Tetapi yang terjadi adalah, justru rasa takut ini diatasi dengan melegitimasikan kekerasan atas nama agama. Mengapa terjadi demikian? Barangkali fungsi agama yang esensial perlu lebih ditingkatkan, tetapi juga upaya mendorong umat untuk melakukan internalisasi hakekat hikmah ke dalam kalbunya perlu didorong dan difasilitasi. (8) Dalam diskusi kita di Malino, saya pahami bahwa krisis bangsa ini masih berada dalam taraf krisis moral. Saat ini saya melihatnya lebih jauh lagi, saya kuatir kita sudah sedang mulai berada pada krisis identitas. Kita lagi bingung dengan identitas diri kita, identitas bangsa kita. Ini berarti kita perlu sekali lagi berhenti melangkah kemanapun, berdiam diri, bertanya kembali siapa jati diri kita, kita perlu datang kepada PENCIPTA, bertanya SIAPA kita? 'Who is the being' of us? Berhenti terperangkap dalam pertanyaan 'what is the doing' of us. Bila kita cermati cerita-cerita tentang perjalanan bangsa-bangsa yang ada di Kitab Suci agama-agama, ketika mereka sedang kehilangan identitas. Mereka berhenti sejenak, dan pemimpinnya (yang dipilih
interfidei newsletter
Allah) mengajak bangsanya berpaling kepada ALLAH, bermohon ampun dan tobat, kemudian mulai berjalan lagi mengikuti petunjuk Ilahi. Untuk keperluan itu, perlu ada manusiamanusia 'supernatural', yaitu manusia yang mau menyediakan dirinya sebagai 'instrumen' TANGAN ALLAH dalam membawa bangsa ini dari kemelut. Bangsa ini memerlukan perorangan atau kelompok orang yang sungguh-sungguh mau secara khusuk datang kepadaNya berdoa dan memintakan pertolonganNya untuk kelanjutan perjalanan dari bangsa ini. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mau hidup kudus dan tunduk serta taat pada KEHENDAK ALLAH untuk kepentingan banyak orang. Saran untuk Forum Antariman Mencermati proposal yang dikirim kepada saya, saya kira Forum Antariman masih relevan, hanya perlu lebih dipertajam dan lebih konkrit. Ada beberapa pikiran yang ingin saya sampaikan: (1) Forum antariman masih akan sangat relevan kehadirannya pada moment kritis seperti yang sedang terjadi di tengah bangsa sekarang ini, selama forum ini tidak mencoba membangun organisasi struktural yang 'too well organized'. Sebab bila menjadi sangat terorganisir, maka kita akan terjebak pada hal-hal yang berkenaan dengan 'kekuasaan' dan 'keharusan' serta 'pemaksaan' pikiran ataupun kehendak. Memang untuk menyelenggarakan apapun perlu ada derajat keorganisasiannya, tetapi kiranya perlu dijaga untuk tidak terperangkap dalam organisasional bisnis. (2) Forum antariman perlu mengeluarkan
Edisi Khusus Candi Dasa
seruan, kalau perlu peringatan (yang memberi inspirasi dan bukan mencaci maki) kepada para pemimpin dan siapapun yang mencintai dan merasa sebagai bangsa Indonesia tentang keberadaan saat ini dan tentang pentingnya kembali bermohon ampunan dan tobat atas segala perbuatan kita semua di masa lalu dan bahkan masih berlangsung sekarang dan berharap HANYA kepada PENCIPTA dan PEMILIK serta PENGUASA ALAM SEMESTA (termasuk INDONESIA) untuk memimpin kita keluar dari kemelut ini, termasuk memilih pemimpin bangsa ini. (3) Forum antariman, perlu mulai mendorong umatnya masing-masing untuk menyediakan dan menyiapkan diri baik perorangan maupun kelompok (menurut keyakinannya masing-masing) sebagai 'instrumen' Allah, tekun berdoa dan berdialog denganNya untuk bangsa secara keseluruhan, menantikan dengan sabar dan penuh harap atas arahan (inspirasi) Allah kepadanya. (4) Butir-butir yang diajukan di proposal bisa ditindaklanjuti dengan lebih terinci, khusus mengenai pembinaan kelompok basis. Saya ingin menyarankan agar memperhatikan pengisian proses yang berlangsung pada individu umat dalam pembinaan keberagamaan. (dari persepsinya hingga 'conscience', supaya tidak hanya sampai 'kognisi') (5) Perlu dicari jalan keluar agar forum antariman dapat memberi inspirasi kepada masyarakat dari waktu ke waktu. Apakah lewat forum diskusi (mailing list) ataupun lewat forum pertemuan seperti ini, ataukah berbagai topik, perlu dipikirkan. Agar masyarakat tidak hanya mendapat input dari aspirasi, tetapi juga inspirasinya.[]
Perlu dicari jalan keluar agar forum antariman dapat memberi inspirasi kepada masyarakat dari waktu ke waktu.
Edisi Khusus 2003
9
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
Agama dan Kekerasan Noorhalis M* Masihkah bisa disebut “agama” ketika kekerasan menjadi tidak terpisahkan dari agama? Sejak kapan “agama” membawa sifat curiga, dendam, benci, permusuhan dan keinginan membara untuk memusnahkan? Sejak kapan “agama” menjadi menakutkan, menjadi pemicu dan pendorong semangat untuk saling meniadakan satu sama lain? Sebuah kenyataan bahwa agama mempunyai kekuatan luar biasa, baik bersifat positif maupun negatif. Sejarah telah membuktikan bahwa agama telah melahirkan peradaban bangsa-bangsa di muka bumi ini dengan sangat maju. Tetapi pada waktu yang sama agama juga melahirkan berbagai perisitiwa kekerasan dan perang antar bangsa. Agama dan kekerasan, betulkah dua kata yang tidak dapat dipisahkan? Barangkali ini menjadi satu tema yang sangat menarik di tengah maraknya kekerasan atas nama agama di berbagai daerah. Tidak ada yang menyangkal bahwa agama sesungguhnya diturunkan untuk membawa kedamaian di muka bumi. Agamalah yang menuntun manusia agar hidup teratur. Agamalah yang pertama mengenalkan hukum dan mengajarkan nilai-nilai luhur. Artinya pada tingkat ini agama tidak menjadi sebuah “masalah” bagi siapapun yang menganutnya dengan benar, tentu saja agama tidak menjadi ancaman bagi orang lain di luar pemeluknya. Sejak kapan agama menjadi sebuah masalah? Pertanyaan ini tentu harus dipecahkan bersama. Tetapi dengan tidak memberikan landasan teori yang kuat, maka saya memperkirakan agama akan menjadi sebuah “masalah” ketika agama beranjak menjadi sesuatu yang terlembagakan. Pelembagaan agama itulah yang menurut saya awal dari mengecilnya gagasan turunnya agama. Agama
mengecil menjadi sebuah penamaan dan bahkan mengecil lagi menjadi masjid, gereja, vihara, majelis ulama, majelis gereja, keuskupan, partai agama atau bahkan negara agama. Lebih kecil dari itu agama bahkan menjadi lembaranlembaran bendera dan lambanglambang. Dan sejak itulah kekerasan mulai menyemaikan bibitnya. Agama diturunkan derajatnya dan dibagibagi dalam kepingan-kepingan bangunan konstruksi sosial di masyarakat. “Konstruksi sosial”, kira-kira dari sini kita mulai menyusuri dan dapat memisahkan antara agama dan kekerasan tadi. Karena itu kita harus jeli untuk dapat memisahkan mana yang datangnya dari agama dan mana yang lahir dari konstruksi sosial. Sering kali sesuatu yang lahir dari konstruksi sosial kita sakralkan sebagai sesuatu yang datangnya dari agama, bahkan seringkali konstruksi sosial itu sendiri disebut agama. Kita lalu mencari penjelasan yang dapat menguatkan bahwa sesungguhnya sesuatu itu ada landasan agama dan tidak terbantahkan. Begitu juga bila sesuatu yang datangnya dari agama dianggap hanya konstruksi sosial, akan menghancurkan nilai-nilai yang dibangun oleh agama. Konsep “keadilan” misalnya, sesuatu yang datangnya dari agama, tidak ada yang dapat menjelaskan dengan sangat tepat tentang keadilan kecuali agama. Kemudian konstruksi sosial dapat menjelaskan keadilan lewat bahasa hukum, politik, ekonomi dan sebagainya, akhirnya keadilan menjadi terbatas seluas bangunan konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Pelembagaan agama dengan macam ragamnya seperti disebut di atas, juga harus menjadi sebuah kritik apakah datang dari agama atau lahir dari sebuah konstruksi sosial? Kemampuan untuk mengkritik barangkali
* Anggota Forum Dialog Kalimantan Selatan (FORLOG KALSEL) dan aktifis di Lk3 Banjarmasin.
10
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
adalah sesuatu yang harus dipisahkan dari dan simbol-simbol tadi. Yang memerlukan agama dan konstruksi sosial. Memang sangat eksistensi hanyalah bentuk-bentuk yang lahir riskan karena agama sudah dikonstruksikan dari konstruksi sosial, karena konstruksi sosial untuk anti kritik. Mengkritik agama adalah bukan sesuatu yang abadi. Sedangkan agama kemurtadan mutlak yang tiada ampun. Tetapi bersifat abadi maka eksistensi tidak diperlukan karena agama harus dimurnikan dari “fitnah oleh sesuatu yang bersifat abadi. Agama tidak kekerasan” maka kritik untuk memilah antara m e n g e n a l m u s u h d a n t i d a k p e r n a h agama dan konstruksi sosial menjadi sebuah merekomendasikan ekspansi. keharusan. Dengan demikian kita juga dapat Agamanya sendiri masih murni dengan meninjau ulang kronologi terjadinya berbagai segala gagasan dan nilai luhur yang tidak cukup kekerasan yang mengikutsertakan agama untuk diterjemahkan dalam bahasa dan budaya bersama nama lain yang disandarkan kepadanya. manusia. Agama menjadi terbatas maknanya Memberikan kritik terhadap bangunan karena harus masuk dalam kebudayaan manusia. konstruksi sosial tidak bermaksud untuk Agama harus terurai dalam kebudayaan manusia menghancurkan pelembagaan keagamaan yang yang terbatas. Selanjutnya kebudayaan sudah ada. Karena kalau itu dilakukan maka melahirkan apa yang disebut dengan bahasa. kritik untuk menemukan “agama” juga akan Padahal bahasa adalah bagian kecil dari melahirkan kekerasan baru yang jauh dari konstruksi sosial yang dilahirkan manusia. agama. Kritik dimaksudkan untuk menemukan Akhirnya pada tingkat seperti ini “agama” substansi dari semua kekerasan yang telah mungkin bisa salah, bisa tidak sempurna, karena menyeret agama pada kenistaan dan kehinaan bahasa. Budaya dan konstruksi sosial itu sendiri yang tiada tara. tidak mampu secara utuh menerima dan Bila kita sudah melakukan kritik, boleh jadi menterjemahkan pesan agama. Oleh karena itu, kita akan menemukan kenyataan yang penafsiran baru terhadap agama harus terus memalukan, bahwa ternyata kekerasan yang dilakukan, karena agama yang terurai dalam diberi gairah agama hanyalah pernak-pernik dari bahasa manusia itu sangat terbatas maknanya. konstruksi sosial yang terlanjur diberi baju Agama harus memberikan jawaban-jawaban agama. Jangan-jangan berbagai kekerasan yang terkini bagi perkembangan kebudayaan dan t e r j a d i h a n y a p e r t e n t a n g a n s o a l - s o a l konstruksi sosial masyarakat. Agama tidak ketersinggungan agama sebagai sebuah menjadi konsep usang oleh bahasa dan pelembagaan. Mungkin hanya soal tempat pemaknaan manusia yang terbatas. Agama ibadah, atau mungkin malah hanya soal bendera adalah jawaban kesempurnaan yang telah dan lambang-lambang yang sudah “diberhalakan” dijanjikan Allah dan menjadi rahmat bagi menjadi agama. Substansi agamanya tidak sekalian alam. pernah dilihat, yang ada hanya kobaran amarah Wallahu A’lam bissawab. untuk menunjukan eksistensi dari pelembagaan
Agama dan kekerasan, betulkah dua kata yang tidak dapat dipisahkan? Ini menjadi satu tema yang sangat menarik di tengah maraknya kekerasan atas nama AGAMA di berbagai daerah.
Edisi Khusus 2003
11
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
AGAMA DAN KEKERASAN1 Arifin Assegaf*
Agama dan kekerasan, adalah dua kata yang secara diametral sangat kontradiktif, berlawanan seperti siang dan malam, yang satu mengajarkan kasih dan sayang, yang lain benci dan dendam. Yang satu adalah rahmat dan karunia bagi umat manusia, yang lain adalah bencana dan derita. Tetapi kenyataan berbicara dan bercerita kepada kita bahwa kekerasan berlangsung atas nama agama. Di tangan kiri ada kitab Titah Tuhan, di tangan kanan ada pedang dan bedil. Suara kenabian bersahut-sahutan dengan suara bedil, dentuman bom dan jeritan orang yang tidak berdosa. Walaupun orang tidak dapat percaya bahwa kekerasan ini adalah karena agama, tetapi kenyataan selalu meninggalkan kesan, agamalah yang melegitimasi semua kekejaman ini. Karena tidak mungkin dan tidak adil bila agama harus memikul dosa-dosa ini, maka setiap orang akan bertanya-tanya kepada dirinya masing-masing kenapa semua ini harus terjadi? Agar tidak terjadi, maka APA yang harus kita lakukan dan BAGAIMANA melakukannya, merupakan tantangan kita. Mengenal Indonesia Indonesia, yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa dengan 6000 pulau yang didiami, yang memiliki lebih dari 250 bahasa daerah, yang terdiri dari kurang lebih 250 etnis dan sub etnis, benar-benar adalah suatu komunitas yang beragam. Karenanya Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila adalah satu-satunya perekat. Bangsa ini juga dikenal sebagai bangsa yang sangat terbuka terhadap pemikiran-pemikiran dari luar dan telah terbukti ramah terhadap budaya asing. Dari berbagai informasi, diketahui bahwa pola religius Indonesia sebelum masuknya Islam 1
pada tahun 600 Masehi adalah animisme. Pada abad-abad awal, dikarenakan perjalanan laut bangsa Indonesia ke pelabuhan-pelabuhan di India, budaya Hindu mempengaruhi Indonesia melalui kerajaan-kerajaan besar di Jawa yang kemudian berakhir saat runtuhnya kerajaan Majapahit dan munculnya kerajaan baru, Mataram, yang bernuansa Islam pada abad ke-7 Masehi. Hindu-Buddha mendominasi Indonesia hampir selama satu millenium, sementara kebudayaan Islam menyebar hampir ke seluruh Indonesia, demikian Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya, “Islam Inklusif”. Setengah millenium perjalanan Islam (Islam memasuki Asia Tenggara pada abad ke-11 Masehi), masuklah budaya Barat ke Indonesia yang bersamaan dengan masuknya agama Kristen (Belanda mendarat di Banten tahun 1596 Masehi). Sejarah bercerita bahwa Belanda bergabung dengan Portugis, Inggris dan Spanyol dalam rangka pertarungan memperebutkan keuntungan (rempah-rempah) di perairan tropis. Motif kedatangan Belanda ini menjadi penting harus dipahami. Ungkapanungkapan yang umum diangkat oleh sementara kaum Muslimin adalah, bahwa lokomotif penjajah memasuki Indonesia dengan gerbong ajaran Kristiani yang kemudian menimbulkan pemahaman bahwa agama Kristen identik dengan penjajahan. Isu ini pada hari-hari kemudian merupakan bahan bakar pencetus, pemanas konflik. Hal ini akan kita lihat pada uraian-uraian berikut. Untuk lebih mengenal watak bangsa ini, faktor animisme harus selalu mendapat perhatian, karena dia sangat berpengaruh terhadap kualitas keberagamaan bangsa, apakah itu Islam ataupun Kristen.
Disampaikan dalam Pertemuan Jaringan Kelompok Antariman se-Indonesia II yang diselenggarakan oleh Institut DIAN/ Interfidei dan Ashram Gedong Gandhi, di Candi Dasa Bali, 18 - 23 Februari 2003. * Ketua Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) Sulawesi Utara.
12
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Kutukan Tuhan Erich Fromm dalam analisa sosiopsikologisnya atas watak manusia yang dituangkan dalam bukunya “The Anatomy of Human Destructiveness”, yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “Akar-akar Kekerasan”, mengangkat suatu mitos Yunani pada zaman besi yang berbunyi: “Seiring dengan pergantian generasi, mereka berkembang ke arah yang lebih buruk. Suatu saat, ketika mereka berkembang sedemikian jahatnya, sehingga mereka memuja kekuatan, kebenaran bagi mereka dan penghormatan kebaikan tidak akan ada lagi. Pada akhirnya, manakala manusia tidak lagi marah terhadap pelanggaran, atau tidak lagi malu terhadap hal-hal yang memalukan, Zeus akan membinasakan mereka”.
Mitos Yunani di zaman besi telah terjadi pada manusia-manusia ingkar yang banyak diberitakan di dalam kitab-kitab suci anutan Islam maupun Kristiani. Banjir besar melanda umat Nabi Nuh karena keingkaran yang melampaui batas. Fir'aun dengan tentaranya ditenggelamkan karena kezalimannya terhadap Musa dan bangsa Israel. Umat Nabi Yunus yang melanggar larangan sabat dijelmakan menjadi manusia berwatak kera, serakah dan tidak pernah merasa kenyang walaupun banyak yang mereka makan. Herodes dibinasakan karena kekejamannya kepada Nabi Zakaria, Yahya dan Al-Masih. Demikian juga yang terjadi pada umat-umat Nabi Sholeh, Nabi Hud, dan Nabi Luth, dengan bencana gempa bumi, angin panas selang delapan hari berturut-turut dan hujan batu memusnahkan mereka. Abraham dan tentara gajahnya yang dibinasakan laksana daun dimakan ulat karena berhasrat untuk menghancurkan Ka'bah yang dibangun oleh Abraham, atau Ibrahim As. Inilah dia yang diisyaratkan oleh mitos Yunani yang bagi mereka, Zeus sebagai Tuhan yang membinasakan. Orang-orang beriman kini dapat bertanya, di mana Namrudz yang begitu perkasa di masa Ibrahim (Abraham)? Di mana Fir'aun yang kejahatan dan kekejamannya begitu menakutkan
Edisi Khusus Candi Dasa
di zaman Musa? Di mana Herodes dan kelompok penguasa Romawi di masa Al-Masih? Di mana Abi Sofyan dan persekutuannya di zaman Mohammad? Semuanya binasa oleh karena kezaliman, kejahatan dan kekerasan yang menjadi kebanggaan mereka. Perang Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua tidak lain adalah Kutukan Tuhan. Kemerdekaan Indonesia adalah karunia Tuhan yang tidak disyukuri, sehingga segala musibah datang menimpa bangsa ini silih berganti. Tuhan telah memperingatkan bahwa bila manusia senantiasa mau bersyukur, maka Dia akan tambahkan karuniaNya. Tetapi bila mereka mengingkari karunia Tuhan ini, maka sesungguhnya siksa Tuhan itu sangat pedih. Di mana pengingkaran kita yang paling banyak mengundang murka Ilahi? Inilah yang akan kita coba suguhkan di dalam tulisan ini yang sekaligus akan dapat menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan dan bagaimana kita melakukannya? Dosa-dosa Sejarah Nubuat-nubuat yang sampai pada ahli Taurat dari bangsa Israel (Yahudi) ialah akan datang seorang Nabi dan dia akan muncul di daerah yang banyak ditumbuhi pohon korma, maka sejak lama bangsa Yahudi berdatangan dan berdomisili di berbagai tempat di kota Madinah. Kehidupan imigran Yahudi di Madinah penuh dengan berbagai derita akibat ulah dan perlakuan anak negeri di Madinah. Tetapi para imigran ini, bersabar dengan harapan akan membalas dendam mereka setelah bangkit Nabi yang mereka nantikan. Terbukti yang ditunggutunggu telah datang tetapi bukan dari keturunan Daud sebagaimana yang mereka harapkan. Karenanya, usaha pengacauan dan intimidasi dilakukan dan diprakarsai oleh bangsa Yahudi. Al-Qur'an penuh dengan pemberitaan ulah kaum Yahudi ini, sehingga pada akhirnya mereka terusir dari seluruh Madinah. Berbeda dengan kaum Yahudi, para pengikut Al-Masih lebih toleran dan positif terhadap kedatangan Nabi Muhammad, pada awal-awal kedatangannya. Dosa-dosa sejarah interaksi Kristen-Islam mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-9, dengan
Edisi Khusus 2003
13
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
polemik normatif yang bertujuan saling mendiskreditkan agama lawan dengan menelusuri “kelemahan-kelemahannya”, sambil menonjolkan superioritas ajaran agama yang dianut. Dalam polemik ini, kita temukan pada abad-abad ini, dari pihak Kristen diwakili oleh St. John of Damascus (675-753), Theodore Abu Gurrah (740-825), Catholicos Thimothy (728-823), dan Ammar Al-Basri (800-850). Polemik berkisar pada pembenaran doktrin Kristen di satu pihak dan penolakan kenabian Muhammad dan otentisitas al-Qur'an di pihak lain. Dari pihak Islam, karya Ali bin Sahl al-Tabari (w.855) dan karya Al-Yakiz (776-869), masing-masing dengan judul “Sanggahan” terhadap kaum Nasrani dengan menjelaskan posisi al-Qur'an tentang “distorsi” yang dilakukan oleh umat Kristen terhadap ajaran Al-Masih. Selanjutnya, kita temukan pada abad ke-11 dan 12, Elias Al-Nasibi (975-1046) dan Paus Gregorius VII (1020-1085), berupaya keras membuktikan kebenaran agama Kristen dan menunjukkan adanya kontradiksi dalam ayatayat al-Qur'an. Di lain pihak ulama Islam secara aktif menelusuri ketimpangan isi Perjanjian Lama dan Baru sesuai dengan petunjuk alQur'an. Mereka antara lain, Ibn Hazm (994-1064), yang dikenal memiliki pena lebih tajam daripada pisau dengan karyanya penjelasan tentang aliran-aliran agama dan sekte-sekte, Imam AlJuwainy (1028-1085), Imam Al-Ghazali (10591111) tentang sanggahan terhadap ketuhanan Isa dalam teks Injil. Di samping itu Ibn Taimiyah (1263-1328), dengan dilatarbelakangi peristiwaperistiwa Perang Salib, menulis dengan judul “Jawaban” yang tepat kepada mereka yang telah mengubah agama Al-Masih. Polemik normatif ini mulai menurun dan terbatas pada institusi-institusi agama sekitar akhir abad ke-19 dengan diperkenalkannya disiplin ilmu baru yang bernama Ilmu AgamaAgama (The Science of Religions). Max Müller (1823-1900), adalah pionirnya dengan karyanya antara lain Introduction to The Science of Religions. Dengan ini para pakar berhasil membebaskan diri dari pengaruh teologi atau pendekatan normatif. Dari sini mulailah dihidupkan pendekatan deskriptif yang menguraikan secara komprehensif aspek-aspek
14
Edisi Khusus 2003
kesejarahan, struktur, doktrin dan lain-lain elemen tanpa terlibat dalam pemberian penilaian (VALUE JUDGMENT). Tetapi sayangnya para penganjur dalam pemimpin agama masih belum dapat melepaskan diri dari suasana abad ke-7 sampai abad ke-12. Dengan patuh mereka masih melakukan pendekatan normatif yang menelorkan penilaian baik-buruk terhadap agama lain.
Era Pencerahan Polemik yang negatif disebabkan karena adanya ketertutupan, sehingga seperti yang dinyatakan oleh pepatah Arab “manusia takut kepada apa yang mereka tidak ketahui”, yang dalam ungkapan kita, “tak kenal maka tak sayang”. Max Müller dalam “Introduction to The Science of Religions” mengungkapkan motto: “Sebelum kita dapat membandingkan (agama), harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang agama-agama yang akan dibandingkan”. Berangkat dari motto tersebut, klasifikasi, sejarah dan evolusi agamaagama, persamaan dan perbedaan, struktur (doktrin), asal usul serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, kesemuanya mulai dibahas. Sebagai buah dari studi agama, muncullah disiplin ilmu sosiologi agama, psikologi agama, fenomenologi agama, dan yang paling mutakhir, dialog antaragama. Dalam hal ini muncul namanama antara lain Rudolf Otto, Durkheim, Yung, Max Weber, Hegel, Heidegger, Joachim Wach dan Wilfred Cantwell Smith. Sedangkan dari kelompok Islam muncul nama-nama A. Tibawi, Faruqi dan M. Ayoub. Tentu dalam urutan namanama kelompok Kristiani yang populer akan selalu kita sebut Louis Massignon yang dapat mengubah pandangan Katholik terhadap Islam, serta Kenneth Cragg yang mengakui bahwa interaksi dalam al-Qur'an telah mengantarnya untuk meyakini arti tauhid dalam Trinitas. Sedang Hans Küng menyatakan “pemotretan dari Yesus dalam alQur'an adalah yang terdekat kepada ajaran Kristen awal dan Hans Küng tidak segan-segan menyatakan bahwa dia adalah seorang Muslim yang mengikuti Yesus”. Adapun Bijfeld secara terbuka menyatakan, “banyak hal yang saya jumpai dalam alQur'an, yang justru memantapkan keimanan saya sebagai pengikut Yesus yang sejati”.
interfidei newsletter
Islam dan Pluralisme Jika ditelusuri hakekat dari kandungan alQur'an dan ungkapan-ungkapan Muhammad SAW, maka nuansa pluralistik berpeluang luas di dalam Islam sebagai agama. Surat al-Baqarah (2) ayat ke-26 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu'min, orangorang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati”.
Rasulullah SAW bersabda: (hadits riwayat Buchari) yang artinya: “Aku lebih berhak atas Isa Ibn Maryam di dunia dan di akhirat. Kami para nabi adalah bersaudara seayah (Ibrahim) dengan berlainan Ibu. Agama kami adalah satu, tidak kami sembah kecuali Allah”.
Untuk menciptakan apa yang dikenal dengan masyarakat Madani (Civil Society), maka telah dibuat suatu perjanjian, yang dikenal dengan Piagam Madinah, antara Rasulullah SAW dengan golongan Yahudi, Kristiani (ada riwayat juga dengan golongan Sabi'in), yang mengatur hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati. Perjanjian ini terlaksana pada awalawal berdirinya Pemerintahan Madinah (tahun ke-2 Hijriyah), sebagai salah satu implementasi dari Firman Tuhan Surat Hud (11) ayat ke-18 yang artinya “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu saja, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka .....”.
Dan firman Tuhan, surat al-Baqarah (2) ayat ke-256, yang artinya: “Tidak ada paksaan memasuki agama .....” atau “Tidak ada paksaan di dalam agama”, serta firman Tuhan, surat an-Nahl ayat ke-125 yang artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ....”, inilah di antara banyak dalil yang pluralistik di dalam al-Qur'an.
Edisi Khusus Candi Dasa
Sebagai penutup dari pembicaraan tentang Islam dan pluralisme, kami turunkan kutipan dari suatu Naskah Lama yang berasal dari tahun ke-2 Hijriah yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Richard Pocoke, “Description of The East”, Jilid I, yang selengkapnya sebagai berikut : “Karena Allah itu besar dan memerintah serta Pengatur yang teliti dari seisi alam, dari mana segenap Nabi datang; dengan anugerah-anugerah yang telah diberikan kepada manusia, Muhammad bin
Abdullah, Rasul Allah, telah menulis instruksi ini kepada sekalian orang yang termasuk ummatnya, sebagai satu jaminan dan janji yang positif untuk dipenuhi terhadap kaum Nasrani dan pengikut-pengikut orang Nashara, siapapun mereka itu, baik dia orang bangsawan, atau rakyat kecil, yang terhormat atau tidak, berkata sebagai berikut : 1. Siapapun dari umatku yang akan melanggar janjiku dan sumpahku yang termuat dalam persetujuan ini, maka ia menghanyutkan janji Allah dengan bertindak berlawanan dengan sumpah dan akan menjadi orang yang melawan iman (semoga dijauhkan Tuhan) dan karena itu ia patut beroleh kutukan, baik ia raja atau pun orang miskin, orang apa pun ia itu. 2. Bahwa apabila pendeta-pendeta dalam perjalanan kebetulan akan berhenti di bukit mana saja atau di desa mana saja atau tempat-tempat yang dapat didiami di pantai atau di padang pasir, atau di setiap biara, gereja atau rumah ibadat mana saja, saya akan berada di tengah mereka itu sebagai penjaga dan pelindung mereka, harta-harta dan hak-hak mereka, dengan jiwa, pertolongan dan perlindungan saya, bersama-sama dengan seluruh ummat saya, karena mereka adalah sebagian daripada rakyat dan merupakan suatu kehormatan bagi saya. 3. Lagi pula saya perintahkan seluruh pejabat, supaya jangan meminta pajak dari mereka atau iuran lain, karena mereka tidak boleh dipaksa berbuat sesuatu seperti itu. 4. Tidak ada seorang pun yang boleh mengganti hakim-hakim atau pemimpin mereka; mereka harus tetap pada jabatannya dan tidak boleh diturunkan. 5. Tidak boleh ada orang yang mengganggu mereka sementara mereka berjalan-jalan. 6. Gereja apa saja yang menjadi milik mereka tidak boleh diganggu gugat.
Edisi Khusus 2003
15
Agama dan Kekerasan
7. Siapa saja yang hendak melanggar bagian mana dari perintah saya ini, hendaklah ia mengetahui dengan pasti bahwa ia melanggar perintah Allah. 8. Lagi pula, hakim-hakimnya, pemimpinpemimpinnya, pendeta-pendetanya, pelayanpelayannya, pengikut-pengikutnya, atau siapa saja yang tergantung pada mereka, tidak boleh dipunguti pajak atau diganggu karena itu, karena akulah pelindungnya, di mana saja mereka berada, di darat maupun di laut, di timur atau di barat, di utara atau di selatan, karena baik mereka ataupun segala yang menjadi haknya termasuk dalam janji sumpahku. 9. Dan mereka yang hidup dengan tenang dan terpisah di bukit-bukit, mereka tidak perlu mengeluarkan dari pendapatannya untuk pajak, dan tidak boleh dari seorang Muslim mengambil bagian dari hak milik mereka; pekerjaan mereka hanya untuk hidup mereka sendiri. 10. Apabila hasil bumi banyak dalam waktunya, penduduknya diwajibkan memberikan kepada mereka menurut ukuran tertentu dari setiap bakul. 11. Dalam masa peperangan, mereka tidak perlu meninggalkan tempat tinggal mereka, tidak boleh pula mereka dipaksa turut dalam peperangan, dan dalam keadaan demikianpun mereka tidak boleh dipunguti pajak. 12. Penduduk-penduduk Kristen yang menetap dan karena kekayaan dan kendaraannya sanggup membayar pajak jalan, tidak boleh membayar lebih dari 12 drachma. 13. Kecuali hal ini, tidak ada lagi yang boleh diminta dari mereka berdasarkan sabda Allah yang berfirman: “Janganlah kamu ganggu orang-orang ahli kitab yang diturunkan daripada Allah, tetapi baiklah kamu memperlakukan mereka dengan ramah-tamah, berikanlah barang-barangmu yang baik kepada mereka serta bertukar-pikiranlah kamu dengan mereka dan halangilah setiap orang yang mengganggu mereka”. 14. Apabila seorang perempuan Kristen kawin dengan seorang laki-laki Muslim, si Muslim itu tidak boleh menghalangi kehendak istrinya untuk pergi ke gereja dan bersembahyang serta melaksanakan perintah agamanya. 15. Bahwa tidak seorangpun boleh menghalangi mereka daripada memperbaiki gereja-gereja mereka. 16. Siapapun yang bertindak bertentangan dengan perkenanku ini, atau memberi dorongan untuk melawannya, benar-benar akan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya, karena perkenan ini telah saya berikan kepada mereka sesuai dengan janji
16
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
ini. 17. Tidak ada orang yang boleh mengangkat senjata terhadap mereka, tetapi sebaliknya kaum Muslimin harus melakukan peperangan untuk membela mereka. 18. Dan dengan ini saya perintahkan bahwa tidak boleh ada di antara umatku yang berbuat atau bertindak bertentangan dengan janji ini hingga pada hari kiamat. (Ditanda tangani oleh 16 orang saksi; tertulis pada 3 Muharram tahun Hijriyah yang kedua).
Penganjur Agama dan Kekerasan Agar potret kekerasan agama dapat terlihat dengan lebih jelas, berikut ini kami turunkan serentetan peristiwa kekerasan bernuansa agama dari banyak sumber yang kami temui. Mungkin karena meluasnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya orang-orang yang memegang teguh ajaran agama, para pakar kemudian menganalisis hubungan antaragama (ideologi) dipenuhi teror atau kekerasan. Walaupun banyak yang mengancamnya tetapi ada saja pakar yang membenarkannya. Albert Camus, seorang filsuf asal Perancis, dan Sir Karl Popper dari Inggris, mengungkapkan bahwa kendati pada dasarnya tujuan akhir dari hampir semua agama atau ideologi adalah meringankan kesengsaraan manusia, namun penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mulia tersebut sama sekali tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya filsuf kenamaan Jean-Paul Sartre, juga asal Prancis, tidak saja membenarkan “Dirty Hands” (tangan-tangan kotor) untuk mencapai tujuan politik, bahkan menganggap bahwa terkadang tindakan kekerasan dapat dianggap suatu kebaikan. Justru karena adanya asumsi bahwa penggunaan kekerasan merupakan salah satu metode pencapaian tujuan luhur, maka tidak aneh kalau naluri agresif manusia terkadang tumbuh subur di bawah naungan agama. Tidak sulit untuk membuktikan hal ini, apabila kita menelusuri fenomena kekerasan dalam perjalanan sejarah kehidupan keagamaan. Lumuran darah para Syuhada', korban tangan ekstremis dari berbagai kelompok keagamaan
interfidei newsletter
telah mewarnai lembaran sejarah. Pada masa formatif Islam, tiga dari empat Khulafaur Rasyidin terbunuh oleh tangan-tangan kelompok ekstremis. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dibunuh oleh kelompok Khawarij, ekstremis yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengubah status quo dengan alasan-alasan agama yang keabsahannya sesuai paham mereka. Inilah contoh kekerasan yang pertama di dalam perjalanan sejarah Islam akibat indoktrinasi agama yang keliru oleh para tokoh yang eksklusif-fundamental yang ekstrem. Inilah akibat pemahaman teks-teks Kitab Suci secara tekstual atau berteologi secara tekstual. Dalam dunia Kristen, lumuran darah akibat ekstremitas pemahaman keagamaan pun tidak kalah banyaknya. Eksekusi yang dilakukan dan dilancarkan mainstream Kristen kepada kelompok yang berbeda pendapat dan sekte lainnya yang lazim dinamakan kaum sempalan (heretic) juga mewarnai sejarahnya. Gelombang Krusada (Perang Salib) yang pertama kali dikumandangkan oleh Sri Paus Urban II pada abad ke-11 bukan saja melancarkan kekerasan terhadap umat Yahudi dan Islam (yang dinilai musuh), kelompok Kristen Ortodoks Timur pun ikut terbabat. Ini semua dilancarkan atas nama Al-Masih, pencinta damai dan penganjur kasih sayang. Para ekstremis selalu berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan adalah perintah Tuhan yang tercantum dalam teks-teks suci. Tampaknya fenomena kekerasan ini tidak hanya terbatas pada kurun waktu tertentu. Dia berlangsung seakan-akan sambung menyambung sampai hari ini. Di Mesir, presiden Anwar Sadat diberondong oleh seorang tentaranya di tahun 1981 demi perintah Tuhan. Indera Gandhi, Perdana Menteri India, diberondong oleh dua bodyguard dari kelompok Sikh pada tahun 1984, juga dengan motivasi agama. Selanjutnya sejalan dengan munculnya berbagai kekerasan, menguat pula fatwa-fatwa kekerasan dari berbagai tokoh agama. Paul Hill, pemuka agama dari gereja Presbiterian di Amerika Serikat, tidak saja menganjurkan penggunaan kekerasan terhadap mereka yang melanggar ajaran agama
Edisi Khusus Candi Dasa
menyangkut aborsi. Seorang dokter dibunuh karena melakukan aborsi terhadap seorang pasiennya. Seirama dengan Paul Hill, Pastor Dareis C. Trosch dari Gereja Katolik juga menyatakan bahwa membunuh dokter-dokter yang melakukan praktek aborsi adalah pembunuhan yang syah menurut agama. Kita juga masih belum melupakan bunyi dan isi fatwa dari seorang pemuka agama Yahudi, Rabbi Shlomo Goren, mantan pimpinan Rabbi (pemuka agama Yahudi) dan kelompok Askhenazir (Yahudi Eropa Barat), bahwa membunuh Yassir Arafat adalah salah satu dari tugas keagamaan. Percobaan pembunuhan terhadap presiden Mesir Husni Mubarak serta berbagai peledakan bom selalu dikaitkan dengan perintah keagamaan. Bandingkan ini semua dengan yang umum kita diketahui tentang Musa, Isa dan Muhammad. Alangkah keji kita telah bergeser dan membelakangi mereka. Kami akhiri bagian ini dengan nasib yang menimpa Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin oleh Yigar Amir. Katanya, ia membunuh Yitzhak Rabin atas perintah agama dan dengan bantuan Tuhan. Itulah tugas keagamaan sesuai dengan anjuran halakha (hukum agama Yahudi). Janda mendiang Rabin sangat tepat ketika berkomentar tentang pembunuhan suaminya. Ia berkata, “fokus perkataan saya bukan pada pelaku pembunuhan, tapi lebih kepada mereka yang mengobarkan semangat kekerasan dan kebencian dengan dalih agama”. Dengan pernyataannya dia seolah menuding kepada pemuka-pemuka agama dari kelompok ultra ortodoks dan pemimpin sayap kanan radikal dalam kelompok masyarakat Yahudi. Memang benar, bila kita menelusuri setiap konflik, akan kita temukan bahwa yang menjadi pemimpin atau penganjur adalah sumber konflik bukan agama yang ber konflik. Solusi, Apa dan Bagaimana? Solusi dari problema yang kita hadapi adalah tantangan bagi kita semua. Pertama-tama yang harus kita pahami bahwa, agama adalah sesuatu yang berproses di dalam hati sanubari setiap manusia dan agama adalah sesuatu yang sangat subyektif serta merupakan fitrah suci bagi
Edisi Khusus 2003
17
Agama dan Kekerasan
Setiap manusia. Hubungan agama dan manusia adalah hubungan cinta. Di mana dan bagaimana pun manusia itu, dia tidak akan berpisah dari yang dicintainya. Bila muncul sesuatu yang berbeda dengan yang dicintainya, maka reaksi yang terjadi ialah “curiga” yang bisa berlanjut dengan usaha “mempertahankan” atau “menyerang”. Demikianlah yang terjadi pada pendatangpendatang dari Barat pada abad ke-16 seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Spanyol, yang Kristiani akan membawa agama dicintai bersamanya. Sehingga sangat keliru bila dikatakan bahwa mereka ke Indonesia dengan gerbong-gerbong agama Kristen, bahwa mereka akan meng-kristen-kan bangsa Indonesia. Padahal mereka adalah para pedagang, yang rakus, yang merantau bersama agama yang dicintainya. Takut terhadap ekspansi suatu agama adalah tidak sesuai dengan fondasi keyakinan terhadap agama. Agama yang padanya ada Tuhan, yang kita imani adalah sesuatu yang harus berlangsung atas dasar pilihan bebas dari akal yang penuh keimanan. Semua manusia yang bisa berfikir akan sangat komit bahwa “Iman tidak bisa dipaksa”. Selanjutnya di antara usaha pembodohan ialah metode dakwah yang berfokus kepada surga dan neraka. Rasanya untuk mendekati pada solusi “apa” yang harus dilakukan dan “bagaimana” melakukannya, kita selami sebentar perumusan yang diangkat oleh Ignas Kleden (Kompas 3 April 1995) yang menyebut adanya 3 dimensi pada setiap agama. 1. Dimensi sakralitas, yaitu pengakuan adanya yang Kudus serta Hormat yang mengatasi kehidupan kita. 2. Dimensi Spiritualitas, yaitu sikap penganut setiap agama terhadap dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan agamanya. 3. Dimensi Moralitas, yaitu sikap setiap individu terhadap orang lain, dan tanggungjawabnya terhadap keselamatan dan kesempurnaan orang lain. Dapat dipahami bahwa setiap agama memiliki aspek-aspek sakralitas yang mutlak harus dihormati keberadaannya tanpa disertai penilaian apapun. Dimensi Spiritualitas adalah
18
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
merupakan input yang membangun keberagamaan setiap individu. Di sinilah akan terjadi pergeseran nilai yang sangat tergantung pada siapa yang meng-input aspek-aspek spiritual dan bagaimana kondisi dan kualitas si penerima input. Bagaimana latarbelakang si penerima input, pendidikannya, kadar animismenya (bekas warisan lama). Dari kualitas pemahaman yang sakral dan yang spiritual, maka termanifestasilah aspekaspek moralitas. Apakah dia akan fundamentalis yang intoleran atau yang toleran. Apakah dia menjadi radikal yang intoleran atau toleran. Apakah dia ekstrem yang melihat kebenaran hanya miliknya, lain salah dan sesat. Dari sini kita mendapatkan solusi apa dan bagaimana kita harus berbuat: Pertama, sehatkan pemahaman dan penghayatan agama dan teks-teks agama terhadap para penganjur agama. Karena sasaran dan tujuan pokok setiap agama adalah keselamatan dan kesempurnaan manusia, maka fokuskanlah dakwah kita kepada sasaran ini. Kedua, manusia tidak akan mencapai keselamatan dan kesempurnaan kecuali bila selain perbendaharaan keagamaan, dia harus memiliki latar belakang pendidikan yang layak sebagai modal hidupnya di dunia yang sementara ini. Pengalaman kita di berbagai belahan dunia terutama di negara yang dijagokan sebagai Negara Pahlawan Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia, Amerika Serikat. Dr. Jefry Lang dalam bukunya, “Malaikat pun Bertanya” dan Dr. Alwi Shihab dalam “Islam Insklusif” menceritakan bagaimana sulitnya membangun Masjid di wilayah yang populasinya berlatar belakang pendidikan yang rendah, sedang di wilayah-wilayah kelompok yang terdidik, berjalan dengan mudah, bahkan di gereja-gereja yang berdekatan dengan lokasi masjid, mereka memanfaatkan dengan penuh toleransi, satu tempat parkir mobil, secara bersama atau bergantian. Ketiga, dengan demikian, maka setiap penganjur agama harus juga dapat membina jemaahnya untuk mengerti dan trampil dengan ilmu-ilmu duniawi yang non agama. Keempat, demikian juga bagi setiap pendidikan di sekolah, harus selalu menyertakan
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
pendidikan moral pada anak didiknya. Cukup bagi seorang pendidik bila dapat menyampaikan bahwa Tuhan menurunkan para Nabi dan Kitab-kitab Suci untuk mengantar manusia pada kehidupan yang damai dan sejahtera dan bahwa merupakan suatu kewajaran bila seseorang harus memiliki agama yang dipilihnya dan menjalankannya dengan tidak merugikan orang lain.
Tulisan ini akan lebih bermakna bagi kita semua bila saya akhiri dengan mengingatkan kembali pada kita, ungkapan Pemuda Gereja St Erasmus, yang berbunyi: “The Glory Of God is The Wellbeing God's Creatures”. Yang artinya: “Keagungan Tuhan Terlihat pada Sejahteranya Ciptaan” []
KEMBALI PADA KEYAKINAN AGAMA1 Irfan Suryahardy Awwas*
Pendahuluan Pada awalnya, saya merasa amat terpaksa menerima undangan panitia penyelenggara seminar, apalagi menjadi pembicara dalam Dialog Antar Iman (DIAN) yang diselenggarakan Yayasan Interfidei ini. Menerima dengan terpaksa ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: Pertama, dalam banyak hal, saya bukanlah orang yang tepat untuk duduk sebagai pembicara di forum ini. Bukan saja kapasitas intelektual yang tidak cukup memadai, tetapi terutama karena dialog antar iman seperti yang kita lakukan hari ini merupakan sesuatu yang asing dalam aktivitas yang saya geluti selama ini. Kedua, pasca ledakan bom di Legian Kuta Bali, 12 Oktober 2002, eksistensi gerakan Islam di negeri ini kembali terguncang dan terancam; bahkan menjadi terdakwa dari banyak tuduhan, sehingga kami seakan dipaksa menonton diri sendiri melalui tayangan orang lain hasil rekayasa pihak asing dan domestik. Terorisme telah menjadi alibi baru Amerika untuk mengintimidasi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Akibatnya,
gerakan Islam yang bertujuan untuk menegakkan syari'at Islam, sekalipun secara legal konstitusional, dalam pandangan Amerika diterjemahkan sebagai gerakan teroris, anti globalisasi dan sebagainya. Buku Putih berjudul: "The Jemaah Islamiyah Arrests and The Threat of Terrorism" yang dikeluarkan pemerintah Singapore, 7 Januari 2003 menguatkan kembali fitnah yang telah disebarkan sebelumnya, bahwa Majelis Mujahidin Indonesia sebagai sebuah institusi aliansi untuk penegakan Syari'ah Islam, dianggap reinkarnasi Jama'ah Islamiyah yang telah dimasukkan melalui resolusi DK PBB sebagai jaringan teroris dengan alasan, samasama mengangkat Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinannya. Kehadiran kami disini, selain karena "paksaan" dari panitia, juga sebagai penghargaan kepada tokoh DIAN, Dr. Th Sumartana. Interfidei sudah beberapa kali berinisiatif untuk mengadakan dialog dengan kami dari Majelis Mujahidin, tetapi hingga beliau meninggal dunia keinginan itu belum terwujud. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya ini semua datangnya
1
Makalah ini disampaikan pada Seminar Sehari "AGAMA DAN KEKERASAN" PERSPEKTIF HISTORISTEOLOGIS, Forum Refleksi Kelompok Antar Iman Se-Indonesia di Gedong-Gandhi Ashram, Candi Dasa, Karangasem, Bali, 19 Februari 2003. * Sekjend Majelis Mujahidin Indonesia.
Edisi Khusus 2003
19
Agama dan Kekerasan
interfidei newsletter
dari Allah dan kepada-Nya juga kita akan yang benar dan yang salah (furqan). (Qs. Al kembali). Baqarah, 2: 184). Mudah-mudahan apa yang kami Sinisme terhadap agama dengan kemukakan di atas tidak menjadi penghalang m e n c u r i g a i n y a s e b a g a i t e r s a n g k a a t a s bagi kita untuk membangun dialog yang lebih meruncingnya sejumlah konflik di antara umat intensif dan bermanfaat. Oleh karena itu, harapan beragama di negeri ini, jelas bukan anggapan saya marilah kita bersikap jujur dalam dialog ini, yang bijaksana. Maka menjadi pertanyaan, ketika dengan memposisikan diri sesuai dengan krisis kemanusiaan, moral juga politik melanda keyakinan agama masing-masing. Hal ini dunia internasional yang hingga sekarang belum penting, karena mencari solusi dari sejumlah ditemukan makhraja atau solusi bagi penyelesaian konflik yang terjadi di Indonesia, yang adil dan harmonis; mengapa dengan kembali kepada ajaran masih ada di antara para Tindakan kekerasan p e n g a n u t a g a m a y a n g agama jauh lebih obyektif dan elegan daripada hanya beranggapan bahwa agama sendiri pada mengandalkan kemampuan otak merupakan ancaman potensial semata-mata. bagi perdamaian umat manusia? dasarnya tidak Benarkah keyakinan agama Mencari Akar Kekerasan berpotensi menjadi pemicu memiliki agama. konflik antar umat beragama, Ketika seseorang Ia bisa berada di s e h i n g g a d e n g a n a l a s a n menempatkan rakyu (otak) dan pluralisme, demokrasi dan hawa nafsu sebagai panglima yang p erdamaian dunia, para berbagai ruang. harus ditaati, atau memposisikan penganut agama "diteror" supaya agama menjadi urusan pribadi Kita bisa secara sadar rela meminimalkan dengan Khaliqnya, suatu wilayah peran agama atau bila perlu kehidupan individual, maka pada menemukan menanggalkan sama sekali ajaran saat itu dia akan menolak otoritas agamanya dalam membangun Allah dalam mengatur makhluk, kekerasan terjadi kehidupan berbangsa dan bahkan anti terhadap pemasrahan bernegara? pada tubuh diri kepada Allah. Karena itu, Salah paham terhadap mereka menuntut wilayah negara agama, akibat kesalahan umat militer, pada harus steril dari campur tangan beragama dalam memahami agama. Dengan demikian mereka komunitas d an mengamalkan ajaran menafikan hukum Allah dalam agamanya, entah karena bidang pemerintahan, hukum, keagamaan, atau kebodohan atau kesombongan, ekonomi, politik, dan aspek menurut saya justru salah satu kehidupan lainnya. Selanjutnya pemicu timbulnya konflik mereka akan membatasi otoritas kekerasan. Tindakan kekerasan sendiri pada Allah dalam urusan yang mereka anggap pantas dan layak, dalam urusan ritual ataupun ibadah dasarnya tidak memiliki agama. Ia bisa berada di berbagai ruang. Kita bisa menemukan mahdhah. Memposisikan agama sebagai urusan kekerasaan terjadi pada tubuh militer, pada individual yang tidak berkaitan dengan urusan komunitas keagamaan, atau ideologi tertentu. muamalah, hubungan sosial, politik dan Yang menjadi benang merah, adalah keinginan kenegaraan, sama artinya kita menganggap untuk mencapai suatu perubahan mendasar agama tidak memiliki tujuan dan orientasi. Dan secara drastis, bahkan bila perlu dengan itu bukan merupakan tujuan dihadirkannya k e k e r a s a n . A t a u , p e m b a l a s a n a k i b a t agama di muka bumi, yaitu sebagai petunjuk bagi ketertindasan karena tidak menemukan cara manusia (hudan linnas) dan penjelasan mengenai lain yang dianggap lebih adil. petunjuk itu (bayyinat) serta pembeda antara
20
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Ilmuwan Barat pun sebenarnya tahu bahwa tindakan kekerasan dimiliki oleh banyak penganut agama selain Islam (Kristen, Yahudi dsb) bahkan tindak kekerasan dilakukan berbagai aliran yang bukan merupakan agama. Dan tidak hanya kaum agamawan saja; mereka yang tidak beragama pun sering melakukan tindakan kekerasan. Faktor pemicu tindak kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang bisa bermacam-macam. Bisa disebabkan nafsu berkuasa, ketidakadilan, atau diskriminasi yang dialami sekelompok orang. Adanya sarana kemaksiatan (perjudian, perzinahan dll) yang mudah dijangkau siapa saja, bisa menjadi akselerator terjadinya tindak kekerasan, kerusuhan, bahkan pembunuhan. Tindak kekerasan yang didasarkan pada ideologi tertentu tidak lebih berbahaya dibandingkan kekerasan yang dilahirkan militerisme yang dilandasi nafsu berkuasa. Tindak kekerasan pada komunisme akan semakin dahsyat bila berbaur dengan militerisme. Seperti yang pernah kita alami pada 19651966. Kekerasaan yang bersemayam pada kelompok zionis akan semakin berbahaya setelah ia bersentuhan dengan militerisme sebagaimana dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina dan bangsa-bangsa lain di dunia. Merespons Ketidakadilan, Diskriminasi dan Kemungkaran Di Indonesia, tindak kekerasan yang muncul - khususnya yang dilabelkan kepada komunitas Islam terutama disebabkan oleh ketidakadilan, kemungkaran, dan diskriminasi, baik global maupun lokal. Dalam rentang sejarahnya yang panjang, Islam tidak membenarkan dan tidak pernah memerintahkan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun dan atas nama apapun. Sebaliknya, Islam justru menganjurkan untuk berbuat baik dan adil, tanpa membedakan muslim atau non muslim. Islam senantiasa bersikap rasional dan proporsional, tidak pernah mendukung kezaliman, sekalipun yang melakukan kezaliman itu sesama pemeluk Islam sendiri.
Edisi Khusus Candi Dasa
Konsep Islam tentang amar ma'ruf (segala perintah kebaikan yang mendekatkan seseorang pada Allah) dan nahyi munkar (larangan terhadap segala perbuatan yang menjauhkan seseorang dari Allah) (Qs. Ali Imran, 3:104) bukan konsep kekerasan. Amar bil ma'ruf wanahyi anil munkar, bukan merupakan pembenaran atas tindak kekerasan; melainkan suatu ajaran yang menganjurkan supaya umat Islam selalu berbuat baik kepada siapa saja sekaligus berusaha sekuat kemampuan mencegah terjadinya segala bentuk kemungkaran. Kemungkaran yang selalu meresahkan masyarakat dapat disebutkan antara lain berupa ketidakadilan, kemaksiatan, korupsi, dekadensi moral dan sebagainya. Masalahnya, kini kemungkaran berkembang jauh lebih pesat dibanding kemampuan umat Islam mencegahnya bahkan, kemungkaran semakin terorganisasikan dengan baik, juga mendapat dukungan dari kekuasaan dan kekuatan bersenjata, sehingga amar ma'ruf yang terorganisasikan dengan baik sekali pun tidak mudah mengalahkannya. Jika dalam suatu negara, pihak eksekutif dan legislatif berselingkuh melakukan kemungkaran melalui pembuatan peraturan yang membolehkan seorang terpidana kurang dari lima tahun sebagai calon presiden atau membela konglomerat hitam tapi tidak peduli nasib golongan lemah, siapa yang akan mencegahnya? Sejauh yang kita ketahui, tidak ada satu agamapun di dunia ini yang membenarkan berlangsungnya kemaksiatan. Sekiranya ada, maka agama itu pasti bukan lagi ajaran yang datang dari Tuhan melainkan dari syaitan. Hal ini bisa dilihat dari sikap para agamawannya. Bila agamawannya pasif terhadap kemungkaran bahkan bangga manakala lingkungannya menjadi pusat maksiat, maka ajaran agama yang dibawanya pastilah berasal dari syaitan. Oleh karena itu, yang kini harus dilakukan tidak saja mencegah kemungkaran tetapi bagaimana menghadapinya secara proporsional, cerdas dan manusiawi. Kemungkaran dalam bentuk kezaliman yang dilakukan pemerintah dan militer Israel terhadap bangsa Palestina misalnya, tidak setara bila dilawan dengan gerakan intifadhah dan Bom
Edisi Khusus 2003
21
Agama dan Kekerasan
Syahid. Tetapi dibutuhkan cara yang proporsional (tidak berlebihan), cerdas dan manusiawi. Bila kemungkaran itu dihadapi dengan cara proporsional saja (tanpa cerdas dan manusiawi), berarti harus dihadapi dengan kekuatan bersenjata yang seimbang atau lebih, sehingga menimbulkan tragedi kemanusiaan. Terjadi upaya menghancurkan satu sama lain. Ketidakadilan Israel yang didukung kekuatan besar dunia internasional terhadap Palestina, memang terang benderang. Jika Israel menteror atau membunuh rakyat Palestina mereka mengatakan, itu hak pembelaan diri. Tetapi jika rakyat Palestina membela diri dari kebiadaban Israel mereka disebut teroris. Bagaimana logika kebiadaban semacam ini bisa muncul bersamaan dengan slogan demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia? Sikap standar ganda yang dilakukan Amerika Serikat dan teman-temannya sangat mempengaruhi persepsi kaum muslimin di dunia (termasuk Indonesia). Ketika Amerika Serikat mencoba membuat opini bahwa ia hanya memerangi orang-orang (teroris) secara perorangan atau kelompok dan bukan memerangi Islam dan umat Islam, hal itu tetap dipertanyakan kebenarannya. Samuel P. Huntington yang non muslim pun menulis dalam bukunya, Benturan Antar Peradaban: Bagi Barat, yang menjadi "ganjalan" utama bukanlah fundamentalisme Islam, tetapi Islam itu sendiri, sebuah peradaban yang masyarakatnya berbeda dengan kebudayaan mereka yang diyakini memiliki keunggulan dan terobsesi dengan inferioritas kekuatan mereka. (hal. 408)
Ucapan George W Bush tentang “Crusade”nya juga menjadi pembenar atas tindakantindakan yang dilakukan terhadap umat Islam di dunia. Huntington mencatat : Selama lima belas tahun antara tahun 1980 sampai 1995, menurut Departemen Keamanan AS, Amerika Serikat melakukan tujuh belas operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya diarahkan untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk operasi militer AS yang sedemikian itu terhadap peradabanperadaban lain. (hal 406)
22
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Selanjutnya dikatakan: ”Terdapat 10.000 korban pengeboman di Iraq yang dilakukan Barat pada Januari-Pebruari 1991. Dan kenyataan seperti itu hampir terjadi setiap tahun setelah 1979. ( hal 405 ) Catatan Huntington ini meresahkan hati, setidaknya jika kita menghitung ada berapa juta balita Iraq meninggal karena kurang gizi yang diakibatkan embargo internasional? Ada berapa juta rakyat Afghanistan meninggal karena bom Amerika Serikat? Dan berapa juta lagi rakyat Iraq yang akan meninggal sebagai korban kemanusiaan jika serangan Amerika Serikat jadi dilakukan tahun ini? Toleransi dan Hidup Berdampingan Hidup bersama saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada di antara pemeluk agama merupakan idaman semua orang. Saya berpendapat Islam tidak pernah punya masalah dengan toleransi. Dalam sejarah dunia, selama dalam kekuasaan Islam, penganut agama selain Islam akan memiliki hak untuk tetap memeluk agamanya dan melaksanakan peribadatannya sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Karen Amstrong, seorang pakar terkemuka lintas agama di Inggris dan Amerika Serikat yang pernah selama 7 tahun menjalani hidup sebagai biarawati menulis: Di bawah kerajaan Islam; agama Yahudi, Kristen dan Islam mampu hidup berdampingan secara harmonis selama lebih dari enam ratus tahun. (Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan hal. 8)
Tetapi sebaliknya, kaum muslimin seringkali mengalami hal-hal yang menyedihkan dalam hal toleransi dan kebebasan beragama. Pada tahun 1499, ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabella berhasil memenangkan perang terhadap kaum muslimin di Granada, penduduk muslim diberikan dua pilihan pahit : pindah agama atau dideportasi. Sejak itu, selama beberapa abad, Eropa menjadi daerah bebas muslim (Amstrong, hal 3). Dan anehnya, fakta sejarah itu berulang kembali dengan pembersihan etnis terhadap kaum muslimin yang terjadi di Bosnia beberapa tahun yang lalu.
interfidei newsletter
Pada tahun 1492 terjadi pada tanggal 31 Maret, yaitu ketika Ferdinand dan I s a b e l l a menandatangani Perintah Pengusiran (Edict of Expulsion) yang dibuat untuk membersihkan Spanyol dari Kaum Yahudi. Orang-orang Yahudi juga diberi dua pilihan : dibaptis masuk Kristen atau dideportasi. (Amstrong, hal 4). Jadi dalam hal toleransi dan bagaimana hidup berdampingan antar etnis dan agama, kaum muslimin memiliki track record yang baik. Hal ini bisa mudah dimengerti karena toleransi antar umat beragama merupakan perintah Allah, dan karakteristik Islam itu sendiri. Pemaksaan terhadap umat beragama lain untuk masuk Islam, baik secara halus maupun kasar tidak mendapatkan pembenaran di dalam al-Qur'an. Sebaliknya, penguasa Islam dilarang untuk memaksa warganya yang tidak beragama Islam untuk berpindah menjadi pemeluk Islam. Pernyataan ini bukan sekedar retorika, melainkan ketentuan agama.
Dalam Islam,
dan saya kira agama-agama
yang lain juga,
tindak kekerasan adalah sesuatu yang dilarang.
Kekerasan tidak selalu identik
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (Qs. Al Baqarah, 2 : 256). Akan tetapi, toleransi dalam pengertian menganggap semua agama sama, atau melarang umat beragama untuk mengunggulkan agamanya justru bertentangan dengan maksud toleransi itu sendiri, yaitu bertasamuh (berlapang dada) dalam perbedaan. Di dalam al-Qur'an disebutkan, bahwa orang-orang Yahudi berkata,"Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata,"Al Masih itu putera Allah", (Qs. At Taubah, 9:30). Sedangkan Islam
Edisi Khusus Candi Dasa
mengatakan,"Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan". Dalam hal ini, tidak bisa memaksakan yang ini harus mengikuti yang itu, melainkan bersikap toleran terhadap perbedaan keyakinan yang prinsipil ini. Maka toleransi yang ditunjukkan Islam dengan mengatakan lakum dienukum waliyadin (Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku). Toleransi juga tidak termasuk membiarkan kemungkaran dan kemaksiatan merajalela, bersikap seperti syetan bisu. Dakwah dan Jihad Dakwah penyebaran agama Islam dilakukan dengan penyampaian informasi serta munadharah (diskusi), tanpa ada unsur pemaksaan. Ajakan yang dilakukan Islam terhadap umat agama lain (Ahlul Kitab) sangat bersahabat dan toleran, seperti tertera dalam al Qur'an: “Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikan, bahwa kami adalah muslimun (orang-orang yang berserah diri kepada Allah)”. (Qs. Ali Imran, 3: 64) Dalam Islam, dan saya kira agama-agama yang lain juga, tindak kekerasan adalah sesuatu yang dilarang. Kekerasan tidak selalu identik dengan jihad fi sabilillah. Kekerasan dapat terjadi kapan saja bahkan tanpa alasan yang jelas sekalipun. Jihad fi Sabilillah dalam pengertian Qital (perang) menurut Islam, juga tidak dapat dimasukkan sebagai pemicu konflik maupun sumber kekerasan. Para mujahid yang berjihad di jalan Allah memiliki pedoman dan kode etik yang harus dijaga, yaitu harus memenuhi ketentuan Syari'ah. Harus ada alasan yang dibenarkan oleh Syari'ah dan dilakukan dengan cara-cara yang benar seperti dilarang menyiksa, membunuh wanita, anak-anak dan orang lanjut usia, para pendeta, merusak rumah ibadah, membakar
Edisi Khusus 2003
23
Agama dan Kekerasan
pepohonan, membunuh hewan, dan sebagainya. Fakta nyata mengenai hal ini bisa diambil dari peristiwa klasik yang ditorehkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Dia adalah sosok muslim yang multi peran, yaitu sebagai raja, panglima perang, dan tabib. Sejak tahun 1175, Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi raja Mesir. Ketika berhadapan dengan Richard Lionheart dari Inggris pada Perang Salib (khususnya episode tahun 1187), Shalahuddin Al-Ayyubi adalah panglima perang yang tangguh. Ia memenangkan berbagai pertempuran yang kala itu antara lain berlangsung di bulan Ramadhan. Selain sebagai raja dan panglima perang, Shalahuddin AlAyyubi juga adalah seorang tabib. Ketika Richard Lionheart jatuh sakit, sang tabib Shalahuddin AlAyyubi menyusup ke perkemahan Lionheart, dan mengobatinya. Padahal, Lionheart adalah musuhnya di medan pertempuran, tetapi di luar itu Lionheart adalah pasiennya yang harus dan berhasil ia sembuhkan. Begitulah keagungan etika dan filosofi perang dalam ajaran Islam, menjunjung tinggi nyawa manusia. Peristiwa pengobatan yang dilakukan Tabib Shalahuddin, Panglima perang Islam terhadap Richard Berhati Singa, Panglima pasukan Kristen di medan pertempuran yang dahsyat ini cukup berharga dan relevan untuk kita jadikan pelajaran. Mengapa Shalahuddin harus peduli pada musuhnya sendiri, bukankah membiarkannya sakit dan tidak mengobatinya akan menguntungkan bagi kemenangannya di medan tempur? Mengapa Shalahuddin tidak memanfaatkan kelemahan lawannya untuk kepentingan agamanya, agar balas budi pengobatan itu dibayar dengan memaksanya pindah agama dan memeluk Islam? Ada baiknya peristiwa ini menjadi renungan kita bersama, sebab dalam kasus yang sedikit berbeda, hal yang sama terjadi juga di negeri kita. Ada seorang pendeta yang menyelamatkan sekelompok warga muslim di sebuah daerah dalam kerusuhan Poso, sebaliknya ada juga Kyai yang menyelamatkan sejumlah warga Kristen di daerah yang menjadi konsentrasi warga muslim di Ambon. Tetapi tragisnya, dalam sejarah nasional, umat Islam identik dengan pemberontak yang
24
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
menghalalkan kekerasan. Misalnya pada kasus Kahar Muzakkar, yang dituduh sebagai fundamentalis dan bercita-cita mendirikan Negara Islam dengan kekerasan (pemberontakan). Padahal, Kahar adalah seorang muslim yang memiliki semangat nasionalisme tinggi. Terbukti ia pernah menjadi ajudan setia Bung Karno. Perwira menengah tersebut asli Sulawesi Selatan. Ketika Soeharto ditugaskan ke Sulawesi Selatan, Kahar serta merta harus turun pangkat sementara. Sehingga, di kawasan itu, Soeharto yang asal Jawa menjadi komandan Kahar. Bagi Kahar, hal itu jelas ketidakadilan. Dia adalah pejuang yang gigih melawan Belanda, sehingga RI bisa menyatakan kemerdekaannya. Dia prajurit yang dilahirkan bersama penderitaan rakyat. Sementara itu Soeharto, Nasution dan petinggi militer pada awal kemerdekaan, semula adalah militer didikan Belanda. Inilah yang mendorong Kahar ke luar dari militer republik dan bergabung dengan SM Kartosoewirjo yang menawarkan Negara Islam sebagai alternatif terbaik membangun kedaulatan Indonesia setelah dikuasai berabad-abad oleh penjajah Belanda. Ketidakadilan yang menimpa Kahar bergulir terus menerus dengan perkembangan sejarah nasional. Dalam pelajaran sejarah, Kahar diceritakan sebagai pemberontak Islam yang memaksakan ideologi Islam di Indonesia. Meski Kahar seorang penganut Islam yang taat, dia tidak semestinya disebut pemberontak Islam. Kahar adalah perwira militer diperlakukan tidak adil oleh institusinya. Tampaknya, stigmatisasi atau labelisasi terhadap komunitas Islam sebagai pemberontak tidak saja terjadi pada awal kemerdekaan. Tapi, juga terjadi pada awal Orde Baru, bahkan hingga sekarang. Salah satu contohnya adalah kasus Komando Jihad yang terjadi di awal 1970-an yang bermula dari inisiatif Ali Moertopo memanfaatkan kekuatan Islam untuk melawan bahaya komunisme dari Utara (Vietnam). Amerika ketika itu baru kalah perang melawan kekuatan komunis di Vietnam. Ali Moertopo berpendapat, hanya kekuatan Islam yang bisa melawan ancaman komunisme dari Utara. Kemudian, dijalinlah kerjasama dengan mantan aktivis Darul Islam (DI). Setelah ribuan laskar terbentuk, mereka malah ditangkapi aparat
interfidei newsletter
dengan alasan hendak mendirikan Negara Islam dan memaksakan ideologi Islam untuk menggantikan sistem Pancasila. Laskar tanpa nama itu kemudian diberi nama Komando Jihad oleh Ali Moertopo. Isu komunisme terus digunakan hingga menjelang akhir masa kepemimpinan Soeharto. Ketika Megawati menjadi sosok yang dikagumi rakyat kebanyakan dan Golkar dikhawatirkan kalah pada pemilu berikutnya, lahir sebuah isu, bila Megawati naik, komunisme akan bangkit kembali. Rezim Orba yang semula sangat represif kemudian berbaik-baik dengan komunitas Islam. Masa inilah hingga menjelang kejatuhan Soeharto merupakan masa yang sangat produktif lahirnya berbagai laskar yang dikompori sejumlah oknum militer. Pada masa ini pula (2001), muncul skenario membunuh Megawati Soekarnoputri. Ketika reformasi bergulir dan Soeharto jatuh, hingga kemudian Megawati naik menjadi Presiden RI-5, tiba-tiba Abu Bakar Ba'asyir justru dituduh merencanakan pembunuhan kepada Megawati. Tuduhan itu begitu saja muncul, terutama setelah terjadi tragedi WTC 11 September 2001 melalui pengakuan Omar AlFaruq yang kini keberadaanya diselimuti kabut misteri. Sebagai juru dakwah dan aktivis penegak Syari'at Islam, Ba'asyir berkewajiban menyampaikan hal yang benar. Bila dalam perspektif Islam Presiden wanita tidak diperkenankan, itulah yang mesti disampaikan. Sedangkan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan secara syar'i adalah haram. Bagaimana dengan kasus Imam Samudera, Amrozi dan kawan-kawan yang diduga terlibat kasus peledakan di Legian? Saya harus berdiri pada posisi yang bijaksana. Potensi melakukan tindak kekerasan dapat ditemukan pada diri siapa saja. Memang benar Amrozi dan kawan-kawan terlibat tindak kekerasan. Namun saya yakin, hal utama yang mendorong mereka melakukan itu bukanlah doktrin ideologis, tetapi terutama disebabkan karena mereka menyaksikan adanya ketidakadilan yang nyata di hadapan mereka. Selama pemerintah dan kekuatan bersenjata yang mereka miliki boleh dan benar melakukan tindak kekerasan terhadap warga negaranya, maka orang-orang seperti Amrozi dan kawan-kawan pun merasa boleh dan benar melakukan tindak kekerasan.
Edisi Khusus Candi Dasa
Tampaknya, stigmatisasi
atau labelisasi terhadap komunitas Islam sebagai pemberontak tidak saja terjadi pada awal
kemerdekaan. Tapi juga
terjadi pada awal orde Kesimpulan Dari paparan yang sudah dikemukakan di atas, saya ingin mengakhiri uraian ini dengan beberapa kesimpulan. Pertama, ketidakadilan dalam segala bentuknya merupakan faktor pemicu kekerasan yang paling utama. Ketika sebuah rezim pemerintah gagal menegakkan keadilan, karena buruknya sistem pemerintahan dan jahatnya para penyelenggara kekuasaan, pada saat itu segala bentuk kejahatan maupun tindak kekerasan akan merajalela. Lima puluh tujuh tahun kita hidup berbangsa dan bernegara, di bawah pemerintahan lima orang presiden, apa yang kita dapatkan selain kemelaratan, harga diri penguasa yang tergadaikan, akal sehat yang hilang, harkat dan martabat yang diperjual belikan. Apa yang masih mengikat kita sebagai negara Indonesia yang berdaulat? Lima tahun, sejak 1998 kita terombang ambing tanpa arah di tengah samudera krisis yang ganas. Keganasan krisis pada tahun ke 5 di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mendatangkan begitu banyak derita, kesengsaraan rakyat sudah tidak tertahankan, dan menjelma dalam wujud bunuh diri, kriminalitas, kerawanan sosial, kerusuhan dan frustrasi massal, drop out sekolah dan lain-lain.
Edisi Khusus 2003
25
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
ketidakadilan dengan ketidakadilan yang sama atau melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi yang paling utama, hentikan semua tindak kekerasan dari Aceh hingga Papua, terutama tindak kekerasan yang dilakukan atas nama negara dan dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan bersenjata. Ketiga, mari kita berantas semua ketidakadilan dalam segala bentuknya. Jika kita sepakat, bahwa kemaksiatan atau kemungkaran seperti korupsi, pelacuran, perjudian, narkoba, pelecehan seksual, minuman keras merupakan sesuatu yang haram menurut keyakinan semua agama di negeri ini, mengapa kita tidak bersamasama memberantasnya? Keempat, beri kebebasan seluas-luasnya bagi pemeluk agama menjalankan syari'at agamanya masing-masing secara penuh baik di tingkat kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial kenegaraan. Dan yang terakhir, dan ini yang terpenting, di negeri ini umat non Islam tidak perlu merasa takut terhadap mereka yang disebut Islam garis keras. Hilangkan kekhawatiran terhadap kaum muslimin yang ingin menegakkan syari'at Islam, mereka tidak berbahaya dan tidak pernah mengarahkan kebenciannya kepada orang lain karena perbedaan agama. Ini bukan sekedar retorika, tapi wahyu Allah:
Buku Solidaritas Nusa Bangsa
Setiap muncul penguasa baru, hampir bisa dipastikan mereka senantiasa menyemai keinginan untuk terus mempertahankan kekuasaannya, agar bisa menang dalam pemilu dan berkuasa lagi. Dorongan inilah yang menyebabkan kepentingan rakyat miskin terabaikan, lalu mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana bagi perjuangan politik kekuasaan. Maka jadilah KKN sebagai menu utama pemerintahan, sehingga akibatnya membuat rakyat kian miskin, dan bangsa kita kian lemah dan terhina. Akhirnya nasib rakyat tidak ada yang mengurusi, sementara eksekutif mengajak legislatif melakukan perselingkuhan politik demi mengikuti semua yang dimaui pemerintah. Kedua, dalam keadaan seperti ini yang harus dilakukan, bukan menghadapi
26
Edisi Khusus 2003
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". ( Qs. Al Mumtahanah, 60 : 8-9).
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
PAGAR SEBUAH KEBEBASAN1 Kebebasan tanpa kendali adalah Keserakahan Kebebasan tanpa cinta kasih adalah Kebencian Kebebasan tanpa kebijaksanaan adalah Kegelapan batin (Prajnavira) Pertama-tama saya mengucapkan selamat atas terselenggaranya lokakarya yang memberikan sebuah motivasi bagi terciptanya sebuah jalinan pengertian dan sebuah ruang komunikasi antaragama di Indonesia. Sejak berlangsungnya reformasi di Indonesia kita semua mau tidak mau, suka tidak suka telah mengalami perubahan tatanan berbangsa dan bernegara yang signifikan, diantaranya adalah kehidupan beragama. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajemukan religius yang tengah mengalami tantangan di semua lapisan masyarakat kerap menjadi titik rawan terjadinya konflik. Merupakan panggilan mulia dan tanggungjawab kita, tokoh-tokoh agama untuk berperan aktif dalam menciptakan iklim yang kondusif agar di tengah keberagaman ini tercipta sebuah dialog yang terbuka untuk mengatasi kecurigaan, ketakutan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebuah fenomena tengah merebak di tengah masyarakat kita bahwa pemahaman sebuah agama cenderung diasosiasikan dengan sikap fanatik yang mengarah pada tindakan yang radikal ataupun ekstrim. Kemudian orang dengan mudah menarik benang merah, menuding agama tertentu sebagai pelaku kekerasan karena didasarkan pada cirri-ciri pemahaman tadi. Di lain pihak dengan menyaksikan teror bom, berbagai aksi kekerasan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini, orang skeptis dan tidak percaya bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan menentang
kekerasan; individu/golongan menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga mengakibatkan kekerasan. Dari sini timbullah pemahaman sempit yang seringkali mendiskreditkan agama tertentu dan lahirlah stereotype baru yang membawa perpecahan di tengah anak bangsa. Sinyalemen-sinyalemen semacam ini akan memperkeruh keadaan dan menjadi rintangan bagi kehidupan masyarakat yang harmonis. Ini tidak boleh dibiarkan berlarutlarut. Agama-agama besar di Indonesia tentunya memiliki ideologi yang unik dan perintis ajaran dengan berbagai sebutan: apakah beliau seorang Nabi, Juru Selamat atau Guru Junjungan. Ideologi yang diajarkan dan ditanamkan oleh para perintis ajaran ini sangatlah mendalam dan tidak mudah diartikan begitu saja. Sebaliknya diperlukan kejernihan batin dan pikiran untuk mentranslasikan pesan-pesan suci di dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mudah menafsirkan agama lain dengan hanya membaca penggalan ayat-ayat kitab suci atau melihat praktek ritual tanpa mengerti makna yang terkandung di dalamnya. Tindakan-tindakan demikian hanya akan memicu kebencian yang didasarkan pada kesengajaan mencari-cari kesalahan dan kelemahan keyakinan orang lain. Di sinilah timbul kebutuhan untuk sebuah dialog yang terbuka. Dialog akan menjembatani pengertian sepihak dan makna yang tersirat. Saya percaya bahwa kemampuan mencerap informasi melalui pendengaran merupakan bagian dari kemampuan manusia yang dimiliki sejak di dalam kandungan (Panca Skandha). Selama manusia mampu membuka hatinya untuk mendengar, kesempatan terciptanya kesempatan
1
Untuk lokakarya “Agama dan Kekerasan” yang diprakarsai oleh Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Bali, 18-23 Februari 2003 Indonesia. * Sekjend Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI).
Edisi Khusus 2003
27
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
sebuah dialog yang kondusif masih relevan untuk diperjuangkan dengan segenap tenaga. Seorang ethnolog berkebangsaan Jerman, Konrad Lorenz dalam sebuah penelitiannya pernah mengemukakan bahwa kekerasan adalah bagian dari kodrat manusia untuk dipenuhi, sama halnya dengan rasa lapar (ego manusia yang merupakan kombinasi dari lobbha dvesa dan moha). Bila ini dibiarkan terus-menerus, sifat natural ini akan terakumulasi, pada akhirnya menjadi sebuah kultur budaya kekerasan. Dan bila sudah mencapai tahap ini maka sempurnalah rantai setan kekerasan (vicious circle of violation) yang akan mendominasi hubungan antar manusia. Kekerasan akan muncul bagi s e t i a p individu/kelompok untuk menuruti nafsu keinginannya dan bagi siapa saja yang melawan rasa frustrasi karena berhadapan dengan kekuatan struktur ekonomi, politik dan budaya yang dirasakan tidak adil bagi diri/mereka. Kekerasan muncul untuk meraih kebebasan. Kekerasan akan menekan potensi yang ada pada manusia karena mereka mengacu pada cara termudah untuk penyelesaian suatu masalah, yaitu kekerasan! Semua agama secara pasti menolak kekerasan. Kekerasan tidak memiliki tempat sebagai prinsip bertindak. Kekerasan adalah refleksi pemaksaan kehendak dan bertentangan dengan kekebasan dalam tingkat interaksi sosial. Manusia boleh saja punya kemampuan untuk bebas menentukan setiap pilihannya. Akan tetapi kebebasannya itu haruslah didasarkan pada pertimbangan moral-etique spiritual. Walaupun pada dasarnya setiap agama memiliki kebebasan dalam mengekspresikan keyakinannya namun
para pemimpin agama patut mempertimbangkan faktor kestabilan di dalam masyarakat untuk menunjang kehidupan rohani itu sendiri. Apakah kita dapat beribadah dengan tenang di tengah huru-hara yang terjadi di depan gedung kebaktian atau bahkan di ruas jalan lain? Dialog yang diprakarsai oleh DIAN/Interfidei memungkinkan kita untuk mengatasi sikap skeptis dan memulai budaya pengendalian diri sebagai sebuah pagar dalam mencari sebuah k e b e b a s a n . Pengendalian diri ini paling tidak harus mengatasi kebencian, keserakahan dan kegelapan batin, sehingga kebebasan yang kita peroleh tidak merugikan orang lain. Tetapi sebaliknya akan menjadi saluran berkah dan menambah kebahagiaan bagi individu/ kelompok disekitar kita. D e n g a n lokakarya “Agama dan Kekerasan” yang diselenggarakan oleh DIAN/ Interfidei bekerja sama dengan Ashram Gandhi di Bali ini, semoga kita semua dapat duduk bersama bukan untuk mempermasalahkan perbedaan di tengah kehidupan yang majemuk, di tengah keyakinan yang berbeda bahkan ekspresi iman yang beragam. Lebih penting dari itu, kita dapat duduk bersama untuk mempersatukan sumber daya yang unik untuk menyelesaikan tantangan bersama. Mencuatkan persamaan-persamaan tanpa mengabaikan indahnya keberagaman merupakan tali hati sebagai insan pertiwi yang berbhinneka tunggal ika. Semoga kita semua dapat mengidentifikasi akar dari permasalahan dan memberi kontribusi untuk negara dan bangsa yang stabil, aman dan sentosa. Semoga semua makhluk hidup dalam bahagia. []
Semua agama secara pasti menolak kekerasan. Kekerasan tidak memiliki tempat sebagai prinsip bertindak. Kekerasan adalah refleksi pemaksaan kehendak dan bertentangan dengan kekebasan dalam tingkat interaksi sosial.
28
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
AGAMA DAN KEKERASAN I Nyoman Sadra*
Dalam perjalanan hidup bangsabangsa di dunia tidak ada satu negarapun yang luput dari “kekerasan”. Sejarah telah mencatat berbagai peristiwa perang atau kekerasan ketika manusia menjadi sasaran pembantaian dari manusia lainnya. Atas peristiwa tersebut manusia hanya bisa meratapi apa yang telah terjadi tanpa bisa mencegahnya bahkan sampai sekarang kekerasan masih terus terjadi. Hal itu mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi “Violence breeds another violence” (kekerasan melahirkan kekerasan lainnya). Yang patut kita sayangkan adalah bahwa hal ini terjadi di antara manusia yang secara sengaja merencanakannya. Dan bukan di antara binatang yang tidak mampu berpikir untuk memilah-milah apakah hal yang akan dilakukannya adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan. Yang lebih celaka lagi adalah ketika kekerasan terjadi, kita sebut “kekerasan antaragama” atau dengan alasan agama. Kita sulit untuk menerima istilah itu karena antara agama dan kekerasan merupakan dua hal yang tidak mungkin akan berada pada saat dan ruang yang sama. Kita semua tahu bahwa tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk saling membantai, melainkan justru menentang segala bentuk kekerasan. Namun, jika pada kenyataannya kita semua pernah mendengar atau bahkan mengalaminya secara langsung, maka pertanyaannya adalah “pantaskah atau benarkah peristiwa kekerasan itu disebabkan oleh atau atas nama agama sehingga kita sebut konflik atau perang agama?” Jawabnya tentu saja “tidak”. Lalu? Untuk itu marilah kita coba lihat secara lebih mendalam siapa sebenarnya manusia itu. Proses lahirnya seseorang berawal dari
adanya nafsu sehingga secara alamiah dari sejak baru lahir kita telah berbekal nafsu. Sejalan dengan perkembangan fisiknya, nafsunya pun ikut berkembang, kemudian menjelma menjadi berbagai macam keinginan. Hal ini wajar karena memang merupakan tuntutan hidup. Di dalam usaha untuk memenuhi tuntutan hidup itu terjadilah persaingan antarmanusia karena masing-masing ingin mendapatkan apa yang diinginkannya. Dari proses inilah lahir apa yang kita sebut “ego”. Hal ini tidak saja terjadi pada manusia, tetapi juga pada binatang. Namun manusia mempunyai satu kelebihan dari binatang yaitu kemampuan berpikir. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang hanya mengandalkan insting tanpa mampu berpikir. Jika manusia tidak sadar, apalagi tidak mau sadar akan kemampuannya untuk berpikir dan membiarkan nafsu dan egonya bergelora tanpa kendali, maka dapat dibayangkan bagaimana manusia akan bersaing dalam memenuhi tuntutan nafsu dan egonya. Dalam dunia politik kita kenal istilah ”tujuan menghalalkan cara” (Machiavelli). Jika ini yang dipraktekkan oleh setiap manusia, lalu apa bedanya kita dengan binatang? Kita pasti yakin bahwa manusia akan jauh lebih jahat dari binatang. Untuk mencegah prilaku manusia supaya tidak seperti binatang inilah agama memainkan peranannya. Misalnya, agama Islam mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan umat manusia dengan segala macam perbedaannya untuk saling mengenal, memahami, dan menghormati. Agama Kristen mengajarkan bagaimana manusia harus saling mengasihi dan menolong dengan segala pengorbanannya. Agama Buddha mengajarkan bagaimana kita menghilangkan segala macam bentuk penderitaan. Dan agama
* Ketua Gedong Gandhi Ashram, Candi Dasa, Karangasem, Bali.
Edisi Khusus 2003
29
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan Hindu mengajarkan Ahimsa yaitu untuk tidak melakukan kekerasan karena pada hakikatnya roh yang bersemayam di dalam diri kita adalah sama dengan roh yang bersemayam dalam semua makhluk hidup. Dari apa yang diajarkan oleh keempat agama di atas, dan kita yakini bahwa agama yang lain pada dasarnya mengajarkan hal yang sama, maka sangatlah mustahil jika ada kekerasan atau konflik yang disebabkan oleh agama atau demi agama. Oleh karenanya tentulah ada hal lain yang menjadi penyebabnya. Jika ada konflik atau kekerasan yang berasal dari penolakan terhadap ajaran agama lain maka tidak sepantasnyalah penolakan ini harus berakhir dengan kekerasan. Karena pemelukan terhadap suatu agama adalah hak setiap individu yang dijamin oleh undang-undang. Jadi jika agama bukan merupakan penyebab dari sebuah konflik atau kekerasan maka yang pasti dapat diterima semua orang, penyebab konflik atau kekerasan adalah berbagai bentuk ketidakadilan yang kesemuanya bersumber dari nafsu dan ego. Ketidakadilan ini akan menyeret manusia ke dalam kesengsaraan dan jika dirasakan takkan berakhir maka rasa frustrasipun takkan dapat dihindarkan. Dalam keadaan seperti inilah kita akan sangat mudah diprovokasi guna melakukan berbagai tindakan termasuk tindakan kekerasan.
Oleh karena itu kita semua harus waspada terhadap mereka yang penuh nafsu dan ego dan berupaya untuk memenuhinya dengan cara-cara adu domba. Nama sebuah agama yang
Jadi jika agama bukan
merupakan penyebab dari sebuah
konflik
atau
dapat
diterima
semua
atau
kekerasan
adalah
kekerasan maka yang pasti
orang, penyebab konflik berbagai
bentuk
merupakan simbol suci dan sangat dihormati oleh pemeluknya akan sangat mudah dan ampuh
foto.dian Salah satu pavilyun di Ashram Gedong Gandhi
30
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
Gejala Bergesernya “Tembang Ilir-Ilir” Menjadi “Perda Syariat Islam” Suhadi* Tembang Ilir-Ilir menjadi simbol, bagaimana dan dengan cara apa Islam pernah disebarkan di tanah Jawa sekitar abad ke-14 dan 15. Konon, menurut sebagian cerita rakyat, Ilir-Ilir digubah dan dipopulerkan oleh Sunan Giri, alias Raden Paku, Prabu Satmata atau Sultan Abdul Faqih, putera Maulana Ishak dari Blambangan, Jawa Timur. Oleh ibu angkatnya, Nyi Gede Maloka, Raden Paku diserahkan kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk nyantri kepadanya. Di pesantren Sunan Ampel yang terdapat di Ampeldenta (Surabaya) inilah Raden Paku kemudian bertemu dan belajar agama bersama sebagian Wali Sanga (Wali Sembilan) termasuk putera Sunan Ampel sendiri, Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Dalam pertemuan antara sebagian Wali Sanga, hubungan agama, budaya dan tradisi juga menjadi perdebatan yang sangat sengit. Namun akhirnya, secara umum terdapat kesepakatan, untuk menyebarkan Islam dengan tetap berpijak pada tradisi dan budaya lokal. Penggalan lagu Ilir-Ilir berbunyi demikian, “cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, lunyulunyu yo pene'en, kanggo mbasuh dodot iro, dodot irododot iro kumitir bedah ing pinggir”. Maksudnya, cah angon (si pengembala) diumpamakan seorang santri yang menjalankan syariat agama. Sementara “blimbing” perumpamaan sebuah pohon belimbing yang buahnya bergelombang lima ruas sebagai kiasan dari sholat lima waktu. Meskipun licin hendaknya harus tetap engkau panjat (lunyu-lunyu yo peneken). Artinya kendati sholat itu berat, tetapi kerjakanlah juga. Untuk membasuh hati dan jiwamu yang kotor (kanggo mbasuh dodot iro, dodot iro kumitir bedah ing pinggir). Bait tembang Ilir-Ilir di atas menarik, untuk melihat kecenderungan rencana penerapan
Syariat Islam, salah satunya menyangkut sholat lima waktu, yang menggejala di berbagai daerah. Anjuran yang sama, sholat, namun dengan sentuhan dan orientasi yang begitu berbeda. Yang satu dilontarkan melalui lagu dolanan anakanak (kultural) dan yang lain melalui peraturan daerah (struktural, kekuasaan). Yang satu orientasinya begitu jelas menjangkau kedalaman batin, membasuh hati dan jiwa (moralitas) dan yang lain tidak pernah dirumuskan secara pasti apakah akan sampai menyentuh moralitas (korupsi, manipulasi) atau hanya sekedar aksesoris birokrasi agar terkesan religius. **** Sebagai refleksi tentang relasi agama, masyarakat dan negara, menarik dicatat di sini kecenderungan yang muncul belakangan ini, yakni gagasan penerapan syariat Islam secara bertahap di beberapa daerah melalui struktur kekuasaan pemerintah lokal. Preseden kecenderungan tersebut setidaknya terlihat di Pamekasan, Cianjur, Garut, Ciamis, Indramayu, Tasikmalaya, dan Sulawesi Selatan. Muatan, dengan materi dan tahap penerapannya cukup beragam. Di Pamekasan didahului dengan surat edaran anjuran berjilbab di kalangan instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Selain itu juga telah dikeluarkan aturan tentang sholat berjamaah bagi PNS yang beragama Islam. Di Cianjur pemerintah membuat percontohan “perkampungan Islam” yang menerapkan syariat Islam berdasarkan al-Quran dan Hadits. Sementara itu, di Kabupaten Maros, Sulsel, Dikeluarkan surat edaran kewajiban PNS pria memakai baju koko dan peci pada hari Jum'at
* Mahasiswa studi Agama dan Lintas Budaya program pascasarjana UGM, aktif di LKiS Yogyakarta.
Edisi Khusus 2003
31
Agama dan Kekerasan
interfidei newsletter
dan bagi perempuan Eksperimentasi berjilbab sepanjang t e r s ebut, oleh Merupakan sikap yang sangat pekan. Di beberapa kalangan “pembela” sempit kalau kita meredusir s y a r i a t I s l a m , tempat aturan-aturan tersebut dipahami syariat Islam hanya dalam d i p a n d a n g s a m a sebagai tahap awal sakralnya dan masalah jilbab, sholat, dan zina m dari usaha penerapan e r u p a k a n dalam konteks kekinian. Syariat keberlanjutan dari syariat Islam dengan memanfaatkan UU Islam itu bukan rumusan aturan, a p a y a n g p e r n a h otonomi daerah. d i u k i r o l e h namun hidup itu sendiri. Lebih sistematis M u h a m m a d . lagi usaha penerapan Sementara kalau kita syariat Islam cermat mengkaji berlangsung di Tasikmalaya. Sejak tahun 2001, sejarah politik Islam, setidaknya melalui kajian P e m e r i n t a h D a e r a h T a s i k m a l a y a t e l a h Khalil Abdul Karim dalam “al-Islam baina daulah mengeluarkan Perda No. 3/2001 tentang diniyah wa ad-daulah madaniyah”, pengalaman alRencana Strategis (Renstra) Kabupaten daulah al-diniyah (negara agama) merupakan Tasikmalaya tahun 2001-2005. Renstra ini secara pengalaman yang unik dan hanya dimiliki dan khusus memuat visi kabupaten Tasikmalaya berhenti pada pengalaman nabi Muhammad saja, yang Religius/Islami. Secara sekilas Renstra ini tidak generasi setelahnya. Sehingga bagi generasi terkesan “datar” dan “wajar”. Namun, jika kita setelahnya tidak berhak mencari legitimasi melihat derivasi dari visi tersebut kita akan bisa kesakralan apapun dan dari manapun. melihat ke mana arah sebenarnya eksperimentasi Lebih lanjut, pengalaman Muhammad pun seperti ini. Visi tersebut setidaknya telah sebenarnya berada dalam konteks dan diterjemahkan dalam beberapa peraturan dalam historitasnya sendiri. Bahkan dalam banyak produk himbauan, keputusan dan Surat Edaran kasus Muhammad sebenarnya juga mengalami Bupati. Materimya menyangkut pengaturan “keluwesannya” dalam konteks-konteks yang pemisahan laki-laki dan perempuan dalam berbeda di zamannya sendiri. Saat itu ad-din kolam renang, kewajiban mendirikan tempat (agama) masih menjadi sesuatu yang hidup, tidak ibadah di tempat wisata. Kewajiban memiliki statis, dan terus berkembang. Mohammed kemampuan membaca al-Qur'an bagi siswa- Arkoun dalam Pour Une Critique de la Raison siswi SD dan SLTP yang beragama Islam. Islamique-nya menunjukkan secara sistematis Kemudian juga menyangkut anjuran untuk bagaimana pengaruh imaginasi (l'imaginaire) memakai pakaian yang menutup aurat Muhammad, para Sahabat, dan bahkan para (perempuan berjilbab) bagi siswa SD sampai musuh turut mengkonstruk diskursus apa yang Perguruan Tinggi. dimunculkan dalam al-Qur'an. Sehingga merupakan sikap yang sangat sempit kalau kita **** meredusir syariat Islam hanya dalam masalah Gejala kecenderungan penerapan syariat jilbab, sholat, dan zina dalam konteks kekinian. Islam bisa kita baca dalam berbagai perspektif. Syariat Islam itu bukan rumusan aturan, namun Pertama, perspektif wacana keagamaan. Syariat hidup itu sendiri. Setiap jalan (at-thariqah), kata Islam yang sekarang banyak diperbincangkan semantik yang sepadan dengan kata syariah, dan oleh kalangan tertentu ingin “diterapkan”, untuk mencapai hidup yang adil, beradab dan diantaranya merujuk pada eksperimentasi umat kesejahteraan ekonomi yang lebih luas itu sendiri Islam yang terjadi paska Nabi Muhammad adalah syariah. Demokratisasi, pemenuhan hak meninggal, yakni sistem kekhalifahan yang sipil, hak kultural dan hak ekonomi komunitas menemukan momentum “keberakhirannya” di sudah barang tentu berarti syariah dalam konteks tangan kekhalifahan Utsmaniyah di Turki abad kekinian kita. Setingkat dengan ad-daulah ke empat belas Hijriyah. madaniyah (negara madani) dalam konteks nabi
32
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
sebenarnya merupakan delegitimasi wacana “radikal” yang cenderung menguat selama ini, meskipun harus kita akui bahwa siapapun juga berhak mengungkapkan wacana keagamaannya. Kedua, perspektif budaya. Islam yang berkembang pesat mulai abad empat belas di tanah Jawa merupakan Islam yang sangat dekat dengan tradisi dan budaya. Nies Mulder dan Mark R. Woodward mengkaji secara serius wilayah ruang batin Islam dan masyarakat Jawa ini. Bahkan dalam sejarah Kristen abad delapan belas di Indonesia, terdapat simpul-simpul yang sangat mendekatkan Kristen dengan Jawa melalui tokoh semisal Tunggul Wulung, Coolen, Anthing dan Sadrach. Sehingga sebenarnya Islam dan Kristen yang berkembang kemudian bukan Islam maupun Kristen yang berdiri sendiri. Akan tetapi “Islam Jawa” (Islamic Javanese) atau “Kristen Jawa” (Christian Javanese). “Komunitas sinkretis” inilah yang sebenarnya memiliki modal dasar yang kuat untuk mengapresiasi pluralitas yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat kita yang majemuk. Penerapan syariat Islam melalui peraturanperaturan daerah ingin meminggirkan komunitas “Islam budaya” yang selama ini ada untuk digantikan dengan “Islam murni”. Setara dengannya “Islam Jawa, “Islam Sunda”, “Islam Banjar”, “Islam Bugis”, “Islam Sasak” dan seterusnya, akan digantikan dengan “ISLAM”. Dalam konteks Perda Tasikmalaya bervisi Religius Islami, tatanan masyarakat “Islam Sunda” ingin digantikan oleh masyarakat yang “lebih Islami” melalui kekuasaan birokrasi lokal. Kesalehan produk akulturasi agama dan budaya yang tercermin dalam pepatah orang Sunda: cageur-bageur, someah ka semah, nyah ka sasama (sehat lahir batin, ramah pada tamu, tabu bertengkar dengan saudara) akan digantikan dengan norma dalam batas-batas beragama atau kurang beragama, bertakwa atau kurang bertakwa menurut standar kelompok Islam tertentu yang dilegitimasi negara. Ketiga, perspektif ekonomi. Dengan dimunculkannya Perda syariat Islam, agama ditundukkan menjadi salah satu penopang struktur sosial ekonomi yang ingin dibangun oleh pemerintah lokal. Sementara sistem ekonomi yang ingin dikembangkan bersama dengan
Edisi Khusus Candi Dasa
otonomi daerah semakin menegaskan ideologi liberalisme yang mengedepankan pembangunan dalam arti “semu”. Kemajuan sosial ekonomi masyarakat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), dihitung atas dasar variabel kualitas pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat. Kebijakan semacam ini seringkali tidak memiliki perhatian yang serius terhadap problem yang dihadapi petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota, atau acapkali malah menyingkirkan kelompok sosial ekonomi seperti itu. Karena agama menjadi salah satu elemen penyangga struktur, maka agama kehilangan kemampuan kritisnya terhadap struktur “kemapanan” yang ada. Apabila umat Muslim menerima kebijakan syariat Islam sama saja mengantarkan Islam itu sendiri ke dalam perangkap struktur penindasan. Secara lebih konkrit, penerapan syariat Islam sebenarnya malah mengaburkan problem sosial ekonomi yang menjadi salah satu agenda utama reformasi. Masyarakat dibodohi dengan alih-alih pemerintah lokal telah bersih dengan indikasi menerapkan syariat Islam dan mengedepankan simbol-simbol agama dalam birokrasi dan kebijakannya. Padahal di balik itu korupsi, manipulasi anggaran pembungunan, pemilihan birokrasi lokal yang “kotor” tetap saja berlangsung. Dan agama, ketika terlibat dalam struktur kekuasaan, mandul sebagai oposan dan agen kritis terhadap struktur kekuasaan. Keempat, perspektif hukum. Meskipun perlu dikaji lebih seksama lagi, terdapat indikasi ketidakkonsistenan yuridis dalam ketetapan peraturan daerah yang berbasis syariat Islam. Pasal 29 UUD 1945 yang isinya tetap dipertahankan, setelah dipersoalkan oleh sebagian kecil ormas dan partai Islam dalam proses amandemen, memberikan gambaran tetap diakuinya kebebasan ekspresi keyakinan dan keberagamaan tanpa campur tangan negara. Sementara dengan adanya perda syariat Islam, pemerintah lokal melalui otonomi daerah mencoba turut campur dalam keberagamaan masyarakat. Apakah keputusan semacam ini secara konstitusional bisa diterima? Kalau kita merujuk pada UU No. 22 tahun 1999 pasal 7 yang menyatakan bahwa terdapat lima hal (moneter,
Edisi Khusus 2003
33
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
Muhammad. Apa yang penulis ungkapkan di sini Hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, agama dan hukum) yang tetap menjadi kewenangan pusat dan tidak dilimpahkan ke daerah, jelas perda syariat Islam perlu dikaji lagi keberadaannya. ********** Ironisnya, tidak jarang terjadi syariat Islam hanya menjadi komoditi, bukan merupakan hasil refleksi yang mendalam sebagai bagian dari jalan keluar mengatasi problem-problem di tingkat lokal. Dan ini merupakan titik terlemah dari gagasan penerapan syariat Islam. Lebih parah lagi di beberapa tempat, syariat Islam menjadi bagian kompensasi (taruhan) politis antara beberapa fraksi politik lokal yang sedang berkontestasi, baik dalam kasus antar fraksi di DPRD, pemilihan bupati, atau lainnya. Kemudian, apa makna eksistensi syariat Islam bisa menjadi isu yang mengaburkan agenda-agenda reformasi dan otonomi daerah di bidang ekonomi, politik dan hukum serta memandulkan proses penciptaan pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi dan kolusi. Kenyataan ini merupakan permasalahan yang serius di tingkat lokal, bergesernya dan teredusirnya agenda reformasi ke dalam agenda-agenda yang “sempit”. Oleh karena itu salah satu prioritas gerakan masyarakat sipil di tingkat lokal seharusnya diarahkan ke masalah ini. Apa yang harus dilakukan adalah mengembalikan perhatian semua komponen lokal untuk memikirkan dan mencari jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang sebenarnya lebih riil dan menyangkut hajat hidup paling mendasar masyarakat. Tentunya wacana yang dikedepankan kemudian juga bukan wacana agama yang cenderung mengabdi pada agenda liberalisme global. Lebih penting dari semua itu adalah bagaimana wacana agama mampu membantu transformasi ekonomi, sosial dan budaya di tingkat lokal dan jelas keberpihakannya. Sebab tujuan akhirnya bukan wacana agama itu sendiri
Salah satu ekspresi perdamaian adalah Berdendang Dan Menari Foto: dian
Warga Ashram sedang menari
34
Edisi Khusus 2003
baik yang radi ilir memberi se kalangane (sela
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
BEBERAPA ASPEK TENTANG KONFLIK DAN REKONSILIASI DALAM KONTEKS “AGAMA DAN KEKERASAN”1 Wahadi Ghuna* Pendahuluan Kondisi bangsa akhir-akhir ini semakin carut-marut dalam segala aspek kehidupan terutama dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya serta hankamnas, begitupun dengan Sara yang turut mewarnai situasi ini. Semuanya semakin diperjelas ketika media massa (cetak maupun elektronik) begitu vulgar menayangkan atau memberitakan peristiwaperistiwa yang terjadi di masyarakat, sehingga mudah dicerna oleh kelompok elite maupun masyarakat sipil yang termarjinalkan. Suasana ini diperkeruh dengan kebijakan eksekutif dan legislatif yang tidak aspiratif terhadap rakyat. Maka tidak salah jika bangsa ini dilanda krisis moral yang berlanjut juga pada pemahaman terhadap agama yang sangat lemah. Agama yang adalah wahyu Tuhan atau aturan yang disucikan, kini menjadi slogan belaka. Nama agama muncul dengan sangat menonjol dan dikait-kaitkan dengan politik. Hal ini bukan barang baru bagi konteks Indonesia. Agama selalu dipakai dalam pertarungan politik di negara ini. Agama dijadikan sebagai simbol kekuatan legitimatif partai atau kekuasaan. Agama dipakai sebagai topeng untuk melakukan tindak kekerasan demi memenangkan politik kekuasaan dan kepentingan pejabat yang bersifat sementara, bukan untuk kepentingan rakyat. Fenomena agama sebagai penyejuk jiwa, juru damai dan aturan perilaku kehidupan manusia, telah disalahartikan. Agama juga muncul dalam peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi di tanah air ini. Agama tampil dengan wajah yang mengerikan dan ekspresi kekerasan yang luar biasa, membunuh, menjarah, merusak
dan lain-lain. Agama dipakai sebagai ungkapan teror yang mematikan. Peristiwa “Bom Bali” mempertegas bahwa wajah agama benar-benar identik dengan kekerasan. Ulasan tentang konflik antaragama/etnis di Indonesia beberapa tahun terakhir ini telah banyak ditulis orang, bahkan telah menarik perhatian banyak pakar di luar negeri. Betapa orang terkesima dengan kejadian yang begitu cepat meledak dan berkembang di mana-mana seperti wabah yang mematikan dan mengorbankan banyak jiwa manusia. Padahal sebelumnya masyarakat hidup aman dan tentram, menunaikan tugas mereka sehari-hari. Agama dan Kekerasan Tuhan itu agung, terlalu agung untuk dipahami oleh kemampuan intelektual dan kesadaran spiritualreligius manusia. Kita hanya tahu dan percaya kalau Ia penuh kasih dan pemaaf saat kita tunduk dan menyesal. Ia Maha Kasih manakala kita luluh dan mohon ampun. Ia setia menanti semua manusia kembali ke jalan kasih, kasih agung yang tak bertepi dan tidak terjangkau oleh kesadaran afektif dan pengetahuan kognitif umat manusia. Karena manusia itu terbatas, maka ia tidak mampu mengurai secara tuntas tentang Tuhan dan kasihNya, sebab Dia memang beyond the science. Demikian juga agama sebagai hasil budaya. Ia akan memasuki kegagalan kalau mulai merasa lebih tahu wajah Tuhan dan tepian kasihNya. Melalui agama, kita hanya mau mengaku dengan rendah hati bahwa Tuhan peduli, menjaga dan menyelamatkan manusia. Dari ajaran agama kita
1
Refleksi Forum Cinta Damai Lampung, Pengantar diskusi Antar-Iman di Bali: 18-23 Februari 2003. * Ketua Forum Cinta Damai, Lampung.
Edisi Khusus 2003
35
Agama dan Kekerasan
Memahami kalau Tuhan menaruh belas kasihan pada orang yang salah, sesat, dan berdosa. Tuhan memang memberi kemerdekaan bagi tiap manusia untuk membangun dan mengembangkan kemanusiaannya untuk beroleh hidup yang baik, damai, sentosa dan sejahtera. Bahkan dia menolong serta memberi rahmat dan berkat bagi mereka yang merindukan semua itu sekaligus menolak penggunaan kekerasan untuk memperoleh semua itu. Kekerasan massa adalah wujud yang kasar dari pemaksaan kepentingan pada pihak yang lain. Pemaksaan ini menyebabkan luka, sakit hati, dan penistaan kemanusiaan. Karena itu manusia dilarang membangun diri, keluarga dan masa depan anak-anak di atas luka dan darah. Tuhan, yang konsisten peduli pada manusia mengajarkan kita untuk tekun melayani sesama yang susah, merawat yang terluka dan memihak yang diperlakukan tidak adil. Benarkah Tuhan tidak peduli pada umatnya? Ataukah hari-hari ini Tuhan tertegun dan sedih menyaksikan umatNya saling melukai dan menganiaya? Tuhan berlinang air mata menyaksikan seorang perempuan terinjak, anakanak ketakutan dan kita saling menyayat. Tuhan yang tidak pernah berubah, karena Ia abadi. Ia menginginkan kita saling mengasihi. Ia senantiasa menatap kita dalam kasih tak bertepi, berdiri bersama mereka yang diperlakukan tidak adil. Ia teguh menentang semua kekerasan. Pemahaman tentang Kekerasan Massa Fenomena gerakan massa yang destruktif di Indonesia saat ini hanya bisa dipahami kalau diruntut ke masa orde baru. Era ketika rakyat banyak, terutama rakyat kecil, hidup dibawah kebijakan yang represif. Rakyat sering dianggap hanya sebagai instrumen pembangunan dan bukan subyek yang mampu menyelenggarakan dan mengendalikan pengembangan kemanusiaan. Saat itu hanya pemerintah yang tahu, boleh dan layak menetapkan kebijakan nasional. Suara rakyat tidak pernah didengar, tetapi hanya didengungkan untuk justifikasi atas kebi-jakan politik. Penerapan hukum memihak penguasa dan pengusaha, bukan pada kebenaran rakyat. Agama dipakai untuk legitimasi kekuasaan,
35 36
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
bahkan dipakai untuk adu domba sesama umat beragama demi kelanggengan penguasa. Policy di bidang keagamaan kerap rancu. Umat beragama dipandang perlu dibina oleh pembina (Bimas) dari Departemen Agama. Pertumbuhan spiritual rakyat diatur dan diarahkan oleh negara. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menata aktivitas umat beragama. Tanpa rasa berdosa, negara (penguasa) melakukan intervensi atas pemilihan pimpinan keagamaan. Salah satu unsur trilogi kerukunan umat beragama adalah: kerukunan antarumat beragama dengan pihak pemerintah. Seolah ada seberang yang memisahkan umat beragama dan pemerintah. Di satu sisi umat beragama harus dibina dan di sisi lain harus rukun (patuh?). Kalau tidak rukun, dan terjadi konflik baik antarumat beragama maupun dengan pemerintah, yang salah adalah umat, bukan pembina? Policy ini membuat umat beragama terluka. Untuk waktu yang lama semua umat beragama harus merawat sendiri luka itu. Sementara, sebelum luka itu sembuh, segera muncul luka baru yang lain. Namun, umat beragama tetap setia mematuhi firman Tuhan dengan tetap tekun menjaga kerukunan dan saling mengulurkan tangan. Masalah timbul setelah ada agitasi dan provokasi. Ada kelompok yang memakai agama untuk meraih political interest. Lalu agama menjadi kuda tunggangan untuk ambisi politik. Juga ada yang menunggangi agama untuk memperoleh akses ekonomi. Agama menjadi jalan akumulasi kesempatan dan kekayaan. Pelan tapi pasti dan terus berlangsung, realitas ini bermuara pada degradasi kesadaran spiritual religius. Sehingga terjadi kecurigaan dan kecemburuan yang menodai kesadaran agama. Mereka yang berbeda dianggap lawan, sehingga dengan cara apa saja, harus ditaklukkan. Ini sangat ironis. Tuhan menginginkan kita saling mengasihi, namun atas nama Tuhan kita malah saling menaklukkan. Puncak dari situasi saling curiga, saling cemburu dan saling menaklukkan adalah kekerasan atas nama agama. Masyarakat yang masih harus merawat luka, sebab represi yang panjang dan menyakitkan, kini harus bergerak menaklukkan pihak lain. Kekerasan yang semula adalah bentuk
interfidei newsletter
pembalasan luka-luka politik, ekonomi dan sosial, kini menjadi semangat keagamaan. Ini tragedi religius. Spiritual Menanggulangi Kekerasan Massa Di satu sisi, realitas kekerasan massa kita terima dengan prihatin, rasa sesal dan mohon ampunan pada Tuhan. Di sisi lain, realitas ini menjadi panggilan bagi tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga keagamaan. Mereka, baik sebagai pribadi maupun sebagai institusi, harus turut membenahi dan menata kembali perilaku umat beragama. Tokoh dan lembaga keagamaan harus menegur dan mengingatkan umat kalau manusia adalah hamba Tuhan. Bukan hamba politik, atau homo economicus, pelayan dari Mamon. Orang beriman harus menempatkan kemanusiaan lebih tinggi dari semua yang ada di atas bumi. Sebab manusia adalah ciptaan yang luhur dan senantiasa dikasihi sang Pencipta. Kini, perlu ditegaskan bahwa agama bukan ambisi politik dan keserakahan ekonomi. Agama memandang politik dan ekonomi sebagai wahana untuk melayani kemanusiaan. Kedudukan, kewenangan, dan kesempatan serta kekayaan adalah amanah untuk merawat luka rakyat. Melalui khotbah, dakwah dan pengajaran, rakyat dicelikkan apakah mau menjadi alat atau korban kepentingan politik dan pertumbuhan ekonomi? Mereka harus diberdayakan untuk membangun iklim politik yang benar, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Mereka harus mampu menolak saat hendak digiring pada politik adu domba antarumat beragama, antar-etnis, antar-kelompok dan sebagainya. Kesimpulan dan Saran Kekerasan massa yang berlangsung saat ini
Edisi Khusus Candi Dasa
adalah masalah yang berakar pada kebijakan represif dan akumulasi luka-luka rakyat di masa lalu. Bukan berakar pada kesadaran religius atau ajaran agamawi. Sebab agama tidak menawarkan jalan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan. Saat ini agama-agama hanya menjadi kuda tunggang dari segelintir elite politik dan mereka yang tamak. Agama dijadikan isu untuk menyingkirkan orang lain demi memperoleh kedudukan dan kesempatan. Artinya, mereka melakukan itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, tetapi hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri. Walaupun agama mengalami manipulasi, dan umat beragama mengalami degradasi spiritual religius, kewibawaan ajaran agama untuk menyatakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan tidaklah luntur. Ajaran agama tetap handal sebagai potensi menegakkan nilainilai kemanusiaan dan pemihakkan pada mereka yang mengalami ketidakadilan. Kesadaran religius, yaitu pengharapan pada Tuhan, mampu memulihkan luka rakyat, membina kerukunan dan menyatukan semua orang untuk hidup dalam cinta kasih. Semua upaya dari tokoh dan lembaga keagamaan ini akan menjadi lebih efektif kalau ditopang pemenuhan kebutuhan prinsipil lain. Dalam berbangsa dan bernegara harus terus dikembangkan proses demokratisasi, supremasi hukum, keadilan ekonomi dan pemerintahan yang berwibawa. Agenda awal untuk pencapaian cita-cita ini adalah pembentukan civil society. Para pemimpin dan institusi keagamaan juga terpanggil turut serta mewujudkannya.[] “Tuhan memberikan jalan keluar bagi orang yang mempunyai kemauan berusaha” “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia”
Adalah suatu kenyataan bahwa kerinduan akan hidup berdampingan agama-agama di Indonesia secara damai ada dalam hati banyak orang (Franz Magnis-Suseno, SJ)
Edisi Khusus 2003
37
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
KEKERASAN DAN KRISIS PLURALISME DI YOGYAKARTA Studi Kasus Fenomena LJ, GPK dan Gepako1 Laode Arham2 Pengantar
kota kedua terbesar di Indonesia bagi lahan bisnis narkoba. Selain itu beredar juga sejumlah media massa yang menguras birahi manusia, mempertontonkan bagian molek tubuh wanita, sehingga mengundang reaksi amarah dari beberapa kalangan umat Islam. Bisnis judi dan togel yang ikut menyebar ke pelosok-pelosok kota, menjadi lahan subur bagi para pebisnis dan aparat (pemerintah, dewan dan polisi) yang haus uang haram. Degradasi akhlak yang mereka sebut sebagai maksiat kian menumpuk, memuncak akhirnya menikam jiwa kesolehan umat. Situasi tersebut lalu disikapi dengan gerakan amar ma'ruf nahi munkar. Secara massif gerakan anti maksiat ini, dilakukan oleh GPK dan beberapa elemen lain termasuk Laskar Jihad.
Yogyakarta merupakan salah satu sumbu dari gerakan-gerakan keagamaan neo-konservatis dan politik Islam yang radikal. Di sini, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) mendeklarasikan diri dan berpusat (Agustus 2000). Di sini pula Gerakan Pemuda Ka'bah (2000-2002) menjalankan misi politiknya yang memiriskan hati. Fenomena krisis yang ditampilkan MMI, Laskar Jihad dan GPK, tidak semata-mata bermula dari hadirnya mereka sebagai salah satu kelompok masyarakat, tetapi juga berangkat dari sejumlah problem yang timbul di tingkat aparat dan masyarakat. Problem di tingkat masyarakat dan aparat inilah yang juga menjadi salah satu sumber masalah sosial-politik yang membuat runyam wajah Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota Laskar Jihad3 pendidikan, ternyata menjadi sasaran yang empuk bagi masuknya bisnis haram narkoba. Pada suatu Minggu pagi, Januari 2000, saat Sejumlah sumber, baik dari pemerintah maupun umat Islam menjalankan ibadah puasa; saat suara LSM menyebutkan bahwa Yogyakarta adalah pemberantasan judi, pornografi dan maksiat 1
Ditulis untuk partisipasi dalam Forum Refleksi Kelompok Antar-Iman se-Indonesia, Bali 18-23 Februari 2003. pada mulanya, tulisan ini merupakan refleksi pribadi, untuk asistensi Robert W. Hefner (Boston University), dalam Riset Islam dan Pluralisme di Yogyakarta (2001-2002). 2 Penulis adalah anggota Komunitas Tikar Pandan Yogyakarta, alumni Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3 Januari 1999, konflik Ambon meletus. Setahun kemudian, Januari 2000, ustaz Ja'far selaku ketua FKAWAJ, membentuk pasukan jihad, lalu mengirim ribuan anggota Laskar Jihad ke Ambon. Tidak hanya itu, LJ sempat melakukan pawai dan berunjukrasa di depan istana negara, melakukan tabligh akbar di sejumlah daerah, mengkampanyekan jihad fisabilillah di negeri seribu pulau Maluku. Beberapa kelompok Islam menyatakan dukungan dan simpatik yang konkrit, misalnya Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Front Pembela Islam (FPI) Jakarta, dan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS). Angin jihad berhembus ke seluruh nusantara, mengundang hasrat dan jiwa umat yang terpanggil untuk berperang, atas nama Allah. Nama dan gerakan LJ, paham salafy Ahlussunnah Waljamaah Ustaz Ja'far mulai diminati dan diikuti banyak orang, terutama anak-anak muda yang merindukan syahid, suatu kematian yang gagah, dan disambut surga. Konflik Ambon yang gagal diselesaikan pemerintah, telah menyediakan, semacam “lompatan kuantum” yang mulus kepada orang-orang yang telah ditanamkan semangat jihad. Lompatan, yang melampaui dan menembus batas-batas nasionalisme, merobek norma-norma kewarganegaraan, dan melangkahi muka aparat keamanan. Ia “meludah” di atas tanah yang “merah” sambil mengusung senjata dengan keberanian yang ilahi. Jihad, telah menjadi “iman perang” di kala pemerintah, negara dan militer membiarkan kematian merenggut nyawa dan jiwa saudara-saudara muslim LJ. Mereka (umat Islam Maluku) mendapatkan hak itu, dari iman yang difatwakan oleh para ulama salafy dan disaat negara “tidak berarti lagi”.
38
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
mulai bergema di seluruh penjuru kota Yogyakarta; sebuah kelompok keagamaan, dengan pakaian yang khas: berjubah putih, memakai sorban, melakukan tabligh akbar di lapangan Kridosono, Kotabaru, tak jauh dari sebuah gereja yang selalu ramai dikunjungi umat Katolik. Mereka adalah Laskar Jihad Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama'ah (LJ FKAWJ), yang sedang melancarkan kampanye jihad, untuk merekrut para mujahid, yang siap berperang di jalan Allah, di sebuah propinsi yang tercabik-cabik: Maluku. Panglima perangnya yang sangat kontroversial adalah ustaz Ja'far Umar Thalib, seorang pria keturunan Arab yang ramah dan humoris.4 Tapi yang hadir bukan cuma para Laskar, melainkan beberapa elemen umat Islam, dengan berbagai latar yang beraneka ragam, mulai ormas hingga partai, dari aktivis masjid, sampai aktivis kampus.5 Lapangan Kridosono pun, menjadi salah satu 'saksi' dan tempat untuk menghimpun energi umat, memberantas segala hal yang menginjak-injak harga diri umat: dari maksiat6 di Yogyakarta, hingga pembantaian saudarasaudara mereka di Ambon. Teriakan dan histeria Allahu Akbar selalu menggema, bersama dikibarkannya bendera Laskar: berlogo buku7 yang “dipangku” dua bilah pedang. Massa dan umatpun mulai bergairah, pulang dengan membawa pesan-pesan tabligh. Seperti sebuah kampanye pemilu, massa melakukan konvoi melewati Gereja St. Ignatius Kota Baru. Namun tiba-tiba dari arah massa beberapa batu melayang
Edisi Khusus Candi Dasa
ke arah Gereja, mengenai atap, dinding dan memecahkan kaca. Insiden ini melukai perasaan umat Katolik. Tabligh akbar di lapangan Kridosono Kotabaru yang berbuntut pelemparan Gereja itu, adalah salah satu kampanye jihad LJ. Peristiwa itu memaksa Forum Persaudaraan Antar Umat Beriman (FPUB) angkat suara. Sejumlah ormas, LSM, dan organisasi yang berlatar belakang agamapun mulai dililit perasaan cemas dan takut. Segera mereka membentuk aliansi “pro perdamaian” dan “anti kekerasan” yang diberi nama Forum Rembug Rakyat Yogyakarta (FRRY). Tujuannya adalah mengawal arah reformasi dan menjaga kedamaian di Yogyakarta. Beberapa kelompok umat Islam di Yogyakarta, merasakan perih dan sembab sedih umat di Ambon. Mereka memandang propinsi seribu pulau itu dengan mata yang perih: konflik agama. Isu agama inilah yang paling gampang dimobilisir oleh berbagai kelompok konservatif untuk menyikapinya dengan cara militeristik, alias jihad perang. Dan dengan isu ini pula, luka lama sejarah perang dan permusuhan antara Islam dan Kristen, kembali dikorek. Yogyakarta, telah mencatat LJ dengan “tinta” Ambon, melalui buletin Maluku Hari Ini yang terbit setiap hari dan buletin bulanan Laskar Jihad (BLJ). Pasukan jihad, dapat disaksikan dengan jelas hampir di setiap traffic light. Mereka menjual buletin Maluku Hari Ini, buletin Laskar Jihad (BLJ), dan meminta sumbangan dari para pengendara. Di warung-warung bubur kacang ijo
4
Suara-suara keras ustaz Ja'far pun kerapkali bernada sinis dan menyakitkan. Ia menghubungkan umat Kristen dengan sejumlah peristiwa-peristiwa di masa lalu: perang Salib, imperialisme Barat-Belanda, penumpasan DI/TII oleh Soekarno, peminggiran umat Islam di zaman Soeharto, peristiwa Tanjung Priok, Lampung dan beberapa kasus yang menimbulkan inspirasi jiwa, politik dan psikologis di kalangan umat, agar tidak lupa atas sejarah yang menyakitkan tadi. Perasaan terluka, tertindas, terjajah dan sakit hati yang pernah dialami umat Islam, kembali diangkat oleh ustaz Ja'far, dengan cara yang arbitrer: ia menyampaikan ayat-ayat suci al-Qur'an, Hadits kepada para pengikutnya dan harus diikuti sebagai suatu keyakinan yang suci dan abadi. Hubungan antar umat beragama khususnya Islam-Kristen, digiring pada sebuah pemahaman dan kesadaran yang kuat berupa kewaspadaan, ketegasan, dan kalau perlu permusuhan yang kekal. 5 Tabligh Akbar ini memberi sugesti moral yang besar terhadap anak-anak muda Islam, aktivis masjid yang gerah dengan praktek maksiat di bulan puasa. Mereka yang bergabung dalam tabligh ini, mendukung jihad di Ambon, dan kelak mereka biasa disebut Gerakan Pemuda Ka'bah. 6 Isu maksiat menjadi salah satu isu yang sangat penting bagi gerakan-gerakan Islam di masa transisi. Yang dianggap maksiat adalah judi, tempat-tempat diskotik, minuman keras, dan pornografi. Sejak itu, dengan alasan maksiat sejumlah penggrebekan dan tindakan main hakim sendiri dilakukan oleh massa Islam. 7 Buku ini melambangkan kitab suci al-Qur'an.
Edisi Khusus 2003
39
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
(Burjo), kios-kios kecil, dan warung-warung besar lainnya, kotak-kotak amal jihad dipasang untuk dapatkan dukungan dana dari umat di grassroot. Sumber-sumber dana yang terhimpun dari masyarakat ini, sebagian dialokasikan untuk mendanai gerakan LJ di Ambon dan Poso,8 sebagian untuk urusan teknis, administrasi dan akomodasi bagi mereka yang belum berangkat jihad. Situasi dan “panorama” berdarah di tempat yang jauhnya ribuan mil itu, seakanakan hadir, begitu nyata. Versi kekejaman Kristen dan kebiadaban Laskar Kristus diceritakan dengan gamblang dan amat jelas. Siapapun yang membacanya, akan sangat terusik, terpukul dan hanya menyimpan sakit di dada. Konflik Ambon, seakan-akan terbang dan bergentayangan dalam jiwa masyarakat. Dan LJ berhasil, sehingga dari hari ke hari, bulan ke bulan, sukarelawan milisi jihad terus bertambah. Mereka merasa dipanggil oleh Allah, dipanggil dengan berita-berita sepihak, dan berangkat dengan niat syahid. Masyarakat merasakan dan menyaksikan getar Ambon dengan mata yang cukup nyata dari sekelompok milisi terorganisir. Sebagian memberi dukungan dan bangga, sebagian lagi mengomel dan mengumpat dengan suara yang tidak terdengar. LJ terus menyebarkan kontroversi konflik Ambon di masyarakat. Langkahnya mengundang reaksi negatif dari FPUB, DIAN/Interfidei, LKiS, NU. Tetapi dipuji oleh
Front Ukhuwah Islamiyyah (FUI), GPK-PPP, MMI, dan beberapa tokoh konservatif di Muhammadiyah. Kontroversi terjadi di seputar makna jihad dan siapa saja yang boleh melakukan penetrasi militer untuk mengamankan Ambon. Bagi yang menolak, jihad diartikan tidak wajib dilakukan di Ambon. Di negara nasionalis RI, jihad bukanlah perang, dan bumi Ambon, bukanlah tempat berjihad. Jihad lebih banyak diartikan berperang melawan hawa nafsu, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi. Jihad lebih bermakna individualis dan gerakan sosial untuk demokrasi dan reformasi. Biar negara yang menyelesaikan Ambon, tidak perlu campur tangan pihak luar, apalagi ikut terlibat dalam konflik. Sementara, bagi yang mendukung, negara telah gagal melindungi umat Islam. Maka sudah menjadi tanggungjawab sesama muslim, untuk membantu saudara-saudara mereka di sana. Perbedaan ini mencerminkan beberapa hal: pertama, pihak-pihak yang menolak, melihat konflik Ambon dalam kerangka keislaman dan keagamaan yang universal, tidak berpihak. Sedangkan yang mendukung, melihat dengan mata berpihak dengan semangat keislaman yang keras. Kedua, para pendukung jihad, memandang jihad dengan opsi yang konservatif, literer, sedangkan para penolak banyak berpijak pada gagasan-gagasan pluralisme, dan kontekstualisasi jihad. Gerakan peduli “Ambon” ala LJ sangat
Isu agama inilah yang paling gampang dimobilisir oleh berbagai kelompok konservatif untuk
menyikapinya dengan cara militeristik, alias jihad
perang. Dan dengan isu ini pula, luka lama sejarah
perang dan permusuhan
antara Islam dan Kristen,
8
Pada akhir Juli 2001, bertempat di gedung PDHI, sebelah alun-alun utara Yogyakarta, ustaz Ja'far Umar Thalib memimpin dan berbicara dalam tabligh akbar yang khusus mengangkat konflik Poso, sebagai “proyek” jihad sesudah Ambon. Agustus 2001 ratusan anak muda Islam masuk Laskar Jihad dan siap berangkat ke medan Jihad di Poso. Kini, Yogya, memasuki babak baru suara-suara jihad milik LJ, yakni suara tentang gerakan jihad di Poso. Masyarakat mendapatkan informasi tentang kondisi di Poso, versi LJ, melalui BLJ-nya. Sejak saat itu, masyarakat tahu bahwa LJ tidak saja berjihad di Ambon, melainkan juga di Poso.
40
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
manifest, bahkan memberi kekuatan moril kepada gerakan-gerakan lain yang sedang marak. Merekapun terlibat dan berperan dalam sejumlah aksi yang mengundang reaksi sebagian masyarakat. Pada awal-awal tahun 2001, mereka bersama Gerakan Pemuda Anti Komunis (GEPAKO) buatan Golkar serta Aliansi Anti Komunis (AAK) buatan mantan aktivis 66 yang berafiliasi ke partai-partai dan gerakan Islam di Yogyakarta ikut dalam aksi kekerasan yang menimpa buku-buku dan para aktivis kiri. Mereka juga mendukung Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK), yang berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Akibatnya sejumlah darah tumpah tanpa pertanggungjawaban hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sekretariat Partai Rakyat Demokratik (PRD), Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO), dan di beberapa jalan utama Yogyakarta saat aktivisaktivis kiri melakukan aksi turun jalan. LJ juga berperan dalam aksi-aksi pemberantasan maksiat yang melibatkan beberapa elemen gerakan Islam di Yogyakarta. LJ menjadi kekuatan fisik dan pressure yang cukup dihandalkan dalam gerakan anti kiri, yang selalu diasosiasikan dengan gerakan anti komunis, dan gerakan pemberantasan maksiat. Akibatnya, bulan suci Ramadhan, selalu menjadi saat-saat yang menegangkan: antara para penghancur maksiat dengan pecinta bisnis hiburan malam. Memasuki 2002, seiring dengan meredamnya konflik Ambon dan Poso, gaung jihad LJ mulai surut. Tekanan pemerintah, masyarakat dan dunia internasional “memaksa” LJ untuk keluar dari wilayah konflik. Bahkan ustaz Ja'far Umar Thalib ditangkap dan ditahan di mabes POLRI pada bulan Juni 2002. Sejak Juni 2002, para laskar yang biasa meminta sumbangan di jalan-jalan Yogyakarta, hilang satu persatu. Kotak dana jihad yang dipasang di warungwarung dan kiospun juga mulai tidak terlihat
Edisi Khusus Candi Dasa
lagi. Akhirnya, pada awal Oktober 2002, ustaz Ja'far Umar Thalib membubarkan LJ dan baru diumumkan pertengahan Oktober.9 Yogyakartapun di satu sisi bebas dari sebuah lembaga milisi yang sempat menebar teror dan ketakutan, tapi di lain sisi berhasil dinanamkan semangat dan militansi keislaman yang mengagumkan, yang dirasakan oleh sebagian umat Islam. Gerakan Pemuda Ka'bah Dampak “angin ribut” Ambon tidak serta merta memfokuskan mata umat ke satu masalah. Hampir bersamaan dengan kampanye jihad di Ambon, di awal-awal tahun 2000, kampanye anti maksiat mulai bergema, muncullah generasi muda Islam yang diberi nama Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK). Awalnya GPK, hanyalah sekelompok pengajian anak muda muslim, yang resah dengan kondisi sosial lokal di Yogyakarta. Keresahan ini bermula pada bulan Januari 2000, persis dalam suasana Romadhan, saat umat Islam sedang berpuasa dan amat menghormati malammalamnya, sebagai malam-malam yang “keramat”. Dengan mata yang “sakit” mereka menyaksikan berlangsungnya aktivitas diskotik, judi, prostitusi dan minuman keras selama malam-malam yang “keramat” itu. Iman yang dalam terhadap bulan suci Ramadhan, terasa dinodai oleh aktivitas-aktivitas malam itu. Tidak cuma itu, di siang hari anak-anak muda ini melihat beberapa tabloid yang memperlihatkan gambar vulgar, berisi tubuh wanita yang molek dan menguras birahi, dan sangat menyinggung perasaan umat. Tak pelak lagi, mereka segera menghimpun kekuatan dan bergerak, dengan istilah yang religius: amar ma'ruf nahi munkar, dan gerakan pemberantasan maksiat. Mereka melakukan sweeping terhadap beberapa diskotik, tempat prostitusi ilegal, warung-warung yang
9
Peristiwa ini mengagetkan banyak orang, saat seluruh perhatian masyarakat tersita pada aksi terorisme di Kuta - Denpasar, Bali dan Manado. Dalam pengumuman pembubarannya, Ustaz Ja'far menegaskan bahwa LJ akan menjadi organisasi dakwah biasa. Sehingga LJ tetap memelihara jejak religiusnya dan tidak menghilangkan aktivitas dakwahnya di kedua daerah ini, termasuk beberapa daerah sekitar konflik seperti Papua dan Sulawesi Selatan. Mereka telah berkembang luas selama konflik Maluku dan Poso, dan telah menjadi bagian yang relatif kecil di kalangan umat Islam.
Edisi Khusus 2003
41
Agama dan Kekerasan
menjajakan minuman keras dan media porno. Dalam setiap aksinya, mereka menyita, memukul, dan mengambil barang-barang yang dianggap perlu.10 Khusus untuk tempat diskotik, mereka memberi peringatan terlebih dahulu sampai 3 kali. Ketika tidak digubris, aksi main hakim sendiripun dilancarkan. Untuk sementara, GPK telah menjalankan misi agamanya dengan baik. Mereka juga, sempat terjun dalam kegiatan sosial, misalnya membantu korban bencana longsor di Kulonprogo, Februari 2000. Pada awal-awal terbentuknya GPK, terjadi perbedaan pendapat di antara pendirinya, yang umumnya merupakan mahasiswa dan pemuda terdidik. Ada yang ingin agar GPK murni sebagai gerakan yang mengurusi masalah-masalah agama dan sosial kemasyarakatan, dengan aktivitas yang tidak melibatkan konvoi massa. Ada pula yang menghendaki, agar GPK sekaligus melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar dan pemberantasan maksiat, termasuk dengan cara konvoi massa. Enam (6) bulan kemudian, dengan alasan bahwa kebanyakan aktivis dan pendiri GPK adalah kader-kader PPP, maka GPKpun segera dimasukkan sebagai salah satu underbow partai Islam itu. Sejak Juli 2000, aktivis GPK mulai meluas dan “mengguncang” publik Yogyakarta. Sebulan kemudian, Agustus 2000, mereka ikut mengamankan jalannya Kongres Majelis Mujahidin Indonesia. Lalu, 25 September 2000 GPK menyerang para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam KMDR (Komite Mahasiswa untuk Demokrasi Rakyat) dan FPPI yang dicap kiri. Serangan dan penyerbuan serupa terjadi tanggal 5 Oktober 2000 terhadap KMAK (Komite Mahasiswa Anti Kekerasan). Gerakan anarkis GPK masih berlanjut hingga tahun 2001. Pada Selasa, 20 Februari 2001, mereka kembali melakukan penyerangan. Salah seorang korbannya adalah Gunawan, mahasiswa UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), aktivis FPPI yang juga menjadi komando lapangan (kolap) dalam aksi pembubaran Golkar, 10
interfidei newsletter
yang dilakukan PRY (Pokja Rakyat Yogyakarta) tanggal 8 Februari 2001.11 Dalam bulan ini pula, terjadi sejumlah tindak kekerasan terhadap aktivis mahasiswa di UMY dan ABAYO (Akademi Bahasa Asing Yogyakarta). Setengah tahun lebih Yogyakarta dibalut musim kekerasan GPK yang melanda aktivisaktivis mahasiswa, yang gigih menyuarakan reformasi total dan demokratisasi. Para aktivis pro-demokrasi dilanda kecemasan dan ketakutan. Tapi mereka tidak gentar menghadapi ujian yang berat ini. Suara lantang para mahasiswa selalu dianggap sebagai suara kiri yang hendak menghidupkan kembali komunisme. Cap komunis ini tak pernah bisa dibuktikan, kecuali semata-mata dihubunghubugkan dengan gagasan radikal dan ekstrim, yang berpautan dengan wacana pencabutan Tap MPRS XXVI, tentang larangan komunisme yang dilontarkan pertama kali oleh Gus Dur, saat masih menjabat presiden pada bulan Agustus 2000. GPK tidak lagi menjalankan misi pemberantasan maksiat. Tetapi ia mulai terlibat aktif dan sangat sigap dalam gerakan anti komunisme, hampir bersamaan dengan lahirnya gerakan anti komunisme baru yang dibidani partai Golkar, GEPAKO (Gerakan Pasukan Anti Komunisme), Januari 2001. Sebulan kemudian, GPK bergabung dengan beberapa elemen umat Islam lain, membentuk FAKI (Front Anti Komunisme Indonesia) yang dideklarasikan di gedung PDHI (Persaudaraan Haji Indonesia) di alun-alun Utara. FAKI dan GEPAKO bersatu membentuk AAK (Aliansi Anti Komunisme). Sepanjang Januari hingga April 2001, berlangsung sweeping terhadap segala hal yang berbau kirikomunisme: mulai dari buku-buku kiri,12 hingga aktivis-aktivis yang dicurigai kiri. Sejumlah pemukulan dan insiden kekerasan terjadi di jalanjalan, kampus-kampus (UMY dan ABAYO), sekretariat PRD, Forum LSM DIY, HMI, Taring Padi, dan tekanan kepada beberapa kantor LSM. GPK sangat berperan aktif dalam gerakan yang
Kebanyakan yang merasakan “amuk” GPK adalah orang-orang kecil, di warung-warung kecil yang menjual minuman keras. Botol minuman pun diambil. 11 Penyerangan terhadap Gunawan, yang membuatnya luka berat dan opname di rumah sakit ini dinilai juga berkaitan dengan perannya sebagai komandan aksi PRY, 12 hari sebelumnya.
42
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
terlihat heroik dan “nasionalistik” ini. Aktivisaktivis GPK memiliki keberanian dan kemauan untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan “suci” mereka. Di musim-musim ini pula, GPK berkembang dengan sangat pesat. Di setiap kelurahan terbentuk laskar-laskar dan organ independen yang menggabungkan diri dalam nama GPK. Setiap pekan mereka melakukan konvoi massa laiknya sebuah kampanye menjelang Pemilu. Mereka berpakaian seragam, memakai tutup kepala ala ninja, sambil membuka knalpot motor. Setiap akhir pekanpun, jalan-jalan di Yogyakarta, berisi kegagahan yang mencolok dari anak-anak muda muslim yang menamakan dirinya GPK itu. Sebagian personalnya selalu membawa pedang, dan “menari-nari” dengan “nyanyian” knalpot yang menusuk telinga. Secara berkala, mereka juga mengadakan pengajian akbar, menyambut momentum-momentum keagamaan tertentu, terutama ketika sebuah laskar dan organ terbentuk. Setiap minggu, mereka merekrut para pemuda dari berbagai kalangan, mulai dari para remaja masjid yang saleh, hingga kaum preman yang suka mabuk dan tukang palak. Tidak cuma itu, mereka bahkan banyak menerima anak-anak muda PDIP, PBB, dan PAN. Rekrutmen massa yang tidak selektif dan gerakan GPK yang kian menonjol, membuat GPK sangat kaya dengan dua ciri dan latar belakang yang menonjol: pemuda masjid yang cukup terdidik, dan pemuda biasa yang hobi konvoi dan memamerkan kegagahan. Dengan jumlah laskar yang kian bertambah, mereka semakin percaya diri bahwa gerakan anti maksiat dan gerakan anti komunisme mendapat dukungan dari masyarakat Yogyakarta. Di sinilah awal “krisis” GPK. Para pemuda yang berlatar belakang preman memanfaatkan “keberanian” dan “keperkasaan” GPK, untuk merebut dan menguasai lahan-lahan parkir dan bisnis security di sejumlah kawasan, utamanya kawasan yang dianggap sebagai kawasan maksiat. Niat memberantas maksiat, berubah
Edisi Khusus Candi Dasa
menjadi lain dan aneh: mengamankan maksiat. Di akhir seruan nahi munkar, yang nyata adalah tampilnya GPK sebagai kekuatan baru dalam bisnis keamanan dan lahan parkir. Di samping itu, mereka lalai, bahwa aksi-aksi heroik dan gagah itu menebarkan luka dan kebencian di kalangan masyarakat bawah, utamanya korban keganasan dari anggota laskar GPK. Benih konflik dan permusuhan dengan sebagian masyarakat bawah mulai tertanam. Masyarakat bawah yang umumnya warga PDIP mulai terusik. Sentimen partai pelan-pelan mulai terbangun, sehingga di awal 2002 benturan GPKPPP dan PDIP akhirnya pecah. Aparat keamanan khususnya polisi, di wilayah administrasi Kapoltabes Yogyakarta, mulai merasa gerah. Di satu sisi, GPK telah menebarkan ketakutan dan kekacauan di masyarakat, di sisi lain, mereka merampas ”ladang” polisi. Pada wilayah bisnis keamanan inilah, GPK berbenturan dengan aparat polisi. Pihak kepolisian, merasa sumber kocek mereka dirampas oleh GPK. Sejumlah benturan dengan aparat menandai aktivitas GPK. Konflik GPK dan aparat menjadi konflik ekonomi. Puncaknya di pertengahan Februari 2001, pecahlah bentrok antara GPK yang sedang melakukan konvoi. Hasilnya, beberapa aktivis GPK ditahan, beberapa ruas trotoar di Jl. Wahid Hasyim rusak dan beberapa fasilitas jalan dan kota ikut hancur. Tapi masing-masing masih berlindung dibawah dalih yang tidak mencerminkan misi resmi mereka. GPK berdalih, polisi melindungi aktivitas maksiat, sedangkan polisi berdalih, GPK menciptakan gangguan dan keresahan di masyarakat. Tujuan mereka sama-sama terselubung meminta jatah dan uang keamanan. Sepak terjang GPK jadi tumpang tindih. Mereka melakukan gerakan pemberantasan maksiat dan sweeping terhadap aktivis-aktivis kiri, tapi juga melakukan aksi-aksi penguasaan bisnis gelap keamanan, yang korbannya kebanyakan masyarakat kecil biasa. Kelompok terdidik dan soleh GPK pun menanggung malu. Pihak DPC dan DPD PPP segera mengambil
12
Sweeping ini tidak saja berlangsung di Yogyakarta, melainkan juga di Jakarta dan Solo. Pihak Gramedia Yogyakarta, terpaksa menarik peredaran buku Franz Magnis Suseno, tentang Karl Marx. Ia kemudian juga dituding kiri, dan menyebarkan paham komunisme.
Edisi Khusus 2003
43
Agama dan Kekerasan
langkah sigap, membekukkan GPK pada bulan Agustus 2001. Bagi sebagian besar elit partai, aktivitas GPK telah kontra-produktif. Selama beberapa bulan masyarakat dilanda keresahan dan ketakutan. Dan GPK meninggalkan jejak yang buram: sejumlah lahan parkir dan bisnis keamanan untuk tempat-tempat tertentu dikuasai oleh preman-preman yang masih membawa nama GPK. Jejak-jejak buram GPK masih terasa sampai sekarang. Bekas-bekas “milisi” sipil GPK, masih dapat dipakai untuk keperluan konvoi massa PPP. Pada Januari 2002, PPP GPK ini melakukan konvoi massa. Tujuannya adalah menunjukkan pada publik bahwa PPP di Yogyakarta masih solid dan tidak terpecah ke dalam PPP pimpinan Hamzah Haz atau PPP Reformasi pimpinan Zainuddin MZ. Konvoi diorganisir oleh ketua PPP Kodya Yogyakarta, Fauzi AR. Nahasnya konvoi tersebut berakhir dengan konflik/benturan dengan massa PDIP. Ketegangan berlangsung sampai Maret 2002. Hampir 10 orang warga biasa kena akibat dari ketegangan ini. Korban dibacok atau dilempari mercon, hingga luka-luka dan dirawat di rumah sakit. Selain itu, sebuah rumah milik warga PDIP di kawasan Mujamuju, dibakar massa GPK. Pimpinan-pimpina PPP dan PDIP agak terlambat menyikapi perkembangan konflik ini. Mereka menuduh adanya pihak-pihak luar yang mau menghancurkan dan menciptakan distabilitas di Yogyakarta. Akhirnya konflik mereda. Sampai sekarang, kerap kali nama GPK disebut-sebut sebagai kelompok preman dan security yang bisa dipakai untuk urusan-urusan keamanan.13 Gerakan anti maksiat dan amar ma'ruf nahi munkar yang dikumandangkan oleh GPK, ternyata salah arah. Di lapangan, cita-cita keagamaan yang mulia itu, berwajah lain. Ia berhadapan dengan realitas dan fakta-fakta yang sangat kompleks. Realitas ini, umumnya merupakan konstruksi politik dan situasi negara, yang tidak bisa diatasi dengan slogan suci, 13
interfidei newsletter
gerakan penggrebekan atau penyerbuan yang berani. Konstruksi politik dan negara utamanya masih berada dalam genggaman kuasa orde baru, yang siap memanfaatkan apa saja untuk mempertahankan statusquo dan menghambat laju reformasi. GPK dan PPP, telah terperangkap dalam kuasa ini, saat mereka menyerang para aktivis kiri. Gerakan Pasukan Anti Komunisme Pada Agustus 2000, presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan yang cukup liberal: pencabutan TAP MPRS/XXI/1966, tentang larangan paham Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia. Sebagai sebuah wacana, apa yang dilakukan Gus Dur, sangat tepat, tapi ia akhirnya berhadapan dengan ribuan caci maki, penolakan dan sejumlah demonstrasi. Lebih dari itu, isu ini telah melahirkan gerakan anti komunisme yang kencang di Yogyakarta. Tanggal 25 Januari 2001, lahir Kelompok Anti Komunis buatan Golkar, Gerakan Pasukan Anti Komunis (GEPAKO). Dari namanya saja, gerakan ini sudah menggunakan istilah “pasukan” yang berbau militeristik, tepatnya pasukan Sandhi Yudha GEPAKO. Komandannya adalah Gandung Pardiman, sekretaris Partai Golkar DIY. Gandung sendiri awalnya adalah seorang nasionalis yang lahir dan besar dalam keluarga PNI (Partai Nasional Indonesia). Ia mantan ketua GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Inonesia) Yogyakarta dan pengurus PDI Bantul. Sejak hijrah ke Gunung Kidul, iapun direkrut menjadi aktivis dan pengurus Golkar. Sejak 1978, ia memulai karirnya pada partai yang menjadi mesin politik Suharto. Tapi ia juga pengusaha, pengurus inti sejumlah yayasan pendidikan yang dekat dengan “bahasa” militer: seperti SMU Kartika, Veteran dan Persatuan. Dalam pemilu 1999, ia naik ke tingkat DPD Golkar propinsi DIY. Sejak terbentuk, GEPAKO menjadi mesin kekerasan dan “militerisme”
Pada bulan September 2002, mereka dipakai oleh KAHMI Nasional dalam rangka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Saat itu mereka menghadang dan nyaris saja bentrok dengan para aktivis HMI Cabang Yogyakarta yang memprotes Munaslub ini. Munaslub ini akhirnya menetapkan Fuad Bawazir sebagai ketua KAHMI Nasional. HMI menilai bahwa KAHMI sedang diperalat oleh PAN, dalam rangka pemilu 2004.
44
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Golkar di Yogyakarta. Misalnya, mereka melakukan pemukulan terhadap aktivis-aktivis PRD, LMND dan RPPI, bekerjasama dengan GPK, LJ, FAKI. Pembersihan terhadap bukubuku kiri, sweeping terhadap oang-orang gondrong, dan yang memakai baju Che Guevara serta Karl Marx, tetap diingat sebagai prestasi kriminal organ Golkar ini. Sejak Agustus 2000 sampai pertengahan 2001 berlangsung debat dan konfrontasi yang sangat tajam antar gagasan demokratik-pluralis dan statusquo di kalangan sipil. Semua itu menandai karir kepresidenan mantan Gus Dur yang didukung kuat oleh PRD dan kalangan Prodem. Namun, di Yogyakarta, kekerasan GEPAKO menemui legitimasinya dan mendapat dukungan dari sejumlah politisi muslim dan kepentingan politik Islam. GEPAKO-Golkar yang identik dengan statusquo Orde Baru, dianggap tidak statusquo lagi. “Nasionalisme” Islam dan “nasionalisme” Orde Baru, menjadi pelopor reformasi dalam isu yang buram: anti kiri. Sebab kiri, tak pernah bisa didefinisikan dan dijelaskan dengan “paradigma” reformasi. Aksiaksi mereka, selalu didasarkan pada konsepkonsep politik orde baru. Di sini, roh politik Orde Baru, sebagai kekuatan politik lama, menjadi nyawa yang tetap tegak dalam masa transisi reformasi Indonesia, yang hadir dalam sosok yang menyedihkan dan mencemaskan. Dapat dikatakan, bersamaan dengan kekerasan yang dilakukan oleh GPK di atas, GEPAKO adalah sumber daya politik-kekerasan Orde Baru yang sangat handal dalam merusak proses reformasi dan demokrasi. Mereka menebar teror di kalangan aktivis-aktivis mahasiswa dan LSM yang gigih
Edisi Khusus Candi Dasa
memperjuangkan demokrasi, pluralisme dan civil society. Mereka melihat dan 'mencium bau' komunisme di balik isu-isu kerakyatan, pembubaran Golkar dan penolakan atas pemerintahan yang konservatif dan masih dikuasai oleh rezim lama Orde Baru.14 Sementara itu, iklim politik nasional terasa makin panas: konflik Ambon, Poso, konflik elit, krisis ekonomi dan masih banyak lagi. Perlawanan terhadap kelompok statusquo yang diwakili secara manifest oleh Golkar dan militer, terus dilakukan, sambil menyuarakan ide-ide rekonsiliasi dan perdamaian nasional. Pada November 2000, berlangsung rembug nasional di Bali, yang juga dihadiri oleh mantan presiden Gus Dur. Yogyakarta, mengirim delegasi Forum Rembug Rakyat Yogyakarta (FRRY), sebuah aliansi taktis dari berbagai elemen civil society untuk menghadang laju gerakan dan politik kekerasan di Yogyakarta. Tanggal 19-20 Desember 2000, FRRY melakukan “sidangnya” di Gedung Amal Insani. Sidang ini diikuti oleh 60 peserta, yang mewakili organ-organ mahasiswa, organisasi buruh, pengamen, budayawan, LSM, birokrat, parpol, akademisi, pers, aparat kepolisian dan sejumlah individu. Sidang ini berisi refleksi atas perjalanan reformasi, ditinjau dari segi politik, ekonomi, hukum dan budaya. Kesimpulannya, reformasi telah mandeg. Arah reformasi telah dibelokkan oleh sisa-sisa Orde Baru, yakni partai Golkar dan militer. Dalam catatan FRRY, selama tahun 2000 terjadi 20 tindak kekerasan, tapi semuanya tidak dapat diselesaikan oleh aparat dengan alasan tidak cukup bukti. Patahnya Gerakan Pro-Demokrasi
14
Gandung sendiri mengatakan bahwa GEPAKO tidak hanya bercita-cita untuk menghadapi bangkitnya komunisme. Melainkan juga mau menghadapi kelompok yang mau merongrong Pancasila dan NKRI. Dalam sebuah wawancara pada 26 Mei 2002 di kantor DPD Golkar DIY, Gandung menegaskan, “Jadi GEPAKO ini sebetulnya suatu gerakan yang tidak hanya menanggulangi bahaya komunis saja, tetapi juga kami hadir dalam rangka menaggulangi bahaya kanan maupun kiri. Maka lambangnya itu kan dua keris, itu dalam rangka jangan sampai pengaruh kanan maupun kiri itu merusak Pancasila, NKRI. Itu tujuan awal kami. Hanya karena pada saat-saat seperti ini biasanya kaum kiri, komunis itu memanfaatkan setiap peluang dalam rangka come back yang selama kepemimpinan Golkar itu merasa ditindas, dimarginalkan sedemikian rupa, sehingga mereka ingin merebut kembali baik secara terang-terangan maupun secara di bawah tanah. Bagi kami, pembubaran Golkar sendiri tidak masalah, apabila itu dikehendaki oleh rakyat dan UU memungkinkan. Tapi apabila dia sudah mengancam Pancasila, itu yang menjadi masalah. Saat itulah kami tampil untuk menghadapi mereka. Jadi tidak sekedar mengimbangi tetapi menghadapi mereka”.
Edisi Khusus 2003
45
Agama dan Kekerasan
Elemen-elemen FRRY tidak mau diam. Kamis, 8 Februari 2001, mereka melakukan aksi pembubaran Golkar. FRRY memakai nama PRY (Pokja Rakyat Yogyakarta),15 dengan Luthfi Rahman (dari LKiS dan mantan aktivis mahasiswa) sebagai koordinator, dan Gunawan (ketua FPPI) sebagai komando lapangan. Target aksi ini adalah penyegelan kantor DPD I Partai Golkar di Jalan Jendral Soedirman. Dan mereka berhasil, setelah bernegosiasi dengan aparat dan tak dapat dibendung oleh salah seorang pengurus Golkar. Empat orang wakil PRY, (Kari, Eko, Ihsan dan Farida) memasang spanduk hitam dengan tulisan putih: “Kantor INI DISEGEL OLEH RAKYAT, pintunya dirantai dan digembok. Sayangnya, setelah penyegelan ini, terjadi insiden yang tidak dikehendaki oleh PRY dan aparat. Tembok depan kantor Golkar, dilempari oleh orang yang tidak dikenal, dengan cat putih yang dipakai untuk menulis spanduk tadi. Tapi akhirnya massa pulang dengan puas. Sesudah itu, terjadi titik balik serangan. Koalisi PRY patah. Kekuatan sipil reformasi ini dipotong dari dua arah. Pertama, tuduhan Golkar bahwa aksi PRY didalangi oleh PRD, kemudian dilanjutkan dengan aksi-aksi penyisiran terhadap buku-buku kiri, pemukulan terhadap aktivis-aktivis kiri yang dilakukan oleh GEPAKO, bersama GPK. Kedua, beberapa elemen PRY, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Cut Nyak Dien, Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum (LKBH), UII mengundurkan diri dari koalisi. Semuanya diakibatkan oleh tekanan dan ancaman fisik-anarkis GEPAKO. Kari (salah seorang yang menyegel) misalnya mengundurkan diri dari radio BIKIMA, lantaran tekanan pimpinan dan Golkar. Di awal April 2001, setelah aksi-aksi 15
interfidei newsletter
kekerasan GEPAKO, Golkar mengajukan gugatan terhadap PRY, karena menyegel dan menuntut Golkar bubar. PRY meladeni dengan berani dan tenang. Tapi akhirnya tidak sampai di meja hijau. Masalahnya, peristiwa penyegelan ini (konflik Golkar-PRY) juga melibatkan aparat polisi, yang saat itu dibawah komando Kapoltabes Yogya, Komisaris Besar Polisi, Drs. Ibnu Sudjak Mahfudz, SH. Jadi Golkar menempuh dua jalur. Di permukaan mereka menempuh jalur hukum, di bawahnya, mereka menempuh cara-cara kekerasan. Golkar dan GEPAKO telah berhasil membungkam sejumlah elemen PRY, sehingga bulan Juni 2001 PRY lumpuh. Sejak saat itu, tidak ada lagi koalisi gerakan pro-demokrasi, semacam PRY. Kemenangan berada di pihak Golkar dan Orde Baru, seiring melemahnya kekuatan politik Gus Dur-PRD dan pro-demokrasi di tingkat nasional. Pimpinan koalisi prodem PRY, Luthfi Rahman melukiskan kegagalan kalangan prodem dengan kata-kata berikut, “Konsolidasi konservatis Orde Baru-Golkar akhirnya sukses dengan mendelegitimasi Gus Dur. Mega telah menjadi bagian penting dari konsolidasi dan kekuatan orde baru di masa transisi ini. Lebih dari itu, kekuatan pro-demokrasi, telah dikalahkan dengan isu yang menyakitkan: komunisme. Koalisi Golkar dan Islam konservatif misalnya, berada pada titik isu ini. Dan di parlemenpun, mereka bersatu menjatuhkan Gus Dur”.16 Setelah kekalahan PRY di pertengahan 2001 itu, kemudian disusul jatuhnya presiden Gus Dur pada bulan Agustus. Gerakan pro-demokrasi, pro-perubahan radikal di masa transisi kalah telak. Kekalahan ini juga menandai ancaman yang serius terhadap gagasan-gagasan dan
FRRY yang kemudian berganti secara taktis menjadi PRY, merupakan aliansi demokratik dari beberapa LSM, organisasi mahasiwa, buruh, dan kaum intelektual independen, yang lintas agama, sektor gerakan, bahkan lintas ideology gerakan. Pendukung-pendukung utama dari organisasi ini adalah LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Ilmu Sosial), KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), FPUB (Forum Persaudaraan antar Umat Beragama), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), IRE (Institute for Research and Empowerment), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) FPPI (Front Pemuda Perjuangan Indonesia), Gerakan Pemuda Anshor, Forum LSM, YCW (Yogyakarta Coruption Watch), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PRD (Partai Rakyat Demokratik), LAPERA (Lembaga Pemberdayaan Rakyat) LKPSM NU (Lembaga Kajian dan Penelitian Sosial Masyarakat, Nahdlatul Ulama), PS (Pemuda Sosialis), PD (Pemuda Demokrasi), PBHI (Perhimpunan Bntuan Hukum Indonesia) dan Lintas SARA.
46
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
hukum. Di sini terdapat orang-orang yang mau menegakkan syari'at Islam, dan orang yang mau menyingkirkan kekuatan pro-demokrasi dengan dalih memberantas komunisme. Di sini juga, orang-orang yang hendak menegakkan kebaikan tidak difasilitasi oleh negara. Tapi yang nyata dan begitu menonjol adalah semakin kuatnya kekuatan Islam konservatif dan Golkar, serta lemahnya kekuatan-kekuatan pro-demokrasi yang menyuarakan reformasi total, demokrasi dan pluralisme. Aparat keamanan dan penegak hukum, serta pemerintah sangat lemah. Semua kejadian anarkis dan kejam yang menimpa para aktivis mahasiswa dan kekuatan pro-demokrasi seolah-olah dibiarkan begitu saja kekuatan-kekuatan sosial demokratik-pluralis di Meski demikian, inilah peristiwa dan masyarakat. Kelompok-kelompok civil society “fakta” dari lemahnya masyarakat sipil dan tidak yang berbasis pada LSM dan mahasiswa tidak adanya konsolidasi sipil-demokratik di masa berhasil membangun konsolidasi demokrasi dan transisi ini. Semua yang terjadi juga dianggap sipil. Di sisi lain, kekalahan ini, membuka jalan sebagai bagian penting dari proses reformasi. yang lebar bagi gerakan dan ekspektasi Semua adalah kenyataan tentang masa transisi kelompok Islam konservatif yang telah yang penuh gejolak dan dinamika yang pahit. Ini membantu Golkar dalam menghabisi kelompok- adalah masa ketika seluruh elemen masyarakat kelompok prodem LSM dan mahasiswa. Seiring melakukan pertaruhan untuk memperebutkan dengan proses-proses yang menyedihkan di atas, “public sphere”. Masing-masing kelompok isu gerakan penegakkan syari'at Islam, berjalan di menyuarakan aspirasi, ideologi, cita-cita dan kepentingan mereka. Sayangnya, seperti yang atas arus reformasi yang makin tidak menentu.17 dicatat dalam tulisan ini, masih ada kelompok Akhir yang suka melakukan cara kekerasan dan menghalalkan segala cara untuk melumpuhkan Pluralitas masyarakat Yogyakarta benarkelompok-kelompok lain yang dianggap benar mendapatkan ujian yang sangat keras. berlawanan, sementara negara tidak melakukan Konflik dan kekerasan yang menimpa peran dan fungsi yang piawai.[] mahasiswa, para akivis LSM, dan masyarakat seringkali berakhir buntu, tanpa penyelesaian
Konflik dan kekerasan yang menimpa mahasiswa, para aktivis LSM, dan masyarakat seringkali berakhir buntu, tanpa penyelesaian hukum
16
Wawancara pada 17 Juli 2002. Isu penegakkan syari'at Islam yang secara khusus dibidani oleh Majelis Mujahidin Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, segera menjadi wacana nasional yang sangat kuat. Menjadi perdebatan di parlemenDPR sejak Agustus 2001, disusul kemudian tuntutan sejumlah kabupaten dan propinsi, seiring otonomisasi daerah. Lebih dari itu, di Yogyakarta sendiri, isu ini bergerak bersama gerakan anti maksiat dan gerakan pembersihan terhadap buku-buku kiri dan penyerangan terhadap para aktivis kiri yang sebetulnya dimotori oleh GPK, FAKI-PPP dan GEPAKO-Golkar. 17
Edisi Khusus 2003
47
Agama dan Kekerasan
interfidei newsletter
DAN KITA PUN MALU BERCERMIN ”Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya,” kata Thomas Hobbes. Kita boleh terkejut karenanya, lalu membantahnya habishabisan. Selanjutnya kita boleh mengemukakan alasan macam-macam, mulai dari yang paling kritis, analitis sampai pada yang spekulatif. Kita tahu, bahwa Hobbes ketika itu, berangkat dari pengalaman kondisional, jauh dari hiruk pikuk aktivis pluralisme dan pro demokrasi di Indonesia saat ini. Namun, ketika kita diperhadapkan dengan kekerasan atas nama agama, kita menjadi tak berkutik. Ada perasaan malu mengakui ungkapan di atas, takut bercermin untuk melihat wajah yang bopeng. Yang lain mencoba membela diri, dengan dalihdalih oknum, sekelompok orang dan macammacam jawaban yang terpoles. Dan ketika sejumlah pemuka agama terjerat, kita mau berkata apa? Inilah kiranya pekerjaan rumah bagi kita. Beberapa pertanyaan yang menarik dikedepankan adalah, mengapa umat beragama begitu mudah terpancing untuk memerangi umat beragama lain? Bukankah agama menganjurkan kedamaian? Mungkinkah ini pertanda kita semua sudah lari dari ajaran agama masing-masing? Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas semua itu? Sebelum memberi jawaban, mari kita mencoba mengurai fenomena kekerasan di berbagai belahan bumi. Kita mulai dari Indonesia, negeri yang (nota bene) dibangun di atas keberagaman. Tanggal 21 Mei 1998, boleh jadi merupakan tonggak perjuangan rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa. Tak heran, jika banyak orang berharap kehidupan akan lebih baik. Ada * Ketua Pokja Resolusi Konflik Poso (Pokja RKP).
48
Edisi Khusus 2003
kebebasan berekspresi sesuai cita-cita UUD 1945, ada keadilan pusat dan daerah. Tentu saja kebebasan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing merupakan tuntutan mutlak. Berhadapan dengan situasi demikian, orang lalu teringat akan citacita masyarakat madani pada jaman Nabi Muhammad. Tetapi belum lagi cita-cita dan paradigma peradaban itu tuntas, hambatan sudah menghadang. Fenomena terbalik menjadi kenyataan. Para pengikut tesis Huntington pun bersorak sebab dia telah memprediksi bahwa setelah Uni Soviet runtuh, kekuatan yang akan saling berhadapan adalah Barat vs Islam. Pernyataan itu terus menggelinding. Setelah Amerika menggempur Afganistan, negara super itu kembali mengincar Irak. Dua negara yang menjadi sasaran adalah penganut Islam mayoritas. Akibatnya, simpatik terhadap Irakpun mengalir bagai air. Jangan tanya bagaimana reaksi masyarakat Indonesia. Hampir setiap kali terjadi peristiwa penyerangan Amerika lahirlah simpatik di beberapa kota mayoritas Islam. Seorang kawan yang kebetulan wartawan di salah satu televisi swasta mengaku pernah didamprat redakturnya, akibat menyiarkan pembakaran gambar Osama bin Laden di Manado Sulawei Utara. Sehari kemudian reaksi masyarakat di Makassar, Sulawesi Selatan pun terjadi spontan. Masyarakat yang sedang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam ini ramai-ramai melakukan sweeping terhadap orang Manado. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Di kabupaten Poso, Sulawesi Tengah misalnya, tercatat 575 orang meninggal dunia (ada yang
interfidei newsletter
menyebut ribuan). Ratusan orang yang telah meninggal itu akibat perkelahian antara kedua pemeluk agama. Ironis memang, sebab berdasarkan berbagai analisa dan kajian konflik horisontal itu hanyalah dipicu oleh perkelahian anak muda yang kebetulan berbeda agama. Dan yang lebih menyedihkan adalah munculnya provokasi dari berbagai pihak, sementara pemuka agama tak kuasa menahan umatnya. Jadilah simbol agama sebagai legitimasi untuk saling membunuh. Di satu sisi orang berteriak “Allahu Akbar”, sambil menaklukan enam desa di kecamatan Poso Pesisir dalam waktu dua hari. Jumlah kerugianpun cukup memilukan, ratusan rumah yang dibangun orang berpenghasilan paspasan itu jadi gosong. Sementara di lain sisi teriakan “Haleluya” pun menghentakkan langkah sekelompok orang yang membumihanguskan sebuah pesantren. Darah manusia seakan-akan tak berharga. Mereka saling menumpahkan darah atas nama agama. Penulis teringat akan pengakuan seorang Pendeta di Sinode GKST Tentena Poso saat konflik memuncak Juli tahun 2000 silam. Katanya, secara umum Pendeta di Sinode telah berupaya melarang umat Kristiani untuk melakukan penyerangan. Tapi, belum lagi himbauan itu selesai, tiba-tiba seorang anak muda menimpali, “Dalam Injil dikatakan, pipi apalagi yang akan diberikan?” begitu kata anak muda sebagaimana yang ditirukan oleh sang pendeta. Tentu saja hal yang sama juga terjadi di kalangan Islam. Jujur saja, saat ini pada umumnya umat Islam sekadar bangga dengan KTP bertuliskan agama Islam. Ada kisah lucu yang pernah penulis saksikan di Makassar beberapa tahun yang lalu. Seorang mahasiswa Islam melakukan sweeping terhadap mahasiswa beragama Kristen. Mereka ingin menganiaya penganut agama Kristen karena kecewa dengan penyerangan tentara Israel terhadap Palestina. Tapi karena pemahaman agama yang tergolong pas-pasan, sang mahasiswa beragama Kristen yang kebetulan lewat harus memberi jawaban spekulatif. Seperti hari-hari sebelumnya Hasan (sebut saja begitu) dan kelompoknya mengetahui identitas seorang dengan meminta untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Kontan saja
Edisi Khusus Candi Dasa
sang mahasiswa yang ditahan kaget tak ketulungan. Mungkin karena ketakutan, mahasiswa yang beragama Kristen itupun menjawab apa adanya dengan kalimat, “Assalamu ‘Alaikum”. Karena pengetahuan agama mahasiswa beragama Islam itu tergolong pas-pasan, dia lalu melirik temannya sambil berkata, “sudah betul itu?” “Ya, sudah betul!”, timpal kawannya bermaksud membenarkan. Sang mahasiswa yang ditahan pun selamat dari penganiayaan. Begitulah gambaran pemahaman kita terhadap agama. Begitulah kenyataan yang terjadi diantara kita. Persoalannya, sejauhmana kita bisa menyikapi semua itu secara konstruktif? Memang jika kita kembali mengurai faktor penyebabnya, terdapat beberapa hal yang mesti dipahami. Sebutlah misalnya keberadaan media massa yang telah menggeser peran ulama dan pendeta dalam memberikan khotbah. George Gerbner, pakar komunikasi dan peneliti televisi di Amerika Serikat, menyebut televisi sebagai agama masyarakat industri. Televisi, katanya telah menggeser agama-agama konvensional. Khotbahnya didengar dan disaksikan oleh jemaah yang lebih besar daripada jamaah agama manapun. Tapi pernyataan Gebner ini, tampaknya bukanlah pembenaran untuk kita meyalahkan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi komunikasi. Kita masih punya norma dan agama yang masing-masing kita yakini kebenarannya untuk mengantar kita kepada kemuliaan. Dalam posisi seperti ini, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk memilah dan memilih agenda bangsa ke depan. Ali Bin Thalib r.a telah memberi petuah kepada kita, “Siapa yang merasa aman menghadapi zaman, zaman telah menipunya. Siapa yang tinggi hati menghadapinya, ia akan merendahkannya. Siapa yang bersandar pada tanda-tanda zaman, zaman akan menyelamatkannya”. (Jalaluddin Rakhmat 1991). Kalimat bijak lain yang pernah dikemukakan oleh Ali Ridha r.a. “Manusia mencela zaman. Padahal tak ada cela pada zaman selain pada diri kita. Kita kecam zaman padahal kecaman itu, ada pada kita. Sekiranya zaman dapat berkata, ia akan menggugat kita.” []
Edisi Khusus 2003
49
Agama dan Kekerasan
interfidei newsletter
HIDUP BERAGAMA BUKAN SEKEDAR HIDUP KOMUNAL Dulu ketika masih SD sampai Kita tentunya tidak ingin orangdengan SMA saya merasa semuanya baikorang “memenjarakan” Tuhan dalam baik saja. Saya yang dididik dalam agamanya masing-masing. Mereka lingkungan masyarakat Katolik di Flores beragama dengan cara menonjolkan menjadi “manja” dan malas; tidak suka aspek ritual dan superficial, hanya di berpikir tentang kemungkinanpermukaan saja seperti nampak dalam kemungkinan untuk berdialog dengan simbol-simbol pakaian, perhiasan, teman lain. Merasa diri paling benar dan kosmetik serta hiasan indah di tempat suasana kondusifpun dituntut dari orang ibadah. Peribadatan hanya dilihat dari lain. Lalu pada saat kuliah dan harus berinteraksi aspek formalitasnya saja. Lebih banyak di antara dengan situasi yang sangat plural, sayapun harus kita yang terperangkap pada format bukan isi, merubah cara berpikir. Harus ada kerelaan untuk substansi. Dimensi spiritual sepertinya semakin memberi ruang di dalam diri bagi orang lain. kabur bahkan kadang tidak tampak. Pada ruang pertemuan dan studio lukisan Sejalan dengan waktu dan perkembangan yang terjadi, ketika kembali ke Flores sayapun kami (Swabina Yasmine Flores) tertulis dengan mencoba merubah cara berpikir, paling kurang huruf besar, “Being Religious more important than untuk diri saya sendiri. Untuk menunjukkan having religion”. Ungkapan ini sangat jelas, bahwa religiositas menjadi yang secara langsung rasanya utama sebab kita hidup sangat sulit karena orang Agama yang tidak siap untuk tidak hanya sekedar Flores merasa perbedaan berdialog dan dikritisi akan bermakna komunal agama bukanlah masalah. melahirkan fanatisme buta yang a gama tapi juga Keadaan ini dapat spiritualitas dan sosial. dimengerti karena di pada akhirnya akan menjadi K ita harus bisa Flores agama Katolik sumber konflik melampaui batas ruang mayoritas. Namun di agama itu sendiri. KASIHAN AGAMA! balik itu sebenarnya Semoga kita semua tidak masih ada rasa curiga hanya berhenti sampai (saling curiga) terhadap pihak lain. Secara perlahan kami mencoba untuk p a d a b e r a g a m a s a j a , n a m u n j u g a memulai dialog dalam bentuk kegiatan bersama. mengimplementasikan nilai-nilai, ajaran agama Kami menjadikan dialog antar-iman sebagai yang selalu universal dan selalu ada dialog. Kita b a g i a n d a r i p r o g r a m p e n g e m b a n g a n tidak sibuk hanya untuk hidup komunal, atau masyarakat. Pertemuan saya dengan Institut memeluk agama sekedar menunjukkan bahwa Dian/Interfidei semakin menguatkan keyakinan kita mempunyai agama, yang pada akhirnya akan bahwa sangat mungkin dibangun dialog memunculkan ego komunalistik dan fanatisme buta yang mudah disulut. antariman. Saya yakin bahwa banyak orang Refleksi bersama di Candi Dasa, Bali telah sangat merindukan dialog antarumat berbagai memberikan keyakinan yang semakin kuat agama. Saya pernah mengikuti pertemuan bahwa agama yang tidak siap untuk berdialog Malino pada Januari 2002 dan dilanjutkan dan dikritisi akan melahirkan fanatisme buta yang dengan pertemuan di Candi Dasa, Bali. Pada pada akhirnya akan menjadi sumber konflik. pertemuan kedua ini terasa ada banyak KASIHAN AGAMA! Pada akhirnya apakah kita perubahan, situasi menjadi lebih cair dan hal ini hanya berhenti pada memiliki/menganut agama semakin mengobarkan semangat sesama. saja ?[] * Aktivis di Swabina Yasmine Flores (SYF).
50
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL Muhammad Azhar* Bangsa kita memiliki berbagai potensi yang dapat mereduksi sifat toleran dan yang bisa menjadi alasan timbulnya konflik. Kalau dari segi umat Islam, bangsa kita mayoritas umat Islam. Jadi kalau punya konflik, yang banyak masuk penjara umat Islam. Kalau kita buat data, yang banyak korupsi juga umat Islam. Ketika Iip Wijayanto melakukan penelitian tentang “keperawanan di kalangan mahasiswi” di Jogjakarta, saya kira banyak juga gadis-gadis Islam yang tidak perawan. Sayangnya, Iip hanya meneliti kegadisan, sedangkan masalah keperjakaan tidak diteliti. Perempuan selalu yang menjadi korban penelitian. Saya kira perlu juga diteliti soal keperjakaan. Dalam tulisan ini akan diperlihatkan beberapa hal-hal yang memunculkan konflik yang mereduksi sifat toleransi bangsa Indonesia. Pertama, kualitas pemahaman umat terhadap nilai-nilai agama, budaya masih rendah? Itu baru hipotesa sementara. Tapi prakteknya memang kelihatan di sini, sekalipun sebenarnya konflik itu tidak terjadi di semua segmen, tetapi hanya di segmen-segmen sosial tertentu. Kalau sekarang, misalnya konflik terjadi hanya di Aceh, Maluku, Ambon, Poso, Papua. Jakarta juga ada kelompok-kelompok tawuran, tapi yang tawuran itu daerah Rawa Tengah saja, mungkin karena pengaruh media massa. Janganjangan, bangsa Indonesia itu memang benar adalah bangsa yang toleran. Wong terhadap korupsi saja masih toleran. Namun yang jadi pertanyaan adalah, toleransi seperti apa? Janganjangan toleransinya hanya di bidang penegakan yang munkar, bukan pada yang ma'ruf. Saya kira itu yang menarik untuk diteliti. Terlepas dari itu, menurut saya terjadinya konflik karena pemahaman terhadap nilai yang masih rendah. Bangsa, umat kita masih senang pada “shuwarikum”, Innallaha la yanzhuru ila shuwarikum. ”Shuwarikum” merupakan keperluan formalisme. Bangsa kita lebih suka
pada hal-hal yang simbolik, romantis, herois, tapi melupakan nilai-nilai yang lebih esensial, substansial dan universal. Formalisme berbahaya, dan al-Qur'an mengkritik itu. Fawailul lil mushollin, sebenarnya kritik terhadap formalisme keberagamaan. Shalat tapi tidak punya kepedulian. Kalau dalam filsafat etika untuk menegakkan keadilan tidak cukup hanya soal keadilan, tetapi harus ada kepedulian. Kedua, dalam hubungan dengan isu antarumat beragama. Munculnya konflik antara lain disebabkan oleh prosilitasi atau pemurtadan yang dilakukan lintas agama. Sayangnya, umat masing-masing agama tidak punya kekuatan intelektual, ekonomi untuk merespon pemurtadan itu. Kita hanya punya kekuatan marah, ghadhab, kutukan. Pemurtadan itu harus kita respon secara intelektual dan akademis. Kalau tidak, kita akan menjadi umat dan bangsa pemarah saja. Ketiga, karena faktor kemiskinan. Kekafiran bisa menimbulkan kekufuran, konflik, tawuran, pengingkaran terhadap nilai-nilai ketuhanan. Kalau dia sudah mengingkari nilai-nilai ketuhanan, otomatis berimplikasi pada perbuatan yang destruktif. Menurut saya bisa menimbulkan konflik dan mereduksi sikap toleransi. Keempat, otoritarianisme negara. Negara dari tingkat Presiden sampai Kepala Desa/RT. Tingkat RT, Desa dan Kecamatan tampaknya sudah “agak” demokratis, terlebih lagi karena pengaruh reformasi. Otoritarianisme ini banyak modelnya, bukan hanya negara, Orde Lama atau Orde Baru, tapi juga ada otoritarianisme budaya, yaitu budaya feodalisme lama yang sangat hirarkis. Belum lagi otoritarianisme disebabkan oleh represi Orde Lama, Orde Baru, yang membuat bangsa kita tidak terlatih untuk mandiri, berdemokrasi dan bertoleransi. Yang terlatih, hanya berdemonstrasi, misalnya, dengan menginjak-injak simbol negara (gambar Presiden
* Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.
Edisi Khusus 2003
51
Agama dan Kekerasan
dan Wapres). Menurut saya tidak etis menginjakinjak simbol-simbol negara. Mbak Mega juga tidak terlatih untuk merespon kasus tersebut secara cerdas. “Nanti saya pecat mahasiswa dari status kewarganegaraannya”. Termasuk juga generasi Gus Dur, mungkin juga Amien Rais, dll. Kalau generasi mahasiswa sekarang mungkin sudah agak lumayan. Kalau generasi Gus Dur, Mega itu generasi tertindas. Jadi mereka kurang lama terlatih untuk bertoleransi. Inilah yang membuat bangsa kita menjadi kurang toleran, ada represi. Jangan-jangan selama ini yang dikatakan toleran itu semu, toleran terhadap represi, atau dalam bahasanya Emha, “bangsa kita ini sudah terbiasa untuk menikmati penindasan”. Menurut saya kasus pornografi, tawuran, korupsi itu hanya pelampiasan saja. Pelampiasan dari suasana konflik batin yang tidak tersalurkan. Bisanya adalah dengan menyalurkannya melalui korupsi dan memanipulasi aturan. Rakyat miskin, menyalurkan kesumpekan psikologisnya pada dukun, dangdut dan pornografi. Bahkan Menteri Agamapun juga percaya pada dukun. Gus Dur sebenarnya sudah mencoba, tapi terlalu cepat. Menurut saya Gus Dur terlalu cepat jadi presiden, maka tidak bisa lama-lama, karena rakyatnya belum siap. Dia ingin rakyatnya bebas, mandiri, merdeka, tapi sayang tidak sebesar Gus Dur. Jadi Gus Dur bukan pemimpin ideal saat itu. Kelima, adanya trauma. Indonesia trauma pada PKI. Kalau di Amerika, trauma pada komunis. Orang AS takut dan trauma pada tiga kata: komunis, radikalis dan teroris. Sedang orang Indonesia trauma pada PKI, Muhammadiyah trauma sama NU. Orang NU trauma sama Muhammadiyah, jangan-jangan Muhammadiyah berkuasa kembali. Maka ketika Gus Dur berkuasa, ya “kesempatan”. Mumpung Gus Dur berkuasa, banyak anak muda NU yang di cafecafe. Selain itu ada trauma antara IslamKristen. Bagi saya itu sebuah kewajaran sosiologiskultural, walaupun bukan kewajaran religius. Segi kelima itulah yang membuat bangsa kita semakin relevan untuk tidak toleran. Wacana-wacana HAM, pluralisme tinggal diisi dengan nilai-nilai universal agama-agama. Bagaimana HAM versi Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun local religions. Islam juga macam-macam, Islam NU atau Muhammadiyah,
52
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Islam Laskar Jihad atau Majelis Mujahidin. Jadi saya tidak terlalu terfokus pada pemaknaan toleransi. Sekarang kita harus melatih keluarga kita untuk belajar berdemokrasi. Nabi Ibrahim saja berdialog dahulu dengan Ismail ketika memperoleh wahyu dari Allah untuk menyembelihnya, apalagi kalau hanya perintah Megawati, ya harus lebih didialogkan. Menurut saya, toleransi secara internal terbagi dua. Internal umat, saya sepakat dengan Hassan al-Banna, itu juga problem. Mari bekerjasama dalam hal-hal yang sudah kita sepakati dan mari bertoleransi pada hal-hal yang belum kita sepakati. Misalnya saja tentang pasal 29. Saya melihat itu bisa kita padukan. NU dan Muhammadiyah menolak karena mereka itu orang lapangan, orang bumi. Kalau Majelis Mujahidin itu orang langit, yang paradigmanya transedental, wahyu. Seperti itulah paradigma kelangitan. Tapi saya melihat, mereka masih punya niat baik hanya saja masih kurang pengalaman di lapangan. NU dan Muhammadiyah itu orang lapangan, paradigma bumi, paradigma kontekstual, paradigma empiris. Mereka bukan melihat ini ide baik, tapi umat siap atau tidak. Saya mencoba mensinergikan ide Majelis Mujahidin. Ini bagus juga, paling tidak semangatnya. Persoalannya bagaimana menerapkan syariat Islam yang universal dan inklusif sehingga non-muslim bisa menerimanya dengan rasional (dan umat muslim seluruhnya memahami dengan baik dan menjadi tenang red). Bagaimana agar bangsa Indonesia kembali pada nilai-nilai ketuhanan. Menurut saya, secara internal kita tidak terlalu parah, kita masih cukup toleran. Kalau secara eksternal, kita sudah mentolerir dalam arti keyakinan. Kalau keyakinan kita harus lakum dinukum waliyadin. Dulu kita tidak toleran dengan bangsa Cina. Mereka merasa bukan orang Indonesia. Itu salah kita. Kita tidak membuat mereka menjadi tuan rumah yang baik. Sikap kita selalu memusuhi mereka. Secara eksternal keyakinan Islam sebenarnya tidak seperti itu. Tapi kalau sudah masalah publik, kita harus tegas. Tidak ada toleransi wilayah publik, tapi bermain lewat aturan terutama menghadapi perilaku sosial yang destruktif seperti KKN, dll.
interfidei newsletter Sedangkan istilah empati merupakan bahasa psikologi. Bagaimana orang Muhammadiyah ketika melihat NU seolah-olah dirinya seperti orang NU. Banyak derivasinya. Tapi banyak juga hal-hal yang positif dari NU dan Muhammadiyah. Kita melihat kenapa Cina itu eksklusif? Karena kita melihatnya dari kacamata kita. Wajar mereka eksklusif karena mereka diasingkan. Bagaimana kita harus mengerucutkan toleransi pada tingkat hukum kalau berkaitan dengan wilayah publik? Dalam negara hukum kita bermain lewat hukum, sekarang lewat undang-undang. Ada teori rekonsiliasi untuk menjawabnya. Ada arbitrase, bahwa lebih baik jika konflik itu diselesaikan oleh dua orang yang bersengketa. Di dalam rekonsiliasi ada pihak ketiga, mediator. Dia harus rembug apa. Walaupun nanti yang rukun adalah antar mereka saja. Kita hanya penengah, yaitu pihak yang merukunkan. Kita harus bagi-bagi tugas. Dalam sejarah Islam orang yang suka ngeyel itu termasuk Umar bin Khattab. Kaum muda, Salman al Farisi. Lalu ada DSUQ, itu kelompok Usman bin Affan. Toleransinya disitu. Kita berempati, saling tahu kekuatan dan kelemahan. Ini sebagai contoh dalam Islam. Dalam agama lain saya kira juga seperti itu, tetap ada polarisasi keberagamaan. Ketika sebuah wajah toleransi diletakkan pada konteks pimpinan non formal dan formal, maka ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat belum memiliki toleransi yang sesungguhnya. Lalu bagaimana caranya membangun kesadaran kritis? Kita memang harus hati-hati, pertama setiap komunitas ada pemimpin. Namun selama ini bukan persoalan elitis tapi bagaimana cara kita memfungsikan pemimpin itu. Selama ini pemimpinnya yang dipertahankan tapi pemimpin tidak dilatih untuk mewujudkan partisipasi bawahan. Sekarang pemimpin kita perlu dididik ulang, direkayasa ulang; salah satunya dengan memfungsikan kembali kepemimpinan lokal. Ciri-ciri pemimpin masyarakat madani (civil society) adalah partisipasi, mobilisasi, informal. Sekarang ada kesadaran baru, bangsa kita emoh pada penguasa, pejabat negara. Umat Islam, sebagai mayoritas telah memberikan toleransi melalui seni bermusyawarah.
Edisi Khusus Candi Dasa Tapi di tingkat lokal, saya kira kedekatan macam itu harus menjadi social contract. Ada etika universal, dimana kita hidup sebagai saudara, hidup dalam cinta kasih. Ada juga etika di tingkat lokal, misalnya soal rizki, inovasi, multikultural. Persoalannya, bagaimana kita menderivasi nilai-nilai agama universal di tingkat lokal? Sekarang bagaimana menurunkannya. Misalnya kita disuruh musyawarah. Ini bisa kita lakukan dengan pendekatan budaya. Etika harus universal, jangan disusun oleh satu kelompok atau dari pemimpin tertentu. Ada kesan konflik dijadikan alat legitimasi politik, seolah-olah hanya negara dan militer yang bisa dan berhak menyelesaikan masalah. Sehingga ada pemikiran bahwa konflik ini sebaiknya dipelihara, maka kita warga sipil harus hati-hati jangan sampai terjadi konflik di antara kita, dengan begitu militer akan mengambil alih peran sipil yang sudah bagus walaupun belum begitu berpengalaman. Jelas sekali bahwa konflik Ambon itu konflik horisontal, antarrakyat. Sedangkan konflik Aceh adalah konflik vertikal, yaitu rakyat dengan pemerintah. Saya pernah beri solusi, sebaiknya Aceh itu dishodaqohkan saja. Saya tahu logika orang Aceh. Orang Aceh punya prinsip dan harga diri. Kalau dilepas maka akan habis-habisan. Sebenarnya, kalau Aceh cerai, dia bisa jadi tetangga yang baik. Aceh kurang SDM, maka kita beri, kita barter dengan kekayaan. Maka bukan hanya masalah ekonomi tapi juga harga diri. Sekarang ribuan janda menjadi tentara, yang disebut pasukan para janda (inong bale). Dulu saya pernah mengusulkan, kalau Aceh pengin aman, segera jenderal yang bermasalah di Aceh diproses secara hukum. Tapi ini yang tidak dilakukan, sehingga Aceh semakin berlarut-larut. Apakah bangsa kita bisa dididik? Bagi orang Islam, misalnya, kalau kita berpegang pada alQur'an dan Hadits tidak ada masalah. Apa sih bedanya NU dan Muhammadiyah. Sekarang malah muncul fenomena terbalik. Orang Muhammadiyah banyak yang pakai sarung dan NU banyak yang pakai jas. Saya yakin, agama-agama di luar Islam keinginan bertoleransinya sudah semakin tinggi. Jadi sebenarnya perlu ada pendekatan. Kalau lewat pendidikan bisa saja pelan-pelan dan bisa juga lewat “perut”. Yakni melakukan bantuan sosial secara lebih merata. Insya Allah masa depan Indonesia menjadi lebih baik. Amien.[]
Edisi Khusus 2003
53
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
BUMI YANG DAMAI: Tantangan bagi Agama-Agama Listia* Sampai kapankah agama mendapat tempat dalam kehidupan manusia? Sampai ketika manusia tidak percaya lagi pada nilai-nilai dalam hidup. Lalu nilai apa yang paling lama bertahan? Nilai yang mensakralkan kehidupan. Sepanjang manusia konsisten menjaga nilai hidup, selama itulah agama masih dipercaya berguna dalam kehidupan manusia.Hidup ini sungguh luas bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk menguasainya. Tapi berapa banyak manusia yang mampu menguasai dan mengarahkan hidup sebagaimana yang diinginkannya, dibanding mereka yang berada dalam himpitan keterbatasan? Kenyataannya, yang sedikit itu semakin berkuasa untuk mengatur yang banyak dengan berbagai cara yang sangat halus dan mempesona. Lihatlah televisi. Berapa jumlah pemilik modal yang menawarkan dagangan melalui iklan? Berapa juta pemirsa televisi yang tanpa sadar membenamkan diri dalam citra indah-baik-buruk berdasarkan apa yang dirancang dalam iklan? Sekian juta pemirsa televisi mengarahkan hidupnya dalam pola konsumtif dan berusaha mewujudkan diri sebagaimana yang dijajakan dalam iklan. Banyak orang berlomba dengan keinginan dan mimpi-mimpi dalam hidup yang serba konsumtif. “Aku adalah apa yang aku miliki”, demikian Eric Fromm menengarai faham serba kebendaan (materialisme) yang makin mendarah daging dalam manusia modern. Sementara mimpi dan keinginan tak pernah habis dikejar, bergelimpangan kelompok manusia tersisih dalam keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan, hutan dibakar, lahan pertanian digusur, warung jualan dirobohkan. Tapi siapa peduli! Paham serba kebendaan sangat sedikit menyisakan ruang bagi diskursus keadilan. Yang berlaku adalah siapa yang paling berkuasa dialah
yang memiliki paling banyak. Dalam situasi seperti ini hanya segelintir orang yang sadar bahwa telah bertumbuh jamur-jamur frustasi di kalangan yang mengalami kekalahan bertubi-tubi. Bagi mereka yang punya banyak kesanggupan, keamanan, kemapanan, kenyamanan, kepuasan dan kenikmatan adalah nilai penting untuk dikembangkan dan dipertahankan. Tapi bagi yang frustasi tak ada lagi yang berharga kecuali menyingkirkan rasa panas-cemburu dengan berbagai cara, termasuk menyingkirkan kesenangan orang lain tanpa peduli dicap kriminal atau teroris. Sebagaimana mereka yang punya banyak kesanggupan, mereka yang merasa diperlakukan tidak adilpun, mempunyai kecerdasan untuk menciptakan paham-paham yang mampu menggerakkan orang dengan penuh keyakinan. Di manakah agama dalam situasi ketidakadilan global yang bisa melahirkan kebrutalan dan rontoknya sendi-sendi moral masyarakat? Agama masih tergolek dengan bahasa purbanya, dalam alam pikir yang mengandaikan waktu yang terhenti dan dunia yang terpilah-pilah. Sebagian umatnya khusuk menikmati kesyahduan dan ketenangan dalam rasa percaya. Sebagian menggelisahkan agama karena memikirkannya. Sebagian hanya berkepentingan dengan agama untuk acara pernikahan dan kematian. Agama masih ada dan menghabiskan energi demi menumbuhkan institusi-institusi untuk memelihara rasa syahdu dan tenang dalam rasa percaya umatnya. Ada apa dengan agama? Bukankah di dalamnya terdapat ensiklopedi kesalehan, kearifan dan kesucian yang menyerukan rahmat, cinta kasih, damai atau kebijaksanaan? Mengapa harus menghabiskan energi demi institusi-institusi? Sebagai suatu sistem tanggapan manusia atas
* Koordinator bidang penelitian Institut Dian/ Interfidei.
54
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
wahyu Tuhan, agama selalu berurusan dengan pemahaman, penafsiran dan pengajaran (sebagai bentuk pewarisan ajaran) yang mengandung perbedaan sebagai konsekuensi dari kenyataan manusiawi yang majemuk. Namun kiranya sudah menjadi watak manusia, enggan bersusah payah mengelola keragaman, dan lebih memilih penyeragaman meski terkadang harus melibatkan tindak kekerasan. Ini tak terkecuali dalam agama. Institusionalisasi dalam agamaagamapun kurang lebih berkaitan dengan persoalan menyeragamkan pemahaman, penafsiran dan pengajaran. Memang kondisi seragam itu mudah untuk digerakkan. Tetapi untuk soal hubungan yang sangat pribadi dengan Tuhan, bagaimana ini bisa diseragamkan, kalau tidak mengandung paksaan-paksaan formalitas? Tak heran bila menimbulkan ketumpulan dalam berkreativitas hingga mudah jatuh pada kejumudan (bisu dan tuli) dalam menghadapi persoalan riil yang dihadapi manusia. Dalam (intern) suatu agama saja para pemegang otoritas keagamaan umumnya tidak tahan dengan perbedaan-perbedaan apalagi menghadapi kenyataan kemajemukan agama-agama. Padahal dalam kemajemukan itu terdapat rumusan-rumusan keyakinan yang berbeda-beda bahkan saling bertolak belakang. Konflik antarumat beragama selalu menguras banyak energi agama-agama (institusi) yang bersangkutan. Konflik ini tidak pernah murni masalah agama, tetapi selalu ada faktor lain. Kerentanan umat beragama untuk mudah berkonflik (atau dimanfaatkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan) terletak pada faktor idiologis (klaim-klaim kebenaran) dalam ajaran agama, sehingga menghalangi umat beragama untuk bersikap toleran (menerima, mengakui dan
Edisi Khusus Candi Dasa
menghargai perbedaan dalam kesetaraan) pada umat yang berkeyakinan lain. Tetapi umat beragama dan khususnya para pemegang otoritas keagamaan, tidak juga belajar untuk “menyarungkan” atau melepaskan senjata idiologis ini. Bagi para pemegang otoritas keagamaan, mungkin persoalan identitas lebih penting daripada merevitalisasi agama. Atau mereka mungkin saling menunggu redanya gejolak persaingan antarumat beragama yang tidak mendewasakan dalam beragama. Institusi agama-agama terlalu repot dan asyik dengan persoalan yang dibangunnya sendiri. Sementara berjuta-juta manusia yang kalah dan tersingkir, yang sebagian besar juga penganut agama, hanya bisa menimbun ketiadaan harapan dan rasa tidak percaya dalam ironi baldatun toyyibatun warobbun ghofur: di atas bumi seperti di dalam surga. Bumi yang damai hanya jadi milik mereka yang punya banyak kesanggupan. Memang ada aktivis keagamaan yang bergerak dalam pendampingan dan pemberdayaan kaum dzuafa, tapi tentu tidak seberapa dibanding laju ketidakadilan global yang terus bertransformasi. Institusi agama-agama menghadapi tantangan yang sama. Tetapi sangat memprihatinkan bila dalam situasi seperti ini institusi agama-agama masih berkutat pada persoalan persaingan jumlah pemeluk atau terjebak dalam persoalan masa silam. Syukurlah bahwa masih ada isyarat geliat ruh agama-agama akan bangkit dalam kebersamaan untuk pendewasaan manusia. Dengan ini kiranya kita masih bisa terpaut hati untuk memanjatkan doa bersama-sama. Semoga semua mahluk berbahagia. Damai di hati damai di bumi.[]
Di manakah agama dalam situasi ketidakadilan global yang bisa melahirkan kebrutalan dan rontoknya sendi-sendi moral masyarakat? Agama masih tergolek dengan bahasa purbanya, dalam alam pikir yang mengandaikan waktu yang terhenti dan dunia yang terpilah-pilah. Edisi Khusus 2003
55
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
MELEMAHNYA KEKUATAN MORAL RELIGI Fanfaidin* Akhir-akhir ini rekatan sosial (social cohesiveness) semakin melemah. Kita saksikan begitu rentannya bangsa ini terseret oleh provokasi dan konflik SARA yang cenderung disintegratif. Malapetaka Ambon, Poso, Pontianak, Sampit, Bom Bali serta percikan-percikan konflik sosial lainnya di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan betapa lemahnya rekatan sosial. Persoalannya bukan hanya akibat krisis ekonomi atau euphoria reformasi yang kemudian memicu interaksi disharmoni hingga memunculkan kecemburuan-kecemburuan sosial antar kelompok kepentingan sosial, tetapi berhulu dari unsur dasar interaksi itu sendiri yakni moralitas. Fenomena konflik SARA adalah bukti distorsi moralitas bangsa dari tingkat perilaku sosial-psikologis sampai pada tingkat pelembagaan sistem yang politis-eksploitatif; yang atas nama kekuasaan dan kebenaran memakan korban nyawa ribuan manusia yang tidak menyadari mengapa mereka terseret pada konflik tersebut. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa moralitas bangsa ini begitu rapuh sehingga mudah terjebak dalam konflik SARA? Persoalan moral bukan hanya persoalan individu atau kelompok sosial, tetapi juga persoalan negara. Moralitas adalah poros utama eksistensi manusia baik individu, kelompok maupun bangsa-bangsa dalam berinteraksi dan berintegrasi. Moralitas senantiasa adalah persoalan konkret di seluruh wilayah gerak masyarakat di bawah tanggung jawab negara, mulai dari meja belajar, ruang kerja, dinamika perekonomian, proses politik, kapasitas norma hukum, mekanisme birokrasi, pergaulan sosial, hingga nilai-nilai ideologis pada setiap lapisan masyarakat kaya-miskin, marginal-elit dan sebagainya. Di Indonesia, moralitas interaksi sosial pada dasarnya dibangun di atas dominasi religi. * Direktur Yayasan Sasmita Bengkulu.
56
Edisi Khusus 2003
Tetapi kekuatan ini menjadi tidak berdaya dalam menghadapi tekanan kepentingan politis dan perubahan orientasi kebutuhan material-ekonomis. Nilai-nilai agama sebagai parameter moral seharusnya menjadi mercusuar putusan politis. Tetapi realitasnya selama ini justru sebaliknya, agama menjadi instrumen politik untuk status quo, menjinakkan kelompok marginal strategis dan menghegemoni kesadaran kritis baik secara epistemologis maupun aksiologis. Maka terjadilah euphemisme kekerasan negara (state violence) secara tidak langsung kepada kelompok marginal, kelompok minoritas agama dan etnis, atau kepada kelompok mayoritas (powerless) terutama kelompok mayoritas perempuan. Implikasi logis dari hal ini ialah agama tidak dijadikan sebagai acuan utama kekuatan kontrol terhadap penyelewengan moral umatnya. Nilai-nilai agama tidak lagi menjadi acuan harmonitas interaksi interpersonal dan intercommunity. Oleh karenanya begitu muncul gelombang krisis ekonomi, maka dengan segera akan dibarengi oleh krisis kepercayaan, sementara politik sudah tidak lagi mempunyai kekuatan penyelesaian konflik baik vertikal maupun horisontal. Para elit politik sudah terjebak ke dalam ruang perebutan eksistensi periveral dalam jargon-jargon ideologi parsial demi kepentingan mempertahankan identitas kelompoknya masing-masing. Kemudian hal ini disusul dengan implikasi logis munculnya krisis hukum, dan rakyat sudah tidak bisa lagi mempercayai produk aturan formal dari lembaga politik. Kelompok sosial grassroot akhirnya melakukan tindakan-tindakan protes dengan berbagai ekspresi menurut aturan mereka sendiri yang rentan terhadap tarikan anarkisme, mulai dari pelanggaran norma hukum positif, penghakiman massal, penjarahan sistematik,
interfidei newsletter
penuntunan social insecurity secara membabibuta, sampai pada pengabaian proses pengadilan, dan sebagainya. Fenomena sosial di atas berlanjut sampai pada melemahnya kekuatan budaya kita, yaitu kekuatan moral (yang pernah mampu merelakan darah dan berani berlapar-lapar tanpa keluhan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun demi memperjuangkan kemerdekaan,) dan semangat untuk merebut kemerdekaan didukung dengan sinergitas komitmen antiimprealisme dan cita-cita bersama. Namun belakangan ini, akibat dari malapetaka krisis ekonomi dan sosial politik, orang cenderung mencari jalan pintas yang secara sewenangwenang mengambil cara demi untuk kepentingannya sendiri. Atas nama kesenjangan ekonomi maka dengan enteng orang melakukan eksploitasi sumber daya lokal. Bahkan atas nama moralitas itu sendiri orang dengan gampang menghujat, menggugat, bahkan melakukan pembangkangan nilai-nilai HAM, seperti kasus pembakaran tempat-tempat hiburan, penggundulan pelacur, pembunuhan etnis. Kemudian atas nama agama dan keutuhan bangsa maka orang bisa mensahkan pengkafiran dan melakukan pembunuhan sebagai wujud jihad integralistik (Kasus Ambon-Maluku, terakhir bom Bali). Sesungguhnya semua ini adalah pengingkaran diri, perilaku paradoksal, kemunafikan hati-nurani, pengkianatan moral, dan juga pengkhianatan terhadap agamanya sendiri, terlepas dari kausalitas kasusnya. Dalam keadaan seperti ini kewibawaan hukum sudah tidak dihormati lagi, seolah-olah di negara ini sudah tidak mempunyai landasan moral bersama yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimaklumi atau tidak memang semua ini merupakan konsekuensi logis dari kegagalan atau mungkin kemandulan kekuatan agama dalam membangun ideologi moral yang substantif, akibat kolaborasi kekuasaan politik dan lembaga agama dalam memberlakukan sistem represif yang terlampau lama membatasi kebebasan demos-cratos. Jika keadaan di atas terus dibiarkan, maka konflik sosial akan semakin kompleks dan krisis moral budaya semakin berkepanjangan. Untuk
Edisi Khusus Candi Dasa
itu diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam dan serius disertai aksi konkret dalam mengembalikan kekuatan moral budaya bangsa ini. Upaya ini adalah tanggungjawab seluruh komponen bangsa, terutama dari kelompok agama sebagai bagian dari masyarakat sipil independen. Dalam hal ini, kalangan agamawan harus merefleksikan kembali paradigma pembacaan, penterjemahan dan metode transformasinya untuk disesuaikan dengan perubahan sosial yang realitasnya cenderung cross-dimensional dalam pergaulan yang lebih mondial. Oleh karena itu mau tidak mau kelompok agama mendapat mandat sosial untuk mereformulasikan kesadaran moral posisional yang memerdekakan dan tidak diskriminatif sehingga kembali mempunyai kekuatan tawar konkret yang dapat mempengaruhi kebijakan dan tindakan politis, bukan sebaliknya terkooptasi dan menjadi alat legitimasi kepentingan politis. Namun kenyataannya, masih banyak kalangan agamawan dalam konteks kehidupan bersama terjebak dalam sistem yang eksklusif, berorientasi pada kebenaran parsial dan enggan duduk bersama untuk menyelesaikan kasuskasus moral universal. Terlebih lagi dalam satu kelompok agamapun telah terpecahkan dalam friksi-friksi yang tidak hanya berkenaan dengan adanya perbedaan norma-norma operasional, namun juga nilai-nilai ideologinya, yang tentu saja akan mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dan fundamentalisme kaku yang cenderung bergerak semakin eksklusif. Munculnya partai-partai politik yang memuati visinya berdasarkan simbol-simbol agama semakin memperkuat munculnya eksklusivisme. Implikasinya jelas cenderung menyeret suatu mistifikasi dogmatis kebenaran kelompok, bukan kebenaran universal dalam humanstream. Seperti klaim kebenaran suatu kelompok politik agama yang meyakini kelompoknya sebagai satu-satunya kelompok absolut yang mendapat legitimasi illahiah untuk mengatur kehidupan sosial. Wacana kepemimpinan perempuan ditolak mentahmentah dengan dasar keyakinan bahwa itu menyalahi doktrin spiritual. Wacana syariat Islam dalam penyelenggaraan negara Edisi Khusus 2003
57
Agama dan Kekerasan
didesakkan secara sepihak atas dasar keyakinan bahwa itu adalah bagian dari amanat jihad. Kelompok agama yang eksklusif selalu ditandai dengan dogmatisme absolut, dengan paradigma kebenaran mutlak pada dirinya sendiri. Kelompok ini jelas terjebak pada hegemoni interpretasi sempit yang resisten terhadap ideologi moral parsial, ideologi yang menafikan visi co-extencial dan lebih mengagungkan ideologi diskriminatif, monolistik dan seksis. Kelompok ini kemudian justru rentan t e r h a d a p manipulasi a m b i s i u s kepentingan elit politis, sehingga dengan mudah d i j a d i k a n i n s t r u m e n pembenar gerakan politik para elit demi mendapat k e k u a t a n mayoritas. B i l a d i c e r m a t i , sekarang ini sedang terjadi proses eksploitasi kaidah-kaidah agama untuk monopoli etika sosial. Dan ini dipakai sebagai alat justifikasi kepentingan politik kelompok eksklusif. Kecenderungan eksklusivisme agama tertentu akan menyeret manusia pada otoriter kelompok. Akibatnya terjadi alienasi manusia ke dalam blok-blok psikologis fatalistik dan nihilisme yang justru tidak lagi menghormati nilai-nilai hak-hak asasi manusia universal. Pada gilirannya, kecenderungan ini akan membawa pada sensitivitas sosial kelompok masyarakat tak berdaya untuk mudah tertipu oleh provokasi pada kerusuhan-kerusuhan sosial. Kerusuhan sosial-rasialis yang pernah dan sedang terjadi saat ini adalah pelajaran penting untuk direfleksikan atau diintrospeksi dengan melihat akses-aksesnya yang sangat nir-insani. Padahal kita juga telah mendapat pelajaran pahit
interfidei newsletter
dari perpecahan umat beragama di BosniaHerzegovina ketika kehormatan dan nyawa manusia sudah tidak dihargai lagi. Peristiwaperistiwa tersebut menunjukkan bahwa nilainilai agama sudah tidak dimartabati dan kehilangan kesakralan sehingga dengan sewenangnya orang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini jelas tidaklah searah dengan substansi moralitas religi itu di mana demokrasi dan humanisme mesti ditegakkan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu gerakan inklusivisme nyata yang mampu menjawab dan mengembalikan posisi agama untuk penguatan moral dalam konteks pluralitas bangsa ini. Diperlukan suatu pembongkaran p a r a d i g m a teologis yang memerdekakan ummat agar terbuka lebih luas r u a n g silaturrahmi, perluasan nilai ukhuwah, eksplorasi interpretasi kritis yang lebih rasional dan berakar pada validitas empiris-realistik. Disamping itu diperlukan suatu pendekatan teologi transformatif yang memperkuat kelembagaan moral agama terhadap kekuasaan negara, suatu teologi yang tidak lagi menjadi instrumen politik. Selain itu juga diperlukan suatu wacana rasional yang memungkinkan dipertemukannya berbagai kelompok agama dalam komunikasi yang saling menghormati perbedaan. Dalam hal ini agama tidak lagi diartikulasikan sebagai kristalisasi nilai etika yang menggantang asap atau suatu lembaga menara gading yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan konkret manusia. Agama adalah proses moralitas budaya dalam pemaknaan aktif, suatu
Sesungguhnya semua ini adalah pengingkaran diri, perilaku paradoksal, kemunafikan hatinurani, pengkhianatan moral, dan juga pengkhianatan terhadap agamanya sendiri, terlepas dari kausalitas kasusnya. Dalam keadaan seperti ini kewibawaan hukum sudah tidak dihormati lagi, seolah-olah di negara ini sudah tidak mempunyai landasan moral bersama yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
58
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter strategi budaya yang menentukan kualitas zaman, kedewasaan prilaku ummat, suatu kearifan intelektual yang mewarnai eksistensi manusia dalam berinteraksi dan berintegrasi harmonis dengan sesama atau pun dengan entitas lain. Khusus dalam agama Islam, reformasi moral dalam gerakan inklusif perlu dilakukan dalam rangka pembedahan mental monopolistik terhadap kebenaran sosial, kebenaran syariat dari taklid-taklid buta agar terbebas dari kungkungan pandangan konservatisme yang selama ini tersudut dalam fragmentasi interpretasi subyektif dan otoritarian patriarkis. Gerakan inklusif dalam Islam bukan hanya mengenai cara pembacaan dan pemahaman, tetapi juga serta merta adalah praktek beragama yang demokratis, menghargai dan menerima perbedaan dalam satu kebenaran yang sama. Namun demikian masih banyak dari kalangan ulama yang mensikapi perkembangan gerakan inklusivisme agama dengan kecurigaan sepihak dan tidak mendasar, tanpa memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah tersebut dan mengapa fenomena ini muncul di tengah-tengah keresahan sosial. Beberapa pandangan negatif terhadap gerakan inklusivisme agama, seperti wacana Islam Liberal yang belakangan ini diriuhkan kalangan intelektual muda kritis, dari serangkaian hasil diskusi teman-teman LSM di Bengkulu, teridentifikasi antara lain: 1. Gerakan ini merupakan aliran sesat yang hendak merusak sistem establishment religi keislaman. 2. Gerakan ini adalah gerakan sekularisasi keabsolutan etika riligi Islam. 3. Sebagai gerakan ideologi materialistik dari barat yang menghancurkan nilainilai ukhuwah. 4. S e b a g a i w a c a n a y a n g s e n g a j a dikembangkan kelompok intelektual untuk merubah orientasi intuitifteleologis golongan konservatif menjadi rasional-realistik keduniawian. 5. Sebagai strategi kelompok elit politik tertentu untuk mendapat simpati mayoritas masyarakat abangan dan nonIslam. 6. Sebagai gerakan orang buta agama untuk
Edisi Khusus Candi Dasa mendapat legitimasi sosial. 7. Semata-mata hanya sebagai bentuk katarsis sosial golongan muda yang tidak punya pijakan moral, tidak menguasai ilmu agama dan terkontaminasi pada kesibukan ilmu-ilmu materialistik. 8. Sebagai gerakan ideologi turunan demokrasi liberal menuju liberalisme Islam. Barangkali dari sekian kecurigaan yang teridentifikasi tersebut secara umum bisa ditarik garis persamaannya bahwa, di satu sisi mereka mengedepankan sikap waspada terhadap ketidakpastian tuntutan perubahan, tapi di lain sisi lebih menampakkan sikap defensif berlebihan karena hal ini disadari sebagai ancaman serius terhadap manifestasi kepentingan politik mereka. Mereka mungkin melupakan bahwa gejala ini adalah jawaban kebutuhan riil dan merupakan reaksi realitas sosial atas ketidakmenentuan norma-norma interaksi dalam komunitas majemuk bangsa ini. Terlepas dari sikap kontra di atas, mestinya tetap dikhawatirkan bahwa keadaan pengkaburan etika interaksi ini akan dimanfaatkan oleh kelompok mapan yang eksploitatif dan status quo untuk mencapai target chaostik. Adalah fitnah jahat jika mengatakan gerakan inklusivisme agama sebagai suatu tarekat baru yang menyesatkan. Ia sebenarnya mengambil peran dalam keluwesan historis yang justru menancapkan kewaspadaan terhadap arus perubahan yang manipulatif, maka ia tidak terjebak pada kekakuan dogmatisme dan otomatis, juga tidak terkurung pada presistensi kelembagaan agama yang berafiliasi dengan kekuasaan untuk mendapat pengaruh. Ia lebih menggunakan wacana rasional-empiris dalam komunikasi antariman dan mengkritik ortodoksi pemahaman yang meyakini adanya komunitas absolut dan secara sewenang-wenang meniadakan komunitas lain. Pemikiran ini berupaya menjelaskan nilai-nilai universal tanpa mengagungkan atribut-atribut semu yang menyeret pada dosa-dosa sosial. Oleh karena itu gerakan inklusivisme agama lebih bermisi demokratisasi pemikiran atau pembebasan diri dari paradigma interpretasi politis yang seksis dan diskriminatif.[] Edisi Khusus 2003
59
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
REFLEKSI PEMIKIRAN 1 “AGAMA YANG MEMBEBASKAN” Sudarto Tahun 2003 ini, Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Padang memasuki usianya yang keempat. Dibandingkan dengan umur manusia, usia empat tahun merupakan usia yang masih bau kencur, lugu dan lucu. Namun bila diukur dengan usia sebuah lembaga yang menyebut dirinya sebagai lembaga interfaith, sudah merupakan usia yang memiliki dinamika yang sangat melelahkan di antara kecurigaan, prasangka bahkan tuduhan yang terkadang amat menyakitkan dan menguras energi. Kehadiran PUSAKA di Padang dianggap sesuatu yang aneh. Bagi sebagian orang dianggap mengada-ada “tidak ada petir dan mendung kok hujan”, atau bahkan dianggap sebagai agen pemurtadan. Maka tidak heran kalau masyarakat yang merasa mayoritas dan merasa pemilik hak atas daerah, belum bisa mendukung baik moril apalagi materiil sebagai wujud kepedulian. Kerjasama lintas iman, lintas etnis selalu terhenti dan kandas di meja dialog. Keinginan menggalang lintas iman nyaris selalu bertepuk sebelah tangan dan dianggap mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil. Pada saat yang sama pengusungan simbol-simbol agama pun selalu terjadi. Pengalaman di atas makin menguatkan asumsi bahwa pertanyaan ada apa dengan agama masih menarik untuk disoroti. Deskripsi Ketertindasan Rakyat Beban berat yang sedang menghimpit rakyat kecil (grassroot level) saat ini adalah kemiskinan, ketertindasan, pengangguran, kesenjangan atau ketidakadilan sosial serta problem alienasi kemanusiaan lainnya. Sungguh 1
2
sangat ironis di negara yang terkenal dengan zamrud khatulistiwa dan kaya raya akan sumber daya alam tenggelam dalam ranah kemiskinan yang berdampak langsung kepada masyarakat. Sebagian mereka adalah petani, peternak, nelayan, pengrajin industri kecil, kaum buruh di pedesaan dan perkotaan dan masih banyak kelompok masyarakat lainnya yang telah lama mengalami pemiskinan dan perbudakan dalam berbagai bentuknya, yang setiap saat siap untuk memporak-porandakan Indonesia sebagai bangsa melalui gerakan-gerakan anarkis dan separatis (lebih baik berpisah tapi adil daripada bersatu tapi zhalim). Banyak hal yang kelihatannya sangat janggal memperlihatkan betapa jelasnya ketidakadilan itu. Contoh yang dengan kasat mata dapat ditonton saban hari betapa orangorang kecil harus meringkuk di penjara, atau yang lebih sadis mereka harus diadili dan dibakar massa hanya gara-gara merasa lapar lalu mereka mencuri sebungkus kue dipinggir jalan. Sementara para maling besar, penjarah hutan, perampok dana BLBI ratusan milyar atau bahkan triliunan, perampok dana bulog non-budgeter, dan bandit-bandit berdasi lainnya masih dibiarkan lenggang kangkung sambil menjadi selebritis di layar TV yang tanpa perasaan malu mengibuli publik dengan argumen-argumennya yang 3 kering. Cerita lain yang tidak kalah memuakkan adalah bahwa pada satu sisi para eksekutif muda sedang asyik menikmati secangkir kopi panas penghilang stress di hotel-hotel berbintang sambil mendiskusikan bisnis “real estate” dan pengembangan kawasan perumahan mewah (khususnya pembangunan rumah mewah untuk
Refleksi pemikiran agam yang membebaskan dalam pertemuan nasional Interfaith di Gedong Gandhi Ashram Candi Dasa, Karangasem Bali tentang Agama dan Kekerasan pada tanggal 18-23 Februari 2003. 2 Peminat masalah agama, sosial, politik dan futurologi dan Direktur Pusaka. 3 Ingat kasus HPH, dana BLBI, dana Bulog Non Budgeter dan yang sejenisnya.
60
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
peristirahatan di kawasan Bogor, Jawa Barat atau daerah lainnya). Namun pada saat yang sama saudara-saudara sesama anak bangsa di Papua sedang merana karena gandum dan talas satusatunya sumber makanan pokok tidak bisa dipanen akibat limbah PT Freeport, dan jumlah kemiskinan di sana saat ini terus membengkak 4 hingga telah mencapai angka 22 juta jiwa lebih. Pada tempat yang berbeda, bagi mereka yang merasa paling “shaleh” di dunia harus melakukan pengulangan naik haji ke Mekkah untuk kesekian kali (hobi naik haji). Karena mereka merasa belum afdhol pada tahun yang lalu atau karena kelebihan harta, dengan menggunakan jasa tour travel yang belakangan ini cenderung menjamur, dengan biaya puluhan juta hanya untuk mengunjungi kubus (Ka'bah) atau tempat keramat/ tanah suci lainnya bagi penganut agama yang berbeda. Pada saat yang sama di Aceh, masyarakat harus merana karena kehilangan haknya sebagai daerah yang ingin memiliki kedaulatan tanpa intervensi militer. Sementara itu kemiskinan dan ketertindasan masih begitu meruyak di mana-mana di penjuru negeri ini. Fenomena itu kian diperburuk dengan wajah pertelevisian swasta, yang selalu menyajikan tontonan para selebritis dengan polapola hidup konsumeristis, hedonistis dan serba mewah di tengah-tengah krisis ekonomi yang makin melemahkan daya beli masyarakat. Belum lagi rakyat miskin terbebas dari persoalan dalam negeri berupa krisis multiwajah, di depan mata telah menghadang ancaman dan bahaya kapitalisme, sebagai wujud neo-liberalisme dengan wajah “Globalisasi” dan “Pasar Bebas” yang menguasai aset ekonomi yang akan menghancurkan sistem produksi dalam negeri. Serbuan produk impor berdampak langsung terhadap turunnya harga gabah, tebu, gula dan paha ayam lokal, sebagai contoh betapa bahayanya kepentingan neo-liberalisme dibalik kepentingan IMF, WTO dan World Bank dan lembaga keuangan internasional lainnya dengan 5 berbagai dalih.
Edisi Khusus Candi Dasa
Mencermati kesemrawutan kondisi tersebut di bumi beribu-ribu etnis ini, saya mengajak kita semua untuk menjawab secara jujur beberapa pertanyaan kontemplatif reflektif berikut ini. Bagi saudara-saudara yang bukan beragama Islam mari kita temukan terminologi serupa dalam agama masing-masing yakni: • Apakah Islam hanya tercermin dari kopiah atau busana muslimah serta fisik masjid yang terus diperindah, namun amat sedikit memberi makna dan manfaat kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya? • Mampukah umat Islam memberikan keselamatan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan kepada makhluk di sebelah kanan dan kiri sebagaimana ucapan salam penutup shalat yang dilakukan lima kali sehari? • Bukankah kita semua hafal hadits Nabi yang mengatakan “tebarkanlah salam” (yang berarti keselamatan, keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan) itu tidak saja bermakna ucapan salam lisan? • Apakah benar kita dapat merasakan kelaparan dan kepedihan mereka yang tidak berpunya tatkala selesai menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sementara anggaran belanja selama puasa dan hari-hari besar justru lebih membengkak dibandingkan dengan bulan-bulan biasa, sampai-sampai harus diadakan sidang kabinet khusus untuk membahas persediaan pangan untuk hari-hari yang oleh umat beragama dianggap mulia, sementara pada hari yang sama selalu dijumpai orang tidak punya sesuatu untuk dimasak? • Apakah zakat hanya ibadah individual dengan menyerahkan 3,5 liter beras dan sedikit harta yang telah mencapai nishab sebagai sikap dermawan. Bukankah zakat ditujukan terhadap masyarakat yang tidak berpunya, tetapi bagaimana cara pengelolaannya?
4
Lihat akar konflik di Papua antara suku Amungmai dan Komoro dengan provokator PT. Freeport. Lihat, Mansour Fakih, Runtuhnya Konsep Pembangunan dan Globalisasi (Jogjakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2000). 5
Edisi Khusus 2003
61
Agama dan Kekerasan • Betulkah kita telah mempunyai sikap dan p e rb ua t a n r e la b e rk or b a n u n t u k menyelesaikan persoalan sosial sebagai refleksi dari ritual hari raya Qurban setiap tahun dengan hanya menyembelih seekor kambing, atau jawi untuk tujuh orang? • Tentunya kita percaya bahwa makna hakiki dari haji mabrur itu bukan hanya terwujud dalam bentuk sorban dan kopiah putih melainkan kehadirannya sepulang dari haji dapat bermanfaat bagi lingkungannya? Wajah Islam Saat Ini Banyak persoalan yang saat ini sedang dihadapi oleh agama tidak terkecuali Islam, baik Islam sebagai sistem religi maupun Islam yang secara praksis berhadapan dengan realitas sosial keagamaan. Sebagai seorang Muslim, penulis harus dengan jujur dan berani untuk mengatakan, bahwa Islam yang nampak hari ini adalah Islam formalis yang diwarnai dengan ketidakjelasan metafisik teologis atau kalau kita meminjam bahasa Asghar Ali Engineer disebut 6 dengan “metaphysico theological obcuscations”. Kalau fenomena itu terus berlangsung dikhawatirkan Islam akhirnya menjadi sistem agama yang tidak relevan dengan tuntutan zaman. Atau yang lebih tragis lagi Islam tidak akan mendapat tempat di hati kelompok tertindas dan kaum lemah (mustad'afin) dimana sebagian besar umat berada di dalamnya, sekalipun ada hanya sebatas ritualisme yang kering, dan semakin menguatkan asumsi bahwa agama adalah candu (Religion is opium of the 7 people) seperti yang pernah disinyalir oleh Karl Marx, yang pada akhirnya akan terjadilah “pembusukan agama” dalam tong sampah sejarah. Pada wilayah praksis, umat beragama dihadapkan dengan kenyataan pertama, peran yang ambigu dari agama antara konsep jalan keselamatan, kedamaian dan kebenaran atau antara konsep agama memberikan nilai-nilai dan 6
interfidei newsletter
visi, menjadi sumber spiritualitas dan kemanusiaan sejati. Pada sisi lain ada kenyataan bahwa agama juga tidak sedikit yang mengandung unsur kebencian. Di samping itu setiap warna keagamaan dalam suatu konflik tentu melibatkan agama formal. Bahkan dalam beberapa kondisi, agama menjadi penghalang kemajuan ilmiah dan cenderung berpihak kepada yang kaya melawan kelompok miskin dan tertindas. Kedua, realitas di atas menunjukkan ketidakberdayaan realitas agama merespon intervensi gerakan politik bawah tanah yang semakin lama semakin membawa kenestapaan kolektif, realitas agama begitu mudah ditaklukan oleh kelicikan dan tipu daya politik. Dengan kata lain, realitas agama begitu mudah tergelincir dan bertekuk lutut dihadapan jebakan politik. Dalam pengertian inilah maka muncul apa yang kita sebut dengan “perselingkuhan teologis” yang direkayasa pihak pelaku politik melalui pengusungan simbol-simbol keagamaan, sementara komunitas beragama lalai dan tidak sadar terhadap gejala intervensi politik. Sementara itu dalam wilayah teologis, menurut hemat penulis pertama, bahwa Islam sebagai sistem religi yang berkembang di tengah masyarakat telah kehilangan relevansi dengan konteks sosial yang mengemuka karena konsepnya cenderung trancendental oriented dan kurang peka terhadap persoalan mendesak keumatan. Kedua, teologi Islam yang ada saat ini adalah teologi yang mengalami penyimpangan 8 dari konteks agama itu sendiri (demistified) atau dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh semangatnya yang menjelma dalam bentuk konflik bernuansa agama. Ketiga, Islam yang muncul hari ini adalah teologi rigitd dan fikh oriented atau hanya dengan pendekatan black and white. Persoalan ini merupakan bias langsung dari sistem feodalistik ulama yang sebagian besar dari mereka adalah pendukung paling kuat status quo, sehingga tak lagi kritis, sekalipun mereka menulis, namun hanya berkisar pada persoalan
Lihat Asghar Ali Engineer, Islam Liberal terj. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Karl Mark dan Frederick Engels, On Religion, Moscow Prugness Pubiser, 1976, lihat juga Marx & Engels, Selected Corespondence hal 97. 8 Asghar Ali Engineer, op.cit,. 7
62
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
ibadah-ibadah ritual yang menghabiskan energi dengan mengupas mati-matian masalah furu'iyah dan persoalan spekulatif. Keempat, Islam yang hadir hari ini adalah Islam yang kehilangan komitmen terhadap terciptanya keadilan sosial, ekonomi dan keberpihakan terhadap kaum yang lemah baik dari pihak perempuan, anak-anak dan dalam bentuk 9 mustad'afin lainnya. Fenomena di atas, sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri, sekaligus akan ikut meruntuhkan elan vital Islam untuk menegakkan keadilan dan kepedulian Islam secara aktif terhadap kelompok lemah atau kelompok tertindas sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh Muhammad Sang Pembebas, dimana kehadirannya sangat revolusioner, sehingga menjadi tantangan yang merisaukan para kapitalisme yang rakus, kaya dan amat sombong, atau yang dalam terminologi al-Qur'an disebut dengan (mustakbirin) atau orang-orang 10 yang sombong dan sangat kuat.
yang membebaskan paling tidak memiliki beberapa keunikan, antara lain anti terhadap kemapanan (establishment), apakah itu kemapanan religius atau pun kemapanan politik. Agama yang membebaskan akan memainkan peran dalam membela kelompok yang tertindas dan tercerabut dari hak-haknya sebagai manusia. Selain itu agama juga akan memainkan peran dalam m e m p e r j u a n g k a n kepentingan kelompok dimaksud dan membekalinya dengan senjata ideologi yang berlandaskan pada keagamaan untuk melawan kelompok atau golongan penindas atau yang dalam terminologi al-Qur'an disebut dengan mustaqbirun. Dan yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa agama yang membebaskan tidak hanya mengakui konsep metafisika takdir dalam rentang sejarah umat manusia, melainkan juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasib kemanusiaannya sendiri. Konsep agama yang membebaskan, memberikan kebebasan kepada manusia dari status quo, apakah keagamaan maupun politik memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi energi revolusioner dan militan sebagaimana konsep keagamaan pada awal lahirnya? Oleh karena itu, jika agama-agama masih ingin mendapat tempat di hati kelompok tertindas dan kelompok lemah (aradzhil mustad'afin), maka perlu dikembangkan pemahaman keagamaan yang membebaskan. Dengan melakukan proses pembebasan terhadap agama, realitas agama-agama itu akan memiliki daya tahan terhadap virus “irrelevansi sosial”, atau dengan kata lain agar agama-agama
Agama yang membebaskan akan memainkan peran dalam membela kelompok yang tertindas dan tercerabut dari hak-haknya sebagai manusia.
Agama yang Membebaskan dan Relevansinya Di tengah himpitan yang demikian menyesakan itu, pertanyaan kita adalah adakah sistem religi yang mampu menyumbangkan energi bagi sebuah gerakan masyarakat untuk membebaskan dirinya dari ketertindasan dan ketidakadilan yang sudah terlalu lama menimpa bangsa ini? Untuk menjawab persoalan menantang itu, di sinilah relevansi untuk mendiskusikan dan memikirkan kembali agama yang membebaskan (liberation religion) dengan konteks sosial ke-Indonesia-an di atas? Agama 9
Lihat, klasifikasi kaum tidak berdaya dalam al-Qur'an yakni aradzil (tersisih) (Qs. Hud [11]: 27; ash Su'ara [26]: 70; Al-Hajj [22]:5.) Fuqara' (fakir) (QS Al-Baqarah [2]:271; Al-Taubah [9]:60, Masakin (orang miskin) (QS, Al-Baqarah [2]:83,177; An-Nisa' [4]:8, 75 ketiga terminologi itu disebut juga dengan mustad'afin, namun perbedaannya bahwa mustad'af, terjadi karena adanya perilaku atau system kebijakan atau adanya pihak penguasa yang arogan. 10 Beberapa istilah di atas dapat dirujuk dalam al-Qur'an, Al-Mala' (penguasa aristrokasi) (QS. Hud [11]:27,38; alMu'minun [23]:24,33; Ass Syura' [26]:34, Mustakabirun (yang sombong lagi takabur) (QS, An-Nahl [16]: 22; AlMu'minun [23]:67; Mutrafun (Mewah/berfoya-foya) (QS. Saba' [34]:34; Al-Zukhruf [34]:23.
Edisi Khusus 2003
63
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
tetap mendapat tempat di hati kelompok tertindas dan kelompok lemah. Jawaban alternatifnya adalah membangun sistem agama yang membebaskan, yakni membangun sistem religi yang sensitif terhadap persoalan kemanusiaan kaum tertindas. Sebab agama yang tidak sensitif dan tidak peka terhadap realitas sosial, agama itu nyaris tidak berfungsi apa-apa. Semakin sensitif suatu agama terhadap realitas hidup di dunia ini, maka akan semakin terpikat pula orang memeluknya. Agar gagasan itu lebih membumi, apa yang harus dilakukan? Jawabannya pertama, perlu melakukan dekonstruksi besar-besaran terhadap pemahaman dan pembenahan i n t e r n a l keagamaan, melalui pemaknaan dan penafsiran ulang terhadap ajaran agama yang mampu menjadi penyebab anakronistik. Kedua, membangun sinergi lintas agama dan mengedepankan kesepahaman dalam sistem kehidupan agama-agama yang terkait satu sama lain, saling membutuhkan dan membangun kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) melalui dialog kultural, struktural, spiritual dan intelektual. Ketiga, perlunya penegasan batas antara realitas agama dan realitas politik, disertai dengan keyakinan penuh bahwa keduanya merupakan habitat yang berbeda yang tidak layak untuk dipersatukan. Dengan demikian akan terukur mana perilaku politik dan mana perilaku keagamaan sekaligus untuk menghindari terjadinya pencampuradukan antara kebohongan politik dengan kesucian agama, atau kecenderungan para politisi membawa-bawa kesucian agama untuk sebuah kebohongan publik atau yang penulis istilahkan dengan “perselingkuhan teologis”. Keempat, segera dilakukan rasionalisasi 11 keagamaan atau dengan kata lain tidak melakukan fanatisme terhadap agama. Karena sebenar-benar agama adalah sikap pasrah yang lapang bukan fanatisme yang menyebabkan terjadinya penyempitan dalam memahami keagamaan sebagaimana sabda Nabi: “Sebaik-
11 12
64
baik agama adalah semangat mencari kebenaran yang lapang (al-hanifiyaat ash - samhah)”. Kelima, tawaran itu merupakan salah satu alternatif yang mungkin bisa ditawarkan untuk menghindari terjadinya kecenderungan perselingkuhan realitas agama antara peran yang sesungguhnya melalui visi dan misi suci dengan realitas kecenderungan kotornya prilaku politik. Akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa fungsi sosial agama? Menurut hemat saya agama harus dipandang sebagai kebaikan yang berdiri bersama dengan perubahan zaman, dengan tidak mengabaikan kewajiban individual selaku hamba melalui ibadah formal. Tetapi kehadiran agama harus membebaskan diri dari teologi yang cenderung bersifat dogmatis semata dan tidak memiliki ruh pembebasan, kecuali hanya menjadi latihan intelektual metafisis masyarakat menengah ke atas dan tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas. Agama harus menjadi sumber motivasi menegakkan: humanisasi (kemanusiaan), emansipasi (hak asasi kehidupan) dan liberasi (pembebasan dari kekejaman, kemiskinan, ketertindasan, manipulasi, kesombongan birokrasi dan sebagainya) serta dimensi transendental (ilahiyah) dalam produk-produk 12 kebudayaannya. Tanpa berani melakukan dekonstruksi semacam itu, maka apapun merek agamanya akan menjadi tidak relevan. Agenda Kerja Telah lama sekali agama kehilangan karakteristik pembebasan dan demokratisasi, serta menjadi bagian pemerintahan yang otoriter dan mapan sehingga karakter agama lebih bersifat fatalistik dan feodalistik. Sudah terlalu lama agama tidak lagi akrab dengan kaum miskin, tertindas, budak. Malah banyak kasus menunjukkan bahwa agama menjadi alat legitimasi buat penindasan (lihat kasus Afrika Selatan, Amerika Latin dan mungkin kasus Orde Barunya Indonesia), padahal perjuangan pada nabi (Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad) dahulu bersama-sama kaum tertindas dan menderita
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1996). Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1993).
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa 13
kemudian jaya bersama mereka. Saya mengajak semua pihak, organisasi maupun LSM menjawab tantangan untuk meninjau dan merumuskan kembali konsep, strategi, gerakan, sekaligus mendorong gerakan yang pernah kita lakukan juga oleh para ahli agama untuk terus dan terus berfikir, sehingga makin peka terhadap fenomena kemiskinan, ketidakadilan sosial dan mampu memberikan jawaban keberpihakannya, guna menegakkan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan kemanusiaan universal. Menurut hemat saya sebagai bahan periksa, ada enam isu utama yang dapat didiskusikan untuk diangkat menjadi agenda kerja sosial bersama sebagai wujud pemahaman agama yang membebaskan dari segala belenggu yaitu: 1. Pembebasan manusia dari prasangka dan diskriminasi kesukuan dan ras (QS.49:13) 2. Pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan sosial (QS.5:8.7:29.49:9) 3. Pembebasan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi
serta penimbunan kekayaan pada s e g e l i n t i r o r a n g . ( Q S . 2:279,7:31.10:93.16:73. 17:16.17:70.20:81.23:51.40:94.45:16). 4. Pemberdayaan perempuan secara individu dalam konteks penguatan keluarga. (QS.2:228) 5. P e n d i d i k a n p l u r a l i s m e d a n multikulturalisme melalui pengembangan sikap terbuka, toleran dan saling menghormati antarumat beragama (QS.2:62,148, 177, 256.3:113115.4:152.10:99.29:46.109:6) 6. Pembebasan manusia dari segala bentuk takhayul (QS.6:50) dst ….. Akhirnya berbicara, berdiskusi dan melakukan resolusi konflik pada tingkat akar rumput (grassroot level) hanya akan efektif, manakala diiringi dengan upaya konkret penegakkan keadilan, demikian juga akan berlaku sebaliknya, bicara kedamaian akan menjadi omong kosong manakala keadilan tidak ditegakkan. Wallahu a'alam bissawab.[]
13
Lihat, Maulana Farid Esack, Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme Membebaskan yang tertindas, (Bandung, Mizan, 2000), lihat Juga Lihat, Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, Terj, M. Imam Aziz, M. Jadul Maula. (Yogyakarta: LKiS, 1997) h. 91.
Cinta terhadap sesama mengandung tiga hal: menginginkan kebaikan yang lebih besar dari setiap orang; melakukan apa yang baik kalau dapat; memikul, memaafkan, menyembunyikan kesalahan orang lain. (St. Yohanes Vianney)
Edisi Khusus 2003
65
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
BERNAUNG DI BAWAH SATU KANOPI IN SEARCH FOR HARMONY Rip Tockary* Hampir semua agama yang kini terbilang besar jika dirunut sampai kehulunya, semua berasal dari agama suku, tribal religion dan umumnya monoteis. Setiap suku mempunyai Tuhan sendiri, suatu bentuk multi monoteisme atau protomonoteisme. Tuhan hanya menuhani orang dalam, orang luar tidak masuk bilangan. Kaum sendiri disebut umat sedang orang luar disebut kafir, fangui, gentile pokoknya outsider, pihak luar. Ketika suatu suku berperang melawan suku yang lain maka masing-masing Tuhan pun dianggap turut berperang. Jadi jangan heran jika ada suatu kaum berdoa meminta Tuhannya agar menghancurleburkan musuh-musuhnya, tetapi ketika kalah maka Tuhanpun ikut ditaklukkan. Konsep monoteisme sedikit banyak bernuansa politik. Ketika dirasakan keperluan membentuk komunitas yang lebih besar maka timbullah idea monoteisme yang lebih besar. Dewata atau Tuhan dipersatukan dalam suatu konfederasi politeisme. Yahwe adalah nama Tuhan untuk suatu konfederasi berbagai suku di Palestina. Tak lama kemudian muncul henoteisme, maksudnya ada banyak Tuhan dan ada satu yang dipandang sebagai dewa tertinggi. Dengan mempersatukan Tuhan maka umat pun dipersatukan. Biasanya yang menjadi Tuhan dari segala Tuhan (Deum de Deo) adalah Tuhan para hegemonis. Kesadaran akan kesatuan Tuhan dan manusia tumbuh secara bertahap. Mulanya Tuhan adalah Tuhan milik suatu klan meningkat ke tahap Tuhan suatu komunitas pedesaan, lalu kesukuan akhirnya pada suatu kerajaan bangsa. Agama Etnis Awalnya agama hanya dianut oleh suatu suku yang homogen, lalu menjadi besar mencakup beberapa kerajaan dan muncullah * Penulis seorang pengkaji Ru Jiao tinggal di Bogor.
66
Edisi Khusus 2003
kesadaran akan kesatuan manusia yang lebih besar melingkupi beberapa etnis, identitas etnis menjadi bangsa. Menjadi Hindu artinya menjadi India, menjadi Konfusian menjadi Cina. Baru sesudah itu timbul kesadaran akan adanya Allah bagi semua manusia, eumonoteisme. Di Malaysia, masuk Islam artinya masuk Melayu, banyak orang Kelantan sebenarnya etnis Cina atau Thai. Melayu haruslah Islam. Begitu menjadi Kristen disebut Serani, tak lagi Melayu karena dianggap keluar dari komunitasnya, tidak lagi mendapat prioritas kemudahan ekonomi yang hanya tersedia bagi bumiputra. Idea Islam suatu Rahmatan lil ‘alamin di sini terdesak kepentingan politik. Orang Dayak yang masuk Islam disebut Melayu, banyak orang Karo tak lagi menggunakan marganya setelah Islam. Ada kesan orang yang beralih agama sedikit banyak melukai komunitas asalnya, murtad. Sultan Ternate yang masuk Kristen dianggap pengkhianat. Masuk Kristen artinya menjadi Belanda, turunannyapun dinamakan Sultan Amsterdam. Perubahan tidak mungkin sekaligus. Sebagian kita masih memegang paham Tuhan yang eksklusif dan diskriminatif, masih diwarnai proto-monoteisme, entah sampai kapan harus mengamini idea celaka ini. Tuhan masingmasing agama konon hanya bersedia menyelamatkan umatnya saja. Hanya ada satu jalan ke Surga melalui Yesus, hanya orang Kristen yang bisa selamat, yang lain terserah. Hingga saat ini banyak yang merasa bahwa Tuhan Kristen tidak sama dengan Tuhan Islam. Di Malaysia Alkitab Indonesia tidak boleh masuk karena menggunakan istilah Allah. Di sini ada orang Kristen yang malah menolak sebutan Allah, seharusnya Yehovah atau Elohim. Paus Clemen XI merasa perlu mengeluarkan buletin ex Illa Die (1715) untuk mendefinisikan Tuhan yang lain
interfidei newsletter
bagi umat Katolik yang dibaptis oleh Pastor Jesuit a.l. Matteo Ricci, Schall, Verbiest dst. Paus tak mampu menahan hasrat menunjukkan kekuasaan duniawi, dibalik ada persaingan antara Dominikan + Fransiskan vs Jesuit. Kaisar Kangxi menyatakan bahwa Thian (Tuhan transenden) dan Shangdi (Tuhan imanen) tak lain tak bukan Deus orang Katolik. Tapi Paus lebih memilih Tianzhu padahal istilah ini nama sesembahan yang lain. Kaisar tersinggung karena Bapa Paus tidak menghormati bangsa Tionghoa. Akibatnya Katolik dilarang dan Pastornya diusir. Padahal Kangxi merasa senang dengan kedatangan Yesuit yang sarjana matematika, astronomi, dsb., konon Kaisar hampir saja mau dibaptis. Kita sering mendengar pernyataan bahwa Yesus Kristus itu adalah Tuhan, jika credo ini sudah tepat maka tentulah menurut paham kita yang awam Tuhan itu adalah Yesus Kristus. Mengapa? Karena hanya ada satu Tuhan, makanya orang yang menyeru nama Tuhan dan yang menyeru nama Yesus sebenarnya menyeru kepada tokoh yang sama yakni Kristus Tuhan. Ini bermakna keduanya dapat diselamatkan. Siapa saja yang menyeru nama Tuhan entah itu Yehova, Allah, Hyang Widhi Washa, Shangdi sebenarnya adalah umat dari Tuhan yang satu, common ultimate consern. Faktor Kebudayaan Dalam bahasa religium sinarum (chinese religion), Dao adalah esensi dari agama (Jiao). Ekspresinya memang berbeda karena tertaut pada faktor waktu, budaya dan lokasi geografi. Firman Allah tidak turun pada ruang hampa atau void tetapi diisi pada manusia dan faktor ini mau tidak mau tertaut faktor kebudayaan. Oleh karena itu sebenarnya agama bukanlah sesuatu yang sakral. Ia dapat berubah dan diubah menurut kebutuhan zaman. Agama berada pada ranah kebudayaan jadi bersifat relatif. Bila harus disebut absolut maka kemutlakannya relatif . Jika kita teliti sejarah kelahiran dan perkembangan agama-agama (genesis of religions) maka konsep Tuhan tidaklah muncul sekali jadi. Agama di Babilonia adalah penyembah alam (natural worship) seperti halnya agama Fir'aun di
Edisi Khusus Candi Dasa
Mesir. Demikian juga agama Cina Siberia (ZHONGJIAO), kemudian Cina Han mengalami perkembangan sejak zaman pra Dinasti 8000 hingga 3000 tahun sebelum era Isa kita kenal ritus penyembahan matahari. Konsep TI atau TIAN awalnya adalah Tuhan dengan segala kaulanya di langit dengan Shangdi sebagai Kaisar langit. Ibrahim bukanlah seorang monoteis dalam arti yang sekarang. Orang Cina memiliki empat ritus penting sesuai penggantian musim, dan ada dua obyek penting yakni matahari (taiyang) dan bulan (yueliang). Hari DUAN YANG adalah ritus penyembahan matahari, dirayakan dengan pesta Baichuan atau di kalangan Tionghoa Jawa dikenal sebagai Pehcun, pesta perahu naga, sedang ritus tahun baru mulanya ritus pemujaan alam, bersuka ria atas tibanya musim semi. Semula orang Cina memuja alam, suatu varian dari animisme dan dinamisme. Semua benda di dunia seperti laut, gunung kemudian benda langit dianggap mempunyai suatu roh atau anima karena itu mempunyai daya (dinamis). Konstelasi gaya harus tepat resultante paduannya, bisa positif atau negatif. Manusia ketika lahir mempunyai konfigurasi tertentu akan menolak atau menyerap spektrum energi dari sekelilingnya berdasarkan fitur. Konsepnya analog dengan reaksi foto kimia yang menyerap dan memancarkan foton energi sesuai konfigurasinya. FENGSHUI pada dasarnya mengikuti prinsip keseimbangan geo-bioenersi menyiasati koordinat agar dicapai efek optimal sehingga bisa memberi impact maksimal. Ramalan versi Cina adalah suatu manajemen energi Qi, mereposisi koordinat geografi waktu dan arah yang tepat agar menerima pancaran prana positif dan terhindar dari pancaran prana negatif. Dalam praktek ibadah rutin umat Konfusian dikaitkan dengan bulan gelap dan bulan purnama. Bulan adalah satu-satunya penerangan pada zaman dahulu. Ketika tidak ada penerangan sama sekali yakni pada tanggal 1 kalender lunar, rakyat merasa khawatir bahwa segala roh jahat berkeliaran. Ketika itu interaksi bumi dan bulan dalam keadaan titik terendah, sehingga mengganggu keseimbangan. Karena alam dipandang memiliki roh (anima) maka terjadilah disekuilibrium spiritual. Ritus Edisi Khusus 2003
67
Agama dan Kekerasan
diadakan untuk mengembalikan tingkat keseimbangan yang disebut YONGHE. Pada tanggal 15 terjadi bulan purnama interaksi gaya gravitasi dalam keadaan maksimal, bumi mendapat penerangan penuh. Agama Cina adalah ritus keseimbangan alam dan sesama manusia. Orang Cina mengasosiasikan terang dengan berkah. Pada tanggal 1, umat berdoa agar terhindar dari segala pengaruh buruk dan pada tanggal 15, umat bersukaria karena terhindar dari segala mara bahaya. Jadi pada bulan purnama seakan-akan kegelapan telah dikalahkan oleh terang. Tradisi ini ditetapkan Kaisar WEN WANG pada awal dinasti Zhou (12 abad SM) yang dikenal sebagai ritus Zhou Li. Persepsi orang Asia dan mungkin juga kaokusian akan cahaya nampaknya sama. Pesta Deepavali (Div artinya cahaya) dalam tradisi Hindu, Lantern Festival dalam tradisi Buddhis dan Daois serta Konfusianis memiliki arti dasar yang sama. Dewata adalah korpus cahaya dan Allah adalah Lumen de lumine, terang dari segala terang. Pengakuan akan kesamaan dasar-dasar keimanan sangat penting dalam membina rasa persaudaraan di antara umat dari berbagai agama. Kesamaan itu justru terletak pada relativitasnya. Agama-agama Saling Memperkaya Dari nature worshiper, kemudian Shaman Jiao, orang Hua secara bertahap dan perlahan mengenali konsep Tuhan yang satu. Aksara Tian adalah kombinasi YI (satu) dan DA (besar) artinya yang besar dan satu. Yang lain pun begitu, kaum Semitik dituntun iman dan kearifan Ibrahim dari kota Ur Babilonia, juga pemuja alam yakni matahari dan bulan, nama Syamsiah dan Kamariah sisa dari tradisi tersebut. Tidak ada bangsa yang mengenal kebenaran secara tibatiba, semuanya melalui proses, semua agama tanpa kecuali adalah suatu produk kebudayaan sehingga tidak perlu disakralkan. Semua agama adalah ardhi (proses kodrati) sekaligus samawi (proses adi kodrati). Wahyu itu tiba melalui budi sebagai wahana. Persis seperti ujaran Dhammapada, segala sesuatu dibentuk oleh pikiran. Sebetulnya epistemologi via inderawi,
68
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
inteleksi dan mistis saling tumpang tindih, rasanya tidak pernah ada warta yang jatuh dari langit. Tidak ada agama yang bebas dari pengaruh ainnya. Agama Kristen adalah kelanjutan Yahudi dan menyerap tradisi dan filsafat Yunani. Yahudi sendiri nampaknya juga menyerap agama Fir'aun dan Persia. Islam selain mengambil banyak tradisi Yahudi dan Kristen diwarnai elemen keyakinan komunitas Arab. Tradisi Sufi diwarnai elemen filsafat Yunani dan mungkin juga Hindu/Buddhisme. Buddhisme offshoot dari Hindhuisme yang beramalgamasi dengan tradisi Bon menjadi Lhamaisme, dengan Daoisme menjadi Buddhisme versi Cina. Sejarah Interaksi Antar Agama Buruk Perang Salib antara Islam dan Kristen adalah stupid war. Idea untuk memerangi musuh Allah adalah suatu anti logika. Bagaimana mungkin Tuhan sampai punya musuh. Bahkan ada Childrens crusade, 30.000 tentara kanak-kanak umur 11 - 15 tahun (1212) dikirim untuk merebut Tanah Suci dari kaum Saracen. Orang yang eling lan waspada tahu semua yang ada di dunia ini adalah ciptaanNya dan makhlukNya. Hukum Termodinamika menyatakan bahwa energi tidak dapat dimusnahkan tetapi juga tidak dapat diciptakan. Itu berarti bahwa daya manusia itu terbatas, ia hanya mampu mengubah bentuk energi. Andaikan Tuhan perlu menganulasi suatu faktor tentulah ia lakukan sendiri, tidak perlu dibela. Bagaimana Tuhan yang Maha Perkasa sampai perlu dibela manusia yang Maha Tidak Perkasa? Raport Konfusian pun tidak mulus, Dinasti Sui membasmi umat Kristen Nestorian. Juga penganiayaan terhadap umat Katolik pada zaman dinasti Qing sering terjadi, dilakukan secara bersama oleh umat Buddha, Tao dan Konfusian. Sementara antar ketiga agama ini terjadi persaingan bahkan perseteruan baik terbuka maupun terselubung (dibalik selimut). India pernah hampir berantakan gara-gara agama. Gandhi pernah menyatakan, “first of all we are Indians, only then we are Sikhs, Hindhus or Moslem.” Tetapi konflik terus saja terjadi. Hindu dengan Islam di Ayodyia terus saja memperebutkan situs Babri Kamal, konon
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
sebagai tempat kelahiran Sang Rama. Konflik Yahudi vs Islam yang memperebutkan situs Haikal Sulaeman, rasanya tidak akan pernah selesai. Tidak ada tempat di bagian manapun yang sakral di mana sesama kita tidak boleh menjamah. Bukankah yang divinitas itu hanya Allah? La ilaha illa 'Llah. Kesalahan kita adalah mengabsolutkan yang relatif.
hasrat untuk merebut kekuasaan Allah. Kita berseru mengakbarkan nama Allah, nyatanya mengakbarkan diri sendiri. Perang intra suku membawa banyak korban, kesamaan suku tidak menjadi jaminan adanya perlakuan lebih baik. Selama masa G30S entah berapa orang Jawa dibunuh sesama Jawa atau orang Bali dibunuh sesama Bali semata-mata karena perbedaan ideologi. Selama gerakan Perang Intra Agama Tak Kalah Panas lompatan ke depan (Great leap forward) lalu revolusi kebudayaan, rejim Mao membunuh Kesamaan agama tidak menjadi jaminan lebih banyak orang Cina dibanding yang suatu kerukunan. Perang intra agama antara dibunuh kulit putih, Jepang atau mati dalam Protestan dan Katolik di Eropa, antara Syiah dan kerusuhan rasial di negeri ini. Kezaliman bangsa Sunni di Jazirah Arab dan Teluk Persia, sendiri maupun kedengkian antar bangsa lain sama sekte dalam agama F e n o m e n a d i u s i r n y a dosanya. Solidaritas Yahudi tidak kalah sesama manusia tat kejam, lihat saja orang ratusan TKI dari Malaysia tvam ashi. S a m a r i a d i a n g g a p pelajaran bagus yang membuat Perseteruan najis oleh kaum Farisi. antar manusia apapun Korban jiwa dalam kita sadar bahwa kesamaan dalih dan bendera perang intra agama etnis dan agama tidak menjadi yang dikibarkan bisa lebih besar dari adalah ekspresi dari perang antar agama. jaminan adanya kerukunan dan patogen yang sama, Begitu banyak mayat persaudaraan. yakni keculasan dan yang mengapung di kedengkian. Faktor sungai Thames, etnisitas, agama, ideologi hanyalah dalih luar, Inggris ketika kaum Protestan dan Katolik, bukan causa prima. Hendaknya kita tidak terjebak sesama murid Kristus saling tikam. Lalu dalam selubung luar yang dikenakan. Rasa bagaimana cucu Nabi Muhammad, saw, dibunuh dendam betapapun pahit, sebisa-bisanya kita oleh pengikut kakeknya sendiri di Karbala dari lihat dalam konteks sifat manusiawi suatu puak lain. individu bukan etnisitas. Pembunuhan anggota Orang berbeda sekte dianggap barisan Tani Indonesia di Bali sebenarnya konflik mengganggu eksistensi organisasi, karenanya tanah antara petani (BTI/PKI) vs tuan tanah harus dibasmi. Dibunuhnya Syech Siti Jenar (PNI). Fenomena diusirnya ratusan TKI dari karena menganut paham manunggale kawula gusti, Malaysia pelajaran bagus yang membuat kita atau pembunuhan Thomas More zaman sadar bahwa kesamaan etnis dan agama tidak Reformasi karena tidak mau mengakui otoritas menjadi jaminan adanya kerukunan dan keagamaan Raja Inggris Henry VIII tidak mudah persaudaraan. Yang mustahak adalah dipahami. Banyak orang takut kehilangan berkembangnya kodrat manusia (xing). Fokus eksistensinya, tetapi justru manusia lupa kaum agama adalah bagaimana memastikan agar larangan untuk memakan buah khuldi pohon sebanyak mungkin kodrat atau watak manusia keabadian. Adam tergesa-gesa ingin menjadi itu berkembang. ilahi, ingin seperti Allah, inilah dosa manusia pertama. Rekomendasi membunuh orang yang Agama-agama Saling Menafikan dianggap murtad karena memiliki gagasan Ada umat yang merasa agamanya paling berbeda nyatanya bergaung juga di bumi Pancasila ini. Fatwa ini merupakan manifestasi superior. Perasaan ini tidak hanya ada di
Edisi Khusus 2003
69
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
kalangan kaum Ibrahimik, tetapi juga pada semua. Dalam agama Buddha dan Hindu yang tampak pasifis, ada juga kaum pelampaunya. Lihat saja bentrokan antara kaum Tamil Elam di Sailan dan ekstremis Hindhu atau Sikh India. Islam merasa agama yang paling dimuliakan, paling sempurna atau entah paling apa lagi. Kristen mengangggap bahwa hanya melalui iman kepada Yesus ada keselamatan (Sola Fides). Gereja menjadi agen tunggal dan distributor segala rahmat Allah (extra ecclesiam nulla salus). Yahudi merasa bahwa mereka bangsa pilihan Allah, yang lain hanya figuran. Zhonghua merasa dirinya saja manusia (Ren) lainnya barbar (fangui). Itulah sikap-sikap chauvinistik (yang syukurlah) sudah sangat berkurang. Keyakinan bahwa kaumnya saja yang benar dan selamat melawan doktrin bahwa Allah adalah Ar Rahman dan Ar Rahim. Dalam pelbagai kitab yang dianggap suci banyak ayat yang mendorong pengakuan ihwal kepelbagaian, tetapi dari buku yang sama juga terdapat unsur yang menafikan pihak lain. Sayang kitab terlanjur disucikan dan dimutlakkan. Kita merilis satu versi saja. Andai saja kita mau menyadari adanya elemen dalam kitab yang tak benar dan perlu dibuang dan perubahan harus dilakukan secara mendasar. Tetapi dalam paradigma yang ada, apa mungkin? Di Bawah Satu Naungan Kanopi Dalam faham konfusianisme, di langit ada Dao menaungi semua. Aslinya manusia itu makhluk langit, ketika turun ke bumi membawa pesan Allah (Tian Ming) yang tertanam dalam kediriannya. Semua manusia terimplantasi dengan iman dalam makna potensial. Semua manusia adalah umat/Ren, semua beriman. Persoalannya adalah, adakah imannya berkembang? Tian Ming - sinar ilahi, setelah membumi tertanam dalam manusia (meminjam istilah Kristen-menjadi daging/sarcus), dinamakan Xing artinya, watak sejati kodrat atau fitrah. Zing jika dijabarkan antara lain menjadi Ren (kemanusiaan atau sifat rahman dan rahim), Zhi (kearifan, kecerdasan rasional), Li (keimanan, kebatinan), Yi (furqan, kemampuan membedakan benar dari salah), Xin (conscience, suara hati). Manusia dititahkan untuk
70
Edisi Khusus 2003
mengembangkan kualitas Xing itu. Totalitas elemen Xing disebut kebajikan atau De/virtues. Tuntunan agar Xing itu terwujud dinamakan Jiao (dalam konteks Indonesia disebut agama/ajaran). Salam konfusian Wei De Dong TIAN, artinya, hanya amal kebajikanlah, bukan agamamu tetapi amalmu, maka berbuat kebajikanlah sebanyak-banyaknya. Salam itu justru suatu pengakuan iman, credo. Timpalannya Xian You Yi De, maknanya milikilah yang satu itu karena itu sajalah yang akan kita bawa mati, itu pula sajalah yang akan dihisab, di atas sana, di langit/tian yang jauh, tempat Shang Di bertahta, menjadi terminal kita juga. Singkatnya yang utama adalah buah budi bukan doktrin atau confessio. Agama (Jiao) hakikatnya ngelakoni Dao. Beragama adalah mengamalkan kodrat. Jadi suatu praksis bukan teoria. Jiao tertaut faktor waktu, budaya, geografi (faktor bumi). Jadi ekspresinya bisa Yesucitu Jiao/Kristen, Tianzhu Jiao/Katolik, Yisilan Jiao/Islam, Fo Jiao/Buddha, Yin Tu Jiao/Hindhu, Yuda Jiao/Yudaisme dsb. Yang sakral hanyalah Xing sebagai faktor ilahiah, yang lain relatif, fana dan akan berlalu. Ekspresi Dao bisa banyak tak terbatas tetapi ekspresi itu tetap dalam bumi yang sama, dalam langit yang sama. Apapun di bumi ini entah tanah, air, gedung, kitab suci adalah warisan bersama (common legacy) yang akan berlalu seperti awan di seputar Gunung Taishan. Dian/Interfidei Dalam konteks ini barangkali Dian/Interfidei bermaksud menularkan gagasan alternatif atau mungkin juga mengaksentuasikan kesadaran bahwa sudah saatnya kita berhijrah ke tatar yang lebih tinggi, to a higher ground. Ketika tiba di puncak Gunung Taishan setinggi 1.500 m dpl, Kongzi menyadari bahwa Zhong Guo itu satu, bahwa rakyat dari pelbagai negeri itu ternyata tinggal di bumi yang sama. Ya kita harus memuji Tuhan dan mensyukuri segala barakah yang kita terima. Kita perlu mengamini kebesaranNya, tetapi tanpa harus mengorbankan manusia. Manusialah tujuan yang sebenarnya. Kita harus sadar bahwa Tuhan sudah akbar dengan sendirinya. Yang butuh
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
agama adalah kita, bukan Tuhan. Dalam konsep hamba Allah, Tuhan pemegang kekuasaan tertinggi, perintahNya mutlak benar dan wajib ditaati. Mendekati Tuhan harus setakzim mungkin agar tidak kena murka. Tuhan dipersepsi sebagai gila hormat. Mereka yang dekat pusat kekuasaan menjadi sangar kepada fihak yang menolak. Merasa menjadi bagian dari kekuasaan, takabur, kedirian hilang, tidak lagi bertanggung jawab atas kejahilan, justru menjadi durjana ketika merasa dekat dengan Allah. Bangsa kita bisa hancur kalau terus berseteru. Energi habis untuk kegiatan destruktif. Kita adalah imago Dei. Manusia suka humor -Tuhan pun senang. Mendekati Allah dapat dilakukan secara santai, tidak perlu tegang. Tuhan bukan tokoh politik dan tidak perlu mencari massa sebanyak-banyaknya. Fungsi agama adalah penyadaran. Dalam konfusian Tian itu bapakku (Fu) dan bumi itu ibuku (Mu). Hakikah ayah pemberi kehidupan dan hakikah ibu rahim. Kita ini bersaudara artinya satu rahim yaitu dunia tempat kita berlindung, berkembang
menyerap makanan dari tali pusat yang sama. Bayi meninggalkan rahim ibu, memasuki rahim bumi kelak meninggalkan rahim bumi dan memasuki rahim akhirat. Agama adalah tuntunan agar semua tanpa kecuali menjadi manusia akhirat yang sempurna. Selama hidup di dunia mari kita saling asah, saling asuh dan saling asih. Rahim kehidupan ini adalah bumi kita Indonesia, maka jagad raya ini perlu kita rawat dan pelihara. Bumi yang luasnya terbatas toh tidak pernah sesak, semua mendapat tempat. Perbedaan paham karena menangkap isyarat Tuhan secara berbeda dibiarkan saja, cincay. Kita hanya manusia. Percayalah, Tuhan pasti memaklumi kekeliruan kita, yang mustahak adalah kasih sayang kepada sesama, Ren atau metta karuna. Pesan Kristiani, di rumah Bapa ada banyak tempat, artinya kavling siap bangun tersedia lebih dari cukup. Buat apa harus berebut, apalagi saling mengusir. Islam bukan Islam, Yahudi bukan Yahudi, Kristen, Buddha, Konghucu, nanti akan berkumpul di akhirat.
Tidur 28 Tidur adalah lampu kuning yang menyala di jalanan yang kutempuh ketika harus waspada menghadapi bahaya yang mengancam kelangsungan kehidupan Tidur adalah tanda bahaya yang menyala pada jalanan yang kutempuh ketika kita sadar bahwa hubungan tubuh jiwa dan roh menjadi renggang Jangan abaikan tanda yang diberi alam
lewat kelam menuju kelam dan terbuai di sana bagai makhluk yang tersesat tak tahu jalan kembali Dalam dunia dan sejarah yang gaduh coba tanyakan pencerahan Sang Buddha kemuliaan Hindu kebesaran Muhammad kesengsaraan Yesus cinta kasih Bunda Maria Bersimpuhlah, satukan roh tubuh dan jiwa denerima mereka Dari Kumpulan Puisi TIDUR Karya Th. Sumartana, hal 31-32 Edisi Khusus 2003
71
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA: Suatu Wujud Pembatinan Nilai Agama Yuberlian Padele* Agama: Sumber Nilai, Spiritual dan Etik Pada pertemuan antariman di Malino tahun 2002 yang lalu, Kelompok ini telah menggali dan mendapatkan nilai-nilai yang menjadi dasar gerakan kelompok antariman. Dengan penemuan itu berarti kelompok ini menyadari sungguh-sungguh akan pentingnya suatu nilai bersama yang menjadi jiwa dari seluruh gerakan untuk mengembalikan fungsi agama pada hal yang esensial. Dengan demikian tujuan gerakan akan sangat mudah diukur dengan melihat keseimbangan atau keseiramaan antara dua hal : nilai dan etika. Itulah totalitas spiritualitas kehidupan gerakan kelompok antariman. Organisasi Mencenderungkan Penyimpangan Nilai
bersumber dari agama dalam realitas sosial? Penyimpangan nilai tampak dalam wujud masyarakat yang telah terlanjur mengkotakkan seluruh perilakunya dalam wilayah politik, ekonomi, hukum, agama, pendidikan dan berbagai institusi masyarakat lainnya. Sorotan utama yang dilakukan oleh kelompok antariman sejak Malino sampai dengan Kaliurang bahwa yang paling bertanggungjawab dalam penyimpangan nilai di masyarakat adalah institusi negara. Kebijakan negara kemudian menjadi sasaran yang berakhir pada bagaimana strategi kelompok berhadapan dengan kekuatan tersebut. Sampai di sini dijelaskan dua hal kepada kita: pertama, kebutuhan yang kuat terhadap pengembalian daya kehidupan beragama yang menyentuh nilai-nilai; kedua, suatu evaluasi bahwa institusi terbesar dalam masyarakat I n d o n e s i a mencenderungkan tanggungjawab penyimpangan tersebut.
Bahwa ekspresi yang sangat beragam akan tetap merupakan kenyataan masyarakat dunia dalam sepanjang sejarahnya. Seni untuk selalu memperjumpakan hasil penghayatan yang berbeda membutuhkan suatu medium tersendiri.
Apa yang dilakukan di Malino tahun 2002 bahkan sejak munculnya kesadaran seluruh gerakan kelompokkelompok antariman di Indonesia adalah, untuk mengembalikan daya kehidupan beragama di Indonesia. Ini merupakan Revitalisasi Agama di suatu petunjuk bagi Indonesia adanya persoalan yang serius terhadap kehidupan keagamaan. Sejarah masuknya agama-agama di Persoalannya adalah, bagaimana Indonesia telah menyisakan perilaku mengembalikan atau memulihkan ekspresi penyimpangan esensi agama. Perilaku kekerasan penghayatan nilai-nilai kehidupan yang * salah seorang pendiri Forum Dialog Antarkita Sulawesi Selatan (FORLOG SULSEL) dan dosen di STT INTIM Makassar.
72
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter adalah bagian dari wilayah agama yang memihak kepada ekspansi kekuasaan kolonialis. Kecenderungan ini sangat membatin dalam seluruh kehidupan agama-agama di dunia. Tidak heran bila masyarakat Indonesia melihat kekerasan perang yang dirancang oleh Pemerintahan Bush, Presiden Amerika Serikat, ke Iraq merupakan bagian dari kecenderungan ekspansi agama. Masyarakat sulit memilah institusi agama dan institusi politik. Kesulitan pemilahan ini pun dapat dipahami sebab masyarakatpun sangat menghayati kesatuan nilai dan ekspresi nilai-etis dalam semua bidang kehidupan yang diinstitusikan oleh masyarakat. Saya kira inilah masalah yang mendasar dalam menjawab revitalisasi agama di Indonesia; ketika agama dimaknai sebatas institusi maka kehidupan beragama akan jatuh, sama dengan beragama yang hanya berfungsi sebatas sebagai “ecstacy”. Keduanya sama-sama akan melahirkan penyimpangan dalam wujud nilai dalam masyarakat. Kekerasan atas nama agama merupakan wujud nyata dari penyimpangan yang saya maksudkan di atas. Inilah yang sedang terjadi dalam masyarakat beragama: institusiinstitusi masyarakat seolah-olah berjalan di atas prinsipnya sendiri-sendiri yang terpisah dari institusi agama. Pengkotakkan institusi yang dimasukkan ke dalam pandangan yang sangat strukturalis akan lebih mengasingkan kehidupan agama sebagai nilai. Nilai-nilai yang diinstitusikan akan terperangkap dalam proses pengeringan kehidupan beragama. Nilai tidak lagi menjadi jiwa seluruh ekspresi kehidupan. Pada tataran inilah perlu dievaluasi kembali seluruh proses pembatinan agama dalam bidang institusi pendidikan agama. Agama hanya dibicarakan dalam tataran debat intelektualitas semata-mata. Kita tidak membicarakan proses sekularisasi sebagaimana kasus masyarakat Eropa, tetapi lebih pada proses pengeringan kehidupan karena memaknai agama dalam kebutuhan akal budi yang terpisah dengan dimensi kedekatan nurani manusia. Inilah asal-usul pemilahan hidup beragama secara simbolik dan ekspresi agama
Edisi Khusus Candi Dasa secara sosial. Masyarakat Indonesia yang sangat kuat menekankan kehidupan beragama secara simbolik bukannya menekankan fungsi sosial agama tetapi justru memisahkan secara tajam dunia simbolik agama dan dunia sosial. Jadi yang terjadi di Indonesia bukan proses sekularisasi ala Masyarakat Eropa tetapi lebih pada pemisahan ketat antara dunia agama sebagai simbol dan dunia sosial sebagai yang otonom. Upacaraupacara dan kepercayaan tidak lagi dapat dijelaskan dalam hubungan dengan kehidupan sosial yang sangat dekat dengan sentuhan emosional-etis. Untuk itu kita masih membutuhkan suatu model pendekatan yang lebih menyentuh tataran emosional-etis. Pendekatan Dialog Antar Iman Bagaimana mengembalikan kesatuan agama sebagai nilai yang terekspresi dalam seluruh tatanan kehidupan sosial yang setara dan nir-kekerasan? Bahwa ekspresi yang sangat beragam akan tetap merupakan kenyataan masyarakat dunia dalam sepanjang sejarahnya. Seni untuk selalu memperjumpakan hasil penghayatan yang berbeda membutuhkan suatu medium tersendiri. Di sinilah potensi yang esensial dari karya kelompok antariman. Potensi karyanya menyentuh dua hal: pertama sebagai “peer” penggerak dalam memperjumpakan warisan sejarah yang memilah-milah seluruh wilayah ke dalam institusi; kedua, menemukan suatu seni tertentu dalam mengembangkan perjumpaan yang menyentuh tataran emosionaletis dan bukan sekedar perjumpaan intelektualetis. Kebutuhan yang menyentuh hakekat emosional-etis mengisyaratkan pendekatan belajar berdialog dengan pengalamanpengalaman nyata hidup beragama dalam perbedaan. Sementara pengalaman-pengalaman itu dibiarkan terungkap, kita tetap berusaha bagaimana menemukan kembali perubahan dan komitmen ke arah penciptaan kehidupan yang lebih damai. Pendekatan ini akan sangat bermanfaat bagi penguatan kelompok-kelompok basis antariman ke depan.[]
Edisi Khusus 2003
73
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
TRANSFORMASI AGAMA DAN BUDAYA DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT PLURAL Abidin Wakano* “Tidak ada perdamaian dunia, tanpa d i k o m u n i t a s n y a , s e a k a n - a k a n i a perdamaian antaragama, tidak ada perdamaian antar memperjuangkan nasib mereka. Tak pelak lagi agama, tanpa dialog antaragama” (Hans Kung). rakyat yang telah dimobilisir itupun siap Ungkapan ini dapat dikembangkan menjadi membela kepentingan dan nama baik “elit politik tidak ada dialog tanpa kesediaan bertemu atau dan ekonomi” tersebut yang dianggap sebagai berjumpa dengan komunitas-komunitas yang juruselamat. Karena bagi mereka kemenangan berbeda, tidak ada pertemuan yang produktif elit politik dan ekonomi yang berasal dari tanpa adanya kejujuran dan keterbukaan dan komunitasnya adalah simbol kehormatan dan tidak akan berarti kejujuran dan keterbukaan kemenangan bagi komunitasnya. Padahal belum tanpa disertai dengan rasa penghargaan dan tentu apa yang diperjuangkan oleh elit politik dan kesetaraan. Mengapa? Karena ekonomi itu untuk mereka. perjumpaan dan dialog akan Disinilah kemudian kita R e a l i t a s membongkar kecurigaan dan menemukan rakyat dipetakkekerasan, KKN, p e t a k k a n d a n d i h a d a p kesenjangan psikologis. Bangsa ini sudah terlalu kemunafikan, dan h a d a p k a n a t a s d a s a r lama berada di dalam sistem kepentingan sosial, politik dan degradasi moral ekonomi. yang totaliter dan anarkis, Maka muncullah bangsa kita dewasa gerakan-gerakan sosial, politik akibatnya identitas bangsa tereduksi dan tidak ada daya i n i , t e l a h dan ekonomi, dengan klaimpartisipatif bagi proses klaim, “ini untuk kita, bukan m e m i s a h k a n untuk kamu, bukan untuk dia, transformasi sosial. Pluralitas bangsa yang kaya ini agama dari umat, dan bukan untuk mereka. Ini dipenjarakan dan dimobilisir ke hak kami, bukan hak kamu, serta budaya dari bukan hak dia, dan bukan hak dalam kepentingan kekuasaan politik dan paham keseragaman. m a s y a r a k a t . mereka. Ini masalah kami, Kepelbagaianpun acapkali bukan masalah kamu, bukan A g a m a - a g a m a masalah dia, dan bukan dijadikan instrumen kekerasan, unsur-unsur pluralitas bangsa kehilangan umat, masalah mereka. Ini cita-cita dihadap-hadapkan untuk saling kami, bukan cita-cita kamu, sedangkan budaya bukan memenangkan kepentingan cita-cita dia, dan bukan kelompok, sehingga hanya k e h i l a n g a n cita-cita mereka. Ini urusan orang-orang yang memegang kami, bukan urusan kamu, masyarakat. kekuasaan politik dan bukan urusan dia, dan bukan ekonomilah yang paling bisa urusan mereka. Ini penderitaan merasakan keuntungannya. Emosi primordial kami, bukan penderitaan kamu, bukan masyarakat yang berada di dalam komunitas penderitaan dia, dan bukan penderitaan suku, agama dan antar-golongan dimanfaatkan mereka”. Perekat-perekat sosial budayapun oleh pemegang kekuasaan politik dan modal. mengalami kehancuran, seperti kebersamaan, Bagi elit politik dan ekonomi pertarungan untuk gotong-royong dan rasa hormat-menghormati. memperoleh posisi penting selalu dilakukan Sikap yang muncul yaitu keinginan untuk saling dengan cara mengambil hati komunitas yang ada mendominasi dan menguasai. Lebih riskan lagi * Koordinator bidang Diskusi dan Seminar Institut Dian/ Interfidei.
74
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter sikap itu muncul dengan rasa kebencian dan permusuhan, “karena kamu bukan saya dan dia atau mereka bukan kami”. Sikap ingin saling mendominasi itu juga ditandai dengan rasa superior, bahwa saya atau kami lebih baik dari kamu, dia dan mereka. Pada ranah teologi muncul sikap truth claim dan salvation claim atas diri dan kelompok masing-masing, serta memandang orang lain berada pada posisi berhadap-hadapan dan berlawanan, bahwa orang di luar diri dan komunitasnya adalah salah dan kafir. Maka secara teologis mereka mendapat pengabsahan untuk memusuhi b ahk an membunuh orang di luar diri dan komunitasnya-yang dianggap salah, tidak sekeyakinan dan tidak memiliki satu cita-cita politik. Problem seperti ini menandakan terjadinya disfungsionalisasi budaya dan agama, karena yang terjadi dari sikap superior ini adalah terdistorsinya nilai-nilai universalis, pluralis, egalitarianis, dan equality. Nilai-nilai dasar agama dan budaya sebagai sarana emansipasi kemanusiaan universal ditempatkan pada kepentingan kelompok yang sifatnya sesaat. Agama dan budaya sebagai kekuatan pembebas dari kekerasan, kebodohan, kemiskinan dan asabiyah yang sempit, justru menjadi instrumen yang sangat efektif bagi penghancuran peradaban manusia. Konflik-konflik SARA yang terjadi di tengah-tengah bangsa kita dewasa ini merupakan akibat dari disfungsionalisasi agama dan budaya. Karena konteks pemahaman agama dan budaya selama ini lebih pada penciptaan solidaritas yang sempit, yaitu solidaritas kampung dan solidaritas agama yang memihak dan mementingkan kelompoknya sendiri. Bukan atas dasar solidaritas kemanusiaan universal (rahmatan lil 'alamin) yang memihak kepada nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang menjadi misi agama-agama dan cita-cita masyarakat yang beradab atau berbudaya. Pada konteks ini agama dan budaya berada di persimpangan jalan. Para penganut agama terlihat semakin saleh secara formalistik-simbolik serta selalu mengatasnamakan agama. Mereka secara simbolik-formalistik selalu mengatasnamakan agama dan kelihatan saleh. Sebagian orang yang selalu mengatasnamakan budaya dan
Edisi Khusus Candi Dasa adat istiadat, mereka melakukan tindakantindakan yang diskriminatif, kekerasan dan asusila terhadap orang lain. Padahal mestinya orang yang berbudaya dan tahu adat istiadat adalah orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Realitas kekerasan, KKN, kemunafikan, dan degradasi moral bangsa kita dewasa ini, telah memisahkan agama dari umat, serta budaya dari masyarakat. Agama-agama kehilangan umat, sedangkan budaya kehilangan masyarakat. Umat telah diculik dan dipaksa hanya untuk menjadi pengikut partai, banser, pasukan, dan laskar yang siap dimobilisir untuk kepentingan rejim tertentu. Sedangkan masyarakat hanya akan menjadi boneka dari neo-liberalisme yang siap untuk menggilas dan menghancurkan identitas lokal serta local wisdom atas nama pembangunan dan budaya global yang menjanjikan sejuta fasilitas modern dan kesejahteraan. Pertanyaan yang muncul adalah apa arti agama dan budaya bagi suatu bangsa, jika bangsa tersebut sudah tercerabut darinya? Apa arti agama dan budaya tanpa masyarakat? Atau dapatkah masyarakat bisa hidup tanpa agama dan budaya? Tentu tidak, karena agama diturunkan untuk kemanusiaan, dan budaya lahir dari proses akal budi manusia yang tinggi. Akan tetapi di dalam realitas kehidupan agama dan budaya yang terjadi adalah manusia untuk agama, dan itu lebih mencerminkan manusia sebagai pengikut partai, banser, pasukan, dan laskar yang mengabdi dan berjuang untuk lembaga agama. Adapun budaya bukan lahir dari akal budi manusia, tetapi lahir dari truth claim, kepentingan, dominasi, kebencian, dan kekerasan yang diabsahkan, tentu bukan budaya lagi namun dengan adanya legitimasi dari keyakinan komunitas masing-masing, membuat hal tersebut dianggap absah sebagai budaya. Atas dasar itu, untuk mencari solusi terhadap problematika tersebut, agama dan budaya perlu ditransformasikan sebagai kekuatan etik-spiritual dan kekuatan profetik, agar mampu mentransformasikan umat menjadi masyarakat yang beradab. Di sinilah peranan kelompok antariman sangat signifikan untuk melakukan transformasi sosial budaya.[]
Edisi Khusus 2003
75
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
TEOLOGI PERANG, JUSTIFIKASI KEKERASAN 1 ATAS NAMA TUHAN Musa Asy’arie
2
Kekerasan, peperangan, dan pembunuhan di Ambon, Poso, dan peledakan bom di berbagai kota di Indonesia dilakukan dengan menggunakan justifikasi “agama” atas nama Tuhan. Dalam skala dunia, hal yang sama dilakukan AS yang merasa berhak bertindak atas nama kebenaran. Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush yang menuduh Irak, Korea Utara, Iran dan Lybia, sebagai poros kejahatan, berarti AS merasa menggenggam kebenaran untuk menyerang mereka. Saddam Hussein tidak mau kalah, mengecam arogansi dan nafsu agresi presiden AS sebagai syaitan besar. Irak menyatakan, Tuhan akan membelanya melawan AS. Teologi perang dibangun untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran di pihak mereka, untuk melegitimasi tindakan melakukan kekerasan atas nama Tuhan. Fakta tak terbantahkan sejak dulu hingga kini, tidak pernah ada seorang pun yang melahirkan dirinya sendiri. Kelahirannya di dunia selalu terjadi melalui proses panjang yang sepenuhnya berada di luar rencana dan kemauan dirinya. Fakta itu mendorong munculnya pertanyaan aktual sepanjang masa, apakah dan siapakah manusia, dari mana asalnya, dan akan ke mana akhirnya? Puncak pertanyaan itu sebenarnya ingin menyingkap misteri yang ada dibalik proses penciptaan manusia, dan umumnya menunjuk pada adanya Sang Pencipta, yaitu Tuhan, serta penciptaan adalah bentuk dari eksistensi-Nya.
lahiriah, seperti dilakukan dunia sains dan teknologi dengan menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia secara biologis, geneologis, dan medis, yang kemudian berkembang untuk mengkloning. Tetapi sebaliknya, yang berkaitan dengan dimensi rohaniah, mempertanyakan hakikat dan hidup sesudah kematian, maka sains dan teknologi tidak mampu untuk melanjutkannya, karena keterbatasan metodologi sendiri yang tidak memungkinkannya menjangkau dimensi rohaniah. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan itu dikembangkan dalam dunia filsafat untuk menjelajah dataran nilai dan pemaknaan. Bermula dari Yunani yang menjelaskan adanya sebab pertama, prima causa, yang tidak bersebab, penggerak pertama yang tidak bergerak, the first mover unmoved, lahir dari sebuah proses penciptaan yang menunjukkan adanya Pencipta yang berbeda dengan ciptaan. Tetapi filsafat tidak pernah memberi kepastian tentang Sang Pencipta, abstrak, tak terjangkau manusia secara empirik. Tuhan secara kefilsafatan jadi amat jauh dari realitas hidup manusia di dunia, dan hanya dimengerti melalui konsep. Padahal, konsep tentang Tuhan akhirnya mengalami kegagalan, karena tidak pernah ada konsep Tuhan, yang mampu menggambarkan ketidak-terbatasan dan ketak-terhinggaan-Nya. Konsep selalu berangkat dan berakhir pada batasan. Kemudian agama mengambil alih dan mengajarkan kepada umat manusia tentang Tuhan, dengan memberitakan keberadaan-Nya Konsep tentang Tuhan, Mungkin? melalui Firman yang dipercayai datang dari Tuhan, yang tersurat dalam kitab-kitab suci yang Pertanyaan-pertanyaan tentang manusia diturunkan-Nya, seperti Taurat, Zabur, Injil, itu, ternyata tidak hanya berhenti pada dimensi Veda, Al-Quran, dan lainnya. 1 2
Tulisan ini pernah dimuat dalam Kompas tanggal 7 Februari 2003. Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
76
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter Tuhan yang dijelaskan oleh teks dalam firman-Nya adalah Tuhan, karena Tuhan sendiri yang menjelaskan-Nya. Tetapi ketika firman itu dipahami oleh pikiran dan persepsi manusia, maka muncul pemikiran dan persepsi manusia tentang Tuhan. Sayang, pemikiran dan persepsi tentang Tuhan itu selalu terbatas oleh kemampuan pemikiran dan persepsinya sendiri, sehingga Tuhan yang dipikirkan dan dipersepsikan itu bukan Tuhan seperti dalam firman-Nya. Selalu ada jarak antara realitas teks dengan subjek yang memikirkan atau mempersepsikannya. Pluralitas Tuhan Menuju Tuhan Dalam realitas kehidupan manusia di dunia ini, terdapat pluralitas yang tidak mungkin ditolak siapapun, baik pluralitas agama, budaya, suku, bahasa maupun pemikirannya. Dilihat dari aspek kemampuan berpikir manusia, baik kapasitas maupun pengalaman pendidikan yang berjenjang, maka ada pluralitas kemampuan berpikir manusia dalam memahami Tuhan. Karena itu, pada tiap orang sesuai kemampuan berpikirnya, pemikiran tentang Tuhan yang ada dalam realitas kehidupan manusia sangat beragam. Pluralitas pemikiran tentang Tuhan dengan sendirinya akan melahirkan pluralitas tuhan, yaitu tuhan yang ada dalam pikirannya atau yang dipikirkan, dan tuhan yang ada dalam persepsinya atau yang dipersepsikan. Pada hakikatnya, tuhan yang ada dalam pikiran seseorang dan yang dipersepsikan itu bukan Tuhan itu sendiri. Konsekuensinya, pemikiran dan persepsi manusia tentang tuhan tidak boleh dimutlakkan kebenarannya, karena bukan Tuhan tetapi tuhan. Dalam realitas kehidupan manusia, seringkali pikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan dianggap Tuhan, dan karenanya bersifat mutlak. Pemutlakkan itu sebenarnya masih dapat ditolerir, jika diberlakukan untuk diri sendiri. Tetapi ketika pikiran dan persepsinya tentang tuhan dipakai untuk menilai pikiran dan persepsi orang lain tentang tuhan, kemudian menghakimi sesat kebenaran tuhan yang ada pada pikiran dan persepsi tuhan orang lain, maka
Edisi Khusus Candi Dasa akan terjadi konflik paham ketuhanan yang sering berujung konflik kekerasan. Mengapa? Karena masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri dan memaksakannya pada orang lain. Karena itu, jika Tuhan dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan atas nama Tuhan, maka tuhan yang dimaksud pastilah bukan Tuhan, tetapi tuhan yang ada dalam pikiran dan persepsinya sendiri. Akibatnya
Pluralitas pemikiran tentang Tuhan dengan sendirinya akan melahirkan pluralitas tuhan, yaitu tuhan yang ada dalam pikiran atau yang dipikirkan, dan tuhan yang ada dalam persepsinya atau yang dipersepsikan. Pada hakikatnya, tuhan yang ada dalam pikiran seseorang dan yang dipersepsikan itu bukan Tuhan itu sendiri. seseorang hanya menyembah pikiran dan persepsinya sendiri tentang tuhan, dan tidak menyembah Tuhan yang menciptakan semua yang ada. Dalam keadaan seperti itu, manusia sudah menghamba pada berhala ideologi yang diciptakannya dan dipertuhankannya. Sebuah tragedi kemanusiaan! Realitas pemikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan yang plural itu, harus diletakkan pada kenisbian manusia, sehingga pluralitas tuhan akan berkembang menjadi pengayaan Edisi Khusus 2003
77
Agama dan Kekerasan spiritualitas, karena pluralitas tuhan itu menjadi bagian proses menuju Tuhan. Dalam tahap pengalaman memasuki dimensi Tuhan Yang Mutlak, manusia merasakan dirinya berhadapan dengan ketidakterbatasan dan ketakterhinggaan yang tak mungkin dijangkau, dengan implikasi pada penegasan realitas kekecilan dan kekerdilan diri sendiri dihadapan Tuhan. Pada ujungnya pengalaman itu melahirkan sikap rendah hati, santun dan menghormati sesamanya. Mencegah Kekerasan-Peperangan Bagi seorang sufi, Tuhan bukanlah konsep, karena itu memperdebatkan konsep tentang Tuhan berdasar logika hanya akan melelahkan; bahkan menyesatkan. Karena itu, Tuhan harus menjadi bagian pengalaman hidup nyata dan dapat dijalankan dalam praktik hidup seharihari. Jika tidak ada kehidupan sama sekali di luar Tuhan, maka kehidupan hanya ada dalam Tuhan sendiri. Ini berarti dalam setiap kehidupan selalu ada Tuhan. Kesadaran demikian, akan membangkitkan semangat untuk memelihara dan tidak merusak kehidupan bersama. Jalan sufi adalah jalan menuju Ilahi, dengan mulai dari dalam diri sendiri, karena keyakinan bahwa Tuhan ada dalam dirinya, sehingga orang yang tahu dirinya, akan tahu tentang Tuhannya, “man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu'. Dalam praktik sufi, Tuhan adalah pengalaman hidup nyata, karena itu ke mana saja arah mukamu menghadap, disanalah wajah Tuhanmu menatap, “waainama tuwallu wujuhakum fatsamma wajhullah”. Seorang sufi sejati bukanlah mereka yang mengelak dan lari dari tanggungjawab di dunia, tetapi seseorang yang dapat menaklukkan egoismenya sendiri.
78
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter Dunia ini akan binasa, jika egoisme dibiarkan menguasainya, baik yang berupa kekuasaan, kekayaan maupun kekuatan. Ancaman kerusakan dunia dengan kekerasan dan peperangan, apalagi dengan persenjataan mutakhir, akan melahirkan penderitaan dan luka kemanusiaan yang panjang. Dalam praktik hidup sufi, egoisme harus ditaklukkan dan bila mungkin ditekan ke titik nol, karena energi dan Nur Ilahi akan terserap dalam diri manusia yang sudah terbebas dari kekuasaan egoisme dan hawa nafsu destruktif. Mungkin kita perlu belajar dari dunia sufi guna keluar dari krisis multi-dimensi yang mengancam eksistensi manusia dan kehidupan di dunia ini secara keseluruhan, agar Tuhan hadir secara nyata melalui kasih dan rahmat-Nya merengkuh, menyelamatkan, dan memberi rasa damai bagi semua yang hidup. Pesan perdamaian dan resolusi konflik, baik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama yang melanda dunia modern, tidak mungkin jika egoisme masih menguasai pribadi pemimpin bangsa, terutama yang terlibat konflik. Egoisme membuat para pemimpin bertindak seperti tuhan-tuhan kecil, seakan dapat menggenggam kebenaran mutlak dan menjadi kemutlakkan, dan kehendaknya harus diikuti, dijadikan rujukan dan menjadi ukuran kebenaran. Pengalaman sufi menjalani hidup dalam Tuhan adalah kedamaian, keselamatan, dan cinta kasih, tidak akan pernah menghalalkan kekerasan. Jangankan menumpahkan darah manusia, menebang pohonpun diharamkannya, karena pohon, binatang, lautan, dan hutan adalah sebagai bentuk eksistensi-Nya, sekaligus menyadari bahwa Tuhan bukanlah pohon, binatang, lautan, hutan, apalagi karya cipta manusia.[]
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
AGAMA SEBAGAI KAMBING Bencana beruntun sedang melanda negeri sebuah kekalahan budaya. Kalau tiba-tiba yang pernah disebut Jamrut Katulistiwa ini. Sejak jalanan macet tanpa sebab, kita tidak lagi panik, resesi ekonomi yang ditandai dengan tapi langsung berpikir kalau bukan demo, pelajar melonjaknya dollar menjadi 3000 rupiah pada berkelahi atau ada bom. Dengan jawaban itu ada tahun 1997, kondisi sosial politik terus bertambah semacam ketenangan, tinggal bagaimana panas. Lengsernya Presiden Suharto, keruntuhan mencari jalan keluarnya. Orde Baru, derap reformasi, eforia demokrasi Kalau ada pencopet yang dibakar hidupdan kebebasan, kebangkitan etnis dan hidup oleh massa, kita tidak lagi tergelitik oleh kegandrungan berotonomi daerah, tidak hanya hak azasi manusia, tetapi mungkin telah ikut merupakan pergeseran dari satu situasi ke situasi terjun menjadi bagian dari massa itu. Alasannya lain, tetapi dibarengi kebablasan yang sederhana, sedikit mengurangi siksaan sakit dari m e n e l o r k a n a n a r k h i s m e d a n a k h i r n y a apa yang kita sebut dendam. Dan kalau muncul menimbun mayat. berita manusia mencuri mayat dan memakan, Kekerasan yang sudah sampai ke taraf seperti yang dilakukan oleh Sumanto dari desa kebiadaban, bukan lagi kejadian di dalam Plumutan itu, kita sudah punya jawaban dari dongeng, tetapi makanan sehari-hari. Bentrokan para ahli. Memang kondisi sosial membuat yang diwarnai tambah banyak orang kekejaman, kekejian, sakit jiwa di Agama telah menjadi senjata m k e b r u t a l a n , a s y a r a k a t . pembunuh lawan bagi yang dipaparkan secara Kebebasan bersikap e n t h u s i a s d e n g a n m e m p e r a l a t n y a u n t u k pun sudah begitu semangat sangat aneh leluasanya, seakan mendapatkan kemenangan. oleh media massa. terkecoh oleh aliran Seperti peperangan Ayat-ayat suci pun di tangan s e s a t . T a k h e r a n yang tidak lagi hanya mereka, terasa berlumuran darah. ketika bom meledak digambarkan dengan di Kuta dan hampir desingan peluru serta 200 orang menjadi ledakan bom, tetapi alunan musik dari orkes korban, ada yang mensyukuri itu sebagai simphoni oleh Francis Coppola dalam film g a n j a r a n y a n g p a n t a s u n t u k i n d u s t r i Apocalypse Now, kebengisan di Tanah Air tak kemaksiatan yang dilakukan di pulau Dewata. terasa menjadi barang komoditi. Hidup di Tak dipedulikan di balik 200 jiwa itu ada puluhan I n d o n e s i a d i m a t a m a n c a n e g a r a j a d i ribu mungkin jutaan orang akan tercekek menyeramkan. Tetapi sebaliknya, kita di hidupnya untuk masa yang panjang, karena Bali Nusantara ini yang setiap hari hampir tak pernah sangat tergantung dari pariwisata. bebas dari berita-berita kekerasan, mulai Apakah kita pada dasarnya bangsa barbar dibelajarkan. Tuntutan untuk survive dan yang haus darah? Tentu saja kita serta-merta ketidakmungkinan untuk mengelakkan, menolak. Tidak, kita setara adab dengan bangsa menyebabkan masyarakat belajar hidup dalam lain, di mana pun di dunia ini, meskipun secara situasi khaos itu. Dan pada akhirnya perlahan- ekonomi dan sosial-politik kita masih rawan. lahan kita mulai menerima karena terbiasa. Ini Bahkan mungkin kita lebih halus dan lebih penuh 1 2
Seminar AGAMA DAN KEKERASAN Dian/ Interfidei, Candi Dasa, 19/2/03. Budayawan.
Edisi Khusus 2003
79
Agama dan Kekerasan
toleransi dari kebanyakan bangsa-bangsa itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita bisa bersatu dalam segala keragaman perbedaan yang konon tak akan pernah terluluhkan itu? Tanpa adab yang tinggi bagaimana mungkin bisa menciptakan Borobudur, salah satu dari 7 keajaiban dunia itu? Untuk membenarkan pernyataan tersebut, kita berusaha mencari bukti. Yang diperlukan adalah contoh kasuskasus yang terjadi di masa-masa kini, dan tentu sebuah rujukan pintar. Artinya, segala ketidakberadaban ini, bukan watak dasar, tetapi hanya produk dari berbagai kondisi dan situasi yang menghimpit. Pertama kita harus tahu dan menemukan apa musababnya. Mungkin masalah ekonomi, kondisi sosial-politik, atau gaya hidup. Siapa tahu akibat makanan yang kita telan sehari-hari. Baik makanan dalam arti pangan yang sebenarnya atau pun makanan batin. Janganjangan itulah yang sudah membuat kita tinggi dan sesat. Kemudian setelah menemukan apa musababnya, kita mencoba menunjuk di mana titik ledaknya. Dan akhirnya kita menetapkan siapa biang keladinya. Agama Muncul Sebagai Terdakwa. Peran agama yang ambivalen dalam kehidupan manusia, seperti yang disampaikan oleh TOR seminar ini, bagaikan mata uang dengan dua muka yang berbeda. Yang satu terang, jernih dan membawa manusia ke dalam cinta-kasih. Sedangkan yang satunya gelap, pekat, penuh dengan kekuatan dahsyat yang bisa menjadi sangat kejam dan keji bagi yang diposisikan sebagai lawan dan musuhmusuhnya. Agama telah menjadi senjata pembunuh lawan bagi yang memperalatnya untuk mendapatkan kemenangan. Ayat-ayat suci pun di tangan mereka, terasa berlumuran darah. Tak heran kalau pada masa Orde Baru ada larangan terhadap segala sesuatu yang bisa menyentuh SARA. Salah satu A adalah agama. Seakan agama adalah barang yang sangat perasa, gampang terbakar, berwatak beringasan, cepat mendidih dan bisa bertiwikrama menjadi kekuatan dahsyat yang kalau sudah mengamuk,
80
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
sulit untuk diredakan, sampai tujuannya benarbenar terpuaskan, yakni kemusnahan telak dari lawan-lawannya. Dalam keadaan agama diposisikan seperti itu, perbedaan agama menjadi wilayah yang sangat menakutkan. Sulit untuk melintas apalagi kalau ingin menyebrang. Rembukan, diskusi dan tukar pikiran menjadi sesuatu yang mustahil. Maka manusia Indonesia pun memilih hidup dalam kotak-kotak agamanya yang menjauhkan mereka dari kemungkinan menyenggol kotak agama yang lain. Tetapi isolasi seperti itu bukannya menjadikan keadaan lebih aman, tetapi menambah kemungkinkan untuk setiap saat terjadi pergeseran. Hidup di dalam kotak menyebabkan orang tak kenal kepada lingkungan apalagi isi kotak-kotak yang lain. Sedikit saja ada persinggungan dapat meletupkan pertengkaran. Tak heran kalau seorang seperti John Lennon menulis sebuah lagu pada tahun 70-an tentang God dan menganggapnya hanya sebagai sebuah konsep sambil berandai, alangkah indahnya kalau hidup tak dipilah oleh kotakkotak perbedaan, termasuk kotak-kotak agama. Seakan agama adalah salah satu yang sudah membuat hidup tak damai, manusia memasuki malapetaka, karena cenderung saling menunjuk pada kebenarannya sendiri-sendiri. Tetapi SARA di masa reformasi, dihujat, dianggap sebagai salah satu senjata Orde Baru untuk meredam suara kebebasan. SARA harus dilenyapkan, karena itu hanya perangkat untuk memberangus kebebasan. Bahkan ketika terjadi perang saudara di Ambon, banyak kalangan yang menolak itu sebagai produk dari pertentangan agama. Mereka menganggapnya sebagai rekayasa politik. Ketika bentrokan berlanjut di beberapa daerah lain, seperti Palu, misalnya, barulah mulai diterima bahwa perbedaan agama sudah dipakai untuk menggosok manusia Indonesia untuk saling bunuh-bunuhan. Bom di Kuta di awal-awal kejadiannya dianggap sebagai rekayasa asing untuk lebih membuat Indonesia terpuruk sebagai sarang terorisme. Tetapi pengakuan Imam Samudra dan Amrozi sampai sejauh ini, memberikan satu kesimpulan sementara, bahwa kekerasan itu bersumber dari
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
pemahaman Imam Samudra dan kawanTetapi jangan salah. Hanya dengan kawannya dalam beragama. Ia bahkan keberanian untuk memberikan vonis semacam menganggap itu tugas suci yang akan itu, kita baru memiliki motivasi yang kuat untuk mengantarkannya ke surga. keluar dari kotak-kotak isolasi agama. Ada orang yang setuju pada pemahaman Kemudian meneliti, benarkah agama, kotakImam Samudra dkk, tetapi banyak orang tidak. kotak agama tertentu, mengandung zat yang Pemahaman terhadap agama seseorang atau dapat meracuni hati manusia? Apa itu bukan sekelompok orang, bukan agama itu sendiri, tapi karena manusianya sendiri yang sudah erat hubungannya dengan kapasitas dan sikap mengolah agama menjadi racun? Apa benar manusia bersangkutan di dalam memberi makna k e k e r a s a n - k e k e r a s a n y a n g s e l a m a i n i kepada agama. Di situ unsur buah budi yang d i n y a t a k a n s e b a g a i u p a y a bersangkutan, merupakan faktor yang pembelaan/peluhuran terhadap agama, adalah menentukan. Kemampuan budaya yang kehendak dari agama tersebut, atau sebenarnya bersangkutan di dalam memberi interpretasi semua itu hanya kilah dari oknum atau t e r h a d a p K e b e n a r a n - K e b e n a r a n y a n g kelompok yang sudah sesat dalam beragama terkodifikasikan dalam teks suci di dalam kitab- untuk dapat melakukan kejahatan tanpa kitab suci, merupakan pelaku hukuman? Apa benar kekerasan utama yang bertanggungjawab Agama Ternyata Sudah atas seluruh eksekusi yang yang selama ini Dijadikan Kambing Hitam terjadi akibat pemahaman itu. dinyatakan sebagai Bila sebuah pembunuhan, Lama sebelum Thomas upaya pembelaan misalnya, dinyatakan terkait Hobbes mengucapkan “homo dengan perintah agama, maka terhadap agama, homini lupus” (Leviathan, kaitan tersebut memerlukan 651), manusia mungkin sudah adalah kehendak telaah. Bahkan mungkin sebuah buas. Karena kebuasannya peradilan agama. Benarkah itu dari agama tersebut, itulah Hobbes kemudian kehendak dan perintah agama memberikan kesaksian yang atau sebenarnya ...... atau kehendak dari para sampai sekarang selalu kita penafsir yang mengarahkan kutip. Tetapi tidak mungkinkah semua kebuasan agama sebagaimana yang mereka inginkan? yang terjadi kemudian, sebenarnya bukan Hanya dengan begitu kemudian ada kepastian kelanjutan dari kebuasan sebelumnya, tetapi benarkah agama sudah memecah belah manusia justru terinspirasikan oleh pernyataan Hobbes? dan membuat kehidupan jadi pertikaian yang Secara tak langsung Hobbes sudah abadi? Atau agama sudah dimanfaatkan, membenarkan bahwa: ya manusia memang dimanipulasi, diinterpretasikan sebagai tempat serigala. Karena sudah diproklamirkan buas, berlindung, untuk kebal terhadap pelanggaran manusiapun merasa wajar dalam kebuasannya terhadap hukum, adat, tata-krama, moralitas untuk menjadi serigala bagi manusia yang lain. dan bahkan nurani kemanusiaan serta hak azasi Maka terjadilah perang semua terhadap semua. manusia lain. Kelahiran Institut Dialog Antar Kalau analogi tersebut boleh dilanjutkan, tidak Iman di Indonesia yang menyelenggarakan mungkinkah kesimpulan ambivalensi agama itu seminar ini, termasuk seminar Agama & sendiri yang telah memberi inspirasi untuk Kekerasan yang kita proses hari ini, pada mengembangkan bahwa agama dapat dipakai hakekatnya adalah sebuah vonis, bahwa agama sebagai kambing hitam untuk melindungi sudah memproduksi kekerasan. Dengan kata tindakan-tindakan yang tercela? lain, bahwa sekian prosen dari kekerasan yang Budidaya manusia mengembangkan satu terjadi di dunia ini di masa lalu, di masa kini dan akrobatik berpikir, yang kita sebut interpretasi, di masa yang akan datang, adalah produk dari sehingga segala sesuatu bisa mendua. pertentangan yang terjadi antara umat yang Relativisme bukan hanya memang ada, tetapi berbeda agama. kemudian direkayasa, dikembangkan oleh Edisi Khusus 2003
81
Agama dan Kekerasan
kemampuan budi manusia. Dengan perspektif yang lain, sudut pandang sebaliknya, maka segala kelemahan adalah kekuatan. Yang negatifpun bisa diutak-atik menjadi positif, sebaliknya yang positif tidak selamanya positif. Jangan-jangan apa yang kita sebut sebagai kekerasan, bahkan di dalam seminar ini, telah menjadi kekerasan justru karen a k i t a menyebutkannya sebagai kekerasan. Sementara banyak kekerasan lain, karena budaya tidak lagi menyikapinya sebagai kekerasan, ia masuk ke apa yang kini umum diterima sebagai kiat-kiat kehidupan, sebagai pencapaian budaya manusia dalam menjawab tantangan zaman. Watak budaya untuk merekayasa dari sudut sebaliknya itu, menyebabkan banyak hal menjadi terbalik, berubah perlahan-lahan, dan akhirnya menipu peradaban manusia. Di sana kebenaran menjadi nisbi, tergantung dari apa yang disebut orang Bali desa-kala-patra. Dengan sebuah catatan, pemahaman desa-kala-patra pun menjadi penuh dengan interpretasi. Banyak orang menafsirkan desa-kala-patra hanya untuk kemanfaatan/ membenarkan dirinya, dalam rangka mempersalahkan orang lain. Dengan cara mengusut seperti itu, jelas bukan agama yang harus dijadikan terdakwa, tetapi manusia yang mengatasnamakan agama tersebut. Agama tidak bertanggungjawab atas tindakan-tindakan brutal terhadap kemanusiaan, mengingat agama justru bangkit untuk membendung kebiadaban tersebut. Agama -- lepas dari tuduhan para atheis dan pemeluk komunisme yang menganggap agama sebagai racun - muncul sebagai penyelamat umat manusia. Agama tidak bisa dipersalahkan oleh tindakan-tindakan sebagian kecil pemeluknya yang memiliki penafsiran sendiri atas agama. Para pemeluk itu sendirilah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita sudah melakukan kesalahan sangat besar karena membiarkan agama menjadi kambing-hitam. Pengkambing-hitaman itu, telah menyalakan kemarahan yang pada ujungnya menjadi tindakan yang tidak semata-mata ingin membersihkan agama dari tuduhan keji tersebut, tetapi melakukan penyerangan balik. Dalam kondisi tabiat serigala seperti kesaksian Hobbes,
82
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
manusia bersangkutan ingin melenyapkan para pendakwanya dengan segala macam cara. Semua tindakan itu diatasnamakan pada upaya memuliakan agama, sehingga merangsang umat beragama untuk berperang secara ideologis, tanpa mempedulikan lagi akibat-akibat konkritnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Banyak di antaranya hanya terdorong oleh gejolak ombak yang sedang bergelora, tak paham apa awal terjadinya “kekejaman” tersebut. Di dalam lingkaran setan seperti itulah kita sedang terjebak sekarang. TOR seminar ini menawarkan resep transformasi budaya. Saya sepenuhnya menyetujui tranformasi budaya, apabila itu diartikan sebagai upaya memperbaiki sikap dan perilaku manusia dalam beragama. Kita harus menghentikan ambivalensi agama dan memposisikan agama sebagai kambing hitam. Kita sebaiknya menerima agama hanya sebagai Instruksi Agung agar manusia mencintai sesama manusia, mencintai semua ciptaanNya. Bukan peran ambivalen agama tetapi ambivalen manusia serta ambivalen kekerasan yang harus kita bicarakan. Bukan agama yang harus dijadikan terdakwa dan kambing hitam, tetapi manusia dan kekerasan itu sendiri. Kata Kekerasan, Berasal Dari Kata Sifat Keras. Artinya tidak lunak, tidak lentur, tidak mudah dibentuk. Kekerasan adalah kata benda dari segala yang bersifat keras. Misalnya batu, granit, besi bahkan juga kayu. Tetapi jangan lupa, hati, cinta, sayang dan tekadpun bisa keras. Di situ keras dan kekerasan melayang lebih tinggi lagi dan bergelayutan dalam rasa bahasa serta imajinasi untuk benda-benda abstrak. Kekerasan juga bersifat mendua. Tidak hanya keras wujud dan sifat fisiknya keras, tetapi bisa keras dalam seluruh kelenturannya. Keras hati, keras kemauan, keras kepala, adalah kekerasan dari perangkat lunak manusia. Orang yang lembut, sopan, penuh pengertian, bisa saja adalah sekaligus orang yang keras kemauan. Sedangkan orang yang cantik, nampak kelemarkelemer, lamban serta lunglai, bisa saja seorang yang keras hati. Sebaliknya orang yang beringasan, yang cenderung mengekspresikan dirinya secara fisik dan cenderung mencederai obyeknya, belum tentu diimbangi oleh kemauan
interfidei newsletter
yang keras. Maka pengertian keras menjadi ambigius, relatif dan menjebak dalam praktek. Di dalam hiruk-pikuk sebuah disko, tidak ada suara yang tidak keras. Kalau ingin terdengar maka suara harus sangat keras. Dan disko yang baik adalah disko yang menghentak-hentakkan bunyi keras ke dalam telinga pengunjung. Diskotek adalah kekerasan terhadap keheningan. Sebaliknya kalau di dalam disko suara musiknya sayup-sayup dan lemahgemulai, maka sudah terjadi perkosaan terhadap hakekat disko yang cenderung menjadikan kekerasan bunyi sebagai tujuan. Kekerasan biasa ditandai dengan darah, pukulan, hantaman, tikaman dan sebagainya. Tetapi hanya sebuah sayatan kecil di sebuah wallpaper, juga adalah sebuah kekerasan. Seekor keledai bisa dipukul berkali-kali, tapi itu masih saja terasa tidak cukup keras untuk membuat binatang yang sedang bandel itu bergerak. Tetapi seorang kekasih bisa merasa dilanda kekerasan, apabila surat cintanya tanpa dibaca dipakai untuk ngelap sepatu. Kekerasan tidak sekaligus adalah kekerasan. Dia memerlukan sebuah pemetaan/riwayat yang bisa menampilkan seluruh konteksnya yang keras, barulah dia sempurna sebagai kekerasan. Kekerasan memerlukan sebuah riwayat sebelum bisa disebut sebagai kekerasan. Sebuah situasi yang khusus terhadap satu benda khusus, dapat menjadi kekerasan, tetapi tidak dengan sendirinya merupakan kekerasan pada situasi lain dengan benda yang lain. Kekerasan juga bisa berarti kata keterangan yang menunjukkan terlalu keras. Orang yang memukul melebihi dari kebutuhan, atau orang yang berteriak melebihi kewajaran, dapat disebut kekerasan. Maksudnya melebihi dari yang secukupnya dalam ukuran umum. Tetapi ini pun sangat relatif. Untuk orang yang setengah pekak/tuli memerlukan informasi lewat bunyi yang jauh melebihi batas ambang keras orang normal. Pada dia konsep keras, berbeda dengan orang biasa. Orang Jepang akan menyuarakan kata hai (ya) dengan satu hembusan yang sangat mantap tanda setuju, sebaliknya orang Jawa menyuarakan nggih dengan halus, kadangkala bahkan tanpa suara, cukup dengan diam tanda mengerti tak
Edisi Khusus Candi Dasa
membantah dan setuju. Di masa Petrus (penembak misterius) dalam pemerintahan Orde Baru, tindakan kekerasan terhadap para bromocorah dari “aparat keamanan” mendapat kritikan yang sangat keras. Para pejuang hak-hak azasi manusia, menganggap itu satu kriminalitas dari “negara”. Tetapi rakyat kebanyakan menikmati hasilnya, karena bromocorah menjadi tidak begitu berani lagi sewenang-wenang menjarah rakyat yang tak punya perlindungan (karena pengamanan dan hukum lemah). Hal yang sama terjadi dalam era pembenahan kota Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin. Adanya penembak jitu yang bagaikan jango (koboi spageti) yang diperbolehkan menghabisi pejahat di tempat, membuat ibukota yang semrawut lebih tertib, walaupun kembali para pejuang hak azasi manusia dan lawan politik pemerintah menganggap kebijaksanaan itu sebuah kriminalitas. Kekerasan yang akhir-akhir ini menjadi topik sangat penting di dalam masyarakat kita, ternyata bukan sesuatu yang sederhana. Secara awam nampaknya seluruh orang sepakat dan setuju tentang pemaknaan dari kata tersebut. Dalam percakapan, diskusi, bahkan perdebatan, tampak seakan-akan semua orang sedang berbicara tentang hal yang sama dalam gradisi dan konteks yang sama, apabila menyangkut kekerasan. Tetapi bila diusut per individu, per kasus ternyata sudah ada perbedaan mendasar. Misalnya huru-hara yang mendomplengi era reformasi di tahun 1998, ketika demonstrasi dan usaha menjungkir pemerintah Orde Baru didomplengi dengan pembakaran, penjarahan bahkan pembunuhan dan konon perkosaan, para reformis menuduh kekerasan tersebut adalah sebuah rekayasa politik untuk mendiskreditkan gerakan moral yang sedang diupayakan oleh bangsa melawan rezim yang berkuasa. Sementara kekuasaan statusquo pasti menjadikannya contoh yang baik sebagai ekses dari tindakan peradilan langsung di jalanan tanpa lewat badan perwakilan. Orang memiliki versi yang berbeda terhadap pembantaian dukun santet di Jawa Timur. Orang menilai dari sudut bertentangan pembunuhan dan kekejian terhadap Marsinah. Perontokan menara kembar WTC di New York Edisi Khusus 2003
83
Agama dan Kekerasan
jadi bahan perdebatan. Tragedi Bom Bali tak hanya dikutuk tapi juga dipuja. Dan yang terakhir ini, kasus kanibalis di desa Srengseng, Purbalingga, kekerasan terhadap jenazah Mbok Rinah (81 tahun) oleh Sumanto (31 tahun) asal dusun Plumutan, ada yang kontan mengutuk dan ingin memberi vonis mati, ada pula yang cenderung memahami sebagai contoh kasus anggota masyarakat yang sakit jiwa karena kegagalan hidup yang beruntun. Kata kekerasan tiba-tiba menyelinap dan bermimikri bagaikan bunglon menjadi sesuatu yang lain. Dalam ketidakwaspadaan kita, kata kekerasan kemudian meloncat ke pengertianpengertian lain yang menjadi padan katanya. Pengertian kekerasan bergelantungan seperti Tarzan di akar-akar kayu dan merambah ke pohon-pohon lain sehingga artinya tak terkendalikan lagi. Pada akhirnya ia bertengger di suatu tempat yang sama sekali tidak pernah kita bicarakan. Sehingga ketika kita mengangkat palu untuk mengukuhkan kesimpulan bahwa “itu” harus diberantas, ternyata kita sudah tersesat dalam rimba kekerasan yang melentur itu. Ada kemungkinan kita tidak lagi membicarakan kekerasan, sehingga vonis kita salah arah. Kalau disimak secara teliti, sudah banyak terjadi salah kaprah di dalam masyarakat. Dan itupun merupakan bentuk lain dari kekerasan. Kekerasan bukan saja apa yang kelihatan keras, brutal, tetapi kalau apa yang semula dianggap keras mulai terasa tidak keras, bahkan cenderung dianggap bermanfaat. Pembalikan itu sendiri pada hakekatnya adalah tindakan kekerasan. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contohnya. Orang makan dengan bumbu ekstra pedas sehingga seluruh tubuhnya berkeringat. Nafasnya ngos-ngosan. Dan sesudah itu badannya gerah membara. Kita yang melihatnya risih, tapi ia mengatakan bahwa semuanya itu nikmat. Orang berlatih dengan sekuat tenaga membentuk tubuhnya. Ia menyiksa diri dengan mengangkat berbagai beban berat, agar tubuhnya terolah dan berbentuk. Siksaan tersebut membuat badannya berkembang luar biasa berbeda dari orang lain. Dan ia dikukuhkan sebagai master body building. Mereka yang berlatih silat memukulmukulkan jari tangannya sehingga menjadi keras,
84
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
kebal dan rata. Dan itu menjadi senjata kalau ia berkelahi. Di Afrika, di salah satu kawasan di Asia Tenggara bahkan di Indonesia, berkembang konsep kecantikan yang bagi masyarakat umumnya adalah sebuah bentuk penyiksaan. Bibir dan daun telinga digantungi benda berat sehingga menjadi dower berjuntai. Leher dipasangi gelang sejak kecil sehingga menjadi panjang. Bagi orang lain semua itu mengerikan. Seorang pencinta binatang, memelihara binatang dengan berbagai cara agar piaraannya tampak bagus. Tapi ia juga kemudian mengkebiri piaraannya itu supaya jangan suka ngelayap keluar rumah. Seorang pencinta tanaman, menahan proses alami dari tanaman-tanaman dan membuatnya menjadi bonsai. Bonsai kemudian menjadi seni hias yang sangat prestisius sehingga sebuah pohon yang sudah dikejami itu bisa berharga puluhan sampai ratusan juta. Manusia tidak hanya menjadi kejam karena menyembelih mahluk hidup lain untuk dimakan, tetapi cara memakannya juga menimbulkan kekejaman baru yang kemudian menjadi bagian dari kenikmatan. Di Jepang ada ikan yang masih menggelepar-gelepar langsung ditelan. Ada monyet yang diiris kepalanya, lalu otaknya disedot. Ada juga anak tikus yang langsung disantap dengan kecap, konon untuk kekuatan. Atas nama kesehatan dan pengobatan segala bentuk kekejian tersebut diperbolehkan. Begitulah kadal misalnya yang dulu dengan lucunya bisa melompat di batu-batuan, sejak dianggap dapat mengobati gatal-gatal akibat eksem, maka hidupnya diburu-buru. Ular cobra yang ditakuti karena dapat mematikan sekali patuk, sekarang diburu, karena darahnya yang segar dianggap meningkatkan daya kejantanan. Di beberapa kota sekarang sudah bisa dilihat restoran yang menghidangkan darah segar cobra. Di layar televisi sekarang ada acara adu keberanian. Orang berlomba siapa yang lebih berani masuk ke dalam sebuah tong yang berisi lintah. Keluar dari drum tersebut tampak orang yang berani itu dadanya berdarah bekas gigitan lintah. Orang tersebut tersenyum bangga dan mengatakan yang terasa hanya rasa geli.
interfidei newsletter
Televisi juga menyiarkan pertarungan yang berdarah dan penonton bersorak kegirangan. Apa yang terjadi di arena gladiator zaman Romawi, kembali terhidang lewat televisi, sebagai bagian dari hasil-hasil buah budi manusia. Setelah kita mengalami kebablasan pengertian kemerdekaan dan kebebasan, banyak sekali tayangan yang sangat kejam muncul di televisi dan media massa. Media yang dulu dianggap membawa suara kebenaran itu ternyata menjadi agen penting kekerasan. Banyak lagi contoh-contoh yang bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari, di mana bentukbentuk kekejaman yang sudah diterima, tidak lagi merupakan kekejaman, tetapi buah budi dari peradaban. Bila kita tak mengikuti mata rantai tersebut, maka banyak hal di dalam kehidupan modern merupakan penghalalan kekejaman yang amat mengejutkan. Namun tidak juga berarti bahwa dengan mengerti dan mengikuti mata rantai perkembangan tersebut, segala bentuk kekejaman tersebut -- walaupun sudah diterima oleh sebagian orang atau kebanyakan orang atau oleh masyarakat manusia -- tidak bisa ditentang/ditolak. Hanya saja, di dalam menentang kekerasan, kita dibatasi oleh kesepakatan bersama zaman terhadap bentuk dan arti kekerasan itu sendiri. Di sini muncul kesulitan besar. Hati nurani manusia mungkin sama, tetapi idiologi, kepentingan serta permainan politik membuat apa yang disebut kekerasan menjadi berbeda. Mereka yang berjuang menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak azasi, bila sudah mulai kecipratan idiologi, kepentingan dan permainan politik, justru menjadi pengacau utama. Bagaimana kita bisa memberantas kekerasan bila pandangan tentang kekerasan itu sendiri berbeda keras? Kesepakatan tentang apa yang kejam dan apa yang tidak lagi kejam, terus bergerak, tumbuh dan berubah. Apa yang bisa diberi label sebagai kekerasan dan apa yang sebenarnya bukan kekerasan lagi, karena sudah diterima sebagai tuntutan kehidupan, terus berkembang dalam variasi yang berbeda-beda di masing-masing tempat, situasi dan masyarakat tertentu. Salah satu yang amat berperan dalam lingkaran setan ini adalah bahasa. Alat komunikasi yang sudah menolong kita saling
Edisi Khusus Candi Dasa
mengerti, saling memahami dan membantu kita di dalam bertikai sehingga hanya sebatas katakata dan pengertian, memberikan banyak peluang untuk kesesatan. Karenanya, medium yang sangat erat hubungannya dengan “rasa” tersebut benar-benar harus dijaga agar selalu menjadi alat dan tidak memperalat kita yang sudah menciptakan dan akan memanfaatkannya. Bahasa Menjadi Terdakwa Baru Dalam Pembahasan Kekerasan Bahasa Indonesia memiliki dua hal yang kontradiktif. Di satu sudut, dinilai terlalu sederhana, sehingga sulit dipakai untuk bahasa ilmiah. Seakan-akan bahasa Indonesia tidak berkemampuan untuk menjadi alat komunikasi untuk sesuatu yang kompleks, njelimet, karena cenderung mengaburkan. Ia tidak menunjuk dengan kepastian terhadap apa yang hendak diterangkannya, sehingga selalu masih ada pertimbangan rasa dalam memberi arti apa yang terkandung di dalam bahasa tersebut. Kata besok, ya, atau tidak, misalnya, adalah kata-kata yang sangat banyak arti, tergantung dari siapa yang mengucapkan, bagaimana mengucapkan, di mana diucapkan dan dalam konteks apa hal tersebut diucapkan. Besok bisa berarti satu hari kemudian, bisa berarti berharihari kemudian, atau bisa juga berarti tidak pernah, alias sebuah cara menolak yang sangat halus. Tapi kita sudah hidup ratusan tahun dengan bahasa Indonesia yang dulu bernama Melayu pasar. Setidak-tidaknya sejak ikrar Sumpah Pemuda yang menyuarakan Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu tanah Air itu, bahasa Indonesia sudah kita jadikan alat penghubung. Kalau sudah sempat terjadi kekeliruan, maka kekeliruan itu sudah berusia sangat panjang. Tidak hanya sesudah zaman kemer-dekaan, tetapi sejak tahun 1928 dan memuncak di masa Orde baru, di mana bahasa merupakan salah satu dari alat kekuasaan untuk untuk membatasi kemerdekaan rakyat dalam berpikir. Itulah bahayanya mempergunakan bahasa yang begitu plastis, supel, fleksibel yang mampu berjumpalitan dan main sulap di luar penguasaan kita sendiri. Meskipun pada sudut yang lain, Edisi Khusus 2003
85
Agama dan Kekerasan
bahayanya itu juga adalah sekaligus karunia. Kemampuannya untuk mengambang, kemampuannya untuk menembus segala batasan, menyebabkan kata-kata bahasa Indonesia mampu berakrobatik, menolong keterbatasan pikir kita. Begitu logika tak mampu lagi menditeksi apa masalahnya, rasa bahasa itu menembus terus bagaikan sinar laser, mengorek makna-makna jauh di depan, sehingga kita berhasil mengantisipasi hal-hal yang menurut akal mustahil. Karenanya, berbicara tentang kekerasan, baik dia sebagai kata benda maupun sebagai kata keadaan atau keterangan, kita harus seringsering berhenti dan melakukan reinterpretasi. Apakah kita masih tetap membicarakan hal yang sama bersama-sama. Atau kita sudah menyeberang membicarakan hal yang lain-lain sendiri-sendiri. Mungkin juga kita sudah membicarakan hal yang sama tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Di situlah kita sering bertengkar, bukan pada substansi kekerasan itu sendiri. Karena itu yang pertama sekali harus kita sepakati di tingkat mana kita akan bahas kekerasan itu. Dengan kata lain di kasus yang mana. Karena sekali kita bicara secara umum, kemungkinan untuk sesat langsung sudah ada sejak langkah pertama. Meskipun sayup-sayup juga kita hampir bisa merasakan bahwa kesempatan untuk tidak sesat mungkin tidak akan pernah ada, karena kesesatan itu sendiri adalah sebuah Karunia yang membuat manusia terus berpikir, mencari dan menguji-uji berkalikali apa yang sudah pernah disimpulkannya sebagai kebenaran. Kesesatan itu sendiri memotivasi manusia untuk berkembang, tumbuh dan lebih beradab sesudah sempat tak beradab dalam kesesatannya. Kekerasan: Contoh Peristiwa Bom Bali Sejak Tragedi Bali terjadi, reaksi masyarakat, media massa dan opini-opini yang berserakan dilontarkan di ruang internet, secara kasar terbagi dua. Pertama yang langsung mengutuk dan menyebut tindakan pemboman tersebut adalah tindakan biadab, atas nama apa pun ia dilakukan. Karena sekitar 200 orang meninggal, tak
86
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
terhitung yang cedera dan begitu banyak orangorang yang tersangkut dengan korban akan menderita sepanjang hidupnya. Namun dengan segera pula bisa kita rasakan, di sebaliknya, ada pendapat yang tidak mempersoalkan korban-korban yang berjatuhan. Bahkan tidak mempedulikan peristiwa tersebut dari sudutnya yang nyata. Mereka melihatnya sebagai bagian dari hutang-piutang dari masa lalu. Bahwa satu atau banyak kekerasan yang dianggap telah diberlakukan terhadap satu masyarakat tertentu, belum dibayar lunas dan karenanya sudah waktunya melakukan pelunasan. Maka Bom Bali pun bagai dibenarkan. Bom Bali sempat diinterpretrasikan sebagai tindakan untuk menghentikan segala kemaksiatan yang sudah terjadi di Café Sari yang khusus untuk orang-orang asing itu. Bom dianggap sebagai tindakan penyucian agar kebejatan moral tersebut tidak terus dilestarikan di pulau Bali. Maka tindakan kekerasan tersebut menjadi sebuah perbuatan suci. Imam Samudra dan Amrozi punya alasan tersendiri untuk membenarkan pembunuhan tersebut. Berita-berita di surat kabar menceritakan bagaimana dengan tanpa paksaan mereka mengakui perbuatannya. Kalau kita mencoba masuk ke dalam relung hati dan segala pemetaannya pada peristiwa berdarah tersebut, kita akan sampai ke satu dunia yang sangat berbeda dengan apa yang kita injak sekarang. Dan mencoba mendebat dari dunia kita injak sekarang, kita tidak lagi akan bicara tentang substansi Bom Bali, tetapi tentang konsep-konsep dasar kebenaran yang dihubungkan dengan iman yang ber-sangkutan, sehingga pembicaraan menjadi perdebatan keyakinan yang bisa dihubungkan dengan kekuatan dahsyat yang tak bisa dilawan oleh apa pun, yakni: agama. Sebuah diskusi yang dilakukan di Teater Utan Kayu, Jakarta, muncul dalam surat-surat di internet. Diskusi tersebut sangat transparan, sehingga memberikan kita masukan yang penting. Dari pengakuan para pengasuh media massa, jelas ada perbedaan mendasar dalam melaporkan dan menanggapi sebuah peristiwa. Ternyata peristiwa apa pun seringkali tak penting bagi sejumlah orang, yang lebih penting adalah bagaimana dia memanfaatkan peristiwa tersebut
interfidei newsletter
untuk kepentingannya. Pemanfaatan tersebut kemudian dimanfaatkan lagi oleh yang lain. Di dalam diskusi itu Goenawan Mohammad mencerite-rakan tentang teori konspirasi yang terpraktekkan dalam menyikapi tragedi Bom Bali. Sikap yang sudah membentuk opini sebelum sebuah peritiwa terjadi, tetap dominan, sehingga peristiwanya dipaksa ditarik untuk terus membenarkan sikap tersebut. Ini semacam kekerasan yang bukan lagi hanya urusan orang yang bersangkutan ketika skalanya menjadi besar, karena dilakukan oleh sebuah kelompok dan memasang agama sebagai senjata pengamannya. Akal sehat sudah tidak penting lagi. Karena akal sehat juga bisa diajak bernegosiasi. Ini mungkin cerita tua dari negara berkembang di mana efesiensi, efektivitas, rasionalitas dan nilai-nilai lebih, menjadi primadona seperti yang diajarkan oleh negara yang maju ekonominya.. Di dalam epos Mahabharata, diceriterakan bahwa yang menang dan kalah sama-sama menderita. Orang-orang tua memberi nasehat kepada anak kecil, agar menghindarkan perkelahian, karena kalah atau menang samasama jadi abu. Namun di dalam praktek, semua orang masih tetap mencari pemenang dan ingin keluar sebagai pemenang. Karena kemenangan selalu membawa keuntungan moril dan materiil. Kekerasan menjadi jelas kalau ada lawannya yang tidak keras. Gradasi kekerasanpun berkembang. Tingkatan kekerasan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Melepaskan diri dari belenggu penjajahan dengan cara merebut kemer-dekaan dengan kekerasan, tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang tercela. Memang untuk itu harus dilakukan kekerasan. Bahkan mungkin disadari dan diakui, kekerasan dalam merebut kemerdekaan itu memang tindakan dosa kalau itu berdiri sendiri, namun begitu dihubungkan dengan tujuannya, dia menjadi perbuatan yang mulia. Dengan cara mengocok seperti itu kekerasan dan kekerasan memang harus dibicarakan dengan hati-hati. Para pelaku kekerasan, mungkin merasa keuntungan yang ia dapatkan dari tindakan kekerasannya jauh lebih banyak daripada kerugian yang dipikulkan oleh dosa-
Edisi Khusus Candi Dasa
dosanya. Maka ia tetap memilih kekerasan, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan. Meskipun hal tersebut bisa diperdebatkan. Jadi kekerasan nampaknya masih akan terus dilakukan oleh manusia, kendati manusia tahu itu tidak baik, selama dia merasa keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Tetapi di situ manusia mulai menipu dirinya sendiri. Dia akan selalu mengandaikan: bagaimana pun tetap lebih menguntungkan mempergunakan kekerasan, karenanya kenapa tidak dilakukan dengan kekerasan? Kalau manusia selalu berpikir seperti itu, kekerasan pastilah tidak bisa diupayakan agar berkurang atau lenyap, tetapi pada prakteknya akan terus berkelanjutan. Karena pendukung utamanya adalah manusia sendiri. Sampai di sini nampaknya harapan bahwa kebudayaan akan menolong manusia menghentikan kekejiannya bahkan juga terhadap agama, sebagaimana yang dicanangkan di dalam TOR seminar ini, menjadi sebuah harapan yang sia-sia. Karena kebudayaan itu telah mendua. Dia merupakan pencapaian budi manusia yang tidak saja untuk memajukan peradaban, tetapi juga sekaligus sudah terpakai untuk merusak peradaban itu sendiri. Bagaimana pun transformasi dilakukan, akan selalu dibarengi dengan bayang-bayang sebaliknya, karena manusia memiliki watak yang jahat. Mmengapa Kita Tidak Kembali kepada Agama itu sendiri? Yang sangat menarik di dalam Tragedi Bom Bali, di samping kemampuan polisi menangkap tersangka pelakunya dengan begitu cepat, adalah sikap masyarakat. Bukan hanya sikap masyarakat orang Bali, tetapi seluruh masyarakat yang ada di Bali. Ini meliputi berbagai kelompok etnis, kelompok agama dan kelompok politik. Ada dua skenario penting tentang siapa pelaku, sebelum tersangka pelaku bom Bali tertangkap. Pertama, kejadian tersebut dianggap rekayasa negara adikuasa, untuk membenarkan bahwa Indonesia adalah sarang terorisme. Amerika dan Australia dituduh sebagai biang bom. Kalau itu sampai termakan oleh masyarakat, bisa terjadi pembalasan langsung yang membabi buta kepada orang Amerika, Edisi Khusus 2003
87
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan Australia bahkan bisa meluas kepada semua orang kulit putih. Hasilnya dapat diperkirakan, Indonesia akan diposisikan sebagai teroris penuh. Ini bisa mengembirakan simpatisan Osama bin Laden, karena Indonesia akan dikelompokkan. Skenario kedua, pelaku Bom adalah para fundamentalis. Mayoritas penduduk Bali yang menganut agama Hindu, selama ini punya kebiasaan untuk menganggap semua orang seberang adalah orang Jawa (Nak Jawa), akan menganggap semua tindakan fundamentalis juga adalah tindakan dari umat beragama Islam. Dapat dibayangkan peristiwa Ambon bisa akan terulang di Bali. Setiap kota di Bali yang punya Kampung Jawa, akan mengalami pembalasan dendam. Ternyata kedua skenario itu tidak pernah terjadi. Pasti karena banyak faktor. Karena petugas keamanan bertindak sigap dan cepat. Karena perhatian seluruh dunia tertuju ke kasus yang dianggap peristiwa pemboman terbesar sesudah perontokan menara WTC di New York itu. Atau karena sebelumnya sudah ada contoh yang sangat rawan dari Ambon, sehingga masyarakat jadi berhati-hati. Mungkin juga karena tindakan yang cepat dari pemukapemuka masyarakat, yang langsung saling kontak dan bahu-membahu melihat peristiwa tersebut dari sudut yang sama. Atau karena budaya beragama yang sudah berhasil menahan agama untuk diperalat sebagai alasan untuk bertikai. Yang jelas masyarakat kompak menyikapi tragedi tersebut sebagai peristiwa berdarah yang merugi-kan semua agama. Maka dengan dengan amat mengharukan kita lihat bagaimana umat masing-masing agama saling, baik orang Indonesia maupun orang asing, bahumembahu untuk tidak menempatkan peristiwa tersebut sebagai produk agama mana pun, tetapi tindakan manusia, baik manusia perorangan maupun kelompok manusia dengan pema-
hamannya yang tersendiri pada kebenaran. Untung juga umat Hindu di Bali tidak sampai menepuk dada dan menganggap itu semuanya adalah bagian dari tanda kehidupan beragama mereka yang lebih benar dari umat beragama lainnya di beberapa tempat yang sudah terjadi konflik agama. Karena kalau sampai ada kesan semacam itu, bisa menjadi pemicu dari kedua skenario yang disebutkan di atas. Kita dapat pelajaran yang sangat penting dari kasus Tragedi Bali/Bom Bali, bahwa: tidak benar agama sebagai pemicu manusia melakukan kekerasan/bertengkar. Justru agama yang membuat seluruh bom-bom kerusuhan yang sedianya akan meledak berkesinambungan sesudah peristiwa tersebut, tidak pernah meletus. Manusialah yang telah tak mampu menahan kebuasannya sampai melakukan kekejian terhadap agama, dengan memposisikan agama sebagai alasan untuk melakukan kekerasan. Ketika sebuah ritual besar yang pada hakekatnya adalah sebuah penyadaran kembali kepada keberadaan manusia dalam takdirNya dilangsungkan di Kuta, kita lihat seluruh umat dari berbagai agama, bersama-sama membangun dalam rohani masing-masing, sebuah jalan yang sangat mantap dan kuat, bahwa agama tidak mengantarkan manusia ke arah kekerasan, bila manusianya sendiri tidak melakukan kekerasan terhadap agama itu sendiri. Bagaimana kita akan memanfaatkan pembelajaran tersebut? Inilah salah satu peluang konkrit untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh TOR dalam seminar ini. Apa yang bisa diupayakan untuk mengutip TOR -- membangun kehidupan yang lebih civilized dalam “an era of new babarism”, secara khusus, bagaimana mewujudkan revitalisasi kebudayaan Bali yang jadi korban kekerasan dalam kasus Bom Bali? Kita harus lebih percaya pada agama bukan kepada manusia.
Komunikasi mengandaikan adanya pergaulan yang erat serta
relasi yang terjalin antara pemimpin agama 88
Edisi Khusus 2003
interfidei newsletter
Edisi Khusus Candi Dasa
KEKERASAN DALAM AGAMA: 1
Beberapa Catatan Sejarah dan Teologi Kristen Zakaria J. Ngelow* Agama pada idealnya mewartakan damai. Tetapi pada prakteknya agama-agama juga meninggalkan jejak cucuran darah dalam sejarahnya. Contohnya, abad-abad pertama penyebaran Islam adalah dengan invasi militer yang cepat menaklukkan wilayah yang luas terbentang dari India sampai Andalusia. Demikian pula agama Kristen dalam Perang Salib melawan kekuasaan Islam di Palestina. Maka agama sebenarnya membuka sekaligus jalan damai dan jalan kekerasan. Dan adalah kewajiban setiap penganut dan terutama pemuka agama untuk mengarahkan umat masing-masing pada jalan damai dan mengedepankan perdamaian menghadapi konflik di dalam kehidupan, mulai dari rumah tangga, masyarakat dan hubungan antar-bangsa. Jangan Ada Dusta Th. Sumartana almarhum, dalam Temu Nasional Pemuka Agama di Makassar bulan Januari lalu mengemukakan bahwa konflik internal suatu agama sering meluap menjadi banjir kiriman yang menimbulkan konflik antaragama-agama. Oleh sebab itu sangat penting untuk mengembangkan rekonsiliasi internal suatu agama. Pada acara itu pula Romo Ismartono, SJ, mengungkapkan meluasnya model “hermeneutik damai”, yakni penafsiran teks-teks Kitab Suci masing-masing agama ke arah dukungan perdamaian lintas kelompok dan agama. Mazmur 120: 1 Nyanyian ziarah. Dalam kesesakanku aku berseru kepada TUHAN dan Ia menjawab aku: 2 "Ya TUHAN, lepaskanlah aku dari pada bibir dusta, dari pada lidah penipu." 3 Apakah yang diberikan kepadamu dan apakah yang ditambahkan kepadamu, hai lidah penipu?
4 Panah-panah yang tajam dari pahlawan dan bara kayu arar. 5 Celakalah aku, karena harus tinggal sebagai orang asing di Mesekh, karena harus diam di antara kemah-kemah Kedar! 6 Cukup lama aku tinggal bersama-sama dengan orang-orang yang membenci perdamaian. 7 Aku ini suka perdamaian, tetapi apabila aku berbicara, maka mereka menghendaki perang. Beberapa kesimpulan dari acara nasional yang disponsori Forum Pemuka Agama Sulawesi Selatan dan Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa Sulawesi Selatan, dengan dukungan pemerintah daerah tersebut, antara lain menyebutkan pentingnya para pemuka agama memberi keteladanan spiritualitas perdamaian dalam menghadapi berbagai konflik sosial dewasa ini. Juga diungkapkan pentingnya memahami masalah-masalah ketidak-adilan sosial sebagai akar dari konflik tersebut. Dan pihak pemerintah dan aparat keamanan dihimbau untuk lebih proaktif dan serius bertanggungjawab mencegah dan mengatasi konflik dalam masyarakat. Salah satu ungkapan yang digemari peserta dalam acara yang dihadiri sekitar 300 pemuka agama dan pemuka masyarakat se-Indonesia itu adalah dari judul sebuah lagu pop: “Jangan ada dusta di antara kita”. Penegasan ini terutama dimaksudkan supaya dalam pertemuan antar iman, setiap orang berbicara dari nuraninya. Orang berdusta jika berdialog dengan dua (2) wajah yang berbeda, pandangannya penuh kesejukan dalam berdialog tetapi menjadi provokator konflik dalam kalangan umatnya sendiri. Dusta pula jika pemikiran teologinya demikian penuh kedamaian tetapi dalam prakteknya membawa permusuhan. Demikian pula informasi keagamaan yang sarat dengan promosi idealisme kebaikan-kebaikan agama sendiri tanpa otokritik terhadap realitas sejarah
1
Presentasi pada seminar sehari “Agama dan Kekerasan” dalam Forum Refleksi Kelompok Antariman Se-Indonesia, Candidasa, Karang Asem, Bali, 19 Februari 2003. * Dosen STT INTIM MAKASSAR.
Edisi Khusus 2003
89
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan agama yang sarat jejak kekerasan. Seharusnya borok-borok dalam sejarah agama dibeberkan untuk pemulihan dan pelajaran, bukannya dibiarkan atau disembunyikan. Dalam pertemuan antaragama-agama kita perlu memperhatikan kata-kata Yesus Kristus dalam Injil: “Jangan melihat selumbar di mata agamaagama lain, tetapi tidak melihat balok di mata agama sendiri”. (bdk. Mat.7:4) Potensi Damai Presentasi ini secara khusus mengenai kekerasan agama, yang dapat dirumuskan sebagai kekerasan yang dilakukan atas nama atau dengan motivasi agama, mulai dari pembatasan kebebasan beragama individual sampai perang antara kelompok umat berbeda (keyakinan) agama, termasuk terorisme (dan anti-terrorisme?) berkait agama. Kekerasan agama umumnya muncul dalam interaksi sosial dengan muatan kepentingan ekonomi atau politik. Seorang pakar agama, Huston Smith, menyatakan bahwa dalam semua agama-agama dunia (suatu istilah yang mendiskriminasi agama-agama suku dan kepercayaan) terdapat apa yang disebutnya “irenic potential” (=potensi damai). Potensi ini dapat dikembangkan dalam masing-masing agama dengan memperhatikan 3 hal berikut. Pertama, waspada dalam memperhubungkan agama dengan konflik politik. Kedua, memperkuat semangat ekumenis (semangat kebersamaan antar-tradisi keagamaan yang berbeda-beda) dengan dukungan pola keberagamaan yang terbuka seperti aliran sufisme dan filsafat dalam Islam, bukannya legalisme atau fundamentalisme. Ketiga memperkuat keimanan dalam agama masingmasing, terutama dalam arti menjalani kehidupan dengan keyakinan keagamaan yang jelas, tegas dan penuh harapan. (“The Irenic Potential Of Religions" by Huston Smith, http://theologytoday.ptsem.edu/oct1966/v23_ 3_article3.htm) Legitimasi Kekerasan Kekerasan agama tidak semuanya ditanggap negatif. Karena di dalam agama ada dukungan terhadap peperangan. Telah
90
Edisi Khusus 2003
disebutkan di atas invasi Islam dan perang Salib. Di Indonesia beberapa perang perlawanan terhadap kolonial memakai simbol-simbol agama, seperti Perang Pattimura (1817), Perang Paderi (1821-1835), Perang Diponegoro (18251830), dan Perang Aceh (18xx-xxxx). Dalam hal ini peperangan karena masalah-masalah politikkekuasaan mendapat legitimasi agama, yakni melawan “orang kafir” atau melawan penindas. Pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap kaum Komunis menyusul G30S-PKI pada tahun 1965-1966 mempertemukan alasanalasan keagamaan dengan kepentingan politik. Sedangkan dalam konflik berdarah tragedi Maluku dan Poso mungkin dimensi agamanya lebih pasif dalam arti dieksploitasi atau dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sejarah dunia penuh dengan jejak kekerasan atas nama agama. Kaisar Romawi Konstantinus pada awal abad ke-4 “mendapat penglihatan” untuk mengeksploitasi kekuatan Kristen - yang sebelumnya ditindas negara selama hampir 300 tahun - dalam perebutan kekuasaan dengan rivalnya. Perang-perang Salib pada abad 10-12 melibatkan negara-negara Kristen dan Islam. Dan di abad ke-20 agama memainkan peranan dalam konflik antara negara: India >< Pakistan, Israel >< Palestina, Irlandia, Srilanka... Sementara “perang teroris” Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sering salah ditanggapi sebagai perang agama sebagaimana tersirat dalam ramalan “the clash of civililization”. “Teologi Kekerasan” Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah
interfidei newsletter mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anakanak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Matius 5: 38-48) Kekerasan dan perang agama memang mempunyai acuannya dalam Kitab Suci. Alkitab memperkenalkan Allah sebagai Tuhan yang cinta damai dan mewajibkan manusia saling mengasihi. Tetapi Ia juga tegas melawan ketidakadilan dan menghukum pelanggaran dengan setimpal: gigi ganti gigi, mata ganti mata ... (Keluaran 21). Tuhan menghukum umat-Nya dengan kekerasan: “Dan Aku akan mengirimkan perang, kelaparan dan penyakit sampar ke antara mereka, sampai mereka habis dilenyapkan dari atas tanah yang telah Kuberikan kepada mereka dan kepada nenek moyang mereka.” (Yeremia 24: 10). Demikian pula nubutan mengenai akhir zaman diungkapkan dalam perang kosmis antara kekuatan Ilahi dan kekuatan kegelapan (Wahyu 12:7 dst). Tetapi pada prinsipnya Tuhan tidak menghendaki kekerasan. Yesus Kristus mengajar murid-murid-Nya untuk bersikap anti kekerasan. Septemy Lakawa, dosen STT JAKARTA, membahas ayat-ayat anti kekerasan dalam Khotbah di Bukit dengan mengikuti pandangan Walter Wink, seorang ahli Biblika Perjanjian Baru dan peneliti gerakan anti kekerasan di Afrika Selatan. Kesimpulannya adalah ajaran Yesus bukan membuat orang pasif atau apatis menerima kekerasan, melainkan secara proaktif menolak kekerasan. (Lihat Septemy E. Lakawa, Menuju Masyarakat Transformatif: Sebuah Visi Misiologis Feminis tentang Indonesia. Jakarta: UPI STT JAKARTA,
Edisi Khusus Candi Dasa 2001). Dia mencatat antara lain: “Memberikan pipi kiri untuk ditampar adalah cara tanpa kekerasan untuk terlibat dalam dan sekaligus menantang sistem yang menindas. Memberikan pipi kiri untuk ditampar justru memperlihatkan hak dan otoritas pihak tertindas untuk menyatakan kesetaraannya dengan si pelaku kekerasan tetapi bukan dengan cara yang sama yang telah dilakukan kepadanya. Inilah prinsip pertama aksi tanpa kekerasan, seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, yaitu tidak bekerjasama dengan segala sesuatu yang bersifat merendahkan” (h. 66). Kekerasan dalam Teologi Kristen dibahas dalam kerangka Perdamaian dan Keadilan. Para penganut pasifisme radikal, seperti tradisi Mennonit dan Quaker, menekankan sikap anti kekerasan, seperti yang dijalankan oleh pemimpin spiritual India, Mahatma Gandhi. Kritik terhadap pendekatan pasifisme radikal berkaitan dengan keadilan: Bolehkah membiarkan ketidakadilan atau perlukah menggunakan kekerasan untuk mewujudkan keadilan? Di sini perdamaian perlu dipahami secara dinamis, yakni bukan sekadar tiadanya konflik atau kekerasan melainkan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bersama. Dan karena pada kenyataannya ketidakadilan selalu muncul maka perlu usaha-usaha serius dan mendasar untuk melawannya, mulai dari menejemen konflik menuju perdamaian sampai gerakangerakan sosial untuk keadilan dan kesejahteraan bersama, dan pada tingkat tertentu perlu pemakaian kekerasan dalam bentuk perang yang adil, yakni adil alasannya dan adil pula caranya. Penggunaan senjata pemusnah dan pembunuhan massal atau dengan cara-cara yang kejam tidak boleh dilakukan. Dalam peperangan, mereka yang lemah harus dilindungi dari kekerasan. Salah satu acuan penting menyangkut kekerasan dalam teologi Kristen adalah salib Yesus Kristus. Penyaliban Yesus Kristus, pada satu fihak adalah kehendak Allah untuk melaksanakan penebusan dosa umat manusia, dan pada fihak lain adalah kekerasan yang dilakukan oleh persepakatan penguasa agama (Yahudi) dan penguasa pemerintahan (Romawi). Dari fihak kehendak Allah kekerasan melalui salib Yesus adalah identifikasi Allah dalam Edisi Khusus 2003
91
interfidei newsletter
Agama dan Kekerasan
penderitaan dan kekerasan yang dialami manusia. Dan pada fihak kekerasan para penguasa, salib Yesus adalah pertunjukan jalan kuasa dan pendasan yang lemah. Kemenangan Yesus pada jalan salib-Nya adalah sekaligus membuktikan bahwa Allah memihak dan memberi harapan pada kaum lemah-tertindas, dan bahwa jalan kekerasan dalam kekuasaan bukanlah jalan yang dapat berhasil mencapai tujuannya. Penyaliban Yesus gagal mengakhiri popularitas yang dikuatirkan para pejabat agama dan pemerintah, malahan sebaliknya membuka wawasan baru bagi para pengikut-Nya mengenai kemenangan jalan penderitaan itu. Decade to Overcome Violence Dewan Gereja-gereja Sedunia, wadah ekumenis gereja sejagat, menetapkan dasawarsa 2001-2010 sebagai “Decade to Overcome Violence: Churches Seeking Peace”, disingkat DOV dengan logo merpati perdamaian terbang di atas pelangi. Dasawarsa untuk Mengatasi Kekerasan ini dimaksudkan untuk mengembangkan usaha-usaha mewujudkan kehidupan tanpa kekerasan melalui: prosesproses pemahaman, termasuk refleksi teologis violence dan non-violence menghadapi kenyataankenyataan konflik setempat; kampanye dukungan bagi upaya-upaya gereja mengatasi masalah kekerasan tertentu; pendidikan dengan kurikulum khusus menentang sistem dan media pendidikan yang menekankan sikap berkompetisi yang tiada henti, kekerasan dan individualisme agresif, termasuk acara-acara TV bagi anak-anak yang penuh kekerasan; serta ibadah dan spiritualitas lintas tradisi dan lintas kebudayaan dalam mengarahkan usaha bersama
mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi. Pencanangan DOV ini langsung berhadapan dengan kenyataan terorisme dengan tragedi September 11 (2001) yang mendorong Amerika Serikat mencanangkan perang melawan teroris, suatu bentuk kekerasan berskala global. Sedangkan di Indonesia gerejagereja berhadapan dengan realitas konflik berdarah antar umat bergama yang melibatkan komunitas-komunitas Kristen. Mengatasi kekerasan, baik yang dilakukan atas nama agama maupun dengan motivasi lain, dalam bentuk-bentuk kekerasan fisik, symbolik dan kultural, harus dimulai dengan mengembangkan prinsip-prinsip etika kehidupan yang dijalankan secara konsisten. Th. Sumartana almarhum, penggagas forum antariman ini, dalam presentasi di Makassar, yang disebut di atas, mengedepankan 5 prinsip yang perlu diperkembangkan dalam agama-agama, yakni: (1) respek terhadap kehidupan manusia, (2) menegakkan keadilan bagi semua, (3) regenerasi moral, (4) memperjuangkan perdamaian, dan (5) respek terhadap semua mahluk ciptaan Tuhan (termasuk alam). Dia mengutip pandangan Prof. Kittrie, seorang ahli hukum internasional, yang mengatakan: “perdamaian di zaman yang penuh konflik ini tidak akan bisa dicapai manakala semua pihak yang terlibat dalam konflik tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan masalah bersama dan mampu pula menyusun agenda kerja bersama, untuk memecahkan problem bersama”. Kata-kata imperatif ini dapat dirumuskan ke dalam slogan pluralitas untuk acuan kita: “Bersama-sama membangun masa depan bersama”. []
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Ketua/Chairman : Eka Darmaputra, Ph.D, Wakil Ketua/Vice Chairman : Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Ph.D, Sekretaris/Secretary : Elga Sarapung, Bendahara/Treasure : Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive : Elga Sarapung (Direktur); Abidin Wakano, Wayan Suweta (Diskusi/seminar) ; Noegroho Agoeng, Haryandi, Alfred B. Jogo Ena, Sarnuji (Penerbitan/Dokumentasi/Perpustakaan); Syafa’atun Elmirzanah, Listia (Penelitian); Wiwin St. Aminah, Elga Sarapung (Pendidikan/Pelatihan/Lokakarya); Eko Putro (Keuangan); Octavia Christiani, Sarnuji, Supriyanto, (Sekretaris Administrasi). Alamat/Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./Fax.: 0274-880149, E-mail :
[email protected]. No. Rek: DIAN INTERFIDEI YAYASAN, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.228.000601034.001 Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
92
Edisi Khusus 2003