PEMIKIRAN DAN KIPRAH MAJELIS MUJAHIDIN INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Rio Sulaiman NIM: 107022003805
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupaka hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 Oktober 2014
Rio Sulaiman
KATA PENGANTAR Segala puji kehadirat Allah SWT, Dzat Yang Maha menguasai seluruh alam semesta, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, terutama nikmat tak terhingga kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan
para sahabatnya,
yang telah
menghantarkan kita semua, dari gelap gulitanya kejahiliyahan dan kebodohan menuju cahaya terang benderang peradaban yang gemilang. Dalam skripsi ini, tidak terwujud jika tanpa motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1 Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A. dan Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah sabar melayani selama masa studi. 3. Bapak Dr. Abd. Chair sebagai pembimbing skripsi yang selalu memotivasi dan sabar yang tak terhingga dalam membimbing skripsi.
i
4. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc. M.A. dan Bapak Drs. H. Azhar Saleh, MA. sebagai penguji skripsi yang telah membantu membuat skripsi ini menjadi lebih baik. 5. Orang tua, Bapak Tono Cahyono dan Ibu Mardiana yang sabar menunggu anaknya mendapatkan gelar strata satu (S1), skripsi ini untuk mereka. 6. Teman-teman Qima Madia Mulia (QMM) yang mendorong dan memberikan inspirasi sehingga dapat selesai skripsi ini. Khususnya kepada Kang Entis dan Kang Dede sebagai pimpinan QMM. 7. Teman-Teman Pondok Mahasiswa Al-Amin Semanggi Ciputat, terima kasih atas bantuan dan dorongannya. 8. Semua pihak yang telah membantu, mohon maaf tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Jakarta, 30 Oktober 2014
Penulis
ii
ABSTRAK Rio Sulaiman Pemikiran dan Kiprah Majelis Mujahidin Indonesia Majelis Mujahidin adalah lembaga tansiq (aliansi) bagi umat Islam untuk berjuang menegakan syari’at Islam. Aliasi tersebut ada dalam tiga bentuk, yaitu (1). Tansiqul Fardi, sebagai wadah bagi individu-individu muslim; (2). Tansiqul Amali, sebagai wadah menyatukan program untuk tegaknya syariat Islam; (3). Tansiqul Nidzami, sebagai wadah mempersatukan organisasi-organisasi dengan tujuan bersama penegakan syariat Islam. Dalam skripsi ini membahas pemikiran dan kiprah Majelis Mujahidin. Penulis berusaha mengkonfirmasi pemikiran-pemikiran modernitas, seperti HAM, Demokrasi, dan Sekularisme menurut sudut pandang Majelis Mujahidin. Penulis menemukan pemikiran yang khas dari Majelis Mujahidin tentang hubungan Negara dengan Agama, terutama dalam konstek Indonesia. Majelis Mujahidin memandang seharusnya pancasila bukan dasar negara, akan tetapi ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Alasannya adalah pancasila tidak dinyatakan secara ‘gamblang’ sebagai dasar negara, akan tetapi ke-Tuhanan Yang Maha Esa dinyatakan secara jelas dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1. Dalam meraih tujuannya, Majelis Mujahidin berkiprah melalui dua pendekatan, yaitu struktural dan Kultural. Penelitian tentang kiprah Majelis Mujahidin ini, penulis berusaha jelaskan dengan teori strategi perjuangan milik Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, strategi struktural adalah perubahan yang menekan pada unsur paksaan, kekerasan, dan hukuman. Sedangkan kultural menekankan perubahan pola pikir dan tingkah laku individu. Penelitian ini menjelaskan usaha-usaha Majelis Mujahidin, baik dari sisi pemikirannya untuk memberikan proteksi masyarakat dari ide-ide yang menggangu penerapan syariah Islam, maupun sisi kiprah untuk mewujudkannya. Pendekatan yang dilakukan adalah sebuah upaya menjalani kausalitas, diperlukan tekad yang kuat dan konsistensi untuk meraih tujuan. Walaupun saat ini belum tercapai tujuan, setidaknya telah memberi torehan dalam sejarah perjuangan penerapan syariah Islam di Indonesia.
iii
DAFTAR ISI PENGANTAR ............................................................................................... i ABSTRAK ..................................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. iv PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. v BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................. D. Metode Penelitian ...................................................................... E. Sistematika .................................................................................
1 6 7 8 9
SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN MAJELIS MUJAHIDIN INDONESIA A. Latar Belakang dan Sejarah Berdiri Majelis Mujahidin ............ 11 B. Biogarafi Pimpinan Pimpinan (Amir Mujahidin) 1. Abu Bakar Ba’asyir ............................................................... 16 2. Abu Bakar Ba’asyir ............................................................... 21 C. Sejarah Perkembangan ............................................................... 27
BAB III PEMIKIRAN MAJELIS MUJAHIDIN ..................................... A. Pandangan terhadap HAM ......................................................... B. Pandangan terhadap Sekularisme .............................................. C. Pandangan terhadap Demokrasi .................................................
32 36 39 44
BAB IV KIPRAH MAJELIS MUJAHIDIN ............................................. 49 A. Struktural ................................................................................... 57 B. Kultural ...................................................................................... 63 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 72 LAMPIRAN ................................................................................................... 77
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
=
a
ف
=
f
ب
=
b
ق
=
q
ت
=
t
ك
=
k
ث
=
ts
ل
=
l
ج
=
j
م
=
m
ح
=
h
ن
=
n
خ
=
kh
و
=
w
د
=
d
ه
=
h
ذ
=
dz
ء
=
‘
ر
=
r
ى
=
y
ز
=
z
س
=
s
ش
=
sy
َا
=
â
ص
=
s
ْإى
=
î
ض
=
d
ْأو
=
û
ط
=
t
ْأو
=
au
ظ
=
z
ْأى
=
ai
ع
=
غ
=
Untuk Madd dan Diftong
gh
v
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Ibarat jamur di musim hujan organisasi-organisasi bermunculan setelah tumbangnya rezim orde baru, dapat dipahami sebagai bentuk kebebasan berekspresi dalam Era Reformasi. Pasca reformasi muncul fenomena organisasi Islam di Indonesia yang mengusung pemberlakuan syari‟at Islam. Organisasiorganisasi tersebut menjadi magnet perhatian dalam masa reformasi, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) lahir di Yogyakarta pada tahun 2000 merupakan hasil dari Kongres Mujahidin I. Selain melahirkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga melahirkan piagam Yogyakara. Atas latar belakang keterpurukan umat Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, tiada lain karena tidak diberlakukannya syariat Islam, maka digelarlah kongres Mujahidin Indonesia I yang melahirkan sebuah organisasi sebagai aliansi umat Islam bagi penegakkan syariat Islam di Indonesia yang kemudian dinamai Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)1 Dalam kongres mujahidin menghasilkan keputusan berupa: Piagam Yogyakarta, Program Perjuangan, Imamatul Ummah, Rekomendasi, pembentukan Tandzim Mujahidin. Keputusan yang terakhir ini kemudian diberi nama Majelis Mujahidin, Ia adalah sebuah aliansi yang menggerakan para mujahidin (umat 1
“Mengenal Majelis Mujahidin”, diakses pada http://majelismujahidin.com/about/mengenal-majelis-mujahidin/
1
2
Juni
2014
dari
2
Islam) berjuang menerapkan Syari‟at Islam dan juga sebagai contoh (Tauladan) bagi perjuangan penerapan syari‟at Islam.2 Maksud berdirinya Majelis Mujahidin adalah menghimpun segenap potensi dan kekuatan para mujahidin (umat Islam) dengan tujuan memberlakukan syari‟at Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan sebagai rujukan bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan. Dalam melaksanakan aktivitasnya, Majelis Mujahidin menetapkan Manhaj-nya, yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw.3 Majelis Mujahidin adalah organisasi yang
lahir dalam abad modern.
Selayaknya sebuah organisasi yang lahir dalam abad modern merespon pemikiran-pemikiran modernitas yang masuk ke dalam tubuh umat Islam. Kemampuan sebuah organisasi dalam merespon perkembangan pemikiran modernitas dengan sendirinya telah menjaga keberlangsungan organisasi tersebut, serta sebagai panduan bagi para pengikutnya. Adian
mengutip
pendapat
Cahoone
tentang
konsep
modernitas.
Menurutnya (Cahoone), beberapa ciri yang menandai konsep modernitas adalah penerimaan terhadap demokrasi, supremasi negara bangsa (nation state), sains modern, sekularisme, dan humanisme. Di dunia barat, terutama bagi agamaagama persoalan modernitas menjadi sebuah permasalahan yang serius. Beberapa Teolog Kristen memilih bersikap kompromi disebabkan begitu kuat hegemoninya. Misalnya, Katolik merespon positif modernitas dalam sidang konsili vatikan II, dan muncul ajakan kepada panganut protestan untuk menerima sekularisasi,
2
Irfan Suryahardi Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakkan Syari‟at Islam (Yogayakarka: WIHDAH PRESS, 2001), h.141 3 Ibid,, h.142
3
seperti dalam buku Harvey Cox yang berjudul The Secular City. Menurut Weber perkembangan dunia Barat modern kata kuncinya ada pada “rationalization”4 Menurut Nurcholish Madjid, “...modernisasi ialah
pengertian yang
identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal ini berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah...” 5
Adian membagi dua corak pemikiran umat Islam terhadap modernitas, yaitu: (1). pemikiran yang mengacu kepada modernitas disebut liberal dan (2) pemikiran yang menjadikan Islam sebagai acuan terhadap modernitas. Perbedaan corak pemikiran ini sudah ada sejak masa menjelang dan setelah kemerdekaan. Saat itu dua corak pemikiran tersebut diwakili oleh golongan sekuler dan golongan Islam. Dalam masa reformasi tidak ada perubahan yang mendasar terkait hal itu, kecuali hanya berubah situasinya saja, yakni situasi yang lebih terbuka dan bebas mengekspresikan pemikiran dan aspirasinya.6 Pandangan muslim berbeda-beda tentang pemikiran modernitas, seperti demokrasi. Mereka terbagi dua, yaitu kelompok yang pro terhadap demokrasi dan yang kontra terhadap demokrasi. Bagi kelompok pro terhadap demokrasi, beralasan, bahwa nilai demokrasi besifat universal dan dapat berdampingan
4
Adian Husaini dalam “Seminar Internasional Peta Pemikiran Islam di Indonesia antara Liberalisasi dan Islamisasi” Makalah diakses pada 2 agustus 2014 dari http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87:seminar-internasionalpeta-pemikiran-Islam-di-indonesia-antara-liberalisasi-dan-Islamisasi-&catid=1&Itemid=29 5 Nucholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 172. 6 Adian Husaini dalam “Seminar Internasional Peta Pemikiran Islam di Indonesia antara Liberalisasi dan Islamisasi” Makalah diakses pada 22 agustus 2014 dari http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87:seminar-internasionalpeta-pemikiran-Islam-di-indonesia-antara-liberalisasi-dan-Islamisasi-&catid=1&Itemid=29
4
dengan Islam. Demokrasi juga dianggap berkaitan erat dan memiliki kesamaan dengan Islam dan tidak perlu dipertentangkan.7 Menurut kelompok yang kontra, bahwa demokrasi adalah hasil dari peradaban Barat. Mereka menolak dengan tegas adanya hubungan atau keterpaduan antara Islam dengan demokrasi. Mereka menegaskan dengan jelas adanya perbedaan antara demokrasi dengan Islam. Demokrasi tidak layak disandingkan dengan Islam, maupun sebaliknya.8 Pandangan organisasi Islam terhadap pemikiran modernitas berbeda-beda juga. Nahdhatul Ulama berpandangan, demokrasi compatible dengan Islam. Dalam kaidah-kaidah demokrasi terdapat prinsip: (1). Kesetaraan dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat: 13; (2). Musyawarah terdapat dalam Q.S. Al-Syura: 38; (3). Ta‟awun, berarti bekerjasama mewujudkan kepentingan Tuhan dan umat manusia; (4). Taghyir, yaitu perubahan yang dilakukan manusia untuk menentukan perubahan hidupnya.9 Menurut Hizbut Tahrir, demokrasi tidak compatible dengan Islam. Islam berlawan dengan demokrasi, karena produk hukum dalam demokrasi dari akal manusia dan tidak diambil dari hukum Islam. Kaum muslimin harus tunduk kepada aturan Islam dan tidak boleh menuruti hawa nafsunya. Kaum muslimin tidak diperbolehkan menjalankan, menyerukan, dan mengembangkan demokrasi.
7
Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta: TERAJU, 2005), h. 44 8 Idris Thaha, Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta: TERAJU, 2005), h. 40. 9 "Demokrasi Pemerintahan Islami" diakses pada 06 November 2014 dari "http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,35390-lang,id-c,kolomt,Demokrasi+Pemerintahan+Islami-.phpx
5
Apabila kaum muslimin melakukannya sama dengan menjalankan, menyerukan, dan mengembangkan sistem kufur.10 Sebuah organisasi sebagai komunitas perlu menentukan sikapnya terhadap isu atau pemikiran yang beredar dalam masyarakat. Pemikiran yang Ia emban adalah daya tarik bagi orang-orang yang ingin bergabung dengannya, serta menjadi ciri khas dari organisasi tersebut. Selain pemikiran yang menarik dari sebuah organisasi adalah kiprahnya dalam masyarakat, terutama dalam mencapai tujuan dari organisasi itu sendiri. Agama Islam tidak sekedar individual saja, lebih dari itu merupakan sebuah komunitas. Komunitas adalah kumpulan individu yang memiliki pemahaman, kepentingan, dan tujuan politik yang sama. Islam juga adalah sebuah kolektivitas, yaitu ia memiliki kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama.11 Menurut kontowijoyo, komunitas dalam Islam sebagai realisasi dari syari‟at dan akhlak. Ia berpendapat, Bedasarkan surat Âli-„Imran (3): 11012 sikap komunitas Islam harus memberikan andil dalam perjalanan sejarah. Umat Islam sebagai pelaku sejarah yang menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah yang munkar, juga beriman kepada Allah.13 Selanjutnya Kuntowijoyo menjelaskan, “...Dalam Konteks masa kini, “menyeruh kepada yang makruf” akan berarti humanisasi dalam budaya, mobilitas dalam kehidupan sosial, pembangunan ekonomi, dan rekulturasi dalam politik. Pendekatan kultural dan evolusioner termasuk dalam menyuruh kepada yang makruf. 10
Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Mengenal Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Penerjemah: Abu Afif dan Nurkhalis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), h. 70-71. 11 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 27. 12 “ Kamu adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang mak‟ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” 13 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 37-38.
6
“mencegah yang munkar” berarti berusaha memberantas kejahatan. “mencegah dari yang munkar” itu, misalnya pelarangan penjualan narkoba dan pemberantasan korupsi dan kolusi. Tetapi “mencegah dari yang munkar” itu dapat berarti juga liberasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. “Theology of Liberation” dapat diambil dari ayat ini. Liberasi adalah pendekatan revolusioner yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga jalan itu tidak mungkin ditempuh. Umat Islam hanya mengambil intinya, yaitu usaha yang sungguh-sungguh. Revolusi biasanya berarti kekerasan, pembunuhan, dan perusakan. Dalam Islam ada larangan berbuat fasad sehingga revolusi yang negatif harus dihindari. Karena itu umat Islam akan setuju dengan pendekatan apa saja yang nonrevolusoiner. “Beriman kepada Allah” berarti transedensi. Dalam dunia yang menuju kepada materialisme dan sekularisme, kedudukan transedensi makin penting. Umat Islam mempunyai kepentingan untuk memasukan kesadaran spiritual akan tuhan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam politik.”
Pemikiran dan kiprah sebuah organisasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pemikiran bagi organisasi adalah nyawa keberlangsungannya, dimana pemikiran itu sebagai bahan bakar, pendorong dan navigator bagi tercapainya tujuan organisasi itu sendiri. Kiprah adalah sebuah aksi yang terukur dan terstruktur dalam rangka mencapai tujuan dari sebuah organisasi politik. Majelis Mujahidin merupakan organisasi Islam yang lebih dari satu dekade telah mewarnai kondisi kehidupan sosial-politik di Indonesia. Perjalanan organisasi ini tentu menarik untuk dikaji secara ilmiah. Dalam penelitian ini akan dipakai pendekatan sosial-politik, dimana dalam perjalanan majelis mujahidin berkiprah dalam dua pendekatan tersebut, yakni sosial dan politik.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, Penulis berusaha untuk membatasi pokok permasalahan yang akan dibahas agar pembahasan dalam skripsi ini dapat bersifat lebih mendalam dan nilai ilmiahnya dapat dipertahankan, karena itu penulis
7
membatasi permasalahan dalam skripsi ini sekitar pemikiran dan kiprah Majelis Mujahidin Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan di atas, Penulis akan merumuskan dalam permasalahan-permalahan berikut ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Sejarah Berdirinya dan Perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia. 2. Bagaimana pemikiran Majelis Mujahidin Indonesia mengenai HAM, sekularisme, dan demokrasi. 3. Bagaimana
kiprah
Majelis
Mujahidin
Indonesia
dalam
upaya
memformalisasikan syari‟at Islam di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. Kajian tentang organisasi-organisasi Islam yang muncul belakangan dan menunjukkan fenomena peningkatan yang tajam di dunia Islam khususnya di Indonesia merupakan suatu bahan studi yang menarik, khususnya ketika mencermati kiprah Majelis Mujahidin Indonesia. Hal ini yang menarik minat penulis untuk mengkajinya secara akademik, bagaimana sejarah berdirinya Majelis Mujahidin serta pemikiran dan kiprahnya di Indonesia. Sesuai dengan masalah ini, maka tujuan penulisan adalah 1). Untuk mengetahui sejarah berdiri dan perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia, 2). Untuk mengetahui pemikiran Majelis Mujahidin Indonesia mengenai HAM, sekularisme, dan demokrasi 3). Untuk mengetahui kiprah Majelis Mujahidin Indonesia dalam upaya memformalisasikan syari‟at Islam di Indonesia. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
8
1. Sebagai persyaratan akhir untuk mendapatkan gelar strata satu (S1). 2. Sebagai bahan kajian kepustakaan (Library Research) di lingkungan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. 3. Penulisan skripsi ini diharapkan menambah khazanah keilmuan bagi pembaca,
teoritis,
mahasiswa,
dan
tokoh
masyarakat,
dalam
pengembangan studi sejarah khususnya tentang seputar organsasiorganisasi atau gerakan-gerakan Islam, khususnya yang ada di Indonesia.
D. Metode Penelitian Metode pembahasan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah kajian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan metode deskriptifanalitis, yaitu dengan mengumpulkan informasi melalui buku-buku perpustakaan, artikel maupun majalah dan memverifikasi data-data yang sesuai dengan pembahasan skripsi ini. Selain itu penulis juga ingin menggadakan wawancara (Field Research) dengan pihak-pihak yang terkait dengan pembahasan ini dan kemudian menganalisanya dengan perspektif historis, sosiologis dan politis. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. Proses kerjanya, sebagaimana maklumnya penulisan sejarah, ada empat tahapan, yaitu: Pertama, heuristik, yaitu dengan mencari data primer maupun sekunder, dalam hal ini penulis mendasarkan diri pada penelitian kepustakaan yang mayoritas terdiri dari karya-karya yang ditulis oleh para ilmuan yang memberi perhatian pada pertumbuhan organisasi Majelis Mujahidin. Kedua, kritik, yakni meneliti
9
atau menganalisa kevalidan informasi dari sekian banyak sumber tertulis yang ada, berikut kritik internal dan eksternal. Ketiga, interpretasi yaitu menafsirkan fakta-fakta yang saling berhubungan dengan menggunakan pendekatan deskriptifanalitis. Keempat, hasil dari keseluruhan proses berbentuk penulisan sejarah ini berupa skripsi yang berjudul, “Pemikiran dan Kiprah Majelis Mujahidin Indonesia”, penulisan sejarah ini merupakan interaksi penulis dengan karya-karya pihak-pihak terkait yang menjadi sumber penulisan skripsi ini dengan mencoba melihat setiap fakta dengan seobjektif mungkin. Namun demikian, pengaruh subjektifitas dari penulis merupakan hal yang sulit untuk dihindari.
E. Sistematika Penulisan Untuk dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan memudahkan penelaahan terhadap skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini ke dalam beberapa bab. Sistemtika skripsi ini terdiri dari Bab pertama yaitu pendahuluan (memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan, pembatasan dan perumusan masalah, metode penulisan dan juga sistematika penulisan, sebagaimana telah dijelaskan di atas), dan empat bagian lain adalah Bab kedua akan membahas tentang latar belakang berdiri dan sejarah perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia. Bab ketiga di sini dibahas tentang pemikiran organisasi berikut dengan segala pandangan mereka tentang HAM, sekulerisme, dan demokrasi. Bab keempat mengetengahkan kiprah Majelis Mujahidin dalam upaya menegakkan Syari‟at Islam di Indonesia. Bab kelima atau bab terakhir akan menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Untuk lebih mudahnya pemaparannya adalah sebagai berikut:
10
Bab I
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi, dan sistematika penulisan.
Bab II
Sejarah Berdiri dan Perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia yang termasuk di dalamnya latar belakang berdirinya organisasi ini, biografi amir (pimpinan), dan juga sejarah perkembangannya
Bab III
Pemikiran Majelis Mujahidin, dalam bab ini dibahas mengenai pemikiran organisasi ini, khususnya pandangan terhadap HAM, Sekulerisme, dan Demokrasi.
Bab IV
Kiprah Majelis Mujahidin, pada bab ini akan dipaparkan mengenai
kiprah
Majelis
Mujahidin
dalam
upaya
memformalisasikan syari‟at Islam di Indonesia. Bab V
Penutup, bab ini merupakan kesimpulan mengenai semua yang telah dibahas oleh penulis dalam bab-bab sebelumnya.
Daftar Pusataka
11
BAB II SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN MAJELIS MUJAHIDIN INDONESIA
A. Latar Belakang dan Sejarah Berdiri Majelis Mujahidin Indonesia Kondisi umat Islam saat ini sedang terpuruk. Mereka ditimpa berbagai kesulitan hidup, terpecah belah dan terdzalimi. Begitu juga dengan umat manusia dewasa ini terpuruk karena sistem kehidupan yang rusak. Semua itu terjadi karena tidak diberlakukan syariat Islam yang merupakan kebutuhan dan fitrah manusia. Sementara di sisi lain umat ini tidak memiliki lembaga kepemimpinan umat sebagai pelaksana dari syari‟at Islam.1 Keterpurukan di segala lini kehidupan umat dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan. Umat dilanda bencana ekonomi dan politik yang kian memburuk menyebabkan banyak yang jatuh dalam kemiskinan dan kebodohan. Mereka ditimpa permasalahan klasik-internal umat sendiri sehingga menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Disamping itu ormas-ormas Islam yang seharusnya menjadi corong bagi kebangkitan umat, kehilangan orientasi untuk menegakkan syariat Islam, dengan begitu sering bersitegang dalam masalah yang furu’ dan melupakan perjuangan syariat Islam.2 Majelis Mujahidin melihat dengan dilatarbelakangi kesadaran sebagai umat Islam yang harus berpegang teguh kepada syari‟at Islam, maka harus menyamakan persepsi dan penyatukan langkah bersama. Krisis yang dialami oleh umat tidak akan dapat diselesaikan dengan aturan buatan manusia yang telah 1 2
Irfan S. Awwas dan Tim Ahli Majelis Mujahidin,“Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 1. Ibid.
11
12
merusak semua sendi kehidupan. Oleh sebab itu, umat harus kembali kepada syari‟at Islam yang akan mewujudkan “Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafûr “ (Aman, damai dan diridhai Allah). 3 Menurut Jamhari ada empat alasan berdirinya Majelis Mujahidin:4 “... Pertama, kerinduan sebagian kalangan muda dan tokoh umat Islam, yang kemudian menjadi pelopor dan dan pengurus MMI, akan berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam), baik dalam pengertian nasional dan internasional. Kedua, keprihatinan terhadap berbagai gerakan penegakan syariat Islam, dan pembentukan Negara Islam di Indonesia yang selalu dicurigai dan memunculkan berbagai macam Islamophobia yang seringkali dihubungkan dengan pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Ketiga, keprihatinan terhadap eksistensi Islam yang masih terpinggirkan, sehingga umat Islam tidak memiliki ruang bebas untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran agamanya sebagai golongan penganut agama mayoritas di Indonesia. Keempat, krisis multidimensi yang menimpa Indonesia dewasa ini, menurut MMI, tidak bisa diselesaikan pemerintah yang tidak memiliki komitmen keislaman yang kuat. Lemahnya komitmen itu dapat dilihat dari lemahnya akidah umat Islam Indonesia akibat, diantaranya, dicampakkannya syariat Islam dalam hukum positif Indonesia, dan adanya konspirasi Barat-Zionis yang “disambut baik” oleh, pada saat itu, pemerintah Abdurahman Wahid yang menjadikan beberapa tokoh BaratYahudi sebagai penasihatnya, seperti George Soros, Henry Kissinger, dan Lee Kwan Yew yang sesungguhnya, menurut MMI, menghendaki perpecahan bangsa Indonesia dengan memprovokasi daerah-daerah dengan isu-isu sumber daya alam.”
Pada tanggal 5-7 Jumadil Ula 1421 H bertepatan dengan 5 Agustus 2000 di Yogyakarta diselenggarakan Kongres Mujahidin I dengan maksud untuk merealisasikan tujuan penerapan syari‟at Islam. Peserta yang menghadiri tidak kurang dari 1.800 orang terdiri dari 24 perwakilan daerah serta perwakilan dari luar negeri. Acara tersebut melahirkan piagam Yogyakarta dan mengamanatkan
3
Ibid., h. 2. Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 50-51. 4
13 kepada kongres membentuk sebuah tansiq umat Islam bagi penerapan syari‟at Islam yang kemudian dinamakan dengan Majelis Mujahidin Indonesia.5 Dalam tiga hari pelaksaan Kongres Mujahidin I, peserta disuguhkan pemaparan makalah-makalah dari para pembicara berlatar belakang akademisi dan ulama, seperti Prof. Dr. A. Mansyur Suryanegara, Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Abdurahman A. Basalamah, Dr. Nasheem M. Fathallah, Ir. H. Adi Warman Azwar Karim, MBA, Drs. Ohan Sujana, Bc. Hk., Ir. RHA. Sahirul Alim, MSC, Ust. Abdul Qadir Baraja, KH. Mawardi Noer, SH., Ust. M. Thalib, Ust. Abu Jibril Abdurahman, Ust. Abu Bakar Ba‟asyir.
Peserta Kongres Mujahidin setelah
disajikan makalah menuntut agar dibuat rumusan yang terkait dengan kemaslahatan rakyat Indonesia, juga upaya-upaya konstruktif dalam menegakkan syari‟at Islam.6 Selanjutnya pembagian komisi dalam empat pembahasan: komisi A membahas mengenai Tandzim Mujahidin, komisi B membahas mengenai program perjuangan Mujhidin, Komisi C mengenai Imamah Ummah, dan D mengenai rekomendasi. Kemudian ketetapan-ketetapan dari masing-masing komisi disahkan menjadi keputusan kongres setelah diputuskan dalam sidang pleno.7 Deklarasi Majelis Mujahidin mendapatkan sambutan baik dari banyak media baik dalam maupun luar negeri. Partisipasi media dalam mengabarkan cukup proporsional dan objektif sekaligus menunjukkan perlu adanya revolusi sistemik dalam pengelolaan kehidupan manusia secara global yang kini sedang 5
Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin,“Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 2. Irfan Suryahardi Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakkan Syari’ah Islam (Yogyakarka: WIHDAH PRESS, 2001), h. 132. Pemakalah-pemakalah dalam Kongres Mujahidin dapat dilihat pada bagian daftar isi. 7 Ibid., h.132. 6
14
tercabik-cabik berbagai bencana, malapetaka, dan krisis multidimensional. Tapi ada juga sebagian kecil media yang memberitakan „miring‟ terhadap kongres. Prasangka buruk yang dikedepankan oleh media tersebut yang notabene media Islam tentu kontra produktif dengan usaha atau tujuan dari diselenggarakannya kongres.8 Kongres Mujahidin I bukanlah hajat dari kelompok tertentu untuk menyaingi kelompok (Islam) yang lain. Lahirnya Majelis Mujahidin adalah peleburan kekuatan umat Islam dari berbagai latar belakang organisasi yang memiliki satu misi bersama, menegakkan syari‟at Islam. Maka tidak perlu berprasangka buruk, dan seharusnya mendukung secara maksimal dengan memberitakan hal-hal yang positif agar Majelis Mujahidin dapat merealisasikan cita-cita politiknya.9 Setelah dideklarasikan pendiriannya pada tanggal 15 Jumadil Ula 1421 H/ 15 Agustus 2000 M perutusan dari Majelis Mujahidin mengunjungi DPR RI saat sedang berjalan sidang paripurna. Kunjungan ini dilakukan berkaitan dengan adanya ancaman disintegrasi dan penolakan Syariat Islam oleh sebagian anggota DPR RI. Di depan fraksi Golkar, PPP dan Partai Bulan Bintang disampaikan Shahifah (Piagam) Yogyakarta dan pokok-pokok rekomendasi keputusan Kongres Mujahidin. Isi dari materi tersebut, yaitu:10 1. Sesungguhnya persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang utuh dan berdaulat merupakan dambaan kita bersama. 2. Berkembangnya potensi disintegrasi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin akut menunjukkan bahwa tesis yang
8
Ibid., h. 369. Ibid. h. 370 10 Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin,“Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 3-4. 9
15 mengatakan bahwa “bila Syari‟ah Islam diterapkan bagi pemelukpemeluknya maka akan terjadi disintegrasi” adalah salah dan tidak berdasar. 3. Justru, karena Syari‟ah Islam yang merupakan fitrah bagi umat manusia pada umumnya tidak diterapkan, maka potensi disintegrasi bangsa pun berkembang, bersamaan dengan bermunculannya berbagai bencana di bidang politik, keuangan dan moneter, HAM dan demokrasi, dan sebagainya. 4. Oleh karena itu memberlakukan Syari‟ah Islam bagi umat Islam dan memberlakukan ketentuan agama lain (Kristen, Katholik, Hindu, Budha) kepada para pemeluknya merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa. 5. Merupakan hak asasi setiap pemeluk agama untuk menerapkan ajaran (syari‟ah) agamanya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari, dan hal ini harus dipenuhi oleh negara karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 29. 6. Syari‟ah Islam mengandung nilai-nilai universal yang juga dikenal penganut agama lain, sehingga bila diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, syari‟ah Islam mampu melindungi seluruh warga negara apa pun agamanya. 7. Siapa saja di antara umat Islam yang menolak syari'ah Islam, maka sesungguhnya mereka tergolong munafiq dan melanggar hak asasi manusia (HAM) serta condong kepada kehidupan yang penuh konflik sebagaimana selama ini telah terjadi di Ambon, Maluku, Aceh, Poso dan lain sebagainya. Kemudian dilaksanakan musyawarah kerja Ahlul Halli wal Aqdi Majelis Mujahidin pada tanggal 26-27 Jumadil Ula 1421 H (26-27 Agustus 2000) di Jakarta. Diputuskan hal-hal berikut:11 1. Membentuk badan pekerja Ahlul Halli wal Aqdi yang diketuai oleh Ust. Abu Bakar Bakar Ba‟asyir. Badan pekerja ini berkedudukan di Yogyakarta, dan bertugas melaksanakan tugas sehari-hari Ahlul Halli Wal Aqdi Majelis Mujahidin. 11
Irfan, Risalah Kongres Mujahidin I, h. 371-371.
16
2. Memilih Sdr. Irfan S. Awwas sebagai Ketua Lajnah tanfidziyah Majelis Mujahidin, yaitu badan pelaksana keputusan Ahlul Halli wal Aqdi, yang bertugas menyusun Rancana Kepengurusan Lajnah Tanfidziyah, untuk selanjutnya disahkan oleh Ahlul Halli wal Aqdi. 3. Lajnah Tanfidziyah diharapkan segera membentuk jaringan antar anggota aliansi melalui perwakilan-perwakilan wilayah, guna mempercepat pelaksanaan syari‟at Islam di daerah-daerah mayoritas berpenduduk Islam.
B. Biografi Amir Majelis Mujahidin Indonesia 1. Abu Bakar Ba’asyir Abu Bakar Ba‟asyir lahir pada tanggal 17 Agustus 1938 bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1356 di Mojoagung, sebuah daerah di Jombang, Jawa timur. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar bin Abu Ahmad Ba‟asyir, beliau keturunan dari bapak dan kakek yang berasal dari Hadramaut Yaman dan menetap di Indonesia.12 Abu Bakar Ba‟asyir lahir dari kedua orang tua, bernama Abu Ahmad Ba‟asyir dengan Halimah Bazargan. Kedua pasangan itu memiliki 7 putra-putri bernama: Seha, Fatimah, Aisyah, Salim, Ahmad dan Abu Bakar Ba‟asyir. Anak perempuan mereka yang kedua meninggal dunia saat masih bayi. Saat ini semua Saudara Abu Bakar Ba‟asyir telah meninggal, diantaranya wafat saat Ba‟asyir
12
Praga Adidhatama, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir tentang Negara Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009), h. 48. Lihat juga Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007 ), h. 75.
17
kecil, dua saudaranya wafat saat dia tinggal di Malaysia, dan dua saudaranya lagi meninggal saat dia dalam penjara.13 Abu Ahmad Ba‟asyir adalah seorang pedagang kain. Pada tahun 1945 bertepatan dengan usia Abu Bakar Ba‟asyir menginjak tujuh tahun, Ia meninggal dunia. Yatim Ba‟asyir dibesarkan oleh ibunya, seorang wanita yang tidak memiliki pendidikan formal, namun pandai mengaji. Ba‟asyir dan saudarasaudarinya dibimbing oleh sang bunda serta ditanamkan nilai-nilai Al-Qur‟an dengan penuh kasih sayang. Sang bunda meniggal dunia saat Ba‟asyir mendapat hukuman penjara pada tahun 1980 dalam pemerintahan Orde Baru. Ba‟asyir amat sedih karena kepergian ibunda tercinta.14 Pendidikan Abu Bakar Ba‟asyir ditempuh dari pendidikan dasar sampai SMA, kemudian melanjutkan ke Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 1959-1963 dengan biaya dari kakaknya. Selanjutnya Ba‟asyir kuliah di Jurusan Dakwah Universitas Al-Irsyad, Surakarta tahun 1963, dan tidak menamatkan studinya karena kesibukan dakwahnya.15 Sejak bersekolah di Pesantren Gontor, Ia sudah aktif dalam organisasi, seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) tingkat kecamatan sebagai sekretaris tahun 1956 dan menjadi ketua tahun 1961. Ia juga pernah menjadi ketua PII cabang Pondok Pesanten Gontor. Tahun 1966 Ba‟asyir dipercaya sebagai ketua Lembaga Dakawah Islam Indonesia (LDMII) cabang Surakarta. Ba‟asyir
13
Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 75. Ibid., h. 74. lihat juga Praga, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 48. 15 Ibid., h. 74-75. lihat juga Praga, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 14
50.
18
juga pernah memegang amanah sebagai sekretaris umum Pemuda Al-Irsyad cabang Solo.16 Di tahun 1967 Abu Bakar Ba‟asyir mendirikan sebuah radio dakwah bersama dengan Abdullah Sungkar dan Hasan Basri dan diberi nama radio Dakwah Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission), kemudian ditutup oleh pemerintah orde baru. Kemudian tahun 1969 Ba‟asyir mendirikan kembali pemancar radio diberi nama Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS). Masyarakat menerima dengan baik radio tersebut, karena berani menyuarakan kebenaran. Ternyata nasibnya pun tidak berbeda dengan radio sebelumnya, Radio kedua yang didirikan oleh Ba‟asyir dan rekan-rekannya itu dilarang mengudara oleh LAKSUSDA Jawa Tengah pada tahun 1975. Radio yang terakhir ini dilarang karena Abu Bakar Ba‟asyir pernah mengkritik sikap pemerintah yang memaksakan asas tunggal untuk semua organisasi masyarakat (ORMAS), termasuk organisasi masyarakat Islam.17 Penutupan radio tersebut tidak menyurutkan Ba‟asyir dalam berdakwah. Usaha selanjutnya, Ia mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Al-Mukmin bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qahar H. Daeng Matase, dan Abdullah Baraja pada 10 Maret 1972. Pondok Pesantren Al-Mukmin berdiri di atas tanah seluas 8.000 M2 di Jalan Gading Timur 17 A, Desa Ngruki, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Tengah. Gagasan pendirian pesantren ini dilatar belakangi oleh antusiame jama‟ah pengajian dzuhur di Masjid Agung
16
Ibid., h. 78. lihat juga Praga, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 50. Praga, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 51.
17
19
Surakarta yang selalu membludak. Kondisi itu mendorong para mubaligh dan ustadz untuk mengembangkan pengajian itu menjadi sebuah Madrasah Diniyah.18 Tahun 1982 merupakan puncak keberanian Abu Bakar Ba‟asyir mengkritik kebijakan Orde Baru. Pemerintah menganggap Ba‟asyir telah menghasut masyarakat agar menolak asas tunggal. Abu Bakar Ba‟asyir memandang pemaksaan asas tunggal adalah rakayasa dari Kristen atau Katolik untuk menghancurkan semua institusi Islam. Ba‟asyir menolak hormat kepada bendera merah-putih
karena
dianggap
sebuah
kesyirikan.
Terakhir,
pemerintah
menuduhnya terlibat dalam gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto), salah seorang tokoh DI/TII. Dari dakwaan-dakwaan di atas, maka pengadilan menjatuhkan hukum Sembilan tahun penjara.19 Pada tahun 1985, Pengadilan Negeri memanggil Abu Bakar Ba‟asyir untuk menerima putusan kasasi. Ba‟asyir disarankan oleh teman-temannya agar tidak datang karena mereka mencurigai pemerintah akan menangkap kembali Ba‟asyir. Ba‟asyir memutuskan tidak akan menghadiri undangan Pengadilan Negeri, kemudian ia bersama-sama beberapa temannya berencana meninggalkan Indonesia menuju Malaysia. Mereka berangkat dari Solo menuju Jakarta dan menginap selama tiga minggu, lalu menuju lampung, kemudian ke Medan, selanjutnya ke Malaysia.20 Sikap pemerintah Malaysia yang melindungi terhadap pendatang membuat nyaman bagi Ba‟asyir beraktivitas. Selama 14 tahun hidup di Malaysia, Ia habiskan dengan kegiatan berdakwah, mengisi taklim bulanan, mendirikan lembaga pendidikan Lukmanul Hakim di Johor. Ia juga berdagang obat-obatan, 18
Ibid., h. 51. Ibid., h. 52. 20 Ibid., h. 53. 19
20 berkebun dan beternak. Kegiatan dakwah Ba‟asyir bersama-sama rekan-rekannya tidak menjadi hal yang mencolok di mata pemerintah, karena ajaran Islam berkenaan dengan kebaikan-kebaikan agama Islam yang disampaikan. Memang saat itu tidak ada pandangan dari perdana menteri Mahatir Mohammad, bahwa pendatang politik adalah pendatang haram.21 Aktivitas Dakwah Ba‟asyir di Malaysia dituduh telah membentuk organisasi bernama Jama‟ah Islamiyah yang dianggap organisasi teroris dan bagian dari alQaeda oleh Amerika. Padahal dalam mengajar Ba‟asyir hanya menyampaikan alQura‟an dan Hadits. Ba‟asyir mengajar dalam sebuah forum pengajian rutin bulan mengajarkan sunnah Nabi. Selain itu Ba‟asyir juga diundang dalam pangajian rutin di Kedutaan Indonesia, Taman Tun Abdul Razak, dan menjadi pengajar tetap di jama‟ah pengajian Departemen Keuangan di Masa Anwar Ibrahim. Kegiatankegiatan dakwahnya yang berlangsung hanya beberapa jam saja dalam setiap kesempatan, tidak memungkinkan membentuk sebuah organisasi.22 Ba‟asyir bersama dengan temannya yang meniggalkan Indonesia dan memilih menetap di Malaysia, dikenal sebagai pendakwah yang baik, jujur, berani menyampaikan kebenaran, dan mereka tidak menjadi corong kelompok tertentu, akan tetapi hanya menyampaikan al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Oleh Karena itu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat dan mendapat ijin sebagai da‟i yang bebas menyampaikan dakwahnya di masyarakat.23 Abu Bakar Ba‟asyir dan Abdullah Sungkar memutuskan kembali ke Indonesia setelah berakhir rezim orde baru. Ia dan Abdullah Sungkar disediakan 21
Ibid., h. 53-54. Lihat juga Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 78-79. 22 Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 79. Lihat juga Praga, “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 54. 23 Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 79.
21 rumah oleh pengurus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki.24 Era setelah orde baru ini disebut dengan Era Reformasi dipimpin BJ. Habibie, mantan wakil presiden Soeharto. Era Reformasi ditandai dengan terbukanya ruang kebebasan pers, aksi protes yang kian massif, penyelenggaraan pemilu tahun 1999 yang lebih demokratis hingga pendirian organisasi-organisasi berhaluan ideologis dapat dengan mudah. Semua itu adalah implikasi dari proses demokratisasi politik nasional. Suasana yang demokratis dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi tumbuh berkembang dan mengekpresikan ide-ide serta cita-cita perjuangannya secara leluasa.25 Abu Bakar Ba‟asyir menjadi salah satu orang yang membidani lahirnya Majelis Mujahidin Indonesia. Majelis Mujahidin Indonesia adalah Organisasi yang lahir dari keputusan Kongres Mujahidin I pada tanggal 7 Agustus tahun 2000. Acara kongres itu berlangsung pada tanggal 5-7 Agustus 2000 dan menempatkan beberapa tokoh umat Islam Indonesia sebagai Ahlul Halli wal Aqd, kemudian mereka memilih Abu Bakar Ba‟asyir sebagai Amir Mujahidin. Pada Kongres Mujahidin ke-2 tahun 2002, Ia dipilih kembali menjadi Amir Mujahidin masa jabatan 2003-2008.26
2. Muhammad Thalib Muhammad Thalib lahir pada 30 November 1948 di Desa Banjaran, Kebupaten Gresik, Surabaya, Jawa Timur. Ia tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan pesantren dan kyai Nahdhatul Ulama. Pada masa kecilnya dikenal 24
Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 79. M. Zaki Mubarok, Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2008), h. 109. 26 Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 80. Lihat juga “Mengenal Majelis Mujahidin”, Irfan S. Awwas dan Tim Ahli Majelis Mujahidin 25
22
sebagai anak yang cerdas dan kritis. Setelah lulus sekolah, Ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren PERSIS, Bangil pimpinan Ustadz Abdul Qadir Hasan. Ustadz Abdul Qadir sering mengajaknya ke pertemuan-pertemuan ulama dan Ia didorong untuk berbicara dalam forum tersebut.27 Setelah lulus pada 1967, Ia mengabdikan diri sebagai pengajar di Pesantren almamaternya. Ia dikenal sebagai guru muda yang kritis, gigih, dan tangguh dalam pendiriannya. Ia pernah berkuliah Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Indonesia dan menyelesaikan studinya pada bulan Januari pada tahun 1978. Keahliannya di bidang fiqih dan hadits menjadikannya peka terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan. Muhammad Tahlib menghatamkan kitab berbahasa arab dengan kode CBSA dan telah berhasil menimba ilmu dari tokoh nasional dan ulama terkemuka di dalam negeri.28 Keluasan ilmunya dituangkan dalam tulisan-tulisan yang menyangkut masalah umat sehari-hari. Muhammad thalib telah menulis tidak kurang dari 500 makalah dan 240 buku yang tersebar baik di dalam maupun luar negeri. Ia pernah menjadi pembicara dalam acara BKKBN pusat pada tanggal 30 Maret 1997 untuk menyampaikan konsep keluarga sejahtera Indonesia menurut syari‟at Islam. Acara itu dihadiri oleh ketua BKKBN seluruh Indonesia.29 Ia juga pernah menyusun kurikulum Bahasa Arab untuk MI dan Mts pada tahun 1979-1985, kemudian ditetapkan sebagai kurikulum Nasional oleh departemen agama dan dicetak sebanyak 125.000 eksemplar/ tahun. Diantara 27
“Profil Muhammad Thalib”, video diakses pada 29 Oktober 2014 dari https://www.youtube.com/watch?v=1yqWBgWJZF4&list=TLEIkRDX9Doiu_rWkJZoo89oSRloR 2gbSe. Lihat juga Nur Isrokhah, “Tinjauan Bimbingan Konseling Keluarga dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah (Analisa Buku “Manajemen Keluarga Sakinah” karya Muhammad Thalib)” (Skripsi S1 Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2009). h. 56. 28 Ibid. 29 Ibid.
23
Karya-karyanya, paling banyak membahas mengenai keluarga dan ibadah praktis. Ia juga aktif menerjemahkan kitab-kitab berbahasa arab, seperti fiqh al-sunnah dan tafsir al-Maraghi, dan sebagian karya yusuf musa tentang Islam dan Negara; al-Qur‟an dan Filsafat.30 Muhammd Thalib pernah belajar berbagai disiplin ilmu di luar dari pendidikan formalnya. Tercatat di bawah ini, ulama dan guru yang pernah ia timba ilmunya, seperti:31 1. Ilmu Hadits dan Fiqih pada Ustadz Abdul Qadir Hasan (putra A. Hasan) tahun 1967-1970. 2. Ilmu Bahasa Arab pada Kyai Ahmad Yazid 1971; Ustadz Ali Farghali dan Syarafuddin (Dosen Al-Azhar yang bertugas di IAIN Sunan Ampel, Surabaya), tahun 1972. 3. Ilmu Tafsir dan Bahasa Arab pada Prof. Dr. Mukhtar Yahya (Pembantu Dekan I IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) tahun 1978-1981. 4. Ilmu Politik dan Tata Negara Islam pada Prof. Kahar Muzakir (Dekan Fakultas Hukum UII) Tahun 1973. 5. Tafsir Ayat Ahkam pada Kyai Basyir (Anggota Majelis Tarjih Pusat) Tahun 1974. 6. Ilmu Bahasa Arab pada Ustadz Qasim, M.A. (Dosen Al-Azhar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Tahun 1975. 7. Studi Intensif Hukum Perdata dan Antar-Golongan pada Prof. Kasmat Bahuwinangun dan Prof. Noto Susanto tahun 1975-1976.
30
Ibid. Nur Isrokhah, “Tinjauan Bimbingan Konseling Keluarga”, h. 56-57.
31
24
8. Sejarah dan Perbandingan Agama pada Prof. Dr. H.M. Rasyidi secara konsultatif tahun 1989. 9. Bimbingan penulisan jurnalis pada Prof. Hamka tahun 1969. 10. Halaqah Studi Islam pada Prof. Muhammad Qutb di Masjidil Haram selama menjalani ibadah umrah pada Mei 1978, didampingi Prof. Dr. Fuad Fakhruddin (Staf KBRI Saudi Arabia). Muhammad Thalib juga pernah aktif mengikuti diskusi-diskusi intensif bersama tokoh pergerakan Islam Indonesia, seperti Dr. Muhammad Natsir (Mantan PM), Mr. Muhammad Roem, Dr. Soekiman Wiryosanjoyo, Prof. Farid Ma‟ruf, Prof. Dr. Fuad Fakhruddin, Prof. Ahmad Sadzali.32 Pada tahun 1989 Rabitah „Alam Islami mengangkatnya sebagai anggota dengan nomer register 1771/B. Ia dimasukkan dalam Komisi Pengembangan Pemikiran Qur‟an dan surat pengangkatannya ditandantangi oleh syeikh Abdul Majid Zandani sebagai Direktur Komisi B. Thalib pernah dikunjungi oleh Dr. Suzane A. Brenner dari Assosiate Professor pada Departement of Anthropology of University of California, Los Angeles pada tanggal 7 Juli 1997 untuk wawancara seputar keluarga dan wanita menurut ajaran Islam (Ahlus Sunnah wal Jama‟ah).33 Muhammad Thalib juga tercatat aktif dalam dunia akademik baik dalam dunia perguruan tinggi maupun pesantren dan sebagai penulis, antara lain:34 1. Mengajar Mata Kuliah Tafsir dan Fiqih pada Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tahun 1974-1978.
32
Ibid., h. 57-58. Ibid., h. 58. 34 Ibid., h. 58-59. 33
25
2. Mengajar Tafsir, Fiqih, dan Hadits tahun 1978-1993 sebagai asisten Prof. Mukhtar Yahya, Fakultas Tarbiyah UII. 3. Ma‟had „Aly Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, untuk ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Ulumul Hadits tahun 2004-2006. 4. Penulis Buku-buku Keislaman dari tahun 1970 hingga sekarang Muhammad Thalib dikenal sebagai penulis buku produktif. Ratusan buku karyanya telah di cetak oleh penerbit-penerbit di kota-kota besar, seperti Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Pengetahuannya yang luas disandingkan dengan kemampuan menulis menghasilkan karya-karya yang tidak sedikit, seperti:35 1. Solusi Islam terhadap Dilema Wanita Karir, yang diterbitkan oleh Wahdah Press, Yogyakarta (1999). 2. Membangun Kekuatan Islam di tengah Peselisihan Umat, yang diterbitkan oleh Wihdah Press, Yogyakarta (2001). 3. Potret Kemesraan Rasulullah dengan Istri-Istrinya, yang diterbitkan oleh Media Hidayah, Yogyakarta (2003). 4. Gerekan Kesetaraan Gender Menghancurkan Peradaban, yang diterbitkan oleh Kafilah Media (2005). 5. Fungsi dan Fadhilah membaca al-Qur’an, yang diterbitkan oleh Kafilah Media, Yogyakarta (2005). 6. Terjemahan Tafsiriyah Juz ‘amma, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (2001).
35
Ibid., h.59-61.
26
7. Tuntunan Islami Memberikan Nama Anak, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (2002). 8. Langkah Melestarikan Kemesraan Suami Istri, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (1997). 9. Tuntunan Muslimah Berpakaian, Berhias, dan Bergaul, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (2002). 10. Upaya Musuh Menghancurkan Islam Melalui Keluarga, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (2000). 11. Konsep Pembinaan Sakinah Penuh Berkah, yang diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam, Bandung (2002). 12. Pedoman Pergaulan Suami Istri, yang diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu, Surabaya (1980). 13. 90 Petunjuk Rasulullah Membina Keluarga, yang diterbitkan oleh CV. Ramadhani, Solo/ Semarang (1992). 14. 40 Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak, yang diterbitkan oleh AlKautsar, Solo/Jakarta (1990). 15. Ensklopedi Keluarga Sakinah, yang diterbitkan oleh Pro-U Media, Yogyakarta (2008), terdiri dari 15 jilid, yaitu: 1) Jilid I
Karakteristik Pernikahan Islami.
2) Jilid II
Menuju Pernikahan Islami.
3) Jilid III
Memasuki Romantika Kehidupan Baru.
4) Jilid IV
Menghayati Kehidupan Suami Istri.
5) Jilid V
Bimbingan Kemesraan dan Seksualitas Islam.
6) Jilid VI
Menyambut Sang Buah Hati.
27
7) Jilid VII
Menjadi Orang Tua Pemandu Surga.
8) Jilid VIII
Menjadi Anak Permata Hati.
9) Jilid IX
Menghayati Psikologi Suami Istri.
10) Jilid X
Menghayati Psikologi Orang Tua dan Anak.
11) Jilid XI
Membina Mental Keluarga Sakinah.
12) Jilid XII
Kiat dan Seni Mendidik Anak.
13) Jilid XIII
Praktik Rasulullah Mendidik Anak.
14) Jilid XIV
Pedoman Pergaulan Islami.
15) Jilid XV
Membangun Ekonomi Keluarga Islam.
C. Sejarah Perkembangan Majelis Mujahidin Indonesia Pada tanggal 5-7 Agustus 2000 diselenggarakan Kongres Mujahidin I, kemudian menghasil Piagam Yogyakarta dan melahirkan Majelis Mujahidin Indoensia. Pada Kongres Mujahidin I terpilih Abu Bakar Ba‟asyir sebagai Amir Mujahidin dan Irfan S. Awwas sebagai ketua Lajnah Tanfidziyah Pusat. Pada tanggal 10 September 2002 diadakan kembali Kongres Mujahidin II, dan Ba‟asyir terpilih kembali menjadi Amir Mujahidin periode 2003-2008.36 Pada 9-10 Agustus 2008 di Yogyakarta diselenggarakan Kongres Mujahid III di tengah konflik internal pimpinan Majelis Mujahidin yang berbeda pandangan dalam persoalan sistem organisasi. Pada kongres ini terpilih Muhammad Thalib sebagai Amir Mujahidin dan Irfan S. Awwas sebagai ketua Lajnah Tanfidziyah pusat. Pada tanggal 23-25 Agustus 2013 dilaksanakan
36
Abu Izzuddin,“Bersua di Kongres Mujahidin III”, diakses pada 29 oktober 2014 dari https://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg04409.html. Lihat juga Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin “Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 2. Lihat Juga Humaini, “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba‟asyir”, h. 80.
28
Kongres Mujahidin IV di Komplek Masjid Az-Zikra, Sentul, Bogor. Hasil kongres tersebut adalah terpilih kembali Muhammad Thalib menjadi Amir Mujahidin/ Ketua Majelis Mujahidin periode 2013-2018 dan beberapa rekomendasi, misalnya sistem pemilu yang tidak sesuai dengan syariat Islam harus ditolak.37 Saat ini Majelis Mujahidin telah memiliki 11 Lajnah Perwakilan Wilayah (LPW) dan 26 Lajnah Perwakilan Daerah, yaitu:38 1. LPW Jabodetabek 2. LPW Sumatra Utara 3. LPW Sumatra Barat 4. LPW Sumatra Selatan 5. LPW Kalimantan Timur 6. LPW Sulawesi Selatan 7. LPW Jawa Barat 8. LPW Yogyakarta 9. LPW Jawa Tengah 10. LPW Nusa Tenggara Barat 11. LPW Bandar Lampung Adapun Lajnah Perwakilan Daerah, yaitu: 1. LPD Jakarta Timur 2. LPD Tasikmalaya 37
“Jelang Kongres Mujahidin IV” diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://majelismujahidin.com/2013/04/jelang-kongres-mujahidin-iv/; “Ustadz Muhammad Thalib kembali memimpin sebagai amir Majelis Mujahidin” diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://www.arrahmah.com/news/2013/08/26/ustadz-muhammad-thalib-memimpin-amir-majelismujahidin.html#sthash.Oj1umBIQ.dpuf 38 “LPW dan LPD Majelis Mujahidin”, Diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://majelismujahidin.com/lpwlpd-majelis-mujahidin/
29
3. LPD Purwakarta 4. LPD Majalengka 5. LPD Kota Cirebon 6. LPD Kab. Cirebon 7. LPD Brebes 8. LPD Cilacap 9. LPD Purworejo 10. LPD Klaten 11. LPD Kendal 12. LPD Sukoharjo 13. LPD Solo 14. LPD Karangayar 15. LPD Sragen 16. LPD Wonogiri 17. LPD Probolinggo 18. LPD Ponorogo 19. LPD Lombok Timur 20. LPD Lampung Utara 21. LPD Lampung Timur 22. LPD Prabumulih 23. LPD Payakumbuh 24. LPD Bukit Tinggi 25. LPD Kota Padang 26. LPD Baubau
30
Majelis Mujahidin juga memiliki tim rescue bernama Korp. Relawan Mujahidin. Korp. Relawan Mujahidin adalah gugus dari Majelis Mujahidin untuk membantu masyarakat yang memerlukan, seperti korban bencana alam. Majelis Mujahidin memandang perlu dibentuk gugus ini sebagai sebuah pelaksaan syari‟at Islam. Disamping itu Majelis Mujahidin mengakses kondisi dan situsi masyarakat tempat terjadi bencana dengan maksud untuk berdakwah. Seperti halnya di Aceh terjadi „gesekan‟ antara Majelis Mujahidin dengan relawan-relawan baik lokal maupun asing yang memiliki tujuan pendangkalan akidah umat Islam. Mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sedangkan Majelis Mujahidin terangterangan berdakwah di tengah-tengah korban bencana.39 Majelis Mujahidin memiliki satuan pengawal perjuangan penegakkan syari‟at yang disebut dengan Laskar Mujahidin Majelis Mujahidin (LM3). Laskar Mujahidin memiliki motto, “Dakwah dan Jihad untuk Penegakan Syari‟at Menuju Izzatul Islam wal Muslimin”. Laskar Mujahidin juga memiliki program, yiatu:40 1. Kajian Islam 2. Pengamanan 3. Renang 4. Long March 5. Bela Diri 6. Pelatihan Kesehatan 7. Roll Climbing 8. Dan Lain-Lain
39
Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 10 Oktober 2014. “Program Laskar Mujahidin”, Diakses pada 29 Oktober 2014 http://laskarmujahidin.wordpress.com./program 40
dari
31
Majelis Mujahidin saat ini memiliki Masjid bernama Ar-Rasul di Jalan Karanglo No. 94 Kotagede-Yogyakarta. Masjid ini diresmikan pada hari Ahad, 9 Januari 2011/ 3 Saffar 1432 H. Selain digunakan untuk ibadah dan penyebaran dakwah Islam, juga sebagai Pusat Studi Islam An Nabawy. Masjid yang berdiri di atas tanah wakaf Yayasan Ahlus Suffah ini diberi mana al-Rasul, menurut Irfan S. Awwas bermaksud mengambil ibrah (ketauladanan) dari Rasulullah saw, dialah sosok yang berhasil dalam pembangunan umat.41
41
“Peresmian Masjid Ar-Rasul: Yoyakarta Bersyari‟at!”, Diakses pada 29 Oktober dari http://majelismujahidin.com/2011/01/peresmian-masjid-raya-ar-rasul-yogyakartabersyariat/#more-179. Lihat juga “MM Resmikan Masjid Raya Ar Rasul Dengan Dialog Publik Tentang Yogyakarta”, diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://www.arrahmah.com/read/2011/01/05/10565-mm-resmikan-masjid-raya-ar-rasul-dengandialog-publik-tentang-yogyakarta.html#sthash.DKuvbycI.dpuf
32
BAB III PEMIKIRAN MAJELIS MUJAHIDIN
Kemajuan peradaban Barat saat ini menyilaukan umat Islam. Barat yang maju dalam sains dan teknologi berikut dengan pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan (worldview) ditransmisikan ke dunia Islam. Tentu saja semua yang berbau ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, dsb. juga teknologi untuk kemajuan kehidupan manusia, merupakan ilmu yang bersifat universal.1 Akan tetapi pemikiran Barat tentang kehidupan (worldview) menjadi tantangan bagi umat Islam. Pemikiran-pemikiran Barat tentang kehidupan adalah tantangan besar bagi umat Islam sekaligus menjadi bagian dari kemodernan yang harus dihadapi segenap kaum muslim. Menurut al-Attas, pemikiran Barat yang sekuler telah menjadi tantangan yang serius bagi umat manusia, karena menegasikan tuhan sebagai pengatur kehidupan manusia dan menuhankan manusia sebagai pembuat hukum. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemikiran Barat yang merelatifkan segala yang absolut dan kebenaran fundamental dari agama, kemudian dipandang sebagai teori belaka.2 Adapun pemikiran kaum muslim terhadap modernitas tersebut terbagi menjadi dua corak pemikiran, yaitu (1) pemikiran modernitas dari sudut pandang Islam (Islamic worldview) dan (2) modernitas sebagai acuan dalam memandang
1
Universal berarti dapat digunakan oleh siapa saja sebab tidak dipengaruhi oleh keyakinan, pandangan dsb dari peradaban atau agama tertentu. Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Syakhshiyah Islam. Penerjemah Zakia Ahmad (Jakarta: HTI PRESS, 2007), h. 383. 2 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekulerLiberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 3.
32
33 sesuatu.3 Pemikiran yang pertama merupakan pemikiran mainstream umat Islam di Indonesia dan yang kedua adalah pemikiran liberal. Pemikiran-pemikiran modernitas, saat ini ditanggapi oleh umat Islam dengan berbagai respon. Organisasi Islam sebagai representasi pemikiran umat Islampun berbeda pandangan mengenainya. Persentuhan umat Islam Indonesia dengan ide-ide modernitas seperti demokrasi sudah terjadi semenjak masa kemerdekaan, saat itu Indonesia menerapkan demokrasi parlementer.4 Pelaksanaan demokrasi saat itu tidak dapat berjalan dengan baik, disebabkan agresi militer oleh Belanda terhadap daerah-daerah di Indonesia. Usaha-usaha dalam penaklukkan terhadap wilayah Indonesia oleh Belanda sekurang-kurangnya telah dilakukan dalam tiga periode, yaitu (1). Abad ke-XVII dan Ke-XVIII, (2). Abad ke-19 dan awal abad ke-20, (3). Setelah kemerdekaan sampai 1950. Pihak Belanda masuk ke Indonesia, khususnya di bagian timur bersama-sama dengan Inggris dan Autralia. Perlu diketahui bahwa Inggris dan Autralia masuk ke Indonesia sebagai wakil sekutu untuk melucuti senjata tentara Jepang. Lain halnya dengan Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia, tetapi merasa tidak mampu sendirian masuk ke Indonesia, oleh sebab itu Ia datang besama-sama dengan sekutu.5 Selain Ide demokrasi, ide modernitas yang telah bersentuhan dengan umat Islam di Indonesia adalah Sekularisme. Ide tersebut telah bersentuhan dengan
3
Adian Husaini dalam “Seminar Internasional Peta Pemikiran Islam di Indonesia antara Liberalisasi dan Islamisasi” Makalah diakses pada 22 agustus 2014 dari http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87:seminar-internasionalpeta-pemikiran-Islam-di-indonesia-antara-liberalisasi-dan-Islamisasi-&catid=1&Itemid=29 4 A.Ubaedillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Edication) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010), h. 41. 5 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jogjakarta: GAJAH MADA UNIVERSITY, 1995), h.318-325.
34
umat Islam, pada awal kemerdekaan Indonesia. Sebagian umat Islam Indonesia berkeinginan diberlakukan hukum Islam dalam kehidupan Individu, masyarakat, maupun bernegara. Masyumi sebagai representasi dari aspirasi politik umat Islam Indonesia yang terdiri atau gabungan dari ormas dan partai Islam secara jelas dalam anggaran dasar pasal II partai politik Masyumi menyatakan keinginannya menerapkan hukum Islam dalam kehidupan Individu, masyarakat, maupun bernegara.6 Dalam sidang BPUPKI terjadi perbedaan pendapat antara golongan Islam dengan Sekuler. Bagi golongan Islam, Negara Indonesia harus berdasarkan Islam atau berbentuk Negara Islam, tetapi ditolak oleh golongan Sekuler. Mohammad Hatta dengan terang-terangan mengusulkan, bahwa Negara harus dipisahkan dengan agama (Islam) atau dengan kata lain, diberlakukan sistem Sekular.7 Adapun ide HAM, merupakan ide buncit diantara ide-ide yang telah disebutkan di atas. Meskipun menurut Franz Magnis suseno, “Sebenarnya hak asasi manusia merupakan pengejewantahan seluruh Pancasila. Masalah hak asasi manusia dapat dipahami sebagai operasionalisasi Pancasila”, tetapi baru diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1998. Selanjunya, diberlakukan program kegiatan Rencana Aksi nasional Hak-hak Asasi Manusia dari tahun 1998-2003.8 Pencapaian terhadap penghargaan Hak Asasi Manusia di Indonesia diperlihatkan dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, seperti berjalannya pengadopsian dalam peraturan perundang-undangan Nasional terhadap instrumen6
Agussalim Sitompul, Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia (Jakarta: CV. MISAKA GALIZA, 2008), h. 76. 7 Ibid., h. 284. 8 Rojali Abdullah dan Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia), h. 12-14.
35
instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi. Kemajuan tersebut adalah buah dari pengamandemenan yang kedua dari Undang-Undang Dasar 1945 dan dikeluarkannya ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomer XVII/ MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia.9 Akan tetapi, tidak semua hak asasi manusia menurut konvensi PBB yang dapat diterapkan di Indonesia, mengingat Negara Indonesia mayoritas muslim dan wajib terikat dengan ajarannya. Contohnya, dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB pada 10 Desember 1948, pasal 18 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan…”.10 Berpindah agama dalam Islam dikenal dengan Istilah murtad dan hukumannya adalah dibunuh. Apabila bertaubat maka tidak berlaku hukuman mati, tetapi dikenakan hukuman ta’zir, bisa berupa penjara, celaan dsb.11 Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang pandangan-pandangan Majelis Mujahidin terhadap pemikiran-pemikiran modernitas. Sebagai sebuah organisasi yang lahir di era modern selayaknya bagi Majelis Mujahidin memberikan pendapatnya terkait dengan ide-ide modernitas, seperti Hak Asasi Manusia, Sekularisme dan Demokrasi.
9
Ibid. h. 16. “Deklarasi Universal HAM”, diakses pada 3 september 2014 dari https://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf 11 Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), h. 64-65. 10
36
A. Pandangan Majelis Mujahidin terhadap HAM Penetrasi Gelombang pemikiran modernitas masuk ke setiap negara tanpa kecuali Indonesia. Salah satunya adalah ide HAM yang tidak dapat dihentikan penyebarannya, karena merupakan ide global. Isu HAM telah mengglobal sejak berakhirnya perang dingin, antara dua kekuatan global ketika itu, yaitu Amerika serikat dengan Uni Soviet. Isu HAM muncul ke permukaan setelah meredanya isu-isu yang terkait dengan komunisme dan berakhirnya perselisihan antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika dengan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.12 Penting untuk diketahui bahwa ide HAM, telah lama ada sebelum perang dingin berakhir. Piagam Maghna Charta yang dideklarasikan pada Abad XIII M di Inggris telah menyinggung hak asasi manusia. Lebih jauh dari itu, Islam telah lama mengenal hak asasi manusia sejak dideklarasikan piagam Madinah pada tahun 622 oleh Nabi Muhammad saw. Perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi penduduk Madinah yang heterogen
dijamin oleh Islam dalam piagam
tersebut.13 Isu-isu modernitas merupakan tantangan bagi umat Islam. Tidak dapat dipungkiri isu-isu tersebut telah menyusup dan dijadikan perbincangan oleh umat Islam. Ide HAM telah menggurita menjadi pemikiran bersama masyarakat dunia. Sering kali muncul tuduhan Islam (Syariat Islam) bertentangan dengan HAM.
12
Rojali dan Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM, h. 9. Ibid., h. 9.
13
37
Tentu saja kita harus menjawab dengan proporsional, tidak serampangan agar tidak terperosok dalam lubang apologia.14 Menurut Majelis Mujahidin, hak asasi manusia tidak bisa dipuaskan dengan tindakan-tindakan yang tanpa batasan atau aturan. Konvensi PPB tentang HAM, menyatakan bahwa HAM tidak berlaku dalam sebuah komunitas yang memiliki aturan. Hak asasi manusia dibatasi oleh agama, konstitusi, kebudayaan dsb. Oleh karena itu seseorang tidak dibenarkan dalam rangka memuaskan hak asasinya, akan tetapi bertentangan dengan batasan-batasan tersebut.15 Dalam Deklarasi Universal HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) Pasal 18 dinyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan pemikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum maupun sendiri”16
Kebebasan beragama dalam Islam berbeda secara prinsipil dengan kebebasan versi dekralasi Universal HAM PBB. Dalam pasal 18 di atas, dinyatakan kebebasan beragama, termasuk di dalamnya kebebasan berganti agama. Bagi mereka (PBB) kebebasan berganti agama merupakan bagian dari kebebasan beragama, berbeda dengan pandangan hukum Islam yang menyatakan keharaman tindakan tersebut. Dalam hukum Islam, berganti agama (riddah) dan pelakunya disebut murtad adalah sebuah pelanggaran dan dikenakan sangsi hukuman mati.17
14
Sikap yang proporsional menempatkan Islam sebagai hakim bagi ide HAM, bukan membalik logika berpikir menjadikan Islam sebagai terdakwa dan dituduh (dihakimi) karena dianggap tidak sesuai dengan HAM. 15 Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014. 16 “Deklarasi Universal HAM”, https://www.kontras.org 17 Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 63-64.
38
Di dalam pasal 2 Deklarasi Universal HAM oleh PBB disebutkan, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai”.18 Dari diktum tersebut dikatakan secara eksplisit bahwa pernikahan ditentukan dengan bebas oleh kedua mempelai, termasuk penentuan calon mempelai atau pasangannya. Padahal dalam Islam memilih calon pasangan atau mempelai telah ditentukan syariat Islam, yaitu (1). Haram bagi seorang muslimah menikah atau dinikahkan oleh walinya dengan seorang pria musyrik maupun ahli kitab.19 (2). Bagi seorang muslim haram menikahi seorang wanita musyrik, tetapi boleh menikahi seorang wanita ahli kitab dengan syarat yang muhsanât, yaitu „afîfât (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatan). Apabila seorang Muslim ingin menikahi seorang wanita ahli kitab dengan syarat muhsanât, harus direnungkan adanya potensi perselisihan di kemudian hari, disebabkan perbedaan keyakinan atau pandangan hidup.20 Shabbarin Syakur melanjutkan, Hak Asasi Manusia dalam Islam lebih agung dan sangat dihormati. Hak Asasi Manusia telah dikaruniakan oleh Allah SWT sesuai dengan fitrah dan untuk kemaslatan kaum muslimin maupun manusia. Allah SWT telah menurunkan syariatnya untuk menjaga hak-hak dasar manusia memenuhi kebutuhan naluri tanpa diganggu orang lain, oleh karena itu dalam Islam tidak boleh memaksa orang kafir mengkonversi agama menjadi Islam. Selain itu mereka (orang) kafir dilindungi darah, kehormatan, harta bendanya oleh Islam/ Negara Islam. Pada masa Rasulullah saw dan dilanjutkan
18
“Deklarasi Universal HAM”, https://www.kontras.org Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 69. 20 “Nikah Beda Agama: Menyerang Islam, Membuka Pintu Pemurtadan” Buletin Al-Islam Edisi 721 diakses pada 1 oktober 2014 dari http://hizbut-tahrir.or.id/2014/09/11/nikah-bedaagama-menyerang-islam-membuka-pintu-pemurtadan/ 19
39
oleh khalifah-khlaifah sesudahnya, mereka (orang kafir) yang tinggal di Negara Islam lazim disebut dengan dzimmi (yang dilindungi).21 Maulana Abul A‟la Maududi menyebut diantara hak-hak warga Negara dalam Negara Islam adalah: (1). Jaminan atas hidup dan harta kekayaan, (2). Perlindungan kehormatan, (3). Kepribadian dan jaminan kehidupan pribadi, (4). Jaminan kebebasan pribadi, (5). Hak menentang tirani, (6). Kebebasan mengeluarkan pendapat, (7). Kebebasan berserikat, (8). Kebebasan mengeluarkan ucapan hati nurani dan keyakinan, (9). Perlindungan terhadap sentimen-sentimen keagamaan, (10). Perlindungan dari Penghukuman yang sewenang-wenang, (11). Hak atas kebutuhan-kebutuhan hidup pokok, (12). Persamaan kedudukan di hadapan hukum, (13). Penguasa tidak kebal hukum, (14). Hak untuk menjauhi perbuatan dosa, (15). Hak untuk ikut serta dalam urusan Negara.22
B. Pandangan Majelis Mujahidin terhadap Sekularisme Sekularisme atau ide sekulerisme pertama kali dikenalkan di Inggris oleh George Yacob Holyoake pada tahun 1841. Dia memperkenalkan sekularisme sebagai sistem etika yang merupakan perluasan kebebasan berpikir dalam bidang etika. Sistem yang dimaksud mengenai prinsip-prinsip kehidupan tentang apa, bagaimana dan harus kemana manusia hidup atau bagaimana seharusnya manusia itu bertindak dalam kehidupan sehari-hari.23
21
Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014. Abul A‟la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam. Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja (Jakarta: BUMU AKSARA, 1995), h. 22-39. 23 Choirul Fuad Yusuf, “Sekularisasi dan Sekularisme Tinjauan Filsafat Mengenai Perubahan Persepsi Tentang Peran Agama dalam Masyarakat”, Skripsi diakses pada 15 september dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20159674Sekularisasi%20dan%20sekularisme%20S%209228.pdf 22
40
Sekularisme merupakan suatu sistem etika dalam kategori sistem etika utilitarianistik, yaitu sebuah ajaran moral yang menjadikan prinsip utility (daya guna) sebagai dasar pijakan. Dengan begitu manusia diajarkan dalam menjalankan kehidupan di dunia, bertujuan untuk mencari manfaat/kebaikan dengan kemampuan atau kehendaknya sendiri tanpa turut campur agama karena bersifat adikodrati.24 Syed Muhammad Nuquib Al-Attas menjelaskan tentang kata Sekular atau Secular: “Perkataan secular, yang berasal dari bahasa Latin saeculum, mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau ruang. Sekular dalam pengertian waktu merujuk kepada „sekarang‟ atau „kini‟, sedangkan dalam pengertian ruang merujuk pada „dunia‟ atau „duniawi‟. Jadi saeculum bermakna „zaman kini‟ dan „masa kini‟, dan zaman kini merujuk pada kepada peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti „peristiwa masa kini‟. Tekanan makna pada istilah sekular adalah diletakkan pada suatu waktu atau masa tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses pensejarahan. Konsep sekular merujuk pada keadaan dunia pada waktu, tempo, atau zaman ini”.25
Sekularisasi26 dunia pada awalnya terjadi di dunia Barat, saat ini meluas sampai kepada dunia Islam. Proses sekularisasi di dunia Islam dilakukan oleh oknum muslim yang menggunakan cara berpikir, menilai, dan menyakini sesuatu menurut pandangan alam (worldview) Barat. Oknum-oknum tersebut adalah orang-orang yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat atau negaranya. Pemahaman mereka terhadap pandangan alam (worldviev) Islam sangat lemah, sehingga terpengaruh oleh Barat dan terkagum-kagum dengan kemajuan sains dan
24
Ibid Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerism. Penerjemah Khalif Muammar. (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), h. 18. 26 Sekularisasi mengandung makna suatu proses pensejarahan, yang tidak dapat dikembalikan, dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari bmbingan dan kawalan agama serat pandangan alam (worldview) metafisik yang tertutup. lihat Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 20. 25
41 teknologinya.27 Dalam sejarah awal terbentuknya negara Indonesia, mereka lazim disebut dengan nasionalis sekuler. Dari sejarah awal pembentukan negara Indonesia terlihat ide sekularisme28 berhadapan dengan ide Negara Islam. Dalam sidang BPUPKI golongan Islam hanya diwakili oleh 15 orang saja, sedangkan golongan nasionalis sekuler mendominasi dengan jumlah 53 orang. Dengan begitu sudah dapat dilihat peluang untuk memenangkan ide pendirian Negara Islam sulit untuk dicapai. Dari awal pembentukan BPUPKI oleh jepang dibuat komposisi anggota sidang yang tidak proporsional. Apabila ditentukan secara proporsional seharusnya golongan Islam mendoninasi jumlah anggota BPUPKI, sebab mewakili rakyat Indonesia yang mayoritas Islam.29 Penyelenggaraan sidang oleh BPUPK dilakukan dalam dua sesi, yakni 29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan 10 Juli hingga 17 Juli 1945. Pada sesi I, hari pertama penyampaian pidato yang berisikan tentang dasar negara. Dalam sesi ini, tidak terjadi perdebatan yang tajam, tapi hanya perbedaan pandangan tentang dasar negara. Di antara para penyampai pidato, Dasaad salah seorang presentator menyampaikan tentang gagasan negara yang berdasarkan agama. Setelah itu gagasan negara berdasarkan agama dan dasar negara Islam menjadi perbincangan, bahkan terjadi perdebatan yang tajam dalam sidang berikutnya.30
27
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 18. Adapun Sekularisme atau ideologi Sekulerime, seperti proses sekularisasi, juga „menghilangkan pesona dari alam tabi'i dan „meniadakan kesucian dan kewibawaan agama dan politik‟, tapi tidak pernah menghapus kesucian dan kemutlakan nilai-nilai karena ia membentuk sistem nilainya sendiri dengan maksud agar dipandang sebagai mutlak dan tidak berubah. lihat Ibid., h. 22-23. 29 Agussalim, Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam, h.281. 30 Widy Rossani Rahayu, Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Skripsi diakses pada 3 Oktober 2014 dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160285-RB04R29p-Perdebatan%20dasar.pdf 28
42
Selanjutnya diadakan sidang BPUPK hari kedua, pidato Dasaad pada hari pertama disokong oleh A. Rachim Pratlykrama, dia berkata dalam pidatonya, “Dasar negara: persatuan rakyat sekokoh-kokohnya. Agama Islam 95 % dari penduduk beragama dan kepala Negara harus seorang muslimin. Islam sebagai Agama Negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam”. Penolakan mencul dari golongan nasionalis sekuler, yaitu Abdul Kadir, Ia berpendapat tidak penting menjadikan Indonesia berdasarkan Islam atau Negara Islam, sebab yang lebih penting adalah persatuan rakyat Indonesia. Menurutnya juga, dengan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan menjadikan Islam agama yang terpenting dari pada agama yang lain.31 Setelah itu dilakukan kompromi antara golongan Islam dengan Sekuler dan menghasilkan piagam Jakarta, walaupun akhirnya tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus. Majelis Mujahidin memandang, seharusnya Indonesia tidak menjadi Negara
Sekular.
Majelis
Mujahidin
beralasan,
kemerdekaan
Indonesia
dipertahankan oleh ulama dan santri dengan semangat religius ingin mengusir kafir penjajah. Majelis Mujahidin juga menolak sekularisme, sebab memisahkan agama dengan kehidupan bernegara.32 Menurut Irfan S. Awwas, Sesuai dengan konstitusi Negara Indonesia, bahwa kemerdekaan Indoensia diraih berkat rahmat Allah SWT. Disebutkan dalam Preambul UUD 1945 alinea ketiga, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini 31
Ibid., 94-95 Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014.
32
43 kemerdekaannya”. Dalam alinea tersebut diakui kemerdekaan yang diperjuangkan oleh ulama dan para mujahid atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. 33 Oleh sebab itu, Indonesia harus berdasarkan hukum Allah SWT sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah SWT. Perdebatan ideologi Negara tidak hanya terjadi pada sidang BPUPKI, tapi juga terjadi pada sidang konstituante tahun 1957. Muhammad Natsir, seorang tokoh dari partai Masyumi menyampaikan pandangannya sekaligus mempertegas kembali hubungan Islam dengan Negara. Menurutnya, Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim harus berdasarkan Islam, jikalau tidak dengan sendirinya akan menjadi Negara sekular. Natsir juga menegaskan hanya ada dua pilihan dasar Negara, yakni Islam (Dîni) atau Sekular (Lâ Dîni). 34 Tahun 1958 terjadi prahara dalam tubuh Masyumi, pimpinan Masyumi seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafrudin Prawiranegara mendirikan PRRI sebagai protes atau ketidakpuasan terhadap kebijakan Sukarno. Natsir sempat mengirimkan surat, agar dirinya tidak disangkutpautkan dengan Masyumi, Ia sadar akan membahayakan Masyumi. Apa boleh buat, sikap Natsir itu di kemudian hari, menjadi melapetaka pembubaran Masyumi.35 Setelah masa reformasi geliat memperjuangkan syariat Islam dalam konstitusi Negara menemukan gairahnya kembali setelah beberapa lama dibungkam oleh Orde Baru. Majelis Mujahidin adalah tansiq (aliansi) yang menghimpun para mujahidin (Umat Islam), didirikan pada tahun 2000 bertujuan 33
Irfan S. Awwas, “Indonesia Dalam Perspektif Konstitusi dan Kitab Suci” artikel diakses pada 12 september 2014 dari http://majelismujahidin.com/2014/06/indonesia-dalam-prespektifkonstitusi-dan-kitab-suci/ 34 Ahmad Syafii Ma‟arif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 129. 35 Remy Madinier, Partai Masyumi, antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (Bandung: Mizan Media Utama, 2013), h. 247-266.
44 sebagai langkah awal penegakan Syari‟at Islam. Majelis Mujahidin berkeyakinan masalah multidimensional yang di alami pada masa reformasi dikarenakan ideologi sekularisme, dan mengabaikan Syari‟at Islam.36 Nama Majelis Mujadihin diambil dari judul kongres yang diselengarakan, yakni Kongres Mujahidin I Indonesia. Majelis Mujahidin yang lahir pada masa reformasi dapat dipahami sebagai bentuk pengekspresian gagasan Syariat Islam dimana pada era Orde Baru kesempatan tersebut dibungkam. Masa pemerintahan B.J. Habibie dijadikan sebuah peluang untuk mengkampanyekan gagasan syari‟at Islam dan memperjuangkannya dalam konstitusi Negara.37 Majelis Mujahidin berkeyakinan akan dapat menerapkan syariat Islam di Indonesia, selain karena tuntutan dari aqidah Islam, juga secara fakta seharusnya Indonesia adalah Negara yang agamis.38 Bersadasarkan pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”39, maka seharusnya Negara Indoensia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.40
C. Pandangan Majelis Mujahidin terhadap Demokrasi Demokrasi telah dipraktikkan di Yunani pada abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Demokrasi adalah sebuah aturan dasar untuk kehidupan masyarakat sipil yang lahir dari tradisi pemikiran Yunani. Saat itu praktik demokrasi dilaksanakan
36
“Mengenal Majelis Mujahidin”, diakses pada 2 Juni 2014 dari http://majelismujahidin.com/about/mengenal-majelis-mujahidin/ 37 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2004), h. 48-49. 38 yang dimaksud Negara agamis adalah Negara yang berdasarkan agama (Islam), bukan sekular 39 “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” diakses pada 15 September 2014 dari https://pdf.mpr.go.id/data/buku_UUD_NRI_1945.pdf 40 Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014.
45
dalam sebuah Negara kota dengan luas wilayah yang kecil dan penduduk tidak lebih dari 300.000 orang. Keputusan hukum dihasilkan dari pengambilan suara mayoritas, dimana seluruh masyarakat kota ikut serta mengambil bagian di dalamnya. Merupakan hal yang memungkinkan apabila melakukan demokrasi langsung, yaitu mengambil keputusan dengan mengikutsertakan seluruh masyarakat sebab jumlah penduduknya yang relatif sedikit. Dalam praktek demokrasi tersebut, ternyata tidak diikutsertakan seluruh warga, akan tetapi hanya warga tertentu saja. Mereka yang tidak merasakan demokrasi adalah kelompok masyarakat, seperti perempuan, anak-anak, pedangan asing, dan budak.41 Setelah itu dari abad ke-6 M sampai dengan abad ke-15 Masehi, sering disebut dengan abad pertengahan atau abad kegelapan (dark age) Eropa didominasi oleh pemuka agama dan kaum feodal. Semenjak itu, demokrasi hilang dari kehidupan bangsa Yunani dan tumbuh kembali pada Abad Pertengahan. Lahirnya Magna Charta dan momentum dari Gerakan Renaissance telah membangunkan pemikiran demokrasi yang sudah lama terkubur. Keputusan dari Piagam Magna Charta telah membatalkan sebagian hak raja dan memberikan hakhak asasi kepada rakyat.42 Gerakan Renaissance telah merubah budaya tradisional, dimana penghormatan kepada kaum aristokrat dan pengagungan kepada kaum agamawan telah dibebaskan dari manusia. Kesetaraan diantara manusia diberlakukan dan diskriminasi dihilangkan, sehingga tampak sebuah sistem politik baru yang lebih
41
A.Ubaedillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Edication), h. 41. Ibid., h. 41
42
46
egaliter dan beradab. Dengan begitu bibit-bibit kemunculan demokrasi dapat dituai dikemudian hari.43 Pergulatan dalam penyemaian demokrasi di Eropa berdampingan dengan pencarian bentuk pemerintahan Negara yang akan ditegakkan. Transformasi yang diharapkan setelah perubahan dari legitimasi bagi kaum agamawan dan aristokrat, harus menuju pada sebuah cita-cita kebebasan dan persamaan derajat manusia. Cita-cita tersebut tidak mungkin bernaung dalam sistem pemerintahan Monarki, sebab tidak memberikan peluang kepada khalayak umum manjadi seorang pemimpin, dan tidak juga menggunakan sistem Teokrasi (gereja). Maka, harus ada jalan tengah menuju penerapan demokrasi, yaitu dalam bentuk Negara Republik.44 Sejak berdiri Negara Indonesia telah menentukan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Demokrasi yang dibangun bercorak parlementer tidak mampu berdiri tegak di tengah pusaran konflik antarpartai. Persaingan oleh para peserta demokrasi parlemen tersebut, ditunjukkan dengan sibuk memperjuangkan cita-cita politik masing-masing. Adakalanya mereka berseberangan disebabkan perbedaan afiliasi keagamaan, dan terkadang sebab kesukuan. Mereka dapat berkoalisi dalam satu wadah, tetapi tidak dapat bertahan lama. Kondisi tersebut membuat distabilitas politik nasional dan menciptakan disintergrasi.45 Seperti pemaparan di atas, bahwa pemberlakukan demokrasi tidak membutuhkan waktu lama setelah Indonesia merdeka. Hal ini ditanggapi oleh ustadz Irfan46, bahwa demokrasi yang sudah berjalan di Indonesia tidak perlu ditanggapi dengan persetujuan atau penolakan. Demokrasi harus dijadikan oleh
43
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: BUMI AKSARA, 2008), h.46. Ibid., h.46. 45 A.Ubaedillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Edication, 2010), h. 43. 46 Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin. 44
47
umat Islam sebagai alat untuk memenangkan Islam. Semasa Indonesia merdeka sampai sekarang, umat Islam terpecah belah karena demokrasi dan dihantam oleh musuh-musuh Islam.47 Majelis Mujahidin memandang demokrasi dari dua sisi, yaitu (1) Demokrasi sebagai Ideologi dan (2) Demokrasi sebagai mekanisme. Apabila demokrasi digunakan sebagai ideologi, maka hukumnya musyrik. Namun, bila dijadikan sebagai alat untuk memenangkan, kepentingan, dan meninggikan Islam, maka hukumnya mubah. Perlu diingat dalam menggunakan demokrasi sebagai mekanisme, umat Islam harus senantiasa berkomitmen untuk memenangkan dan meninggikan kepentingan Islam.48 Majelis Mujahidin memperbolehkan demokrasi sebagai jalan untuk kepentingan Islam. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Ikhwanul Muslimin49 yang didirikan oleh Hasaan Al-Banna menceburkan diri dalam parlemen Mesir. Ikhwanul Muslimin menghendaki perubahan undang-undang Negara Mesir menjadi Undang-Undang yang islami. Selain itu, bermaksud menghapus kekuasaan asing yang tidak islami pada aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Selanjutnya, dapat menasehati dan memberikan petunjuk kepada pemerintah agar berubah menjadi pemerintahan yang Islami.50 Serupa dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Partai Masyumi di Indonesia memperjuangkan Islam sebagai Ideologi Negara. Pemilihan umum tahun 1955 tidak sesuai dengan harapan partai Islam, karena jumlah anggota legislatif dari
47
“Pandangan Majelis Mujahidin tentang Demokrasi”diakses pada 19 september 2014 dari http://www.arrahmah.com/news/2013/09/07/pandangan-majelis-mujahidin-demokrasi.html 48 Ibid. 49 Organisasi Islam yang berdiri di Mesir. 50 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 197.
48
partai Islam tidak mencapai 2/3 dari keseluruhan jumlah anggota legislatif. Maka, Kepentingan partai-partai Islam, untuk menjadikan Islam sebagai ideologi Negara tidak dapat diwujudkan. Kemudian pada sidang konstiuante tahun 1955 partai Islam kembali memperjuangkan aspirasi politk menjadikan Indonesia menjadi Negara Islam.51 Shabbarin Syukur menguraikan pandangan Majelis Mujahidin tentang memperjuangkan syariat Islam dengan jalan demokrasi, bahwa perjuangan menerapkan syariah mempunyai landasan historis, formal, konstusional. Apabila partai-partai Islam berada dalam parlemen, maka harus memperjuangkan Islam. Dalam hal ini, Majelis Mujahidin sebagai tansiq (aliansi) yang menjadi wadah Individu dan organisasi, baik berbentuk organisasi masyarakat ataupun partai politik menyerukan dan mendukung Partai Politik Islam untuk memperjuangkan penegakan Syariah Islam.52
51
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 263. 52 Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014.
49
BAB IV KIPRAH MAJELIS MUJAHIDIN
Eksistensi Majelis Mujahidin sudah lebih dari satu dekade di Indonesia. Tentu saja, organisasi ini telah banyak kiprah yang ditorehkan dalam upaya mencapai tujuannya, yaitu formalisasi syari'at Islam di Indonesia. Kiprah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai gerakan cepat dan dinamis, sedangkan berkiprah adalah melakukan kegiatan dengan semangat tinggi; bergerak (di bidang); berusaha giat dalam bidang (politik dsb).1 Setelah dideklarasikan pendiriannya pada tanggal 15 Jumadil Ula 1421 H/ 15 Agustus 2000 M perutusan dari Majelis Mujahidin mengunjungi DPR RI saat sedang berjalan sidang paripurna. Kunjungan ini dilakukan berkaitan dengan adanya ancaman disintegrasi dan penolakan syari‟at Islam oleh sebagian anggota DPR RI. Di depan fraksi Golkar, PPP dan Partai Bulan Bintang disampaikan Sahifah (Piagam) Yogyakarta dan pokok-pokok rekomendasi keputusan Kongres Mujahidin. Isi dari materi tersebut, yaitu2: 1. Sesungguhnya persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang utuh dan berdaulat merupakan dambaan kita bersama. 2. Berkembangnya potensi disintegrasi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin akut menunjukkan bahwa tesis yang mengatakan bahwa “bila syari‟at Islam diterapkan bagi pemelukpemeluknya maka akan terjadi disintegrasi” adalah salah dan tidak berdasar.
1 2
KBBI offline 1.5 Irfan S. Awwas dan Tim Ahli Majelis Mujahidin, “Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 3-4.
49
50
3. Justru, karena syari‟at Islam yang merupakan fitrah bagi umat manusia pada umumnya tidak diterapkan, maka potensi disintegrasi bangsa pun berkembang, bersamaan dengan bermunculannya berbagai bencana di bidang
politik, keuangan dan moneter, HAM dan demokrasi, dan
sebagainya. 4. Oleh karena itu memberlakukan syari‟at Islam bagi umat Islam dan memberlakukan ketentuan agama lain (Kristen, Katholik, Hindu, Budha) kepada para pemeluknya merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa. 5. Merupakan hak asasi setiap pemeluk agama untuk menerapkan ajaran (syari‟at) agamanya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari, dan hal ini harus dipenuhi oleh negara karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 29. 6. Syari‟at Islam mengandung nilai-nilai universal yang juga dikenal penganut agama lain, sehingga bila diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, syari‟at Islam mampu melindungi seluruh warga negara apa pun agamanya. 7. Siapa saja di antara umat Islam yang menolak syari'at Islam, maka sesungguhnya mereka tergolong munafiq dan melanggar hak asasi manusia (HAM) serta condong kepada kehidupan yang penuh konflik sebagaimana selama ini telah terjadi di Ambon, Maluku, Aceh, Poso dan lain sebagainya. Majelis Mujahidin berkiprah dalam rangka mewujudkan formalisasi syari‟at Islam. Menurut Jamhari gerakan ini adalah perkembangan lanjutan dari DI/TII, akan tetapi corak perjuangan Majelis Mujahidin bersifat politis dan akademis. Di samping itu melakukan sosialisasi dalam bentuk seminar di kampuskampus dan masjid-masjid; mengunjungi partai-partai politik Islam dan membujuk mereka untuk memperjuangkan Piagam Jakarta di dalam parlemen;
51
Melakukan advokasi penegakan syari‟at Islam dengan menyebarkan gagasan kepada masyarakat lewat media cetak maupun internet.3 Majelis Mujahidin adalah sebuah aliansi (tansiq) yang bertujuan menerapkan syari‟at Islam. Sepatutnya sebuah aliansi tugasnya adalah menyatukan program kerja di antara organ-organnya. Wadah ikatan ini telah menetapkan dan mengembangkan program kerja sama dengan indvidu kaum muslimin, pemerintah, maupun Organisasi Masyarakat Islam (ORMAS) dsb.4 Program itu dalam tiga bentuk, yaitu: (1). Kebersamaan dalam misi penegakkan syari‟at Islam di antara individu, (2). Kebersamaan dalam program penegakkan syari‟at Islam dengan organisasi, pemerintah dsb., (3). Kebersamaan dalam satu institusi penegakan Syari‟at Islam bagi Organisasi Masyarakat Islam (ORMAS).5 Syari‟at Islam telah diberlakukan sejak lama, seiring dengan proses Islamisasi di Indonesia. Pada masa kini, syari‟at Islam tidak diketahui oleh kebanyakan Masyarakat Indonesia. Dalam syari‟at Islam terdapat dimensi hukum (muamalah) yang nyaris tidak ditemukan dalam agama lain. Sebagaimana dimensi ibadah (hubungan langsung dengan tuhan) adalah kewajiban bagi muslim, begitu pula dengan dimensi muamalah (hubungan antar individu).6 Dalam masa Kesultanan Islam di Nusantara, Hukum Islam diberlakukan dalam masyarakatnya. Hal itu dapat diketahui, kira-kira pada tahun 1400- 1500 M
3
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 20-21 4 Ibid., h. 51 5 Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014. 6 M. Amin Suma, “Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia”, 2009, h. 18-24. Disampaikan dalam seminar nasional Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah ( STIS) Pontianak; stadium general mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum serta diskusi ilmiah dosen fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
52
berkunjung ulama hukum Islam dari Malaka ke Samudra Pasai untuk meminta fatwa tentang masalah-masalah hukum dalam masyarakat; Kesultanan Aceh mempunyai Mufti7 ternama, yaitu Syeikh Abdul Ra'uf Sinkel dan terdapat kitab Shirathal Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raniri, sebagai rujukan bagi guru-guru agama dan Qadhi; terdapat para penghulu sebagai badan pelaksana hukum Islam di Kesultanan Demak; Di Kesultanan Mataram pada masa Sultan Agung memerintah, hukum Islam menjadi tumbuh dan berpengaruh besar dalam pemerintahan. Tidak berbeda dengan kesultanan yang lainnya di Nusantara, mereka juga memberlakukan hukum Islam kepada masyarakat, seperti Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Tuban, Kesultanan Gresik-Kediri, Kesultaan Banjar, Kerajaan Kutai.8 Hukum Islam pada masa penjajahan Belanda berdampingan dengan hukum adat dan VOC. Kodifikasi undang-undang hukum Islam oleh VOC tampak rapi tersusun dalam bebarapa kitab hukum. Merupakan sebuah kemajuan bagi undang-undang hukum Islam yang sebelumnya tidak tersusun rapi. Kebijakan itu adalah cara VOC agar tetap diakui keberadaannya dalam masyarakat pribumi. Demikian yang dilakukan VOC menghasilkan hukum Islam tetap selaras, bersatu, dan hidup berdampingan dengan hukum adat.9 Lain hal ketika VOC telah mengalihkan kekuasaan kepada pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18 M. Pemerintah kolonial Belanda bersikap tidak toleran terhadap pemberlakuan hukum Islam bagi pribumi. Belanda khawatir
7
Orang yang berwenang memberikan suatu putusan dalam perkara hukum Islam. Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h.17-28. 9 Ibid., h. 34. 8
53
pemberlakuan hukum Islam bagi pribumi akan bertransformasi menjadi sebuah energi potensial yang kemudian hari digunakan untuk memerdekakan Indonesia. Karena kekhawatiran tersebut diberlakukan pembatasan dalam pelaksanaan hukum Islam.10 Dalam masa kekuasaan Jepang, umat Islam berkesempatan menjadikan syari‟at Islam sebagai aturan bernegara, namun amat disayangkan tidak dapat direalisasikan.
Kesempatan
untuk
menjadikan
Indonesia
yang
merdeka
dimaklumkan oleh Perdana Menteri Jepang tanggal 7 September 1944, selanjutnya dibentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 29 April 1945. Dalam sidang BPUPK terjadi perdebatan tentang dasar negara yang akan merdeka di kemudian hari. Perbedaan pendapat antara golongan Islam dengan golongan Sekuler tentang dasar negara tidak menemukan titik temu. Akhirnya kompromi dilakukan antara perwakilan golongan Islam dengan golongan sekuler dan menghasilkan Piagam Jakarta ditandatangani oleh Sembilan anggota pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.11 Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan dari Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945, sehingga membuat golongan Islam kecewa.12 Pada tanggal 10 November 1955 dilantik konstituante oleh presiden Sukarno. Konstituante tersebut hasil dari pelaksanaan Pemilihan umum tanggal 15 Desember 1955 dengan komposisi dalam parlemen 230 kursi untuk partai-partai
10
Ibid., h. 35. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni PERPUSTAKAAN SALMAN ITB, 1981), h. 13-25. 12 Ibid., h.50. 11
1945 (Bandung: PUSTAKA-
54
Islam dan 286 kursi dimiliki oleh partai-partai selain Islam, seperti Nasionalis, Protestan,
Katolik,
Sosialis,
dan
Komunis.
Fraksi-farksi
partai
Islam
menginginkan Piagam Jakarta dijadikan Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 29 Undang-undang dasar hendaknya berbunyi: “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya”, Sedangkan golongan Sekuler menolak. Untuk menentukan hasil sidang konstituante dilakukan pemungutan suara sebanyak tiga kali dengan hasil berturut-turut, yaitu 269 setuju dan 199 menolak, 264 setuju dan 204 menolak, 263 setuju dan 204 menolak. Hasil pemungutan suara agar bisa ditetapkan sebagai keputusan majelis harus memenuhi dua pertiga suara dari anggota yang hadir, oleh sebab itu baik keinginan golongan Islam maupun Sekuler tidak dapat diterima oleh majelis.13 Sidang konstituante tidak menghasilkan mufakat, karena tidak ada di antara dua pilihan yang memenuhi dua pertiga suara dari keseluruhan anggota yang hadir. Sidang Konstituante telah menemui jalan buntu. Pada bulan Juni 1959 karena kebanyakan anggota enggan melanjutkan persidangan yang akan diselenggarakan di Bandung, dan kebanyakan dari mereka dari partai Islam. Presiden Sukarno melihat hal tersebut sebagai pengabaian oleh konstituante terhadap amanat yang dipercayakan. Sukarno mengambil tindakan mengeluarkan Dekrit Presiden dan disetujui oleh kabinet pada 3 Juli 1959, Ia beralasan terhentinya sidang konstituante akan menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara. Dengan dikeluarkan dekrit
13
Ibid., h. 61-97.
55
maka diputuskan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 tanpa ada tambahan Piagam Jakarta.14 Legitimasi bagi Orde Baru ditandai dengan penyerahan surat perintah sebelas maret kepada Letjen Suharto oleh presiden Sukarno. Tidak dapat dielakkan, umat Islam memiliki andil besar dalam transisi pemerintahan orde lama kepada Orde Baru. Telah terbuka sebuah harapan bagi umat Islam untuk melanjutkan sebuah perjuangan ideologis. Kelompok umat Islam yang berambisi mendirikan negara Islam timbul romantisme ingin mewujudkannya kembali. Semangat itu muncul karena menganggap, baik dalam pembentukan negara maupun dalam melahirkan Orde Baru, mereka memiliki andil besar.15 Langkah selanjutnya adalah merehabilitasi partai politik politik Masyumi yang dibekukan pada masa orde lama. Dukungan terhadap rehabilitasi disampaikan dalam seminar yang diadakan oleh KASI dan LIPI bertempat di Univesitas Indonesia, kemudian dari seminar Angkatan Darat II di Bandung. PERSAHI (Persatuan Sarjana Ahli Hukum Indonesia) menyatakan rehabilitasi tersebut
akan
mengokohkan
Orde
Baru,
juga
menerangkan
tindakan
membubarkan Masyumi adalah illegal dan inkonstitusional.16 Harapan umat Islam ingin menerapkan hukum Islam dalam konstitusi pada masa Orde Baru kandas, sebab kebijakannya yang menekankan pembangunan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan wacana ideologis politis. Alasan demikian yang menjadi ganjalan untuk merehabilitasi Masyumi, walaupun
14
Ibid., h. 99-101. Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam, h. 116. 16 Ibid., h.117. 15
56
Masyumi dapat direhabilitasi tapi dengan perubahan nama menjadi Parmusi. Selain merehabilitsi partai Masyumi, dilakukan usaha-usaha oleh beberapa pemimpin Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara. Usaha yang dilakukan seperti mendudukan “Piagam Jakarta” sebagai sumber hukum yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Setelah kandasnya harapan merehabilitasi Masyumi, lalu datang kekecewaan baru karena sikap pemerintah Orde Baru mengontrol ketat kekuatan politik Islam.17 Masa reformasi telah membuka kran perubahan situasi politik Indonesia. Era demokrasi ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Suharto disebabkan oleh krisis moneter melanda Indonesia pada pertengahan 1997. Krisis moneter telah menekan kehidupan sehingga makin menyengsarakan rakyat. Menguatnya tekanan hidup rakyat Indonesia karena terpuruknya ekonomi negara dimanfaatkan oleh organisasi dan tokoh-tokoh sebagai katalisasi tuntutan perubahan. Pemerintahan gagal merespon dan mengatasi krisis, berakibat pada hancurnya legitimasi rezim Suharto.18 Era Reformasi juga ditandai dengan terbukanya ruang kebebasan pers, aksi protes yang kian massif, penyelenggaraan pemilu tahun 1999 yang lebih demokratis hingga pendirian organisasi-organisasi berhaluan ideologis dapat dengan mudah. Semua itu adalah implikasi dari proses demokratisasi politik nasional. Suasana yang demokratis dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi untuk
17
Ibid. h.117-118. Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Jakarta: PT. BUKU KITA, 2008),
18
h.40-41.
57
tumbuh-berkembang dan mengekspresikan ide-ide serta cita-cita perjuangannya secara leluasa.19 Majelis Mujahidin telah memulai kiprahnya di belantika dunia pergerakan Islam di Indonesia sejak bergulirnya reformasi. Pencetus Majelis Mujahidin adalah para aktivis Islam Yogyakarta yang mendekam dalam sel penjara dan pada masa Orde Baru. Setelah mereka keluar penjara pada tahun 90-an, mulai mendiskusikan cita-cita perjuangan mereka yang sempat terhenti. Mereka semakin aktif berdiskusi dengan munculnya fenomena organisasi-organisasi yang memperjuangkan syari‟at Islam. Dari diskusi yang instensif itu melahirkan gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi sesuai dengan konteks kekinian (Era Reformasi) dan kemudian hari dinamakan Majelis Mujahidin.20 Kiprahnya dalam menegakkan syari‟at Islam di Indonesia dilakukan dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan kultural.21
A. Struktural Majelis Mujahidin mencita-citakan terwujudnya negara Indonesia yang bersifat Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur. Cara mewujudkannya adalah menerapkan syari‟at Islam dalam pengelolaan kehidupan bermasyarakat dan negara. Syari‟at Islam yang bersifat rahmatan li al-„âlamîn akan mendatangkan
19
M. Zaki Mubarok, Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2008), h. 109. 20
Budi Prastyo, “Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia dalam Keberagaman, Sosial, Budaya, dan Politik” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1 (Juni 2013), h. 41. Diakses pada 22 oktober 2014 dari http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/3874 21 Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin, “Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 18.
58
kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Majelis Mujahidin dalam menggapai missi utamanya menggunakan pendekatan struktural dan kultural. Maksud dari pendekatan yang terakhir ini adalah diupayakan kekuasaan negara dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam dan siap memberlakukan syariat Islam dalam negara.22 Majelis Mujahidin terdiri dari dua lembaga, yaitu Ahlul Halli wal „Aqdi dan Lajnah Tanfidziyah. Lembaga yang terakhir itu bertugas sebagai pelaksana kebijakan umum dan keputusan kongres yang dihasilkan oleh anggota Ahlul Halli wal „Aqdi. Ahlul Halli wal „Aqdi biasa disebut dengan legislatif dan Lajnah Tanfidziyah disebut eksekutif. Lajnah Tanfidziyah memiliki struktur pusat sampai struktur wilayah/daerah. Dari struktur tersebut diharapkan dapat memberi kontribusi positif terhadap wilayah garapannya sesuai dengan posisinya baik Lajnah Tanfidziyah pusat sampai dengan daerah.23 Lajnah Tanfidziyah pusat bertugas memberikan kontribusi positif kepada pemerintah pusat beserta jajaranya, termasuk aparat keamanan, legislatif dsb. Sedangkan di Provinsi menjadi tanggung jawab dari Lajnah Perwakilan Wilayah untuk bersosialisasi dan menegakkan syari‟at Islam bekerja sama dengan Gubernur.
Pemberlakuan
syariat
Islam
dijadikan
sebagai
acuan
untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat di tingkat provinsi. Di daerah tingkat dua ada Lajnah Perwakilan Daerah bertugas sesuai dengan posisi wilayah garapannya.24
22
Ibid, h. 18. Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014 24 Ibid. 23
59
Setelah kongres mujahidin, ditetapkan keputusan bahwa anggota kongres berkewajiban menegakkan syari‟at Islam di wilayah kerja masing-masing. Mereka melakukan sosialisasi atau berdakwah, kemudian bersama-sama dengan elemen umat atau secara mandiri mendorong muncul peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan syari‟at Islam. Selain itu mengkondisikan wilayahnya agar kondusif untuk menegakkan syari‟at islam. Menciptakan kondisi yang kondusif untuk penegakkan syari‟at islam dengan melakukan aktivitas, seperti berperan agar di lingkungan kantor pemerintahan/ kepolisian/ DPRD menjadi kondusif untuk peribadahan, kemudian berdakwah di tempat itu. Dengan demikian ada stimulasi agar dapat dengan mudah penegakkan syari‟at Islam diterima oleh lembaga tersebut. Majelis Mujahidin di daerah juga berupaya bersosialisasi syari‟at Islam dengan cara bekerja sama membuat acara dengan pemerintah daerah/ kepolisian/ DPRD.25 Di Sulawesi Selatan berkat dukungan dari DPRD dan dorongan dari masyarakat dapat melaksanakan syari‟at Islam. Sulawesi Selatan sebagai pemrakarsa (setelah Aceh) telah muncul gagasan dan tuntutan masyarakat untuk melaksanakan syari‟ah Islam. Pada Kongres Umat Islam pertama di Sulawesi Selatan tanggal 19-20 Oktober 2000 di Sudiang Makassar menetapkan tujuannya untuk menguatkan keberadaan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) sebagai alat perjuangan untuk menuntut otonomi khusus pemberlakuan syari‟at Islam bagi propinsi Sulawesi Selatan dengan cara konstitusional,
25
Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 10 Oktober 2014
60
demokratis dalam bingkai negara kesatuan RI. Dari acara tersebut muncul gagasan dan tuntutan ke arah pemberlakuan syari‟at Islam.26 Hal di atas sebagaimana yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam: “Tiga macam strategi yang diterapkan oleh umat Islam selama ini. Ketiga strategi itu adalah struktural, kultural, dan mobilitas sosial. Sebuah hadits Nabi dapat dipakai sebagai rujukan ke arah strategi itu, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah dia mengubah dengan lidahnya, dan jika tidak mampu juga hendaklah ia mengubah dengan hatinya, yang demikian itu selemah-lemahnya iman”.”27
Syari‟at Islam yang dimaksud memiliki dua sisi, yaitu (1). Sebagai koreksi terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan syari‟at Islam. Dalam peraturan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah tidak seluruhnya bertentangan dengan syariat islam, oleh sebab itu hanya peraturan yang bertentangan saja yang akan dikoreksi. (2). Sebagai solusi terhadap problem yang dialami oleh pemerintah, contohnya maraknya kriminalitas, berjubelnya penjara akibat dari sanksi yang tidak membuat jera terpidana. Islam memiliki solusi untuk menangani kriminalitas, kerusakan sosial dsb.28 Dalam Islam tidak ada hukuman penjara, sehingga memasung kebebasan seseorang, sebaliknya Islam memberi solusi pemidanaan yang adil, membuat jera, dan manusiawi. Bentuk pemidanaan sekarang ini merugikan bagi pelaku/ terpidana, pemerintah, dan masyarakat. Bagi pelaku tidak merasa jera dengan 26
Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin,“Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 4. lihat juga http://politik.kompasiana.com/2011/11/24/kppsi-perjuangan-politik-identitas-islam-di-sulawesiselatan-415307.html diakses pada 22 Oktober 2014. 27 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h.227. 28 Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014
61
perbuatannya
sehingga
terus
mengulangi
kesalahan-kesalahannya.
Bagi
Pemerintah dirugikan dari sisi banyaknya sidang atau proses persidangan, membludaknya rumah tahanan dsb., semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi masyarakat kerugian dari sisi semakin banyak angka kriminalitas sehingga merusak tatanan sosial. Salah satu bentuk pemidanaan dalam Islam adalah hukum cambuk, diberlakukan untuk orang yang berzina (yang belum menikah) dan tidak perlu dipenjara.29 Kiprah Majelis Mujahidin di daerah adalah melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk penegakan syari‟at Islam. Dari awal pendirian Majelis Mujahidin, yaitu pada Kongres Muhajidin I ditetapkan tidak akan melakukan kegiatan/program yang sudah dilakukan oleh ormas islam, seperti NU, Muhammadiyah dsb, juga kegiatan/program seperti majelis taklim. Majelis Mujahidin tidak akan melakukan kegiatan/program sebagaimana kegiatan/program yang sudah ada karena akan tumpang tindih, oleh sebab itu sebagaimana dijelaskan di atas maka aktivitas Majelis Mujahidin adalah melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan pemerintah untuk menegakkan syari‟at Islam.30 Majelis Mujahidin memandang bahwa negara harus berdasarkan tauhid dan syariah Islam menjadi solusi permasalahan rakyat Indonesia.31 Konsep tauhid menurut kuntowijoyo: “Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, dan 29
Ibid. Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014 31 Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin “Mengenal Majelis Mujahidin”, h. 7. 30
62
bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tidak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Dengan kata lain, di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris, yaitu bahwa keseluruhan kehidupan berpusat kepada tuhan. Sistem nilai tauhid mendasarkan diri pada pandangan semacam ini. Tapi kemudian ternyata bahwa sistem Tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu diaktualisasikan menjadi amal; bahwa konsep tetang iman, tentang tauhid harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakat misalnya- adalah iman, adalah keyakian kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah untuk terwujudnya kesejahteraan sosial.”32 Konsep tauhid mengesakan Allah dalam hukum, berarti tidak ada hukum yang patut dipatuhi, kecuali hukum Allah.33 Dari sini Majelis Mujahidin melihat masalah yang melanda bangsa ini karena tidak menjadikan tauhid sebagai asas Negara. Majelis Mujahidin menemukan bahwa pancasila bukan dasar Negara Indonesia. Akan tetapi seharusnya Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi asas Negara berdasarkan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Majelis Mujahidin telah mengirim surat gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berisi tentang kejanggalan Pancasila sebagai dasar Negara.34 Apabila gugatan tersebut dikabulkan maka akan memuluskan bagi penegakkan syari‟at Islam. Inilah yang menjadi harapan dan missi utama majelis Mujahidin.
32
Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993), h.228-
229 33
“Serial Tatbiq al-syariah I”, diakses pada 12 september 2014 dari http://majelismujahidin.com/2012/01/serial-tatbiqush-syariah-urgensi-penerapan-syariat-islamsecara-kaafah-1/ 34 “Majelis Mujahidin akan Gugat Pancasila sebagai Dasar Negara ke MK”, diakses pada 29 september 2014 dari http://www.arrahmah.com/news/2013/05/07/majelis-mujahidin-akan-gugatpancasila-sebagai-dasar-negara-ke-mk.html
63
Majelis Mujahidin mendorong para pakar hukum meneliti dan memproduksi naskah akademik yang berkenaan dengan pasal 29 ayat 1 dan 2. Kemudian digulirkan kepada DPR dan diusahakan dapat menjadi undang-undang nasional. Apabila telah disahkan menjadi undang-undang, maka implikasinya adalah penerapan syari‟at oleh masyarakat dan negara terlindungi atau terpayungi oleh undang-undang tersebut. Agama lain (selain Islam) mendapatkan perlindungan menjalankan agamanya, bahkan Syi‟ah yang melecehkan Islam pun demikian. Agama Islam yang dianut mayoritas warga negara Indonesia tidak bisa menjalankan syari‟at agamanya, ada apa?. Diupayakan dengan terbentuknya undang-undang tersebut akan menjadikan syari‟at Islam legal-formal dalam pengelolaan masyarakat.35 Majelis Mujahidin menyitir pendapat Prof. Dr. Hazairin terhadap tafsir pasal 29 ayat 1 UUD 1945: “Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga Negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masingmasing” maksudnya adalah, Pertama, di Negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, Negara RI wajib melaksanakan syari‟at Islam bagi umat Islam, syari‟at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya. sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari‟at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. (Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA,”Proses dan Aflikasi Syari’at Islam Dalam Pengelolaan dan Undang-Undang Negara, 2003).”36
B. Kultural
35
Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014 Tim Ahli Majelis Mujahidin, “Membangun Negara yang Adil dan Beradab di bawah Naungan Syari‟at Islam”, h. 5-6. 36
64
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti kebudayaan, dan kultural berarti berhubungan dengan kebudayaan.37 Dalam strategi kultural ditekankan perubahan prilaku individual dan cara berpikir. Dalam strategi kultural tidak digunakan pendekatan kekuasaan, paksaan, dan kekerasaan sedangkan struktural sebaliknya.38 Dalam hal ini, kultural berarti membangun kesadaran terhadap syariah Islam dalam masyarakat. Majelis Mujahidin sebagai sarana bagi umat Islam yang ingin menegakkan syariat Islam. Sifat dari Majelis Mujahidin sendiri adalah aliasi (tansiq) yang menghimpun individu atau kelompok yang mau memperjuangkan syari‟at Islam. Aliansi itu dalam tiga bentuk: (1). Tansiq al-fardi, artinya menghimpun individuindividu muslim untuk memperjuangkan syari‟at tanpa memandang latar belakang ormas, kecuali aliran yang tidak sesuai aqidah Islam, seperti Syi‟ah dan Ahmadiyah. Diharapkan setiap individu-individu ini menjadi akselerator bagi penegakan syari‟at Islam, misalnya seseorang yang berlatar belakang organisasi Muhammadiyah diharapkan melakukan akselerasi penegakan syari‟at Islam di organisasinya, begitu juga yang berlatar belakang NU dan seterusnya. (2) Tansiq al-Amali atau aliansi program, artinya bekerja sama dengan organisasi, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, Majelis Taklim, Universitas dll.. Dalam aliansi ini dilakukan kerjasama dalam rangka akselerasi penegakan syariat Islam, baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Majelis Mujahidin juga bekerja sama dengan semua elemen masyarakat baik dalam pemerintahan maupun non-pemerintahan melaksanakan program-progaram yang bersifat pembangunan
37
KBBI Offline 1.5 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h.229-230.
38
65
atau memajukan masyarakat, pembangunan ekonomi, pembangunan birokrasi berlandaskan syari‟at Islam.39 Majelis Mujahidin pernah bekerja sama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan seminar mengangkat tema perbandingan antara hukum positif dengan hukum Islam. Diskusi tersebut dihadiri oleh pakar hukum, perwakilan dari agama lain, dan Majelis Mujahidin. Dalam diskusi tersebut dinyatakan bahwa dalam proses legislasi hukum nasional, salah satunya bersumber dari hukum agama. Disampaikan juga, bahwa hukum-hukum Islam memiliki keunggulan dibandingkan dengan hukum positif.40 Majelis Mujahidin pernah berpartisipasi sebagai pembicara dalam seminar internasional mengangkat tema, “Jihad Manurut Pandangan Islam” yang diadakan oleh Muhammadiyah di Jakarta dihadiri oleh duta-duta besar negara sahabat, intelektual, Kepolisian dsb. Dalam diskusi di paparkan oleh perwakilan dari Majelis Mujahidin bahwa jihad adalah sistem pertahanan dan keamanan negara. Penjelasan itu dapat diterima oleh para peserta seminar. Seharusnya jihad dipahami seperti ini, maka alangkah naifnya bila dikaitkan dengan tindakan terorisme. (3). Tansiq al-Nidzami, berarti semua elemen masyarakat bersatu dalam wadah Majelis Mujahidin dan bersama-sama memperjuangkan syari‟at Islam. Aliansi ini sulit diwujudkan karena setiap organisasi ingin berjalan dengan programnya sendiri.41
39
Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014. Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014 41 Wawancara pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014 40
66
Diperlukan persiapan yang matang dalam upaya pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah. Dukungan terhadap syari‟at Islam tidak hanya dicukupkan kepada umat Islam, tetapi diupayakan juga dari umat agama lain (non-muslim). Untuk itu diperlukan strategi dalam penegakan syari‟ah Islam, yaitu:42 1. Sosialisasi secara intens mengenai syari‟at Islam, serta fungsi dari tatbiqussyari‟ah (penegakan syari‟ah Islam), kepada: a. Ummat Islam di seluruh lapisan masyarakat. Alhamdulillah, mayoritas penduduk Indonesia sebagai pemeluk agama Islam, tetapi harus kita sadari bahwa mayoritas dari umat Islam belum memahami syari‟at Islam secara summul (sempurna). Sebagian besar ummat Islam menganggap bahwa, syari‟at Islam identik dengan lima rukun Islam. Apabila umat Islam sudah memahami secara benar mengenai makna syari‟at Islam, maka pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah merupakan tuntutan dari umat Islam. b. Umat non Islam, kekhawatiran dari ummat minoritas di Indonesia ini jika syari‟at Islam ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan adalah “terkuranginya hak mereka sebagai warga negara‟. Mereka khawatir akan dianggap sebagai orang asing di negara sendiri. Kesangsian dan ketakutan mereka ini dapat hilang, apabila secara intensif disosialisasikan kepada mereka mengenai syari‟at Islam. Syari‟at Islam mempunyai konsep yang jelas mengenai “hubungan antar umat beragama”. Sehingga Negara tetap berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan “baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur”, yaitu suatu negara yang adil, makmur untuk seluruh warga 42
Tim Ahli Majelis Mujahidin, “Membangun Negara yang Adil”, h. 14-16.
67
Negara Indonesia, termasuk warga yang beragama non Islam. Bahkan para pemeluk agama non Islam dihimbau untuk menjadi pemeluk- pemeluk agama yang taat. Perlu disampaikan bahwa, pelaksanaan syari‟at Islam benar-benar mencerminnan nilai-nilai kemanusiaan secara universal (rahmatan li al-„alamin)
2. Dialog untuk menyamakan visi dan misi mengenai syari‟at Islam, diantara organisasi-organisasi Islam dan harokah-harokah Islam, khususnya organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Apabila antara NU dan Muhammadiyah dapat melakukan rekonsiliasi elegan, sehingga dapat menemukan titik kesepahaman mengenai penegakan syari‟at Islam, Insya Allah dukungan umat Islam akan mengalir dengan deras. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan secara mendasar
antara
NU
dan
Muhammadiayah
dalam
hal
“kewajiban
menerapkan syari‟at Islam”, sebab antara K.H. Hasyim Asy‟ari dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri dua organisasi tersebut mempunyai visi yang sama. Permasalahannya terletak pada “belum adanya kesiapan dari dua organisasi besar ini untuk menegakkan syari‟at Islam”. Apabila sudah terbentuk pandangan yang sama mengenai syari‟at Islam diantara tokoh-tokoh organisasi dan harokah Islam ini, maka proses sosialisasi mengenai syari‟at Islam kepada ummat Islam menjadi lebih intensif dan optimal. 3. Optimalisasi peran dari Departemen Agama dalam penegakan syari‟at Islam. Peran dari Departemen Agama sangat besar dalam rangka terwujudnya citacita seluruh ummat Islam, sehingga dengan kewenangan yang dimiliki, Depag dapat secara aktif ikut mensosialisasikan penegakan syari‟at Islam, baik di
68
lingkungan Departemen Agama, di lintas Departemen, maupun di masyarakat secara luas. Termasuk dalam hal mendesain kurikulum nasional, khususnya untuk pelajaran agama Islam. Pelajaran agama Islam selama ini hanya mengupas bagian-bagian dari ritual keagamaan, tetapi belum menyetuh ke makna agama sebagai suatu way of life (sistem hidup yang sempurna dan bersifat universal) 4. Optimalisasi peran para cendikiawan muslim dan tokoh-tokoh masyarakat muslim dalam menciptakan public opini mengenai syari‟ah Islam. Dewasa ini tuntutan untuk menegakkan syari‟ah Islam, diidentikkan dengan gerakan terorisme. Untuk menangkal isu ini diperlukan respon secara cepat dari para tokoh muslim dan para cendekiawan muslim, bahwa isu yang dikembangkan oleh para agen zionis ini merupakan suatu fitnah keji yang sengaja dilancarkan untuk menciptakan ketakutan terhadap penegakan syari‟ah Islam.
69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Majelis Mujahidin berfungsi sebagai pemersatu dalam memperjuangkan syari’at Islam di Indonesia. Pendiriannya dilhami dari kondisi umat Islam yang memprihatinkan karena tidak diterapkan syari’at Islam. Bahkan, menurut Majelis Mujahidin dampak tidak diterapkan syari’at Islam dirasakan oleh umat lain, yaitu kerusakan moral dan kehidupan sosial. Majelis Mujahidin adalah sebuah organisasi yang memiliki relasi ideologis dengan organisasi-organisasi terdahulu yang memperjuangkan syari’at Islam. Walaupun begitu, ia bukanlah merupakan kelanjutan dari organisasi-organisasi sebelumnya, seperti DI/TII dan Masyumi. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa konseptor-konseptor-nya adalah orang-orang yang pada masa sebelumnya, baik pada Orde Lama ataupun Orde Baru memiliki semangat memperjuangkan syari’at Islam. Abu Bakar Ba’asyir adalah orang yang pertama memimpin Majelis Mujahidin (Amir Mujahidin). Ia adalah orang yang memiliki perhatian terhadap dakwah formalisasi syari’at Islam. Sepak terjangnya pada masa Orde baru menjadi perhatian pemerintah, sebab ia tidak segan bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Adapun Muhammad Thalib, Ia sebagai Amir Mujahidin menggantikan Abu Bakar Ba’asyir tidak begitu menonjol dalam dunia pergerakan Islam. Ia
69
70
menonjol dalam dunia akademis dan
dikenal sebagai penulis buku yang
produktif. Ia memiliki wawasan luas terkait tsaqofah Islam karena berlatar belakang pendidikan baik formal maupun non-formal. Ia berguru kepada tokoh, ulama, dan akademisi, baik tingkat nasional maupun Internasional. Majelis Mujahidin berkembang hingga memiliki Lajnah Perwakilan Wilayah dan Daerah (LPW/LPD) hampir sebagian provinsi dan kota besar di Indonesia. Selain itu memiliki unit rescue, yaitu Korp. Ralawan Mujahidin dan Laskar Mujahidin yang berfungsi sebagai pengawal dalam memperjuangkan syari’at Islam. Majelis Mujahidin juga memiliki sarana bagi menunjang aktivitasnya, yaitu masjid al-Rasul. Sebagai organisasi yang lahir pada era modern, sepatutnya ia dapat merespon hal-hal yang berkenaan dengan modernitas. Majelis Mujahidin memiliki pandangan seputar pemikiran-pemikiran modern, seperti HAM, sekularisme, dan demokrasi. Pandangan-pandangan ini agar dapat digunakan sebagai ‘pertahanan’ masyarakat dari serangan ide-ide yang dekonstruktif terhadap penerapan syari’at Islam. Dari ketiga ide di atas, walaupun berasal dari worldview (pandangan hidup) Barat tidak ditolak secara mutlak, tetapi dapat diterima dari sisi sebagai alat perjuangan formalisasi syari’at Islam dan tidak bertentangan dengannya. Sebagaimana demokrasi dapat diambil dari sisi, ia sebagai mekanisme dalam meraih kekuasaan untuk menerapkan Islam atau formalisasi syari’at Islam dalam Undang-undang. HAM bagi Majelis Mujahidin dapat diterima apabila sesuai dengan koridor syari’at. Lain halnya dengan sekularisme, ia ditolak secara mutlak
71
karena memisahkan agama dari kehidupan atau negara, jelas ini bertentangan dengan Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagian umat Islam semenjak ‘terbit’ kemerdekaan atau menjelangnya, berupaya mendirikan negara yang berlandaskan Islam atau memformalisasikan syari’at Islam dalam negara. Upaya itu tercatat dalam sejarah sidang BPUPK, PPKI, dan sidang Konstituate tahun 1957. Pada masa orde baru upaya itu hampir sama sekali hilang karena kontrol ketat terhadap kekuatan Islam dan adanya kecenderungan deislamisasi. Majelis Mujahidin melanjutkan upaya tersebut dengan berkiprah melalui dua pendekatan strategi, yaitu struktural dan kultural. Tujuan dari pendekat struktural adalah kekuasaan negara dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam dan siap memberlakukan syari’at Islam dalam negara. Sedangkan pendekatan struktural mempersiapkan dan mengajak masyarakat untuk menerima dan memperjuangkan syari’at Islam.
72
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah, Rojali dan Syamsir. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Penerjemah Khalif Muammar. (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010. Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir dan Mengenal Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Penerjemah: Abu Afif dan Nurkhalis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007. Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat, dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Ikhwan. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004. Iqbal, Muhammad dan Husein Nasution, Amin. Pemikiran Politik Islam, dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Jamhari dan Jamroni, Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. Kuntowijoyo. Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993. Madinier, Rémy. Partai Masjumi, antara Godaan Demokrasi & Islam Integral. Bandung: Mizan Media Utama, 2013. Madjid, Nucholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987. Maududi, Abul A’la. Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam. Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: BUMI AKSARA, 1995. al-Nabhani, Taqiyuddin. Syakhshiyah Islam. Jakarta: HTI PRESS, 2007. Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987. Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. Jakarta: BUMI AKSARA, 2008. Ricklefs, M.C.. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: GAJAH MADA UNIVERSITY, 1995. 72
73
Saifuddin Anshari, Endang. Piagam Jakarta 22 Juni PUSTAKA-PERPUSTAKAAN SALMAN ITB, 1981.
1945. Bandung:
Sitompul, Agussalim. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: CV. MISAKA GALIZA, 2008. Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Suryahardi Awwas, Irfan. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakkan Syari’ah Islam. Yogyakarta: WIHDAH PRESS, 2001. Syafii Ma’arif, Ahmad. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996. Thaha, Idris. Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta: TERAJU, 2005. Ubaedillah, A. dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Edication) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010. Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: PT. BUKU KITA, 2008. Zaki Mubarok, M. Genealogi Islam Radikal di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES, 2008.
Skripsi dan Makalah Adidhatama, Praga. “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir tentang Negara Islam”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009. Amin Suma, M. “Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum Indonesia”. Makalah disampaikan dalam seminar nasional Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Pontianak; stadium general mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum serta diskusi ilmiah dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Choirul Fuad, Yusuf. “Sekularisasi dan Sekularisme Tinjauan Filsafat Mengenai Perubahan Persepsi Tentang Peran Agama dalam Masyarakat”. Skripsi diakses pada 15 september dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20159674Sekularisasi%20dan%20sekularisme%20S%209228.pdf
74
Humaini. “Pemikiran dan Aktivitas Dakwah Abu Bakar Ba’asyir”. Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007. Husaini, Adian. “Seminar Internasional Peta Pemikiran Islam di Indonesia antara Liberalisasi dan Islamisasi”. Makalah diakses pada 22 agustus 2014 dari http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8 7:seminar-internasional-peta-pemikiran-Islam-di-indonesia-antaraliberalisasi-dan-Islamisasi-&catid=1&Itemid=29 Isrokhah, Nur. “Tinjauan Bimbingan Konseling Keluarga dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah (Analisa Buku “Manajemen Keluarga Sakinah” karya Muhammad Thalib)”. Skripsi S1 Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2009. Rossani Rahayu, Widy. “Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)”. Skripsi diakses pada 3 Oktober 2014 dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20160285-RB04R29pPerdebatan%20dasar.pdf S. Awwas, Irfan dan Tim Ahli Majelis Mujahidin. “Mengenal Majelis Mujahidin”.
Internet dan Dokumen Elektronik Awwas, Irfan S. “Indonesia Dalam Perspektif Konstitusi dan Kitab Suci”. Artikel diakses pada 12 september 2014 dari http://majelismujahidin.com/2014/06/indonesia-dalam-prespektifkonstitusi-dan-kitab-suci/ “Deklarasi Universal HAM”. diakses pada 3 september 2014 https://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf
dari
"Demokrasi Pemerintahan Islami" diakses pada 06 November 2014 dari "http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,35390-lang,idc,kolom-t,Demokrasi+Pemerintahan+Islami-.phpx Izzuddin, Abu. “Bersua di Kongres Mujahidin III”. Diakses pada 29 oktober 2014 dari https://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg04409.html
75
“KPPSI: Perjuangan Politik Identitas Islam di Sulawesi Selatan”. Diakses pada 22 Oktober 2014 dari http://politik.kompasiana.com/2011/11/24/kppsiperjuangan-politik-identitas-islam-di-sulawesi-selatan-415307.html “LPW dan LPD Majelis Mujahidin”. Diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://majelismujahidin.com/lpwlpd-majelis-mujahidin/ “Majelis Mujahidin akan Gugat Pancasila sebagai Dasar Negara ke MK”. Diakses pada 29 september 2014 dari http://www.arrahmah.com/news/2013/05/07/majelis-mujahidin-akangugat-pancasila-sebagai-dasar-negara-ke-mk.html “Membangun Negara yang Adil dan Beradab di bawah Naungan Syari’at Islam”. Tim Ahli Majelis Mujahidin. “Mengenal Majelis Mujahidin”. Diakses pada 2 Juni 2014 http://majelismujahidin.com/about/mengenal-majelis-mujahidin/
dari
“MM Resmikan Masjid Raya Ar Rasul Dengan Dialog Publik Tentang Yogyakarta”. Diakses pada 29 Oktober 2014 dari http://www.arrahmah.com/read/2011/01/05/10565-mm-resmikan-masjidraya-ar-rasul-dengan-dialog-publik-tentangyogyakarta.html#sthash.DKuvbycI.dpuf “Nikah Beda Agama: Menyerang Islam, Membuka Pintu Pemurtadan”. Buletin Al-Islam Edisi 721 diakses pada 1 oktober 2014 dari http://hizbuttahrir.or.id/2014/09/11/nikah-beda-agama-menyerang-islam-membukapintu-pemurtadan/ “Pandangan Majelis Mujahidin tentang Demokrasi”diakses pada 19 september 2014 dari http://www.arrahmah.com/news/2013/09/07/pandangan-majelismujahidin-demokrasi.html “Peresmian Masjid Ar-Rasul: Yoyakarta Bersyari’at!”. Diakses pada 29 Oktober dari http://majelismujahidin.com/2011/01/peresmian-masjid-raya-ar-rasulyogyakarta-bersyariat/#more-179 Prastyo, Budi.“Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia dalam Keberagaman, Sosial, Budaya, dan Politik” PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1 (Juni 2013): h. 41. Diakses pada 22 oktober 2014 dari http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/3874 “Profil
Muhammad Thalib”. Diakses pada 29 Oktober 2014 dari https://www.youtube.com/watch?v=1yqWBgWJZF4&list=TLEIkRDX9D oiu_rWkJZoo89oSRloR2gbSe
76
“Program Laskar Mujahidin”, Diakses pada 29 http://laskarmujahidin.wordpress.com./program
Oktober
2014
dari
“Serial Tatbiq al-syarî’ah I”. Diakses pada 12 september 2014 dari http://majelismujahidin.com/2012/01/serial-tatbiqush-syariah-urgensipenerapan-syariat-islam-secara-kaafah-1/ “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Diakses pada 15 September 2014 dari https://pdf.mpr.go.id/data/buku_UUD_NRI_1945.pdf
Wawancara Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 28 Agustus 2014. Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 8 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Shabbarin Syakur, melalui telepon 10 Oktober 2014.
Software KBBI Offline 1.5
77
LAMPIRAN I WAWANCARA Nama
: Shabbarin Syakur
Jabatan
: Sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia
Hari/ Tgl
: Kamis, 28 Agustus 2014
Bagaimana pandangan Majelis Mujahidin tentang demokrasi? Penerapan demokrasi di Indonesia tidak sama dengan demokrasi ala barat atau demokrasi yang diterapkan pada masa awal pelaksaan demokrasi di Yunani. Pada masa awal demokrasi diberlakukan ketetapan atau keputusan mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Pada periode modern hasil dari keputusan dari demokrasi (musyawarah) tidak dapat diterima atau disahkan apabila tidak sesuai atau bertentangan dengan demokrasi. Majelis Mujahidin menyikapi demokrasi dari dua sisi, yaitu (1). Apabila Demokrasi diyakini sebagai ideologi, yakni kebanaran diukur berdasarkan sedikit-banyaknya pendukung, maka jelas tidak sesuai dengan syariat Islam dan kita tolak. (2) Demokrasi sebagai mekanisme kerja/ manajemen/ pengelolaan pemerintahan/ manajemen pertemuan (rapat)/ menajemen pemilihan (pemilu) dapat dilaksakan atau ditinggalkan karena persoalan manajemen (cara) saja. Majelis Mujahidin memperbolehkan pelaksaan pemilu baik presiden, kepala daerah, karena melibatkan partisipasi rakyat. Demokrasi
yang
dipakai
di
Indonesia
adalah
demokrasi
yang
konstitusional. Oleh sebab itu seluruh kebijakan yang diambil atau dilaksanakan oleh legislatif atau eksekutif harus konstutisional (sesuai dengan konstitusi). Majelis mujahidin berkeyakinan bahwa syariat islam memiliki landasan historis,
77
78
formal, maupun konstitusional, karena itu kebijakan yang diambil atau dilaksanakan oleh legislatif dan eksekutif tidak boleh bertentangan dengan syariat atau ajaran Islam. Kami memandang demokrasi, bahwa ia bergantung dari siapa yang menggunakannya atau yang menilainya, misalkan demokrasi digunakan atau dinilai oleh orang liberal maka akan jadi demokrasi liberal; apabila orang Islam yang menggunakan atau memandangnya, maka ia harus berjalan sesuai dengan syariat Islam.
Bagaimana Mejelis Mujahidin terhadap sekularisme? Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sarat dengan nilai atau nuansa agama. Sekularime adalah paham yang tidak memberikan ruang kepada agama untuk terlibat dalam mengurusi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia adalah negara yang anti-sekularisme dan anti-materialisme ditunjukan dengan fakta sejarah, hukum, dan konstitusi seperti dalam sidang BPUPKI, dokumen piagam Jakarta, PPKI, UUD sementara, UUD 1945 dsb. Di dalam dokumen-dokumen tersebut tidak terdapat diktum yang memarginalkan agama. Meskipun piagam Jakarta dihapuskan dalam preambul UUD 1945, tidak menjadikan agama termarginalkan karena jelas sekali diungkapkan dalam Preambul UUD 1945, Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1, Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal itu tidak pernah dijelaskan maksudnya secara tuntas. Satu-satunya diktum yang menjelaskan dasar negara indonesia adalah Pasal 29 ayat 1, Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu seluruh undang-undang
79
harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga apabila hakim memutuskan perkara selalu mengucapkan berdasarkan keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan PNS berjanji akan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dsb. Kata Tuhan Yang Maha Esa digunakan dalam pemerintahan, tetapi maksudnya belum dijelaskan secara tuntas. Tuhan Yang Maha Esa itu bagaimana maksudnya?. maka perlu ada penajaman atau perlu ada suatu undang-undang organik yang mengatur tentang maksud Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Apakah Ketuhanan Yang Maha Esa milik demokrasi? apakah milik sekulerisme? apakah milik budaya? atau milik agama. Maka dari situ, jelas bahwa negara Indonesia adalah negara agamis (negara agama). Artinya, dalam pengaturan negara tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai agama atau sekularisme atau materialisme, tetapi seharusnya agama dijadikan landasan bagi pembangunan masyarakat dan negara. Dengan seperti itu, masyarakat indonesia yang notabene adalah pemeluk agama diberikan kenyamanan dalam menjalankan ajaran agamanya. Maka tidak boleh dibatasi ajaran agama itu hanya boleh dalam lingkungan privat saja dan tidak boleh dibawa ke ruang publik atau negara (sekuler). Seharusnya negara yang menaungi masyarakat beragama adalah negara yang beragama juga. Demikian itu adalah logika konstitusi, apabila mayoritas rakyat adalah pemeluk agama maka negara harus berdasarkan agama.
Bagaimana pandangan Majelis Mujahidin terhadap HAM ? Sebagaimana yang telah dirilis oleh PBB, bahwa HAM bagi seseorang dalam komunitas itu terbatas dan tidak boleh dilampiaskan semaunya sendiri.
80
Majelis Mujahidin meyakini di dalam syariat Islam terkandung esensi HAM dan tidak ada ajaran yang paling menjunjung tinggi HAM, kecuali Islam. Hal itu terbukti dalam sejarah peradaban Islam, yaitu sikap para khalifah dan nabi Muhammad yang menjunjung tinggi HAM. Rasulullah ketika di Madinah mengumpulkan orang-orang dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda untuk membicarakan keterlibatan mereka dalam mempertahankan madinah dari serangan musuh. Dalam Islam hak asasi manusia dilindungi, seperti pada masa khilafah Islam orang-orang kafir dilindungi (hak) untuk menjalankan ibadah dan diberikan hak-haknya sebagai warga negara. Orang-orang kafir dalam pemerintahan Islam disebut dzimmi (orang yang dilindungi oleh negara). Tidak ada ajaran yang paling sempurna selain Islam, baik dalam hal toleransi, kebebasan memilih, kebebasan memiliki, kebebasan menggunakan akal dsb. Di dalam UUD negara Indonesia, perkara HAM dibatasi oleh konstitusi, agama, keyakinan dsb. Saat ini ada kelompok liberal yang berusaha menjadikan HAM sebagai alasan untuk kebebasan yang lepas dari batasan-batasan agama, moral dsb. Kelompok ini akan merusak tatanan masyarakat dan negara, maka dari itu kita akan cegah dan antisipasi terhadap gerakan mereka supaya tidak berkembang. Dalam hal ini kita sudah mempunyai acuan penyelesaian masalah, misalkan dalam bernegara kita memiliki acuan konstitusi, dalam kemasyarakatan yang behubungan dengan agama kita punya acuan agama (kitab suci). Oleh karena itu, di dalam permaslahan hak telah diatur dan tidak bisa semaunya sendiri.
Apakah HAM, menurut Majelis Mujahidin tergantung siapa yang menilai?
81
Kalaupun acuannya adalah piagam PBB tentang HAM, di dalamnya dijelaskan pemuasan HAM tidak boleh mengganggu orang lain, artinya dibatasi dan tidak semaunya sendiri. Dalam konteks Indonesia HAM dibatasi oleh konstitusi. Sekarang ini ada lembaga komnas HAM, maka mereka tidak bisa semaunya sendiri mengartikan HAM menurut dirinya atau keluarganya. Majelis Mujahidin tidak memperkarakan HAM, selama ia dalam koridor kemartabatan manusia, keberagamaan, dan bernegara. Majelis Mujahidin menolak HAM berdasarkan sudut pandang liberalisme, kerena memahami HAM tanpa ada batasan atau semaunya sendiri, misalnya seseorang yang telanjang di depan umum dengan dalih HAM, maka tidak diperbolehkan. HAM dibatasi oleh syariat, konstitusi, budaya dsb. Hal yang berkaitan dengan hukum maka diserahkan kepada konstitusi negara. Konstitusi negara memberikan tempat kepada agama, budaya dsb. sebagai batasan-batasan itu.
Bagaimana tanggapan Majelis Mujahidin tentang pernyataan bahwa penerapan syari’at Islam melanggar HAM? HAM apa yang dilanggar dalam syari’at Islam?. Dalam kehidupan bernegara harus mengacu kepada konstitusi. Konstitusi negara menyatakan dalam pembukaannya, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Dari sini jelas dinyatakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, bukan berkat demokrasi. Selanjutnya dalam pasal-pasal juga berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha
82
Esa, artinya tidak berseberangan dengan syariat, misalnya pasal 33 ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Harus ada undang-undang organik mengenai perlindungan terhadap penerapan syariat Islam agar tidak muncul tuduhan malanggar HAM. Prof. Dr. Hazairin, S.H. menjelaskan arti dari pasal 29 ayat 1 sebagai berikut: (1). negara Indonesia tidak boleh melaksanakan undang-undang atau peraturan yang bertentangan dengan agama yang resmi di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. (2). Negara harus aktif terlibat memberikan fasilitas atau sarana untuk pelaksanaan ajaran agama yang tidak bisa dilaksanakan oleh pengikutnya secara mandiri. Maka dari situ harus ada peran negar memberikan fasilitas. (3). Seluruh rakyat Indonesia memiliki hak menjalankan syariat agamanya masing-masing, termasuk umat islam berhak menjalankan syariat Islam. Dalam perayaan nyepi di Bali, umat Hindu dipersilahkan melaksanakan ajaran agamanya dan umat lain menghormatinya. Penduduk Bali yang merupakan minoritas mendapatkan keleluasaan menjalankan ajaran agama, padahal dapat “menggangu” peribadahan agama lain, bahkan ketika nyepi tidak diperbolehkan penerbangan yang masuk atau ke luar Bali. Hal ini berbeda sekali dengan penerapan syariat Islam, padahal agama Islam merupakan mayoritas di Indonesia tetapi dipermasalahkan. Ada apa ini?. Kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa syariat Islam bila diterapkan akan memberikan rahmat dan kesejahteraan bagi manusia. Apabila umat Islam tidak boleh melaksanakan syariatnya, maka menjadi sebuah pertanyaan, mana hak asasi bagi umat Islam?. Maka kita tanyakan
83
HAM yang mana? HAM tanpa batasan agama?, sedangkan konstitusi kita berdasarkan agama, maka HAM yang menurut mereka yang tidak sesuai dengan konstitusi (inkonstitusional). a.n. Shabbarin Syakur
Ust. Abdullah Abu Rabbani Ketua MMI LPW Jabodetabek
84
LAMPIRAN II WAWANCARA Nama
: Shabbarin Syakur
Jabatan
: Sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia
Hari/ Tgl
: Rabu, 08 Oktober 2014
Setelah
mendeklarasikan
berdirinya
Majelis
Mujahidin
kemudian
mengunjungi DPR, bisa diceritakan? MM menyampaikan hasil rekomendasi kongres yang intinya bagaimana membangun indonesia dengan nilai-nilai kemerdekaan, menjadikan negara yang agamis sebab memiliki mayoritas penduduk muslim. Sebagai mayoritas di negeri ini sewajarnya mendapatkan hak untuk menjalankan syari‟at agamanya dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang seharusnya menerapkan syari‟at Islam sebagai rujukan untuk membuat undang-undang atau peraturan. Apabila pemerintah tidak melaksanakanya dan menggunakan aturan yang lain (selain Islam), maka dengan begitu telah „mengasingkan‟ Islam dari masyarakat. Kedatangan Majelis Mujahidin kepada pimpinan DPR dengan memberikan rekomendasi hasil Kongres Mujahidin I yang berisi tentang penerapan syari‟at Islam di Indonesia disambut dengan baik karena dapat dipahami merupakan keinginan dari penduduk muslim sebagai mayoritas di Indonesia, bahkan yang terbesar di dunia. Negara Indonesia memiliki kekayaan budaya, suku dsb dapat dipersatukan oleh Islam dan menjadi spirit perjuangan mengusir penjajah. Setelah
84
85
merdeka justru Islam tidak diberikan kesempatan mengelola/ mengatur negeri ini, malah distigmatisasi dengan label radikal dan tidak toleran.
Apakah itu yang dikatakan sebagai pendekatan struktural sebagaimana yang tertulis dalam tulisan “Mengenal Majelis Mujahidin”? Iya, dalam mencapai missi utama dilakukan dua pendekatan, yaitu struktural dan kultural. Struktural berarti kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan syari‟at Islam dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara benar-benar dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah SWT, Oleh karena Islam bersifat rahmatan li al-âlamîn maka dengan berlakunya syari‟at Islam, akan menjamin datangnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam Majelis Mujahidin terdiri dari dua lembaga, yaitu Ahlul Halli wal „Aqdi atau legislatif dan tanfidziyah atau eksekutif. Ahlul halli wal aqdi sebagai penentu kebijakan umum dari Majelis Mujahidin dan amanah kongres. Sebagai pelaksananya diberikan kewenangan kepada Lajnah Tanfidziyah. Lajnah Tanfidziyah memiliki struktur dari pusat sampai ke daerah tingkat satu dan dua, bahkan sampai ke desa. Dari struktur tersebut diharapkan dapat memberi kontribusi positif terhadap wilayah garapannya sesuai dengan posisinya baik Lajnah Tanfidziyah pusat sampai dengan daerah. Lajnah Tanfidziyah pusat bertugas memberikan kontribusi positif kepada pemerintah pusat beserta jajaranya, termasuk aparat keamanan, legislatif dsb. Sedangkan di provinsi
86
menjadi tanggung jawab dari lajnah perwakilan wilayah untuk bersosialisasi dan menegakkan syari‟at Islam bekerja sama dengan Gubernur. Pemberlakuan syari‟at Islam dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di tingkat provinsi. Syari‟at Islam yang dimaksud memiliki dua sisi, yaitu (1). Sebagai koreksi terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan syari‟at Islam. Dalam peraturan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah tidak seluruhnya bertentangan dengan syari‟at Islam, oleh sebab itu hanya peraturan yang bertentangan saja yang akan dikoreksi. (2). Sebagai solusi terhadap problem yang dialami oleh pemerintah, contohnya maraknya kriminalitas, berjubelnya penjara dsb. akibat dari sanksi yang tidak membuat jera terpidana. Islam memiliki solusi untuk menangani kriminalitas, kerusakan sosial dsb. Dalam Islam tidak ada hukuman penjara, sehingga memasung kebebasan seseorang, sebaliknya Islam memberi solusi pemidanaan yang adil, membuat jera, dan manusiawi. Bentuk pemidanaan sekarang ini merugikan bagi pelaku/ terpidana, pemerintah, dan masyarakat. Bagi pelaku tidak merasa jera dengan perbuatannya sehingga terus mengulangi kesalahan-kesalahannya. Bagi Pemerintah dirugikan dari sisi banyaknya sidang atau proses persidangan, membludaknya rumah tahanan dsb., semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi masyarakat kerugian dari sisi semakin banyak angka kriminalitas sehingga merusak tatanan sosial. Salah satu bentuk pemidanaan dalam Islam adalah hukum cambuk, diberlakukan untuk orang yang berzina (yang belum menikah) dan tidak perlu dipenjara. Kiprah Majelis Mujahidin di daerah adalah melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk penegakan syari‟at Islam. Dari awal pendirian Majelis Mujahidin, yaitu pada Kongres Muhajidin I ditetapkan
87
tidak akan melakukan kegiatan/program yang sudah dilakukan oleh ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah dsb, juga program seperti majelis taklim. Majelis Mujahidin tidak akan melakukan program sebagaimana program yang sudah ada karena akan tumpang tindih, oleh sebab itu sebagaimana dijelaskan di atas maka aktivitas Majelis Mujahidin adalah melakukan pendekatan dan bekerja sama dengan pemerintah untuk menegakkan syari‟at Islam. Majelis Mujahidin melihat ada ruang yang tidak tersentuh oleh program dari lembaga-lembaga yang disebutkan di atas, oleh karena itu banyaknya organisasi, lembaga pendidikan, dll. tidak memberikan pengaruh signifikan ke arah yang positif untuk Indonesia. Banyaknya organisasi masyarakat, lembaga pendidikan dll. tidak dapat menghentikan kerusakan sosial. Maka dalam hal ini kita harus bekerja sama dengan pemerintah untuk menyelesaikannya, yaitu dengan cara bersosialisasi dan menegakkan syari‟at Islam bersama dengan pemerintah.
Bagaimana dengan Pendekatan kultural? Majelis Mujahidin sebagai sarana bagi umat Islam yang ingin menegakkan syari‟at Islam. Sifat dari Majelis Mujahidin sendiri adalah aliasi (tansiq) yang menghimpun individu atau kelompok yang mau memperjuangkan syari‟at Islam. Aliansi itu dalam tiga bentuk: (1). Tansiqul fardi, artinya menghimpun individuindividu muslim untuk memperjuangkan syari‟at tanpa memandang latar belakang ormas, kecuali aliran yang tidak sesuai aqidah Islam, seperti Syi‟ah dan Ahmadiyah. Diharapkan setiap Individu-individu ini menjadi akselerator bagi penegakan syari‟at Islam, misalnya seseorang yang berlatar belakang organisasi
88
Muhammadiyah diharapkan melakukan akselerasi penegakan syari‟at Islam di organisasinya, begitu juga yang berlatar belakang NU dan seterusnya. (2) Tansiqul Amali atau aliansi program, artinya bekerja sama dengan organisasi, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, Majelis Taklim, universitas dll. Dalam aliansi ini dilakukan kerjasama dalam rangka akselerasi penegakan syari‟at Islam, baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Majelis Mujahidin juga bekerja sama dengan semua elemen masyarakat baik dalam pemerintahan maupun non-pemerintahan melaksanakan program-progaram yang bersifat pembangunan atau memajukan masyarakat, pembangunan ekonomi, pembangunan birokrasi berlandaskan syari‟at Islam. Majelis Mujahidin pernah bekerja sama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan seminar mengangkat tema perbandingan antara hukum positif dengan hukum Islam. Diskusi tersebut dihadiri oleh pakar hukum, perwakilan dari agama lain, dan Majelis Mujahidin. Dalam diskusi tersebut dinyatakan bahwa dalam proses legislasi hukum nasional, salah satunya bersumber dari hukum agama. Disampaikan juga, bahwa hukum-hukum Islam memiliki keunggulan dibandingkan dengan hukum positif. Majelis Mujahidin pernah berpartisipasi sebagai pembicara dalam seminar internasional mengangkat tema, “Jihad Manurut Pandangan Islam” yang diadakan oleh Muhammadiyah di Jakarta dihadiri oleh duta-duta besar negara sahabat, intelektual, Kepolisian dsb. Dalam diskusi di paparkan oleh perwakilan dari Majelis Mujahidin bahwa jihad adalah sistem pertahanan dan keamanan negara. Penjelasan itu dapat diterima oleh para peserta seminar. Seharusnya jihad
89
dipahami seperti, maka alangkah naifnya bila dikaitkan dengan tindakan terorisme. (3). Tansiq al-Nidzami, berarti semua elemen masyarakat bersatu dalam wadah Majelis Mujahidin dan bersama-sama memperjuangkan syari‟at Islam. Aliansi ini sulit diwujudkan karena setiap organisasi ingin berjalan dengan programnya sendiri. a.n. Shabbarin Syakur
Ust. Abdullah Abu Rabbani Ketua MMI LPW Jabodetabek
90
LAMPIRAN III WAWANCARA Nama
: Shabbarin Syakur
Jabatan
: Sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia
Hari/ Tgl
: Jum’at, 10 Oktober 2014
Bagaimana kiprah Majelis Mujahidin? Setelah Kongres Mujahidin I, ditetapkan keputusan bahwa anggota kongres berkewajiban menegakkan syari’at Islam di wilayah kerja masing-masing. Mereka melakukan sosialisasi atau berdakwah, kemudian bersama-sama dengan elemen umat atau secara mandiri mendorong muncul peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan syari’at Islam. Selain itu mengkondisikan wilayahnya agar kondusif untuk menegakkan syari’at Islam. Menciptakan kondisi yang kondusif untuk penegakan syari’at Islam dengan melakukan aktivitas, seperti berperan agar di lingkungan kantor pemerintahan/ kepolisian/ DPRD menjadi kondusif untuk peribadahan, kemudian kami berdakwah di tempat itu. Dengan demikian ada stimulasi agar dapat dengan mudah penegakan syari’at Islam diterima oleh lembaga tersebut. Majelis Mujahidin di daerah juga berupaya bersosialisasi syari’at Islam dengan cara bekerja sama membuat acara dengan pemerintah daerah/ kepolisian/ DPRD. Bagaimana dukungan Majelis Mujahidin terhadap penegakan syari’ah Islam melalui jalur parlemen? Parlemen sebagai mekanisme pembuatan hukum harus berdasarkan syari’at Islam. Disamping
mekanisme
pengajuan
undang-undang oleh
anggota
dewan,
pemerintah atau legislatif dapat mengajukan 90 undang-undang, dalam hal ini yang
91
sesuai dengan syari’at Islam. Majelis Mujahidin sering melakukan dakwah kepada parlemen baik secara lisan maupun tertulis, juga kepada partai-partai anggota parlemen dan bersama-sama dengan partai politik mengkritisi produk-produk hukum yang bertentangan dengan syari’at Islam. Majelis Mujahidin pernah mengkritisi undang-undanng sisdiknas, undang-undang anti pornografi, undangundang yang akan merevisi undang-undang perkawinan dsb. Sikap terhadap undang-undang yang terakhir itu, Majelis menyampaikan penolakan dsb. Penegakan syari’at Islam di (lewat) lembaga parlemen dibutuhkan sosioalisasi syari’at Islam, ketauladanan anggota parlemen dalam menjalankan syari’at Islam, dan produk hukum yang sesuai dengan syari’at Islam. Majelis Mujahidin berkomitmen mengawal undang-undang yang produk parlemen agar tidak bertentangan dengan syari’at Islam, dan berdasarkan nilai-nilai syari’at Islam. Apa upaya yang dilakukan Majelis Mujahidin dalam mengkatalisasi dukungan dari masyarakat terhadap penegakan syari’at Islam? Majelis Mujahidin melakukan secara intensif dakwah dan jihad untuk bersosialisasi syari’at Islam yang rahmatan lil alamin. Islam rahmatan lil alamin bukan hanya seruan yang indah terdengar telinga, tapi merupakan solusi terhadap kehidupan bermasyarakat dan koreksi persoalan yang sudah ada di masyarakat. Kemudian setelah sosialisasi syari’ah Islam kepada objek dakwah, diberikan ketahanan dari serangan pemikiran-pemikiran yang berupaya menjauhkan masyarakat dari agama (Islam). Itu yang dimaksud dengan jihad sebagai sistem pertahanan dan ketahanan masyarakat dan negara, dengan begitu dakwah dapat berlangsung dengan baik.
92
Jihad di sini dalam konteksss seperti apa? Jihad adalah sistem pertahanan dan keamanan masyarakat dan negara untuk melindungi dakwah. Jihad dilakukan untuk meninggikan kalimat Allah (li A’lâi kalimatillâh), memajukan syari’at Islam dan menyampaikan hidayah Allah SWT. Dalam hadits Nabi dikatakan tidak ada jihad karena ingin dikenang, mencari harta, tetapi jihad harus ditujukan untuk menjaga dakwah ini sehingga dapat diterapkan. Jihad ada beberapa jenis, yaitu jihad bi al-lisân (lisan), jihad bi al-amal (amal), dan jihad bi al-qitâl (perang). Jihad yang terakhir disebutkan dilakukan pada kondisi perang, seperti di Suriah, Palestina dsb. Adapun dalam konteks Indonesia jihad yang dilakukan adalah jihad lisan dan amal. Jihad yang dilakukan di Indonesia adalah bersungguh-sungguh dengan lisan dan perbuatan untuk tegaknya syari’at Islam. Jihad juga dilakukan untuk melawan pemikiranpemikiran dekontruktif terhadap penerapan syari’ah Islam, dan fitnah dengan lisan dan amal. Bisa saja jihad bi al-qital dilakukan di Indonesia, apabila terjadi serangan fisik dari negara luar. Jihad ini pernah dilakukan oleh para pejuang/ mujahidin untuk mengusir kafir penjajah. Untuk mengantisipasi hal yang terakhir ini, maka Majelis Mujahidin mempunyai slogan bastotan fi al-‘ilmi wa al-jismi (pandai/cerdas dalam ilmu dan kuat dalam fisik). Aktivitas Majelis Mujahidin menolak missworld dsb. apakah dalam rangka menegakkan syari’ah Islam? Iya jelas, kalau tidak ada kaitannya dengan syari’at Islam mengapa kami tolak kan?. Itu adalah salah satu upaya memberikan ketahanan kepada masyarakat
93
terhadap hal-hal yang akan merusak kondisi dan menghambat dari penegakan syari’ah. Ada yang mengatakan Majelis Mujahidin
kelanjutan dari DI/TII,
bagaimana menurut ustadz? Kami melanjutkan visi dan missi nubuwah atau kerasulan Nabi, bukan DI/TII. Dalam perjalanan sejarah Indonesia telah dilakukan beberapa cara untuk menegakkan syari’ah Islam, seperti yang ditempuh oleh Masyumi dalam parlemen dan DI/TII di luar parlemen. Dalam mencapai tujuannya, mereka dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda. Masyumi tidak mungkin menggunakan cara DI/TII, juga kebalikannya DI/TII tidak mungkin menggunakan cara Masyumi karena situasi dan kondisi yang berbeda. Begitu juga yang dihadapi Majelis Mujahidin sekarang berbeda dengan situasi dan kondisi Masyumi dan DI/TII. Ada juga gerakan, seperti NU, Muhammadiyah dsb. yang menekankan dakwah kultural, pembangunan masyarakat dll. Ada gerakan tazkiyah (mensucikan diri) bertujuan agar jama’ah dapat melaksakan Islam, tapi tidak peduli dengan orang lain. Maka pasca reformasi diupayakan adanya tansiq (aliansi) bagi kekuatankekuatan umat Islam untuk menegakkan syari’at Islam, kemudian lahirlah Majelis Mujahidin. DI/TII adalah sebuah perjalanan sejarah penegakan syari’at Islam. Sikap Majelis Mujahidin adalah mengambil/ melanjutkan visi dan misi yang baik dari DI/TII, Muhammadiyah, NU. Oleh karena itu, Majelis Mujahidin tidak ada kepentingan berafiliasi dengan organisasi tertentu, justru Majelis Mujahidin ingin menyatukan dalam satu wadah dalam rangka penegakan syari’at Islam. Majelis Mujahidin melanjutkan yang sudah baik dan berupaya memperbaiki yang kurang baik agar tidak menghambat penegakan syari’at Islam.
94
Majelis Mujahidin sekarang berada di luar parlemen. Apakah ada kemungkinan masuk ke parlemen? Di dalam piagam Yogyakarta yang disepakati dalam Kongres Mujahidin I, tidak ada keinginan yang mengarahkan kepada perjuangan dalam parlemen. Justru kami bekerja sama dengan masyarakat dan negara, karena dua kekuatan ini tidak bisa dipisahkan. Tidak ada artinya mendapat dukungan negara tapi tidak mendapat dukungan dari masyarakat, atau sebaliknya. Sehigga kami harus memenangkan opini di tengah masyarakat yang mayoritas muslim untuk lebih tahu tentang ajarannya, kemudian mencintainya dan memberikan kontribusi dalam penerapannya di lingkungan masing-masing, baik dalam parlemen maupun di luar parlemen. Lingkungan yang paling kecil dalam negara, seperti desa. Syari’at Islam seperti apa yang bisa diimplementasikan dalam lingkup desa? Model penerapan syari’at Islam dimulai dari sosialisasi/ pengenalan. Setidaknya masyarakat terhindar dari berbagai penyakit masyarakat, seperti mabuk-mabukan, perjudian, perzinahan dll. Hal ini adalah bentuk kepedulian dari aparat pemerintah kepada lingkungannya. Seharusnya masyarakat dikelola aparat pemerintah tanpa mengenyampingkan nilai-nilai agama. Saat ini ada aktivitas mengarahkan demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi yang sekulermaterialistik dan mengeyampingkan nilai-nilai agama. Muncul buku terbitan DIKNAS yang membolehkan pacaran dengan alasan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Ini menjadi justifikasi terhadap perbuatan masyarakat yang semestinya diluruskan. Selanjutnya dinyatakan pacaran tidak boleh merugikan
95
salah satu pihak, dengan begitu seolah-olah kementerian pendidikan dan peranan wanita membolehkan memakai kondom agar tidak terjadi ‘kecelakaan’. Terkait dengan aktivitas Majelis Mujahidin membubarkan acara idul ghadir, Syi’ah. bagaimana penjelasan ustadz? Dalam kasus Syi’ah, baik secara nasional maupun regional kami telah menyurati mereka untuk melakukan debat publik. Syi’ah mengaku bagian dari Islam tapi mengapa mereka tidak mau diajak berdebat dan menyakinkan bahwa dia adalah bagian dari Islam. Mereka cenderung menghindar, justru ini merupakan penghianatan terhadap Islam itu sendiri. Kami juga menyampaikan kepada kedutaan besar Iran, apabila ingin menyelesaikan persoalan Syi’ah di Indonesia maka harus membuka ke ruang publik. Membawa hal ini ke ruang publik dengan cara mengadakan seminar tentang Islam dan Syi’ah dengan tujuan agar Negara mempunyai pedoman menghadapi Syi’ah. Kami sampaikan kepada dewan pertahanan nasional, kementerian dalam negeri, bahwa Syi’ah berbahaya seperti api dalam sekam suatu saat nanti bila tidak segera diantisipasi maka akan terjadi seperti di timur tengah. Majelis Mujahidin membubarkan acara tersebut tanpa anarkisme, sementara mereka dalam acara tersebut menista terhadap Islam dan para sahabat juga melakukan budaya-budaya Syi’ah yang selama ini asing di Indonesia, seperti Idul ghadir dll. Dahulu mungkin mereka merayakannya tetapi tidak secara terangterangan, namun sekarang mereka berani secara terang-terangan di area publik. Apabila mereka berkuasa akan lebih besar lagi dan bertindak brutal terhadap umat Islam dengan menggunakan kekuasaannya. Kami melakukan pembubaran supaya
96
masyarakat tahu, misalnya ketika acara idhul ghadir di SMESCO Majelis Mujahidin membubarkan melalui kepolisian. Kami jelaskan acara ini bukan sekedar masalah ijin keramaian, tapi sudah menista Islam, sahabat Nabi dsb. Ternyata karyawan-karyawan SMESCO tidak mengetahui, bahwa itu adalah acara Syi’ah, kemudian kami bersama-sama karyawan membubarkan acara tersebut. Kami ingin mengajak mereka berbicara di ruang publik agar publik tahu tentang Syi’ah. Kami telah berusaha dengan cara-cara yang elegan, secara persuasif mengajak berdebat, malah mereka menyerang dengan tudingan orangorang yang tidak senang dengan acara mereka adalah teroris. Cara yang mereka lakukan itu seperti PKI. Apakah ada kiprah Majelis Mujahidin yang dilakukan agar masyarakat bersimpati kemudian bersama-sama memperjuangkan syari’at Islam, misal melakukan aktivitas sosial seperti bencana alam dsb.? iya, kami pernah membantu korban tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, padang dsb. Di dalam struktur Majelis Mujahidin ada Korp Relawan Mujahidin sebagai gugus untuk membantu masyarakat yang memerlukan, seperti korban bencana alam dsb. Membantu korban bencana alam adalah salah satu pelaksanaan syari’ah Islam, disamping itu kami berdakwah mengakses situasi dan kondisi masyarakat di sana dan ternyata banyak hal yang perlu diperbaiki. Kami datangi masyarakat dan tempat-tempat pengungsian untuk berdakwah, sering terjadi ‘benturan’ dengan kekuatan-kekuatan misionaris yang menggunakan momentum ini. Mereka mendakwahkan secara sembunyi-sembunyi apa yang mereka inginkan, sedangkan kami secara terang-terangan dalam berdakwah.
97
Banyak hal di Aceh ketika itu yang harus diperbaiki berkenaan dengan salat berjama’ah, keterlibatan DPRD dalam memberikan ketahanan masyarakat dari berbagai rongrongan misi agama lain, seperti Kristen, Budha dll. Kami jumpai tidak sedikit bukti-bukti seperti buku, CD kristenisasi, kemudian kami sampaikan kepada DPRD, bahwa hal ini akan menimbulkan kerawanan sosial karena Aceh adalah daerah otonomi yang memberlakukan syari’ah Islam. Kami juga bekerja sama dengan NGO dari berbagai negara dan kami sampaikan kepada mereka, bahwa anda berada di daerah yang menerapkan syari’at Islam, jadi jangan semaunya sendiri, seperti dalam mengenakan pakai yang seksi di depan umum dsb. NGO-NGO tersebut harus menghargai budaya lokal dan syari’at Islam yang diberlakukan di situ. Bebarapa daerah di Indonesia telah menerapkan syari’ah Islam. Apa kiprah Majelis Mujahidin dalam mengawal atau melestarikannya? Kami mendukung penerapan syari’ah Islam dan berupaya menghadapi tuduhan-tuduhan miring terhadap pemberlakuan syari’at Islam, saperti qanun jinayat di Aceh. Pemberlakuan qanun jinayat mendapat tantangan dari berbagai pihak dan kami membuka akses untuk berdebat di ruang publik dengan pihakpihak yang menentang pemberlakuan qanun jinayat di Aceh. Kami selesaikan persoalan ini dengan elegan secara konstitusional dan ilmiah, jangan hanya keberatan saja tetapi tidak mempunyai alasan atau argumentasi. Kami bekerja sama dengan Bina Syari’ah Provinsi Aceh, Perhimpunan Ulama Aceh dsb. Apakah ada kiprah Majelis Mujahidin berkaitan dengan sosialisasi ekonomi syari’ah dan pengembangan ekonomi masyarakat?
98
Dalam Majelis Mujahidin diputuskan tidak akan masuk dalam persoalanpersoalan yang sudah dilakukan elemen lain, tetapi kami hanya memberikan penguatan saja. Kami juga bekerja sama dengan pihak-pihak lain, seperti ormas Islam dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Sikap kami adalah mendukung semua aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, budaya yang berbasiskan kepada syari’ah Islam. Bagaimana dengan Kiprah Majelis Mujahidin dalam menggugat dasar negara, yaitu pancasila dan seharusnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bisa dijelaskan? Kami ingin kembali kepada konstitusi. Pancasila merupakan suatu kesepakatan bersama, kemudian dalan undang-undang dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dinyatakan, bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa itu artinya apa? kami ajak para pakar hukum tata negara untuk membuat naskah akademik terkait dengan maksud dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Kami tahu bentuk negara adalah NKRI, tapi maksud Ketuhanan Yang Maha Esa itu apa?. Apakah Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari budaya lokal? atau budaya ragional? atau dari Agama?. Ada yang mengatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan monopoli satu agama, kemudian apa maksudnya?. Pasal itu berkenaan dengan agama, artinya Ketuhanan Yang Maha Esa itu harus merujuk kepada agama. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat diartikan selain dari agama. Kami sedang memproses pembuatan sebuah naskah akademik untuk melahirkan undang-undang organik sebagai arah atau petunjuk berkenaan dengan
99
kata Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlindungan negara terhadap pelaksanaan ajaran agama warga negaranya. hal ini harus dijelaskan dalam sebuah undangundang organik, sebagai ciri bahwa Indonesia adalah negara yang agamis, bukan negara sekuler atau liberal. Menurut Prof. hazairin, Ketuhanan Yang Maha Esa itu berarti: (1). Negara tidak boleh memproduksi undang-undang yang bertentangan dengan agama (semua agama yang resmi di Indonesia), termasuk syari’at Islam. (2). Negara mempunyai keperdulian terhadap pelaksanaan syari’at agama di tangah masyarakat, di dalam pengelolaan
masyarakat.
Pelaksanaan
syari’at
Islam
yang
tidak
dapat
dilaksanakan secara mandiri oleh umat atau ormas maka dibebankan pengelolaannya kepada negara, seperti ekonomi, hukum pidana dsb. Sebuah contoh dalam menjalankan syari’at pembakaran mayat dalam agama hindu diperbolehkan dan dibantu oleh negara. Syari’at tersebut dikhususkan atau diperbolehkan oleh Negara untuk pemeluk agama Hindu. Apabila dilakukan oleh orang Islam, maka akan dikenakan sanksi oleh Negara karena tidak ada landasan dalam hukum Islam. Anehnya ketika syari’at Islam ingin dilaksanakan tidak diperbolehkan. Padahal membakar mayat/ orang saja boleh, dengan pertimbangan berlandaskan hukum agama, kenapa syari’at Islam tidak boleh?. Lebih dari itu di Bali, setiap ada perayaan nyepi umat Islam tidak diperbolehkan adzan, malahan ini jadi mengganggu syari’at agama lain (Islam). Kami mendorong para pakar hukum meneliti dan memproduksi naskah akademik yang berkenaan dengan pasal 29 ayat 1 dan 2. Kemudian digulirkan kepada DPR dan diusahakan dapat menjadi undang-undang nasional. Apabila telah disahkan menjadi undang-undang, maka implikasinya adalah penerapan syari’ah oleh
100
masyarakat dan negara terlindungi atau terpayungi oleh undang-undang tersebut. Agama lain (selain Islam) mendapatkan perlindungan menjalankan agamanya, bahkan Syi’ah yang melecehkan Islam pun demikian. Agama Islam yang dianut mayoritas warga negara Indonesia tidak bisa menjalankan syari’at agamanya, ada apa?. Diupayakan dengan terbentuknya undang-undang tersebut akan menjadikan syari’at Islam legal-formal dalam pengelolaan masyarakat.
101
LAMPIRAN IV MENGENAL MAJELIS MUJAHIDIN
Oleh: Irfan S. Awwas dan Tim Majelis Mujahidin
MUQADDIMAH ALHAMDULILLAH, segala puji bagi Allah yang telah mengutus para Nabi sebagai da‟i dan pemberi petunjuk, mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira, dan menjadikan mereka sebagai cahaya dan sinar yang menerangi alam semesta. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, yang diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar hingga Yaum al-Qiyâmah, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi. Sesungguhnya problem terbesar kaum musIimin di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya, adalah belum berlakunya Syari‟at Islam. Seluruh tragedi politik dan kemanusiaan yang datang bertubi-tubi menimpa kaum muslim, pada hakikatnya berpangkal pada masalah ini. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan, bahwa kaum muslim dewasa ini belum memiliki tata kepemimpinan umat yang berfungsi secara efektif dan berkemampuan untuk menghantarkan serta memberdayakan umat pada tingkat kehidupan yang beradab dan bermartabat sebagaimana arahan pesan-pesan wahyu illahi. Kenyataan yang kita saksikan sekarang, umat Islam masih tetap terpasung dalam kebodohan, kejumudan, keterbelakangan dan kemiskinan; bahkan konflik warisan masa silam yang menghanyutkan. Indikator semua itu, dapat kita saksikan,
betapa
keterceraiberaian,
keterpecahbelahan,
perseteruan
dan
permusuhan antara komponen umat dalam setiap tingkatnya masih saja berlangsung secara mengkhawatirkan, yang pada gilirannya menjadi kendala klasik yang tak kunjung rampung dientaskan. Tragisnya, semua ini terjadi justru pada saat prahara dan malapetaka yang melanda umat kian memuncak, sementara musuh-musuh Allah, Rasul Nya dan Mujahidin terus menguat. Belum, lagi
101
102
tantangan masa depan yang semakin mengkhawatirkan, sehingga beban persoalan menjadikian berat dan rumit. Pada akhirnya, melalui tatapan mata hati yang bening dan penelaahan pikiran yang jernih telah kita menginsafi, bahwa pengentasan secara menyeluruh atas segenap persoalan tersebut tidak bisa lain kecuali dengan terbangunnya suatu kekuatan bersama antar komponen umat Islam, serta terciptanya ayunan langkah yang teratur ke arah tujuan yang jelas dan bermakna. Kabut gelap malapetaka, insyâa Allâh akan sirna manakala benih-benih permusuhan di antara umat Islam yang mendukung berlakunya syari‟at Islam dan umat Islam yang belum siap menerima berlakunya syari‟at Islam dapat dilumatkan sehingga terbentanglah jembatan emas bagi terselesaikannya persoalan umat yang lainnya, dan pada gilirannya terbitlah fajar keselarasan dan keterpaduan gerak perjuangan di antara komponen umat Islam. Oleh karenanya, diilhami oleh semangat cita menzahirkan syari‟at ilahi dan dilatari oleh kesadaran akan pentingnya menyelaraskan derap langkah perjuangan dalam rangka menuntaskan persoalan krisis dan krusial keumatan maupun kemanusiaan, maka dengan ketetapan hati yang tulus dan lurus, selaku insan pendamba terpancang kokohnya kebenaran dan keadilan, serta untuk menjunjung tinggi amanah dan kepentingan yang sama yaitu tegaknya syari‟at Islam, akan mewujudkan negeri dengan predikat “Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafûr “ (Aman, damai dan diridhai Allah). Sebagai upaya untuk merealisasikan maksud dan tujuan tersebut, maka melalui Kongres Mujahidin I di Yogyakarta, yang berlangsung 5 7 Jumadil Ula 1421 H bertepatan dengan 5 7Agustus 2000, yang dihadiri sebanyak 1.800 orang peserta yang datang dari 24 perwakilan di seluruh Indonesia dan utusan luar negeri, dan telah melahirkan Piagam Yogyakarta dan menetapkan berdirinya Majelis Mujahidin, sebuah institusi aliansi (tansiq) umat Islam bagi penegakan syari‟at Islam di Indonesia, sebagai langkah awal penegakan syari‟at Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu perlu disusun program dan perencanaan yang syumûl (komprehensif) sebagai rujukan bagi umat Islam dalam melaksanakan puncak
103
pengabdiannya, yaitu perjuangan menegakkan hukum Allah, yang dengannya Islam akan benar-benar berfungsi sebagai rahmatan li al-„âlamîn. Sehubungan
dengan
adanya
ancaman
disintegrasi
bangsa
dan
pengingkaran terhadap syari‟at Islam, maka pada tanggal 15 Jumadil Ula 1421 H/ 15 Agustus 2000 M, saat berlangsungnya sidang paripurna DPR RI, delegasi Majelis Mujahidin telah membacakan Sahifah (Piagam) Yogyakarta dan pokokpokok rekomendasi keputusan Kongres Mujahidin dihadapan fraksi Golkar, PPP dan Partai Bulan Bintang, yang intinya antara lain: 1. Sesungguhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang utuh dan berdaulat merupakan dambaan kita bersama. 2. Berkembangnya potensi disintegrasi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin akut menunjukkan bahwa tesis yang mengatakan bahwa “bila syari‟at Islam diterapkan bagi pemeluk pemeluknya maka akan terjadi disintegrasi” adalah salah dan tidak berdasar. 3. Justru, karena syari‟at Islam yang merupakan fitrah bagi umat manusia pada umumnya
tidak
diterapkan,
maka
potensi
disintegrasi
bangsa
pun
berkembang, bersamaan dengan ber-munculannya berbagai bencana di bidang politik, keuangan dan moneter, HAM dan demokrasi, dan sebagainya. 4. Oleh karena itu memberlakukan syari‟at Islam bagi umat Islam dan memberlakukan ketentuan agama lain (Kristen, Katholik, Hindu, Budha) kepada para pemeluknya merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa. 5. Merupakan hak asasi setiap pemeluk agama untuk menerapkan ajaran (syari‟at) agamanya masing-masing di dalam kehidupan sehari hari, dan hal ini harus dipenuhi oleh negara karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 29. 6. Syari‟at Islam mengandung nilai-nilai universal yang juga dikenal penganut agama lain, sehingga bila diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, syari‟at Islam mampu melindungi seluruh warga negara apa pun agamanya. 7. Siapa saja diantara umat Islam yang menolak syari‟at Islam, maka sesungguhnya mereka tergolong munafiq dan melanggar hak asasi manusia
104
(HAM) serta condong kepada kehidupan yang penuh konflik sebagaimana selama ini telah terjadi di Ambon, Maluku, Aceh, Poso dan lain sebagainya. Maka
dalam
rangka
mewujudkan
tujuannya,
Majelis
Mujahidin
bersungguh-sungguh berikhtiar: 1. Melakukan penggalian, penelitian, perumusan dan sosialisasi khazanah pemikiran hukum Islam yang berkembang. 2. Melakukan pemantauan dan respons kritis antisipatif atas dinamika sosial politik yang berkembang di Indonesia dan di dunia inter-nasional. 3. Mendorong kesiapan umat agar dapat menjalankan syari‟at Islam secara efektif 4. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi penerapan syari‟at Islam secara damai yakni: Segenap komponen bangsa yang berlainan agama dapat memahami dan merespons secara proporsional maksud dan tujuan umat Islam. 5. Memobilisasi dukungan moral maupun material dari segenap elemen dunia Islam baik di tingkat nasional, regional maupun internasional demi kepentingan penegakan syari‟at Islam. Lahirnya Majelis Mujahidin dengan seruan, “Tatbiqus Syarî‟ah “, di era reformasi dan pada saat negara Indonesia ditimpa musibah tiada henti seperti sekarang ini, adalah semata-mata dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan
alhamdulillah,
tidak
lama
setelah
Kongres
Mujahidin
diselenggarakan, di banyak daerah di Indonesia bermunculan gagasan dan tuntutan masyarakat untuk melaksanakan syari‟at Islam. Propinsi Sulawesi Selatan dapat disebut sebagai pemrakarsa awal dalam hal ini, dan mendapat dukungan penuh dari seluruh ormas Islam dan disetujui pula oleh kalangan DPRD. Semangat pelaksanaan syari‟at Islam kemudian muncul di daerah Tasikmalaya,
Jawa
Barat.
Daerah
ini
melangkah
lebih
maju
dengan
dikeluarkannya Perda anti maksiat dan pornografi, pelarangan minuman keras dan narkoba. Berturut-turut setelah itu, terdengar tuntutan pelaksanaan syari‟at Islam dari masyarakat Islam di berbagai kabupaten di Jawa Barat, seperti Cianjur, Garut
105
dan lain-lain. Menyusul kemudian Propinsi Riau, Palembang, Banten dan daerah Pamekasan Madura. Di daerah terakhir ini, tuntutan pelaksanaan syari‟at Islam, malah di pelopori oleh pemerintah daerah setempat. Keberanian umat Islam mengungkapkan aspirasi aqidahnya secara terus terang, berdasarkan keyakinan terhadap supremasi Islam dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur serta melahirkan tata dunia baru yang adil, beradab dan penuh rahmat merupakan realita yang patut kita syukuri. Akan tetapi belum semua elemen masyarakat dapat memahami fenomena sosial yang penuh rahmat ini. Sebab masih ada sementara orang yang memperlihatkan kecurigaan terhadap upaya sosialisasi penegakan syari‟at Islam. Di antara mereka ada yang bertanya, apakah kehadiran Majelis Mujahidin sebagai firqah (kelompok) baru, sehingga menambah jumlah firqah Islam yang sudah demikian banyaknya? Ada juga yang mengatakan, bukankah kita sudah melaksanakan syari‟at Islam, (seperti melaksanakan rukun Islam dll.) lalu kepada syari‟at yang mana lagi anda mengajak kita? kami khawatir, jangan jangan anda malah akan menyimpangkan kita dari jalan Islam yang sebenarnya? Adanya pertanyaan demikian sebenarya sesuatu yang lumrah, yang tidak lumrah adalah adanya gugatan yang secara ideologis lebih mendasar dari pertanyaan di atas. Mereka adalah orang-orang yang sebetulnya dikenal peduli terhadap penegakan syari‟at, tapi belum berani berterus terang, karena merasa bahwa menegakkan syari‟at Islam di bawah sistem yang bukan sistem Islam, sekalipun
penduduk
negaranya
mayoritas
berpenduduk
muslim,
cukup
problematis. Lalu mereka mempertanyakan kesiapan serta konsep real dari para pengusung penegak syari‟at Islam. Gugatan mereka bertolak dari retorika dan logika sederhana, tentang taktik dan strategi penegakan syari‟at Islam. Mereka mengatakan: “Pengusung ide penegakan syari‟at IsIam di Indonesia belum menyajikan suatu konsep yang jelas”, dan berdasarkan pada konsep ilahi yang teruji. Sekelompok orang mencoba menuntut penegakan syari‟at Islam atas dasar bendera nasional (bersamaan dengan tuntutan otonomi daerah), sementara sekelompok yang lain bergerak di bawah bendera moral dan sosial (dengan membentuk institusi moral/sosial dalam
106
rangka usaha sosialisasi ide dan teori penegakan syari‟at Islam). Oleh karena itu kata mereka. selanjutnya, “Para pengusung ide penegakan syari‟at Islam dituntut untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan tatbiqus syarî‟at islamiyah tersebut. Apakah itu bermakna penegakan syari‟at Islam atas dasar bendera otonomi daerah (yang berarti meletakkan syari‟at Islam sebagai sub sistem di bawah sistem bukan Islam), atau sekadar sosialisasi teori penegakan syari‟at Islam, atau ada makna. lain yang konsep-sional dan sesuai dengan sistem ilahiah yang teruji?. Selain pertanyaan dan gugatan yang secara husnuzan kita pandang sebagai wujud keingintahuan masyarakat, kehadiran Majelis Muiahidin juga disikapi secara sangat kritis oleh sebagian kalangan, bahkan secara apriori mendakwa Majelis Mujahidin telah melencengkan arah penegakan syari‟at Islam dari yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri. Mereka memandang Majelis Mujahidin telah menyempitkan makna penerapan syari‟at, karena mengidentikkan penerapan syari‟at dengan pelaksanaan hudud dan hukum pidana saja. Tidak cukup itu saja, orang-orang ini juga menuduh, bahwa sasaran juang dari penegakan syari‟at ini hanya bersifat politis, agar umat Islam mendapatkan kekuasaan sekalipun harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Lebih jauh mereka menganggap orang orang yang mengumandangkan tatbiqus syari‟at ini tidak memiliki komitmen yang tinggi terhadap sunnah. Demikianlah, berbagai prasangka dan kritik dilontarkan oleh mereka. Segala kritikan itu, harus diterima dengan lapang dada, dan perlu mendapatkan perhatian sebagai alat muhasabah dan secara husnuzan, sekali lagi, hal itu harus dipahami sebagai wujud keingintahuan masyarakat karena itu mereka berhak mendapatkan penjelasan. Berdasarkan hal hal di atas itulah, maka sosialisasi penegakan syari‟at Islam dirasakan urgensinya. Oleh karena itu, amatlah penting untuk segera mempublikasikan “Karakteristik Majelis Mujahidin”, sehingga masyarakat luas dapat mengenali segala sesuatunya mengenai Majelis Mujahidin, tanpa dibarengi rasa curiga atau pun sikap apriori. Mudah-mudahan upaya sosialisasi informasi melalui penerbitan risalah berjudul, “Mengenal Majelis Mujahidin” ini, yang memang sengaja disusun secara sederhana supaya mudah dipahami oleh
107
kalangan masyarakat luas, dapat mencapai sasaranya, yaitu memberikan penjelasan tentang aqidah, visi dan missi Majelis Mujahidin. Akhirnya, kepada Allah kita memohon pertolongan dan kepada-Nya juga, kita menggantungkan segala harapan. Semoga Allah senantiasa menolong hamba Nya, dengan menganugerahkan hati yang sabar, jiwa yang istiqamah serta akhlaq yang mulia kepada setiap muslim mujahid yang berjuang untuk tegaknya syari‟at Islam di bumi ini. Amîn, Ya Mujîb al-sâilin !
Yogyakarta, 17 Jumadil Ula 1422H 7 Agustus 2001
Bagian I KARAKTERISTIK MAJELIS MUJAHIDIN
Nama Institusi Wadah gerakan perjuangan penegakan syari‟at Islam ini bernama Majelis Mujahidin disingkat MM. Wadah MM adalah sebuah institusi yang dilahirkan melalui Konggres Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 5-7 Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan tanggal 5-7 Agustus 2000. Konggres tersebut bertemakan: Tatbiqus syari‟at (Penegakan syari‟at Islam), dihadiri oleh lebih dari 1800 peserta dari 24 Propinsi di Indonesia, dan beberapa utusan luar negeri. Konggres Mujahidin 1 itulah yang kemudian mengamanatkan kepada sejumlah tokoh Islam Indonesia yang tercatat sebagai Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) untuk meneruskan missi Penegakan syari‟at Islam melalui wadah yang disebut sebagai Majelis Mujahidin.
Maksud dan Tujuan Majelis Mujahidin bermaksud menyatukan segenap potensi dan kekuatan kaum muslimin (mujahidin). Tujuannya adalah, untuk bersama sama berjuang menegakkan Syari‟at Islam dalam segala aspek kehidupan, utamanya dalam aspek pemerintahan, sehingga Tauhid menjadi asas dan Syari‟at Islam menjadi rujukan
108
tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan keagamaan secara nasional maupun internasional. Yang dimaksudkan dengan Syari‟at Islam disini adalah segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
Asas perjuangan Asas perjuangan Majelis Mujahidin adalah al Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam yang shahih, sesuai pemahaman para shahabat radiallahu anhum (ulama salafus shalih).
Sifat Majelis Mujahidin Majelis Mujahidin bersifat Tansiq atau aliansi gerakan (amal) di antara umat Islam (mujahid) berdasarkan ukhuwah, kesamaan aqidah serta manhaj perjuangan, sehingga majelis ini mampu menjadi wadah umat dalam hal berjuang menegakkan Dienullah di muka bumi ini, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa ataupun negara. Allah berfirman: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Dan Kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling mengenal (hidup rukun dan damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah siapa yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengenal lagi Maha Mengetahui”. (Qs. al Hujurat; 49:13) Aliansi atau tansiq yang dimaksudkan disini adalah kerjasama di antara umat Islam dari berbagai komunitas untuk bersama sama berjuang demi tegaknya Syari‟at Islam. Aliansi yang demikian itu dikembangkan dalam 3 formulasi, yakni: Kebersamaan dalam Missi menegakkan Syari‟at Islam (tansiqul fardi), kebersamaan dalam Program menegakkan Syari‟at Islam (tansiqul „amali), dan kebersamaan dalam satu institusi Penegakan Syari‟at Islam (tansiqun nidhami).
109
Tempat Dan Waktu Didirikan Majelis Mujahidin dideklarasikan (dipermaklumkan) di Yogyakarta melalui Kongres Mujahidin, pada hari Senin 7Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 2000 M.
Tempat Dan Kedudukan Majelis Mujahidin berpusat di Yogyakarta dengan perwakilannya di seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri.
AQIDAH VISI DAN MISSI MAJELIS MUJAHIDIN
A. Aqidah Majelis Mujahidin Penegakan Syari‟at Islam yang diemban Majelis Mujahidin dilandasi oleh ajaran Tauhid yang utuh, yakni Tauhid sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah saw sesuai dengan pemahaman sahabat (Ulama salafus shalih). Dalam memahami Tauhid, manusia tidak cukup berpedoman hanya pada Tauhid Rububiyah yang meyakini bahwa Alla Swt, sebagai penguasa dan pengatur alam semesta, yang menentukan hidup mati dan rizki manusia.Dan juga tidak cukup sekedar Tauhid Asma‟wa sifat yaitu meyakini bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan sifat sifat Allah lainnya. Apabila Tauhid hanya dibatasi pada Tauhid. Rububiyah dan Tauhid Asma‟ wa Sifat saja, maka Tauhidnya belum sempurna. Oleh karena itu keyakinan terhadap Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma‟wa sifat harus disertai pula dengan keyakinan kepada Tauhid Uluhiyah, yaitu keta„atan akan semua perintah Allah, agar manusia selamat hidupnya dunia dan akhirat. Ketaatan pada perintah Allah Swt, secara menyeluruh inilah hakekat dari Tauhid para Nabi yang membuat manusia beruntung dalam kehidupannya. Ketaatan hanya pada sebagian perintah Allah saja, tidak dapat dibenarkan dan sikap demikian diancam oleh Allah Swt, sebagaimana tertera di dalam Al-Qur‟an surat al- Baqarah ayat 85:
110
“Apakah kalian hanya mengikuti sebagian saja tuntunan Allah dan menolak sebagian lainnya? Jika begitu sikap kalian maka tidak ada imbalan yang setimpal kecuali kehinaan di dunia sedangkan di akhirat akan menerima siksa yang pedih. Di sinilah hakekat dari beriman dan ber Islam secara benar yang seharusnya menjadi landasan berfikir, bersikap, dan bertindak kaum muslimin. Keyakinan yang demikian itu adalah Tauhid yang meliputi Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma‟wa sifat. Visi Majelis Mujahidin adalah, (Tegaknya Syari‟at Islam) secara, kaffah dalam kehidupan umat Islam. Missi : Missi Majelis Mujahidin adalah berjuang demi tegaknya Syari‟at. Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat memperoleh keberuntungan hidup dunia, dan akhirat serta membawa rahmat bagi rakyat, negara, dan alam. semesta. Missi tunggal ini memiliki penjabaran sebagai berikut: A. Pengamalan Syari’at Islam harus dilakukan secara bersih dan benar: Pengamalan Syari‟at Islam haruslah berdasarkan kepada: a. Aqidah yang bersih dari kemusyrikan dan bid‟ah dalam berbagai bentuknya. Diantara bentuk kemusyrikan yang tersebar di negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini ialah sistem Demokrasi Sekuler, yaitu sistem kehidupan yang menyeleweng bahkan menolak Allah Rabbul Alamin sebagai sumber dari segala sumber hukum. b. Kepemimpinan umat harus bersih dari pimpinan kaum kafirin, munafiqin dan orang yang berpandangan sekuler. B. Syari’at Islam harus ditegakkan secara (kaffah) Syari‟at Islam wajib ditegakkan secara menyeluruh di semua bidang kehidupan manusia, meliputi Syari‟at yang terkait dengan masalah individual ritual seperti ibadah mahdhah, masalah kekeluargaan seperti hubungan suami isteri, anak, waris, dan masalah sosial kenegaraan seperti memilih pemimpin,
111
menetapkan hukum dan mengatur kehidupan ekonomi maupun politik negara. Tidak boleh satu pun aspek Syari‟at Islam yang diabaikan atau sengaja dibekukan dengan berbagai dalih dan kepentingan.
MANHAJ PERJUANGAN Manhaj perjuangan Majelis Mujahidin adalah Da’wah dan Jihad fi Sabilillah. Dakwah, artinya usaha untuk menjelaskan hakekat dienul Islam, terutama kewajiban menegakkan Syari‟atNya. Dakwah Islam harus dilaksanakan secara terus-terang dengan,” Membenarkan yang Benar dan Menyalahkan yang Salah (Ihqaqul haq wa ibthalul bathil), berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw, sesuai pemahaman para sahabat. Allah berfirman: ”...Dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat ayat Nya dan memusnahkan orang orang kafir Agar Allah membenarkan yang haq (Islam) dan menyalahkan yang bathil (Syirik) walaupun orang orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya “. (Qs. al Anfal, 8:7 8). Adapun jihad fi sabilillah, adalah berjuang dengan semangat tinggi dan kesediaan untuk mengorbankan harta dan jiwa guna menghadapi segala bentuk tantangan pisik dalam rangka melindungi dakwah dan mengawal tegaknya Syari‟at Islam.
BAGIAN II HALUAN PERJUANGAN
Dalam memperjuangkan Islam, setiap muslim hendaknya senantiasa berpijak pada ketetapan Allah dan petunjuk Rasulullah Saw sehingga memperoleh jaminan kemenangan dan keridhaan Nya. Allah firmankan dalam QS. Al-Bayyinah, 98: 8). Upaya kita dalam menegakan Syari‟at Islam dalam kehidupan pribadi, warga masyarakat, bangsa dan negara juga harus berpijak 100 % pada ketentuan AI Qur‟an dan Hadits Rasulullah yang shahih. Tidak boleh ada firqah atau kelompok dalam Islam, dan tidak boleh membuat firqah dengan alasan apapun karena berarti
112
kita melanggar wasiat Rasulullah Saw, sebagaimana tersebut dalam hadits berikut: „ “Sesungguhnya Abu Idris Al Khaulani mendengar Hudzaifah bin Yaman berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallani bersabda: “Akan muncul pengajak neraka jahanam. Barang siapa mengabulkan seruannya akan terjerumus ke dalamnya. Saya bertanya: “WahaiRasulullah, jelaskanlah cirinya kepada kami” Beliau bersabda: “Wereka adalah kaum dari kalangan kita sendiri. Mereka berbicara dengan bahasa kita” Saya bertanya: “Lalu apa yang Anda perintahkan jika kami menemukan hal semacam itu? “ Beliau bersabda:”Hendaklah kamu tetap berada dalam barisan umat Islam dan imamnya. Jika tidak ada lagi umat Islam dan imamnya, tinggalkanlah semua firqah sekalipun engkau harus menggigit akar pohon sampai mati dalam keadaan demikian” (Hr. Ibnu Majah).
Dari ayat dan hadits di atas kita mendapatkan rumusan perjuangan yang jelas bahwa dalam memperjuanglcan Islam dan berlakunya Syari‟at Islam sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dibenarkan membangun firqah.
1. Haluan Perjuangan Perjuangan menegakkan Syari‟at Islam sebagai landasan tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sudah pasti akan menghadapi adanya kelompok di dalam tubuh sendiri yang melakukan permusuhan satu dengan yang lain. Dalam menghadapi hal semacam ini, Allah dan Rasul Nya telah memberikan petunjuk yang jelas sebagaimana termaktub dalam Qs. AI-Hujurat (49: 9). “Dan jika ada dua golongan dari orang orang mukmin bertengkar, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari golongan itu berlaku aniaya kepada yang lain, perangilah golongan yang berbuat aniaya sampai ia kembali kepada ketentuan Allah. Jika ia kembali kepada ketentuan Allah, hendaklah engkau damaikan mereka dengan adil dan berbuat adillah kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang berbuat adil. “ Rasulullah Saw bersabda:
113
“Dari Auf bin Malik, ujarnya: Rasulullah Saw bersabda, „Allah tidak akan membiarkan umat ini menghadapi dua pedang sekaligus yaitu pedang dari sesama umat muslim dan pedang dari musuhnya. (Hr. Abu Dawud). Ayat di atas dengan tegas memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengupayakan perdamaian bila terjadi pertengkaran sesama muslim. Maka pendamai harus berlaku adil dan memiliki kekuatan untuk memaksa pihak yang berbuat aniaya mematuhi keadilan. Jika menolak, mereka boleh mengambil tindakan terhadap yang bersangkutan. Ayat tersebut juga memberikan dasar hukum yang jelas agar pihak pendamai menggunakan kekuatan fisik kepada pihak yang menolak perdamaian. Perdamaian dianggap terjadi bila kedua pihak yang bertikai kembali kepada ketentuan Allah. Hal ini berarti pihak pendamai harus benar-benar menjadikan Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah sebagai dasar merujukkan pihak-pihak yang bertengkar di kalangan kaum muslimin. Selain dari ayat di atas, hadits Rasulullah Saw, tersebut memberikan pelajaran yang jelas bahwa kaum muslimin tidak dibenarkan membuat front permusuhan sesama muslim. Atas dasar itulah maka Majelis Mujahidin harus menghindarkan diri dari kesan sebagai sebuah firqah baru di hadapan kelompok kelompok perjuangan dalam tubuh kaum muslimin sendiri, yang justru akan menambah lemahnya barisan Islam yang kini sudah sangat lemah. Untuk itu Majelis Mujahidin perlu memposisikan diri secara benar sehingga keberadaannya benar-benar dirasakan menjadi wasit dan kekuatan yang memberikan fasilitas bagi segenap kelompok kaum muslimin untuk kembali kepada satu shaf barisan kaum muslimin. Haluan perjuangan ini dibuat setelah melakukan analisis dan kajian mengenai pola dan cara perjuangan yang ditempuh kaum muslimin dewasa ini. Dalam mengembalikan dan menegakkan kembali tatanan kehidupan umat Islam, parpol dan ormas Islam pernah menempuh berbagai langkah antara lain melalui: Pertama, perjuangan parlementer sehingga didirikanlah partai-partai Islam yang bersaing dengan partai sekuler dalam upaya mengisi kursi parlemen di suatu negara tempat kaum muslimin hidup.
114
Kedua, gerakan pembinaan aqidah, akhlak, pendidikan, sosial dan ekonomi tanpa mau terlibat sedikit pun dalam urusan perjuangan politik. Gerakan ini lebih mengutamakan
pendekatan
pendekatan
akhlak
individual
keluarga
dan
masyarakat. Usaha ini dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal atau non formal, pengajian, dan kursus-kursus keagamaan lainnya. Ketiga, gerakan bersenjata, yaitu melakukan perjuangan bersenjata dan perebutan kekuasaan secara paksa dari penguasa sekuler yang menguasai negerinegeri Islam. Keempat, gerakan budaya, yaitu membaur ke dalam masyarakat dan sistem kemasyarakatan yang ada sambil memperbaikinya dan menanamkan nilai-nilai Islam sejauh yang dapat diterima oleh masyarakat. Cara ini lebih condong kepada pola sinkretisme dan talbis (pembauran antara yang hak dan yang bathil). Adapun pola kelima adalah, menarik diri dari semua macam gerakan di atas dan hanya mengurus serta menyelamatkan diri sendiri sambil memperbaiki dan menanamkan nilai-nilai Islam sejauh yang dapat diterima oleh masyarakat. Berbagai macam corak dan pola perjuangan yang kini ditempuh oleh kaum muslimin harus dapat kita pilah dan kaji secara syar‟i, agar kita dapat bertindak tetap dalam koridor al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah yang shahih. Kita tidak boleh mengambil sikap berdasarkan emosi dan kepentingan duniawi atau pertimbangan pertimbangan tertentu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw telah bersabda: “Sungguh berbahagia orang yang beramal dengan ilmu. (Hr. Thusi) Bahwa perjuangan yang kita lakukan melalui Majelis Mujahidin bersifat aliansi (tansiq). Sedangkan wasilah dalam mencapai tujuan perjuangamya adalah melalui dakwah dan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, kita harus menetapkan pola kerja yang benar-benar menyeluruh dan terpadu sehingga dapat memberikan referensi pola dan cara perjuangan bagi segenap kelompok umat Islam yang ada. Hal ini sangat perlu dilakukan supaya kita tidak membuang energi sia-sia menghadapi dua front yaitu front musuh Allah dan Rasul-Nya dan front sesama muslim yang muncul karena kecurigaannya
2. Program Perjuangan
115
Nabi Saw, bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang melakukan pekerjaannya dengan kesungguhan dan kerapihan “. (Hr. Thayalisy) Rasulullah Saw, mengingatkan bahwa Allah selalu mencintai hambaNya yang melakukan pekerjaannya dengan ithqan dan jhsan. Kedua kata Arab ini dapat diberi pengertian modern dengan istilah profesional. Salah satu upaya untuk dapat memenuhi tuntutan ithqan dan ihsan adalah menggariskan apa yang hendak kita kerjakan itu dalam program, waktu dan manajemen yang jelas. Program yang mesti kita buat haruslah bersifat menjabarkan apa yang menjadi haluan perjuangan dan posisi yang kita ambil di tengah berbagai macam kelompok umat Islam yang juga ingin memper-juangkan tegaknya Syari‟at Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini menuntut kecer-matan, keahlian, dan kemampuan yang tinggi agar kita dapat menuangkan program kerja yang benar dan dapat menggalang semua kekuatan kaum Muslimin yang ada sehingga upaya kita dalam menyatukan shaf perjuangan Islam sesuai dengan yang diperintahkan Allah Swt: “Sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang berjuang dijalan Nya menjadi satu shaf bagaikan sebuah bangunan yang terkonstruksi dengan rapi, “ (QS. Ash Shaff, 61: 4)
Bimbingan Dan Fatwa Perjuangan Haruslah disadari bahwa tidak semua muslim mampu menggali semua ayat al-Qur‟an dan hadits-hadits Rasulullah Saw, sebagai landasan prilaku dan jalan kehidupannya. Mereka memerlukan adanya penyuluh, pembimbing dan tempat bertanya sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang benar tentang Syari‟at Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Keperluan adanya bimbingan dan fatwa bagi mayoritas kaum muslimin telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: “ Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang –orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri).
116
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu tentulah mengikuti syetan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu). “(Qs. An-Nisaa‟, 4:83) Ayat ini memberikan isyarat perlunya kita memiliki lembaga bimbingan dan fatwa bagi kaum muslimin sebagai tempat mereka mengadukan segala permasalahan, mencari solusi dan mendapat bimbingan dalam kehidupan seharihari. Sehingga syari‟at tegak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk memenuhi ketentuan ayat diatas, kita perlu memilki lembaga tetap yang berfungsi memberikan fatwa dan bimbingan kepada kaum muslimin. Sehingga mereka selamat dari bisikan-bisikan syetan dalam perjuangannya. Bimbingan yang harus kita berikan kepada umat mencakup semua aspek kehidupan sehingga umat kita bisa dijadikan sebagai basis dan contoh tata kehidupan Islami yang memeberikan harapan kepada umat manusia lain dan menjadi rahmat bagi alam. Rasulullah Saw. Telah berpesan kepada kita agar dapat memberikan jaminan kepada umat lain seperti kita memberikan jaminan kepada kalangan kita sendiri.
BAGIAN III STRATEGI PERJUANGAN MAJELIS MUJAHIDIN
Missi Utama: Syari‟at Islam itu meliputi tiga sistem kehidupan, yakni: lingkup pribadi, lingkup keluarga, dan lingkup kehidupan sosial kenegaraan. Penegakan Syari‟at Islam dalam perjuangan Majelis Mujahidin meliputi ketiga lingkup itu. Adapun penegakan Syari‟at Islam dalam kehidupan sosial kenegaraan, artinya berjuang demi memberlakukan Syari‟at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terwujud negara yang adil, makmur dan sejahtera dalam ampunan Allah Swt, sebagai basis Khilafah Islamiyah. Tegaknya Syari‟at Islam dalam lingkup sosial keagamaan pada dasarnya ditandai oleh tiga ciri utama, yakni:
117
1. Kekuatan pemerintahan berada di tangan kaum muslimin yang jelas komitmennya.d.alam menegakkan Syari‟at Islam. “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang orangyang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul Nya dan orang orang yang beriman menjadi penolong, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. Hai orang orang beriman, janganiah kamu mengambil jadi pemimpin, orang orang yang membuat agama?menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang orang yang kafir (orang orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul orang orang yang beriman. “ (Qs. AI Maidah, 5:55 57). 2. Kebijakan negara harus sesuai dengan hukum yang digariskan Allah Swt, dalam mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang orang yang khianat (Qs. An Nisa‟, 4:105) “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalinghan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang orang yang fasik. “ (Qs. AlMaidah, 5:49). 3. Peradaban manusia dibangun di atas peradaban (budaya) yang sesuai dengan akhlak Islam.
Tabapan Mencapai Missi Utama:
118
Dalam mencapai Missi utama Majelis Mujahidin menggunakan dua pendekatan sosial, yakni Pende-katan Struktural dan Pendekatan Kultural. Pendekatan Struktural, maksudnya kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan Syari‟at Islam dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara benar-benar dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah Swt, Oleh karena Islam bersifat “rahmatalil‟alamin” maka dengan berlakunya Syari‟at Islam, akan menjamin datangnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Strategi Dasar Majelis Mujahidin Operasionalisasi dari pendekatan struktural meliputi kegiatan utama, yakni: 1. Membangun dan melakukan konsolidasi, kristalisasi serta pembinaan pada kekuatan sosial politik yang ada untuk tegaknya Syari‟at Islam. 2. Mengembangkan kemampuan tansiq dalam memberi arahan sosial sesuai dengan Syari‟at Islam pada pemerintahan yang sedang berjalan. Terkait dengan kegiatan pertama maka strategi perjuangan Majelis Mujahidin ditekankan pada: 1. Menyiapkan serta memantapkan konsep pengelolaan pemerintahan yang sesuai dengan Syari‟at Islam dalam semua bidang kehidupan. 2. Mengajak secara proaktif semua kekuatan sosial politik untuk memahami akan esensi terjadinya berbagai krisis multi dimensional di dalam negeri; dan meyakinkan mereka bahwa solusi mendasarnya tidak bisa lain kecuali dengan tegaknya Syari‟at Islam dalam lingkup sosial kenegaraan. 3. Menjadikan Majelis Mujahidin sebagai fasilitator semua kekuatan sosial politik yang sejalan dengan Missi majelis dalam melaksanakan strategi dasarya untuk penegakan Syari‟at Islam. Terkait dengan kegiatan kedua ini, maka kegiatan Majelis Mujahidin meliputi: 1. Konsolidasi organisasi Majelis Mujahidin dari tingkat Pusat sampai ke Perwakilan di daerah agar semua organ majelis hidup menjalankan Missi majelis.
119
2. Intensif melakukan kaderisasi untuk meneruskan estafeta kepemimpinan Majelis 3. Menggalang simpati dan kekuatan media massa supaya ikut andil dalam sosialisasi penegakan Syari‟at Islam.
Program Dasar Majelis Mujahidin Program dasar Majelis Mujahidin meliputi penega-kan Syari‟at Islam dalam lingkup pribadi, keluarga, dan sosial kenegeraan , sehingga terwujudlah negeri yang aman, sentosa dan mendapat ampunan dari Allah Swt, (Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur). Seiring dengan ini,maka program dasar Majelis Mujahidin dilaksanakan secara simultan dan terpadu meliputi: 1. Penegakan Syari‟at Islam dalam bidang Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan Negara yang didukung oleh pemantapan Tauhid aqidah Islam yang benar di kalangan umat Islam. 2. Sosialisasi Syari‟at Islam secara menyeluruh (kaffah) pada semua komponen bangsa secara efektif dan efisien. 3. Pengembangan dan peningkatan kemampuan umat dalam upaya menegakkan Syari‟at Islam.
Keanggotaan Majelis Mujahidin Setiap muslim dan muslimah yang berada di berbagai orpol, ormas, harakah, jama‟ah Islam maupun lainnya yang setuju dengan syari‟at Islam secara kaffah dalam kehidupan pribadi , keluarga, masyarakat dan negaranya, dan sepaham dengan Missi Majelis Mujahidin, bisa menjadi anggota Majelis Mujahidin. Selanjutnya dia mesti berazam untuk mengamalkan ikrar dibawah ini.
Kongres Majelis Mujahidin Kongres ini diadakan 5 tahun sekali. Peserta kongres adalah semua anggota Majelis Mujahidin yang telah terdaftar secara resmi di kantor Pusat Majelis Mujahidin. Anggota yang bersifat kelompok diwakili oleh Pengurus Harian kelompok tersebut.
120
Kepemimpinan Majelis Mujahidin Badan tertinggi Majelis Mujahidin adalah Kongres Mujahidin yang diselenggarakan setidak tidaknya 5 tahun sekali, dengan dihadiri oleh aktifis Islam (mujahidin) yang tergabung dalam wadah Majelis Mujahidin. Setelah Kongres Mujahidin tersebut maka Majelis Mujahidin dipimpin oleh Ahlul Halli wal Aqdi, yang terdiri dari tokoh tokoh Islam yang ditunjuk melalui Kongres Mujahidin untuk mengemban amanat Kongres. Ahlul Halli wal Aqdi tersebut dikoordinir oleh seorang Ketua yang disebut sebagai Amirul Mujahidin. Dalam operasionalisasinya, maka AHWA memiliki Pengurus Harian dan Forum Pleno yang keduanya dipimpin oleh Amirul Mujahidin. Untuk melaksanakan, tugas tugas harian, sebagai pelaksana keputusan, AHWA membentuk Lajnah Tanfidziyah di Pusat dan Lajnah Pawakilan Majelis Mujahidin di Wilayah Propinsi, Kabupaten, Kotamadya, dan lingkup area yang dianggap perlu
Ikrar Majelis Mujahidin Bismillahirahmanirrahim Sesungguhnya kami, anggota Majelis Mujahidin, dengan iklas dan mngucapkan ikrar, bahwa dengan pertolongan Allah kami siap untuk: 1. Memperjuangkan penegakan Syari‟at Islam dalam kehidupan Pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Melaksanakan perjuangan penegakan Syari‟at Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah Saw yang shahih. 3. Mengutamakan perjuangan penegakan Syari‟at Islam diatas kepentingan pribadi, kelaurga, masyarakat, bangsa dan lain-lain. 4. Memperjuangkan Penegakan Syari‟at Islam dimanapun kami berada dengan harta dan jiwa selama hayat dikandung badan. 5. Membantu setiap perjuangan penegakan Syari‟at Islam oleh kaum muslimin dibelahan bumi lain dengan segenap kemampuan yang kami miliki. Demikianlah ikrar ini kami ucapkan, semoga mendapat ridha dan barakah dari Allah swt. Amin.
121
SHAHIFAH (PIAGAM) YOGYAKARTA Bismillaahi Tawakkalna Alallah La Haula Wala Quwwata illa Billah,
Asyhadu
An
Lailaha
illallah
Waasyhadu
Anna
Muhammadar Rasulullah. “Wahai orang orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar sebenarnya, dan janganlah kamu sekali kali mati kecuali dalam keadaan berserah diri. Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh musuhan, lalu Allah menjinakkan di antara hati kalian, dan menjadikan kalian bersaudara atas nikmat Allah. Dan ketika itu kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk” „ (Qs. Ali Imran,3:102 103) Umat Islam Bangsa Indonesia, sebagai penduduk mayoritas di negara ini, mempunyai hak dan kewajiban mengamalkan dan menegakkan Syari‟at Islam, sebagai konsekwensi dari aqidah yang diyakininya. Syari‟at Islam adalah satu satunya solusi terhadap semua krisis sosial, politik dan kemanusiaan yang menimpa umat manusia. Perlindungan terhadap keyakinan umat beragama tanpa kecuali merupakan karakter pemerintah yang ditegakkan atas dasar Syari‟at Islam. Dengan demikian, penegakan Syari‟at Islam harus menjadi yang pertama dan utama di dalam seluruh aktifitas perjuangan kaum muslimin. Kehancuran suatu bangsa akan semakin dekat tatkala mereka semakin jauh dari pengamalan Syari‟at Islam secara kaffah. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Mujahidin di dalam Kongres Mujahidin I Indonesia ini sepakat, bahwa dengan ini menyatakan: 1. Wajib hukumnya melaksanakan Syari‟at Islam bagi umat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya. 2. Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia. 3. Membangun satu kesatuan shaff mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional. (antar bangsa.)
122
4. Mujahidin Indonesia membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya Imamah (Khilafah)/ Kepemimpinan umat baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan umat Islam sedunia. 5. Menyeru kepada kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil‟alamin. Maka dengan. mengharap rahmat, ridla dan maghfirah Allah „Azza Wajalla kami deklarasikan: PIAGAM YOGYAKARTA, demi mengikuti jejak Piagam Madinah di zaman Rasulullah Shallallahu‟alaihi wa sallam. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Yogyakarta, 7 Jumadil Ula 1421 H / 7 Agustus 2000 M
123
LAMPIRAN V Seminar Sehari: Gerakan Keagamaan Kontemporer di Indonesia
MEMBANGUN NEGARA YANG ADIL DAN BERADAB DI BAWAH NAUNGAN SYARI’AT ISLAM
Oleh: Tim Ahli Majelis Mujahidin
Bismillahirrahmanirrahim
Muqaddimah Memasuki permulaan abad ke-21, Islam dan kaum muslimin tengah menempuh salah satu episode sejarah yang paling penting. Ketika manusia telah mencapai jalan buntu dalam perkembangan masyarakatnya, dan ketika umat Islam sedang berjuang melawan berbagai kesulitan di antara fitnah politik dan kejahatan kemanusiaan, seperti isu JI dan terorisme, yang disebarluaskan oleh sejumlah negara besar di bawah komando Amerika Serikat. Kita menyaksikan perilaku dan sepak terjang manusia yang menebarkan kengerian dan ketakutan di planet bumi ini, melakukan tindakan kebiadaban dan kezaliman di atas punggung manusia yang ringkih. Hal ini terjadi karena manusia menyingkirkan Allah dan syari‟atNya dari kehidupan dan derap langkah pengelolaan negara di dunia. Di semua negara berpenduduk mayoritas muslim, yang pernah menderita di bawah penjajahan dan dominasi politik asing, setelah meraih kemerdekaan, pada umumnya penduduknya sangat menginginkan agar mendasarkan tata-politik kemasyarakatannya kepada prinsip-prinsip dan tradisi Islam yang merupakan tuntutan keimanan dan kesadarannya. Mereka ingin agar syari‟at Islam dilaksanakan secara kaffah di negaranya masing-masing, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan ini di bawah pengarahan suatu aturan hukum yang sangat mereka hormati dan taati dengan tulus. Mereka memahami dan meyakini, bahwa Islam yang telah dianut sebagai agama, bukan sekadar kumpulan dogma dan ritual saja, tetapi merupakan jalan hidup yang sempurna. Ajarannya merupakan 123
124
penjelmaan tuntunan Ilahi untuk semua bidang kehidupan manusia, yang mencakup urusan pribadi maupun kelompok, politik maupun ekonomi, sosial maupun kultural, moral maupun hukum dan keadilan. Sayangnya, di hampir semua negeri mayoritas muslim, kendali kekuasaan berada di tangan orang-orang yang bukan saja menolak pemberlakuan syari‟at Islam secara kaffah, tetapi juga mengadopsi serta menelan mentah-mentah konsep-konsep politik yang asing dari Islam, sehingga kerapkali mereka bersikap apriori dan phobi terhadap Hukum dan Konstitusi Islam. Pada gilirannya, mereka tidak saja menjadi penentang paling keras terhadap pemberlakuan syari‟at Islam di dalam lembaga pemerintahan, tetapi juga menjadi penguasa yang paling berani memberangus maupun mengintimidasi gerakan Islam yang menyerukan kewajiban menerapkan syari‟at Islam di dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dengan kondisi seperti ini, dimana mereka menjadi penguasa yang buruk dan menindas, disebabkan karena mereka tidak mampu berpikir lain kecuali dalam kerangka pemahaman dan pola hidup bernegara dengan gaya dan sistem hidup sekular-ateis itu. Sebaliknya, sistem hidup yang menghina Allah dan melecehkan kedaulatan-Nya, diterima dengan ta‟zîm dan sekarang tengah mempengaruhi nasib hidup hampir semua masyarakat di negara-negara muslim. Sebagai muslim, kita telah bersumpah di hadapan Allah, bahwa kedaulatan tertinggi hanya milik Allah. Sedangkan kebenaran mutlak dan satu-satunya adalah yang bersumber dari pada-Nya. Tetapi bagaimana para penganut Islam bisa terjerumus ke dalam suatu keyakinan, bahwa dalam urusan bernegara :”Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sementara sumber kebenaran adalah suara mayoritas?”. Tidak cukup hanya mewarisi kekufuran aqidah, sadar ataupun tidak, umat Islam juga
mewarisi pemikiran tentang pentingnya menghargai hak asasi
manusia, namun pada waktu yang sama melecehkan hak asasi Allah dalam mengatur bumi dan makhluk ciptaan-Nya. Terhadap tuntutan perlunya formalisasi syari‟at Islam di lembaga negara, banyak orang meresponsnya justru dengan mengajukan tuntutan sebaliknya, yaitu sterilisasi lembaga negara dari campur tangan agama. Dalam hal ini, ada
125
ungkapan yang mungkin kurang kita perhatikan, tapi berbahaya bagi kelestarian aqidah Islam, yaitu:”Apakah Tuhan sudah begitu tidak berdaya, sehingga meminta tangan kekuasaan untuk mengatur agama rakyat?” Adalah sebuah ironi, bahwa tuntutan untuk pemberlakuan syari‟at Islam di negara mayoritas terbesar penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, hatta untuk orang-orang Islam sendiri, bukan hanya ditolak malah dimusuhi. Parahnya lagi, semua ini terjadi pada saat negeri kita sedang terinfeksi penyakit sosial yang kronis, terjerumus pada ancaman masa depan yang kian suram, dengan tingkat kemungkaran yang terus bertambah serta kemiskinan spiritual yang tidak mungkin disembuhkan, kecuali dengan terapi ilahiah. Potret Kehidupan Tanpa Syari’at Islam Dewasa ini, kita kembali menyaksikan layar sejarah yang menayangkan kejadian pada permulaan dakwah Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Situasi dan kondisi planet bumi di masa permulaan Rasulullah Saw. tampil memimpin umat manusia, dengan tepat dan akurat dipaparkan oleh juru bicara kaum muslimin, seorang pemuda bernama Ja‟far bin Abi Thalib. Ketika bersama teman-temannya mengungsi dan mencari suaka politik ke negeri Habsyi (Ethiopia), di hadapan Raja Najasyi. Pemuda yang cerdas dan memiliki hikmah kebijakan ini menceritakan kondisi kemanusiaan dan wajah bangsa Arab saat itu. Ia berujar: “Paduka Raja, ketika itu kami adalah masyarakat yang jahil. Kami menyembah berhala. Bangkaipun kami makan. Segala kejahatan kami lakukan. Kami memutuskan hubungan kerabat dan dengan tetangga pun kami tidak baik. Yang kuat menindas yang lemah.” Kenyataannya, kondisi seperti yang digambarkan Ja‟far di atas, keadaannya hampir tidak berubah, bahkan kebiadaban telah mengalami gradasi berganda yang hebat, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Dahulu, orang hanya mampu melakukan kebiadaban terhadap ribuan manusia, tetapi dewasa ini kebiadaban itu dalam waktu singkat dapat menelan korban jutaan bahkan ratusan juta manusia karena dilakukan secara kolektif oleh negara yang memiliki
126
kekuatan militer dan teknologi canggih, melampaui batas pulau, negara dan benua. Tragedi kemanusiaan terus saja terjadi. Sekalipun hidup di tengah kecanggihan teknologi, kehebatan perangkat komunikasi, dan kedigdayaan alat transportasi, ternyata kejahatan demi kejahatan menunjukkan kegarangan dan kebuasannya, tanpa ada daya dari manusia seluruh dunia untuk mencegahnya. Bahkan,
para
penguasa
dan
orang-orang
yang
merasa
dirinya
dapat
mempermainkan nasib manusia, dengan mudah dapat membalikkan fakta dan memanipulasi berita. Dengan kelicikan dan kelihaiannya, mereka secara beramairamai menuduh orang saleh sebagai biang penyebar keresahan dan ketakutan. Mereka bersama-sama menyudutkan orang-orang Islam yang taat berpegang pada agamanya. Mereka himpit kaum muslimin yang tidak mau bergeming dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan hati kaum munafiq dan kaum zindiq. Hal ini mereka lakukan agar umat Islam menukar syari‟at Islam dengan tatanan lain yang dapat memenuhi selera penguasa dan kaum bermodal untuk menjajah dunia dan umat manusia. Dengan ancaman kehidupan seperti itu, kepada siapa bangsa-bangsa di dunia dewasa ini dapat mengadukan dan mengeluhkan penderitaannya, supaya dapat terlepas dari penindasan, teror, pemiskinan yang berjalan sistimatis, pemberangusan hak-hak golongan lemah oleh golongan kaya dan kuat, pemerkosaan nilai kemanusiaan oleh penguasa dan super power melalui undangundang, senjata berteknologi canggih, dan aparat negara yang sudah dimodifikasi berjiwa tanpa perikemanusiaan? Siapakah yang masih mau mengorbankan dirinya untuk menyuarakan, -walau dengan suara sayup-sayup sekalipun, tonggaktonggak
prinsip
Ilahiyah
dan
perilaku
kenabian
yang
telah
terbukti
menyelamatkan manusia dari keruntuhan peradabannya pada 15 abad yang lalu? Di negeri kita, Indonesia, sudah banyak paham maupun ideologi politik yang
ditawarkan,
mulai
dari
nasionalisme-sekular,
komunisme
hingga
sinkretisme, semuanya tidak mampu berperan dalam membangun bangsa yang adil dan beradab. Tanpa Islam, negeri ini tidak akan bisa diselamatkan dari berbagai bentuk kerusakan. Karena, hanya Islam sajalah yang memiliki konsep penyelamatan yang secara jelas disebutkan di dalam kitab suci Al Qur‟an.
127
Di dalam surat Ali Imran ayat 102, Al-Qur‟an mengemukakan gambaran perjuangan penyelamatan nilai kemanusian dan peradabannya oleh Muhammad Rasulullah SAW dan para sahabatnya dengan firman-Nya:“…Kalian dahulu berada
dalam
bibir
jurang
kehancuran
siksa
neraka,
namun
Allah
menyelamatkan kalian dari bibir jurang kehancuran itu…” Bagaimana proses penyelamatan itu Allah lakukan? Yaitu, pertama, mengutus Rasul-Nya Muhammad Saw. Kedua, memunculkan sejumlah manusia yang dikaruniai hati bersih, pikiran jernih, akal sehat, dan semangat cinta kebenaran mengikuti seruan beliau. Mereka mewakafkan harta, jiwa dan raganya untuk mengemban panggilan suci guna menegakkan tata kehidupan Ilahiyah yang Allah tuangkan dalam syari‟at Islam. Orang-orang semacam inilah yang telah memberikan darma baktinya kepada dunia dan seluruh umat manusia sehingga nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi sumber penggerak jiwa dan semangat luhur manusia terus menyala sepanjang zaman. Landasan Formalisasi Syari’at Islam Sesungguhnya Islam mengajak kepada aturan hidup yang lurus dan benar, sebagaimana firman Allah: “Hadapkanlah dirimu pada Dien (aturan kehidupan) yang lurus. Dien ciptaan Allah yang sejalan dengan fitrah manusia. Tak ada sedikitpun perubahan pada ciptaan Allah. Itulah Dien yang lurus, tetapi sebagian manusia tidak memahaminya” (Qs. Ar-Rum ayat 30) Salah satu arti kata fitrah seperti tertera di dalam ayat di atas adalah mata air sumur. Sedangkan syari‟ah berarti saluran air (di bawah tanah). Dengan makna seperti ini, tepatlah bila mata air senantiasa akan memancarkan air, manakala saluran air tanahnya terpelihara dengan baik. Artinya, manusia akan senantiasa baik kehidupannya, bila ia berpijak pada jalan yang memberi kehidupan padanya, sebagaimana manusia juga akan baik kehidupannya manakala mereka berpijak pada syari‟ah Islam yang dengannya Allah menciptakan mereka. Kata syari‟ah (
)dalam bentuk mufrad terdapat dalam ayat 18 surat
Al-Jatsiah. Sedangkan dalam bentuk jamak yang berbunyi: (
) terdapat
128
dalam hadits riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin Bisyer. Syari‟ah menurut bahasa terbentuk dari (
). Artinya,
“undang-undang atau hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambahambaNya”. (Kamus Marbawi). Adapun syari‟ah menurut istilah adalah,“Ketentuan hukum Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul buat para ummatnya.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka syari‟ah dapat dibedakan dalam dua pengertian : 1.
Syari‟ah yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan Rasul buat para umatnya, sebelum terutusnya Muhammad bin Abdillah sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Kepada semua kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul itu kita diwajibkan beriman.
2.
Syari‟ah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang terkandung di dalam Al-Qur‟an dan disunnahkan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir untuk kita sebagai umatnya. Syari‟ah inilah yang diperintahkan kepada kita untuk menegakkannya dan hukumnya adalah wajib.
Hal ini tidak boleh dikacaukan dengan pengertian hukum fikih, hasil ijtihad ulama ahli hukum Islam. Fiqih artinya paham. Hukum fiqih, menurut pengertian asalnya, berarti hukum pemahaman. Sedangkan menurut istilah, hukum fiqih adalah suatu hukum amaly yang telah dihasilkan ulama ahli hukum Islam (mujtahid) dalam memahami syari‟ah Islam. Dari pengertian ini, maka antara syari‟ah Islam dan hukum fiqih dapat dibedakan. Oleh karena itu, mudah dimengerti apabila umat Islam bangsa Indonesia menuntut ditegakkannya syari‟ah Islam di dalam lembaga pemerintahan sejak penjajahan VOC (Resolutie der Indische Regering/Regering der Reglement th.1885) hingga kemerdekaan (Jakarta Charter) dan sampai hari ini melalui amandemen dan peraturan-peraturan Otonomi Daerah. Sesungguhnya pada periode kemerdekaan, founding fathers negeri ini telah menghasilkan kesepakatan monumental, yang seharusnya menjadi titik tolak seluruh warga untuk merajut kembali upaya pengelolaan negara dengan syari‟ah Islam. Hal ini sebagai bahagian akselerasi reformasi ke arah kehidupan yang lebih adil dan bermartabat.
129
Ada tiga alasan mendasar mengapa umat Islam menuntut formalisasi syariat Islam di dalam lembaga negara RI : 1.
Pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah adalah merupakan ibadah dan sekaligus kewajiban kolektif umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara. Dan pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah hanya dapat dilaksanakan melalui kekuasaan negara, tidak cukup dalam lingkup pribadi dan keluarga saja.
2.
Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki otoritas dan kewenangan mengatur masyarakat dan bangsa untuk melaksanakan syari‟at Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
3.
Formalisasi syari‟at Islam di dalam lembaga Negara merupakan hak yuridis konstitusional umat Islam yang dijamin oleh UUD 45 pasal 29 ayat 2 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Menurut Prof. Dr. Hazairin, tafsir terhadap pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:”Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masingmasing” maksudnya adalah, pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan syari‟at Islam bagi umat Islam, syari‟at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya. sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari‟at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. (Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA,”Proses dan Aflikasi Syari‟at Islam Dalam Pengelolaan dan UndangUndang Negara, 2003). Persoalannya, bagaimana rumusan dari pernyataan,“ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”? Apakah UUD 1945 memberi penjelasan mengenai definisi ibadah yang dimaksud? Terhadap pertanyaan ini, diperlukan kesamaan persepsi, sehingga setiapkali umat Islam menuntut berlakunya syari‟at Islam, pemerintah tidak secara semena-mena menuduhnya menentang dasar negara, melawan pemerintah yang sah dsbnya.
130
Dalam semangat menyamakan persepsi itulah, ada baiknya kita mengutip dialog yang cukup menarik, antara terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba‟asyir dan saksi ahli Prof. Dr. Lobby Lukman dalam persidangan kasus makar, Kamis 8 Juli 2003. Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Prof. Loebby Loekman sebagai saksi ahli dalam persidangan Ustadz Abu Bakar Ba‟asyir. Ketika diberi kesempatan bertanya kepada saksi ahli, Ustadz Abu Bakar Ba‟asyir menanyakan dua hal, yang kedua-duanya tidak mendapatkan jawaban pasti. Pertanyaan itu sederhana tetapi sangat cerdas. Pertama, menyangkut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan:”Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Nah, sebagai ahli hukum, dapatkah Prof. menjelaskan apa definisi ibadah menurut UUD 1945? Kedua, apabila pemerintah tidak memberi jaminan kemerdekaan dan kebebasan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, yang berarti melanggar pasal 29 ayat 2 itu, apakah pemerintah demikian dapat dituntut? Dengan alasan dirinya bukan ahli agama, Prof. Loebby Loekman menyatakan, kedua pertanyaan tersebut tidak dapat dijawabnya. Karena itu, Ustadz Abu Bakar Ba‟asyir pun menjelaskan, bahwa definisi ibadah menurut Islam adalah:”Segala ucapan dan perbuatan yang diridhai oleh Allah”. Maka menerapkan syari‟at Islam secara kaffah (lengkap dan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong) merupakan ibadah yang paling sempurna. Apabila kita mengartikan ibadah menggunakan pengertian di atas, maka kedua pertanyaan tadi berimplikasi sangat luas, baik dalam perspektif syari‟ah Islam maupun UU negara RI. Karena faktanya selama ini, setiapkali umat Islam menuntut berlakunya syari‟at Islam, pemerintah menilainya sebagai tindakan inkonstitusional,
menentang
Pancasila,
bahkan
dianggap
makar
kepada
pemerintah yang sah. Dalam pandangan pemerintah, tuntutan demikian hanya akan dilakukan oleh mereka yang dikategorikan sebagai Islam garis keras, fundamentalis, mungkin juga teroris. Seminar hari ini, yang diperakarsai Litbang Depag dengan mengundang gerakan Islam kontemporer, harus dipandang dalam semangat apriori seperti itu. Padahal, menghalangi warga negara beragama Islam untuk melaksanakan syari‟ah
131
Islam, berarti menghambat kebebasan beribadah. Hambatan demikian, tidak saja mengabaikan hak konstitusional umat Islam, tetapi juga melanggar syari‟at Islam dan mengkhianati UUD 1945. Dalam rumusan yang lebih spesifik, syari‟at Islam berarti segala ketentuan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala aspeknya: aqidah, akhlaq, maupun pergaulan sosial (mu‟amalah). Karena itu, syari‟at Islam tidak saja mengatur pelaksanaan dari kewajiban itu. Tetapi juga mengatur sanksi hukum bagi mereka yang terbukti melanggar larangan dan mengabaikan perintah Allah Swt. Segala ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi fungsi syari‟at Islam secara luas. Yakni, menjamin kemerdekaan orang untuk beragama (hifdzud din), melindungi akal dari pengaruh yang merusak fungsi akal dalam kehidupan manusia (hifdzul „aql), menjamin kesucian keturunan, sehingga tidak ada kesangsian mengenai nasab seseorang dengan orang tuanya (hifdzun nasl), mengayomi dan menjamin keselamatan hidup manusia (hifdzun nafs), serta menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia, baik sebagai hak pribadi maupun hak bersama (hifdzul mal). Salah satu makna hifdzud din (menjamin kemerdekaan orang untuk beragama) adalah, di dalam sebuah negara yang menerapkan syari‟at Islam secara kaffah, warga negara yang tidak mau beriman kepada Allah dan Muhammad Rasulullah Saw. Kepada mereka dibebaskan (diberi kemerdekaan) untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan agama yang dipercayainya itu. Harta, nyawa, dan tempat ibadah mereka dijamin keselamatannya oleh negara. Hidup mereka terlindungi, hak-hak politik dan sosial mereka dipenuhi sebagaimana warga negara lainnya. Apakah ada perundang-undangan negara, selain syari‟at Islam, yang memberi jaminan sedemikian luas dan menyeluruh bagi hak-hak warga negaranya? Dengan memahami fungsi syari‟at Islam seperti itu, maka warga minoritas yang hidup di bawah naungan syari‟at Islam tidak perlu merasa takut, bahwa mereka akan dipaksa mengikuti hukum Islam dalam urusan-urusan pribadi, sebab hal itu berarti pelanggaran terhadap syri‟at itu sendiri.
132
Di Bawah Naungan Syari’ah Islam Sebagaimana telah kita ketahui, tuntutan akan adanya suatu cara hidup Islami dengan diberlakukannya syari‟at Islam secara kaffah, sudah disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca kemerdekaan. Dan dalam tiga tahun terakhir ini, tuntutan pemberlakuan syari‟at Islam di dalam pemerintahan telah menemukan momentumnya sejak reformasi, 1999, digulirkan. Keinginan untuk rehabilitasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan landasan Islam semakin menguat. Sekalipun, nampaknya disuarakan oleh sebagian umat Islam, tetapi sesungguhnya tuntutan ini mewakili keyakinan mayoritas rakyat di negeri ini. Adalah menakjubkan, keinginan untuk membangun pola hidup Islami, hidup dalam bimbingan syari‟at Islam dihadang oleh berbagai kecurigaan dan kekhawatiran. Sikap apriori kepada Islam yang diikuti dengan badai kecaman, akan membuat seseorang kehilangan akal sehat. Seakan-akan, jika syari‟at Islam berlaku, dengan serta merta warga negara non Islam akan terancam hidupnya, hak-hak kewarganegaraannya menjadi hilang, kemudian hidup sebagai ahlu zimmi, yang sering disalah kaprahkan dengan warganegara kelas dua. Mimpi tentang nasib derita minoritas non muslim, apabila syari‟at Islam dilaksanakan secara kaffah, menyebabkan banyak orang lupa dan mengabaikan hak warga negara yang mayoritas. Yang pasti, segala mimpi buruk yang dikhawatirkan non muslim yang berkenaan dengan masalah toleransi, pluralisme, kesetaraan gender, akan muncul di negara yang memberlakukan syari‟at Islam, lahir dari kebodohan atau mungkin juga kebencian terhadap Islam.
1. Islam Sebagai Rahmatan lil Alamin Apabila kita mendengar kata “dakwah” maka akan terngiang di telinga kita kalimat “rahmatan lil „alamin” yang akhir-akhir ini sering dimanipulasi maknanya untuk maksud-maksud tertentu. Memang tidak salah, bahwa prinsip dakwah Islam adalah untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang, tidak saja bagi umat Islam, melainkan juga seluruh penghuni bumi ini. Missi rahmatan lil „alamin telah ditakdirkan Allah menjadi tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
133
sebagaimana firman-Nya: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al Anbiya, 21:107). Pada ayat berikutnya Allah berfirman:”Katakanlah, sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku adalah „bahwasanya tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”. (Qs. Al Anbiya, 21:108). Ayat ini menunjukkan pengertian sekaligus cara mewujudkan rahmatan lil „alamin. Bahwasanya, jika seseorang telah sepenuhnya berserah diri kepada Allah Swt., yakni dengan menerapkan syari‟at Islam dalam segala aspek kehidupan secara utuh (kaffah), maka barulah rahmatan lil „alamin bisa didapatkan. Tetapi sekarang tidak sedikit orang yang terprovokasi dan cenderung mengartikan rahmatan lil „alamin dengan “dakwah tanpa kekerasan, dan atau mengikuti gaya agama lain demi toleransi beragama”. Harus dipahami, bahwa tidak selamanya apa yang dianggap keras adalah sebuah dosa. Bahkan Allah Swt. mensyari‟atkan hukum qishash (hukum balas) selain dengan adanya diyat (tebusan) dan pemaafan. Syari‟at qishash ini bertujuan untuk menjamin hak hidup setiap orang, seperti dalam firman-Nya:”Dan bagi kalian, di dalam qishash itu ada kelangsungan hidup, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertaqwa”. (Qs Al Baqarah, 2:179) Prinsipnya, syari‟at Islam diturunkan untuk, pertama, mempersiapkan manusia untuk menjadi warga yang baik dan produktif bagi pembinaan kesejahteraan masyarakat, dan kedua, memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, yang akan terwujud bila ada jaminan atas hak-hak individu dan masyarakat dengan cara seadil-adilnya, dengan saling berwasiat dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. (Syaltut, 1966). Hal serupa juga terdapat di dalam jihad fi sabilillah. Persoalannya kemudian adalah, bahwa kita sekarang sedang berada dalam pusaran fitnah dunia yang bertajuk „memerangi terorisme global‟. Jika menyebut terorisme asosiasi kita segera tertuju, seperti yang dipropaganda musuh-musuh Islam, yaitu Al Qaidah, Jama‟ah Islamiyah, Hamas, Jihad Islam dan kelompok muslim lainnya. Jarang di antara kita jika mendengar kata teroris, lalu berani menunjuk langsung pada kekejaman zionis Israel dan salibis Amerika beserta
134
antek-anteknya yang berlumuran darah di Palestina (sejak 1948), Bosnia (19921995), Ambon (19 Januari 1999), Poso (Juni-Juli 2000), Chechnya (2000-2003), Afghanistan (Oktober 2001), Iraq (1990, Maret 2003), dan sebagainya. Sayang sekali, mayoritas kita tidak mampu mempertahankan eksistensi ideologis di tengah serangan terminologi terorisme yang kian mondial saat ini. Jika hal ini terus terjadi, maka berarti kita telah menjadi korban disinformasi dari mesin propaganda yang menjadi bagian integral dari konspirasi global yang dikomandani AS. Kenyataannya, pemerintah AS dan sekutunya hanya akan bertindak memerangi terorisme jika diduga yang melakukan tindak kekerasan adalah muslim. Dan sebaliknya, terorisme tidak akan disebut terorisme jika pelakunya bukan muslim. Dalam hubungannya dengan Islam sebagai rahmatan lil „alamin, Syeikh Ahmad Musthafa Al Maraghi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada empat pilar yang menjadi landasan tegaknya kemaslahan umat. Yaitu, pertama, hendaknya para pemimpinnya adalah ulama intelektual dan pemerintah yang adil, terhindar dari kezaliman; sebaliknya membela rakyat yang dizalimi. Mereka bekerja demi kemaslahatan umat, berjuang untuk mengangkat martabar rakyat. Kedua, hendaknya negara memiliki tentara yang berdisiplin, yang dapat membela teritorial negara dari serangan musuh. Ketiga, hendaknya seluruh warga negara dengan berbagai keahlian yang dimiliki bantu membantu demi tercapainya kemaslahatan bersama. Keempat, hendaknya ada pemerataan lapangan kerja supaya umat terhindar dari kemiskinan dan tidak menjadi peminta-minta memohon bantuan orang lain.
2. Membangun Keterpaduan dan Meninggalkan Semangat Sektarian Jaminan keselamatan bagi kemanusiaan dan peradaban manusia yang luhur, hanya bisa terwujud di atas
landasan abadi yang kokoh. Dan Islam
memberi jaminan untuk hal itu sebagaimana Allah nyatakan dalam Qs. Ali „Imran 3: 103: “Kalian semua berpegang teguhlah pada agama Allah dan kalian jangan saling bercerai. Ingatlah nikmat yang Allah karuniakan kepada kalian karena
135
kalian telah dilepaskan dari permusuhan, lalu kalian dijadikan bersatu padu, sehingga kalian dapat menjadi bersaudara karena pemberian nikmat-Nya….” Dalam perspektif al Qur‟an, hakekat dari nikmat Allah seperti disebutkan di dalam ayat di atas, adalah iman dan Islam yang teraktualisasikan dalam syari'at Islam. Artinya, hanya dengan melaksanakan syari'at Islam sajalah manusia akan memperoleh limpahan karunia kenikmatan hidup, jiwa persaudaraan yang padu, dan persatuan yang hakiki. Jika demikian, mengapa umat yang mengaku muslim tidak menikmati persatuan, persaudaraan, dan limpahan karunia kehidupan, padahal Islam telah memberi untuk itu? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, karena umat yang mengaku sebagai kaum muslim berlomba-lomba meninggalkan Kitabullah dan bersaing menciptakan firqah-firqah. Untuk itu, harus ada keberanian dan kejujuran di kalangan tokoh-tokoh Islam untuk duduk bersama membicarakan semua perbedaan yang kita hadapi secara jujur dan terbuka. Hal ini karena sesungguhnya perselisihan yang ada pada kita itu sangat sedikit, sedangkan persamaannya jauh lebih banyak. Mengapa kita keberatan bersatu padu sesama muslim dan bersikap toleran terhadap perbedaanperbedaan sesama kita? Marilah kita penuhi perintah Allah untuk bersama-sama berpegang kepada Kitabullah dan meninggalkan firqah-firqah. Rasulullah Saw. memberikan gambaran akan adanya kebangkitan Islam yang mesti terjadi di kemudian hari, sekalipun beliau tidak menyebutkan masanya secara pasti. Kita semua memang berharap dapat memenuhi masa kejayaan Islam kembali sebagaimana yang dinubuwahkan oleh beliau dalam Hadits berikut: قال رسىل اهلل صهى اهلل عهٍه وسهم تكىن اننبىة فٍكم ما شاء اهلل ان تكىن ثم ٌرفعها اذا شاء ان ٌرفعها ثم تكىن خالفت عهى منهاج اننبىة فتكىن ماشاء اهلل ان تكىن ثم ٌرفعها اذا شاء اهلل ان ٌرفعها ثم تكىن مهكا عاضا فٍكىن ماشاء اهلل ان ٌكىن ثم ٌرفعها اذا شاء ان ٌرفعها ثم تكىن مهكا جبرٌت فتكىن ماشاء اهلل ان تكىن ثم ٌرفعها اذا شاء ان ٌرفعها ثم تكىن خالفت عهى منهاج اننبىة ثم سكت Rasulullah Saw. bersabda: “Muncul masa kenabian selama masa yang Allah hendaki, kemudian berakhir. Lalu muncul masa khilafah yang lurus selama
136
masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Kemudian muncul masa rajaraja secara turun-temurun selama masa yang Allah kehendaki, kemudian berakhir. Kemudian akan muncul masa khilafah yang lurus mengikuti cara kenabian, yang kekuasaannya meliputi seluruh dunia.” (HR. Ahmad).
Begitulah nubuwah kenabian, kita mempercayai nubuwah ini, sekalipun kita tidak turut menikmati masa itu. Kita harus menjadi bagian dari barisan panjang orang-orang yang tegak berdiri menghantarkan generasi umat Islam berikutnya untuk memasuki gerbang zaman gemilang yang dijanjikan. Kita tidak perlu menyesali diri karena tidak turut mengenyam masa-masa gemilang itu, tetapi justru mencicipi berbagai ragam fitnah, penindasan, kezaliman, dan perampasan hak-hak oleh para penerus kejahiliyahan kaum Quraisy serta kecongkakan Abu Jahal dan Abu Lahab di abad modern ini. Allah berfirman yang artinya : “Di antara kalian (kaum muslimin) harus ada sekelompok orang yang mengajak menegakkan syari'at (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara), menyuruh melakukan kebajikan, dan mencegah segala macam kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang hidup beruntung.” (Qs. Ali Imran, 3:104) Karena itu, marilah saudara-saudara kita berlomba-lomba memasukkan diri ke dalam golongan kecil yang diseru oleh Allah di dalam ayat tersebut. Tidak semua orang mengaku Islam siap mengorbankan diri, harta dan jiwanya menjadi mujahid dan syuhada. Meraka yang mau akan memperoleh jaminan Allah untuk menikmati kehidupan yang penuh rahmat dan berkah di dunia dan akhirat.
3. Bersikap Adil dan Menghilangkan Diskriminasi
Ketidakadilan dalam segala bentuknya merupakan faktor pemicu kekerasan yang paling utama. Ketika sebuah rezim pemerintah gagal menegakkan keadilan, karena buruknya sistem pemerintahan dan jahatnya para penyelenggara kekuasaan, pada saat itu segala bentuk kejahatan maupun tindak kekerasan akan merajalela.
137
Lebih dari setengah abad kita hidup berbangsa dan bernegara, di bawah pemerintahan lima orang presiden, apa yang kita dapatkan selain kemelaratan, harga diri penguasa yang tergadaikan, akal sehat yang hilang, harkat dan martabat yang diperjual belikan. Apa yang masih mengikat kita sebagai negara Indonesia yang berdaulat? Lima tahun, sejak 1998 kita terombang ambing tanpa arah di tengah samudera krisis yang ganas. Keganasan krisis pada tahun ke 5 di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mendatangkan begitu banyak derita, kesengsaraan rakyat sudah tidak tertahankan, dan menjelma dalam wujud bunuh diri, kriminalitas, kerawanan sosial, kerusuhan dan frustrasi massal, drop out sekolah dan lain-lain. Setiap muncul penguasa baru, hampir bisa dipastikan mereka senantiasa menyemai keinginan untuk terus mempertahankan kekuasaannya, agar bisa menang dalam pemilu dan berkuasa lagi. Dorongan inilah yang menyebabkan kepentingan rakyat miskin terabaikan, lalu mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana bagi perjuangan politik kekuasaan. Maka jadilah KKN sebagai menu utama pemerintahan, sehingga akibatnya membuat rakyat kian miskin, dan bangsa kita kian lemah dan terhina. Akhirnya nasib rakyat tidak ada yang
mengurusi,
sementara
eksekutif
mengajak
legislatif
melakukan
perselingkuhan politik demi mengikuti semua yang dimaui pemerintah. Dalam keadaan seperti ini yang harus dilakukan, bukan menghadapi ketidakadilan dengan ketidakadilan yang sama atau melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi yang paling utama, hentikan semua tindak kekerasan dari Aceh hingga Papua, terutama tindak kekerasan yang dilakukan atas nama Negara dan dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan bersenjata. Oleh karena itu, mari kita berantas semua ketidakadilan dalam segala bentuknya. Jika kita sepakat, bahwa kemaksiatan atau kemungkaran seperti korupsi, pelacuran, perjudian, narkoba, pelecehan seksual, minuman keras merupakan sesuatu yang haram menurut keyakinan semua agama di negeri ini, mengapa kita tidak bersama-sama memberantasnya. Kebebasan seluas-luasnya bagi pemeluk agama menjalankan syari'at agamanya masing-masing secara penuh baik di tingkat kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial kenegaraan.
138
Dan yang terakhir, dan ini yang terpenting, di negeri ini umat non Islam tidak perlu merasa takut terhadap mereka yang disebut Islam garis keras. Hilangkan kekhawatiran terhadap kaum muslimin yang ingin menegakkan syari‟at Islam, mereka tidak berbahaya dan tidak pernah mengarahkan kebenciannya kepada orang lain karena perbedaan agama. Ini bukan sekedar retorika, tapi wahyu Allah "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". ( Qs. Al Mumtahanah, 60 : 8-9).
4. Toleransi Muslim Terhadap Minoritas Non Muslim Alasan yang paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syari‟at Islam, adalah persoalan minoritas non muslim. Penduduk NKRI terdiri dari multi agama dan multi Rasulullah dan etnis. Pemberlakuan syari‟at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa mengancam persatuan dan menjadi penyebab distegrasi dan konflik SARA. Kekhawatiran minoritas non muslim seperti ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawaan Kristen, Th. Sumartana. “Bagi umat non-muslim, katanya, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syari‟ah Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekadar “para penumpang” atau “para tamu”, bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai “orang asing” di negeri sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini”. Dengan pandangan jujur dan obyektif, Th. Sumartana sendiri tidak mengkhawatirkan nasib minoritas non muslim. Dia sendiri yang menyarankan -
139
dan saya kira kita sepakat dengan sarannya itu-, dengan mengatakan bahwa,”kesangsian dan ketakutan itu bisa hilang jikalau negara tetap difungsikan selaku sarana untuk mewujudkan agenda bersama untuk mencapai kemakmuran, demokrasi, keadilan, dan hak-hak asasi manusia benar-benar bisa ditegakkan”. Sepanjang hal ini dilakukan, katanya lagi, saya kira golongan non muslim tidak perlu nervous dan khawatir, tapi harus tetap bersikap rasional dan terbuka”. Dalam semangat kebebasan dan toleransi, mendiang Dr. Th. Sumartana, SH menunjukkan dukungan positif dan menganggap pemberlakuan syari‟at Islam sebagai salah satu alternatif. Sikapnya itu tertuang dalam sebuah tulisannya berjudul: “Pemberlakuan Syari‟at Islam di Indonesia, Sebuah Telaah Etis Apresiatif”. Makalah ini pernah disosialisasikan dihadapan para pendeta Gereja Kristen Jawa di Gedung Sinode GKJ Salatiga 4 Juni 2001, dan kemudian disampaikan dalam sebuah dialog di UII Jogjakarta. Th. Sumartana mengusulkan tiga hal dalam proses formalisasi syari‟ah Islam secara transparan, terbuka, damai dan demokratis. Pertama, dukungan masyarakat terhadap konsep dan aspirasi yang hendak diberlakukan benar-benar memiliki
kualitas
yang mengutamakan
nilai-nilai
kemanusiaan.
Kedua,
menyangkut soal kesepakatan dari pilar-pilar pendukungnya dari kalangan umat Islam sendiri. Ketiga, wacana publik yang benar-benar terbuka, menyertakan terutama umat non-muslim dalam segala tingkatan, daerah dan nominasi juga penyertaan dari kalangan yang mewakili kaum perempuan di masyarakat. Dengan demikian diharapkan warga non muslim dan kaum perempuan tidak lagi merasa tereduksi kewarganegaraannya menjadi warga kelas dua atau warga pendatang dan menjadi orang asing di negeri sendiri tatkala syariat Islam diberlakukan pada tataran negara. Kaum minoritas berhak mendapatkan perlindungan dan menuntut hak asasi mereka beserta kepentingan-kepentingannya, karena Islam tidak pernah mengkebiri hak-hak non muslim. Hanya saja, sesuatu yang harus juga diperhatikan, bahwa tidaklah adil jika kaum minoritas justru meminta mayoritas muslim membuang ideologinya dan memaksakan untuk memberlakukan aturanaturan hukum yang bertentangan dengan syari‟at Islam, hanya untuk memuaskan mereka. Pada saat mayoritas muslim tidak berdaya karena dijajah dan didominasi
140
politik asing, mereka masih dapat mentoleransi supremasi hukum yang tidak Islami. Tetapi kini, ketika reformasi digulirkan dan demokrasi ingin dijalankan, kita tidak ingin hak konstitusional mayoritas muslim untuk memberlakukan syari‟at Islam terus dimarjinalkan. Apakah adil, jika kaum minoritas menuntut haknya sementara kaum mayoritas diminta berkorban dengan mengganti syari‟at Islam dengan segala jenis hukum dan aturan hidup yang tidak Islami? Apakah demokratis, jika di dalam negara yang multi agama dan multi ras, golongan mayoritas dituntut untuk keluar dari prinsip-prinsip agamanya, sementara golongan minoritas ingin dipenuhi segala hak perlindungan dalam segala bentuknya? Adalah tidak masuk akal, jika di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dilarang untuk memberlakukan syari‟at Islam. Islam hadir di tengah-tengah ummat manusia untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan, dari kehancuran, kerusakan dan kebinasaan. Untuk itu misi universal Islam adalah “rahmatan lil alamin”. Oleh karena itu Islam merupakan satu-satu sistem kehidupan yang mendapat garansi (jaminan) ilahiyah untuk dapat menyelesaikan segala bentuk persoalan yang dihadapi oleh ummat manusia, termasuk di era global ini. Fitnah besar yang sedang menimpa ummat Islam adalah “isu terorisme global” yang sengaja didesain oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan ummat Islam. Islam tidak akan pernah musnah dari muka bumi, hal ini yang tidak pernah disadari oleh para musuh besar ummat Islam. Isu terorisme global selalu dikaitkan dengan “upaya penegakan syari‟ah Islam”. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan masyarakat pada umumnya dan ummat Islam pada khususnya terhadap pelaksanaan syari‟at Islam, sehingga ummat Islam sendiri menjadi takut, khawatir untuk menjadi ummat Islam yang taat. Upaya pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah memerlukan persiapan yang matang, khususnya dari ummat Islam sendiri, dan tentunya juga diperlukan dukungan dari ummat non Islam. Untuk itu diperlukan strategi dalam penegakan syari‟ah Islam, yaitu:
141
1. Sosialisasi secara intens mengenai syari‟at Islam, serta fungsi dari tatbiqussyari‟ah (penegakan syari‟ah Islam), kepada: a. Ummat Islam di seluruh lapisan masyarakat. Alhamdulillah, mayoritas penduduk Indonesia sebagai pemeluk agama Islam, tetapi harus kita sadari bahwa mayoritas dari ummat Islam belum memahami syari‟at Islam secara summul. Sebagian besar ummat Islam menganggap bahwa, syari‟at Islam identik dengan lima rukun Islam. Apabila ummat Islam sudah memahami secara benar mengenai makna syari‟at Islam, maka pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah merupakan tuntutan dari ummat Islam. b. Ummat non Islam, kekhawatiran dari ummat minoritas di Indonesia ini jika syari‟at Islam ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan adalah “terkuranginya hak mereka sebagai warga negara‟. Mereka khawatir akan dianggap sebagai orang asing di negara sendiri. Kesangsian dan ketakutan mereka ini dapat hilang, apabila secara intens disosialisasikan kepada mereka mengenai syari‟at Islam. Syariat Islam mempunyai konsep yang jelas mengenai “hubungan antar ummat beragama”. Sehingga negara tetap berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan “baldatun tyoyyibatun wa rabbun ghafur”, yaitu suatu negara yang adil, makmur untuk seluruh warga negara Indonesia, termasuk warga yang beragama non Islam. Bahkan para pemeluk agama non Islam dihimbau untuk menjadi pemeluk- pemeluk agama yang taat. Perlu disampaikan bahwa, pelaksanaan syari‟at Islam benar-benar mencerminnan nilai-nilai kemanusiaan secara universal (rakmatan lil a‟lamin) 2. Dialog untuk menyamakan visi dan misi mengenai syari‟ah Islam, diantara organisasi-
organisasi Islam dan harokah-harokah Islam, khususnya
organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Apabila antara NU dan Muhammadiyah dapat melakukan rekonsiliasi elegan, sehingga dapat menemukan titik kesepahaman mengenai penegakan syari‟ah Islam,
Insya
Alloh dukungan ummat Islam akan mengalir dengan deras. Sebenarnya tidak terdapat
perbedaan secara mendasar antara NU dan Muhammadiayah
dalam hal “kewajiban
menerapkan syari‟at Islam”, sebab antara
142
KH.Hasyim Asy‟ari dan KH Akhmad Dahlan sebagai pendiri dua organisasi tersebut mempunyai visi yang sama. Permasalahannya terletak pada “belum adanya kesiapan dari dua organisasi besar ini untuk menegakkan syari‟ah Islam”. Apabila sudah terbentuk pandangan yang sama mengenai syari‟ah Islam diantara tokoh-tokoh organisasi Islam dan harokah Islam ini, maka proses sosialisasi mengenai syari‟ah Islam kepada ummat Islam menjadi lebih intensif dan optimal. 3. Optimalisasi peran dari Departemen Agama dalam penegakan syari‟ah Islam. Peran dari Departemen Agama sangat besar dalam rangka terwujudnya citacita seluruh ummat Islam, sehingga dengan kewenangan yang dimiliki, Depag dapat secara aktif ikut mensosialisasikan penegakan syari‟ah Islam, baik di lingkungan Departemen Agama, di lintas Departemen, maupun di masyarakat secara luas. Termasuk dalam hal mendesain kurikulum nasional, khususnya untuk pelajaran agama Islam. Pelajaran agama Islam selama ini hanya mengupas bagian-bagian dari ritual keagamaan, tetapi belum menyetuh ke makna agama sebagai suatu way-of life (sistem hidup yang sempurna dan bersifat universal) 4. Optimalisasi peran para cendikiawan muslim dan tokoh-tokoh masyarakat muslim dalam menciptakan public opini mengenai syari‟ah Islam. Dewasa ini tuntutan untuk menegakkan syari‟ah Islam, diidentikkan dengan gerakan terorisme. Untuk menangkal isu ini diperlukan respon secara cepat dari para tokoh muslim dan para cendekiawan muslim, bahwa isu yang dikembangkan oleh para agen zionis ini merupakan suatu fitnah keji yang sengaja dilancarkan untuk menciptakan ketakutan terhadap penegakan syari‟ah Islam.
Khatimah “Wahai manusia, Kami telah ciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kalian bermacam bangsa dan bermacam suku agar kalian saling mengenal dan berbuat kebajikan. Sujngguh, manusia yang paling muliadi sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa….” (Qs. Al Hujurat, 49:13) Berkenaan dengan ayat di atas, Rasulullah Saw pada saat melakukan haji wada‟ menyampaikan sebuah Deklarasi Kemanusiaan (Declaration of Human
143
Right) yang menjadi konsep dasar tentang kesatuan dan kesetaraan manusia, sehingga tidak lagi ada kelebihan yang satu dengan yang lain, kecuali karena ketaqwaannya. Beliau bersabda: ًٌا اٌها انناس ان انهكم واحد و ان اباكم واحد اال الفضم نعربً عهً عجمً وال عجمً عه عربً وال احمر عهً اسىد وال اسىد عهً احمر اال بانتقىي “Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian adalah satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non Arab dan orang non Arab atas orang Arab, orang kulit putih atas orang kulit berwarna dan orang kulit berwarna atas orang kulit putih kecuali taqwa.” Jelas dan tegas bahwa ayat dan sabda Rasulullah di atas telah memberikan jawaban atas tuntutan dunia kontemporer yang memimpikan agama dan tuhan universal. Norma-norma universal, nilai-nilai global, dan hukum serta moral yang tidak mengenal diskriminasi, kebangsaan, nasionalitas dan ras merupakan keunikan aturan Islam yang terkandung di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Oleh karena itu, dalam era globalisasi dan transparansi sekarang ini, seluruh ummat di dunia dan semua agama yang cinta kebenaran, keadilaan, kemanusiaan, kejujuran, kemerdekaan, persaudaraan dan penghormatan martabat manusia secara terbuka dan ilmiyah dalam semangat persatuan, dapat mengadakan dialog intelektual, menguji dan menelaah syariat Islam dari segenap sisi dan sudut pandang manusia. Majelis Mujahidin berharap semua fihak yang menyangsikan, tidak sepakat, bahkan menolak validitas syariat Islam dalam menghantarkan manusia kearah cita-citanya
untuk mendapatkan kedamaian,
keadilan dan kesejahteraan, dapat melakukan kaji ulang, diagnosis ilmiyah, sharing pendapat dengan argumentasi dan penalaran yang proporsional, sehingga diperoleh pijakan dan landasan yang kuat dan kokoh dalam menentukan pola dan format kehidupan bersama dalam bermasyarakat, bernegara, berbangsa dan antar bangsa. Dalam hal ini Majelis Mujahidin membuka peluang kepada siapa saja dari kelompok manapun, terutama yang menyangsikan dan tidak sepakat terhadap formalisasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik muslim
144
maupun non muslim untuk duduk bersama, berbicara terbuka, berinteraksi, berdialog dan berdiskusi, sehingga kesangsian dan penolakan mereka dapat dipertanggungjawabkan secara argumentatif ilmiyah, begitupun sebaliknya mengapa syariat Islam mesti ditegakkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga seruan ini mendapat sambutan dari seluruh kalangan (muslim dan non muslim) yang masih mencintai kebenaran dan ingin membangun peradaban yang adil dan beradab.
Rujukan Kitab : 1. Fatwa Kontemporer, Ulama Besar Tanah Suci (terjemah Drs. Moh. Thalib), September 2003, Media Hidayah, Jogjakarta. 2. Tafsir Al-Maraghi 3. Tafsir Al-Munir 4. Prof. Dr. H.M Tahir Azhari, SH, makalah Kongres Mujahidin II “Pelaksanaan Syariat Islam dalam Sistem Kenegaraan”, Solo 10 Agustus 2003 5. Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA, makalah Musyker Majelis Mujahidin “Proses dan Aplikasi Syari‟ah Islam dalam Pengelolaan dan Undangundang Negara”, Jogjakarta 20 September 2003 6. Th. Sumartana, SH, Pemberlakuan Syari‟ah Islam di Indonesia, Sebuah Telaah Etis Apresiatif. Makalah ini pernah disampaikan pada Diskusi bersama para Pendeta Kristen Jawa, di gedung Sinode GKJ Salatiga, 4 Juni 2001. Juga dalam diskusi di Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. 7. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir juz I 8. Abul A‟la Al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Mizan, 1993.