1
PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dicirikan dengan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglisemia) disertai terganggunya metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak karena tubuh kekurangan insulin atau insulin tidak bekerja secara efektif. Menurut data yang dipublikasikan dalam jurnal Diabetes Care tahun 2004, penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 8.4 juta orang dan menempati urutan keempat setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Penderita diabetes secara menyeluruh sekitar 6% dari populasi penduduk dunia, 90% di antaranya diabetes tipe 2 (Subroto 2006). Berbagai pendekatan farmakologis telah dilakukan untuk mengobati diabetes, di antaranya menstimulasi pelepasan insulin, menginhibisi glukoneogenesis, dan menurunkan absorpsi glukosa pada usus halus. Salah satu terapi yang bermanfaat untuk DM tipe 2 adalah pengendalian kadar gula darah pascamakan. Penurunan kadar gula darah pascamakan dapat dilakukan dengan menunda absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja enzim penghidrolisis karbohidrat, seperti α-amilase dan αglukosidase pada tahap pencernaan. Dengan adanya inhibitor enzim ini, waktu cerna karbohidrat menjadi lebih lama dan absorpsi glukosa dalam tubuh diperlambat sehingga kadar gula darah yang tinggi pascamakan dapat dikendalikan (Geethalaksmi et al. 2010). Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi yang positif antara aktivitas inhibisi α-amilase dan α-glukosidase dalam suatu ekstrak, artinya bila ekstrak tersebut aktif menghambat α-amilase maka ekstrak tersebut aktif dalam menghambat α-glukosidase. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2005) menunjukkan ekstrak kulit batang pinus 60 μg/mL dapat menghambat kerja enzim α-amilase dan α-glukosidase berturutturut sebesar 97.2% dan 98.5%. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Basak dan Candan (2010) terhadap minyak atsiri Eucalyptus camaldulensis 0.350 μg/mL menghambat kerja enzim α-amilase dan αglukosidase berturut-turut sebesar 48.22% dan 35.28%. Penggunaan bahan alam dalam terapi pengendalian kadar gula darah pascamakan sudah banyak dilakukan di antaranya menggunakan daun mengkudu, buah mahkota dewa, daun sambiloto, dan daun salam.
Masyarakat Indonesia menggunakan daun salam sebagai pelengkap bumbu masak. Selain itu, daun salam dikenal memiliki khasiat untuk menyembuhkan diare, penyakit lambung, mabuk akibat alkohol, dan diabetes melitus. Studiawan dan Santosa (2005) melaporkan, ekstrak etanol daun salam dapat menurunkan kadar gula darah pada mencit yang diinduksi aloksan sebesar 12.97%, tetapi mekanisme menurunkan kadar gula darahnya belum diketahui. Pengujian daun salam sebagai antidiabetes dilakukan secara in vitro dengan menggunakan enzim α-amilase, kemudian dilakukan fraksionasi ekstrak teraktif menggunakan kromatografi kolom. Selanjutnya, dilakukan identifikasi kandungan fitokimia fraksi teraktif. Komponen kimia yang terkandung dalam fraksi teraktif diharapkan dapat digunakan sebagai obat antidiabetes. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksi teraktif untuk inhibisi αamilase serta mengidentifikasi golongan senyawa yang terkandung dalam fraksi tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Salam (Eugenia polyantha Wight.) Salam (Gambar 1) mempunyai nama botani Eugenia polyatha Wight, tanaman ini mempunyai nama lain Sczygium polyanthum (Wight) Klasifikasi salam adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliate, ordo Myrtales, famili Myrtaceae, genus Eugenia, spesies Eugenia polyantha Wight. Salam merupakan tumbuhan liar yang dapat tumbuh di hutan, pegunungan, maupun di pekarangan rumah. Tumbuhan ini dapat ditemukan di dataran rendah maupun dataran tinggi (Tjitrosoepomo 1996).
Gambar 1 Tanaman salam (Eugenia polyantha).
2
Menurut Dalimartha (2000), salam merupakan pohon bertajuk rimbun dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat dengan permukaan licin, dan akar tunggang. Daun salam berbentuk lonjong dan elips. Selain itu, daun salam mempunyai sistem pertulangan yang menyirip, letaknya berhadapan, dan tunggal. Bunga salam majemuk bersusun, berwarna putih, dan baunya harum. Buahnya merupakan buah buni dengan bentuk bulat, rasanya sepat, berwarna hijau (saat muda), dan merah gelap (saat masak). Biji salam berwarna cokelat dan bentuknya bulat. Daun salam digunakan sebagai pelengkap bumbu masak, dan memiliki khasiat untuk menyembuhkan diare, penyakit lambung, mabuk akibat alkohol, dan diabetes melitus. Winarto (2004) menyatakan, daun salam mengandung tanin, flavonoid, dan minyak atsiri yang terdiri atas eugenol dan sitral. Beberapa senyawa fenolik telah diketahui dari daun tanaman ini, yaitu asam vanilat, asam phidroksibenzoat, flavonol dengan gugus hidroksil (OH) pada C3 terikat sebagai glikosida dan pada posisi 5, 7, 3’, dan 4 bebas (Belami et al. 1997). Sementara itu, pada kulit batang tanaman ini diketahui memiliki kandungan tanin terkondensasi sebesar 82.7% dan sisanya steroid atau triterpenoid. Tanin terkondensasi ini adalah prodelfinidin (Olivina et al. 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Studiawan dan Santosa (2005) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun salam dengan dosis 2.62 mg/20 g BB dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan sebesar 12.97%. Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh organ pankreas, yang terletak di rongga perut dekat usus, dan merupakan zat utama yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah normal. Insulin berfungsi mengubah gula darah menjadi gula otot dan disimpan ke dalam sel atau jaringan, yang digunakan untuk menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk gula otot. Menurut Suyono (2002), berdasarkan pada fungsi organ pankreas sebagai penghasil insulin dan pengatur kerja insulin, penyakit DM dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, yaitu DM tipe 1 dan 2. Penyakit DM tipe I bergantung pada insulin. Kadar glukosa darah meningkat akibat kurangnya kelenjar pankreas menyekresikan hormon insulin. Hormon insulin yang dihasilkan tidak mencukupi untuk mengubah glukosa darah menjadi glukosa intraseluler. Hal ini disebabkan sebagian besar sel beta pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan sehingga kadar insulin menjadi kurang atau tidak ada. Faktor lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Penyakit DM tipe 1 terjadi pada usia muda, gambaran klinisnya biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa puber. Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan terapi suntik insulin. Penyakit DM tipe 2 tidak bergantung pada insulin, jumlah insulin normal bahkan lebih banyak dari batas normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang sehingga penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat. Keadaan ini akan menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah dan menurunnya kadar glukosa intraseluler. Penyakit ini disebabkan oleh obesitas, diet tinggi lemak, rendah serat, kurang gerak badan, dan faktor herediter. Peningkatan gula darah pascamakan (postprandial hyperglycemia) merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe 2 (Suyono 2002). Pengobatan DM tipe 2 menggunakan obat hipoglikemik secara oral bila pengendalian bobot badan dan berolah raga tidak berhasil. Jika penggunaan obat hipoglikemik tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah, maka dilakukan terapi suntik insulin. Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang disebabkan oleh toksisitas glukosa dalam otot, juga menginisiasi perkembangan awal komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan gula darah pascamakan ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja enzim penghidrolisis karbohidrat seperti α-amilase. Usaha menjaga tingkat gula darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi diabetes melitus (Lee et al. 2007).
3
Alfa-amilase Alfa-am milase atauu α-1,4-gllukan-4glukanohidrrolase adalah enzim yang menghidroliisis pati mennjadi maltosaa secara acak (Fesseenden & Fesssenden 1986).. Enzim ini terdapat dalam air liurr dan cairan paankreas. mpanan yang terdapat t Pati ialah poolisakarida sim pada tumbuuhan tinggi, seperti s pada kentang, k padi, dan gandum. g Hom mopolimer inii terdiri atas amilosaa dan amilopekktin, sekitar 20% 2 pati adalah amiilosa dan 80% sisanya adalah amilopektin. Amilosa addalah polimerr linear dari α-D-gluukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4’. Strukktur amilosaa dan mbar 2. amilopektin dapat dilihaat pada Gam Hidrolisis paarsial amilosaa hanya menghhasilkan maltosa seebagai satu--satunya disakarida. Terdapat 2550 satuan gluukosa atau leebih per molekul amilosa; b banyaknya satuan bergantung pada speesies hewann atau tumbuhan.
ujung untuk kira-kira tiap 25 satuan gllukosa. t percabanngannya ialah ikatan Ikatan pada titik 1,6’-α-glikosiida. Hidrrolisis leengkap amilopektin menghasilkkan α-D-gllukosa, sedangkan hiidrolisis parsiaalnya menghaasilkan suatu campurran maltosa daan isomaltosa.. Maltosa yang dihasillkan dari hid drolisis parsial pati secara enzim matis memilik ki dua omerik satuan D-gluukopiranosa. Karbon ano dari satuan kedua gluukopiranosa dalam maltosa meerupakan baagian dari gugus hemiasetal. Akibatnya, tterdapat 2 bentuk b anomer maltoosa (α- dan β)) yang berada dalam kesetimbangaan satu sama lain dalam larutan l (Gambar 3). Maltosa meengalami mutarotasi g pereduksii. dan bersifat gula
Gambar G 3 Beerbagai bentukk karbon ano omerik maaltosa dari kirii ke kanan : maltosa m (annomer β), maltosa (aldehida ranntai terbuka), m maltosa (anom mer α). Antidiabeetes
(a)
(b)
Gambar 2 Struktur (aa) amilosa dann (b) amilopekttin (McMurry 2008). Amilopektin ialah poolisakarida yaang jauh lebih besar daripada am milosa, menggandung m 1000 satuann glukosa atauu lebih per molekul. Seperti am milosa, ranttai utama dalam amilopektin mengandunng 1,4’-α-D-gglukosa. milosa, amillopektin Bedanya dengan am bercabang sehingga terrdapat satu glukosa
Senyawa bahan alam m dengan ak ktivitas d daalam bentuk tu urunan antidiabetes ditemukan kompleks karrbohidrat, alkkaloid, glikopeeptida, terpenoid, peptida p dann amina, steroid, s flavonoid, lippid, kumarin, senyawa sulfu fur, ion anorganik Mekaanisme dan lainnnya. antidiabetes yang meliputti penurunan kadar a banyak, ddi antaranya adalah gula darah ada berkompetisi langsung secara berlaawanan nsulin, dengan insulin, menstimuulasi sekresi in menstimulasii glikogenesiss dan glikolisiis hati, merintangi kanal k kalium sel beta pan nkreas, menstimulasii cAMP, dan mengh hambat penyerapan glukosa darii usus (Marrles & Farnwort 19995). Tanaman antidiabetess lazim digu unakan oleh herbalis dalam mengoobati penderitta DM tipe 2. Dalam beberappa kasus, reespons penderita teerhadap penggobatan ini harus dipantau secaara saksama daan keuntungan n yang berarti dapaat diperoleh dari terap pi ini. Bagaimanapuun, penggunaaan herbal in ni bagi penderita DM M tipe 1 dappat membahaayakan dan pengenddalian terhadapp gula darah harus dilakukan untuk menncegah terjadinya hipoglisemia atau hiperglisemia. Pengobatan dengan herbaa antidiabetes pada penderita DM tipe 2 dapat menurunkann kadar gula darah
4
karena bekerja memengaruhi insulin. Salah satu cara mengendalikan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 adalah dengan menghambat aktivitas enzim penghidrolisis karbohidrat seperti α-amilase dan αglukosidase. Kedua enzim ini bertanggung jawab terhadap pengubahan karbohidrat menjadi glukosa. Salah satu obat hipoglisemik oral yang digunakan sebagai inhibitor enzim ini adalah akarbosa (Gambar 4).
Gambar 4 Struktur kimia akarbosa. Akarbosa bekerja dengan memperlambat pemecahan karbohidrat seperti disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida. Karbohidrat secara normal diubah terlebih dahulu menjadi monosakarida untuk dapat diserap oleh usus menjadi glukosa darah. Dengan demikian, akarbosa dapat mengurangi konsentrasi gula darah akibat karbohidrat yang dikonsumsi. Akarbosa (obat sintetik) dapat menghambat kerja enzim α-amilase yang dihasilkan oleh pankreas dan α-glukosidase yang terdapat pada usus halus. Struktur kimia akarbosa ditunjukkan pada Gambar 4. Penggunaan obat sintetik ini menimbulkan efek samping, misalnya kembung, diare, dan kram usus. Ekstraksi dan Fraksionasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Tanaman Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut yang terkandung dalam suatu campuran dengan bantuan pelarut. Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut menggunakan prinsip kelarutan like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan zat polar dan sebaliknya. Dalam pemilihan pelarut, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah selektivitas, sifat racun, dan kemudahannya untuk diuapkan (Khopkar 2002). Salah satu prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan adalah maserasi. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak tahan panas. Metode ini dilakukan dengan merendam sampel dalam suatu pelarut tanpa menggunakan pemanasan. Kelebihan metode maserasi, yaitu lebih
sederhana, relatif murah, serta dapat menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas. Kelemahannya di antaranya dari segi waktunya lama, dan penggunaan pelarut yang tidak efisien (Meloan 1999). Ekstraksi cair-cair merupakan metode ekstraksi yang didasarkan pada sifat kelarutan komponen target dan distribusinya dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur. Senyawa polar akan terbawa dalam pelarut polar, senyawa semipolar akan terbawa dalam pelarut yang semipolar, dan senyawa nonpolar akan terbawa dalam pelarut nonpolar. Ekstraksi cair-cair bertahap merupakan teknik ekstraksi cair-cair yang paling sederhana, cukup dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak saling bercampur kemudian dilakukan pengocokan sehingga terjadi distribusi zat terlarut di antara kedua pelarut (Khopkar 2002). Dalam hal ini, pemisahan zat yang polar dan nonpolar dapat dilakukan dengan ekstraksi cair-cair (partisi) dalam corong pisah. Pengocokan bertujuan memperluas area permukaan kontak di antara kedua pelarut sehingga pendistribusian zat terlarut di antara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Syarat pelarut untuk ekstraksi cair-cair adalah memiliki kepolaran yang sesuai dengan bahan yang diekstraksi dan harus terpisah setelah pengocokan (Harvey 2000). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan jenis kromatografi partisi menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam yang keras. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis sering kali mengandung substansi yang dapat berpendar dalam sinar ultraviolet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai (Furniss et al. 1989). Pada KLT, pergerakan zat relatif terhadap garis depan pelarut dalam sistem kromatografi tertentu dapat didefinisikan sebagai nilai Rf, yaitu perbandingan jarak tempuh zat dengan jarak tempuh garis depan pelarut. Fraksionasi adalah suatu proses pemisahan komponen dalam suatu ekstrak menjadi kelompok-kelompok senyawa yang memiliki kemiripan karakteristik secara kimia (Houghton & Raman 1998). Kromatografi kolom merupakan teknik analisis, dalam penentuan jumlah komponen dalam suatu campuran senyawa, dan juga untuk pemisahan dan pemurnian komponen senyawa tertentu dari campurannya. Dalam pemisahan kromatografi kolom, suatu pelarut pengelusi
5
dialirkan secara kontinu melalui kolom dan komponen demi komponen dari campuran yang pada akhirnya keluar dari kolom dapat dikumpulkan dan difraksionasi (Rouessac & Rouessac 1994).
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain peralatan kaca, neraca analitik, oven, cawan porselin, eksikator, penguap putar, penangas air, pengaduk magnet, lempeng pemanas, spektrofotometer Genesys, bejana kromatografi, kolom, dan lampu UV. Bahan-bahan yang digunakan adalah daun salam keenam sampai kesepuluh dari pucuk yang berasal dari Citayam, etanol 96%, akuades, n-heksana, etil asetat, metanol, nbutanol, aseton, asam asetat glasial, dimetil sulfoksida (DMSO), FeCl3 1%, anhidrida asam asetat, kloroform, NH4OH, dietil eter, pereaksi Lieberman-Burchard, serbuk Mg, amil alkohol, H2SO4 2 M, pereaksi Dragendorff, Meyer, dan Wagner, HCl pekat, silika gel G60 (Merck 230-400 mesh), pelat silika gel G60 F254 (Merck), alumunium foil, Na2HPO4.2H2O, NaH2PO4.H2O, NaOH, NaCl, Na2SO3, pati terlarut, kalium natriumtartarat, tablet Glucobay (Bayer), enzim α-amilase tipe VI-B (Sigma Aldrich Inc) dan asam 3,5dinitrosalisilat (Sigma Aldrich Inc) . Metode Metode penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yang meliputi penyiapan sampel, penentuan kadar air daun salam dan serbuk daun salam, ekstraksi serbuk daun salam, ekstraksi cair-cair, uji aktivitas αamilase, penentuan eluen terbaik dengan KLT, fraksinasi menggunakan kromatografi kolom, analisis fitokimia dari ekstrak dan fraksi teraktif. Penyiapan Sampel Daun salam dikumpulkan dari daerah Kampung Baru, Citayam, Bogor. Daun salam yang digunakan adalah daun keenam sampai kesepuluh dari pucuk tanaman. Daun salam dicuci, dipotong kecil-kecil, dikeringudarakan, kemudian digiling hingga diperoleh serbuk daun salam. Serbuk tersebut selanjutnya disimpan dalam wadah kedap udara.
Penentuan Kadar Air Serbuk Daun Salam Cawan porselin dicuci bersih dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 °C selama 30 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 °C selama 2x24 jam. Cawan beserta isinya didinginkan dalam eksikator sekitar 30 menit kemudian ditimbang. Proses pengeringan dan penimbangan diulang kembali sampai diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Kadar air (%) = A – B × 100% A Keterangan: A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g) B = bobot bahan setelah dikeringkan (g) Ekstraksi Serbuk daun salam sebanyak 100 g dimaserasi dengan 1 L etanol 96% pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu, maserat dipisahkan kemudian residu dimaserasi kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Maserasi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap putar. Bobot ekstrak kering yang diperoleh kemudian ditimbang. Rendemen ekstrak dihitung dengan membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh terhadap bobot sampel awal, dengan faktor koreksi berupa kadar air sampel yang digunakan. Ekstraksi Cair-Cair Ekstrak Daun Salam Ekstrak etanol daun salam sebanyak 3 g ditambahkan dengan 100 mL akuades dan dimasukkan ke dalam corong pisah. Larutan kemudian ditambah n-heksana dengan perbandingan 1:1 v/v dan diekstraksi. Fraksi n-heksana dipisahkan dan fraksi air diekstraksi kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama sampai diperoleh fraksi nheksana dari 3 kali pengulangan ekstraksi. Fraksi air yang masih tersisa kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut etil asetat dengan perbandingan 1:1 v/v. Fraksi etil asetat dipisahkan dan ekstraksi diulang kembali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama sampai diperoleh fraksi etil asetat dari 3 kali pengulangan ekstraksi. Ketiga fraksi yang dihasilkan, yaitu fraksi n-heksana, etil asetat,