Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 8, No 2, Agustus 2009 : 121–127
Pemasaran Kentang di Aceh Tengah dan Bener Meriah : Analisis Intergrasi Pasar Suyanti Kasimin Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala
Abstract
The research aims to analize the market integration in potato in Central Aceh and Bener Meriah Regency by using Ravalion market integration model. In Central Aceh, the results showed that potatoes market integration mostly occured on downstream merchant (intertown merchant-retailer) compared to upstream merchant (farmer- collector - regency merchant). Meanwhile in Bener Meriah, pottatoes market intergration mostly occured on upstream merchant (not include farmer), which is collector merchant- regency merchant.
Keywords : Market Integration, Potatoes, Downstream Merchant, Upstream Merchant
Analisis keterpaduan pasar diperlukan untuk melihat apakah perubahan harga produk di pasar produsen akan mempengaruhi perubahan harga di pasar konsumen. Keterpaduan pasar sulit terjadi akibat tersekatnya informasi harga dan terhambatnya distribusi barang. Akibat tersekatnya informasi dan distribusi barang tersebut maka akan menyebabkan inefisiensi dalam pemasaran (Deliana, 2004: 11; Saptana, dkk, 2004b; Darmawan dan Pasandaran, 2005). Hingga analisis keterpaduan pasar di perlukan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan mengurangi resiko kerugian produsen dan konsumen karena bias dalam pengambilan keputusan. Pengembangan komoditas hortikultura meningkat dengan pesat sesuai dengan peningkatan kebutuhan konsumen akan produk hortikultura dan perlunya sistem pemasaran yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dengan efisien dan responsif. Kentang (Solanum tuberosum L.) prospektif untuk dikembangkan karena permintaannya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sebagai bahan pangan bergizi tinggi, sebagai bahan baku industri pengolahan pangan, sebagai komoditi ekspor non migas, dan sebagai sumber pendapatan petani. Kentang menempati urutan ke empat komoditi penting dunia setelah padi, gandum dan jagung dalam hal produksi dan nilai ekonomi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2005). Pemasaran kentang yang kurang efisien mengakibatkan biaya pemasaran tinggi dan akan dibebankan pada konsumen atau produsen. Kondisi negara Indonesia yang berbentuk kepulauan mengakibatkan integrasi pasar sulit terjadi. Fasilitas transportasi darat dan laut masih sangat kurang, usahatani dalam skala kecil dan tersebar akan menyulitkan proses penyatuan pengambilan keputusan dan terpisahnya kawasan sentra produksi dengan sentra konsumsi dan menyebabkan tingginya biaya pemasaran, sulitnya aliran informasi, dan bangun usahatani yang semakin tersekat-sekat (Intal dan Ranit, 2001). Untuk itu perlu diteliti analisis
122 keterpaduan pemasaran kentang di daerah sentra produksi kentang yaitu di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Metode Penelitian Lokasi dan Objek dan Ruang Lingkup Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Objek penelitian adalah pelaku pengembangan usahatani kentang meliputi : petani dan pedagang perantara, serta karakteristik pemasaran lainnya. Metoda Pengambilan Sampel Dengan asumsi karakteristik petani homogen (Widi, 2007), maka tiap kabupaten diambil sampel dengan jumlah yang sama yaitu 50 orang petani dari 2 kecamatan terpilih, dan tiap kecamatan diambil 25 orang petani dari 2 desa terpilih. Jumlah kecamatan dalam penelitian ini 4 kecamatan dan 8 desa. Penentuan sampel pedagang perantara dilakukan dengan Metoda Snow Ball (metoda penjemputan bola bergulir), yaitu informasi bergulir dari petani, pedagang I dan seterusnya sampai pengecer. Jumlah sampel pedagang perantara adalah 40 orang, dengan rincian : 8 pedagang pengumpul, 8 pedagang kabupaten, 8 pedagang antar kota dan 16 pengecer. Model Analisis Alat analisis yang digunakan untuk menguklur keterpaduan pasar adalah Integrasi Pasar Ravalion (1986). Timmer (1984) dan Ravalion (1986) menggunakan Index of Market Connection (IMC) sebagai ukuran keterpaduan pasar komoditi pertanian (Laping, 1997; Oladapo dan Momoh, 2007) sebagai berikut:
IMC dimana;
Maka:
(1 b1 ) (b3 b1 )
(1 b1 ) 1 , b2 2
dan
(b3 b1 ) 3
dan dengan mengabaikan X
Pit 0 1 Pit 1 2 ( Pt Pt 1 ) 3 Pt 1 it
Dengan demikian:
IMC
1 2
Pit
Harga pada tempat i dan waktu t
0 =
Constant term
Pt
Harga referensi waktu t
1 =
Coefficient harga lag pada tempat i
Pt 1
Lag harga referensi
2 =
Coefficient dari Pt Pt 1 Suyanti Kasimin
123 Pt Pt 1 =
Perb harga referensi dengan lagnya.
3 = it =
Coef. lag harga referensi Error term
Selanjutnya, Oladapo dan Momoh (2007) mengklarifikasikan IMC menurut derajat integrasinya sebagai berikut:
IMC < 1 : High short-run market integration IMC > 1 :Low short-run market integration IMC : No market integration IMC = 1 : High or low short-run integration (theoretically) Untuk dapat menghitung IMC tersebut, dilakukan pengamatan harga dengan waktu pengamatan selama 30 minggu, dimulai bulan Agustus 2006 sampai dengan Maret 2007, pada Pasar di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Pasar Kabupaten Bireun, Pasar Kota Lhokseumawe, Pasar Indrapuri, dan Pasar Kota Banda Aceh. Hasil dan Pembahasan Keterpaduan Pasar di Kabupaten Aceh Tengah Berdasarkan hasil analisis, terlihat ada keterpaduan pasar kentang di Kabupaten Aceh Tengah, terlihat dari nilai Fhitung > Ftabel, yang berarti model signifikan pada α = 0,01 dengan tingkat kepercayaan 99 %. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan adanya variasi keterpaduan pasar pada beberapa level pelaku pemasaran kentang di Kabupaten Aceh Tengah dengan nilai IMC 0,66 sampai 1,72 terlihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Hasil Perhitungan Analisis Keterpaduan Pemasaran Kentang di Kabupaten Aceh Tengah Uraian Petani dan Pedagang pengumpul Pedagang Pengumpul dan Pedagang Kabupaten Pedagang Kabupaten dan Pedagang Antar Kota Pedagang Antar Kota dan Pengecer
F model 1026,648 798,727 902,037 380,598
Nilai pmodel 0,4017 ns 0,1569 ns 0,0005 0,0061
IMC 1,72 1,72 0,85 0,66
Keterpaduan pasar jangka pendek derajat tinggi terjadi antara pedagang kabupaten dengan pedagang antar kota, serta antar pedagang antar kota dengan pengecer (IMC < 1), sedangkan pada petani - pedagang pengumpul - pedagang kabupaten terjadi integrasi harga derajat rendah (IMC > 1). Ini berarti ketika terjadi perubahan harga pada salah satu pelaku tidak dengan segera berdampak pada perubahan harga pada pelaku yang lain. Nilai p model yang tidak signifikan ( 0,4017 dan 0,1569) pada level petani – pedagang pengumpul dengan pedagang kabupaten menunjukkan bahwa memang integrasi pasar antar petani dan pedagang pengumpul dan pedagang kabupaten di Aceh Tengah terintegrasi dengan derajat lemah.
Suyanti Kasimin
124 Laping (1997), menyatakan respon harga dengan segera (integrasi jangka pendek derajat tinggi) hanya dapat terjadi jika infrastruktur trasportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Selama faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka respon harga dengan segera tersebut sukar untuk dapat terwujud. Di Kabupaten Aceh Tengah, infrastruktur transportasi, sistem informasi harga, fasilitas pasar desa dan pasar yang transparan relatif belum tersedia secara memadai. Infastruktur transportasi dari kebun petani ke ibu kota kecamatan dan kabupaten relatif masih sangat buruk, sehingga aksesibilitas ke dan dari sentra produksi petani relatif sulit. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas dasar dari pasar desa juga relatif belum tersedia. Umumnya petani melakukan transaksi kentang di lahan pertanian mereka sendiri. Sedikit saja transaksi tersebut lama dilakukan hampir dapat dipastikan kualitas kentang produksi petani akan menurun. Sistem informasi harga yang mestinya dibangun oleh pemerintah juga belum tersedia. Di samping itu, sifat komoditi pertanian yang bersifat musiman, banyak pelaku yang terlibat, fluktuasi harga yang tinggi, perbedaan waktu, tempat, dan kepemilikan, menyebabkan integrasi pasar juga sulit terjadi (Saptana, dkk, 2004). Fluktuasi harga dipengaruhi oleh jumlah pasokan yang keluar dan masuk ke pasar. Struktur pasar yang oligopsoni pada pasar jeruk di Kalimantan juga menjadi penyebab rendahnya integrasi harga di tingkat petani, pedagang pengumpul. dan pedagang kabupaten (Rahman, 1992). Integrasi harga yang relatif tinggi dapat terjadi pada pedagang pengumpul, pedagang antar kota, dan pengecer, karena sarana transportasi yang sudah baik di tingkat kabupaten dan provinsi, kemudahan dan kelancaran komunikasi di antara mereka, dan akses yang lebih baik terhadap pasar alternatif sebagai pembanding harga. Sitorus (2003) dan Adiyoga (2006) mengatakan bahwa pasar kentang yang terintegrasi akan membantu produsen dan konsumen melalui transmisi sinyal harga dengan benar, memudahkan pengambilan keputusan dan penurunan biaya pemasaran. Oladapo dan Momoh (2007) mengatakan bahwa pasar yang efisien akan memiliki integrasi harga yang baik. Jaminan aliran informasi yang baik antar pasar yang terpisah akan memudahkan terjadinya integrasi antar pasar tersebut. Adanya keterpaduan pasar juga menunjukkan transmisi harga yang baik antara pelaku. Hal ini dapat terjadi karena kedekatan hubungan dan pola komunikasi yang baik antar pelaku. Komunikasi yang baik antar pelaku menunjukkan adanya kerjasama dan kepuasan di antara mereka dan sebaliknya. Keterpaduan Pasar di Kabupaten Bener Meriah Derajat keterpaduan pasar kentang di Kabupaten Bener Meriah sebahagian besar memperlihatkan integrasi jangka pendek rendah, dimana hanya pada level pedagang pengumpul – pedagang kabupaten yang terjadi integrasi harga derajat tinggi ( IMC < 1 ), sedangkan pada pelaku lainnya terjadi integrasi harga derajat rendah, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Suyanti Kasimin
125 Tabel 2 : Hasil Perhitungan Analisis Keterpaduan Pasar Tataniaga Kentang di Kabupaten Bener Meriah Uraian Petani dan Pedagang pengumpul Pedagang Pengumpul dan Pedagang Kabupaten Pedagang Kabupaten dan Pedagang Antar Kota Pedagang Antar Kota dan Pengecer
Fmodel 500,969 378,124 551,839 609,162
Nilai pmodel 0,0977 ns 0,0082 0,0281ns 0,0480ns
IMC 3,80 0,71 42,2 4,38
Berdasarkan Tabel 2 di atas, terlihat bahwa integrasi pasar jangka pendek derajat tinggi terjadi pada pedagang pengumpul dan pedagang kabupaten dengan nilai IMC < 1 dan berpengaruh secara signifikan. Hal ini dapat terjadi karena kuatnya hubungan antara pedagang pengumpul dengan pedagang kabupaten di Kabupaten Bener Meriah, yaitu merupakan 1 pelaku atau berada dalam satu jalur bisnis yang kuat dengan hubungan kerabat yang dekat. IMC pada petani dan pedagang perantara terlihat memiliki integrasi harga derajat rendah (IMC > 1) dan model berpengaruh secara tidak signifikan. Model yang tidak signifikan menunjukkan rendahnya integrasi harga di tingkat petani dan pedagang perantara. Ini berarti ketika terjadi perubahan harga pada salah satu pelaku tidak dengan segera berdampak pada perubahan harga pada pelaku yang lain. Sebagaimana halnya di Kabupaten Aceh Tengah rendahnya integrasi pasar dalam jangka pendek antara petani dengan pedagang pengumpul dapat diterima. Persoalan infrastruktur transportasi yang relatif masih kurang bagus, fasilitas dasar pasar desa yang belum tersedia, sistem informasi harga dan pasar yang transparan yang belum terbangun juga ditemukan di Kabupaten Bener Meriah sehingga respon harga antar pelaku ini juga tidak dengan segera dapat terwujud. Akibatnya petani relatif tidak mendapat perubahan harga dengan segera meskipun ada perubahan harga pada tingkat pengumpul. Rendahnya integrasi harga di level petani dan pedagang pengumpul pada Kabupaten Bener Meriah, karena tersumbatnya aliran informasi dari pedagang pengumpul terhadap petani. Penjelasan sebelumnya tentang hubungan yang kurang baik antara petani (yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul dan pedagang kabupaten) dengan petugas penyuluh lapangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dalam pengembangan usahatani kentang di Kabupaten Bener Meriah serta pengaruh komoditi kentang sebagai komoditi yang bersifat politis (karena jumlahnya yang banyak dan nilai jual kentang yang relatif besar dan melibatkan banyak jumlah petani), maka banyak terjadi penyumbatan komunikasi antar pelaku karena perebutan penguasaan keuntungan dari usahatani kentang di kabupaten ini, hingga integrasi harga di tingkat petani sulit terjadi. Tingginya biaya pemasaran yang harus ditanggung petani, harga jual kentang yang terlalu rendah, sistem pembelian sarana produksi secara kredit yang mengikat petani, juga menyebabkan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan petani terhadap pedagang pengumpul, dan menyulitkan komunikasi di antara mereka, hingga integrasi harga sulit terjadi. IMC antara pedagang kabupaten, pedagang antar kota dan pengecer di Kabupaten Bener Meriah ditemukan lebih besar 1. Artinya integrasi pasar pada pelaku ini juga mempunyai derajat rendah, Hal ini disebabkan karena tersumbatnya aliran informasi dari pasar Suyanti Kasimin
126 referensi, kurangnya pelayanan pasar kabupaten, (Oladapo dan Momoh, 2007), jarak pasar yang terlalu jauh (400 km) dan terpisahnya kawasan sentra produksi dengan sentra konsumsi, menyebabkan biaya pemasaran tinggi, dan efisiensi pemasaran rendah, serta bangun usahatani yang tersekat-sekat juga menjadi penyebab sulitnya terjadi integrasi harga, sebagaimana juga ditemukan oleh Intal dan Ranit (2001) pada pemasaran sayuran di Pilipina. Ketergantungan yang relatif rendah terhadap kentang asal NAD, adanya sumbatan komunikasi antara pedagang perantara juga menjadi penyebab rendahnya integrasi harga yang terjadi antara pedagang antar kota dan pengecer (IMC >1). Integrasi pasar yang tidak terintegrasi dengan baik akan menyebabkan efisiensi pemasaran rendah dan akan menghambat pengembangan agribisnis kentang di NAD. Pemasaran kentang di Kabupaten Bener Meriah lebih menguntungkan bagi pedagang kabupaten dan pedagang antar kota, tidak bagi petani dan pedagang pengumpul. Secara umum terlihat bahwa keterpaduan pasar relatif rendah, dimana rendahnya nilai keterpaduan pasar menunjukkan terhambatnya informasi, komunikasi dan hubungan kerjasama yang kurang baik antar pelaku. Masalah hubungan antar pelaku terlihat banyak timbul di tingkat petani, pedagang pengumpul, dan pedagang kabupaten. Di tingkat pedagang antar kota dan pengecer hubungan komunikasi dan negosiasi lebih baik, serta alternatif memilih mitra kerja lebih mudah, tetapi karena ketergantungan antar pelaku relatif rendah, maka komunikasi yang terjadi tidak transparan, sehingga menyulitkan terjadinya integrasi harga dengan baik. Kesimpulan dan Saran 1. Keterpaduan pasar kentang di Aceh Tengah lebih terjadi pada pedagang hilir dibanding kan pada pedagang hulu. Sebaliknya, keterpaduan pasar kentang di Kabupaten Bener Meriah lebih terjadi pada pedagang hulu (tidak termasuk petani) dibanding pada pedagang hilir. 2. Keterpaduan harga tinggi dapat terjadi karena adanya infrastruktur transfortasi dan komunikasi, adanya fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang trasparan sudah terbangun dengan baik dan adanya akses yang tinggi terhadap pasar alternatif. 3. Peningkatan integrasi harga dapat dilakukan melalui : Perbaikan sistem pembayaran yang lebih menyenangkan bagi kedua belah pihak, transparansi pembentukan harga jual, perbaikan manajemen pemasaran dan perbaikan fungsi pasar.
Suyanti Kasimin
127 Referensi
Adiyoga Witono, Keith O. Fuglie, Rachman Suherman. 2006. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia: Analisis Korelasi dan Kointegrasi. Jurnal Informatika Pertanian. Volume 15. 2006. Darmawan A Delima dan Pasandaran Effendi, 2005. Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen pertanian. Deliana, Yosini., 2004. “Dampak Koordinasi Vertikal Pedagang Besar dan Pabrik Pakan Ternak pada Harga Yang Diterima Petani dan Konsumen Institusional (Kasus pada Komoditas Jagung di Jawa Timur)”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. 2005. Peta Kawasan Sayuran Profil Komoditi Kentang di Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. Bandung. Intal Jr Ponciano S and Ranit Osman Luis. 2001. “Literature Review of the Agricultural Distribution Service Sector : Performance, Efficiency and Research Issues”. Discussion Paper Series No.2001-14. Philippine Institute for Development Studies. Makati City. Philippines. Laping Wu. 1997. ”Food Price Differences and Market Integration in China”. College of Economics and Management. China Agricultural University. Oladapo Moshood O dan S Momoh. 2007. Food Price Differences and Market Integration in Oyo State. Departement of Agricultural Economics and Farm Management. University, of Agricultural. Abeokuta. Nigeria. Rahman, 1992. Analisa Keragaan Dan Efisiensi Sistem Tataniaga Jeruk Siam (Citrus nabilis) Pontianak. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, IPB. Bogor. Saptana, Siregar M, Wahyuni S, Dermoredjo SK, Ariningsih E dan Darwis V. 2004a. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Saptana, Supena Priyatno, dan Tri Purwantini. 2004b. Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sitorus Edyanto. 2003. Keterpaduan Pasar Tuna Segar Benoa Bali, Indonesia. dan Pasar Central Tuna Tokio, Jepang. Program Magíster Agribisnis Universitas Udayana. Bali. Widi Idha Arsanti, Michael H Bohme dan Hans E Jahnke. 2007. Resource Use Efficiency and Competitiveness of Vegetable Farming Systems in Upland Areas of Indonesia. Conference on International Agricultural Research for Development. University of Kassel-Witzenhausen dan University of Gottingen. German Suyanti Kasimin