PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK USIA DINI MELALUI BERMAIN YULISTIYANA Abstrak Membentuk karakter anak bukanlah tugas yang mudah. Tujuan pembentukan karakter pada anak usia dini tidak lain untuk menjadikan generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia. Dalam hal ini orang tua dan guru menjadi orang yang paling bertanggung jawab. Dengan memberikan stimulus yang tepat akan membentuk karakter yang baik pada anak. Salah satu cara yang mudah diterapkan untuk membentuk karakter anak adalah melalui bermain. Bermain dapat memberikan kesenangan pada anak karena dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak akan berinteraksi dengan orang lain, dan pada saat itulah karakter anak akan terstimulasi sehingga terbentuk karakter yang baik. Kata kunci: karakter, anak usia dini, bermain. A. PENDAHULUAN Anak merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada setiap keluarga. Kehadiran anak dapat menyempurnakan kebahagiaan keluarga. Namun bukan berarti kehadiran anak selamanya dapat menjadi hiburan bagi keluarganya. Ada anak yang justru menjadi ujian bagi keluarganya khususnya orangtua. Namun kemungkinan ini bisa diminimalisir dengan adanya kesadaran orangtua untuk mendidik anaknya sedini mungkin. Pendidikan yang diberikan orangtua pada anak usia dini bukanlah seperti pendidikan yang diberikan untuk remaja atau orang dewasa. Tentu dengan berlandaskan pengetahuan orangtua tentang tahapan-tahapan perkembangan anak usia dini akan memudahkan orangtua dalam memberikan pendidikan yang sesuai. Pada usia dini, otak berkembang sangat cepat yaitu hingga mencapai 80%. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruknya informasi. Pada masa ini perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak mulai terbentuk. Karena itu banyak yang menyebutkan masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age). Alasan-alasan ini menjadi dasar mengapa pendidikan harus dilakukan sejak usia dini.
1
Dewasa ini pendidikan yang sedang gencar untuk dilaksanakan adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki peran yang penting dalam membentuk kepribadian seorang anak. dasar pengembangan pendidikan karakter mengacu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Dalam pasal 3 disebutkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam membentuk sumberdaya manusia berkualitas. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Fungsi pendidikan tersebut menandakan bahwa adanya kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir. Pembentukan karakter anak bisa di mana saja, baik itu di rumah maupun di sekolah. Pada saat di rumah, orangtualah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak, namun ketika di sekolah tanggung jawab dalam mendidik anak menjadi tugas guru dan kepala sekolah. Pendidikan anak usia dini sangat penting untuk dilaksanakan sebagai dasar bagi pembentukan kepribadian manusia yang utuh, yaitu untuk membentuk karakter, budi pekerti luhur, cerdas, ceria, terampil, dan bertawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembentukan karakter pribadi anak sebaiknya dimulai dalam keluarga karena anak mulai berinteraksi dengan orang lain pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga. Efek adanya pendidikan karakter pada anak usia dini akan menyebabkan anak menjadi matang dalam mengelola emosinya dan terciptanya generasi bangsa yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Membentuk karakter anak bukanlah tugas yang mudah. Orangtua, guru dan kepala sekolah harus memiliki berbagai macam cara untuk membentuk karakter anak. slah satunya adalah dengan bermain. Menurut Santoso (2011) bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan, tidak saja bagi anak tetapi juga bagi orang dewasa. Kegiatan bermain paling disukai oleh anak, kegiatan sepanjang harinya penuh dengan aktivitas bermain. Karena itu dunia anak identik dengan dunia bermain, tentu cara yang paling tepat dalam memberikan pendidikan pada anak adalah melalui bermain. Bermain merupakan suatu aktivitas yang langsung dan spontan. Bermain dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang digunakan untuk berbagai tujuan yang menyenangkan. Menurut Roger, Cosby S dan Sawyers (1995) setiap anak ingin selalu bermain, sebab dengan bermain anak merasa rileks, senang dan tidak tertekan. Anak akan 2
bermain hampir disetiap situasi dan tempat. Berbagai peralatan dapat dijadikan mainan bagi anak-anak. Anak membutuhkan bermain untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang ia miliki. Banyak aspek yang akan berkembang pada saat anak bermain. Untuk itu peran orangtua dan guru adalah memfasilitasi kebutuhan anak dalam bermain. Berdasarkan uraian di atas, melalui bermain karakter anak akan terbentuk dengan baik. Karena dalam bermain anak akan berinteraksi dengan orang lain, dan ini membutuhkan karakter yang baik untuk dapat menjalin interaksi yang sehat antara anak. Dengan bermain anak juga akan melatih aspek-aspek karakter yang ada pada anak.
B. PEMBAHASAN 1. Karakter Karakter memiliki banyak definisi yang berbeda menurut para ahli. Berikut ini adalah definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di dunia pendidikan maupun di dunia psikologi. Lickona (2004) menuliskan beberapa pendapat tentang karakter menurut para ahli: More than a century ago in a lecture at Hardvard University, Ralph Waldo Emerson asserted, “Character is higher than intellect.” Writes the psychiatrist Frank Pittman, “The stability of our lives depend on our character, not passion, that keeps ,marriages together long enough to do their work of raising children into mature, responsible, productive citizens. In this imperfect world, it character that enables people to survive, to endure, and to transcend their misfortunes.” Lebih dari satu abad yang lalu dalam sebuah kuliah di Universitas Harvard, Ralph Waldo Emerson menegaskan, "Karakter lebih tinggi dari kecerdasan." Prikiater Frank Pittman menulis, "Stabilitas hidup kita bergantung pada karakter kita, bukan gairah, yang membuat, pernikahan bersama-sama cukup lama untuk melakukan pekerjaan mereka membesarkan anak menjadi dewasa, bertanggung jawab, dan menjadi warga negara yang produktif. unia ini tidak ada yang sempurna, karakterlah yang memungkinkan orang untuk bertahan hidup, untuk bertahan, dan untuk mengatasi kesulitas mereka” Dalam Webster’s Dictionary, pengertian kata karakter diartikan:
3
“the aggragate features and traits that from the apparent individual nature of same person or thing; moral or ethical quality; qualities of honesty, courage, integrity; good reputation; an account of the cualities or peculiarities of a person or thing”. Karakter merupakan totalitas dari ciri pribadi yang membentuk penampilan seseorang atau objek tertentu. Ciri-ciri personal yang memiliki karakter terdiri dari kualitas moral dan etis; kualitas kejujuran, keberanian, integritas, reputasi yang baik; semua nilai tersebut di atas merupakan sebuah kualitas yang melekat pada kekhasan personal individu. Sedangkan menurut Dewantara (2004) karakter adalah kebulatan jiwa manusia yang mewujud dalam kesatuan gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan yang kemudian menghasilkan tenaga untuk senantiasa memimikirkan, merasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang tetap. Selanjutnya, pandangan Ki Hajar Dewantara (dalam Masnipal, 2013) mengenai pendidikan karakter antara lain: 1. Pendidikan watak (karakter) bagian yang tidak terpisahkan dalam system pendidikan nasional, yang diberikan sejak umur 4-21 tahun. 2. Pendidikan karakter membentuk mental atau sikap yang baik dan menghilangkan mental atau perilaku buruk (sikap jujur, disiplin, bertanggung jawab, demokratis, tidak mementingkan diri sendiri, berani, rela berkorban, tidak merusak, tidak menyakiti orang lain, hidup sehat dan bersih, hormat kepada orang tua, toleran, empati, dan cinta tanah air). 3. Pendidikan karakter bagi anak usia dini dapat dilakukan terutama oleh orang tua dan guru melalui pembiasaan atau contoh dalam berbagai kegiatan pembelajaran bercerita, menggambar, bermain dengan alat permainan tradisional, menyulam, bernyanyi.
Karakter sangat syarat akan nilai-nilai kebajikan yang senantiasa harus mendapat tempat untuk dilatih dalam perbuatan agar terbentuk sebuah kebiasaan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang beradab. Lickona (2004) menjabarkan isi atau kandungan yang ada dalam karakter: What is the content of character? The content of good character is virtue (such a honesty, justice, courage and compassion), virtues are dispositions to behave in a morally good ways. They are objectively good human qualities, good for us whether we know it or not.
4
Menurutnya, isi dari karakter yang baik adalah kebajikan (termasuk kejujuran seperti itu, keadilan, keberanian dan kasih sayang), kebajikan yang disposisi untuk berperilaku dalam cara yang baik secara moral. Yaitu secara objektif adalah kualitas manusia yang baik, baik bagi kita apakah kita tahu atau tidak. Dalam Pedoman Peningkatan Kompetensi Pendidik Berbasis Pendidikan Karakter tahun 2011, pengembangan karakter difokuskan pada domain-domain sebagai berikut: 1. Olah hati yang meliputi aspek jujur, disiplin, mandiri, menghargai prestasi, dan tanggung jawab. 2. Olah pikir yang meliputi kreativitas, rasa ingin tahu dan gemar membaca. 3. Olah raga/kinestetikayang meliputi sifat bersahabat dan komunikatif. 4. Olah rasa dan karsa yang meliputi toleransi, kerja keras, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan peduli sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan hal yang paling penting dibandingkan dengan intelektual. Karena dengan memiliki karakter yang baik, seseorang akan mudah bertahan dan menghadapi hidup serta mampu menyelesaikan masalah-masalahnya dengan baik. Aspek-aspek karakter yang baik yaitu memiliki rasa bertanggung jawab, jujur, disiplin, toleransi, menghargai orang lain, mampu bekerja keras, cinta pada diri sendiri dan lingkungan. Seseorang yang memiliki karakter yang baik berarti ia memiliki kecintaan pada diri sendiri dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dengan begitu seseorang akan mudah bertahan dalam goncangan kehidupan serta mudah berdapatasi dengan lingkungan disekitarnya.
Bermain Menurut Spodek dan Saracho (1988) kata bermain digunakan dalam berbagai cara sehingga membuatnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini menunjukan bahwa banyak bentuk dan jenis permainan yang bisa dilakukan anak. Bermain juga mendatangkan banyak manfaat bagi anak.
5
Bermain merupakan suatu sarana yang memungkinkan anak berkembang secara optimal. Seperti yang dikatakan oleh Carron dan Jan (1999), menurutnya bermain dapat mempengaruhi seluruh atau semua area perkembangan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar tentang dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya. Bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk berimajinasi, bereksplorasi, dan menciptakan sesuatu. Sedangkan menurut Tedjasaputra (2001) bermain adalah dunia kerja anak usia prasekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Dalam Saracho dan Spodek (1998), Ellis views play as a way to process information. Since human beings typically are mentally active, they endlessly attempt to make sense out of the information they accumulate. When they have too much or insufficient information to process, they feel uncomfortable and need a proper balance. Ellis melihat bermain sebagai cara untuk memproses informasi. Sejak manusia menjadi terbiasa aktif secara mental, mereka tanpa henti berusaha untuk mengeluarkan informasi dari akal mereka karena informasi yang menumpuk. Ketika mereka memiliki terlalu banyak informasi atau tidak cukup untuk memproses, mereka merasa tidak nyaman dan perlu keseimbangan yang tepat. Sedangkan Mellon (dalam Saracho dan Spodek, 1998) berpendapat bahwa anak menghabiskan banyak waktunya untuk berpartisipasi dalam aktivitas bermain karena bermain merupakan cara mereka berinteraksi dengan dirinya dan dunia. Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, Rubin et al telah menawarkan satu set kriteria yang lebih luas: Rubin et al. have offered a broader set of criteria (1) Play is personally motivated by the satisfaction embedded in the activity and not governed either by basic needs and drives, or by social demand; (2) Players are concerned with activities more than with goals. Goals are self imposed and the behavior of the players is spontaneous; (3) Play accurs with familiar objects, or following the exploration of unfamiliar objects. Children supply their own meanings to play activities and control the activity themselves; (4) Play activities can be nonliteral; (5) Play is free from the rules imposed from the outside and the rules that do exist can be modified by the players; (6) Play requires the active engagement of the players (Saracho and Spodek, 1998 ).
6
Menurutnya, 1. Bermain secara pribadi termotivasi oleh kepuasan tertanam dalam kegiatan tersebut dan tidak diatur baik oleh kebutuhan dasar dan drive, atau dengan tuntutan sosial. 2. Pemain prihatin dengan kegiatan lebih dari dengan gol. Tujuan adalah diri dikenakan dan perilaku pemain spontan. 3. Bermain terjadi dengan benda-benda asing, atau mengikuti eksplorasi benda asing. Anakanak menyediakan makna mereka sendiri untuk bermain kegiatan dan mengendalikan kegiatan itu sendiri. 4. Kegiatan bermain dapat nonliteral. 5. Bermain bebas dari aturan yang dipaksakan dari luar dan aturan yang ada dapat dimodifikasi oleh para pemain. 6. Bermain membutuhkan keterlibatan aktif dari para pemain. Bermain atau permainan mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan anak. Hetherington dan Parke (1979) menyebutkan tiga fungsi utama dari permainan, yaitu (1) Fungsi kognitif permainan membantu perkembangan kognitif anak. melalui permainan, anak-anak mempelajari lingkungannya, mempelajari objek-objek di sekitarnya., dan belajar memecahkan masalah yang dihadapi. Piaget (dalam Desmita, 2010) percaya bahwa strukturstruktur kognitif anak perlu dilatih, dan permainan merupakan setting yang sempurna bagi latihan ini; (2) Fungsi sosial permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak. Khususnya dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran, anak belajar memahami orang lain dan peran-peran yang akan anak mainkan di kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa, (3) Fungsi emosi permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosionalnya, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin. Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaanperasaan yang terpendam. Dalam pelaksanaannya, menurut Parten (dalam Desmita, 2010) permainan terbagi menjadi 6 jenis: 1. Permainan unoccupied, yaitu anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik perhatiannya dan melakukan gerakan-gerakan bebas dalam bentuk tingkah laku yang tidak terkontrol. 7
2. Permainan solitary, yaitu anak dalam sebuah kelompok asik bermain sendiri-sendiri dengan bemacam-macam alat permainan, sehingga tidak terjadi kontak antara satu sama lain dan tidak peduli terhadap apa pun yang sedang terjadi. 3. Permainan onlooker, yaitu melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain. Anak ikut berbicara dengan anak-anak lain dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tetapi ia tidak ikut terlibat dalam aktivitas permainan tersebut. 4. Permainan parallel, yaitu anak-anak bermain alat permainan yang sama, tetapi tidak terjadi kontak antara satu dengan yang lain atau tukar menukar alat permainan. 5. Permainan assosiative, yaitu anak bermain bersama-sama saling pinjam alat permainan, tetapi permainan itu tidak mengarah pada satu tujuan, tidak ada pembagian peranan dan pembagian alat-alat permainan. 6. Permainan cooperative, yaitu anak-anak bermain dalam kelompok yang terorganisir, dengan kegiatan-kegiatan konstruktif dan membuat sesuatu yang nyata, di mana setiap anak mempunyai peranan sendiri-sendiri. Kelompok ini dipimpin dan diarahkan oleh satu atau dua anak sebagai pemimpin kelompok. Jenis-jenis permainan ini pada umumnya pernah dilakukan anak-anak pada usia dini. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan hal yang berkaitan erat dengan dunia anak. Bermain dapat memberikan kesenangan pada anak. Melalui bermain anak juga dapat melepaskan emosi serta energi yang ia miliki. Disamping itu bermain juga berperan dalam mengembangkan aspek-aspek perkembangan pada anak. Berbagai macam aspek perkembangan akan terstimulasi ketika anak bermain. Pembentukan Karakter Anak Usia Dini Melalui Bermain Banyak cara untuk membentuk karakter anak sejak usia dini, salah satunya adalah melalui bermain. Bermain memberikan kesempatan pada anak untuk berinteraksi dengan orang lain, dengan begitu anak akan memunculkan karakter yang ada pada dirinya. Banyak pilihan permainan yang dapat dimainkan anak. Seperti yang telah dikemukakan Parten bahwa banyak jenis permainan yang biasa dilakukan oleh anak usia dini, mulai dari permainan yang dilakukan pada saat anak sendiri maupun permainan yang melibatkan orang lain. Dengan begitu karakter pada anak akan terbentuk dengan baik. 8
Saat anak bermain, sebaiknya orang tua atau guru melakukan pengamatan dan pengawasan. Hal ini dilakukan agar kemanan anak saat bermain tetap terjaga. Pada saat anak bermain sendirian, orang tua atau guru bisa melihat secara langsung aktivitas anak saat bermain, mereka juga bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada anak guna menstimulasi karakter yang baik pada anak. Ketika anak bermain bersama temannya, biasanya mereka akan melakukan pembagian peran. Pada saat inilah karakter pada anak-anak akan terstimulasi hingga terbentuk dengan baik. Rasa empati, toleransi, adil, jujur dan bertanggung jawab muncul pada saat anak berinteraksi dengan temannya. Rasa percaya diri dan bangga akan diri sendiri juga muncul. Dalam kegiatan sehari-hari, orang tua dapat mengemas pekerjaan rumah menjadi permainan bagi anak. Misalnya, ketika orang tua sedang membersihkan halaman rumah, orang tua dapat mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan dengan mengajak anak bermain “bersih-bersihan”, yaitu orang tua dan anak berlomba membersihkan halaman. Orang tua bisa menjadikan sampah yang paling banyak terkumpul sebagai syarat untuk menjadi pemenang. Dengan begitu anak akan berusaha memenangkan permainan tersebut. Apalagi jika orang tua berpura-pura kalah dalam permainan, anak akan semakin merasa bangga bahwa dirinya paling banyak mengumpulkan sampah yang ada di halaman rumah. Untuk selanjutnya orang tua memberikan pujian sebagai apresiasi atas apa yang telah dilakukan anak. Hal ini akan menjadikan anak semakin bangga dan percaya diri sehingga ia akan semakin bersemangat dalam membantu orang tuanya. Permainan lain yang bisa dilakukan anak dalam membentuk karakternya adalah bermain drama. Bermain drama bisa dilakukan di mana saja. Baik disekolah maupun di rumah. Pada saat anak di rumah biasanya anak bermain sendirian, dan pada saat itulah orang tua bisa mendampingi anak bermain dengan ikut memerankan salah satu tokoh dalam cerita. Cerita yang dimainkan disesuaikan dengan keinginan anak agar anak lebih puas dan menjiawai peran yang ia mainkan, dan pada saat itulah orang tua dapat menamkan karakter-karakter yang baik pada anak. Di sekolah, permainan drama bisa dilakukan di dalam kelas (pada saat kegiatan belajar) ataupun di luar kelas (pada saat anak istirahat). Ketika kegiatan belajar sedang berlangsung di dalam kelas, guru bisa menjadi sutradara dalam permainan drama anak-anak. Guru menentukan
9
cerita dan tokoh-tokoh apa saja yang ada di dalam cerita. Gurupun menentukan bagaimana biasana tokoh-tokoh dalam suatu cerita bersikap. Pada saat itulah guru membuat cerita yang dapat membentuk karakter anak dengan baik.
C. KESIMPULAN Mengembangkan karakter anak sejak dini merupakan langkah yang tepat yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru. Dengan memberikan stimulus yang tepat karakter anak akan terbentuk dengan baik. Berbagai cara dapat dilakukan agar karakter anak terbentuk dengan baik, salah satunya adalah melalui bermain. Bermain merupakan hal yang tak terpisahkan oleh anak, karena dunia anak adalah dunia bermain. Melalui bermain karakter anak dapat dibentuk. Hal ini terjadi karena melalui bermain segala aspek perkembangan anak terlibat. Namun memilih permainan yang sesuai akan memudahkan orang tua dan guru dalam membentukn karakter anak. Proses stimulus dan respon dalam membentuk karakter harus diberikan terus menerus dan terprogram, sehingga anak usia dini akan memiliki habitus (pendidikan yang merubah perilaku sehingga memiliki karakter baik) dalam mewujudkan manusia yang berakhlak mulia. Dalam melaksanakan pendidikan bermoral untuk mewujudkan anak usia dini yang ideal, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas anak usia dini untuk membuat mereka sadar akan keberadaannya di dunia ini. Prinsip humanisme harus dijunjung secara otentik, bukan humanitarian. Prinsip humanisme yang ada dalam UU Sisdiknas adalah untuk mencapai manusia bermoral, bermartabat, berbudi pekerti luhur dan berkarakter atau berakhlak mulia. Dengan pembentukan karakter sejak dini diharapkan dapat menghasilkan generasi penerus bangsa yang memiliki kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga negara yang baik (good care atau good citizen) dengan ciri-cirinya antara lain: berani mengambil sikap positif untuk menegakkan norma-norma sosial, aturan hukum dan nilai-nilai akhlak mulia atau berkarakter baik, demi masa depan bangsa yang persamaan, persaudaraan, kesatuan, kebangsaan, kebhinekaan, multikultural, nasionalisme, demokrasi dan demokratisasi yang bersumber pada nilai budi pekerti dan moral bangsa. Arah kebijaksanaan pendidikan karakter adalah untuk mewujudkan masyarakat sipil dengan parameter masyarakat lebih baik; demokratis, anti
10
kekerasan, berbudi pekerti luhur, bermoral; masyarakat mendapat porsi partisipasi lebih luas, serta adanya landasan kepastian hukum, mengedepankan nilai-nilai egalitarian, nilai keadilan, dan menghargai hak setiap manusia. Dilaksanakannya pendidikan karakter pada anak usia dini merupakan salah satu alternatif solusi penyelesaian untuk mengantisipasi kenakalan anak dan kekerasan terhadap teman. Dengan tersosialisasikan pendidikan karakter diharapkan peserta didik dapat memahami, menganalisis, menjawab masalah-masalah yang dihadapi bangsa, dan dapat membangun kehidupan budi pekerti luhur dan moral bangsa secara berkesinambungan, konsisten yang bersumber pada nilainilai budi pekerti dan karakter bangsa sehingga cita-cita bangsa dan tujuan nasional bisa tercapai. DAFTAR PUSTAKA Carron, Carol E, dan Ellen Jan. 1999. Early Childhood Curriculum: Creative Play Model. New jersey: prentice hall. Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Dewantara, Ki Hajar. 2004. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Pengurus Taman Siswa. Hetherington, E Mavis & Ross D. Parke. 1979. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. New York: McGraw Hill. Lickona, Thomas. 2004. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. New York: Touchstone. Masnipal. 2013. Siap Menjadi Guru dan Pengelola PAUD Professional. Jakarta. Roger, Cosdy S. dan Janet K. Sawyers. 1995. Play in the Lives of Children. Washington DC: National Assosiation for the Young Children. Santoso, Soegeng. 2011. Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Pendirinya 2. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Saracho, Olivia N. dan Bernard Spodek. 1998. Multiple Perspective on Play in Early Childhood Education. New York: State Univercity of New York Press. Tedjasaputa, Mayke S. 2001. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta; PT Grasindo. Pedoman Peningkatan Kompetensi Pendidik Berbasis Pendidikan Karakter tahun 2011. Pusat Pengembangan Profesi Pendidikan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Kementrian Pendidikan Nasional, 2011. http://www.merriam-webster.com/dictionary/character di akses pada 3 Novemver 2015. 11
12