BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia yang ditandai dengan arus globalisasi dan kemajuan teknologi disegala bidang akan membawa dampak cukup pesat khususnya pada bidang perindustrian dan perdagangan di Indonesia. Yang pada tingkat perkembangannya diikuti oleh tingginya mobilitas penduduk, barang dan uang dalam arus perdagangan. Semakin maraknya informasi terhadap produk barang dan jasa yang ditawarkan baik melalui iklan maupun promosi dengan tujuan untuk memperkenalkan kepada konsumen agar tertarik dan menggunakan atau mengkonsumsi dari barang yang dihasilkan. Globalisasi dan perdagangan bebas dengan didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, juga memperluas arus transaksi barang dan jasa sampai dengan lintas batas suatu negara baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam perkembangannya tidak jarang para pelaku usaha atau produsen makanan yang sampai saat ini masih menggunakan zat-zat kimia dalam proses produksinya, dengan harapan produknya dapat bertahan lama. Dalam takaran tertentu zat-zat kimia dapat aman dikonsumsi oleh masyarakat, akan tetapi pihak produsen seringkali menggunakan zat-zat kimia dalam jumlah yang cukup berlebihan dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, hal ini sangat merugikan kepentingan konsumen terutama dari segi kesehatan, dan tidak hanya itu saja produsen juga melakukan suatu kebohongan publik karena takaran penggunaan zat kimia yang terkandung dalam produk tersebut tidak sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan.
1
2
Berbagai media sering mengungkap kasus-kasus makanan dan obat-obatan yang mengandung zat kimia berbahaya, seperti keracunan permen yang mengandung zat psykotropika/pemanis buatan, krupuk yang mempergunakan pewarna tekstil, bakso mengandung borak, Ikan dan Tahu diawetkan dengan formalin. Tidak hanya produk dengan harga yang mahal, akan tetapi dengan harga yang relatif murahpun tak luput dari incaran para pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat. Seperti yang terjadi terhadap pabrik kerupuk yang bersekala besar dengan modus mencampurkan Borak dan tawas kedalam adonan bahan yang siap dipakai dengan harapan agar bisa tahan lama dan tidak cepat berubah rasa (tengik). Disisi lain warna krupuknya menjadi lebih putih jika dibanding tanpa menggunakan zat-zat kimia.1 Sementara yang terjadi di Cirebon Jawa-Barat di pasar pusat penjualan kue kering dan makanan yang biasa dikonsumsi oleh Anak-Anak seperti: sosis, mie instant dan Susu kaleng yang sudah kadaluarsa tetapi masih saja diperdagangkan, hal ini sangat rawan sekali pada gangguan kesehatan dan keselamatan konsumen terutama sekali bagi anak-anak.2 Kedudukan konsumen yang sangat awam terhadap barang dan jasa serta adanya kendala akses informasi terhadap kelayakan dan keamanan suatu barang dengan kondisi yang demikian, mengakibatkan kedudukan konsumen tidak seimbang. Kelemahan konsumen menjadi faktor utama dimana tingkat kesadaran dan pengetahuan akan haknya yang masih rendah hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan konsumen, oleh karena itu dengan adanya Undang-
1
“Penggunaan Bahan Kimia yang kian menjamur” harian pagi Jawa pos, 2 januari 2012
2
“Pasar pusat makanan kadaluarsa” Reportase Investigasi :Trans TV 8 juli 2012
3
Undang Perlindungan konsumen sangat diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dalam melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan yang ada. Pemberdayaan konsumen sangat penting artinya, karena tidak muda mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang berprinsip ekonomi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang seminimal mungkin. Prinsip ini sangat berpotensi merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk meningkatkan harkat dan martabat perlu ditingkatkan kesadaran konsumen akan hak-haknya guna melindungi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Yang mana sebagian besar masyarakat tidak mengerti bahkan tidak mengetahui akan hak dan kewajiban sebagai konsumen, seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Disamping itu diharapkan peran serta pemerintah ikut aktif dalam penanganan masalah tersebut, sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Dalm hal ini Kementrian Kesehatan Republik Indonesia selaku institusi pemerintah dengan perpanjangan tangannya (dinas kesehatan) yang berada di masing-masing daerah/ kota/kabupaten untuk melaksanakan Koordinasi bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat serta Badan Perlindungan
4
Konsumen Nasional untuk melakukan pembinaan, pendidikan, penelitian, dan pengujian serta mengadakan survei dilapangan guna terciptanya produk pangan yang sehat sesuai dengan standart mutu dan bebas dari penggunaan zat-zat kimia yang berbahaya. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka pokok permasalahan yang akan kita bahas didalam Skripsi ini adalah : 1.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen atas beredarnya produk makanan olahan berbahaya ?
2.
Bagaimana penegakan hukum bagi pelaku usaha yang memperoduksi makanan olahan berbahaya ?
3. Penjelasan Judul Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup3. Hal ini tercantum juga dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa : Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Agar tidak
3
Az.Nasution, Tinjauan Sosial Ekonomi dan hukum Pada Perlindungan konsumen : pustaka sinar harapan jakarta,1995 hal 64-65.
5
terjadi keraguan dalam hal mengkonsumsi barang dan jasa sehubung dengan maraknya pemakaian bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan. 4. Alasan Pemilihan Judul Karena makanan merupakan suatu kebutuhan dasar atau pokok yang harus dipenuhi setiap hari dan tidak dapat ditinggalkan oleh makluk hidup, terutama bagi manusia guna mempertahankan kelangsungan hidup yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap manusia yang senantiasa aman dan bermutu. Dalam hal mengkonsumsi atau memilih makanan yang kurang berhati-hati di tengah maraknya penggunaan zat kimia berbahaya pada makanan, yang akan berdampak buruk bagi kesehatan dan yang lebih serius lagi dapat menyebabkan kematian. 5. Tujuan Penelitian Tujuan utama dalam pembahasan Skripsi yang berjudul “Perlindungan konsumen terhadap produk makanan olahan berbahaya“ adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya, disamping itu pembahasan Skripsi ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan konsumen, pembinaan serta pengawasan oleh pemerintah terhadap makanan olahan berbahaya. 2. Untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab pelaku usaha atas perbuatannya yang memproduksi makanan olahan berbahaya.
6. Manfaat penelitian Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan di bidang perlindungan konsumen, selain itu hasil
6
pemikirannya akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang perlindungan konsumen pada umumnya dan peredaran makanan olahan berbahaya pada khususnya serta dapat dijadikan sebagai bahan membuat data Empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya. Secara praktis pembahasan terhadap masalah-masalah ini diharapkan juga menjadi bahan masukan bagi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI), Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLK) dan bagi Pemerintah sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan segala kebijakan dan mengambil langkah-langkah yang akan ditempuh guna memberikan suatu perlindungan hukum serta informasi kepada konsumen terhadap suatu produk barang sehubung dengan maraknya produk makanan olahan berbahaya di tanah air.
7. Metode Penelitian Didalam penulisan skripsi ini agar lebih terarah dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue approach). Yang tentunya dengan cara menelaah terhadap semua perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan yaitu khususnya antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu sendiri, dengan produk-produk aturan yang sedang berlaku saat itu, misalnya dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah serta peraturanperaturan yang lainya yang diharapkan dapat saling menunjang guna terciptanya suatu tujuan yang diharapka
7
8. Sistimatika Pertanggung Jawaban Untuk mempermuda penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistimatika yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain, adapun sistimatika penulisan ini adalah : BAB I
Berisikan pendahuluan merupakan pengantar yang didalammya terurai mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah kemudian dilanjut dengan penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang kemudian diakhiri dengan sistimatika pertanggung jawaban.
BAB II
Merupakan bab yang membahas bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen atas beredarnya produk makanan olahan berbahaya dan sejarah perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, pentingnya perlindungan konsumen, peran lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam penanganan produk pangan dalam hal ini adalah: Kementrian Perdagangan Republik Indonesia,
Kementrian Kesehatan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Republik Indonesia, Badan Republik
Indonesia,
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. BAB III
Merupakan Bab yang membahas bagaimana penegakan hukum bagi pelaku usaha yang memproduksi makanan olahan berbahaya, sekaligus untuk mengetahui hak dan kewajibannya serta laranganlarngan bagi pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha yang memproduksi makanan olahan berbahaya baik yang berasal dari
8
industri rumah tangga, maupun dari pelaku usaha badan hukum, kegiatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pertanggung jawaban dari pelaku usaha produk rumah tangga dan pelaku usaha badan hukum,
berikut
cara penyelesaian
sengketanya
baik
melalui
pengadilan umum maupun diluar pengadilan dengan segala sanksisanksi yang ada. BAB IV Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah yang ada dan saran sebagai sumbangan pemikiran dalam khasanah hukum.
9
BAB II BAGAIMANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS BEREDARNYA MAKANAN OLAHAN BERBAHAYA
1. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru populer sekitar 35 tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang (Independen) bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan disusul dengan lembaga-lembaga lain yang serupa, yang mana berorientasi pada peningkatan kesadaran konsumen akan hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi diriya sendiri, keluarga maupun lingkungannya. YLKI berdirinya didasari pada perhatian atas kelangkaan produk nasional yang berkualitas cenderung memilih dan berbelanja produk import pada era tahun 70 an serta perlunya pemberdayaan bangsa dan produksi dalam negeri. Dimana pertumbuhan ekonomi nasional pada waktu itu diwarnai dengan perkembangan yang pesat dalam sektor industri, tetapi belum disertai dengan peningkatan terhadap kwalitas barang dan jasa4. Berikut merupakan tonggak sejarah bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ) : Tahun 1973
:
Kelembagaan yang diprakarsai oleh para tokoh perempuan yang telah berjasa dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia disahkan dengan akta notaris Loemban Tobing, SH. Dengan nama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
4
http ://www.ylki.or.id/tentang-kami
10
Tahun 1974
:
Menerbitkan majalah Warta Konsumen sebagai wadah informasi dan pendidikan bagi konsumen.
Tahun 1975
:
Memenuhi
perannya
sebagai
Lembaga
Perlindungan
Konsumen (YLKI) mendapat kesempatan dari pemerintah DKI untuk melakukan uji komparatif barang hasil industri dengan sampel yang diambil dari pasar, hasil pengujian dan penelitian diumumkan dan dipublikasikan di majalah Warta Konsumen agar dapat menjadi panduan bagi konsumen. Tahun 1991
:
Erna Witoelar, ketua pengurus harian YLKI periode 19861989 diangkat menjadi Presiden IOCU dalam kongres di Hongkong Tahun 1991. Terpilihnya Aktivis yang bergabung dengan YLKI sejak Tahun 1975 sekaligus membuktikan pengakuan Internasional terhadap YLKI.
Tahun 1997
:
Untuk pertama kalinya YLKI mengajuhkan gugatan hukum untuk kepentingan publik terhadap PLN kasus listrik mati Se-Jawa Bali.
Tahun 1999
:
Seteleh turut aktif memperjuangkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK akhirnya disahkan oleh Pemerintah. UUPK patut diapresiasi sebagai suatu terobosan hukum, meski implementasinya masih banyak kekurangan
11
Tahun 2006
:
Departemen
Perdagangan
Republik
Indonesia
menganugrahkan Indonesia Consumers Protection Award, sebuah penghargaan khusus yang diberikan kepada YLKI sebagai pemrakarsa perlindungan konsumen di Indonesia yang mempunyai misi : 1.
Melakukan pengawasan dan bertindak sebagai pembela konsumen
2.
Memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok konsumen
3.
Mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pengawas kebijakan publik
4.
Mengantisipasi kebijaksanaan global yang berdampak pada konsumen
2. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen A. Asas Perlindungan Konsumen Asas perlindungan konsumen terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan 5 (lima) asas yang dianut dalam perlindungan konsumen antara lain5 : a.
Asas Manfaat Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.
Asas Keadilan Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
5
http://vegadadu.blogspot.com/2011/04/asas-dan-tujuan-html
12
c.
Asas Keseimbangan Adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
d.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen Adalah untuk memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.
Hukum Asas Kepastian Yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan Perlindungan Konsumen Selain ditinjau dari bidang hukum yang mengatur prihal perlindungan konsumen juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang
perlindungan
konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 3 Perlindungan konsumen Bertujuan untuk6 : a.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan jasa.
c.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dengan memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
6
ibid
13
d.
Menciptakan sistim perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.
Meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa.
3. Pentingnya Perlindungan Konsumen Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materi maupun formal semakin terasa sangat penting, mengingat semakin lajuhnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mana merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut baik langsung maupun tidak langsung perlu adanya upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadahi terhadap kepentingan konsumen. Permasalahan perlindungan konsumen dalam perkembangannya belum dapat teratasi sepenuhnya justru permasalahan tersebut semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal, pada faktor eksternal salah satunya adalah pengaruh globalisasi yang menyebabkan konsumen diberikan banyak pilihan dan pelaku usaha semakin dipacu untuk memproduksi barang atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan diminati oleh masyarakat, namun kurang memperhatikan kualitas bahan produksi yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu pelayanan terhadap konsumen
14
juga belum optimal hal tersebut mengakibatkan konsumen senantiasa berada dalam posisi lemah dan dirugikan, maka perlu adanya aturan yang dapat menjembatani kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen yang tidak merugikan salah satu pihak, antara konsumen dan pelaku usaha. Sedangkan pada faktor internal sendiri yaitu, kurangnya kesadaran konsumen tentang keamanan makanan yang dikonsumsinya, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman, hal ini juga menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen. Rendahnya pendidikan juga merupakan faktor utama yang disisi lain menjadikan konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan yang dikonsumsi, dan sulit untuk menghindari resiko dari produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Oleh karena itu dengan adanya UndangUndang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dalam melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui penyuluhan, pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan konsumen sangat penting artinya, karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya memiliki prinsip ekonomi, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial dapat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perlindungan Konsumen bukan sekedar perlindungan fisik melainkan lebih kepada hak-hak yang bersifat abstrak, yang sesunggunya identik dengan
15
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 yaitu7 : a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas,dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.
Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h.
Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan adanya perlindungan konsumen, diharapkan konsumen dapat
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri sendiri, keluarga dan masyarakat serta menuntut haknya sebagai konsumen.
7
http://dikti.go.id/files/atur/uu-8 1999 perlindungankonsumen.pdf
16
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen
sebab
sampai
akhir
terbentuknya
Undang-Undang
tentang
perlindungan konsumen ini telah ada beberapa Undang-Undang yang materinya melindungi konsumen seperti : a.
Undang-Undang Nomer 10 tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang Menjadi Undang-Undang.
b.
Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
c.
Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
d.
Undang-Undang Nomer 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
e.
Undang-Undang Nomer 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
f.
Undang-Undang Nomer 5 Tahun 19984 tentang Perindustrian.
g.
Undang-Undang Nomer 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
h.
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang Dan Industri.
i.
Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
j.
Undang-Undang Nomer 7 Tahun 1994 tentang Agreement EstablishingThe World
Trade
Organization
(Persetujuan
Pembentukan
Organisasi
Perdagangan Dunia). k.
Undang-Undang Nomer 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
l.
Undang-Undang Nomer 9 Tahun 1995 tentang usaha Kecil.
m. Undang-Undang Nomer 7 Tahun 1996 tentang Pangan. n.
Undang-Undang Nomer 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas UndangUndang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1987.
17
o.
Undang-Undang Nomer 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.
p.
Undang-Undang Nomer 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 19 Tahun 1989 tentang Merk.
q.
Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup.
r.
Undang-Undang Nomer 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.
s.
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
t.
Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
4. Peran Lembaga Pemerintah dan Non Pemerintah Dalam Penanganan Produk Makanan Olahan Berbahaya. Bahan tambahan makanan sangat berperan dalam proses produksi karena tujuan dari barang tersebut untuk menghasilkan suatu produk yang lebih berkualitas dan menarik. Sebenarnya dengan penambahan bahan tambahan makanan yang sesuai dengan standart yang ditetapkan, tidak membahayakan bagi kesehatan, namun penggunaan dengan dosis yang berkelebihan diatas ambang batas yang di izinkan dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya bagi manusia. Dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen No.8 Tahun 1999 pasal 7 huruf (b) berbunyi “ Kewajiban pelaku usaha adalah memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.” Dikarenakan banyak pelaku usaha yang tidak mentaati aturan dan terkesan tidak peduli dengan peraturan yang ditetapkan, maka ini adalah tugas pemerintah untuk melindungi
18
segenap warga negaranya dalam mengatasi pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya dalam makanan olahan. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat (1).”Pemerintah
bertanggung
jawab
atas
pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.” Dalam mennggulangi masalah-masalah tersebut diatas, Pemerintah tidak bekerja sendiri. Pemerintah membentuk lembaga pemerintah dan non Pemerintah yang berhubungan dengan pangan dan saling bekerja sama demi terciptanya suasana perdagangan yang bebas dari bahaya zat kimia, berbahaya. Yang mana tugas dari lembaga-lembaga tersebut adalah pengawasan, penyuluhan, pelatihan, pembinaan, penelitian dan survey serta melakukan tindakan hukum, LembagaLembaga tersebut antara lain : A.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009. Tentang penertiban surat izin usaha Perdagangan (SIUP)
yang menyatakan, Setiap perusahaan perdagangan
wajib memiliki SIUP yang terdiri dari SIUP kecil, SIUP menengah, SIUP besar dan SIUP mikro8. Kementrian Perdagangan juga berwenang melaksanakan penertiban Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi setiap jenis usaha yang menjalankan usahanya dibidang perdagangan. Deperindag selaku pemberi izin usaha di bidang perdgangan juga ikut bertanggung jawab dalam 8
http://www.philipusjusuf.com/2011/tentang penerbitan surat izin usaha
19
pemberantasan pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya. Bentuk pertanggung jawabannya bisa berupa pembinaan dan pengawasan, penyelidikan, penyuluhan, pelatihan, dan tindakan hukum. Pembinaan dan pengawasan dilakukan sejak pendirian sampai dengan beroprasinya perdagangan tersebut. Penyelidikan dilakukan ke tempat produksi dan di pasar dimana produk dipasarkan tujuan dari penyelidikan adalah untuk memeriksa secara berkala terhadap produk-produk yang beredar. Penyuluhan dan pelatihan digunakan untuk memberi pengetahuan kepada pelaku usaha tentang apa yang harus dilakukan dan yang dilarang dalam proses produksi sehingga dapat menciptakan iklim dagang yang sehat. Tindakan hukumnya dapat berupa pemeriksaan terhadap laporan maupun pemeriksaan ke lokasi usaha guna memutuskan layak tidaknya perusahaan tersebut dapat terus beroprasi, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut disperindag memanggil pelaku usaha dan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus dilakukan dan memberi sanksi terhadap pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam upaya memberantas pelaku usaha yang dalam proses produksinya menggunakan zat kimia berbahaya yaitu dengan melakukan pengawasan rutin dan berkoordinasi dengan badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Selain pengawasan Deperindag juga melakukan sosialisasi terhadap pelaku usaha mikro kecil yaitu pelaku usaha industri rumah tangga serta industri besar, agar segera mendaftarkan produknya sebelum diedarkan kepada masyarakat sehingga tingkat kewaspadaan terhadap produk yang mengandung zat kimia berbahaya dapat teratasi.
20
B.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Merupakan Instansi Penerintah yang salah satu tugasnya adalah mengadakan
pengawasan terhadap produk pangan, guna mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal, dengan ini pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1992. pasal 21 tentang pengamanan makanan dan minuman dengan tujuan
untuk melindungi masyarakat dari produk
pangan yang tidak memenuhi ketentuan atau standar kesehatan,dapat membahayakan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya 9. dimana setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau lebel yang berisikan bahan yang dipakai, komposisi setiap bahan, dan masa kadaluarsa. Bagi makanan yang tidak memenuhi standar atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku.Undang-Undang No.23 Tahun 1992. Pasal 44 juga mengatur mengenai Ketentuan Pengamanan zat adiktif, yang mana penggunaan bahan tersebut diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Serta produksi, peredaran, dan penggunaanya harus memenuhi standar yang telah ditentukan. C.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI ) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI ikut bertanggung jawab terhadap peredaran produk pangan olahan di seluruh Indonesia. Dalam mengatasi permasalahan diatas pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan
9
http://www.affaveti.org/wp.content/upload/2010/09 UU 23. 1992.ind.pdf
21
pangan. Salah satunya adalah peraturan mengenai kewajiban pendaftaran produk pangan olahan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Semua produk makanan dan minuman yang akan dijual di wilayah Indonesia, baik produksi lokal maupun impor harus didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, sebelum beredar ke masyarakat atau di pasar. Jenis dan nomor pendaftaran bisa kita lihat pada produk-produk makanan dan minuman yang dipasarkan, nomor pendaftaran dapat kita temukan dibagian depan label produk pangan tersebut seperti : SP, MD, dan ML yang diikuti dengan sederetan angka. Nomor SP adalah sertifikat penyuluhan, merupakan nomor pendaftaran yang diberikan kepada usaha kecil dengan modal terbatas dan pengawasan diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya. Nomor MD diberikan kepada produsen makanan dan minuman bermodal besar yang diperkirakan mampu untuk mengikuti persyaratan keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan nomor ML, diberikan untuk produk makanan dan minuman olahan yang berasal dari produk impor, baik berupa kemasan langsung maupun pada kemasan ulang10 Sesuai dengan Visi Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu menjadi Institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kridibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat. Pengawasan dan pemeriksaan 10
yang
dilakukan
oleh
Badan
http://www.bisnisukm.com/perizinan-bpom-badan-pengawas-obat
POM
bertujuan
untuk
22
meminimalkan terjadinya kerugian konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka dari itu produksi makanan olahan harus memiliki izin resmi dari departemen kesehatan dan Badan POM, dan bagi pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan akan mengeluarkan sertifikat izin produksinya. Pengawasan dan pemeriksaan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap makanan dan minuman dilakukan dengan berbagai cara meliputi : 1.
Memeriksa langsung ke tempat Produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan makanan dan minuman.
2.
Memeriksa atas keamanan kandungan gizi pangan yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
3.
Memeriksa terhadap dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan.
4.
Pemeriksaan terhadap izin usaha atau dokumen sejenisnya.
5.
Pemeriksaan
terhadap
penggunaan
bahan
tambahan
makanan
(BTM ) yang dilarang atau diluar ambang batas yang ditetapkan. 6.
Pemeriksaan terhadap penggunaan bahan kemasan makanan dan minuman yang dinyatakan terlarang. Dengan berbagai cara pengawasan yang dilakukan, serta pengambilan sampel diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada sehingga tercipta kesehatan masyarakat yang optimal dan bebas dari penggunaan zat kimia berbahaya.
23
D.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional Merupakan badan Independen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan
kepada
pemerintah
dalam
upaya
mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia Yang tugasnya adalah 11 : a.
Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
b.
Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dibidang perlindungan konsumen.
c.
Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
d.
Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
e.
Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
f.
Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha.
g. E.
Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen, yang. ruang lingkupnya meliputi : penanganan pengaduan konsumen, pendidikan konsumen, penerbitan majalah / buku konsumen, penelitian, pengujian dan
11
http://www.dikti.go.id/files/atur/uu 8-1999 perlindungan konsumen pdf
24
advokasi kebijakan. LPKSM berhak untuk melakukan pengawasan dalam rangka melindungi masyarakat sesuai dalam pasal 30 ayat (1) UndangUndang Perlindungan Konsumen yang menyatakan “pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.” Sesuai pasal 44 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan konsunen mempunyai tugas antara lain12 : a.
Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/jasa.
b.
Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan.
c.
Bekerja sama dengan instansi tekait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
d.
Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
e.
Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Didalam Pengawasan yang dilakukan Oleh Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, bersama-sama dengan Masyarakat adalah pengawasan atas barang dan jasa yang beredar di pasar, yang meliputi penelitian,
pengujian,
dan
pemasangan
lebel,
serta
berdasarkan atas ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
12
Ibid. h 23
pengiklanan
25
Dan apabila terjadi suatu pelanggaran atas hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat mengadukan permasalahan tersebut dengan cara mendatangi tempat LKSM bertugas atau dengan cara online. Yang mana dalam penanganan pengaduan terdapat 2 (dua) cara yang ditempuh yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Dalam penanganan pemberantasan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, pemerintah melakukan koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang mempunyai peranan untuk : 1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
2.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
3.
Menciptakan sistim perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
4.
Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 5.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan Usaha produksi barang dan/atau jasa meliputi kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
26
Demi tercapainya tujuan yang diharapkan Dalam hal ini antara Pemerintah dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan Masyarakat sebagai konsumen harus dapat berperan aktif dan saling berkoordinasi dengan lembaga yang lainya, yang berkaitan
dengan
peredaran
makana
olahan
berbahaya
dalam
memberantas pelaku usaha yang menggunakan zat kimia berbahaya. Pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam mengeluarkan peraturan yang mengikat antara pelaku usaha dan konsumen, sedangkan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat membantu dalam hal penelitian, penyuluhan, Survey dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-Undang Yang ada.
27
BAB III PENEGAKAN HUKUM BAGI PELAKU USAHA YANG MEMPERODUKSI MAKANAN OLAHAN BERBAHAYA
1. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dengan terciptanya Undang Perlindungan konsumen No.8 Tahun 1999 yang di dalamnya mencantumkam hak-hak dan kewajiban pelaku usaha diharapkan dapat menumbuhkan Iklim usaha yang sehat sehingga dapat tercipta suatu
tatanan
kehidupan masyarakat adil dan makmur. Sesuai
dengan pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999. Hak Pelaku usaha adalah13 : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan /atau jasa yang diperdagangkan. b. Hak untuk mendapat perlindungan hu kum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik. c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian penyelsaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa merugikan konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. e. Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Dan dalam pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha yang harus dilaksanakan
13
http://jaggerjaques.blogspot.com/2011/hak-dan-kewajiban-pelaku-usaha
28
kewajiban ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, yaitu 14 : a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan Usahanya.
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan
barang dan/atau
jasa serta memberi
penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan /atau garansi atas barang yang dibuat dan/diperdagangkan.
f.
Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g.
Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa. Pelaku usaha juga berkewajiban memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan terhadap produknya, hal ini sangat penting dilakukan, karena denga
14
ibid
mengetahui segaka informasi mengenai suatu produk dapat
29
membantu konsumen dalam memilih produk yang baik dan sesuai dengan kebutuhan. Suatu produk yang beredar di pasar tanpa mencantumkan komposisi, petunjuk pemakaian, dan peringatan yang kurang lengkap dapat dikatagorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Undang-Undang Perlidungan Konsumen telah mengatur khusus tentang tanggung jawab pelaku usaha di pasal 19, 20, 21, 24, 25, 26, dan 29. Karena tanggung jawab terhadap produk mutlak menjadi tanggung jawab pelaku usaha.
2. Kegiatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Seperti yang kita ketahui tujuan Perlindungan Konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka dengan maksud tersebut berbagai hal yang bisa membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Untuk menghindarkan dari akibat negatif pemakaian barang dan/jasa tersebut, maka Undang-Undang menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha seperti yang dijelaskan pasal 8 sampai dengan pasal 18 UndangUndang No,8 Tahun 1999 yaitu15 : (1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang : a.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang -undangan.
15
http://www.dikti.go.id/files/atur/uu-8-1999perlindungan konsumen.pdf
30
b.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau rtiket barang tersebut
c.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam lebel, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e.
Tidak
sesuai
dengan
mutu,
tingkatan,
komposisi,
proses
pengokahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam lebel atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. f.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi tidak halal, sebagaimana pernyataan “ Halal” yang dicantumkan dalam lebel.
i.
Tidak memasang lebel atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
j.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketntuan perundangundangan yang berlaku.
31
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dikonsumsi.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yangrusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tnpa memberi informasi secara lengkap dan benar.
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang mempergunakan barang dan/atau jasa tersebut serta nwajib menariknya dari peredaran.
Disamping diatur di Undang-Undang No.8 Tahun 1999, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha juga diatur di Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan ( Pasal 10 ) (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang untuk menggunakan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau malampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan/ dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dan pada ( Pasal 11 ) bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum diketahui dampak bagi kesehatan manusia,
wajib
terlebih
dulu
diperiksa
keamanannya
dan
penggunaanya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan pemerintah.
.
32
3.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan Dalam hal pemenuhan suatu kebutuhan, Produsen sangat bergantung dan membutuhkan konsumen sebagai pelanggan, tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sedangkan sebaliknya, konsumen sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhannya sangat tergantung dari hasil produksi produsen. Ketergantungan kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang
terus menerus sesuai dengan
tingkat ketergantungannya. Pemenuhan
terhadap
kebutuhan
konsumen
tersebut,
akan
menimbulkan tanggung jawab pelaku usaha. Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain : a.
Contractual Liability Yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.
b.
Product Liability Yaitu tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.
c.
Professional Liability Yaitu tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialaami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan.
d.
Criminal Liability Yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.
33
Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha sendiri, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 19 Undang-Uundang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu16 : (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas, kerusakan,
pencemaran,
dan/atau
kerugian
konsumen
akibat
mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan, peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalm tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimanah yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdsarkan
pembuktian lebih lanjut mengenahi adanya unsur
kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
A. Pelaku Usaha Industri Rumah Tangga Penggunaan bahan tambahan makanan atau pangan dalam proses produksi perlu diwaspadai baik oleh pelaku usaha maupun konsumen. Penyimpanan dalam penggunaan bahan-bahan kimia tersebut akan berdampak dan berpengaruh besar pada kesehatan. Bahan tambahan 16
Ibid.,h.13
34
Makanan dari zat kimia berbahaya banyak digunakan pada jajanan yang umumnya diproduksi oleh pelaku usaha industri rumah tangga selain dari harganya lebih murah, zat kimia ini juga sangat membantu dalam proses produksi bagi pelaku usaha industri rumah tangga. Seperti halnya untuk mengawatkan makanan olahannya cukup dengan mencampurkan formalin, maka makanan tersebut bisa bertahan lebih lama tanpa memerlukan proses yang lainnya. Kurangnya
pengetahuan
tentang
peraturan
yang
melarang
menggunakan zat kimia berbahaya, membuat para pelaku usaha industri rumah tangga ini masih saja menggunakan bahan tersebut sebagai bahan tambahan pangan dengan dalih untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka melakukan berbagai macam cara tanpa memperdulikan dampak negatifnya bagi kesehatan. Hal ini sangat merugikan sekali bagi kepentingan konsumen, perbuatan ini harus ditindak oleh pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai dengan peraturan.Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan pembinaan dalam bidang pangan, sebagaimana yang tercantum pada pasal 49 Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi : a.
Pengembangan Sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil.
b.
Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan dibidang pangan, serta penganekaragaman pangan.
35
c.
Untuk mendorong dan mengarahkan pesan serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan.
d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian atau pengembangan teknologi dibidang pangan. e.
Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan.
f.
Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional.
g.
akan lebih terjamin. Penggunaan zat Mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantap mutu pangan tradisional. Tanggung jawab pelaku usaha sangat penting dalam hukum perlindungan
konsumen
sehingga
hak-hak
konsumen
kimia
berbahaya merupakan tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada tanggung jawab perdata secara langsung (Product Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkomsumsi produk yang dihasilkan.
B. Pelaku Usaha Badan Hukum Penggunaan teknologi tinggi dalam memproduksi produk makanan mengakibatkan banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh konsumen, namun hal itu sangat sulit dilakukan karena sebagian besar konsumen tidak memiliki kemampuan, ketidak mampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat dimanfaatkan secara tidak wajar oleh pelaku usaha. Penggunaan zat kimia berbahaya dalam proses produksinya akan diminta pertanggung jawaban, karena ini merupakan tindak pidana korporasi, dimana kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan, maka yang turut
36
bertanggung jawab dalam badan usaha adalah orang (pengurus) dan badan hukumnya.
4. Penyelesaian Sengketa dan Tindakan Hukum Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai mutu dan keamanan pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan serta pelanggaran hak-hak konsumen, hal tersebut juga diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM), yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Praktek-praktek yang salah telah menyebabkan seringnya bahan kimia berbahaya dilarang digunakan untuk makanan seperti formalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan pada saat proses pembuatan tanpa memperhatikan takaran atau ambang batas serta bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut kepada konsumen. Keamanan pangan masih jauh dari keadaan aman, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang dikonsumsinya,
sehingga belum banyak menuntut produsen untuk
menghasilkan produk makanan yang aman. Hal ini menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan dilain pihak konsumen juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengelolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk makanan tidak bermutu dan tidak aman bagi
37
kesehatan,
akhirnya
konsumen
dengan
senang
dan
tanpa
sadar
mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Dengan
keterbatasan
pengetahuan
dan
kemampuan
dalam
memperoleh informasi konsumen sering kali beranggapan bahwa makanan dengan harga yang mahal identik dengan mutu yang tinggi pula, dan bagi golongan ekonomi rendah akan memilih harga yang murah karena golongan ini lebih menitik beratkan pada harga terjangkau daripada pertimbangan lainnya. Penanggulangan agar makanan yang aman tersedia secara memadahi, perlu diwujudkan suatu sistim makanan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengkonsumsi makanan tersebut sehingga makanan yang diedarkan tidak menimbulkan kerugian serta aman bagi kesehatan. Berkaitan dengan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen, konsumen tersebut dapat menuntut haknya untu mendapatkan ganti kerugian dan pihak pelaku usaha dengan cara upaya damai. Tetapi jika upaya damai tidak dapat dilaksanakan dikarenakan pelaku usaha menolak untuk memberikan ganti rugi, maka konsumen yang mengalami kerugian tersebut dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa yaitu dengan mengajuhkan tuntutan ganti rugi kepada pihak pelaku usaha ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen. Pelaku usaha dapat dituntut secara pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan yang mana pembuktiannya dilakukan oleh jaksa sebagai
38
penuntut umum berdasarkan atas pasal 22 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan /jasa konsumen tertentu. Melalui ketentuan pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tersebut dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : A.
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Umum Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa prosedur yang dilalui dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Pasal 45 Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, menyatakan : (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. (4) Apabila telah diupaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
39
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Konsumen yang dirugikan haknya tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi konsumen dapat juga menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengketa administrasi didalamnya. B.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Maraknya kegiatan bisnis tidak dapat dihindari terjadinya sengketa antara pihak yang bersengketa, dimana cara penyelesaian masalahnya dilakukan
melalui
proses
Peradilan
(Litigasi).
Proses
ini
membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang mengemukakan dipilihnya
penyelesaian
alternatif
yaitu
ingin
meminimalisasi
Birokrasi perkara, Biaya dan waktu sehingga lebih cepat dengan biaya relatif yang lebih ringan, lebih dapat menjaga harmonisasi sosial dengan mengembangkan perdamaian dan musyawarah akan tetap mempunyai kekuatan hukum sama seperti pengadilan biasa dan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 130 HIR (Herziene Indonesia Reglement) yaitu apabila perdamai an tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta, dimana kedua belah pihak yang bersengketa harus mentaati perjanjian yang dibuat dalam akta tersebut. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
40
Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara17 : a. Konsultasi Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut Klien, dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya pada klien tersebut Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapat tersebut atau tidak. b. Negoisasi Proses konsensus yang digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan, negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga atau penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan. Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu rumit, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik. c. Mediasi Merupakan proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar tidak memihak (Impartial) bekerjasama dengan pihak yang 17
http://www.esdm.go.id/doc/273-undang-undang-no.30-tahun 1999 ht
41
bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan Hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dikuasakan kepadanya. d. Konsiliasi Konsiliasi tidak berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Konsiliasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pihak ketiga mengupayakan pertemuan diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian, konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan pihak yang berselisih konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan.
5.
Sanksi-Sanksi Hukum Bagi Pelaku Usaha Selain memberlakukan pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan karena kecurangan pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga memberikan sanksi-sanksi berupa sanksi administratif dan sanksi Pidana18 : a.
18
Op.cit,h 29
Sanksi Administratif
42
Dalam hukum perlindungan konsumen
sanksi
administratif
diatur
dalam pasal 60 Undang-Undang perlindungan konsumen : (1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi adminitratif terhadap pelaku usaha yang melanggar pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, pasal 25 dan Pasal 26. (2) Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.
b. Sanksi Pidana Diatur dalam pasal 62 Undang-Undang Perlindungan konsumen: (1) ) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9,pasal 10, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah. dalam pasal 11, pasal12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana (2)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
43
BAB IV PENUTUP
1.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan diatas, maka dapat diambil kesimpulan atas permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : a.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomer 8 Tahun 1999 dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen serta menyadarkan palaku usaha untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat, jujur dan bertanggung jawab.
b.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan
asas
manfaat,
keadilan,
keseimbangan,
keamanan,
keselamatan konsumen dan asas kepastian hukum. Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen
ini
merupakan
payung yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen. Upaya-upaya yang diambil pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen akibat dari penggunaan zat kimia yang berbahaya dalam produk makanan olahan, adalah berupa tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif dilakukan dengan mengadakan penelitian, pengujian ataupun survei, dan juga membentuk organisasi yang melindungi kepentingan konsumen, yakni Badan Perlindungan Konsume Nasional (BPKN) dan
44
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Sedangkan tindakan represif, dapat diberikannya sanksi-sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan, sesuai dengan UndangUndang No.8 Tahun
Perlindungan Konsumen baik berupa sanksi
administratif dan sanksi pidana. Mengingat kelemahan konsumen pada tingkat kesadaran dan haknya yang masih rendah, maka perlu pemberdayaan
konsumen
melalui
pembinaan
dan
pendidikan
konsumen. Pembinaan dan pendidikan ini hendaknya diselenggarakan oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 2.
Saran : Produk pangan di indonesia masih jauh dari kondisi aman, mengingat semakin maraknya predaran produk pangan yang cukup
berbahaya di
masyarakat, dengan demikian kita perlu meningkatkan kesadaran diri untuk tidak mengonsumsi dari barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan standart mutu yang ada, seperti tidak dicantumkannya komposisi dari bahan yang digunakan, batas kadaluarsa, dan uji mutu layak tidaknya suatu produk untuk dikonsumsi (Depkes ) serta meningkatkan pengetahuan dan informasi kepada konsumen akan produk barang dan jasa yang akan dikonsumsi, ini merupakan tugas bagi pemerintah untuk melakukan pemberdayaan konsumen baik melalui pendidikan, seminar-seminar
maupun informasi
lewat audio video visual guna menambah wawasan sehingga konsumen terhindar dari produk-produk yang membahayakan bagi kesehatan.
45
DAFTAR BACAAN
AZ. Nasution, Tinjauan Sosial Ekonomi dan hukum pada perlindungan konsumen, Pustaka Sinar Harapan, jakarta, 1995. http://www.affaveti.org/content/upload/2010/09 uu 23 1992.ind.Pdf. http://www.bisnisukm.com/perizinan-bpom-badan-pengawas -obat. http://www.dikti.go./files/atur/uu 8-1999 perlindungan.pdf http://www.esdm.go.id/dog /273. Undang-Undang.No.8 tahun 1999 ht. http://www.jaggerjaques.blogspot.com/2011/hak-dan-kewajiban-pelaku usaha. http ://www.philipus yusuf.com/2011/tentang penerbitan surat izin usaha. http://www.vegadadu.blogspot.com/2011/04 Asas -dan-tujuan html. http://www.ylki.or.id/tentang kami. Penggunaan bahan kimia yang kian menjamur, Harian pagi Jawa Pos, surabaya, 12 Mei 2012. Pasar pusat makananan Kadaluarsa, Reportase Investigasi, Trans TV, 8 Juli 2012.
46