PENDAHULUAN Hidrokarbon minyak bumi merupakan kontaminan yang paling luas yang mencemari lingkungan. Kecelakaan tumpahan minyak yang terjadi sering mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius (Prince et. al. 2003). Oleh karena itu, pemerintah melalui PP no 85 Tahun 1999 menyatakan bahwa tumpahan minyak bumi termasuk limbah berbahaya dan beracun (B3). Dalam pengaturan tersebut ditegaskan bahwa setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu dilakukan perlakuan tertentu sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya (Sumastri 2004). Penanganan kondisi lingkungan yang tercemari minyak bumi dapat dilakukan melalui metode fisika, kimia, dan hayati. Penanganan secara kimia dan fisika merupakan cara penanganan cemaran minyak bumi yang membutuhkan waktu yang relatif singkat, tetapi metode ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Metode fisika yang dapat digunakan ialah dengan mengambil kembali minyak bumi yang tumpah dengan oil skimmer. Metode ini dapat dilakukan jika minyak bumi yang tumpah belum menyebar kemana-mana. Jika minyak bumi telah mengendap dan menyebar sulit dilakukan dengan metode ini (Prince et.al. 2003). Penanganan dengan metode kimia ialah dengan mencari bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak, tetapi pemakaian senyawa kimia hanya bersifat memindahkan masalah. Di satu pihak perlakuan dispersan dapat mendispersi minyak bumi sehingga menurunkan tingkat pencemaran, tetapi di lain pihak penggunaan dispersan telah dilaporkan bersifat sangat toksik pada biota laut (Fahruddin 2004). Alternatif yang terakhir dalam menanggulangi dampak pencemaran lingkungan oleh minyak bumi ialah dengan menggunakan jasa makhluk hidup yang lebih dikenal dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan teknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Pendegradasi hidrokarbon yang telah dilaporkan di antaranya ialah bakteri, jamur, dan fungi (Atlas 1992). Penggunaan bakteri untuk mendegradasi hidrokarbon minyak bumi memiliki kelebihan, yaitu murah, efektif, dan aman bagi lingkungan (Sumastri 2004). Penelitian yang dilakukan Ni’mah (2005) menunjukkan bahwa bakteri dengan kode isolat
T2M memiliki kemampuan degradasi hidrokarbon tertinggi dibandingkan degradasi yang dilakukan oleh bakteri dengan kode isolat A11 dan BTi. Parameter yang digunakan pada penelitian tersebut ialah total petroleum hidrokarbon (TPH) dan pH. Senyawa hidrokarbon hasil degradasi hidrokarbon oleh bakteri tersebut belum diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu, perubahan senyawa hidrokarbon hasil degradasi bakteri perlu diteliti agar dapat diketahui sejauh mana bakteri dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam tanah tercemari minyak bumi Penelitian ini bertujuan menentukan perubahan senyawa hidrokarbon selama proses bioremediasi minyak bumi dengan menggunakan GCMS. Instrumen tersebut dapat memberikan data yang akurat mengenai komposisi senyawa yang terdapat dalam sampel.
TINJAUAN PUSTAKA Produk dan Limbah Minyak Bumi Minyak bumi maupun produknya merupakan campuran senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan non hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon merupakan komponen terbesar dari minyak bumi (lebih dari 90%), sedangkan sisanya berupa senyawa non hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen. Senyawa ini dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu: (1) hidrokarbon alifatik (alkana, alkena, dan alkuna), (2) hidrokarbon alisiklik (siklo alkana, siklo alkena, siklo alkuna), (3) hidrokarbon aromatik (senyawa aromatik tersubstitusi maupun tidak) (Udiharto 1996). Alkana merupakan hidrokarbon rantai lurus yang memiliki ikatan kimia tunggal diantara atom karbon. Alkana dapat berupa rantai lurus, rantai bercabang, atau struktur cincin. Salah satu sifat yang paling penting dari alkana yaitu bersifat volatil dan dapat dibiodegradasi. Umumnya volatilitas alkana akan semakin berkurang seiring bertambah panjangnya rantai. Sikloalkana merupakan rantai hidrokarbon yang dihubungkan oleh ikatan karbon membentuk sebuah cincin. Rantai tunggal sikloalkana sedikit volatil meskipun tingkat volalilitas menurun seiring bertambahnya ukuran dan jumlah rantai, sikloalkana dapat
didegradasi tetapi lebih lambat dibandingkan dengan alkana. Senyawa aromatik merupakan senyawa yang relatif sulit mengalami biodegradasi (Atlas dan Bartha 1972). Senyawa aromatik mengandung sekurang-kurangnya satu cincin benzena. Senyawa benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena dapat dikeluarkan dari tanah dengan menggunakan teknik ekstraksi. Selama kegiatan industri perminyakan yaitu mulai dari pengeboran, produksi, transportasi minyak bumi, pengilangan dan transportasi produk minyak umumnya terjadi tumpahan maupun ceceran minyak bumi dan produk-produknya yang terjadi di lingkungan lahan maupun perairan. Dalam kondisi normal limbah yang terbuang ke lingkungan tidak terlalu besar tetapi apabila terjadi kecelakaan akan berakibat lain seperti yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi cukup banyak jenisnya dan dapat ditemukan di berbagai tempat yang sesuai, yaitu lingkungan yang mengandung cukup limbah minyak bumi. Sejauh ini telah ditemukan 22 genera bakteri yang hidup di lingkungan minyak bumi. Isolat yang mendominasi di lingkungan tersebut terdiri atas beberapa genera, yaitu Alcaligenes, Arthrobacter, Acenitobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, dan Pseudomonas. Disamping itu juga ditemukan sejumlah khamir pendegradasi minyak bumi, yaitu dari genera Aureobacterium, Candida, Rhodotorula, Sporobolomyces yang diisolasi dari laut serta Trichoderma dan Mortierella yang diisolasi dari tanah (Udiharto 1996). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang dirangkum oleh Citroreksoko (1996), diketahui bahwa kemampuan biodegradasi terhadap beberapa senyawa berbeda-beda. Berikut adalah beberapa kecenderungan yang terjadi pada degradasi hidrokarbon: (a) Hidrokarbon alifatik pada umumnya mudah didegradasi dibandingkan dengan senyawa aromatik. (b) Hidrokarbon alifatik rantai lurus pada umumnya lebih mudah terdegradasi daripada hidrokarbon rantai bercabang. Adanya cabang dalam
molekul hidrokarbon mengganggu kegiatan biodegradasi. (c) Hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi daripada hidrokarbon tidak jenuh. Adanya ikatan ganda atau rangkap tiga antarkarbon akan mengganggu degradasi. (d) Hidrokarbon rantai panjang lebih mudah didegradasi daripada hidrokarbon rantai pendek. Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang dari sembilan karbon sukar didegradasi karena senyawa ini bersifat toksik bagi bakteri pendegradasi hidrokarbon. Beberapa mikroorganisme tertentu (metanotrop) dapat mendegradasi hidrokarbon rantai pendek. Panjang rantai optimum untuk didegradasi adalah antara 10 sampai dengan 20 karbon. Proses degradasi yang terjadi pada alkana dapat terjadi melalui insersi oksigen pada gugus metil terminal maupun gugus metil subterminal, selanjutnya diikuti dengan pemecahan molekul antara rantai karbon kedua dan ketiga (pemecah β) (Pritchard et al. 1993). Menurut Morgan dan Watkinson (1994) metabolisme awal dari degradasi nalkana adalah dengan mempergunakan enzim hidroksilase (monooksidase) yang mengubah n-alkana menjadi 1-alkanol.
Gambar 1 Oksidasi n-alkana melalui oksidasi bertahap gugus metil terakhir.
Gambar 2 Degradasi hidrokarbon alifatik melalui oksidasi subterminal (Cookson 1995).
Dalam oksidasi lebih lanjut terhadap alkohol primer akan terbentuk aldehid, kemudian asam organik dan akhirnya dihasilkan asam lemak dan asetil-CoA yang berasal dari potongan dua karbon rantai karbon alkana. Kegiatan ini membuat rantai karbon alkana akan berkurang dari Cn menjadi Cn-2. Kegiatan ini akan berlangsung sampai semua hidrokarbon teroksidasi. Apabila suatu senyawa organik telah terdegradasi sampai ke bentuk asamnya, reaksi degradasi selanjutnya akan berlangsung melalui pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang umum pada metabolisme sel hidup dan dikenal dengan beta oksidasi (Cookson 1995). Molekul alkana dengan rantai bercabang memiliki reaksi pemecahan β yang terhambat oleh adanya cabang tersebut sehingga sukar didegradasi secara biologis. Pristan (2,6,10,14-tetrametil pentadekana) merupakan alkana rantai bercabang yang sangat tahan terhadap biodegradasi. Meskipun sulit didegradasi ternyata ada juga yang dapat mengoksidasi alkana yang bercabang (Pritchard et αl. 1993). Degradasi alkana siklik diawali dengan konversi senyawa tersebut menjadi sikloalkana melalui reaksi dengan enzim hidroksilase, yang dilanjutkan dengan pemasukan molekul oksigen lain ke dalam cincin sikloalkana sehingga membentuk asam karboksilat dan bisa digunakan dalam metabolisme sel (Pritchard et al. 1993). Degradasi hidrokarbon aromatik juga diawali dengan insersi molekul oksigen dengan bantuan enzim monooksigenase dan dioksigenase yang menghasilkan senyawa dihidrogen awal. Melalui serangkaian reaksi oksigenase maka cincin kedua dan seterusnya dari senyawa dihidrogen akan terbuka. Proses tersebut menghasilkan asam dikarboksilat dan semi aldehid bagi metabolisme intermediet sel (Pritchard et al. 1993). Faktor-Faktor Pendukung Biodegradasi Biodegradasi secara garis besar didefinisikan sebagai pemecahan senyawa organik oleh mikroorganisme membentuk biomassa dan senyawa yang lebih sederhana yang akhirnya menjadi air, karbondioksida atau metana (Walter dan Crawford 1997). Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Untuk itu perlu mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon, kemudian aktivitasnya dioptimisasikan dengan pengaturan kondisi
dan penambahan suplemen yang sesuai antara lain oksigen, kandungan air, pH, suhu, nutrien yang tersedia, dan ada tidaknya material toksik (Udiharto 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi hidrokarbon ialah: (a) Oksigen Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Kebutuhan akan oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen ditanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, tipe tanah dan kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. (b) Kelembapan Kelembapan merupakan salah satu faktor penting dalam bioremediasi. Kelembapan tanah dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembapan sangat penting untuk hidup, tumbuh, dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Tanpa air mikroorganisme tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Mikroorganisme akan hidup aktif di daerah antara minyak dengan air. Selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk kedalam tanah (Fletcher 1992). (c) pH Tingkat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme dalam membangun sel, transportasi melalui membran sel, dan keseimbangan reaksi katalis (Cookson 1996). Kebanyakan bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH 6,5-7,5). Sebagai contoh, P. aeruginosa mampu tumbuh optimum pada kisaran pH 6,6-7,0 dan mampu bertahan pada kisaran pH 5,6-8,0. Sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3,4-11 (Flecher 1992). Tingkat keasaman (pH) dapat berubah selama pertumbuhan mikroorganisme. Peningkatan pH dapat terjadi jika adanya proses reduksi nitrat membentuk ammonia atau gas nitrogen juga dengan penambahan urea sebagai nutrien. Sedangkan penurunan pH terjadi apabila terbentuknya asam-asam organik sebagai hasil proses fermentasi (Tanner 1997). (d) Suhu Dalam suatu proses degradasi, suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan
degradasi oleh mikroorganisme, dan komposisi komunitas mikroorganisme. Suhu yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30-40°C. Pada temperatur yang rendah, viskositas dari minyak meningkat sehingga penguapan rantai pendek alkana terkurangi dan kelarutan air menurun sehingga menunda terjadinya biodegradasi (Leahy dan Colwell 1990). (e) Nutrisi Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor, sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat. Rosenberg & Ron (1998) menyatakan bahwa secara teoritis jumlah nitrogen dan fosfor yang harus ditambahkan untuk mengkonversi 1 gram hidrokarbon menjadi material adalah 150 mg untuk nitrogen dan 30 mg untuk fosfat. Kebutuhan nitrogen dan fosfor untuk menghasilkan pertumbuhan mikroorganisme dapat dipenuhi dari penambahan kedua nutrien tadi dalam bentuk campurannya dengan garam lain seperti ammonium sulfat, ammonium nitrat, dan kalsium sulfat. Penggunaan garam ammonium dari asam kuat akan mengakibatkan penurunan pH larutan, untuk menghindari hal tersebut maka sebagai sumber nitrogen dapat menggunakan urea. Bioremediasi Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami dengan menggunakan aktivitas biodegradasi mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Mikroorganisme telah digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan bahan kimia beracun lainnya dari limbah domestik dan keluaran industri selama beberapa tahun terakhir. Hal yang baru dari bioremediasi adalah penanganan cepat pada pengolahan limbah suatu industri sejak beberapa dekade ini, dan penerimaannya sebagai suatu metoda yang efektif dan ekonomis sebagai alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air, dan kontaminasi air tanah dengan kandungan sejumlah bahan beracun, seperti rekalsitran dan kimia. Bioremediasi menjadi pilihan teknologi untuk pemulihan (remediasi) dari berbagai lingkungan yang terkontaminasi, khususnya lahan yang terkontaminasi
hidrokarbon dari minyak bumi (Cookson 1995). Metode ini sangat menguntungkan, alami, murah, lebih fleksibel, dan mudah untuk digandakan skalanya untuk menangani limbah dalam jumlah yang besar (Danielson 1994). Bioremediasi dapat dilaksanakan pada lingkungan terjadinya pencemaran tanpa menimbulkan kerusakan serta dapat mengurangi mengurangi limbah secara permanen dan dapat digabungkan dengan teknik penanganan secara fisik dan kimia. Namun bioremediasi juga memiliki batasan, beberapa senyawa kimia tidak dapat untuk didegradasi seperti logam berat dan beberapa senyawa klor. Dalam beberapa kasus, metabolisme bakteri dapat memproduksi senyawa metabolit yang beracun. Cookson (1995) menyatakan bahwa reaksireaksi biologis dasar yang penting dalam proses bioremediasi adalah metabolisme sel. Dalam rangka biodegradsi senyawa polutan, metabolisme diartikan sebagai kecenderungan reaksi redoks oleh mikroorganisme. Semua reaksi yang menghasilkan energi pada prinsipnya adalah serangkaian reaksi reduksi dan oksidasi. Reaksi reduksi, yaitu reaksi yang membutuhkan akseptor elektron, merupakan reaksi-reaksi penyusun metabolisme. Bila pada kondisi lingkungan tertentu terdapat beberapa akseptor elektron potensial yang bisa dimanfaatkan, maka yang digunakan sebagai akseptor elektron adalah senyawa yang akan menghasilkan energi potensial yang paling besar. Berdasarkan ketersediaan oksigen, metabolisme mikroorganisme dibedakan menjadi 2 macam, yaitu aerob dan anaerob. Mikroorganisme aerob dan reaksi aerob terjadi bila pada suatu lingkungan tersedia cukup oksigen molekuler yang bertindak sebagai akseptor elektron. Reaksi tersebut dikenal sebagai respirasi. Tipe yang kedua, yaitu reaksi anaerob, menggunakan oksida organik atau pun anorganik sebagai akseptor elektron. Hampir sama dengan respirasi aerob, selama respirasi anaerob berlangsung, substrat dioksidasi menjadi CO2 melalui pemindahan H+ secara berantai. Hasil akhir yang diperoleh merupakan campuran dari produk yang lebih teroksidasi atau pun lebih tereduksi dibandingkan substrat awalnya. Tergantung pada jenis mikroorganismenya, produk akhir tersebut berupa asam, alkohol, keton, dan gasgas.
Kromatografi Gas Spektrometri Massa
Kromatografi gas spektrometri massa (GCMS) merupakan instrumen analisis hasil kombinasi antara kromatografi gas dan spektrometri massa, kromatografi gas memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal pemisahan dan analisis kuantitatif komponen sedangkan spektrometri massa memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal identifikasi atau analisis kualitatif. Lebih dari 20 tahun GCMS telah diperkenalkan untuk analisis sehingga alat ini semakin populer digunakan dalam analisis di bidang kimia, ilmu kedokteran, farmasi, dan lingkungan. Di bidang lingkungan, GC dapat digunakan untuk analisis pestisida (Harvey 2000). Saat ini bentuk dasar dari GCMS sudah banyak mengalami perubahan dan perkembangan kearah bentuk yang lebih disederhanakan. Bahkan bukan itu saja, pengoprasian dari GCMS semakin dipermudah, sehingga data mentah yang dihasilkan dapat diproses dengan cepat dan mudah dilihat hasilnya. Secara umum GCMS memiliki tiga konfigurasi utama, yaitu GC, Konektor, dan MS. Gambar 3 menunjukkan skema alat kromatografi GCMS.
Gambar 3 Skema konfigurasi alat GCMS Prinsip kerja GCMS Kromatografi didasarkan pada perbedaan kepolaran dan massa molekul sampel yang dapat diuapkan. Sampel yang berupa cairan atau gas dapat langsung diinjeksikan ke dalam injektor, jika sampel dalam bentuk padatan maka harus dilarutkan pada pelarut yang dapat diuapkan. Aliran gas yang mengalir akan membawa sampel yang teruapkan untuk masuk ke dalam kolom. Komponenkomponen yang ada pada sampel akan dipisahkan berdasarkan partisi diantara fase gerak (gas pembawa) dan fase diam (kolom). Hasilnya adalah berupa molekul gas yang kemudian akan diionisasikan pada spektrometer massa sehingga melokul gas itu akan mengalami fragmentasi yang berupa ionion positif. Ion akan memiliki rasio yang spesifik antara massa dan muatannya (m/z).
Gambar 4 Bagan alat Kromatografi Gas
Sejak tahun 1960, GCMS digunakan secara luas dalam kimia organik. Sejak saat itu terjadi kenaikan penggunaan yang sangat besar dari metode ini. Ada dua alasan utama terjadinya hal tersebut. Pertama adalah telah ditemukannya alat yang dapat menguapkan hampir semua senyawa organik dan mengionkan uap. Kedua, fragmen yang dihasilkan dari ion molekul dapat dihubungkan dengan struktur molekulnya. Instrumen alat ini adalah gabungan dari alat GC dan MS, hal ini berarti sampel yang akan diperiksa diidentifikasi dahulu dengan alat GC (kromatografi gas) kemudian diidentifikasi dengan alat MS (spektrometri massa). GC dan MS merupakan kombinasi kekuatan yang simultan untuk memisahkan dan mengidentifikasi komponen-komponen campuran. Gambar 4 menunjukkan bagan alat kromatografi gas. Adapun kegunaan alat GCMS adalah: (a)
Untuk menentukan berat molekul dengan sangat teliti sampai 4 angka di belakang desimal. Untuk menentukan sampai 4 angka di belakang desimal contohnya adalah sebagai berikut: misalnya ada senyawa-senyawa: CO massa molekulnya 28; N2 massa molekulnya 28; H2C=CH2 massa molekul 28. Kalau dihitung massa masing-masing dengan teliti, maka masing-masing massa molekulnya akan berbeda.
(b)
Spektroskopi massa dapat digunakan untuk mengetahui rumus molekul tanpa melalui analisa unsur. Misalnya C4H10O, biasanya memakai cara kualitatif atau kuantitatif, mula-mula diketahui rumus empiris dulu
(CxHyOz)n, kemudian baru ditentukan bobot molekulnya. Sekarang karena adanya komputer pada alat GCMS dapat langsung diketahui rumus molekulnya. (c) Bila senyawa dimasukkan dalam spektroskopi massa, maka senyawa itu akan ditembaki oleh elektron dan molekul akan mengalami reaksi fragmentasi. Molekul akan pecah karena tembakan elektron dalam spektrometer. Pecahnya molekul itu tergantung pada gugus fungsi yang ada dalam molekul itu, jadi melalui suatu corak tertentu, tidak secara random. Sebelum ini hanya spektrometri IR, resonansi magnit inti yang bisa mengetahui gugus fungsi. Dengan adanya fragmentasi kita juga bisa mengenali senyawa tersebut, sehingga bisa mendapatkan cara tambahan untuk mengetahui apakah senyawa tersebut termasuk golongan alkohol, amin, karboksilat, aldehid dan lain sebagainya. GCMS hanya dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap. Glukosa, sukrosa, sakarosa bersifat tidak menguap, sehingga tidak dapat dideteksi dengan alat GCMS. Kriteria menguap adalah pada: (a) Kondisi rendah.
vakum
tinggi,
tekanan
(b) Dapat dipanaskan. (c) Uap yang diperlukan tidak banyak. Pada umumnya senyawa-senyawa dengan BM kurang dari 1000 dapat diuapkan, bisa ditentukan massa molekulnya dengan cara spektroskopi massa. Analisis GCMS dengan predikat pemisahan yang high resolution serta MS yang sensitif sangat diperlukan dalam bidang aplikasi, antara lain bidang lingkungan, arkeologi, kesehatan, forensik, ilmu antariksa, kimia, biokimia dan lain sebagainya.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan ialah pH meter, rotaryevaporator, soxhlet dan GCMS Agilent Tecnology model 19091S-433. Bahan-bahan yang digunakan ialah tanah yang tidak tercemar minyak di sekitar ladang minyak Minas PT. Chevron Pasifik Indonesia, minyak bumi dari tempat yang sama dengan tanah, n-heksana, natrium sulfat, silika gel 60 (230-400 mesh), kultur bakteri T2M yang merupakan koleksi Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan PPBIPB, agar nutrien cm-3B (Oxoid), dan kaldu nutrien (Oxoid). Prosedur Penelitian in terdiri atas tiga tahap. Tahap yang pertama ialah peremajaan isolat bakteri. Tahap kedua ialah pengukuran hasil degradasi dengan parameter TPH. Tahap ketiga ialah penentuan perubahan senyawa hidrokarbon hasil degradasi dengan GCMS. Peremajaan Isolat Bakteri Peremajaan dilakukan pada media kaldu nutrien (NB) steril. Sebanyak 50 ml media dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml lalu ditutup dengan sumbat kapas dan plastik tahan panas. Media kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 ºC, tekanan 1 atm selama 15 menit. Bakteri dari media agar miring selanjutnya dipindahkan ke media kaldu nutrien dengan menggunakan ose secara aseptik dan diinokulasi di atas shaker sampai rapat optisnya (OD) >0.6 (Ni’mah 2005). Preparasi Tanah Preparasi dilakukan dengan mengayak tanah kering dan dimasukan dalam kantong plastik masing-masing 1 kg. Sebagian tanah disterilkan dan sebagian lagi tidak disterilkan. Masing–masing tanah dicampur dengan minyak bumi 5% dari bobot tanah. Semua tanah didiamkan selama 3 hari lalu dimasukan kultur bakteri T2M yang sebelumnya telah diinokulasi. Semua sampel tanah ditempatkan di dalam rumah kaca. Setiap 2 minggu tanah yang berisi bakteri diberi nutrisi berupa urea dan SP36 sebagai sumber nitrogen dan fosfor.