PEMANFAATAN TEPUNG JERAMI NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lmk.) DALAM PEMBUATAN COOKIES TINGGI SERAT
YULAN ISNAHARANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT YULAN ISNAHARANI. Utilization of Jackfruit Straw Flour in High Fiber Cookies Production. (Supervised by Dadang Sukandar and Eddy Setyo Mudjajanto) The objective of this research is to Develop Formula of Jackfruit Straw Flour in High Fiber Cookies Production. Straw is the part of jackfruit that unutilized. The process of jackfruit straw flour production involve cleaning the straw, blanching, soaking in sodium metabisulphyte, grinding the straw, dehidrying with drum drier, and milling the flour to reduce the size. The density kamba of the flour is 0,17 g/ml, and its yield is 11,78%. The jackfruit straw flour consists of 6,68% water; 4,38% ash; 7,86% protein; 6,13% fat; 81,6% carbohydrate; 16,72% soluble dietary fiber (SDF); 33,57% insoluble dietary fiber (IDF); and 50,29% total dietary fiber (TDF). Cookies is made by adding some jackfuit straw flour in order to fill high fiber condition, that is containing 6 g fiber per 100 g. The formulas are F0 (control), F1 (with 8% or 19 g jackfruit straw flour), F2 (with 9,5% or 23 g jackfruit straw flour), and F3 (with 11% or 27 g jackfruit straw flour). Total dietary fiber cookies ranging from 2,83%-12,72%. Addition of jackfruit straw flour has real effect to decrese quality of colour, aroma, taste, and texture of cookies. Addition of jackfruit straw flour has real effect to decerase acceptance of colour, taste, and texture of cookies. Additon of jackfruit straw flour has real effect to increase protein, SDF, IDF, and TDF content of cookies. Keyword: Jackfruit, Straw, Fiber, Flour, Cookies
RINGKASAN YULAN ISNAHARANI. Pemanfaatan Tepung Jerami Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) dalam Pembuatan Cookies Tinggi Serat (di bawah bimbingan Dadang Sukandar dan Eddy Setyo Mudjajanto) Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pemanfaatan tepung jerami nangka dalam pembuatan cookies tinggi serat. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk (1) Mempelajari proses pembuatan tepung jerami nangka, (2) Menganalisis sifat fisik dan kimiawi tepung jerami nangka, (3) Mengembangkan formulasi cookies jerami nangka, (4) Menguji daya terima (hedonik dan mutu hedonik) panelis terhadap cookies jerami nangka yang dihasilkan, serta (5) Menganalisis sifat kimia cookies jerami nangka yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB, serta Laboratorium Pilot Plan, PAU, IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai September 2009. Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yakni penelitian pendahuluan dan lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari tepung jerami nangka. Penelitian lanjutan meliputi uji organoleptik, yang terdiri dari hedonik dan mutu hedonik cookies dengan parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia cookies yang terdiri dari kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference, serta serat makanan. Proses pembuatan tepung jerami nangka meliputi pembersihan dan pemilahan jerami nangka, blanching, perendaman dengan natrium metabisulfit, penggilingan jerami nangka, pengeringan dengan drum drier, dan penggilingan tepung. Tepung jerami nangka yang diperoleh kemudian diuji sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diukur adalah densitas kamba dan rendemen tepung. Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung jerami nangka yakni kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference, dan serat makanan. Formulasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah tepung jerami nangka ke dalam adonan cookies. Batas minimal penambahan agar memenuhi klaim tinggi serat dengan syarat cookies mengandung serat lebih dari atau sama dengan 6 gram per 100 gram bahan (Departement of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health, Singapore 1999 diacu dalam Johantika 2003). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor, yakni tepung jerami nangka dengan 4 taraf penambahan, yakni 0% (0 gram); 8% (19 gram); 9,5% (23 gram); dan 11% (27 gram). Data yang diperoleh dari hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase penerimaan panelis. Persentase penerimaan panelis ditentukan dengan cara menghitung persentase panelis yang dapat menerima produk, yaitu (4) agak suka, (5) suka, dan (6) sangat suka. Data organoleptik kemudian dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel organoleptik. Apabila data yang dihasilkan berbeda nyata antar perlakuan, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Data yang diperoleh dari hasil analisis sifat kimia cookies dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila hasil analisis data berbeda nyata antar perlakuan, maka dilakukan uji regresi. Keseluruhan data diolah menggunakan SPSS 13.0 for Windows dan Microsoft Excel 2007.
Sifat fisik tepung jerami nangka yang diuji adalah densitas kamba dan rendemen. Densitas kamba tepung jerami nangka adalah 0,17 g/ml, sementara rendemennya adalah 11,78%. Tepung jerami nangka memiliki kadar air 6,68% (bb); kadar abu 4,38% (bk); kadar protein 7,86% (bk); kadar lemak 6,13% (bk); kadar karbohidrat 81,6% (bk); kadar serat larut air 16,72% (bk); kadar serat tidak larut air 33,57% (bk), dan kadar serat makanan total 50,29% (bk). Formulasi cookies dibuat dengan menambahkan sejumlah tepung jerami nangka dalam adonan dasar cookies. Formula tersebut antara lain F0 (kontrol); F1 (penambahan 8% atau 19 gram tepung jerami nangka); F2 (cookies dengan penambahan 9,5% atau 23 gram tepung jerami nangka); dan F3 (cookies dengan penambahan 11% atau 27 gram tepung jerami nangka). Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur cookies (p<0,05). Semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, maka warna cookies semakin gelap, aroma nangka pada cookies semakin harum, rasa cookies semakin tidak enak, serta teksturnya semakin keras. Hasil uji hedonik untuk parameter warna, rasa, dan tekstur menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis (p<0,05). Semakin banyak penambahan tepung jerami nangka cenderung menurunkan penerimaannya. Hanya parameter aroma pada uji hedonik yang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada penerimaan panelis dengan adanya penambahan tepung jerami nangka. Kisaran hasil uji kimia pada cookies antara lain kadar air 2,30%-3,51% (bb); kadar abu 2,31%-2,43% (bk); kadar protein 6,82%-7,84% (bk); kadar lemak 28,83%-30,62% (bk); kadar karbohidrat 59,33%-65,24% (bk); kadar serat larut air 1,83%-5,38% (bk); kadar serat tidak larut air 0,99%-7,34% (bk); serta kadar serat makanan total 2,83%-12,72% (bk). Penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata pada kadar protein, kadar serat larut air, kadar serat tidak larut air, serta kadar serat makanan total (p<0,05), yakni semakin banyak penambahan tepung cenderung meningkatkan kadar-kadar tersebut. Minimal tepung jerami nangka yang dapat ditambahkan ke dalam cookies untuk memenuhi syarat produk tinggi serat adalah 12,22 gram.
PEMANFAATAN TEPUNG JERAMI NANGKA (Artocarpus heterophyllus Lmk.) DALAM PEMBUATAN COOKIES TINGGI SERAT
YULAN ISNAHARANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Pemanfaatan Tepung Jerami Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) dalam Pembuatan Cookies Tinggi Serat Nama
: Yulan Isnaharani
NIM
: I14051896
Disetujui Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dadang Sukandar, MS. NIP. 19592507 198609 1 001
Ir. Eddy Setyo Mudjajanto NIP. 19601119 198803 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Feja Yudani dan Elly Hartiningsih. Pendidikan penulis dimulai dari TK Islam Al Hasanah pada tahun 1991 sampai 1993 dan dilanjutkan di SD Islam Al Hasanah sampai tahun 1999. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Tangerang dan tahun 2005 penulis melanjutkan di SMU Negeri 2 Tangerang. Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada program mayor minor, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota Divisi Organoleptik Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi dan Pertanian (HIMAGITA) periode 2006/2007 serta sebagai sekretaris Klub Organoleptik dan Kulinari Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) pada periode 2007/2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan organisasi kemahasiswaan baik skala kampus maupun skala nasional, seperti seminar FRESH, NICE, Pelatihan Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah melakukan Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2009. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Dietetika Penyakit Infeksi dan Defisiensi Gizi serta Analisis Zat Gizi Mikro.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul, “Pemanfaatan Tepung Jerami nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) dalam Pembuatan Cookies Tinggi Serat”. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MS dan Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi. 3. Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku dosen pembimbing akademik. 4. Pak Mashudi dan Pak Nurwanto selaku laboran yang telah membantu selama kegiatan penelitian. 5. Bapak, Ibu, Mas Aldy dan Azil yang sudah mendoakan dan menyemangati penulis selama ini. 6. Teman-teman Paceter’z (Dede, Nien, Rettha, Itong, Ardi, Jesa, Utew, dan Martha) dan teman-teman Gizi Masyarakat ’42 lainnya, terima kasih atas kebersamaan dan persahabatannya. Teman-teman Gizi Masyarakat ’40, 41, 43, dan 44 serta teman-teman di Ananda 2. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua.
Bogor, November 2009 Yulan Isnaharani
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………
vii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………
viii
PENDAHULUAN …………………………………………………………………..
1
Latar Belakang ……………………………………………………………..
1
Tujuan Penelitian …………………………………………………………..
3
Kegunaan Penelitian ………………………………………………………
3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………….
4
Nangka ……………………………………………………………………..
4
Tepung Jerami Nangka …………………………………………………..
6
Cookies ……………………………………………………………………..
9
Serat Makanan …………………………………………………………….
16
METODOLOGI ……………………………………………………………………..
19
Waktu dan Tempat ………………………………………………………..
19
Bahan dan Alat …………………………………………………………….
19
Metode Penelitian …………………………………………………………
19
Rancangan Percobaan …………………………………………………...
22
Pengolahan dan Analisis Data …………………………………………..
26
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………………
27
Pembuatan Tepung Jerami Nangka ……………………………………..
27
Sifat Fisik Tepung Jerami Nangka ……………………………………….
28
Sifat Kimia Tepung Jerami Nangka …………………………………….
28
Formulasi Cookies …………………………………………………………
30
Karakteristik Organoleptik Cookies ………………………………………
30
Sifat Kimia Cookies Jerami Nangka ……………………………………..
40
Takaran Saji Cookies ……………………………………………………...
46
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………
47
Kesimpulan …………………………………………………………………
47
Saran ………………………………………………………………………..
48
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
49
LAMPIRAN …………………………………………………………………………
52
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan komposisi kimia buah dan jerami nangka …………………..
6
2 Komposisi kimia jerami nangka muda ………………………………………..
6
3 Syarat mutu cookies (SNI No. 01-2973-1992) ……………………………….
10
4 Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies …………………………
20
5 Kandungan zat gizi tepung jerami nangka ……………………………………
29
6 Formula cookies ………………………………………………………………….
30
7 Distribusi frekuensi penilaian mutu warna cookies
..
31
8 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu warna cookies ……………………….
32
9 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap warna cookies ………….
33
10 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis pada warna cookies..
33
11 Distribusi frekuensi penilaian mutu aroma cookies …………………………..
34
12 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu aroma cookies ………………………
34
13 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap aroma cookies …………
35
14 Distribusi frekuensi penilaian mutu rasa cookies …………………………….
36
15 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu rasa cookies …………………………
36
16 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap rasa cookies ……………
37
17 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis pada rasa cookies
37
18 Distribusi frekuensi penilaian mutu tekstur cookies ………………………….
38
19 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu tekstur cookies ………………………
38
20 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap rasa cookies ……………
39
21 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis pada tekstur cookies
39
22 Kadar air cookies ………………………………………………………………...
40
23 Kadar air cookies ………………………………………………………………...
40
24 Kadar protein cookies …………………………………………………………...
41
25 Kadar lemak cookies …………………………………………………………....
42
26 Kadar karbohidrat cookies ……………………………………………………...
43
27 Kadar serat larut air cookies …………………………………………………....
43
28 Kadar serat tidak larut air cookies …………………………………………......
44
29 Kadar serat makanan total cookies …………………………………………....
45
DAFTAR GAMBAR 1 Tahap pembuatan tepung jerami nangka dengan drum dryer ……………
20
2 Tahap pembuatan cookies ……………………………………………………
21
3 Contoh hasil pengacakan menggunakan Microsoft Excel …………………
25
4 Tepung jerami nangka ………………………………………………………….
28
5 Cookies jerami nangka yang dihasilkan ……………………………………...
31
6 Kurva regresi kadar protein ……………………………………………………
42
7 Kurva regresi kadar serat larut air …………………………………………….
44
8 Kurva regresi kadar serat tidak larut air ………………………………………
45
9 Kurva regresi kadar serat makanan total …………………………………….
46
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemajuan zaman yang semakin pesat telah berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia, mulai dari pola makan yang tidak sehat sampai kurangnya aktivitas fisik. Salah satunya kebiasaan mengonsumsi jajanan dan camilan yang tinggi lemak dan rendah serat namun tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup. Kebiasaan ini terutama terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkotaan. Mereka lebih memilih untuk mengonsumsi makanan yang cepat dan praktis, seperti makanan cepat saji yang sebagian besar merupakan pangan hewani. Seringnya mengonsumsi pangan hewani yang tidak diimbangi dengan pangan nabati membuat asupan serat seseorang menjadi rendah. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit, seperti kegemukan, obesitas, konstipasi, dan lain-lain. Serat merupakan zat penting yang kurang diperhatikan konsumsinya. Hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan bahwa konsumsi serat ratarata penduduk Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 10,5 gram per hari. Angka konsumsi tersebut tentu masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari) (Depkes 2008). Ini berarti konsumsi serat penduduk Indonesia hanya sekitar sepertiga dari yang dianjurkan. Bahan makanan sumber serat, yang berupa sayuran dan buah-buahan, kurang disukai sebagian masyarakat. Selain kurang praktis, tidak tahan lama, bahan tersebut juga dianggap kurang bervariasi, terutama dalam pengolahannya. Sayuran misalnya, pengolahan biasanya hanya sebatas di rumah tangga. Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di dalam tubuh. Mengonsumsi serat diperlukan untuk menjaga kesehatan pencernaan karena mampu mengikat zat racun, kolesterol, dan kelebihan lemak sehingga dapat mencegah berkembangnya sumber penyakit. Kelebihan lain serat ialah dapat mencegah obesitas, menghambat penyerapan lemak oleh usus, serta memperlama rasa kenyang sehingga dapat menekan keinginan makan. Penyakit-penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker kolon, penyakit divertikulosis, jantung koroner, stroke, serta batu empedu juga dapat dicegah dengan mengonsumsi serat pangan secara tepat (Setiadi 2007).
Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) adalah jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi juga dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Tanaman ini dapat dikatakan berbuah sepanjang tahun, walaupun produksi terbanyak pada bulan Oktober sampai Desember.
Bagian
dari
tanaman
nangka yang paling
banyak
dimanfaatkan adalah buahnya. Buah nangka terdiri atas daging buah, biji, jerami, dan kulit. Daging buah nangka yang telah matang memiliki rasa yang manis dan aroma yang khas sehingga banyak dikonsumsi secara langsung atau dibuat manisan. Biji nangka juga biasa dikonsumsi dengan direbus atau dibakar. Jerami atau dami nangka merupakan bagian dari buah nangka yang masih kurang dimanfaatkan. Biasanya jerami nangka hanya dijadikan pakan ternak namun lebih sering dibuang begitu saja. Padahal jerami nangka ini memiliki kandungan serat yang cukup tinggi. Menurut Muchtadi (1981) diacu dalam Novandrini (2003), jerami nangka memiliki sifat fisik maupun kimiawi yang diduga hampir sama dengan buahnya. Kandungan serat kasar jerami nangka sekitar 1,94% sementara daging buahnya adalah 1,58%. Menurut Novandrini (2003), kandungan serat makanan total jerami nangka muda adalah 76,58% bk (berat kering). Cookies merupakan salah satu jenis biskuit atau kue kering dan umumnya dikonsumsi sebagai camilan atau kudapan. Cookies banyak disukai oleh masyarakat karena rasanya yang enak dan cenderung manis, teksturnya yang renyah namun lembut di mulut serta pembuatannya yang cukup mudah. Cookies juga dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama sehingga lebih praktis dan dapat dikonsumsi kapan saja. Adonan cookies biasanya tinggi lemak namun tidak diimbangi dengan keberadaan serat. Oleh karena itu pembuatan cookies dengan penambahan tepung jerami nangka dapat dijadikan solusi.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemanfaatan tepung jerami nangka dalam pembuatan cookies tinggi serat. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari proses pembuatan tepung jerami nangka. 2. Menganalisis sifat fisik dan kimiawi tepung jerami nangka. 3. Mengembangkan formulasi cookies jerami nangka. 4. Menguji daya terima (hedonik dan mutu hedonik) panelis terhadap cookies jerami nangka yang dihasilkan. 5. Menganalisis sifat kimia cookies jerami nangka yang dihasilkan.
Kegunaan Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperkenalkan
kepada
masyarakat cookies tinggi serat yang terbuat dari tepung jerami nangka. Selain rasanya yang enak juga kandungan serat yang baik untuk kesehatan sehingga dapat dijadikan alternatif makanan oleh masyarakat. Diharapkan juga produk ini dapat membantu memenuhi kebutuhan serat harian serta meningkatkan nilai ekonomis jerami nangka yang kurang banyak dimanfaatkan.
TINJAUAN PUSTAKA Nangka Nangka merupakan tanaman asli India yang kini telah menyebar ke seluruh dunia, terutama Asia Tenggara. Nangka dibagi menjadi dua jenis, yakni: 1. Artocarpus heterophyllus Lmk. atau Artocarpus integer Merr. yang biasa disebut nangka, dan 2. Artocarpus champeden (Lour) Stokes atau Artocarpus integrifolia Lf yang biasa disebut cempedak. Cempedak memiliki bulu kasar pada daunnya, sedangkan nangka tidak (Sunaryono 2005). Sifat Botani Menurut Sunaryono (2005), nangka merupakan tanaman hutan yang pohonnya dapat mencapai tinggi 25 meter. Seluruh bagian tanaman bergetah, yang biasa disebut pulut. Daunnya bulat, lonjong, dan lebar. Kayunya keras, apabila telah tua berwarna kuning sampai kemerahan. Bunganya ada dua macam, yakni bunga jantan dan bunga betina. Nangka sebenarnya merupakan tanaman tropika dataran rendah, tetapi tanaman ini dapat pula tumbuh di dataran tinggi yang beriklim dingin. Pohon ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang paling baik adalah pada tanah endapan dalam (Lembaga Biologi Nasional 1977). Sunaryono (2005) menambahkan, tanaman nangka baik dikembangkan di dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter. Daerah tersebut sebaiknya beriklim basah sampai agak kering dengan kedalaman air tanah antara 50-200 cm. Tempat yang terbaik untuk tanaman nangka pada ketinggian 200-600 m. Nangka diperbanyak dengan bijinya. Perbanyakan dapat pula dilakukan dengan cangkok. Nangka berbuah sepanjang tahun, tetapi produksi buah yang tinggi dicapai sekitar bulan Oktober sampai Desember (Lembaga Biologi Nasional 1977). Menurut Pantastico (1986), ciri-ciri buah nangka yang dapat dipanen yakni: 1. Diperolehnya suara rendah, seperti yang biasanya didapatkan dari benda-benda berongga, jika buahnya diketuk dengan jari 2. Daun terakhir pada tangkai buah telah menguning 3. Duri-duri kulit telah berkembang penuh dan berjauhan satu sama lainnya
4. Duri-duri kulit dapat dibengkokkan dengan tekanan lemah yang diberikan kepadanya 5. Telah timbul bau aromatik Buah nangka yang akan langsung dikonsumsi, sebaiknya dipetik bila kulitnya sudah cukup lunak, daun-daun pada tangkai buah telah berwarna jingga, dan buah mengeluarkan bau aromatik. Pada tingkat ini daging buah nangka berlendir, berair, dan berwarna kuning jingga. Buah Nangka Buah nangka relatif besar, berbiji banyak, dan kulitnya berduri lunak. Setiap biji dibalut oleh daging buah (endokarp) dan eksokarp yang mengandung gelatin. Sebenarnya buah nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik), yakni berbunga banyak tersusun tegak lurus pada tangkai buah (porosnya) membentuk bangunan besar yang kompak, bentuknya bulat sampai bulat lonjong. Duri buah yang dilihat sebenarnya bekas kepala putiknya. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan. Daging buahnya tipis sampai tebal yang setelah matang berwarna kuning merah, lunak, manis, dan aromanya spesifik (Sunaryono 2005). Buah nangka yang dikenal orang sebenarnya adalah buah majemuk yang terdiri dari kumpulan banyak buah, sedangkan yang dinamakan satu buah nangka yang sebenarnya dikenal dengan satu buah nyamplung dan di dalamnya berisi satu biji. Di antara nyamplungan buah terdapat dami-dami/serabut/jerami yang sebenarnya merupakan bunga yang tidak diserbuki. Dami-dami tersebut ada yang tebal, berukuran besar dan manis sehingga dapat juga dimakan. Damidami yang kecil dan kecil tidak enak dimakan tanpa diolah lebih dulu. Sifat-sifat dari jerami nangka, baik sifat fisik dan kimianya diduga hampir menyerupai buah nangkanya (Muchtadi 1981 diacu dalam Novandrini 2003). Buah
nangka
sebaiknya
disimpan
pada
suhu
52-550F
dengan
kelembaban 85-90%. Apabila disimpan dengan cara yang benar, buah nangka dapat bertahan sampai enam minggu (Satuhu 2004). Kegunaan Tanaman
nangka
merupakan
tanaman
yang
potensial
untuk
dikembangkan. Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini. Hampir semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Selain buah yang merupakan produk utamanya, bagian akar, batang, daun, bakal buah, bahkan kulitnya pun dapat dimanfaatkan (Novandrini 2003).
Buah nangka yang muda dapat disayur (gudeg), sedang buah yang matang enak dimakan segar. Bijinya enak dimakan setelah direbus, dan daunnya untuk pakan ternak. Batang yang telah tua baik sekali untuk bahan bangunan. Makin tua warna kuningnya, makin bermutu tinggi kayunya. Buah nangka yang telah matang dapat dibuat dodol dan keripik nangka yang tahan lama disimpan (Sunaryono 2005). Di samping kegunaan tersebut, daun nangka ternyata merupakan makanan yang disenangi kambing dan domba. Abu akar nangka dengan abu sejenis Selaginella dapat digunakan untuk obat. Di samping itu kulit kayunya dapat dipakai sebagai pembalur luka (Lembaga Biologi Nasional 1997). Kandungan Gizi Kandungan gizi buah nangka dan jeraminya tidak jauh berbeda. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan komposisi kimia buah dan jerami nangka Komponen Air (%bb) Protein (%bk) Lemak (%bk) Karbohidrat (%bk) Serat kasar (%bk) Abu (%bk)
Daging buah 80,29 1,91 1,86 9,85 1,58 0,69
Jerami 65,12 1,95 10,00 9,30 1,94 1,11
Sumber: Muchtadi 1981 diacu dalam Risanti 1992 Hasil analisis kimia lainnya pada jerami nangka muda ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia jerami nangka muda Komponen Air (% b/b) Abu (% b/k) Lemak (% b/k) Protein (% b/k) Karbohidrat (% b/k) IDF (% b/k) SDF (% b/k) TDF (% b/k)
Hasil Analisis 87,36 8,69 4,29 15,48 71,53 69,71 6,87 75,58
Sumber: Novandrini (2003) Tepung Jerami Nangka Pembuatan tepung jerami nangka terdiri dari beberapa tahap, yaitu pembersihan, blanching, penggilingan dengan blender, sulfurisasi, pengeringan dengan drum dryer, penggilingan, dan pengayakan. Cleaning Cleaning
(pembersihan)
adalah
proses
menghilangkan
bahan
kontaminasi dari makanan dan memisahkannya dari permukaan makanan sebelum dilakukannya proses lebih lanjut. Cleaning termasuk mengupas dan
perlakuan blanching. Tujuannya adalah mencegah kerusakan makanan (Fellows 2000). Blanching Pada pengawetan buah-buahan, sebelum proses lebih lanjut dilakukan pemanasan pendahuluan pada bahan yang akan diolah. Pemanasan ini dikenal dengan blanching atau blansir (Satuhu 2004). Menurut Fellows (2000), blanching adalah memanaskan makanan, terutama sayuran, di bawah 1000C dalam waktu singkat. Blanching dilakukan untuk menginaktivasi enzim penyebab menurunnya kualitas selama penyimpanan dan untuk melembutkan tekstur makanan. Suhu maksimal dalam pembekuan dan pengeringan tidak cukup untuk menginaktivasi enzim. Jika makanan tidak diblansir, perubahan yang tidak diinginkan pada karakteristik sensorik dan zat gizi akan terjadi selama penyimpanan. Oleh karena itu blanching perlu dilakukan sebelum proses lainnya. Lama perlakuan blanching tergantung pada jenis komoditi, umumnya 510 menit. Semakin banyak bahan dan semakin tebal irisannya semakin lama waktu yang diperlukan. Jenis buah yang berdaging buah padat membutuhkan waktu lebih lama dibanding buah yang banyak mengandung air (Satuhu 2004). Enzim yang dapat menyebabkan hilangnya eating quality dan zat gizi dalam
buah
dan
sayur
adalah
lipoxygenase,
polyphenoloxidase,
polygalacturonase, dan chlorophyllase. Dua enzim tahan panas yang ditemukan di sebagian besar sayuran adalah katalase dan peroksidase. Meskipun tidak menimbulkan kerusakan selama penyimpanan, enzim tersebut digunakan sebagai pembatas untuk menentukan keberhasilan blanching (Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyebutkan, blanching dapat mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan pada permukaan makanan. Pengaruh blanching pada zat gizi, yakni dapat menyebabkan hilangnya beberapa mineral, vitamin larut air, dan komponen larut air lainnya. Blanching dapat mencerahkan warna makanan melalui pelepasan udara dan abu pada permukaan sehingga mengubah panjang gelombang yang merefleksikan cahaya. Waktu dan suhu blanching juga berpengaruh terhadap perubahan pigmen makanan. Pengeringan Dehidrasi atau pengeringan adalah aplikasi pemanasan dalam kondisi terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang normalnya ada dalam makanan melalui evaporasi (penguapan) (Fellows 2000). Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi. Prinsip dari
pengeringan adalah memberikan panas ke dalam makanan dan mengeluarkan uap air (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Fellows (2000), tujuan utama dilakukannya pengeringan adalah memperpanjang waktu simpan makanan dengan mengurangi aktivitas air. Hal ini mencegah
pertumbuhan
mikroba
dan
aktivitas
enzim,
tetapi
tidak
menginaktivasinya. Pada beberapa jenis makanan, pengeringan menyediakan produk yang tepat untuk konsumen dan lebih mudah ditangani (Fellows 2000). Selain itu pengeringan makanan bertujuan untuk mengurangi berat produk (Potter & Hotchkiss 1995). Satuhu (2004) menyebutkan, cara pengeringan bisa dengan penjemuran atau pemanasan langsung dengan sinar matahari. Selain itu bisa juga memakai alat. Penggunaan alat pengering lebih menguntungkan dibanding dengan penjemuran. Hasil lebih bersih, suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan menjadi lebih cepat. Penjemuran memiliki kelemahan, yakni kurang higienis, mudah terkontaminasi, tergantung cuaca dan intensitas sinar matahari, serta waktunya yang lama. Umumnya, makanan yang akan dikeringkan dibagi ke dalam potonganpotongan kecil atau tipis untuk mempercepat transfer massa dan panas. Pembagian ini bertujuan untuk dua alasan. Pertama, permukaan yang lebih lebar menyediakan area yang lebih besar untuk kontak dengan medium panas sehingga lebih banyak uap air yang dapat dibebaskan. Kedua, partikel yang lebih kecil atau lapisan lebih tipis mengurangi jarak yang harus dilalui panas untuk mencapai bagian tengah makanan dan mengurangi jarak yang harus dilalui air untuk mencapai permukaan kemudian dibebaskan (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Fellows (2004), pengeringan menyebabkan penurunan eating quality dan zat gizi makanan. Perubahan tekstur terjadi selama pengeringan disebabkan oleh gelatinisasi pati, kristalisasi selulosa, dan lokalisasi kadar air. Kerusakan ini mengubah sel kaku secara permanen, dan memberi penampakan kerut atau kisut pada makanan. Umumnya, pemanasan cepat dan suhu tinggi menyebabkan perubahan lebih besar terhadap tekstur makanan dibanding pemanasan dengan suhu rendah. Saat air dilepaskan selama pengeringan, larutan berpindah dari dalam makanan ke permukaan. Penguapan air menyebabkan terkonsentrasinya larutan pada permukaan. Suhu udara yang tinggi menyebabkan perubahan kimia dan fisik dan pembentukan lapisan yang keras. Hal ini disebut case hardening.
Fellows (2000) menambahkan, pada buah dan sayur, perubahan kimia pigmen klorofil dan karotenoid disebabkan oleh panas dan oksidasi selama pengeringan dan aktivitas residu enzim polifenol oksidase menyebabkan pencoklatan selama penyimpanan. Hal ini dapat dicegah dengan blanching, atau pemberian asam askorbat atau sulfur dioksida. Drum dryer Drum dryer merupakan alat pengering yang terdiri dari drum cekung baja yang berputar lambat yang dipanaskan secara internal oleh tekanan udara mencapai suhu 120-1700C (Fellows 2000). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), drum dryer biasanya digunakan pada makanan yang berbentuk cair, puree, dan pasta. Drum biasanya dipanaskan dari dalam menggunakan uap. Pengering ini mungkin memiliki sebuah atau sepasang drum. Pengeringan
menggunakan
drum drier
memiliki kelebihan,
yakni
kecepatan pengeringan tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis serta dapat memperbaiki daya cerna dan mengawetkan (Brennan et al. 1974). Keuntungan lain menurut Juming, Feng, Shen (2003) adalah produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan sangat bersih dan higienis karena adanya panas tinggi yang dapat menginaktifkan mikroorganisme, serta mudah dioperasikan. Harris dan Karmas (1989) juga menambahkan bahwa pengeringan dengan drum drier merupakan salah satu metode pengeringan termurah. Sulfurisasi Umumnya, setelah buah dikeringkan warnanya menjadi kecoklatan dan untuk memperbaiki mutu tersebut dapat dilakukan perlakuan dengan sulfur. Sulfur ini bersifat sebagai pemucat dan bahan pengawet. Bentuk sulfur yang digunakan dapat berupa belerang atau sodium metabisulfit. Dosis pemakaiannya 1000-1200 ppm tergantung jenis olahannya. Buah yang dikeringkan dengan sulfur lebih baik mutunya daripada pengeringan biasa. Warna tidak terlalu coklat dan lebih awet disimpan (Satuhu 2004). Cookies Cookies atau biskuit adalah produk pemanggangan dengan kandungan gula dan lemak yang tinggi relatif terhadap tepung dan sedikit air (Faridi 1994). Cookies yang bermutu baik harus memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan. Syarat mutu cookies di Indonesia tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3 Syarat mutu cookies (SNI No. 01-2973-1992) Kriteria Uji Bau, rasa, warna, tekstur Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Serat kasar Kalori
Satuan % b/b % b/k % b/k % b/k % b/k % b/k Kal/100g
Klasifikasi Normal Maksimum 5 Maksimum 2 Minimum 6 Minimum 9,5 Minimum 70 Maksimum 0,5 Minimum 400
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992) Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies dibagi menjadi dua, yakni bahan pengikat dan pembentuk tekstur cookies, seperti tepung terigu, air, garam, susu tanpa lemak (susu skim), dan putih telur. Menurut Winarno, Fardiaz, dan Fardiaz (1980), bahan pengikat adalah material yang dapat meningkatkan daya ikat air dan emulsifikasi lemak. Umumnya jenis bahan pengikat yang ditambahkan adalah tepung tapioka, beras, maizena, sagu, dan terigu. Bahan yang kedua adalah bahan pelembut tekstur, seperti shortening (lemak), emulsifier, gula, leavening agent (baking powder), dan kuning telur (Matz & Matz 1978). Tepung Terigu Tepung terigu adalah dasar dalam pembuatan produk bakery. Sebagian besar produk bakery membutuhkan pengembangan. Tepung terigu dapat memberikan tekstur dan karakteristik penampilan yang unik pada produk yang menggunakannya dibandingkan dengan tepung sereal lain, seperti tepung gandum hitam, jagung, oat, dan sorgum. Tepung terigu dikatakan unik karena dapat membuat adonan elastis yang kohesif ketika dicampur dengan air. Oleh karena itu, adonan dapat menahan gas sehingga produk lebih mengembang (Matz 1992). Dalam pembuatan cookies tepung berfungsi untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, mengikat bahan lainnya, membentuk struktur cookies, dan membentuk cita rasa (Matz & Matz 1978). Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004), secara prinsip tepung terigu dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Tepung terigu protein rendah. Terigu protein rendah berasal dari penggilingan gandum jenis soft atau lunak. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang lemah, kandungan protein 8-9%, sifat elastisitasnya kurang, dan mudah putus. Biasanya jenis terigu ini digunakan untuk bahan pembuatan cake, cookies, dan kue kering. Contoh terigu jenis ini yang beredar di pasaran adalah cap Kunci Biru.
2. Terigu protein tinggi. Terigu jenis ini dihasilkan dari penggilingan gandum jenis hard atau keras. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten yang kuat, kandungan proteinnya 11-12%, sifat elastisitasnya baik, dan tidak mudah putus. Terigu jenis hard biasanya digunakan untuk membuat mi dan roti. Contoh terigu jenis ini di pasaran adalah cap Cakra Kembar. 3. Terigu protein sedang. Terigu protein sedang merupakan terigu campuran dari terigu jenis soft dan hard. Terigu tersebut mempunyai sifat gluten sedang dan kadar protein 10-11%. Biasanya terigu protein sedang digunakan untuk membuat mi, roti, dan keperluan rumah tangga, contoh terigu jenis ini yang beredar di pasaran adalah cap Segitiga Biru. Karakter adonan yang terbentuk tergantung pada tepung yang digunakan. Tepung terigu kuat mengandung gluten lebih banyak, sehingga biasa digunakan dalam pembuatan roti karena adonan roti harus dapat dilebarkan dan menghasilkan produk dengan densitas rendah. Tepung lebih lemah mengandung gluten lebih sedikit, ketika dipanggang menghasilkan struktur yang lebih kenyal dan empuk (Potter & Hotchkiss 1995). Cookies yang baik dapat dihasilkan dengan penggunaan tepung gandum lunak yang memiliki kadar protein 8-10% dan kadar abu kurang dari 0,4% (Matz & Matz 1978). Telur Menurut Gaman dan Sherrington (1992), selain meningkatkan nilai gizi masakan, telur juga mempunyai beberapa sifat fungsional yang bermanfaat, yakni: protein telur yang terkoagulasi bila dipanaskan dapat berperan sebagai agen pengental dan pengikat; kuning telur mengandung lesitin yang dapat digunakan sebagai pengemulsi; serta sebagai pembusa, yakni apabila putih telur dikocok sehingga udara akan terjebak dan protein terkoagulasi sebagian. Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi yaitu kemampuan menangkap udara. Telur melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat putih telur. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna (Matz & Matz 1978). Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Gelatin dan albumen (putih telur) merupakan protein yang bersifat
sebagai emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur merupakan emulsifier yang kuat (Winarno 1992). Pada telur yang masih segar, bagian kuningnya terletak ditengah-tengah. Komposisi kuning telur antara lain 15-16% protein, 35% lemak, 4000 IU/100 gram vitamin A. Protein telur bermutu tinggi sehingga digunakan sebagai standar untuk mengukur mutu bahan makanan lain (Tarwotjo 1998). Gula Widyati (2000) menjelaskan, gula merupakan bahan makanan penting sebagai sumber kalori yang mudah dicerna. Selain sebagai makanan dan pemberi rasa manis, gula juga bermanfaat sebagai bahan pengawet. Dalam pembuatan cookies, gula tidak hanya befungsi sebagai pemanis, tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna, dan sebagai kontrol pengembang adonan (Matz & Matz 1978). Faridi (1994) menambahkan, fungsi gula adalah memberi rasa, memperpanjang umur roti (shelf life), menambah kandungan gizi, membuat tekstur menjadi lebih empuk, memberikan daya pembasah, dan memberikan warna cokelat yang menarik karena proses Maillard atau karamelisasi. Leavening agents Fungsi utama dari leavening agent yaitu mengembangkan produk yang prinsipnya adalah untuk menghasilkan gas CO2 (Matz & Matz 1978). Leavening agent adalah senyawa kimia yang akan terurai dengan menghasilkan gas dalam adonan (Winarno 1992). Pembuatan cookies menggunakan baking powder sebagai leavening agent. Baking powder yang digunakan dalam pembuatan kue dan sejenisnya mengandung partikel sodium bikarbonat sebagai sumber karbondioksida, dan partikel asam untuk membangkitkan karbondioksida ketika tersedia air dan panas (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Matz (1992), penggunaan baking powder sebagai leavening agent memiliki keuntungan, yakni harganya murah, tidak beracun, mudah ditangani,
tidak
mempengaruhi
rasa
produk,
dan
kemurniannya
tinggi.
Keuntungan lainnya adalah larutannya tidak begitu bersifat alkali, karena ketika pH meningkat warna dan aroma yang tidak diinginkan mungkin terjadi ketika adonan dipanggang. Susu Susu yang umum dipakai adalah susu yang berasal dari sapi. Berdasarkan kandungan lemak di dalamnya, susu dibedakan menjadi full cream
(kadar lemak belum dihilangkan), half cream (50% kadar lemak sudah dihilangkan), dan susu skim, yakni susu yang tidak mengandung lemak karena sudah dihilangkan (Widyati 2000). Menurut Buckle et al (1985), susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu, kecuali lemak dan vitamin larut lemak. Susu skim digunakan untuk memperbaiki penerimaan (warna, rasa, aroma) serta sebagai bahan pengisi dan untuk meningkatkan zat gizi. Faridi (1994) menambahkan, susu dapat meningkatkan toleransi waktu pengadukan karena adonan susu padat lebih toleran terhadap over mixing. Warna kerak yang terbentuk akan lebih baik karena laktosa, kasein, dan protein susu akan membantu menghasilkan kerak kekuning-kuningan dan mempertinggi mutu pemanggangan. Susu padat juga menjadikan remah lebih baik dan halus, meningkatkan mutu simpan, mempertahankan keempukan selama penyimpanan, serta menambah nilai gizi karena mengandung mineral, protein, lemak, dan vitamin. Garam Garam adalah bahan utama untuk mengatur rasa. Garam akan membangkitkan rasa pada bahan-bahan lainnya dan membantu untuk meningkatkan sifat-sifat adonan. Selain itu garam berfungsi untuk menguatkan flavor dan menambah struktur. Sebagian besar formula cookies menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk Kristal-kristal halus untuk mempermudah kelarutannya (Matz & Matz 1978). Shortening Shortening merupakan komponen yang penting dalam pembuatan cookies. Jumlah dan jenis shortening di dalam formula berpengaruh terhadap adonan dan kualitas akhir produk. Shortening bisa berasal dari hewani (mentega) dan nabati (margarin). Shortening yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah mentega. Rendahnya titik cair pada mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Efek berminyak ini dapat dikurangi dengan menambahkan margarin (Matz & Matz 1978). Tidak seperti tepung dan telur yang bersifat membentuk dan memperkuat struktur, shortening berfungsi sebagai pengempuk. Ketika adonan dipanggang dalam oven, shortening akan meleleh dan melepaskan CO2 yang berkontribusi untuk pengembangan dari baking powder. Shortening yang meleleh kemudian
tersimpan di sekeliling dinding sel struktur untuk berkontribusi dalam pengempukkan dan tekstur yang berminyak. Struktur sel dan volume kue dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran gelembung udara dan tetesan air yang terjebak dalam shortening. Hal ini ditentukan oleh sifat plastis dan penggunaan emulsifier (Potter & Hotchkiss 1995). Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau, konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin merupakan emulsi air dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak. Lemak yang digunakan dapat berasal dari lemak hewani atau nabati (Winarno 1992). Mixing Menurut Fellows (2000), mixing atau pencampuran digunakan untuk mendapatkan karakteristik produk yang diinginkan serta untuk mencapai homogenitas atau campuran yang seragam. Mixing berfungsi untuk mencampur semua bahan, mendapatkan hidrasi yang sempurna pada karbohidrat dan protein, membentuk dan melunakkan gluten, serta menahan gas pada gluten (gas retention) (Mudjajanto & Yulianti 2004). Modifikasi dalam pencampuran bahan-bahan cookies dapat memberikan perbedaan dalam struktur dan volume kue walaupun dengan formulasi yang sama (Potter & Hotchkiss 1995). Menurut Faridi (1994), kualitas adonan cookies tergantung pada formulasi, sifat alamiah bahan, dan derajat mixing. Baking Istilah
baking
dan
roasting
(memanggang)
sebenarnya
memiliki
pengertian yang sama, yakni keduanya menggunakan udara untuk mengubah eating quality makanan. Perbedaan terletak penggunaannya, baking biasanya diterapkan untuk makanan yang berbahan dasar tepung dan untuk buah-buahan, sedangkan roasting untuk daging, kacang-kacangan, dan sayuran. Tujuan lain dari pemanggangan adalah pengawetan melalui penghancuran mikroorganisme dan pengurangan aktivitas air pada permukaan makanan (Fellows 2000). Menurut Potter dan Hotchkiss (1995), pemanggangan adalah proses pemanasan dimana banyak reaksi terjadi pada tingkat yang berbeda. Beberapa reaksi tersebut meliputi: 1. Evolusi dan ekspansi gas 2. Koagulasi gluten dan protein telur serta gelatinisasi pati 3. Dehidrasi parsial dari penguapan air 4. Pembangkitan flavor
5. Perubahan warna akibat reaksi Maillard antara susu, gluten, dan protein telur dengan gula pereduksi 6. Pembentukan kulit (crust) dari dehidrasi permukaan, dan 7. Penggelapan kerak dari rekasi Maillard dan karamelisasi gula. Pemanggangan melibatkan pemanasan serentak dan transfer massa. Panas ditransfer ke dalam makanan dari permukaan yang panas dan udara dalam oven serta kadar air ditransfer dari makanan ke udara di sekitarnya (Fellows 2000). Fellows (2000) menambahkan, ketika makanan diletakkan dalam oven panas, kelembaban udara yang rendah dalam oven menimbulkan gradien tekanan uap, sehingga terjadi perpindahan air dari dalam makanan ke permukaan. Banyaknya kehilangan air ditentukan oleh sifat alamiah makanan, pergerakan udara dalam oven, dan tingkat transfer panas. Saat tingkat kehilangan air di permukaan melebihi tingkat pergerakan dari dalam, zona penguapan berpindah ke dalam makanan, permukaan mengering, suhu meningkat mencapai 110-2400C dan terbentuk kerak. Perubahan tersebut meningkatkan eating quality dan mempertahankan air dalam makanan. Berbeda dengan pengeringan yang bertujuan melepaskan air sebanyak mungkin, pemanggangan mengubah permukaan makanan dan menahan air pada bagian dalam beberapa produk. Produk lain seperti biskuit, kehilangan air bagian dalam dibutuhkan untuk menghasilkan tekstur yang renyah. Menurut Potter dan Hotckiss (1995), jika oven terlalu panas, kerak akan terbentuk sebelum bagian tengah adonan matang. Tingkat transfer panas juga dipengaruhi oleh loyang yang digunakan. Loyang berwarna terang bersifat melepaskan panas dan akan terjadi transfer panas yang lambat, sedang loyang berwarna gelap menyerap panas lebih banyak dan cepat sehingga transfer panas juga cepat terjadi. Kondisi
panas
yang
hebat
di
permukaan
menyebabkan
reaksi
pencoklatan Maillard antara gula dan asam amino. Suhu tinggi dan kadar air rendah di permukaan juga dapat menyebabkan karamelisasi gula dan oksidasi asam lemak. Hal ini menghasilkan aroma berbeda yang merupakan kombinasi asam amino bebas dan gula yang ada dalam makanan. Pemanasan lebih lanjut mendegradasi volatil sehingga menghasilkan aroma asap atau terbakar (Fellows 2000).
Oven yang digunakan untuk memanggang dapat berbahan bakar minyak, gas, atau listrik. Oven listrik memiliki keuntungan karena merupakan sumber tenaga (bahan bakar) yang bersih sehingga tidak mengontaminasi produk yang dipanggang, selain itu oven listrik mudah dikontrol (Almond 1988). Serat Pangan Serat pangan merupakan salah satu jenis polisakarida yang lazimnya disebut karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk ke sirkulasi darah, namun dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerak peristaltik usus (Sulistijani 2005). Menurut Almatsier (2006) berdasarkan sifat kimia dan manfaatnya, serat dalam makanan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu larut air dan tak larut air. Serat tidak larut air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat larut air antara lain pektin, gum, mukilase, glukan, dan algal. Serat larut cenderung bercampur dengan air dengan membentuk jaringan gel (seperti agar-agar) atau jaringan yang pekat. Serat tak larut umumnya bersifat higroskopis, yakni mampu menahan air 20 kali dari beratnya. Serat yang berasal dari biji-bijian umumnya tidak larut air, sedang serat yang berasal dari sayur, buah, dan kacang-kacangan cenderung larut air (Widianarko 2002). Lebih lanjut dijelaskan manfaat serat makanan dalam tubuh yang paling dikenal adalah mengurangi gangguan sembelit (konstipasi). Tidak semua serat berperan sebagai obat sembelit. Hanya jenis serat tidak larut air yang berkhasiat mengurangi gangguan buang air besar. Serat tidak larut air memegang peranan utama dalam menentukan berat atau volume feses. Winarno (1992) menambahkan, pengaruh konsumsi serat pangan pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien sukarelawan, yang kemudian juga dibuktikan pada hewan percobaan. Pasien yang memiliki kandungan kolesterol tinggi tetapi rendah konsumsi serat bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi dietary fiber akan nyata turun kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara kontinyu. Fungsi dietary fiber dalam hal ini ternyata melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengeluarkan lebih banyak asam empedu, juga lebih banyak sterol dan lemak dikeluarkan bersama feses. Serat tersebut
ternyata mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak. Para peneliti masa kini menduga bahwa kandungan serat dalam makanan yang dikonsumsi sebagian besar orang sangat kurang memadai. Di negara-negara industri, kebanyakan karbohidrat yang dikonsumsi adalah dalam bentuk yang amat murni, seperti gula putih, tepung terigu dan roti tawar. Di negara inilah terjadi kenaikan serangan penyakit saluaran pencernaan seperti divertikulosis (tonjolan-tonjolan kecil atau borok-borok pada usus besar), kanker usus besar dan hernia. Penyakit-penyakit ini berkaitan dengan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran pencernaan. Diduga pula susunan makanan yang mengandung banyak serat memperlambat kecepatan absorpsi glukosa dan lemak dari usus halus sehingga menhurangi resiko diabetes dan penyakit-penyakit pembuluh darah (Gaman & Sherrington 1992). Pengertian konsumsi serat makanan adalah jumlah jenis pangan sumber serat yang dikonsumsi per hari. Konsumsi serat makanan berpengaruh positif bagi tubuh dan sangat dianjurkan, namun harus memperhatikan nilai kecukupannya bagi tubuh. Konsumsi serat makanan berlebihan akan berdampak negatif. Tubuh akan mengalami defisiensi mineral dan perut menjadi kembung. Kondisi ini muncul akibat menumpuknya serat di dalam kolon sehingga menyebabkan fermentasi serat di dalam kolon dan memicu timbulnya gas (Sulistijani 2005). Hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan bahwa konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 10,5 gram per hari. Angka konsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan.
Dietary Guidelines for American
menganjurkan untuk
mengonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari) (Depkes 2008). National Cancer Institute menganjurkan konsumsi serat makanan untuk orang dewasa adalah sebanyak 20-30 gram/hari, sementara America Diet Association (ADA) merekomendasikan 25-35 gram/hari (Sulistijani 2005). Batas bawah konsumsi serat makanan menurut WHO adalah 27 gram serat/hari dan batas atasnya adalah 40 gram serat/hari (Sizer & Whitney 2000). Saat ini banyak beredar serat komersial yang dijual dalam bentuk serbuk atau minuman dengan promosi dapat melangsingkan tubuh sampai melancarkan buang air besar. Menurut Badan POM (2002), serat tersebut sebagian besar
mengandung Psyllium husk atau sering disebut Plantago ovate atau Isphagula husk yang merupakan serat larut air. Bahan ini bermanfaat dalam menurunkan kadar kolesterol, membantu diet penurunan berat badan, mengurangi gsngguan konstipasi dan hemorrhoid. Bahan ini dapat membentuk gel sehingga digunakan sebagai laxative. Serat dalam minuman serbuk serat merupakan senyawa yang struktur kimianya berbentuk jarring. Jika dicampur air akan membuat air terperangkap di dalamnya sehingga membentuk gel. Jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan lainnya menyebabkan makanan terperangkap dalam gel sehingga sulit diserap usus halus (Anonim 2001 diacu dalam Nyiwarsini 2003). Minuman ini bila dikonsumsi seseorang dengan status gizi lebih akan berpengaruh baik. Namun bila dikonsumsi anak-anak bisa mengakibatkan kekurangan gizi dan bila dikonsumsi orang berusia di atas 60 tahun dapat mengakibatkan obstruksi usus. Meskipun sudah dicairkan dengan air, bila dikonsumsi akan mengembang di perut sehingga menyebabkan lambung dan usus menjadi penuh. Minuman ini tidak boleh digunakan tanpa air atau dimakan dalam bentuk serbuk serta tidak boleh diberikan pada penderita obstruksi usus, penyempitan saluran cerna, dan diabetes mellitus (Anonim 2001 diacu dalam Nyiwarsini 2003).
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Laboratorium
ini
dilakukan
Organoleptik,
dan
di
Laboratorium
Laboratorium
Pengolahan
Analisis
Kimia
Pangan, Pangan
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Pilot Plan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yakni dari bulan Juni sampai September 2009. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan untuk pembuatan tepung jerami nangka, cookies, dan bahan untuk analisis kimia. Bahan utama dalam penelitian ini adalah jerami nangka yang akan dijadikan tepung. Proses pembuatan tepung ini memerlukan bahan, yakni jerami nangka yang diperoleh dari daerah Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor serta natrium metabisulfit. Bahan-bahan lainnya dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu, telur ayam, susu skim, mentega putih, margarin, soda kue, gula halus, garam, dan vanili. Bahan-bahan yang diperlukan dalam analisis kimia adalah HCl, H2SO4, NaOH, indikator metil merah-biru, pelarut heksana, dan selenium mix serta bahan kimia lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini juga dibagi tiga, yakni alat dalam pembuatan tepung jerami nangka, pembuatan cookies, dan dalam analisis kimia. Pembuatan tepung jerami nangka memerlukan alat pengering buatan, yakni drum drier, blender, dan penggiling tepung. Pembuatan cookies memerlukan alat, antara lain timbangan, mixer, baskom, cetakan kue, plastik, roll adonan, spatula, dan oven. Alat yang digunakan dalam analisis kimia adalah cawan, oven, desikator, tanur, Labu Kjeldahl, erlenmeyer, kertas saring, soxhlet, dan lain-lain. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap awal dan lanjutan. Tahap Awal Tahap awal meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari tepung jerami nangka. Pembuatan tepung jerami nangka menggunakan alat pengering buatan, yakni drum drier. Metode pembuatan tepung yang digunakan berdasarkan
metode
Kusumawati
(2001).
Tahap
pembuatan
tepung
jerami
nangka
menggunakan drum drier dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Jerami nangka Disortir Blanching (800C, 5 menit) Direndam Na metabisulfit Blender Pengeringan dengan drum drier Digiling dengan hammer mill Tepung jerami nangka Gambar 1 Tahap pembuatan tepung jerami nangka dengan drum drier (Kusumawati 2001) Tepung jerami nangka yang diperoleh kemudian diuji sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diukur adalah densitas kamba dan rendemen tepung. Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung jerami nangka antara lain kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference, dan serat makanan. Prosedur analisis sifat fisik dan kimia tepung dapat dilihat pada Lampiran 1. Formulasi yang digunakan dalam pembuatan cookies tinggi serat dengan syarat cookies mengandung serat lebih dari atau sama dengan 6 gram per 100 gram bahan (Departement of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health, Singapore 1999 diacu dalam Johantika 2003). Penambahan sejumlah tepung jerami nangka ke dalam adonan cookies dilakukan untuk mendapatkan cookies tinggi serat. Bahan-bahan dalam pembuatan cookies dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies Bahan Tepung terigu Margarin Mentega putih Gula halus Garam Soda kue Susu skim Kuning telur Total
Jumlah Bahan yang Digunakan (gram) 70 30 30 40 0,3 0,3 30 18 218,6
Pembuatan cookies dilakukan berdasarkan Therik (2000). Langkahlangkah dalam pembuatan cookies dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini.
Gula halus, margarin, mentega putih dicampur Dikocok dengan mixer kecepatan tinggi sampai mengembang (berbentuk krim) Ditambahkan kuning telur, soda kue, dan garam Dikocok sebentar sampai bercampur Ditambahkan tepung terigu, tepung jerami nangka, dan susu skim Diaduk sampai terbentuk adonan Dicetak Dipanggang dalam oven (T = 1400C, 40 menit) Didinginkan Cookies Jerami nangka Gambar 2 Tahap pembuatan cookies (Therik 2000) Penelitian Lanjutan Cookies yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan kemudian diuji sifat kimianya. Sifat kimia cookies yang diuji meliputi kadar air (metode pemanasan langsung), kadar abu (metode tanur), protein (semi mikro kjeldahl), lemak (metode soxhlet), karbohidrat by difference, dan serat makanan (metode enzimatis). Prosedur analisis kimia tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Uji organoleptik dilakukan terhadap cookies yang dihasilkan. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (hedonik) dan mutu hedonik. Parameter yang diuji meliputi rasa, aroma, warna, dan tekstur produk. Panelis yang digunakan dalam uji ini sebanyak 15 orang panelis semi terlatih. Penilaian uji hedonik menggunakan enam skala, yakni sangat tidak suka (1); tidak suka (2); agak tidak suka (3); agak suka (4); suka (5); dan sangat suka (6). Skala yang digunakan untuk uji mutu hedonik terdiri atas penilaian untuk rasa, aroma, warna, dan tekstur. Skala penilaian rasa mulai dari sangat tidak enak (1) sampai sangat enak (6). Penilaian aroma terutama aroma nangka pada cookies dengan enam skala dari sangat tidak beraroma (1) sampai sangat harum (6). Skala penilaian warna mulai dari sangat gelap (1) sampai sangat terang (6); sementara penilaian tekstur memiliki skala sangat keras (1) sampai sangat renyah (6). Uji ini dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis terhadap cookies jerami nangka yang dihasilkan. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan adalah suatu uji atau sederetan uji, baik itu menggunakan statistika deskripsi maupun inferensia, yang bertujuan untuk mengubah peubah input menjadi suatu output yang merupakan respon dari percobaan tersebut (Mattjik & Sumertajaya 2002). Menurut Sudjana (1980), desain eksperimen adalah suatu rancangan percobaan (dengan tiap langkah tindakan yang benar-benar terdefinisikan) sedemikian sehingga informasi yang berhubungan dengan atau diperlukan untuk persoalan yang sedang diselidiki dapat dikumpulkan. Oleh karena itu desain eksperimen merupakan langkahlangkah lengkap yang perlu diambil jauh sebelum eksperimen dilakukan agar data yang semestinya diperlukan dapat diperoleh sehingga akan membawa kepada analisis objektif dan kesimpulan yang berlaku untuk persoalan yang sedang dibahas. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), percobaan satu faktor yaitu suatu percobaan yang dirancang dengan hanya melibatkan satu faktor dengan beberapa taraf sebagai perlakuan. Rancangan ini digunakan karena penelitian hanya menggunakan satu faktor, yakni tepung jerami nangka dengan empat taraf. Pada percobaan ini, faktor-faktor lain dijaga kondisinya agar tetap homogen. Unit percobaan Unit percobaan adalah bagian terkecil dalam suatu percobaan yang diberi suatu perlakuan (Mattjik & Sumertajaya 2002). Menurut Sudjana (1980), unit percobaan adalah unit terhadap mana perlakuan tunggal (yang mungkin merupakan gabungan beberapa faktor) dikenakan dalam sebuah replikasi eksperimen dasar. Unit percobaan yang digunakan adalah semua bahan penyusun adonan cookies. Total berat adonan adalah 218,6 gram yang terdiri adari 70 gram tepung terigu; 30 gram mentega putih; 30 gram margarin; 40 gram gula halus; 30 gram susu bubuk; 18 gram kuning telur; 0,3 gram soda kue; serta 0,3 gram garam. Jumlah ini telah mempertimbangkan kecukupan untuk analisis sifat kimia, maupun organoleptik cookies yang dihasilkan. Faktor Faktor adalah peubah bebas yang dicobakan dalam percobaan sebagai penyusun struktur perlakuan. Peubah bebas yang dicobakan dapat berupa peubah kualitatif maupun peubah kuantitatif (Mattjik & Sumertajaya 2002). Penelitian ini hanya menggunakan satu faktor, yaitu tepung jerami nangka.
Taraf Taraf adalah nilai-nilai dari peubah bebas (faktor) yang dicobakan dalam percobaan (Mattjik & Sumertajaya 2002). Faktor penambahan tepung jerami nangka memiliki empat taraf, yakni 0%; 8%; 9,5%; dan 11% dengan mempertimbangkan kandungan serat dan daya terima cookies yang dihasilkan. Persentase penambahan tepung jerami nangka tersebut dikonversi menjadi berat dalam gram dengan rumus: b
X
100%
berat total adonan + b Keterangan:
b = berat tepung jerami nangka dan berat tepung terigu = 218,6 gram
Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh berat tepung jerami nangka unutk masing-masing tingkat persentase penambahan, yaitu 0 gram; 19 gram; 23 gram; dan 27 gram. Perlakuan Perlakuan merupakan suatu prosedur atau metode yang diterapkan pada unit percobaan (Mattjik & Sumertajaya 2002). Pengertian lain, perlakuan adalah sekumpulan kondisi-kondisi eksperimen yang akan digunakan terhadap unit eksperimen dalam ruang lingkup desain yang dipilih. Perlakuan bisa berbentuk tunggal atau kombinasi (Sudjana 1980). Suatu perlakuan dalam penelitian tersusun dari beberapa faktor atau peubah bebas. Perlakuan dalam penelitian ini adalah penambahan tepung jerami nangka dengan empat taraf sehingga terdiri dari empat perlakuan. Rincian dari perlakuan sebagai berikut: 1. Total adonan cookies 218.6 gram dengan penambahan 0 gram tepung jerami nangka (tanpa penambahan tepung jerami nangka) 2. Total adonan cookies 218.6 gram dengan penambahan 19 gram tepung jerami nangka 3. Total adonan cookies 218.6 gram dengan penambahan 23 gram tepung jerami nangka 4. Total adonan cookies 218.6 gram dengan penambahan 27 gram tepung jerami nangka Peubah Respon Peubah respon atau peubah tidak bebas (dependen) merupakan peubah yang nilainya tergantung dari nilai faktor (peubah bebas) (Suryono 2007). Peubah respon dari penelitian ini adalah:
1. Sifat kimia produk cookies (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan serat pangan) 2. Sifat organoleptik, yakni hedonik dan mutu hedonik cookies (warna, aroma, rasa, dan tekstur). Peubah pengganggu Peubah pengganggu adalah peubah yang keberadaannya dapat mempengaruhi hasil pada peubah respon, selain pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Dalam penelitian ini dianggap tidak ada peubah pengganggu. Pengulangan Ulangan adalah pengalokasian suatu perlakuan tertentu terhadap beberapa unit percobaan pada kondisi yang seragam (Mattjik & Sumertajaya 2002) atau disebut juga replikasi, yakni pengulangan dari eksperimen dasar (Sudjana 1980). Pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini sebanyak dua kali ulangan. Masing-masing perlakuan memerlukan dua unit percobaan, sehingga total unit percobaan dalam penelitian ini adalah delapan unit. Pengacakan Pengacakan yaitu setiap unit percobaan harus memiliki peluang yang sama untuk diberi suatu perlakuan tertentu. Tujuan dari pengacakan adalah agar setiap unit percobaan memiliki peluang yang sama untuk memperoleh suatu perlakuan tertentu (Mattjik & Sumertajaya 2002). Prosedur pengacakan dalam penempatan unit percobaan sebagai berikut: 1. Timbang bahan-bahan penyusun adonan cookies sebagai unit percobaan sebanyak delapan unit dengan berat total masing-masing 218,6 gram kemudian tempatkan dalam wadah yang terpisah. 2. Beri nomor wadah-wadah tersebut dari 1 sampai 8. 3. Lakukan pengacakan dengan Microsoft Excel. 4. Pada sel A1 ketik fungsi =INT(RAND()*79+1) dan enter sehingga muncul angka acak antara 1 sampai 80 kemudian drag sampai sel A80. 5. Pada sel B1 ketik fungsi =IF(A1<=20;1;(IF(A1<=40;2;(IF(A1<=60;3;4))))) dan enter sehingga akan muncul angka acak 1 sampai 4 kemudian drag sampai angka 1, 2, 3, dan 4 muncul minimal dua kali. Angka yang muncul pada kolom B merupakan nomor perlakuan. Nomor 1 berarti penambahan 0 gram tepung jerami nangka, nomor 2 berarti perlakuan penambahan tepung jerami nangka sebanyak 19 gram; nomor 3 berarti perlakuan
penambahan tepung jerami nangka sebanyak 23 gram; dan nomor 4 berarti perlakuan penambahan tepung jerami nangka sebanyak 27 gram. 6. Ambil masing-masing dua unit dari nomor 1,2, 3, dan 4 yang muncul pada kolom B secara berurutan sampai terpilih sembilan unit seperti contoh di bawah ini. Apabila angka 1, 2, 3, dan 4 muncul lebih dari dua kali maka angka tersebut diabaikan dan beralih ke angka yang berada di bawah sel tersebut. A
B
C
D
1
59
3
1
2
74
4
2
3
52
3
3
4
31
2
4
5
5
1
5
6
17
1
6
7
25
2
7
8
66
4
8
Gambar 3 Contoh hasil pengacakan menggunakan Microsoft Excel 7. Apabila kolom C merupakan urutan nomor unit percobaan maka berdasarkan contoh di atas berarti unit percobaan 1 mendapat perlakuan nomor 3, unit percobaan 4 mendapat perlakuan nomor 1, dan seterusnya sampai diperoleh 2 unit percobaan dengan perlakuan nomor 1, 2 unit percobaan dengan perlakuan nomor 2, 2 unit percobaan dengan perlakuan nomor 3, dan 2 unit percobaan dengan perlakuan nomor 4. Model Matematis Model matematis rancangan percobaan tersebut adalah Yij = µ + i + ij Keterangan: Yij = Peubah respon cookies karena pengaruh penambahan tepung jerami nangka taraf ke-i. Peubah respon dalam penelitian ini adalah sifat kimia dan organoleptik cookies yang dihasilkan seperti telah dijelaskan sebelumnya. µ
= Pengaruh rata-rata peubah respon i
= Pengaruh penambahan tepung jerami nangka ke-i terhadap peubah respon
ij = galat percobaan karena pengaruh penambahan tepung jerami nangka taraf ke-i pada ulangan ke-j i
= banyaknya taraf tingkat penambahan tepung jerami nangka i = 1 (penambahan tepung jerami nangka sebanyak 0 gram) i = 2 (penambahan tepung jerami nangka sebanyak 19 gram) i = 3 (penambahan tepung jerami nangka sebanyak 23 gram) i = 4 (penambahan tepung jerami nangka sebanyak 27 gram)
j
= 1, 2 (ulangan) Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase penerimaan panelis. Persentase penerimaan panelis ditentukan dengan cara menghitung persentase panelis yang dapat menerima produk dari uji hedonik, yaitu (4) agak suka, (5) suka, dan (6) sangat suka. Data organoleptik kemudian diolah menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila data yang dihasilkan berbeda nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan berdasarkan parameter warna, rasa, aroma, dan tekstur. Data yang diperoleh dari hasil analisis sifat kimia cookies dianalisis dengan uji sidik ragam (ANOVA). Apabila hasil analisis data berbeda nyata antar perlakuan, maka dilakukan uji regresi. Keseluruhan data diolah menggunakan SPSS 13.0 for Windows dan Microsoft Excel 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari tepung jerami nangka. Pembuatan Tepung Jerami Nangka Proses pembuatan tepung jerami nangka meliputi pembersihan dan pemilahan jerami nangka, blanching, perendaman dengan natrium metabisulfit, penggilingan jerami nangka, pengeringan dengan drum drier, dan penggilingan tepung. Bahan dasar tepung adalah jerami nangka matang yang diperoleh dari penjual nangka di daerah Dreded, Bogor. Bahan ini mudah didapat karena tanaman nangka sendiri berbuah sepanjang tahun dan hanya daging buahnya yang banyak dimanfaatkan, yakni untuk dijual atau dikonsumsi, sementara bagian jerami dibuang begitu saja. Tahap awal dalam pembuatan tepung jerami nangka adalah dengan membersihkan jerami, yakni dipisahkan dari daging buah dan kulitnya, serta kotoran lainnya. Proses selanjutnya adalah blanching dengan suhu 800C selama lima menit. Blanching atau blansir merupakan pemanasan pendahuluan dalam waktu singkat untuk menginaktivasi enzim yang dapat menyebabkan penurunan kualitas selama penyimpanan. Fungsi lainnya adalah untuk melembutkan tekstur, mengurangi jumlah mikroba pada bahan, dan dapat menghilangkan getah yang ada pada jerami nangka. Proses ini perlu dilakukan sebelum proses lainnya, karena suhu maksimal dalam pembekuan dan pengeringan tidak cukup untuk menginaktivasi enzim. Apabila makanan tidak diblansir, perubahan yang tidak diinginkan pada karakteristik sensorik dan zat gizi akan terjadi selama penyimpanan (Fellows 2000). Jerami nangka yang telah diblansir kemudian direndam dalam larutan natrium metabisulfit 1000 ppm selama 60 menit. Perendaman ini bertujuan untuk memperbaiki mutu produk yang dihasilkan karena natrium metabisulfit bersifat sebagai pemucat dan bahan pengawet (Satuhu 2004). Seperti halnya blanching, perendaman ini berperan pula dalam menghilangkan getah yang terdapat pada jerami nangka. Sebelum proses pengeringan dengan drum drier, jerami nangka digiling dengan blender agar lembut dan membentuk puree. Puree jerami nangka dikeringkan dengan drum drier pada suhu 800C secara kontinyu. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar air
dalam bahan melalui penguapan. Hal ini dapat memperpanjang waktu simpan makanan dengan mengurangi aktivitas air serta mencegah pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Menurut Satuhu (2004), pengeringan dengan alat (pengering buatan) memiliki keunggulan dibanding pengeringan alami dengan sinar matahari, yakni hasil lebih bersih, suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan menjadi lebih cepat, serta tidak tergantung cuaca. Jerami nangka yang telah kering kemudian digiling untuk memperkecil ukurannya sehingga dihasilkan tepung jerami nangka seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tepung jerami nangka Sifat Fisik Tepung Jerami Nangka Sifat fisik yang diuji adalah densitas kamba dan rendemen tepung. Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat tepung dengan volumenya. Hasil perhitungan densitas kamba tepung jerami nangka adalah 0,17 g/ml. Rendemen merupakan perbandingan berat akhir tepung dengan berat awal bahan baku yang digunakan. Perbandingan ini dapat dinyatakan dalam persen atau desimal. Nilai rendemen ini digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin ekonomis produk tersebut, begitupun sebaliknya (Meliani 2002). Rendemen tepung jerami nangka adalah 11,78%. Sifat Kimia Tepung Jerami Nangka Sifat kimia yang diuji antara lain kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat, dan serat makanan. Kandungan zat gizi tepung jerami nangka dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan zat gizi tepung jerami nangka No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8
Air (%bb) Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat larut Serat tidak larut Serat pangan total
Tepung jerami nangka (%bb) 6,68 4,09 7,34 5,72 76,17 15,60 31,33 46,93
Tepung jerami nangka (%bk) 4,38 7,86 6,13 81,6 16,72 33,57 50,29
Jerami nangka (%bk)* 87,36 8,69 15,48 4,29 71,53 69,71 6,87 76,58
*Novandrini (2003) Kadar air tepung jerami nangka yang dihasilkan mengalami penurunan dibandingkan dengan jerami nangka. Hal ini disebabkan banyaknya air yang menguap selama proses pengeringan dengan drum drier. Hasil analisis kadar air tepung jerami nangka berada dalam kisaran aman untuk bahan pangan yand disimpan, yakni di bawah 14% sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang dan memiliki keawetan lebih lama (Winarno, Fardiaz, & Fardiaz 1980). Kadar
abu
tepung
jerami
nangka
juga
mengalami
penurunan
dibandingkan dengan bahan asalnya. Penurunan ini dapat disebabkan beberapa hal, yakni saat proses blanching dan perendaman dengan natrium metabisulfit yang menggunakan air sehingga banyak mineral jerami yang terlarut ke dalam air. Penurunan lainnya terjadi pada kandungan protein. Panas tinggi selama pengeringan dengan drum drier menyebabkan protein jerami mengalami degradasi sehingga tepung yang dihasilkan memiliki kandungan protein lebih rendah. Berbeda dengan kadar air, abu, dan protein yang mengalami penurunan, kadar lemak tepung mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu jauh. Hal ini diduga disebabkan oleh terikatnya partikel lemak pada serat sehingga pada proses pengolahan lemak tidak hilang. Karbohidrat dihitung dengan by difference, yakni sisa dari penjumlahan kadar air, abu, protein, dan lemak. Peningkatan yang terjadi dipengaruhi banyaknya penurunan kandungan zat gizi lainnya pada tepung jerami nangka. Kadar serat makanan larut air tepung jerami nangka mengalami penurunan dibandingkan dengan bahan asalnya, namun kadar serat tidak larut air mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh pengolahan dengan panas dapat mempengaruhi kandungan serat makanan. Kehilangan serat larut air akan
meningkatkan kadar serat tidak larut air, begitupun sebaliknya (Muchtadi 2000 dalam Johantika 2003). Formulasi Cookies Formulasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah tepung jerami nangka ke dalam adonan cookies (Tabel 6). Batas minimal penambahan agar memenuhi klaim tinggi serat dengan syarat cookies mengandung serat lebih dari atau sama dengan 6 gram per 100 gram bahan (Departement of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health 1999 diacu dalam Johantika 2003). Tabel 6 Formula cookies Bahan (gram)
F0 (0%) 70 0 30 30 40 0,3 0,3 30 18 218,6
Tepung terigu Tepung jerami nangka Margarin Mentega putih Gula halus Garam Soda kue Susu skim Kuning telur Total
Jumlah (gram) F1 (8%) F2 (9,5%) 70 70 19 23 30 30 30 30 40 40 0,3 0,3 0,3 0,3 30 30 18 18 237,6 241,6
F3 (11%) 70 27 30 30 40 0,3 0,3 30 18 245,6
Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan meliputi uji organoleptik, yang terdiri dari hedonik dan mutu hedonik cookies dengan parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia cookies yang terdiri dari kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat by difference, serta serat makanan. Karakteristik Organoleptik Cookies Bagi konsumen, atribut makanan terpenting adalah karakteristik sensori, yang terdiri dari tekstur, citarasa, aroma, dan warna. Hal ini dapat menunjukkan kesukaan
individu
terhadap
produk
tertentu
dan
dapat
mempengaruhi
penerimaan (Fellows 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu uji sensorik produk, yakni dengan uji organoleptik. Uji organoleptik cookies dilakukan oleh 15 orang panelis yang seluruhnya berprofesi sebagai mahasiswa. Panelis tergolong ke dalam panelis semi terlatih yang didasarkan pada seringnya menjadi panelis kegiatan uji organoleptik. Panelis juga pernah mendapat pelatihan mengenai organoleptik sebelumnya. Cookies yang dijadikan contoh untuk uji organoleptik seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Cookies jerami nangka yang dihasilkan Warna Warna merupakan variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna juga merupakan salah satu indikator kematangan atau kerusakan suatu produk, serta titik akhir dari proses pemasakan ditentukan oleh warna (Parker 2003). Secara alamiah, pigmen atau warna dirusak oleh adanya pemanasan. Secara kimia, perubahan warna dapat disebabkan oleh perubahan pH atau oksidari selama penyimpanan. Hasilnya, makanan olahan kehilangan warna dan dapat menurunkan nilai sensorik. Reaksi Maillard juga menyebabkan perubahan warna (pada pemanggangan dan penggorengan) dan dapat menyebabkan off-colours (Fellows 2000). Berdasarkan mutu warna, cookies kontrol memperoleh skor 4 sampai 6 (agak terang sampai sangat terang) dengan skor terbanyak adalah terang (5). Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka memperoleh skor mutu warna 1 sampai 5 (sangat gelap sampai terang) dengan skor terbanyak ketiga formula adalah agak gelap (3). Distribusi frekuensi penilaian mutu warna cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Distribusi frekuensi penilaian mutu warna cookies Skala 1 (sangat gelap) 2 (gelap) 3 (agak gelap) 4 (agak terang) 5 (terang) 6 (sangat terang) Total
F0 n 2 18 10 30
% 6,67 60 33,33 100
F1 n 3 16 10 1 30
% 10 53,33 33,33 3,33 100
F2 n 1 2 16 10 1 30
% 3,33 6,67 53,33 33,33 3,33 100
F3 n 1 8 14 7 30
% 3,33 26,67 46,67 23,33 100
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap mutu warna cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka mempengaruhi mutu warna cookies. Tabel 8 menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 8 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu warna cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1
2
3
1,70000 2,16667 2,23333 1,000
0,971
3,90000 1,000
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor mutu warna tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor tertinggi untuk mutu warna adalah cookies F1. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, semakin rendah mutu warna cookies, yakni warna cookies semakin gelap. Warna gelap pada cookies disebabkan oleh warna tepung jerami nangka yang memang berwarna kecoklatan, seperti yang ditampilkan pada Gambar 5. Warna coklat pada tepung dapat terjadi karena adanya reaksi pencoklatan, terutama karamelisasi. Ketika gula dipanaskan melebihi titik leburnya, timbul pigmen kecoklatan yang disebut karamel. Reaksi ini dapat terjadi di bawah kondisi asam dan basa (Hawthorn 1981). Karamelisasi merupakan salah satu reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi akibat kandungan gula yang cukup tinggi pada bahan asal, yakni jerami nangka. Jika dipanaskan, gula akan mengalami karamelisasi yang terjadi dengan mudah dalam keadaan tanpa air (Gamman & Sherington 1992). Pemanasan tanpa air ini seperti yang dilakukan saat pembuatan tepung jerami nangka menggunakan drum drier. Hasil uji hedonik terhadap warna cookies menunjukkan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (sangat suka). Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka memperoleh penilaian 2 sampai 5 (tidak suka sampai suka). Skor terbanyak cookies F1 dan F2 adalah 4 (agak suka), sementara cookies F3 memperoleh skor terbanyak pada skala 3 (agak tidak suka). Distribusi frekuensi
penerimaan panelis terhadap warna cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 9. Persentase penerimaan panelis terhadap warna cookies jerami nangka berkisar antara 46,67%-93,33% (Tabel 9). Cookies F0 memiliki persentase penerimaan terhadap warna sebesar 93,33%. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki persentase penerimaan terbesar adalah cookies F2. Tabel 9 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap warna cookies F0
Skala 1 (sangat tidak suka) 2 (tidak suka) 3 (agak tidak suka) Total 4 (agak suka) 5 (suka) 6 (sangat suka) Total (% penerimaan)
F1
F2
F3
n 2 2 6 10 12
% 6,67 6,67 20 33,33 40
n 3 6 9 13 8 -
% 10 20 30 43,33 26,67 -
n 2 6 8 13 9 -
% 6,67 20 26,67 43,33 30 -
n 6 10 16 7 7 -
% 20 33,33 53,33 23,33 23,33 -
28
93,33
21
70
22
73,33
14
46,66
Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap penerimaan panelis terhadap warna cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka mempengaruhi
penerimaan panelis terhadap warna
cookies.
Tabel 10
menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 10 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis pada warna cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 2,00000 2,31667 2,41667 0,207
3,26667 1,000
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor tertinggi untuk penerimaan warna adalah cookies F1. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, semakin rendah penerimaan panelis terhadap warna cookies karena cookies yang dengan penambahan tepung jerami nangka memiliki warna yang gelap dan kecoklatan.
Aroma Makanan segar mengandung campuran komplek volatil yang memberikan karakteristik flavor dan aroma. Komponen ini dapat hilang selama pengolahan dan mengurangi intesitas flavor dan aroma (Fellows 2000). Hasil
uji
mutu
hedonik
terhadap
aroma
nangka
pada
cookies
menunjukkan bahwa cookies F0 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak beraroma sampai sangat harum) dengan jumlah terbanyak adalah 2 (tidak beraroma nangka). Jumlah terbanyak cookies F1 pada skala 4 (agak harum), sementara cookies F2 dan F3 memiliki jumlah terbanyak 5 (harum). Distribusi frekuensi penilaian mutu aroma cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11 Distribusi frekuensi penilaian mutu aroma cookies F0
Skala 1 (sangat tidak beraroma) 2 (tidak beraroma) 3 (agak tidak beraroma) 4 (agak harum) 5 (harum) 6 (sangat harum) Total
n 9 6 8 5 2 30
% 30 20 26,67 16,67 6,67 100
F1 n 3 14 13 30
F2
% 10 46,67 43,33 100
n 2 2 8 17, 1 30
% 6,67 6,67 26,67 56,67 3,33 100
F3 n 3 5 7 15 30
% 10 16,67 23,33 50 100
Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap mutu aroma cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka mempengaruhi mutu aroma cookies. Tabel 12 menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 12 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu aroma cookies N
N
F0 F1 F3 F2 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 1,73333
1,000
2,60000 2,73333 2,93333 0,408
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F2 dan skor terendah diperoleh cookies F0. Tingkat penambahan tepung jerami nangka pada cookies tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma nangka pada cookies. Hasil uji hedonik terhadap aroma cookies menunjukkan bahwa hanya cookies F0 yang memperoleh skor terbanyak pada skala 4 (agak suka). Cookies
lainnya, yakni F1, F2, dan F3 memperoleh skor terbanyak pada skala 5 (suka) terhadap penilaian aroma cookies. Distribusi frekuensi penerimaan panelis aroma cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 13. Persentase penerimaan panelis terhadap aroma cookies jerami nangka berkisar antara 83,33%-96,67% (Tabel 13). Cookies F0 memiliki persentase penerimaan terhadap aroma sebesar 96,67%. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki persentase penerimaan terbesar adalah cookies F1. Tabel 13 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap aroma cookies Skala 1 (sangat tidak suka) 2 (tidak suka) 3 (agak tidak suka) Total 4 (agak suka) 5 (suka) 6 (sangat suka) Total (% penerimaan)
F0
F1
F2
F3
n 1 1 12 9 8
% 3,33 3,33 40 30 26,67
n 1 1 2 10 15 3
% 3,33 3,33 6,66 33,33 50 10
n 2 1 3 7 16 4
% 6,67 3,33 10 23,33 53,33 13,33
n 3 1 4 4 21 -
% 10 3,33 13,33 13,33 70 -
29
96,67
28
93,33
27
90
25
83,33
Hasil sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka tidak berpengaruh nyata ( >0,05) terhadap penerimaan panelis terhadap aroma cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap aroma cookies. Rasa Atribut rasa terdiri dari rasa asin, manis, pahit, dan asam. Atribut ini disebabkan oleh formulasi yang digunakan dan tidak dipengaruhi oleh proses pengolahan (Fellows 2000). Cookies yang dihaslkan memiliki rasa dominan manis, terutama cookies dengan penambahan tepung jerami nangka karena adanya kandungan gula pada jerami nangka itu sendiri. Berdasarkan mutu rasa, cookies kontrol memperoleh skor 4 sampai 6 (agak enak sampai sangat enak). Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak enak sampai sangat enak). Skor terbanyak semua formula adalah 5 (enak). Distribusi frekuensi penilaian mutu rasa cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 14. Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap mutu rasa cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka berpengaruh terhadap mutu rasa cookies. Tabel 15 menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05).
Tabel 14 Distribusi frekuensi penilaian mutu rasa cookies F0
Skala 1 (sangat tidak enak) 2 (tidak enak) 3 (agak tidak enak) 4 (agak enak) 5 (enak) 6 (sangat enak) Total
n 2 20 8 30
F1
% 6,67 66,67 26,67 100
n 3 8 19 30
% 10 26,67 63,33 100
F2 n 1 3 6 19 1 30
% 3,33 10 20 63,33 3,33 100
F3 n 8 11 11 30
% 26,67 36,67 36,67 100
Tabel 15 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu rasa cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 3 1,86667 2,38333 2,38333 2,48333 3,26667 0,055 0,960 1,000
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor mutu rasa tertinggi adalah cookies F1. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, mutu rasa cookies semakin rendah, yakni rasa cookies semakin tidak enak karena adanya after taste. After taste ini dapat disebabkan oleh perendaman jerami nangka dengan natrium metabisulfit yang cukup lama atau karena getah nangka yang tidak hilang sepenuhnya pada tepung meskipun telah melalui proses pengolahan. Menurut Lindsay (1985) penggunaan natrium metabisulfit lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan penurunan citarasa. Getah mengandung senyawaan dammar, yaitu berupa polimer yang memiliki rasa pahit (Anonim 2005). Hasil uji hedonik terhadap rasa biskuit menunjukkan bahwa cookies kontrol memperoleh skor 3 sampai 6 (agak tidak suka sampai sangat suka). Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai sangat suka). Seluruh formula cookies memperoleh skor terbanyak pada skala 5 (suka). Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap rasa cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 16. Persentase penerimaan panelis terhadap rasa cookies jerami nangka berkisar antara 70%-96,67%. Persentase penerimaan tertinggi terhadap rasa adalah cookies F1 (Tabel 16).
Tabel 16 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap rasa cookies F0
Skala 1 (sangat tidak suka) 2 (tidak suka) 3 (agak tidak suka) Total 4 (agak suka) 5 (suka) 6 (sangat suka) Total (% penerimaan)
F1
F2
F3
n 2 2 3 18 7
% 6,67 6,67 10 60 23,33
n 1 1 9 20 -
% 3,33 3,33 30 66,67 -
n 1 2 3 11 15 1
% 3,33 6,67 10 36,67 50 3,33
n 2 7 9 10 11 -
% 6,67 23,33 30 33,33 36,67 -
28
93,33
29
96,67
27
90
21
70
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap penerimaan panelis terhadap rasa cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka mempengaruhi penerimaan panelis terhadap rasa cookies. Tabel 17 di bawah ini menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 17 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis terhadap rasa cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 1,88333
2 2,45000 2,66667
1,000
0,729
3
2,66667 3,00000 0,387
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor tertinggi pada penerimaan rasa adalah cookies F1. Hasil uji ini menunjukkan pula bahwa semakin banyak tepung jerami nangka yang ditambahkan, semakin rendah pula penerimaan terhadap rasa cookies. Tekstur Tekstur makanan ditentukan oleh kadar air, kadar lemak, jenis dan jumlah karbohidrat strutur (selulosa, pati, dan zat pektin), serta protein. Perubahan tekstur disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi, hidrolisis karbohidrat polimer, dan koagulasi atau hidrolisis protein (Fellows 2000). Hasil uji mutu hedonik terhadap tekstur cookies menunjukkan bahwa cookies F0 memperoleh skor terbanyak pada skala 6 (sangat renyah). Formula lainnya (F1, F2, dan F3) memperoleh skor terbanyak pada skala 4 (agak renyah).
Distribusi frekuensi penilaian mutu tekstur cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 18 berikut. Tabel 18 Distribusi frekuensi penilaian mutu tekstur cookies F0
Skala
n 1 7 10 12 30
1 (sangat keras) 2 (keras) 3 (agak keras) 4 (agak renyah) 5 (renyah) 6 (sangat renyah) Total
F1
% 3,33 23,33 33,33 40 100
n 15 14 1 30
% 50 46,67 3,33 100
F2 n 1 2 21 6 30
% 3,33 6,67 70 20 100
F3 n 7 20 3 30
% 23,33 66,67 10 100
Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap mutu tekstur cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka berpengaruh terhadap mutu tekstur cookies.Tabel 19 menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 19 Hasil uji lanjut Duncan terhadap mutu tekstur cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 3 1,81667 2,06667 2,70000 3,41667 0,446 1,000 1,000
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F0 skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor tertinggi pada mutu tekstur adalah cookies F1. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, mutu tekstur cookies semakin rendah, yakni tekstur cookies semakin keras. Sifat keras ini disebabkan oleh kandungan serat yang tinggi pada cookies dengan penambahan tepung jerami nangka, terutama serat tidak larut air. Selain itu persentase penggunaan mentega putih dan margarin terhadap total bahan juga semakin berkurang dengan bertambahnya penambahan tepung jerami nangka. Padahal kedua bahan tersebut berfungsi sebagai pelembut tekstur. Hasil uji hedonik terhadap tekstur cookies menunjukkan bahwa cookies F0 memperoleh skor 4 sampai 6 (agak suka sampai sangat suka) dengan nilai terbanyak adalah 5 (suka). Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka memperoleh skor 2 sampai 5 (tidak suka sampai suka) dengan nilai terbanyak adalah 5 (suka) untuk cookies F1 dan F2. Nilai terbanyak cookies F3 adalah 4
(agak suka). Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap tekstur cookies yang dihasilkan dtunjukkan oleh Tabel 20. Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies jerami nangka berkisar antara 53,33%-100% (Tabel 20). Cookies kontrol (F0) memiliki persentase penerimaan terhadap tekstur sebesar 100%. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki persentase penerimaan terbesar adalah cookies F1. Tabel 20 Distribusi frekuensi penerimaan panelis terhadap tekstur cookies F0
Skala 1 (sangat tidak suka) 2 (tidak suka) 3 (agak tidak suka) Total 4 (agak suka) 5 (suka) 6 (sangat suka) Total (% penerimaan)
F1
F2
F3
n 0 5 15 10
% 0 16,67 50 33,33
n 4 4 10 16 -
% 13,33 13,33 33,33 53,33 -
n 1 5 6 10 14 -
% 3,33 16,67 20 33,33 46,67 -
n 2 12 14 12 4 -
% 6,67 40 46,67 40 13,33 -
30
100
26
86,66
24
80
16
53,33
Hasil sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh sangat nyata ( <0,05) terhadap penerimaan panelis terhadap tekstur cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka mempengaruhi penerimaan panelis terhadap tekstur cookies. Tabel 21 menunjukkan hasil uji lanjut Duncan ( =0,05). Tabel 21 Hasil uji lanjut Duncan terhadap penerimaan panelis terhadap tekstur cookies N
N
F3 F2 F1 F0 Sig.
30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 3 1,56667 2,35000 2,68333 1,000
0,298
3,40000 1,000
Berdasarkan uji lanjut Duncan, skor tertinggi diperoleh cookies F0 dan skor terendah diperoleh cookies F3. Cookies dengan penambahan tepung jerami nangka yang memiliki skor tertinggi pada penerimaan tekstur adalah cookies F1. Hasil ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan tepung jerami nangka, semakin rendah pula penerimaan panelis terhadap tekstur cookies.
Sifat Kimia Cookies Jerami Nangka Sifat kimia cookies yang dianalisis meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat by difference, dan serat makanan. Lebih lanjut dijelaskan berikut. Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1992). Hasil analisis kimia keempat formula cookies menunjukkan bahwa kadar air cookies berkisar antara 2,30%-3,51% (bb), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22. Kadar air ini telah memenuhi syarat SNI No 01-2973-92, yaitu batas maksimal kadar air cookies adalah 5%. Tabel 22 Kadar air cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Air (% b/k) 3,51 2,30 2,43 2,24
Hasil sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka tidak berpengaruh nyata ( >0,05) terhadap kadar air cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka tidak mempengaruhi kadar air cookies. Kadar abu Abu merupakan residu dari proses pembakaran bahan-bahan organik, umumnya merupakan pertikel halus dan berwarna putih. Kadar abu merupakan parameter kemurnian produk, yang dipengaruhi oleh unsur-unsur mineral dalam bahan pangan tersebut (Winarno 1992). Hasil analisis kimia keempat formula cookies menunjukkan bahwa kadar abu cookies berkisar antara 2,31%-2,43% (bk), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 23. kadar abu cookies ini telah melebihi kadar abu yang ditetapkan oleh SNI No 01-2973-92, yaitu batas maksimal kadar abu adalah 1,6% (bk). Tabel 23 Kadar abu cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Abu (% b/k) 2,31 2,33 2,41 2,43
Hasil sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka tidak berpengaruh nyata ( >0,05) terhadap kadar abu
cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka tidak mempengaruhi kadar abu cookies. Menurut Sujono (2003), kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang merupakan zat anorganik sehingga tidak terbakar selama proses pembakaran. Kadar protein Pemasakan membuat protein lebih mudah dicerna karena berubahnya susunan asam-asam amino, seperti pada putih telur yang sukar dicerna saat mentah. Suhu terlalu tinggi saat pengolahan dapat menurunkan nilai protein (Nicholls 1987). Hasil analisis kimia keempat formula cookies menunjukkan bahwa kadar protein cookies berkisar antara 6,82%-7,84% (bk), seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 24. Kadar protein belum memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh SNI, yaitu 9,5% (bk). Tabel 24 Kadar protein cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Protein (%b/k) 6,82 7,25 7,46 7,84
Hasil sidik ragam (Lampiran 14) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar protein cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka berpengaruh terhadap kadar protein cookies sehingga dilanjutkan dengan uji regresi. Menurut Santoso (2008), uji regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel, yakni hubungan penambahan tepung jerami nangka terhadap kadar zat gizi (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat larut air, serat tidak larut air, serta serat makanan total). Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar protein cookies. Secara rinci hasil regresi dapat dilihat pada Lampiran 15. Hubungan penambahan tepung jerami nangka dengan kadar protein cookies memiliki persamaan: Y = 6,794 + 0,001x2, dengan R2 = 0,910 Berdasarkan persamaan tersebut, dapat digambarkan kurva hubungan lebih jelas seperti terlihat pada Gambar 6. Dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif, yakni penambahan tepung jerami nangka cenderung meningkatkan kadar protein cookies.
Gambar 6 Kurva regresi kadar protein 2
Nilai R atau R square atau koefisien determinasi dapat digunakan untuk menghitung besarnya peranan atau pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung. Nilai R2 berkisar antara 0-1, semakin kecil nilai R2 maka hubungan kedua variabel semakin lemah. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati 1, hubungan kedua variabel semakin kuat (Sarwono 2008). Nilai R2 = 0,910 berarti sebanyak 91% peningkatan kadar protein dapat dijelaskan oleh penambahan tepung jerami nangka. Kadar lemak Lemak berguna dalam pengolahan bahan pangan, yakni berfungsi sebagai media penghantar panas. Lemak juga dapat memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan (Winarno 1992). Kadar lemak yang dihasilkan oleh keempat formula cookies berkisar antara 28,83%-30,62% (bk), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 25. Kadar lemak ini telah memenuhi batas minimal yang ditetapkan oleh SNI, yakni 10%. Tabel 25 Kadar lemak cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Lemak (%b/k) 30,62 29,46 28,83 29,22
Hasil sidik ragam (Lampiran 16) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka tidak berpengaruh nyata ( >0,05) terhadap kadar lemak cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka tidak mempengaruhi kadar lemak cookies.
Kadar karbohidrat Karbohidrat dihitung by difference, yaitu selisih dari penjumlahan kandungan gizi lainnya (kadar air, abu, protein, dan lemak). Kadar karbohidrat yang dimiliki oleh keempat cookies berkisar antara 59,33%-65,24% (bk), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 26. Kadar ini masih belum memenuhi standar minimal SNI untuk kadar karbohidrat cookies, yakni 70%. Kadar karbohidrat merupakan sisa dari penjumlahan sehingga dipengaruhi oleh kandungan gizi lainnya. Tabel 26 Kadar karbohidrat cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Karbohidrat (%b/k) 65,24 60,94 61,30 59,33
Hasil sidik ragam (Lampiran 17) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka tidak berpengaruh nyata ( >0,05) terhadap kadar karbohidrat cookies. Hal ini berarti penambahan tepung jerami nangka tidak mempengaruhi kadar karbohidrat cookies. Kadar serat larut air Kadar serat larut air keempat formula cookies berkisar antara 1,83%5,38% (bk), sepeti yang terlihat pada Tabel 27. Terjadi peningkatan kadar serat larut air cookies dengan penambahan tepung jerami nangka dibandingkan dengan cookies kontrol. Tabel 27 Kadar serat larut air cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Serat Larut Air (%b/k) 1,83 4,40 4,58 5,38
Hasil sidik ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar serat larut air cookies sehingga dilanjutkan dengan uji regresi. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar serat larut air cookies. Secara rinci hasil regresi dapat dilihat pada Lampiran 19. Hubungan penambahan tepung jerami nangka dengan kadar serat larut air cookies memiliki persamaan: Y = 2,102 + 0,005x2, dengan R2 = 0,933
Berdasarkan persamaan tersebut, dapat digambarkan kurva hubungan lebih jelas seperti terlihat pada Gambar 7. Dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif, yakni penambahan tepung jerami nangka meningkatkan kadar serat larut air cookies. Nilai R2 = 0,933 berarti sebanyak 93,3% peningkatan kadar serat larut air dapat dijelaskan oleh penambahan tepung jerami nangka.
x Gambar 7 Kurva regresi kadar serat larut air cookies Kadar serat tidak larut air Kadar serat tidak larut air keempat formula cookies berkisar antara 0,99%-7,34% (bk), seperti yang terlihat pada Tabel 28. Terjadi peningkatan kadar serat tidak larut air cookies dengan penambahan tepung jerami nangka dibandingkan dengan cookies kontrol. Peningkatan juga terjadi diantara cookies dengan tingkat penambahan tepung jerami nangka yang berbeda. Tabel 28 Kadar serat tidak larut air cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Serat Tidak Larut Air (%b/k) 0,99 5,07 6,62 7,34
Hasil sidik ragam (Lampiran 20) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar serat tidak larut air cookies sehingga dilanjutkan dengan uji regresi. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata <0,05) terhadap kadar serat tidak larut air cookies. Secara rinci hasil regresi dapat dilihat pada Lampiran 21. Hubungan penambahan tepung jerami nangka dengan kadar serat tidak larut air cookies memiliki persamaan: Y = 0,930 + 0,236x, dengan R2 = 0,990
Berdasarkan persamaan tersebut, dapat digambarkan kurva hubungan lebih jelas seperti terlihat pada Gambar 8. Dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif dan linier, yakni semakin banyak penambahan tepung jerami nangka maka semakin tinggi kadar serat tidak larut air cookies. Nilai R2 = 0,990 berarti sebanyak 99% peningkatan kadar serat tidak larut air dapat dijelaskan oleh penambahan tepung jerami nangka. Y
x Gambar 8 Kurva regresi kadar serat tidak larut air cookies Kadar serat makanan total Kadar serat makanan total keempat formula berkisar antara 2,83%12,72% (bk), seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 29. Terjadi peningkatan kadar serat makanan total cookies dengan penambahan tepung jerami nangka dibandingkan dengan cookies kontrol. Peningkatan juga terjadi diantara cookies dengan tingkat penambahan tepung jerami nangka yang berbeda. Tabel 29 Kadar serat makanan total cookies Perlakuan F0 F1 F2 F3
Kadar Serat Makanan Total (%b/k) 2,83 9,48 11,20 12,72
Hasil sidik ragam (Lampiran 22) menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata ( <0,05) terhadap kadar serat makanan total cookies sehingga dilanjutkan dengan uji regresi. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata <0,05) terhadap kadar serat makanan total cookies. Secara rinci hasil regresi dapat dilihat pada Lampiran 23. Hubungan penambahan tepung jerami nangka dengan kadar serat makanan total cookies memiliki persamaan: Y = 2,773 + 0,264x, dengan R2 = 0,998
Berdasarkan persamaan tersebut, dapat digambarkan kurva hubungan lebih jelas seperti terlihat pada Gambar 9. Dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif dan linier, yakni semakin banyak penambahan tepung jerami nangka maka semakin tinggi kadar serat makanan total cookies. Nilai R2 = 0,998 berarti sebanyak 99,8% peningkatan kadar serat makanan total dapat dijelaskan oleh penambahan tepung jerami nangka. Berdasarkan persamaan di atas juga dapat diperoleh jumlah minimal penambahan tepung jerami nangka agar memenuhi persyaratan cookies tinggi serat (6 gram serat per 100 gram bahan atau setara dengan 6% serat), yakni 12,22 gram.
Gambar 9 Kurva regresi kadar serat makanan total cookies Takaran Saji Cookies Berdasarkan uji hedonik diperoleh formula cookies terpilih, yakni cookies F1. Berdasarkan AKG dewasa kebutuhan energi per hari adalah 2000 kkal. Proporsi makanan selingan adalah 10% dari total kebutuhan energi harian. Hal ini berarti dibutuhkan energi sebesar 200 kkal, yang dapat diperoleh dari 37,18 gram cookies. Berat satu keping cookies adalah 3 gram sehingga dibutuhkan 13 buah cookies dengan total kandungan energi 210 kkal, protein 2,83 gram, lemak 11, 49 gram, karbohidrat 23,77 gram, serta serat makanan 3,7 gram.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses pembuatan tepung jerami nangka terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi pembersihan dan pemilahan jerami nangka, blanching, perendaman dengan natrium metabisulfit, penggilingan jerami nangka, pengeringan dengan drum drier, dan penggilingan tepung. Sifat fisik tepung jerami nangka yang diuji adalah densitas kamba dan rendemen. Densitas kamba tepung jerami nangka adalah 0,17 g/mL, sementara rendemennya adalah 11,78%. Tepung jerami nangka memiliki kadar air 6,68% (bb); kadar abu 4,38% (bk); kadar protein 7,86% (bk); kadar lemak 6,13% (bk); kadar karbohidrat 81,6% (bk); kadar serat larut air 16,72% (bk); kadar serat tidak larut air 33,57% (bk) dan kadar serat makanan total 50,29% (bk). Formulasi cookies dibuat dengan menambahkan sejumlah tepung jerami nangka dalam adonan dasar cookies untuk memenuhi syarat tinggi serat. Keempat formula tersebut adalah cookies F0 tanpa penambahan (0 gram) tepung jerami nangka; cookies F1 dengan penambahan 8% (19 gram) tepung jerami nangka; cookies F2 dengan penambahan 9,5% (23 gram) tepung jerami nangka; serta cookies F3 dengan penambahan 11% (27 gram) tepung jerami nangka. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur cookies. Hasil uji hedonik untuk parameter warna, rasa, dan tekstur menunjukkan bahwa penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis. Kisaran hasil uji kimia pada cookies antara lain kadar air 2,30%-3,51% (bb); kadar abu 2,31%-2,43% (bk); kadar protein 6,82%-7,84% (bk); kadar lemak 28,83%-30,62% (bk); kadar karbohidrat 59,33%-65,24% (bk); kadar serat larut air 1,83%-5,38% (bk); kadar serat tidak larut air 0,99%-7,34% (bk); serta kadar serat makanan total 2,83%-12,72% (bk). Penambahan tepung jerami nangka berpengaruh nyata pada kadar protein, kadar serat larut air, kadar serat tidak larut air, serta kadar serat makanan total. Minimal tepung jerami nangka yang dapat ditambahkan ke dalam cookies untuk memenuhi syarat produk tinggi serat adalah 12,22 gram.
Saran Perlu dicari beberapa metode yang lebih baik dalam pembuatan tepung jerami nangka agar dihasilkan tepung dengan ukuran yang lebih kecil dan warna yang lebih cerah. Uji daya simpan juga perlu dilakukan untuk mengetahui berapa lama cookies jerami nangka dapat disimpan. Pemanfaatan jerami nangka dapat dilakukan dengan mencari variasi produk lain berbahan dasar jerami nangka agar dapat meningkatkan nilai ekonomisnya.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Almond N. 1988. Biscuits, Cookies, and Crackers Vol.2: The Biscuit Making Process. New York: Elsevier Science Publishing Ltd. [Anonim]. 27 Okt 2001. Fiber drink: minuman suplemen atau obat pengurus? Harian Republika:14. . 2005. Tanaman obat Indonesia. http://www.iptek.net [10 Oktober 2009]. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2002. Produk serat alami yang mengandung Psyllium husk/ Plantago ovata/ Isphagula husk. http://www.pom.go.id [10 Oktober 2009]. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Brennan JG, Buthers JR, Cowel ND, Lily AVE. 1974. Food Engineering Operation. London: Apllied Science Publisher Ltd. Department of Nutrition Ministry of Health, and Institute of Health. 1999. Nutrition Labelling: Handbook of Nutrition Claims. Singapore: Department of Nutrition Ministry of Health, and Institute of Health. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Kegemukan akibat kurang serat. http://www.depkes.go.id [20 Maret 2008]. Faridi H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. New York: Chapman & Hall. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology. Boca Raton: CRC Press. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Harris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit ITB. Hawthorn J. 1981. Foundations of Food Science. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Johantika EEB. 2002. Pemanfaatan kangkung darat (Ipomea reptans poir) dalam pembuatan biskuit tinggi serat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Juming T, Feng H, Shen GQ. 2003. Drum Drier. New York: Marcel Dekker Inc. Kusumawati T. 2001. Mempelajari subtitusi tepung pisang nangka (Musa parasidiaca forma Typica) terhadap beras (Oryza sativa) dan kacang
hijau (Phaseolus radiatus) pada pembuatan produk ekstruksi [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lembaga Biologi Nasional LIPI. 1977. Buah-buahan. Bogor: Balai Pustaka. Lindsay RC. 1985. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Matz SA. 1992. Bakery Technology and Engineering. New York: Van Nostrand Reinhold. Matz SA, Matz TD. 1978. Cookie and Cracker Technology. Westport: Avy Publishing Company. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Meliani V. 2002. Mempelajari penggunaan tepung sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fsb.) sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR. 1981. Pengaruh penyimpanan beku terhadap mutu daging buah nangka [tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. . 2000. Sayur-sayuran, Sumber Serat dan Antioksidan. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mudjajanto ES, Yulianti LN. 2004. Membuat Aneka Roti. Jakarta: Penebar Swadaya. Nicholls L. 1987. Ilmu Gizi dan Ilmu Diit di Daerah Tropik. Jakarta: Balai Pustaka. Novandrini SD. 2003. Pengaruh penambahan ikan terhadap mutu gizi dan penerimaan abon nangka [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nyiwarsini. 2003. Keragaan kandungan serat pangan pada pangan fungsional minuman serbuk sumber serat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parker R. 2003. Introduction to Food Science. New York: Delmar. Pantasticco ERB. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Potter NN, Hotchkiss JH. 1995. Food Science. New York: Chapman & Hall, International Thomson Publishing. Risanti U. 1992. Pemanfaatan jerami nangka dalam bentuk selai dengan penambahan kalium sorbat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Santoso S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sarwono J. 2008. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta: ANDI. Satuhu S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Setiadi
R. 2007. Mengonsumsi pangan organik. http://klipingut.wordpress.com/2007/06/23/mengonsumsi-pangan-organik [20 Maret 2008].
Sizer F, Whitney E. 2000. Nutrition: Concepts and Controversies. Pennsylvania: Wadsworth. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Biscuit dan Cookies SNI 01-2973. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Sudjana. 1980. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito. Sujono H. 2003. Mempelajari pemanfaatan germ gandum dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1995. Metode Analisis Gizi dan Komponen Kimia Lainnya dalam Makanan. Bogor: Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulistijani DA. 2005. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta: Puspa Swara. Sunaryono. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar gizi Kuliner. Jakarta: Grasindo. Therik F. Pemanfaatan tepung talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widianarko B, et al. 2002. Tips Pangan: Teknologi, Nutrisi, dan Kemananan Pangan. Jakarta: PT Grasindo. Widyati R. 2000. Pengetahuan Dasar Pengolahan Makanan Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran 1 Metode analisis sifat fisik dan kimia A. Analisis sifat fisik 1. Densitas kamba Sampel dituangkan ke dalam gelas ukur yang telah diketahui berat dan volumenya,
kemudian
diratakan
satu
arah
sampai
sampel
rata
permukaannya. Volume dan berat sampel dalam gelas ukur dapat dilihat. Densitas kamba = berat (gram) volume (mL) 2. Rendemen Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir, yakni jerami nangka atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku utama, dapat dinyatakan dalam desimal atau persen. Perhitungan: Rendemen = b x 100% a Keterangan: a = berat bahan baku awal b = berat produk akhir B. Analisis sifat kimia 1. Kadar air metode pemanasan langsung (Sulaeman et al 1995) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven suhu 100-1200C sekitar 15 menit, didinginkan dalam desikator (untuk cawan aluminium 10 menit dan cawan porselen 20 menit), kemudian ditimbang. Contoh sebanyak kurang lebih 3 gram (a) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 100-1050C selama 3 jam. Cawan yang berisi contoh diangkat kemudian didinginkan dalam desikator, setelah itu ditimbang kembali dan dikurangi berat cawan (b). Perhitungan: Kadar air (%bb) = a – b x 100% A 2. Kadar abu metode tanur (Sulaeman et al 1995) Cawan porselen dipanaskan dalam oven dan didinginkan dalam desikator dan timbang. Haluskan bahan dan timbang sebanyak 5 gram sampel dalam cawan, kemudian bakar di atas api Bunsen, setelah tidak berasap masukkan dalam tanur. Pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih keabu-abuan pada suhu 5500C. Cawan diambil dengan penjepit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Perhitungan: % Abu = Berat abu (gr) x 100% Berat sampel (gr) 3. Kadar protein metode semi mikro kjeldahl (Sulaeman et al 1995) Bahan ditimbang kira-kira 0,1-0,5 gram menurut besarnya kandungan protein, bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 0,5 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat. Sampel kemudian didekstruksi sampai diperoleh larutan berwarna jernih dan uap SO2 hilang. Hasil dekstruksi ditambah aquades dan dimasukkan ke dalam labu destilasi, kemudian ditambahkan NaOH ke dalam labu dan dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3%, lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metal merah-biru). Perhitungan: % Kandungan protein = ml titrasi x N HCl x fp x 14 x fk x 100% berat sampel 4. Kadar lemak metode soxhlet (Sulaeman et al 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven suhu 1050C selama 30 menit, dinginkan dalam desikator (15 menit) dan timbang (A). Timbang 5 gram sampel (S) kemudian dibungkus dengan kertas saring. Masukkan pelarut heksan ke dalam labu secukupnya. Masukkan kertas saring berisi sampel ke dalam alat ekstraksi soxhlet. Panaskan labu lemak dan ekstraksi sampai pelarut berwarna jernih. Setelah selesai pelarut disulingkan kembali sampai pelarut habis. Labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C sampai berat tetap. Dinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan timbang (B). Perhitungan: % Lemak = B – A x 100% S 5. Kadar serat metode enzimatis (Sulaeman et al 1995) Sampel digiling lalu diekstrak lemaknya dengan menggunakan heksana. Timbang 0,5 gram sampel dan masukkan dalam erlenmeyer, tambahkan 25 ml 0,1 M buffer Natrium fosfat pH 6, aduk dan tambahkan 0,1 ml enzim Termamyl. Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan inkubasi dalam penangas air pada suhu 1000C selama 15 menit, biarkan dingin. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 1,5 menggunakan HCl dan 100 mg
pepsin. Tutup Erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 400C selama 60 menit. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 6,8 menggunakan NaOH dan 100 mg pankreatin. Tutup Erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 400C selama 60 menit. Atur pH menjadi 4,5 menggunakan HCl, saring dan cuci dengan 2x10 ml air destilata. Residu yang diperoleh dicuci dengan 2x10 ml etanol 95% dan 2x10 ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan. Timbang dan dinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat yang diperoleh diatur volumenya sampai 100 ml, dan tambahkan 400 ml etanol 95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring dan cuci dengan 2x10 ml etanol 78%, 2x10 ml etanol 95%, dan 2x10 ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C selama semalam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Perhitungan: % Serat makanan tidak larut (IDF) = D1 – I1 – B1 x 100% W % Serat makanan larut (SDF) = D2 – I1 – B2 x 100% W % Serat makanan total = % IDF + % SDF Keterangan: W = berat sampel (gr) D = berat setelah dianalisis dan dikeringkan (gr) I = berat setelah diabukan (gr) B = berat blanko bebas serat (gr) 6. Kadar karbohidrat by difference (Winarno 1992) % Karbohidrat = 100% - (% air + % protein + % lemak + % abu)
Lampiran 2 Lembar penilaian organoleptik cookies jerami nangka
1.
Lembar Uji Hedonik (Kesukaan)
Nama Panelis :
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin : L / P Nama Produk : Cookies Jerami Nangka Di hadapan Saudara terdapat beberapa produk cookies. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur dari produk cookies ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= agak tidak suka 4= agak suka 5= suka 6= sangat suka Beri nomor sesuai jawaban pilihan. Kode
Rasa
Aroma
Warna
Tekstur
Keterangan : Jangan membandingkan antar sampel
Komentar/Saran: ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ...................................................................................................................... TERIMA KASIH
2.
Lembar Uji Mutu Hedonik
Nama Panelis :
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin : L / P Nama Produk : Cookies Jerami Nangka Di hadapan Saudara terdapat beberapa produk cookies. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, dan tekstur dari produk cookies ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : Rasa
Aroma (Nangka)
Warna
Tekstur
1= sangat tidak enak
1= sangat tidak beraroma
1= sangat gelap
1= sangat keras
2= tidak enak
2= tidak beraroma
2= gelap
2= keras
3= agak tidak enak
3= agak tidak beraroma
3= agak gelap
3= agak keras
4= agak enak
4= agak harum
4= agak terang
4= agak renyah
5= enak
5= harum
5= terang
5= renyah
6= sangat enak
6= sangat harum
6= sangat terang
6= sangat renyah
Beri nomor sesuai jawaban pilihan. Kode
Rasa
Aroma
Warna
Tekstur
Keterangan : Jangan membandingkan antar sampel
Komentar/Saran: ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ......................................................................................................................
TERIMA KASIH
Lampiran 3 Klaim gizi serat makanan Klaim Sumber/mengandung serat makanan (source of dietary fiber, contains dietary fiber) Tinggi serat makanan (high in dietary fiber, high source of dietary fiber, good source of dietary fiber, fiber rich)
Petunjuk/Pedoman > 1,5 g per 100 kkal > 3 g per 100 g > 3 g per 100 ml >4 g per saji > 3 g per 100 kkal > 6 g per 100 g* > 6 g per 100 ml Penambahan serat makanan sebanyak > 25% dibandingkan dengan pangan rujukan**
Diperkaya serat makanan (more dietary fiber, increased dietary fiber, enriched dietary fiber, added dietary fiber)
Sumber: Departement of Nutrition, Ministry of Health, and Institute of Health (1999) dalam Johatika (2002) * Standar yang digunakan untuk menentukan klaim gizi dalam penelitian ini. Lampiran 4 Hasil sidik ragam mutu warna cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 83,467 39,533 123,000
df 3 116 119
Mean Square 27,822 0,341
F 81,637
Sig. 0,000
Lampiran 5 Hasil sidik ragam penerimaan panelis terhadap warna cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 26,350 78,150 104,500
df 3 116 119
Mean Square 8,783 0,674
F 13,037
Sig. 0,000
F 12,211
Sig. 0,000
Lampiran 6 Hasil sidik ragam mutu aroma cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 25,200 79,800 105,000
df 3 116 119
Mean Square 8,400 0,688
Lampiran 7 Hasil sidik ragam penerimaan panelis terhadap aroma cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
0,450 89,050 89,500
3 116 119
0,150 0,768
0,195
0,899
Lampiran 8 Hasil sidik ragam mutu rasa cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
30,083 70,417 100,500
3 116 119
10,028 0,607
16,519
0,000
Lampiran 9 Hasil sidik ragam penerimaan panelis terhadap rasa cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 19,817 76,183 96,000
df 3 116 119
Mean Square 6,606 0,657
F 10,058
Sig. 0,000
Lampiran 10 Hasil sidik ragam mutu tekstur cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 46,050 48,950 95,000
df 3 116 119
Mean Square 15,350 0,422
F 36,376
Sig. 0,000
Lampiran 11 Hasil sidik ragam penerimaan panelis terhadap tekstur cookies
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
52,117 62,383 114,500
3 116 119
17,372 0,538
32,303
0,000
F 6,486
Sig. 0,051
F 0,782
Sig. 0,563
F 16,314
Sig. 0,010
Lampiran 12 Hasil sidik ragam kadar air cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1,911 0,393 2,303
df 3 4 7
Mean Square 0,637 0,098
Lampiran 13 Hasil sidik ragam kadar abu cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 0,020 0,034 0,054
df 3 4 7
Mean Square 0,007 0,009
Lampiran 14 Hasil sidik ragam kadar protein cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1,083 0,089 1,172
df 3 4 7
Mean Square 0,361 0,022
Lampiran 15 Hasil uji regresi kadar protein cookies Model 1
R 0,954(a)
R Square 0,910
Adjusted R Square 0,895
R2 = 0,910
Std. Error of the Estimate 0,13231
Lampiran 15 Hasil uji regresi kadar protein cookies (lanjutan) Unstandardized Coefficients B Std. Error
Model 1
(Constant) N2
6,794 0,001
Standardized Coefficients Beta
0,085 0,000
0,954
t
Sig.
80,085 7,807
0,000 0,000
Model regresi yang diperoleh: Y = 6,794 + 0,001x2 Lampiran 16 Hasil sidik ragam kadar lemak cookies Sum of Squares 3,579 1,138 4,716
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 1,193 0,284
F 4,193
Sig. 0,100
Sig. 0,444
Lampiran 17 Hasil sidik ragam kadar karbohidrat cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
474,005 570,078 1044,083
3 4 7
158,002 142,520
1,109
Lampiran 18 Hasil sidik ragam kadar serat larut air cookies Sum of Squares 14,164 0,061 14,225
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 4,721 0,015
F 312,156
Sig. 0,000
Lampiran 19 Hasil uji regresi kadar serat larut air cookies Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
0,966(a)
0,933
0,921
0,39966
R2 = 0,933 Unstandardized Coefficients B Std. Error
Model 1
(Constant) N2
2,102 0,005
Standardized Coefficients Beta
0,256 0,001
Model regresi yang diperoleh: Y = 2,102 + 0,005x2
0,966
t
Sig.
8,202 9,113
0,000 0,000
Lampiran 20 Hasil sidik ragam kadar serat tidak larut air cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 48,291 0,118 48,409
df 3 4 7
Mean Square 16,097 0,030
F 544,276
Sig. 0,000
Lampiran 21 Hasil uji regresi kadar serat tidak larut air cookies Model 1
R 0,995(a)
R Square 0,990
Adjusted R Square 0,988
Std. Error of the Estimate ,28761
R2 = 0,990 Unstandardized Coefficients B Std. Error
Model 1
(Constant) N
0,930 0,236
Standardized Coefficients Beta
0,198 0,010
0,995
t
Sig.
4,706 24,067
0,003 0,000
Model regresi yang diperoleh: Y = 0,930 + 0,236x Lampiran 22 Hasil sidik ragam kadar serat makanan total cookies Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 113,929 0,118 114,047
df 3 4 7
Mean Square 37,976 0,030
F 1285,155
Sig. 0,000
Lampiran 23 Hasil uji regresi kadar serat makanan total cookies Model 1
R 0,999(a)
R Square 0,998
Adjusted R Square 0,997
Std. Error of the Estimate 0,20253
R2 = 0,998 Unstandardized Coefficients B Std. Error
Model 1
(Constant) N
2,773 0,364
Standardized Coefficients Beta
0,139 0,007
Model regresi yang diperoleh: Y = 2,773 + 0,364x
0,999
t
Sig.
19,931 52,672
0,000 0,000