Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
PENCIPTAAN PEREMPUAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM ISLAM Musa Rumbaru STAIN al-Fatah Jayapura Abstrak Dalam berbagai literatur dan ini yang diyakini oleh mayoritas penganut agama bahwa Adam adalah induk dari Hawa. Indikasinya adalah Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Keyakinan ini berimplikasi pada eksistensi perempuan dari sudut hukum Islam. Kaum perempuan akhirnya harus selalu berada dalam bayang-bayang kaum laki-laki. Hukum Islam yang terbangun mempersepsikan kaum perempuan merupakan makhluk sub-ordinat dibanding laki-laki. Kata Kunci: gender, perempuan, laki-laki, hukum Islam Al-Quran membincang Penciptaan Perempuan Tentang asal usul manusia dari tanah bisa dilacak pada QS. Nuh (71): 17-18, QS. Thaha (20): 55, QS. Hud (11):61, QS. al-Haj (22): 5, QS. al-An‟am (6):2, QS. al-Shaffat (37): 11, QS. al-Rahman (55):14, QS. al-Hijr (15): 26, QS. al-Mu‟minun (23): 12, QS. al-Furqan (25): 54, QS. alNisa‟ (4): 1, QS. al-A‟raf (7): 11, QS. al-Hijr (15): 28-29, QS. al-Infithar (82): 7-8, QS. al-Thin (95): 4. Sampai di sini al-Qur‟an belum menjelaskan secara tersirat atau tersurat tentang perbedaan penciptaan laki-laki dan perempuan. Keduanya dinyatakan dari unsur yang sama yaitu tanah. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan secara subtansial atau struktural belum ada perbedaan. Dalam proses keberadaan keduanya masih sederajat.1 Proses kelanjutan dan perkembangan manusia yang kemudian biasa disebut reproduksi dijelaskan di beberapa ayat di antaranya, yaitu QS. al-Qiyamah (75): 37, QS. al-Insan (76): 2, QS. al-Sajdah (32): 8, QS. al-Mu‟minun (23): 14. Jika dalam proses penciptaan manusia awal, bahan baku tanah sering disebut dalam al-Qur‟an, maka berbeda Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender ( Jakarta: Paramadina, 2001), 216-219. Lihat juga Amir Abd al-Aziz, al-Insan fi al-Islam, (Bairut: Daar al-Furqan, 1986), 11, lihat juga Anshari, Penafsiran Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta: 2009), 135 1
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
157
Musa Rumbaru
dengan proses reproduksi. Unsur cairan lebih dominan disebutkan oleh al-Qur‟an daripada tanah. Sementara unsur yang bersifat substansial semisal ruh atau jiwa tidak disebutkan secara terperinci oleh al-Qur‟an. Ternyata, dalam proses reproduksi juga belum ditemukan perbedaan secara khusus antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, proses dan mekanisme biologis tidak memberikan celah sebagai alasan yang kuat untuk memojokkan salah satu dari keduanya, laki-laki atau perempuan.2 Nasarudin Umar berpandangan bahwa ayat-ayat yang dikemukakan di atas memberikan satu pemahaman bahwa pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam proses penciptaan ataupun dalam proses reproduksi. Ini seakan merupakan indikasi yang kuat bahwa al-Qur‟an mempunyai pandangan yang ramah, jauh dari keberpihakan dan diskriminasi terhadap perempuan. Al-Qur‟an tidak menjelaskan tentang penciptaan manusia pertama dengan secara tersurat dan kronologis. QS. al-Baqarah (2): 30-38 lebih ditekankan pada tugas dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang akan ditempati, tempat bercocok tanam.3 Tentang siapa di antara Adam dan Hawa yang diciptakan lebih dahulu, ataukah diciptakan secara bersamaan, al-Qur‟an tidak mengurai secara jelas. Sejauh ini, menurut Nasaruddin Umar, pandangan yang menegaskan bahwa Adam adalah manusia pertama adalah lebih banyak merujuk pada hadis nabi Muhammad saw, kisahkisah israiliyyat, dan riwayat-riwayat yang bersumber dari kitab Taurat (kitab suci agama Yahudi, kitab Injil dan bersumber dari kitab Talmud, yaitu kitab yang memberikan penafsiran pada kitab Taurat.4 Binti Syati‟ sepertinya tidak sepakat dengan pendapat ini, Binti Syati‟, Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyah (Yogyakarta: LKPSM, 1997), vii dan 37-40 dan lihat Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender ( Jakarta: Paramadina, 2001), 220. Bandingkan dengan Muhammad Darwaza, al-Tafsir al-Hadits Juz VI (Beirut: Dar al-Gharab alIslam, 2000), cet.II,154 3Lihat Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah, Vol.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 313.dan lihat Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender ( Jakarta: Paramadina, 2001), 233. Anshari, Penafsiran Ayat-ayat Gender dalam Tafsir alMisbah (Jakarta: 2009), 136. 4 Barbara Freyer Stowasser, Women in the Qur’an, Traditions and Interpretation (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 60-61 2
158
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
setidaknya itu kesimpulan penulis, sebab ketika menafsirkan QS. alBaqarah (2): 30-38, ia sama sekali tidak menyinggung Hawa sebagai teman Adam kala itu, yaitu dikala perintah Allah kepada malaikat dan jin untuk sujud kepada Adam. Hawa disinggung oleh Binti Syati‟ ketika terjadi pelanggaran Adam beserta Hawa karena mengkonsumi buah yang terlarang. Disitu disebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan bukan hanya oleh Hawa tapi hal itu dilakukan secara bersama-sama.5 Pakar tafsir klasik atau modern sepakat bahwa manusia pertama yang diciptakan adalah Adam, bukan Hawa. Semisal Ibn Katsir telah melakukan penelitan dengan mengiventarisir beberapa ayat al-Qur‟an yang secara spesifik berbicara tentang penciptaan Adam-manusia pertama-.Ayat-ayat itu adalah QS. al-A‟raf (7): 189, QS. al-Baqarah (2): 30-38, Ali Imran (3): 59, QS. al-Nisa (4): 1, QS. alHujurat (49): 13, QS. Thaha (20): 55, QS. al-Hijr (15): 26, 44, QS.al-Isra‟ (17): 61-65, QS. al-Kahf (18): 50, QS. Shad (38):71-76.6 Sementara kata Adam ditemukan sebanyak 25 kali, 10 kali disebut dalam bentuk idlafah yaitu bani adama dan dzurriyah Adama, keduanya bisa diartikan anak keturunan Adam. Adapun sisanya yaitu 15 kali kata Adam berbicara tentang Adam sebagaimana manusia pertama yang dikaitkan dengan seputar awal penciptaannya, kejatuhan dari surga, dan tugas khalifah di bumi.7 Kisah Adam yang diulas oleh Al-Qur‟an dalam surah alBaqarah (2): 30 mengilustrasikan bahwa Adam pada waktu itu adalah manusia yang masih sendiri, Hawa sebagai teman Adam belum tampak ke permukaan. Setidaknya itu yang penulis tangkap ketika memahami al-Baqarah (2): 30-34. Hawa lalu muncul ketika Allah memerintahkan keduanya agar tidak mengkonsumsi buah terlarang sebagaimana yang termaktub dalam al-Baqarah (2): 35-39. Terdapat empat ayat dalam empat surah yang berbeda yang 5 Lihat Binti Syati‟, Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyah (Yogyakarta: LKPSM, 1997), vii dan 37-40 6 Ibn Katsir, Qishas al-Anbiya (Kairo:al-Maktabah al-Qayyimah, tt), 7 dan lihat juga Ibn Katsir, Bidayah Khalq al-Kaun (Kairo: Dar al-Basyir, 1993), 187-190 7 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran Perempuan Jilid II (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, 2009), 26. Lihat juga M. F. „Abd alBaqi‟, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadits, 1996), 30.
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
159
Musa Rumbaru
mengisyaratkan tentang penciptaan perempuan, yaitu QS. al-Nisa.‟ (4): 1, QS. al-An‟am (6): 98, QS. al-A‟raf (7): 189, dan QS. al-Zumar (39 ): 6. Gambaran yang ditangkap tentang penciptaan perempuan dalam empat surah tersebut mengatakan bahwa manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafsin wahidah. Dalam Kitab Kejadian sebagaimana yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dan Rasyid Ridla beserta tokoh gender lainnya semisal, Aminah Wadud, dijelaskan bahwa ketika Adam tidur nyenyak, Tuhan Allah mengambil salah satu tulang rusuk Adam, lalu menutup tulang rusuk itu dengan daging. Dan dari tulang rusuk itu, diciptakanlah makhluk yang berkelamin beda dengan Adam, yaitu perempuan. Ketika Adam terbangun dari tidurnya, seorang perempuan telah berada disampingnya.8 Dalam kitab-kitab hadits juga diterangkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, namun ada beberapa hadits yang menerangkan bahwa Hawa tidak tercipta dari tulang rusuk Adam, akan tetapi Hawa adalah seperti tulang rusuk. Hadits yang menerangkan tentang penciptaan perempuan dari salah satu tulang rusuk (min al-dlal’i) bukan bagaikan tulang rusuk (ka al-dlal’i) diriwayatkan oleh al-Bukhari, yang bermuara dari Abu Hurairah lalu ke nabi Muhammad saw; imam Muslim yang bermuara dari Abu Hurairah; imam Ahmad ibn Hanbal yang bermuara dari Abu Hurairah; dan imam al-Darimi yang bermuara dari Abu Dzarr. Keempat hadits ini berasal samapi sanadnya kepada Rasulullah saw.9 Namun, juga terdapat beberapa hadis yang menerangkan bahwa perempuan itu laksana tulang rusuk (ka al-dlal’i), bukan diciptakan dari tulang rusuk (min al-dlal’i). Hadits itu diriwayatkan oleh imam al-Bukhari yang bermuara dari Abu Hurairah; imam Muslim yang bermuara dari Abu Hurairah; imam al-Turmudzi yang bermuara dari Abu Hurairah; imam Ahmad ibn Hanbal yang bermuara dari Abu Hurairah; dan imam al-Darimi yang bermuara 8 Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Gender ( Jakarta: Paramadina, 2001), 227. Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, Al-Kitab (Perjanjian Lama) (Jakarta: Lembaga al-Kitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155, 2. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 2. (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 315 9 Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi Juz X (Mekkah: Dar alBaz, tt), 57. Al-Darimi, Sunan al-Darimi Juz II (maktabah syamilah: 2010), 198. Lihat al-Bukhari, al-Bukhari Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 273
160
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
dari Abu Hurairah. Hadits-hadits itu bersambung transmisinya kepada Rasulullah saw.10 Mengomentari permasalahan tersebut, Rasyid Ridla menegaskan bahwa andaikata tidak ada penjelasan yang mencantumkan kisah Adam dan Hawa seperti dalam Kitab Perjanjian Lama, pastilah tidak akan muncul dalam benak orang-orang muslim tentang hal itu. Ridla lebih memilih hadits yang menegaskan bahwa perempuan itu bagaikan tulang rusuk, bukan tercipta dari tulang rusuk. Argumen ini juga dipilih oleh Binti Syati‟ yang menerangkan bahwa perihal penciptaan perempuan dari tulang rusuk, lebih ditekankan bagaimana kita berinteraksi dengan perempuan yang diibaratkan laksana tulang rusuk.11 Kesaksian Perempuan: Implikasi dari Perbedaan Penciptaan Perempuan Di antara isu yang sering menjadi bahan perdebatan berkaitan dengan kedudukan perempuan di dalam Islam, apakah setara dengan kaum laki-laki atau tidak, adalah kesaksian perempuan. Dalam bahasa Arab kesaksian disebut al-syahadah akar kata dari syahida-yasyhidusyahadatan, yang berarti menyampaikan berita yang pasti, hadir dipersidangan, menyampaikan kesaksian, melihat dengan mata kepala, memberitahu dan bersumpah.12 Pemahaman yang tersebar luas selama ini di kalangan masyarakat muslim adalah bahwa nilai kesaksian perempuan separuh kesaksian laki-laki sebagaimana termuat dalam berbagai kitab fikih maupun tafsir. Pemahaman yang seperti itu tampaknya saat ini banyak menuai kritik, karena seolah-olah menempatkan posisi kaum perempuan lebih rendah dari pada kaum laki-laki. Akibatnya, banyak Lihat Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi Juz X (Mekkah: Dar al-Baz, tt), 56. Dan lihat al-Bukhari, al-Bukhari Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 273 11 Lihat Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar Jilid IV (Bairut: Dar al-Ilmiyah, 1999), Cet. I, 330. Dan Lihat Binti Syati‟, Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyah (Yogyakarta: LKPSM, 1997), vii dan 37-40 12 Lihat Lajnah Pentashih al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran Perempuan Jilid II (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, 2009), 278. Lacak juga Majma‟ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith Jilid I (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1972), cet. Ke-II, 497. Lihat juga Ibn Mandzur, Lisan al-Arab Juz IV (Kairo: Dar al-Mishriyah, tt), 226 10
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
161
Musa Rumbaru
tudingan terhadap Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan.13 Ayat persaksian yang sering disoroti oleh para pakar jender adalah QS. al-Baqarah (2): 282, yang merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur‟an. Allah berfirman di antaranya adalah bahwa persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Namun jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika salah seorang dari dua orang perempuan itu lupa maka seorang lagi dapat mengingatkannya.14 Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada yakni kalau bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, yakni yang disepakati oleh pihakpihak yang melakukan transaksi. Persaksian itu biasanya dilaksanakan di pengadilan.15 Menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 282, Engineer berpendapat bahwa meskipun ayat tersebut menganjurkan dua orang saksi perempuan sebagai pengganti seorang saksi laki-laki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian, sedangkan yang lain berfungsi mengingatkan jika yang memberikan kesaksian ragu (karena kurang pengalaman dalam masalah keuangan). Oleh karena itu, ayat ini termasuk ayat kontekstual dan bukan ayat normatif. Al-Qur‟an tidak menetapkan norma bahwa dalam masalah Muhamad Isna Wahyudi dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 112 14 Lihat Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera, 2007), cet. KeIV, 266. Lihat Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah, Vol. I . (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 566 dan lihat Muhammad Darwaza, Al-Tafsir al-Hadits Juz VI (Beirut: Dar al-Gharab al-Islam, 2000), cet.II, 507 15 Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz VI (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), Cet. III, 556 . lihat juga Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah, Vol. I . (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 566. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Mawsu’ah al-Qur’aniyah al-Muyassarah (Depok: Gema Insani Press, 2007), 49. 13
162
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
kesaksian, dua orang perempuan diperlakukan sebagai sama dengan satu laki-laki. Karena jika demikian maksud al-Qur‟an, maka setiap ada masalah kesaksian al-Qur‟an akan memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Sementara di dalam al-Qur‟an terdapat tujuh ayat lain tentang persaksian, tetapi tidak satupun yang menetapkan syarat dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu saksi lakilaki, yaitu: QS. al-Maidah (5):106,107; QS. al-Nisa (4):15; QS. al-Nur (24): 4, 6, 8; QS. al-Thalaq (65): 2.16 Adapun Aminah Wadud senada dengan Engineer. Menurutnya dalam redaksi ayat itu memberikan pengertian bahwa kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk „mengingatkan‟ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama, meskipuan perempuan itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya. Di samping itu, redaksi ayat ini spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan lain.17 Zaitunah Subhan juga mengajukan keberatan dengan formula 1: 2. Ia berpandangan bahwa lelaki dan perempuan itu punya status yang sama, maka menjadi saksi itu boleh lelaki atau perempuan. Formula 1: 2 merupakan suatu pengecualian khusus untuk transaksi bisnis, tidak dapat diperluas pada kesaksian kesaksian yang lain. Bahkan melihat kondisi perempuan zaman sekarang, sepertinya formula 1: 2 tidak relevan lagi. Hal ini ditopang juga oleh ayat-ayat yang menjelaskan tentang kesaksian-kesaksian yang disebutkan al-Qur‟an, tidak menentukan bahwa para saksi itu harus laki-laki. Semisal QS. al-Maidah (5): 106, tentang kesaksian dalam wasiat. Kemudian QS. al-Nisa‟(4):15, QS. al-Nur (24): 4, dan QS.al-Thalaq (65): 2 tentang kesaksian dalam pembuktian perzinaan.18 Pernyataan Zaitunah ditolak oleh Quraish Shihab. Menurutnya penggunaan kata arba’atun bukan arbaun memberikan Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farha Assegaf (Yogyakarta: LSPA, 2000), 98-107. Lihat juga 16
Muhamad Isna Wahyudi dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8,
No. 1, Januari 2009, 113-124. 17 Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 85. 18 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 119
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
163
Musa Rumbaru
pemahaman bahwa saksi itu laki-laki, karena bila yang dimaksud saksi itu perempuan, tentu menggunakan kata arbaun tanpa ada huruf ta al-marbuthah, karena dalam kaidah bahasa Arab, bila yang dihitung adalah perempuan, maka bilangan harus menggunakan mudzakar (bilangan untuk makna laki-laki), dan sebaliknya jika yang dihitung adalah mudzakkar, maka bilangan harus menggunakan muannats (bilangan untuk makna perempuan), sedangkan dalam ayat di atas menggunakan bilangan muannats, berarti yang dihitung adalah mudzakar (laki-laki).19 Penggunaan kata arba’atun juga bisa dilihat pada QS. al-Nur (24): 4, yang menerangkan tentang tuduhan suami kepada istrinnya telah berbuat zina. Pada ayat tersebut, redaksi yang digunakan adalah kata arba’atun , bukan kata arba’un yang berarti saksinya adalah laki-laki. Kenyataan ini seakan menggoyahkan argument yang dibangun oleh Zaitunah tentang generalisasi saksi sama dengan lakilaki dalam berbagai aspek. Lalu, Zaitunah menyimpulkan pendapat tiga tafsir yang cukup berpengaruh di Indonesia yaitu tafsir al-Azhar karya Hamka, Mahmud Yunus, dan Tafsir Depag mengenai kesaksian yang terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 282 dengan format 1: 2. Dalam kesimpulannya ada tiga faktor timbulnya formulasi 1:2 yaitu: pertama, faktor yang bersifat kodrati, yaitu perempuan pelupa, emosional, pemikirannya kurang daripada laki-laki. Kedua, faktor yang ada pada diri perempuan, yaitu kemungkinan adanya kekuatan luar yang akan memaksanya untuk memberikan kesaksian palsu. Dan ketiga kurang berpengalaman dalam transaksi bisnis.20 Qasim Amin mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki mengungguli seorang wanita dalam kekuatan jasmani atau intelektualnya, itu tidak lebih merupakan disebabkan oleh faktor keterkungkungan perempuan selama ini. Bukan karena faktor kodrati. Faktanya, perempuan hanya diproyeksikan sebagai makhluk yang haram mengenyam atau mengakses pendidikan sebagaimana yang diperolah oleh kaum laki-laki. Kemudian dicarikan dasar-dasarnya untuk memperkuat argument kelemahan perempuan dalam kitab Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 357 20 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 120 19
164
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
suci. Hal inilah yang turut membentuk karakter dan sikap perempuan dalam kehidupan selanjutnya.21 Berdasarkan kronologi al-Qur‟an baik menurut sarjana muslim maupun sarjana Barat, QS. al-Baqarah (2):282 tersebut termasuk ke dalam ayat Madaniyyah, yaitu ayat yang diturunkan pasca hijrah Nabi Muhammad saw. Perlu diketahui bahwa di bawah hukum adat yang berlaku di Arabia pada masa kedatangan Islam, perempuan di Arabia secara umum benar-benar tidak memiliki status hukum. Mereka dijual ke dalam perkawinan oleh wali mereka untuk suatu harga yang dibayarkan kepada wali tersebut, suami mereka dapat mengakhiri perkawinan mereka sesuka hatinya, dan perempuan hanya memiliki sedikit kekayaan atau hak-hak waris atau tidak sama sekali.22 Dalam masyarakat Arabia, laki-laki bertugas membela dan mempertahankan seluruh anggota keluarga, bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Konsekuensinya laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan. Lakilaki lebih banyak bertugas di wilayah publik, sementara perempuan bertugas di wilayah domestik, mengurus urusan rumah tangga maupun tugas-tugas reproduksi. Laki-laki lebih banyak bertugas di luar rumah, sementara perempuan bertugas di dalam atau di sekitar rumah atau kemah-kemah.23 Dengan demikian bisa dipahami bahwa formula 1: 2 dalam persaksian adalah persaksian yang berkaitan dengan transaksi Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo: Markaz al-Arabi,1984), 19. Bandingkan dengan Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina Press, 2001),135-142 22 Noel Coulson and Doreen Hinchcliffe, “Women and Law Reform in Contemporary Islam,” dalam Women in the Muslim World, editor: Lois Beck and Nikkie Kiddie (Cambridge, Massachussett, and London, England: Havard University Press, 1978), 37. Lihat juga Muhamad Isna Wahyudi,” Nilai Pembuktian Saksi Perempuan Dalam Hukum Islam dalam Musawa : Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 214. 23 Muhamad Isna Wahyudi,” Nilai Pembuktian Saksi Perempuan Dalam Hukum Islam” dalam Musawa : Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 214. Dan lihat Judith E. Tucker (ed.), Arab Women (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1993), ix. Lihat juga Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina Press, 2001),135-142. 21
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
165
Musa Rumbaru
hutang-piutang. Pada saat itu, karena adanya pembatasan peran dalam wilayah domestik, kaum perempuan tidak berpengalaman dan belum terbiasa dengan urusan hutang piutang. Maka wajar jika kemudian kaum perempuan dianggap lemah daya ingatnya untuk menjadi saksi dalam masalah-masalah yang tidak biasa ditanganinya. Oleh karena itu, disyaratkan kesaksian dua orang perempuan, sehingga jika satu di antara keduanya lupa maka yang lain akan mengingatkannya. Oleh karenanya, benar adanya alasan yang dikemukakan oleh al-Qur‟an tentang kesaksian dua orang laki-laki, disamakan dengan satu laki-laki dan dua orang perempuan, yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan dengan merujuk pada kegunaan dua saksi perempuan, yaitu apabila salah satu saksi dari wanita tersebut lupa, maka salah satunya bisa memperingatkannya. Jika demikian maka alasan yang dikemukakan al-Qur‟an bahwa perempuan dalam menjalankan persaksiannya ada kemungkinan lupa. Mengomentari alasan yang dikemukakan al-Qur‟an bahwa perempuan ada kemungkinan lupa, banyak kalangan ulama tafsir atau fiqh yang menambah alasan lainnya. Misalnya bahwa secara umum, perempuan itu memang kadar tingkat intelektualnya lebih rendah dibanding laki-laki. Asumsi ini diperkuat dengan hadits nabawi yang mengatakan bahwa intelektula perempuan itu lebih rendah dibawah kadar intelektual laki-laki. Oleh karenanya, Allah menseimbangkan dua orang perempuan dalam hak kesaksian dengan satu orang laki-laki. Imam Muslim dalam shahih-nya meriwayatkan dalam bab iman bahwa nabi bersabda hendaklah kaum perempuan memperbanyak sadekah dan istighfar. Jazlah, salah seorang sahabat perempuan mengemukakan pertanyaan,” mengapa kami yang terbanyak menjadi penghuni neraka?”. Nabi menjawab,” karena wanita itu enggan berterimakasih kepada keluarganya dan sering mengumpat. Kemudian nabi melanjutkan sabdanya,” ingat! Perempuan itu adalah makhluk Tuhan yang kurang berakal dan keberagamaanya,”. Alasan yang dilontarkan oleh beliau adalah karena perempuan mengalami masa mentruasi sehingga malammalamnya tidak bisa dipergunakan untuk salat dan kewajiban lainnya. Sementara kurang berakal bisa dibuktikan dalam al-Qur‟an yang menyamakan dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki
166
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
dalam persaksian.24 Menanggapi permasalahan di atas, Muhammad Quraish Shihab mengomentari bahwa persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama perempuan dan fungsi utama yang dibebankan atasnya, yaitu membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Atas dasar itulah tuntunan di atas ditetapkan. alQur‟an dan al-Sunah mengatur pembagian kerja antara perempuan dan lelaki, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama yaitu menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan istrinya. Sedang tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya.25 Oleh karenanya, pendapat Ibn al-Qayyim yang dinukil dari Ibn Taimiyah tentang boleh menjadikan satu orang saksi perempuan menjadi relevan ketika ada peristiwa yang menuntut segera diselesaikan. Sementara saksi yang menyaksikan kasus tersebut hanya satu orang perempuan. Haruskah kita menunggu dua orang saksi perempuan untuk menuntaskan kasus tersebut? Seorang mufassir modern, Darwaza kemudian merujuk pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Uqbah ibn al-Harts. Dikatakan bahwa Uqbah komplain kepada nabi Muhammad tentang seorang budak perempuan legam yang mengaku pernah menyusui dirinya dan istrinya. Sehingga ia memerintahkan untuk menceraikan istrinya karena mereka adalah satu susuan. Nabi Muhammad saw ternyata membenarkan budak perempuan tersebut dan memerintahkan Uqbah untuk menceraikan istrinya.26 „Ali ibn Nayib al-Shuhud, al-Mufasshal fi al-Radd ‘ala Syubhat A’da’i al-Islam Juz X (maktabah syamilah), 204. Lihat juga Muhammad Darwaza, alTafsir al-Hadith Juz VI (Beirut: Dar al-Gharab al-Islam, 2000), cet.II, 514 25 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. I (Jakarta: Lentera Hati,2001), 567. Lihat juga Mahmud Shaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah (tp:Dar al-Qalam, 1966), 249-250. Lihat juga Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran Perempuan Jilid II (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, 2009), 290-291 26 Muhammad Darwaza, Al-Tafsir al-Hadits Juz VI (Beirut: Dar alGharab al-Islam, 2000), cet.II, 515. Lihat juga Manshur „Ali Nashif, al-Taj alJami’ li al-Ushul fi Ahadits al-Rasul Juz I (Bierut: Dar al-Fikr, tt), 366. 24
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
167
Musa Rumbaru
Anehnya, dengan mengacu pada QS. al-Baqarah (2): 282, banyak kalangan mufassir yang tidak memperkenankan perempuan untuk menjadi saksi, selain dalam permasalahan harta dan hal-hal yang memang wilayah perempuan. Semisal melahirkan, menyusui, keperawanan dan kejandaan. Semua itu, menurut para mufassir perempuan diperbolehkan untuk menjadi saksi, karena perempuan dalam hal tersebut memang wilayahnya. Darwaza merasa aneh dengan pandangan ini. Sebab, tidak ada satu ayatpun atau hadits shahih yang menjelaskan atau melarang perempuan menjadi saksi. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Turmudzi tentang kreteria saksi yang ditolak adalah lebih ditekankan pada karakter saksi tersebut, bukan mengarah pada jenis kelamin sebagaimana yang diduga sebagian ulama. Dikatakan bahwa saksi yang ditolak adalah saksi yang berkhianat, laki atau perempuan; pezina, laki atau perempuan; orang yang mempunyai permusuhan dengan orang yang disaksikan. Demikian juga dalam QS. al-Hujurat (49): 6, QS. al-Nur (24):4-5. Ketiga ayat tersebut menolak persaksian orang-orang yang fasik dan orang yang menuduh perempuan baikbaik (al-muhshanat) melakukan perbutan mesum.27 Maka, bagaimana bisa ada pendapat yang masih memilah tentang kedudukan posisi perempuan dalam kesaksian. Pandangan yang mengatakan bahwa perempuan diperkenankan menjadi saksi hanya hanya dalam wilayah-wilayah tertentu, tidak berdasar sama sekali. Darwaza memperkokoh pendapatnya dengan merujuk pendapat Ibn al-Qayyim yang sampai pada kesimpulan bahwa teks al-Qur‟an atau hadits memperkenankan dan sah-sah saja perempuan menjadi saksi dalam bidang apapun. Dasar pandangan Ibn Qayyim merujuk pada QS. al-Thalaq (65): 2, QS. al-Ma‟idah (5):106, QS. alNisa‟(4): 4 dan QS. al-Nur (24):4 28 27 Lihat Muhammad Darwaza, al-Tafsir al-Hadith Juz VI (Beirut: Dar al-Gharab al-Islam, 2000), cet.II, 513. Lihat juga Ibn al-Qayyim, I’lam alMuwaqqi’in Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 56 28 Manshur „Ali Nashif, al-Taj al-Jami’ li al-Ushul fi Ahadits al-Rasul Juz I (Bierut: Dar al-Fikr, tt), 76. Muhammad Darwaza, al-Tafsir al-Hadits Juz VI (Beirut: Dar al-Gharab al-Islam, 2000), cet.II, 515 dan lihat Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farha Assegaf (Yogyakarta: LSPA, 2000), 98-107. Lihat juga Muhamad Isna Wahyudi dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 113-124.
168
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
Memang, dalam dua ayat di atas, kata perempuan tidak diungkapkan secara tersurat, namun bukankah sudah merupakan kesepakatan para mufassir dan ulama bahwa penggunaan kata jamak (plural) dalam al-Qur‟an dinterpretasikan sebagai laki-laki dan perempuan, selama tidak ada indikasi yang menjelaskan bahwa ayat tersebut ditakhsis pada kaum laki-laki, semisal, dalam QS. al-Baqarah (2): 282. Dan selama tidak ada penjelasan redaksi yang mempersempit ruang jelajah ayat tersebut, maka ayat itu akan tetap dalam keumumannya, semisal QS. al-Nisa‟(4): 4 dan QS. al-Nur (24):4. Kesimpulan Perbedaan penafsiran tentang kedudukan dan otoritas perempuan menjadi saksi, menurut penulis lebih banyak disebabkan oleh masih diperdebatkannya proses penciptaan perempuan. Bila kaum Hawa masih diasumsikan sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka ini akan mengakibatkan pada pemhahaman bahwa perempuan dan laki-laki tidak akan pernah mengalami kesetaraan dalam berbagai aspek. Ketimpangan itu tentunya sangat kentara ketika membicarakan tentang persaksian perempuan, yang masih kental menganut formula 1:2. Perubahan paham secara radikal, yaitu bahwa perempuan diciptakan dari tanah sama dengan Adam, tentu akan berimplikasi yang radikal pula dalam hukum Islam. Jenis kelamin sangat berperan dalam menentukan kedudukan dalam hukum Islam. Padalah kesaksian, adalah terkait dengan integritas, bukan jenis kelamin. Dan inilah pendapat yang benar dan sah! Sebab bila kesaksian perempuan ditolak hanya karena jenis kelamin, bukan karena kepribadian (adalah) yang menjadi pertimbangan, maka akan berapa banyak kedurhakaan, kejahatan dan kasus-kasus pencurian serta pembunuhan akan merajalela dan dibiarkan keadilan tidak bisa ditegakkan hanya karena menunggu saksi yang semuanya dari lakilaki. Sementara kesaksian kaum perempuan ditolak hanya karena mereka seorang perempuan yang dianggap tidak kredibel.
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
169
Musa Rumbaru
Daftar Pustaka Abd al-Aziz, Amir. al-Insan fi al-Islam, (Bairut: Daar al-Furqan, 1986) Al-Bukhari, al-Bukhari, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Al-Darimi, Sunan al-Darimi Juz II (maktabah syamilah: 2010) Al-Syuhud, Ali ibn Nayib. al-Mufasshal fi al-Radd ‘ala Syubhat A’da’i alIslam Juz X (maktabah syamilah) Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz VI (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), Cet. III Amin, Qasim. Tahrir al-Mar’ah wa al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo: Markaz al-Arabi,1984) Anshari, Penafsiran Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta: 2009) Binti Syati‟, Maqal fi al-Insan: Dirasah Qur’aniyah (Yogyakarta: LKPSM, 1997) Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farha Assegaf (Yogyakarta: LSPA, 2000) Ibn Katsir, Qishas al-Anbiya (Kairo:al-Maktabah al-Qayyimah, tt) ______, Bidayah Khalq al-Kaun (Kairo: Dar al-Basyir, 1993) Ibn Mandzur, Lisan al-Arab Juz IV (Kairo: Dar al-Mishriyah, tt) Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran Perempuan Jilid II (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur‟an, 2009) Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, al-Kitab (Perjanjian Lama) (Jakarta: Lembaga al-Kitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155 M. F. „Abd al-Baqi‟, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadits, 1996) Majma‟ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith Jilid I (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1972), cet. Ke-II Muhamad Isna Wahyudi dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, 112 Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi Juz X (Mekkah: Dar al-Baz, tt) Noel Coulson and Doreen Hinchcliffe, “Women and Law Reform in Contemporary Islam,” dalam Women in the Muslim World, editor: Lois Beck and Nikkie Kiddie (Cambridge, Massachussett, and London, England: Havard University Press, 1978) Ridla, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar Jilid IV (Bairut: Dar alIlmiyah, 1999), Cet. I
170
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
Shihab, Quraish. Perempuan (Jakarta: Lentera, 2007), cet. Ke-IV ______, Tafsir al-Mishbah, Vol.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001) Stowasser, Barbara Freyer. Women in the Qur’an, Traditions and Interpretation (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001) Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999) Umar, Nasaruddin. Argument Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina, 2001) Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999)
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
171
Musa Rumbaru
PETUNJUK PENULISAN A. PETUNJUK UMUM 1. Artikel merupakan produk orisinil yang belum pernah terpublikasikan di media manapun. 2. Artikel dapat berupa pemikiran konseptual atau hasil penelitian yang terkait dengan Kajian Keungan dan Perbankan Islam. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. 4. Panjang tulisan antara 15-20 halaman dengan sepasi ganda ukuran kuarto. 5. Artikel diserahkan dalam bentuk print out dan disket. B. PETUNJUK KHUSUS 1. Kerangka tulisan meliputi abstraks, kata kunci, pendahuluan, isi dan penutup (bila merupakan pemikiran konseptual), atau meliputi abstraks, kata kunci, pendahuluan, permasalahan, metodologi, pembahasan, dan penutup (bila merupakan hasil penelitian). 2. Abstrak memuat kata inti permasalahan sebanyak 150-200 kata. 3. Kata kunci dapat berbentuk kata atau frasa. 4. Artikel menggunakan footnote dengan ketentuan sebagai berikut : Nama Pengarang, koma, judul rujukan (itallic), volume (bila ada), buka kurung, tempat terbit, titik dua, nama penerbit, koma, tahun terbit, kurung tutup, koma, halaman, titik. a. Buku: Richard Bulliet, Islam: The View of the Edge (New York: Columbia University Press, 1996), 69. b. Buku Terjemahan: A.W. Person, Menejemen Riset Antardisiplin, terj. Tjun Suryaman (Bandung: Remaja Rosdakarya,1991), 15. c. Artikel dalam Buku atau Ensiklopedi: 1. Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System” dalam Michael Burton, Antropologikal Approach to the Studi of Religion (London: Tavistok, 1996), 135. 2. D.S. Adam, “Theology”, Encyclopedia of Religion and Ethic, vol. 12, ed. James Hastings, et.al (New York: Charles Scribner‟s Sons, t.t), 297.
172
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014
Penciptaan Perempuan dan Implikasinya …
d. Artikel dalam Jurnal : Karl Wolfgang Deutsch, “Social Mobilization and Political Development”, American Political Science Review, vol. 55, no. 3 (September 1961), 583. e. Artikel dalam Media Massa: Shahrizal Putra, “Menelanjangi RUU Pornoaksi dan Pornografi”, KOMPAS, 17 Maret 2006, 6. f. Skripsi, Tesis, dan Disertasi: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Disertasi (Bogor: IPB, 1989), 79. g. Kitab Suci: -Qs. Al-Baqarah (2): 99. -Perjanjian Baru, Yoh. (20): 31. h. Apabila mengutip ulang referensi yang sama secara berurut, maka cukup ditulis: Ibid. Jika berbeda halamannya cukup tambahkan nomor halamannya: Ibid., 17. i. Apabila referensi terkutip ulang berselang oleh satu atau lebih referensi berbeda, maka cukup ditulis last name pengarang berikut satu kata awal judul dari referensi dimaksud. Misalnya, Bulliet, Islam, 232.
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 214
173
Musa Rumbaru
174
Al-Mashraf, Vol. 1, No. 1 Oktober 2014