PENDAHULUAN Penyakit degeneratif menjadi penyakit pembunuh manusia terbesar di dunia. Menurut hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) menyatakan bahwa penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab kematian paling tinggi di tahun 1992, 1995, dan 2001, sedangkan menurut WHO (World Health Organization) hingga akhir tahun 2005 penyakit degeneratif telah menyebabkan kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Penyakit degeneratif antara lain PJK (penyakit jantung koroner), diabetes melitus, kanker, obesitas, dislipidemia, dan stroke. Faktor yang menyebabkannya adalah pola makan yang menyukai masakan cepat saji (fast food) dan mengkonsumsinya secara berlebihan sehingga terjadi hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan suatu keadaan tingginya konsentrasi lipid yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi trigliserida, LDL (low density lipoprotein), dan kolesterol darah melebihi batas normal (pada manusia > 200 mg/dl) (Ganong 2001). Faktor-faktor yang menyebabkan hiperlipidemia adalah obesitas, usia, kurang olahraga, stres, gangguan metabolisme, gangguan genetik, dan pola konsumsi makanan sehari-hari yang dapat meningkatkan konsentrasi lipid. Keadaan ini dapat ditimbulkan karena meningkatnya peroksidasi lipid yang disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh, seperti organ hati. Yagi et al. (1994) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi lipid peroksida di hati dapat merusak sel hati sehingga peroksida akan keluar dari hati menuju pembuluh darah dan dapat merusak organ atau jaringan lain. Alviani (2007) yang menyatakan bahwa konsentrasi lipid peroksida hati tikus normal dan hiperlipidemia berturutturut sebesar 87.10 nmol/g bobot hati dan 523.55 nmol/g bobot hati. Selain itu, pemberian pakan kolesterol sebesar 0.25% mengakibatkan konsentrasi lipid peroksida hati tikus kelompok hiperlipidemia lebih besar lima kali dari pada kelompok normal (Alviani 2007). Oleh karena itu, terdapat hubungan antara kondisi hiperlipidemia dengan konsentarsi lipid peroksida hati pada tikus (Alviani 2007). Kondisi hiperlipidemia yang akan menyebabkan aterosklerosis ini membuat para peneliti mencari obat yang ampuh untuk menurunkan kadar lipid plasma. Oleh karena itu, banyak obat-obatan paten maupun dari tumbuhan yang digunakan sebagai penurun lipid. Obatobatan paten tersebut antara lain golongan asam fibrat, resin, penghambat HMG-KoA reduktase (statin), dan asam nikotinat (niasin) sedangkan obat-obatan dari tumbuhan antara lain jati belanda, temulawak, daun jambu biji, kunyit, dan mahkota dewa (Dalimartha 2002). Penelitian tentang obat penurun lipid plasma telah dilakukan
sebelumnya, sehingga penelitian ini merupakan penelitian lanjutan. Alviani (2007) menyatakan bahwa kelompok hewan coba tikus yang diberi ramuan ekstrak daun jati belanda mampu menurunkan kolesterol sebesar 27.56% secara nyata dibandingkan kelompok hiperlipidemia. Rahayu (2007) menunjukkan bahwa ekstrak ramuan daun jati belanda, temulawak, dan daun jambu biji pada komposisi tertentu mampu menurunkan konsentrasi kolesterol hati pada tikus yang hiperlipidemia. Tombilangi (2004) menyatakan bahwa pemberian pakan kolesterol pada hewan coba kelinci dapat menaikkan konsentrasi lipid peroksida. Berdasarkan penelitian tersebut obatobatan dari tumbuhan mampu menurunkan kolesterol pada tikus dan kelinci yang diberi pakan kolesterol. Penelitian sebelumnya menggunakan plasma darah hewan coba kelinci, sedangkan pada organ hati kelinci belum diteliti. Berdasarkan hal tersebut, konsentrasi lipid peroksida hati pada hewan coba kelinci hiperlipidemia yang diberi senyawa hipolipidemik belum diteliti lebih lanjut. Penelitian bertujuan mengukur konsentrasi lipid peroksida hati kelinci hiperlipidemia dan menentukan pengaruh pemberian senyawa hipolipidemik terhadap lipid peroksida hati kelinci hipierlipidemia. Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian senyawa hipolipidemik dapat menurunkan konsentrasi lipid peroksida hati kelinci yang hiperlipidemia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang korelasi antara meningkatnya konsentrasi lipid pada hati kelinci terhadap konsentrasi lipid peroksida dalam hatinya yang diberi senyawa hipolipidemik.
TINJAUAN PUSTAKA Peroksidasi Lipid Lipid merupakan salah satu molekul yang paling sensitif terhadap serangan radikal bebas sehingga terbentuk lipid peroksida. Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi antara radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated fatty acid, PUFA) yang sedikitnya memiliki tiga ikatan rangkap (Halliwel dan Gutteridge 1999). Peroksidasi lipid terjadi diakibatkan oleh radikal bebas. Radikal bebas sangat labil dan reaktif sehingga mudah bereaksi dengan setiap zat disekitarnya. Peroksidasi lipid merupakan rantai reaksi yang berlangsung terus menerus, sebab reaksi ini membentuk radikal lipid bebas (R•) yang lain sehingga peroksidasi berlangsung lebih lanjut (Halliwel dan Gutteridge 1999). Umumnya peroksidasi lipid dapat melalui tiga tahap reaksi,
2
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Murray et al 2001). Reaksi peroksidasi lipid diawali dengan pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (-CH2-) PUFA. Radikal tersebut menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon (-•CH-) pada PUFA. Radikal karbon ini dapat distabilkan melalui suatu pengaturan ulang ikatan rangkap yang menghasilkan pembentukan diena terkonjugasi. Bila diena terkonjugasi bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal peroksida lipid (ROO•). Selanjutnya radikal peroksi lipid dapat juga menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lainnya yang berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan juga membentuk radikal karbon lainnya. Jika radikal karbon lain tersebut bereaksi lagi dengan oksigen maka reaksi peroksidasi lipid akan terus berlanjut. Pembentukan endoperoksida lipid pada PUFA yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap akan mendorong pembentukan malondialdehida (MDA) sebagai produk dari reaksi peroksidasi tersebut. Mekanisme reaksi peroksidasi lipid ini dapat dilihat pada Gambar 1. Lipid peroksida atau lipid hidroperoksida merupakan suatu molekul yang stabil pada suhu fisiologis atau suhu tubuh. Kadar lipid peroksida dapat diukur dengan metode asam tiobarbiturat (TBA) yang mengukur adanya MDA. TBA akan bereaksi dengan gugus karbonil dari MDA, yaitu satu molekul MDA akan berikatan dengan dua molekul TBA sehingga membentuk senyawa kompleks berwarna merah (Halliwel dan Gutteridge 1999) (Gambar 2). Terbentuknya warna merah tersebut akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm yang sebanding dengan tingkat oksidasi lipid. Pada reaksi ini ada sejumlah senyawa lain yang juga bereaksi dengan TBA, namun karena jumlahnya kecil maka bisa diabaikan. Senyawa-senyawa itu diantaranya adalah glukosa <0.4 mg (2.2 μmol) dan sukrosa <8.56 mg (25.0 μmol)(Ohkawa et al. 1979). Uji TBA ini merupakan uji yang spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tak jenuh dan baik diterapkan untuk uji terhadap lemak pangan yang mengandung asam lemak tak jenuh (Ketaren 1986).
Gambar 1 Reaksi peroksidasi lipid (Murray et al 2001).
Gambar 2 Reaksi antara TBA dengan MDA (Halliwel & Gutteridge 1999). Hati Hati manusia mempunyai berat sekitar 1.5 kg dan karena itu merupakan salah satu organ terbesar pada manusia (Koolman 2000). Walaupun berat hati hanya 2-3% dari berat tubuh namun hati terlibat dalam 25-30% pemakaian oksigen. Hati terdiri dari sel-sel parenkim hati (hepatosit) sekitar 60% dan sel-sel endotel sekitar 30% yang membatasi sinusoid-sinusoid hati, sisanya merupakan sel-sel pembuluh darah, jaringan penyambung, dan saluran empedu (Tangendjaja 1987). Organ hati merupakan pusat dari metabolisme dalam sebagian besar hewan. Organ ini berfungsi dalam proses detoksifikasi senyawa toksik, hematologik, sistem imun tubuh, berperan dalam proses metabolisme biomolekul, dan sekresi produk akhir metabolisme seperti bilirubin, amonia, dan urea (Kaplan dan Pesce 1989). Membran-membran mikrosom hati sangat rentan terhadap peroksidasi lipid, karena membran tersebut banyak sekali mengandung asam lemak tak jenuh. Proses peroksidasi lipid pada mikrosom hati dapat berlangsung secara enzimatis dan nonenzimatis. Proses secara enzimatis yaitu peroksidasi lipid bergantung pada NADPH, sedangkan secara nonenzimatis yaitu peroksidasi lipid yang bergantung pada ion Fe3+, ion ini berfungsi sebagai pengkompleks ADP, pirofosfat, dan EDTA (Halliwel dan Gutteridge 1999). Meningkatnya konsentrasi lipid peroksida dapat menjadi awal rusaknya sel hati. Peningkatan konsentrasi lipid peroksida lebih jauh akan menyebabkan terjadinya nekrosis hati. Menurut Yagi et al. (1994) apabila konsentrasi lipid peroksida di hati meningkat, maka lipid peroksida ini dapat merusak sel hati sehingga peroksida akan keluar dari hati menuju pembuluh darah dan dapat merusak organ atau jaringan lain. Konsentrasi lipid peroksida yang meningkat pada jaringan maupun organ dapat mengakibatkan berbagai penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke. Hiperlipidemia Hiperlipidemia atau hiperlipoproteinemia adalah gangguan metabolisme yang melibatkan peningkatan konsentrasi lipoprotein pada plasma. Hiperlipidemia merupakan suatu keadaan
3
tingginya konsentrasi lipid yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi trigliserida, LDL, dan kolesterol darah melebihi batas normal (pada manusia > 200 mg/dL) (Ganong 2001). Faktor yang mempengaruhi hiperlipidemia adalah obesitas, usia, kurang olahraga, stres, gangguan metabolisme, gangguan genetik, dan pola konsumsi makanan sehari-hari yang dapat meningkatkan konsentrasi lipid atau kolesterol. Makanan yang kaya akan kolesterol dan asam lemak jenuh dapat menekan pembentukan reseptor LDL, sehingga meningkatkan kolesterol di dalam darah (Grundy 1991). Hiperlipidemia dapat meningkatkan resiko aterosklerosis, yaitu penyumbatan pembuluh darah arteri akibat penumpukan lipid pada dinding aorta. Jika aterosklerosis terjadi pada pembuluh darah aorta yang mensuplai O2 ke jantung, maka dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Faktor yang mempengaruhi patogenesis aterosklerosis adalah hiperkolesterolemia yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi lipoprotein densitas rendah (LDL) (Schwart et al. 1993 dalam Taher 2003). Lemak yang berupa trigliserida atau kolesterol berasal dari bahan makanan masuk ke dalam tubuh dan dicerna dalam usus halus. Selanjutnya diangkut oleh kilomikron dan dihidrolisis oleh lipoprotein lipase menghasilkan asam lemak bebas. Hasil tersebut disimpan di jaringan adiposa dan otot. Akibat dari reaksi tersebut kilomikron akan mengecil dan disebut kilomikron sisa. Kilomikron sisa akan bersirkulasi membawa kolesterol ke hati, kemudian diserap oleh reseptor khusus melalui mekanisme spesific receptor-mediated endocytosis. Kilomikron dan kilomikron sisa merupakan lipoprotein yang mengangkut lemak dan kolesterol yang berasal dari makanan (eksogen). Selain berasal dari makanan, lemak, dan kolesterol juga dapat di sintesis oleh hati. Kolesterol dan trigliserida diangkut dari hati ke jaringan tubuh lainnya dengan cara hati memproduksi VLDL (very low density lipoprotein). Awalnya partikel VLDL mengangkut trigliserida dari hati ke jaringan adiposa. Seperti halnya kilomikron, selanjutnya VLDL mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase dalam pembuluh darah dan menghasilkan IDL (Intermediate density lipoprotein), hidrolisis lebih lanjut menghasilkan LDL (low density lipoprotein). Lalu partikel LDL akan diendositosis oleh hepatosit setelah terlebih dahulu diikat oleh reseptor LDL (Voet dan Voet 1995). Reseptor LDL merupakan glikoprotein yang merentangkan membran sel dan daerah pengikatan B-100 terletak pada ujung terminal yang tersusun. LDL akan berikatan dengan
reseptor dalam keadaan utuh melalui endositosis. Kemudian LDL dipecah di dalam lisosom yang melibatkan hidrolisis apoprotein dan ester kolesteril yang diikuti oleh translokasi kolesterol ke dalam sel. Reseptor tersebut tidak dihancurkan tetapi kembali ke permukaan sel. Aliran masuk kolesterol ini menghambat kerja HMG-KoA sintase serta HMG-KoA reduktase dengan cara yang terkoordinasi, dan dengan menghambat sintesis kolesterol serta menstimulasi aktivitas ACAT dan mengurangi sintesis reseptor LDL. Peningkatan konsentrasi lipid peroksida dalam tubuh dapat disebabkan oleh kondisi hiperkolesterolemia. Saat kondisi tersebut jumlah LDL meningkat sehingga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya oksidasi, sebab ketersediaan substrat yang dapat dioksidasi lebih banyak. Fungsi kolesterol salah satunya sebagai prekursor pembentukan asam empedu yang disintesis di dalam hati. Tahap pertama dari biosintesis asam empedu adalah reaksi 7αhidroksilasi terhadap kolesterol yang dikatalisis oleh enzim mikrosomal, yaitu 7α-hidroksilase. Reaksi ini memerlukan oksigen, NADPH, dan sitokrom P-450 oksidase. Semakin besar konsentrasi kolestrol plasma dalam tubuh hiperkolesterolemia, maka semakin banyak asam empedu yang disintesis, sehingga semakin meningkat pula oksigen dan NADPH yang dibutuhkan serta peningkatan aktivitas sitokrom P-450 oksidase (Murray et al. 2001). Sitokrom P-450 oksidase merupakan enzim yang berperan dalam memperantarai metabolisme retikulum endoplasmik yang menghasilkan radikal superoksida (O2-) (Dhaunsi et al.1992 dalam Wresdiyati 2005). Oleh sebab itu, semakin meningkatnya sitokrom P-450 oksidase, maka radikal bebas yang dihasilkan semakin meningkat pula. Jika produksi radikal bebas terjadi secara berlebihan maka enzim antioksidan dalam tubuh khususnya di organ hati seperti superoksida dismutase (SOD) tidak mampu mengatasinya. Hal ini akan menimbulkan kondisi stres oksidatif, yaitu suatu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa kerusakan atau kelainan baik proses biokimia maupun fisiologi di dalam sel akibat dari proses peroksidasi lipid. Metabolisme Kolesterol Kolesterol merupakan komponen terpenting membran sel pada hewan. Umumnya kebutuhan kolesterol sehari-hari dapat terpenuhi secara sempurna oleh tubuh melalui sintesis di dalam tubuh (endogen). Pada konsumsi makanan yang beraneka ragam, kurang lebih setengah dari kolesterol berasal dari biosintesis tubuh sendiri yang berlangsung di dalam usus, kulit, dan terutama dalam hati (kira-kira 50%), selebihnya kolesterol diambil dari bahan makanan (eksogen)
4
(Koolman 2000). Pada manusia, secara keseluruhan kolesterol yang digunakan setiap harinya kurang lebih 1gram (Koolman 2000). Biosintesis kolesterol dimulai dengan asetilKoA. Biosintesis kolesterol dapat dibagi menjadi empat bagian, antara lain pembentukan mevalonat, pembentukan isopentenil difosfat, pembentukan skualen, dan pembentukan kolesterol (Koolman 2000) (Gambar 3). Selain itu, kolesterol yang berasal dari makanan akan dialirkan melalui darah. Jika kolesterol dihidrolisis lebih lanjut maka akan menjadi asama empedu dan garam-garamnya (dalam hati) dan menjadi hormon steroid (dalam kelenjar endokrin) (Marks et al. 2000). Awalnya biosintesis kolesterol dimulai dari perubahan asetil KoA menjadi asetoasetil KoA kemudian berubah menjadi 3-hidroksi 3metilglutaril-KoA (3-HMG-KoA). Peristiwa ini terjadi bukan di mitokondria melainkan pada retikulum endoplasma (Koolman 2000). Selanjutnya 3-HMG-KoA akan direduksi menjadi mevalonat dengan cara melepaskan KoA. Enzim yang berperan dalam tahap ini adalah HMG-KoA reduktase. Tahap selanjutnya, mevalonat akan didekarboksilasi menjadi isopentenil difosfat dengan menggunakan ATP (adenosin trifosfat). Dengan demikian akan dihasilkan komponen yang membentuk isoprenoid. Isopentenil difosfat akn dibentuk menjadi dimetilalil difosfat melalui isomerisasi. Kedua molekul C5 ini akan berkondensasi menjadi geranil difosfat dan melalui adisi satu isopentenil difosfat lainnya menjadi farnesil difosfat. Farnesil difosfat akan berubah menjadi skualen. Selanjutnya skualen dapat diubah bentuk menjadi siklik dan akan menghasilkan lanosterol. Kemudian langkah selanjutnya, lanosterol akan dilepaskan gugus metil sebanyak tiga gugus secara oksidatif, sehingga akan terbentuk suatu produk akhir, yaitu kolesterol. Tahap lebih lanjut dari perombakan kolesterol atau katabolisme kolesterol akan menghasilkan asam empedu dan hormon steroid. Kolesterol memiliki sifat tidak larut dalam air. Oleh sebab itu, zat ini akan diangkut dalam darah sebagai komponen lipoprotein darah. Kolesterol dalam makanan diserap dari garam empedu ke dalam sel epitel usus. Kolesterol terkemas dalam kilomikron di usus dan dalam VLDL di hati (Mark et al. 2000). Kilomikron di usus akan dibawa ke darah melalui limfe. Selanjutnya kilomikron akan berubah menjadi asam lemak dan gliserol dengan bantuan enzim lipoprotein lipase serta menghasilkan sisa kilomikron. Kilomikron sisa akan berikatan dengan reseptor di sel hati dan mengalami internalisasi melalui endositosis. Setelah dibentuk di hati akan berubah menjadi VLDL yang akan disekresikan ke dalam darah selanjutnya akan berubah menjadi IDL dan hidrolisis lebih lanjut
dari IDL akan menghasilkan LDL. LDL yang terbentuk akan menyediakan kolesterol bagi jaringan (Koolman 2000). Jika terjadi kelebihan kolesterol di jaringan maka HDL akan membawa kembali ke hati.
Gambar 3 Biosintesis kolesterol Obat Penurun Kolesterol Hipolipidemik adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kadar lipid plasma (Syarif et al 2003). Tindakan menurunkan lipid plasma merupakan salah satu tindakan yang ditujukan untuk menurunkan risiko aterosklerosis. Obatobatan penurun kolesterol yang dijual secara komersial sudah banyak jenisnya di pasaran. Obat penurun kolesterol tersebut dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu a) resin pengikat empedu yang bekerja dengan cara mengikat asam empedu di usus dan meningkatkan pembuangan LDL dari aliran darah, contoh obat ini adalah kolesteramin dan kolestipal, b) penghambat sintesis lipoprotein yang bekerja dengan cara mengurangi kecepatan pembentukan VLDL dan meningkatkan HDL, contoh obat ini adalah niasin, c) penghambat HMG-KoA reduktase atau golongan statin yang bekerja dengan cara menghambat secara kompetitif enzim HMG-KoA reduktase, contoh obat ini adalah fluvastatin, lovastatin, pravastatin, simvastatin, dan atorvastatin, yang terakhir d) derivat asam fibrat yang bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase, contoh obat ini adalah siprofibrat, simfibrat, bezafibrat, klofibrat, fenofibrat, dan gemfibrosil. Pada penelitian ini obat penurun kolesterol yang digunakan dari golongan penghambat HMG-KoA reduktase atau golongan statin, yaitu lovastatin. Lovastatin Lovastatin merupakan salah satu obat penurun kolesterol golongan statin (Albert 1989). Lovastatin sebagai agen hipokolesterolemik mampu menurunkan kadar serum kolesterol, LDL, trigliserol dan VLDL dalam darah (Albert 1989). Obat golongan ini sangat efektif untuk mengobati hiperlipidemia karena merupakan inhibitor kompetitif dari 3-hidroksi-3metilglutaril-koenzim-A (HMG-KoA) reduktase (Goodman dan Gilmans 2001 dalam Rahayu
5
2007). Lovastatin merupakan agen penurun kolesterol yang diisolasi dari Aspergillus terreus (Merck 2005). Lovastatin memiliki rumus umum C24H36O5 yang berbentuk serbuk kristal non higroskopik berwarna putih dan tidak larut dalam air akan tetapi larut dalam etanol, metanol, dan asetonitril. Lovastatin adalah senyawa nonpolar. Berdasarkan strukturnya lovastatin memiliki satu bentuk cincin lakton yang sewaktu-waktu dapat terhidrolisis jika bereaksi dengan asam (Gambar 4). Selain itu lovastatin juga memiliki bentuk ester dan mempunyai ikatan yang terkonjugasi. Lovastatin sering ditambahkan unsur aditif antara lain selulosa, laktosa, magnesium stearat dan pati. Butilat hidroksianisol (BHA) ditambahkan dalam lovastatin sebagai bahan pengawet (Merck 2005). Obat golongan statin ini dapat menurunkan biosintesis kolesterol dengan cara menghambat secara kompetitif enzim HMG-KoA reduktase. Enzim ini merupakan enzim yang mengkatalisis konversi HMG-KoA menjadi mevalonat, suatu prekursor sterol, termasuk kolesterol. Efek tersebut dapat meningkatkan katabolisme fraksional LDL maupun ekstraksi prekursor LDL oleh hati, sehingga mengurangi simpanan LDL plasma. Oleh sebab itu, ekstraksi lintas pertama oleh hati dari obat tersebut cukup besar, maka efek utamanya terjadi di hati (Katzung 2002). Selain obat penurun kolesterol, dalam penelitian ini juga digunakan senyawa bahan alam sebagai penurun kolesterolnya. Senyawa bahan alam saat ini sangat disukai. Obat-obatan alami yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun jati belanda.
Gambar 4 Struktur kimia lovastatin.
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Jati belanda merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika beriklim tropis. Pohon jati belanda ini mungkin didatangkan oleh bangsa Portugis dan di tanam di Jawa sebagai peneduh. Jati belanda atau jati londo (Jawa tengah) tumbuh baik pada ketinggian 1-800 m di atas permukaan laut. Klasifikasi dari tumbuhan jati belanda, yaitu divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Malvales, suku Steruliaceae, marga Guazuma, dan jenis Guazuma ulmifolia Lamk. Tumbuhan jati belanda ini berupa pohon peneduh yang berada di tepi jalan dengan tinggi
10-20 meter. Memiliki batang yang berbentuk bulat, keras, permukaannya kasar, banyak alur, bercabang, dan berwarna hijau keputihan. Daun berbentuk bundar sampai lanset, ujung daun lancip, serta permukaan daun bagian atas berbulu. Berbunga banyak, bentuk bunga agak ramping, serta memiliki mahkota bunga yang berwarna kuning. Bijinya kecil, keras, diameter ± 2 mm, berwarna coklat muda, serta memiliki akar tunggang (Sugati et al 1991). Bentuk tumbuhan jati belanda dapat dilihat pada Gambar 5. Kayu jati belanda dapat dipergunakan untuk pembuatan kertas pada zaman dahulu namun hasilnya tidak begitu bagus sedangkan saat ini kayu jati belanda banyak dibuat sebagai meubel. Daun dan kulit batang jati belanda mengandung alkaloid, serta flavonoid, Selain itu, daunnya mengandung saponin dan tanin. Menurut Soesilo (1989) daun jati belanda mengandung senyawa flavonoid, asam fenolat, tanin, steroid, triterpenoid, dan karotenoid. Komposisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tombilangi (2004) yang menyatakan bahwa ekstrak etanol daun jati belanda mengandung flavonoid. Daun jati belanda dapat bermanfaat sebagai pelangsing tubuh, sehingga simplisia tanaman ini banyak digunakan di dalam ramuan tradisional jamu galian singset. Lestari dan Muhtadi (1997) yang menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun jati belanda sebanyak 1 g/kg bobot badan pada tikus hiperlipidemia mampu menurunkan kadar kolesterolnya. Namun, hal ini berbeda pada hasil penelitian yang dilakukan Rachmadani (2001) menunjukkan bahwa tikus yang diberikan ekstrak air daun jati belanda sebanyak 1 g/kg bobot badan tidak menunjukan penurunan kadar kolesterol. Pemakaian rebusan daun jati belanda secara berlebihan dapat menyebabkan iritasi usus, sedangkan pemakaian biji tumbuhan jati belanda secara berlebihan dapat mengakibatkan diare atau radang usus (Hyene 1987). Rebusan biji tumbuhan jati belanda yang dibakar dapat digunakan sebagai obat sembelit, sedangkan jika dicampur dengan minyak adas dapat digunakan untuk penyakit perut kembung dan sesak nafas. Biasanya rebusan biji tumbuhan ini digunakan oleh masyarakat dengan cara meminumnya seperti meminum kopi (Hyene 1987).
Gambar 5 Jati Belanda.
6
Hewan Coba Kelinci (Oryctolagus cuniculus) merupakan hewan coba yang sangat penting dan sering digunakan untuk penelitian terutama untuk hiperlipidemia (Gambar 6). Kelinci yang banyak dipelihara di Indonesia saat ini berasal dari kelinci liar di Eropa, terutama dari derah Belanda. Menurut Malole (1989) ada dua jenis kelinci, yaitu kelinci yang berukuran kecil dengan berat kurang dari 2 kg yang berasal dari Belanda dan kelinci yang berukuran besar dengan berat rata-rata 5 kg yang berasal dari Amerika dan Selandia Baru. Jenis kelinci yang sering digunakan sebagai hewan coba adalah bangsa New Zealand White, California, Dutch Belted, dan Lops. Penelitian yang berhubungan dengan biomedis yang erat kaitannya dengan kegiatan seperti diagnosa, penelitian, dan produksi umumnya menggunakan hewan coba tersebut. Selain itu, penelitian tentang toksisitas berbagai zat juga menggunakan kelinci sebagai hewan coba (Malole 1989). Pada umumnya kelinci yang berukuran besar sering digunakan untuk produksi antiserum, sedangkan kelinci yang berukuran kecil lebih efisien jika digunakan untuk uji-uji kualitatif. Kelinci memiliki kemampuan bertahan yang tinggi dalam berbagai macam cuaca namun perkembangannya akan lebih baik pada daerah yang memiliki iklim sedang. Sifat kelinci sangat unik, yaitu dapat memakan kotorannya sendiri. Kotoran kelinci dibagi dua, yaitu kotoran yang dikeluarkan pada siang hari dan kotoran yang dikeluarkan pada malam hari. Kotoran yang dikeluarkan pada malam hari terlihat lebih lunak dan berlendir, serta banyak mengandung vitamin. . Kelinci jantan memiliki berat badan 1.5-7.0 kg dan memiki angka harapan hidupnya antara 510 tahun (Smith 1988). Kecepatan tumbuh 15-20 g/hari hingga umur 8 minggu dan 100-150 g/minggu hingga umur 26 minggu. Setiap hari seekor kelinci minum 80-100 ml air/kg berat badan (Smith 1988). Kelinci sangat mudah terkena berbagai penyakit. Ketika sudah terserang penyakit kelinci tersebut akan sulit sembuh. Hal ini sangat mengganggu jika terjadi saat kelinci yang digunakan adalah untuk penelitian. Namun ada beberapa cara untuk mencegah penyakit pada kelinci, yaitu akomodasi yang baik, makanan tersedia terus-menerus, dan pemeriksaan berkala. Darah kelinci dapat diambil dari pembuluh darah vena atau arteri telinga dengan menggunakan jarum suntik berukuran 23-25 gauge. Selain itu, pengambilan darah dapat dilakukan dari jantung, cara ini biasanya dilakukan untuk mengambil darah dalam jumlah yang sangat besar dan kelinci yang digunakan tidak diperlukan lagi untuk penelitian yang lebih lanjut. Saat ingin diambil darahnya, kelinci terlebih dahulu dipuasakan kurang lebih selama
16-18 jam. Volume darah pada kelinci adalah 4580 ml/kg berat badan dengan kandungan kolesterol normal 10-80 mg/dl volume plasma darah (Smith 1988). Induksi obat atau senyawasenyawa lainnya dapat dilakukan dengan cara subcutan atau di bawah kulit. Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kelinci galur New Zealand White. Dalam penelitian ini pakan yang diberikan merupakan pakan standar berbentuk pelet yang diberi tambahan kolesterol yang berasal dari kuning telur. Pakan yang mengandung kolesterol tersebut dapat membuat kelinci peka, sehingga kelinci tersebut akan mengalami penumpukan lipid atau hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah salah satu penyebab aterosklerosis. Aterosklerosis dapat ditimbulkan oleh makanan yang mengandung kolesterol pada spesies kelinci, babi, kera, dan manusia (Murray et al 2000). Lain halnya pada hewan coba tikus, anjing, dan kucing merupakan hewan yang resisten terhadap pakan kolesterol. Tiroidektomi atau pengobatan dengan preparat tiourasil akan memudahkan timbulnya aterosklerosis pada anjing dan tikus (Murray et al 2000). Propil tiourasil (PTU) adalah zat antitiroid yang dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol darah secara endogen dengan cara merusak kelenjar tiroid. PTU akan menimbulkan kondisi hipotiroid yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi LDL plasma akibat penurunan katabolisme LDL. Penyebabnya, yaitu pada hipotiroid terjadi penurunan sintesis dan ekspresi reseptor LDL di hati, sehingga LDL banyak beredar di plasma dan menjadi penyebab hiperkolesterolemia (Salter et al 1991 dalam Rahayu 2007). Oleh karena itu, hewan coba kelinci lebih baik digunakan untuk penelitian hiperlipidemia karena kelinci memiliki kepekaan terhadap pemberian kolesterol sehingga memudahkan peneliti.
Gambar 6 Kelinci New Zealand White.