OPTIMASI KARBONATASI UNTUK PEMUCATAN RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
Oleh Agung Ardiansah F34103116
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
BIODATA PENULIS
Agung Ardiansah, dilahirkan 02 April 1985 di Jakarta, sebagai putra pertama Saidi dan Susilah. Penulis mulai memasuki dunia pendidikan di TK Nurul Hasanah selama setahun pada tahun 1989-1990. Penulis kemudian memasuki Sekolah Dasar 011 Petang Semanan, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTPN 45 Cengkareng, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 78 Kemanggisan, Jakarta Barat dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN). Penulis lulus pada tahun 2007 dan mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Selama masa pendidikannya, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi kampus. Beberapa organisasi yang pernah diikuti adalah Koperasi Mahasiswa IPB (KOPMA IPB), Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri FATETA IPB (HIMALOGIN IPB), dan ketua Agrifarma IPB. Selain itu penulis juga terlibat dalam Lomba Karya Tulis Mahasiswa tingkat IPB, Wilayah, dan Nasional. Penulis juga terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan dan seminar yang bertemakan wirausaha, manajemen, motivasi, dan penulisan karya ilmiah. Skripsi berjudul “Optimasi Karbonatasi Untuk Pemucatan Raw Sugar dengan Menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi” dan laporan praktek lapang yang berjudul ”Mempelajari Aspek Rekayasa Proses Produksi Gula Di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Tersana Baru Cirebon Jawa Barat” merupakan dedikasi penulis pada pengembangan teknologi proses untuk industri.
Agung Ardiansah. F34103116. Optimasi Karbonatasi Untuk Pemucatan Raw Sugar Dengan Menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi. Di bawah bimbingan : Prayoga Suryadarma. 2007
RINGKASAN Raw sugar merupakan gula yang dihasilkan dari proses pengolahan gula secara defekasi. Gula ini masih mengandung bahan pengotor sehingga penggunaannya untuk dikonsumsi manusia telah dilarang oleh FDA (Food and Drug Administration). Oleh karena itu, gula kasar tersebut harus melalui tahapan pemurnian agar dapat dikonsumsi oleh manusia atau digunakan sebagai gula berkualitas tinggi untuk industri. Warna pada kristal gula merupakan salah satu aspek kualitas yang sangat penting. Pada proses pembuatan gula kasar dengan defekasi, penghilangan warna belum efektif karena masih terdapat bahan pengotor, seperti asam amino dan gula pereduksi yang dapat membentuk warna dengan mekanisme reaksi pencoklatan non-enzimatik pada proses penguapan dan pemasakan sehingga zat warna tersebut terkristalkan dalam gula kasar. Selain itu, masih terdapat pigmen warna antosianin yang memberikan warna kuning dan tidak hilang dengan defekasi dan sulfitasi. Proses penghilangan bahan pengotor, termasuk zat warna dari larutan gula kasar dengan karbonatasi adalah lebih baik dibandingkan dengan defekasi dan sulfitasi. Peningkatan suhu akan mempercepat karbonatasi untuk membentuk endapan kalsium karbonat (CaCO3). Senyawa tersebut dapat mengikat dan mengendapkan bahan pengotor termasuk zat penyebab warna. Namun, peningkatan suhu reaksi dapat pula meningkatkan reaksi pencoklatan nonenzimatik secara karamelisasi dan reaksi Maillard. Selain itu, pencampuran gas CO2 dengan larutan nira yang mengandung susu kapur mempengaruhi terjadinya reaksi karbonatasi. Adanya Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pencampuran untuk karbonatasi. Dalam RVB, peningkatan laju alir cairan yang melewati celah sempit (noozle), akan menghasilkan laju alir cairan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan tekanan pada aliran keluar noozle. Adanya perbedaan tekanan pada pipa venturi dapat menyebabkan terjadinya difusi gas CO2 ke dalam venturi secara otomatis. Selain itu, peningkatan tekanan dalam reaktor dapat meningkatkan gas CO2 dalam cairan (gas hold up). Namun, peningkatan gas CO2 dalam cairan, setelah melewati titik keseimbangan maka endapan CaCO3 yang telah terbentuk akan kembali melarut dengan membentuk senyawa kalsium bikarbonat dan menghambat karbonatasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan mengetahui kondisi optimum karbonatasi dalam memucatkan warna larutan gula kasar dengan menggunakan RVB. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial dua tingkat dengan empat faktor, yaitu suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi. Nilai rendah untuk perbandingan suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi secara berturut-turut adalah 30°C, 300 l/jam, 0.3 kg/cm2, dan 5 menit, sedangkan nilai tingginya adalah 60°C, 600 l/jam, 0.5 kg/cm2, dan 15 menit. Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi optimum adalah metode permukaan respon.
Berdasarkan hasil analisa statistik, suhu dan laju alir cairan memiliki pengaruh yang signifikan untuk menurunkan tingkat warna pada selang kepercayaan 95.79% dan 92.18% dengan persen pengaruh 1.515% dan 0.119%. Di lain pihak, tekanan memiliki pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 86.55% dengan persen pengaruh 149.465%, sedangkan waktu reaksi memiliki pengaruh yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 21.57% dengan persen pengaruh 0.484%. Namun, pengaruh tekanan dan waktu reaksi dapat meningkatkan tingkat warna larutan gula. Dari hasil analisa metode permukaan respon, diketahui bahwa kondisi terbaik untuk memucatkan larutan gula adalah minimum pada tingkat warna sebesar 393.78 IU dengan nilai faktor suhu reaksi 51.51°C, laju alir cairan 465.57 l/jam, tekanan 0.3 kg/cm2, dan waktu reaksi adalah 5 menit.
Agung Ardiansah. F34103116. Optimization on Carbonatation for Raw Sugar Bleaching with Loop Venturi Reactor. Under supervision: Prayoga Suryadarma. 2007
SUMMARY
Raw sugar is a sugar which comes from defecation. These sugar still contains impurities, because of the use for human consumption has been forbidden by FDA (Food and Drug Administration). Therefore, the sugar must pass through clarification in order to get consumed or to get use as high quality sugar for industry. The colour of sugar crystal is an important thing in quality aspect. In defecation, colour removing is not effective because it is still containing impurities, such as amino acids and reducing sugar which will produce brown colour by mechanism of non-enzymatic browning reaction in evaporation and crystallization, so that the colorant still entrapped in raw sugar crystal. Meanwhile, the impurities of anthocyanin will give yellow colour. It is still remain when defecation and sulphitation reaction implemented. Removing impurities and colorant from raw sugar with carbonatation is better than defecation and sulphitation. The temperature increasing will fasten the carbonatation for removing impurities. Nevertheless, the temperature increasing will develop non-enzymatic browning reaction by caramelization and Maillard reaction. Meanwhile, CO2 gasses and juice mixing are very important for influence to carbonatation. In loop venturi reactor, the increasing liquid flow pass the nozzle will result high liquid velocity and decrease the pressure. These conditions automatically absorb CO2 gasses and angle of venturi throat will form turbulence streams. Pressure in reactor will influence for increasing of CO2 gasses concentration in liquid (hold up gas). But the increasing of CO2 gasses concentration after pass through equilibrium can produce CaCO3 sediment dissolved form calcium bicarbonate compound and inhibit reaction. The purposes of this research are to find influence factor and optimum conditions of carbonatation for raw sugar bleaching with loop venturi reactor. Used method in this research was two level factorial with four factors, which were temperature, flow fluid of liquid, pressure, and time reaction. Low value for flow fluid of liquid, pressure, and time reaction were 30°C, 300 l/h, 0.3 kg/cm2, and 5 minutes, whereas the high value were 60°C, 600 l/h, 0.5 kg/cm2, and 15 minutes. Meanwhile, response surface methodology was used to found optimum conditions of response surface. From statistical analysis, temperature and flow fluid were having influence significantly with reducing color level of raw sugar liquid in level significance 95.79% and 92.18% with influence 1.515% and 0.119%, whereas pressure was have influence 149.465% in level significance 86.55%, but its influence gave positive response for increasing color level and reaction time had the effect to accelerated improving color level of raw sugar liquid with loop venturi reactor. From response surface method analysis, found the best conditions of color level
was minimum. It was 393.78 IU with factor value of temperature reaction was 51.51°C, flow fluid of liquid was 465.57 l/h, pressure was 0.3 kg/cm2, and reaction time was 5 minutes.
OPTIMASI KARBONATASI UNTUK PEMUCATAN RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Agung Ardiansah F34103116
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI KARBONATASI UNTUK PEMUCATAN RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Agung Ardiansah F34103116
Dilahirkan pada tanggal 2 April 1985 Di Jakarta
Tanggal Lulus :
September 2007
Menyetujui, Bogor,
September 2007
Prayoga Suryadarma S.TP, MT Dosen Pembimbing
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Optimasi Karbonatasi Untuk Pemucatan Raw Sugar dengan Menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2007
Agung Ardiansah NIM F34103116
KATA PENGANTAR Puji syukur hanyalah untuk Allah SWT atas segala berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana teknologi pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB. Dalam kualitas gula kristal, warna gula memiliki peranan yang sangat menentukan kualitas gula kristal. Karbonatasi dalam proses pemurnian sangat menentukan dalam penghilangan bahan penyebab warna. Selain itu, peluang adanya Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pencampuran dua fasa, cair dan gas. Penelitian
ini
berusaha
untuk
mendapatkan
faktor-faktor
yang
berpengaruh dan kondisi optimum karbonatasi dengan Reaktor Venturi Bersirkulasi dalam memucatkan raw sugar (gula kasar). Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih pada : 1. Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, nasehat, dan arahan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga ilmu yang bapak berikan menjadi ilmu yang berguna. 2. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen penguji dari Departemen Teknologi Industri Pertanian 3. PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. Penulis menyadari, usaha maksimal yang telah dilakukan belum mencapai sempurna dikarenakan keterbatasan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa sangat diharapkan untuk kesempurnaan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan civitas akademik dan pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................... ..i DAFTAR ISI ..............................................................................................ii DAFTAR TABEL...................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vi I.
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG........................................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN ....................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3 A. SUKROSA............................................................................................ 3 B. GULA KASAR (RAW SUGAR)............................................................. 3 C. WARNA GULA KRISTAL INDUSTRI................................................ 6 D. PENYEBAB PEMBENTUKAN WARNA ............................................ 6 1. Pigmen Warna Tebu ........................................................................ 7 2. Reaksi Pencoklatan Non-Enzimatik ................................................. 8 E. KARBONATASI................................................................................. 11 F. PERALATAN KARBONATASI ......................................................... 13 G. REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI ........................................... 15 III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 19 A. BAHAN DAN ALAT.......................................................................... 19 B. METODOLOGI .................................................................................. 20 1. Tahapan Penelitian ........................................................................ 21 2. Prosedur Penelitian........................................................................ 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 25 A. KARAKTERISTIK GULA KASAR ................................................... 25 B. PENGARUH FAKTOR REAKSI ....................................................... 27 C. ANALISA PERMUKAAN RESPON.................................................. 33 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 38 A. KESIMPULAN................................................................................... 38
ii
Halaman B. SARAN............................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39 LAMPIRAN .................................................................................................. 42
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi batang tebu ...................................................................... 4 Tabel 2. Komposisi bahan bukan gula dalam nira............................................. 4 Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan..................................................... 21 Tabel 4. Karakteristik gula kasar.................................................................. ..25 Tabel 5. Pengaruh faktor utama dan interaksi faktor terhadap tingkat warna larutan gula hasil karbonatasi dengan menggunakan RVB.... ..28 Tabel 6. Perbandingan tingkat warna pada kondisi optimum model, hasil verifikasi, dan industri gula rafinasi.................................................. 35 Tabel 7. Karakteristik larutan gula pada kondisi optimum dan karakteristik awal gula kasar............................................................................... ..36
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Struktur molekul sukrosa .............................................................. 3
Gambar 2.
Proses pengikatan bahan pengotor oleh ion kalsium dan kalsium fosfat ............................................................................................ 5
Gambar 3.
Reaksi tahap I pembentukan 1,2 enol ............................................ 9
Gambar 4.
Skema karamelisasi larutan gula pereduksi ................................... 9
Gambar 5.
Skema reaksi Maillard ................................................................ 11
Gambar 6.
Komposisi senyawa intermediet kalsium karbonat sakarat .......... 12
Gambar 7.
Tangki karbonatasi dengan menggunakan pengaduk ................... 13
Gambar 8.
Tangki karbonatasi tanpa menggunakan pengaduk...................... 14
Gambar 9.
Sistem plat dan tray kolom ......................................................... 14
Gambar 10. Desain pipa venturi ..................................................................... 15 Gambar 11. Desain RVB................................................................................ 16 Gambar 12. Aliran empat rezim pada venturi ................................................. 18 Gambar 13. Rangkaian peralatan karbonatasi dengan menggunakan RVB ..... 19 Gambar 14. Bagan alir tahapan penelitian ...................................................... 20 Gambar 15. Bagan alir prosedur penelitian..................................................... 23 Gambar 16. Pola interaksi antara suhu (X1) dan laju alir cairan (X2) terhadap tingkat warna.............................................................................. 32 Gambar 17. Perbandingan warna pada perlakuan optimasi ............................. 33 Gambar 18. Permukaan respon dari tingkat warna larutan gula sebagai fungsi dari suhu (X1) dan laju alir cairan (X2)........................................ 34
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis ......................................................................... 42 Lampiran 2. Data hasil analisis tingkat warna larutan gula ............................ 46 Lampiran 3. Data hasil analisis tingkat kemurnian (polarisasi) ...................... 47 Lampiran 4. Data hasil analisis gula pereduksi .............................................. 48 Lampiran 5. Data hasil analisis kejernihan .................................................... 49 Lampiran 6. Hasil statistik pengaruh linier variabel terhadap respon menggunakan SAS ..................................................................... 50 Lampiran 7. Data hasil analisis tingkat warna larutan gula pada optimasi....... 53 Lampiran 8. Hasil statistik pengaruh optimasi dan persen pengaruh variabel terhadap tingkat warna larutan gula menggunakan SAS .............. 54 Lampiran 9. Peralatan karbonatasi dengan menggunakan RVB ....................... 56
vi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Raw sugar atau gula kasar merupakan gula yang dihasilkan dari proses pengolahan nira secara defekasi. Gula ini masih mengandung berbagai pengotor sehingga penggunaannya untuk dikonsumsi manusia telah dilarang oleh FDA (Food and Drug Administration). Oleh karena itu, gula kasar tersebut harus melalui tahapan pemurnian agar dapat dikonsumsi oleh manusia atau digunakan sebagai gula berkualitas tinggi untuk industri. Warna pada kristal gula merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengawasan mutu (Moerdokusumo, 1993). Terbentuknya warna yang disebabkan oleh pigmen tanaman, reaksi enzimatik, dan reaksi nonenzimatik dapat menurunkan kualitas gula (Achyadi dan Maulidah, 2004). Pada proses pembuatan gula kasar dengan defekasi, penghilangan warna belum berlangsung efektif karena hanya sebagian kecil zat pembentuk warna yang dapat dihilangkan. Selain itu, masih terdapat bahan pengotor, seperti asam amino dan gula pereduksi yang dapat membentuk warna dengan mekanisme reaksi pencoklatan non-enzimatik pada proses penguapan dan pemasakan sehingga zat warna tersebut terkristalkan dalam gula kasar. Oleh karena itu, proses pemucatan gula kasar menjadi sangat penting dalam meningkatkan kualitas gula kristal (Namiki, 1988). Proses penghilangan bahan pengotor, termasuk zat warna dari larutan gula kasar dengan karbonatasi adalah lebih baik dibandingkan dengan defekasi dan sulfitasi (Goutara dan Wijandi, 1975). Dalam karbonatasi, terjadi reaksi pembentukan endapan senyawa kalsium karbonat (CaCO3) oleh kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan gas karbondioksida (CO2). Senyawa kalsium karbonat akan mengadsorpsi dan mengendapkan bahan-bahan pengotor termasuk zat warna (Mathur, 1978). Peningkatan suhu reaksi akan mempercepat
terbentuknya
senyawa
kalsium
karbonat,
mempercepat
penghilangan bahan pengotor, dan pemucatan larutan gula kasar. Namun,
meningkatnya suhu akan menyebabkan terjadinya karamelisasi gula pereduksi dan meningkatnya reaksi Maillard (Whitfield, 1992). Selain karena faktor suhu reaksi, efisiensi pencampuran susu kapur dan gas CO2 merupakan kebutuhan yang esensial (Mathur, 1978). Selama ini, gas CO2 diabsorpsikan dalam bentuk gelembung dan ada pula yang menggunakan pengaduk. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan gas hold up (Shirsat et al., 2003), sehingga gas CO2 lebih banyak berada dalam larutan gula dan kontak antara gas CO2 dengan larutan gula yang mengandung susu kapur akan semakin meningkat. Namun, tangki karbonatasi yang ada saat ini masih kurang efisien karena masih banyak gas CO2 yang tidak terabsorpsi ke dalam larutan gula dan terbuang sehingga proses pencampuran kurang baik serta kurang menghemat energi, terutama untuk menggerakkan pengaduk dan mengalirkan gas CO2. Oleh karena itu, penggunaan Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) diharapkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi pencampuran gas CO2 dengan susu kapur dalam larutan gula kasar dan menghemat energi karena tidak memerlukan pengaduk dan blower. Aliran keluar nozzle pada venturi yang sangat cepat menyebabkan penurunan tekanan dan meningkatkan difusi gas CO2 sehingga akan meningkatkan fraksi gas dalam cairan atau gas hold up (Mandal et al., 2005). Namun, semakin banyak gas CO2 yang terabsorpsi dapat menyebabkan kalsium karbonat yang telah terbentuk akan kembali membentuk senyawa kalsium bikarbonat (Ca(HCO3)2) yang larut dan hal tersebut akan menghambat karbonatasi (Mathur, 1978). Oleh karena itu, pentingnya mengetahui kondisi optimum dari peluang penggunaan RVB dalam karbonatasi untuk pemucatan gula kasar.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui pengaruh suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi terhadap pemucatan gula kasar pada karbonatasi dengan menggunakan RVB. 2. Mengetahui kondisi optimum faktor yang berpengaruh terhadap pemucatan gula kasar pada karbonatasi dengan menggunakan RVB. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SUKROSA Sukrosa adalah senyawa karbohidrat yang mempunyai rumus kimia C12H22O11 dan merupakan disakarida yang terdiri dari dua komponen monosakarida, yaitu D-glukosa dan D-fruktosa. Nama kimia yang lebih tepat dari sukrosa adalah α-D-glukopiranosil-β-D-fruktofuranosida dan rumus bangunnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur molekul sukrosa Kristal sukrosa mempunyai sistem monoklin yang berbentuk kristal monoklin
hemimorpik
(spenoidal)
dan
bentuknya
sangat
bervariasi.
Kemurnian sukrosa mempengaruhi bentuk dan keadaan badan kristal, sukrosa murni tidak berwarna dan transparan. Sukrosa mudah larut dalam air dan dipengaruhi oleh zat lain yang terlarut dalam air serta sifat zat tersebut. Semakin tinggi suhu dan jumlah garam terlarut dalam air maka semakin tinggi pula jumlah sukrosa yang dapat terlarut, terutama garam yang mengandung nitrogen, seperti protein dan asam amino (Goutara dan Wijandi, 1975). B. GULA KASAR (RAW SUGAR) Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3140.1-2001), gula kasar (raw sugar) adalah gula kristal sukrosa yang dibuat dari tebu (Saccharum sp.) melalui defekasi. Gula tersebut tidak dapat dikonsumsi oleh 3
manusia sebelum diproses lebih lanjut karena masih mengandung bahan pengotor. Gula kasar Australia terdiri dari 98% sukrosa, dan bahan pengotor bukan gula diantaranya 0.22% gula pereduksi (glukosa dan fruktosa), 0.37% bahan organik (gum, asam amino, dan komponen warna yang berasal dari tebu), 0.3% abu (garam kalsium dan potasium), dan 0.31% air. Sebelum nira tebu diolah, larutan nira terdiri dari beberapa komposisi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, komposisi bahan bukan gula dalam nira tebu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Komposisi batang tebu No. 1 2 3 4 5 6 7
Komponen Sukrosa Gula pereduksi Senyawa organik Zat anorganik Sabut Zat warna, malam dan gum Air
Komposisi (%) 11-14 0.5-2 0.15-2.0 0.5-2.5 10-15 7.5-15 60-80
Sumber: Moerdokusumo (1993)
Tabel 2. Komposisi bahan bukan gula dalam nira No. Komponen 1 Hemiselulosa dan pentosan (xilan) Pektin 2 Protein tinggi (albumin) Protein sederhana (albuminosa dan pentosa) Asam amino (glisin, asam aspartat, asparagin, dan glutamin) 3 Asam akonitat, oksalat, suksinat, glikolat, dan malat 4 Klorofil, antosianin, sakaretin, dan tanin 5 Lilin, lemak, dan sabun 6 Fosfat, klorida, sulfat, silikat, nitrat dari Na, K, Ca, Mg, Al, dan terutama Fe 7 Silika
Komposisi (%) 8.5 1.5 7.0 2.0 25 13 17 17 7 2
Sumber: Honig (1953)
Selama defekasi terjadi proses penghilangan asam organik bebas (asam oksalat, asam tartarat, dan lain-lain) dimana asam-asam tersebut tidak larut dalam nira dan membentuk garam dengan susu kapur. Selain itu, beberapa
4
pengotor bukan gula mengalami presipitasi, diantaranya albumin yang larut maupun yang tidak larut, asam fosfat, pigmen warna antosianin dalam jumlah kecil, senyawa yang mengandung nitrogen sebanyak 50-60% dari total senyawa yang mengandung nitrogen, pektin dalam jumlah kecil, dan gum. Bahan pengotor tersebut secara fisik berasal dari alam dan mengalami presipitasi oleh ion kalsium dan ion fosfat yang membentuk endapan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) (Mathur, 1978). Susu kapur akan bereaksi dengan komponen nira terutama dengan fosfat yang akan menghasilkan inti endapan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2). Mekanisme reaksi pembentukan inti endapan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) dapat dilihat pada persamaan (1), (2), (3), dan (4), sedangkan presipitasi bahan pengotor oleh senyawa Ca3(PO4)2 disajikan pada Gambar 2. Senyawa tersebut akan mengadsorpsi kotoran lain seperti gumpalan koloid yang bergabung membentuk gumpalan yang mudah diendapkan. Dengan kata lain, endapan Ca3(PO4)2 ini merupakan penghubung butiran koloid sehingga terbentuk gumpalan yang besar. Ca(OH)2
→
Ca2+
+
2OH-..............................(1)
H3PO4
→
3H+
+
PO43-..............................(2)
2PO43- →
Ca3(PO4)2..............................(3)
3Ca2+
+
3Ca(OH)2+2H3PO4
Ca3(PO4)2 + 3H2O.............................(4)
Ion kalsium Lapisan Adsorpsi Bahan pengotor
Kalsium fosfat mengalami presipitasi
Gambar 2. Proses pengikatan bahan pengotor oleh ion kalsium dan kalsium fosfat (Chen dan Chou, 1993)
5
Dengan teradsorpsinya butiran gumpalan koloid oleh garam Ca-fosfat, seluruh gumpalan besar akan memiliki densitas yang tinggi. Gumpalan fosfat dengan koloid bukan gula masih bersifat reversible (berubah kembali menjadi koloid) dan dinamakan peptisasi. Selain itu, gumpalan besar yang banyak mengandung butiran koloid memiliki sifat yang kurang baik, karena butiran koloid menyebabkan gumpalan bersifat kompresibel. Bila terkena tekanan, volume gumpalan mengecil dan bentuknya berubah. Sifat yang kurang baik dapat dikurangi jika ke dalam gumpalan dapat dimasukkan lebih banyak garam anorganik (Ca-karbonat, Ca-sulfit, dan sebagainya) sehingga gumpalan besar bersifat semi kompresibel. Gumpalan dapat menjadi tidak kompresibel jika gumpalan tersebut seluruhnya telah diselubungi garam Ca-anorganik (Soerjadi, 1985). C. WARNA GULA KRISTAL INDUSTRI Syarat gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman adalah gula dengan polarisasi ≥ 99.90%, tingkat warna ≤ 35 IU, kadar air ≤ 0.06%, kadar abu ≤ 0.02%, kristal bersih, kering, ukurannya seragam, dan tidak berbau atau berasa asing (Mochtar, 1996). Salah satu syarat dasar dalam gula rafinasi adalah warna. Jadi warna merupakan parameter penting dalam pengawasan mutu gula rafinasi. Warna mempunyai dua aspek yang penting, yaitu salah satu kriteria penilaian yang dapat dilihat dan sebagai ukuran dari derajat kemurnian (Moerdokusumo, 1993). Masalah warna dalam penilaian gula putih secara visual sangat rumit dan terdapat berbagai konsep yang bersifat sangat subjektif. Meskipun terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (0.1%), zat warna dalam gula sangat menentukan kualitas gula (Moerdokusumo, 1993). D. PENYEBAB PEMBENTUKAN WARNA Warna yang timbul dalam pengolahan gula kristal disebabkan oleh pigmen tanaman dan reaksi pencoklatan non-enzimatik (Mathur, 1978).
6
1. Pigmen Warna Tebu Nira tebu mengandung beberapa pigmen warna yang berasal dari jaringan tebu, seperti kulit tebu mengandung dua campuran pigmen warna klorofil dan antosianin. Selain itu, serat tebu mengandung sakaretin dan mata tunas batang tebu mengandung tanin, serta beberapa pigmen dalam jumlah kecil yang belum diketahui (Mathur, 1978). a. Klorofil Pigmen klorofil tidak larut dalam air dan larutan gula tetapi larut dalam alkohol dan eter. Pigmen ini tidak dipengaruhi oleh proses pemurnian dengan defekasi dan tidak bereaksi dengan asam. Klorofil merupakan koloid alami dan tetap tersuspensi dalam nira tebu. Penghilangan pigmen ini hanya dengan proses penyaringan setelah proses pemurnian tanpa mempengaruhi warna gula. b. Antosianin Pigmen antosianin larut dalam nira dan memberikan warna gelap ungu. Selain itu, penambahan susu kapur akan memberikan warna hijau gelap dalam nira. Proses pemurnian dengan defekasi tidak cukup untuk mengeliminasi pigmen ini. Hanya dengan karbonatasi pigmen ini akan tereliminasi sempurna. Pigmen ini tidak dapat dihilangkan
dengan
penambahan
asam
sulfur
karena
proses
penghilangan hanya bersifat sementara. c. Sakaretin Sakaretin merupakan pigmen yang berasal dari serat tebu. Pigmen ini tidak dapat diekstrak dengan air atau larutan gula, tetapi harus dengan penambahan alkali. Dengan penambahan susu kapur, pigmen ini memberikan warna kuning dan terekstrak serta terkristalkan dalam pembuatan gula kasar. Pigmen ini tidak berbahaya dan kurang memberikan warna pada kondisi netral atau asam.
7
d. Tanin Tanin memberikan warna hijau dalam larutan gula. Namun, apabila bereaksi dengan garam besi akan memberikan warna gelap. Pigmen ini larut dalam nira dan selama proses pemanasan, nira akan terdekomposisi menjadi katekol dan penambahan alkali akan membentuk protochateuic acid. 2. Reaksi Pencoklatan Non-enzimatik Reaksi pencoklatan non-enzimatik pada proses pengolahan gula dapat disebabkan oleh karamelisasi gula dan reaksi Maillard. a. Karamelisasi Karamelisasi merupakan reaksi pencoklatan non-enzimatik yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan (Mathur, 1978) tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen, seperti protein dan asam amino (Putra, 1990). Karamelisasi memberikan warna mulai dari kuning hingga coklat tua dan warna akan semakin gelap selama peningkatan suhu (Broadhurst, 2002). Selama proses pemanasan, fruktosa akan terlebih dahulu terdekomposisi, kemudian glukosa, dan diakhiri oleh sukrosa (Mathur, 1978). Pada karamelisasi gula pereduksi, dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap 1,2 enolisasi, (2) tahap dehidrasi atau fisi, dan (3) tahap pembentukan pigmen. Tahap satu yang menghasilkan senyawa 1,2 enol dapat dilihat pada Gambar 3. Reaksi ini akan lebih cepat pada suasana basa (Shallenberger dan Birch, 1975). Tahap kedua dapat terjadi melalui reaksi dehidrasi (pelepasan air) atau reaksi fisi (pemecahan). Dehidrasi terjadi pada pemanasan gula dalam suasana asam, yaitu pada nilai pH di bawah 6.4 dan mencapai maksimal pada nilai pH dibawah 3.0 (Hodge, 1953). Setelah reaksi dehidrasi maka terbentuk senyawa 5-hidroksimetil-2-furfuraldehida yang merupakan senyawa prekursor dari pigmen coklat.
8
C
O H
H
C
OH
CH2OH
C
OH
C
O
HO
C
H
C
H
H
C
OH
HO
C
H
H
C
OH
H
C
OH
H C
OH
H
C
OH
H
C
OH
H C
OH
panas
CH2OH
panas
HO
CH2OH
D-glukosa
CH2OH
1,2 enol
D-Fruktosa
Gambar 3. Reaksi tahap I pembentukan 1,2 enol (Eskin et al., 1971) Pada tahap fisi terjadi pemecahan 1,2 enol menghasilkan senyawa-senyawa redukton, seperti triosaenidol dan piruvaldehidrat yang juga merupakan prekursor pigmen coklat. Proses fisi terjadi pada pemanasan gula dalam kondisi basa, namun dapat terjadi pula dalam kondisi asam lemah. Semakin meningkat pH, maka proses fisi akan meningkat secara cepat (Hodge, 1953). Adapun tahapan karamelisasi gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 4.
Glukosa Fruktosa 1,2 enolisasi 1,2 enol
5-hidroksimetil2-furaldehida
Asam laktat Gliseraldehid piruvaldehidrat
Polimerisasi dan kondensasi Pigmen Coklat
Gambar 4. Skema karamelisasi larutan gula pereduksi
9
Selama proses pemanasan dengan larutan alkali, adanya ion OH- akan menyebabkan degradasi sukrosa dan terbentuk senyawa furfural, 5-hidroksimetil-2-furfuraldehida, asam format, dan lain-lain. Pada pH 12, pemanasan selama 1 jam akan menyebabkan kehilangan sukrosa sebanyak 0.5%. Senyawa yang terbentuk selama proses pemanasan dengan alkali, walaupun dalam jumlah kecil, senyawa tersebut dapat memberikan warna coklat tua dan akan semakin cepat dengan peningkatan suhu. Pada suhu 200°C, larutan akan terdiri dari senyawa yang larut dalam air, tidak manis, dan tidak dapat difermentasikan yang disebut karamel. Diduga larutan tersebut mengandung senyawa asam glukinat, asam apoglukinat, asam humat, dan asam sakarat (Goutara dan Wijandi, 1975). b. Reaksi Maillard Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan non-enzimatik yang melibatkan asam amino dan gugus karbonil terutama gula pereduksi. Reaksi Maillard tidak membutuhkan suhu yang tinggi, namun laju reaksi akan meningkat tajam pada suhu yang tinggi dan menyebabkan pencoklatan semakin cepat terjadi. Langkah pertama dalam reaksi tersebut adalah reaksi kondensasi aldosa dan asam amino yang melibatkan pembukaan lingkaran gula, penambahan gugus amin pada grup karbonil, dan berikutnya penghilangan air untuk membentuk basa schiff, yang selanjutnya
mengalami
siklisasi
membentuk
N-substituted
glycosylamin. Kunci dari reaksi pencoklatan ini adalah terbentuknya amadori rearrangement yang merupakan isomerasi dari N-substituted aldosylamine menjadi 1-amino-1-deoksi-2-ketosa. Reaksi Maillard dapat dilihat pada Gambar 5 (Ikan et al.,1996).
10
Aldosa (Gula pereduksi)
Asam amino/ protein Glukosilamin substitusi - N Penataan ammadori 1-amino-1-deoksi-2ketosa substitusi -N 3-deoksiheksosan + amin
Metildikarbonil +amin Redukton dikarbonil
Melanoidin
5-hidroksimetil 2-furfuraldehida + amin
+ asam amino (degradasi strecker) CO2 + aminoketon + aldehida
+ amin
Gambar 5. Skema reaksi Maillard E. KARBONATASI Secara umum, proses pemurnian nira dilakukan dengan defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi. Defekasi hanya menghasilkan gula kasar yang masih banyak mengandung bahan pengotor. Pada sulfitasi, bahan pengotor yang dihilangkan masih lebih rendah dibandingkan karbonatasi. Selain itu, sulfitasi akan menyebabkan korosi besi pada pipa-pipa. Bahan pengotor yang dapat dihilangkan dengan defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi adalah 12.7%, 11.7%, dan 27.9% (Mathur, 1978). Karbonatasi merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi susu kapur (Ca(OH)2) dan gas CO2 membentuk endapan senyawa kalsium karbonat
11
(CaCO3) melalui mekanisme yang dapat dilihat pada persamaan (5), (6), (7), dan (8) (Mathur, 1978). →
Ca(OH)2 CO2 Ca2+
+ +
H2O CO32- →
Ca(OH)2+CO2
Ca2+ +
2OH-
..................................(5)
H2CO3
…..............................(6)
CaCO3
…..............................(7)
CaCO3 + H2O ..................................(8)
Dalam karbonatasi, akan terjadi adsorpsi bahan pengotor, bahan penyebab warna, gum, asam organik, dan lain-lain. Proses ini diawali dengan terbentuknya senyawa intermediet antara sukrosa dan kalsium hidroksida. Sukrosa memiliki karakteristik kimiawi membentuk metal sakarat. Apabila dalam larutan sukrosa diberi metal hidroksida, maka akan terjadi reaksi yang akan membentuk suatu koloid keruh, bersifat gel, atau endapan. Koloid tersebut adalah ikatan sukrosa dengan metal hidroksida, misalnya satu mol sukrosa dengan satu mol kalsium hidroksida (Ca(OH)2) yang dinyatakan dengan rumus C12H22O11.Ca(OH)2, C12H22O11.CaO, dan C12H22O11.Ca (Goutara dan Wijandi, 1975). Sakarat dapat terurai oleh asam, bahkan oleh penambahan asam karbonat yang dihasilkan oleh pemberian gas CO2. Apabila sakarat diberi perlakuan dengan penambahan sedikit asam karbonat maka akan terbentuk senyawa intermediet (Mathur, 1978). Senyawa intermediet tersebut bersifat gel yang mempunyai komposisi seperti pada Gambar 6. . . – Ca – C12H20O11 – Ca – CO3 – Ca - C12H20O11 - Ca – CO3 - . . Gambar 6. Komposisi senyawa intermediet kalsium karbonat sakarat Peningkatan absorpsi gas CO2 dapat meningkatkan kondisi asam dan mengganggu kestabilan senyawa intermediet sehingga senyawa tersebut terurai menjadi sukrosa dan kalsium karbonat. Terbentuknya senyawa kalsium karbonat dapat mengadsorpsi dan mengendapkan bahan pengotor (Goutara dan Wijandi, 1975). Namun, apabila gas CO2 yang ditambahkan berlebih dalam nira maka kalsium karbonat yang telah terbentuk akan kembali menjadi
12
senyawa bikarbonat yang larut. Mekanisme penguraian kalsium karbonat dapat dilihat pada persamaan 9 (Mathur, 1978). CO2 + CaCO3 + H2O
Ca(HCO3)2..................(9)
Pada kondisi suhu 45°C, karbonatasi berlangsung lambat dan kurang sempurna, sedangkan pada suhu di atas 55°C akan terjadi penguraian gula pereduksi yang memunculkan warna coklat. Namun, kelemahan proses berlangsung pada suhu 55°C, yaitu memicu terjadinya fermentasi asam laktat. Dalam karbonatasi tunggal, sekitar 7-10% volume larutan gula kasar yang dipanaskan pada suhu 45–55°C, membutuhkan 20 beaume susu kapur (Mathur, 1978).
F. PERALATAN KARBONATASI Dalam karbonatasi, kebutuhan yang sangat penting adalah efisiensi pencampuran susu kapur dan gas CO2 (Mathur, 1978). Selama ini, proses pencampuran tersebut dilakukan dengan menggunakan kolom gelembung, tangki berpengaduk, plate dan tray kolom, spray tower, dan lain-lain (Mandal et al., 2005). Contoh desain tangki karbonatasi dengan menggunakan pengaduk, tanpa pengaduk, dan dengan sistem plate dan tray kolom dapat dilihat pada Gambar 7, 8, dan 9 (Mathur, 1978).
Liming tank
Stirrer
Gas CO2 inlet Juice inlet
Juice outlet
Gambar 7. Tangki karbonatasi dengan menggunakan pengaduk 13
Liming tank Gas CO2 inlet Gas CO2 inlet Juice inlet
Juice outlet
Gambar 8. Tangki karbonatasi tanpa menggunakan pengaduk
juice + lime inlet
Gas CO2 inlet
Juice outlet
Gambar 9. Sistem plate dan tray kolom 14
Proses pencampuran akan berlangsung secara efisien apabila kontak antara gas CO2 dan susu kapur semakin luas. Fenomena gas hold up atau fraksi gas dalam cairan menggambarkan kondisi pencampuran antara fasa gas dan fasa cairan. Pada kolom gelembung, gas hold up sangat dipengaruhi oleh kecepatan gelembung dan waktu tinggal gas dalam cairan (Shirsat et al., 2003). G. REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) merupakan tipe kontaktor basah. Venturi dikenal dengan beberapa nama yang disesuaikan dengan aplikasi, seperti injector, ejector, eductor, dan penukar panas dengan jet air. RVB merupakan sistem aliran jet dua fasa, yaitu fasa cair dan fasa gas (Atay, 1986). RVB memiliki desain yang sederhana dan tidak membutuhkan energi tambahan untuk mendispersikan gas, seperti blower untuk mengalirkan gas dan motor untuk memutar pengaduk (Mandal et al., 2005). RVB memiliki komponen peralatan utama, yaitu pipa venturi yang terdiri dari nozzle, difuser, leher venturi, dan konfuser. Adapun desain pipa venturi dapat dilihat pada Gambar 10 (Shirsat et al., 2003).
.
Gambar 10. Desain pipa venturi. 1 : Noozle; 2 : Suction chamber; 3 : leher venturi; 4 : difuser; 5 : konfuser
15
Pada RVB, cairan dialirkan melewati sebuah nozzle pada venturi dan menyebabkan distribusi droplet (gelembung mikro) cairan dengan kecepatan jet (sonik) (Atay, 1986). Kondisi ini mengikuti prinsip persamaan Bernaulli yang menyebabkan penurunan tekanan bahkan menjadi vakum di daerah aliran dengan kecepatan jet. Adanya perbedaan tekanan mengakibatkan terjadinya difusi gas dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah (McCabe et al.,1985) dan gas terabsorpsi ke dalam cairan. Aliran gelembung mikro yang sangat cepat dan terjadinya gesekan antara gelembung-gelembung serta leher venturi yang konvergen menyebabkan aliran menjadi turbulen (Mandal et al., 2005). Oleh karena aliran yang turbulen dan luasnya permukaan kontak pada gelembung mikro, maka akan terjadi proses pencampuran yang sangat efisien. Selain itu, fenomena gas hold up pada RVB akan meningkatkan kualitas pencampuran dan reaksi gas dalam cairan (Wild et al., 2003). Hal itu dikarenakan aliran yang sangat cepat dan penurunan tekanan sehingga gas yang terjerap di antara gelembung mikro akan tertahan dalam cairan lebih lama (Shirsat et al., 2003). Adapun desain RVB dapat dilihat pada Gambar 11 (Shirsat et al., 2003).
.
Gambar 11. Desain RVB. C: kontaktor; SE: tangki pemisah; E: ejektor; GM: pengukur aliran gas; T: tangki sirkulasi; VS vessel pengumpul; R: Rotarometer; PG; pengukur tekanan; SV: kran solenoid; L: kolom cairan jernih; PU: pompa; AI: pemasukan gas; V1-V5: kran; dan M1-M8 : Manometer. 16
Terdapat empat rezim yang menggambarkan fenomena kecepatan dalam venturi diantaranya: 1. Rayleigh jet breakup Pada rezim ini, kecepatan jet berkisar antara 0 – 500 m/detik, aliran jet sangat dipengaruhi oleh tegangan permukaan dan gelembung belum banyak terbentuk. Adapun bentuk aliran jet yang terbentuk setelah melewati nozzle venturi dapat dilihat pada Gambar 12(a). 2. First wind induced breakup regime Pada rezim ini, kecepatan aliran jet berkisar antara 500 – 1000 m/detik, aliran jet dan pembentukan gelembung sangat dipengaruhi oleh diameter aliran jet. Pada kasus ini, meningkatnya pengaruh tegangan permukaan oleh gerakan cairan dan gas disebabkan distribusi tekanan statis yang melewati aliran jet dan akan mempercepat pemecahan aliran jet. Adapun bentuk aliran jet yang terbentuk setelah melewati nozzle venturi dapat dilihat pada Gambar 12(b). 3. Second wind induced breakup regime Pada rezim ini, kecepatan aliran jet berkisar antara 1000 – 1800 m/detik. Pembentukan gelembung sangat banyak dan lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan diameter aliran jet. Namun, gelembung yang dihasilkan tidak stabil dan memiliki gelombang ombak yang pendek pada permukaan aliran jet. Hal ini disebabkan adanya gerakan cairan dan gas dimana tegangan permukaan dipengaruhi oleh pembentukan aliran yang berombak. Adapun bentuk aliran jet yang terbentuk setelah melewati nozzle venturi dapat dilihat pada Gambar 12(c). 4. Atomization regime Pada rezim ini, kecepatan aliran jet lebih besar dari 1800 m/detik. Pemecahan aliran jet terjadi ketika aliran keluar nozzle, pembentukan gelembung terjadi sempurna dan ukurannya lebih kecil dari ukuran nozzle.
17
Adapun bentuk aliran jet yang terbentuk setelah melewati nozzle venturi dapat dilihat pada Gambar 12(d). Selain fenomena kecepatan aliran jet, fenomena tekanan dalam reaktor venturi akan sangat mempengaruhi karakteristik gelembung yang dihasilkan. Pada tekanan rendah (1 – 15 psi), aliran gelembung tidak mengalami atomization. Selain itu, pada tekanan di bawah 10 psi, sudut aliran gelembung adalah nol dan aliran cairan ke bawah berupa garis lurus. Apabila tekanan ditingkatkan diatas 15 psi dan di bawah 30 psi maka sudut aliran gelembung yang terbentuk adalah 15° dan aliran gelembung mencapai dinding leher venturi namun tidak terjadi atomization. Pada tekanan diatas 30 psi, terjadi atomization dan aliran gelembung mencapai dinding sehingga aliran menjadi turbulen dimana aliran yang turbulen sangat dibutuhkan dalam kontak antara cairan dan gas. Pada peningkatan tekanan diatas 50 psi, atomization akan semakin meningkat dan pembentukan gelembung sangat cepat terjadi bahkan tidak lagi dapat dilihat secara kasat mata. Intensitas aliran turbulen akan semakin meningkat apabila mencapai 100 psi (Atay, 1986).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 12. Aliran empat rezim pada venturi. (a) Rayleigh; (b) First wind induced;(c) Second wind induced;(d) Atomization 18
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah gula kasar (raw sugar) yang diperoleh dari PT Jawamanis Rafinasi Cilegon, Banten. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk karbonatasi adalah susu kapur (Ca(OH)2) dan gas CO2, serta bahan-bahan kimia untuk analisis.
2. Alat Peralatan yang digunakan adalah Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) dengan menggunakan pompa, flowmeter cairan, dan tabung gas CO2 disajikan pada Gambar 13, sedangkan peralatan pendukung seperti wadah, pompa vakum, filtering flask, dan buchner disajikan pada Lampiran 9.
Selain
itu,
peralatan
yang
digunakan
untuk
analisa
adalah
spektrofotometer, polarimeter, refraktometer, piknometer, pH meter, dan alat-alat gelas.
Gambar 13. Rangkaian peralatan karbonatasi dengan menggunakan RVB
19
B. METODOLOGI 1. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang disajikan pada Gambar 14.
Mulai
Karakterisasi gula kasar (raw sugar)
Penentuan pengaruh faktor reaksi (suhu, laju alir cairan, tekanan dan waktu reaksi)
Penentuan kondisi optimum faktor yang berpengaruh terhadap warna larutan gula
Selesai
Gambar 14. Bagan alir tahapan penelitian a. Karakterisasi Gula Kasar (Raw Sugar) Karakterisasi gula kasar dilakukan untuk mengetahui karakteristik gula kasar yang akan digunakan dalam karbonatasi dengan menggunakan RVB. Parameter karakteristik gula kasar yang digunakan adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, tingkat kemurnian (polarisasi), tingkat warna, gula pereduksi, dan kejernihan. Adapun prosedur karakterisasi gula kasar dapat dilihat pada Lampiran 1.
20
b. Penentuan Pengaruh Faktor Reaksi Pada tahap ini dilakukan penentuan faktor-faktor yang berpengaruh dalam karbonatasi dengan menggunakan RVB untuk pemucatan gula kasar. Faktor yang digunakan adalah suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi. Adapun rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial dua taraf (two level factorial design) dengan nilai tinggi dan rendah untuk masing-masing faktor disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai rendah dan tinggi perlakuan Jenis Perlakuan Kode Nilai rendah (-1) Suhu (°C) X1 30 Laju alir cairan (l/jam) X2 300 Tekanan (kg/cm2) X3 0.3 Waktu reaksi (menit) X4 5
Nilai tinggi (+1) 60 600 0.5 15
Model rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut : 4
Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj i=1
i<j
Keterangan: Y
: respon dari masing-masing perlakuan
ao, ai, aij
: parameter regresi
xi
: pengaruh linier faktor utama
xi xj
: pengaruh linier dua faktor
Nilai hasil interaksi antar faktor kemudian dianalisis untuk digunakan sebagai seleksi faktor dengan mengetahui koefisien parameter regresi, persen signifikansi (selang kepercayaan) dan pola interaksi faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon. Selain itu, nilai tersebut digunakan untuk mengetahui persen pengaruh faktor (Cowan, 1949), dimana persen pengaruh menggambarkan pengaruh perubahan faktor terhadap perubahan respon. Adapun persamaan persen pengaruh disajikan pada persamaan 10. 21
F Persen pengaruh =
x 100% ...........................(10) α0 (Xh – Xi)
Keterangan
F : pendugaan parameter
α0
: intersep
Xh : nilai tinggi faktor Xi : nilai rendah faktor c. Penentuan Kondisi Optimum Faktor-faktor yang telah terseleksi sebagai faktor yang berpengaruh signifikan dengan respon utama, yaitu tingkat warna, selanjutnya digunakan
untuk
menentukan
kondisi
optimum
dengan
Metode
Permukaan Respon (Response Surface Methodology) (Box et al., 1978). Model rancangan percobaan untuk mengetahui permukaan respon pengaruh faktor dalam karbonatasi gula kasar adalah sebagai berikut: n
n
Y = ao + ∑ aixi + ∑ aijxixj + ∑ aiixi2 i=1
i<j
i=1
Keterangan : Y
: respon dari masing-masing perlakuan
ao, ai, aij, aii
: parameter regresi
xi
: pengaruh linier faktor utama
xi xj
: pengaruh linier dua faktor
x i2
: pengaruh kuadratik faktor utama Nilai hasil interaksi antar faktor reaksi untuk pemukaan respon
dianalisis kembali dengan analisis statistik untuk mendapatkan kondisi optimum atau nilai terbaik pada nilai tingkat warna terendah. Kondisi optimum respon yang diperoleh kemudian diverifikasi untuk memvalidasi kondisi optimum respon dalam karbonatasi dengan menggunakan RVB. Selain itu, dilakukan pula analisis karakteristik larutan gula pada kondisi optimum dengan parameter yang dianalisa adalah kadar abu, kadar protein, tingkat kemurnian (polarisasi), gula pereduksi, dan kejernihan.
22
2. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yang disajikan pada Gambar 15.
Mulai Susu kapur 75 g/l
12 % larutan gula Persiapan bahan Hot liming 65-75 °C
Ampas
Penyaringan Gas CO2 Karbonatasi dalam RVB Pengambilan contoh Analisa Selesai
Gambar 15. Bagan alir prosedur penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan bahan baku gula kasar yang meliputi pembuatan larutan gula kasar sebesar 12% dan penambahan susu kapur yang dibuat dengan 75 g CaO/l larutan gula kasar. Proses pencampuran larutan gula kasar dan susu kapur dilakukan pada kondisi hot liming pada suhu 65-75°C. Kemudian larutan disaring dan filtrat jernihnya dimasukkan ke dalam RVB dengan kapasitas sebesar 3 l. Karbonatasi dilakukan dengan menginjeksikan larutan gula kasar yang telah ditambahkan susu kapur ke dalam RVB dan penambahan gas CO2 yang akan berdifusi dari tabung gas ke dalam RVB.
23
Suhu reaksi dikontrol dengan termokopel, sedangkan laju alir cairan dikontrol dengan flowmeter cairan dan tekanan dikontrol dengan pengukur tekanan gauss dan valve. Larutan dipanaskan hingga mencapai suhu reaksi, kemudian diinjeksikan ke dalam reaktor melalui venturi dan disirkulasi dengan pompa, lalu gas CO2 dialirkan ke dalam reaktor dan mulai dihitung waktu reaksi. Sampel diambil melalui drain yang berada pada selang untuk sirkulasi dan dimasukkan ke dalam gelas ukur. Kemudian sampel disaring dengan penyaring vakum, sampel larutan jernih dianalisa dengan uji tingkat warna, tingkat kemurnian (polarisasi), gula pereduksi, dan kejernihan. Parameter utama yang diamati adalah warna. Tingkat warna dianalisis dengan metode ICUMSA, dimana sampel diambil 50 g dengan penambahan serbuk kieselgel sebanyak 2 g dan 50 ml aquades, kemudian diukur densitas, briks, dan diuji dengan spektrofotometer. Hasil pengukuran spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm berupa nilai absorbansi. Nilai tersebut digunakan untuk mengetahui nilai ekstingsi dan dihitung menjadi tingkat warna.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK GULA KASAR Gula kasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan baku untuk pembuatan gula rafinasi pada PT Jawamanis Rafinasi, CilegonBanten. Karakterisasi gula kasar dilakukan untuk mengetahui karakteristik gula kasar tersebut pada larutan 12% gula kasar. Parameter yang dianalisa adalah kadar abu, kadar protein, tingkat kemurnian (polarisasi), tingkat warna, gula pereduksi, dan kejernihan. Untuk kadar air, analisa dilakukan dalam bentuk kristal gula kasar. Hasil analisis karakteristik gula kasar disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik gula kasar No. Parameter
1.
Satuan
Kadar air % b/b (kristal) 2. Kadar abu % b/b 3. Kadar protein % b/b 4. Tingkat kemurnian °Z (polarisasi) 5. Tingkat warna IU 6. Gula pereduksi % b/b 7. Kejernihan %T a SNI 01-3140.1-2001 b Sekretariat Dewan Gula Indonesia
Hasil Analisis
SNIa
0.03
-
Sekretariat Dewan Gula Indonesia (1996)b 0.3
0.03 0.01
Maks 0.5 -
0.3 -
96
Min 95
98
1652 0.198 89.88
Min 600 -
s/d 4000 s/d 0.4 -
Berdasarkan Tabel 4, gula kasar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air sebesar 0.03%. Nilai kadar air ini telah memenuhi standar Sekretariat Dewan Gula Indonesia, yaitu 0.3%. Kadar air dalam gula kasar mempengaruhi sifat tahan lama dalam penyimpanan. Semakin tinggi kadar air gula kasar dapat menjadi sarana untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga kerusakan sukrosa dapat terjadi (James dan Chung, 1993). 25
Kadar abu gula kasar berdasarkan Tabel 4 adalah 0.03%. Nilai kadar abu gula kasar telah memenuhi Standar Nasional Indonesia, yaitu 0.5% dan standar Sekretariat Dewan Gula Indonesia, yaitu 0.3%. Semakin tinggi kadar abu, maka akan menyebabkan masalah melasigenik, yaitu peningkatan kadar sukrosa dalam tetes dimana sukrosa akan membentuk senyawa metal sakarat dengan ion logam yang larut dalam air. Berdasarkan Tabel 4, kadar protein gula kasar sebesar 0.01%. Adanya senyawa bernitrogen dalam kristal gula kasar diidentifikasi merupakan senyawa asam amino dan senyawa hasil reaksi Maillard yang memberikan warna kuning hingga coklat. Di lain pihak, senyawa hasil reaksi Maillard, yaitu polimer melanoidin bersifat karsinogenik dan merugikan kesehatan (Apriyantono, 2002). Oleh karena itu, gula kasar belum layak dikonsumsi manusia (Anonim, 2007) sehingga senyawa bernitrogen dalam gula kasar harus dihilangkan. Tingkat kemurnian (polarisasi) gula kasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 96°Z. Berdasarkan Tabel 4, nilai tersebut telah memenuhi Standar Nasional Indonesia, yaitu 95°Z, tetapi belum memenuhi standar Sekretariat Dewan Gula Indonesia, yaitu 98°Z. Tingkat kemurnian gula kasar dipengaruhi oleh bahan pengotor termasuk zat penyebab warna yang terperangkap dalam kristal gula kasar. Semakin tinggi tingkat kemurnian gula kasar maka bahan pengotor termasuk zat penyebab warna akan semakin rendah. Kondisi tersebut akan memudahkan proses pemurnian (James dan Chung, 1993). Warna gula kasar berdasarkan Tabel 4 sebesar 1652 IU. Nilai tersebut telah memenuhi Standar Nasional Indonesia, yaitu minimal 600 IU, dan standar Sekretariat Dewan Gula Indonesia, yaitu kurang dari 4000 IU. Tingkat warna kristal gula dipengaruhi oleh bahan pengotor yang dapat memberikan warna. Bahan pengotor tersebut diidentifikasi sebagai senyawa hasil karamelisasi dan reaksi Maillard yang memberikan warna kuning hingga coklat. Selain itu, pigmen warna antosianin dapat pula memberikan warna kuning dalam gula kasar (Mathur, 1978). Oleh karena itu, penghilangan
26
senyawa penyebab warna menjadi sangat penting dalam meningkatkan kualitas gula kasar dan meningkatkan tingkat kemurnian sukrosa. Berdasarkan Tabel 4, gula kasar memiliki kadar gula pereduksi sebesar 0.198%. Nilai tersebut menunjukkan kadar gula pereduksi telah memenuhi standar Sekretariat Dewan Gula Indonesia, yaitu 0.4%. Adanya gula pereduksi diduga bahwa gula pereduksi terperangkap dalam proses pembentukan kristal gula kasar selama kristalisasi. Gula pereduksi akan mengganggu karbonatasi dikarenakan proses pencoklatan non-enzimatik secara karamelisasi dan reaksi Maillard dengan asam amino. Kejernihan gula kasar berdasarkan Tabel 4 adalah 89.88%T. Nilai tersebut menunjukkan masih terdapatnya bahan pengotor dalam gula kasar. Semakin tinggi kejernihan gula kasar menunjukkan semakin rendah bahan pengotor yang terlarut dalam larutan gula.
B. PENGARUH FAKTOR REAKSI Proses pemucatan gula kasar secara karbonatasi dengan menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi. Faktor-faktor tersebut dapat dioptimalkan, sehingga dapat mengurangi warna larutan gula kasar. Pada penelitian ini, dilakukan interaksi antar faktor reaksi yang berpengaruh terhadap tingkat warna larutan gula hasil karbonatasi dengan menggunakan RVB. Tingkat warna larutan gula setelah karbonatasi dianalisis dengan metode ICUMSA, kemudian hasil analisis dihitung secara statistik, sehingga dapat diketahui pengaruh linier dari faktor-faktor reaksi tersebut. Hubungan faktor reaksi terhadap respon dapat diketahui melalui serangkaian percobaan yang sistematis dan diuji melalui analisis statistika. Hubungan antara faktor reaksi dengan respon dapat disajikan dalam suatu model atau persamaan linier. Melalui persamaan linier tersebut diketahui pengaruh linier dari suhu, laju alir cairan, tekanan, dan waktu reaksi serta interaksi dua faktor berpengaruh terhadap respon.
27
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor reaksi yang diberikan yaitu suhu (X1) dan laju alir cairan (X2) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses pemucatan warna larutan gula kasar. Kedua faktor tersebut mempunyai pengaruh untuk menurunkan tingkat warna larutan gula. Data dan analisis tingkat warna larutan gula yang dihasilkan dari karbonatasi dengan menggunakan RVB disajikan pada Lampiran 2. Pengaruh faktor utama dan interaksi faktor terhadap tingkat warna larutan gula hasil karbonatasi dengan menggunakan RVB disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh faktor utama dan interaksi faktor terhadap tingkat warna larutan gula hasil karbonatasi dengan menggunakan RVB Parameter Intersep Suhu (X1) Laju alir cairan (X2) Tekanan (X3) Waktu (X4) Interaksi X1 dan X2 Interaksi X1 dan X3 Interaksi X1 dan X4 Interaksi X2 dan X3 Interaksi X2 dan X4 Interaksi X3 dan X4 R2
Koefisien 1677.438 -762.563 -596.688 501.437 81.188 448.062 -648.313 -167.063 -209.688 -336.938 154.937
Signifikansi (%) 99.81 95.79 91.28 86.55 21.57 82.82 93.08 42.18 51.07 71.56 39.47 0.8368
Pengaruh (%) 1.515 0.119 149.465 0.484
Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh signifikan pada proses pemucatan warna larutan gula kasar adalah suhu, laju alir cairan, dan tekanan, sedangkan waktu reaksi berpengaruh tidak signifikan. Faktor yang paling berpengaruh adalah suhu (X1) dengan persen pengaruh 1.515% pada selang kepercayaan 95.79%. Semakin tinggi suhu pada proses reaksi menyebabkan tingkat warna larutan gula hasil karbonatasi semakin menurun yang ditunjukkan oleh tanda negatif pada nilai koefisien parameter. Proses pemucatan warna larutan gula kasar ditandai oleh penurunan tingkat warna pada larutan gula setelah melalui karbonatasi dengan menggunakan RVB. Hal ini disebabkan karena peningkatan suhu akan mempercepat terjadinya reaksi ionik antara ion kalsium (Ca2+) dan ion 28
karbonat (CO32-) membentuk endapan kalsium karbonat (CaCO3). Dalam proses pembentukan endapan kalsium karbonat, terjadi pengikatan dan pengendapan bahan pengotor termasuk senyawa penyebab warna yang diduga sebagai senyawa hasil karamelisasi gula pereduksi dan hasil dari reaksi Maillard. Hal tersebut dibuktikan oleh kadar gula pereduksi yang semakin rendah setelah karbonatasi dengan menggunakan RVB. Data gula pereduksi dapat dilihat pada Lampiran 4. Selain itu, terjadi pula pengikatan dan pengendapan senyawa yang diduga sebagai senyawa antosianin dimana senyawa antosianin dapat dihilangkan dengan karbonatasi (Mathur, 1978). Mekanisme pengikatan dapat terjadi dengan cara menjerat bahan pengotor dalam kristal karbonat, mengadsorpsi bahan pengotor pada permukaan kristal dalam bentuk ikatan van der waals atau mempresipitasi bahan pengotor tersebut sebagai senyawa yang tidak larut (Chen dan Chou, 1993). Di lain pihak, berdasarkan Lampiran 6, suhu berpengaruh signifikan pada selang kepercayaan 96.87% dengan persen pengaruh 0.004% terhadap penurunan tingkat kemurnian (polarisasi), sedangkan terhadap kejernihan, suhu berpengaruh signifikan pada selang kepercayaan 96.38% dengan persen pengaruh 0.012% terhadap penurunan kejernihan larutan gula. Penurunan nilai polarisasi dan kejernihan menunjukkan masih adanya bahan pengotor dalam larutan gula. Namun, bahan pengotor tersebut tidak memberikan warna dalam larutan gula. Meskipun demikian, karbonatasi dengan menggunakan RVB dapat meningkatkan tingkat kemurnian (polarisasi) dari 95°Z menjadi 98.199.9°Z dan kejernihan dari 89.88%T menjadi 95.83-98.15%T. Berdasarkan Tabel 5, laju alir cairan (X2) memberikan pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 91.28% dengan persen pengaruh 0.119% terhadap proses pemucatan warna larutan gula kasar. Semakin tinggi laju alir cairan menyebabkan tingkat warna larutan gula kasar yang dihasilkan semakin menurun. Peningkatan laju alir cairan yang melalui nozzle pipa venturi pada RVB menyebabkan aliran keluar nozzle memiliki kecepatan yang sangat tinggi. Peningkatan kecepatan aliran cairan keluar nozzle mengakibatkan turunnya tekanan bahkan menjadi vakum, kondisi ini akan meningkatkan
29
absorpsi gas karbondioksida ke dalam larutan gula. Di lain pihak, kecepatan alir cairan melalui nozzle berada pada rejim atomization, yaitu lebih besar dari 1800 m/detik, dimana kecepatan alir cairan berupa kecepatan jet dan akan terpecah menjadi butiran-butiran cairan yang sangat kecil. Semakin kecil butiran cairan larutan gula, maka akan meningkatkan luas kontak permukaan reaksi gas karbondioksida dan larutan gula yang telah ditambahkan susu kapur. Selain itu, leher pipa venturi yang membentuk sudut akan menyebabkan terjadinya tumbukan antara aliran keluar nozzle yang berakibat aliran menjadi turbulen, sehingga meningkatkan proses pencampuran reaksi antara gas karbondioksida dan susu kapur dalam larutan gula. Hal tersebut dapat meningkatkan reaksi pembentukan endapan kalsium karbonat, pengikatan, dan pengendapan bahan penyebab warna, sehingga peningkatan laju alir cairan dapat meningkatkan proses pemucatan larutan gula kasar. Selain dapat menurunkan tingkat warna larutan gula, peningkatan laju alir cairan memberikan pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 98.92% dengan persen pengaruh 0.001% terhadap peningkatan tingkat kemurnian (polarisasi). Hal tersebut membuktikan bahwa pengaruh laju alir cairan dapat pula meningkatkan kemurnian larutan gula yang memiliki dampak terhadap penurunan tingkat warna larutan gula. Di lain pihak, peningkatan laju alir cairan memberikan pengaruh yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 28.18% dengan persen pengaruh 0.0002% terhadap peningkatan kejernihan larutan gula. Adapun analisis statistik pengaruh linier faktor terhadap tingkat kemurnian (polarisasi) dan kejernihan dapat dilihat pada Lampiran 6. Selain itu, peningkatan laju alir cairan dapat pula meningkatkan proses pencampuran gas CO2 dan larutan gula yang telah ditambah susu kapur untuk membentuk endapan kalsium karbonat, senyawa tersebut dapat mengikat dan mengendapkan bahan pengotor yang disebabkan karamelisasi dan reaksi Maillard. Hal tersebut ditandai dengan kadar gula pereduksi yang semakin rendah (tidak terdeteksi) dalam larutan gula setelah karbonatasi dengan menggunakan RVB. Data analisa gula pereduksi dapat dilihat pada Lampiran 4.
30
Peningkatan absorpsi gas CO2 ke dalam RVB dapat meningkatkan pencampuran gas CO2 dan larutan gula yang telah ditambah susu kapur. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas dari penggunaan RVB untuk karbonatasi dalam memucatkan larutan gula kasar, dimana penggunaan RVB dapat meningkatkan efisiensi pencampuran sampai 85-95%, sedangkan penggunaan reaktor karbonatasi dengan pengaduk dan tanpa pengaduk hanya memiliki efisiensi 75-85% (Meinert, 2007). Selain itu, penggunaan RVB dapat meningkatkan luas kontak permukaan 40000 – 70000 m2/m3, dimana penggunaan reaktor karbonatasi dengan pengaduk dan tanpa pengaduk hanya memiliki luas kontak permukaan 500-2500 m2/m3 (Hidayati, 2006). Berdasarkan Tabel 5, pada selang kepercayaan 86.55%, tekanan memberikan pengaruh yang signifikan dengan persen pengaruh 149.465%. Namun, pengaruh yang ditimbulkan akan meningkatkan tingkat warna larutan gula. Kondisi ini akan menurunkan kinerja proses yang bertujuan menurunkan tingkat warna larutan gula. Hal tersebut dapat terjadi karena peningkatan tekanan dalam RVB akan semakin meningkatkan gas hold up, dimana konsentrasi gas CO2 melewati titik keseimbangan, sehingga menyebabkan endapan CaCO3 kembali melarut menjadi senyawa bikarbonat. Selain itu, tekanan memberikan pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 90.88% terhadap penurunan kejernihan larutan gula. Adapun analisis statistik pengaruh linier faktor terhadap kejernihan dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan Tabel 5, pada selang kepercayaan 21.57%, waktu reaksi memberikan pengaruh yang tidak signifikan dengan persen pengaruh 0.484%. Meskipun demikian, pengaruh waktu dapat meningkatkan tingkat warna larutan gula. Hal itu dapat terjadi karena semakin lama waktu reaksi dapat meningkatkan konsentrasi gas CO2 dalam RVB sehingga menyebabkan endapan CaCO3 kembali melarut menjadi senyawa kalsium bikarbonat. Selain itu, dapat pula meningkatkan karamelisasi dan reaksi Maillard, sehingga memberikan warna pada larutan dan menghambat karbonatasi. Kadar gula pereduksi yang rendah pada Lampiran 4 menunjukkan telah terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard selama karbonatasi.
31
Hasil interaksi suhu dengan laju alir cairan pada Tabel 5 berpengaruh positif terhadap proses pemucatan warna larutan gula kasar. Interaksi kedua faktor berpengaruh pada tingkat kepercayaan 82.82%. Interaksi kedua faktor terhadap proses pemucatan larutan gula kasar disajikan pada Gambar 16. Pada Gambar 16 diketahui bahwa peningkatan suhu berpengaruh terhadap proses pemucatan warna larutan gula kasar yang ditandai dengan tingkat warna yang semakin menurun. Penurunan tingkat warna larutan gula kasar disebabkan oleh pengaruh utama yang berpengaruh signifikan terhadap pemucatan larutan gula. Penurunan tingkat warna tidak terlalu tajam pada saat laju alir cairan ditingkatkan pada suhu 60○C. Hal ini terjadi karena dengan tingginya suhu reaksi, selain mempercepat pembentukan kalsium karbonat dan mengadsorpsi bahan pengotor, dimungkinkan terbentuknya hasil reaksi karamelisasi gula pereduksi dan reaksi Maillard antara protein dan gula pereduksi. Di lain pihak, laju alir cairan yang meningkat akan membuat gas hold up CO2 semakin meningkat dan konsentrasi gas CO2 yang berlebih dapat menyebabkan endapan kalsium karbonat kembali melarut menjadi senyawa kalsium bikarbonat, sehingga reaksi karbonatasi berlangsung melambat.
Gambar 16. Pola interaksi antara suhu (X1) dan laju alir cairan (X2) terhadap tingkat warna. X1(-1) : suhu 30°C; X1(+1) : suhu 60°C; X2(-1): laju alir cairan 300 l/jam; X2(+1) : laju alir cairan 600 l/jam Berbeda dengan kondisi suhu reaksi yang rendah (30○C), berdasarkan Gambar 16, kemiringan penurunan tingkat warna lebih curam ketika laju alir
32
cairan ditingkatkan. Kondisi ini disebabkan oleh reaksi yang semakin cepat dengan peningkatan laju alir cairan. Di lain pihak, reaksi karamelisasi gula pereduksi dan reaksi Maillard dapat dihindari. Selain itu, reaksi yang lambat pada suhu rendah menyebabkan penambahan gas CO2 yang tidak berlebih, sehingga endapan kalsium karbonat tidak larut menjadi senyawa kalsium bikarbonat.
C. ANALISA PERMUKAAN RESPON Hasil analisis pengaruh linier faktor reaksi, yaitu suhu dan laju alir cairan merupakan faktor yang terseleksi karena memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat warna larutan gula. Analisis selanjutnya bertujuan untuk memperoleh kondisi terbaik proses pemucatan larutan gula sehingga didapatkan tingkat warna larutan gula minimum. Data hasil analisa perlakuan optimasi dapat dilihat pada Lampiran 8 dan perbandingan warna setiap perlakuan optimasi dapat dilihat pada Gambar 17, sedangkan bentuk permukaan respon disajikan pada Gambar 18.
Gambar 17. Perbandingan warna pada perlakuan optimasi. 1: suhu (30°C) dan laju alir cairan (300 l/jam); 2: suhu (60°C) dan laju alir cairan (300 l/jam); 3: suhu (30°C) dan laju alir cairan (600 l/jam); 4: suhu (60°C) dan laju alir cairan (600 l/jam); 5: suhu (23.85°C) dan laju alir cairan (450 l/jam); 6: suhu (66.15°C) dan laju alir cairan (450 l/jam); 7: suhu (45°C) dan laju alir cairan (238.5 l/jam); 8: suhu (45°C) dan laju alir cairan (661.5 l/jam); 9: suhu (45°C) dan laju alir cairan (450 l/jam); 10: suhu (45°C) dan laju alir cairan (450 l/jam) 33
Pada Gambar 17 diketahui adanya perubahan warna larutan gula kasar setelah penambahan susu kapur (liming) dimana setelah pemberian perlakuan untuk optimasi pada karbonatasi dengan menggunakan RVB terjadi proses pemucatan warna larutan gula dari warna kuning menjadi pucat seperti pada contoh no 1-10.
Gambar 18. Permukaan respon dari tingkat warna larutan gula sebagai fungsi dari suhu (X1) dan laju alir cairan (X2) Adapun model persamaan kuadratik yang diperoleh dari hasil analisis statistik permukaan respon dapat dilihat pada persamaan 11. Y = 449.001 – 235.987 X1 - 76.713 X2 + 89 X1X2 + 261.062 X12 + 183.312 X22; r2 = 0.7165....................................................................................(11) Berdasarkan Gambar 18, dapat diketahui bahwa pada setiap kondisi laju alir cairan, peningkatan suhu reaksi akan menyebabkan peningkatan reaksi karbonatasi yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat warna dan akan kembali menurun setelah melewati kondisi optimum. Hal tersebut disebabkan terjadinya karamelisasi dan reaksi Maillard gula pereduksi dengan senyawa asam amino. Demikian pula sebaliknya, pada setiap kondisi suhu, peningkatan laju alir cairan akan menyebabkan tingginya kontak reaksi antara gas karbondioksida dengan larutan gula yang telah ditambah susu kapur sehingga menyebabkan penurunan tingkat warna. Namun, setelah melewati
34
kondisi optimum maka peningkatan laju alir cairan akan meningkatkan konsentrasi gas karbondioksida yang tertahan dalam larutan sehingga membuat jenuh dan menyebabkan endapan kalsium karbonat yang telah terbentuk dengan mengikat bahan pengotor akan larut kembali. Hal tersebut menyebabkan bahan pengotor akan kembali larut dan meningkatkan tingkat warna larutan gula. Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon diketahui bahwa model permukaan respon adalah minimum. Hal tersebut menyebabkan nilai optimum dapat ditentukan dari model permukaan respon. Perkiraan nilai terbaik diperoleh dari estimasi nilai minimum respon. Tingkat warna larutan gula minimum adalah 393.78 IU dengan kondisi suhu reaksi 51.51°C dan laju alir cairan 465.57 l/jam, tekanan 0.3 kg/cm2, dan waktu reaksi 5 menit. Verifikasi kondisi optimum dilakukan untuk mengetahui kesesuaian model permukaan respon terhadap tingkat warna eksperimen karbonatasi dengan menggunakan RVB. Perbandingan tingkat warna pada kondisi optimum, hasil verifikasi, dan industri rafinasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan tingkat warna pada kondisi optimum model, hasil verifikasi, dan industri gula rafinasi Kondisi optimum Verifikasi kondisi Industri gula No. Parameter model optimum rafinasia 1. Tingkat warna 1652 IU 1652 IU 1800 IU gula kasar 2. Jenis reaktor RVB RVB Tangki berpengaduk 3. Sistem Tunggal Tunggal Ganda karbonatasi 4. Kebutuhan 75 g/l 75 g/l 75 g/l kapur 5. Suhu reaksi 51.51°C 51.51°C 55°C 6. Laju alir cairan 465.57 l/jam 465.57 l/jam 7. Tekanan 0.3 kg/cm2 0.3 kg/cm2 8. Waktu reaksi 5 menit 5 menit 12 menit 9. Tingkat warna 393.78 IU 531 IU 800 IU setelah karbonatasi 10. Persen 76.16% 67.86% 55.56% penghilangan warna a
Sumber : PT. Jawamanis Rafinasi
35
Berdasarkan Tabel 6, tingkat warna larutan gula pada kondisi optimum sebesar 531 IU. Nilai tersebut menunjukkan adanya kesalahan dalam pendugaan nilai optimum model yang dibentuk oleh permukaan respon, dimana nilai pendugaan tingkat warna pada kondisi optimum adalah 393.78 IU. Namun, persen penghilangan warna dalam karbonatasi dengan menggunakan RVB sebesar 67.86%, sedangkan penghilangan warna pada industri gula rafinasi dengan menggunakan tangki karbonator dengan menggunakan pengaduk adalah 55.56%. Selain itu, suhu reaksi yang digunakan pada kondisi optimum adalah adalah lebih rendah dibandingkan dengan suhu yang digunakan untuk industri, yaitu 51.51°C, sedangkan suhu reaksi untuk karbonatasi di industri adalah 55°C. Di lain pihak, waktu reaksi yang digunakan lebih cepat, yaitu 5 menit dimana waktu reaksi yang digunakan pada industri adalah 12 menit. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas dengan menggunakan RVB untuk karbonatasi dalam penghilangan warna larutan gula. Selain tingkat warna, dilakukan pula analisa terhadap parameter kualitas larutan gula untuk mengetahui karakteristik larutan gula kasar setelah karbonatasi dengan menggunakan RVB. Parameter yang dianalisa adalah kadar abu, kadar protein, tingkat kemurnian (polarisasi), gula pereduksi, dan kejernihan. Hasil analisis yang diperoleh disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik larutan gula pada kondisi optimum dan karakteristik awal gula kasar No. Parameter Satuan Hasil analisa Karakteristik awal kondisi optimum gula kasar 1. Kadar abu % b/b 0.2 0.03 2. Kadar protein % b/b 0.003 0.01 3. Tingkat kemurnian °Z 99.8 96 (polarisasi) 4. Gula pereduksi % b/b Tidak terdeteksi 0.198 5. Kejernihan %T 98. 21 89.88
Kadar abu larutan gula pada kondisi optimum berdasarkan Tabel 7 adalah 0.2%. Nilai kadar abu larutan gula tersebut lebih tinggi dibandingkan kadar abu gula kasar sebelum karbonatasi dengan menggunakan RVB, yaitu 36
0.03%. Tingginya kadar abu diidentifikasi karena masih terdapatnya ion kalsium yang belum bereaksi dengan gas CO2 dan tingginya konsentrasi gas CO2 sehingga menyebabkan larutnya ion kalsium dalam larutan gula menjadi Ca(HCO3)2. Hal tersebut menunjukkan adanya kesalahan dalam pendugaan nilai optimum model yang dibentuk pada permukaan respon. Berdasarkan Tabel 7, kadar protein larutan gula pada kondisi optimum sebesar 0.003%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein sebelum karbonatasi dengan menggunakan RVB, yaitu 0.01%. Rendahnya kadar protein tersebut menunjukkan adanya proses pengikatan dan pengendapan senyawa bernitrogen selama pembentukan endapan kristal CaCO3. Penurunan senyawa bernitrogen akan mencegah pembentukan warna sebagai akibat reaksi Maillard dengan gula pereduksi dalam larutan gula. Tingkat kemurnian (polarisasi) larutan gula berdasarkan Tabel 7 pada kondisi optimum sebesar 99.8°Z. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat
kemurnian
(polarisasi)
sebelum
karbonatasi
dengan
menggunakan RVB, yaitu 96°Z. Peningkatan tingkat kemurnian (polarisasi) menunjukkan adanya pengikatan dan pengendapan bahan pengotor dalam larutan gula kasar selama pembentukan endapan kristal CaCO3. Kadar gula pereduksi pada kondisi optimum yang dapat dilihat pada Tabel 7 adalah tidak terdeteksi. Hal tersebut menunjukkan sangat rendahnya kadar gula pereduksi setelah karbonatasi pada kondisi optimum. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kadar gula pereduksi sebelum karbonatasi dengan menggunakan RVB, yaitu 0.198%. Penurunan kadar gula pereduksi diidentifikasi sebagai akibat kerusakan gula pereduksi dikarenakan nilai pH yang tinggi dengan penambahan susu kapur. Selain itu, diidentifikasi bahwa gula pereduksi mengalami karamelisasi dan reaksi Maillard dengan senyawa bernitrogen. Berdasarkan Tabel 7, larutan gula pada kondisi optimum memiliki kejernihan 98.21%T. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kejernihan sebelum karbonatasi dengan menggunakan RVB, yaitu 89.88%T. Peningkatan kejernihan menunjukkan adanya pengikatan dan pengendapan bahan pengotor dalam gula kasar selama pembentukan endapan kristal CaCO3.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Proses pemucatan warna larutan gula kasar pada konsentrasi 12% gula kasar dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kondisi proses reaksi karbonatasi dan kondisi RVB. Suhu reaksi berpengaruh terhadap penurunan tingkat warna larutan gula kasar pada tingkat signifikansi 98.5% dan persen pengaruh 1.515%. Demikian pula dengan laju alir cairan yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat warna larutan gula kasar pada signifikansi 91.3% dengan persen pengaruh 0.119%. Tekanan berpengaruh terhadap peningkatan tingkat warna larutan gula kasar pada tingkat signifikansi 86.55% dengan persen pengaruh 149.465% dan waktu reaksi berpengaruh terhadap peningkatan tingkat warna larutan gula kasar pada tingkat signifikansi 21.57% dengan persen pengaruh 0.484%. Hasil analisis kanonik terhadap permukaan respon dari faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat warna larutan gula, yaitu suhu (X1) dan laju alir cairan (X2) diketahui bahwa model permukaan respon adalah minimum. Kondisi optimum proses pemucatan warna larutan gula kasar dapat ditentukan dengan model permukaan respon, yaitu Y = 449.001 – 235.987 X1- 76.713 X2 + 89 X1X2 + 261.062 X12 + 183.312X22, dimana tingkat warna larutan gula terbaik adalah 393.78 IU dihasilkan dengan nilai faktor suhu reaksi 51.51○C, laju alir cairan 465.57 l/jam, tekanan 0.3 kg/cm2, dan waktu reaksi 5 menit. B. SARAN Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui mekanisme gas hold up dan luas kontak cairan dalam memucatkan larutan raw sugar dengan RVB. Penggunaan RVB sangat efisien dan efektif untuk proses pencampuran dua fasa, yaitu gas dan cair, sehingga dapat diterapkan di industri.
38
DAFTAR PUSTAKA Achyadi, N.S dan I. Maulidah. 2004. Pengaruh Banyaknya Air Pencuci dan Ketebalan Masakan Pada Proses Sentrifugal Terhadap Kualitas Gula. Jurnal Informasi dan Teknologi., Vol 6, No 4. Anonim. 2007. Raw Sugar. http://www.fda.gov/ora/compliance_ref/cpg/cpgfod/ cpg515-400.html. Diakses Tanggal 27 Agustus 2007. AOAC. 1998. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington. . 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington. Apriyantono, A. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Apriyantono, A. 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. http://kharisma.de/files/home/makalah_anton.pdf. Diakses tanggal 28 Agustus 2007. Atay, I, 1986. Fluid Flow and Gas Absorption in An Ejector Venturi Scrubber. Disertation. Department of Chemical Engineering, Chemistry and Environmental Science. Box, G.E.P., W.G. Hunter, dan J.S. Hunter. 1978. Statistics for Experimenters. John Willey dan Sons, Inc, New York. Broadhust, A.H. 2002. Modelling Adsorption of Cane Sugar Solution Colorant in Packed-Bed Ion Exchangers. Thesis. University of Natal, South Africa. Brown, C.A. 1912. A Handbook of Sugar Analysis. John Willey dan Son, New York. Chen, J.C.P dan C.C. Chou. 1993. The Cane Sugar Handbook, twelfth edition: a manual for cane sugar manufacturers and their chemists. John Wiley, New York. Cowan, J.C. 1949. Isomerization Reaction of Drying Oils. J. Ind. Eng. Chem., Vol 41, 294-304. Dewan Standarisasi Nasional. 2001. Standar Gula Mentah (SNI 01-3140.1-2001). Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. Eskin, N.A.M., H. M. Handerson, dan R.J. Townsend. 1971. Biochemistry of Food Academic Press, New York. 39
Goutara dan S. Wijandi. 1975. Dasar Pengolahan Gula I. Agroindustrial Press, Bogor. .1975. Dasar Pengolahan Gula II. Agroindustrial Press, Bogor. Hidayati. 2006. Dinamika Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB). Tesis. ITB, Bandung. Hodge, J.E. 1953. Chemistry of Browning Reaction in Model System. J. Agric, Food Chem., Vol 15, 924-928. Honig, P. 1953. Principles of Sugar Technology Vol VIII. Elsevier Publishing Co, London. ICUMSA. 1994. International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis. ICUMSA Methods Book. Ikan, R., Y. Rabinsztain, A. Nissenbaum, dan I.R. Kaplan. 1996. Geochemichal Aspect of The Maillard Reaction di dalam The Maillard Reaction: Consequenses for The Chemical and Life Sciences. Ikan, R. (ed). John Willey dan Sons, Chiecester. James, C.P dan C.C. Chung. 1993. Cane Sugar Handbook a Manual for Cane Sugar Manufacture an Their Chemist, twelfth edition, John Willey dan Sons Inc, Canada. Mandal, A., G. Kundu, dan D. Mukherjee. 2005. Comparative Study of TwoPhase Gas-Liquid Flow in the Ejector Induced Upflow and Downflow Bubble Column. International Journal Of Chemical Reactor Engineering., Vol 3:A13, Berkeley Electronic Press. Mathur, R.B.A. 1978. Handbook of Cane Sugar Technology. Oxford and Publishing Co, Calcuta, Bombay, New Delhi. McCabe, W.L dan J.C. Smith. 1985. Unit Operations of Chemical Engineering 6th ed. John Wiley dan Sons, New York. Meinert. 2007. Carbonation. http://www.khulrich.privat.t-online.de/carboe.html. Diakses tanggal 23 Agustus 2007. Miller, G.L. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid Reagent for Determination of Reducing Sugar. Anal. Chem., Vol 31, 426-428. Mochtar, H.M. 1996. FCS untuk Pemasiran Masakan Produk dan Masakan Rafinasi. Gula Indonesia., Vol XXI/2-3.
40
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Namiki, M. 1988. Chemistry of Maillard Reaction : Recent Studies on Browning Reaction Mechanism and Development of Antioxidant and Mutagens. Advances in Food Research., Vol 32, 116-170. Putra, I. N. K. 1990. Kajian Reaksi Pencoklatan Termal Pada Proses Pembuatan Gula Merah dari Nira Aren . Tesis. IPB, Bogor. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. 1996. Standar Raw Sugar. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Shallenberger, R.S dan G.G. Birch. 1975. Sugar Chemistry. The AVI Publ. Co. Inc., Wesport, Connecticut. Shirsat, S., A. Mandal, G. Kundu, dan D. Mukherjee. 2003. Hydrodynamic Studies on Gas-liquid Downflow Bubble Column with Non-Newtonian Liquids. Journal of Department of Chemical Engineering, Indian Institute of Technology, Kharagpur., Vol 84, 38-43. Soerjadi. 1985. Alat Pengolahan Pabrik Gula. Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta. Whitfield, F.B. 1992. Volatile From Interaction of Maillard Reaction and Lipids. Crit.Rev.Food Sci.Nut.31:2. Wild, G., S. Poncin, H.Z. Li, dan E. Olmos. 2003. Some Aspects of the Hydrodynamics of Bubble Columns. International Journal Of Chemical Reactor Engineering., Vol I:R7, Berkeley Electronic Press.
41
Lampiran 1. Prosedur analisis 1. Kadar Air (AOAC, 1998) Sebanyak 2-5 g contoh dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian cawan tersebut dipanaskan pada suhu 100-105°C selama tiga jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali selama 30 menit di dalam oven, kemudian didinginkan dan ditimbang. Perlakuan ini diulang sampai tercapai bobot konstan. Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan bobot yang hilang sebagai air. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut. Kadar air = bobot awal − bobot akhir x 100% bobot contoh
2. Kadar Abu (AOAC, 1998) Cawan perabuan dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Contoh sebanyak 2-5 g dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar dalam tanur perabuan sampai didapat abu. Perabuan dilakukan pada suhu 6000C, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut. Kadar abu =
bobot abu x 100% bobot contoh
3. Kadar Protein (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak 0.1 g dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 0.15 g, tambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 0.1 g bahan organik diatas 0.15 mg. Beberapa batu didih ditambahkan kemudian sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel yang telah jernih didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian didinginkan. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan menggunakan 1-2 ml air, kemudian air cucian dipindahkan kedalam alat destilasi.
42
Erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Sampel ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH dan NaS2O3, kemudian didestilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah mendapatkan destilat, bilas tabung kondensor dengan air, dan air bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Kadar protein =
A x N x 14 x 100% Bobot contoh (g)
Keterangan: a = Selisih ml HCl yang digunakan untuk mentitrasi blanko dan contoh (blanko – sampel) N = Normalitas larutan HCl
4. Gula Pereduksi dengan Metode DNS (Miller, 1959) a. Pembuatan Pereaksi DNS (asam 3,5-dinitro salisilat) Dalam 1416 ml aquades ditambahkan 10.6 g DNS, 19.8 gram NaOH, 8.3 g Na-metabisulfit, 306 g NaK-tartarat, 7.6 ml fenol cair suhu 105°C. Bahan-bahan tersebut dicampur hingga larut merah. Kemudian sebanyak 3 ml DNS dititrasi dengan HCl 0.1 N dengan penambahan indikator pp. Banyak titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap ml kekurangan HCl 0.1 N pada titrasi maka tambahkan 2 g NaOH. b. Pembuatan Standar Glukosa Standar glukosa dibuat pada konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 180, dan 200 ppm. c. Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 550 nm terhadap 1 ml contoh yang ditambah dengan 3 ml pereaksi DNS dan diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit.
43
5. Polarisasi (SNI 01-3140.1-2001) Sebanyak 100 ml larutan gula dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml Pb asetat dan 5 ml aquades, kemudian labu digoyang agar tercampur merata, lalu disaring. Nira hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung polarimeter. Skala pada sacharimeter dibaca, setelah itu dicatat pemutaran bidang polarisasi. Dicocokan dengan daftar briks. Dengan demikian diperoleh nilai polarisasi. Apabila satuan yang digunakan dalam skala °S, maka pembacaan polarimeter yang dihasilkan harus dikonversi ke dalam skala °Z dengan mengalikan faktor 0.99971. Polarisasi terkoreksi pada suhu 20°C adalah P20 : (Pt – P0) Q20 P20 =
x (1 + c (t-20) + 0.000144 (t-20)) (Qt – P0) Keterangan : Pt = Pembacaan polarimeter dari larutan gula pada suhu ruang t°C P0 = Pembacaan polarimeter dari tabung polarimeter kosong pada suhu ruang t°C Qt = Pembacaan polarimeter dari standar kwarsa penguji pada suhu ruang t°C Q20= Nilai polarimeter dari standar kwarsa pada suhu 20°C t = Suhu ruangan polarimeter c = Faktor tabung polarimeter, yaitu 0.000467 dengan tabung polarimeter dibuat dari gelas borosilika. 6. Total Padatan (Kadar Gula) Terlarut, Metode Refraktometer (AOAC, 1990) Nira diteteskan tepat pada prisma kaca refraktometer yang dilengkapi selubung air pendingin, suhu tetap pada 27.5°C. Alat putaran pengatur pelangi tepat berimpit (segaris) menjadi gelap yang tajam (lup mikroskop diatur agar pembacaan menjadi terang dan gelap). Selanjutnya total padatan terlarut dibaca pada skala yang ada. Padatan terlarutnya dinyatakan dalam briks.
7. Bobot Jenis (Brown, 1912) Piknometer dikosongkan hingga bebas dari air, kemudian didiamkan di neraca analitik selama 30 menit, kemudian ditimbang (berat piknometer kosong). Setelah itu piknometer diisi aquades secara pelan-pelan hingga tidak 44
terjadi gelembung udara dan diletakkan di water bath yang mempunyai sirkulasi air pada suhu 25°C selama 30 menit, kemudian diangkat, dilap sampai bersih kemudian diletakkan didalam neraca analitik selama 30 menit dan ditimbang beratnya (berat piknometer + cuplikan). Bobot Jenis
= Bobot contoh cuplikan Berat air
Berat contoh cuplikan = Berat (piknometer + contoh) - berat piknometer Berat air = volume cuplikan = volume air
8. Warna (ICUMSA, 1994) Sebanyak 50 g contoh ditambahkan aquades 50 ml dimasukkan ke erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 2 g bubuk kieselgel, aduk-aduk dan kocok beberapa saat, kemudian disaring dengan saringan vakum menggunakan kertas saring Whatman 42 dan filtrat ditampung dalam vakum flask sampai jernih (diulang-ulang). Filtrat dipindahkan dalam gelas piala 150 ml; pH larutan dijadikan 7.00 ± 0.05 dengan menambahkan tetes demi tetes larutan 0.1 N HCl atau NaOH. Kemudian tentukan ekstingsi jenisnya dengan spektrofotometer panjang gelombang 420 nm. Untuk menentukan ekstingsi harus diketahui briks larutan setelah diatur pada pH 7 setelah dikoreksi suhu dengan permisalan B, lalu berat jenis larutan diukur yang ditentukan dengan briks sebelum koreksi dalam tabel hubungan briks dengan berat jenis dengan permisalan S g/ml, lalu tebal kolom larutan diameter dengan permisalan T cm, lalu larutan diukur absorbansinya yang didapat nilai absorbansi, lalu tingkat warna diperoleh dengan mengalikan nilai ekstingsi dengan nilai 1000. A Nilai Ekstingsi jenis (E) =
x 100 BxSxT
Tingkat warna
= E X 1000
9. Kejernihan (Apriyantono et al., 1989) Ukur tingkat kejernihan dengan menggunakan spektrofotometer dengan penjang gelombang 373 nm. Satuan yang dipakai adalah persen transmisi (%); aquades sebagai standar atau blanko. 45
Lampiran 2. Data hasil analisis tingkat warna larutan gula Perlakuan
Suhu (°C ) (X1)
Laju alir (l/jam) (X2)
Tekanan kg/cm2 (X3)
Waktu (menit) (X4)
Tingkat warna (IU) (respon)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60
300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600
0.3 0.3 0.3 0.3
5 5 5 5 5 5 5 5 15 15 15 15 15 15 15 15
1625 1604 812 958 3369 826 2961 615 2105 918 619 767 6840 906 1189 725
0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
46
Lampiran 3. Data hasil analisis tingkat kemurnian (polarisasi)
Perlakuan
Suhu (°C) (X1)
Laju Alir (l/jam) (X2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60
300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600
Tekanan kg/cm2 (X3)
Waktu (menit) (X4)
0.3 0.3 0.3 0.3
5 5 5 5 5 5 5 5 15 15 15 15 15 15 15 15
0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
Tingkat kemurnian (Polarisasi) (respon) 98.5 98.6 99.1 98.2 98.6 98.4 99.2 98.1 98.9 99.3 99.9 99.6 99.4 99.7 99.9 99.8
47
Lampiran 4. Data hasil analisis gula pereduksi Perlakuan
Suhu (°C) (X1)
Laju alir (l/jam) (X2)
Tekanan kg/cm2 (X3)
Waktu (menit) (X4)
Gula Pereduksi (g/l) (respon)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60
300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600
0.3 0.3 0.3 0.3
5 5 5 5 5 5 5 5 15 15 15 15 15 15 15 15
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
48
Lampiran 5. Data hasil analisis kejernihan Perlakuan
Suhu (°C) (X1)
Laju alir (l/jam) (X2)
Tekanan kg/cm2 (X3)
Waktu (menit) (X4)
Kejernihan (%T) (respon)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 30 60
300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600 300 300 600 600
0.3 0.3 0.3 0.3
5 5 5 5 5 5 5 5 15 15 15 15 15 15 15 15
97.26 97.83 97.82 98.15 98.10 95.83 97.87 96.02 97.98 97.27 97.76 97.98 98.08 97.34 97.90 96.92
0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
49
Lampiran 6. Hasil statistik pengaruh linier variabel terhadap respon menggunakan SAS 1. Warna larutan gula Rata-rata respon 1677.438 Akar kesalahan kuadrat rata-rata 1124.472 R2 0.8368 Koef. Variasi 67.035
Parameter Intersep Suhu X1 Laju Alir X2 Tekanan X3 Waktu X4 X1_X2 X1_X3 X1_X4 X2_X3 X2_X4 X3_X4
Derajat Pendugaan Standar bebas parameter deviasi 1 1677.4375 281.118 1 -762.5625 281.118 1 -596.6875 281.118 1 501.4375 281.118 1 81.1875 281.118 1 448.0625 281.118 1 -648.3125 281.118 1 154.9375 281.118 1 -209.6875 281.118 1 -336.9375 281.118 1 -167.0625 281.118
T pada H0 Prob>[T] Pendugaan dari Parameter=0 data berkode 5.967 0.0019 1677.4375 -2.713 0.0421 -762.5625 -2.123 0.0872 -596.6875 1.784 0.1345 501.4375 0.289 0.7843 81.1875 1.594 0.1718 448.0625 -2.306 0.0692 -648.3125 -0.594 0.5782 154.9375 0.551 0.4893 -209.6875 -1.199 0.2844 -336.9375 -0.746 0.6053 -167.0625
50
2. Tingkat kemurnian (polarisasi) larutan gula Rata-rata respon 99.0750 Akar kesalahan kuadrat rata-rata 0.15166 R2 0.9799 Koef. Variasi 0.15307
Parameter Intersep Suhu X1 Laju Alir X2 Tekanan X3 Waktu X4 X1_X2 X1_X3 X1_X4 X2_X3 X2_X4 X3_X4
Derajat Pendugaan Standar bebas parameter deviasi 1 99.075 0.038 1 -0.112 0.038 1 0.150 0.038 1 0.062 0.038 1 0.487 0.038 1 -0.187 0.038 1 -0.025 0.038 1 0.150 0.038 1 -0.037 0.038 1 0.087 0.038 1 0.075 0.038
T pada H0 Prob>[T] Pendugaan dari Parameter=0 data berkode 2613.125 0.0001 99.075 -2.967 0.0313 -0.112 3.956 0.0108 0.150 1.648 0.1602 0.062 12.858 0.0001 0.487 -4.945 0.0043 -0.187 -0.659 0.5388 -0.025 3.956 0.0108 0.150 -0.989 0.3680 -0.037 2.308 0.0691 0.087 1.978 0.1048 0.075
Pengaruh faktor utama dan interaksi faktor terhadap tingkat kemurnian (polarisasi) larutan gula hasil karbonatasi dengan RVB Parameter Intersep Suhu (X1) Laju alir cairan (X2) Tekanan (X3) Waktu (X4) Interaksi X1 dan X2 Interaksi X1 dan X3 Interaksi X1 dan X4 Interaksi X2 dan X3 Interaksi X2 dan X4 Interaksi X3 dan X4 R2
Koefisien 99.075 -0.112 0.150 0.062 0.487 -0.187 -0.025 0.150 -0.037 0.087 0.075
Signifikansi (%) 99.99 96.87 98.92 83.98 99.99 99.57 46.12 98.92 63.2 93.09 89.52 0.9799
Pengaruh (%) 0.004 0.001 0.313 0.049
51
3. Kejernihan larutan gula Rata-rata respon 97.5068 Akar kesalahan kuadrat rata-rata 0.47778 R2 0.8499 Koef. Variasi 0.49000
Parameter Intersep Suhu X1 Laju Alir X2 Tekanan X3 Waktu X4 X1_X2 X1_X3 X1_X4 X2_X3 X2_X4 X3_X4
Derajat Pendugaan Standar bebas parameter deviasi 1 97.506 0.119 1 -0.339 0.119 1 0.045 0.119 1 -0.249 0.119 1 0.146 0.119 1 0.054 0.119 1 -0.390 0.119 1 0.063 0.119 1 -0.125 0.119 1 -0.059 0.119 1 0.155 0.119
T pada H0 Prob>[T] Pendugaan dari Parameter=0 data berkode 816.328 0.0001 97.506 -2.841 0.0362 -0.339 0.382 0.7182 0.045 -2.088 0.0912 -0.249 1.230 0.2735 0.146 0.455 0.6680 0.054 -3.270 0.0222 -0.390 0.528 0.6198 0.063 -1.052 0.3411 -0.125 -0.497 0.6402 -0.059 1.303 0.2494 0.155
Pengaruh faktor utama dan interaksi faktor terhadap kejernihan larutan gula hasil karbonatasi dengan RVB Parameter Intersep Suhu (X1) Laju alir cairan (X2) Tekanan (X3) Waktu (X4) Interaksi X1 dan X2 Interaksi X1 dan X3 Interaksi X1 dan X4 Interaksi X2 dan X3 Interaksi X2 dan X4 Interaksi X3 dan X4 R2
Koefisien Signifikansi (%) 97.506 99.99 -0.339 96.38 0.045 28.18 -0.249 90.88 0.146 72.65 0.054 33.2 -0.390 97.78 0.063 38.02 -0.125 65.89 -0.059 35.98 0.155 75.06 0.8499
Pengaruh (%) 0.012 0.0002 1.277 0.015
52
Lampiran 7. Data hasil analisis tingkat warna larutan gula pada optimasi Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Suhu (°C) (X1) 30 60 30 60 23.85 66.15 45 45 45 45
Laju alir (l/jam) (X2) 300 300 600 600 450 450 238.5 661.5 450 450
Tingkat warna (IU) 1089 746 619 604 1638 576 962 941 459 439
53
Lampiran 8. Hasil statistik pengaruh optimasi dan persen pengaruh variabel terhadap tingkat warna larutan gula menggunakan SAS Rata-rata respon Akar kesalahan kuadrat rata-rata R2 Koef. Variasi
Parameter
Derajat bebas 1 1 1
Intersep Suhu X1 Laju Alir Cairan X2 X1*X2 X1*X1 X2*X2
1 1 1
Pendugaan parameter 449.000881 -235.987358 -76.712690
804.5000 292.3856 0.7165 36.3437
Standar deviasi 206.7478 103.3739 103.3739
89.000000 146.1928 261.062230 136.7510 183.312316 136.7510
T pada H0 Parameter=0 2.172 -2.283 -0.742 0.609 1.909 1.340
Prob>[T] 0.0956 0.0845 0.4992 0.5755 0.1289 0.2512
Hasil analisis kanonik permukaan respon Nilai Kritis Parameter
Berkode
Tidak berkode
X1
0.307080
0.434279
X2
0.073408
0.103817
Pendugaan nilai Y pada titik stasioner = 393.776674 Hasil analisis eigenvektor Eigenvektor Eigenvalues 562.551342 -0.413579 Titik stasioner adalah minimum
X1 326.195785 0.413579
X2 0.910468 0.910468
54
Hasil Analisis ridge optimum respon Ridge optimum respon X1 0.00000 0.13523 0.27231 0.41200 0.55523 0.70214 0.84847 0.98336 1.10017 1.20156 1.29229
X2 0.00000 0.04140 0.07648 0.10127 0.10825 0.08366 0.00985 -0.11400 -0.26388 -0.41983 -0.57445
Pendugaan 449.000 419.499 401.157 393.912 397.647 412.102 436.718 470.538 512.526 561.975 618.503
Standar kesalahan 206.748 205.210 200.748 193.856 185.475 177.174 171.339 171.136 179.859 199.720 231.151
55
Lampiran 9. Peralatan karbonatasi dengan menggunakan RVB
Reaktor Venturi Bersirkulasi
Wadah
Filtering Flask dan Buchner
Pompa Vakum
56
57