PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : TIGOR EINSTEIN NIM:109048000031
KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M
i
ii
iii
ABSTRAK Tigor Einstein. NIM 109048000031. PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H / 2013 M. x + 73 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, serta untuk mengetahui apakah UU Nomor 42 Tahun 2008 telah sesuai dengan UUD 1945. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian yaitu UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan lainnya seperti makalah, jurnal, dan sumber dari internet. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung yang diatur didalam UU Nomor 42 Tahun 2008 masih bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, karena dalam Pembukaan UUD 1945 dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan Permusyawaratan-Perwakilan. Serta untuk masalah Calon Presiden dan Wakil Presiden harus dari Partai Politik jika dikaitkan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945, karena calon presiden dan wakil Presiden hanya dari parpol, merupakan bentuk ketidakadilan bagi masyarakat tidak berpartai. Oleh karena itu karena penulis merasa ada ketidaksesuaian antara Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, maka sebaiknya MPR bersidang untuk menetapkan UUD yang sesuai dengan sifat, watak, dan cita-cita Bangsa Indonesia. Setelah itu Presiden bersama DPR membentuk kembali Undang-Undang dan Peraturan dibawahnya berdasarkan UUD yang sesuai dengan sifat, watak, dan cita-cita Bangsa Indonesia Kata kunci: Kedaulatan Rakyat, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Pembimbing
: JM. Muslimin, MA. Ph.D
Daftar Pustaka
: Tahun 1956 s.d. Tahun 2012 iv
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Allahmdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden)” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Selaku Kepala dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
v
3. Bapak JM. Muslimin, MA. Ph.D. selaku dosen Pembimbing yang dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dedy Nursamsi, SH. M. Hum dan Bapak Ismail Hasani, SH. MH yang telah bersedia untuk menguji skripsi ini dan memberikan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 5. Kedua orang tuaku ayahanda Thomas Sinaga dan Ibunda Nuri Rochmawati yang ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. 6. Seluruh sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang baik hati, khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 terimakasih yang tak terhingga yang sudah membantu dan memotivasi penulis. 7. Seluruh kawan-kawan yang tak dapat satu persatu disebutkan namanya, yang telah banyak memberi masukan, dorongan, dan bantuan sampai selesainya skripsi ini. 8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amien).
vi
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr, Wb. Jakarta, 9 Januari 2014 Penulis,
Tigor Einstein
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................................ii LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................iii ABSTRAK...................................................................................................................iv KATA PENGANTAR ..................................................................................................v DAFTAR ISI……………………………………………………………………….....viii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................................x BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah......................................................................1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.....................................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................8 D. Metode Penelitian................................................................................9 E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu................................................13 F. Sistematika Penelitian........................................................................14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDAULATAN RAKYAT, PARTAI POLITIK, DAN PEMILIHAN UMUM.....................................................15 A. Kedaulatan Rakyat.............................................................................15 B. Partai Politik......................................................................................26
viii
C. Pemilihan Umum...............................................................................36 BAB III
PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008.....................................44 A. Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden...............................44 B. Mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008................................48
BAB IV
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT YANG TERMAKTUB DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945…………...........................55 A. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung Melalui Pemilu………………………………………………………............55 B. Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Wakil Presiden Independen dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.................................66
BAB V
PENUTUP....................................................................................................70 A. Kesimpulan........................................................................................70 B. Saran..................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................73
ix
DAFTAR LAMPIRAN 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring berayunnya bandul sejarah, sejak proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang, bangsa Indonesia ternyata telah mengenal lima konstitusi, yaitu: Konstitusi Pertama, adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi Kedua, adalah Konstitusi (Sementara) Repubik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) tahun 1949, buah dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi Ketiga, adalah Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 15 Agustus 1950, dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1950. Konstitusi Keempat, sama dengan konstitusi pertama yang berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan nuansa spirit Piagam Djakarta. Konstitusi Kelima, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diubah empat kali, tahun 1999 sampai 2002.1 Kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintahan yang dianggap sangat otoriter mendorong terjadinya reformasi disegala bidang, termasuk perubahan UUD 1945. Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik 1
Taufiqurrohman Syahuri,Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum(Jakarta: Kencana, 2011), h. v-vi.
1
2
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) memberikan landasan yang kuat bagi bangsa untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia sesuai harapan rakyat dan semangat reformasi.2 Perubahan UUD 1945 pun telah membawa dampak yang besar terhadap perubahan sistem hukum dan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan masalah kenegaraan.3 UUD 1945 saat ini telah mengalami perubahan secara mendasar. Dikatakan mendasar bukan saja karena adanya penambahan secara signifikan dalam jumlah ketentuannya (bab, pasal, ayat) maupun diadopsinya lembagalembaga negara baru melainkan memang ada hal fundamental yang berubah sehingga membawa dampak sistemik.4Perubahan itu telah melahirkan konstitusi yang baru meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI Tahun 1945. Pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam rumusan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli UUD NRI Tahun 1945 yang pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.5
2
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2012), h. xvii. 3
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (1): Jenis, Fungsi , Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 1-2. 4
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 492-493.
3
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 berdampak pada perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, karena kedaulatan rakyat pasca perubahan konstitusi dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945. Kedudukan MPR, seperti halnya lembaga-lembaga negara lain, tergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Perubahan kedudukan MPR tersebut juga berimplikasi pada hilangnya wewenang MPR untuk membentuk Ketetapan MPR yang bersifat megatur keluar, seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara.6Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden-pun hilang. Sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998, Indonesia telah menempuh jalan demokrasi.7 Pengertian dan pelaksanaan demokrasi bagi rakyat Indonesia tidak merupakan soal baru.8 Di dalam UUD NRI Tahun 1945 Amandemen tidak menjelaskan satupun didalam klausul-klausulnya tentang Lembaga Negara yang menjalankan kedaulatan rakyat tersebut, sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat itu dijalankan dengan pemilu yang dilakukan oleh rakyat secara langsung tanpa perlu dilembagakan. Indonesia sejak digulirkannya reformasi kembali menggunakan demokrasi (pemilu) secara 5
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. xix. 6
Ibid., h. xix-xx.
7
AE Priyono, dkk, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia (Jakarta: Demos, 2007), h. 43. 8
Soepardo, dkk, Manusia Dan Masyarakat Baru Indonesia: Civics (Jakarta: Departemen P. P. Dan K., 1960), h. 81.
4
langsung dalam mengangkat orang-orang yang akan menjabat didalam lembaga-lembaga Negara yang ada di Negara Republik Indonesia, termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Bagi sejumlah Negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai Negara demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambing sekaligus tolok ukur utama dan pertama demokrasi.9 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap demokrasi.Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga Negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi.10 Demokrasi digamabarkan oleh Aristoteles
ialah “… landasan
demokratis adalah kebebasan; yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam Negara semacam itu, hal ini diakui sebagai tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu prinsip kebebasan ialah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan diperintah, dan memang keadilan demokratis merupakan penerapan persamaan jumlah bukan proporsi, dari situ disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan tertinggi, dan apa pun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil. Setiap warga Negara, dikatakan, harus mempunyai persamaan, dan oleh karenanya dalam sebuah demokrasi, kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada kaum kaya, karena jumlah mereka lebih besar, dan 9
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 329. 10
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 401.
5
kehendak mayoritaslah yang paling tinggi. Oleh karena itu hal ini merupakan salah satu sifat kebebasan yang dianut oleh kaum democrat sebagai perinsip Negara mereka.”11 Untuk memahami pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia ini, baik sebelum UUD 1945 di amandemen maupun sesudah UUD 1945 diamandemen, ada baiknya perkataan Prof. Soepomo yang juga menjadi penjelasan didalam UUD 1945 menjadi acuan, yaitu, “Memang untuk menyelidiki hokum dasar (droit constitutionnel) satu Negara, tidak cukup hanya
menyelidiki
pasal-pasal
Undang-Undang
Dasarnya
(loi
constitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu.” Indonesia mengalami banyak perubahan kedaulatan dan pelaksanaan kedaulatan tersebut beriringan dengan konstitusi yang berlaku. Bahkan fenomena yang sekarang terjadi ialah kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945 Amandemen, makin lama kedaulatan rakyat tersebut malah cenderung bergeser atau berubah menjadi kedaulatan parpol. Perkembangan menunjukan, dalam industri politik harga demokrasi ternyata sangat mahal. Butuh modal banyak kalau ingin investasi dalam pasar demokrasi.12 Pada pemilu tahun 2004, beberapa partai politik mengeluarkan dana cukup besar untuk belanja iklan. Berdasarkan pemantauan Transparancy 11
Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Demokrasi: Klasik dan Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 13. 12
Ruslan Ismail Mage, Industri Politik: Strategi Investasi Politik Dalam Pasar Demokrasi, (Jakarta: RMBOOKS, 2009), h. xii.
6
International (TI), Indonesia selama pekan pertama kampanye di 15 persen daerah pemilihan, tercatat PDIP mengeluarkan dana kampanye terbanyak sebesar Rp. 3,6 miliar. Nilai ini masih ditambah dengan dengan biaya iklan di televisi yang biaya penayangannya saja hingga minggu kedua kampanye mencapai Rp. 7 miliar. Dibelakangnya menyusul PAN dengan Rp. 1,9 miliar, PPP Rp. 1,8 miliar, PKB Rp. 1,4 miliar, PKS Rp. 1,3 miliar, Golkar Rp. 867 Juta, serta PBB Rp. 284 juta.13Selain itu, dari beberapa liputan media menjelaskan, untuk menjadi caleg di kabupaten/ kota, harus menyiapkan dana 75 sampai 100 juta, untuk caleg tingkat satu di Provinsi 150 sampai 300 juta, untuk caleg DPR RI 500 juta sampai 1 miliar. Lebih mengejutkan lagi, untuk pilkada menurut hitungan Asro Kamal Rokan harus mengeluarkan 30 miliar untuk satu pasangan, untuk gubernur pasti lebih besar lagi. Jika rata-rata setiap calon bupati dan walikota mengeluarkan sekitar 30 miliar, maka uang tidak produktif yang beredar didalam 483 pilkada seluruh indonesia sekitar 14,4 triliun. Sedang untuk 33 provinsi jika rata-rata 75 miliar lebih, maka uang tidak produktif bertebar sekitar 2,4 triliun rupiah.14 Maka tak heranlah, jika setiap calon yang berhasil menduduki jabatan yang diincarnya berusaha untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya dan mencari modal kembali untuk persiapan pemilu periode berikutnya lewat jalan korupsi. Selain itu, para elit yang terlibat masalah korupsi uang negara dan uang rakyat – sudah jelas-jelas dengan bukti nyata – berhasil lolos melarikan diri malahan menduduki jabatan penting. Bahkan, sibuk menyiapkan diri untuk 13
14
Ibid., h. 116. Ibid., h. 168.
7
berlaga dalam komedi capres mendatang untuk menyelamatkan diri sendiri.15 Oleh karena masalah itulah, penulis menulis skripsi ini dengan judul yaitu: “PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tidak membahas persoalan seluruh pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang pernah dilaksanakan di Indonesia, penulis hanya memfokuskan penelitian pada pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden pada era reformasi yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang akan dihasilkan ialah: a) Bagaimana mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?
15
Adhie M. Massardi, dkk, Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), h. xiii.
8
b) Apakah pemilihan presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 telah sesuai dengan prinsip Kedaulatan Rakyat yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945?
C. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini ialah: a) Untuk mengetahui mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. b) Untuk mengetahui keselarasan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dengan prinsip Kedalatan Rakyat yang termaktub di dalam UndangUndang Dasar 1945. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: a. Manfaat akademis Secara memberikan
akademis, sumbangan
penelitian bagi
ini
diharapkan
perkembangan
ilmu
dapat hokum
khususnya ilmu hukum kelembagaan Negara. b.
Manfaat praktis Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
sumbangan
pemasukan bagi pejabat-pejabat di lembaga-lembaga Negara dalam
9
menetapkan hukum untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. c.
Manfaat untuk masyarakat Penelitian ini pun diharapkan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat luas akan kedaulatan yang berada ditangannya, dan memberikan kesadaran kepada rakyat agar kedaulatan tersebut tidak hilang begitu saja dan dapat dipergunakan dengan sebaikbaiknya, terutama dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden.
D. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut dogmatika Hukum.16 Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.17
16
Sulistiyowati Irianto dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 142. 17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1983), h. 51
10
2. Teknik Pendekatan Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach dan pendekatan sejarah (history approach).18 Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang akan digunakan adalah UUD 1945, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Peraturan perundang-undangan lain yang menunjang penelitian skripsi ini. Pendekatan konseptual diambil dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang dalam penelitian ini. Secara konseptual,kedaulatan rakyat dan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah tertuang dalam UU Nomor 42 Tahun 2008, namun untuk melengkapi, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap pandangan-pandangan dari berbagai pihak serta konsep yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan atau yang masih berlaku sampai saat ini berkaitan dengan kedaulatan rakyat dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selnjutnya ialah pendekatan sejarah sebagai pelengkap untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi berubahnya pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 3. Jenis Data Dan Bahan Hukum
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h. 93.
11
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum.19 Adapun data sekunder atau bahan hukum yang digunakan penulis adalah: a. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi
atau
keputusan
pengadilan
dan
perjanjian
internasional (traktat).20 Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain seperti UUD 1945 (sebelum amandemen), UUD NRI 1945 amandemen, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang pemilu, Putusan MK Nomor 98/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 99/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 102/PUUVII/2009. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku,
19
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 156. 20
Ibid., h. 157.
12
buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamflet, leaflet, brosur, dan berita internet.21 c. Bahan non hukum, ini dapat berupa semua literatur yang berasal dari non hukum, sepanjang berkaitan atau mempunyai relevansi dengan topik penelitian.22 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan/atau bahan non hukum. Penelusuran bahan bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dilakukan penelusuran dengan melalui media internet.23 5. Teknik Pengolahan Data Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan tahap selanjutnya adalah adalah melakukan pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan penulis melakukan analisis.24 Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
21
Ibid., h. 157-158.
22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 143.
23
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, h.
160. 24
Ibid., h. 180.
13
tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis.25 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun2012.
E. Review Kajian Terdahulu Banyak
ahli-ahli
yang
membahas
tentang
kedaulatan
rakyat,
diantaranya ialah Sri Edi Swasno (Pembangunan BerwawasanSejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi, Dan Demokrasi Politik) dan Bagar Manan (Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, Dan Negara Hukum). Selain itu banyak pula sarjana-sarjana yang menulis skripsi tentang kedaulatan rakyat ini, seperti Herni Lestari, Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Politik Islam Dan Politik Indonesia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004) dan Nurul Ghazy, Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2009). Namun penulis menganggap bahwa skripsi ini unik daripada yang lain, karena selain membahas tentang teori-teori tentang demokrasi, pemilu, dan partai politik, serta konsep kedaulatan rakyat dalam perspektif Islam. Selain
25
Ibid., h. 181.
14
itu juga skripsi ini berusaha untuk menggali konsep dan pelaksanaan kedaulatan rakyat bangsa Indonesia berdasarkan sejarah. Oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat melengkapi pustaka-pustaka ilmu hukum Kelembagaan Negara.
F. Sistematika Penelitian: Bab I:
berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review kajian terdahulu, dan sistematika penelitian.
Bab II:
berisi pengertian kedaulatan rakyat, pengertian partai politik, dan pengertian pemilu.
Bab III:
menguraikan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden serta mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Bab IV:
menguraikan putusan MK terhadap pengujian UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008, dan analisa UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang terdapat dalam UUD 1945.
Bab V
bab ini merupakan bab terakhirdari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran dan kritik yang dianggap perlu pada permasalahan yang diteliti.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDAULATAN RAKYAT, PARTAI POLITIK, DAN PEMILIHAN UMUM
A. Kedaulatan Rakyat 1. Sejarah Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) Dalam perkembangannya, teori kedalatan memiliki beberapa macam antara lain Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Negara, kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat. Di abad 21 ini, Kedaulatan Rakyat yang hampir dipakai oleh seluruh negara-negara di dunia, atau yang lebih dikenal dengan istilah demokrasi. Pada permulaan pertumbuhannya, demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (citystate) Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 sebelum masehi merupakan demokrasi langsung, yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. 26 Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi berkuasa, yang dikatakan oleh suku bangsa
26
Ni’matul Huda, Ilmu Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 197.
15
16
Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan dari tahun 6001400. Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan, demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta 1215. Sebelum abad pertengahan berakhir, di Eropa Barat , pada permulaan abad ke-16, muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern, menyebabkan Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural dalam rangka mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman
yang
lebih
modern
dengan
keyakinan
bahwa
akal
dapat
memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissnce (1350-1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan, seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesuastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandang baru. Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul, menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan kereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk
17
dogma maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya dibidang pemerintahan. Ini dinamakan pemisahan antara gereja dan negara. Kedua aliran pikiran tersebut, mempersiapkan orang Eropa Barat pada masa 1650-1800 menyelami masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata.27 Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluasakan gagasan ini dibidang politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas. Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep “Hak Suci Raja” (Divine Right of Kings). Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya. 27
238-241.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.
18
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universil. Kontrak sosial beranggapan bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana dimana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya dengan aman. Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, pada akhir abad ke 19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage)28 Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi kearah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan dan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan “pisau” demokrasi dan HAM sebagai instrument perjuangan yang efektif dan membebaskan.29 2.
Pengertian Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan adalah sebuah istilah hukum yang sangat dalam dan jauh arti maknanya, walaupun mempunyai perbatasan yang tegas bagi para ahli
28
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 55-56. 29
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 533.
19
hokum internasional.30 Sifat khusus pada suatu negara yang membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undang-undang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan. Kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan.31 Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara. Sifat-sifat kedaulatan itu tunggal, asli, dan tidak terbagi. 32Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan menimbulkan percekcokan dalam suatu negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang akan menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat.33 Secara internal, istilah ini bermakna supermasi seseorang atau sekumpulan orang didalam negara atas individu-individu atau perkumpulan individu dalam wilayah yuridiksinya. Secara eksternal, berarti independensi mutlak satu negara sebagai suatu keseluruhan dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya. Secara etimologi, kata kedaulatan berarti superiritas belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti khusus.34 Menurut
Locke:
“Negara
diciptakan
karena
suatu
perjanjian
kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup, 30
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Ketiga (Jakarta: Siguntang, 1960), h. 893. 31
C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), h. 8. 32
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 69.
33
Tan Malaka, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi Politik (Jakarta: Marjin Kiri, 1987), h. 12. 34
C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, h. 9.
20
dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari dalam maupun bahayabahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya.”35 Teori kedaulatan rakyat ini antara lain juga diikuti oleh Immanuel Kant, yaitu yang mengatakan bahwa tujuan Negara itu adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warga negaranya.36 Kedaulatan rakyat dapat diartikan dua macam: a. Kedaulatan rakyat dalam arti: rakyatlah yang diangap menjadi sumber atau asal segala kekuasaan dalam negara. Segala hokum dan peraturan yang diciptakan oleh rakyat harus ditaati lebih dari hokum atau peraturan manapun juga, lebih dari hukum yang diperintahkan oleh Tuhan sekalipun. Dalam hal ini berlakulah semboyan: “suara rakyat suara Tuhan”. b. Kedaulatan rakyat dalam arti: rakyat merupakan tempat kekuasaan yang tertinggi, kekuasaan mana sebenarnya karunia Tuhan. Karena souvereiniteit menurut paham ini karunia Tuhan, maka kebenaran hokum rakyat wajib diukur (diselaraskan) dengan kehendak Tuhan.37 3. Konsep Demokrasi Ada bermacam-macam istilah demokrasi. Semua konsep ini memakai itilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau 35
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, h. 189.
36
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), h. 161.
37
Notohamidjojo, Teras Tatanegara (Solo: Sadu Budi, 1956), h. 5
21
“goverment or rule by the people”. (Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/ berkuasa).38 Tokoh yang menjadi bapak dari ajaran ini adalah J. J. Rousseau. Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah ataupun lembaga perwakilan. Apabila pemerintah tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak untuk mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut dengan volonte generale oleh Rousseau.39 Kemauan bersama (volonte generale) ini, sebagai suatu kualitas. Kemauan bersama senantiasa bertujuan kebaikan dan kepentingan bersama, ia senantiasa benar dan adil. Ia akan mengalahkan kepentingan diri, yang menurut pendapat Rousseau memang tidak akan muncul apabila manusia itu dibiarkan berpikir sendiri tanpa dipengaruhi oleh bisikan dan hasutan dari luar. Kemauan bersama, katanya, tidak sama dengan kemauan semua sekutu (volonte des tous), ini termasuk dalam lingkungan kuantitas, yakni berupa jumlah dari kemauan-kemauan yang ada. Kemauan bersama, adalah pemegang kedaulatan yang tidak terbatas, tidak dapat diserahkan dan tidak dapat pula dibagi-bagi. Kedaulatan terletak pada pihak yang memerlukan kemauan bersama, jadi rakyat keseluruhan. Kemauan bersama juga
38
39
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 50.
Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The State (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2012), h. 5.
22
merupakan sumber hukum yang senantiasa harus didasarkan pada “bersamanya” bukan diuntukkan bagi seseorang atau segolongan.40 Oleh karena negara untuk kepentingan bersama, maka menurut Montesquieu kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan.41 Salah satu konsep demokrasi yang kita kenal ialah demokrasi konstitusional. Demokrasi Konstitusional sendiri memiliki ciri tersendiri, yaitu terbatasnya kekuasaan pemerintah serta tidak dibenarkannya tindakan sewenang-wenang pemerintah kepada masyarakat. Kedua hal itu termaktub secara gambling dalam konstitusi, yang menjadi acuan bagi pemerintah. Ciri tersebut memiliki nafas yang sama dengan pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung akan menyalah-gunakannya, dan apabila manusia memiliki kekuasaan yang absolute atau tidak terbatas, tentunya akan disalah gunakan). Pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu lembaga atau individu, dalam prakteknya di Indonesia dapat dilihat melalui tiga lembaga Negara utama yang berperan dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu eksekutif (presiden), legislatif (DPR) serta yudikatif (MA). Sama halnya dengan sang induk, demokrasi konstitusional juga berkembang merespon pada tuntutan zamannya. Setelah pada abad 19 menitik
beratkan
pada
penegakan
hokum
serta
HAM,
dalam
40
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Ideologi, Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 155. 41
C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Ilmu Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 160.
23
perkembangannya dewasa ini, terdapat syarat-syarat bagi penyelenggaraan demokrasi konstitusional, yaitu: a.
Perlindungan konstitusionil, yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak individu serta prosedur untuk memperoleh perlindung tersebut.
b.
Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c.
Pemilihan umum yang bebas.
d.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e.
Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
f.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education).42
Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah : a.
Gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap negaranya.
b.
Pembatasan tercantum dalam konstitusi.
c.
Disebut “constitutional government“
Konsep demokrasi konstitusional memiliki tiga aspek utama, yaitu penataan lembaga negara, proses legislasi, dan judicial review. Aspek pertama, penataan lembaga negara merupakan hal penting karena lembaga negara ini yang menjalankan kekuasaan negara. Prinsip pembagian kekuasaan (division of powers) yang semula diagungkan diganti
42
B. Harimurti, “Sistem Pemerintahan Indonesia-Demokrasi Konstitusional”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://www.koranpagi.com/sistem-pemerintahanindonesia/
24
pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip checks and balances. Perubahan signifikan dengan meninggalkan doktrin supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi.Pemisahan kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang berpeluang disalahgunakan. Prinsip checks and balances ditandai fungsi legislasi di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (dan Dewan Perwakilan Daerah), tetapi presiden masih memiliki hak mengajukan rancangan undang-undang, membahas, dan memberikan persetujuan. Kekuasaan legislasi juga dikontrol dan diimbangi Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas undang-undang (judicial review). Begitu pula kekuasaan eksekutif dikontrol dengan fungsi pengawasan DPR dan DPD. Prinsip ini melengkapi doktrin pemisahan kekuasaan dengan kelemahan tidak mungkin kekuasaan mutlak diisi orang-orang dan fungsi yang murni berbeda dan terpisah.Tetapi, pemisahan kekuasaan ini bukan tanpa masalah. Janedjri menyatakan, bisa muncul ketegangan yang mengganggu fungsi masing-masing lembaga negara karena beda tafsir atas kekuasaan masingmasing dan personifikasi lembaga dengan pribadi pejabat. Hubungan tidak sehat manakala melibatkan hubungan emosional. Aspek kedua, yaitu pembuatan hukum melalui proses legislasi. Pembentukan hukum harus dilakukan melalui mekanisme demokratis dan cerminan ideal dan kebutuhan masyarakat. Hak-hak konstitusional, termasuk hak-hak masyarakat hukum adat, tidak boleh dilanggar norma yang hierarkinya lebih rendah karena konstitusi akan turun derajat tertingginya.
25
Selain itu, Janedjri juga mengulas secara mendalam prasyarat demokratisasi pembentukan undang-undang agar terpenuhi yaitu dengan ada keterbukaan, forum publik, dan partisipasi dari masyarakat. Aspek ketiga yaitu judicial review. Mekanisme ini penegasan prinsip checks and balances, memperkuat negara demokrasi konstitusional, dan mengawal konstitusi sebagai supreme law dan menjaga konstitusi agar hidup.43 Carol C. Gould mengklasifikasikan demokrasi dalam tiga model, yaitu (1) model individualisme liberal, (2) model pluralis, dan (3) model sosialisme holistik. Teori model demokrasi model individualisme liberal menjeaskan demokrasi sebagai pelindung orang dari kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, dan mendudukan pemerintah sebagai pelindung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan. Model demokrasi ini menginginkan kesamaan universal bagi seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai oleh one man one vote. Teori model pluralis merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang menekankan kepentingan pribadi individu-individu yang saling lepas. Dalam hal ini pluralisme memusatkan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai agregasi dari kepentingan individual, dan pemunculannya akan mengakibatkan konflik dalam proses politik. Sehingga demokrasi politik
43
Flory Kresinda Sonnie, “Konsep Demokrasi dan Demokrasi Konstitusional Indonesia”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://konsepdemokrasi.blogspot.com/2012/03/konsep-demokrasi.html
26
ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi konflik (kompetisi) itu untuk memperoleh keseimbangan sosial. Menurut teori ini demokrasi politik memaksimumkan terwakilinya individu-individu yang kepentingannya mungkin tidak akan diwakili secara memadai oleh kekuasaan kelompok tempat ia bergabung. Teori ini juga menyatakan bahwa pluralisme melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan alternatifalternatif politik yang mampu mewakili pluralitas kelompok kepentingan (interest group) ataupun partai. Struktur politik yang diciptakannya adalah menutup kemungkinan hegemoni dari suatu kelompok atau partai tunggal. Model pandangan ketiga, sosialisme holistik, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan demokrasi ekonomi dan muncul untuk menanggapi ditolaknya kenyataan hubungan sosial dan ekonomi yang dilontarkan oleh individualisme liberal.44
B. Partai Politik 1.
Sejarah Partai Politik Partai politik pertama lahir dinegara-negara Eropa Barat. Dengan
meluasnya
gagasan
bahwa
rakyat
merupakan
faktor
yang
perlu
diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang
44
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 60-62.
27
sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.45 Di negara-negara yang menganut paham paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elit politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik.46 Pada permulaan perkembangannya di negara-negara Barat seperti, Inggris, Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompokkelompok politik dalam parlemen. Kegiatan-ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan dengan terbentuknya panitia-pantia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh karena di rasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa, dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlemen dengan panitia pemilihan yang memiliki paham dan kepentingan yang sama, dan 45
46
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia (Yogyakarta: Graha ilmu, 2007), h. 101. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 159-160.
28
lahirlah partai politik. Partai politik semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam masa antara kedua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat partai lindungan (patronage party) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat. 47 Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa Barat, timbul pula partai yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih terpusat.48 Dinegara-negara jajahan partai-partai politik sering didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar DPR kolonial. Malahan partai-partai kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan legislatif, seperti yang terjadi di India dan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa, serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai.49 2.
Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh
47
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 101-102.
48
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 160.
49
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 102.
29
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki.50 Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dibawah ini disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik: a) Carl J. Friedrich: Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya
dan
berdasarkan
penguasaan
ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil. b) R. H. Soltau: Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka
50
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 160-161.
30
c) Sigmund Neumann: Partai Politik adalah dari aktivis-aktivia politik yang berusaha untuk menguasai pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. 3.
Tujuan Partai Politik Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
tujuan partai politik dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum partai politik adalah: a) Mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Menjaga dan memeihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. c) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan. d) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus partai Politik adalah: a) Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. b) Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan.
31
c) Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4.
Fungsi Partai Politik Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
partai politik memiliki fungsi antara lain: a) Pendidikan bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. b) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. c) Penyerap,
penghimpun,
dan
penyalur
aspirasi
politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. d) Partisipasi politik warga negara indonesia, dan. e) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme
demokrasi
dengan
memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender. Menurut A. Rahman H. I., fungsi partai politik adalah meliputi: a) Sosialisasi politik b) Partisipasi politik c) Komunikasi politik d) Artikulasi kepentingan e) Agregasi kepentingan
32
f) Pembuatan kebijaksanaan51 Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, partai politik di dalam negara demokratis menyelenggarakan beberapa fungsi, antara lain: a) Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai politik menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. b) Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Adalah fungsi sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana dia berada. Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. c) Partai politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakatuntuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. d) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat adalah wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.
51
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 103-104.
33
5.
Klasifikasi Partai Klasifikasi partai dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bila dilihat
dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: a) Partai Massa. Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu ia biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan kabur. b) Partai kader Partai kader mementingkan ketaatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadp calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang ditetapkan.52 Klasifikasi lainnya menurut sifat dan orientasi, partai politik dapat dibagi dalam dua jenis: a) Partai Lindungan (Patronage Party). Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasi ditingkat lokal cukup ketat), disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan
52
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 166.
34
pemungutan iuran secara teratur. Maksud utamanya ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan umum. b) Partai Ideologi. Partai
ideologi
Komunisme, pandangan
atau
partai
azas
Kristen-Demokrat) hidup
yang
(Sosialisme, biasanya
digariskan
dalam
Fasisme,
mempunyai kebijaksanaan
pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.
Terhadap
calon
anggota
diadakan
saringan,
sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap percobaan. Untuk memperkuat ikatan bathin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaranajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.53 Klasifikasi partai politik menurut jumlah sistem partai yang ada dalam suatu negara. Klasifikasi ini antara lain: a) Sistem Partai Tunggal. Sistem satu partai atau sistem partai tunggal tidaklah layak disebut sebagai “sistem” karena ia bukanlah kumpulan atau unsur yang saling berhubungan karena tidak ada yang bersaing
53
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 105.
35
dalam sistem kepartaian tersebut. Bentuk partai tunggal identik dengan
sistem
politik
totaliter
dan/atau
sistem
politik
komunisme. b) Sistem Partai Hegemonik. Agak berbeda dengan bentuk kepartaian tunggal, sistem partai hegemonik hegemonik memberi ruang bagi partai-partai lain untuk turut terlibat dalam konstelasi pemilihan umum dalam sebuah sistem kepartaian. Namun tidak ubahnya dengan bentuk partai tunggal, sistem partai hegemonik ternyata hanya menyediakan ruang pengakuan bagi partai besar dukungan pemerintah. Artinya, partai-partai politik lain yang terlibat dalam sistem kepartaian hanya dijadikan legitimasi formal pemerintah dalam rangka kebutuhan politik internasional rezim yang berkuasa agar disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. c) Sistem Dua Partai. Sistem kepartaian ini menyediakan ruang bagi dua partai untuk bersaing
guna
mendapatkan
dan/atau
mempertahankan
otoritasnya dalam suatu sistem politik. Dalam sistem ini terbangun secara pasti antara partai berkuasa dengan partai oposisi. Partai politik yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum secara otomatis menjadi partai berkuasa selama waktu yang ditetapkan oleh konstitusi. Sedangkan partai
36
yang kalah menjadi partai oposisi yang memberikan antitesisi atau counterpart pada setiap kebijakan dan/atau keputusan politik yang dihasilkan oleh pemerintah. d) Sistem Multi Partai. Sistem multi partai adalah sistem kepartaian yang terdiri atas dua atau lebih partai politik yang dominan. Sistem multi partai merupakan produk dari struktur masyarakat yang pluralis, heterogen, serta majemuk.54
C. Pemilihan Umum 1. Definisi Pemilihan Umum Menurut Dr. Indria Samego, pemilihan umum disebut juga dengan “Political Market”. Artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/ masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktifitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual, serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, azas, ideologi serta janjijanji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan 54
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2007), h. 114-118.
37
dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.55 Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Tujuan Pemilihan Umum Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada empat, yaitu: a) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai. b) Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan. c) Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, dan. d) Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.56 3. Azas Pemilihan Umum Azas Pemilu yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu: 55
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 147.
56
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 424.
38
a) Langsung Artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. b) Umum Artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi. c) Bebas Artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, atau paksaan dari siapapun atau dengan apapun. d) Rahasia Artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya. e) Jujur Semua pihak yang terlibat dalam pemilu harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f) Adil Setiap pemilihan dan parpol peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
39
4. Sistem Pemilihan Umum Sistem pemilu berbeda satu sama lain, tergantung darimana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu
yang bebas untuk menentukan
pilihannya, dan sekaligus
mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya dilembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu antara sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis. Sementara itu dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendikiawan), lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompokkelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan
40
itulah yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan perwakilan masyarakat.57 Sistem yang lebih umum, yaitu sistem pemilihan mekanis, sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara, yaitu: a) Single-Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut Sistem Distrik). b) Multi-Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang).58 Sistem yang pertama, sistem distrik. Dinamakan demikian karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau dapil yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan yang diperlukan dipilih,59
dan hanya mempunyai satu wakil dalam lembaga perwakilan.
Calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara terbanyak menang,
sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi.60 Sementara itu, pada sistem yang kedua, yaitu sistem perwakilan berimbang atau perwakilan proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya, 57
Ibid., h. 421-422.
58
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 151.
59
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 424.
60
A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 151.
41
jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilu tercatat ada 1.000.000 orang. Jumlah kursi di lembaga perwakilan yang ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan jumlah suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum.61 5. Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Presiden di Indonesia Indonesia pernah mengalami beberapa metoda dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Jika dilihat dari metoda yang digunakan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pemilihan langsung dan pemilihan tak langsung. Menurut teori, pengisian jabatan Presiden dapat dibedakan menjadi dua cara utama, yaitu: a) Pemilihan langsung (popular vote). Rakyat secara langsung memilih calon-calon Presiden yang diajukan atau memajukan diri dalam pemilihan. b) Pemilihan tidak langsung (indirect popular vote). Pemilihan tidak langsung dapat dibedakan antara:
Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat seperti Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden dipilih oleh badan atau lembaga pemilih (electoral college) yang sengaja “dibentuk” melalui pemilihan langsung oleh rakyat untuk setiap kali pemilihan Presiden.
61
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 425.
42
Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat bersamasama dengan badan perwakilan rakyat negara bagian.
Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat dan oleh anggota-anggota yang khusus dipilih badan perwakilan rakyat negara bagian.62
I.
Pemilihan Presiden Langsung
Setelah Amandemen UUD 1945 selesai dilaksanakan maka tuntutan akan pemilihan umum Presiden secara langsung dapat terrealisir. Ini disebabkan karena Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.63
62
Jimly Asshiddiqie, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 36-37. 63
Aris Sutanto, “Pemilihan Presiden Secara Langsung”, artikel diakses pada 22 November 2013 dari http://arissutanto.blogspot.com/2009/03/pemilihan-presiden-secaralangsung_29.html
43
II.
Pemilihan Presiden Tidak Langsung
Pemilihan Presiden secara Tidak Langsung pernah dilakukan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan, khususnya terjadi pada masa Orde Baru. Pada Masa Orde Baru Pemilihan Presiden dilaksanakan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Proses Pemilu secara tidak langsung terjadi karena, MPR yang berisikan DPR dan Utusan dari daerah-daerah serta utusan dari golongan-golongan, DPR dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Namun sayangnya pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, sebagian besar anggota MPR ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden, sehingga memungkinkan Soeharto menjabat presiden berulang kali.
BAB III PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008
A. Persyaratan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden antara lain: 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. 3) Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. 4) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 5) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6) Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara. 7) Tidak sedang memilik tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. 8) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan .
44
45
9) Tidak pernah melakukan perbuatan tercela 10) Terdaftar sebagai pemilih. 11) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. 12) Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. 13) Setia kepada pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. 14) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 15) Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. 16) Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. 17) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.
46
18) Memiliki
visi
misi
dan
program
dalam
melaksanakan
pemerintahan negara Republik Indonesia. Lalu menurut Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2008, calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Jika calon presiden atau Wakil Presiden itu adalah pejabat negara, maka menurut pasal 6 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008, bahwa Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Kemudian bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut mendaftarkan diri dengan melengkapi persyaratan, antara lain: 1) Kartu tanda penduduk dan akta kelahiran Warga Negara Indonesia. 2) Surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3) Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk oleh KPU. 4) Surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 5) Surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri.
47
6) Fotokopi NPWP dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir. 7) Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon. 8) Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. 9) Surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10) Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilam yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap karena telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidan penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 11) Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang di legalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah. 12) Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G30S/PKI dari kepolisian.
48
13) Surat pernyataan bermaterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan.
B. Mekanisme Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Yang Diatur Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tatacara atau prosedur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen IV, yaitu:64 1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat 1), setelah amandemen III. 2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pasal 6A ayat 2), setelah amandemen III. 3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6A ayat 3), setelah amandemen III. 4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara 64
Irzu Muhammad, “Mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://id.shvoong.com/social-sciences/politicalsciences/2242883-mekanisme-pemilihan -presiden-dan wakil/#ixzz2gkhrQcEB.
49
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.(pasal 6A ayat 4), setelah mandemen IV. 5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang (pasal 6A ayat 5), setelah amandemen III. 6) Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanyauntuk satu kali masa jabatan (pasal 7), setelah amandemen I. 7) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut. 8) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan dengan
sungguh-sungguh
dihadapan
pimpinan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. (pasal 9 ayat 2), setelah amandemen I. Sedangkan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lebih rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, antara lain:
50
1) Pendaftaran bakal pasangan calon. Pendaftaran bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (pasal 13 ayat 1) 2) Verifikasi bakal pasangan calon. KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administratif bakal pasangan calon paling lama 4 (empat) hari sejak diterimanya surat pencalonan (pasal 16 ayat 1). KPU memberitahukan secara tertulis hasil verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung dan pasangan calon pada har kelima sejak diterimanya surat pencalonan. (pasal 16 ayat 2). Dalam hal persyaratan administratif bakal pasangan calon sebagaimana dimaksud didalam pasal 14 dan pasal 15 belum lengkap, KPU memberikan kesempatan kepada pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung dan/atau bakal pasangan calon untuk memperbaiki dan/atau melengkapi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan hasil verifikasi dari KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) (pasal 17 ayat 1). Dalam hal bakal pasangan calon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan pasal 15, KPU
51
meminta kepada Partai Politik dan/atau gabungan partai politik yang bersangkutan untuk menguslkan bakal pasangan calon yang baru sebagai pengganti (pasal 18 ayat 1). 3) Penetapan dan pengumuman pasangan calon. KPU menetapkan dalam sidang pleno KPU tertutup dan mengumumkan
nama-nama
pasangan
calon
yang
telah
memenuhi syarat sebagai peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden, 1 (satu) hari setelah selesai verifikasi (pasal 21 ayat 1). Penetapan nomor urut pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri seluruh pasangan calon, 1 (satu) hari setelah penetapan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (pasal 21 ayat 2). KPU mengumumkan secara luas nama-nama dan nomor urut pasangan calon setelah sideng pleno KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (pasal 21 ayat 3). 4) Kampanye. Kampanye dilakukan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis serta bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat (pasal 33). 5) Debat pasangan calon. Debat paasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan langsung secara nasionalal oleh media elektronik (pasal 39 ayat 2).
52
6) Pemungutan suara. Pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (pasal 112). 7) Perhitungan suara. Perhitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara berakhir (pasal 132 ayat 1). Perhitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara (pasal 132 ayat 2). 8) Penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden. KPU menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang Pleno terbuka dihadiri oleh pasangan calon dan Bawaslu (pasal 158 ayat 1). Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari pemungutan suara (pasal 158 ayat 2). 9) Penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Pasangan
calon
terpilih
adalah
pasangan
calon
yang
memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang
53
tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia (pasal 159 ayat 1). Dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pasal 159 ayat 2). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pasal 159 ayat 3). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang (pasal 159 ayat 4). Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama di peroleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya
dilakukan
berdasarkan
persebaran
wilayah
perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang (pasal 159 ayat 5). 10) Pelantikan Pasangan calon terpilih dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR (pasal161 ayat 1). Dalam hal calon Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, calon
54
Presiden terpilih dilantik menjadi Presiden (pasal 161 ayat 2). Dalam hal calon Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan,calon Wakil Presiden yang terpilih dilantik menjadi Presiden (pasal 161 ayat 3).
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT YANG TERMAKTUB DI DALAM UNDANGUNDANG DASAR 1945
A. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung Melalui Pemilu. Jika Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dikaitkan dengan pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu kesatuan paket pasangan yang dipilih langsung oleh rakyat65, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 itu tidak bertentangan dengan klausul UUD tersebut. Namun jika kita mengarah kepada pembukaan UUD 1945, maka akan ditemukan kejanggalan terhadap pemilihan presiden secara langsung ini. Dalam mukadimah alina IV dapat dibaca kalimat: suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada (sila yang lima).66 Dimana salah satu sila-nya berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” Untuk mengetahui pertentangan yang ada diantara Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap pembukaan UUD 1945 serta makna dari 65
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 27 66
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Kedua (Jakarta: Siguntang, 1960), h. 83.
55
56
pembukaan UUD itu, maka pandangan para penyusun UUD 1945 dan para pejuang kemerdekaan dapat dikatakan relevan dan dapat dipakai untuk menyelidiki makna dari kedaulatan rakyat yang termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 tersebut karena pembukaan UUD 1945 belum tersentuh perubahan sama sekali. Sejarah kedaulatan di tanah Indonesia tidaklah sama dengan sejarah kedaulatan ditanah Barat.67Para penyusun UUD 1945 membuat sistem pemerintahan sendiri.Beliau-beliau mendapat ilham dari Inggris yang mempunyai lembaga tertinggi, yang “supreme” tempat kedaulatan rakyat (locus of souverignty) berada.68 Perbedaan Kedaulatan Rakyat Indonesia dengan Kedaulatan Rakyat yang lahir di Eropa Barat berdasarkan sejarah yang berbeda ditegaskan oleh Moh. Hatta sebagai berikut: “Dalam memperluas itu kita sampai kita kepada teori Kedaulatan Rakyat!
Ini
bukan
satu
barang
import,
satu
tiruan
dari
volkssouvereiniteit, yang berkembang di Eropa Barat, yang berdasar Individualisme.69”
67
Ibid., h. 88.
68
RM. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), h.38 69
Yayasan Hatta. Daulat Ra’jat: Buku 1 Tahun 1931-1932 (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002), h. 98.
57
Pendapat yang serupapun, perbedaan yang terdapat didalam kedaulatan rakyat Indonesia dan Kedaulatan Rakyat negara lain dinyatakan oleh Bung Karno bahwa: “Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partaipartai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan paham dan cara pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya jangan meniru saja “demokrasi-demokrasi” yang kini dipraktekkan di dunia luaran.70” Perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan sejarah itu, menyebabkan perbedaan sifat, watak dan cita-cita yang sangat mempengaruhi prinsip Kedaulatan Rakyat yang ada di Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Moh, Hatta: “Apalagi bagi kaum tani yang turun temurun hidup di desanya.Cita-cita Kedaulatan Rakyat mudah sekali masuk kedalam otak mereka, karena merupai pergaulan hidup yang asli, yang dapat diketahui mereka daripada cerita dari mulut ke mulut. Pergaulan Collectivisme, suatu kelanjutan yang mestinya dari pada Kedaulatan Rakyat, masih tinggal jadi darah daging kaum tani, yang belum dipengaruhioleh semangat Geldwirtschat.71”
70
Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965), h. 171 71
Yayasan Hatta. Daulat Ra’jat: Buku 2 Tahun 1933-1934 (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002), h. 89.
58
Sedangkan Kedaulatan rakyat yang ada di Eropa Barat itu sangat besifat Individualisme, ini semua disebabkan oleh karena seperti yang di terangkan oleh Tan Malaka: “Kalau kita pikir lagi, bahwa anggota-anggota Dewan itu asalnya dari golongan yang tinggi yang tiada campur dengan orang banyak, tiada merasa susahnya si Kromo (orang kecil), tiadalah kita sia-sia mengatakan yang anggota Dewan bukan wakil rakyat dan tiadalah kita heran, kalau keperluan mereka itu berlawanan dengan keperluan rakyat.72” Selain itu perbedaan yang mendasar antara Kedaulatan Rakyat Indonesia dengan Kedaulatan Rakyat di negara lain, adalah sebagai berikut, seperti yang dinyatakan oleh Sukarno: Demokrasi kita bukanlah demokrasi adu suara dalam pemungutan, bukan tempat untuk mencari popularitas dikalangan masyarakat, bukan alat untuk memperkuda rakyat untuk kepentingan seseorang atau sesuatu partai. Demokrasi mengajak kita semua dan member kesempatan kepada kita semua untuk bermusyawarah atas dasar terang gamblang yaitu bagaimana melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, bagaimana
memperbaiki
nasib
penghidupan
rakyat
sehari-hari,
bagaimana memberikan Harapan dan nanti Kenyataan kepada rakyat tentang nasib bahagia di kemudian hari.73
72
73
Tan Malaka.Parlemen atau Soviet? (Jakarta: Yayasan Massa, 1987), h. 12
Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi Jilid Kedua (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965), h. 464
59
Oleh karena hasrat adu suara untuk merebut kekuasan dan mencari popularitas itulah itulah, sehingga Kedaulatan Rakyat bergeser menjadi Kedaulatan Partai.Partai dijadikan tujuan dan Negara menjadi alatnya.74 Sebagai
falsafah
bangsa,
Pancasila
adalah
merupakan
sikap
keberpihakan Bangsa Indonesia di dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mendekatkan kebenaran relatif terhadap kebenaran absolutnya. Kebenaran relatif ini adalah suatu kebenaran yang berasal dari proses ikhtiar atas pekerjaan yang dikerjakan. Sedangkan, kebenaran absolut adalah kebenaran yang telah ditetapkan dan berasal dari Allah SWT.75 Moral Pancasila, dalam arti kata yang mengharuskan kita untuk dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan yang dikuasakan oleh Rakyat dan Negara kita, maupun sebagai rakyat biasa selalu bersedia mempertanggung jawabkan tingkah laku dan sikap tindakan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa; selalu menempuh cara-cara perikemanusiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat dengan Rakyat kita; dan selalu memusatkan usaha ikhtiar dan daya upaya kita kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan dibidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan Jiwa Bangsa Indonesia.76
74
Mohammad Hatta. Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, 1966), h. 15. Agus Kodri, “Pancasila Sebagai Dasar Indonesia Merdeka”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/03/12/pancasila-sebagaidasar-indonesia-merdeka/ 75
76
Roeslan Abdulgani. Penjelasan Manipol dan Usdek (Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1960), h. 55.
60
Musyawarah
dan
demokrasi
adalah
merupakan
dua
metoda
penyelesaian masalah kehidupan dunia yang berbeda.Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan sesuatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan.77Musyawarah menghasilkan suatu keputusan yang disebut mufakat. Sedangkan, demokrasi menghasilkan suatu keputusan yang disebut penetapan pihak yang memenangkan pemilihan yang dilaksanakan. Mufakat sebagai hasil keputusan musyawarah merupakan hasil dari suatu proses pengajuan dasar-dasar pemikiran pemecahan masalah yang disepakati dan ditetapkan secara bersama di dalam suatu Lembaga/Majelis terhadap suatu persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, proses demokrasi selalu menetapkan pihak pemenang melalui penghitungan suara sebagai dasar keputusan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi kepanitiaan yang melaksanakan pemilihan. Oleh karena itu, proses musyawarah adalah lebih cenderung pada penggunaan hak bicara bukan hak suara. Sehingga, musyawarah akan lebih mengandalkan kepada kemampuan keilmuan seseorang atas persoalan yang akan dipecahkan, dan prosesnya akan mencerdaskan hadirin yang hadir terlibat.78Dalam menetapkan dan mencari jalan keluar dari masalah-masalah
77
Syaiful Bakhri, Ilmu Negara: Dalam Konteks Negara Hukum Modern (Yogyakarta: Total Media, 2010), h. 85. 78
Agus Kodri, “Dengan Musyawarah Bukan Dengan Demokrasi membangun Kehidupan Bangsa Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/01/31/17/
61
yang dihadapi itu, kita bermusyawarah, mengikutsertakan semua pihak yang berkepentingan, akan tetapi sekali keputusan bersama diambil berdasarkan hasil musyawarah, maka tidak seorangpun, tidak satu golonganpun boleh ingkar terhadap putusan tadi.79 Adapun proses demokrasi adalah lebih cenderung menggunakan hak suara daripada hak bicara. Sehingga, proses ini akan lebih ditentukan oleh kekuatan ikatan primordial seseorang terhadap seseorang baik secara individu maupun secara kelompok atau organisasi. Sehingga, transfer ilmu pengetahuan sebagai suatu proses pencerdasan bangsa akan sangat lemah terjadi.80 Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa proses musyawarah akan membentuk seseorang lebih menjadi pemimpin, sedangkan proses demokrasi lebih cenderung membentuk seseorang menjadi penguasa. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman bahwa hanya seseorang yang memahami sejarah dan masa depan kehidupan Bangsa dan Negara Republk Indonesia yang layak ditetapkan untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Ini hasil dari proses musyawarah. Tetapi, proses demokrasi lebih memaksakan seseorang menduduki suatu jabatan tertentu tanpa melihat kemampuan atau kapasitas keilmuan orang yang dicalonkan tersebut.81
79
Krissantono, Ed. Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1976), h. 61 80
81
Agus Kodri, “Dengan Musyawarah Bukan Dengan Demokrasi”.
Ibid.
62
Menurut
Muhammad
Yamin,
adat
tiga
hal
didalam
dasar
permusyawaratan itu meberi kemajuan pada ummat yang hidup dalam negara dilindungi oleh kebesaran Ketuhanan: 1) Karena
dengan
dasar
musyawarat
itu
manusia
memperhalus perjuangannya dan bekerja diatas jalan Ketuhanan
dengan
membuka
pikiran
dalam
permusyawaratan sesama manusia. 2) Oleh permusyawaratan, maka negara tidaklah dipikul oleh seorang manusia atau pikiran yang berputar dalam otak sebuah kepala, melainkan dipangku oleh segala golongan, sehingga negara tidak berpusing disekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai
suatu
mengerjakan
batang kewajiban
tubuh, atas
yang
satu-satu
permufakatan
cel yang
menimbulkan perlainan atau perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan. 3) Permusyawaratan
mengecilkan
atau
menghilangkan
kekhilafan pendirian atau kelakuan orang seorang, permusyawaratan membawa negara kepada tindakan yang betul segala kesesatan.82
82
Muhammad Yamin,Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Pertama (Jakarta: Siguntang, 1971), h. 85.
63
Dalam
Al-Quran
beberapa
ayat
yang
menggariskan
prinsip
musyawarah. Salah satunya terdapat dalam surat Asy-Syura/42:38: “adapun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. Ayat ini menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan dengan para sahabatnya.83 Prinsip musyawarah-pun diterangkan pula di surat lain, yaitu seperti surat Ali Imran ayat 159, sebagai berikut:
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka,
mohonkanlah
ampun
bagi
mereka,
dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
83
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Diihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Kencana, 2007), h. 111.
64
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.
Dalam ajaran Al-Quran, dilihat dari hasil dan daya ikat keputusannya, “musyawarah” ada dua macam; Pertama musyawarah yang hasilnya bersifat mengikat (mulzimah) atas para pihak yang terlibat, baik langsung dalam proses musyawarah sebagai peserta, maupun secara tidak langsung melalui perwakilannya. Musyawarah katagori ini, sebagaimana dimaksudkan dalam Al-Quran surat Asy-Syura ayat 38 di atas, adalah musyawarah untuk mengambil keputusan bersama diantara pihak yang memiliki kedudukan sosial yang sama atau setara. Kedua, musyawarah yang dimaksudkan untuk mencari masukan/konsultasi dan/atau sosialisasi suatu kebijakan dari seseorang pemimpin dengan staf atau anak buahnya.84 Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa, Bangsa Indonesia terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda di dalam Kongres Pemuda II, yang telah dilaksanakan oleh pemuda-pemuda (yong-yong) yang berasal dari pulau dan kepulauan yang ada di wilayah Indonesia. Kelahiran Bangsa Indonesia adalah merupakan suatu bentuk perjuangan kebangsaan yang dilaksanakan oleh Orang-orang Bangsa Indonesia Asli untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi yang merupakan kelompok masyarakat kelas terbawah.Kelompok kelas masyarakat di atasnya terdiri dari kaum ningrat pribumi dan para pedagang dari Asia Timur, seperti Cina, 84
Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 58-59.
65
India, dan Arab.Adapun kelompok masyarakat kelas teratas adalah bangsa Belanda dan orang-orang bangsa Eropa lainnya.85 Setelah Bangsa Indonesia terlahir, perjuangan kebangsaan berikutnya adalah merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia.Perjuangan ini dilakukan oleh Orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan dibantu oleh bangsa-bangsa asing yang tinggal dan hidup di wilayah Indonesia. Sehingga, setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, atau setelah hampir 17 tahun sejak Bangsa Indonesia terlahir, Negara Republik Indonesia kemudian dibentuk, yaitu tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945.86 Proses Musyawarah-Mufakat telah melahirkan Bangsa Indonesia dan tercapainya kemerdekaan Bangsa Indonesia serta telah membentuk NKRI.Oleh
karena
itu,
Musyawarah-Mufakat
merupakan
Jatidiri
Bangsa.Sehingga,proses Musyawarah-Mufakat harus menjadi metoda yang selalu digunakan di dalam menetapkan kebijakan Bangsa Indonesia dan NKRI.87
85
Agus Kodri, “Hilangnya Pancasila Penyebab Hilangnya Bangsa Indonesia dan Hancurnya NKRI”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 darihttp://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2009/09/28/hilangnya-pancasila-penyebabhilangnya-bangsa-indonesia-dan-hancurnya-nkri/ 86 Ibid. 87
Agus Kodri, “Tumbuhnya Demokrasi Makna Surutnya Kehidupan Bangsa Indonesia dan Terancamnya kesinambungan NKRI”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/03/04/tumbuhnya-demokrasi-makna-surutnyakehidupan-bangsa-indonesia-dan-terancamnya-kesinambungan-nkri/
66
B. Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen Dalam Pemilihan Presiden danWakil Presiden. Serta pasal 6A ayat (2) yang menentukan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentang dengan pasal 6A ayat (1) dan (2) tersebut. Namun jika dikaitkan dengan pasal 27 ayat (1), terlihat pertentangan antara Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dengan pasal 27 ayat (1) dan pembukaan UUD 1945 itu. Didalam pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dapat diikuti oleh partai politik atau orang-orang yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik merupakan bentuk suatu ketidakadilan. Dalam konstitusi itu telah ditetapkan bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang berdulat adalah rakyat. Jadi rakyatlah yang berdaulat, bukan negara, yang berdaulat itu bukan konstitusi karena konstitusi
67
itu dibentuk oleh rakyat yang berdaulat itu. yang berdaulat juga bukan partai, tetapi yang berdaulat adalah rakyat.88 Dari sini, muncullah pendapat perlu dibolehkannya calon Presiden dan Wakil Presiden Independen untuk maju mencalonkan diri, karena publik cukup merindukan tampilnya kandidat presiden yang berasal dari luar partai politik.89 Namun harapan akan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden Independen tidak dibolehkan oleh konstitusi. Sebagian pihak telah mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 ini untuk membolehkan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat memajukan diri, namun Mahkamah tetap tidak menerima dan menolak permohonan selebihnya. Salah satunya ialah Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009, dimana Mahkamah berpendapat, bahwa pembatasan dalam pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat (2) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Majelis menilai ketentuan pasal ini sudah jelas baik secara tekstual maupun dengan penafsiran melalui original intent atau kehendak awal. Berdasarkan original intent, UUD 1945 hanya mengenal adanya pasangan
88
M, Dimyati Hartono, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, dan Konsepsi Nasional (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 73. 89
Zaenal Arifin, “Pemilihan Presiden Langsung Substansi dan Problematikanya”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://www.oocities.org/infopmkri/pilih_presidenlangsung.html
68
calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, ujar Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi. Putusan yang dibuat oleh delapan hakim konstitusi ini tidak bulat. Tiga Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Maruarar menilai bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Ia menjelaskan seharusnya Majelis melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD 1945. Di antaranya adalah hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (3). Tafsir Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengesampingkan pasal-pasal UUD yang disebut di atas, pasti menggambarkan kerancuan berpikir yang tidak logis dalam paham konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara, jelas Maruarar. Sedangkan Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengkritik pendapat koleganya yang hanya menafsirkan secara tekstual Pasal 6A ayat (2). Ia berpendapat untuk menjaga spirit dan moralitas konstitusi, seharusnya konstitusi juga harus dibaca dalam konteks kekinian. Meski ketiga hakim konstitusi mengaku setuju dengan capres independen, namun mereka mengakui capres independen belum bisa
69
diterapkan pada Pemilu 2009. Barangkali pada Pemilu 2014 atau Pemilu 2019 baru dapat diwujudkan, ujar Mukthie. Karenanya, Mukthie menilai seharusnya putusan ini berbunyi conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, pasalpasal yang dimohonkan tetap dinyatakan konstitusional sepanjang memberi ruang bagi calon perseorangan.90
90
Hukum Online.com, “Pemilihan Presiden Langsung Substansi Problematikanya”, artikel diakses pada 22 November 2013 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21216/mk-tolak-permohonan-capresindependen
dan dari
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1. Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang termaktub didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 telah sesuai dengan batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berlaku saat ini, khususnya Pasal 6A ayat (2),Pasal 6A ayat (3),Pasal 6A ayat (4),Pasal 6A ayat (5). Karena pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 merupakan mandat daripada klausul-klausul batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut. 2. Namun terdapat ketidak sesuaian antara Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap prinsip kedaulatan rakyat serta pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut dalam rangka pemilihan Presiden dan Wakil Presidan yang terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan permusyawaratan-perwakilan. Sedangkan di dalam Batang Tubuh
Undang-Undang
Dasar
1945,
dinyatakan
bahwa
pelaksanakan kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Dan 70
71
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan cara pemilihan umum secara langsung, dengan calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.
B.
Saran Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran dan masukan terhadap
proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat agar lebih baik kedepannya nanti. Antara lain: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengkaji kembali UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berlaku saat ini, apakah di dalamnya terdapat pertentangan atau tidak, khususnya tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap prinsip Kedaulatan Rakyat. Jika terdapat pertentangan, Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
segera
mengubah
dan
menetapkan Undang-Undang Dasar sesuai dengan sifat, watak, serta cita-cita Bangsa Indonesia. 2. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya menetapkan peraturan dan perundang-undang tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar yang telah kaji ulang, dirubah, dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatas.
72
3. Pusat-pusat pengkajian melakukan kajian yang lebih dalam lagi terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat yang terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kitab Suci Al Quran B. Buku-Buku Abdulgani, Roeslan. Penjelasan Manipol dan Usdek. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1960. Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Asshiddiqie, Jimly, dkk. Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006. ----------. Komentar Atas Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. ----------. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Sekertaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,2008. ----------. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Diihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2007 Bakhri, Syaiful. Ilmu Negara: Dalam Konteks Negara Hukum Modern. Yogyakarta: Total Media, 2010. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Hamidi, Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of State. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2012
73
74
Hartono, M. Dimyati. Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional. Jakarta: Gramata Publishing, 2010. Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara, 1966. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Ed. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Kansil, C. S. T. dan Kansil, Christine. S. T. Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Krissantono, Ed. Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila. Jakarta: CSIS, 1976. Kusuma, RM. A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009. Mage, Ruslan Ismail. Industri Politik: Strategi Investasi Politik dalam Pasar Demokrasi. Jakarta: RMBOOKS, 2009. Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2012. Malaka, Tan. Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi Politik. Jakarta: Marjin Kiri, 1987. ----------. Parlemenatau Soviet?. Jakarta: Yayasan Massa, 1987. Manan, Bagir, Ed. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, Dan Negara Hukum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. Massardi, Adhie M., dkk.Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul. Jakarta: Republika Penerbit, 2011.
75
Mas’udi, Masdar Farid. Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011. Notohamidjojo. Teras Tatanegara. Solo: Sadu Budi, 1956. Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Palguna, I Dewa Gede.Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Priyono, AE, dkk. Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos, 2007. Rahman H. I., Abdul. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Ravitch, Diane dan Thernstrom, Abigail. Demokrasi: Klasik Dan Modern. Penerjemah Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1983 Soepardo, dkk. Manusia Dan Masyarakat Baru Indonesia: Civics. Jakarta: Departemen P. P. Dan K., 1960. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan (1): Jenis, Fungsi, Materi Muatan. Jakarta: Kanisius, 2007 Strong, C. F. Konstitusi-Konstitusi politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Penerjemah SPA Teamwork. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008. Sukarno. Dibawah Bendera Revolusi Jilid Pertama. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964. ----------. Dibawah Bendera Revolusi Jilid Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965. Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Ideologi, Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
76
Syhuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana, 2011. Triwayuningsih. Pemilihan Presiden Langsung: Dalam Kerangka Negara Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001. Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010. Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Pertama. Jakarta: Siguntang, 1971. ----------. Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Kedua. Jakarta: Siguntang, 1960. ----------. Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Ketiga. Jakarta: Siguntang, 1960. Yayasan Hatta. Daulat Ra’jat: Buku 1 Tahun 1931-1932. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002. ----------. Daulat Ra’jat:Buku 2 Tahun 1933-1934. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002. C. Peraturan Dan Perundang-Undangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-VII/2009 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
77
D. Sumber Internet Arifin, Zaenal. “Pemilihan Presiden Langsung Substansi dan Problematikanya”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://www.oocities.org/infopmkri/pilih_presidenlangsung.html B. Harimurti, “Sistem Pemerintahan Indonesia-Demokrasi Konstitusional”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://www.koranpagi.com/sistempemerintahan-indonesia/ Hukum Online.com. “Pemilihan Presiden Langsung Substansi dan Problematikanya”, artikel diakses pada 22 November 2013 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21216/mk-tolak-permohonancapres-independen Kodri, Agus. “Dengan Musyawarah Bukan Dengan Demokrasi membangun Kehidupan Bangsa Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/01/31/17/ Kodri, Agus. “Hilangnya Pancasila Penyebab Hilangnya Bangsa Indonesia dan Hancurnya NKRI”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 darihttp://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2009/09/28/hilangnya-pancasilapenyebab-hilangnya-bangsa-indonesia-dan-hancurnya-nkri/ Kodri, Agus. “Pancasila Sebagai Dasar Indonesia Merdeka”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/03/12/pancasila-sebagai-dasarindonesia-merdeka/ Kodri, Agus. “Tumbuhnya Demokrasi Makna Surutnya Kehidupan Bangsa Indonesia dan Terancamnya kesinambungan NKRI”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://pejuangtanpaakhir.wordpress.com/2008/03/04/tumbuhnya-demokrasimakna-surutnya-kehidupan-bangsa-indonesia-dan-terancamnyakesinambungan-nkri/ Muhammad, Irzu. “Mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden”, artikel diakses pada 4 oktober 2013 dari http://id.shvoong.com/socialsciences/political-sciences/2242883-mekanisme-pemilihan -presiden-dan wakil/#ixzz2gkhrQcEB.
78
Sonnie, Flory Kresinda, “Konsep Demokrasi dan Demokrasi Konstitusional Indonesia”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://konsepdemokrasi.blogspot.com/2012/03/konsep-demokrasi.html Sutanto, Aris. “Pemilihan Presiden Secara Langsung”, artikel diakses pada 22 November 2013 dari http://arissutanto.blogspot.com/2009/03/pemilihanpresiden-secara-langsung_29.html
PUTUSAN Nomor 26/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
SRI SUDARJO, SPd, S.H.,
Jabatan Presiden Dewan Nasional
Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen Ibu Kota Negara Jalan Percetakan Negara Nomor 91 A Cempaka Putih Jakarta Pusat, Jalan Jati Raya Nomor 8 Jakarta Selatan, dan Jalan Angsoka I Nomor 2 Kelurahan Mataram Barat, Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, berdasarkan Akta Notaris Nomor 34, Edi Hermasyah, S.H., Tahun 2008; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon; [1.3]
Membaca permohonan dari Pemohon; Mendengar keterangan dari Pemohon; Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon;
2. DUDUK PERKARA [2.1]
Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat
permohonan bertanggal 24 Maret 2009 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 April 2008 dengan registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 29 April 2009 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:
2 1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 24C ayat (1) Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003) yang menyatakan, ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutuskan pembubaran partai politik; dan d. memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON 1. Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 memberikan kepada antara lain perseorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Badan Hukum Publik mengajukan permohonan judicial review karena dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sapanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara, 2. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 mengatakan,
”Yang
dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Bahwa Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia yang dirugikan hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 42/2008). Karena dengan disahkannya UU 42/2008 Pemohon
dirugikan
hak-hak
dan/atau
wewenang
konstitusionalnya
sehubungan dengan Pemohon mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia dari jalur independen. Di samping itu Pemohon yang juga perumus,
3 penggagas, dan konseptor judisial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 sebagai yurisprudensi agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagai upaya penghargaan kepada Pemohon. Selain itu juga sebagai terciptanya hubungan korelasi yang positif antara calon Bupati/Walikota, dan calon Gubernur Independen yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka tanggal 23 Juli 2007; 4. Bahwa sebagai yurisprudensi antara Pasal 8 juncto Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 42/2008 dan Pasal 59 (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan keduanya bersumber pada dasar hukum yang sama yaitu Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Hubungan antara pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Pemda dan yang terdapat dalam Undang-Undang Pilpres tersebut tidaklah dapat diposisikan sebagai hubungan antara hukum yang khusus disatu pihak, yaitu Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Pemda dan hukum yang umum dipihak lain yaitu Pasal 8 juncto Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pilpres. Karena ketentuan Pasal 59 (1) huruf b Undang-Undang Pemda bukan keistimewaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena tidak dalam posisi hubungan antara hukum yang khusus dengan hukum yang umum, adanya Pasal 59 (1) huruf b UndangUndang Pemda harus dimaknai sebagai penafsiran baru oleh pembentuk undang-undang terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Apabila kedua ketentuan tersebut berlaku bersama-sama tetapi untuk kekuasaan pemerintahan yang berbeda, maka akan menimbulkan akibat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dualisme tersebut dapat mengakibatkan ketiadaan kedudukan yang sama antara Kepala Daerah dan Kepala Negara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang artinya Kepala Negara memiliki hak konstitusional yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden secara independen oleh karena tidak terdapatnya perlakukan yang sama dalam hukum sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; 5. Bahwa Pemohon harus mendapatkan persamaan hak warga negara dalam pemerintahan sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, dapat dilakukan meski dengan menghapuskan Undang-Undang Pilpres, karena
4 sejatinya independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan bukan pula merupakan suatu tindakan dalam keadaan darurat, untuk itu UU Pilpres harus menyesuaikan perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang itu sendiri yaitu dengan memberi hak kepada calon independen untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah; 6. Bahwa menurut UU 42/2008 dinyatakan dalam konsideran Menimbang huruf b bahwa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas Iangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, sehingga disiratkan mekanisme independen agar dibuka untuk terpenuhinya penyelenggaraan yang demokratis melalui partisipasi rakyat yang seluas-luasnya; 7. Bahwa demokrasi sejatinya identik dengan salah satu aspirasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam setiap keputusan seperti yang diamanatkan oleh demokrasi dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya demokrasi adalah paham kerakyatan yang tanpa diskriminasi atau intervensi yang bermuatan kekuasaan jabatan maupun golongan. Demokrasi tidak boleh hanya sekedar menjadi simbol yang hanya mengeksploitasi kepentingan rakyat dengan memobilisasi rakyat kepada kepentingan sesaat; 8. Bahwa dengan munculnya independen di Pilkada yang mendapat kemenangan mutlak
sebagai
Gubernur/Wakil
Gubernur,
Bupati/Wakil
Bupati,
dan
Walikota/Wakil Walikota telah membuktikan rakyat sangat membutuhkan independen dan tidak percaya lagi dengan partai politik (perusahaan) yang syarat dengan transaksi politik jual-beli. Di samping itu Pemohon secara legal opinion menjabat sebagai Presiden Komite Pemerintah Rakyat Independen sesuai Akte Notaris Nomor 34 Eddy Hermansyah, SH Tahun 2008, yang hakikatnya adalah partai politik peserta Pemilu Presiden; III. ALASAN PERMOHONAN Permohonan pengujian (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu: •
Pasal 1 angka (2): ”Partai adalah Partai Politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat”;
5 •
Pasal 8: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”;
•
Pasal 9: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dan jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
•
Pasal 10 ayat (1): ”Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan”;
•
Pasal 10 ayat (2): ”Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon”;
•
Pasal 10 ayat (3): ”Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka”;
•
Pasal 10 ayat (4): ”Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya”;
•
Pasal 14 ayat (2): “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”;
Bertentangan dengan UUD 1945: Pasal 6A ayat (2): “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Partai yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD1945 dalam arti bahasa berarti kelompok, kumpulan orang (Party/partie, kb. 3 kelompok, kumpulan orang Kamus Indonesia Inggris An English-Indonesia Dictionary Oleh JOHN M. ECHOLS DAN HASSAN SHADILY Penerbit, PT. Gramedia Jakarta), sedangkan Politik dalam arti bahasa berarti bijaksana (Politik/kebijaksana kamus Indonesia Inggris An English-Indonesia Dictionary Oleh JOHN M. ECHOLS DAN HASSAN SHADILY Penerbit PT. Gramedia Jakarta). Jadi
6 apabila digabungkan Partai Politik, dalam arti tersirat dan dalam arti bahasa berarti kelompok kumpulan orang yang berpandangan, berpikir, berkata, bersikap, bertindak, serta berbuat dengan bijaksana berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan tidak dapat diartikan sebagai kumpulan hewan, pepohonan, gambar-gambar dilangit yang tidak mempunyai pandangan yang diatur berdasarkan kebijaksanaan konstitusi yang penuh kemunafikan layaknya berdagang sapi. (Politic) serta konstitusi Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa ditafsirkan di luar makna yang tersirat berdasarkan falsafah dan pribadi yang mendasar rakyat Indonesia; Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 merupakan pokok pokiran, landasan roh yang tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang utuh dengan pasal dan ayat lainnya UUD 1945 serta tidak terlahir berdasarkan semangat privat layaknya poorporated (perusahaan) swasta/nasional maupun asing jadi Partai Politik dan Gabungan Partai Politik berdasarkan Pasal 6A ayat (2) merupakan sarana partisipasi politik rakyat yang terlahir dan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sehingga mempunyai hubungan korelasi positif yang tidak saling bertentangan, atau mengikat dan utuh dengan: Pasal 1 ayat (2): ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum”/Pasal 6A ayat (1): ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”/Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”/Pasal 28C ayat (2): ”Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara
kolektif
untuk
membangun
masyarakat,
bangsa,
dan
negaranya”/Pasal 28D ayat (1): ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”/Pasal 28D ayat (3): ”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;/Pasal 28E ayat (3): ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat;/Pasal 28H ayat (2): ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”/Pasal 28I ayat (2): ”Setiap orang berhak bebas dan perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimitatif itu”, Pasal 28I ayat (4):
7 ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; Pasal 28I ayat (5): ”Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”/Pasal 28J ayat (1): ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; Pokok-pokok pikiran Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan demi persatuan yang meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Hal tersebut merupakan suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar dan berdasarkan atas kedaulatan rakyat bukan kedaulatan partai politik. Dan uraian mengenai landasan/dasar serta alasan-alasan permohonan judicial review tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ketentuan muatan pasal UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) bertentangan dengan asas legalitas, bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai sarana partisipasi yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 berdasarkan Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar 1945; 2. Pertentangan antara UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2), dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 28J ayat (1), karena telah berakibat merugikan hak konstitusional Pemohon selaku orang yang dirampas hak kewarganegaraan yang hendak mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui jalur independen yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 serta mengamanatkan bahwa kedaulatan ditangan rakyat;
8 3. Bahwa ketentuan materi muatan pasal UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) mempunyai penafsiran ganda dalam penerapan hukum, tidak memberikan kepastian hukum, sehingga jelas bertentangan dengan maksud dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum; 4. Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas, maka Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) secara arti tekstual dan arti kontekstual ketentuan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 1 ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 serta terbukti mengakibatkan kerugian konstitusional yang disebut di atas; Oleh karena itu Pemohon meminta kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kiranya berkenan memeriksa dan memutuskan permohonan pengajuan ini (judicial review) dengan menyatakan muatan pasal, ayat UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; IV. POKOK PERKARA 1. Bahwa UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: UU 42/2008
UUD 1945
• Pasal 1 ayat (2): Partai Politik adalah partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
• Pasal 6A ayat (2): Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
• Pasal 14 ayat (2): Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR. a. Partai yang dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dalam arti bahasa berarti “Kelompok, kumpulan orang” (Party/partie/, kb. 3 kelompok, kumpulan orang Kamus Indonesia Inggris An English Indonesia Dictionery Oleh JOHN M.
9 ECHOLS DAN HASSAN SHALILY Penerbit PT Gramedia Jakarta), sedangkan politik dalam arti bahasa bertarti Bijaksana(Politik/kebijaksana kamus Indonesia Ingris An English Indonesia Dictionery Oleh JOHN M. ECHOLS DAN HASSAN SHALILY Penerbit, PT Gramedia Jakarta). Jadi apabila digabungkan Partai Politik, dalam arti tersirat dan dalam arti bahasa berarti kelompok kumpulan orang yang berpandangan, berpikir, berkata, bersikap, bertindak, serta berbuat dengan bijaksana berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan sumber dan segala sumber hukum. “Dan dapat pula diartikan bahwa partai politik bukanlah kumpulan hewan, pepohonan, gambar-gambar di langit yang tidak mempunyai pandangan yang diatur berdasarkan kebijaksanaan konstitusi yang penuh kemunafikan layaknya berdagang sapi “(Politik); Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 merupakan pokok pikiran, landasan roh yang tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang utuh dengan pasal dan ayat lainnya UUD 1945 serta tidak terlahir berdasarkan semangat privat layaknya Coorporated (perusahaan) swasta/nasional maupun asing, jadi Partai politik dan Gabungan Partai Politik berdasarkan Pasal 6A ayat (2) merupakan sarana partisipasi politik rakyat yang terlahir dan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sehingga mempunyai hubungan korelasi positif yang tidak saling bertentangan, atau mengikat utuh antara pasal dan ayat lainnya dalam UUD 1945. b. Saat dan waktu diusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan yang diamanatkan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sebagaimana saat dan waktu pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden adalah sebelum pelaksanaan pemilihan umum (sebelum pemilihan umum legislatif).
UU 42/2008
UUD 1945
c. Pasal 9 ayat (2): Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
• Pasal 1 ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. • Pasal 6A ayat (1): Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
c. Bahwa Pasal 9 UU 42/2008 mengenai persyaratan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, menggambarkan dan menonjolkan sistem pemerintahan parlementarian yang diisaratkan dengan hasil pemilu DPR. Hal ini jelas bertentangan dengan sistem presidensil yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam sistem presidensil di Republik Indonesia, Kepala Negara mempunyai kedaulatan yang dijamin berdasarkan legitimasi rakyat. Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilih melalui lembaga perantara (DPR) dan tidak dibatasi oleh institusi parlementarian yang berdasarkan kebutuhan Partai peserta pemilu melalui fraksi-fraksi DPR;
10
d. Hasil pemilu yang menghasilkan DPR sejatinya tidak memiliki korelasi secara yuridis, dengan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau dengan kata lain hasil pemilu tidak dapat dijadikan alat legitimasi untuk pengusulan Presiden dan Wakil Presiden. Pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah mengacu pada sistem presidensil yang meletakkan hak konstitusional pemegang kedaulatan sebagai pengusul calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945; e. Pasal 9 UU 42/2008 telah melenceng dari sistem ketatanegaraan yang bersifat presidensil, sehingga membuat pemaknaan ambivalen atau dualisme, karena mengalami makna ganda sehingga diartikan rancu dan bertentangan dengan UUD 1945; Seharusnya UU 42/2008 Pasal 9 ayat (2) menyatakan Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan presiden atau pasangan calon diusulkan oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independent/Calon Independent yang memenuhi persyaratan melalui pilihan dan dukungan rakyat berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945.
UU 42/2008
UUD 1945
• Pasal 8: Calon Presiden dan calon Wakil Calon Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
• Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
• Pasal 10 ayat (1): Penentuan calon Presiden dan/atau Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.
• Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
• Pasal 10 ayat (2): Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.
• Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
• Pasal 10 ayat (3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka.
• Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. • Pasal 28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpuI, dan mengeluarkan pendapat.
11 • Pasal 10 ayat (4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.
• Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. • Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dan perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimitatif • Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.) • Pasal 28I ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. • Pasal 28J ayat (1): Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Demokrasi sejatinya identik dengan salah satu aspirasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam setiap keputusan seperti yang diamanatkan oleh demokrasi partisipatoris dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya demokrasi adalah paham kerakyatan yang tanpa diskriminasi atau intervensi yang bermuatan kekuasaan jabatan maupun golongan. Demokrasi tidak boleh hanya sekedar menjadi simbol yang hanya mengeksploitasi kepentingan rakyat dengan memobilisasi rakyat kepada kepentingan sesaat. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU 42/2008 sama sekali tidak memiliki semangat demokrasi partisipatoris seperti yang disyaratkan oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28I ayat (5), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945; Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU 42/2008 hanya menjelaskan tentang hak pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol secara kaku dan paku Belanda/tidak fleksibel dengan memandang partai politik melalui tafsir yang menyesatkan dan tidak memiliki kepastian hukum, yang akan berdampak deligitimasi rakyat yang mengarah pada perpecahan, sebagai konsekuensi logis dan pertentangannya dengan UUD 1945 yang kita yakini sebagai sumber dari segala sumber hukum. •
Berdasarkan UU 42/2008 Pasal 8 berbunyi, ”Bahwa calon presiden dan calon
12 wakil/presiden diusulkan dalam 1(satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau calon presiden dan calon wakil presiden, diusulkan dalam 1(satu) pasangan oleh Komite Pemerintahan Rakyat independent atau gabungan calon independent”; •
Pasal 10 ayat (1) berbunyi, ”Penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan atau penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Komite Pemerintahan Rakyat Independen atau calon Independen bersangkutan”;
•
Pasal 10 ayat (2) berbunyi, ”Partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon, atau komite pemerintahan rakyat independent dapat melakukan kesepakatan dengan calon independent lain untuk melakukan penggabungan dalam melakukan pengusulan pasangan calon preseiden”
•
Pasal 10 ayat (3) berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka atau komite pemerintahan partai independent atau gabungan calon independent sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal calon independent dan/atau musyawarah gabungan calon independent yang dilakukan secara demokratis dan terbuka”;
•
Pasal 10 ayat (4) berbunyi, “Calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya atau calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang diusulkan dalam satu (1) pasangan oleh komite pemerintahan rakyat independent atau gabungan calon independent sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak boleh dicalonkan lagi oleh komite pemerintahan rakyat independent atau gabungan calon independent lainnya;
2. Bahwa UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 14 ayat (2) berdasarkan fakta yuridis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga tidak dapat menjawab asas kepastian hukum sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus mempunyai asas kepastian hukum yang tidak boleh bertentangan dengan asas legalitas dan/atau asas kepastian hukum yang dianut
dalam
sistem
hukum
nasional
(hukum
positif
tentang
penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, karena pasal, materi, atau/dan muatan ayat hanya mengakomodir partai politik dalam kata-kata kaku dan paku Belanda namun tidak menjelaskan tentang keikutsertaan calon independen sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden maka dari itu UU 42/2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal
13 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2). Sangat tidak mengikat dan penjelasannya tidak tersirat sesuai dengan ketentuan alamiah rakyat akan kepastian hukum yang dijamin secara konstitusi oleh UUD 1945 sebagai dasar hukum yang bersumber dan segala sumber hukum; 3. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat) sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal (1) ayat (3) berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan tersebut pasal UU 42/2008, Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 10 ayat (4) harus mendapat tambahan dengan menyertakan Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen agar tidak bertentangan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945; 4. Bahwa materi muatan pasal UU 42/2008, Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) hanya menjelaskan tentang hak pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol secara kaku dan paku Belanda tidak fleksibel dengan tidak menyertakan Calon Independen akan menimbulkan penafsiran ganda dan ketidakpastian hukum serta dapat menimbulkan golongan putih dan perpecahan, bahkan dengan tidak menyertakan Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Independen jelas-jelas bertentangan dan berhianat kepada UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945”; V. PETITUM Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas dengan ini Pemohon meminta kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kiranya berkenan memeriksa dan memutus permohonan pengujian ini (judicial review) dengan menyatakan: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan seluruhnya; 2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945; 3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun Pasal 1 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
14 Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya. [2.2]
Menimbang
bahwa
untuk
menguatkan
dalil-dalilnya,
Pemohon
mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-9, sebagai berikut: 1. Bukti P-1
:
Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Bukti P-2
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
3. Bukti P-3
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
4. Bukti P-4
:
Fotokopi Buku Revolusi Konstitusi Demokrasi Independen menuju Indonesia Baru;
5. Bukti P-5
:
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daetah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6. Bukti P-6
:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 7. Bukti P-7
:
Fotokopi Akta Pendirian Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen tanggal 30 Desember 2008;
8. Bukti P-8
:
Fotokopi kutipan kamus Inggris – Indonesia, John M. Echols dan Hasan Shadily;
9. Bukti P-9
:
Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
[2.4]
Menimbang bahwa Pemohon pada persidangan tanggal 7 Mei 2009
telah memberikan keterangan yang
pada pokoknya mempertegas kembali
kedudukan hukumnya sebagai Presiden Dewan Nasional Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Menurut Pemohon melihat independen tidak dalam bentuk privat, melainkan independen merupakan sikap politik;
15 Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
[2.5]
maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk
[3.1]
menguji Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU 42/2008) terhadap Pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, terlebih
[3.2]
dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai: a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 junctis Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap UUD 1945. [3.4]
Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat
16 (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 terhadap UUD 1945 yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6]
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 bertanggal 31 Mei 2005, Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, dan Putusan-Putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
17 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] dirinya
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengkualifikasikan sebagai
warga
negara
Republik
Indonesia
yang
dirugikan
hak
konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008. Menurut Pemohon berlakunya pasal a quo telah menyebabkan Pemohon terbatasi hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui jalur independen. Namun demikian pada persidangan tanggal 7 Mei 2009 Pemohon telah merevisi kedudukan hukumnya tidak lagi sebagai warga negara Indonesia, melainkan sebagai Presiden Lembaga Dewan Nasional Komite Pemerintahan Rakyat Independen berdasarkan Akta Notaris Herman Eddy, S.H., tanggal 30 Desember 2008 Nomor 34. Pemohon melihat independen tidak dalam bentuk privat, tetapi melihat independen sebagai sikap politik wadah kolegial (sic); [3.8]
Menimbang
bahwa
Pasal
5
Akta
Pendirian
Lembaga
Komite
Pemerintahan Rakyat Independen Nomor 34 pada huruf d dan huruf e pada pokoknya menyatakan bahwa Maksud dan Tujuan Lembaga ini adalah untuk memperjuangkan hak politik rakyat yang berkeadilan menuju masyarakat adil dan makmur, dan membangun “independensi politikal rakyat” dan “politikal rakyat independen”. Lembaga Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang dibentuk dengan akta Notaris tersebut dimaksudkan untuk memperoleh status sebagai satu badan hukum perdata. Akan tetapi dari alat-alat bukti yang diajukan, tidak ternyata bahwa badan hukum tersebut telah memperoleh pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sehingga oleh karenanya menurut Mahkamah, Pemohon belum dapat
dikualifikasikan
sebagai
badan
hukum,
akan
tetapi
dapat
dikualifikasikan sebagai perorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama;
18 [3.9]
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan
mempunyai kepentingan
untuk memperjuangkan hak politik rakyat, dan dengan demikian, sebagai perorangan, memiliki hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 untuk tidak diperlakukan diskriminatif, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan, termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Namun, untuk menentukan adanya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, masih harus dibuktikan
apakah pasal yang dimohonkan pengujian ada kaitannya dengan
kerugian hak konstitusional Pemohon, yang sifatnya spesifik, baik yang aktual maupun potensial, serta apakah kerugian atas hak konstitusional Pemohon berkaitan langsung dengan diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; [3.10]
Menimbang
bahwa
Pemohon
dalam
permohonan
a
quo
telah
mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008, yang masing-masing berbunyi : •
Pasal 1 ayat (2): ”Partai adalah Partai Politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat”;
•
Pasal 8: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”;
•
Pasal 9: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dan jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”;
•
Pasal 10: Ayat (1): ”Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan”; Ayat (2): ”Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon”; Ayat (3): ”Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon
19 sesuai
dengan
mekanisme
internal
Partai
Politik
dan/atau
musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka”; Ayat (4): ”Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya”; •
Pasal 14 ayat (2): “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”;
[3.11]
Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh
Pemohon pada dasarnya merupakan pasal-pasal yang mengatur mengenai mekanisme pengusulan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, terutama yang hanya memungkinkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mencapai perolehan
20% kursi di DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah secara
nasional dalam Pemilu anggota DPR, sehingga pasal-pasal a quo tidak memungkinkan
adanya
calon
independen
menerapkan 5 (lima) syarat kerugian
atau
perseorangan.
Dengan
hak konstitusional yang ditentukan oleh
Mahkamah, maka secara prima facie menurut Mahkamah terdapat kerugian hak konstitusional Pemohon dan ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; oleh karenanya Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian a quo; [3.11.1] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah lebih lanjut akan memeriksa pokok permohonan. Pokok Permohonan. [3.12]
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai berikut:
20 •
Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 bertentangan dengan asas legalitas, dan prinsip penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai sarana partisipasi yang diamanatkan Pancasila, serta bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar;
•
Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, karena pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon selaku orang yang dirampas hak kewarganegaraan yang hendak mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia melalui jalur independen yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat;
•
Bahwa Pasal 1 angka 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 mempunyai penafsiran ganda, tidak memberikan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan maksud dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum;
•
Bahwa Pasal 1 angka 2, dan Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena pengusulan Presiden dan Wakil Presiden menurut Pasal 6A ayat (2) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum (sebelum pemilihan umum legislatif) [sic]. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 merupakan landasan roh yang tidak dapat berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang utuh dengan pasal dan ayat dalam UUD 1945. Oleh karena itu Partai Politik dan Gabungan Partai Politik sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 merupakan sarana partisipasi politik rakyat yang terlahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sehingga mempunyai hubungan korelasi positif yang tidak saling bertentangan, atau mengikat utuh antara pasal dan ayat lainnya dalam UUD 1945;
21 •
Bahwa Pasal 9 UU 42/2008 telah menonjolkan sistem pemerintahan parlementarian,
sehingga
bertentangan
dengan
sistem
presidensil
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Hasil pemilu tidak dapat dijadikan alat legitimasi untuk pengusulan Presiden dan Wakil Presiden. Pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah mengacu pada sistem presidensil yang meletakkan hak konstitusional pemegang kedaulatan sebagai pengusul calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945; •
Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 tidak memiliki semangat demokrasi partisipatoris sebagaimana yang disyaratkan oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), serta Pasal 28J ayat (1) UUD 1945;
[3.13]
Menimbang
bahwa
selain
itu
Pemohon
mendalilkan
Komite
Pemerintahan Rakyat Independen pada hakikatnya partai politik peserta pemilu Presiden, oleh karena itu Pasal 8, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU 42/2008 harus dilakukan revisi yang pada pokoknya menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum diusulkan oleh Partai Politik dan Gabungan Partai Politik harus terlebih dahulu diusulkan oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independen atau gabungan calon independen. Bunyi selengkapnya revisi Pasal 8, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU 42/2008 yang dimohonkan oleh Pemohon adalah sebagai berikut: •
Pasal 8: Bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1(satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau calon Presiden dan calon Wakil Presiden, diusulkan dalam 1(satu) pasangan oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independent atau gabungan calon independent”;
•
Pasal 9 ayat (2): Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan presiden atau pasangan calon diusulkan oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independent/Calon Independent yang memenuhi
22 persyaratan melalui pilihan dan dukungan rakyat berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945; •
Pasal 10 ayat (1): ”Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan atau penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Komite Pemerintahan Rakyat Independen atau calon Independen bersangkutan”;
•
Pasal 10 ayat (2): ”Partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon, atau Komite Pemerintahan Rakyat Independen dapat melakukan kesepakatan dengan calon independent lain untuk melakukan penggabungan dalam melakukan pengusulan pasangan calon Presiden”
•
Pasal 10 ayat (3): ”Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka atau Komite Pemerintahan Partai Independent atau gabungan calon independent sebagaimana dimaksud pada ayat 2 hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal calon independent dan/ atau musyawarah gabungan calon independent yang dilakukan secara demokratis dan terbuka”;
•
Pasal 10 ayat (4): “Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya atau calon presiden dan/atau calon wakil presiden yang diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Komite Pemerintahan
Rakyat
Independen
atau
gabungan
calon
independent
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Komite Pemerintahan Rakyat Independent atau gabungan calon independent lainnya; [3.14]
Menimbang bahwa pasal-pasal dalam UU 42 Tahun 2008
yang
dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon adalah menyangkut pasal-pasal yang telah diuji dan diputus oleh Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, yaitu:
23 a. Putusan Nomor 054/PUU-II/2004 dan Nomor 057/PUU-II/2004 masing-masing bertanggal 6 Oktober 2004, yang dalam pertimbangan hukumnya telah mengemukakan bahwa untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menentukan tatacaranya, yaitu harus diajukan oleh partai politik atau
gabungan
partai
politik.
Diberikannya
hak
konstitusional
untuk
mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga Negara, in casu para Pemohon, untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden “karena hal itu dijamin oleh UUD 1945”, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 apabila warga negara yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia; b. Putusan
Nomor
56/PUU-VI/2008
tanggal
17
Februari
2008.
Dalam
pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah menyatakan hal-hal berikut: 1. Ketentuan umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundangundangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus
dirumuskan
sehingga
tidak
menimbulkan
pengertian
ganda.
Permohonan yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau halhal lain yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang a quo, sangat tidak beralasan dan tidak tepat; 2. Kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 tentang Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya Pasangan
24 Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum, sehingga secara umum UU 42 Tahun 2008 hanya merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”; 3. Dengan demikian, pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai poltik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial,
bukan
berlandaskan
pada
sistem
individual
(perseorangan); 4. Dalil yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah benar. Akan tetapi pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar hak seseorang “untuk memilih dan dipilih”, karena dalam pelaksanaan Pemilu setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 42/2008 a quo. Dengan demikian pembatasan dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (2) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Apalagi jika dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut UUD 1945; c. Putusan Nomor 51-52-59/PUU/2008 bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah mempertimbangkan hal berikut ini:
25 1. bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 9 UU 42/2008 berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, Mahkamah berpendapat tidak ada korelasi logis antara syarat dukungan 20 % (dua puluh perseratus) kursi DPR atau 25 % (dua puluh lima perseratus) suara sah secara nasional yang harus diperoleh partai untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan Umum yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil, karena justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakyat
pemilih yang berdaulat. Hal demikian juga untuk membuktikan
apakah partai yang mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat dukungan luas dari rakyat pemilih; 2. Lagi pula, syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25 % (dua puluh lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal; sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu; 3. Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan
26 UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; [3.15]
Menimbang bahwa terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 a quo,
yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon, dengan alasan-alasan yang tidak berbeda dengan alasan dan dasar konstitusionalitas yang diajukan dalam 6 (enam) perkara secara keseluruhan yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah sebelumnya, maka Mahkamah tidak dapat lagi menguji pasal-pasal tersebut. [3.16]
Menimbang bahwa
berdasarkan Pasal 60 UU MK dan
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika diajukan dengan alasanalasan konstitusionalitas yang berbeda. Mahkamah berpendapat bahwa alasan yang diajukan oleh Pemohon dalam pengujian materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang diuji, terutama pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian tidak berbeda, sehingga oleh karenanya Mahkamah harus menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima; [3.17]
Menimbang bahwa khusus terhadap Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1. Pasal 1 angka 2 UU 42/2008, merupakan bagian dari ketentuan umum yang menguraikan pengertian atau definisi operasional, yang dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah yang harus dirumuskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. Permohonan yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum, yang dijadikan dasar bagi pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang a quo, sangat tidak beralasan.
27 2. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 yang juga dimohonkan diuji mengatur tentang mekanisme internal Partai Politik dalam pemilihan dan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, sama sekali tidak memiliki masalah konstitusionalitas yang harus dipersoalkan dan alasan yang diajukan sepanjang mengenai pengujian Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 tersebut tidak berdasar hukum; 3. Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang hanya menentukan tenggang waktu untuk pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, merupakan pilihan pembentuk undang-undang yang menjadi kewenangannya sehingga materinya tidak dapat dimintakan pengujian. Berdasarkan ketiga alasan tersebut maka permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 1 angka 2, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 harus dinyatakan ditolak. [3.18]
Menimbang bahwa alasan-alasan permohonan tentang usul perubahan
pasal-pasal sebagaimana tertera dalam paragraf [3.13] menurut Mahkamah tidak rasional sehingga tidak berdasar hukum untuk dipertimbangkan. 4. KONKLUSI
Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1]
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan a quo; [4.2]
Pemohon sebagai kelompok perorangan yang mempunyai kepentingan
yang sama memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan sebagai Komite Pemerintahan Rakyat Independen Ibukota Negara tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing); [4.3]
Materi muatan Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 yang dimohon untuk
diuji telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam perkara sebelumnya.
28 Pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat
[4.4]
(3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 tidak beralasan dan tidak berdasar hukum. 5. Amar Putusan Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). Mengadili, Menyatakan Permohonan Pemohon terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak dapat diterima. Menolak Permohonan Pemohon selebihnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Kamis tanggal sepuluh bulan September tahun dua ribu sembilan dan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal empat belas bulan September tahun dua ribu sembilan, oleh kami sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, Achmad Sodiki, Harjono, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati, masing-masing sebagai Anggota dengan dibantu oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakil. KETUA ttd Moh. Mahfud MD
29 ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
ttd.
Abdul Mukthie Fadjar
Maruarar Siahaan
ttd.
ttd.
Achmad Sodiki
Harjono
ttd.
ttd.
M. Arsyad Sanusi
M. Akil Mochtar
ttd.
ttd.
Muhammad Alim
Maria Farida Indrati
PANITERA PENGGANTI,
Ttd Sunardi