PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016 Rati Purwasih NIM H453130351
RINGKASAN RATI PURWASIH. Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI HARTOYO. Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung, akan tetapi jumlah produksi jagung di provinsi ini terus mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir yaitu dari 2 126 571 ton pada tahun 2010 menjadi 1 719 386 ton pada tahun 2014. Penurunan jumlah produksi tersebut mengikuti trend penurunan luas panen jagung yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014. Insentif bagi petani untuk berusaha tani jagung yaitu harga. Rata-rata harga jagung yang diterima petani (produsen) dari Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per kilogram. Jika dilihat dari rata-rata harga jagung di tingkat produsen dan konsumen tersebut, terdapat disparitas harga yang cukup besar antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung yang mungkin disebabkan oleh panjangnya rantai pemasaran atau penyalahgunaan market power. Selain itu, harga jagung di tingkat konsumen lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan harga jagung di tingkat produsen. Hal ini dapat disebabkan oleh proses transmisi harga yang asimetri artinya saat harga jagung di tingkat konsumen naik akan diteruskan secara perlahan-lahan dan tidak sepenuhnya ke tingkat produsen. Penyebab transmisi harga asimetri di antaranya karena penyalahgunaan market power oleh pedagang. Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain dalam perdagangan, harga di pasar acuan akan mempengaruhi harga yang terbentuk di pasar pengikut. Harga jagung juga dipengaruhi oleh jumlah produksi karena pola produksi yang mengikuti musim. Selain itu, komoditas jagung memerlukan waktu mulai dari proses pengolahan lahan sampai panen dan pemasaran hasil panen sehingga harga jagung dipengaruhi juga oleh penyesuaian pasar. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Data yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen yaitu data time series bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014 (72 bulan). Asymmetric Error Correction Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen diestimasi dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS). Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Selanjutnya dilakukan estimasi Asymmetric Error Correction Model (AECM) diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen tidak berjalan simetri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi petani mengenai harga jagung sedangkan pedagang memiliki market power dalam
mempengaruhi harga sehingga dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya dalam jangka panjang transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara simetri artinya saat terjadi kenaikan harga jagung di tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan kenaikan harga dan sebaliknya saat terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan penurunan harga pada kecepatan yang sama. Setelah dilakukan uji Wald diperoleh hasil bahwa tidak terbukti terjadi transmisi harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemasaran jagung di Provinsi Lampung efisien dari segi efisiensi harga. Harga jagung yang terbentuk di tingkat produsen dipengaruhi oleh nilai tukar, jumlah produksi, dan harga jagung di tingkat produsen pada periode sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor tidak mempengaruhi harga jagung tingkat produsen. Harga jagung di tingkat produsen kurang respon terhadap perubahan jumlah produksi. Hal ini terjadi karena adanya kekuatan oligopsoni. Kata kunci: asimetri, harga konsumen, harga produsen, transmisi harga
SUMMARY RATI PURWASIH. Formation of Corn Prices in Lampung Province. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SRI HARTOYO. Corn is one of the leading commodities in Lampung Province, but its production in the province has declined over the last 5 years from 2 126 571 tons in 2010 to 1 719 386 tons in 2014. The decrease in production was due to a decline in the corn harvested area from 447 509 hectares in 2010 to 338 885 hectares in 2014. The incentives for corn production for farmers is the price. The average corn price received by farmers (producers) from January 2009 to December 2014 amounted to Rp 1 820 per kilogram, while the average price of corn at the consumer level was at Rp 3 205 per kilogram. If seen from the average price of corn at the producer and the consumer level, there is a fairly large price disparities between producers and consumers in Lampung that may be caused by the length of the marketing chain or abuse of market power. Moreover, corn prices at the consumer level are more volatile when compared with the price of corn at the producer level. It can be caused by asymmetric price transmission meaning that when the price of corn at the consumer level rises, this rise in price will be slowly and not fully transmitted to the producer level. The cause of asymmetric price transmission include the abuse of market power by traders. In a vertically integrated market, the reference price in the market will affect the prices established in the market follower. The price of corn is also affected by the amount of production and the market adjustments from the time of land management until harvesting and marketing of the crop. The purpose of this study are to analyze the transmission of corn prices from the consumer level to the producer level and analyze the factors affecting the formation of corn prices at the producer level in Lampung Province. The data used to analyze the corn price transmission from the consumer level to the producer level and the factors that affect the formation of prices at the producer level was a monthly time series data from January 2009 to December 2014 (72 month). Asymmetric Error Correction Model (AECM) developed by von Cramon-Taubadel and Loy (1996) was used to analyze corn price transmission from the consumer level to the producer level. The factors affecting the formation of corn prices at the producer level was estimated using the Ordinary Least Squares (OLS) method. Causality test results indicate that corn prices at the consumer level affect corn prices at the producer level. From AECM estimates obtained, the short run corn price transmission from the consumer level to the producer level was asymmetric. This occurs because the information available to the farmers on corn prices are insufficient while the traders have a market power which enabled them to influence prices so that changes in corn prices at the consumer level in the short run is not immediately transmitted to the producer level. However, the long-run transmission of corn prices from the consumer level to the producer was symmetric. This means that when there is an increase corn price at the consumer level, the producers will respond by also raising its prices and vice versa at the same speed. After the Wald test, results obtained showed that there was no prove of asymmetric price transmission from the consumer level to the producer level in
the long run. This condition indicates that in the long run, marketing of corn in the Province of Lampung is efficient in terms of efficiency price. The price of corn formed at the producer level are affected by exchange rates, production quantity, and corn prices at the producer level in the previous period, while corn prices at the consumer level and the import corn price has no effect. Corn prices at the producer level is less responsive to changes in production quantities. This occurs because of the strength oligopsony. Keywords: asymmetric, consumer prices, price transmission, producer prices
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMBENTUKAN HARGA JAGUNG DI PROVINSI LAMPUNG
RATI PURWASIH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung berhasil diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan ilmu pengetahuan yang terkait dengan tesis, ide, koreksi, dan saran dalam penyusunan tesis. Di samping itu, ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji wakil komisi program studi pada ujian tesis yang telah memberikan pertanyaan, koreksi, dan saran untuk perbaikan tesis. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa BPPDN sehingga penulis dapat menempuh pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga tersayang yaitu Ayahanda A Rais, Ibunda Malwati, nenek, dan adik-adikku atas doa dan kasih sayang yang selalu dicurahkan serta selalu memberikan dukungan kepada penulis. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Oktober 2016 Rati Purwasih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1 1 3 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
7 7 16 21 23
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data
23 23 24 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung Perkembangan Harga Jagung Impor Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen di Provinsi Lampung Faktor Pembentuk Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi Lampung
31 31 32 33 34 41
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
44 44 45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
50
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis dan sumber data penelitian Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil uji Wald pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung
24 34 35 36 36 38 40 42
DAFTAR GAMBAR 1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014 4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran 5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif 6 Kerangka pemikiran 7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 8 Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014 9 Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember 2014
2 3 4 9 10 22 31 32 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada level dengan kriteria intercept no trend Hasil uji sasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada first difference dengan kriteria intercept no trend
51 51
DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada level dengan kriteria intercept no trend Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada first difference dengan kriteria intercept no trend Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung Hasil uji kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil uji kausalitas antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung Hasil uji Wald untuk koefisien ECT positif dan ECT negatif pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung Hasil uji normalitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Hasil uji heteroskedastisitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Hasil uji autokorelasi pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Hasil uji multikolinieritas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Hasil estimasi faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung
52 52 53 54 54 55 56 56 56 57 57 57
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija yang memiliki peranan penting di Indonesia. Permintaan pasar dalam negeri terhadap jagung dan peluang ekspor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan (BPS RI 2015a). Selama tahun 2010 sampai 2014, impor jagung Indonesia terus meningkat baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 28.72 persen dari sisi kuantitas dan 32.49 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung, dan produk olahan jagung lainnya. Tidak hanya itu saja, jagung juga digunakan sebagai bahan baku pakan ternak dan ekspor (BPS RI 2015a). Seperti halnya dengan impor, pada periode yang sama menunjukkan bahwa ekspor jagung Indonesia juga terus meningkat baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 34.21 persen dari sisi kuantitas dan 23 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Oleh sebab itu, jagung dibutuhkan dalam jumlah besar. Kondisi ini memberikan peluang pasar yang potensial bagi petani untuk mengusahakan tanaman jagung dan meningkatkan produksi (BPS RI 2015a). Jagung yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia dalam bentuk segar dan olahan. Berdasarkan data BPS RI, sebagian besar jagung segar yang diekspor selama tahun 2010 sampai 2014 yaitu jagung pipilan dengan kontribusi nilai ekspor sebesar 53.07 persen dari total ekspor jagung segar atau senilai 6.76 juta US$, sedangkan jagung olahan yang banyak diekspor yaitu pati jagung dengan kontribusi nilai ekspor sebesar 82.18 persen dari total ekspor jagung olahan atau senilai 5.81 juta US$. Jagung yang dimpor dalam bentuk segar juga didominasi oleh jagung pipilan dengan kontribusi nilai impor sebesar 98.34 persen dari total impor jagung segar atau senilai 715.67 juta US$, sedangkan jagung yang diimpor dalam bentuk olahan juga didominasi oleh pati jagung dengan kontribusi nilai impor sebesar 65.48 persen dari total impor jagung olahan atau senilai 55.03 juta US$ (Pusdatin Kementan 2015). Produksi jagung dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan pasar lokal sehingga untuk memperoleh pasokan masih harus mengimpor jagung dari luar negeri (BPS RI 2015a). Berdasarkaan data BPS RI (2015b) rata-rata produksi jagung di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 yaitu sebesar 18 479 421 ton per tahun dengan pola pergerakan produksi yang berfluktuasi. Penghasil jagung di Indonesia tersebar di seluruh provinsi antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain. Kontribusi produksi di daerah sentra produksi jagung Indonesia selama tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 1.
2
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari tahun 2009 sampai 2014 Gambar 1 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia dengan kontribusi produksi jagung sebesar 31 persen dari total produksi jagung nasional. Selanjutnya diikuti dengan Provinsi Jawa Tengah dengan kontribusi produksi sebesar 16 persen dari total produksi jagung nasional. Setelah itu, Provinsi Lampung menempati urutan ke 3 sebagai provinsi sentra produksi jagung di Indonesia yaitu dengan kontribusi produksi sebesar 10 persen dari total produksi jagung nasional. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen produksi jagung di Indonesia dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Produksi jagung di daerah sentra produksi sangat mempengaruhi ketersediaan atau pasokan jagung di pasar. Sementara itu, pergerakan pasokan mempengaruhi pergerakan harga jagung di pasar (Pusdatin Kementan 2015). Salah satu provinsi yang merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Provinsi Lampung. Produksi jagung di Provinsi Lampung cenderung menunjukkan trend yang menurun. Selama tahun 2009 sampai 2010, produksi jagung di provinsi ini mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2010 sampai 2014, produksi jagung di provinsi ini cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama 6 tahun terakhir yaitu dari tahun 2009 sampai 2014, puncak produksi jagung di provinsi ini terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 2 126 571 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 1 719 386 ton. Penurunan produksi jagung mengikuti perkembangan luas panen jagung yang terus menurun mulai dari tahun 2010 sampai 2014 yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014 (Gambar 2). Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.
3
Sumber: BPS RI (2015b), diolah
Gambar 2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 Pengembangan jagung masih menghadapi berbagai permasalahan seperti keterbatasan penanganan pascapanen sehingga berpengaruh pada kualitas jagung akibatnya akan berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Selain itu, permasalahan juga terjadi pada pendistribusian jagung akibat rantai pemasaran yang panjang sehingga keuntungan lebih dinikmati oleh pedagang pengumpul dibandingkan dengan petani (Dirjen Tanaman Pangan 2014). Pola distribusi perdagangan jagung saat ini diduga masih bermasalah sehingga perlu dikenali karakteristik pelaku perdagangan seperti produsen dan pedagang, kualitas jagung karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasaran jagung, disparitas atau perbedaan harga jagung lokal antar wilayah di Indonesia cukup besar dibandingkan dengan disparitas harga jagung impor, marjin usaha, dan peranan setiap wilayah yang menjadi sentra produksi dalam memasok jagung nasional (BPS RI 2015a). Oleh sebab itu, dalam pengembangan jagung perlu menciptakan sistem pemasaran jagung yang efisien sehingga masing-masing pelaku pasar baik petani, pedagang, maupun konsumen dapat memperoleh manfaat atas harga yang berlaku. Perumusan Masalah Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki harga jagung di tingkat petani yaitu memperbaiki sistem pemasarannya dengan cara meningkatkan efisiensi pemasaran (Asmarantaka 1985). Perlunya sistem pemasaran yang efisien agar produk yang ditawarkan dengan harga yang wajar dan mendorong produsen untuk meningkatkan produksi (Omar et al. 2014). Salah satu ukuran yang digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran terutama efisiensi harga yaitu transmisi harga. Sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi
4 harga jika transmisi harga berjalan asimetri (Kohls and Uhl 2002). Hal ini karena transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen dapat merugikan keduanya yaitu produsen tidak memperoleh manfaat atas kenaikan harga di tingkat konsumen, sedangkan konsumen tidak memperoleh manfaat atas penurunan harga di tingkat produsen (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Transmisi harga antara produsen dan konsumen dapat berjalan asimetri karena perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan dan penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Pedagang lebih mungkin meneruskan penurunan harga dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (petani) dibandingkan dengan kenaikan harga (Vavra and Goodwin 2005). Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d) diperoleh rata-rata harga jagung tingkat produsen selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 di Provinsi Lampung sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan harga jagung tingkat konsumen sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per kilogram. Menurut Conforti (2004) bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai pemasaran dapat disebabkan oleh rantai pemasaran yang panjang atau penyalahgunaan market power oleh pedagang sehingga menyebabkan marjin yang terbentuk dalam pemasaran dari sektor hulu (produsen) ke sektor hilir (konsumen) menjadi sangat besar akibatnya pemasaran menjadi tidak efisien. Perkembangan harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah
Gambar 3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014
5 Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan pergerakan harga jagung di tingkat produsen. Kondisi ini mengindikasikan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih cepat berubah dibandingkan dengan harga jagung di tingkat produsen. Menurut Irawan (2007) bahwa fluktuasi harga di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga di tingkat produsen disebabkan oleh adanya proses transmisi harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Artinya saat harga di tingkat konsumen meningkat maka peningkatan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lambat dan tidak sepenuhnya kepada produsen (petani). Sebaliknya jika terjadi penurunan harga di tingkat konsumen maka penurunan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lebih cepat dan sepenuhnya kepada produsen. Pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen mulai dari tahun 2009 sampai tahun 2012, kemudian pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakannya cenderung berbeda (Gambar 3). Kondisi ini mengindikasikan terdapat kemungkinan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen berjalan secara asimetri. Akan tetapi untuk memastikan bagaimana transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen perlu dilakukan pengujian secara statistik. Penelitian mengenai integrasi pasar jagung telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Sari et al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung antara petani, tengkulak, makelar, dan pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung di tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar. Mandiri et al. (2015) juga menganalisis integrasi pasar jagung antara produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat produsen. Penelitian mengenai integrasi pasar jagung di Provinsi Lampung pernah dilakukan oleh Asmarantaka (1985) yaitu integrasi antara pasar jagung tingkat petani di Kecamatan Katibung Lampung Selatan dan pasar jagung tingkat konsumen di Bandar Lampung serta antara pasar jagung tingkat petani di Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah dan pasar jagung tingkat konsumen di Bandar Lampung yang memberikan kesimpulan bahwa pemasaran jagung di Kecamatan Bangun Rejo lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran jagung di Kecamatan Katibung. Pada komoditas pangan, harga di tingkat konsumen mempengaruhi harga di tingkat produsen (Reziti and Panagopoulos 2008). Jumlah produksi yang dihasilkan oleh tanaman berperan penting dalam mempengaruhi harga produk pertanian (Piot-Lepetit and M’Barek 2011). Produk pertanian juga membutuhkan waktu mulai dari proses produksi sampai menghasilkan output, oleh sebab itu harga juga ditentukan oleh penyesuaian pasar seperti harga pada periode sebelumnya (Norwood and Lusk 2008).
6 Berdasarkan latar belakang penelitian maka permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung ? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian maka tujuan penelitian ini yaitu: 1. Menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini yaitu: 1. Jagung dalam penelitian ini difokuskan pada jagung pipilan. 2. Data yang digunakan dalam analisis transmisi harga yaitu harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung. 3. Harga jagung di tingkat produsen yaitu harga transaksi yang terjadi antara petani jagung dan pedagang pengumpul (tengkulak). 4. Harga jagung di tingkat konsumen yaitu harga jagung eceran yang merupakan harga transaksi yang terjadi antara pedagang dengan pembeli atau konsumen. 5. Data harga jagung tingkat produsen dan konsumen merupakan data harga bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014. 6. Transmisi harga yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu transmisi harga secara vertikal antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung. 7. Transmisi harga asimetri difokuskan pada transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan penyesuaian terhadap perubahan harga. 8. Data penelitian yang diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul hanya digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung. 9. Perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan menjelaskan faktor pembentukan harga jagung. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu: 1. Transmisi harga dianalisis melalui hubungan harga yaitu antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen dan biaya transaksi dalam pemasaran dianggap konstan. 2. Harga jagung impor merupakan harga rata-rata impor yang diperoleh dari nilai impor dibagi volume impor.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Konsep Efisiensi Pemasaran, Integrasi Pasar, dan Transmisi Harga Efisiensi pemasaran produk pangan sering digunakan untuk mengukur kinerja suatu pasar (market performance). Efisiensi pemasaran dibedakan menjadi 2 jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional menunjukkan situasi yaitu biaya pemasaran dikurangi tanpa harus mempengaruhi output dari sisi rasio efisiensi (Kohls and Uhl 2002). Indikator yang sering digunakan untuk menganalisis efisiensi operasional yaitu marjin pemasaran dan fharmer’s share Asmarantaka (2012). Efisiensi harga menunjukkan kemampuan sistem pasar dalam mengalokasikan sumber daya dengan efisien dan mengkoordinasikan kegiatan mulai dari proses produksi sampai pemasaran ouput sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga tercapai jika: (1) harga sepenuhnya mewakili preferensi konsumen, sumber daya mengalir langsung dari yang bernilai guna rendah ke yang bernilai guna tinggi, (3) mengkoordinasikan kegiatan pembelian dan penjualan dari petani (produsen), lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran, sampai ke konsumen (Kohls and Uhl 2002). Sistem pemasaran dikatakan efisien jika suatu pasar terintegrasi dengan pasar yang lain (Heytens 1986). Hall et al. (1981) menambahkan bahwa pemasaran dikatakan efisien jika perubahan harga dari lembaga pemasaran yang satu segera (langsung) ditransmisikan ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran. Sebaliknya, Kohls and Uhl (2002) menjelaskan bahwa jika perubahan harga di suatu pasar misalnya penurunan harga di tingkat petani ditransmisikan secara lambat dan tidak sepenuhnya ke konsumen maka kondisi ini mengindikasikan kurang efisien dari segi efisiensi harga. Integrasi pasar menunjukkan hubungan antara suatu pasar dengan pasar yang lain dalam perdagangan yang dilihat melalui hubungan harga. Hubungan harga pada suatu pasar yang terintegrasi dengan pasar yang lain akan berkorelasi positif dari waktu ke waktu. Integrasi pasar digunakan untuk menggambarkan seberapa dekat harga suatu komoditas di suatu pasar dengan pasar yang lain akan bergerak bersama-sama (Heytens 1986). Integrasi pasar terjadi jika pergerakan harga di suatu pasar dengan pergerakan harga di pasar yang lain saling berkorelasi. Antara suatu pasar dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi jika harga komoditas yang homogen di kedua pasar bergerak secara bersama-sama sehingga mengindikasikan penyebaran informasi harga dan sistem pemasaran efisien (Omar et al. 2014). Integrasi pasar dikelompokkan menjadi 2 yaitu integrasi pasar horizontal dan integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar horizontal (spasial) terjadi jika harga di suatu pasar dengan harga di pasar yang lain pada lokasi yang berbeda memiliki korelasi positif dari waktu ke waktu (Heytens 1986). Suatu pasar yang terpisah secara geografis dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi secara spasial jika produk dan informasi mengalir bebas di antara kedua pasar tersebut sehingga perubahan harga produk di suatu pasar akan ditransfer ke pasar yang lain (Fossati et al. 2007). Jika 2 negara melakukan perdagangan maka harga produk di negara pengimpor akan sama dengan harga produk di negara pengekspor ditambah biaya
8 transportasi yang dikeluarkan dan harga produk di kedua negara tersebut akan bergerak bersama-sama sehingga dapat dikatakan kedua pasar terintegrasi secara spasial (Ravallion 1986). Perubahan harga produk di negara pengekspor akan menyebabkan perubahan harga produk di negara pengimpor dengan arah yang sama dan dari tingkat yang sama (Fossati et al. 2007). Integrasi pasar vertikal digunakan untuk melihat keterkaitan antara lembaga pemasaran yang satu dengan lembaga pemasaran lainnya yang terlibat dalam satu saluran pemasaran, misalnya antara tingkat produsen (petani) dan tingkat konsumen (Asmarantaka 2012). Integrasi vertikal pada produk pertanian yang kompleks merupakan salah satu faktor yang menentukan struktur pasar dan daya saing produk pertanian (Grega 2003). Seperti halnya integrasi pasar, transmisi harga juga dibedakan menjadi transmisi harga spasial dan transmisi harga vertikal. Meyer and von CramonTaubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga spasial terjadi jika perubahan harga produk yang sama pada suatu level ditransmisikan ke level yang sama dalam rantai pemasaran tetapi di lokasi yang berbeda. Selanjutnya, von Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa transmisi harga vertikal yaitu respon harga pada suatu level terhadap perubahan harga di level yang lain (level yang berbeda) dalam satu rantai pemasaran, baik perubahan berupa kenaikan atau penurunan harga. Vavra and Goodwin (2005) menambahkan bahwa transmisi harga vertikal yaitu respon atau penyesuaian harga di tingkat produsen terhadap perubahan harga di tingkat pedagang besar dan konsumen atau sebaliknya. Penyesuaian terhadap perubahan harga di sepanjang rantai pemasaran dari tingkat produsen ke konsumen atau sebaliknya merupakan karakteristik yang penting dari fungsi pasar. Transmisi harga vertikal ditandai dengan besaran, kecepatan dan sifat penyesuaian melalui rantai pasokan terhadap guncangan pasar yang dihasilkan pada tingkat yang berbeda dalam proses pemasaran. Kecepatan pasar menyesuaikan diri terhadap guncangan ditentukan oleh tindakan pelaku pasar yang terlibat dalam transaksi yang terhubung dalam jaringan pemasaran yaitu pedagang grosir, distributor, dan pedagang pengecer. Kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (bergantung arah transmisi harga) dan tingkat penyesuaian terhadap perubahan harga tersebut merupakan faktor yang penting dalam menggambarkan tindakan pelaku pasar di tingkat pasar yang berbeda. Selain itu, kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya bergantung pada jenis produk. Produk yang mudah rusak dan mengalami pengolahan yang minimal misalnya sayuran dan buah-buahan diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang relatif lebih cepat. Sebaliknya produk yang mengalami pengolahan tertentu dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih lambat (Reziti and Panagopoulos 2008). Konsep Transmisi Harga Asimetri Transmisi harga asimetri yaitu suatu kondisi yang menunjukkan suatu pasar merespon secara berbeda antara kenaikan harga dan penurunan harga yang terjadi di pasar lain (Bailey and Brorsen 1989). Transmisi harga asimetri dikelompokkan menjadi 3 yaitu (Meyer and von Cramon-Taubadel (2004):
9 1. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran Jika perubahan harga di suatu pasar tidak segera ditransmisikan ke pasar yang lain maka kondisi ini menunjukkan terjadi transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) penyesuaian. Sebaliknya jika perubahan harga di suatu pasar tidak ditransmisikan secara penuh ke pasar yang lain maka kondisi ini menunjukkan bahwa transmisi harga berjalan asimetri dari sisi besaran. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Gambar 4(a) menunjukkan bahwa jika dilihat dari sisi besaran penyesuaian, terdapat perbedaan respon oleh pout terhadap perubahan harga di Pin baik perubahan berupa kenaikan dan penurunan harga. Saat terjadi kenaikan harga di Pin, maka pout akan merespon kenaikan tersebut secara penuh. Artinya kenaikan harga di pout sama dengan kenaikan harga yang terjadi di pin.. Sebaliknya, saat terjadi penurunan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa besarnya respon terhadap perubahan harga di pin bergantung pada arah perubahan. Transmisi harga asimetri dari sisi besaran akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dan besarnya kesejahteraan yang hilang bergantung pada perubahan harga dan volume transaksi. Gambar 4(b) menunjukkan bahwa harga di pin mengalami kenaikan saat t1. Kemudian, pada saat yang sama pout akan segera merespon kenaikan harga tersebut. Sebaliknya saat terjadi penurunan harga di pin, penurunan harga tersebut tidak segera direspon oleh pout melainkan memerlukan waktu untuk melakukan
10 penyesuaian sehingga terdapat lag selama n. Oleh sebab itu, penurunan harga yang terjadi di pin baru akan direspon oleh pout pada saat t1+n. Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang bersifat sementara. Besarnya kesejahteraan yang hilang tersebut bergantung pada panjang interval waktu transmisi antara t1 dan t1+n, serta perubahan harga dan volume transaksi. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) dan besaran penyesuaian pada Gambar 4(c) menunjukkan bahwa kenaikan harga di pin membutuhkan waktu selama 2 periode untuk ditransmisikan secara penuh ke pout. Artinya pada waktu t1, kenaikan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout, setelah t2 kenaikan harga di pin ditransmisikan secara penuh ke pout. Sebaliknya penurunan harga di pin membutuhkan waktu selama 3 periode untuk ditransmisikan ke pout. Jika dilihat dari besarannya, penurunan harga yang terjadi di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dan permanen. Hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dalam jumlah besar akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dalam jumlah kecil pada saat ini (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). 2. Transmisi harga asimetri positif dan negatif Peltzman (2000) dalam Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) mengelompokkan transmisi harga asimetri menjadi dua yaitu transmisi harga asimetri positif dan negatif. Transmisi harga asimetri positif dan negatif dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)
Gambar 5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif
Transmisi haga asimetri positif ditunjukkan pada Gambar 5(a). Transmisi harga asimetri positif terjadi jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih sempurna terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga di pin. Sebaliknya jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih sempurna terhadap penurunan harga dibandingkan dengan kenaikan harga di pin berarti terjadi transmisi harga asimetri negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b).
11 3. Transmisi harga asimetri vertikal dan spasial Transmisi harga asimetri vertikal misalnya kenaikan harga di tingkat petani ditransmisikan lebih sempurna dan lebih cepat ke pedagang grosir dan pedagang pengecer dibandingkan dengan penurunan harga di tingkat petani. Transmisi harga asimetri spasial misalnya kenaikan harga di pasar internasional ditransmisikan sepenuhnya dan lebih cepat ke pasar domestik dibandingkan dengan penurunan harga di pasar internasional (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Konsep Penyebab Transmisi Harga Asimetri Transmisi harga dari suatu pasar ke pasar yang lain atau dari lembaga pemasaran yang satu ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran dapat berjalan asimetri karena beberapa faktor. Hall et al. (1981) menjelaskan bahwa respon harga suatu lembaga pemasaran terhadap perubahan harga di lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran tidak berlagsung seketika disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya penundaan yang disebabkan oleh pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Penyebab lainnya yaitu ketidaksempurnaan pasar seperti kurangnya informasi dan pasar non kompetitif. Misalnya pedagang pengecer menggunakan market power yang cukup sehingga kenaikan harga ditransmisikan secara lebih cepat ke konsumen dibandingkan dengan penurunan harga. Kemudian Bailey and Brorsen (1989) menyatakan bahwa terdapat 4 kemungkinan penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu adjustment cost yang asimetri, pasar yang terkonsentrasi, informasi yang asimetri, dan laporan harga yang asimetri. Penjelasan mengenai penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu: 1. Market power Transmisi harga asimetri sebagian besar terjadi pada struktur pasar non kompetitif. Transmisi harga asimetri positif atau negatif bergantung pada struktur dan perilaku pasar. Transmisi harga asimetri positif dapat terjadi karena adanya market power pada pasar monopoli murni (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Sebaliknya, Ward (1982) menyatakan bahwa transmisi harga asimetri negatif dapat disebabkan oleh adanya market power. Hal ini dapat terjadi apabila perusahaan pada pasar oligopoli tidak mau mengambil risiko kehilangan pangsa pasar dengan meningkatkan harga output (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Pada pasar oligopoli, pedagang akan bereaksi lebih cepat terhadap guncangan berupa kenaikan harga dibandingkan dengan guncangan berupa penurunan harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka pendek. Pedagang akan bereaksi tidak sepenuhnya terhadap guncangan berupa penurunan harga sehingga terjadi transmisi harga asimetri dalam jangka panjang (von Cramon-Taubadel 1998). Tidak terjadinya transmisi harga yang simetri disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan dan penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Pedagang lebih mungkin meneruskan penurunan harga di tingkat konsumen kepada petani dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat konsumen (Vavra and Goodwin 2005).
12 2. Adjustment cost Transmisi harga asimetri dapat terjadi akibat adanya adjustment cost yang sangat tinggi (Karantininis et al. 2011). Adjustment cost muncul saat perusahaan mengubah jumlah output dan/atau harga input dan/atau harga output. Jika biaya ini asimetri sehubungan dengan kenaikan atau penurunan jumlah output dan/atau harga dapat menyebabkan transmisi harga asimetri (Meyer and Cramon-Taubadel 2004). Sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang untuk menyesuaikan harga sehingga menyebabkan perubahan harga disebut dengan adjustment cost (Vavra and Goodwin 2005). Adjustment cost mencakup biaya transportasi (Meyer and Cramon-Taubadel 2004). Selain itu, misalnya biaya iklan dan pelabelan (Vavra and Goodwin 2005). 3. Intervensi pemerintah Intervensi pemerintah juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga asimetri. Misalnya pedagang mungkin melihat kenaikan harga produk pertanian bersifat permanen yang mungkin telah diantisipasi sebelumnya. Artinya kenaikan harga tersebut ditransmisikan oleh pedagang dengan lebih cepat dan sempurna (sepenuhnya) ke konsumen. Sebaliknya pedagang melihat penurunan harga hanya bersifat sementara sehingga mengakibatkan penurunan harga tersebut ditransmiskan lebih lambat dan tidak sempurna ke konsumen (Kinnucan and Forker 1987). Transmisi harga asimetri yang disebabkan oleh adjusment cost dan market power memiliki perbedaan yang mendasar yaitu keduanya sama-sama dapat menyebabkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi harga asimetri yang disebabkan oleh market power mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini karena market power tidak hanya berpengaruh dari sisi kecepatan tetapi juga dari sisi besaran (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Sebaliknya adjustment cost yang sangat tinggi terjadi dalam jangka pendek dan sifatnya hanya menunda penyesuaian harga (Karantininis et al. 2011). Konsep Metode Analisis Transmisi Harga Asimetri Menurut Meyer and von Cramon-Taubadel (2004), pengujian transmisi harga asimetri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan pre kointegrasi (berdasarkan first differences), analisis kointegrasi (Error Correction Model dan metode threshold), dan metode miscellaneous. Pengujian transmisi harga asimetri telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli. Orang yang pertama kali memperkenalkan pengujian transmisi harga asimetri yaitu Farrell (1952) yang mengestimasi fungsi permintaan irreversible (irreversible demand functions). Kemudian Tweeten and Quance (1969) mengestimasi fungsi penawaran irrreversible (irreversible supply functions) dengan menggunakan teknik pemisahan variabel dummy. Kemudian model Tweeten and Quance dikembangkan oleh Wolffram (1971) dengan melakukan teknik pemisahan variabel pada perbedaan pertama (first difference). Model yang dikembangkan oleh Wolffram (1971) kemudian dimodifikasi lagi oleh Houck (1977) yang mirip dengan model Wolffram dan juga melakukan pemisahan variabel pada perbedaan pertama dari kenaikan dan penurunan harga. Kemudian Ward (1982) melakukan pengembangan lagi terhadap model Houck dengan menambahkan lag variabel eksogen. Model yang dikembangkan oleh beberapa
13 ahli tersebut kemudian dikelompokkan menjadi teknik pengujian transmisi harga asimetri yang disebut dengan pendekatan pre kointegrasi. Von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1996) dalam von Cramon-Taubadel and Loy (1996) menjelaskan bahwa pengujian transmisi harga asimetri dengan pendekatan Houck tidak cocok untuk data yang memiliki hubungan jangka panjang (terkointegrasi). Akan tetapi bukan berarti pengujian transmisi harga asimetri tidak bisa dilakukan untuk data harga yang terkointegrasi. Oleh sebab itu ada pendekatan lain yang menggabungkan kointegrasi dengan asimetri yang didasarkan pada asumsi yaitu antara variabel Pi dan Pj memiliki hubungan jangka panjang (terkointegrasi) yaitu dengan menggunakan konsep Error Correction Model. Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa ahli ekonometrika telah mengembangkan uji untuk data yang tidak stationer dan metode yang digunakan untuk menghindari masalah spurious regression yang umumnya dikenal dengan kointegrasi. Metode ini sangat erat kaitannya dengan studi transmisi harga asimetri karena banyak data series harga yang tidak stationer dan rentan terhadap masalah spurious regression. Thomas (1997) menjelaskan bahwa spurious regression menunjukkan kondisi saat hasil regresi menghasilkan koefisien regresi yang sangat signifikan dan nilai koefisien determinasinya (R2) sangat tinggi padahal kedua variabel sama sekali tidak memiliki hubungan. Spurious yang sempurna akan memberikan hasil yang tidak autentik dan hubungan kedua variabel tidak memiliki makna atau tidak berarti. Pengujian transmisi harga asimetri dengan teknik kointegrasi juga telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1994) pertama kali melakukan pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan pendekatan kointegrasi. Kemudian dikembangkan lagi oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) dan von Cramon-Taubadel (1998). Pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan teknik kointegrasi ini dikenal dengan Asymmetric Error Correction Model (AECM). Pada model ini terdapat error correction term (ECT) yang merupakan lag residual dari persamaan untuk mengukur penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Kemudian ECT dipisahkan menjadi ECT positif dan ECT negatif. Pendekatan Error Correction Model (ECM) mungkin hanya dapat menggambarkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi harga asimetri dari sisi besaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon secara permanen antara kenaikan dan penurunan harga (terjadi dalam jangka panjang) dan ini hanya terjadi jika data tidak terkointegrasi, sedangkan Error Correction Model merupakan bentuk keseimbangan jangka panjang. Von Cramon-Taubadel and Loy (1996) serta von Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa jika hubungan antara dua harga misalnya Pi dan Pj terkointegrasi, berdasarkan teorema Granger (Engle and Granger 1987) maka bentuk Error Correction Model yaitu: ΔPi,t β0 β1 ΔPj,t β2 ECTt 1 B3 LΔPi,t 1 B4 LΔPj,t 1 εt 1.1 ECTt 1 Pi,t 1 α 0 α 1 Pj,t 1 1.2
14 Keterangan: Pi = Harga di pasar i Pj = Harga di pasar j ECT = Error Correction Term (L) = Polynomial lags Kemudian von Cramon-Taubadel and Loy (1996) mengembangkan Error Correction Model pada persamaan (1.1) dengan memisahkan variabel bebas menjadi perubahan yang positif dan negatif serta ECT positif dan negatif sehingga bentuk persamaan error correction untuk pengujian transmisi harga asimetri yaitu: ΔPi,t β0 β1 ΔPj,t β1 Pj,t β2 ECTt1 β2 ECTt1 B3 (L)ΔLi,t 1 B4 (L)ΔLj,t 1 t (2) Keterangan: Pi = Harga di pasar i Pj = Harga di pasar j ECT = Error Correction Term (L) = Polynomial lags + = Kenaikan harga = Penurunan harga ɛ = Error Setelah dilakukan estimasi Asymmetric Error Correction Model, maka langkah selanjutnya yaitu melakukan pengujian secara statistik dengan uji Wald. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan apakah transmisi harga berjalan secara simetri atau asimetri (Reziti and Panagopoulos 2008). Uji hipotesis dalam uji Wald yaitu: 1. Jangka Pendek H 0 : β 1 β 1
H 1 : β1 β1 Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0 berarti dalam jangka pendek transmisi harga berjalan secara simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka pendek transmisi harga berjalan secara asimetri. 2. Jangka Panjang H 0 : β 2 β 2
H1 : β2 β2 Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0 berarti dalam jangka panjang transmisi harga berjalan secara simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka panjang transmisi harga berjalan secara asimetri. Dengan demikian, model yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu Asymmetric Error Correction Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996).
15 Konsep Faktor Pembentukan Harga Harga merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi keputusan pelaku ekonomi dalam kegiatan pertanian dan pemasaran produk misalnya pangan. Dalam jangka panjang, harga mendorong alokasi sumber daya pertanian dan pemasaran secara efisien. Dalam jangka pendek, harga merupakan sinyal ekonomi dan menjadi insentif bagi produsen dan perusahaan pemasaran untuk mengubah sumber daya dari penggunaan yang bernilai guna rendah ke penggunaan yang bernilai guna tinggi (Khols and Uhl 2002). Harga berperan penting karena mendorong keputusan pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya dan output serta mendorong transmisi harga dan integrasi pasar baik secara vertikal maupun horizontal (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Pembentukan harga terjadi melalui 2 cara yaitu secara teori ekonomi (price determination) dan secara operasional (price discovery). Secara teori ekonomi, harga suatu komoditas dalam pasar bersaing terbentuk melalui interaksi antara penawaran dan permintaan. Sistem penentuan harga secara operasional (price discovery) dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu (Khols and Uhl 2002): 1. Negosiasi individu (individual, decentralized negotiations). Pada sistem ini, harga terbentuk melalui proses tawar menawar atas suatu produk pertanian antara penjual (petani) dan pembeli. Terbentuknya harga yang adil bergantung pada informasi, keterampilan dalam berdagang, daya tawar relatif pembeli dan penjual. Melalui cara ini, harga yang terbentuk cenderung bervariasi untuk setiap transaksi yang berbeda. Akan tetapi, penentuan harga melalui negosiasi individu ini membutuhkan waktu dan biaya yang relatif tinggi dibandingkan dengan sistem penentuan harga secara operasional lainnya. 2. Pasar yang terorganisir (organized, central markets), misalnya pasar sentral yang mewakili seluruh pembeli dan penjual serta permintaan dan penawaran. Contoh lainnya yaitu bursa komoditi dan pasar lelang. Harga transaksi yang diterima setiap individu cenderung lebih seragam. Sistem penentuan harga pada pasar ini lebih transparan dibandingkan dengan sistem penentuan harga secara operasional lainnya karena bersifat publik dan terbuka. 3. Penentuan harga secara formula (formula pricing system). Penentuan harga secara formula disesuaikan dengan biaya transportasi dan kualitas produk yang berbeda-beda. 4. Penentuan harga secara kolektif (bargained prices). Pada sistem ini, petani membentuk kelompok untuk meningkatkan bargaining power. 5. Harga terkelola (administered pricing system). Pada sistem ini, penentuan harga dilakukan oleh pihak ke 3 seperti pemerintah. Misalnya melalui price supports, price ceilings, dan supply control programs. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga produk pertanian antara lain perubahan permintaan dan penawaran dalam jangka panjang, musim, dan penyesuaian pasar (Norwood and Lusk 2008). Tidak stabilnya jumlah permintaan dan penawaran akan menyebabkan harga produk berfluktuasi (Piot-Lepetit and M’Barek 2011). Produk pertanian membutuhkan waktu mulai dari proses produksi sampai menghasilkan output. Oleh sebab itu harga juga ditentukan oleh penyesuaian pasar seperti produksi pada periode sebelumnya atau harga pada periode sebelumnya. Selain itu, harga juga dapat ditentukan oleh negosiasi antara pembeli dan penjual (Norwood and Lusk 2008). Jumlah produksi yang dihasilkan
16 oleh suatu tanaman berperan penting dalam mempengaruhi harga produk pertanian (Piot-Lepetit and M’Barek 2011). Konsep Struktur dan Perilaku Pasar Struktur pasar atau industri dapat digambarkan oleh karakteristik seperti ukuran perusahaan, produk homogen atau diferensiasi, dan kemudahan perusahaan baru untuk masuk atau keluar industri (Kohls and Uhl 2002). Struktur pasar jagung di Indonesia cenderung bersifat oligopsonistik baik pada saat pedagang besar atau importir melakukan pembelian maupun penjualan jagung (Direktorat Pangan dan Pertanian 2014). Jumlah pedagang yang merupakan pembeli jagung petani sangat terbatas sehingga dapat dikatakan struktur pasar jagung di tingkat petani cenderung lebih mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar oligopsoni ini menyebabkan lemahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga jagung (Winarso 2013). Market conduct atau perilaku pasar dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya hubungan eksploitasi antara produsen dan pembeli dalam suatu pasar. Perilaku pasar mencakup perilaku penetapan harga, praktik penjualan dan pembelian atas suatu produk, sumber produk, ada tidaknya pembentukan kelompok di antara pelaku pemasaran baik formal maupun informal yang dapat mempengaruhi bargaining power (daya tawar), sifat jual beli, dan saluran pemasaran yang digunakan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis perilaku harga yaitu penentu utama harga (misalnya 1 pembeli atau banyak pembeli), mekanisme penetapan harga (apakah melalui negosiasi individu antara pelaku pemasaran), faktor-faktor yang mempengaruhi harga (permintaan dan penawaran), dasar melakukan diferensiasi harga, dampak lokasi pasar terhadap harga yang berlaku, dan pengaturan pemasaran (Bosena et al. 2011). Market conduct mengacu pada perilaku pasar dalam menyesuaikan diri di pasar dan mereka melakukan penjualan atau pembelian. Indikator utama market conduct yaitu penetapan harga dan strategi pedagang dalam kegiatan pembelian dan penjualan (Gachena and Kebebew 2014). Kemudian struktur dan perilaku pasar mempengaruhi kinerja suatu pasar (market performance) (Kohls and Uhl 2002). Penelitian Terdahulu Transmisi Harga Kariyasa dan Sinaga (2004) menganalisis perilaku pasar jagung di Indonesia berdasarkan perilaku harga. Data yang digunakan yaitu data time series dari tahun 1980 sampai 2001. Model yang digunakan yaitu model sistem persamaan simultan dengan metode pendugaan 2 SLS. Hasilnya menunjukkan bahwa pasar jagung domestik terintegrasi dengan pasar jagung dunia melalui harga jagung impor yaitu pasar jagung domestik dalam jangka panjang dipengaruhi secara kuat oleh pasar jagung dunia, tetapi tidak sebaliknya. Selain itu, pasar jagung lokal (provinsi) terintegrasi secara kuat dengan pasar jagung domestik sehingga perubahan harga jagung di pasar domestik mampu ditransmisikan dengan baik ke pasar lokal. Perubahan harga jagung di pasar internasional dan pasar konsumen di Provinsi Jawa Timur tidak ditransmisikan dengan baik ke pasar produsen di Provinsi Jawa Timur. Hal ini dapat terjadi karena aksesibilitas petani jagung tidak
17 sebaik aksesibilitas pedagang terhadap informasi pasar sehingga terdapat kesenjangan informasi pasar di antara keduanya. Sebaliknya perubahan harga jagung di pasar internasional ditransmisikan dengan baik ke pasar jagung tingkat konsumen di Provinsi Jawa Timur (Saleh et al. 2005). Salah satu tujuan dari penelitian Supriyatna (2007) yaitu menganalisis integrasi pasar jagung dunia dengan pasar jagung domestik dari Januari 2000 sampai Desember 2005. Metode yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar jagung dunia dengan pasar jagung domestik tersebut yaitu Vector Autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan harga jagung di pasar dunia ditransmisikan ke pasar jagung domestik, akan tetapi harga jagung domestik tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga jagung di pasar dunia. Pasar jagung dunia diwakili oleh pasar jagung di Amerika Serikat. Sari et al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Hasilnya menunjukkan dalam jangka pendek antara pasar jagung di tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara pasar jagung tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar. Ekaputri (2013) menganalisis kointegrasi antara harga jagung pipil impor dengan harga jagung pipil domestik dengan menggunakan Error Correction Model. Pasar jagung pipil domestik diwakili oleh Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Karo. Data yang digunakan yaitu data harga bulanan dari tahun 2009 sampai 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi integrasi dalam jangka pendek antara pasar jagung internasional dengan pasar jagung domestik artinya dalam jangka pendek perubahan harga jagung di pasar internasional tidak ditransmisikan secara cepat ke pasar jagung di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Karo. Sebaliknya dalam jangka panjang pasar jagung di Provinsi Sumatera Utara dan pasar jagung di Kabupaten Karo terintegrasi dengan pasar jagung internasional. Berbeda halnya dengan Aprilia et al. (2014) yang melakukan penelitian berjudul “Threshold Cointegration pada Pasar Jagung di Indonesia”. Data yang digunakan yaitu data harga bulanan di tingkat petani dan retail pada pasar jagung di Indonesia dari tahun 1983 sampai 2011. Hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga di tingkat petani dan pedagang pengecer pada pasar jagung di Indonesia dianalisis dengan uji kointegrasi. Penyesuaian jangka pendek menuju ke hubungan jangka panjang antara harga jagung tingkat petani dan retail di Indonesia dianalisis dengan menggunakan Error Correction Model. Threshold Vector Errror Correction Model digunakan untuk menjelaskan efek biaya transaksi dalam transmisi harga dari petani ke tingkat retail. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh retail sehingga harga jagung di tingkat petani lebih efisien dibandingkan dengan harga jagung di tingkat retail. Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga jagung di tingkat petani (produsen) dengan harga jagung di tingkat retail. Peningkatan harga jagung di tingkat retail lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan harga jagung di tingkat petani.
18 Data yang digunakan dalam penelitian Mandiri et al. (2015) yaitu data time series bulanan mulai dari tahun 2010 sampai 2012 dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) untuk menganalisis integrasi pasar jagung antara tingkat produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan dan derajat integrasi diukur berdasarkan Timmer’s Index of Market Connection (IMC). Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Hal ini terjadi karena sebagian petani sudah dapat menggunakan teknologi sehingga tercipta arus komunikasi yang lancar antara produsen dan konsumen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat produsen. Kinnucan and Forker (1987) menggunakan pendekatan Houck untuk menguji transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen pada produk susu. Hasilnya menunjukkan bahwa respon harga di tingkat konsumen terhadap kenaikan harga di tingkat produsen lebih besar dibandingkan dengan respon harga di tingkat konsumen terhadap penurunan harga di tingkat produsen sehingga disimpulkan terjadi transmisi harga asimetri. Capps and Sherwell (2005) serta Acquah and Onumah (2010) menguji transmisi harga asimetri dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan pre kointegrasi dengan menggunakan model Houck dan pendekatan kointegrasi dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996). Hasil penelitian Acquah and Onumah (2010) menunjukkan terdapat perbedaan yaitu pengujian transmisi harga menggunakan model Houck menunjukkan bahwa respon pedagang pengecer terhadap kenaikan dan penurunan harga di tingkat pedagang grosir terjadi secara simetri. Sebaliknya hasil estimasi dengan menggunakan ECM menunjukkan bahwa transmisi harga dari pedagang grosir ke pedagang pengecer terjadi secara asimetri artinya pedagang pengecer lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga jagung di tingkat pedagang grosir. Sahara dan Wicaksena (2013) menguji transmisi harga asimetri antara petani dan pedagang pengecer pada komoditas cabe di Indonesia. Hasil uji kausalitasnya menunjukkan hubungan dua arah antara harga cabe tingkat produsen dan tingkat konsumen di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Meskipun hasil uji kausalitasnya menunjukkan hubungan dua arah, pada analisis transmisi harga cabe ini menggunakan pendekatan Houck dan Error Correction Model Engle-Granger (ECM-EG.) Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi transmisi harga asimetri antara tingkat produsen dan konsumen di tiga provinsi sepert Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur baik menggunakan pendekatan Houck maupun ECM-EG. Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah banyak peneliti yang melakukan analisis integrasi pasar jagung di Indonesia baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh sebab itu, tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dengan menggunakan Asymmetric Error Correction Model yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996).
19 Faktor Pembentukan Harga Pembentukan harga komoditas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Purba (1999) menggunakan sistem persamaan simultan untuk menganalisis keterkaitan pasar jagung dan pakan ternak ayam ras di Indonesia. Analisis yang dilakukan di antaranya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung di pasar domestik. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung di pasar domestik dipengaruhi secara positif oleh penyesuaian pasar atau harga jagung di pasar domestik pada periode sebelumnya, harga jagung impor, dan harga pakan ternak, sedangkan penawaran berpengaruh nyata negatif terhadap harga jagung di pasar domestik. Kariaya dan Sinaga (2004) menganalisis perilaku pasar jagung di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung lokal seperti di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara dipengaruhi oleh harga jagung domestik. Kemudian, harga jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah respon (elastis) terhadap perubahan jumlah produksi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan jumlah produksi memberikan dampak yang besar terhadap perubahan harga jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebaliknya harga jagung di Provinsi Sulawesi Selatan kurang respon terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek dan jangka panjang, sedangkan produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara tidak mempengaruhi harga jagung. Sayekti (2009) menganalisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa permintaan, penawaran, dan harga jagung di pasar dunia tidak mempengaruhi harga jagung di pasar domestik, sedangkan dummy krisis ekonomi dan harga jagung domestik pada periode sebelumnya mempengaruhi harga jagung domestik. Harga jagung di pasar dunia tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung di Indonesia mengindikasikan harga jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh pembentukan harga di dalam negeri sendiri karena jika dilihat dari persentase impor jagung Indonesia memang relatif kecil jika dibandingkan dengan produksi jagung nasional meskipun dari sisi kuantitas dan kenaikannya cukup besar. Pedagang dan importir memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga jagung sehingga transmisi harga jagung dari pasar dunia ke pasar jagung domestik menjadi lambat. Hanani et al. (2010) menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap harga di tingkat pedagang besar pada komoditas beras, jagung, dan kedelai dengan menggunakan model autoreggresif. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh terhadap harga perdagangan besar pada komoditas jagung di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penggunaan input produksi jagung seperti pupuk anorganik dan pestisida masih menggunakan bahan baku dari impor sehingga pengaruh harga jagung di Indonesia terkait dengan penggunaan input produksi. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi maka akan menyebabkan harga input produksi menjadi semakin mahal sehingga biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi semakin besar akibatnya petani terpaksa akan menaikkan harga jagung untuk menutupi pengeluaran yang meningkat tersebut. Putri (2013) menganalisis dampak tarif impor terhadap pasar jagung di Indonesia dalam skema liberalisasi perdagangan ASEAN Free Trade Area. Salah
20 satu analisis yang dilakukannya yaitu menganalisis perilaku harga. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung tingkat petani di Indonesia hanya dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat pedagang besar dan trend waktu, sedangkan perubahan produksi jagung periode sekarang dengan periode sebelumnya dan harga jagung di tingkat petani pada periode sebelumnya tidak mempengaruhi harga jagung di tingkat petani. Nugraheni (2014) menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan harga pangan utama Indonesia dengan menggunakan Vector Error Correction Model (VECM). Hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan harga jagung di Indonesia apabila dilihat dari sisi permintaan yaitu harga jagung di pasar dunia dan nilai tukar. Harga jagung di pasar dunia berpengaruh positif sedangkan nilai tukar berpengaruh negatif terhadap harga jagung di Indonesia. Perubahan harga jagung di Indonesia dari sisi penawaran dipengaruhi oleh iklim yaitu berpengaruh negatif. Rachman (2003) menambahkan bahwa antara harga jagung domestik dan nilai tukar memiliki korelasi negatif. Hal ini menunjukkan jika nilai tukar menguat maka akan menyebabkan harga jagung domestik turun. Surbakti et al. (2014) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung pipil di tingkat produsen Sumatera Utara dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi jagung, harga riil jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya di Sumatera Utara, harga riil jagung di Indonesia, dan harga riil jagung impor berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung tingkat produsen di Sumatera Utara. Sementara itu, stok jagung periode sebelumnya, volume impor sebelumnya, nilai tukar, dan harga pakan tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung tingkat produsen di Sumatera Utara. Merujuk pada penelitian sebelumnya maka tujuan ke 2 yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Tujuan ke 2 tersebut dianalisis dengan menggunakan model regresi linear berganda dan metode pendugaan yang digunakan untuk penaksiran parameter yaitu Ordinary Least Squares (OLS). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi harga jagung tingkat produsen yaitu harga jagung tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, produksi jagung, dan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya. Perilaku Pasar Proses transmisi harga tidak terlepas dari perilaku pedagang. Petani jagung di Indonesia pada umumnya memiliki posisi tawar yang sangat lemah dalam pemasaran terutama dalam penentuan harga jagung. Hal ini menyebabkan pedagang cenderung tidak mentransmisikan informasi harga yang diterimanya ke petani sehingga petani tidak mengetahui dengan pasti apakah harga yang diterimanya telah sesuai dengan posisi harga yang sebenarnya (Yusdja dan Agustian 2003). Penyebab rendahnya harga jual jagung di tingkat petani yaitu adanya perilaku pedagang jagung yang berusaha menekan harga jagung di tingkat petani sehingga menyebabkan harga yang diterima petani menjadi rendah (Direktorat Pangan dan Pertanian 2014). Saleh et al. (2005) menambahkan bahwa pembentukan harga jagung di tingkat petani sangat terkait dengan peranan pedagang. Pedagang lebih berperan dominan dalam proses pembentukan harga jagung di tingkat petani, sedangkan
21 petani pada umumnya hanya sebagai penerima harga terutama petani yang terikat dengan pedagang dalam peminjaman modal untuk membiayai usaha taninya. Salah satu analisis yang dilakukan oleh Sari et al. (2012) dalam penelitiannya yaitu menganalisis perilaku pasar jagung. Perilaku pasar jagung tersebut dianalisis secara kualitatif dengan melihat karakteristik pasar seperti sistem penentuan harga antar lembaga pemasaran, praktek pembelian dan penjualan, serta sistem jaringan kerja sama antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam pendistribusian jagung. Informasi harga yang terjadi di pasar domestik dan internasional dijadikan sebagai dasar dalam penentuan harga jagung. Pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara Barat menentukan harga jagung berdasarkan informasi harga jagung dari pedagang di luar provinsi tersebut yaitu Bali yang merupakan konsumen (industri pakan ternak). Pedagang besar memiliki market power dalam keputusan penentuan harga jagung kepada level (pelaku pasar) di bawahnya, sedangkan petani memiliki posisi yang paling lemah dalam keputusan penentuan harga jagung. Pihak yang paling dominan dalam penentuan harga jagung yaitu pedagang di luar provinsi yang bertindak sebagai konsumen jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut maka untuk mempelajari perilaku pasar dalam pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung dianalisis secara deskriptif yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung. Kemudian akan digunakan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi antara produsen dan konsumen serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen. Kerangka Pemikiran Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung. Adanya disparitas atau perbedaan harga jagung yang relatif besar antara harga yang diterima produsen (petani) dan harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d), rata-rata harga jagung di tingkat produsen (petani) yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per kilogram. Selain itu, fluktuasi harga jagung di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga jagung di tingkat produsen. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa proses transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung berjalan secara asimetri. Transmisi harga dapat berjalan asimetri karena adanya perilaku tidak kompetitif yang dilakukan oleh pelaku pasar atau penyalahgunaan market power. Transmisi harga asimetri terjadi jika perubahan harga jagung di tingkat konsumen direspon dengan arah yang berbeda oleh produsen baik saat kenaikan maupun penurunan harga jagung sehingga mengindikasikan sistem pemasaran jagung kurang efisien. Kinerja suatu pasar khususnya pasar jagung dapat diukur dari efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran terdiri atas efisiensi operasional dan efisiensi harga. Penelitian ini hanya menganalisis efisiensi pemasaran dari segi efisiensi harga. Salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis efisiensi harga dalam penelitian ini yaitu transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen.
22 Suatu sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi harga jika perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara asimetri ke tingkat produsen. Melalui analisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen akan dapat menggambarkan bagaimana perilaku partisipan pasar dalam merespon perubahan harga sehingga mempengaruhi pembentukan harga jagung. Penelitian ini menganalisis proses pembentukan harga secara teori ekonomi yaitu dengan menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung di tingkat produsen. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain atau proses transmisi harga berjalan simetri maka perubahan harga di suatu pasar misalnya pasar jagung di tingkat produsen akan dipengaruhi secara positif oleh perubahan harga di pasar acuannya misalnya pasar jagung di tingkat konsumen. Selain itu, faktor lain yang akan berpengaruh terhadap pembentukan harga jagung di tingkat produsen yaitu jumlah produksi (faktor selain harga), harga impor, nilai tukar, dan penyesuaian pasar. Penjelasan di atas dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 6.
Gambar 6 Kerangka pemikiran
23 Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, konsep teori, dan studi terdahulu maka hipotesis penelitian ini yaitu: 1. Diduga transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara asimetri. 2. Faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu: a. Diduga harga jagung tingkat konsumen berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika harga jagung tingkat konsumen meningkat maka akan mendorong peningkatan harga jagung tingkat produsen. b. Diduga harga jagung impor berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika harga jagung impor meningkat maka akan menyebabkan harga jagung tingkat produsen meningkat. c. Diduga nilai tukar berpengaruh nyata negatif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika nilai tukar terdepresiasi maka akan mendorong kenaikan harga jagung di tingkat produsen. d. Diduga jumlah produksi berpengaruh nyata negatif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya semakin besar jumlah produksi jagung maka akan menyebabkan harga jagung tingkat produsen turun. e. Diduga harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya harga jagung tingkat produsen pada perode sekarang akan mengikuti perubahan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya dengan arah yang sama.
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Provinsi Lampung karena provinsi ini memberikan kontribusi produksi terbesar ke 3 terhadap total produksi jagung di Indonesia. Peneliti memilih Provinsi Lampung sebagai lokasi penelitian karena selain sebagai salah satu sentra produksi jagung di Indonesia, juga terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen. Selain itu, pola pergerakan harga jagung tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan pola pergerakan harga jagung tingkat produsen. Lokasi penelitian khususnya dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan karena kabupaten ini merupakan penghasil jagung terbesar di Provinsi Lampung. Kemudian data yang diperoleh dari penelitian di Kabupaten Lampung Selatan digunakan sebagai pendukung untuk menggambarkan perilaku pasar dalam pembentukan harga jagung. Penentuan lokasi dilakukan secara bertahap yaitu dari tingkat provinsi diambil 1 kabupaten yang memberikan kontribusi produksi jagung terbesar. Kemudian dari tingkat kabupaten dipilih 1 kecamatan penghasil
24 jagung terbesar. Kecamatan yang dipilih yaitu Kecamatan Natar. Selanjutnya dari kecamatan tersebut dipilih 2 desa yang memberikan kontribusi produksi jagung terbesar. Desa yang dipilih yaitu Desa Purwosari dan Krawangsari. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Juni 2015. Jenis dan Sumber Data Data Sekunder Data sekunder digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yang merupakan data deret waktu (time series) bulanan mulai dari Januari 2009 sampai Desember 2014. Jumlah observasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 72 bulan. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian Jenis data Sekunder
Data Harga jagung tingkat produsen Harga jagung tingkat konsumen Produksi jagung Harga jagung impor Nilai tukar
Sumber data BPS RI BPS RI Kementerian Pertanian RI World Bank Bank Indonesia
Data Primer dan Teknik Penarikan Sampel Data primer digunakan untuk menganalisis perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung di Provinsi Lampung yang merupakan data pendukung untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan faktor pembentuk harga. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara berdasarkan daftar kuesioner terhadap sampel yang dianggap mewakili populasi penelitian. Sampel dalam penelitian ini yaitu petani dan pedagang pengumpul jagung. Jumlah petani yang menjadi sampel yaitu sebanyak 8 responden yang terdiri atas 4 orang dari Desa Purwosari dan 4 orang dari Desa Krawangsari dan pedagang pengumpul sebanyak 2 responden. Penarikan sampel petani dilakukan secara purposive. Penarikan sampel pedagang dilakukan dengan snowball sampling yaitu dengan mengikuti alur pemasaran jagung dari petani. Metode Analisis Data Analisis Transmisi Harga Jagung Tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung. Model yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen yaitu Asymmetric Error Correction Model (AECM). Analisis AECM terdiri atas beberapa tahapan yaitu:
25 a. Uji Stationeritas Data Tahap pertama dalam mengestimasi model yang menggunakan data time series yaitu melakukan pengujian stationeritas data. Pengujian stationeritas data digunakan untuk menghindari masalah spurious regression (Firdaus 2011). Hal ini karena masalah yang berhubungan dengan variabel yang tidak stationer sering ditemui oleh ahli ekonometrika saat menggunakan data time series yaitu spurious regression (Thomas 1997). Uji stationeritas data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu augmented Dickey-Fuller test yang dapat dilakukan pada level maupun first difference. Artinya jika data time series tidak stationer atau mengandung akar unit pada level, maka perlu dilakukan pengujian selanjutnya pada first difference (Firdaus 2011). Persamaan augmented Dickey-Fuller test (Enders1995) yaitu: Δyt y t 1
p
Δy i
t i 1
t (3.1)
i 2
Δyt a0 yt 1
p
Δy i
t i 1
t (3.2)
i 2
Δyt a0 yt 1 a2 t
p
Δy i
t i 1
t 3.3
i 2
Keterangan : Δyt = First difference variabel yang diuji (yt –yt-1) y = Variabel yang diuji stationeritasnya (harga jagung tingkat produsen dan harga jagung tingkat konsumen) t = Trend waktu p = Panjang lag dalam model ɛt = Error Persamaan (3.1) digunakan untuk data yang diasumsikan tidak memiliki intersep dan trend. Persamaan (3.2) digunakan untuk data yang diasumsikan hanya memiliki intersep dan tidak memiliki trend. Persamaan (3.3) digunakan untuk data yang diasumsikan memiliki intersep dan trend. Uji hipotesis dalam augmented Dickey-Fuller test yaitu: H0 : γ = 0 H1 : γ < 0 Stationer atau tidaknya data yang digunakan dapat diketahui pada hasil dengan membandingkan nilai augmented Dickey-Fuller (ADF) test statistic terhadap MacKinnon test critical values. Pada unit root test pertama kali jika nilai ADF test statistic secara aktual kurang dari MacKinnon test critical values pada taraf nyata tertentu maka tolak H0 artinya data time series stationer. Sebaliknya, jika nilai ADF test statistic secara aktual lebih dari MacKinnon test critical values pada taraf nyata tertentu maka tidak tolak H0 artinya data time series tidak stationer. Jika data memiliki akar unit atau tidak stationer pada level maka dilakukan pengujian stationeritas data pada first difference (Firdaus 2011). b. Penentuan Lag Optimal Setelah melakukan pengujian stationeritas, tahap selanjutnya yaitu menentukan panjang lag optimal. Pentingnya penentuan lag dalam sistem VAR yaitu untuk menunjukkan lamanya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya.
26 Tidak hanya itu saja, penentuan lag optimal juga digunakan untuk menghilangkan adanya masalah autokorelasi. Pengujian panjang lag optimal dapat menggunakan informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ) (Firdaus 2011). Penentuan panjang lag optimal dalam penelitian ini dengan menggunakan informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC). Rumus AIC yaitu (Enders 1995): AIC = T ln (residual sum of squares) + 2n ……………...…………………..….(4) Keterangan: T = Jumlah observasi n = Jumlah parameter yang diestimasi dalam persamaan c. Uji Kointegrasi Jika data tidak stationer pada level akan tetapi pada first difference menunjukkan stationer maka perlu dilakukan pengujian kointegrasi (Firdaus 2011). Jika terdapat 2 atau lebih variabel tidak stationer tetapi terkointegrasi maka menunjukkan bahwa kombinasi linear di antara variabel tersebut yang mungkin memiliki trend dapat saling meniadakan sehingga variabel menjadi stationer (Intriligator et al. 1996). Jika variabel-variabel terintegrasi pada derajat yang sama berarti terjadi kointegrasi. Akan tetapi jika variabel-variabel tersebut terintegrasi pada derajat yang berbeda maka tidak bisa dikatakan terkointegrasi (Enders 1995). Jika dalam sebuah sistem persamaan terdapat kointegrasi maka mengindikasikan bahwa di dalam sistem persamaan tersebut Error Correction Model yang menunjukkan adanya dinamisasi jangka pendek yang konsisten dengan hubungan jangka panjangnya (Verbeek 2000 dalam Firdaus 2011). Terkointegrasi atau tidaknya variabel-variabel yang tidak stationer diuji dengan menggunakan uji kointegrasi. Pengujian kointegrasi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu uji kointegrasi Engle-Granger, uji cointegrating regression Durbin Watson (CRDW), dan Johansen cointegration test. Akan tetapi uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Johansen cointegration test. Setelah itu pada hasil Johansen cointegration test, nilai trace test dan max eigenvalue dibandingkan dengan critical value dengan rumus yaitu (Enders 1995): λtrace (r) T
n
ln 1 λ
i r 1
i
5.1
λmax (r, r 1) T ln 1 λr 1 5.2
Keterangan: = Nilai yang diestimasi dari karakteristik root (eigenvalues) yang dipilih i dari π matriks yang diestimasi T = Jumlah observasi r = Jumlah vektor kointegrasi Pada uji λtrace, hipotesis nol yaitu jumlah vektor kointegrasi kurang dari atau sama dengan r sebagai alternatif umum. Pada uji λmax, hipotesis nol yaitu jumlah vektor kointegrasi sama dengan r sebagai alternatif dari vektor kointegrasi r+1 (Enders 1995).
27 Uji hipotesis dalam uji kointegrasi yaitu : H0 = Non kointegrasi H1 = Kointegrasi Jika nilai trace statistic dan max eigenvalue statistic lebih dari critical value maka tolak H0 artinya di dalam sistem persamaan terdapat kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya jika nilai trace statistic dan max eigenvalue statistic kurang dari critical value maka tidak tolak H0 artinya tidak terdapat kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang di dalam sistem persamaan (Firdaus 2011). d. Uji Kausalitas Setelah dilakukan pengujian kointegrasi, dilakukan pengujian kausalitas dengan menggunakan uji kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger digunakan untuk mengetahui peran kepemimpinan harga di dalam suatu pasar (Reziti and Panagopoulos 2008). Kemudian Acquah and Onumah (2010) menambahkan bahwa uji kausalitas dilakukan dengan tujuan untuk menentukan arah hubungan antara 2 pasar. Dengan kata lain uji kausalitas ini dilakukan untuk menentukan arah transmisi harga. Untuk mengetahui pasar mana yang menjadi acuan (mempengaruhi) dan pasar mana yang menjadi pengikut (dipengaruhi), dibentuk persamaan unrestricted dan restricted dari masing-masing variabel. Bentuk persamaan yang digunakan untuk menguji apakah harga jagung tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung tingkat produsen yaitu (Juanda dan Junaidi 2012) : HJPt
n
α i HJPt i
i 1
HJPt
n
β HJK i
t i
e1t 6.1
i 1
n
λ HJP i
t 1
e1t 6.2
i 1
Bentuk persamaan yang digunakan untuk menguji apakah harga jagung tingkat produsen mempengaruhi harga jagung tingkat konsumen yaitu (Juanda dan Junaidi 2012): HJKt
m
m
γ HJK λ HJP t i
i
HJKt
m
γ HJK i
i 1
i
t i
e2t 6.3
i 1
i 1
t 1
e 2t 6.4
Pengujian kausalitas dapat dilakukan dengan cara mencari nilai F hitung dengan F tabel. Berdasarkan residual sum of squares (RSS) pada persamaan variabel yang unrestricted dan restricted maka rumus F hitung yaitu (Juanda dan Junaidi 2012): RSSR RSSUR F n k 6.5 mRSSUR
28 Keterangan: RSSR = Residual sum of squares dari persamaan restricted RSSUR = Residual sum of squares dari persamaan unrestricted n = Jumlah observasi m = Jumlah lag k = Jumlah parameter estimasi pada persamaan unrestricted Uji hipotesis dalam uji kausalitas yaitu: 1. H0 : HJK tidak mempengaruhi HJP H1 : HJK mempengaruhi HJP 2. H0 : HJP tidak mempengaruhi HJK H1 : HJP mempengaruhi HJK Jika hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa kedua persamaan memiliki nilai probabilitasnya kurang dari taraf nyata yang digunakan (α = 5%) maka tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung tingkat produsen dan harga jagung tingkat produsen mempengaruhi harga jagung tingkat konsumen. Sebaliknya jika kedua persamaan memiliki nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata yang digunakan (α = 5%) maka tidak tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung tingkat konsumen tidak mempengaruhi harga jagung tingkat produsen dan harga jagung tingkat produsen tidak mempengaruhi harga jagung tingkat konsumen. e. Estimasi Model Transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dianalisis dengan menggunakan Asymmetric Error Correction Model yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996). Berdasarkan persamaan (2) maka bentuk persamaan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung yaitu: ΔHJPt 0
n
β HJP ΔHJPt i
i 1
HJP HJPt i
β
HJK
ΔHJK t i π 1 ECTt 1
i 0
i 1
n
n
n
β
HJK ΔHJKt i
π 1 ECTt 1 ε t 7
i 0
Keterangan: HJPt = Harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung (Rp/kg) HJKt = Harga jagung tingkat konsumen di Provinsi Lampung (Rp/kg) ECTt-1 = Error correction term yang merupakan lag residual dari persamaan keseimbangan jangka panjang ɛ = Error term n = Panjang lag Tanda positif (+) menggambarkan kenaikan harga dan tanda negatif (-) menggambarkan penurunan harga. ECT+ merupakan penyesuaian harga jagung tingkat produsen terhadap perubahan harga jagung tingkat konsumen saat penyimpangan harga berada di atas keseimbangan. ECT- merupakan penyesuaian harga jagung tingkat produsen terhadap perubahan harga jagung tingkat konsumen saat penyimpangan harga berada di bawah keseimbangan.
29 f. Uji Wald Pengujian transmisi harga apakah berjalan secara simetri atau asimetri dibuktikan secara statistik dengan menggunakan uji Wald (Reziti and Panagopoulos 2008). Uji hipotesis dalam uji Wald yaitu: 1. Jangka pendek H0 :
n
HJK
i 0
H1 :
n
i 0
n
HJK
i 0
HJK
n
HJK
i 0
Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0 berarti dalam jangka pendek transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung berjalan simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka pendek transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung berjalan asimetri. 2. Jangka panjang H 0 : 1 1 H1 : 1 1 Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0 berarti dalam jangka panjang transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung berjalan simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka panjang transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung berjalan asimetri.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi Lampung a. Estimasi Model Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung dianalisis dengan menggunakan model regresi linear berganda. Metode pendugaan yang digunakan untuk menaksir parameter yaitu metode Ordinary Least Squares (OLS). Variabel tidak bebas (dependent variable) yaitu harga jagung di tingkat produsen, sedangkan variabel bebas (independent variable) yaitu harga jagung di tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, dan produksi. Bentuk persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu: HJPt α0 α1 HJKt α 2 HJIt α3 NTt α4 QJt α5 HJPt 1 εt 8 Keterangan: HJPt = Harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung (Rp/kg) HJKt = Harga jagung tingkat konsumen di Provinsi Lampung (Rp/kg) HJIt = Harga jagung impor (US$/kg) NTt = Nilai tukar (Rp/US$) QJt = Produksi jagung (000 ton) α0 = Intersep α1,...,α5 = Parameter dugaan ɛt = Error
30 Tanda parameter estimasi yang diharapkan yaitu: α1, α2 > 0; α3, α4 < 0; 0 < α5 < 1 b. Perhitungan Elastisitas Setelah dilakukan estimasi, maka langkah selanjutnya yaitu menghitung elastisitas. Elastisitas digunakan untuk mengukur respon harga jagung tingkat produsen terhadap perubahan variabel yang mempengaruhinya. Rumus elastisitas yaitu (Koutsoyiannis 1977): dY Y dY X . 9.1 E SR dX/X dX Y Berdasarkan persamaan (8) maka: dY i 9.2 dX Elastisitas terdiri atas elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Berdasarkan persamaan (9.1) dan (9.2), rumus elastisitas jangka pendek yaitu: X E SR α i . 9.3 Y Keterangan: ESR = Elastisitas jangka pendek αi = Nilai parameter dugaan Y = Dependent variable (harga jagung tingkat produsen) X = Independent variable (harga jagung tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, dan produksi jagung) Elastisitas jangka panjang dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus yaitu: E SR 9.4 E LR 1 - 5 Keterangan: ELR = Elastisitas jangka panjang α5 = Nilai parameter dugaan dari lag variabel dependen Kisaran nilai elastisitas dikelompokkan menjadi 5 yaitu (Tomek and Robinson 1990): 1. Jika nilai elastisitas (E = 0 ) maka bersifat inelastis sempurna 2. Jika nilai elastisitas (E < 1) maka bersifat inelastis 3. Jika nilai elastisitas (E = 1) maka bersifat unitary elasticity 4. Jika nilai elastisitas (E > 1) maka bersifat elastis 5. Jika nilai elastisitas (E = ) maka bersifat elastis sempurna
31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi sentra produksi jagung di Indonesia yaitu merupakan penghasil jagung terbesar ke 3 setelah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah (BPS RI 2015b). Rata-rata produksi jagung di Provinsi Lampung selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu sebesar 1 875 354 ton (BPS Provinsi Lampung 2015a, 2015b). Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampa 2014 dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: BPS Provinsi Lampung (2015a, 2015b), diolah
Gambar 7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 Gambar 7 menunjukkan bahwa penghasil jagung di Provinsi Lampung tersebar di seluruh kabupaten yang ada di provinsi tersebut. Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Lampung di antaranya Kabupaten Lampung Selatan, kemudian diikuti oleh Kabupaten Lampung Timur, dan Lampung Tengah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya kontribusi produksi jagung. Ketiga kabupaten tersebut memberikan kontribusi produksi jagung terhadap Provinsi Lampung yaitu sebesar 80.39 persen dari total produksi sebesar 1 875 354 ton. Dengan kata lain sebagian besar produksi jagung di Provinsi Lampung dihasilkan oleh tiga kabupaten tersebut. Kabupaten yang memberikan kontribusi produksi jagung terbesar di Provinsi Lampung selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Kabupaten Lampung Selatan dengan kontribusi sebesar 29.98 persen atau sebesar 562 313 ton. Hampir
32 sepertiga dari produksi jagung di Provinsi Lampung dihasilkan oleh Kabupaten Lampung Selatan. Sementara itu, kabupaten lainnya memberikan kontribusi produksi jagung sangat kecil terhadap total produksi jagung di Provinsi Lampung yaitu kurang dari 5 persen, kecuali Kabupaten Lampung Utara dengan kontribusi produksi jagung sebesar 7 persen. Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung Pergerakan harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung cenderung berfluktuasi dari periode ke periode. Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014 dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah
Gambar 8
Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014
Gambar 8 menunjukkan bahwa selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 pergerakan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan pergerakan harga jagung di tingkat produsen. Jika dilihat pola pergerakannya dari tahun ke tahun, pada tahun 2009 sampai 2012 pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen. Akan tetapi pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakan harga di antara keduanya cenderung tidak sama. Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d), selama tahun 2009 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 1.59 persen. Setelah itu selama tahun 2010 rata-rata laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami perlambatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 0.06 persen dan selama tahun 2011 kembali mengalami
33 peningkatan dari tahun sebelumnya dengan rata-rata sebesar 0.95 persen. Kemudian selama tahun 2012 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami penurunan dari tahun sebelumya yaitu menjadi -0.35 persen dan selama tahun 2013 kembali meningkat sebesar 0.19 persen dari tahun sebelumnya. Sebaliknya laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen selama tahun 2014 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi sebesar -0.60 persen. Selain itu, laju pertumbuhan harga jagung di tingkat konsumen juga mengalami peningkatan selama tahun 2009 dengan rata-rata sebesar 0.32 persen, akan tetapi selama tahun 2010 laju pertumbuhannya sedikit melambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan rata-rata sebesar 0.15 persen dan selama tahun 2011 laju pertumbuhannya kembali meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 0.90 persen. Kemudian selama tahun 2012 dan 2013 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan menjadi sebesar -0.26 persen dan -0.49 persen dan pada tahun 2014 laju pertumbuhannya kembali lagi meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 0.60 persen. Berdasarkan data harga jagung tingkat produsen dan konsumen tersebut diperoleh rata-rata marjin pemasaran yang terjadi antara produsen dan konsumen dari Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 385 per kilogram. Marjin pemasaran yang terjadi antara produsen dan konsumen dari periode ke periode cenderung berfluktuasi. Marjin pemasaran terendah terjadi selama tahun 2009 yaitu sebesar Rp 1 209 per kilogram, sebaliknya marjin pemasaran tertinggi terjadi selama tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1 569 per kilogram. Perkembangan Harga Jagung Impor Berdasarkan data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) bahwa rata-rata kebutuhan impor jagung Indonesia yaitu 9 persen atau 1,4 juta ton per tahun (Permentan 2015). Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan jagung di Indonesia tidak hanya berasal dari jagung lokal tetapi juga dari impor. Meskipun persentase impor jagung Indonesia relatif kecil tetapi harga jagung impor juga dapat mempengaruhi pembentukan harga jagung di dalam negeri. Gambar 9 menunjukkan bahwa selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014, pergerakan harga jagung impor berfluktuasi. Selama tahun 2009 laju pertumbuhan harga jagung impor mengalami peningkatan yaitu rata-rata sebesar 1.03 persen, kemudian pada tahun 2010 laju pertumbuhannya meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 1.66 persen. Laju pertumbuhan harga jagung impor pada tahun 2011 melambat menjadi 0.54 persen dan pada tahun 2012 laju pertumbuhannya meningkat lagi dari tahun sebelumnya menjadi 1.12 persen. Setelah itu, selama tahun 2013 sampai 2014 laju pertumbuhan harga jagung impor mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan harga jagung impor dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 9.
34
Sumber: World Bank (2015), diolah
Gambar 9
Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember 2014
Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen di Provinsi Lampung Analisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pengujian stationeritas data, penentuan panjang lag optimal, pengujian kointegrasi, pengujian kausalitas, estimasi Asymmetric Error Correction Model, dan uji Wald. Penjelasan masing-masing tahapan analisis yaitu: a. Uji Stationeritas Data Tahap pertama dalam menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan kosumen di Provinsi Lampung yaitu melakukan uji stationeritas data. Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Nilai ADF Variabel Level First difference Harga produsen -3.696* -6.937* Harga konsumen -2.197 -8.918* *stationer pada taraf 5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa uji stationeritas data dilakukan pada level dan first difference. Hal ini karena hasil uji stationeritas pada level menunjukkan data yang digunakan dalam penelitian yaitu harga jagung di tingkat konsumen tidak stationer, sedangkan harga jagung di tingkat produsen stationer. Hal ini dapat
35 dilihat dari nilai augmented Dickey-Fuller (ADF) statistik pada data harga jagung di tingkat konsumen secara aktual lebih dari MacKinnon critical values pada taraf nyata 5 persen sehingga dapat dikatakan data tersebut tidak stationer pada level (Lampiran 3). Oleh sebab itu, dilakukan uji stationeritas data lebih lanjut pada first difference yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai ADF statistik pada data harga jagung tingkat produsen dan konsumen secara aktual kurang dari MacKinnon critical values pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 2 dan 4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua data stationer pada first difference. Berdasarkan hasil uji stationeritas menunjukkan bahwa terdapat data yang tidak stationer pada level dan setelah dilakukan pengujian stationeritas pada tahap selanjutnya (first difference) menunjukkan data stationer sehingga metode analisis kointegrasi dapat dilanjutkan. Firdaus (2011) menjelaskan bahwa pengujian kointegrasi dilakukan jika data yang digunakan menunjukkan tidak stationer pada level. Langkah selanjutnya yaitu menentukan panjang lag optimal. b. Penentuan Panjang Lag Optimal Informasi yang bisa digunakan dalam penentuan panjang lag optimal antara lain Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Hasil uji lag optimal dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LogL 206.2069 270.4715 276.0599 276.6295 277.9006 279.6911 282.3893 285.3201 287.5935 288.8934 291.5284
LR FPE AIC NA 4.72e-06 -6.587318 122.3101 6.76e-07 -8.531338 10.27550* 6.43e-07* -8.582578* 1.010560 7.19e-07 -8.471919 2.173197 7.87e-07 -8.383891 2.945611 8.48e-07 -8.312616 4.264864 8.88e-07 -8.270621 4.443456 9.26e-07 -8.236131 3.300212 9.88e-07 -8.180436 1.803095 1.09e-06 -8.093337 3.484939 1.16e-06 -8.049303
SC -6.518701 -8.325486* -8.239491 -7.991599 -7.766336 -7.557826 -7.378597 -7.206872 -7.013943 -6.789609 -6.608341
HQ -6.560377 -8.450515* -8.447873 -8.283333 -8.141423 -8.016266 -7.920390 -7.832018 -7.722442 -7.581460 -7.483545
Tabel 3 menunjukkan bahwa panjang lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung ditentukan dengan menggunakan informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC). Berdasarkan AIC tersebut maka panjang lag optimal yang digunakan dalam model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen yaitu lag 2. c. Uji Kointegrasi Hasil uji stationeritas data menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen tidak stationer pada level, sedangkan harga jagung di tingkat produsen stationer pada level. Akan tetapi hasil uji stationeritas data pada first difference
36 menunjukkan harga jagung di tingkat produsen dan konsumen stationer. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian kointegrasi antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Jumlah persamaan Trace Critical value Max-Eigen Critical value kointegrasi statistic 5% staistic 5% None* 26.463 20.262 22.201 15.892 At most 1 4.262 9.165 4.262 9.165 Hasil uji kointegrasi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai trace statistic dan maximum eigenvalue statistic lebih dari critical value 5 persen pada none sehingga tolak H0 yang berarti terdapat 1 persamaan yang menunjukkan hubungan kointegrasi di antara variabel. Artinya antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aprilia et al. (2014) bahwa terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga jagung di tingkat petani (produsen) dengan harga jagung di tingkat retail. Jika harga di suatu pasar berkointegrasi dengan harga di pasar lain maka kedua series harga tersebut cenderung akan bergerak menuju keseimbangan jangka panjang sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasar terintegrasi (Fossati et al. 2007). Adanya hubungan kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen tidak cukup untuk menunjukkan bahwa pasar jagung di Provinsi Lampung terintegrasi secara sempurna. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai transmisi harga. Hasil uji kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang (kointegrasi) sehingga tahapan analisis dengan menggunakan Error Correction Model dapat dilanjutkan. d. Uji Kausalitas Uji kausalitas Granger dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan antara pasar jagung di tingkat produsen dan konsumen. Dengan kata lain, uji kausalitas Granger dilakukan untuk menentukan arah transmisi harga yaitu apakah pembentukan harga jagung di tingkat produsen dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat konsumen atau sebaliknya pembentukan harga jagung di tingkat konsumen dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat produsen atau terjadi hubungan 2 arah antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen (kedua pasar saling mempengaruhi). Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan a konsumen di Provinsi Lampung Hubungan Harga konsumen Harga produsen
Harga produsen Harga konsumen
Obs 70
F-statistic 4.043 0.946
Prob. 0.022 0.394
37 Hasil uji kausalitas Granger pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada hubungan antara konsumen ke produsen memiliki nilai probabilitas yang kurang dari taraf nyata (α = 5%) sehingga tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Sebaliknya, pada hubungan antara produsen ke konsumen menunjukkan nilai probabilitas yang lebih dari taraf nyata (α = 5%) sehingga tidak tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung di tingkat produsen tidak mempengaruhi harga jagung di tingkat konsumen. Dengan kata lain, hubungan kausalitas antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen terjadi satu arah. Hasil penelitian ini diperkuat oleh pernyataan Kasryno et al. (2007) dalam Winarso (2013) bahwa perubahan harga jagung lebih terdorong karena permintaan. Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Reziti and Panagopoulos (2008) yaitu pada komoditas pangan, harga di tingkat konsumen mempengaruhi harga di tingkat produsen. Langkah selanjutnya yaitu melakukan estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung. e. Estimasi Asymmetric Error Correction Model Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Oleh sebab itu dilakukan estimasi transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Analisis transmisi harga dalam penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung berjalan secara simetri atau asimetri. Model yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu Asymmetric Error Correction Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) seperti pada persamaan (7). Melalui model Asymmetric Error Correction Model (AECM), selain dilihat berdasarkan shock positif (kenaikan harga) dan shock negatif (penurunan harga), kondisi asimetri juga dilihat berdasarkan nilai koefisien error correction term (ECT) positif dan error correction term (ECT) negatif sehinggga pada model ini dipisahkan antara transmisi harga dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika koefisien yang diperoleh dari hasil estimasi menunjukkan keidentikan antara shock positif dan shock negatif berarti transmisi harga berjalan simetri. Error correction term (ECT) positif menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka panjang yaitu saat harga jagung di tingkat konsumen turun tetapi tidak diikuti dengan penurunan harga jagung di tingkat produsen. Error correction term (ECT) negatif menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang yaitu saat harga jagung di tingkat konsumen naik tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga jagung di tingkat produsen. Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model yang digunakan untuk mengetahui bagaimana transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 6.
38 Tabel 6
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung
Variable
Coefficient
t-Statistic
Prob.
Intercept ∆ HJP t 1
-0.003
-0.378
0.707
∆ HJP ∆ HJP
0.313
1.578
0.120
∆ HJP t2 ∆ HJK t
0.109 0.095
0.511 0.488
0.612 0.628
-0.072
-0.337
0.737
∆ HJK
0.124
1.347
0.183
0.081
0.541
0.591
0.164
1.754
0.085
∆ HJK t2 ECT t1
0.038 0.006
0.255 0.060
0.800 0.953
-0.020
-0.133
0.894
ECT
-0.396
-2.379
0.021
-0.326
-2.075
0.043
t 1 t2
t
∆ HJK t1 ∆ HJK ∆ HJK
t 1
t 1 t2
R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
0.340 0.199 2.408 0.014 1.891
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kenaikan dan penurunan harga jagung di tingkat konsumen pada periode ke-t menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Artinya pada periode ke t, harga jagung di tingkat produsen tidak ikut naik atau turun saat harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan atau penurunan. Dengan kata lain, dalam jangka pendek harga jagung di tingkat produsen tidak respon terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Oleh karena koefisien harga jagung di tingkat konsumen saat kenaikan dan penurunan pada periode ke-t menunjukkan nilai yang tidak signifikan sehingga tidak perlu diilakukan uji Wald seperti yang dijelaskan oleh Reziti (2014). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sari et al. (2012) bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung tingkat petani dengan tengkulak dan makelar di Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki integrasi yang lemah atau pasar tidak efisien. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Mandiri et al. (2015) yang menujukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen di Kabupaten Grobogan.
39 Transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang dilihat berdasarkan nilai error correction term (ECT). Koefisien ECT positif dan ECT negatif memiliki tanda yang sama. Koefisien ECT positif menunjukkan nilai yang signifikan dan koefisiennya bertanda negatif yaitu sebesar -0.396 (Tabel 6). Nilai tersebut menunjukkan saat terjadi penyimpangan harga di atas garis keseimbangan yaitu saat harga jagung di tingkat produsen tidak ikut turun ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan, akan tetapi setelah lebih kurang 5 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen tersebut. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keseimbangan yaitu sekitar lebih kurang 5 bulan sehingga dalam waktu lebih kurang 5 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan turun ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan. Kemudian koefisien error correction term (ECT) negatif juga menunjukkan nilai yang signifikan dan memiliki tanda koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.326 (Tabel 6). Nilai tersebut menunjukkan saat terjadi penyimpangan harga di bawah garis keseimbangan yaitu saat harga jagung di tingkat produsen tidak ikut naik ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan, akan tetapi setelah lebih kurang 4 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen tersebut. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keseimbangan yaitu sekitar lebih kurang 4 bulan sehingga dalam waktu lebih kurang 4 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan naik ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan. Koefisien error correction term (ECT) positif dan ECT negatif memiliki tanda yang sama artinya penyimpangan harga direspon dengan arah yang sama sehingga kondisi ini menunjukkan keidentikan dalam jangka panjang. Akan tetapi untuk membuktikan hal ini perlu dilakukan pengujian lagi secara statistik dengan mengunakan uji Wald. f. Uji Wald Tahap selanjutnya yaitu melakukan uji Wald untuk membuktikan apakah antara koefisien shock positif dan shock negatif dalam jangka pendek dan jangka panjang identik atau berbeda. Jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata secara statistik (tolak H0) berarti transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan asimetri. Uji Wald hanya dilakukan pada koefisien error correction term (ECT) positif dan error correction term (ECT) negatif, sedangkan variabel harga jagung tingkat konsumen positif dan negatif tidak dilakukan uji Wald. Hal ini karena pada hasil estimasi menunjukkan pada periode ke t variabel tersebut memiliki nilai yang tidak signifikan terhadap harga jagung di tingkat produsen sehingga tidak perlu diilakukan uji Wald seperti yang dijelaskan oleh Reziti (2014). Dengan demikian, dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen baik kenaikan maupun penurunan harga tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sesuai dengan pernyataan Reziti and Panagopoulos (2008) bahwa produk yang mengalami pengolahan tertentu dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih lambat. Transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan asimetri dapat disebabkan oleh kurangnya informasi petani mengenai harga
40 jagung di pasar lainnya. Rata-rata petani responden hanya memperoleh informasi harga jagung dari sesama petani dan pedagang pengumpul yang melakukan jual beli dengannya dan tidak mencari informasi harga jagung ke sumber lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani terbatas dalam mencari informasi mengenai harga jagung. Sebaliknya, pedagang pengumpul memperoleh informasi mengenai harga jagung dengan lancar. Hal ini didukung oleh pernyataan Saleh et al. (2005) bahwa aksesibilitas petani jagung tidak sebaik aksesibilitas pedagang terhadap informasi pasar sehingga terdapat kesenjangan informasi pasar di antara keduanya sehingga perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak ditransmisikan dengan baik ke produsen. Kemudian Sari (2013) menambahkan bahwa tidak semua petani mengetahui dengan pasti mengenai kondisi jagung yang dijualnya apakah sudah sesuai atau tidak dengan harga yang berlaku di pasar. Sementara itu, pedagang memiliki market power dalam menentukan harga jagung, sedangkan petani memiliki posisi tawar yang lemah sehingga dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Yusdja dan Agustian (2003). Selain itu, Vavra and Goodwin (2005) menjelaskan bahwa bahwa tidak terjadinya transmisi harga simetri antara produsen dan konsumen disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan atau penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya.Transmisi harga asimetri dalam jangka pendek dapat terjadi karena market power misalnya pada pasar oligopoli, pedagang bereaksi lebih cepat terhadap guncangan berupa kenaikan harga dibandingkan dengan guncangan berupa penurunan harga (von Cramon-Taubadel 1998). Artinya terjadinya transmisi harga asimetri dalam jangka pendek dapat disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power jika perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen ditransmisikan dengan kecepatan yang berbeda oleh pedagang kepada petani. Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model menunjukkan bahwa koefisien error correction term (ECT) positif dan ECT negatif berpengaruh signifikan terhadap harga jagung di tingkat produsen. Oleh sebab itu, untuk membuktikan apakah transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara simetri atau asimetri maka dilakukan uji Wald pada koefisien ECT positif dan ECT negatif yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil uji Wald pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Wald test F-statistik Probabilitas H0 : ECT t 1 = ECT t 1 0.069 0.794 Hasil uji Wald pada Tabel 7 menunjukkan bahwa dalam jangka panjang antara shock positif dan shock negatif tidak berbeda secara statistik artinya tidak terdapat perbedaan respon harga produsen terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji Wald yang menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Selain itu, hasil estimasi Asymmetric Error Correction
41 Model (AECM) juga menunjukkan respon yang sama dalam jangka panjang yaitu kenaikan dan penurunan harga jagung di tingkat konsumen akan direspon oleh produsen dengan kenaikan dan penurunan harga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang tidak terbukti adanya transmisi harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Dengan kata lain, dalam jangka panjang perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara simetri ke harga jagung di tingkat produsen dari sisi kecepatan transmisi. Artinya saat terjadi kenaikan harga jagung di tingkat konsumen kemudian ditransmisikan ke produsen maka kenaikan harga tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga jagung di tingkat produsen. Sebaliknya saat terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen kemudian ditransmisikan ke produsen maka penurunan harga tersebut akan diikuti dengan penurunan harga jagung di tingkat produsen. Rachman (2003) menjelaskan bahwa pada pasar jagung di Indonesia, perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara langsung ke harga jagung di tingkat produsen. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sari et al. (2012) bahwa dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara pasar jagung tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pendekatan Asymmetric Error Correction Model mungkin hanya dapat menggambarkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi harga asimetri dari sisi besaran menunjukkan terdapat perbedaan respon secara permanen (jangka panjang) antara kenaikan dan penurunan harga dan ini hanya terjadi jika data tidak terkointegrasi (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen terkointegrasi. Hal ini berarti dalam jangka panjang transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara simetri dari sisi besaran dan kecepatan. Dengan demikian, dalam jangka panjang pemasaran jagung di Provinsi Lampung efisien dari segi efisiensi harga. Faktor Pembentuk Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi Lampung Transmisi harga jagung yang terjadi di Provinsi Lampung menunjukkan dalam jangka panjang perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara simetri ke tingkat produsen. Akan tetapi pembentukan harga jagung di tingkat produsen tidak hanya dipengaruhi dari sisi permintaan pasar saja melainkan juga dipengaruhi dari sisi penawaran. Oleh sebab itu faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung di tingkat produsen dianalisis dengan memasukkan faktor dari sisi penawaran. Nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) yang diperoleh yaitu sebesar 0.784 (Tabel 8). Nilai ini menunjukkan bahwa sebesar 78.4 persen variasi dari harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung dapat dijelaskan oleh variasi dari harga jagung tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, produksi, dan harga jagung tingkat produsen periode sebelumnya, sedangkan sisanya sebesar 21.6 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Selanjutnya hasil uji F statistik menunjukkan nilai yang signifikan yang artinya harga jagung tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, produksi, dan harga jagung tingkat produsen periode sebelumnya secara bersama-sama mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung
42 pada taraf nyata 1 persen. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Elastisitas Variable
Coefficient t-statistic
Intercept 749.057 Harga konsumen 0.023 Harga impor 22.520 Nilai tukar -0.011 Produksi -0.159 Harga produsen sebelumnya 0.621 R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Durbin-Watson statistic
5.472 1.099 0.179 -2.653 -3.740 8.755
Prob.
Jangka Jangka pendek panjang 0.000 0 0 0.276 0.858 0 0 0.010 -0.060 -0.159 0.000 -0.014 -0.036 0.000 0.784 0.767 47.067 0.000 1.617
Hasil estimasi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu nilai tukar, produksi, dan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor tidak berpengaruh nyata sampai pada taraf nyata 5 persen. Harga jagung tingkat konsumen menunjukkan nilai yang tidak signifikan dengan nilai probabilitas yang lebih dari 5 persen, akan tetapi tanda koefisiennya sesuai dengan hipotesis yaitu harga jagung tingkat konsumen memberikan pengaruh yang positif terhadap harga jagung tingkat produsen. Oleh karena hasilnya menunjukkan tidak signifikan berarti kenaikan harga jagung di tingkat konsumen tidak mempengaruhi kenaikan harga jagung di tingkat produsen, begitu pula jika terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen. Sejalan dengan hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada transmisi harga jagung di Provinsi Lampung yang menunjukkan bahwa dalam jangka pendek kenaikan dan penurunan harga jagung di tingkat konsumen tidak mempengaruhi perubahan harga jagung di tingkat produsen. Harga jagung tingkat konsumen tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen karena adanya perilaku tidak kompetitif dari pedagang yang memiliki market power dalam menentukan harga jagung sehingga menghambat transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Hambatan ini dapat terjadi karena kurangnya informasi petani mengenai harga jagung di pasar lainnya. Rata-rata petani responden hanya memperoleh informasi harga jagung dari sesama petani dan pedagang pengumpul yang melakukan jual beli dengannya dan tidak mencari informasi harga jagung ke sumber lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani terbatas dalam mencari informasi mengenai harga jagung. Sebaliknya, pedagang pengumpul memperoleh informasi
43 mengenai harga jagung dengan lancar. Hal ini didukung oleh pernyataan Saleh et al. (2005) bahwa adanya kesenjangan informasi mengenai harga jagung antara petani dan pedagang karena aksesibilitas petani jagung tidak sebaik aksesibilitas pedagang terhadap informasi pasar sehingga perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak ditransmisikan dengan baik ke produsen. Sari (2013) menambahkan bahwa tidak semua petani jagung mengetahui dengan pasti mengenai kondisi jagung yang dijualnya apakah sudah sesuai atau tidak dengan harga yang berlaku di pasar. Harga jagung impor memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesis atau sesuai dengan teori ekonomi yaitu harga jagung impor memberikan pengaruh positif terhadap harga jagung di tingkat produsen. Akan tetapi harga jagung impor menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih dari taraf nyata 5 persen. Artinya harga jagung impor tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Sejalan dengan hasil penelitian Sayekti (2009) yang menjelaskan bahwa harga jagung di pasar dunia tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung di Indonesia mengindikasikan harga jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh pembentukan harga di dalam negeri sendiri. Pedagang dan importir memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga jagung sehingga transmisi harga jagung dari pasar dunia ke pasar domestik menjadi lambat. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Saleh et al. (2005) bahwa perubahan harga jagung di pasar internasional tidak ditransmisikan dengan baik ke pasar jagung tingkat produsen di Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa harga jagung di tingkat petani Provinsi Lampung lebih ditentukan oleh pembentukan harga di dalam provinsi sendiri. Nilai tukar menunjukkan nilai yang signifikan terhadap pembentukan harga jagung di tingkat produsen pada taraf nyata 1 persen dengan koefisien bertanda negatif. Artinya variabel nilai tukar memiliki tanda koefisien yang sesuai dengan hipotesis. Koefisien nilai tukar sebesar -0.011 menunjukkan jika nilai tukar terdepresiasi maka akan mendorong kenaikan harga jagung di tingkat produsen. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya kurang dari 1 berarti harga jagung di tingkat produsen kurang respon (bersifat inelastis) terhadap perubahan nilai tukar baik dalam jangka pendek (-0.060) maupun dalam jangka panjang (-0.159). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nugraheni (2014) yaitu nilai tukar berpengaruh signifikan dan memiliki tanda negatif terhadap perubahan harga jagung domestik. Hanani et al. (2010) menjelaskan bahwa penggunaan input produksi jagung seperti pupuk anorganik dan pestisida masih menggunakan bahan baku dari impor sehingga pengaruh harga jagung di Indonesia terkait dengan penggunaan input produksi. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi maka akan menyebabkan harga input produksi menjadi semakin mahal sehingga biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi semakin besar akibatnya petani terpaksa akan menaikkan harga jagung untuk menutupi pengeluaran yang meningkat tersebut. Reza (2015) menjelaskan bahwa secara teori jika nilai tukar rupiah terdepresiasi maka akan mendorong kenaikan harga barang di dalam negeri. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan harga jagung di tingkat produsen yaitu produksi dan koefisiennya memiliki tanda yang sesuai dengan hipotesis atau sesuai dengan teori ekonomi yaitu bertanda negatif. Hal ini dapat dilihat dari hasil estimasi bahwa produksi menunjukkan nilai yang signifikan.
44 Nilai koefisien pada variabel produksi yaitu sebesar -0.159 menunjukkan jika jumlah produksi jagung meningkat maka harga jagung di tingkat produsen akan turun dan sebaliknya jika jumlah produksi jagung turun maka harga jagung di tingkat produsen akan naik. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Surbakti et al. (2014) yaitu produksi jagung berpengaruh negatif terhadap harga jagung di tingkat produsen. Pengaruh produksi cenderung kecil, jika dilihat dari nilai elastisitasnya yaitu kurang dari 1 sehingga dapat dikatakan bersifat inelastis baik dalam jangka pendek (-0.014) maupun dalam jangka panjang (-0.036). Artinya harga jagung di tingkat produsen kurang respon terhadap perubahan jumlah produksi jagung baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dengan kata lain, perubahan jumlah produksi jagung tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga jagung di tingkat produsen. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kekuatan oligopsoni (Purba 1999). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani khususnya petani skala kecil memiliki posisi tawar yang lemah dalam menentukan harga jual jagung, sedangkan pedagang pengumpul memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga jagung di tingkat petani. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusdja dan Agustian (2003), Saleh et al. (2005), Sayekti (2009), serta Sari et al. (2012) Harga jagung di tingkat produsen pada periode sebelumnya berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen terhadap pembentukan harga jagung di tingkat produsen pada periode sekarang dan koefisiennya memiliki tanda positif. Kondisi ini menunjukkan perubahan harga jagung di tingkat produsen pada periode sekarang mengikuti perubahan harga jagung di tingkat produsen dari periode sebelumnya dengan arah yang sama. Norwood and Lusk (2008) menyatakan bahwa harga juga ditentukan oleh penyesuaian pasar seperti harga pada periode sebelumnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Surbakti et al. (2014).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh simpulan yaitu: 1. Dalam jangka pendek, perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke produsen di Provinsi Lampung. Sebaliknya dalam jangka panjang, perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan ke produsen dengan kecepatan yang sama. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu nilai tukar, produksi, dan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung.
45 Saran Berdasarkan simpulan maka saran yang dapat diberikan peneliti yaitu: 1. Perlu adanya kelembagaan yang memihak petani untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam keputusan penentuan harga jagung misalnya dengan melakukan penjualan secara kolektif. 2. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan kembali mengenai kebijakan harga dasar untuk komoditas jagung dan pelaksanaanya lebih dioptimalkan. 3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menganalisis efisiensi pemasaran jagung tidak hanya dari segi efisiensi harga tetapi juga dari segi efisiensi operasional.
46
DAFTAR PUSTAKA Acquah HG, Onumah EE. 2010. A comparison of the different approaches to detecting asymmetry in retail-wholesale price transmission. AmericanEurasian Journal of Scientific Research. 5(1):60-66. Aprilia A, Anindita R, Syafrial, Tsai G, Chien LHH. 2014. Threshold cointegration pada pasar jagung di Indonesia. AGRISE. 14(1):1412-1425. Asmarantaka RW. 1985. Analisis pemasaran jagung di daerah sentra produksi Provinsi Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor (ID): Departemen Agribisnis FEM-IPB. Bailey DV, Brorsen BW. 1989. Price asymmetry in spatial fed cattle markets. Western Journal of Agricultural Economics. 14(2):246-252. [BI] Bank Indonesia. 2015. Kurs transaksi (data file). www.bi.go.id [14 September 2015]. Bosena DT, Bekabil F, Berhanu G, Dirk H. 2011. Structure-conduct-performance of Cotton Market: The Case of Metema District, Ethiopia. Journal of Agriculture, Biotechnology and Ecology. 4(1): 1-12. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2015a. Produksi tanaman palawija Provinsi Lampung, 2009-2013. Bandar Lampung (ID): Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2015b. Produksi tanaman palawija Provinsi Lampung, 2010-2014. Bandar Lampung (ID): Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015a. Distribusi perdagangan komoditas jagung pipilan Indonesia 2015. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015b. Produksi tanaman pangan. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015c. Statistik harga konsumen perdesaan kelompok makanan. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015d. Statistik harga produsen pertanian subsektor tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan Rakyat. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Capps O, Sherwell P. 2005. Spatial asymmetry in farm-retail price transmission associated with fluid milk products. Selected Paper prepared for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Providence, Rhode Island. Conforti P. 2004. Price transmission in selected agricultural markets. Working Paper FAO Commoditiy and Trade Policy Research, No 7, March, 2004. Direktorat Pangan dan Pertanian. 2014. Rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) bidang pangan dan pertanian 2015-2019. Jakarta Pusat (ID): Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas. [Dirjen Tanaman Pangan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2014. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2013. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian RI.
47 Ekaputri FT. 2013. Kointegrasi harga jagung pipil impor, harga jagung pipil Sumatera Utara dan Kabupaten Karo. Medan: Universitas Sumatera Utara. Enders W. 1995. Applied Econometric Time Series. New York: John Willey and Sons, Inc. Engle RF, Granger CWJ. 1987. Co-integration and error correction: representation, estimation, and testing. Econometrica. 55(1): 251-276. Farrell MJ. 1952. Irreversible demand functions. Econometrica. 20:171-186 Firdaus M. 2011. Aplikasi ekonometrika untuk data panel dan time series. Kampus IPB Taman Kencana Bogor: IPB Press. Fossati S, Lorenzo F, Rodriguez CM. 2007. Regional and international market integration of a small open economy. Journal of Applied Economics. 10(1):77-98. Gachena D, Kebebew S. 2014. Evaluating coffee market structure and conduct in Bench-Maji Zone, South West Ethiopia. Journal of Agricultural Economics, Extension and Rural Development. 2(5):156-163. Hall LL, Tomek WG, Ruther NL, Kyereme SS. 1981. Case studies in the transmission of farm prices. New York: Cornell University. Hanani M, Asmara R, Fachrista IA. 2010. Pengaruh nilai tukar terhadap harga perdagangan besar tanaman pangan utama di beberapa propinsi Indonesia. AGRISE.10(3):155-164. Heytens PJ. 1986. Testing market integration. Food Research Institute Studies. 20(1):25-41. Houck JP. 1977. An approach to specifying and estimating nonreversible function. American Journal of Agricultural Economics. 59(3):570-572. Intriligator M, Bodkin R, Hsiao C. 1996. Econometrics Models, Techniques, and Applications. New Jersey: Prantice-Hall, Inc. Irawan B. 2007. Fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(4):358-373. Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika deret waktu teori dan aplikasi. Bogor (ID): IPB Press. Karantininis K, Katrakylidis K, Persson M. 2011. Price transmission in the Swedish pork chain: asymmetric non linear ARDL. Paper prepared for presentation at the EAAE 2011 Congress, Zurich, Switzerland. Kariyasa K, Sinaga BM. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pasar jagung di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 22(2):167-194. Kasryno, FE. Pasandaran, Suyamto, Adnyana MO. 2007. Gambaran umum ekonomi jagung Indonesia. Buku Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Jakarta (ID): Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. [Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Produksi jagung menurut provinsi (data file). Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Kinnucan HW, Forker OD. 1987. Asymmetry in farm-retail price transmission for major dairy products. American Journal of Agricultural Economics. 69(2):285-292. Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of agricultural products, ninth edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Koutsoyiannis A. 1977. Theory of econometrics, second edition. United Kingdom: The Macmillan Press Ltd.
48 Mandiri AP, Rahayu ES, Utami BW. 2015. Perilaku harga jagung di Kabupaten Grobogan. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret Surakarta. Meyer J, von Cramon-Taubadel S. 2004. Asymmetric price transmission: a survey. Journal of Agricultural Economics. 55(3):581-611. Norwood FB, Lusk JL. 2008. Agricultural marketing and price analysis. New Jersey: Pearson Education, Inc. Nugraheni SRW. 2014. Volatilitas harga pangan utama Indonesia dan faktor yang mempengaruhinya [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Omar MI, Islam A, Hoq MS, Dewan MF, Islam MT. 2014. Marketing system and market integration of different egg markets in Bangladesh. IOSR Journal of Business and Management. 16(1):52-58. Peltzman S. 2000. Prices rise faster than they fall. Journal of Political Economy 108(3):466-502. [Permentan] Peraturan Menteri Pertanian. 2015. Pedoman penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat tahun 2015. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Piot-Lepetit I, M’Barek R. 2011. Methods to Analyse Agricultural Commodity Price Volatility. New York: Springer. Purba HJ. 1999. Keterkaitan pasar jagung dan pakan ternak ayam ras di Indonesia: suatu analisis simulasi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2015. Kinerja perdagangan komoditas pertanian. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Putri AI. 2013. Dampak tarif impor terhadap pasar jagung di Indonesia dalam skema liberalisasi perdagangan ASEAN Free Trade Area [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rachman B. 2003. Dinamika harga dan perdagangan komoditas jagung. Socio Economic of Agriculturre and Agribusiness. 3(1):1-15. Ravallion M. 1986. Testing market integration. American Journal of Agricultural Economics. 68(1):102-109. Reza MA. 2015. Analisis stabilitas harga pangan di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Reziti I. 2014. Price transmission analysis in the Greek milk market. SPOUDAI Journal of Economics and Business. 64 (4):75-86. Reziti I, Panagopoulos Y. 2008. Asymmetric price transmission in the Greek agrifood sector: some tests. Agribusiness. 24(1):16-30. Sahara, Wicaksena B. 2013. Asymmetry in farm-retail price transmission: the case of chili industry in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan. 2(1):1-13. Saleh C, Sumedi, Jamal E. 2005. Analsis pemasaran jagung di Indonesia. Jakarta Selatan (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sari IN. 2013. Analisis efisiensi pemasaran jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sari IN, Winandi R, Atmakusuma J. 2012. Analisis efisiensi pemasaran jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Forum Agribisnis. 2(2):191-209. Sayekti AL. 2009. Analisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
49 Supriyatna A. 2007. Analisis integrasi pasar jagung dunia dengan pasar jagung dan daging ayam ras domestik, serta pengaruh tarif impor jagung dan harga minyak mentah dunia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Surbakti MN, Darus HMM, Chalil D. 2014. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung pipil di tingkat produsen Sumatera Utara. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness. 2(8). Thomas RL. 1997. Modern econometrics an introduction. England (UK): Addison Wesley Longman. Tomek WG, Robinson KL. 1990. Agricultural product prices third edition. New York: Cornell University Press. Tweeten LG, Quance CL. 1969. Positivistic measures of aggregate supply elasticities: some new approaches. American Journal of Agricultural Economics. 51(2):342-352. Vavra P, Goodwin BK. 2005. Analysis of price transmission along the food chain. OECD Food Agriculture and Fisheries Working Paper, No 3. Doi:10.1787/752335872456. Verbeek M. 2000. A guide to modern econometrics, third edition. New York: John Wiley and Sons. von Cramon-Taubadel S. 1998. Estimating asymmetric price transmission with the error correction representation: an application to the German pork market. European Review of Agricultural Economics. 25(1):1-18. von Cramon-Taubadel S, Fahlbusch S. 1994. Identifying asymmetric price transmission with error correction models. Poster Session EAAE European Seminar in Reading. von Cramon-Taubadel S, Loy JP. 1996. Price asymmetry in the international wheat market: comment. Canadian Journal of Agricultural Economics. 44(3):311-317. Ward RW. 1982. Asymmetry in retail, wholesale and shipping point pricing for fresh vegetables. American Journal of Agricultural Economics 64(2):205212. [WB] World Bank. 2015. Commodity price data (data file). www.worldbank.org/en/research/commodity-markets [28 Agustus 2015]. Winarso B. 2013. Kebijakan pengembangan komoditas tanaman pangan dalam mendukung program master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) studi kasus di Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 13(2):85-102. Wolffram R. 1971. Positivistic measures of aggregate supply elasticities: some new approaches-some critical notes. American Journal of Agricultural Economics. 53(2):356-359 Yusdja Y, Agustian A. 2003. Analisis kebijakan tarif jagung antara petani jagung dan peternak. Analisis Kebijakan Pertanian. 1(1):22-40.
50
LAMPIRAN
51 Lampiran 1 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada level dengan kriteria intercept no trend Null Hypothesis: LNHJP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.696326 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0061
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 2 Hasil uji sasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada first difference dengan kriteria intercept no trend Null Hypothesis: D(LNHJP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.936850 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
52 Lampiran 3 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada level dengan kriteria intercept no trend Null Hypothesis: LNHJK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.197121 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.2092
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada first difference dengan kriteria intercept no trend Null Hypothesis: D(LNHJK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-8.917668 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
53 Lampiran 5 Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LNHJP LNHJK Exogenous variables: C Sample: 2009M01 2014M12 Included observations: 62 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
206.2069 270.4715 276.0599 276.6295 277.9006 279.6911 282.3893 285.3201 287.5935 288.8934 291.5284
NA 122.3101 10.27550* 1.010560 2.173197 2.945611 4.264864 4.443456 3.300212 1.803095 3.484939
4.72e-06 6.76e-07 6.43e-07* 7.19e-07 7.87e-07 8.48e-07 8.88e-07 9.26e-07 9.88e-07 1.09e-06 1.16e-06
-6.587318 -8.531338 -8.582578* -8.471919 -8.383891 -8.312616 -8.270621 -8.236131 -8.180436 -8.093337 -8.049303
-6.518701 -8.325486* -8.239491 -7.991599 -7.766336 -7.557826 -7.378597 -7.206872 -7.013943 -6.789609 -6.608341
-6.560377 -8.450515* -8.447873 -8.283333 -8.141423 -8.016266 -7.920390 -7.832018 -7.722442 -7.581460 -7.483545
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
54 Lampiran 6
Hasil uji kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung
Sample (adjusted): 2009M04 2014M12 Included observations: 69 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LNHJP LNHJK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1
0.275127 0.059897
26.46327 4.261876
20.26184 9.164546
0.0061 0.3745
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1
0.275127 0.059897
22.20139 4.261876
15.89210 9.164546
0.0044 0.3745
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Lampiran 7
Hasil uji kausalitas antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung
Pairwise Granger Causality Tests Sample: 2009M01 2014M12 Lags: 2 Null Hypothesis: LNHJK does not Granger Cause LNHJP LNHJP does not Granger Cause LNHJK
Obs
F-Statistic
Prob.
70
4.04339 0.94611
0.0221 0.3935
55 Lampiran 8
Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung
Dependent Variable: DLNHJP Method: Least Squares Sample (adjusted): 2009M04 2014M12 Included observations: 69 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DLNHJP_POS(-1) DLNHJP_NEG(-1) DLNHJP_POS(-2) DLNHJP_NEG(-2) DLNHJK_POS DLNHJK_NEG DLNHJK_POS(-1) DLNHJK_NEG(-1) DLNHJK_POS(-2) DLNHJK_NEG(-2) ECT_LNHJP_POS(-1) ECT_LNHJP_NEG(-1)
-0.002624 0.312835 0.108835 0.094591 -0.071551 0.124165 0.080791 0.163953 0.038041 0.005763 -0.020046 -0.395633 -0.325866
0.006938 0.198287 0.213098 0.193903 0.212320 0.092159 0.149356 0.093464 0.149240 0.096666 0.150191 0.166280 0.157075
-0.378178 1.577692 0.510727 0.487828 -0.336997 1.347285 0.540932 1.754180 0.254896 0.059619 -0.133472 -2.379319 -2.074585
0.7067 0.1203 0.6115 0.6276 0.7374 0.1833 0.5907 0.0849 0.7997 0.9527 0.8943 0.0208 0.0426
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.340339 0.198983 0.020712 0.024024 176.8098 2.407673 0.013612
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.001240 0.023142 -4.748109 -4.327191 -4.581117 1.891318
56 Lampiran 9 Hasil uji Wald untuk koefisien ECT positif dan ECT negatif pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic t-statistic F-statistic Chi-square
Value
df
Probability
-0.262570 0.068943 0.068943
56 (1, 56) 1
0.7938 0.7938 0.7929
Value
Std. Err.
-0.069768
0.265710
Null Hypothesis: C(12)=C(13) Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) C(12) - C(13) Restrictions are linear in coefficients. Lampiran 10 Hasil uji normalitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung 12
Series: Residuals Sample 2009M02 2014M12 Observations 71
10 8 6 4 2 0
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-6.63e-13 3.193534 88.23417 -75.53915 32.64362 -0.124631 2.838489
Jarque-Bera Probability
0.260975 0.877667
80
Lampiran 11 Hasil uji heteroskedastisitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
0.572286 13.22543 10.18945
Prob. F(20,50) Prob. Chi-Square(20) Prob. Chi-Square(20)
0.9136 0.8675 0.9646
57 Lampiran 12 Hasil uji autokorelasi pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
Lampiran 13
2.754916 Prob. F(1,64) 2.930107 Prob. Chi-Square(1)
0.1018 0.0869
Hasil uji multikolinieritas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Harga konsumen Harga impor Nilai tukar
Harga konsumen Harga impor Nilai tukar Produksi
1.000000 0.498690 -0.094499 -0.314070
0.498690 1.000000 -0.432071 -0.137699
-0.094499 -0.432071 1.000000 -0.042989
Produksi -0.314070 -0.137699 -0.042989 1.000000
Lampiran 14 Hasil estimasi faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung Dependent Variable: Harga produsen Method: Least Squares Sample (adjusted): 2009M02 2014M12 Included observations: 71 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Intercept Harga konsumen Harga impor Nilai tukar Produksi Harga produsen (-1)
749.0566 0.022884 22.52049 -0.011160 -0.159218 0.621026
136.8768 0.020826 125.7152 0.004206 0.042572 0.070931
5.472489 1.098823 0.179139 -2.653397 -3.739979 8.755409
0.0000 0.2759 0.8584 0.0100 0.0004 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.783574 0.766925 33.87589 74592.42 -347.7222 47.06661 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1823.603 70.16867 9.964005 10.15522 10.04004 1.616518
58
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1987 di Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari ayah yang bernama A Rais dan ibu yang bernama Malwati. Penulis memulai pendidikan sarjana pada tahun 2006 di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan pascasarjana pada tahun 2013 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dibiayai oleh Dikti melalui beasiswa program pascasarjana dalam negeri (BPPDN) tahun 2013.