1
PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN Ramli S1
Abstract: Law enforcement is one important factor in the life of the state.
Similarly, if the problems associated with the economic development of the country. So it was a necessity of law enforcement to be carried out. The problems that occur in development often associated with law enforcement in the economy in a country practice. Birth of corruption in the bidding process and others do not necessarily reflect the rule of law in the country. Search results the authors found that, countries that want to move forward should make law enforcement as an important sector in driving the country's economy. Country can develop its economy well if the guarantee economic rights of a person or institution equitably met.
Key Words: Law Enforcement, Developing Countries, the Country's Economy Pendahuluan Indonesia masih memperlakukan hukum warisan kolonial. Sebagaimana halnya dalam bidang kepemimpinan yang membutuhkan proses regenerasi antara lain untuk mencegah “kultur individu”, dalam bidang hukum juga dibutuhkan proses regenerasi hukum untuk mengarahkan pembangunan yang beraspirasi nasional. Di negara maju, regenerasi kepemimpinan dan hukum sudah dapat berjalan secara otomatis karena infrastruktur yang dapat memproduksi manusia yang berkualitas baik sudah tersedia. Tidaklah demikian halnya dalam negera berkembang. Regenerasi hukum tidaklah identik dengan mewibawakan kembali hukum. Regenerasi hukum tidak menjamin bahwa hukum yang baru akan mempunyai wibawa yang lebih baik. Apabila hukum yang berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat jelas di sini kaitan erat antara manusia dan hukum.2 Para idealis hukum tata Negara sering berilusi tentang pemerintahan oleh hukum (qovernment of law), dan tidak pemerintahan oleh manusia (government of men). Sejarah membuktikan bahwa hal ini tidaklah mungkin. Pemerintahan adalah selalu oleh manusia, demikian pernah diamati oleh bekas presiden Amerika Serikat, Woodraw 1 Dosen Tetap Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Manado, Sulawesi Utara. Email:
[email protected]. 2 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 112.
2
Wilson (1913-1921).3 Sedang Roscoe Pound mengatakan law is a tool of social engineering4 ‘hukum hanya sebagai alat.’ Untuk melahirkan hukum yang berwibawa perlu kombinasi yang tepat antara manusia dan hukum. Jatuh bangunnya suatu Negara ditentukan oleh kombinasi ini. Bila dalam suatu pemerintahan, unsur manusia terlalu besar, maka ini akan membahayakan pemerintahan itu sendiri. Dokumen-dokumen bersejarah seperti Magna Carta Inggris (15 Juni 1215), Bill of rights Amerika (15 Desember 1791), dan Undang-Undang Dasar 1945Indonesia (18 Agustus 1945) semua mencerminkan bahwa keadaan sebelum lahirnya dokumen-dokumen ini, unsur manusia besar dalam pemerintahan, sehingga hilanglah keadilan dalam masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, bila dalam suatu sistem pemerintahan, unsur hukum sebagai tulisan yang mati (dead letter rules) terlalu ditonjolkan, maka ini juga akan menghilangkan unsur keadilan yang justru hendak dicari oleh hukum bersangkutan. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Aristoteles sudah melihat kemungkinan ini dan menyarankan perlu adanya keadilan distributif atau kebijaksanaan untuk untuk mengoreksi pelaksanaan hukum yang melihatnya semata-mata tulisan mati.5 Dari uraian di atas jelas, seni pemerintahan adalah mencari titik tengah yang memberikan keseimbangan antara manusia yang penuh emosi dan hukum yang hanya merupakan tulisan mati. Inilah kesukarannya memerintah dalam negara demokrasi yang sedang berkembang. Hanya hukum yang mencerminkan keseimbangan tersebut dapat berwibawa. Dalam pemerintahan totaliter seperti pemerintahan kolonial dulu, membentuk hukum yang berwibawa jauh lebih mudah karena pertama keseimbangan seperti diuraikan di atas tidak perlu dicari dan kedua, hukum yang dibuat adalah semata-mata mencerminkan kepentingan pembuat undang-undang itu sendiri. Dengan kata lain, hukum itu dapat dijalankan secara konsekuen, karena kepentingan pembuat undang-undang itu tidak dirugikan. Kewibawaan hukum pada tahun 1870 tentang investasi misalnya dapat berjalan lancar karena hegemoni kolonial yang sedang berkuasa. Hingga pecah perang dunia Ibid., h. 113. Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum: Fungsi dan Relevansinya bagi Pembangunan, (Yogyakarta: Penerbit Philosophy Press, 2002), h. 30. 5 Lihat Satjipto Rahardjo dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 22-23. 3 4
3
II. Pada waktu itu Indonesia terkenal sebagai tempat paling baik untuk mengadakan investasi. Setelah Indonesia merdeka, karena salah tafsir akan peranan modal asing, ketentuan yang dikeluarkan oleh Indonesia justru mengakibatkan terbangnya modal keluar Indonesia. Puncak dari ketentuan demikian ialah peraturan-peraturan tentang nasionalisasi yang diundangkan pada bulan Februari 1969. pada saat itu tidaklah mungkin orang berbicara tentang hukum yang berwibawa untuk menarik modal asing, karena hukumnya sendiri tidak ada. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nasionalisasi adalah lonceng kematian bagi penanaman modal asing pada saat itu.6 Hal tersebut terulang kembali saat sekarang ini, namun dengan permasalahan yang berbeda. Yang menjadi pokok permasalahan saat ini adalah tidak adanya kepastian hukum dalam negeri. Hal ini yang mempengaruhi penulis mencoba melihat permasalahan bahwa Bagaimana Dampak Penegakan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi di Negara Berkembang?Sehingga dapat ditemukan hal konkret tentang dampak Penegakan Hukum dalam pembangunan. Penegakan Hukum Penegakan hukum pada peristiwa pelanggaran atau kemungkinan pelanggaran dan perbuatan melawan atau kemungkinan melawan hukum, hendaknya tidak hanya dimaksudkan sebagai mempertahankan hukum dalam arti tindakan represif semata, tetapi mencakup juga tindakan preventif. Penegakan hukum secara preventif dapat dilakukan dengan sistem kontrol, supervisi, memberikan kemudahan dan perhargaan (reward) bagi mereka yang menjalankan atau menaati hukum. Penegakan hukum dari kemungkinan terjadi pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum. Karena hal-hal yang disebut terakhir ini (reward) termasuk penegakan hukum, maka berbagai bahan bacaan ada yang mengategorikannya sebagai suatu bentuk sanksi.7 Dengan demikian, sanksi tidak semata-mata dalam arti memberikan penderitaan (badan, harta benda, nyawa), tetapi termasuk juga penghargaan. Sanksi dalam arti luas ini sering disebut dengan ungkapan strik and carrot atau punishment and
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima…, h. 116. Lihat, P.S. Atiyah, Law & Modern Society, dalam Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa; Suatu Pencarian, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 33-34. 6 7
4
reward.8Penegakan hukum dilaksanakan juga oleh kekuasaan pembuat undangundang, dan kekuasaan eksekutif atau administrasi negara. Di beberapa negara, kekuasaan membuat undang-undang berwenang menjatuhkan sanksi pada anggota yang melanggar hukum. Kekuasaan eksekutif dan atau administrasi negara juga menegakkan hukum seperti wewenang mencabut izin, keimigrasian, bea cukai, pemasyarakatan dan berbagai tindakan administratif lainnya. Seperti halnya membuat dan menjalankan hukum, masyarakat pun berperan menegakkan hukum. Pranata perdamaian (di desa dan di kota), mediasi di luar pengadilan, konsiliasi, arbitrase merupakan contoh-contoh keikutsertaan masyarakat dalam penegakan hukum diantara mereka sendiri. Demikian pula sanksi sosial dan adat, dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk penegakan hukum oleh masyarakat sendiri. Namun perlu dicatat, tidak termasuk penegakan hukum oleh masyarakat, tindakan-tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting) seperti yang akhir-akhir ini acap kali terjadi.9 Penegakan Hukum dalam Pembangunan di Negara Berkembang Penegakan Hukum di Negara Berkembang sangat dibutuhkan karena hal ini yang akan menjadi barometer pembangunan dan pertumbuhan negara dari segi ekonominya. Sebab yang menjadi bahan pertimbangan para investor bila ingin melakukan investasi dalam satu Negara, maka hal yang pertama dilihat ialah bagaimana penegakan hukum dalam Negara tersebut. Dari hal inilah maka menjadi satu keharusan yang diperhatikan pemerintah kita bila ingin memajukan negara tercinta ini. Hukum yang kondusif bagi pembangunan sedikitnya mengandung lima kualitas: stability, predictability, fairness, education, and the special development abilities of the lawyer10(kemampuan profesi hukum yang meningkat). Stabilitas dan kemampuan meramalkan adalah prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi. Perlu predictability sangat besar di negara-negara dimana masyarakatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial tradisional mereka. Ibid., h. 34. Ibid., h. 35. 10 Leonard J. Theberge Law And Economic Development, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan “Bahan Diskusi Program Magister Hukum”, Jilid I, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2005), h.157. 8 9
5
Stabilitas juga berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.11 Aspek keadilan (fairness) seperti persamaan didepan hukum, standar sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Tidak adanya standar tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil adalah masalah besar yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Dalam jangka panjang ketiadaan standar tersebut menjadi sebab utama hilangnya legitimasi pemerintah.12 Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa bila kekuasaan lebih tinggi dari hukum, maka supremasi hukum tidak akan terlaksana sebagaimana mestinya, akan tetapi tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dengan kaidah-kaidah sosial lainnya yang juga mengenai paksaan, dalam hal kekuasaan memaksa itu sendiri diatur dengan baik mengenai cara maupun ruang gerak atau pelaksanaannya oleh hukum. Misalnya; polisi, kejaksaan dan pengadilan sebagai alat pemaksa atau penegak hukum negara masing-masing ditentukan batasan wewenangnya.13 Sebelum membicarakan sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam penegakan
hukum,
perlu
kiranya
terlebih
dahulu
disinggung
pengertian
“pembangunan dan pembinaan hukum”. Secara sepintas lalu kedua istilah tersebut dalam pemakaiannya sehari-hari tidak tampak perbedaannya. Tetapi, kalau diamati lebih lanjut, kiranya istilah pembangunan hukum dapat diartikan semua kegiatan yang mengarah pada pembaharuan hukum (penciptaan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan). Sedangkan pembinaan hukum mempunyai konotasi yang lebih luas, yaitu memelihara dan menumbuhkan semua kegiatan di bidang hukum, meliputi pembaharuan hukum itu sendiri dan usaha peningkatan kesadaran hukum serta penegakan hukum. Semua kegiatan di bidang hukum perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. Misalnya, untuk menegakkan keadilan bukan hanya dituntut agar hakim menjatuhkan Ibid., h. 157. Ibid., h. 157. 13 Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum…, h. 23. 11 12
6
putusan yang adil, tetapi dalam menghadapi kasus pidana disyaratkan penyidikan yang sempurna dan sesudah hukuman dijatuhkan yang kemudian berkekuatan hukum tetap, diperlukan lagi pelaksanaan hukum yang tertib sesuai bunyi vonis.14 Dapat dibayangkan, apabila hasil penyelidikan kurang akurat kemudian hakim menerimanya dan dijadikannya dasar pemeriksaan di muka pengadilan, maka hasil proses peradilan tersebut akan dapat mengecewakan. Apa yang perlu diatur dan bagaimana mengaturnya, adalah diperankan oleh kalangan atas sebagai pengambil kebijakan secara nasional dan ini dinamakan suprasistem. Kebijakan secara nasional yang telah ditetapkan itu (misalnya, ditetapkan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan tertinggi), diimplementasikan oleh badan kekuasaan negara berupa pemberian petunjuk operasional yang merupakan suatu sistem yang utuh. Sesudah itu, beralih ke tahap subsistem, yaitu pengoperasiannya ke bawah berhadapan langsung dengan masyarakat. Ketiga jenjang sistem ini sehari-harinya disebut saja sistem. Para penanggung jawab di tingkat suprasistem mengamati semua kegiatan yang diperankan di tingkat sistem, dan ada kalanya juga dalam keadaan tertentu langsung ke tingkat subsistem untuk mengecek pelaksanaan kebijakan yang telah digariskan.15 Dalam
praktek penegakan hukum, khususnya pemeriksaan
terhadap suatu perkara pidana di muka pengadilan, sering terjadi hal-hal yang mengejutkan. Sering pula ada perkara yang sesungguhnya sederhana, dalam arti tidak sulit membuktikannya, tetapi di pengadilan dinyatakan bebas oleh hakim. Menghadapi peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus menuduh hakim tidak fair dalam memutus perkara tersebut. Memang buktinya kesalahan tertuduh. Artinya, kalau jaksa penuntut umum bersungguh-sungguh membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang peristiwa pidana itu terjadi. Untuk mencapai hasil kerja yang positif, jaksa tersebut perlu dulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa ini pengaruh negatif cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental
14 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002), h. 133. 15 Ibid., h. 134.
7
kurang tangguh, mudah tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan tersebut. Selanjutnya dalam penegakan hukum perlu juga diperhatikan adanya pemberitaan yang seimbang dalam mengangkat suatu permasalahan atau memunculkan permasalahan dalam media. Karena semakin kompleks masyarakat semakin banyak pula pelanggaran hukum yang terjadi, sehingga pemberitaannya pun semakin meningkat. Dalam pemberitaan, baik yang dimuat oleh harian maupun majalah, sering dibaca pemakaian istilah yang dapat menimbulkan salah pengertian. Sebagai contoh, dalam berita pernah disebutkan, setelah mendekam dalam tahanan di lembaga pemasyarakatan selama empat tahun, maka bebaslah dia. Dari materi berita ini dapat dipahami yang maksudkan pembuatnya dengan istilah mendekam dalam tahanan (ditahan), ialah menjalani pidananya. Tetapi, dari segi peristilahan hukum kalimat itu mengandung kekeliruan, karena istilah ditahan sangat berbeda jauh dengan menjalani pidana. Kalau ditahan bisa berarti perkaranya belum disidangkan atau belum memiliki vonis yang berkekuatan hukum tetap. Padahal oknum yang dimaksud dalam pemberitaan tersebut ialah narapidana, yaitu seseorang yang sudah memiliki vonis yang berkekuatan hukum tetap yang sedang menjalani pidananya.16 Terlepas dari kerinduan akan hal-hal lain yang menjadi tujuan dari penegakan hukum, ketertiban sebagai tujuan utama penegakan hukum merupakan fakta yang obyektif, yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Di samping ketertiban tujuan lain daripada penegakan hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda ini dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat yang teratur. Akan tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itu, terdapat lembaga-lembaga hukum misalnya: 1. Lembaga perkawinan yang memungkinkan kehidupan masyarakat tidak dikacaukan oleh hubungan antara laki-laki dan perempuan. 2. Lembaga hak milik
16
Ibid., h. 140-141.
8
3. Lembaga kontrak atau perjanjian yang ditepati oleh pihak-pihak yang mengadakannya.17 Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan oleh manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat manusia hidup.Di sisi lain, apabila masyarakat mematuhi hukum karena kesukarelaannya, tidak karena merasa dipaksa, maka ketaatannya itu menandakan adanya budaya hukum yang tumbuh di dalam masyarakat tersebut. Budaya hukum perlu ditumbuhkan, karena tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran di dalam masyarakat, begitu juga seharusnya kekuasaan pemerintah berada di bawah hukum. Oleh karena itu, pemerintah yang tidak memiliki budaya hukum atau budaya hukumnya rapuh, biasanya mudah memerintah dengan tangan besi karena cenderung akan selalu menggunakan pendekatan kekuasaan/keamanan (security approach). Pemerintah yang demikian akan memprioritaskan terjaminnya kepatuhan hukum oleh masyarakat agar tercipta keamanan dan ketertiban. Artinya, masyarakat harus patuh kepada hukum, meskipun mereka harus dipaksa atau dipertakuti.18 Padahal kepatuhan (ketaatan) kepada hukum yang seyogianya memang harus ditegakkan, haruslah kepatuhan dengan sukarela. Tetapi hal ini baru bisa dicapai kalau masyarakat yang akan patuh kepada hukum itu menyadari bahwa hukum itu bermanfaat baginya seperti dapat menjamin hak-haknya, mampu menciptakan keadilan, ketentraman dan sebagainya. Pada dasarnya hukum mempunyai sifat penggerak dalam kehidupan masyarakat, guna mewujudkan tujuannya. Tujuan hukum dalam pengembangannya mengalami perubahan-perubahan dan arah yang berbeda-beda menurut kepentingan zamannya. Hal yang demikian dapat diketahui pola pemikiran sarjana-sarjana masa itu berkenaan dengan kebutuhan sosial ekonomi, tetapi prinsipnya semua itu menuju ketertiban. Berbicara mengenai pembangunan ekonomi, maka hal yang terpenting yang harus disediakan negara berkembang ‘Indonesia’ adalah kepastian hukum, di mana hal Arry Mth. Soekowathy, Orientasi Filsafat Hukum…, h. 29. Baharuddin Lopa, Pertumbuhan Demokrasi, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Penerbit PT Yarsif Watampone, 1999), h. 53. 17 18
9
tersebut akan menarik investor untuk berani berinvestasi ke Indonesia. Kendala besar yang dihadapi sekarang ini dikarenakan tidak jelasnya arah penegakan hukum yang dilakukan pihak penguasa, dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa terjadi tebang pilih dalam penegakan hukum dan adanya hasil survei yang menyatakan bahwa pelanggaran hukum terbesar mengenai suap terjadi di lembaga peradilan. Ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera diselesaikan sebagai wujud komitmen keberpihakan pemerintah akan penegakan hukum. Masalahnya sekarang, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi belum mampu dicegah. Agaknya makin banyak peluang untuk terjadinya perbuatan tercela itu. Contohnya, kita sering menyatakan jangan melakukan korupsi, tapi pada waktu yang sama kita menciptakan peluang terjadinya korupsi itu. Sering ada kebijaksanaan yang sesungguhnya bertujuan positif seperti menambah pendapatan negara, tapi pada waktu yang sama kita menciptakan kebijaksanaan yang memungkinkan orang atau kita sendiri melakukan penyimpangan. Sebagai salah satu contoh konkret adalah dalam hal impor dan ekspor. Pada dasarnya mengimpor atau mengekspor barang harus diperiksa untuk menghindari manipulasi yang berakibat bea masuk/keluar dapat dilarikan. Kemudian ada ketentuan bahwa tergantung ada tidaknya petunjuk Dirjen Bea Cukai, apakah suatu kelompok barang impor akan diperiksa dengan alasan barang tersebut sudah diperiksa di luar negeri oleh perusahaan yang ditunjuk pemerintah Indonesia. Kalau sistem seperti ini masih berlaku, berarti membuka peluang terjadinya kolusi, manipulasi dan korupsi.19 Sejak bertahun-tahun awal Orde Baru, reaksi sosial yang berkembang—terutama di kalangan gerakan mahasiswa—terhadap korupsi sudah bergema. Reaksi tersebut menjadi bagian penting dari tuntutan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. gerakan-gerakan anti korupsi, seperti Komite Anti Korupsi (KAK), Bandung Bergerak
(BB),
juga
sejumlah
pembahasan
ilmiah
tentang
korupsi
dan
penanggulangannya, antara lain diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, muncul pada tahun 1970, dan telah dan telah memberikan semacam dorongan politik dan dukungan sosial bagi lahirnya undang-undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan tanggal 29 Maret 1971.
19
Ibid., h. 59-60.
10
Banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional, yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Kejahatan ini tidak dapat dipidana karena perumusan tersebut mensyaratkan adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Dalam kenyataan banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, tidak selalu didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran. Demikian salah satu bagian konsiderasi dari Penjelasan Undang-undang No.3/1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.20 Syed Husain Alatas mengemukakan pendapatnya tentang korupsi yang tidak kurang dari tujuh jenis korupsi yang berlainan, yakni korupsi transaktif, korupsi pemerasan, korupsi invensif,
korupsi kekerabatan, korupsi defensif, korupsi
otegenik, dan korupsi dukungan. Dapat diduga, bahwa di Indonesia yang cukup mendapat perhatian adalah korupsi transaktif yang menunjuk kepada adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak, dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya, yang biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintahan.21 Korupsi transaktif, sebagai bentuk penyalagunaan kekuasaan dan wewenang politik maupun ekonomi, tidak berlangsung dalam ruang hampa atau terisolasi, tetapi jelas terkait dengan kondisi-kondisi sosial yang ada. Lebih khusus lagi adalah realitas sistem patronase yang menjadi salah satu ciri dinamika perekonomian sosial. Penguasaan sumber daya politik yang melekat pada posisi jabatan strategis tertentu dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan negara, merupakan potensi untuk mengalokasikan—tentu secara diskriminatif—sumber dan fasilitas ekonomi sesuai dengan kepentingan bisnis pihak yang menjalin hubungan patronase dengan pemegang kekuasaan.22 Semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang 20 Mulyana W Kusumah, Tegaknya Supremasi Hukum; Terjebak antara Memilih Hukum dan Demokrasi, (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 140-141. 21 Ibid., h. 141. 22Ibid., h. 142.
11
teratur. Adapun anggapan yang boleh dikatakan hampir merupakan keyakinan bahwa perubahan yang teratur demikian dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari keduanya. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata.23 Penutup Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka penegakan hukum di negara berkembang ‘Indonesia’ sebagai berikut:Masih banyaknya pelanggaran hukum, misalnya korupsi, dalam tubuh pemerintahan. Dan pemerintahlah seharusnya taat hukum dalam artian kekuasaan berada di bawa hukum. Karena pemerintah yang taat hukum akan menjadi contoh bagi masyarakat dalam bidang hukum. Budaya hukum sebaiknya tumbuh dari dalam diri masyarakat kita, dengan membudayakan hukum dalam masyarakat dalam artian nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatlah yang harus digali untuk dibentuk menjadi hukum nasional, dengan begitu nilai tersebut tidak menjadi hal yang baru yang harus dipatuhinya. Maka dengan mudah hal tersebut terlaksana dengan sendirinya. Kepastian hukum diutamakan guna menarik investor asing, untuk berinvestasi. Karena kepastian hukum menjadi hal yang dominan sebagai acuan keamanan aset yang mereka investasikan. Dengan adanya kepastian hukum dalam proses peradilan serta adanya kesamaan di hadapan hukum, tidak ada lagi ketidakadilan dalam pengadilan.
23 Mochtar Kusumaatmadja, “Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan” Kumpulan Karya Tulis Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, (Bandung: PT. Alumni, 2002), h. 19-20
12
Daftar Pustaka Arry Mth. Soekowathy. 2001. Orientasi Filsafat Hukum: Fungsi dan Relevansinya bagi Pembangunan, Cet. Pertama, Penerbit Philosophy Press, Yogyakarta. Bagir Manan. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Cet. I, Penerbit UII Press, Yogyakarta. Baharuddin Lopa. 1999. Pertumbuhan Demokrasi, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Cet. Pertama, Penerbit PT Yarsif Watampone, Jakarta. ______________. 2002. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. Kedua, Penerbit Kompas, Jakarta. Charles Himawan, 2003, Hukum sebagai Panglima, Cet. I, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Erman Rajagukguk. 2005. Hukum dan Pembangunan: Bahan Diskusi Program Magister Hukum, Jilid I, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum, Cet. Ketiga, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konse-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M),Cet. Pertama, Penerbit. PT. Alumni, Bandung. Mulyana W Kusumah. 2001. Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak antara Memilih Hukum dan Demokrasi), Cet. Pertama, Rosdakarya, Bandung.