PEMBEKALAN KEMAMPUAN REKONSTRUKSI KONSEP ANATOMI TUMBUHAN MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI MELALUI STRATEGI PERKULIAHAN BERBASIS INKUIRI Oleh :
Dr. Muhibbuddin, M.S. Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah, Banda Aceh
ABSTRACT. A study using experiment method was caried out to knowing influence of lecturing strategy base on inquiry to providing ability of concept reconstruction of plan anatomy for pre-service biology student. The subject is student of third semester of Biology Department from a certain LPTK. The strategy of lecturing is by giving structured assignment, questioning and discussion. The ability of concept reconstruction is measured by comparing the concept comprehension before and after the implementation of the lecturing strategy base on inquiry and by measuring the ability to develop the concept map. The effectiveness of the lecturing strategy is evaluated by paper and pencil test. The result of research indicate that there are significant increasing in concept comprehension of the group student follow up the lecturing strategy base on inquiry on plant anatomy comparing to the group of student follow up the conventional course. Thereby the lecturing strategy base on inquiry on plant anatomy could be stated effective in providing the ability of concept reconstruction, and also connect the new concept with the concept they have before, and to develop concept in forming new knowledge. Key Words : Concept reconstruction, inquiry, pre-service biology student Pendahuluan Anatomi Tumbuhan merupakan salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa calon guru biologi. Sasaran utama yang diharapkan dari perkuliahan anatomi tumbuhan adalah agar mahasiswa memahami konsep-konsep anatomi tumbuhan serta hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya dalam membangun tubuh tumbuhan. Kemampuan tersebut sebagai dasar untuk menjembatani kajian konsep-konsep biologi dasar dengan konsep-konsep biologi yang lebih lanjut lainnya (fisiologi, taksonomi, genetika, ekologi) bahkan untuk kajian disiplin ilmu yang relevan lainnya (bidang pertanian dan kehutanan). Selain itu juga anatomi tumbuhan dapat membekali mahasiswa untuk menguasai konsep-konsep anatomi tumbuhan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (SMP dan SMA) secara mendalam. Selain sasaran utama yang telah disebutkan di atas, anatomi tumbuhan juga dapat dijadikan wahana dalam upaya membekali mahasiswa untuk memiliki ketrampilan proses sains yaitu mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan alat, komunikasi, menafsirkan, memprediksi, menganalisis, merancang, dan melakukan percobaan. Ketrampilan-ketrampilan tersebut merupakan tuntutan profesionalisme guru sains dan tuntutan kurikulum sekolah bidang sains/biologi (Depdiknas, 2003). Begitu pentingnya perkuliahan anatomi tumbuhan bagi mahasiswa calon guru biologi, namun hasil pembelajaran yang dicapai selama ini belum memuaskan. Hal ini terungkap dari hasil tes praperkuliahan anatomi tumbuhan dalam empat tahun terakhir (2001 sampai 2004) pada mahasiswa S1 program studi pendidikan biologi di salah satu 1
LPTK (FKIP) di propinsi NAD yang menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki konsepsi alternatif terhadap materi yang diuji (Gambar-1).
Gambar-1: Data konsepsi alternatif mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Biologi di Salah Satu FKIP dalam empat tahun terakhir tentang materi Kuliah Anatomi Tumbuhan. Data tersebut mengindikasikan bahwa terjadinya konsepsi alternatif merupakan dampak dari hasil pembelajaran anatomi tumbuhan yang diperoleh selama pendidikan sebelumnya. Dengan tidak mengesampingkan faktor lain, terjadinya konsepsi alternatif tersebut diduga sangat berkaitan dengan perolehan konsep dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru biologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Salah satu indikator yang memperkuat dugaan tersebut dapat dilihat dari hasil tes yang dilakukan terhadap sejumlah guru sains/biologi (N=80) di propinsi Aceh pada tahun 2008/2009 terhadap materi anatomi tumbuhan yang menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Sebagian besar (lebih 50%) guru-guru sains/biologi menunjukkan konsepsi alternatif dalam memahami konsep-konsep anatomi tumbuhan yang meliputi konsep sel, jaringan dan organ (Gambar-2). 80
80
75
72
70
Persentase (%)
60
52
50
45
40
32
30 20 10 0 SEL
JARINGAN
AKAR
BATANG
DAUN
BUNGA
Gambar-2 : Data konsepsi alternatif konsep anatomi tumbuhan Guru sains/biologi di Propinsi Aceh Tahun 2008/2009 (N=80) 2
Pengalaman pribadi dalam membina mata kuliah anatomi tumbuhan selama ± 18 tahun, strategi pembelajaran melalui penjelasan atribut konsep dengan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar belum memberi hasil yang memuaskan. Hasil belajar yang dicapai hanya pada penguasaan konsep-konsep terdefinisi, sedangkan kemampuan untuk memahami konsep konkrit dan hubungan antar konsep sulit dicapai. Apabila berhadapan dengan konsep konkrit, mahasiswa cenderung mengembangkan konsepsi alternatif terhadap objek yang dipelajari. Selain itu, strategi pembelajaran seperti ini tidak mengembangkan kemampuan-kemampuan berpikir dalam membangun pengetahuan mahasiswa secara mandiri. Konsepsi alternatif tentu tidak bisa dibiarkan terjadi pada mahasiswa calon guru sains/biologi. Apabila hal ini dibiarkan calon guru memperoleh konsep-konsep yang keliru, yang selanjutnya akan berdampak pada penyebaran konsepsi alternatif kepada peserta didiknya. Oleh karena itu perlu upaya mencari strategi perkuliahan anatomi tumbuhan yang handal untuk merekonstruksi konsep-kosep anatomi tumbuhan, serta membekali mahasiswa calon guru biologi untuk memiliki kemampuan penguasaan dan rekonstruksi konsep dalam rangka perbaikan konsepsi alternatif. Sebagaimana kelompok sains lainnya, anatomi tumbuhan merupakan kelompok ilmu yang pembelajarannya menekankan pada hakikat sains (proses, produk, dan sikap). Tentunya kelompok ilmu ini akan memerlukan kreatifitas dan imaginasi dalam mempelajarinya, sehingga pendekatan inkuiri sangat cocok dengan karakteristik ilmu ini (Alberta, 1998). Menurut NRC (1996) inkuiri merupakan strategi sentral dalam pembelajaran sains, yang merupakan suatu strategi pedagogis yang memungkinkan siswa menggali atau membangun informasinya secara mandiri (Uno, 1999). Dengan adanya perubahan dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar maka tepat kiranya inkuiri digunakan dalam perkuliahan anatomi tumbuhan bagi mahasiswa calon guru biologi. Menurut Uno (1996) inkuiri adalah suatu metode pembelajaran aktif yang mempraktekkan kemampuan berpikir kritis. Inkuiri juga dapat mendorong siswa menggali sendiri prinsip-prinsip atau konsep-konsep utama dalam kegiatan pembelajarannya. Oleh karena itu metode ini paling baik diterapkan dalam kegiatan perkuliahan dalam rangka mempersiapkan calon guru biologi menjadi guru biologi yang profesional. Pada umumnya calon guru tidak mempunyai banyak kesempatan untuk belajar sains melalui inkuiri (NRC, 2000), padahal bekal ini penting agar calon guru mempunyai ketrampilan dan pemahaman berinkuiri yang dapat digunakan untuk menjalankan tugasnya dalam mengajar secara tepat. Oleh karena itu dalam penjelasannya tentang mempersiapkan guru untuk dapat mengajar berbasis inkuiri NRC (2000) menekankan pentingnya memberikan kesempatan kepada calon guru untuk belajar sains melalui inkuiri selama masa persiapannya di tingkat pre-service (di LPTK). Seorang calon guru biologi seharusnya dipersiapkan melalui keterlibatannya di dalam kegiatan kerja secara ilmiah dan kegiatan di laboratorium secara substantif dan signifikan yang meliputi pengalaman belajar inkuiri secara aktif seperti merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan memproses data, melaporkan, dan mempertahankan hasilnya (NSTA & AETS,1998). Selain itu jika calon guru mengalami cara belajar dengan ketrampilan proses sains, maka sama halnya dengan dibekali ketrampilan belajar sepanjang hayat (Carin, 1977). Wandersee (1994) menambahkan calon guru biologi harus dibekali kemampuan untuk mengkaji struktur gambar mikrograf teknik tinggi (high-tech), seperti gambar-gambar 3
yang diperoleh dari penelitian dalam biologi dengan menggunakan scanning electron Microscope (SEM), transmision electron microscope (TEM) dan computer-enhanced light microscope (CELM), serta kemampuan untuk mengkontruksi gambar-gambar dua dimensi ke dalam bentuk tiga dimensi. Stuktur gambar dua dimensi, tiga dimensi, dan gambargambar mikrograf yang dihasilkan dari SEM, TEM dan CELM merupakan bagian kajian dari konsep-konsep yang dipublikasikan dalam berbagai literatur biologi modern. Oleh karena itu Shulman (Wandersee, 1994) menambahkan bahwa guru biologi membutuhkan kemampuan pengetahuan dalam memahami struktur mikroskopik teknik tinggi (high-tech), dan harus mampu mengkonstruksi pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengamatan melalui mikroskop di laboratorium dan interpretasi hasil pengamatannya. Tinjauan Pustaka A. Konsep dan Pengembangan Konsep Menurut Dahar (1989) belajar konsep merupakan hasil utama dalam pendidikan yang merupakan batu-batu pembangun (building blocks) dalam mengembangkan kemampuan berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar dari proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan perinsip-perinsip dan generalisasi. Untuk memecahkan masalah seseorang harus mengetahui atauran-aturan yang relevan, dan aturan-aturan ini di dasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya. Para ahli psikologi menyadari akan pentingnya konsep-konsep, tetapi tidak ada satu definisipun yang tepat diberikan. Definisi-definisi konsep yang ditemukan dalam kamus, seperti “sesuatu yang diterima dalam pikiran” atau “suatu ide yang umum dan abstark” terlalu luas utuk digunakan. Mungkin tidak ada satupun definisi yang tepat untuk mengungkapkan arti dari konsep atau berbagai macam konsep, karena konsep-konsep yang diperoleh seseorang sangat tidak terbatas (Dahar, 1989). Namun demikian Rosser & Nicholson (1984) mengemukakan bahwa konsep adalah suatu abstarksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena setiap orang mengalami strimulus yang berbeda-beda, maka orang akan membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Karena konsep-konsep merupakan abstarksi yang berdasarkan pengalaman, dan tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang persis sama, maka konsep-konsep yang dibentuk mungkin akan berbeda juga. Menurut Ausubel (1968) konsep-konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep sebelum anak-anak sekolah. Formasi konsep dapat disamakan dengan belajar kosep-konsep konkrit (Gagne,1985). Sedangkan asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah. Menurut Hummel (1998) dalam Oakley (2004) asimilasi konsep merupakan suatu proses meletakkan suatu pengalaman baru ke dalam struktur mental. Anak-anak mengembangkan struktur kognetif baru ketika mereka mengalami suatu pengalaman baru dalam kehidupannya. Proses asimilasi akan terus berlangsung selama hidup seseorang, yang menyebabkan akan berkembangnya perolehan konsep hingga mencapai tingkat formal. Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila seseorang dihadapkan pada stimulus lingkungan, ia akan mengabstarksi sifat-sifat atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus. Selain itu juga merupakan sebagai bentuk belajar penemuan (discovery learning) yang melibatkan proses-proses psikologi seperti analisis diskriminatif, abstarksi, pembentukan hipotesis, pengujian, dan generalisasi. Melalui belajar penemuan 4
pengetahuan lebih lama diingat dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara lain dan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada jasil belajar lainnya (Dahar, 1989). Pembentukan konsep juga terjadi pada orang-orang dewasa dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan di laboratorium dengan tingkat berfikir yang lebih tinggi (Ausubel, 1968). Berlawanan dengan pembentukan konsep, asimilasi konsep merupakan proses deduktif. Dalam proses ini bila seseorang diberi konsep beserta atributnya, maka mereka akan belajar arti konsep baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria dari konsep, dan kemudian akan menghubungkan atribut tersebut dengan gagasan yang relevan dengan yang sudah ada dalam struktur kognetifnya (Ausubel, 1968). Untuk memperoleh konsep-konsep melalui proses asimilasi, orang yang belajar harus sudah memperoleh definisi formal dari konsep-konsep itu, misalnya konsep “gajah” yaitu hewan yang mempunyai belalai (Rosser & Nicholson,1984). Menurut Gagne (1985) belajar konsep merupakan suatu ketrampilan intelektual yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbul-simbul atau gagasan-gagasan. Dengan menguasai konsep, seseorang dapat menggolongkan dan menghubungkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut bentuk, ukuran dan jumlah. Seseorang dapat menggolongkan suatu objek menurut ciri-cirinya ke dalam kelompok tertentu, misalnya kemampuan mengelompokkan tumbuhtumbuhan dengan ciri-ciri tertentu. Ketrampilan intelektual sudah dimulai sejak tingkat pertama sekolah dasar dan dilanjutkan sesuai dengan kemampuan intelektual seseorang. Selama bersekolah, banyak sekali jumlah ketrampilan intelektual yang dipelajari oleh seseorang yang dapat digolongkan berdasarkan kompleksitasnya. Perbedaan-perbedaan ketrampilan intelektual untuk tujuan pengajaran mencakup lima tingkatan yaitu : (a) diskriminasi, (b) konsep kongkrit, (c) konsep-konsep terdifinisi, (d) aturan-aturan, (e) aturan-aturan tingkat tinggi (Gagne, 1985). Gagne (1985) menekankan bahwa dibutuhkan dua kondisi agar setiap bentuk belajar terjadi, yaitu kondisi internal yang menggambarkan keadaan kognitif siswa, dan kondisi eksternal berupa stimulus dari lingkungan dalam acara belajar. Misalnya kondisi untuk mempelajari konsep terdifinisi seperti konsep “difusi”. Kondisi utama adalah, bahwa siswa yang belajar harus sudah memiliki konsep-konsep yang meliputi konsep terdifinisi yang akan dipelajari. Kondisi internal adalah untuk memperoleh konsep terdifinisi, siswa harus mengeluarkan atau memanggil semua komponen konsep yang terdapat dalam definisi, termasuk konsep yang menyatakan hubungan antar konsep. Sedangkan kondisi eksternal adalah suatu konsep terdifinisi dapat dipelajari siswa dengan mengamati sebuah demontrasi atau melalui percobaan. Pengembangan konsep oleh seseorang terjadi melalui suatu seri tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut dimulai dengan hanya mampu menunjukkan satu contoh dari satu konsep hingga dapat sepenuhnya menjelaskan atribut-atribut konsep. Setiap orang tidak akan sama mencapai semua konsep pada tingkatan yang sama. Menurut Klausmeier (1977) ada empat tingkatan pencapaian konsep yang muncul dalam urutan yang berbeda. Setiap orang sampai pada pencapaian tingkat tinggi (tingkat formal) dengan kecepatan yang berbeda-beda, dan ada konsep-konsep yang tidak pernah tercapai pada tingkat yang paling tinggi. Konsep-konsep yang berbeda dipelajari pada usia yang berbeda. Dalam teori perkembangan Piaget (Oakley, 2004) dijelaskan bahwa anak-anak yang masih kecil baru
5
dapat belajar konsep-konsep kongkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih sulit atau lebih abstrak dipelajari setelah dewasa. Menurut Dahar (1989) dalam proses pembelajaran, tingkat pencapaian konsep yang diharapkan dari siswa tergantung pada tujuan pembelajaran yang dirumuskan dan kompleksitas konsep tersebut. Ada siswa yang belajar konsep hanya mencapai tingkat konkrit atau tingkat identitas, tetapi ada juga yang bisa mencapai tingkat klasifikatori atau tingkat formal. Bila dilihat dari teori perkembangan Piaget, sebagian besar dari konsepkonsep yang dipelajari selama tingkat perkembangan pra-operasional merupakan konsepkonsep pada tingkat konkrit, dapat diharapkan tingkat pencapaian klasikatori, paling sedikit untuk konsep-konsep yang mempunyai contoh-contoh kongkret. Tingkat pencapaian formal dapat diharapkan bila pengajaran yang tepat diberikan pada siswa pada periode operasi formal (Dahar, 1989). Lebih lanjut Oakley (2004) menjelaskan bahwa dalam teori perkembangan Piaget, pada periode operasi formal, seseorang telah mampu memecahkan permasalahan melalui pengujian hipotesis atau membayangkan permasalahan yang mereka tidak mampu melihatnya. Tahap ini ditandai oleh penggunaan pemikiran deduktif dan memecahkan masalah secara sistematis. 2. Pemetaan Konsep Novak & Gowin (1984) dalam bukunya Learning how tolearn mengemukakan bahwa pemetaan konsep atau lebih dikenal dengan peta konsep merupakan strategi untuk menganalis penguasaan konsep dari hasil pembelajaran. Gagasan Novak & Gowin ini didasarkan pada tiori belajar bermakna Ausuble (Novak & Gowin, 1984; Novak, 1993; Odom & Kelly, 2001) yang merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka (root learning), namun berusaha menghubungkan konsep-konsep tersebut untuk menghasilkan pemahaman yang utuh (meaningfull learning), sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Menurut Dahar (1989) ada empat ciri dari suatu peta konsep. Pertama memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang strudi (seperti biologi, kimia dan fisika). Melalui peta konsep bidang studi ini, siswa akan melihat dan mempelajari bidang studi itu lebih bermakna. Kedua peta konsep merupakan suatu gambaran dua dimensi dari suatu bidang studi atau satu bagian dari bidang studi yang dapat memperlihatkan hubungan proporsional antar konsep. Ciri inilah yang membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran tanpa memperlihatkan hubungan antar konsep. Peta konsep bukan hanya menggambarkan konsep yang penting, melainkan juga hubungan antar konsep. Ketiga menunjukkan cara menentukan hubungan antara konsep. Tidak semua konsep mempunyai bobot yang sama. Ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep yang lain. Misalnya konsep “jaringan pembuluh” lebih inklusif dari konsep “xilem” atau “fluem”. Melalui peta konsep dapat dilihat konsep yang paling inklusif terdapat pada puncak, lalu menurun hingga pada konsep-konsep yang lebih khusus atau contoh-contoh. Keempat peta konsep merupakan suatu hirarkhi. Bila dua atau lebih konsep digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, maka terbentuk suatu hirarkhi pada konsep tersebut.
6
Peta konsep juga merupakan alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil pembelajaran lebih bermakna. Dengan peta konsep seorang pelajar/mahasiswa akan berusaha mengeluarkan konsep-konsep dari apa yang dipelajarinya, menempatkan konsep yang paling inklusif pada puncak peta konsep dan mengurutkan konsep-konsep lain yang kurang inklusif pada konsep yang inklusif (Novak, 1990). Oleh karena itu hendaknya setiap siswa atau mahasiswa harus pandai menyusun peta konsep untuk meyakinkan bahwa pada siswa tersebut telah berlangsung belajar bermakna. Ada beberapa langkah yang dapat diikuti dalam pembelajaran pembuatan peta konsep: pertama memilih bacaan dari buku, jurnal atau sumber lain yang berkenaan dengan suatu konsep (misalnya konsep jaringan kambium), lalu meminta siswa untuk membaca secara teliti konsep tersbut. Kedua meminta siswa untuk menentukan konsep-konsep yang relevan dari hasil bacaannya. Ketiga meminta siswa untuk mengurutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh. Keempat meminta siswa untuk membuat peta konsep dengan menempatkan konsep yang paling inklusif pada posisi puncak, dan konsep yang paling tidak inklusif pada posisi bawah. Kelima meminta siswa untuk membuat hubungan silang antar konsep (Novak, 1990; Dahar, 1989). Dalam sistem pembelajaran, peta konsep dapat digunakan dalam empat keperluan, yaitu (a) menyelidiki apa yang telah diketahui siswa, (b) mempelajari cara belajar, (c) mengungkapkan miskonsepsi, dan (d) sebagai alat evaluasi (Dahar,1989). 3. Rekonstruksi Konsep dan Perubahan Konseptual Rekonstruksi konsep merupakan proses konstruksi kembali konsep-konsep yang terjadi pada diri seseorang atau siswa yang mengarah kepada pembentukan pengetahuan baru (new knowledge) akibat adanya asimilasi konsep (Suping, 2003; Davis, 2001; Hewson, 1992). Inti dari rekonstruksi konsep adalah proses perubahan konseptual (conceptual change) yang merupakan proses reorganisasi pengetahuan yang berbeda-beda menjadi pengetahuan yang lebih kompleks dalam struktur kognitif siswa (DiSessa, 2002). Perubahan konseptual juga dapat diartikan sebagai proses perbaikan miskonsepsi (Chi & Roscoe, 2002). Jadi rekonstruksi konsep dapat diartikan sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh seseorang atas dasar pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk membentuk suatu pengetahuan baru (new knowledge) dalam struktur kognitifnya. Sebagai contoh seorang siswa telah mengenal “kloroplas” merupakan organella sel yang hanya terdapat pada sel tumbuhan. Bila siswa tersebut mendapat perolehan informasi baru bahwa kloroplas dibentuk dari dua lapis membran, memiliki grana, stroma, dan mengandung klorofil, maka akan terjadi proses perubahan terhadap konsep kloroplas menjadi konsep yang lebih luas bagi siswa tersebut. Masalah perubahan konseptual dalam bidang sains pertama kali diperkenalkan pada buku karangan Thomas Kuhn yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (Kuhn, 1970). Kuhn menentang pendapat umum bahwa pengetahuan bidang sains tumbuh secara kumulatif oleh penambahan yang pesat ke dalam persediaan teori dan konsep yang telah ada. Dengan kata lain pengembangan sains melibatkan perubahan revolutif dimana satu teori atau paradigma digantikan secara radikal oleh yang lainnya. Sebagai contoh, penerimaan teori Copernicus yang menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan terjadi penolakan teori Ptolemeus yang menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Penerimaan dan penolakan pada teori tersebut tidak hanya terjadi pada teori saja, tetapi juga melibatkan pergeseran arti konsep yang 7
digunakan pada teorinya. Menurut Kuhn, perbedaan radikal diantara teori-teori tersebut membuat sulit membedakan satu teori lebih baik dari teori yang lainnya. Para ahli filosofi dan psikologi berpendapat bahwa perubahan konseptual dalam sains merupakan suatu mekanisme kognitif, dimana sebuah konsep baru dibangun dari konsep sebelumnya. Contoh konsep “gelombang suara” yang dibangun dari konsep awal yang telah ada yaitu “gelombang” dan “suara” (Thagard, 2002). Hal senada juga dikemukakan Chi (1992) bahwa perubahan konseptual dalam pembelajaran sains merupakan proses akumulasi konsep-konsep yang baru ke dalam konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Perubahan konseptual tidak terjadi apabila seseorang berhadapan dengan suatu objek atau fenomena baru yang belum pernah dikenalnya. Mengajar sains membutuhkan pendekatan khusus, dimana siswa harus terlibat aktif dalam membangun konsep dan keyakinan mereka yang telah mereka punyai sebelumnya. Karena perubahan konseptual dalam pendidikan sains merupakan perubahan mental yang melibatkan proses kognitif, sosial, dan interaksi soasial antara siswa, guru, dan lainnya (Guzzetti & Hynd, 1998). Motivasi dan emosional juga berpengaruh besar pada perubahan konseptual ketika siswa berhasrat mengadopsi konsep-konsep baru. (Guzzetti & Hynd, 1998). Hewson (1992) berpendapat jika siswa memiliki konsepsi yang berbeda terhadap suatu konsep yang disebabkan oleh perbedaan latarbelakang pengetahuan yang dimilikinya, maka dalam proses pembelajaran guru harus mengikutsertakan siswa untuk mempersamakan persepsi yang berbeda dari konsep tersebut, guru harus mampu memfasilitasi perubahan konseptual yang muncul pada diri siswa. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan guru dalam memfasilitasi perubahan konseptual siswa (Hewson, 1992) yaitu : Pertama menggunakan beberapa teknik diagnosa untuk memunculkan konsepsi yang dimiliki siswa, kedua menggunakan strategi yang dirancang khusus untuk mengkompetisikan gagasan suatu konsep yang dimiliki siswa dan memfasilitasi proses perubahan konseptual yang akan terjadi, ketiga guru harus membuktikan bahwa perubahan konseptual benar telah terjadi pada siswa. Menurut Duit (1999) perubahan konseptual dalam pembelajaran sains merupakan suatu proses konstuktivis, dimana siswa aktif belajar untuk mengreorganisasikan pengetahuannya membentuk pengetahuan baru. Rekonstruksi konsep sangat efektif bila ditempuh melalui strategi konflik kognitif (cognitive conflict strategies) selama proses pembelajaran. Lebih lanjut Duit (1999) menjelaskan melalui strategi konflik kognitif dapat terciptanya situasi belajar siswa agar tetap eksis dalam pembentukan konsep (conceptions) dari fenomena yang terpisah-pisah atau topik-topik pembelajaran yang dirancang secara eksplisit. Strategi konflik kognitif juga merupakan strategi yang dapat digunakan untuk mengsukseskan perubahan konseptual bagi siswa. Strategi konflik kognitif telah digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan strategi pembelajaran untuk keperluan perubahan konseptual, seperti Ideational Confrontation Model (Champagne, et al., 2003) dan Generative Learning Model (Cosgrove & Osborne, 1985). Strategi konflik kognitif dalam Ideational Confrontation Model terdiri dari empat langkah yaitu: (1) mengungkapkan pengetahuan awal (preconception) siswa, (2) melakukan kegiatan diskusi dan mengevaluasi pengetahuan awal siswa, (3) menciptakan konflik konseptual dari pengetahuan awal siswa, dan (4) mendorong dan memandu siswa dalam merekonstruksi kembali pengetahuannya. Sedangkan dalam Generative Learning Model (GLM) strategi konflig kognitif meliputi: (1) eksplorasi pengetahuan awal siswa (exploring student conception), (2) memfasilitasi perubahan konseptual (conceptual 8
change), (3) pengembangan konsep (concept development) untuk membentuk pengetahuan baru (new knowledge), dan (4) membandingkan pengatahuan awal dengan pengetahuan baru (compare new & old knowledge). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan desain Pretes-postes Control Group Design (Tabel-2). Tabel-2 : Desain Pretes-postes Control Group Design Sampel Kelompok Pretes Perlakuan Acak A (Eksperimen) O X1 Acak B (Kontrol) O X2 Ket. : X1 = Pembelajaran Anatomi Tumbuhan berbasis Inkuiri X2 = Pembelajaran Anatomi Tumbuhan secara Konvensioanal O = Tes pemahaman konsep.......................(Gall et al., 2003).
Postes O O
Pada kelompok eksperimen diterapkan strategi perkuliahan berbasis inkuri, sedangkan pada kelompok kontrol diterapkan pembelajaran konvensional. Strategi perkuliahan berbasis inkuiri ditempuh melalui penugasan terstruktur kepada mahasiswa untuk mengkaji konsep-konsep anatomi tumbuhan secara mandiri dari berbagai sumber, dengan berpedoman pada Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), kemudian dilanjutkan pembahasannya melalui kegiatan diskusi di dalam kelas (Gambar-3). Kegiatan diskusi REKONSTRUKSI KONSEP :
MATERI KULIAH ANATOMI TUMBUHAN Dosen
Pre Test
Penugasan Terstruktur
TOPIK BAHASAN
Mahasiswa
KAJIAN SECARA MANDIRI
Mahasiswa & Dosen
PEMBAHASAN SECARA KLASIKAL Post Test
Strategi : 1. Pengetahuan Awal Mahasiswa (priorknowledge) 2. Ekplorasi konsep awal mahasiswa (exploring student conception) 3. Perubahan konsep awal membentuk konsep baru (conceptual change) 4. Pengembangan konsep (concept development) 5. Pembentukan pengetahuan baru (new knowledge) 6. Membandingkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal (compare new & old knowledge) (Diadaptasi dari : Champagne, et al., 2003; Cosgrove & Osborne, 1985)
Gambar-3: Ikhtisar Strategi Perkuliahan anatomi tumbuhan 9
sepenuhnya dilakukan oleh mahasiswa, dosen hanya berperan sebagai fasilitator dalam mengarah-kan diskusi. Kegiatan diskusi diarahkan untuk masing-masing topik kajian (misalnya dinding sel) dengan panduan LKM, dan pada akhir pembahasan untuk suatu topik dilakukan penyimpulan terhadap konsep dan atribut konsep yang telah didiskusikan. Penyim-pulan dilakukan oleh mahasiswa, dosen hanya melegalisasi atas penyimpulan tersebut. Jika penyimpulan keliru, maka dosen mengarahkan hingga memperoleh suatu kesimpulan yang benar. Melalui strategi ini mahasiswa dilatih kemampuan rekonstruksi konsep untuk membentuk pengetahuan baru. Penelitian dilakukan pada mahasiswa pendidikan biologi di salah satu LPTK di Banda Aceh. Jumlah populasi mahasiswa yang terlibat sebanyak 92 orang. Dari populasi ini, diambil 60 orang mahasiswa secara acak sebagai sampel. Dari 60 orang mahasiswa yang terpilih, kemudian diambil secara acak 30 orang dijadikan sebagai kelompok eksperimen (perkuliahan berbasis inkuiri) dan 30 orang lainnya dijadikan sebagai kelompok kontrol (perkuliahan secara konvensional). Data yang diambil berupa pengetahuan awal (pretes) dan pengetahuan pasca perkuliahan (postes). Untuk melihat adanya perubahan konseptual dan peningkatan penguasaan konsep dihitung “gain” dengan cara mencari selisih skor postes dengan skor pretes. Gain yang diperoleh kemudian dinormalisasi (N-gain) dengan menggunakan rumus dari Hake (Cheng, et al., 2004) sebagai berikut : Skor Postes – Skor Pretes N-gain = -------------------------------- x 100 Skor Maks. – Skor Pretes dengan kategori perolehan N-Gain : Tinggi: N-Gain > 70; Sedang : 30 ≤ N-Gain ≤ 70; dan Rendah : N-Gain < 30. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan penguasaan konsep antara kelompok eksperimen dan kontrol, ditempuh melalui “uji-t”. Jenis Uji-t yang digunakan adalah Independent Sample t-Test. Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Data yang digunakan untuk menguji kemampuan rekonstruksi konsep adalah data kemampuan dan pengetahuan awal mahasiswa. Data kemampuan awal berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM) SLTA pada saat mahasiswa masuk Perguruan Tinggi (LPTK) dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) selama dua semester. Sedangkan pengetahuan awal mahasiswa merupakan penguasaan konsep-konsep anatomi tumbuhan sebelum Perkuliahan Anatomi Tumbuhan diterapkan, yang dijaring melalui pretes. 1. Kemampuan dan Pengetahuan Awal mahasiswa Hasil analisis kemampuan dan pengetahuan awal mahasiswa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok Kontrol, baik untuk NEM, IPK, maupun skor pretes (Tabel-3). Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa kelompok PPAT dan kelompok kontrol memiliki kemampuan dan pengetahuan awal yang sama.
10
Tabel-3 : Hasil uji beda rata-rata NEM, IPK, pretes sel, pretes jaringan, dan pretes gabungan (Sel & jaringan) kelompok PPAT dan Kontrol Rata-rata
Kelompok
Normalitas*
Homogenitas**
PPAT
Kontrol
PPAT
Kontrol
(PPAT-Kontrol)
NEM
23.39
23.37
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.593
IPK
3.00
3.06
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.097
Sig.:0.066
Sig.:0.427
Pretes Sel
23.73
23.67
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.670
Pretes Jaringan
32.07
31.87
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.540
Pretes Gab.
28.13
28.03
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.718
(Sel+Jaringan)
Signifikansi Tidak Signifikan thit. = 0.043; Sig.:0.483 > 0.025 Tidak Signifikan thit. = 0.682; Sig.:0.249 > 0.025 Tidak Signifikan thit. = 0.047; Sig.:0.481 > 0.025 Tidak Signifikan thit. = 0.155; Sig.:0.439 > 0.025 Tidak Signifikan thit. = 0.074; Sig.:0.470 > 0.025
Ket. *) = Kolmogorov – Smirnov Test (Normal, Sig. > 0.05) **) = Levene Test (Homogen, Sig. > 0,05)
2. Kemampuan Mahasiswa pada Akhir Perkuliahan a. Penguasaan Konsep Kemampuan mahasiswa di akhir perkuliahan diukur melalui postes. Untuk melihat ada tidaknya peningkatan kemampuan penguasaan konsep ditempuh dengan menghitung selisih skor postes dengan pretes (gain). Untuk keperluan uji signifikansi peningkatan penguasaan konsep antara kelompok eksperimen dan kontrol ditempuh dengan menguji rata-rata skor gain yang ternormalisasi (N-Gain) diantara kedua kelompok tersebut. Kemampuan penguasaan konsep juga ditempuh dengan menganalisis kemampuan mahasiswa dalam memetakan konsep-konsep yang dimilikinya dalam bentuk peta konsep. Data penguasaan konsep antara kelompok eksperimen dan kontrol pada pokok bahasan struktur sel (Gambar-4) menunjukkan adanya peningkatan dengan selisih rata-rata skor pretes-postes (N-Gain) mencapai 86.71 (kelompok eksperimen) dan 42.71 (kelompok kontrol), namun rata-rata N-Gain kelompok eksperimen peningkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, dengan selisih rata-rata mencapai 44 (49.26%). 86.71
90.00 75.17
Rata-rata Skor
80.00 70.00 60.00
48.77
51.43
50.00
42.71
40.00 30.00
25.10
23.73 23.67
20.00 10.00 0.00 PRETES
POSTES
EKSPERIMEN
GAIN
N-GAIN
KONTROL
Gambar-4 : Perbandingan penguasaan konsep “sel” mahasiswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 11
Peningkatan kemampuan penguasaan konsep juga terjadi pada konsep struktur jaringan (Gambar-5). Rata-rata N-Gain kelompok eksperimen mencapai 87.29 dan kelompok kontrol 43.72 dengan selisih rata-rata N-Gain antara kelompok eksperimen dan kontrol 43.57 (50.08%). Sedangkan peningkatan kemampuan penguasaan konsep keseluruhan (struktur sel dan jaringan) kelomok eksperimen adalah 91.32 dan kelompok kontrol 45.33 dengan selisih N-Gain antara kelompok eksperimen dan kontrol 45.99 (49.64%). 87.29
90.00
80.93
Rata-rata skor
80.00 70.00 56.73
60.00
48.87
50.00 40.00
43.72
32.07
31.87
30.00
24.87
20.00 10.00 0.00 PRETES
POSTES
GAIN
EKSPERIMEN
N-GAIN
KONTROL
Gambar-5 : Perbandingan penguasaan konsep “jaringan” mahasiswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji signifikansi (Tabel-4) rata-rata N-Gain untuk sel, jaringan, dan gabungan (sel dan jaringan) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) pada taraf kepercayaan 5% (Sig.<0.025). Tabel-4 : Hasil uji beda rata-rata N-Gain sel, jaringan, dan N-Gain gabungan (sel & jaringan) kelelompok eksperimen dan Kontrol Rata-rata N-Gain
Kelompok PPAT
Homogenitas**
PPAT
Kontrol
(PPAT-Kontrol)
Normal
Normal
Tidak Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.150
Sig.:0.043
Normal
Normal
Tidak Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.022
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.680
SEL
86.67
42.67
Jaringan
87.23
43.73
Gabungan
91.27
45.37
(Sel+Jaringan)
Normalitas*
Kontrol
Signifikansi Signifikanvn) thit. = 30.033; Sig.:0.000 < 0.025 Signifikanvn) thit. = 17.556; Sig.:0.000 < 0.025 Signifikan thit. = 37.978; Sig.:0.000 < 0.025
Ket. *) = Kolmogorov – Smirnov tes (Normal : Sig. > 0.05) **) = Levene tes (Homogen : Sig. > 0,05) vn) = Uji-t varian berbeda (equal variances not assumed)
Peningkatan kemampuan penguasaan konsep juga tercermin pada kemampuan mahasiswa dalam memetakan konsep-konsep yang dimilikinya dalam bentuk peta konsep. Hasil analisis 23 peta konsep yang dikembangkan mahasiswa, menunjukkan bahwa mahasiswa kelompok PPAT mampu mengembangkan peta konsep dengan skor rata-rata total mencapai 782.90 sedangkan kelompok kontrol 500,73 (Gambar-6).
12
Rata-rata skor
1200 1000 800 600 400 200 0 Proposisi
Tingkat
Hub.Silang
Contoh
Standar
Eksperimen
Kontrol
TOTAL
Gambar-6 : Perbandingan rata-rata skor peta konsep mahasiswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan skor standar. Bila dibandingkan dengan skor total peta konsep standar yaitu 992, maka selisih skor rata-rata total kelompok PPAT dengan skor total standar adalah 209.10 (±79%) dan selisih skor rata-rata total kelompok kontrol dengan standar adalah 491.27 (±50%). Sedangkan selisih skor rata-rata total kelompok PPAT dengan kelompok kontrol adalah 282.17 (±64%). Bila dilihat per komponen peta konsep (proposisi, tingkatan, hubungan silang, dan contoh) yang dikembangkan mahasiswa, tampak bahwa skor rata-rata kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji signifikansi (Tabel-5) rata-rata skor peta konsep sel, jaringan, dan gabungan (sel dan jaringan) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) pada taraf kepercayaan 5% (Sig.<0.025). Tabel-5 : Hasil uji beda rata-rata skor peta konsep sel, jaringan, dan gabungan (sel & jaringan) kelompok PPAT dan Kontrol Kelompok
Normalitas*
Rata-rata Skor Peta Konsep
PPAT
Kontrol
PPAT
Kontrol
(PPAT-Kontrol)
SEL
190.90
140.70
Normal
Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.139
Sig.:0.373
Jaringan
592.00
361.87
Tidak Normal
Tidak Normal
Homogen
Sig.:0.050
Sig.:0.039
Gabungan (Sel+Jaringan)
782.90
502.57
Homogenitas**
Sig.:0.255
Normal
Normal
Tidak Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.006
Signifikansi Signifikan thit. = 9.972; Sig.:0.000 < 0.025 Signifikan Zhit. = -6.661; Sig.:0.000 < 0.025 Signifikanvn) thit. = 27.635; Sig.:0.000 < 0.025
Ket. *) = Kolmogorov – Smirnov tes (Normal : Sig. > 0.05) **) = Levene tes (Homogen : Sig. > 0,05) vn) = Uji-t varian berbeda (equal variances not assumed)
Bila peningkatan kemampuan penguasaan konsep (N-Gain) ditetapkan sebagai variabel bebas (independent varible) dan kemampuan mengembangkan peta konsep (skor peta konsep) sebagai variabel terikat (dependent variabel) kemudian dicari koefisien korelasinya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tinggi antara penguasaan konsep 13
dengan pengembangan peta konsep pada kedua kelompok perlakuan (PPAT dan Kontrol). Koefisien korelasi (r) untuk kelompok PPAT adalah 0.858 dan koefisien determinasi (r2) adalah 0.74. Kelompok kontrol koefisien korelasi (r) adalah 0.844 dan koefisien determinasi (r2) adalah 0.71. Berdasarkan koefisien determinasi (r2) dapat ditentukan bahwa 0.74 (74%) kemampuan mengembangkan peta konsep oleh mahasiswa kelompok PPAT disebabkan oleh kemampuan penguasaan konsep, sedangkan sisanya (26%) disebabkan oleh faktor lain. Sedangkan untuk kelompok kontrol 0.71 (71%) kemampuan pengembangan peta konsep disebabkan oleh kemampuan penguasaan konsep, sedangkan sisanya (29%) disebabkan oleh faktor lain. Hasil analisis regresi (Tabel-6) juga menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penguasaan konsep berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan mengembangkan peta konsep (Sig.<0.025). Tabel-6 : Hasil uji regresi pengaruh penguasaan konsep (N-Gain) terhadap kemampuan mengembangkan peta konsep Variabel Independen
Persamaan Regesi
Kelompok
PPAT
Y = -59.896 + 9.234X
Kontrol
Y = 283.114 + 4.837X
N-Gain
Uji-F dan Keputusan
Uji-t dan Keputusan
Fhit=78.116; Sig.:0.000<0.05 Persamaam Regresi Signifikan Fhit=69.458; Sig.:0.000<0.05 Persamaam Regresi Signifikan
thit=8.838; Sig.:0.000<0.025 Koefisien Regresi Signifikan thit=8.334; Sig.:0.000<0.025 Koefisien Regresi Signifikan
Ket. Variabel Prediktor = Skor Peta Konsep
b. Rekonstruksi Konsep Hasil analisis skor pretes dan postes menunjukkan bahwa kemampuan rekonstruksi konsep kelompok PPAT mencapai rata-rata 58.68%, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mencapai rata-rata 34.61% (Gambar-7). Hasil analisis juga menunjukkan adanya konsepsi alternatif dan konsep-konsep yang tidak dipahami pada kelompok PPAT maupun kontrol. Namun konsepsi alternatif lebih tinggi pada kelompok kontrol (rata-rata 34.71%) dibandingkan dengan kelompok PPAT (rata-rata 10.32%). Konsep-konsep yang tidak dipahami juga lebih tinggi pada kelompok kontrol (rata-rata 6.78%), sedangkan pada kelompok PPAT hanya mencapai rata-rata 2.94%. 70.00
Persentase
60.00
58.68
50.00 40.00
34.71
34.61
30.00 20.00 10.00
2.94
6.76
10.32
0.00 Rekonstruksi
Tidak Memahami
PPAT
Konsepsi Alternatif
KONTROL
Gambar-7 : Perbandingan kemampuan rekonstruksi, tidak memahami, dan konsepsi alternatif antara kelompok PPAT dan Kontrol pada konsep anatomi tumbuhan (Sel dan Jaringan) 14
Bila dilihat per konsep (sel dan jaringan) juga menunjukkan kemampuan rekonstruksi konsep lebih tinggi pada kelompok PPAT dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan konsepsi alternatif dan konsep-konsep yang tidak dipahami lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok PPAT (Tabel-7). Tabel-7 : Rekapitulasi Rekonstruksi Konsep, Tidak Memahami, dan Konsepsi Alternatif Kelompok PPAT dan Kontrol
PPAT
Rekonstruksi Rata-Rata %
Materi Kuliah
KELOMPOK
Konsepsi Alternatif Rata-Rata %
Sel
54.80
60.89
3.30
3.67
11.50
12.78
Jaringan
50.83
56.48
2.00
2.22
7.07
7.85
105.63
58.68
5.30
2.94
18.57
10.32
Sel
25.17
27.96
0.03
0.04
41.37
45.96
Jaringan
37.13
41.26
12.13
13.48
21.10
23.44
Gabungan
62.30
34.61
12.17
6.76
62.47
34.71
Gabungan KONTROL
Tidak Memahami Rata-Rata %
Hasil uji signifikansi (Tabel-8) rata-rata kemampuan rekonstruksi konsep, konsepsi alternatif, konsep yang tidak dipahami antara kelompok PPAT dan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) pada taraf kepercayaan 5% (Sig.<0.025). Tabel-8 : Hasil uji beda rata-rata Rekonstruksi, Konsepsi Alternatif Struktur, dan Tidak Memahami “Gabungan (Sel & Jaringan)” kelelompok PPAT dan Kontrol Rata-rata
Kelompok PPAT
Normalitas*
Homogenitas**
Kontrol
PPAT
Kontrol
(PPAT-Kontrol)
Normal
Normal
Tidak Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.034
Sig.:0.002
Rekonstruksi
105.63
62.30
Konsepsi Alternatif
18.57
62.47
Tidak Memahami
5.30
12.17
Normal
Normal
Tidak Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.200
Sig.:0.009
Normal
Tidak Normal
Homogen
Sig.:0.200
Sig.:0.021
Sig.:0.061
Signifikansi Signifikan vn) thit. = 21.412; Sig.:0.001 < 0.025 Signifikanvn) thit. = 25.169; Sig.:0.000 < 0.025 Signifikanvn) Zhit. = 6.113; Sig.:0.000 < 0.025
Ket. *) = Kolmogorov – Smirnov tes (Normal : Sig. > 0.05) **) = Levene tes (Homogen : Sig. > 0,05) vn) = Uji-t varian berbeda (equal variances not assumed)
Berdasarkan hasil uji signifikansi dapat diyakini bahwa kemampuan rekonstruksi konsep kelompok PPAT lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan konsepsi alternatif dan konsep yang tidak dipahami lebih rendah kelompok PPAT dibandingkan kelompok kontrol. B. Pembahasan Hasil uji signifikansi (uji-t) terhadap kemampuan awal mahasiswa (skor pretes) dalam hal pemahaman konsep atau penguasaan materi anatomi tumbuhan untuk kedua kelompok mahasiswa yaitu kelompok yang mendapat perkuliahan dengan eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama/tidak berbeda nyata (Sig.>0.025). Adapun kemampuan akhir 15
mahasiswa setelah perkuliahan diberikan pemahaman dan kemampuan rekonstruksi konsep mahasiswa kelompok eksperimen lebih unggul dibandingankan dengan kelompok kontrol. Ini ditunjukkan dari rata-rata skor gain ternormalisasi (N-Gain) dan kemampuan rekonstruksi konsep kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji signifikansi terhadap rata-rata skor gain ternormalisasi dan kemampuan rekonstruksi konsep menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berbeda nyata (Sig.<0.025) antara mahasiswa kelompok PPAT dengan kelompok kontrol. Dengan adanya perbedaan skor gain ternormalisasi dan kemampuan rekonstruksi tersebut maka cukup meyakinkan bahwa strategi perkuliahan berbasis inkuiri sangat efektif dalam meningkatkan pemahaman dan rekonstruksi konsep mahasiswa. Tingginya kemampuan pemahaman dan rekonstruksi konsep pada kelompok eksperimen sangat terkait dengan karakter pembelajaran inkuiri yang mengutamakan strategi perkuliahan dengan kegiatan diskusi, dimana mahasiswa diarahkan untuk mengkonstruksi pengetahuannya secara mandiri. Peran dosen dalam proses perkuliahan hanya sebagai fasilitator untuk mengarahkan mahasiswa untuk mengkonstruk pengetahuannya. Selain itu karakteristik perkuliahan berbasis inkuiri adalah memposisikan mahasiswa sebagai orang yang belajar, bukan sebagai orang yang diajar, serta menkondisikan suasana belajar yang menyenangkan. Kondisi tersebut bisa tercapai tidak terlepas dari upaya dosen dalam mendesain strategi pembejaran dengan mengorganisasikan komponen waktu, materi, metode, dan lingkungan atau suasana kelas yang baik, sehingga menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi pencapaian prestasi belajar (Costa, 1985). Hal senada juga dikemukakan Udovic (2002) upaya dosen untuk melakukan inovasi strategi pembelajaran ditujukan untuk dapat meningkatkan penguasaan konsep peserta didik. Kemampuan penguasaan konsep juga tercermin pada kemampuan mahasiswa dalam memetakan konsep-konsep yang dimilikinya dalam bentuk peta konsep. Mahasiswa kelompok eksperimen juga lebih unggul dalam mengembangkan peta konsep dengan skor rata-rata total mencapai 782.90 sedangkan kelompok kontrol hanya mencapai 500.73. Hasil uji signifikansi rata-rata skor peta konsep antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang nyata (signifikan) pada taraf kepercayaan 5% (Sig.<0.025). Rata-rata peningkatan penguasaan konsep (N-Gain) kelompok eksperimen dan kontrol dibarengi dengan meningkatnya kemampuan mengembangkan peta konsep. Hubungan tersebut diperkuat dari hasil analisis korelasi yang menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat antara penguasaan konsep dengan dengan kemampuan pengembangan peta konsep pada kedua kelompok mahasiswa (kelompok eksperimen dan kontrol). Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahawa kemampuan penguasaan konsep berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan mengembangkan peta konsep (Sig.<0.025) baik untuk kelompok eksperimen maupun kontrol. Dari hasil uji signifikansi yang telah diuraikan di atas, dapat diyakini bahwa strategi perkuliahan anatomi tumbuhan dengan strategi inkuiri sangat efektif tidak hanya dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan konsep, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk memetakan konsep-konsep yang dipahaminya dalam bentuk peta konsep. Diyakini pula bahwa strategi perkuliahan inkuiri sangat efektif dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa yang lebih bermakna. Hal ini terbukti mahasiswa kelompok eksperimen tidak hanya mampu meningkatkan pemahamannya
16
terhadap konsep, tetapi juga mampu memetakan konsep-konsep yang diketahuinya dalam bentuk peta konsep. Dalam teori belajar Ausabel (Dahar, 1995; Novak & Gowin, 1984; Novak, 1993; Odom & Kelly, 2001) belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Proses belajar tidak sekedar menghapal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka (root learning), namun berusaha menghubungkan konsep-konsep tersebut untuk menghasilkan pemahaman yang utuh (meaningfull learning), sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Peta konsep merupakan alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses belajar bermakna. Dengan peta konsep seorang pelajar/mahasiswa akan berusaha mengeluarkan konsep-konsep dari apa yang dipelajarinya, menempatkan konsep yang paling inklusif pada puncak peta konsep dan mengurutkan konsep-konsep lain yang kurang inklusif pada konsep yang inklusif (Novak, 1990). Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa : (1) Strategi perkuliahan berbasis inkuiri efektif untuk membekali kemampuan pemahaman dan rekonstruksi konsep anatomi tumbuhan mahasiswa calon guru biologi. (2) Strategi perkuliahan berbasis inkuiri mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan konsep anatomi tumbuhan secara menyeluruh yang ditetapkan dalam tujuan perkuliahan. (3) Strategi perkuliahan berbasis inkuiri mampu mendorong mahasiswa dalam mengkaji konsep anatomi tumbuhan secara mendalam, menggali konsep yang ingin ditemukannya, dan mampu merekonstruksi konsep-konsep yang telah dimilikinya membentuk suatu pemahaman konsep yang utuh, serta mengaitkan konsep yang didapat dengan konsep lainnya.
Daftar Pustaka Alberta (1998). Biologi 20-30 (senior High). Edmonton, Canada : Tersedia di http://www.Irc.learning.Gov.ab.ca. (2 Desember 2006). Alberta (2004). Focus on inquiry : a teacher’s guide to implementing inquiry-base learning. Edmonton, Canada : Tersedia : http://www.Irc.learning.Gov.ab.ca. (2 Desember 2006). Ausubel (1968). Educatinal Psychology : A Cognitive View. New York : Holt, Rinehart and Winston. Carin, A.A. (1997). Teaching Modern Science. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Champagne, A.B., Gunstone, R.F., & Klopfer (2003). Effecting Changes in Cognitive Structures Among Physics Student. In L.West & A.Pines (Eds.), Cognitive Structure and Conceptual Change. Orlando : Academic Press. 163-188.
17
Cheng, K.K., Thacker, B.A., & Cardenas, R.L. (2004). “Using Online Homework System Enhances Students’ Learning of Physics Concepts in an Introductory Physics Course”. American Journal of Physics. 72(11):1447-1453. Chi, M.T.H. & Roscoe, R.D. (2002). The Process and Challenges of Conceptuan Change. In. M. Limon & L. Mason (Eds.), Reconsidering Conceptual Change: Issue Theory and Practice. Dordrecht : Kluwer. 3-27. Chi, M. (1992). Conceptual Change within and Across Ontological Categories: Examples from Learning and Discovery in Science. In : R.Giere (Ed.), Cognitive Models of Science. Minnesota Studies in the Philosophy of Science. Minneapolis : University of Minnesota Press. 129-186. Cosgrove, M. & Osborne, R. (1985). Lesson Framework for Teaching Children’s Ideas. In : R.Osborne & F.P. Freyberg (Eds.), Learning in Science: The Implication of Children’n Science. Portsmounth : Heinemann. 101-111. Costa, A.L. (1985). Teacher Behavior that Enable Student Thinking (in) Costa, A.L. (Eds), Developing Mind : A Rsource Book for Teaching Thinking. Alexandria : ASDC. Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga. Dahar, R. W. (1995). Berbagai Saran untuk Meningkatkan Mutu Penelitian Pendidikan MIPA. Makalah Seminar Pengembangan Wawasan MIPA pada Pelatihan LPTK Tipe B Angkatan VI. Yogyakarta, 26 Agustus 1995. Davis, J. (2001) Conceptual Change. In M. Orey (Ed.), Emerging perspectives on learning, teaching, and technology. Tersedia : http://projects.coe.uga.edu/epltt. (28 April 2007). Depdiknas (2003). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. DiSessa, A.A. (2002). Why Conceptual Ecology is A Good Idea. In M. Limon & L. Mason (Eds.), Reconsidering Conceptual Change: Issue Theory and Practice. Dordrecht : Kluwer. 29-60. Diut, R. (1999). Conceptual Change Approaches in Science Education. In W.Schnotz, S. & Carretero (Eds.), New Perspectives on Conceptual Change. Oxford : Pergamon. 263-282. Gagné, R.M. (1985). The Condition of Learning and Theory of Instruction. New York. CBS College Publishing. Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2003). Educational Research an Introduction. Seventh edition. USA: Pearson Education Inc. 18
Guzzetti, B. & Hynd, C. (1998). Pespectives on Conceptual Change. Mahwah : Laurence Erlbaum. Hewson, P.W. (1992). Conceptual Change in Science Teaching and Teacher Education. Madrid : National Centre for Education Research, Documentation and Assessment. Kuhn, T. (1970). The Structure of Scientific Revolution. Chicago : University of Chicago Press. National Research Council/NRC (1996). National Science Educational Standard. Washington DC : National Academy Press. National Research Council/NRC (2000). Inquiry and the National Science Education Standards : A Guide for Teaching and Learning. Washington : National Academy Press. Novak, J.D. & Gowin, D.B. (1984). Learning how to Learn. Cambridge : Cambridge University Press. Novak, J.D. (1990). Concept Mapping : A Useful Tool for Science Education. Journal for Research in Science Teaching, (27):937-950. Novak, J.D. (1993). How do we Learn our Lesson. The Science Teacher, (60):50-55. NSTA and AETS (1998). Standarts for Science Teacher Preparation. National Science Teachers Association in Collaboration with the Association for Education of Teachers in Science. Oakley, L. (2004). Cognitive Development. London : Routledge Taylor & Francis Group. Odom, A. L. & Kelly, P.V. (2001). Integrating Concept Maping and the Learning Cycle to Teach Diffusion and Osmosis Concepts to High School Biology Students. Science Education, (85):615-635. Rosser, R.A. and Nicholson, G.L. (1984). Educational Psychology : Principles in Practice. Boston : Little Brown. Suping, S.M. (2003). Conceptual Change among Students in Science. SciEd Resource Assistant (ERIC) Clearinghouse for Science Mathematics and Environmental Education. Tersedia : http://www.ericse.org/~ericseorg/CD-1/CD/sciedtopics.htm (28 April 2007). Thagard, P. (2002). Conceptual Change. Princeton, NJ: Princeton Univesty Press. Udovic, D. (2002). Inquiry in Teacher Education. Tersedia : http://www.findarticles.com. (15 Juli 2006).
19
Uno, (1999). Handbook on Teaching Undergraduate Science Courses. A Survival training Manual. Orlando : Saunders College Publishing. Wandersee, J.H. (1994). Making High-tech Micrographs Meaningful to the Biology Student. In : Fensham, P., R. Gunstone, and R. White. Ed. (1994). The Content of Science (A. Constructivist Approach to its Teaching and Learnig). London : The Falmer Press. 161-176.
20