EDISI 25/2009
FREE
EDISI XXV / 2009
1
www.thelightmagz.com
THEEDITORIAL
THEEDITORIAL
MENTERI BARU, KEBIJAKAN, SIKAP OTENTIK DAN HIPOKRISI
COVER BY: JESH DE ROX
PT Imajinasia Indonesia, www.thelightmagz.com
PEMIMPIN PERUSAHAAN: Ignatius Untung,
PEMIMPIN REDAKSI: Siddhartha Sutrisno, KONTRIBUTOR: Thomas Herbrich, Marc Schultz, Charlie Fish, Karen D’Silva, Jesh De Rox, Dita Alangkara, Rio Helmi, Ignatius Untung
WEBMASTER: Gatot Suryanto
LAYOUT & GRAPHIC: Imagine Asia Indonesia
Seminggu yang lalu menteri-menteri baru yang sebagian adalah wajah lama telah dipilih dan dilantik oleh yang punya hak, yaitu Presiden Republik Indonesia. Kita bisa berdebat lima tahun lamanya jika mau untuk mempertanyakan atau mengamini pilihan presiden, mulai dari pertanyaan apakah pilihan itu adalah pilihan yang otentik atau masih ”dagang cabe” atas balas jasa dukungan partai-partai yang lain sampai dengan ”pertanyaan naif” kita sepanjang masa, ”Fotografi sebenarnya masuk dalam ”keluarga” departemen apa di kementrian?” Budpar? Harusnya iya jika hasil dari fotografi yang berupa fotograf dengan jumlah yang tak terhitung itu dianggap sebagai kebudayaan. Departemen Perdagangan? Mustinya iya jika dikaitkan dengan soal-soal ekonomi kreatif (istilah aneh yang tak lagi aneh karena ada ekonomi yang tak berasal dari kreatifitas, mana bisa!). Kominfo? Foto dari dulu berurusan dengan informasi bukan? Atau departemen yang lain, misalnya Kehakiman yang belum beres mengurusi lingkaran setan bajak-membajak software, misalnya, yang dalam edisi ini kami tampilkan sebagai usaha refleksi akan sikap hipokrit dari sebagian pelaku fotografi. Seperti presiden, itu sikap otentik ataukah istilah populernya adalah ikut-ikutan alias mental kerumunan. Mungkin kita memang tak pernah bisa berharap akan keberpihakan pemerintah. Jika BudPar yang tak mampu membereskan toilet pesing di setiap tempat wisata bagaimana bisa men-supportnya dunia fotografi. Jika Depkominfo masih puyeng dengan urusan undang-undang pornografi, bagaimana bisa menunjang fotografi Indonesia pada level yang lebih tinggi. Departemen Pendidikan? Macam apa sih sebenarnya pendidikan fotografi di negeri ini? Rasanya pejabat-pejabat di departemen belum mampu menjawabnya. Dua narasumber di edisi ini, Jesh de Rox dan Karen D’Silva menggunakan kata ’otentik’ sebagai penegasan sikap mereka dalam menciptakan fotograf. Otentisitas adalah persoalan eksistensial bagi manusia, mewujud dari ucapan sekaligus tindakannya. Otentik berarti juga tidak palsu, tidak hipokrit. Hipokrisi yang sesungguhnya merugikan seringkali tak lagi dirasakan karena telah kehilangan kepekaan. Kepekaan adalah salah satu elemen terpenting dalam proses penciptaan fotograf, seperti diingatkan Dita Alangkara, narasumber di edisi ini juga. Yang tak kalah penting adalah kompetisi foto kerjasama The Light dengan Ayo Foto yang semoga saja (foto-foto peserta) lahir dari ”gua garba” sikap otentik, bukan mental instan apalagi hipokrisi murahan, lahir dari kepekaan sebagai manusia, manusia yang saling memanusiakan. Selamat membaca.
“Hak cipta semua foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya, serta dilindungi oleh Undang-undang. Penggunaan foto-foto dalam majalah ini sudah seijin fotografernya. Dilarang menggunakan foto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa ijin tertulis pemiliknya.”
2
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
3
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY
Marc Schultz, Fotografer Interior Otodidak Interior photography adalah salah satu bidang dalam fotografi di mana sangat banyak dibutuhkan namun tidak terlalu banyak pemainnya. Dibandingkan dengan fashion, interior photography tidak kalah banyak dibutuhkan sementara jumlah fotografer yang berkecimpung di dalamnya tidak sebanyak fashion photography. Di Indonesia sendiri nterior photography masih banyak dijadikan pekerjaan sampingan. Padahal jumlah property yang membutuhkan foto-foto interior yang baik terus bertumbuh. Untuk itu, pada kesempatan kali ini kami menghadirkan Marc Schultz, seorang fotografer interior Thailand untuk berbagi pengalaman dan pemikirannya mengenai interior photography.
How did you know photography? Tell us from the beginning. I discovered photography almost by mistake. I have had many small cameras over the last 25 years, but about 10 years ago I was playing with a friend’s digital camera and got addicted to the amazing colors it produced. Ever since then I haven’t been able to stop shooting.
What interest you on photography? I enjoy shooting people as well as the creative process on commercial shoots
4
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
5
INTERIORPHOTOGRAPHY
6
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
7
INTERIORPHOTOGRAPHY
8
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
9
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY when I am working with a team of people.
We like your interior shots very much. Tell us how you learn about that. I learned how to shoot interiors on my own. It took a lot of practice to understand the technical aspects of interior photography with regards to light and composition.
Tell us any important factors on shooting interior. What should we pay attention more on doing it. Interiors is all about converging diagonal lines, good DOF, an interesting foreground subject, and the right lighting. In many ways the principles are similar to landscape photography, but more complex because of the fact
you are working with a mixture of ambient light, fill in light, and sometimes daylight whereas with landscape photography you normally have just one light source.
So many photography try shooting interior but fail creating the good one. In your opinion, what have they missed that caused them fail creating the good ones. Mainly lighting is a problem in some of the interior shots I have seen. As well as capturing angles that lead you into the picture and create interest. You need to know what kind of mood you want to create with the shot and then know how to light it properly. Also, I have seen many interior shots where the angles are too wide and there is no main point of interest. There are also others where the photographer shot
10
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
11
INTERIORPHOTOGRAPHY
12
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
13
INTERIORPHOTOGRAPHY
14
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
15
INTERIORPHOTOGRAPHY
“Interiors is all about converging diagonal lines, good DOF, an interesting foreground subject, and the right lighting.”
INTERIORPHOTOGRAPHY too close to the subject and you have barrel distortion instead of straight lines.
Do you think to be an interior photographer we should learn about interior? How deep? How? Learning would be good, but unfortunately I don’t think there are photography schools that teach interior photography.
Mention one word that describe your interior photos. Level.
What kind of picture deserve labeled as the great ones. Once that have visual impact by giving one clear point of interest.
Fashion photography are one of the specialization on photography that change so fast. What do you think about the interior photography? Is there any trend change also on interior photography? Please share some case. And how to get still updated? I don’t think trends in interior photography change much although trends in interior design are changing all the time. It depends more on what type of interior you are shooting. Some interiors require something dark and
16
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
17
INTERIORPHOTOGRAPHY
18
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
19
INTERIORPHOTOGRAPHY
20
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
21
INTERIORPHOTOGRAPHY
INTERIORPHOTOGRAPHY moody and others require something clean and bright. The only thing that may change with interior photography is the lighting style when the style of interior design or the subject you are shooting changes.
You work in Thailand where the film and video industry are succeed to be the best in south east asia. Contrary, photography in thailand are not as succesfull as the film and video. What do you think about this? Yes, there is not a big market for still photography in Thailand outside of fashion photography. It kind of limits what a photographer can do and find in terms of commercial work. But otherwise, it is a beautiful country to take travel photos and do studio work if that is what you enjoy.
22
EDISI XXV / 2009
“You need to know what kind of mood you want to create with the shot and then know how to light it properly.” EDISI XXV / 2009
23
INTERIORPHOTOGRAPHY
24
EDISI XXV / 2009
INTERIORPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
25
INTERIORPHOTOGRAPHY
26
EDISI XXV / 2009
HUMANINTEREST
EDISI XXV / 2009
27
PHOTOCONTEST
PHOTOCONTEST
Lomba Foto Bulanan The Light Magazine - Ayofoto
Minus Juara I dan II Tema: “kosong” Tak pernah menjadi hal yang mudah memberikan penilaian dalam penjurian kompetisi, meskipun kesesuaian dengan tema yang diusung menjadi perhatian utama Tim Juri. Elemen teknis tentu saja menjadi faktor yang fundamental, karena seperti kita tahu bersama bahwa fotografi adalah anak kandung teknologi yang tanpanya ide-gagasan-konsep tak akan dapat mewujud seperti yang diinginkan. Perdebatan antar juri tak pelak menjadi hal yang niscaya, mulai dari persoalan nilai seni yang berarti estetika. Kemudian foto yang bernilai berita sehingga seolah bukan seni atau informasi sebagai acuannya, kode dalam foto yang harus kami perhatikan betul ciri-ciri dan hakikatnya, sintaks dalam bahasa foto, bahasa gambar, manipulasi, pemilihan obyek dan masih banyak faktor yang menyebabkan kami sebagi Tim Juri merasa seperti sedang mempersiapkan tesis di bangku sekolah. Hal yang menarik adalah ketika perdebatan tentang foto bagus yang mengacu pada tema. Tak disadari bahwa diskusi kami sampai pada wilayah ”filosofis” yang sesungguhnya bukanlah sebuah kesengajaan. ”Kubu modern” yang menomor satukan makna mendapat tandingan dari ”kubu pos modern” yang menomor satukan tampilan (permainan visual), walaupun pada akhirnya karena kompetisi ini dibatasi oleh tema yang berarti ada esensi makna maka seolah ”kubu modern” yang menang. Padahal, kami sadar bahwa tak ada makna yang tetap selama itu berurusan dengan penafsiran sebagai variabel manusia. Sehingga, jalan tengah yang kami ambil. Semua itu semata-mata menciptakan keputusan dan pilihan yang ”terbaik”.
28
EDISI XXV / 2009
Sempat kami memutuskan untuk tidak memunculkan pemenang dengan anggapan belum ada foto dari peserta yang memenuhi kriteria dari berbagai elemen tersebut di atas. Tetapi setelah Tim Juri berkontemplasi beberapa waktu dengan berulang-ulang melihat foto-foto yang masuk, akhirnya kami memutuskan untuk memilih dua buah foto sebagai Juara Ketiga Bersama. Dengan pertimbangan-pertimbangan tambahan sebagai berikut: Foto 1, ( taman makam pahlawan): Sebenarnya foto ini memiliki komposisi yang agak berantakan, tetapi disitu pula kekuatannya mengingat pemilihan obyek pada sebuah taman makam pahlawan. Foto semacam ini segera mendedahkan (setidaknya di mata juri) pada hal-hal yang dapat menimbulkan desire atau mourning yang mendalam. Perhatikan rerumputan di latar depan
yang tak terpangkas rapi meski dihadirkan dalam out of focus. Lihatlah topi baja yang berkesan menunduk, sedih, dan merana. Simaklah warna-warna cenderung kusam yang mendominasi foto, dan tengoklah simbol agama yang seolah kesepian, ditinggalkan, kosong. Ya, dengan kelemahannya setidaknya foto ini mampu mengingatkan kita yang melupakan pahlawan. Setelah kita menguburnya, ramai-ramai kita tinggalkan para pahlawan dalam makna kosong yang kita ciptakan. Foto ini meninggalkan bekas terluka, pengalaman yang berkaitan dengan bentuk atau eksistensi, ”field of unexpected flash which sometimes crosses this field”. Demikian kata Barthes. Foto ini kuat dalam kepekaannya.
EDISI XXV / 2009
29
PHOTOCONTEST
PHOTOCONTEST
JUARA III ....HyperSILENT.... by Perdana Rulliano Luthan
30
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
31
PHOTOCONTEST
PHOTOCONTEST
Foto 2, (kursi nagah): Jika budaya adalah komunikasi, dan komunikasi adalah praktik signifikasi untuk menghasilkan makna, tak ada trauma yang lebih besar kecuali saat kita gagal menghasilkan signifikasi lewat obyek yang kita harapkan untuk itu. Sesungguhnya Tim juri mengalami hal demikian ketika memandang foto ini. Apa hubungan antara ukiran/gambar naga terbang di antara awan dengan kursi dari besi di balut dengan kulit yang mungkin imitasi, bahkan kursi itu kosong, juga lantai dari bahan kayu warna muda yang beralur namun bersih. Warna kayu, merah, merah hati. Apa arti semua itu? Apakah foto ini berbicara tentang nekrokultura, budaya kematian? Yang bisa saja berarti kekosongan, kematian makna? Apakah foto ini hendak mengingatkan akan permainan pada tataran permukaan? Mitos lama tentang naga yang dimiliki
oleh dunia (meskipun yang dalam foto ini cenderung oriental, pun demikian dengan warna-warnanya elemen lainnya) digabungkan dengan kursi dari jaman modern dengan besi silvernya menjadi semacam pertemuan antara tradisi dan modernitas. Enigmatic, itulah kekuatan foto ini yang jika dicari jawabnya bisa bermacam-macam, bisa pula kosong, seperti tema dari kompetisi kali ini. Kekosongan dalam foto ini tak lagi menjadi harafiah. Selamat!
Lomba ini terbuka untuk umum. Anda bisa mengikuti lomba ini dengan mengakses halaman tantangan foto The Light Magazine di Ayofoto.com Lomba ini terselenggara atas kerjasama dengan:
32
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009 JUARA III: Bangku kosong by Nicolas Manalu
33
LOMBA FOTO BULANAN PHOTOGRAPHYBUSINESS
The Light Magazine bekerjasama dengan Ayofoto mengadakan kompetisi foto bulanan dengan tema yang akan ditetapkan tiap bulannya. Kompetisi ini adalah kompetisi tidak berhadiah karena bertujuan untuk memberi kesempatan bagi para peminat fotografi untuk melakukan pembelajaran konsepting dalam fotografi. Foto-foto yang masuk akan dipilih oleh dewan juri yang merupakan fotorgafer professional dan juga pekerja kreatif. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Perlu diingat, porsi utama dalam kompetisi ini adalah kemampuan mencerna dan menterjemahkan menjadi konsep visual. Jadi jangan tergoda untuk menomorsatukan teknis dan artistic. Tema: “REBORN” Deadline 1 Oktober 2009 “BALANCE” Deadline 1 November 2009 “GENUINE” Deadline 1 Desember 2009
Terselenggara atas kerjasama:
34
EDISI XXV / 2009
PHOTOGRAPHYBUSINESS ATURAN MAIN: 1. Lomba ini terbuka untuk umum dengan kamera apa saja (kecuali handphone) 2. Dengan mengikuti kompetisi ini peserta memberikan ijin kepada The Light Magazine dan Ayofoto untuk mempublish foto-foto tersebut dalam rubrik pembahasan kompetisi foto bulanan ini di majalah The Light dan Ayofoto. Dan dengan itu The Light magazine & Ayofoto tidak bertanggung jawab atas sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari sehubungan dengan proses pembuatan dan penggunaan foto tersebut dari pihak ketiga. 3. The Light Magazine akan mencantumkan nama fotografer pada setiap pemuatan foto tersebut. 4. Hak cipta terhadap setiap foto yang masuk masih menjadi pembuatnya, The Light Magazine dan Ayofoto hanya diperbolehkan menggunakannya untuk keperluan seperti telah dijelaskan di atas. 5. Foto-foto terbaik dan foto-foto favorit akan diumumkan di The Light Magazine lengkap beserta pembahasannya.
PENILAIAN: Kompetisi ini terbuka bagi siapa saja. Pemenang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan berikut: 1. Kemampuan mencerna tema yang ditetapkan panitia. Pihak The Light Magazine & Ayo foto sengaja tidak memberi keterangan detail mengenai konsep tersebut agar setiap peserta bisa berpikir lebih kreatif dan terbuka tanpa arahan yang membatasi dari penyelenggara. Sebisa mungkin cerna dan terjemahkanlah tema yang ditetapkan secara unik dan sesuatu yang “beyond” tanpa membuat visual menjadi out of theme. Hindari terjemahan konsep yang terlalu dangkal, gamblang dan apa adanya. Untuk itu kami telah menyiapkan tema berupa sebuah kata /frase yang multitafsir, tujuannya agar anda bisa bermain sebebas-bebasnya untuk menginterpretasikan tema tersebut. 2. Kemampuan menterjemahkan tema ke dalam sebuah konsep visual yang unik dan memiliki “shocking power”. 3. Kepekaan dalam menangkap sebuah scenery/potret hidup dalam kehidupan dan menghubungkannya dengan tema. Tema memang harus diterjemahkan secara unik dan kuat namun tidak berarti harus super extraordinary. Terkadang sesuatu yang sederhana bisa begitu mengena dengan konsep walaupun tidak semuanya bisa. 4. Kemampuan artistik dan teknis fotografi. Pada akhirnya kemampuan artistic dan teknis fotografi dalam mengeksekusi terjemahan konsep menjadi hal yang penting juga. EDISI XXV / 2009 35
THELEPASAN
THELEPASAN
Stock Photography With 15 years of experience in stock photography, Karen D’Silva knows what it takes to get a great stock photo, as well as what it takes to sell the image. Having also been a consultant, Karen is willing to share her stock knowledge. Charlie Fish, editor-in-chief of WINk magazine (an online photography magazine geared towards stock photographers) recently chatted with Karen D’Silva for The Light. Karen was only too eager to share her insider knowledge on what trends abound in stock today, why authenticity is important, and how to stand out amidst the ever-growing pool of stock photographers.
How does the Industry view stock?
Can you tell me about the state of stock today?
On the other side (the client side), stock photography originally used to be a background shot: clouds, fireworks, or a New York skyline picture. It eliminated all the risk of hiring somebody to do a job and not know if that picture was going to come out successfully. Eventually, photographers started making more of their work (the outtakes that came out of their jobs, the vacation shots, the test shots for their portfolio) available to stock. Clients started to realize that they could get real content out of stock and that’s how stock became creative.
In the old days, stock companies were predominantly set up so that they required portfolios to weed out the person who (purely out of luck) could take two-tothree good pictures. (A portfolio really needed a minimum of 30-50 pictures to prove that consistency is part of being a professional photographer.)
What responsibility, if any, does the photographer have when taking stock images?
First, is stock photography even popular? I think stock in general is a very popular concept to a lot of photographers. In the last couple of years, digital cameras have gotten so much cheaper—and the quality has gotten so much better—that what it used to take to be a professional photographer is now opening up to an amateur group. The idea of stock has turned into something for the masses; anybody can be a shutterbug.
But now you’ve got a situation where there are microstock agencies. These are agencies that are set up to take as many (or as little) pictures as you want to put onto the website. You do all the upfront work, from uploading the pictures to keywording them, to making sure they’re presentable on the site in their archive.
36
EDISI XXV / 2009
There used to be the idea that you shouldn’t be artistic in the shot so that the client could be artistic and crop it or change the color, the perspective, and the exposure. Once the first agency decided that they were going
Right now, a trend in photography is authenticity; something that looks like the photographer is an insider. EDISI XXV / 2009
37
THELEPASAN
Ultimately, styles can change and agencies can decide they want certain genres of photography, but a stock picture is a concept picture: something that communicates a message. 38
EDISI XXV / 2009
THELEPASAN to take creative license, and then it again changed the idea of stock. The end result that you want is either for stock photography to be an editorial or a cover for a book, or an ad where it brings in several thousand dollars. In order to do that, the image has to reflect what’s going on in the world of photography. It then becomes really important that the images are contemporary, timely in their concepts, and in line with whatever the top brands in advertising are doing. Now it’s not just about the perfect picture of a rose, or fireworks; it has to be a bit deeper because you’re selling a concept. Ultimately, styles can change and agencies can decide they want certain genres of photography, but a stock picture is a concept picture: something that communicates a message.
What are some trends in stock today? Right now, a trend in photography is authenticity; something that looks like the photographer is an insider. You might talk to a stock agency and ask them what they need and they’ll say they need a picture of a group of guys playing soccer, or of a mom taking a kid to school or of a family on vacation. Ultimately, you can probably tie in an
authentic relationship, an authentic moment that pulls in the concept and reflect a contemporary style that will give you a better formula for creating a stock image. There’s also the element of fantasy that’s been around for a long time and is growing, that trend of escaping. And it might be more of a mental thing where someone is in thought/ daydreaming, or something where they’re on vacation somewhere. I don’t think it’s really figured out yet, not so mainstream yet. But you can see it in the color shift, making pictures look surreal.
With your 15 years in the biz, what lessons have you learned? What I’ve found out is that though my background is in stock, in order to understand stock (and in order to be able to give people the right guidance in stock), you have to actually understand the marketplace.
So if you can understand what message they’re trying to portray in their campaign to their client, you’re ahead of the game.
So if you can understand what message they’re trying to portray in their campaign to their client, you’re ahead of the game. When you start to study the marketplace, you realize that what a company is trying to do in the market is they’re trying to connect with a EDISI XXV / 2009
39
THELEPASAN
THELEPASAN the ability to be an image partner, which allows them to create something specific, something that might be unique; that’s what WIN has done.
group of people, a targeted audience that is their customer. In order to do that, they have to portray their life in a way that seems believable. Stock photography is about that picture that will appeal to the client. If it reflects things going on in society, it’s a little more complicated than just taking a nice picture. And the people that understand that are the ones that will be making the most amount of money.
Where does WIN (founding company of WINk magazine) fit into the stock photography industry? They’re a small agency so they’re more in the boutique area. That gives them
40
EDISI XXV / 2009
A lot of people that own stock agencies now are smart businessmen who have a creative background, or they simply like being around creative people. But they study the numbers too much. They understand what sells a little too well. The result is, we look around and even the boutique agencies tend to be a part of the lifestyle of the library. There was definitely a shift, and what we found in stock photography was that there was such a spike in lifestyle images. If you look around, the majority of stock collections are based on lifestyle photography. I think what WIN did, as a credit to Hans [Neleman, WIN-founder], he wasn’t privy to those sales reports but, being a photographer himself, he was interested in what photography is and what’s creative. So his formula wasn’t so worked out in advance but he just knew what he likes and what he reacted to and built a collection around that organically. Because he’s done that, he’s now got an agency that looks different from everyone else, which is a huge
plus. Because it’s more creative, it taps into the fantasy trend, which is popular right now. I think the bigger agencies see the value in that. WIN might be a fraction of the size of other agencies, but as far as quality and the standard that has been set by the agency, WIN has been placed at the very top. And they are certainly creative, which makes it unique.
Any predictions for stock photography? In the last five-to-ten years there has been a golden age in stock because so many clients have turned to stock as an option. Those days are definitely gone. In those times, photographers were actually considering stock as being their main source of income. Now that it’s open to everybody, I think that it takes more of a commitment to put things into stock and unfortunately there’s no test you have to take to be a photographer. Right now there are so many people submitting to stock that the options are endless. So in order to be making the money you were making you have to have so many more pictures. I think, because of this, it might weed out the people that aren’t taking it as seriously, or just can’t commit to it more because
they don’t feel they fit in as much. Once that happens, it might even out a little. Aesthetically in photography, especially in stock, with the quality getting better and the files getting bigger, there is a lot of amateur looking photography that is now being mimicked by the professional photographer. I think that’s going to get old. As the pendulum swings (and it’s always swinging from one extreme to the other), and it becomes a bit more seamless in quality and production value, that’s going to weed out some people. I just think there have been too many amateurlooking shots lately. It’s bound to swing the other way. EDISI XXV / 2009
41
MASTERTOM
MASTERTOM
Software – or curd? FOCUS magazine from Italy was working on an article about synthetics and how they have taken a firm hold on our everyday lives. “Thomas, could you do a nice photo for us?” “Yes, sure! Do you have any money?” “Erm, no, actually ...” Editorial requests are becoming more and more spectacular, but the budgets seem to be decreasing at the same rate. Nevertheless, I still like doing editorial work because I can do the pictures exactly as I like, and there’s no Art Director looking over my shoulder telling me what to do all the time. FOCUS wanted a picture of the moment in which plastic disappears. I came up with an everyday scene which everyone can identify with (at least in the beginning). A woman is returning from the shops (ok so far ...) when her plastic bag and the packaging of all its contents begin to disintegrate. Her shoes and clothes also start to melt, as does the plastic furniture nearby.
42
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
43
MASTERTOM
MASTERTOM
The budget for this was minuscule, so I had to improvise all the more. To begin with, we couldn’t do the shooting in Italy, but that wasn’t really a problem as I had a few suitable photos of Naples in my archive. But there wasn’t any money for a model or stylist either, so Kathrin, my (paid!) trainee had to stand in.
44
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
45
MASTERTOM
MASTERTOM
What’s really interesting is the way that plastic disintegrates. In my picture it melts, drips, evaporates or bursts. Could we create those effects with CGI or would we need some special software? Neither nor – what’s far more effective is Quark! “Quark XPress?” I hear you cry in amazement. No, no ... Quark is the German name for a soft curd cheese. And all the melting and dripping objects you can see in the photo were actually made with quark – the melting shoes, the clothes and the plastic furniture. Some, like the chair, were smeared with curds during the shooting, others were done with the aid of image processing.
Obviously, I had to make sure I wasn’t going to end up with a scene of catastrophe. I could, of course, have enveloped the lady in red smoke, but that would have been unnecessarily cruel. I
46
EDISI XXV / 2009
always add a touch of tongue-in-cheek humour to my pictures. This photo is pure fiction – and fiction in editorials, has to be portrayed differently to in advertising. Editorial photos have to be “true”, which (unfortunately?) is not the case in advertising.
EDISI XXV / 2009
47
MASTERTOM
MASTERTOM
We really enjoyed shooting the “flying objects” ... Was it also drummed into you as a child not to play with food? Well, here we had to – and what fun it was! So – what would the average Italian woman have in her grocery bag? You might expect to find coffee, tomatoes, pasta, ketchup, vegetables, milk, etc. We took all these things and threw them at a green wall (so that I could mask and isolate each product properly), and ended up shooting around 500 photos. Making the groceries “fly” in the picture was quite a bit of work. I needed to group hundreds of small objects together so that they were neither too neat nor too chaotic. Complex pictures have to be viewable from a greater distance, and ideally they should also have an effect as a very small image. In these times of tight budgets, it’s necessary to improvise all the more whilst making sure that the result doesn’t reflect this in any way. Let there be light! Yours sincerely, MasterTOM (Thomas Herbrich)
48
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
49
MASTERTOM
50
EDISI XXV / 2009
MASTERTOM
EDISI XXV / 2009
51
LIPUTANUTAMA
LIPUTANUTAMA
Bagaimana Pelaku Fotografi Menghargai Hak Cipta Beberapa hari terakhir ini banyak orang yang menulis status di facebook mereka dengan cacian atau makian terhadap tampilnya tari pendet di sebuah iklan pariwisata Malaysia. Kejadian ini seakan-akan menjadi pembenaran untuk makin melekatkan predikat “maling” bagi bangsa yang menjadi tetangga kita yang terdekat itu karena sebelumnya kejadian serupa pernah terjadi ketika batik, dan lagu rasa sayange juga diklaim sebagai budaya Negara tetangga itu. Beberapa waktu yang lalu di sebuah photo blogger, seorang fotografer mencakmencak karena ia mendapati foto-foto yang ia buat digunakan oleh orang lain. Setelah mengirimkan email permintaan klarifikasi yang tidak digubris oleh sang tertuduh, sang korban segera membuat surat terbuka kepada seluruh anggota komunitas tersebut yang menyatakan “pencurian” yang dilakukan oleh orang tersebut. Dua minggu yang lalu ketika team kami sedang berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta utara, kami menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko yang menjual software-software bajakan. Selama beberapa menit kami menelusuri satu persatu sudut toko itu hingga pada akhirnya kami berhenti di depan sebuah rak karena mata yang menangkap sebuah foto yang terasa akrab di mata. Kami pun memperhatikannya, dan ternya di antara tumpukan CD yang dijual terdapat sebuah CD yang menggunakan cover The Light sebagai covernya, dan setelah dicermati lebih seksama lagi memang majalah inilah yang dijual di situ.
52
EDISI XXV / 2009
Sebulan yang lalu ketika The Light mengadakan seminar di Surabaya, di tengah sesi tanya jawab muncul pertanyaan yang menggelikan dari seorang peserta. Peserta yang duduk di barisan depan sebelah kiri itu bertanya kira-kira seperti ini, “pak untuk mendukung pekerjaan saya, saya sering menggunakan foto. Permasalahannya adalah kok kalau saya pakai foto dari website-website luar negeri kok hasilnya udah langsung jadi tanpa dikoreksi lagi dibandingkan kalau saya pakai foto dari website-website dalam negeri?” Hal yang menggelikan bagi kami adalah bukan karena kualitas foto yang berbeda, namun bahkan orang ini juga tidak menyadari bahwa ia baru saja mengakui bahwa ia sudah menjadi “maling” dengan mengambil seenak-enaknya foto yang ditampilkan di website umum untuk keperluan pribadinya.
EDISI XXV / 2009
53
LIPUTANUTAMA
“Sebenarnya saya tergerak untuk beli software original. Tapi terlalu menyakitkan hati ketika saya beli software original yang berharga puluhan juta rupiah sementara teman saya punya software yang sama dengan harga hanya puluhan ribu rupiah.
54
EDISI XXV / 2009
LIPUTANUTAMA Potret ini memang menjadi potret Indonesia dan sebagian Negaranegara asia. Potret yang menceritakan bagaimana galak dan bengisnya kita mencaci maki orang lain yang mencuri dan tidak menghargai sama sekali hak cipta kita dengan menggunakan tanpa ijin berbagai macam ciptaan kita baik itu foto, tulisan dan lain sebagainya. Kita bisa dengan mudah menjadi “prajurit Tuhan” yang seolah-olah berhak mengutuk, memaki ataupun mengadili orang lain yang menggunakan tanpa ijin ciptaan kita karena seolah-olah kita tanpa dosa. Permasalahannya menjadi menggelikan ketika sebagian besar dari kita masih rajin berburu film bajakan, CD bajakan, software bajakan di pusat-pusat perbelanjaan yang sangat terbuka. Dari qualitative study yang kami lakukan, dari 100 orang pelaku fotografi, 100% mengaku pernah menggunakan software bajakan. Dan hanya 2 di antaranya memiliki beberapa software original walaupun masih menggunakan software lain yang bajakan. Dan dari 100 orang tersebut semuanya mengaku pernah dan masih sering membeli film dan CD musik bajakan, walaupun ada sekitar 32 orang yang mengaku sesekali membeli film dan CD
musik original. Tono (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, karyawan swasta yang sudah lebih dari 7 tahun menekuni fotografi mengatakan bahwa perbedaan kualitas yang hampir tidak ada antara bajakan dan asli menjadi alasan mengapa ia setia sebagai pembeli bajakan. Sementara harga software, film dan CD musik original bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan kali lipat dari bajakannya. Wisnu (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, mahasiswa juga mengungkapkan hal yang sama. “software bajakan dan original nggak ada bedanya kecuali di kemasan. Isinya sama, jadi kalau bisa beli dengan 25 ribu rupiah, kenapa harus beli yang harganya puluhan juta rupiah?” ungkapnya. Heri (bukan nama sebenarnya), fotografer professional mengaku perilaku tidak terpuji ini sebagai kebiasaan yang dimulai dari kecil. “Sebenarnya saya tergerak untuk beli software original. Tapi terlalu menyakitkan hati ketika saya beli software original yang berharga puluhan juta rupiah sementara teman saya punya software yang sama dengan harga hanya puluhan ribu rupiah. Karena itu sampai sekarang saya masih pakai bajakan. Tapi saya men-
“Ini bukan masalah mampu atau tidak mampu. Ini masalah mau atau tidak mau. Lagipula kalau tidak mampu kenapa malah pilih bajakan. Kalau tidak mampu ya sudah tidak usah pakai sama sekali. Ini kan sama saja bilang bahwa orang tidak mampu boleh maling.” EDISI XXV / 2009
55
LIPUTANUTAMA
LIPUTANUTAMA
gakui bahwa tindakan ini tidak bisa dijadikan contoh yang baik. Terutama karena saya sudah make money dari software itu.” Ungkapnya. Indra (bukan nama sebenarnya), bekerja di sebuah LSM yang bergerak dibidang pemberantasan pembajakan yang didanai oleh banyak perusahaan rekaman dan vendor software mengatakan bahwa memang terlalu sulit untuk bisa merubah Indonesia menjadi Negara yang menghormati hak cipta dengan tidak membeli bajakan. “Coba saja lihat di pusat-pusat perbelanjaan banyak pedagang bisa dengan leluasa memperdagangkan barang-barang bajakan tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Bahkan mereka menyediakan fasilitas pembayaran dengan kartu kredit ataupun kartu debit. Artinya secara tidak langsung bank yang bekerja sama dengan mereka juga ikut mendukung pembajakan.” Ungkapnya. “Harusnya kan sebelum sebuah bank mengabulkan permohonan penyediaan layanan pembayaran dengan kartu kredit atau debit bank tersebut pada sebuah toko, bank tersebut melakukan survey terlebih dahulu apakah toko tersebut menjual sesuatu yang melanggar hukum atau tidak.” Lanjutnya. Indra mengaku pembajakan di Indo-
56
EDISI XXV / 2009
nesia sudah mengakar dan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang harusnya ikut memberantasnya. “Dulu setiap kita berangkat ke sebuah pusat perbelanjaan untuk melakukan razia terhadap toko-toko yang menjual barang bajakan bisa tiba-tiba toko yang menjual barang bajakan tersebut tutup sebelum kami tiba di lokasi, seolaholah ada yang membocorkan rencana razia tersebut. Padahal beberapa jam sebelum kami datang toko tersebut masih beroperasi seperti biasa.” Jelasnya. Namun di tengah keputus-asaan pihak-pihak yang ingin memberantas
pembajakan, Indra mengaku masih banyak celah yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku-pelaku pembajakan dan pengguna barang bajakan. “beberapa vendor software sudah mulai gerah dan tidak percaya dengan aparat. Akhirnya mereka memutuskan untuk jalan sendiri.” Tegasnya. Beberapa bulan yang lalu sebuah vendor software mendatangi langsung sebuah lembaga pendidikan dan menanyakan apakah lembaga pendidikan tersebut sudah memiliki software asli. Sang manajer yang bertugas saat itu menjawab bahwa mereka sedang mengajukan permintaan untuk bisa mendapatkan harga khusus ke vendor
software yang bersangkutan. Mendengar jawaban itu, perwakilan vendor tersebut segera menelepon kantor pusatnya yang ada di Singapore untuk menanyakan apakah benar lembaga pendidikan tersebut sudah mengajukan permohonan pembelian. Dan karena tidak terbukti, maka perwakilan vendor itu meminta lembaga pendidikan tersebut segera membeli dengan jumlah banyak dengan harga yang 3X lipat lebih mahal, dan jika tidak akan dilaporkan ke pihak berwajib atas tuduhan penggunaan barang bajakan. “Beberapa vendor software sudah mulai lelah berurusan dengan pihak berwajib yang lebih berpihak pada pembajak. Untuk itu mereka sedang bersiap-siap untuk melakukan razia dadakan langsung ke pengguna.” Ungkap Indra. “Dua bulan lalu ada 7 orang fotografer di beberapa kota di Jawa yang tertangkap oleh sebuah vendor software grafis karena kedapatan menggunakan software bajakan. Saat ini mereka sudah mengantongi nama-nama yang sering muncul di internet baik melalui mailing list, forum maupun website untuk didatangi satu persatu dan dipaksa beli dengan harga sangat mahal dengan ancaman dipidanakan jika menolak.” Lanjutnya.
EDISI XXV / 2009
57
LIPUTANUTAMA “Bulan depan mereka akan mulai melakukan razia bertahap hingga tahun depan. Dan ini akan mereka lakukan terus menerus.” Sambungnya lagi. Memiliki software original, film original, music original memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun kondisi ini kontradiktif dengan perilaku pelaku fotografi yang selalu bertindak galak ketika fotonya dihargai murah atau bahkan dipakai tanpa ijin padahal mereka sendiri masih menggunakan barang-barang bajakan. Darma (bukan nama sebenarnya), seorang fotografer senior mengatakan, “saya kasihan dengan yang muda-muda, baru mau mulai bisnis fotografi sudah harus dibebani dengan investasi yang besar karena harus beli software original. Kalau saya yang sudah tua ini lebih baik berhenti motret saja karena nggak mampu beli.” Agus, seorang fotografer amatir mengatakan bahwa alasah utamanya mengapa ia tidak menggunakan software original adalah karena ketidakmampuannya untuk membeli software original tersebut. Hal ini dibantah dengan keras oleh Indra, “Kalau kita bicara tentang pehobi fotografi yang kameranya masih pinjam, rumahnya masih kontrak, makannya di warteg mungkin kita bisa menggunakan kata tidak mampu membeli software original. Tapi kalau kita bicara tentang pehobi fotografi yang rumahnya di kompleks real estate, kameranya DSLR terbaru lengkap dengan berbagai lensa unggulan yang total harganya puluhan juta, dan gaya hidupnya hedon, makan di restoran mahal, minum kopi yang harganya 30 ribu rupiah per cangkir, apa nggak malu kalau mereka bilang nggak mampu beli original?” Lebih lanjut lagi Indra menegaskan bahwa yang penting adalah niatnya. “Ini bukan masalah mampu atau tidak mampu. Ini masalah mau atau tidak mau. Lagipula kalau tidak mampu kenapa malah pilih bajakan. Kalau tidak mampu ya sudah tidak usah pakai sama sekali. Ini kan sama saja bilang bahwa orang tidak mampu boleh maling.” Sambungnya. Ditanya mengenai solusi dari permasalahan ini, Indra menjawab bahwa solusinya ada pada kesadaran diri sendiri. “Vendor software bisa saja melakukan razia, dan memang itu tetap akan dilakukan. Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya meredam yang muncul di permukaan.” Ungkapnya. “pernah ada satu orang
58
EDISI XXV / 2009
LIPUTANUTAMA teman yang menghadapi tuntutan hukum dari seorang fotografer karena menggunakan foto milik fotografer tersebut tanpa ijin. Yang pertama ia lakukan adalah mengancam akan melaporkannya ke pihak berwajib karena telah menggunakan software bajakan yang bisa diketahui dalam string di belakang setiap foto yang sudah pernah diedit dengan software tertentu. Akhirnya sang fotografer pun melepaskan tuntutannya kepada orang itu sebagai barter dari pelepasan tuntutan orang itu padanya.” Lanjutnya. “Intinya, Jika anda tertarik untuk menegakkan hukum. Pastikan anda sudah tidak bercela juga. Setidaknya tidak bercela di mata hukum. Kalau anda mau hasil karya anda dihormati, sebaiknya lebih dulu hormati karya orang lain.” Tutupnya. Ketika kondisi realitasnya seperti ini, di mana banyak fotografer baik amatir maupun professional menganggap remeh hak cipta software yang mereka gunakan sehari-hari, apakah peng-
“Intinya, Jika anda tertarik untuk menegakkan hukum. Pastikan anda sudah tidak bercela juga. Setidaknya tidak bercela di mata hukum. Kalau anda mau hasil karya anda dihormati, sebaiknya lebih dulu hormati karya orang lain.” haragaan akan hak cipta sebuah foto bisa dihargai di Negara ini? Jika ada nasihat bijak menganjurkan kita untuk memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan orang tersebut, maka bukankah seharusnya kita lebih dulu menghargai hak cipta orang lain dengan tidak menggunakan barangbarang bajakan sebelum kita menuntut orang untuk menghargai foto kita selayaknya.
EDISI XXV / 2009
59
WEDDINGPHOTOGRAPHY
WEDDINGPHOTOGRAPHY
Jesh De Rox, Capturing Love & Emotion Diadopsinya teknologi digital oleh fotografi membuat fotografi seolah-olah jadi lebih mudah dilakukan. Setiap orang bisa dengan mudah memotret dan segera mengevaluasinya dalam hitungan detik. Hal ini mendorong banyak orang yang memiliki kamera memberanikan diri untuk menawarkan diri sebagai fotorgafer wedding. Sayangnya walaupun jumlahnya kelewat banyak, secara kualitas cukup sulit menemukan fotografer wedding yang memiliki keunikan. Banyak fotografer wedding yang lupa bahwa emosi adalah bagian penting dari sebuah foto pernikahan. Tidak heran banyak foto wedding yang terlihat apik secara visual tapi gagal menceritakan momen penting dan emosi yang menjadi bumbu utama dari sebuah foto pernikahan. Untuk itu, kami menghadirkan Jesh de Rox, seorang fotografer wedding yang bisa menjadi referensi sekaligus bahan evaluasi mengenai wajah fotografi wedding Indonesia.
How did you know photography. Tell us from the beginning. As long as i can remember, i have been fascinated with expression and communication in many of its forms. i enjoyed sketching, especially as a child, and would fill up notebook after notebook with my imaginative drawings and scribbling. later, i found music and spent hours and hours exploring how to express my thoughts
60
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
61
WEDDINGPHOTOGRAPHY
62
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
63
WEDDINGPHOTOGRAPHY
64
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
65
WEDDINGPHOTOGRAPHY
WEDDINGPHOTOGRAPHY and feelings with a guitar. It was through a scholarship i won with my music that i was able to take a one year introductory arts program at a small community college near where i lived at the time in northern British Columbia, Canada. a small part of the course was a b/w film course in which we used pentax k1’s to shoot & and then develop our own rolls of film. It was the first time in my life i’d ever used a camera, and i quickly fell in love with the immediacy of the medium. i also very much loved the door it opened for me into the lives of such a wide variety of people who i’d never have otherwise had the opportunity to view and interact with on such an intimate level.
“Photography is an incredible excuse to be invited behind the veils most of us form between ourselves and the world.”
The desire i had to communicate and explore the mysteries of the human spirit had an exciting new channel. my early ventures with the art form were well received and over the next several years my interest began to grow from a hobby into a thriving business.
What interest you about photography. What is most important about life? this is a question i always try to
66
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
67
WEDDINGPHOTOGRAPHY
68
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
69
WEDDINGPHOTOGRAPHY
70
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
71
WEDDINGPHOTOGRAPHY
WEDDINGPHOTOGRAPHY a myriad of possibilities opens. seeing people on a base level and seeing to the core of them is the difference between seeing a lightbulb turned off and one brightly lit and glowing. and the light they give back changes things... Photography has been and continues to be an incredible vehicle for me to explore this part of people, and the roads that exist between us.
have as close to my awareness as possible. for me, it is the people in our lives that are our greatest resource, gift and trust. Photography is an incredible excuse to be invited behind the veils most of us form between ourselves and the world. no matter how jaded or guarded a person may become, it is the most basic and fundamental human desire to be seen. because of the layers and layers of social and cultural ‘red tape’, most of the seeing we have of one another exists only on the most shallow levels.
You succeed mastered on capture people expression. How did you learn to do it? Is it more to the photography or it’s more to learn human interaction? Please explain how? Thank you for your kindness : ) since i had little formal training in photography beyond loading and unloading film, i approached the medium in my own way. Above all else, the definition of a truly great portrait was an authentic one. because this was paramount to me, my chief desire in my work was discover-
Every time there is a true, genuine seeing of human being, however, a door to an unequalled richness opens, and
72
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
73
WEDDINGPHOTOGRAPHY
74
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
75
WEDDINGPHOTOGRAPHY
76
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
77
WEDDINGPHOTOGRAPHY
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“Every time there is a true, genuine seeing of human being, however, a door to an unequalled richness opens, and a myriad of possibilities opens.” 78
EDISI XXV / 2009
ing how this could happen. it was more important to me than light, composition, exposure or any of the technical aspects of photography. i have become better at these as time has passed, but it was that first desire for authenticity which has been and still is the defining direction of my work. I learned that the best way to invite your portrait subject to be genuine with you, was to be genuine with them. to ask them to let their walls down, i first had to be brave enough to let mine down. so the real question is: how does one be genuine with a stranger? it is, afterall, exactly what we ask of our subjects. since that’s the core of what we do as portrait artists, isn’t it something we should know about? answering that question has led me on a journey i never would have imagined - places that have thrilled me, intrigued me and absolutely changed me. So, in more direct answer of your question, it is not so much that i believe the secret lies in human interaction over photography, rather, i believe that photography at its essence is human interaction. a subtle but vital difference in the way i perceive my work, which strongly affects how i approach it all
EDISI XXV / 2009
79
WEDDINGPHOTOGRAPHY
80
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
81
WEDDINGPHOTOGRAPHY
82
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
83
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“I learned that the best way to invite your portrait subject to be genuine with you, was to be genuine with them.”
WEDDINGPHOTOGRAPHY levels. It is a simple thing to say ‘be yourself’, which is not an uncommon piece of advice from those who have achieved success of some kind. it is a more difficult thing often to remember how to do this. i say ‘remember’ because each of us were born ‘ourselves’ and were quite masterful at it as children. as we grow however, and become more shaped by the vast world of ideas, concepts and forms that surround us, most of us become increasingly disconnected from the unique magic of our birthright - the one thing only we in the entire universe have: ourselves. I teach a 3 day workshop all around the world called life (as an artform)
which is chiefly focused on helping people rediscover this invaluable piece of themselves, the root of their power to affect change. to date, close to 300 people have taken the course and we’ve received a humbling amount of success with it.
You positioned yourself as a persons in love photographer. What satisfied you doing it? Please explain how the difficulty doing it? What is the root of true love? authentic,
84
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
85
WEDDINGPHOTOGRAPHY
86
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
87
WEDDINGPHOTOGRAPHY
88
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
89
WEDDINGPHOTOGRAPHY genuine communication between two people. looking for that authentic spark in my work as i was, i began to notice i found it easier while working with couples in love. the more i explored that, the more i realized it’s because there are incredible similarities between great art and love relationships. as we all know, true love is in itself an art form of its own - i believe, the greatest there is. In my work i am very sensitive to the flow of communication between myself and the people i’m working with, as well as between the two of them, when working with a couple. i am looking to know - what are they saying to each other on a non-verbal level? what are they saying to me, the viewer? Working with people who already have an open channel between them has been absolutely instrumental in me being able to bring more awareness around the entire process of connection, and the potential we have to influence that. i could speak for days about this, lol ; ) Because these connections are so precious and rare, they are very wellguarded, and not easily given. therein
90
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“if however, you are genuinely able to see them for the miracle they are, and become brave enough to let down your own guard enough to tell them so in a way they can hear... then, my friends, you have an image of a miracle.”
lies the difficulty. as i mentioned, i found that the key to opening that door was in becoming aware of and releasing my own guards first.
Many people succeed mastered photography, but fail being sensitive on human expression, that’s why so many photos with excellent technical but zero on bringing the soul and communicating. What have they missed? When photographing a human being, we have an incredible opportunity before us. the most rare creation in the universe - of which there is only one comes to us, and asks who am i? The fascinating thing is, how we answer that question actually says more about who we are than who they are. nevertheless, it remains our choice: will we tell them, as Pablo Casals so beautifully said ‘you are a marvel, you are unique. in all the years that have passed, there has never been another like you.’ or we can tell them they are a customer, the same as six billion others out there, take a number.
“everyone has a genuine side to them, so even if they’re not showing it, you know it’s in there somewhere, if you can only find how to see it.”
It is how we choose to see who we are photographing that ends up in the image. in the same way, how you see someone when you meet them for the EDISI XXV / 2009
91
WEDDINGPHOTOGRAPHY
92
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
93
WEDDINGPHOTOGRAPHY
94
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
95
WEDDINGPHOTOGRAPHY
WEDDINGPHOTOGRAPHY then, my friends, you have an image of a miracle.
Shooting wedding especially moments is difficult, but you succeed to bring the originality of the expression the feel and the pose. Share us some tips how to do that kind of job when the talent are not a professional model (like in wedding case). How to direct them?
first time will strongly affect how and what you say about them to someone else. accurate or not, how we see something absolutely affects how we react to it. and how we react to something, in turn greatly affects how it reacts back to us.
this often can be an easier task with people who aren’t models. remember, the kind of seeing i’m talking about is genuine, beneath-the-veil, kind of seeing, and models often work hard to project a persona. and a persona, even if it’s an aesthetically pleasing one, isn’t what i’m looking for. there is an important difference between looking beautiful and being beautiful. everyone is capable of the latter, regardless of how their features match up to the current fashion trends.
In other words, if you are looking at a human being and seeing only an exposure reading, you can’t expect anything but an exposure setting to be in the final image. if however, you are genuinely able to see them for the miracle they are, and become brave enough to let down your own guard enough to tell them so in a way they can hear,,,
So how do you get them to trust you with that inner beauty, the part they usually only show to those they love? the simple answer is, you have to be someone they can trust and love, even if only during those minutes you’re there with them. how exactly to do this, of course, is an incredible process, and as i’ve said has led me on a life-
96
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
97
WEDDINGPHOTOGRAPHY
98
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
99
WEDDINGPHOTOGRAPHY
100
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
101
WEDDINGPHOTOGRAPHY
“no formula you memorize will ever be as valuable to you as sincerity.” altering exploration of myself and my own walls. Greatly to our advantage are these two facts: a) everyone has a genuine side to them, so even if they’re not showing it, you know it’s in there somewhere, if you can only find how to see it. b) everyone at some level wants to share. the desire to communicate, to speak and be heard, to show and be seen, is among the most basic human needs. all of this to say, if you can learn how to ask the question the right way, everyone will answer. there is so much that
102
EDISI XXV / 2009
WEDDINGPHOTOGRAPHY could be said about the intricacies of this, but more important than anything else is your own sincerity in the asking - no formula you memorize will ever be as valuable to you as sincerity.
What kind of picture deserve labeled as the great one? To me, a great image is one that communicates powerfully and memorably a message that’s important to receive.
Mention one word that describe your photos? Sincere.
What kind of mistakes that photographer (especially wedding),
moments and people photographer missed often on doing their job? Mistakes are wonderful things, perhaps the very best teaching tool their is. in fact, i’d recommend making as many as possible : ) the key to discovering your voice in your work is to constantly be throwing out any notions of conforming for conforming’s sake - even to your own old ideas. look at how life grows... it’s a wonderful model for personal creative movement. there is a constant taking in, and equally important, a constant letting go. a gathering of the elements around you and and implementing of them into yourself, without feeling a sense of ownership. find that
free space. you will know it because you will feel alive and excited about what you’re doing - the place where the best work always comes from.
What kind of picture you’re always trying to achieved everytime you shoot? Please explain. As i’ve mentioned, it is always my chief aspiration to create work that is meaningful and true. specifically i am interested in telling the story of the mostly unexplored invisible worlds that exist around and in between us all. love is the name that most people have for these worlds i speak of, and it is truly a lovely place to start ; )
“...specifically i am interested in telling the story of the mostly unexplored invisible worlds that exist around and in between us all. love is the name that most people have for these worlds i speak of, and it is truly a lovely place to start ; ) “ EDISI XXV / 2009
103
THEINSPIRATION
THEINSPIRATION
Foto bisa Instan. Fotografer? Inovasi dan teknologi memang sudah menjadi abdi dari ketidakpuasan manusia. Segala hal baru ditemukan dan diciptakan berdasar atas ketidakpuasan manusia akan banyak hal. Penemuan-penemuan baru diupayakan untuk menghadirkan nilai-nilai lebih dari hal-hal yang lebih dulu. Lebih murah, lebih baik, lebih ringan, lebih kompak, lebih cepat, dan berbagai macam lebih lainnya. Dan berbicara mengenai segala sesuatu yang lebih, munculah “lebih cepat” atau “lebih instan” sebagai pemimpin perolehan suara terbanyak. Berbagai macam produk temuan manusia diciptakan dengan hanya menambahkan keunggulan lebih cepat dan lebih instan sebagai nilai tambah utamanya. Teh celup instan, mie instan, minuman instan ready to drink, foto instan, dan berbagai macam hal yang bisa menghapus waktu yang diperlukan untuk memproses dan menunggu mulai diciptakan.
104
EDISI XXV / 2009
Mental dan tuntutan orang untuk mempelajari sesuatu juga tidak mau kalah cepatnya. Banyak kita temui buku-buku dengan judul 24 jam menguasai bla.. bla…, atau tips praktis satu menit mahir bla.. bla…. Aneka ragam kursus kilat pun ditawarkan yang seakan-akan mengalahkan cepatnya pos kilat. Dalam fotografi, banyak oknum-oknum yang dalam hitungan bulan memiliki kamera DSLR merasa bosan dengan tantangan yang itu-itu saja. Mereka pun mulai mencetak kartu nama, menambahkan kata-kata “photography” atau “photoworks” di belakang nama mereka sebagai tanda bahwa mereka siap untuk tantangan dan petualangan baru. Di sebuah tempat kursus fotografi yang baru saja teman saya buka, banyak sekali orang-orang yang mengajukan diri untuk masuk ke kelas-kelas yang “bonafide” title dan levelnya. Sebegitu harus cepatnya kah kehidu-
pan manusia post modern saat ini? Hari ini dan sejak saya dilahirkan, saya bukan orang yang suka meminum susu, teh, apalagi syrup kecuali di restoran. Saya mungkin juga termasuk orang yang menganut pada prinsip instan. Bagi saya minum teh, susu ataupun syrup di rumah adalah sesuatu hal yang melelahkan. Saya perlu satu hingga dua menit untuk berjalan mengambil gelas, menuangkan teh, susu atau syrup, menambahkan gula dan menuangkan air lalu mengaduknya. Sementara saya hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 10 detik untuk menghabiskannya. Hal yang senada juga saya temui pada mie yang dilabeli dengan embelembel “instan”. Bahkan dengan strategi memasak 3 bungkus sekalipun, saya masih lebih banyak menghabiskan waktu untuk memasaknya daripada menghabiskannya. Saya pun bertanya, apa cuma segini kemampuan manusia untuk menciptakan EDISI XXV / 2009
105
THEINSPIRATION
FASHION&COMMERCIALPHOTOGRAPHY
produk “instan”?
dahsyatnya.
Beberapa tahun yang lalu, saya dan beberapa orang teman yang berasal dari satu sekolah dasar yang sama berkumpul dan mulai mewujudkan ide untuk membuat reuni SD kami. Waktu itu diputuskan bahwa reuni akan diadakan pada bulan Januari 2005. Dan hebatnya, bahkan kami sudah mulai bekerja dari bulan Mei 2004 atau 7 bulan sebelumnya. Usaha dan kerja keras yang dijalani selama 7 bulan itu pun berujung pada sebuah malam reuni yang dimulai dari jam 7 malam dan berakhir jam 10 malam. Kerja selama 7 bulan untuk sebuah acara yang hanya 3 jam.
Kalau begitu apakah masih mungkin bagi siapa saja untuk menjadi fotografer instan? Menjadi fotografer yang hanya belajar semalam sebelum sesi pemotretan berlangsung? Apakah mungkin kita menuntut keinstanan dari sebuah proses pembelajaran fotografi yang bisa lebih abadi dibandingkan dengan hasil dan reputasinya? Atau jangan-jangan kita masih bermimpi untuk memiliki sesuatu yang instan, karena bahkan produk-produk yang sudah mengkalim diri sebagai produk instan sekalipun masih membutuhkan proses pembuatan yang lebih lama dalam membuatnya dibandingkan menghabiskannya? Jangan-jangan fotografer paling instan sekalipun membutuhkan waktu lebih lama untuk belajarnya daripada berprofesi sebagai fotografernya?
Banyak proses yang kita lalui dalam hidup dengan terburu-buru. Maunya secepat dan seinstan mungkin. Tapi mulai terpikir oleh saya bahwa ternyata hal-hal yang tidak begitu instan saja berakhir pada sesuatu yang jauh lebih instan dari prosesnya. Banyak mahasiswa yang merasa belajar instan adalah cara terbaik. Yaitu dengan hanya meluangkan waktu belajar untuk ujian di malam sebelum ujian dilaksanakan. Dan kalaupun hasilnya memuaskan, pastilah di malam itu effort yang dilakukan juga luar biasa
106
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
107
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
Dita Alangkara, Menemukan Cara Pandang Baru dengan Merubah Kebiasaan. Yogyakarta sebagai kota yang penduduknya memiliki jiwa social yang tinggi memang menjadi satu kota yang paling produktif menghasilkan banyak fotorgafer-fotografer jurnalis. Beberapa nama fotorgafer jurnalis yang pernah masuk majalah inipun juga pernah tinggal di Yogyakartal. Begitu pula dengan fotografer jurnalis yang satu ini. Dita Alangkara, lelaki yang kini bekerja sebagai fotografer di Associated Press Jakarta ini dibentuk menjadi seorang fotorgafer jurnalis yang cukup baik di kota pelajar tersebut. Seperti kebanyakan fotografer otodidak yang mengawali hobby fotografinya dari SMA, Dita mendalami fotografi dengan lebih serius lagi ketika kuliah di jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Bergabung dengan komunitas fotografi kampus waktu itu membuatnya semakin memahami dunia fotografi baik teori teknis maupun prakteknya. Demo mahasiswa di tahun 1997 yang marak di kota Yogya menjadi ajang latihan berfotografinya. “Saya senang lihat foto-foto demo di Koran, terus jadi ikut kepingin bikin foto kayak gitu.” Ujarnya. Beberapa fotografer ternama seperti Eddy Hasby, Beawiharta dan Julian Sihombing sudah menjadi inspirasinya saat itu. Pertemanannya dengan seorang teman yang sudah menjadi wartawan freelance di Associated Press membuka jalannya menjadi wartawan sungguhan. “Waktu itu saya dikasih tahu sama teman saya itu bahwa di AP (Associated Press) juga terima foto-foto berita. Karena kebetulan teman saya itu wartawan audio visual.” Kenangnya. Setelah mencoba mengirimkan beberapa foto, AP menyanggupi untuk
108
EDISI XXV / 2009
menggunakan 4 buah fotonya. Dan sejak saat itu ia diminta untuk terus memotret peristiwa-peristiwa penting di Yogya. Pada tahun 1998, Dita resmi menjadi stringer AP di kota Yogya. Dan pada tahun 1999, ketika semua fotografer AP dikirim ke Timor Timur untuk meliput referendum, Dita ditawari untuk menjadi pewarta foto dengan status kontrak 4 bulan. “Saya pamit sama ibu saya mau kerja di Jakarta 4 bulan, tapi sampai sekarang nggak pernah kembali menetap di Yogya lagi.” Kenangnya. Senior-seniornya menyukai fotofotonya dan ia pun diangkat menjadi pegawai tetap di AP. Ditanya mengenai pengalaman meliput kejadian yang paling berkesan selama menjadi pewarta foto, Dita EDISI XXV / 2009
109
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
110
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
111
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
112
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
113
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
JOURNALISMPHOTOGRAPHY mengaku terlalu banyak peristiwa yang berkesan, namun ia menyebut satu peristiwa yang paling berkesan buatnya. “Pasca referendum Timor Timur saya dikirim ke sana untuk meliput datangnya pasukan Interfed untuk mengambil komando sambil menunggu pemerintahan yang baru terbentuk. Kenapa peristiwa ini berkesan buat saya adalah karena di situ saya benar-benar menjadi saksi sejarah dari bangsa ini, di mana bagian dari Indonesia terlepas. Saya melihat sendiri bendera merah putih yang terakhir diturunkan dari tiang di sana. Dan seolah-olah tentara kita seperti kalah perang.” Kenangnya. Peristiwa lain yang juga berkesan bagi Dita adalah ketika meliput Tsunami. “sebenarnya sebagai pewarta foto, melihat mayat itu adalah hal yang biasa. Tapi di Aceh saat itu saya melihat banyak sekali mayat dan bergeletakan di jalan. Ada yang di trotoar, ada yang di tengah jalan, ada yang di makan anjing, dan bukan cuma mayat manusia tapi ada sapi ada ternak, semuanya jadi satu.” Ungkapnya. “Dan di Aceh saat itu, di mana kita berdiri dan kita melihat 360 derajat sekeliling kita semuanya rata. Tidak ada yang tersisa. Di situ saya merasa bahwa saya benar-benar kecil
114
EDISI XXV / 2009
“Di tempattempat konflik itu pewarta foto seperti koki yang mau masak di dapur yang semua bahannya sudah ada. Sisanya terserah kita mau meramunya jadi apa.” EDISI XXV / 2009
115
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
116
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
117
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
118
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
119
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
“Mata kita jadi biasa, baal dan nggak peka lagi kalau setiap hari kita melihat hal yang sama dengan cara yang sama.”
120
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY di dunia ini.” Sambungnya. Pada umumnya Dita menyukai tugas liputan di tempat-tempat konflik karena seru dan dapat banyak momen. “Di tempat-tempat konflik itu pewarta foto seperti koki yang mau masak di dapur yang semua bahannya sudah ada. Sisanya terserah kita mau meramunya jadi apa.” Jelasnya. Namun diakuinya bahwa berada terlalu lama di suatu daerah bisa membuat kepekaan kita jadi menumpul. “Mata kita jadi biasa, baal dan nggak peka lagi kalau setiap hari kita melihat hal yang sama dengan cara yang sama.” Tegasnya. Untuk itu Dita menyarankan siapapun yang tertarik dengan fotografi, tidak hanya jurnalistik untuk memperbanyak wawasan dengan mengunjungi tempattempat yang tidak pernah dikunjungi. “atau kalau harus mengunjungi tempat yang sama, setidaknya kunjungilah dengan cara yang berbeda.” Tegasnya. “Seperti saya, setiap harinya naik mobil dari rumah di kawasan mampang ke kantor di daerah menteng. Tapi kalau ada kesempatan di hari libur, saya sesekali bersepeda dengan rute yang sama seperti setiap hari saya ke kantor. Dan ternyata saya menemui pengalaman baru. Banyak hal menarik yang tidak saya lihat setiap harinya
EDISI XXV / 2009
121
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
122
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
123
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
124
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
125
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
“belajar fotografi berawal dari belajar melihat. Dan juga latihan visualisasi sebelum memotret.”
ketika saya naik mobil.” Lanjutnya. Dan Dita mengakui bahwa itu salah satu jalan keluar jika kita harus melakukan rutinitas. Berbicara mengenai fotografer jurnalis junior, Dita mengakui bahwa mereka jauh lebih bagus. “mungkin karena itu tadi, mereka masih fresh, masih punya semangat yang besar, masih rajin coba-coba.” Tegasnya. “Maka dari itu kalau sudah sadar kondisinya seperti itu, kalau sudah senior, sudah tua ya jangan cepat puas, mentalnya harus tetap dijaga, kedisiplinannya juga.” Lanjutnya. “Fotografi itu ilmu, dan ilmu kalau tidak dipakai ya karatan juga. Jadi harus terus dipakai dan dikembangkan.” Lanjutnya lagi. Selain itu, Dita juga menyarankan bagi siapa saja, baik yang senior maupun junior untuk terus berlatih melihat. “belajar fotografi berawal dari belajar melihat. Dan juga latihan visualisasi sebelum memotret.” Ujarnya. Menyikapi kenyataan bahwa pewarta foto masih jadi “warga Negara kelas dua” di media massa terutama dalam hal bayaran dan juga porsi kontribusi di media, Dita juga berpesan agar pewarta foto untuk selalu ingat akan konsekuensi yang seharusnya sudah
126
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
127
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
128
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
129
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
130
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
131
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
“Sekolah fotografi itu hanya berfungsi untuk menunjukkan jalan tapi di ujung jalan kita bisa bawa apa itu tergantung kita. Sekolah hanya melatih cara berpikir, sisanya kembali ke diri kita sendiri bagaimana mengembangkannya.” 132
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY diketahui ketika memutuskan menjadi wartawan. “Semua wartawan sudah seharusnya tahu bahwa wartawan bayarannya tidak besar. Sampai-sampai orang bilang kalau mau kaya jangan jadi wartawan.” Ungkapnya. “Tapi harus diingat bahwa banyak tempat yang bisa dikunjungi wartawan tapi tidak bisa dikunjungi orang lain, terutama beberapa saat setelah peristiwa terjadi. Dan itu salah satu bayarannya.” Lanjutnya. Namun Dita juga tetap berharap agar apresiasi terhadap pewarta foto terutama dari pemilik media menjadi lebih baik lagi. “Sebenarnya pewarta foto sini dan di luar negeri sama bagusnya. Hanya saja memang bayarannya beda.” Ungkapnya sambil tertawa.
Di akhir pembicaraan kami, Dita berpesan agar siapapun yang ingin menjadi fotografer jurnalistik yang baik mau mengasah kemampuannya dengan rajin berlatih. “Fotografi harus banyak belajar sendiri. Teknik kan sama, yang perlu diasah adalah kepekaan, kejelian terhadap news value dan mental ma u terus menggali lebih dalam lagi. Halhal seperti itu yang tidak diajarkan di sekolah manapun.” Tegasnya. “Sekolah fotografi itu hanya berfungsi untuk menunjukkan jalan tapi di ujung jalan kita bisa bawa apa itu tergantung kita. Sekolah hanya melatih cara berpikir, sisanya kembali ke diri kita sendiri bagaimana mengembangkannya.” Tutupnya.
EDISI XXV / 2009
133
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
134
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
135
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
136
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
137
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
138
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
139
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
140
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
141
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
142
EDISI XXV / 2009
JOURNALISMPHOTOGRAPHY
EDISI XXV / 2009
143
THEEVENT
THEEVENT
The Future of Imagemaker Bali Photo Festival Pre Event Bali Photo Festival yang akan digelar pada bulan oktober 2010 tahun depan sudah memulai rangkaian pre eventnya berupa pameran foto 10 orang fotografer yang diberi title “the future of imagemaker”. Pameran yang digelar di Alila Ubud ini menampilkan 10 fotografer berusia akhir 20an atau awal 30an yang dianggap memiliki potensi untuk menjelma menjadi nama-nama yang disegani di berbagai bidang fotografi di masa yang akan datang. Semua fotografer ini berasal dari bidang yang berbeda, fashion, commercial, portraiture, journalism & dokumenter dan lain-lain.
144
EDISI XXV / 2009
Bali Photo Festival sendiri adalah sebuah event besar yang akan menyajikan rangkaian event berupa seminar, workshop, pameran yang berhubungan dengan fotografi di Bali. Acara ini akan diselenggarakan di berbagai tempat di Bali seperti Denpasar, Kuta, Nusa Dua dan Ubud. Dalam event ini berbagai pembicara dan nama-nama besar di dengan latar belakang fotografi, seni, editor, kurator, budayawan, serta dari pihak industri pengguna jasa fotografi sebagai pembicara. Rio Helmi, fotografer kenamaan Bali yang menggagas acara ini mengatakan bahwa event ini dibuat untuk memberikan kesempatan sekaligus menyemangati bakat-bakat muda footgrafi Indonesia yang jelas-jelas memiliki potensi yang sangat besar dan bisa disejajarkan dengan bakat-bakat fotografi dari Negara manapun untuk terus berkarya dan menjadi lebih baik lagi. Rio Helmi menyadari pentingnya event ini untuk menjaga dan memupuk rasa percaya diri dan semangat bakat-bakat muda fotografi Indonesia dan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.
EDISI XXV / 2009
145
THEEVENT
146
EDISI XXV / 2009
THEEVENT
EDISI XXV / 2009
147
THEEVENT
THEEVENT
Andi Ari Setiadi - Blipfest
Eric Chang - Blipfest
Andika Wahyu - Blipfest
148
EDISI XXV / 2009
Gus De - Blipfest
Muradi - Blipfest
EDISI XXV / 2009
149
THEEVENT
THEEVENT
Diana Putri - Blipfest
Made Nagi - Blipfest
Nicoline Patricia Malina - Blipfest
Eka Nickmatulhuda - Blipfest
150
EDISI XXV / 2009
EDISI XXV / 2009
151
THEADVERTORIAL
THEADVERTORIAL
Fotopreneur, Wirausaha Jualan Foto Online Jakarta - Fotografer di Indonesia sekarang terfasilitasi untuk menjual hasil karyanya secara online, dengan diluncurkannya fitur Jual Beli Foto Online di AYOFOTO.COM pada tanggal 1 juli 2009. Semua proses mulai dari upload foto, pembelian foto, mengunduh foto yang terbeli dan proses cash out bagi fotografer dilakukan secara online. Istilah fotopreneur mulai ramai digunakan beberapa tahun belakangan ini semenjak kemajuan teknologi memudahkan para fotografer untuk menjual karya fotonya dalam bentuk foto stok secara online. Banyak fotografer mulai menikmati hasil dari kegiatan berjualan foto stok ini, bahkan beberapa diantaranya menjadikannya menjadi mata pencaharian utama. Di Indonesia hal ini masih belum populer karena sebelumnya tidak ada media yang dapat memfasilitasi jual beli foto online. “Kami ingin meningkatkan kesejahteraan anggota dengan cara memberikan sarana yang cepat,
152
EDISI XXV / 2009
tepat dan aman untuk mengkonversi hobi yang dulunya menimbulkan biaya menjadi hobi yang dapat memberikan pendapatan berupa uang. Keinginan tersebut menjadi latar belakang peluncuran fitur Jual Beli Foto Online” kata Dibya Pradana, founder dan CEO dari AYOFOTO.COM. Selain peningkatan kesejahteraan anggota, fitur Jual Beli Foto Online ditujukan untuk mendukung UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dimana foto adalah suatu karya yang dilindungi hak ciptanya. Masyarakat diajak untuk mulai menghargai bahwa setiap foto tidak bisa diambil/dipakai untuk kebutuhan pribadi perorangan maupun perusahaan, terutama untuk kepentingan bisnis/komersial tanpa ijin dari pemilik hak cipta. Sebagai salah satu program AYOFOTO.COM untuk memperkenalkan jenis wirausaha fotopreneur tersebut ke masyarakat luas adalah dengan memenangkan dua ajang lomba ICT
(Information & Communication Technology) yang prestisius dan bergengsi secara berturut-turut, yaitu Indonesia ICT Awards (INAICTA) 2009 (29/7) dan Bubu Awards v.06 (31/7). Di ajang INAICTA 2009, kategori eBusiness SME bertujuan untuk menciptakan karya inovasi IT yang dapat membantu meningkatkan Produktifitas, Efisiensi dan Kemudahan kerja untuk membantu Kelompok Usaha Kecil Menengah. AYOFOTO.COM menjadi pemenang tunggal dengan judul karya “AYOFOTO.COM, Online Stock Photo Provider” (http://inaicta. web.id/pemenang-inaicta-2009/). “Karya-karya yang masuk nominasi mempunyai kualitas yang tinggi. Tahun ini, kami melengkapi dengan Business Matching Program yang akan mengawal mereka menjadi entrepreneur. Sudah saatnya kita menghargai karya Digital Creative anak bangsa,” kata Hari Sungkari, Ketua Panitia INAICTA 2009 yang pada tahun ini mengangkat tema
“Digital Creative for Nation Building“. Sedangkan untuk ajang Bubu Awards v.06 dengan tema “The Rise of Digital Era”, AYOFOTO.COM memenangkan kategori Indonesia Social Media Web (http://www. bubuawards.com/). Kemenangan di kategori Corporate Indonesia Social Media ini membuktikan bahwa fitur interkoneksi antar sosial media di AYOFOTO.COM dapat membantu fotoprenuer untuk memanfaatkan secara maksimal jaringan sosial yang dimilikinya. Setiap orang yang bergabung baik fotografer maupun non-fotografer dapat saling bersinergi untuk meningkatkan pemasaran foto dengan memanfaatkan fitur jejaring sosial AYOFOTO.COM yang sudah terkoneksi dengan jejaring sosial eksternal lainnya di dunia seperti Facebook, Multiply, Flickr, Yahoo, Google dan sebagainya. “Fotografer dapat menjual hasil karyanya sebagai
EDISI XXV / 2009
153
THEADVERTORIAL
WHERETOFIND
foto stok dengan sistem bagi hasil. Pembeli seperti media, bisnis kreatif dan perusahaan yang membutuhkan foto berkualitas dapat membelinya dengan harga terjangkau dan ekonomis secara cepat, mudah dan aman. Sedangkan anggota yang bukan fotografer dapat menjadi Agen foto dan mendapatkan komisi dari setiap penjualan online foto milik fotografer. Dengan demikian semua pihak yang terlibat, mulai Dari Fotografer, Agen dan Pembeli mendapatkan manfaat nyata” lanjut Dibya Pradana. Dengan fasilitas Jual Beli Foto Online, AYOFOTO.COM diharapkan dapat memberikan kontribusi dari bisnis ekonomi kreatif untuk mendorong, mempercepat dan memperluas GDP Indonesia dan sekaligus menjadi lahan penghasilan bagi Fotopreneur. “Selama foto dibutuhkan untuk dipakai di presentasi, katalog/brosur produk, iklan, kalender, desain website, banner dan bahan kreatif lainnya, maka foto stok akan selalu dibutuhkan” tutur Dibya Pradana sebagai penutup.
154
EDISI XXV / 2009
Tentang AYOFOTO.COM Media fotografi yang online dari tanggal 9 September 2005 dan memperluas layanannya menjadi agensi foto stok online di tahun 2009. Saat ini telah memiliki lebih dari 27.000 anggota. Keterangan lebih lanjut dapat ditemukan di http://www.ayofoto. com/blog/25/101/snap-sell-and-makemoney/ atau hubungi: Dian R. Pertiwi, Buss. Dev. Manager Ged. Graha Kencana Lt.10/G , Jl.Raya Pejuangan No.88, Jakarta 11530 T 02153668160 F 02153690474 E dian@ ayofoto.com
JAKARTA Telefikom Fotografi Universitas Prof. Dr. Moestopo (B) Jalan Hang Lekir I, JakSel; Indonesia Photographer Organization (IPO) Studio 35, Rumah Samsara, Jl.Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410; Unit Seni Fotografi IPEBI (USFIPEBI) Komplek Perkantoran BankIndonesia, Menara SjafruddinPrawiranegara lantai 4, Jl.MH.Thamrin No.2, Jakarta; UKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI) Kampus STIE-IBII, Jl Yos SudarsoKav 87, Sunter, Jakarta Utara; Perhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia(PPFGA) PPFGA, Jl. Medan Merdeka SelatanNo.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18 ; Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKT Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100; Studio 51 Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta; Perhimpunan Fotografi Tarumanegara Kampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBar; Pt. Komatsu Indonesia Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140; LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya) Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510; HSBC Photo Club Menara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11,
JakSel 12930; XL Photograph Jl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSel; FreePhot (Freeport Jakarta Photography Community) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl. Rasuna Said Kav X-7 No. 6 PSFN Nothofagus (Perhimpunan Seni Fotografi PT Freeport Indonesia) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6; CybiLens PT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl.Gatot Subroto, jakarta 10270; \ FSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl.Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, Jakbar; SKRAF (Seputar Kamera Fikom) Universitas SAHID Jl. Prof. Dr.Soepomo, SH No. 84, JakSel 12870 One Shoot Photography FIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no.74, JakPus Lasalle College Sahid Office Boutique Unit D-E-F\ (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110; LSPR Photography Club London School of Public Relation Campus B (Sudirman Park Office Complex) Jl. KH Mas Mansyur Kav 35 Jakarta Pusat 10220 FOCUS NUSANTARA Jl. KH Hasyim Ashari No. 18, Jakarta; e-Studio Wisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440; Roxy
EDISI XXV / 2009
155
WHERETOFIND Square Lt. 1 Blok B2 28-29, Jkt; Neep’s Art Institute Jl. Cideng Barat 12BB, Jakarta ; POIsongraphy ConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 Jl.TB.Simatupang kav 18 Jakarta 12560; NV Akademie Jl. Janur Elok VIII Blok QG4 No.15 Kelapa Gading permai Jakarta 14240 BANDUNG PAF Bandung Kompleks Banceuy Permai Kav A-17,Bandung 40111; Jepret Sekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, Bandung Spektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad) jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumedang, Satyabodhi Kampus Universitas Pasundan Jl. Setiabudi No 190, Bandung Air Photography Communications Jalan Taman Pramuka 181 Bandung 40114 PURWOKERTO ECOLENS Sekretariat Bersama FE UNSOED, Jl HR Bunyamin No.708 Purwokerto 53122 SEMARANG PRISMA (UNDIP) PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243 MATA Semarang Photography Club FISIP UNDIP Jl. Imam Bardjo SH. No.1, Semarang; DIGIMAGE STUDIO Jl. Setyabui 86A, Semarang Jl. Pleburan
156
EDISI XXV / 2009
WHERETOFIND VIII No.2, Semarang 50243 SOLO HSB (Himpunan Seni Bengawan) Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156; Lembaga pendidikan seni dan design visimedia college Jl. Bhayangkara 72 Solo, FISIP Fotografi Club (FFC) UKM FFC Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Jl Ir Sutami 36A 57126 Solo, Jawa Tengah YOGYAKARTA Atmajaya Photography club Gedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta; “UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSD Jalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151; Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM,Bulaksumur, Yogya; Fotografi Jurnalistik Club Kampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari Yogyakarta; FOTKOM 401 gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogyakarta, 55281; Jurusan Fotografi Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Jl. Parangtritis Km. 6,5 Yogyakarta Kotak Pos 1210; UKM Fotografi Lens Club Universitas Sanata Dharma Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta 55281
SURABAYA Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi (HIMMARFI) Jl. Rungkut Harapan K / 4, Surabaya; AR TU PIC; UNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219; FISIP UNAIR JL. Airlangga 4-6, Surabaya; Perkumpulan Senifoto Surabaya (PSS), Jl. Sidoyoso Wetan II-8 Surabaya 60143 MALANG MPC (Malang Photo Club) Jl. Pahlawan Trip No. 25 Malang JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club) student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144; UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni) kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100 JEMBER UFO (United Fotografer Club) Perum taman kampus A1/16 Jember 68126, Jawa Timur;Univeritas Jember (UKPKM Tegalboto) Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jember jl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121
BALI Magic Wave Kubu Arcade at Kuta Bungalows Bloc A3/A5/A6 Jl. Benesari, Legian-kuta MEDAN Medan Photo Club Jl. Dolok Sanggul Ujung No. 4 Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213 UKM FOTOGRAFI USU Jl. Perpustakaan no.2 Kampus USU Medan 20155 BATAM Batam Photo Club Perumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435 PADANG KOMUNITAS FOTOGRAFI SINKRO Jl. Komplek Monang B/16 Lubuk Buaya Padang - Sumatra Barat PEKANBARU CCC (Caltex Camera Club) PT. Chevron Pasific Indonesia, SCMPlanning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271 LAMPUNG Malahayati Photography Club Jl. Pramuka No. 27, Kemiling, Bandar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114
EDISI XXV / 2009
157
WHERETOFIND BALIKPAPAN Total Photography Club (TPC). ORSOSBUD - Seksi Budaya Total E&P Indonesie Jl. Yos Sudorso Balikpapan
AMBON Performa (Perkumpulan Fotografer Maluku) jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon.(Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)
KALTIM Badak Photographer Club (BPC) ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324; KPC Click Club/PT Kaltim Prima Coal Supply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta
ONLINE PICK UP POINTS:
SAMARINDA MANGGIS-55 STUDIO (Samarinda Photographers Community) Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Samarinda Kaltim
SOROWAKO Sorowako Photographers Society General Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN GORONTALO Masyarakat Fotografi Gorontalo Graha Permai Blok B-18, Jl.Rambutan, Huangobotu,Dungingi, Kota Gorontalo
158
EDISI XXV / 2009
www.thelightmagz.com www.ayofoto.com www.estudio.co.id http://charly.silaban.net/; www.studiox-one.com ; http://www.focusnusantara. com/articles/thelightmag.php MAILING LIST: thelightmagz-subscriber@ yahoogroups.com