Hukum dan Pembangunan
PENERAPAN PRI~SIP INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM KEBIJAKAN LEGISLATIF 01 INDONESIA Oleh :I;>rs. DPM Sitompul. SH
Pandangan modern dalam hukum pidana . . memberi keJonggaran pad a hakim untuk menetapkan jenis pidana, tinggi rendahnya pidana dan cam pelaksanaan pidana yang disesuaikan dengan kebutuhan serta keadaan siterhukum. Karangan ini meneoba menguraikan •individuaIisasi dalam pemberian pidana menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Aspek . . individualisasi terse but dapat terlihat pada setiap proses peradilan pidana, mulai dari tingkat kepolisian sampai ketika siterpidana berada daIam penjara. •
.
l. PENDAHULUAN
1. Dalam hukum pidana ada pertentangan yang tajam antara aliran klasik dan aliran modern dalarrl hal pemberian Pidana : aliran klasik dalam pemberian pi dana rpelihat terutama keMda perbuatan Ja'f!g dilakukan dan menghendaki pemberian pidana yang dijatuhkan se.tmbang d~!!8an _perbuatan1e-'rsebut,iSeWi!n.,gka,n . aliran m,oder.n pertama-tama meninJau paoa pembuatnya dan menglienoaki Individual1!sasi pidana. 1) Prof. SATOCHID KARTANEGARA, S.H. menambahkaq sehubungan Qengan lndividualisasi pidana tersebut di atas bahwa: Bukan lagi pemberian pidana yang diutamakan akan tetapi pemberian pidana itu telahdi lndividualisasikan, terutama untuk kepentingan si-terpidana sendiri, .... harus disesua*an dengan keadaan pribadi si terpidana,jadi hukuman itu di -. . Individualisasikan ... 2) Kebijaksanall.n untuk mcwujudkan lndividualisasi pidana guna melindungi irldividu ..secarafilosofls :sebenarnya telah terkandung dalam rumusan kemanusiaan yahg adil dan beradab diUUD 1945 : •
1)
Pref. SUDARTO, S.H., Kapita Selekta Hukwn Pidam. Baoolmg: AI'lmni 1986 halaman 80. ' , , ,
2)
Prof. SATOCHID KARTANEGARA, S.H., Hukum Pidam II. Jakarta: Balai Lcktllr Mahasiswa, 1985, halaman 331.
Prinsip . .
.... dengan dicantumkannya Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam pembukaan UUD 1945, secara implisit hak asasi manusia semlia orang mendapat jaminan hukum. Badan Legislatif membuat undang-undang harus ~elaras dengan cita-cita moral dan cita-cita hukum bangsa, dan badan mengadili perkara-perkara menurut hukum yang adil dan beradab .... ·'1 Dalam mengadili perkara-perkara menurut hukum, Badan Yudikatif diharap\(an " ..... dapat mewujudkan keseimbanganant,ar\l• kepentingan perlindungan Individu dan pengamanan terhadap masyarakat .".4) , Kebijakan Legislatif untuk mewujudkan individualisasi Pidana dapat dit¢mpuh antara lain melalui perundang-undangan. •
•
II. PERMASALAHAN
A. MASALAH. . Dalam tulisan ini akan dibahas masalah : Bagaimana Penerapan prinsip individualisasi pidana dalam kebijakanLegislatif di Indonesia." Mengingat lua,snya permasalahan tersebut maka untuk mempertajam pembahasan akan dibatasi ruang lingkuppeIInasalahannya. Seperti tersebut di bawah ini . • B. Pembatasafl Masalah Permasalahan·tulisan ini. akan dibatasi dalam hal-hal sebagai berikut : . a. Prinsip individualisasi pidana yang diterapkan dalam kebijakan Legilatif di Indonesia, hanya akan disinggung beberapa pasal dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman, . Kejaksaan, Kepolisian Negara dan beberapa pasal di Reglemen . Penjara. . b. Prinsip individualisasi pidana yang dituangkan dalam perundilllg-und;lllgan tersebut, akan c1ibahas dalam kaitannya dengan Proses Peradilan Pidana di beberapa . . pasal KUHAP. Untuk lebih jelasnya, maka akan dibahas dalam uraiau sepertitersebut di bawah iui pada Bab Ill, IV. . "
Ill. INDIVlDUALlSASI PlDANA A. ALlRAN MODERN DALAM HUKUM PlDANA DAN'INDIVlDUALlSASI PlDANA. Aliran modern dalam hukum pidana tumbuh pada abad ke-19. Pusat perhatian aliran modern ini adalah pada si pembuat. Men!lru't aliran ini perbuatan seseorang tidak dapat dilihat seca.ra abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara kongkrit • bahwa dalarri kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan masyarakatnya, Pertanggung jawaban hukumseseorang berdasarkan pada sifat berbahaya si pembuat. Bentuk pertanggung jawai:>an terhadap si pembuat lebih bersifar •
•
•
,
,3) Dr. KlRDI DlPOYONO. Keadllan Sosial, Jakarta: C V. Rajawali, 1985, halaman 8 dan 9.
4) Dr. BARDA NA W AWl ARlEF. S.H., Makalah Penjara Teruatas: suatu gagasanpenggabungan antara Pidana Pcnjara dan Pidana Pengawasan, halaman 8. ..
De3ember 1988 -
,
•
59(J
jJukwn dan Pembangunan .
perlindungan masyarakat. Kalau toh akan digunakan sanksi pidana, harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliranini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertuj uan untuk mengadakan resosialisasi terhadap si pembuat. Tokoh aliran modern hukum pidana ini diawali oleh : CESARE LAMBROSO, ENRICO FERRI, dan RAFFAELE GAROFALO, Kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh lainnya seperti ; V AN LlSTZ, A PRINS dan VAN HAMELS) Aliran modern hukum pidana tersebut sebagai ,pengaruh diui pandangan modern dalam hukum Q.idana detnikian menurut pendapat TIM PENGKAJIAN HUKUM PIDANA tabun 1980 :' ' ... Pandangan modern dalam hukum pidana memberi kelonggaran pada Hakim untuk menetapkan jenis pidana, tinggi rendahnya pidana dan cara pelaksanaan pidana yang disesuaikan dengan kebutuhan serta keadaan...si terhukum. Jadi dalam hal ini ada lndividualisasi dalam pemberian pidanaJ6) . Aliran modem ini mencari sebab kejahatan dengan menggunakan metode llmu Alam dan bermaksud mendekati si penjahat, dan mempengaruhi si penjahat secara positif sehingga bila memungkinkan si penjahat dapat diperbaiki. Adaimn ciri-ciri dari aliran Modern dalam Hukum Pidana antara lain sebagai berikut : 1. Menolak definisi hukum dari kejahatan 2. Pidana har\ls sesuai dengan pelaku tindak pidana. 3. Memakai Doktrin determinisme pidana mati 4. PenghapuS3n , 5. Menggunakiln riset-riset Empiris ,6. Penentuansanksi pidana tidak ditetapkan secara pasti. 17) , Secara ekstrimidapat dikatakan bahwa aliran Modern dalam hukum pidana berpan, dangan: ... Menghendaki ' lndividualisasi pidana artinya dalam memberikan sanksi pidana selalu memperhatikan sifat-sifat dari si pembuat dan keadaan-keadaan si pembuat dengan melihat lebih kemuka perbedaan-perbedaan antara aliranaliran tersebut terletak pada makna dan tujuan pidana , 8) Apabila Individualisasi pidana tersebut dihubungkan dengan' rencana penyusunan Kodifikasi Hukum Pidana Nasionai'yang baru ternyata konsep tersebut telah memasuki hukum pidana yang bersifat normatif sekaligus'mengandung sifat impitis menjadi suatu ajaran hukum pidana yang berdimensi ilmu-ilmu kemasyarakatan . "Pikiran baru ~rsebut antara lain untuk menghindari dampak negatif pi dana penjara : yang dikembangkan dengan teori tujuan .pemidanaan yang integratif berdasarkan . kemanusiaan dalam sistem Pancasila. ,; ~ ' " Apabila diteliti Rumusan pemikiran-pemiklran baru pada. rancangan Kodifikasi "
,
• 2
i
'~Dr: MULADI, S.H. Lembaga Pidana Bersyarat. Bardung : Alumni, 1985, halama n 33, ') TIM PENGKAJIAN HUKUM PIDANA, Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum :'T) Pidana"Jakarta : BPHN, 22 Mei 1980, halaman 14. 'i- Dr. MULADl, Op. at, halaman 43 ~ Prof. SUDARTO, S.H., Op.cit, halaman 80 ~Dr-. MULADl, S.H, Op, cit, halaman 53. . . -
•
PrilfJip
59.[ ...
~.
Hukum PidalT
•
•
B. BEBERAPA DOKTOR DliNDONESIA BERBICARA TENTANG INDlVIDUALlSASI PIDANA. .. .. . Bertolak dari pendapat TIM Pengkajian bidang Hukum Pidana tahun 19&0 yang . , diketuai ': Prof.SUDARSO, S.H. bahwa yang dimaksud individ~lisasi pidana . . . . . . . adalah : Pene.t apan jenis pidana, tinggi rendahnya pidana, dan cara pelaksanaan pidana,yang sesuai dengan keadaan dan keJmtuhan si terhukum. Dengan dasar pengertian indi'¥,hlualisasi pidana terseb~t di atas, penulis selanjutnyaakan me• ' ,pendapat dari Doktor Indonesia yang terdiri dari : Dr. BARDA NAWAWI " S;H., Dr. MULADI, S.H., Dr.ANDl HAMZAH, . , . S.H., Dr. J.E. SAHETAPY, S.H."Dr. H.C.SAHARDlO, S.H. ;
.
'
-
-
Kelima Doktor tersebut berbicara tentang individualisasi pidana dengan peninjauan , dari sisi yang berlainan yaitu : ada yang meninjau dari sisi penetapan jenis pidana; penetapan tinggi rendahnya pindana; dan ada yang meninjau dari sisi cara pelaksanaan pidarui penjara. Pendapat Doktor B~RDA NAWAWI ARIEF,S.H. : ... pertanggurtg ja waban pribadi dalam pemidanaan perlu dikembangkan untuk membangkitkan kesadaran terpidana akan nilai-nilai kemanusiaan, moralitas so sial dan tanggung ja wab sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat; sehingga perlu dikembangkan kebijaksanaan limitatief dalam me mbatasi penerapan pidana penjara dan konsep individualisasi pidana di satupihak " . de,ngan tidak mengabaikan aspek perlindungan dan pengawasan masyarakat di lain pihak. Di samping itu perlu pidana penjara terbatas yang berkaitan erat dengan jenis pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan dari pada pidana penjam biasa untuk orang orang yang secara.obyektif dipandang telah melakukan tipdak pidana ringan atau tidak begitu mempun.,Yili ~atak jahat. ladi berkaitan't;rat dengan rnasalah individualisasi pidana . II}. Pendapat Doktor MUL.ADl, S.H. : . .... harus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif daripada pidana perampasan kemerdekaao, antara lain dalam bentuk pendaya gunaan pidana bers}'
,
\
2
-
•
Dr. BAMBANG PURNOMO, S.H" Sistem Pemidanaan. (Maka lah Lokakarya Bab-bab KiXlifikasi Huk urn Pidana). Jakarta: BPHN, \988, halaman 6. Dr. BARDA NAWAWI ARIEF, S.H., Op.cit., . haiaman 15 dan II .. •
. D6sember 1988'
592
Hukwn dan Pembang/QIan
Sistem Pancasila) sebagai pedoman untuk memberikan pemidanaan, tetapl juga memperhatikan kecenderungan-kecendemnga,{l-universAl )"lng tidak bertehtangan dengan Pancasila dan UUD 1945.q~; - , Pendapat Doktor ANDl HAMZAH, S.H. : Walaupun hakim bebas untuk memperkembangkan beratnya sanski pidana -' yang akan dijatuhkan dari batas minimum:ke batas maksimum dalam siatusikongkrit, ia tidak boleh sewenang-wenang menuruti perasaan subyektifnya. Beberapa ke~daan obyektif )"lng dapat dipertimbangkan Hakim adalah: umur terdakwa, jenis kelamin, akibat yang ditimbulkan oleh perbuatanterdakwa, keseriman delik bersangkutan, nilai-nilai khusus daerah setempat dan tentu juga tingkat dampakn)"l terhadap filsafat negara )"litu : Pancasila .... ~l} PendapatDoktor J.E. SAHETAPY, S.H. : ' ..:. Para hakim dalam berkonsultasi dengan insan kamilo)"l harus selalu berpegangan pada landasan PanCasiia dan oleh karenan)"l hakim tidak boleh merupakan maksud dan tujuan pidana )"lng akan dijatuhkan. Dengan berpijak pada landasan Pancasila pidana )"lng hendak dijatuhkan harus bertujuan agar si terpidana setelah menjalani hukuman akan dapat menjadi rnanusia yang beradab, berbudi, dan berguna. Milkluk )"lng telah distigma penjahat itu dalam , keadaan bagaimanapun adalah ciptaan Tuhan dan oleh karena itu dikasihi - .. oleh Tuhan. , "Hendaklah andamengasi'l1ilsesama rnanusia sepertidiri and a sendiri". H) , •
'
.
•
I
,
,
"
Pendapat Doktor HONORIS CAUSA SAHARDJO. 'SJiI. sebagai berikut : ... Hakim Indonesia adalah petugas yang aKtif menyelesaikan suatu perkara, dan Hakim Indonesia sudah biasa menjalankan hukum yang tidak tertulis dan yang selalu dalam perkembangan. Hakim harus menuju ke mas)"lrakat yang adil dan imkmur yang berkepribadian Pancasila dan menurut Garis-Garis . Besar Haluan Negara. Dari pengayoman itu nyatalah bahwa menjatuhi pidana bukanlah tindakan_ ' , balas dendam dari negara. .... pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita paqa terpidana karena dihilangkann)"l kemerdekaan bergerak, me.mbimhinl1 ternidana agar bertobat. me~didl~ su~ya_ ia menJac11 _seorang l1nggotaIIflsyarakat sosiaUs Jnoonesia ' yang berguna. Negara harus memperia\<:ukan para narapidana menurm kepribadian bang~~ita sendiri .... Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah: , Pemas)"lrakatanl~~" " " Mehurut pendapat Dr.BARDAISIAWAWIlJ~~~EF. S.H. konsep pemasyarakatan S.H. tersebutCfi atas berdasarkan pada individualidari ide Dr. H.C. SAHARDJO, . . ' ,
I
,
,
1:1_Dr.
MULADl, S.H" Op. dt,, _halaman_ 257. _ !~) Dr. ANDl HAMZAH. S.H., Sistem Pidam dan Nmidaman Indonesia, Jakarta: Pradnya 1\' Paramtta, 198~, halaman 78. ' .) Dr. .I.E. SAHETAPY, S.H., Suatu studi kusus mengemi ancaman pidam mati terhadap \5 pembunul1an berencam. Jakarta.: Rajawa!iP.ress, 1981, halaman 332 dan 353 dan 35? , ) Dr. ' H.C. SAHARDJO, S.H., Pohon Benngm pengayoman (Pldato dalam ' Pembenan DQctor Honoris. Causa). Jakarla, : 5 Juli 1964, halaman 20,21 , 22 . )... . .
,
Prinsip'
593
sasi pidana: " .... konsep pemasyarakatan hertolak dari ide rehabilitasi,, resosialisasi ,. . . ,dan. individUalisasi pidana. "116); . . ... . ' "
.
,
IV. PENERAPAN PRINSIP INDIVIDUALISASI PIDANA'DALAM KEBUA. KAN LEGISLA TIF Dl INDONESIA. ' . , ' . . Prinsipindi vidualisasi pidana tercermin antara .lain di proses penjatuhan sanksi pidana kepada terdakwa dalam proses peradilan pidana. Kebijaksanaan-kebijaksanaan legislatif di Indonesia yang dituangkanke dalatn Undang U ndang sebagai penerapan individualisasi pidana dapat.dilihat dari duasisi yaitu : . I . . . : A. Kebijaksanaan pre ventifo. . . B. Kebijaksanaan reiresif, .
.
•
.
C. KEBlJAKSANAAN PREVENTIF. .. Jndivid\JaJisasi PidanaDalam Undang~Undang Pokok Kejaksaan Dan . . Undang-Undang Pokok Kepolisian. . . Yang dimakstrl dengan kebijl;lksanaan preventif adalah : ''kebijaksanaan yang diberikan bleh Undang Undang kepada aparat peneg;1k hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan . tersangka ke.Pengadilan." . . . . Melalui Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI telah dibuka 'jendela" kemungkinan menyamoaikan suatu perkara pidaila sehingga tersangka tidak diajuka~ ke pengadilan. · .. . - '
Pasal 8.Undang-Urrlang nOJ;ner 15 tahun 1961 menjelaskan bahwa: Jaksa Agung da.plt menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Selanjutn~ . . dalain penjelasan Pasal8 tersebut didaplt petunjuk sebagai berikut: .
... dalam pasaLini bahwa di lingkungan kejaksaan, Jaksa Agung yang mempunyai hak menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. peI:kam diberikan penjelasannya lebih Janj~t oleh Prof. Dr. Masalah penyampingan . .. . .. . WIRJONO PRODJODlKORO, S.H, sebagai berikut: Praktek yang diturut oleh . ' . Penuntut Umum di Indonesia sejak jaman Belanda adalah lain, yaitu menganut yang menggantung sesuatu hal kepada tindakan yang nyata dan prinsip oportunita, . . ditinjausatu persatu. Ternyata Clalarn pmktek bahwa ada kalanya sudah terang bendemng seomng melakukankejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah • sedemikian rupa sehingga kalau seomng ituditUliltut di muka Hakim Pidana, kepentingan negam akan sangat dirugikan. 18) . Memang dalam lJrrlang-Urrlapg Pokok Kejaksaan ada suatu wewenang Jaksa . . . . .. . Agung dimana merupaKan asas dari Hukum Acar$. Pidana yang dipakai di Indonesia, yakni wewenang untuk menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan 15 tahun 1961) yakni yang dikenal dengan umum (Pasal 8 Urrlang-Urrlang nomer . . -
-
"
."
•
•
,
16) pT, BARDA NA W AWl ARIEF, S.H"Sistem Pemidaman (Makaiah padalokakarya 1'7 ' Bab-bab Kcdifikasi Hukum Pidara), Jakarta: BPHN, . 1988 halaman 19. ..
, ) Dr. BARDA NA W AWl ARIEF, S.H.; Bahan Bacaan Wajib Kapita Selekta Hukum Pidam di PascasaIjam Ul. Jakarta : 1988. halaman 305. .
-
.
.
. .
IK) I'rof. Dr.W1RJQNO rRODJODIKORO, S.H., Hukum
P"!lt!ro.it. Suniur
Baooung,19!:15,lIlIaman2~.
--
Acara Pidana di Indonesia. Bandung,
Hukwn dan Pembangunan .
' . 19
asaS oportumtas. ) .. P~ng~naan asas oportunitas rnerupakan Freis Errnessen maim ukuran yang dapat dlpa~l dalam rnenentukan kebijaksanaan terse but adalah : asas-asas urnurn tentang pemenntahan yang i!Xl tut.yang rneliputi : larangan bertindak sewenang-wenang, Jarangan detournement des povoir, asas keplstian hukum, asas keeerrnatan, asas kesarnaan. 20) Diadakannya asas oportunitas tersebut dengan dasar pertimbangan sebaga i berikut: a. Ketxntingan individu si pelaku kejahatan akan terlalu dirugikan bila dia sarnpai dipidana atau dihukurn. Dengan kata lain kesalahan yang dilakukan terdakwa terlampau keeil atau terlam!Xlu ringan sehingga sedikit sekali menimbulkan ganggwn pada kepentingan umum b. Kepcntingan urn urn pun dipertirnbangkan akan lebih terganggu kalau penyarnpingan perkara itu tidak dilakukan sebab bila perkara tersebut disidangkan rnungkin akan rnenirnbulkan akibat: . l. Wibawa pemerintah e.q. Pengadilan se ndiri akan merosot dimata umum 2. Masyarakat atau umum merasa dirugikan sekali; misalnya bila masyarakat punya kepentingan yang terpengaruh seeara tidak menguIllungkan bila perkara tersebut disidangkan 21) Terhadap perka~-perkara yang telah dikesarnpingkan tersebut dikernud ~an hari tidak daIllt dilakukan penuntutan lagi. Lain halnya dengan perkara - perkara yang dihentikan penuntutannya demi hukum (penjelasan rasa I 77 KUHP), walaupun perkara itu berhenti sementara penuntutannya tapi kalauada bukti-bukti baru, maka penuntut umum dapat melakukan'penuntutan lagi terhadap terdakwa. Inilah perbedan antara perkara dihentikan penuntutannya dtlrni hukurn dengan penyarnpingan perkara. 22) Apabila dilihat lebihjauh lagi tentang perbedaanantara: Pengertian perkara dihentikan penuntutannyci derni hukurn d~ngan perkara ~itutupderni hukum adalah: Perkara dihentikan penuntutan derni hukum karena liCrkara tersebut tidak eukup bukti . .
'
.
. pe~istiwa
atauperistiwa tersebut bukan merupakan pidana (Lihat: Keputusan Men·· . teri Kehakiman Nomor: M.OI.P. W.-07.03 Tahun 1%2 tanggal 4 Pebruari 1982 tenlang Pedoman Pelahlnaan KUHP). Sedangkan yang termasuk perkara diwtup demi hukum adalah: Perkara - perkara ' yang telah daluwarsa, dannebis in idem. • Di samping Urrlang-Undang nomer 15 tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok •
.
l ~) LOE.BBY LOQMAN, S.H., M.It,
halaman 16. ' 1,) Prof. Dr. AZ. AllIDIN , S.H.
.
-
Pm-I'er;.dilan Ui Indonesia , Jakarta : Gil,,:ia Ino(]nc, i" , 1% 7, .
Bunga Hampai lIukum Pidana, Jakarta: I'ratlnya I'Mamila , 1%3.
ha Ia ma n ')6 .
" ) PU K NAD II'UK U, \CA){ AKA; S.ll. Hlsalat lIukUlTl Pillana dalam tanya ja wah, .I aka rta: Raja wa"
.I'l\!'-" 1%2, tulaman 17.
•
" J Dr. ANDI HAMZAIl, S.lL PcrlJarxiingan KlAII'-IIII{ dan Klllllcntar, Jakina: (;h"li" Illli!Jll c,ia, 1%4, Halaman 1')0.
.
-
Prinsip
.595 .
KejakSlan RI (pasaI8) memuat wewenang penyampmgan perkara, ada juga wewenang yang miripdengan hal terse but tercanlum di dalam penjelasari umum U ndangUndang nomer 13 tahun 1961 tentang Ketenlua n-ketentuan Pookok Kepolisian Negara, leta pi khusus hanya berlaku pada penyampingan perkara yang serba ringan sifatn ya. . PenjelaSln umum angka 3 Urrlang-Urrlang nomer13 tahun 1961 menentukari: "... selanjutnya, berhubung dengan penyidikan perkaraperlu dicatat bahwa dalam pmktekKepolisian (menurut hukum yang tak terlulis) pihak Kepolisian Negara berdaSlrkan kepentingan umum daJXlt menyampingkan sualu perkara yang serba ringa n sehingga perkara itu tidak Slmpai pada tingkat penunluta n oleh Jaksa Praktek yang dimaksud itu dajlit berlangsung terus". (periksa: penjelasan umum angka 3 Urrlang-Urrlang nomer 13 tahun 1961). Penyampingan perkara yang serba ringan sifatnya itu, mendapat rambu-rambu • pelunjuk lebihjauh denganadanya pasal 7 ayat (1) huruf j KUHP .... penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan lindakan lain menurut hukum yang berta nggwlg ja wa b. Yang dimaksud dengan "tindakan.lain"adalah tindakantindakan dengan syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan dengan suat\l hukum: . (komentar penulis: aturan hukum penya fii pi nga n perkara serba ringan menurul penjelasan umum UrrlangUrrlang nomer 13 tahun 1961 mendapat dorongan kuat untuk dilakSlnakan dengan adanya PaSlI 7 KUHP). b. Selaras dengan kewaiiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakanjaba-. . . tan', c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalaO'l lingkungan jabatannya. . . d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan mernakSl. e. Menghormati hakasasi manusia (PerikSa: penjelasan Pasal5 ayat (1) hurufa,jo . , . Pasal 7 ayat (1) KUHP) . . . . Denganadanya wewenang penyampingan perkara olehJakSl Agung dan wewenang penyampingan perkara yang serba ringan sifatnya oleh penyidik Polri, hal ini bera~ti merupakan kebijakSlnaan pre ventif dari penerapan ~rinsip' individualisa'si pidana dalam kebijakSlnaan Legislatif di Indonesia. •
•
•
B. KEBIJAKSANAAN REPRESIF: . 1.1ndividualisasi Pidana DaIam KUHP dan Undang- Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. "KebijakSlnaan represif dimaksudkan supaya suatu kebijakSlnaan yang telah ditetapkan oleh Urrlang-Urrlang diperIunak penera.pan sistem perumuSln pidana pen. . jara yang bersifat impemtif dan absolut."23) Termasuk dalam kebijakSlnaan represif misalnya~ Proses penjatuhan sanksi pidana . oleh Hakim kqnda terdakwa . .
•
. 23) Dr. BARDA NAWAW! ARI~F,.?.I1. Bahan Bacaan Wajib Kapita Selekta Hukum Pidana di ('ascii Satiam U.I, Op. cit, IlIlarnan 311': . .
' pesemoer 1988
Hukum dan Pembillngunan
-
.
.
Dalam menetapkan pidana penjara kepada terdakwa terdapat di dalamnya aspek indi\idualisasi pidana. Masalah Individualisasi pidana penerapannya dapat dituangkan dalam bentuk Uniang-Uniang sebagai Suatll kebijaksanaan Legislatif. Individualisasi_ pidam temyata mengandung beberapa aspek, antara lain: I. Melindungi sipelaku dari pengenaan sanksi. (Komentlr Renulis: masahih ini telah menulis uraikan di sub Bab A daIam karangan ini). 2. Melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku 3. Mempengaruhi tingkah laku si pelaku untuk patuh pada hukum 4. Melindungi si pelaku dari pembalasan sewenang-wenang di luar hukum. daplt pula disebutaspek individualisasi pidana. 24) Aspek - aspek. tersebut . . _ . . --' . Hukum Pidana di Negeri Belanda sebagai sumber dari KUHI' di Indonesia juga .. mengeml Indi\idualisasi pidam dalam proses Peradilan Pidana-nya: ... pada rmsa lampau acara persidangan pidana di Belanda memusatkan pada petb ua ta n. Teta pi pada ·;t'ahun-ta hun akhir ini pemeriksaan di tingkat polisi - pun dan keputusan mengenai penahailan setelah penangkapan telah mulai difokuskan pada . dirisi pelaku.25 ) .Acara persidangan di pengadilan Negeri di Indonesia juga mengenallndividualisasi pldana miSllnya yang terdapat dalam pasal 155 KUHP: Hakim Ketua pada permulaan sidang hams menanyakan kepada terdakwa sederetan identit«l terdakwa (nama, umur, pekerjaan, dan lain-lain). Hal ini dapat berarti bahwa jika identitas terdakwa yang dihadapkan si sidang Pengadilan tidak cocok identitasnya dengan seperti apa yang tercantu{l1 di surat dakwaan dan Berita Acara Pemeriksaan Penyidik Polri, mal
I
~
•
•
•
•
•
•
•
•
") IbKl. Halaman L6ts ") Prof. M.L.H.C. HULSMAN, Sislcm Pcmdilan Pidana. Jakarta: Rajawali Pre,-" 1%4. tulaman- 1)<) .
•
Prof. OEMAR SENO ADJI , S.H., lIukum ('idana Pcngcmbangan, Jakarw : Lrlangga, ha lamao 3!S.
26)
•
/priltSip
adllnya. Keadaan pribadi terseout dapat dlperoleh dari keterangan orang-orang dan . . lingkuogannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebaga-inya . Sehubungan dengan kewajiban hakim untuk melihat keadaan pribadi si terdakwa seperti penjelasan Pasal27 ayat (2) tersebut di atas, Prof. H. OEMAR SENO ADJI, S.H., berpendapat bahwa: ... Ia (Hakirri) harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan-keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkannya. Ia hatus melihat kepribadian dat\ pelaku, umumya, tingkat pendidikan, apakah pria / wanita, lin~k\Jl1ga nn ya, sifa t dari suk u bangsa ora ng tersebut, dan lain-Iain ... Y) S . i pel)g~.n Sila Prikemanuslaa~i maka terdakwa harus diperlakukansesuai dengan rna rta batn ya sebal?f1i.rna nusia, dan perlu serta wajib diberi p~rlindungan sewajamya.(Perlksa: Penjela'SaIlPasaI3$ dan Pasal36 Undang-Undang Nomer 14 tahun 1970). Ketentuan Pasal-Pasal tersebutjuga menganciung. aspek individualisasi c pidana. Hakim berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila denganjalan rnanafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya , dan menggali nilai-nilai hukumyang hidup di rnasyarakat sehingga keputman hakim mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. (periksa: Penjelasan Pasal 1 dan penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang nOlner 14 tahun 1970). Apabila keputusan Hakim di Pengadilan negeri telah dijatuhkan sanksi pidananya kepada terdakwa, masih pula dimungkinkan '~peninjauan kembali" atas keputusan itu, melalui Pasal21 U rrlang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peninjauan Kembali atas keputusan HaJ?m dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. Dapat teIjadi hasil peninjauan kembali dari Mahkamah Agung tersebut si terhukum bebas. Ha:I ini juga menunjukkan adanya aspek individulisasi pidana bagi si terhukum. Kalau diteliti, memang Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman selain menggambarkan adanya "General Framework" dari badan-badan peradilan yang disebut di da1amnya tugas, kewajiban dan fungsi badan-badan tersebutj uga mem ua t asas-asas dari suatu proses peradilan, dan proses pidana khususnya. Wal t:rsebut berbeda dengan U ndang-Undang Pokok lainnya yang ada di Indonesia. •
•
•
•
29)
2. Individualisasi Pidana Dalam Penjara.
Apabila kita melihat uraian-uraian di halaman depan dapat dibaca bahwa salah satu aspek individualisasi Pidana itu menurut Dr. BARDA NA WA WI ARIEF, S.H., adalah: Melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku tindak pidana. Di dalam uraian tulisan ini selanjutnya penulis akan membahas masalah aspek individualisasi pidana di dalam penjara, yang berusabA mertdidik para narapi-Prof. H. OEMARSENO ADJI, S.H., Hukum - Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, I 9ll4, halaman ll. 28) Prof. H. OEMAR SENO ADJI, S.H., Herzening, Gantirugi, Suap, Perkembangan DeIik, Jakarta: Erla~ga , 12,84, IBlarnan II. • . 29) Prof. H. 'OEMAR SENO ADJI, S.H., KUHP Sekarang, Jakarta: Erlangga, 19~5, halaml\n 53. 27)
, "
•
•
.
.
Desember 1988
Hukum dan Perilbang;"""
dana dan mempengaruhi sikap perilakuny.l agar at pada hukum untuk selanjutnya dapat pada suatu saat yang ditentukan kembali e masy.lrakat. Seperti kitaketahui bersama bahwa reglement penjara pada masa pe ajahan Bela nda du1u masih diberlakukan sampai saat ini. Dasar hukum pengellaan penjara semula berasal dari Gestichten Reglement S. 1917, nomer 708, ber asarkan aturan Peralihan. Pasal II. . . Undang Undang Dasar 1945 ketentuan Gesticht nReglement (Reglemetlt Peil:jara) ' di bedalmkan. . , Reglement Penjara itu selanjutnya ditambahi dengan putman Menteri Kehakiman R.I. No. G.8/230 tanggal 25-2-1946. BerturuHurut kemudian putusan Menteri Kehakiman tahun 1946 itu diubah dan disempumakandengan putusan-putusan Menteri Kehakiman: No. G. 8/ 164 tanggal -_._ ..._.._-- -20 Mei 1984 dan No. G. 8/6'75 tariggal 7 Juni 1948; Teori pemidatl:l<;lll diharapkan dapit terpenuhi dengan adany.l Sarana Reglement . -,. Perijara, teori pemi<;tanaan .menurut Dr. J.E. SAHETAPY, S.H. adalah: ;':... saya berpenda{iitljr. J.E. SAHETAPY, SH bahwa teori pemldanaanjangan dibebankan ke[llda hakim , melainkan harus diserahkan sepenUhny.l l{epada apa.: ratur lembaga pemasy.lrakatan yang setiap hari mengawasi para nara pidaI1~t_... " 30) Apabila diteliti Reglement Penjara memang ada terkandung makna teori :bagipemi... danaan, yang sekaligus juga mengandung aspek indi vidualisasi pidiuu, miSar~Ya . . pada 28, 54, 55, 65, 66. Pegawai-pegawai penjara diwajibkan memperiakukan para riara pidana secara peri kemanusiaan dan dengan keadilan. Hal ini juga berarti dilarang memberi hukuman atau memakai kekerasan kecuali ditentukan Undang~ . U ndang (Periksa : Pasal28 Reglement Penjara). ~mun demikiandemi untuk memelihara keama na n dan ketertiban penjara, serta untuk melatih para nara pidana agar patuh pada hukum disediakan sarana hukum Disipli~ bagi Para Narapidana agar mereka taat kepida hukum. (Periksa: Pasal 54 Reglemen Penjara). Pembinaan kerochanianjuga dilaksanakan di dalam penjara di samping pembinaan ilmu pengetahuan tingkat SD, SLTP. (Periksa: Pasal 65 dan 66 Reglemen Penjara). Bagi pi ra nara pidana golongan tertentu yang berkelakuan baik sel~ma menjalanihukumanny.l (sekurang-kurangny.l sudah dijalani hukumanny.l dua pertiga) dapit diusulkan untuk dibebaskan sementara dengan perjanjian - perjanjian tertentu (Periksa: Pasal 55 Reglemen Penjara). Masalah irii berkaitan erat dengan aspek individualisasi pidana di dalam penjara. Individualisasi Pidana oan Proses PeradilanPidana Berdasarkan uraian penulisdi halaman-halaman depan terny.lta aspek indivi.ctualisasi pidana itu ada dalam Proses Peradilan Pidana sebagai kebijaksanaan Legislatif di Indonesia. Hal itu tercermin di dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara, Undang-Undang Pokok Kejaksaan RI, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakl iman, dan Reglemeri Penjara. . Apabila divisualisasikan dalam gambar Proses Peradilan Pidana dapat digambarkan sebagai berikut: .'
•
•
•
T'
•
. .
.
Dr. J.E. SAHETAPY, S.H. Makalah Dilema Dalam' Pidana dan Pemiiid:t1'l4ui,.Jakatta: BPHN, . 1980, Inlaman 7.
30)
599 · .
.
Individualisisi Pidana dalarn Proses Peradilan Pidana di RI: • •
"
Pro~s
I
Oi: Kepolisian RI •
"~
Oi: ksaan RI
Proses Oi: , Kehakiman
Oi: Penjara ,
,
,
,
Individualisasi · Individualisasi Pidana: Pidana: Penjelasan Umum-- Pasal 8 UU no. angka 3 UUNo. 15tahun1961 13 tahUn 1%1. - Penjelasan Pasal , 8, ter~but
Individualisasi Pidana: Pasal 28, 54, 55, 65, 66, Reglemen Penjara
Individualisasi Pidana: Pasal 27 ayat (2) Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 36 UU no. 14 tahun 1970. ,
V. KESIMPULAN. . •
1. Jikaditinjau dari ~gi kebijaksanaan Preventif maka aspek individualisasi Pidana daret tercermin di dalam penjelasan umum angka 3 Undang-Uhdang nomer 13 ,tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara dan Pasal 8 be~rta: penjelasannya Urrlang-U rrlang Nomer 15 tahun 1961 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kejaksaan R.I. Hal tersebut merupakan kebijaksanaan Legisla:tif di Indonesia. 2. Ditinjau dari segi kebijaksanaan preventif maka aspek individualisasi pidana , daretterceIInin di Pasal 27 ayat (2), penjelasan Pasal 35, 36, Undang-Undang Nomer 14 tahun 1970 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Keh'akiman. Oemikia n j uga te rcermin aspek individualisasi pidana pada Pasiil 28, 54, 55, 65, 66 Reglemen Penjara. 3. Aspek iridividualisasi pidana daret dilihat pada setiap proses peradilan pidana yaitu:Pro~s di Kepolisian, Proses di Kejaksaan, Pro~s di Kehakiman dan Proses di Penjara; melalui Urrlang-Undangnya ada Pasal-pasal tertentu yang mengandung aspek individualisasi pidana. ,
DAFTAR KEPUSTAKAAN ABIDlN, AZ, Prof, Dr. S.H., Bunga Rampai Hukum Pidaoa, Jakana:"Pradnya Paramita, 1984. ARIEF BARDA NA W AWl, Dr. S.H., Makalah Penjara.Jerbatas, suatu gagasan penggabungan antara Pidana Penjara dan Pidana Pengawasan. Bahan bacaan wajib 'Kapita Selekta Hukum Pidana di Pascasarjana U.I. 1983 Makalah Sistem Pemindanaan. (Lokakatya Bab-bab Kocijfikasi Hukum (pidana) . Jakarta: BPHN, 1988. DlPOYONO, KIRDl, Dr., Sosial, Jakarta: c.V.Rajawali, 1985. HULSMAN, M.L. Sistem Peradilan Pi,dana, Jakarta: Rajawali Press, 1984. , HAMZAH, ANDl, DR. S.H. Perbandingan KUHAP-HIR, $nKomentar. "
•
.
,'I
,
.
.' Desember. J 988
Hukum dan Pembanguna,.
600
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. KERTANEGARA, SATOCHlD,' Prof. S.H. .Hukum Pidana II, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, 1985 . LOQMAN LOBBY S.H. M.H., Pra Peradilari Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia, 1987. MULADl, Dr. S.H., Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985. PURNOMO BAMBANG, Dr. .S.H. Makalah Sistem Pemindanaan. (Lokakarya Bah-bab Kodifikasi Hukum Pidana), Jakarta: BPHN, 1988 PURBA(sARAKA, PURNAbI, S.H, Filsafat Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1982. PROJODlKORO, WIRYONO, Prof. Dr. SJI. Hukum Acara Pidana di Indone. . sia, Bandung: Perierbit Sumur Bandung, 1985 . SAHET APY, J.E. Pi'of, Dr. S.H. Makalah Delima Dalam Pidana dan Pemindanaan, Jakarta: BPHN, 1980. SENOADJI, OEMAR, Prof, S.H. Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga 1985. . Hukum~Hakini-Pidana, Jakarta: Erlangga, 1984. KUHP sekarang, Jakara: Erlangga, 1985 Herzening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Jakarta: Erlangga, 1984. I SUDARTO, Prof. S.H. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983. • , TIM PENGKAJIAN HUKUM PlDANA, Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana, Jakarta: BPHN, 1980. •
•
•
•
•
Salah Situ bacaan utama sarjan'll dan mahasiswa hukum Indonesia.
-
•
•
../
•
•