ht //j ak
tp :
s. go
.b p
ta
ar .id /
ht //j ak
tp :
s. go
.b p
ta
ar .id /
PROFIL KEPENDUDUKAN HASIL SUPAS2015 PROVINSI DKI JAKARTA ISBN
:
No Publikasi
:
31520.1603
Katalog BPS
:
2101014.31
Ukuran Buku
:
29,5 cm x 21,5 cm
Jumlah Halaman
:
vi + 81 halaman
/
Naskah : Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi DKI Jakarta
:
go
Penulis
Syech Suhaimi Sri Santo Budi Muliatinah Sri Santo Budi Muliatinah Robert Ronytua Pardosi Rini Apsari Robert Ronytua Pardosi Rini Apsari Siti Alifah
s.
: : :
ht tp
Pengolahan data
://
ja
ka
rt a.
bp
Penanggungjawab Koordinator Editor
.id
Tim Penyusun
GAMBAR KULIT
:
Nila Windiyarti Nurhayati Tri Pamujiyanti Dewi Saputri Ningsih
:
BIDANG IPDS DITERBITKAN OLEH
:
BPS PROVINSI DKI JAKARTA Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya
KATA PENGANTAR
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) merupakan survei kependudukan yang dilaksanakan diantara dua waktu sensus penduduk. Kegiatan SUPAS telah empat kali dilaksanakan, yaitu tahun 1976, 1985, 1995, dan 2005. SUPAS2015 merupakan SUPAS yang kelima, dan pendataan dilaksanakan dalam periode waktu 1 hingga 31 Mei 2015. SUPAS2015 bertujuan untuk memperkirakan jumlah, distribusi dan komposisi penduduk, menyediakan data dan penghitungan parameter demografi, sebagai koreksi terhadap hasil proyeksi penduduk 2010-2035, dan sebagai bahan perencanaan serta evaluasi terakhir MDGs.
s. go
.id /
Laporan Profil Kependudukan Hasil SUPAS2015 Provinsi DKI Jakarta memberikan beberapa gambaran umum keadaan kependudukan di DKI Jakarta yang mencakup keterangan pokok penduduk, keluarga berencana dan usia perkawinan pertama, disabilitas, fasilitas perumahan serta perubahan iklim.
ta
.b p
Diharapkan publikasi ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah, dunia usaha, dan para pelaku kebijakan dalam menetapkan langkah ke depan.
ht
tp :
//j ak
ar
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan laporan ini. Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Jakarta, Desember 2016 KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI DKI JAKARTA
SYECH SUHAIMI
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i ii iii v
1. PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
1
Latar Belakang Tujuan Sumber Data Sistematika Laporan
2 3 3 4
5
3. GAMBARAN UMUM KEPENDUDUKAN
7
s. go
3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk 3.2. Persebaran dan Kepadatan Penduduk 3.3. Komposisi Penduduk
.id /
2. KEADAAN GEOGRAFI DAN IKLIM
4. KELUARGA BERENCANA DAN USIA PERKAWINAN 4.1. Rasio Anak Ibu (Child Woman Ratio/ CWR)
ar
Konsep dan Definisi Disabilitas Keterbatasan Data Disabilitas Potret Disabilitas Distribusi Disabilitas
19 20 21 26
29 30 32 32 33
//j ak
5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
ta
5. KESULITAN FUNGSIONAL
.b p
4.2. Penggunaan Alat/Cara KB 4.3. Usia Perkawinan Pertama
8 10 13
43
6.1. Tren Pencapaian Hasil Pembangunan Pendidikan 6.2. Partisipasi Sekolah 6.3. Tingkat Pendidikan
44 46 50
ht
tp :
6. PENDIDIKAN
7. PERUMAHAN 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6. 7.7. 7.8.
Status Kepemilikan/Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal Kondisi Bangunan Tempat Tinggal Penggunaan Bahan Bakar untuk Memasak Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga Sumber Air Minum Utama Rumah Tangga Jarak Sumur/Pompa ke Penampungan Kotoran Fasilitas Tempat Buang Air Besar Tempat Penampungan Akhir Tinja
8. PERUBAHAN IKLIM 8.1. Pengetahuan tentang Perubahan Iklim 8.2. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim 8.3. Upaya yang Dilakukan terhadap Perubahan Iklim
9. PENUTUP
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
53 54 55 57 58 59 60 61 62
63 64 67 71
77
ii
DAFTAR TABEL Tabel
Judul Tabel
2.1
Luas Daerah dan Kabupaten/Kota, 2015
Administrasi
menurut
6
3.1
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
9
3.2
Persebaran Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
10
3.3
Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
12
3.4
Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di DKI Jakarta, 2005, 2010, dan 2015
14
3.5
Persentase Penduduk menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Umur di DKI Jakarta, 2005, 2010, dan 2015
16
3.6
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
17
3.7
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan Status Perkawinan di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
18
4.1
Rasio Anak Ibu (Child Woman Ratio/CWR) di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
21
4.2
Persentase Perempuan Usia Subur (10-54 tahun) yang Sedang Menggunakan Alat/Cara KB menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2005-2015
22
4.3
Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun Pernah Kawin menurut Penggunaan Alat/Cara KB di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
24
4.4
Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun yang Pernah Kawin menurut Alat/Cara KB yang digunakan dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
25
4.5
Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun yang Pernah Kawin menurut Alasan Utama Tidak Menggunakan Alat/Cara KB dan Latar Belakang di DKI Jakarta, 2015
26
5.2
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Pendengaran dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
35
5.3
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Berjalan/Naik Tangga dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
36
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
Pembagian
Halaman
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
iii
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Mengerakkan Tangan/Jari dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
37
5.5
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Mengingat/Berkonsentrasi dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
38
5.6
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Perilaku dan atau Emosional dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
39
5.7
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Berbicara/Memahami dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
41
5.8
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/ Gangguan Mengurus Diri Sendiri dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
42
6.1
Persentase Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota serta Kemampuan Membaca dan Menulis di DKI Jakarta, 2015
45
6.2
Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
48
6.3
Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
50
7.1
Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Atap Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
57
7.2
Persentase Rumah Tangga menurut Sumber Penerangan Utama di DKI Jakarta, 2015
59
7.3
Persentase Rumah Tangga menurut Jarak Sumur/Pompa ke Penampungan Kotoran di DKI Jakarta, 2015
60
7.4
Persentase Rumah Tangga menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
61
8.1
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Mengetahui tentang Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
65
8.2
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Suhu Udara Semakin Panas menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
68
8.3
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
70
8.4
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Memanfaatkan Air Bekas Cucian Buah/Sayur/Beras/Wudhu untuk Keperluan Lain menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
76
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
5.4
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar
Judul Gambar
Halaman
3.1
Jumlah Penduduk DKI Jakarta, 2000-2015 (Jutaan)
8
3.2
Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 2000-2010, 2005-2015 dan 2010-2015 (Jutaan)
9
3.3
Persebaran Penduduk DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota, 2005, 2010 dan 2015
11
3.4
Kepadatan Penduduk DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010 dan 2015 (Ribuan Jiwa per Km2)
12
3.5
Piramida Penduduk DKI Jakarta, 2005, 2010 dan 2015
13
3.6
Rasio Ketergantungan Kabupaten/Kota, 2015
4.1
Persentase Pengguna Alat/Cara KB di DKI Jakarta, 2005-2015
22
4.2
Rata-Rata Umur Perkawinan Pertama Perempuan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
menurut
27
5.1
Penduduk Berumur 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan menurut Jenis Kesulitan/Gangguan di DKI Jakarta, 2015
33
5.2
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan/ Gangguan Pendengaran menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
35
5.3
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Selalu dan Sering Mengalami Kesulitan/Gangguan Mengingat/Berkonsentrasi menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
39
5.4
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan/ Gangguan Berbicara/Memahami menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
41
5.5
Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Kesulitan/Gangguan Mengurus Diri Sendiri dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
42
6.1
Angka Buta Huruf Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/ Kota di DKI Jakarta, 2015
46
6.2
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia Sekolah menurut Jenis Kelamin di DKI Jakarta, 2015
47
6.3
Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Pendidikan SD menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
49
6.4
Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Pendidikan SLTP dan SLTA menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
49
DKI
Jakarta
menurut
16
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
Penduduk
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
v
Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di DKI Jakarta, 2015
51
7.1
Perentase Rumah Tangga menurut Status Kepemilikan/Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
55
7.2
Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Lantai Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
56
7.3
Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Dinding Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
56
7.4
Persentase Rumah Tangga menurut Bahan Bakar Utama untuk Memasak di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
58
7.5
Pesentase Rumah Tangga menurut Sumber Air Minum Utama di DKI Jakarta, 2015
60
7.6
Persentase Rumah Tangga menurut Tempat Akhir Penampungan Tinja di DKI Jakarta, 2015
62
8.1
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Pernah Mendengar tentang Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
65
8.2
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Mengetahui Akibat Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
66
8.3
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Merasakan Suhu Udara Semakin Panas menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
68
8.4
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Merasakan Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
69
8.5
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Tidak Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
70
8.6
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Tidak Merasakan Kelangkaan Air Bersih menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
71
8.7
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Memelihara Tanaman di Pekarangan Rumah menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
72
8.8
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Terdapat Sumur Resapan di Rumahnya menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
73
8.9
Persentase Jumlah Rumah Tangga yang terdapat Lubang Resapan Biopori di Rumahnya menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
74
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
6.5
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
vi
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
1. PENDAHULUAN
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
1
Pendahuluan Profil Kependudukan Hasil SUPAS 2015 Provinsi DKI Jakarta merupakan laporan yang menggunakan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 sebagai sumber data utama. Laporan ini menyajikan beberapa gambaran umum kependudukan yang mencakup keterangan pokok penduduk, keluarga berencana dan usia perkawinan, disabilitas, fasilitas perumahan serta perubahan iklim di DKI Jakarta. Pada bab ini disajikan latar belakang, sumber data, tujuan dan sistematika laporan. 1.1. Latar Belakang Pembangunan Nasional pada hakekatnya pembangunan manusia dan seluruh
.id /
masyarakat Indonesia, mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan UUD 1945. Penduduk sebagai modal dasar dan
s. go
faktor dominan pembangunan, sehingga penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan kependudukan memiliki peran yang sangat
.b p
penting dalam pencapaian tujuan pembangunan, terutama dalam upaya peningkatan
ta
kualitas sumber daya manusia. Pembangunan kependudukan bertujuan untuk melakukan
ar
pengendalian kuantitas penduduk sebagai salah satu aspek penting yang harus dilakukan
//j ak
guna menjamin tercapainya pertumbuhan penduduk yang seimbang. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan cepat, kualitas rendah, persebaran tidak merata akan
tp :
menghambat tercapainya kondisi ideal antara kualitas, kuantitas, mobilitas, dan daya
ht
dukung lingkungan. Pembangunan harus dilakukan oleh penduduk dan untuk penduduk, oleh karena itu perencanaan pembangunan harus didasarkan pada kondisi penduduk. Profil kependudukan merupakan suatu gambaran tentang kependudukan dan dinamikanya yang mencakup berbagai aspek atau komponen demografi seperti kelahiran, kematian, migrasi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dalam realitas sosial, profil penduduk selalu mengalami perubahan sejalan dengan perjalanan waktu. Istilah penduduk stabil atau penduduk stasioner hanya ada pada taraf hipotetis yang digunakan sekedar untuk keperluan metode pengukuran besaran-besaran demografis. Perubahan profil terjadi karena perubahan komponen penduduk yaitu kelahiran kematian, dan migrasi. Sifat profil penduduk yang senantiasa berubah, sebagaimana dinyatakan sebelumnya menyebabkan suatu analisis profil kependudukan menjadi penting. Selain itu, perubahan profil penduduk pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi sosial-ekonomi, yang hampir selalu memiliki konsekuensi sosial-ekonomi yang luas. Luasnya cakupan masalah kependudukan Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
2
menyebabkan pembangunan kependudukan harus dilaksanakan secara lintas bidang dan lintas sektor, oleh karena itu dibutuhkan suatu pemahaman mengenai gambaran tentang kependudukan dan dinamikanya melalui analisis profil kependudukan. Analisis profil kependudukan diharapkan dapat bermanfaat dalam pengambilan kebijakan dan bahan evaluasi di bidang kependudukan.
1.2. Tujuan Secara umum laporan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran profil penduduk DKI Jakarta, perkembangannya antar waktu serta variasinya antar kabupaten/kota, jenis kelamin, daerah tempat tinggal atau strata sosial-demografi lainnya. Secara khusus laporan
.id /
ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi atau gambaran tentang: Jumlah, dan persebaran penduduk DKI Jakarta antar kabupaten/kota. Keluarga Berencana dan Usia Perkawinan.
s. go
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan umur.
.b p
Kesulitas fungsional atau disabilitas penduduk.
ta
Kualitas penduduk dilihat dari tingkat pendidikan.
ar
Fasilitas perumahan
ht
1.3. Sumber Data
tp :
//j ak
Pengetahuan dan adaptasi terhadap perubahan iklim
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sumber data utama dalam laporan ini adalah data hasil SUPAS2015. Kegiatan SUPAS dirancang untuk mengisi kekosongan data kependudukan antar Sensus Penduduk (SP) yang dilakukan hanya sekali dalam sepuluh tahun, sehingga dapat dikatakan data SUPAS merupakan sumber data kependudukan yang terpenting setelah data SP. Setelah tahapan pengumpulan dan pengolahan data SUPAS2015 dilaksanakan, dilanjutkan dengan kegiatan diseminasi data melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Laporan ini merupakan salah satu bentuk diseminasi data SUPAS2015 sejalan dengan upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber data tersebut untuk keperluan perencanaan dan evaluasi program pembangunan yang relevan.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
3
SUPAS2015 merupakan suatu kegiatan survei yang menggunakan sampel dengan jumlah yang cukup besar sehingga dapat dilakukan estimasi sampai dengan level kabupaten/kota. Namun, betapapun besar sampelnya, selalu mengandung risiko kesalahan sampel (sampling errors). Sejauh menyangkut kasus-kasus yang bersifat umum atau
heterogen dalam suatu populasi seperti penduduk, pendidikan, atau perumahan, masalah kesalahan sampel tidak perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, bagi kasus-kasus yang bersifat langka, homogen atau cenderung mengelompok pada satu strata tertentu seperti agama atau migrasi, maka masalah kesalahan sampel dapat menjadi hal yang serius. Selain SUPAS2015, sumber data lainnya yang digunakan adalah data SUPAS2005, SP2010 dan sensus atau survei lainnya. Penggunaan sumber data tersebut memungkinkan melihat
.id /
perkembangan keadaan antar waktu.
s. go
1.4. Sistematika Laporan
Laporan ini disusun menurut sistematika sebagai berikut:
.b p
Pada Bab 2 disajikan tentang keadaan geografi dan iklim wilayah DKI Jakarta. Bab 3
ta
disajikan gambaran umum kependudukan yang mencakup jumlah dan laju pertumbuhan
ar
penduduk, persebaran dan kepadatan penduduk, serta komposisi penduduk DKI Jakarta.
//j ak
Pada Bab 4 dibahas tentang keluarga berencana dan usia perkawinan. Bab 5 dibahas mengenai kesulitan fungsional. Pada Bab 6 dibahas mengenai profil pendidikan. Bab 7 dan 8
tp :
dibahas masing-masing mengenai fasilitas perumahan dan perubahan iklim. Dan terakhir
ht
pada Bab 9 disajikan penutup.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
4
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
2. KEADAAN GEOGRAFI DAN IKLIM
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
5
Keadaan Geografi dan Iklim Secara astronomis, DKI Jakarta terletak antara 6o 12’ Lintang Selatan dan 106o 48’ Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografis, DKI Jakarta memiliki batas-batas: - Sebelah Selatan : Kota Depok - Sebelah Timur
: Provinsi Jawa Barat
- Sebelah Barat
: Provinsi Banten
- Sebelah Utara
: Laut Jawa
Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 7 meter di
.id /
atas permukaan laut. DKI Jakarta merupakan wilayah dengan jumlah waduk/situ yang relatif banyak dengan total luas sebesar 221,8 Ha. Sungai atau kanal yang melewati wilayah DKI
s. go
Jakarta sebanyak 17 sungai.
Rata-rata suhu udara/temperatur wilayah DKI Jakarta pada tahun 2015 tertinggi di
.b p
bulan Oktober sebesar 30,21OC dan terendah di bulan Februari sebesar 27,76 OC, dengan
ta
kelembaban udara sebesar 55 sampai dengan 97 persen. Sementara curah hujan tertinggi di
ar
bulan Februari sebesar 639 mm2 dan terendah di bulan Juli sebesar 1 mm2. Banyaknya hari
tp :
September dan Oktober.
//j ak
hujan tertinggi di bulan Januari sebesar 23 hari dan terendah sebesar 1 hari pada bulan Juli,
ht
Tabel 2.1 Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi menurut Kabupaten/Kota, 2015 Kabupaten/Kota
Jumlah
Luas (Km2) Kecamatan
Kelurahan
(3)
(4)
8,70
2
6
2. Jakarta Selatan
141,27
10
65
3. Jakarta Timur
188,03
10
65
4. Jakarta Pusat
48,13
8
44
5. Jakarta Barat
129,54
8
56
6. Jakarta Utara
146,66
6
31
DKI Jakarta
662,33
44
267
(1)
(2)
1. Kepulauan Seribu
Sumber: Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2007
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
6
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
3. GAMBARAN UMUM KEPENDUDUKAN
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
7
3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jakarta sebagai pusat ekonomi, sosial, budaya, hukum pemerintahan dan politik. Selain itu, Jakarta menjadi pusat segala peradaban yang terjadi di Indonesia. Semuanya ada di Jakarta, sehingga Jakarta menjadi daya tarik yang begitu besar bagi masyarakat di luar kota Jakarta. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, pendidikan, dan berbagai fasilitas lengkap lain yang lebih mudah diakses di Jakarta, menjadi magnet yang kuat bagi masyarakat di luar kota Jakarta untuk datang ke Jakarta. Jumlah penduduk DKI Jakarta menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun, namun dilihat dari laju pertumbuhan penduduk selama beberapa kurun waktu sejak tahun 2000 hingga 2015, cenderung mengalami penurunan. Gambar 3.1 menunjukkan jumlah penduduk yang terus meningkat dan Gambar 3.2 menunjukkan laju pertumbuhan
.id /
penduduk yang semakin menurun.
s. go
Selama kurun waktu 2000-2010, laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta sekitar 1,45 persen per tahun, kurun waktu 2005-2015 sekitar 1,40 persen per tahun dan pada
.b p
kurun waktu 2010-2015, laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,04 persen per tahun.
sensus
penduduk
terakhir
//j ak
(SP2000 dan SP2010) menunjukkan
ta
dua
Gambar 3.1 Jumlah Penduduk DKI Jakarta, 2000-2015 (Jutaan)
ar
Hasil pencacahan lengkap
bahwa selama kurun waktu 2000-
12
2010,
Jakarta
10
bertambah dari sekitar 8,35 juta
8
jiwa
jiwa
6
(bertambah sekitar 1,29 juta jiwa),
4
suatu pertumbuhan dengan laju
2
sekitar 1,45 persen per tahun.
0
menjadi
tp :
DKI
ht
penduduk
9,64
juta
SP2000
Selama kurun waktu 2010-2015 (SP2010
dan
SUPAS2015),
laju
8,35
8,84
SUPAS2005
9,64
SP2010
10,15
SUPAS2015
Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS 2015
pertumbuhan penduduk DKI Jakarta turun menjadi sekitar 1,11 persen tahun, dimana jumlah penduduk pada tahun 2015 menjadi sekitar 10,15 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program kebijakan kependudukan dalam hal menekan jumlah penduduk di DKI Jakarta cukup baik dan dapat dikatakan berhasil. Selain itu, kebijakan pemerintah untuk melakukan pengembangan pusat pertumbuhan baru di daerah penyangga Jakarta, seperti pengembangan wilayah Bodetabek yang mulai gencar sejak era 90-an, pertumbuhan Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
8
Gambar 3.2 Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 2000-2010, 20052015 dan 2010-2015 (Jutaan)
pusat-pusat perekonomian di sekitar Jakarta,
dan
berdampak
1,60
sebagainya,
dalam
juga
menekan
laju
pertumbuhan jumlah penduduk DKI
1,40 1,45
1,20
Jakarta.
1,40
1,00
Laju pertumbuhan penduduk
1,11
0,80
menurut
0,60
wilayah
selama
0,40
kurun
Kepulauan
0,00 2000-2010
2005-2015
2010-2015
DKI
waktu
menunjukkan
0,20
di
bahwa
Seribu
Jakarta
2010-2015 Kabupaten
mengalami
laju
pertumbuhan tertinggi yang mencapai sekitar
Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS 2015
1,71
persen
per
tahun,
s. go
pula pola yang sama terjadi pada kurun waktu 2005-2015.
.id /
sementara yang terendah di Kota Jakarta Pusat sekitar 0,41 persen per tahun. Demikian
ta
.b p
Tabel 3.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
(2)
2005
//j ak
1. Kepulauan Seribu
2000
(3)
-
2010
2015
(4)
(5)
18,64
21,41
23,31
tp :
(1)
ar
Jumlah Penduduk (000 orang) Kabupaten/Kota
Laju Pertumbuhan (%) 2000200520102010 2015 2015 (6)
(7)
(8)
-
2,26
1,71
1.784,04
2.001,35
2.071,63
2.183,90
1,51
0,88
1,06
3. Jakarta Timur
2.347,92
2.391,17
2.705,82
2.826,66
1,43
1,69
0,88
874,60
889,45
895,37
913,87
0,24
0,27
0,41
5. Jakarta Barat
1.904,19
2.093,01
2.293,00
2.460,78
1,88
1,63
1,42
6. Jakarta Utara
1.436,34
1.445,62
1.653,18
1.745,82
1,42
1,90
1,10
8.347,08
8.839,25
9.640,41
10.154,34
1,45
1,40
1,11
4. Jakarta Pusat
DKI Jakarta
ht
2. Jakarta Selatan
Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
9
3.2. Persebaran dan Kepadatan Penduduk Penduduk DKI Jakarta tersebar di enam wilayah kabupaten/kota. Pada tahun 2015, lebih dari seperempat penduduk DKI Jakarta bertempat tinggal di Kota Jakarta Timur (2,83 juta jiwa atau 27,84 persen), kemudian diikuti Kota Jakarta Barat (2,46 juta jiwa atau 24,23 persen). Di antara lima wilayah kota di DKI Jakarta, jumlah penduduk di Kota Jakarta Pusat merupakan yang terkecil (913,87 ribu jiwa atau 9 persen). Rendahnya jumlah penduduk di Kota Jakarta Pusat disebabkan karena sebagian besar lahan permukiman di wilayah Jakarta Pusat telah beralih fungsi menjadi pusat kegiatan ekonomi/bisnis dan pemerintahan sejak dua dasawarsa terakhir. Sementara Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit di antara enam wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta, yaitu sekitar 23 ribu jiwa atau 0,23 persen dari total penduduk DKI Jakarta (Tabel
.id /
3.2).
s. go
Tabel 3.2 Persebaran Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
(2)
(3)
-
6. Jakarta Utara DKI Jakarta
2015 (5)
(6)
0,23
1,31
22,64
21,49
21,51
21,33
28,13
27,05
28,07
27,84
28,39
10,48
10,06
9,29
9,00
7,27
22,81
23,68
23,79
24,23
19,56
17,21
16,35
17,15
17,19
22,14
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
21,37
tp : ht
5. Jakarta Barat
(4)
Persentase Luas Wilayah
0,22
//j ak
2. Jakarta Selatan
4. Jakarta Pusat
0,21
ar
1. Kepulauan Seribu
.b p
2000 *)
(1)
3. Jakarta Timur
Persentase Penduduk 2005 2010
ta
Kabupaten/Kota
Keterangan : *) Tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Seribu belum terbentuk, masih termasuk salah satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara. Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
Persentase jumlah penduduk yang tersebar di enam wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta tidak menunjukkan perubahan pola yang signifikan jika dibandingkan antara tahun 2005, 2010 dan 2015 (hasil SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS2015). Jika diurutkan dari yang tertinggi sampai dengan terendah, Kota Jakarta Timur menempati urutan pertama, diikuti Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat dan terakhir Kabupaten Kepulauan Seribu.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
10
Gambar 3.3 Persebaran Penduduk DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota, 2005, 2010 dan 2015
2005
2015
2010 0,21 16,35
0,23
0,22 17,15
22,64
23,68
17,19
21,49
23,79 10,06
24,23
27,05 9,29
21,51
27,84
28,07 9,00
Jakarta Selatan
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Utara
.id /
Kepulauan Seribu
s. go
Sumber: SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS 2015
Perbandingan antara persebaran penduduk dan persentase luas wilayah masing-
.b p
masing kabupaten/kota memperlihatkan bahwa Kota Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Barat
ta
yang luasnya mencakup seperempat luas total DKI Jakarta, dihuni oleh sepertiga penduduk
ar
DKI Jakarta, sehingga kepadatannya melebihi wilayah kabupaten/kota lainnya. Sementara di
//j ak
Kabupaten Kepulauan Seribu, dengan luas mencakup 1,3 persen dari luas DKI Jakarta, hanya dihuni oleh 0,23 persen penduduk DKI Jakarta, sehingga tingkat kepadatannya paling
tp :
rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
ht
Berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk, kepadatan penduduk DKI Jakarta setiap tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 15,3 ribu jiwa/km2, kepadatan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan kepadatan penduduk di provinsi lain di Indonesia. Selama kurun waktu 20052015, terjadi peningkatan kepadatan jumlah penduduk sekitar hampir 2 ribu jiwa per Km2. Peningkatan terbesar terjadi di Kota Jakarta Barat yang hampir mencapai sekitar 3 ribu jiwa per Km2, diikuti Kota Jakarta Timur dan Kota Jakarta Utara. Tiga wilayah inilah yang merupakan penyumbang terbesar kepadatan penduduk di DKI Jakarta. Pada periode 20102015, Kota Jakarta Barat masih merupakan penyumbang terbesar kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai hampir sekitar 1300 jiwa per Km2, sementara peningkatan kepadatan penduduk DKI Jakarta secara total hanya sekitar kurang dari 800 jiwa per Km2 (Tabel 3.3).
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
11
Tabel 3.3 Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010, dan 2015
Kabupaten/Kota
Luas Wilayah (Km2)
(1)
(2)
1. Kepulauan Seribu
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 2005 2010 2015
2000 *) (3)
(4)
(5)
(6)
8,70
-
2.143
2.461
2.679
2. Jakarta Selatan
141,27
12.629
14.167
14.664
15.459
3. Jakarta Timur
188,03
12.487
12.717
14.390
15.033
4. Jakarta Pusat
48,13
18.172
18.480
18.603
18.987
5. Jakarta Barat
129,54
14.700
16.157
17.701
18.996
6. Jakarta Utara
146,66
9.794
9.857
11.272
11.904
662,33
12.603
13.346
14.555
15.331
DKI Jakarta
s. go
.id /
Keterangan : *) Tahun 2010, Kab. Kepulauan Seribu belum ada (masih termasuk Jakarta Utara) Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
.b p
Gambar 3.4 Kepadatan Penduduk DKI Jakarta, 2000, 2005, 2010 dan 2015 2 (Ribuan Jiwa per Km )
ta
18,00
14,00 12,00
6,00
15,33
13,35
tp :
8,00
14,56
ht
10,00
12,60
//j ak
ar
16,00
4,00 2,00 0,00 SP2000
SUPAS2005
SP2010
SUPAS2015
Sumber: SP2000, SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS 2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
12
3.3. Komposisi Penduduk a. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin suatu wilayah dapat diketahui dengan gambar piramida penduduk. Piramida penduduk adalah grafik yang menyajikan data penduduk berdasarkan umur, jenis kelamin dan daerah suatu penduduk. Piramida penduduk disajikan dalam dua buah diagram batang, pada satu sisi (sebelah kiri) menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dan pada sisi lainnya (sebelah kanan) menunjukkan jumlah penduduk perempuan dalam kelompok interval usia peduduk lima tahunan.
75 + 70 - 74
75 +
Laki-laki
2005
70 - 74 Perempuan
65 - 69
60 - 64
60 - 64
55 - 59
55 - 59
50 - 54
50 - 54
45 - 49
Laki-laki Perempuan
.b p 45 - 49
40 - 44
40 - 44
35 - 39
ta
35 - 39
30 - 34
ar
30 - 34
25 - 29
//j ak
20 - 24 15 - 19 10 - 14
25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5- 9 0- 4
ht
tp :
5- 9 0- 4
2010
s. go
65 - 69
.id /
Gambar 3.5 Piramida Penduduk DKI Jakarta, 2005, 2010 dan 2015
75 +
Laki-laki
70 - 74 65 - 69
Perempuan
2015
60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5- 9 0- 4
Sumber: SUPAS2005, SP2010 dan SUPAS 2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
13
Berdasarkan Gambar 3.5, terlihat bahwa piramida penduduk DKI Jakarta dari tahun 2005-2015 telah mengalami perubahan struktur umur. Seiring dengan bertambahnya waktu, bentuk piramida semakin cembung di tengah yang berarti proporsi penduduk dewasa semakin meningkat dan bagian atas piramida semakin melebar yang menunjukkan semakin banyaknya proporsi penduduk lanjut usia. Keadaan ini menggambarkan bahwa angka kematian semakin menurun. Perubahan struktur umur penduduk sangat terkait dengan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi penduduk. Bentuk piramida yang melebar di bagian bawah menunjukkan tingginya tingkat kelahiran, sedangkan bagian atas yang lebih runcing menunjukkan tingginya tingkat kematian. Bentuk piramida yang semakin cembung di bagian tengah dan melebar di bagian atas menunjukkan tingkat kelahiran dan tingkat kematian
.id /
yang semakin menurun. Rasio jenis kelamin menunjukkan perbandingan jumlah laki-laki dengan perempuan
s. go
bervariasi menurut kelompok umur. Rasio jenis kelamin juga dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian dan migrasi antara penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan.
.b p
Adanya ketidakseimbangan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat mengakibatkan
ta
rendahnya fertilitas dan rendahnya angka pertumbuhan penduduk.
(1)
Laki-Laki (000 Orang) 2005 2010 2015 (2)
tp :
Kelompok Umur
//j ak
ar
Tabel 3.4 Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di DKI Jakarta, 2005, 2010, dan 2015
(3)
(4)
0-4 364,06 437,31 458,48 5-9 366,01 401,51 444,62 10 -14 353,06 351,19 381,79 15 - 19 358,99 397,30 336,35 20 - 24 485,93 511,38 470,49 25 - 29 505,95 561,38 504,35 30 - 34 451,38 518,98 519,93 35 - 39 416,89 436,85 482,54 40 - 44 307,29 359,22 391,17 45 - 49 244,64 285,54 335,65 50 - 54 201,93 220,54 249,12 55 - 59 132,02 158,94 214,99 60 - 64 88,45 103,75 141,52 65 - 69 59,52 64,81 84,21 70 - 74 33,55 38,48 51,03 75 + 21,09 31,79 36,06 Total 4.390,75 4.878,98 5.102,29 Sumber: SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
ht
Perempuan (000 Orang) 2005 2010 2015 (5)
(6)
(7)
350,51 350,14 375,80 426,29 549,92 536,79 445,72 356,71 307,98 230,40 186,63 130,22 77,44 57,52 41,59 24,84 4.448,50
411,11 379,77 352,01 427,69 515,25 538,53 485,97 403,87 338,18 280,20 218,61 153,97 102,15 68,53 43,65 41,94 4.761,43
437,97 424,20 363,73 361,95 507,30 500,64 493,12 460,99 350,92 347,32 271,14 200,25 144,24 83,73 58,86 45,71 5.052,05
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
Rasio Jenis Kelamin 2005 2010 2015 (8)
104 105 94 84 88 94 101 117 100 106 108 101 114 103 81 85 99
(9)
106 106 100 93 99 104 107 108 106 102 101 103 102 95 88 76 102
(10)
105 105 105 93 93 101 105 105 111 97 92 107 98 101 87 79 101
14
Tabel 3.4 memperlihatkan bahwa komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur memiliki pola yang sama selama periode 2005-2015, yakni mayoritas berada pada kelompok umur produktif (15-64 tahun), penduduk usia anak dan lansia memiliki proporsi yang sangat kecil. Pada laki-laki, proporsi penduduk usia produktif relatif lebih banyak dibandingkan proporsi penduduk usia produktif pada perempuan. Begitu juga pada kelompok usia anak (kurang dari 15 tahun) proporsi penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Akan tetapi, pada kelompok lansia, perempuan mempunyai proporsi yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini nampaknya berkaitan dengan lebih tingginya angka harapan hidup perempuan dibandingkan dengan angka harapan hidup lakilaki. Seacara total, sejak lima tahun terakhir, penduduk laki-laki lebih banyak
.id /
dibandingkan perempuan. Pada tahun 2010, rasio jenis kelamin sebesar 102 yang berarti bahwa dari 100 perempuan terdapat 102 laki-laki. Demikian pula pada tahun 2015, rasio
s. go
jenis kelamin masih di atas 100, yaitu sebesar 101, yang berarti dari 100 perempuan, terdapat 101 laki-laki.
.b p
Selain dengan gambar piramida penduduk, komposisi penduduk juga dapat dilihat
ta
berdasarkan usia produktif dan non produktif. Pengelompokan umur 0-14 tahun (usia non
ar
produktif), 15-64 tahun (usia produktif) dan 65 tahun ke atas (usia non produktif)
//j ak
memberikan gambaran tentang rasio beban tanggungan (dependency ratio) yang dapat digunakan untuk melihat angka ketergantungan suatu wilayah. Rasio beban tanggungan
tp :
adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara penduduk usia non produktif dengan
ht
penduduk usia produktif.
Apabila penduduk usia muda (0-14 tahun) mempunyai pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, maka akan menambah beban tanggungan penduduk usia produktif. Begitu pula dengan penduduk usia 65 tahun ke atas, semakin tinggi persentase penduduk usia 65 tahun ke atas, semakin tinggi angka ketergantungan (dependency ratio). Tabel 3.5 memperlihatkan sebagian besar penduduk DKI Jakarta pada tahun 2015 berada pada kelompok usia produktif (15-64 tahun), yaitu sebesar 71,73 persen dari total penduduk. Sementara proporsi penduduk yang berusia di bawah 15 tahun sebesar 24,73 persen dan proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) hanya sebesar 3,54 persen. Jika dilihat menurut wilayah kabupaten/kota, pola atau komposisi tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tingkat provinsi, yaitu sebagian besar berada pada kelompok usia produktif. Demikian pula terjadi pola yang sama pada tahun 2005 dan 2010.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
15
Tabel 3.5 Persentase Penduduk menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Umur di DKI Jakarta, 2005, 2010, dan 2015
Kabupaten/Kota
Usia Muda (0-14 tahun) 2005 2010 2015
Usia Produktif (15-64 tahun) 2005 2010 2015
Usia Lanjut (65 tahun ke atas) 2005 2010 2015
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
1. Kepulauan Seribu
30,23
32,28
31,36
68,36
65,00
65,66
1,41
2,72
2,98
2. Jakarta Selatan
23,23
23,88
24,32
73,90
72,83
71,85
2,87
3,28
3,83
3. Jakarta Timur
24,44
25,28
25,55
73,05
71,90
71,11
2,51
2,82
3,34
4. Jakarta Pusat
22,67
22,79
23,08
73,09
73,01
72,09
4,25
4,20
4,83
5. Jakarta Barat
25,83
23,76
24,68
71,65
73,50
72,07
2,52
2,74
3,25
6. Jakarta Utara
25,06
24,10
24,73
72,87
73,26
72,01
2,07
2,65
3,26
DKI Jakarta
24,43
24,20
24,73
72,87
72,80
71,73
2,69
3,00
3,54
.id /
(1)
s. go
Sumber: SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
Pada tahun 2015, angka ketergantungan (dependency ratio) di DKI Jakarta adalah
.b p
sebesar 39,41 persen. Artinya, dari 100 orang usia produktif mempunyai tanggungan sekitar 39-40 orang usia tidak produktif (Gambar 3.6). Menurut kabupaten/kota, angka
ar
terendah Jakarta Pusat sebesar 38,71
ta
ketergantungan yang paling tinggi dimiliki Kepulauan Seribu sebesar 52,31 persen dan yang
usia
tidak
produktif
//j ak
persen. Rendahnya proporsi penduduk
dibandingkan
Gambar 3.6 Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota, 2015
tp :
dengan penduduk usia produktif akan
ht
menghasilkan Bonus Demografi.
52,31
Kepulauan Seribu 40,63
merupakan
Jakarta Timur
keberhasilan
DKI Jakarta
39,41
dalam menekan tingkat kelahiran dan
Jakarta Selatan
39,18
lain
Jakarta Utara
38,86
ekonomis
Jakarta Barat
38,76
Jakarta Pusat
38,71
Bonus semacam kematian,
hadiah atau
diperolehnya yang
demografi atas
dengan
keuntungan
disebabkan
ketergantungan.
kata
penurunan
angka
Berdasarkan
data
yang diperoleh, DKI Jakarta sudah
0,00
20,00
40,00
60,00
Sumber: SUPAS 2015
menikmati bonus demografi sejak tahun 1980 an. Jika dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi memiliki potensi yang besar untuk melejitkan perekonomian DKI Jakarta. Namun sebaliknya, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka akan menambah beban tanggungan perekonomian DKI Jakarta. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
16
Bagi pemerintah, usaha yang bisa dilakukan dalam menyikapi bonus demografi adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk menampung besarnya jumlah penduduk usia produktif. Cara lainnya bisa dengan mengarahkan penduduk untuk meningkatkan kualitas melalui pendidikan, kesehatan dan keterampilan yang menunjang kehidupannya. b. Status Perkawinan Perkawinan
bukan
merupakan
komponen
yang
langsung
mempengaruhi
pertumbuhan penduduk akan tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap fertilitas, karena dengan adanya perkawinan dapat meningkatkan angka kelahiran. Sebaliknya perceraian merupakan penghambat tingkat fertilitas karena dapat menurunkan angka kelahiran.
.id /
Jika dikaitkan dengan umur nampak bahwa proporsi penduduk yang berstatus belum
s. go
kawin pada kelompok umur 10-29 tahun cukup tinggi. Banyaknya proporsi penduduk muda yang belum kawin diduga disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada pada
.b p
umur sekolah ditambah dengan mereka yang menunda perkawinan karena baru mulai
ta
masuk pasar kerja (Tabel 3.6).
ar
Tabel 3.6
(1)
(2)
Cerai Hidup
Cerai Mati
2015
2005
2015
2005
2015
2005
2015
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
ht
2005
Kawin
tp :
Belum Kawin
Kelompok Umur
//j ak
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
10 -14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34
99,85 97,56 80,61 47,37 23,10
100,00 97,19 79,92 43,53 19,80
0,12 2,44 18,94 51,98 74,95
2,69 19,52 54,55 77,40
0,02 0,41 0,50 1,49
0,12 0,51 1,77 2,28
0,04 0,15 0,46
0,05 0,16 0,52
35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64
11,62 4,84 3,14 2,34 1,00 1,00
10,83 6,49 4,21 2,33 1,85 1,75
85,18 89,08 86,27 85,41 80,56 74,63
85,60 87,53 86,38 82,90 80,13 72,11
2,14 2,21 3,05 2,51 1,94 1,91
2,28 3,11 3,84 3,84 2,87 2,69
1,06 3,86 7,54 9,74 16,50 22,46
1,29 2,87 5,57 10,93 15,15 23,46
65 - 69 70 - 74 75+
1,63 1,14 1,78
1,14 1,42 1,35
65,49 50,26 43,21
62,24 53,15 38,66
1,95 2,82 3,47
1,91 1,65 1,19
30,93 45,78 51,54
34,71 43,79 58,80
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
17
Penduduk
yang
statusnya
kawin
terbanyak
pada
kelompok
umur
30-54
tahun. Penduduk pada usia ini sudah menamatkan pendidikannya dan mulai mantap secara finansial sehingga memutuskan untuk melakukan pernikahan. Menarik untuk diperhatikan adalah mereka yang berstatus cerai baik cerai hidup maupun cerai mati. Proporsi penduduk yang berstatus cerai hidup lebih banyak berada pada umur 35-59 tahun, sementara penduduk yang berstatus cerai mati lebih banyak berada pada kelompok umur di atasnya yakni 55 tahun ke atas. Penduduk berumur muda yang cerai hidup biasanya segera melakukan perkawinan kembali sehingga proporsi mereka lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang berstatus cerai mati. Penduduk DKI Jakarta yang berumur 10 tahun ke atas dilihat dari status perkawinannya, didominasi oleh penduduk dengan status kawin baik pada tahun 2005
.id /
maupun 2015 (Tabel 3.7). Pada tahun 2005, penduduk berstatus kawin mencapai 52 persen, sementara pada tahun 2015 hampir mencapai 57 persen. Penduduk berstatus belum
s. go
kawin di DKI Jakarta berdasarkan data yang ada ternyata cukup besar persentasenya, namun jika dibandingkan antara tahun 2005 dan 2015, terjadi penurunan persentase yang
.b p
cukup besar. Pada tahun 2005, persentase penduduk berstatus belum kawin mencapai 43
ta
persen, sedangkan tahun 2015 turun menjadi sekitar 36 persen. Persentase penduduk yang
ar
berstatus cerai mati di DKI Jakarta ternyata lebih besar dibanding cerai hidup. Pada tahun
//j ak
2015, penduduk dengan status cerai mati mencapai lebih dari 5 persen, sementara cerai kabupaten/kota.
tp :
hidup hampir mencapai 2 persen. Fenomena yang relatif sama ditemui di seluruh
ht
Tabel 3.7 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas menurut Kabupaten/Kota dan Status Perkawinan di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 Kelompok Umur
Belum Kawin
Kawin
Cerai Hidup
Cerai Mati
2005
2015
2005
2015
2005
2015
2005
2015
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Kepulauan Seribu
39,43
31,51
57,13
62,24
0,17
1,48
3,27
4,76
2. Jakarta Selatan
42,81
36,49
51,64
57,10
1,54
1,50
4,00
4,91
3. Jakarta Timur
42,32
35,97
52,97
57,29
1,06
1,33
3,64
5,41
4. Jakarta Pusat
44,11
37,77
48,79
53,52
1,71
1,70
5,39
7,01
5. Jakarta Barat
42,33
36,16
52,91
57,07
1,04
1,68
3,72
5,09
6. Jakarta Utara
44,35
36,54
51,21
55,95
1,10
2,15
3,33
5,37
DKI Jakarta
42,95
36,38
51,95
56,63
1,24
1,62
3,87
5,36
(1)
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
18
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
4. KELUARGA BERENCANA DAN USIA PERKAWINAN
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
19
Keluarga Berencana dan Usia Perkawinan Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk di suatu wilayah adalah kelahiran (fertilitas), selain faktor kematian (mortalitas) dan perpindahan (migration). Kelahiran sebagai faktor yang mempengaruhi pertambahan jumlah penduduk, berpengaruh secara langsung dalam menambah/mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Apabila jumlah kelahiran terus bertambah akan mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk terus meningkat. Hal ini akan membawa pada timbulnya permasalahan kependudukan, mengingat daya dukung lahan tidakmengalami pertambahan. Untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, pemerintah telah menggulirkan kebijakan Keluarga Berencana (KB), yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu menunda perkawinan pada usia muda, merencanakan jumlah kelahiran dan merencanakan jarak Ulasan di bawah ini akan membahas
.id /
kelahiran yang satu dengan kelahiran berikutnya.
s. go
mengenai gambaran keluarga berencana di DKI Jakarta selama kurun waktu 2005-2015.
.b p
4.1. Rasio Anak Ibu (Child Woman Ratio/ CWR)
ta
Rasio Anak Ibu (Child Woman Ratio/CWR) merupakan indikator fertilitas yang cukup
ar
sederhana. Semakin rendah CWR mengindikasikan semakin rendah tingkat fertilitas di suatu
//j ak
wilayah. Pada tahun 1980, di DKI Jakarta terdapat 526 anak balita (0-4 tahun) pada setiap 1.000 perempuan usia subur. Sepuluh tahun kemudian, rasio ini turun secara drastis 331
anak
per
1.000
tp :
menjadi
perempuan
usia
reproduktif
pada
tahun
1990.
ht
Kemudian pada tahun 2000, CWR turun menjadi 257, dan turun lagi menjadi 250 tahun 2005. Namun demikian pada tahun 2015 CWR meningkat jadi sekitar 297 anak per 1.000 perempuan usia subur. Dengan mengamati perbandingan antar wilayah kabupaten/kota, tampak bahwa CWR di Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 420,626. Artinya dari 1 000 perempuan usia subur terdapat sekitar 421 balita. CWR terendah terdapat di Kota Jakarta Pusat, yakni sebesar 281,61. Tampaknya kondisi wilayah Jakarta Pusat dengan posisinya sebagai pusat pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, mengakibatkan alih fungsi lahan dari permukiman menjadi pusat-pusat perkantoran. Hal ini mengakibatkan semakin berkurangnya persentase penduduk DKI Jakarta yang tinggal di wilayah ini, terutama penduduk usia muda. Kondisi ini berdampak pada pengurangan jumlah kelahiran dan jumlah balita yang terdapat di wilayah ini.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
20
Tabel 4.1 Rasio Anak Ibu (Child Woman Ratio/CWR) di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 CWR (Per 1000 Perempuan) 2005 2015
Wilayah (1)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
(2)
(3)
291,713 256,374 262,920 240,401 254,574 222,427
420,626 288,426 299,834 281,607 306,865 293,353
250,390
296,617
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Kecenderungan meningkatnya rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan
.id /
usia subur selama masa reproduksinya pada kurun 2005-2015, diduga ada pengaruhnya
s. go
dengan kebijakan pemerintahan pada era otonomi daerah, yakni pada tahun 2000. Program Keluarga Berencana (KB) sejak era otonom daerah bukan menjadi urusan wajib
.b p
pemerintah provinsi sebagaimana tertuang dalam perpres no. 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah. Hal ini berdampak pada kurang maksimalnya sosialisasi dan monitoring
ta
evaluasi pada pelaksanaan program KB di masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pada
ar
era 2010 an, pemerintah mulai menggiatkan kembali serta menyebarluaskan program KB
//j ak
dengan memperkenalkan istilah Generasi Berencana (Genre). Program Genre ditujukan untuk merencanakan perkawinan dengan matang dan mengatur kelahiran dengan
ht
tp :
menggunakan alat/cara kontrasepsi. 4.2. Penggunaan Alat/Cara KB
Program Keluarga Berencana secara faktual sangat berpengaruh dalam menurunkan angka kelahiran secara umum. Program KB yang telah dilaksanakan sejak tahun 1970-an telah menunjukkan hasil yang menggembirakan sampai dengan akhir tahun 1990-an. Banyak keluarga yang menerapkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) sepanjang tahun 1970-2000. Dengan memiliki dua anak, keluarga dapat mempersiapkan masa depan dan kesejahteraan keluarganya dengan lebih baik. Masyarakat sempat mengalami kekenduran semangat ber-KB, pada tahun 2010-an pemerintah menggiatkan kembali Program Genre. Sasaran dari program Genre ini adalah, perempuan usia 10-24 tahun (calon ibu), keluarga yang memiliki anak remaja perempuan, pelajar dan mahasiswa.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
21
Dalam upaya menggalakkan kembali program KB, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan pelayanan gratis KB bagi masyarakat tidak mampu, melalui pemberian subsidi penggunaan alat-alat KB yang diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah, seperti Puskesmas, RSK, RSUD dan RSUP, termasuk di Posyandu.
Gambar 4.1 Persentase Pengguna Alat/Cara KB di DKI Jakarta, 2005-2015
Perkembangan akseptor KB (pengguna mengalami penurunan yang cukup signifikan.
80
60
Pada tahun 2005 sebanyak 69,31 persen
50
perempuan usia subur yang menjadi akseptor
40
KB. Persentase ini turun menjadi 53,10 persen 46,32 persen pada tahun 2015. Gambar di atas
0
pengguna alat KB selama periode 2005-2015.
2005
2010
2015
s. go
perkembangan
46,32
20 10
gambaran
53,1
30
pada tahun 2010 dan turun kembali menjadi memberikan
69,31
70
.id /
alat/cara KB) selama kurun waktu 2005-2015
Sumber: SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015
.b p
Apabila diamati menurut kabupaten/kota, tampak bahwa terlihat kecenderungan
ta
penurunan persentase pengguna KB di seluruh wilayah kabupaten/kota selama kurun waktu
ar
2005-2015. Namun agak berbeda dengan Kabupaten Kepulauan Seribu, pada tahun 2010
//j ak
terjadi peningkatan dari 55,43 persen pada tahun 2005 menjadi 74,40 persen pada tahun 2010. Namun kemudian turun kembali pada tahun 2015 menjadi 59,31 persen. Gambaran
tp :
selengkapnya mengenai pengguna KB menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel
ht
4.2.
Tabel 4.2 Persentase Perempuan Usia Subur (10-54 tahun) yang Sedang Menggunakan Alat/Cara KB menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2005-2015 Kabupaten/Kota 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Persentase PUS yang menggunakan Alat/Cara KB 2005 2010 2015
(1)
(2)
(3)
(4)
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
55,43 73,08 67,01 66,07 68,73 70,97 69,31
74,40 53,50 53,10 47,50 55,80 51,20 53,10
59,31 45,41 46,36 41,50 49,54 45,06 46,32
Sumber: SUPAS2005, SP2010, SUPAS2015 Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
22
Jenis alat/cara KB yang digunakan oleh pengguna KB menjadi salah satu determinan keberhasilan dalam menekan angka kelahiran. Pengguna KB modern, yaitu yang menggunakan alalt kontrasepsi mantap (kontap) seperti vasektomi/tubektomi lebih tinggi tingkat keberhasilannya dibandingkan alat KB modern lainnya. Sementara pengguna alat KB modern, lebih tinggi tingkat keberhasilannya dibandingkan pengguna cara kontrasepsi tradisional. Jika diamati dari Tabel 4.3 terlihat bahwa terjadi pergeseran dari pengguna KB tradisional ke alat KB modern. Ini terlihat dari peningkatan proporsi pengguna KB modern dari 97,74 persen pada tahun 2005 menjadi 98,36 persen tahun 2015. Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa alat/cara KB yang banyak digunakan oleh perempuan usia subur di DKI Jakarta pada tahun 2015 adalah suntikan KB, yaitu sebanyak 51,09 persen. Urutan
.id /
berikutnya adalah Pil KB (22,05 persen) dan IUD/spiral (13,75 persen). Alat KB modern yang sifatnya permanen seperti vasektomi dan tubektomi relatif rendah, masing-masing
s. go
sebesar 5,82 persen dan 0,60 persen. Begitu pula dengan alat KB kondom relatif kecil, yakni
.b p
sebesar 2,10 persen.
Dari data tersebut terungkap bahwa peran laki-laki dalam kesertaan KB masih sangat
ta
rendah. Nampaknya ketersediaan alat KB yang dapat digunakan laki-laki mempengaruhi alat
ar
KB yang dipilih oleh pasangan usia subur. Selain itu kesadaran untuk menggunakan KB
tp :
KB vasektomi dan kondom.
//j ak
pada laki-laki juga relatif masih rendah, hal ini tergambar dari rendahnya penggunaan alat
Pengguna cara KB tradisional seperti pantang berkala, senggama terputus, metode
ht
meyusui dan cara KB tradisional lainnya juga relatif kecil. Persentase pengguna cara KB tradisonal kurang dari 2 persen, yakni sebesar 1,64 persen pada tahun 2015. Persentase ini naik sedikit jika dibandingkan pengguna cara KB tradisonal pada tahun 2005 yang sebesar 1,26 persen. Selama kurun waktu 2005-2015 terjadi peningkatan persentase pengguna alat KB kontrasepsi mantap (Kontap) baik pada laki-laki maupun perempuan. Sterelisasi perempuan (tubektomi) naik dari 4,32 persen menjadi 5,82 persen dan sterilisasi pria (vasektomi) naik dari 0,41 persen menjadi 0,60 persen. Sebaliknya pengguna alat KB suntikan mengalami penurunan dari 52,71 persen menjadi 51,09 persen.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
23
Tabel 4.3 Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun Pernah Kawin menurut Penggunaan Alat/Cara KB di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 Persentase Perempuan 10-54 Tahun Pernah Kawin
(1)
2015
(2)
(3)
97.74
98.36
4.32
5.82
0.41 11.68 52.71 1.06 26.92 1.48 0.15 1.26 0.35 0.56 0.20 0.15 100.00
0.60 13.75 51.09 2.62 22.05 2.10 0.33 1.64 0.10 0.79 0.30 0.45 100.00
.b p
s. go
1. Alat/Cara KB Modern Sterilisasi Perempuan (MOW) Sterilisasi Pria (MOP) IUD/AKDR/Spiral Suntikan Susuk KB/Implant Pil Kondom Metode Modern Lainnya 2. Alat/Cara KB Tradisonal MAL/Metode menyusui Pantang berkala Senggama terputus Metode tradisional lainnya Jumlah
2005
.id /
Alat/Cara KB
ar
ta
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
//j ak
Pengguna alat/cara KB menurut kabupaten/kota mengikuti pola umum di DKI Jakarta, dimana terlihat bahwa alat KB yang paling banyak digunakan adalah suntikan.
tp :
Bahkan di Kabupaten Kepulauan Seribu setiap 10 perempuan usia subur 8 di antaranya menggunakan alat KB suntikan. Alat KB modern yang paling sedikit penggunanya adalah
ht
sterilisasi pria (vasektomi) dan kondom. Jenis alat KB yang digunakan oleh perempuan usia subur di Kabupaten Kepulauan Seribu relatif lebih sedikit dibandingkan wilayah lainnya. Hal ini kemungkinan karena ketersediaan alat KB yang relatif terbatas mengingat letak geografis wilayah ini yang berada di kepulauan.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
24
Tabel 4.4 Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun yang Pernah Kawin menurut Alat/Cara KB yang digunakan dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Penggunaan Alat/Cara KB
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
DKI Jakarta
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
98,47
99,52
97,51
98,66
98,36
3,21
5,40
6,86
7,17
5,29
4,87
5,82
77,20 5,21 13,64 -
0,73 17,79 46,60 1,91 24,39 1,68 0,09
0,98 18,20 43,48 3,32 23,09 2,54 -
0,49 19,99 45,51 3,56 18,89 3,85 0,06
0,12 8,09 59,34 1,75 20,19 2,00 0,73
0,63 7,55 58,51 3,24 21,92 1,27 0,68
0,60 13,75 51,09 2,62 22,05 2,10 0,33
0,74 0,74 100,00
1,42 0,08 0,38 0,20 0,76 100,00
1,53 0,48 0,58 0,47 100,00
0,48 0,21 0,23 0,04 100,00
2,49 0,30 1,60 0,19 0,40 100,00
1,34 0,02 0,83 0,19 0,31 100,00
1,64 0,10 0,79 0,30 0,45 100,00
ta
Sumber: SUPAS2015
.id /
98,58
s. go
2. Alat/Cara KB Tradisional Mal/Metode menyusui Pantang berkala Senggama terputus Metode Tradisional Lainnya DKI Jakarta
99,26
.b p
1. Alat/Cara KB Moderen Sterilisasi Perempuan (MOW) Sterilisasi Pria (MOP) IUD/AKDR/Spiral Suntikan Susuk KB/Implant Pil Kondom Metode Moderen lainnya
ar
Dari data SUPAS2015 diperoleh informasi masih cukup banyak perempuan usia subur
//j ak
yang tidak menggunakan KB. Sebagian besar mereka tidak menggunakan KB adalah karena alasan fertilitas, yakni sebanyak 50 persen ke atas. Alasan fertilitas ini bisa disebabkan
tp :
karena PUS tersebut merasa masih kurang jumlah anak yang dilahirkan, atau gangguan
ht
kesuburan (sulit memperoleh keturunan), atau karena keyakinan dalam suku asal mereka, misalnya suku Batak masih terdapat pandangan harus memiliki anak laki-laki, dan alasan fertilitas lainnya. Alasan fertilitas ini, paling banyak ditemui pada kelompok umur muda, 2529 tahun, yaitu sebanyak 73,25 persen, sementara pada kelompok umur 30-34 tahun sebanyak 63,41 persen. Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula persentase PUS yang tidak menggunakan alat/cara KB dengan alasan fertilitas. Sebagai gambaran, perempuan yang berpendidikan SD sebanyak 54,12 persen yang tidak menggunakan KB dengan alasan fertilitas, sementara perempuan yang berpendidikan D1 ke atas sebanyak 64,51 persen.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
25
Tabel. 4.5 Persentase Perempuan Usia 10-54 Tahun yang Pernah Kawin menurut Alasan Utama Tidak Menggunakan Alat/Cara KB dan Latar Belakang di DKI Jakarta, 2015 Alasan Utama Tidak Menggunakan Alat/Cara KB Alasan Fertilitas
Menentang untuk Memakai
Alasan Alat/Cara KB
Lainnya
Total
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
42,99 45,75 50,56
2,60 3,03 3,81
30,03 23,27 19,43
24,38 27,96 26,19
100,00 100,00 100,00
73,25 63,41
0,91 1,94
11,77 15,32
14,07 19,32
100,00 100,00
54,46 54,12 58,23 58,44 64,51
1,57 2,32 1,71 1,99 2,50
14,27 17,48 17,73 17,71 17,19
29,70 26,08 22,33 21,85 15,79
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
(1)
s. go
1. Anak Masih Hidup 2 3 4+ 2. Kelompok Umur 25 - 29 30 - 34 3. Pendidikan Tidak/Belum Tamat SD SD SMP SMA Diploma I ke atas Sumber: SUPAS2015
.id /
Latar Belakang
.b p
Alasan tidak menggunakan alat KB karena “menentang untuk memakai KB” sangat kecil persentasenya, yaitu antara 1 hingga 3 persen. Tampaknya tingkat pendidikan tidak
ta
mempengaruhi alasan ini untuk tidakmenggunakan KB, karena perbedaan menurut tingkat
//j ak
ar
pendidikan tidak signifikan.
Keengganan menggunakan KB karena alasan ketidakcocokan alat KB (bisa karena efek
samping,
masalah
kesehatan,
atau
masalah
lainnya)
cukup
besar
tp :
adanya
ht
persentasenya, yakni sekitar 14-17 persen jika dilihat menurut tingkat pendidikan. 4.3. Usia Perkawinan Pertama Di samping program KB, faktor sosial dan ekonomi masyarakat juga turut berperan di dalam penurunan angka fertilitas. Meningkatnya rata-rata pendidikan masyarakat, terutama pada perempuan berdampak pada semakin besarnya keinginan perempuan yang belum kawin untuk menunda umur perkawinan, karena mereka masih ingin terus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan. Dengan demikian masa reproduksi perempuan menjadi semakin pendek sehingga jumlah anak yang dapat dilahirkan menjadi lebih sedikit. Umur perkawinan pertama dapat menjadi indikator kondisi kesehatan perempuan pada saat hamil dan melahirkan. Semakin muda umur perkawinan pertama semakin besar
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
26
resiko yang dihadapi bagi keselamatan dirinya, maupun keselamatan anak yang dikandung atau saat melahirkan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena belum matangnya alat reproduksi perempuan pada usia muda untuk mereproduksi anak atau belum siap mental dalam membina rumah tangga. Begitu pula sebaliknya, semakin tua umur perkawinan pertama semakin besar resiko yang dapat terjadi pada saat hamil dan melahirkan. Selain itu, umur perkawinan pertama juga akan berpengaruh langsung terhadap masa melahirkan dari seorang perempuan. Semakin muda, umur pada saat perkawinan pertamanya, maka semakin panjang masa reproduksinya, sehingga peluang mendapatkan anak juga lebih besar dibandingkan perempuan yang menikah relatif lebih tua. Selain itu umur perkawinan pertama perempuan pernah kawin yang berpengaruh terhadap tingkat kelahiran tersebut, secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada partisipasi
.id /
masyarakat dalam program keluarga berencana (KB).
22,68 22,95
25,52
27,73 25,89
25,04 25,13
26,39 25,32
26,41 25,48
//j ak
20 15
ht
tp :
10 5
25,02
ar
25
26,61
27,06
ta
30
.b p
s. go
Gambar 4.2 Rata-Rata Umur Perkawinan Pertama Perempuan menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
0 Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
2005
Jakarta Barat
Jakarta Utara
DKI Jakarta
2015
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Jika dilihat dari rata-rata umur perkawinan pertama perempuan, terjadi penurunan dari 26,41 tahun pada tahun 2005 menjadi 25,48 tahun pada tahun 2015. Artinya telah terjadi kecenderungan adanya pergeseran mind set pada perempuan di DKI Jakarta untuk menikah lebih muda dibandingkan dengan perempuan pada generasi dasawarsa sebelumnya. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah, karena penurunan umur
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
27
perkawinan dapat berdampak pada kenaikan angka kelahiran. Implikasinya hal ini akan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk secara umum. Namun demikian yang lebih memerlukan perhatian adalah pernikahan usia dini, yaitu pernikahan di bawah usia 16 tahun. Pernikahan dini juga akan memberikan kemungkinan tingkat paritas yang lebih tinggi. Akibatnya akan terjadi kehamilan dan persalinan yang terlalu sering, hal ini berdampak pada resiko kematian ibu maupun anak yang dilahirkannya. Selain itu banyaknya anak yang dilahirkan akan berdampak pada rendahnya intensitas perhatian yang diberikan pada anak-anaknya. Konsekuensinya, kualitas sumber daya manusia yang dilahirkannya akan semakin rendah dan pada gilirannya akan berpengaruh
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
pada pencapaian hasil pembangunan secara keseluruhan.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
28
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
5. KESULITAN FUNGSIONAL
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
29
Kesulitan Fungsional Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat, dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Penekanan makna disabilitas dalam konsep ini adalah adanya gangguan/keterbatasan fungsi yang berlangsung lama dan menyebabkan terbatasnya partisipasi di masyarakat. Gangguan/keterbatasan fungsi disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan atau kehilangan ataupun kelainan baik dari psikologis, fisiologis maupun struktur atau fungsi anatomis. Gangguan fungsi atau keterbatasan antara lain kesulitan melihat (seeing difficulty), kesulitan mendengar (hearing
.id /
difficulty), berbicara tidak lancar (cannot speak fluently), kesulitan memahami/hilang ingatan/gangguan jiwa (difficult understand), lambat dalam belajar/memahami pelajaran
s. go
(slow learning), keterbatasan berjalan (walking limitations), keterbatasan bergerak (limited
movements), kesulitan mengambil barang kecil menggunakan jari (difficulty in picking up
.b p
small objects).
ta
Seseorang bisa mengalami lebih dari satu jenis gangguan, misalnya gangguan terkait
ar
penglihatan, pendengaran, mobilitas/menggerakkan kaki atau tangan, mengingat dan
//j ak
berkonsentrasi perilaku dan emosi, komunikasi, dan mengurus diri sendiri. Beberapa jenis gangguan tidak dapat terdeteksi dengan hanya melihat secara fisik.
tp :
Ada pergeseran paradigma terkait disabilitas, paradigma lama memandang difabilitas
ht
dan disabilitas sebagai isu/problem kesehatan, ketidakberuntungan atau kekurangan individu. Sedangkan paradigma baru memandang disabilitas merupakan produk dari masyarakat dan lingkungan yang mencacatkan ”disabling”. Disabilitas yang istilah aslinya
Person with disability, mengacu pada lingkungan di luar subjek yang belum akomodatif sehingga menyebabkan disabilitas. Ketika lingkungan di sekitar sudah akomodatif dan si subjek dapat berkegiatan tanpa halangan lagi, maka dia akan menjadi person yang seutuhnya. 5.1. Konsep dan Definisi Disabilitas 1. Kesulitan Fungsional atau functional difficulty adalah ketidakmampuan seseorang melakukan aktivitas normal sehari-hari. Ada delapan kesulitan fungsional yang dicakup dalam SUPAS 2015 yaitu (1) kesulitan melihat, (2) kesulitan mendengar, (3) kesulitan berjalan/naik tangga, (4) kesulitan menggunakan/menggerakkan tangan/jari, (5) Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
30
kesulitan dalam hal mengingat atau berkonsentrasi, (6) gangguan perilaku dan atau emosional, (7) kesulitan/gangguan berbicara dan atau memahami/berkomunikasi dengan orang lain, dan (8) kesulitan mengurus diri sendiri. Kedelapan jenis kesulitan tersebut diukur menjadi empat menurut tingkat kesulitannya yaitu (1) Selalu mengalami kesulitan, (2) Seringkali mengalami kesulitan, (3) Sedikit mengalami kesulitan atau (4) Tidak mengalami kesulitan. Khusus untuk kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga dibagi menjadi lima tingkat kesulitan, yaitu (1) sepenuhnya membutuhkan bantuan orang lain, (2) sudah memakai alat bantu tapi perlu bantuan orang lain, (3) dengan memakai alat bantu, (4) tidak memakai alat bantu, dan (5) tiidak mengalami kesulitan. 2. Penyandang
disabilitas
penglihatan
adalah
seseorang
dengan
gangguan
penglihatan yang tidak awas/jelas sehingga objek/benda yang dilihat hanya terlihat samar/berbayang atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Seseorang dikategorikan
.id /
mengalami disabilitas penglihatan jika masih mengalami kesulitan penglihatan walaupun
s. go
memakai kacamata/lensa kontak. Yang termasuk kesulitan/gangguan penglihatan adalah:
.b p
a) Buta total : kondisi dimana dua mata tidak dapat melihat sama sekali; b) Kurang penglihatan (low vision) : kondisi dimana dua mata tidak dapat menghitung
ar
kacamata atau cukup cahaya;
ta
jari-jari yang digerakkan pada jarak 1 meter di depannya walaupun memakai
//j ak
c) Buta warna : kondisi dua mata responden tidak dapat membedakan warna. 3. Kesulitan Mendengar, meskipun memakai alat bantu pendengaran jika tidak
tp :
dapat mendengar suara dengan jelas, membedakan sumber, volume dan kualitas suara
ht
sehingga tidak dapat merespon suara tersebut secara wajar. Seseorang yang menggunakan alat bantu sehingga dapat mendengar dengan normal, maka orang tersebut dikategorikan tidak mengalami kesulitan. Termasuk kategori ini adalah para penyandang cacat rungu/wicara. 4. Kesulitan berjalan atau naik tanga bila tidak dapat berjalan dengan normal misalnya maju, mundur, ke samping, tidak stabil dan kesulitan menaiki tangga. Seseorang yang harus menggunakan alat bantu untuk berjalan atau naik tangga dikategorikan mengalami kesulitan. 5. Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi atau berkomunikasi dengan orang lain karena kondisi fisik atau mental jika mengalami kesulitan dalam mengingat atau tidak dapat berkonsentrasi. Seorang dikatakan mengalami kesulitan/gangguan berkomunikasi bila dalam berbicara berhadapan tanpa dihalangi sesuatu, seperti tembok, musik keras, sesuatu yang menutupi telinga, pembicaraannya tidak dapat Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
31
dimengerti atau tidak dapat berbicara sama sekali karena gangguan fisik dan mental. Termasuk kategori ini adalah para penyandang cacat rungu/wicara dan autis. 6. Kesulitan dalam mengurus diri sendiri jika mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian, ke toilet, dan lain-lain. Kesulitan makan maksudnya dalam hal makan sendiri (disuapi orang lain, menggunakan sendok, garpu untuk mengambil makanan atau minuman). Kesulitan membersihkan seluruh tubuh. Kesulitan
berpakaian
maksudnya
dalam
hal
mengambil
pakaian
dari
tempat
penyimpanan, mengancingkan baju, mengikat simpul, dan lain-lain. Kesulitan tangan maksudnya dalam hal mengambil/memegang barang (tangan lemah, jari kurang lengkap). 5.2. Keterbatasan Data Disabilitas
.id /
Data kesulitan/gangguan fungsional dalam SUPAS 2015 memiliki keterbatasan dalam
s. go
penyajiannya, diantaranya pengumpulan data SUPAS 2015 dilakukan oleh petugas pencacah yang tidak memiliki kemampuan medis dalam hal menilai ketidakmampuan seseorang
.b p
melakukan aktivitas normal sehari-hari. Pengumpulan data ini hanya dilakukan berdasarkan pengamatan, pengetahuan, dan pengakuan responden yang mungkin dapat berbeda
ta
dengan konsep dan definisi kesulitan fungsional dari aspek kesehatan. Idealnya,
tp :
5.3. Potret Disabilitas
//j ak
membutuhkan pemeriksaan medis.
pendengaran,
ht
Kesulitan/gangguan
ar
pengumpulan data kesulitan fungsional dilakukan oleh petugas kesehatan karena
yang
berjalan/naik
akan
diuraikan
tangga,
disini
meliputi
kesulitan/gangguan
menggunakan/menggerakkan
tangan/jari,
mengingat/berkonsentrasi, perilaku dan atau emotional, berbicara/memahami, serta kesulitan/gangguan mengurus diri sendiri. Jumlah penduduk DKI Jakarta hasil SUPAS2015 yang berumur 2 tahun ke atas sebanyak 9,79 juta orang. Dari jumlah tersebut apabila dicermati kondisi menurut kesulitan/gangguan yang dialami, tampak bahwa gangguan/kesulitan penglihatan jumlahnya paling besar. Sebanyak 4,85 persen penduduk berumur 2 tahun ke atas mengalami gangguan/kesulitan penglihatan. Selanjutnya adalah gangguan/kesulitan berjalan/naik tangga yang dialami oleh 2,67 persen dari penduduk usia 2 tahun ke atas. Jumlah penduduk umur 2 tahun ke atas dengan kesulitan/gangguan mengingat atau berkonsentrasi mencapai 1,80 persen, lebih banyak jumlahnya dibandingkan penduduk dengan kesulitan/gangguan pendengaran (1,69 persen). Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
32
Gambar 5.1 Penduduk Berumur 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan menurut Jenis Kesulitan/Gangguan di DKI Jakarta, 2015
Kesulitan/gangguan lainnya berkisar 1 persen dari penduduk umur 2 tahun ke atas, masing-
Kesulitan mengurus diri…
masing seperti kesulitan/gangguan
0,71%
perilaku/emotional (1,16 persen),
Kesulitan Berbicara atau…
1,13%
Kesulitan/Gangguan…
1,16%
Kesulitan Mengingat atau…
kesulitan berbicara dan komunikasi (1,13
1,80%
Kesulitan…
kesulitan
gunakan/menggerakkan
1,12%
mengtangan/
jari (1,12 persen). Di antara semua
Kesulitan berjalan/naik…
2,67%
Gangguan pendengaran
persen),
kesulitan yang sudah disebutkan di
1,69% 4,85%
Gangguan penglihatan
atas kesulitan mengurus diri sendiri merupakan kesulitan yang paling
.id /
berat, jumlahnya mencapai 0,71
Sumber: SUPAS2015
s. go
persen.
a. Kesulitan/Gangguan Penglihatan
.b p
5.4. Distribusi Disabilitas
ta
Persentase penduduk 2 tahun ke atas yang mengalami kesulitan/gangguan
ar
penglihatan di DKI Jakarta seluruhnya sebanyak 4,85 persen terdiri dari 0,09 persen yang
//j ak
“sama sekali tidak dapat melihat”, 0,41 persen “banyak kesulitan melihat”, dan sisanya ,35 persen “sedikit kesulitan melihat”. Apabila dibandingkan antar wilayah tampak bahwa pada
tp :
kesulitan/gangguan penglihatan dengan kategori “sama sekali tidak dapat melihat”,
ht
perentase tertinggi terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan jumlah 0,22 persen, disusul oleh Kota Jakarta Timur dan Jakarta Barat masing-masing 0,12 persen, dan Kota Jakarta Pusat 0,11 persen. Kesulitan/gangguan penglihatan dengan kategori “banyak kesulitan” jumlahnya berkisar antara 0,19 sampai dengan 0,79 persen. Persentase terendah terdapat di Kota Jakarta Timur (0,19 persen) dan tertinggi di Kota Jakarta Pusat (0,79 persen). Untuk kesulitan/gangguan penglihatan dengan kategori “sedikit kesulitan” persentase tertinggi di Kota Jakarta Selatan, mencapai 8,32 persen. Secara keseluruhan perentase penduduk umur 2 tahun ke atas yang “tidak mengalami kesulitan/gangguan penglihatan” terbanyak di Jakarta Timur mencapai 97,63 persen, dan terendah di Kota Jakarta Selatan mencapai 91,94 persen. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan diharapkan dapat memberikan perhatian lebih Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
33
terutama kepada masyarakat yang mengalami kesulitan/gangguan dengan kategori sama sekali tidak bisa melihat. Tabel 5.1 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Penglihatan dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Jenis Kesulitan/Gangguan Penglihatan 1 2 3 4
%
N
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
0,22 0,04 0,12 0.11 0.12 0.09 0.09
0.52 0.60 0.19 0.79 0.29 0.48 0.41
4.83 8.32 2.06 4.66 2.69 5.23 4.35
94.43 91.04 97.63 94.44 96.90 94.20 95.15
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Jumlah
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
.id /
Kabupaten/Kota
Sumber : SUPAS2015
s. go
Keterangan :
3. Ya, sedikit kesulitan 4. Tidak mengalami
ta
b. Kesulitan/Gangguan Pendengaran
.b p
1. Ya, sama sekali tidak bisa melihat 2. Ya, banyak kesulitan
Pada
sebagian
orang,
kemampuan
mendengar
ini
terkadang
menjadi
//j ak
harganya.
ar
Kemampuan untuk mendengar merupakan salah satu anugerah yang tidak ternilai terganggu/berkurang sehingga mereka mengalami kesulitan/gangguan pendengaran.
tp :
Menurut Soemantri (2006), tuna rungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
ht
pendengaran yang menyebabkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indera pendengaran. Dari total penduduk DKI Jakarta berumur 2 tahun ke atas hasil SUPAS2015, sebanyak 1,69 persen mempunyai kesulitan/gangguan pendengaran dengan rincian 0,05 persen kategori “sama sekali tidak dapat mendengar”, 0,26 persen “banyak kesulitan”, dan sisanya 1,38 persen “sedikit kesulitan”. Persentase “sama sekali tidak dapat mendengar” berkisar antara 0,03 persen sampai 0,10 persen, kecuali Kabupaten Kepulauan Seribu yang tidak mempunyai penduduk umur 2 tahun ke atas yang “sama sekali tidak dapat mendengar”.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
34
Tabel 5.2 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Pendengaran dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Jenis Kesulitan/Gangguan Pendengaran 1 2 3 4
%
N
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
0,00 0.03 0.03 0.09 0.07 0.10 0.05
0.27 0.30 0.20 0.45 0.20 0.27 0.26
1.97 1.60 0.84 2.32 1.20 1.73 1.38
97.76 98.07 98.93 97.14 98.54 97.90 98.31
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
Kabupaten/Kota
Jumlah
Sumber : SUPAS2015 Keterangan : 1. Ya, sama sekali tidak bisa mendengar 2. Ya, banyak kesulitan
s. go
.id /
3. Ya, sedikit kesulitan 4. Tidak mengalami
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa persentase penduduk 2 tahun ke atas yang persen
penduduk Jakarta Pusat. Angka ini lebih tinggi dibandingkan
//j ak
dengan Kabupaten Kepulauan
Gambar 5.2 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan/ Gangguan Pendengaran menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
ta
2,86
ar
mencapai
.b p
mengalami gangguan/kesulitan mendengar tertinggi terdapat di Kota Jakarta Pusat,
Seribu (2,24 persen) meskipun
tp :
di Kabupaten Kepulauan Seribu
DKI Jakarta
Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Pusat
tahun ke atas yang sama sekali
Jakarta Timur
ht
tidak ditemukan penduduk 2 tidak
mendengar.
Jakarta Selatan
Persentase terendah di Kota
Kepulauan Seribu
Jakarta persen.
dapat Timur
sebesar
1,69 2,10 1,46 2,86 1,07 1,93 2,24
1,07 Sumber : SUPAS2015
c. Kesulitan/Gangguan Berjalan/Naik Tangga Selain kesulitan/gangguan penglihatan dan pendengaran, jenis kesulitan/gangguan lain yang dapat dialami oleh penduduk adalah kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga. Kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga dapat menyebabkan terkendalanya aktivitas fisik seseorang. Jumlah penduduk umur 2 tahun ke atas yang mempunyai kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga hasil SUPAS2015 seluruhnya sebanyak 2,67 persen. Jumlah ini terdiri
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
35
dari 0,25 persen yang sepenuhnya membutuhkan bantuan orang lain untuk berjalan/naik tangga, 0,11 persen sudah menggunakan alat bantu tapi perlu bantuan orang lain, 0,34 persen memakai alat bantu untuk berjalan/naik tangga, dan sisanya 1,97 persen mengalami kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga tetapi tidak menggunakan alat bantu. Tabel 5.3 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Berjalan/Naik Tangga dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Kabupaten/Kota
Jenis Kesulitan/Gangguan Berjalan/Naik Tangga
Jumlah
2
3
4
5
%
N
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
0.32 0.27 0.25 0.31 0.22 0.26 0.25
0.32 0.10 0.11 0.12 0.10 0.12 0.11
0.38 0.34 0.29 0.66 0.27 0.36 0.34
3.53 2.91 1.40 2.16 1.49 2.25 1.97
95.45 96.38 97.96 96.75 97.92 97.01 97.33
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
Keterangan :
ta
s. go 3. 4. 5.
Ya, dengan memakai alat bantu Ya, tidak memakai alat bantu Tidak mengalami kesulitan
//j ak
2.
Ya, sepenuhnya membutuhkan bantuan orang lain Ya, sudah memakai alat bantu tapi perlu bantuan orang lain
ar
1.
.b p
Sumber: SUPAS2015
.id /
1
Penduduk yang mempunyai kesulitan/ganguan berjalan/naik tangga dan sepenuhnya
tp :
membutuhkan bantuan orang lain ada di setiap wilayah di Jakarta. Apabila dilihat per
ht
wilayah tampak bahwa persentase terbesar ada di Kabupaten Kepulauan Seribu (0,32 persen), Kota Jakarta Pusat (0,31 persen). Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Utara masingmasing sebesar 0,27 persen dan 0,26 persen, Kota Jakarta Timur 0,25 persen. Persentase terendah di Kota Jakarta Barat sebesar 0,22 persen. Untuk mengurangi kesulitan penyandang disabilitas ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sosial DKI Jakarta telah memberikan perhatian dengan memberikan bantuan kursi roda dengan harapan membantu mereka dalam melakukan aktifitas berjalan/naik tangga. Meskipun demikian masih ada sekitar 1,97 persen penduduk yang mengalami kesulitan/gangguan berjalan/naik tangga yang tidak menggunakan alat bantu. d. Kesulitan/gangguan Menggunakan/Menggerakkan Tangan/Jari Tangan maupun jari mempunyai peran yang sangat penting dalam aktivitas seharihari, dengan demikian kesulitan/gangguan dalam menggerakkan tangan atau jari dapat Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
36
mengganggu aktifitas yang harus dilakukan. Jumlah penduduk umur 2 tahun ke atas yang mengalami kesulitan/gangguan dalam menggerakkan atau menggunakan tangan/jari menurut SUPAS 2015 seluruhnya mencapai 1,12 persen. Jumlah ini terdiri dari 0,07 persen yang sama sekali tidak bisa menggunakan atau menggerakkan tangan/jari, 0,18 persen yang mengatakan banyak kesulitan menggerakkan atau menggunakan tangan/jari, dan 0,87 mengeluhkan sedikit kesulitan. Tabel 5.4 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas Menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Mengerakkan Tangan/Jari dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
Kabupaten/Kota
Jenis Kesulitan/Gangguan Mengerakkan Tangan/Jari 1 2 3 4
Jumlah N
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
0.21 0.05 0.05 0.09 0.07 0.09 0.07
0.23 0.18 0.17 0.26 0.10 0.27 0.18
0.83 1.42 0.53 0.99 0.66 0.95 0.87
98.73 98.34 99.25 98.66 99.16 98.69 98.88
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
ta
.b p
s. go
.id /
%
(1)
ar
Sumber: SUPAS2015
tp :
//j ak
Keterangan : 1. Ya, sama sekali tidak bisa menggunakan/menggerakan tangan/jari 2. Ya, banyak kesulitan 3. Ya, sedikit kesulitan 4. Tidak mengalami kesulitan
ht
Sebanyak 98,88 persen penduduk umur 2 tahun ke atas di DKI Jakarta tidak mempunyai kesulitan dalam menggerakkan tangan atau jari. Apabila diperhatikan kondisi antar wilayah tampak bahwa hampir semua wilayah persentasenya sekitar 99 persen penduduk yang tidak mempunyai kesulitan, kecuali Kota Jakarta Selatan sebesar 98,34 persen. Kota Jakarta Timur merupakan wilayah dengan persentase tertinggi, sebesar 99,25 persen. e. Kesulitan/Gangguan Mengingat/Berkonsentrasi Kesulitan fungsional lain berupa kesulitan/gangguan mengingat atau berkonsentrasi dialami oleh sekitar 1,80 persen penduduk umur 2 tahun ke atas pada tahun 2015 yang tersebar di semua wilayah di Jakarta. Jumlah ini terdiri dari mereka yang selalu mengalami kesulitan/gangguan mengingat atau berkonsentrasi
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
0,16 persen, seringkali mengalami
37
kesulitan/gangguan mengingat atau berkonsentrasi 0,31 persen, dan sisanya 1,33 persen sedikit mengalami kesulitan mengingat atau berkonsentrasi. Tabel 5.5 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Mengingat/Berkonsentrasi dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Jenis Kesulitan/Gangguan Mengingat/ Berkonsentrasi 1 2 3 4
Kabupaten/Kota
Jumlah %
N
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0.24 0.10 0.14 0.22 0.22 0.16 0.16
0.53 0.38 0.20 0.61 0.32 0.25 0.31
1.19 1.91 0.89 1.90 1.04 1.42 1.33
98.04 97.62 98.78 97.27 98.42 98.17 98.20
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
s. go
Sumber: SUPAS2015 Keterangan : Ya, selalu mengalami kesulitan Ya, seringkali mengalami kesulitan
3. 4.
.b p
1. 2.
.id /
(1)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
Ya, sedikit mengalami kesulitan Tidak mengalami kesulitan
ta
Mereka yang tidak mengalami kesulitan/gangguan mengingat atau berkonsentrasi
//j ak
ar
seluruhnya mencapai 98,20 persen, dengan jumlah tertinggi di Kota Jakarta Timur mencapai 98,78 persen. Apabila diperhatikan menurut wilayah tampak jumlah penduduk yang tidak
tp :
mengalami kesulitan mengingat/berkonsentrasi sudah di atas 98 persen, kecuali di Kota Jakarta Pusat sebesar 97,27 persen. Perhatian pemerintah perlu ditujukan kepada mereka
ht
yang hampir selalu dan sering mengalami kesulitan dalam mengingat atau berkonsentrasi, sehingga keluhan mereka dapat dikurangi di masa yang akan datang. Gambar 5.3 menjelaskan bahwa mereka yang berumur 2 tahun ke atas dan selalu serta sering mengalami kesulitan/gangguan mengingat/berkonstrasi tersebar di semua wilayah di DKI Jakarta. Persentase penduduk yang “sering” mengalami kesulitan/gangguan jenis ini terbanyak di Kota Jakarta Pusat dan Kabupaten Kepulauan Seribu, masing-masing mencapai 0,61 persen dan 0,53 persen. Sedangkan mereka yang “selalu” mengalami kesulitan/gangguan jenis ini paling banyak di Kabupaten Kepulauan Seribu (0,24 (persen), dan Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat yang masing-masing sebesar 0,22 persen. Penyebab seseorang mengalami kesulitan/gangguan mengingat/berkonsentrasi, antara lain karena depresi, kurang tidur, penyalahgunaan alkohol atau narkoba, perubahan hormon, dan menopause pada wanita. Penyebab lain misalnya karena gangguan fungsi Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
38
tiroid, anemia, cidera kepala, demensia, dan juga karena penyakit stroke. Seseorang yang mengalami kesulitan/gangguan mengingat/berkonsentrasi
menyebabkan terganggunya
kehidupan sosial, pekerjaaan, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Gambar 5.3 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Selalu dan Sering Mengalami Kesulitan/Gangguan Mengingat/Berkonsentrasi menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 0,61
0,53 0,38
0,32
0,24 0,14
0,10
Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan
0,20
Jakarta Timur
0,22
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
0,16
0,16
Jakarta Utara
DKI Jakarta
Ya, Seringkali mengalami kesulitan
.id /
Ya, Selalu mengalami kesulitan
0,31
0,25
0,22
s. go
Sumber: SUPAS2015
.b p
f. Kesulitan/Gangguan Perilaku atau Emosional
Istilah kesulitan emosional dan perilaku (emotional and behavioral difficulties) telah
ta
banyak digunakan secara luas. Terutama pada anak-anak, kebutuhan untuk menentukan
ar
apakah seorang anak mengalami kesulitan/gangguan jenis ini terkait dengan layanan
//j ak
pendidikan khusus bagi mereka. Beberapa hal yang diidentifikasikan turut berperan untuk terjadinya gangguan emotional dan perilaku antara lain faktor biologis, lingkungan atau
tp :
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
ht
Tabel 5.6 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Perilaku dan atau Emosional dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Kabupaten/Kota (1)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
Jenis Kesulitan/Gangguan Perilaku dan atau Emosional 1 2 3 4
Jumlah %
N
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0.03 0.04 0.08 0.12 0.07 0.11 0.08
0.43 0.20 0.12 0.43 0.11 0.07 0.15
0.92 1.62 0.37 1.64 0.74 0.82 0.93
98.62 98.14 99.43 97.81 99.08 98.99 98.84
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: SUPAS 2015 Keterangan : 1. Ya, Selalu mengalami kesulitan 2. Ya, Seringkali mengalami kesulitan
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
3. 4.
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
Ya, sedikit mengalami kesulitan Tidak Mengalami kesulitan
39
Jumlah
penduduk
umur
2
tahun
ke
atas
yang
menyatakan
mengalami
kesulitan/perilaku dan atau emosional pada tahun 2015 mencapai 1,16 persen. Jumlah ini terdiri dari mereka yang selalu mengalami kesulitan/gangguan perilaku/emosional (0,08 persen), seringkali mengalami kesulitan/gangguan perilaku/emosional (0,15 persen), dan sedikit mengalami kesulitan/gangguan (0,93 persen) yang tersebar di semua wilayah di DKI Jakarta. Jumlah penduduk yang tidak mengalami kesulitan/gangguan perilaku/emosional seluruhnya mencapai 98,84 persen, dengan
persentase tertinggi di Kota Jakarta Timur
(99,43 persen) dan terendah di Kota Jakarta Pusat (97,81 persen). Persentase penduduk yang menyatakan “selalu” mengalami kesulitan atau gangguan perilaku/emosional menurut wilayah berkisar antara 0,03 hingga 0,11 persen. Persentase terendah ada di Kabupaten Kepulauan Seribu (0,03 persen), dan tertinggi di Kota Jakarta
.id /
Utara (0,11 persen). Persentase penduduk yang “seringkali” mengalami kesulitan/gangguan perilaku/emosional paling banyak di Kota Jakarta Pusat dan Kabupaten Kepulauan Seribu,
s. go
masing-masing sebesar 0,43 persen, dan terendah di Kota Jakarta Utara 0,07 persen. Kota Jakarta Pusat merupakan kota dengan persentase tertinggi jumlah penduduk yang “sedikit”
.b p
mengalami kesulitan/gangguan perilaku dan atau emosional, sebesar 1,64 persen.
ta
g. Kesulitan/Gangguan Berbicara/Berkomunikasi
ar
Kemampuan berbicara dan berkomunikasi merupakan dua hal yang sangat penting
//j ak
dalam kegiatan sehari-hari, sehingga gangguan/kesulitan dalam berbicara maupun memahami dapat mengganggu aktivitas penting sehari-hari. Berbicara dan berkomuniasi
tp :
berkaitan erat dengan kegiatan menyampaikan pesan kepada orang lain dengan bahasa
ht
lisan. Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2015 yang menyatakan mengalami kesulitan/gangguan berbicara/berkomunikasi seluruhnya 1,13%. Jumlah ini terdiri dari mereka yang “sama sekali” tidak bisa berbicara/berkomunikasi kepada orang lain (0,11 persen), mereka yang menyatakan “banyak mengalami kesulitan/gangguan” sebesar 0,25 persen, dan sisanya adalah mereka yang “sedikit mengalami kesulitan/gangguan” sebesar 0,77 persen. Persentase jumlah penduduk umur 2 tahun ke atas yang tidak mengalami gangguan/kesulitan berbicara/berkomunikasi seluruhnya mencapai 98,87 persen. Hampir seluruh wilayah perentasenya sudah mencapai 99 persen, kecuali Kota Jakarta Pusat yang hanya 98,40 persen penduduk.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
40
Tabel 5.7 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Berbicara/Memahami dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
Jenis Kesulitan/Gangguan Berbicara/Berkomunikasi/Memahami 1 2 3 4
Kabupaten/Kota (1)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
Jumlah %
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0.01 0.09 0.09 0.22 0.07 0.17 0.11
0.38 0.30 0.15 0.40 0.24 0.30 0.25
0.60 1.06 0.58 0.98 0.70 0.69 0.77
99.01 98.55 99.19 98.40 98.99 98.84 98.87
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: SUPAS 2015
s. go
Ya, Sama sekali tidak bisa memahami/dipahami/berkomunikasi Ya, banyak mengalami kesulitan Ya, sedikit mengalami kesulitan Ya, sedikit mengalami kesulitan
.b p
1. 2. 3. 4.
.id /
Keterangan :
ta
Grafik 5.4 menunjukan secara keseluruhan penduduk 2 tahun keatas yang
ar
mengalami kesulitan/gangguan berbicara/memahami jumlahnya, paling banyak terdapat di
//j ak
Kota Jakarta Pusat (1,60 persen), dan Kota Jakarta Selatan ( 1,45 persen). Kabupaten Kepulauan Seribu (0,99 persen) dan Kota Jakarta Timur (0,81 persen) mempunyai
tp :
persentase “penduduk yang mengalami kesulitan” yang relatif kecil.
ht
Grafik 5.4 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas yang Mengalami Kesulitan/Gangguan Berbicara/Memahami menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 1,60 1,45 0,99
1,01
Kepulauan Seribu
Jakarta Barat
1,13
1,16
DKI Jakarta
Jakarta Utara
0,81
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Pusat
Sumber: SUPAS 2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
41
h. Kesulitan/Gangguan Mengurus Diri Sendiri Mereka yang sama sekali tidak bisa mengurus diri sendiri berarti sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, dan lain sebagainya. Jumlahnya paling banyak terdapat di Kota Jakarta Pusat (0,27 persen), dan paling sedikit di Jakarta Timur (0,13 persen). Sedangkan mereka yang banyak kesulitan dalam mengurus diri sendiri paling banyak terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu (0,37 persen) dan terendah di Jakarta Pusat (0,07 persen). Gambar 5.5 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Kesulitan/Gangguan Mengurus Diri Sendiri dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 0,37 0,29
Jakarta Selatan
0,09
Jakarta Timur
0,07
Jakarta Pusat
0,15
s. go
Kepulauan Seribu
0,13
0,21
.id /
0,18
0,14
Jakarta Barat
.b p
0,15
0,27 0,17 0,15
0,11
Jakarta Utara
DKI Jakarta
ta
Ya, sama sekali tidak bisa mengurus diri sendiri
//j ak
Sumber: SUPAS 2015
ar
Ya, Banyak kesulitan/ seringkali mengalami kesulitan
ht
tp :
Tabel 5.8 Persentase Penduduk 2 Tahun ke Atas menurut Tingkat Kesulitan/Gangguan Mengurus Diri Sendiri dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Kabupaten/Kota
Jenis Kesulitan/Gangguan Mengurus Diri Sendiri 1 2 3 4
Jumlah %
N
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta
0.15 0.14 0.13 0.27 0.18 0.21 0.17
0.37 0.29 0.09 0.07 0.15 0.11 0.15
0.38 0.58 0.24 0.61 0.39 0.29 0.39
99.10 98.99 99.54 99.05 99.28 99.40 99.29
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
22,441 2,112,860 2,726,893 884,559 2,366,419 1,685,403 9,798,575
Sumber: SUPAS 2015 Keterangan : 1. 2. 3. 4.
Ya, sama sekali tidak bisa mengurus diri sendiri Ya, banyak kesulitan/ seringkali mengalami kesulitan Ya, sedikit mengalami kesulitan Tidak mengalami kesulitan
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
42
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
6. PENDIDIKAN
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
43
6.1. Tren Pencapaian Hasil Pembangunan Pendidikan Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan. Negara dengan kualitas SDM yang baik akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk memenangkan persaingan di percaturan perekonomian global. Pendidikan merupakan salah satu pilar yang diperlukan dalam pembentukan kualitas SDM. Oleh karena itu pembangunan bidang pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas SDM bangsa ini. Dalam menghadapi era globalisasi, SDM yang andal, tangguh, dan mampu berkompetisi dengan bangsa lain sangat diperlukan agar bangsa kita dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
.id /
Peningkatan kualitas SDM melalui bidang pendidikan, diwujudkan pemerintah melalui berbagai kebijakan, antara lain pelaksanaan program wajib belajar (Wajar) 6 tahun yang
s. go
telah dilaksanakan sejak tahun 1984, kemudian ditingkatkan dengan Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun pada tahun 1994. Dalam kurun waktu 2 dasawarsa, dampak positif dari
.b p
program wajib belajar telah mampu mengurangi angka buta huruf dan meningkatkan angka
ta
partisipasi sekolah. Pada tahun 2012, Pemprov DKI Jakarta menggulirkan kebijakan wajib
ar
belajar 12 tahun, yang artinya siswa SMA sederajat mendapat subsidi dari pemerintah
//j ak
dalam hal pembiayaan pendidikannya. Kebijakan ini diimplementasikan dengan kebijakan SPP gratis pada SMA sederajat negeri.
tp :
Kebijakan ini berimplikasi pada semakin banyak penduduk usia sekolah yang duduk
ht
di bangku sekolah, dan secara tidak langsung hal ini turut memberi kontribusi pada penundaan usia anak-anak dalam memasuki bursa lapangan pekerjaan. Melalui program ini diharapkan jumlah penduduk usia sekolah yang buta huruf semakin berkurang dan semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan masyarakat. Pada akhirnya, melalui pemerataan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Salah
satu
keberhasilan
program
pendidikan
ditunjukkan
dengan
semakin
berkurangnya tingkat buta huruf penduduk secara umum. Tingkat buta huruf adalah indikator yang menggambarkan proporsi penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis terhadap jumlah seluruh penduduk. Kemampuan baca tulis merupakan pengetahuan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk dapat mengembangkan sumber daya yang dimiliki setiap individu. Berkaitan dengan ini, pemerintah berusaha agar seluruh penduduk bebas buta aksara. Usaha Pemerintah selama ini antara lain diwujudkan dengan program Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
44
wajib belajar melalui jalur pendidikan formal dan program kejar Paket A dan B melalui jalur pendidikan informal di segala lapisan masyarakat, baik terhadap penduduk laki-laki maupun perempuan. Tabel 6.1 Persentase Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota serta Kemampuan Membaca dan Menulis di DKI Jakarta, 2015 Bisa Membaca Menulis Latin Bukan Latin
(1)
(2)
(3)
(4)
94,59 97,94 97,25 97,49 96,40 95,56 96,92
0,16 0,12 0,08 0,04 0,22 0,07 0,12
5,25 1,94 2,66 2,47 3,38 4,37 2,96
s. go
1. Kepulauan Seribu 2. Jakarta Selatan 3. Jakarta Timur 4. Jakarta Pusat 5. Jakarta Barat 6. Jakarta Utara DKI Jakarta Sumber: SUPAS2015
Buta Huruf
.id /
Kabupaten/Kota
.b p
Secara total, tingkat buta huruf di DKI Jakarta mencapai 2,96 persen dari 9,26 juta penduduk usia 5 tahun ke atas. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, tingkat buta huruf
ta
penduduk usia 5 tahun ke atas tertinggi di DKI Jakarta terdapat di Kabupaten Kepulauan
ar
Seribu, yakni sebesar 5,25 persen dari jumlah penduduk 20,6 ribu orang. Kemudian urutan
//j ak
berikutnya yakni tertinggi kedua, terdapat di Jakarta Utara, dengan angka buta huruf sebesar 4,37 persen dari 1,59 juta orang. Jakarta Selatan menempati posisi terendah
tp :
dengan angka buta huruf sebesar 1,94 persen dari hampir 2 juta orang (Tabel 6.1 dan
ht
Gambar 6.1). Tampaknya kondisi sosial ekonomi di masing-masing wilayah sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya angka buta huruf. Hal ini akan terlihat jika dikaitkan dengan rata-rata tingkat pendidikan berdasarkan wilayah, yang akan diulas pada bagian berikutnya. Namun demikian jika dibandingkan dengan provinsi lain secara nasional, angka buta huruf di DKI Jakarta relatif rendah, bahkan sudah masuk dalam kategori hard rock, yaitu sulit untuk diturunkan, dan cenderung berfluktuatif di sekitar angka tersebut. Kenaikan dan penurunan angka buta huruf yang terjadi lebih dipengaruhi oleh migrasi. Misalnya masuknya pendatang yang berpendidikan rendah seperti pramuwisma,
pekerja sektor
informal, dan lain-lain, atau pendatang yang berpendidikan tinggi seperti tenaga terampil dari daerah lain atau bahkan dari negara lain. Pemerintah telah bertekad untuk menangani masalah penduduk buta aksara secara tuntas. Jumlah buta aksara masih potensial untuk meningkat sebagai ekses masalahProfil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
45
Gambar 6.1 Angka Buta Huruf Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
masalah
sosial-ekonomi
berakibat pada putus sekolah anak-anak
5,25
itu,
3,38 2,66
kelas
SD/MI/sederajat.
4,37
strategis dapat Kepulauan Seribu
Jakarta Selatan Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
masalah
Jakarta Utara
1-3
Oleh
program
keaksaraan
2,47
1,94
yang
karena
pendidikan
menempati karena
peran
diharapkan
mengatasi
masalah-
fundamental
sumber
daya manusia yang menyangkut
Sumber: SUPAS2015
berbagai
aspek
kepentingan.
Berbagai kebijakan pemerintah di bidang pendidikan seperti pemberian “Bantuan
.id /
Operasional Sekolah” (BOS), “Bantuan Operasional Pendidikan” (BOP), Beasiswa untuk
s. go
siswa miskin (BSM), dan program bantuan lainnya ditujukan untuk menekan angka putus sekolah, yang akhirnya akan berdampak pada penurunan angka buta huruf secara umum.
.b p
Pada Kepemimpinan Gubernur Joko Widodo yang dilanjutkan oleh Gubernur penerus Basuki Cahaya Purnama (2012-2017), digulirkan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang bertujuan
ta
membantu siswa tidak mampu untuk membiayai kebutuhan sekolah seperti membeli buku,
ar
pakaian seragam, dan uang saku/transport. Program ini diharapkan memacu para siswa dari
//j ak
keluarga tidak mampu untuk tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi.
tp :
Pada akhirnya kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya
ht
manusia di masa mendatang. 6.2. Partisipasi Sekolah
Salah satu indikator pendidikan yang menggambarkan tingkat partisipasi penduduk dalam pendidikan adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS menggambarkan proporsi penduduk yang masih sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (misalnya SD) terhadap penduduk usia sekolah yang bersangkutan. Penduduk kelompok usia sekolah SD adalah 712 tahun, usia sekolah SLTP adalah 13-15 tahun dan usia sekolah SLTA adalah 16-18 tahun. Jika APS mencapai angka 100, artinya semua anak usia 7-12 tahun sudah berpartisipasi dalam pendidikan formal. Indikator ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas sumber daya manusia yang potensial di masa datang. Semakin banyak penduduk yang berpartisipasi dalam pendidikan, peluang untuk meningkatkan kualitas SDM di masa datang juga semakin besar.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
46
Pada tahun 2015, APS penduduk DKI Jakarta secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan, baik pada perempuan maupun laki-laki. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya APS pada kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. APS pada kedua kelompok usia ini berada di atas 90 persen. Artinya hampir seluruh penduduk usia sekolah sudah berpartisipasi dalam pendidikan, dan diharapkan nantinya angka partisipasi ini bisa mencapai 100 persen. Karena dengan meningkatnya partisipasi sekolah, diharapkan dapat pula meningkatkan human capital bangsa ini di masa mendatang.
terlihat
Gambar 6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia Sekolah menurut Jenis Kelamin di DKI Jakarta, 2015
partisipasi
semakin
kecil.
93,83
100
Kondisi ini menunjukkan bahwa keluarga
yang
ekonominya menyekolahkan jenjang
pendidikan
60 50 40
pada
yang
30
lebih
20 10
tinggi. Alasan utamanya adalah dalam
pendidikan,
di
67,1
Laki-laki Perempuan Total
13-15 th
16-18 th
Sumber: SUPAS 2015
//j ak
pembiayaan
7-12 th
ta
ketidakmampuan
0
66,85
ar
karena
92,62
67,36
70
tidak anaknya
91,92
80
ada
kecenderungan
93,31
90
kemampuan
terbatas,
94,03 94,24
.id /
sekolah
angka
jenjang
s. go
pendidikan,
tinggi
.b p
Semakin
samping alasan lain seperti anak tidak minat sekolah, transportasi, dan sebagainya.
tp :
APS pada kelompok usia 7-12 tahun sebesar 94,03 persen, artinya dari 100 anak
ht
pada kelompok usia 7-12 tahun sebanyak 94 anak duduk di bangku sekolah, sisanya 6 anak tidak bersekolah. APS pada kelompok 13-15 tahun sebanyak 92,62 persen, artinya masih ada sekitar 7 orang anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah. Pada kelompok usia 1618 tahun, APSnya jauh lebih rendah dibandingkan APS pada kelompok usia 7-12 dan 13-15 tahun, yakni 67,10 persen. Ini berarti dari 100 anak usia 16-18 tahun masih ada sekitar 33 anak yang tidak bersekolah. Differensiasi
jenis
kelamin
memperlihatkan,
APS
perempuan
lebih
tinggi
dibandingkan APS laki-laki pada kelompok usia 7-12 tahun dan 16-18 tahun. Sebagai gambaran APS laki-laki untuk kelompok umur 7-12 tahun sebesar 93,83 persen, sementara perempuan mencapai 94,24 persen. Begitu pula APS pada kelompok usia 16-18 tahun pada laki-laki sebesar 67,36 persen, sedangkan pada perempuan sebesar 66,85 persen. Pada kelompok usia 13-15 tahun, APS laki-laki lebih tinggi daripada APS perempuan, yakni lakilaki sebesar 93,31 persen, sedangkan APS perempuan 91,92 persen. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
47
Indikator pendidikan lainnya yang menggambarkan tingkat partisipasi penduduk dalam pendidikan adalah Angka Partisipasi Kasar. Angka Partisipasi Kasar/APK (Gross
Enrollment Ratio/GER) menggambarkan proporsi penduduk yang sekolah di jenjang pendidikan tertentu, misalnya SD (tanpa melihat usianya) terhadap total penduduk usia 7-12 tahun. Penghitungan yang serupa dilakukan untuk mendapatkan APK di tingkat SLTP dan SLTA. Dari Tabel 6.2 tampak bahwa APK menurut jenjang pendidikan memiliki pola semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah nilai APKnya. Kondisi ini berlaku di seluruh wilayah kabupaten/Kota di DKI Jakarta. APK pada jenjang pendidikan SD sebesar 103,94. Artinya penduduk yang bersekolah di SD tidak hanya penduduk yang usianya 7-12 tahun, tetapi juga penduduk yang usianya di bawah 7 tahun, dan penduduk yang usianya di
.id /
atas 12 tahun (alasan mengulang atau terlambat masuk). Sementara APK pada jenjang SLTP sebesar 84,38 persen, menunjukkan masih ada penduduk usia 13-15 tahun yang tidak
s. go
bersekolah pada jenjang pendidikan SLTP. Hal ini bisa terjadi, karena mereka masih duduk di bangku SD, atau bahkan sudah duduk di bangku SLTP. Hal yang sama juga terjadi pada
.b p
APK di jenjang pendidikan SLTA, nilainya kurang dari 100 persen, yakni 74,20 persen.
ta
Penjelasannya serupa dengan APK pada jenjang SLTP, pada usia 16-18 tahun, masih ada
//j ak
pendidikan tinggi (Diploma ke atas).
ar
penduduk yang sekolah di bangku SLTA dan juga yang sudah bersekolah pada jenjang
tp :
Tabel 6.2 Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
ht
Kabupaten/Kota (1)
Angka Partisipasi Kasar (APK) SD SLTP SLTA (2)
(3)
(4)
1. Kepulauan Seribu
109,28
92,61
71,37
2. Jakarta Selatan
105,83
82,27
78,15
3. Jakarta Timur
105,48
86,20
75,70
4. Jakarta Pusat
105,04
85,31
72,76
5. Jakarta Barat
103,67
79,22
75,09
6. Jakarta Utara
98,48
90,70
67,07
103,94
84,38
74,20
DKI Jakarta Sumber: SUPAS2015
Apabila diamati menurut wilayah kabupaten/Kota, tampak bahwa seluruh wilayah memiliki APK pada jenjang SD, di atas 100 persen, kecuali Jakarta Utara. APK SD tertinggi terdapat di Kepulauan Seribu (109,28 persen) dan APK SD terendah terdapat di Jakarta Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
48
Utara, yaitu 98,48 persen. Sementara APK SD pada wilayah lainnya berkisar antara 103 persen hingga 105 persen. Gambar 6.3 berikut ini memberikan gambaran secara visual perbandingan APK SD menurut Kabupaten/Kota. Gambar 6.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Pendidikan SD menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 109,28
Pada jenjang pendidikan SLTP, nilai
APK
pada
seluruh
wilayah
kabupaten/kota berada di bawah 100 persen. Gambar 6.4 memperlihatkan
105,83
105,48
bahwa APK SLTP tertinggi terdapat di
105,04 103,67
Kepulauan
Seribu
sebesar
92,61
persen dan terendah di Jakarta Barat
98,48
sebesar 79,22 persen.
Jaksel
Jaktim
Jakpus
Jakbar
jenjang
Jakut
s. go
Kep Seribu
.id /
Sama halnya dengan APK pada
pendidikan
Sumber : SUPAS2015
seluruh
SLTP, SLTA,
wilayah
pada nilai
jenjang APK
pada
kabupaten/kota
berada di bawah 100 persen. Gambar
.b p
92,61
75,7
79,22
90,7
72,76
75,09
tertinggi terdapat di Jakarta Selatan Jakarta Utara sebesar 67,07 persen.
SLTP SLTA
ht
6.4 menunjukkan bahwa APK SLTA sebesar 78,15 persen. dan terendah di
67,07
tp :
71,37
85,31
//j ak
86,2 82,27 78,15
ar
ta
Gambar 6.4 Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Pendidikan SLTP dan SLTA menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
Rendahnya
APK
di
jenjang
SLTP dan SLTA dibandingkan APK jenjang SD menunjukkan bahwa pada jenjang SLTP, banyak lulusan SD yang
Kep Seribu
Jaksel
Jaktim
Jakpus
Jakbar
Jakut
Sumber : SUPAS2015
terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu pula pada jenjang SLTA, banyak lulusan
SLTP yang tidak melanjutkan ke jenjang SLTA. Kondisi ini terjadi terutama karena kesulitan biaya. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih ada siswa yang berusia lebih tua dan yang berusia lebih muda dari kelompok usia yang semestinya dalam setiap jenjang pendidikan (overage dan underage). Hal ini dapat terjadi, antara lain karena banyak keluarga kurang mampu yang terlambat/menunda menyekolahkan anaknya, walaupun anak tersebut telah memasuki usia sekolah, karena alasan ekonomi. Sehingga masih cukup banyak anak usia di
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
49
atas 12 tahun yang masih sekolah di SD. Kondisi ini yang mempengaruhi naik turunnya persentase APK pada setiap jenjang pendidikan. 6.3. Tingkat Pendidikan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi, seseorang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap kemajuan teknologi. Sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, penduduk tamatan pendidikan tinggi diharapkan mampu meningkatkan produktivitasnya sebagai tenaga kerja. Selanjutnya peningkatan produktivitas seseorang dalam kegiatan ekonomi diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kondisi
.id /
ini akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat secara umum.
s. go
Pada tahun 2015, tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini dikarenakan semakin rendahnya
.b p
persentase penduduk yang berpendidikan rendah (SD ke bawah), dan semakin tinggi persentase penduduk yang berpendidikan tinggi (di atas SLTA). Secara umum, penduduk
ta
yang berpendidikan SLTA ke bawah, terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
ar
sementara itu penduduk yang berpendidikan tinggi (Diploma I ke atas) terus mengalami
//j ak
peningkatan.
ht
tp :
Tabel 6.3 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
Kab/Kota
Tidak punya ijasah
SD sederajat
SLTP sederajat
SLTA sederajat
D1-D3
S1/S4
S2/ S3
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Kepulauan Seribu
21.58
31.06
21.97
19.07
0.72
5.36
0.24
100.00
2. Jakarta Selatan
10.12
14.48
16.08
40.38
5.47
11.89
1.58
100.00
3. Jakarta Timur
10.36
14.12
16.31
41.37
5.89
10.77
1.19
100.00
4. Jakarta Pusat
9.29
16.33
17.03
42.09
5.09
9.29
0.88
100.00
5. Jakarta Barat
13.56
17.16
20.23
37.20
2.97
8.30
0.58
100.00
6. Jakarta Utara
12.42
17.47
21.07
37.69
3.53
7.29
0.54
100.00
DKI Jakarta
11.37
15.75
18.11
39.53
4.60
9.67
0.98
100.00
Sumber: SUPAS 2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
50
Penduduk usia 10 tahun ke
Gambar 6.5 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di DKI Jakarta, 2015
atas di DKI Jakarta mayoritas menyelesaikan
pendidikannya
hingga
SLTA
tingkat
39,53
(39,53
40
persen). Sebanyak 11,37 persen
35
penduduk tidak memiliki ijasah,
30 25
baik dikarenakan mereka tidak
20
pernah
sudah
15
sekolah tetapi tidak lulus SD.
10
18,11
15,75 11,37
atau
0
Total
usia 10 tahun ke atas hanya
T dk/blm tmt SD
mampu menamatkan pendidikan tingkat
SD.
Penduduk
4,61
5
Sebanyak 15,75 persen penduduk
hingga
10,65
Sumber : SUPAS2015
SLT P
SLT A
D1-D3
S1 ke atas
SLTP/sederajat sebanyak 18,11
s. go
yang mampu menamatkan pendidikan hingga jenjang
SD
.id /
sekolah,
persen. Penduduk yang mampu menamatkanpendidikan hingga jenjang Perguruan Tinggi
.b p
(D1 ke atas) sebanyak 15,26 persen. Gambar 6.5 menunjukkan persentase penduduk usia
ta
10 tahun ke atas berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan dan kabupaten/kota.
ar
Apabila diamati menurut wilayah kabupaten/kota, rata-rata tingkat pendidikan
//j ak
masyarakatnya sama dengan pola pendidikan di tingkat provinsi. Artinya sebagian besar penduduk di masing-masing kabupaten/kota merupakan tamatan SLTA. Penduduk yang
tp :
mampu menamatkan pendidikannya hingga jenjang pendidikan tinggi relatif masih sedikit,
ht
yaitu berkisar antara 5,6 persen (Kepulauan Seribu) hingga 13,47 persen (Jakarta Selatan). Rata-rata tingkat pendidikan di suatu wilayah terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi dari masing-masing wilayah yang bersangkutan. Sebagai gambaran, Kota Jakarta Selatan yang memiliki persentase tertinggi pada penduduknya yang tamat S1 ke atas, secara faktual kondisi sosial dan ekonominya relatif lebih baik di antara penduduk di wilayah lainnya. Di wilayah ini banyak pemukiman elit, pusat-pusat perkantoran, dan tingginya aktivitas ekonomi formal, yang secara langsung memicu tingginya pertubuhan ekonomi di wilayah ini. Implikasinya daya beli masyarakat di wilayah ini lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Akibatnya
kemampuan
mereka
membelanjakan
pendapatan
untuk
sektor
pendidikan juga lebih baik dibandingkan wilayah lainnya, hal ini pada gilirannya meningkatkan rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Jakarta Selatan. Sebaliknya Kepulauan Seribu dengan tingkat pendidikan yang terendah dibandingkan wilayah lainnya, sangat dipengaruhi oleh karakeristik masyarakatnya. Persentase penduduk Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
51
miskin yang paling tinggi di DKI Jakarta terdapat di wilayah Kepulauan Seribu (yakni sekitar 11 persen), sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, yaitu sebagai nelayan, yang pendapatannya relatif rendah dibandingkan pendapatan pekerja di sektor formal. Selain itu kondisi geografis di Kepulauan Seribu relatif sulit, karena antara pulau yang satu dengan pulau yang lainnya hanya dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi air. Dengan demikian untuk menempuh pendidikan ke janjang yang lebih tinggi terkendala kesulitan geografis, karena tidak semua pulau memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap dari SD hingga perguruan tinggi. Kondisi ini turut memberikan kontribusi pada
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
rendahnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat secara umum di wilayah ini.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
52
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
7. PERUMAHAN
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
53
Perumahan Kebutuhan dasar (basic needs) bagi manusia adalah sandang, pangan, dan juga papan atau perumahan. Maslow, seorang ahli ekonomi terkemuka, mengemukakan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi adalah tersedianya rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca, apakah itu panas, dingin, hujan ataupun angin. Pada perkembangannya, rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai tempat tinggal. Sebagai tempat tinggal, aspek kesehatan dan kenyamanan bahkan estetika, bagi sekelompok masyarakat tertentu, merupakan suatu konsideran yang sangat menentukan dalam pemilihan rumah. Semakin lengkap aspek-aspek tersebut dipenuhi, semakin tinggi kualitas rumah tinggal tersebut. Selain pemenuhan aspek-aspek tersebut, kualitas rumah tinggal juga ditentukan oleh
.id /
kualitas bahan bangunan serta fasilitas yang digunakan untuk aktivitas kehidupan seharihari. Semakin tinggi kualitas bahan bangunan rumah serta fasilitas yang digunakan,
s. go
mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penghuninya. Sebab itu, kualitas dan fasilitas lingkungan perumahan memberikan sumbangan pada kenyamanan hidup sehari-
.b p
hari. Yang dimaksud dengan fasilitas rumah adalah luas lantai yang dipergunakan, sumber
ta
dan penggunaan air, jenis penerangan rumah, serta penanganan tempat pembuangan air
//j ak
ar
besar/kotoran.
7.1. Status Kepemilikan/Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal
tp :
Jumlah rumah tangga di DKI Jakarta berdasarkan hasil SUPAS 2005 sebanyak
ht
2.210.966 rumah tangga meningkat menjadi 2.672.881 rumah tangga pada tahun 2015 (SUPAS2015), meningkat sebanyak 461.915 rumah tangga atau sebesar 21 persen. Dari jumlah tersebut, sebagian besar menempati rumah dengan status bangunan milik sendiri, yaitu milik kepala rumah tangga atau salah satu anggota rumah tangga yang lain. Pada tahun 2015, jumlah rumah tangga yang menempati bangunan tempat tinggal milik sendiri mencapai 55,24 persen, meningkat 0,64 persen dibanding tahun 2005 yang sebesar 54,60 persen. Sementara itu jumlah rumah tangga yang menempati rumah dengan status kontrak mengalami penurunan dari 27,43 persen pada tahun 2005 menjadi 19,22 persen pada tahun 2015. Penurunan jumlah rumah tangga yang menempati status kontrak ini diikuti dengan meningkatnya jumlah rumah tangga yang menempati status rumah sewa dari 6,15 persen pada tahun 2005 menjadi 14,33 persen pada tahun 2015. Jumlah rumah tangga yang menempati bangunan dengan status lainnya seperti menempati rumah dinas, rumah Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
54
bersama, rumah saudara/famili relatif sama, yaitu sebesar 11,82 persen pada tahun 2005 dan 11,21 persen tahun 2015. Gambar 7.1 Persentase Rumah Tangga menurut Status Kepemilikan/Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 54,60 55,24
27,43 19,22 14,33
11,82 11,21
6,15
Sewa
Kontrak 2015
Lainnya
s. go
2005
.id /
Milik Sendiri
ta
7.2. Kondisi Bangunan Tempat Tinggal
.b p
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
ar
a. Jenis Lantai Terluas
//j ak
Jenis lantai dengan kualitas bagus seperti keramik/marmer/granit digunakan oleh sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta, baik pada tahun 2005 maupun 2015. Pada
tp :
tahun 2005 jenis lantai tersebut baru digunakan oleh sebanyak 60,34 persen rumah tangga,
ht
namun pada tahun 2015 sudah meningkat menjadi hampir 80 persen rumah tangga. Meningkatnya
jumlah
rumah
tangga
yang
menggunakan
lantai
keramik/marmer/granit diikuti oleh menurunnya jumlah rumah tangga dengan jenis lantai ubin/tegel/teraso dari 24,56 persen menjadi hampir 13 persen, dan juga menurunnya jumlah rumah tangga dengan jenis lantai semen/bata merah dari 12,66 persen pada tahun 2005 menjadi 5,32 persen tahun 2015. Untuk jenis lantai lainnya relatif tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 2,44 persen pada tahun 2005 dan 2,52 tahun 2015. Jenis lantai rumah mampu menunjukkan tingkat kesejahteraan penghuni rumah, dengan demikian semakin banyak rumah tangga yang menggunakan jenis lantai dengan kualitas
bagus
menunjukkan
semakin
banyak
rumah
tangga
yang
meningkat
kesejahteraannya.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
55
Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Lantai Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 2005
2,44
12,66
5,32
2,52
2015
12,88
24,56 60,34
79,29
Keramik/Marmer/granit
Ubin/Tegel/Teraso
Semen/Bata Merah
Lainnya
Keramik/Marmer/granit
Ubin/Tegel/Teraso
Semen/Bata Merah
Lainnya
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
b. Jenis Dinding Terluas
.id /
Dinding merupakan batas luar dari suatu rumah. Jenis dinding dibedakan menjadi
s. go
dinding tembok, kayu, dan lainnya. Salah satu kriteria rumah layak huni adalah bangunan rumah dengan jenis dinding bukan kayu atau lainnya. Semenjak tahun 2005, lebih dari 90
.b p
persen rumah tangga yang tinggal di DKI Jakarta menempati rumah dengan dinding
ta
tembok. Pada tahun 2005 sebanyak 91,16 persen rumah tangga menggunakan dinding
ar
tembok, dan meningkat menjadi sekitar 94 persen tahun 2015.
//j ak
Jumlah rumah tangga dengan dinding kayu dan lainnya masih relatif banyak di DKI Jakarta, terutama pada rumah-rumah semi permanen yang mencapai hampir 9 persen pada
tp :
tahun 2005 (rumah berdinding kayu sekitar 8 persen dan lainnya sekitar 1 persen). Seiring
ht
dengan meningkatnya jumlah rumah tangga dengan dinding tembok, jumlah rumah tangga dengan dinding kayu dan lainnya, menurun menjadi sebanyak 6 persen pada tahun 2015. Gambar 7.3 Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Dinding Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
2005
8,02
5,06
0,82
Kayu
2015
93,99
91,16
Tembok
0,95
Lainnya
Tembok
Kayu
lainnya
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
56
Jenis dinding mampu menunjukkan tingkat kesejahteraan penghuninya, rumah tangga dengan dinding tembok relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan rumah tangga dengan dinding kayu atau lainnya. Peningkatan jumlah rumah yang berdinding tembok mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan rumah tangga di DKI Jakarta pada tahun 2015 dibanding tahun 2005. c. Jenis Atap Terluas Atap merupakan bagian teratas dari suatu bangunan tempat tinggal, dan bertujuan untuk melindungi dari panas dan dingin, dan juga untuk menahan benda atau kotoran yang jatuh ke dalam rumah. Seperti halnya bagian rumah yang lainnya, semakin bagus atap semakin sejahtera penghuninya. Jenis atap yang sering digunakan meliputi atap beton, kayu/sirap, genteng, dan asbes/seng/lainnya. Data hasil SUPAS2015 menunjukkan sebagian
.id /
besar rumah tangga di DKI Jakarta lebih banyak menggunakan atap asbes/seng/lainnya yang jumlahnya mencapai 58,26 persen, disusul oleh atap genteng sebesar 37,38 persen,
s. go
dan atap beton 3,63 persen.
ar
Jenis Atap Terluas
tp :
//j ak
(1)
Beton Kayu/Sirap Genteng Asbes/Seng/Lainnya
ta
.b p
Tabel 7.1 Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Atap Terluas di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 2005
2015
(2)
(3)
2,57 1,38 64,67 31,38
3,63 0,72 37,38 58,26
ht
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Angka ini agak sedikit berbeda dengan hasil SUPAS 2005 dimana sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta masih menggunakan atap genteng yang jumlahnya mencapai 64,67 persen, atap asbes/seng/lainnya sebanyak 31,38 persen, dan atap beton sebanyak 2,57 persen. Baik pada tahun 2005 maupun 2015, masih ditemukan rumah tangga yang menggunakan atap kayu/sirap dengan jumlah rumah tangga sebanyak 1,38 persen pada tahun 2005, dan 0,72 persen tahun 2015. 7.3. Penggunaan Bahan Bakar untuk Memasak Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak oleh rumah tangga dibedakan menjadi listrik, gas, minyak tanah, dan arang/briket/batu bara/lainnya. Gas merupakan jenis bahan bakar yang banyak digunakan oleh rumah tangga di DKI Jakarta pada tahun 2015. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
57
Pada tahun 2005, jumlah rumah tangga yang menggunakan bahan bakar gas baru mencapai 25,71 persen, pada tahun 2015 meningkat menjadi 89,86 persen. Pada tahun 2005 bahan bakar utama yang digunakan untuk memasak rumah tangga di DKI Jakarta masih didominasi oleh minyak tanah yang mencapai 68,95 persen, menurun pada tahun 2015 menjadi 1,54 persen. Beralihnya sumber bahan bakar utama memasak dari minyak tanah ke gas terutama sejak dilakukannya konversi minyak tanah ke gas dan diberikannya subsidi tabung gas ke hampir seluruh masyarakat. Semenjak itu minyak tanah seperti menghilang dari pasaran dan harganya menjadi mahal. Gambar 7.4 Persentase Rumah Tangga menurut Bahan Bakar Utama untuk Memasak di DKI Jakarta, 2005 dan 2015
2005
2,09
3,24
1,54
s. go
Minyak Tanah
Arang/Briket/Batu Bara/Lainnya
2015
Listrik
Gas
89,86
Minyak Tanah
Arang/ Briket/ Batu Bara/ Lainnya
//j ak
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
ar
Gas
ta
.b p
68,95
Listrik
3,63
.id /
25,71
4,96
tp :
Rumah tangga yang menggunakan listrik sebagai bahan bakar utama untuk
ht
memasak relatif sedikit jumlahnya, yaitu sebesar 3,63 persen pada tahun 2015. Jumlah ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2005 yang mencapai 2,09 persen. Penggunaan listrik sebagai bahan bakar utama untuk memasak terutama pada rumah tangga yang memang menggunakan kompor listrik untuk memasak, atau pada rumah tangga yang tidak memasak masakan kecuali hanya memasak nasi menggunakan rice cooker. 7.4. Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga Sumber penerangan untuk rumah tangga yang ideal adalah yang bersumber dari listrik, karena penerangan dari listrik mampu memberikan pencahayaan yang optimal.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
58
Tabel 7.2 Persentase Rumah Tangga menurut Sumber Penerangan Utama di DKI Jakarta, 2015 Sumber Penerangan Utama
2015
(1)
(2)
Jumlah
95.03 4.91 0.04 0.02 100.00
PLN Meteran PLN Non Meteran Non PLN Bukan Listrik Sumber: SUPAS2015
SUPAS 2015 menunjukkan hampir semua rumah tangga (99,98 persen) di DKI Jakarta telah menggunakan sumber penerangan utama listrik. Dari jumlah tersebut dibedakan menjadi listrik PLN Meteran yang digunakan oleh 95,03 persen rumah tangga, PLN Non
.id /
Meteran 4,91 persen, dan Non PLN 0,04 persen. Listrik PLN Non Meteran digunakan pada rumah tangga yang tidak menggunakan meteran di rumah tangganya, misalnya
s. go
menyalurkan listrik dari rumah tangga lain. Sumber penerangan listrik non PLN digunakan pada rumah tangga yang menggunakan generator set sebagai pembangkit tenaga listrik,
ta
.b p
misalnya seperti yang masih ditemui di Kabupaten Kepulauan Seribu.
ar
7.5. Sumber Air Minum Utama Rumah Tangga
//j ak
Sumber air minum yang digunakan dibedakan menjadi air kemasan, air isi ulang, ledeng sampai rumah, ledeng eceran, pompa, sumur terlindung, dan lainnya. Hasil SUPAS
tp :
2015 menunjukkan sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta pada tahun 2015
ht
menggunakan air mineral sebagai sumber air minum, yaitu sebesar 71,40 persen. Jumlah ini meliputi 38,64 persen rumah tangga dengan sumber air kemasan dan 32,76 persen rumah tangga dengan sumber air isi ulang. Rumah tangga yang menggunakan air ledeng seluruhnya mencapai 13,68 persen meliputi ledeng sampai rumah sebesar 9,75 persen dan ledeng eceran 3,93 persen. Rumah tangga yang menggunakan ledeng ini sedikit lebih banyak jika dibandingkan jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber air minum pompa yang sebesar 11,42 persen. Rumah tangga dengan sumber air minum sumur terlindung mencapai 3,42 persen, dan sumber air minum lainnya sebesar 0,06 persen. Sumber air minum pompa dan sumur terlindung seluruhnya mencapai 14,84 persen. Rumah tangga yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minum umumnya di daerah Jakarta Timur bagain selatan dan di Jakarta Selatan yang kondisi air tanahnya masih cukup bagus.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
59
Gambar 7.5 Pesentase Rumah Tangga menurut Sumber Air Minum Utama di DKI Jakarta, 2015 3,42
11,42
0,06 Air Kemasan Air Isi Ulang Ledeng Sampai Rumah Ledeng Eceran Pompa Sumur Terlindung Lainnya
38,64
3,93 9,75
32,76 Sumber: SUPAS2015
.id /
7.6. Jarak Sumur/ Pompa ke Penampungan Kotoran
s. go
Kualitas air minum rumah tangga yang menggunakan sumber air minum pompa dan sumur terlindung sangat dipengaruhi oleh jarak sumur/pompa ke penampungan kotoran.
.b p
Semakin jauh jarak sumur/sumur terlindung dengan penampungan kotoran akan semakin
ta
bagus. Pada tahun 2005 sekitar 86,17 persen rumah tangga dengan sumber air minum
ar
pompa/sumur terlindung mempunyai jarak kurang dari 10 meter terhadap penampungan
//j ak
kotoran/tinja. Jumlah ini menurun menjadi 34,84 persen rumah tangga pada tahun 2015. Penurunan ini diikuti oleh meningkatnya rumah tangga yang jarak sumber air minum
tp :
dengan penampungan kotoran lebih dari 10 meter, dari 12,56 persen pada tahun 2005 menjadi 50,36 persen tahun 2015.
ht
Tabel 7.3 Persentase Rumah Tangga menurut Jarak Sumur/Pompa ke Penampungan Kotoran di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 Jarak Sumur/Pompa ke Penampungan Kotoran (1)
Kurang dari 10 meter Lebih dari 10 meter Tidak Tahu Jumlah
2005
2015
(2)
(3)
86.17 12.56 1.27 100.00
34.84 50.36 14.8 100.00
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Kondisi ini menunjukkan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat akan arti pentingnya kesehatan sumber air minum terutama yang berasal dari tanah. Terlalu dekat sumber air minum yang berasal dari tanah dengan penampungan kotoran memungkinkan terjadinya rembesan kuman/penyakit dari penampungan kotoran ke sumber air minum. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
60
Pada tahun 2015 sekitar 14,8 persen rumah tangga yang menggunakan sumber air minum yang berasal dari pompa/sumur terlindung tidak mengetahui jarak sumber air minum terhadap penampungan kotoran/tinja. Kemungkinan mereka adalah rumah tangga yang menempati rumah dengan status kepemilikan sewa/kontrak atau lainnya. 7.7. Fasilitas Tempat Buang Air Besar Salah satu fasiltitas perumahan yang sangat penting adalah keberadaan tempat buang air besar dalam rumah tangga. Menurut beradaannya fasilitas tempat buang air besar dibedakan menjadi jamban sendiri, jamban bersama, jamban umum, dan tidak ada fasilitas. Jamban sendiri berarti rumah tangga menggunakan fasilitas tempat buang air besar tersebut sendiri, atau hanya digunakan oleh rumah tangga yang bersangkutan. Jamban bersama artinya fasilitas tempat buang air besar digunakan oleh beberapa rumah tangga.
.id /
Jamban umum artinya jamban tersebut dapat digunakan oleh siapa saja yang ingin
s. go
menggunakan, sedangkan tidak ada jamban berarti rumah tangga tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar/jamban. Status kepemilikan fasilitas tempat buang air besar juga
.b p
mampu menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga, rumah tangga yang mempunyai status tempat buang air besar jamban sendiri, pada umumnya lebih sejahtera dibandingkan
ta
dengan status lainnya.
//j ak
ar
Tabel 7.4 Persentase Rumah Tangga menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar di DKI Jakarta, 2005 dan 2015 2005
2015
(1)
(2)
(3)
79,14 13,97 5,36 1,52 100.00
83,34 13,08 3,40 0,18 100.00
tp :
Fasilitas Tempat Buang Air Besar
ht
Jamban Sendiri Jamban Bersama Jamban Umum Tidak Ada Jamban Jumlah
Sumber: SUPAS2005, SUPAS2015
Sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta mempunyai fasilitas tempat buang air besar berupa jamban sendiri, jumlahnya mencapai 79,14 persen pada tahun 2005 meningkat 4,20 persen menjadi 83,34 persen pada tahun 2015. Meningkatnya jumlah rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri diikuti oleh menurunnya rumah tangga yang menggunakan jamban bersama dari 13,97 persen pada tahun 2005 menjadi 13,08 pada tahun 2015 dan menurunnya jumlah tangga dengan jamban umum dari 5,36 persen pada tahun 2005 menjadi 3,40 persen pada tahun 2015. Demikian juga rumah tangga yang
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
61
tidak mempunyai fasilitas telah berkurang dari 1,52 persen pada tahun 2005 menjadi 0,18 persen pada tahun 2015.
7.8. Tempat Penampungan Akhir Tinja Tinja merupakan salah satu limbah yang harus dikelola dengan baik karena dapat menjadi sumber pencemaran tanah dan pembawa penyakit. Hampir seluruh rumah tangga (93,90 persen) di DKI Jakarta pada tahun 2015 telah menggunakan tangki septik sebagai tempat
penampungan tinja.
Sebanyak 2,21
persen
rumah
tangga
menggunakan
penampungan tinja bukan tangki septik, dan sisanya 3,89 persen rumah tangga tidak mempunyai penampungan tinja. Sebanyak
Gambar 7.6 Persentase Rumah Tangga menurut Tempat Akhir Penampungan Tinja di DKI Jakarta, 2015
tangga
.id /
rumah
6,10
penampungna
persen dengan
kotoran
bukan
s. go
tangki septik dan tidak punya
3,89
penampungan
ar
ta
.b p
2,21
//j ak
93,90
Bukan Tangki Septik
Tidak Punya
ht
Sumber: SUPAS2015
tp :
Tangki Septik
harus
menjadi
perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini mengingat dampak yang
ditimbulkan
dari
kuman
penyakit yang dapat disebarkan melalui kotoran/tinja yang tidak dikelola
dengan
baik.
Pada
penampungan bukan tangki septik, kotoran
akan
mencemari
lingkungan sekitarnya, terutama mencemari sumber air tanah dan menyebabkan air menjadi terkontaminasi sumber penyakit. Apabila air dikonsumsi akan sangat membahayakan kesehatan manusia. Rumah tangga yang tidak mempunyai penampungan tinja umumnya bertempat tinggal di pinggir kali, sehingga mereka mengalirkan kotoran/tinja ke kali. Sebaiknya ada larangan tegas dari pemerintah kepada kelompok rumah tangga ini, mengingat kotoran dan limbah yang dibuang ke kali akan mencemari air kali, membawa kuman penyakit, menyebabkan bau, kali menjadi cepat dangkal, dan lain sebagainya.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
62
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
8. PERUBAHAN IKLIM
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
63
PERUBAHAN IKLIM Perubahan iklim menurut Wikipedia adalah perubahan yang terjadi secara signifikan mengenai pola cuaca yang dihitung berdasarkan angka statistik dalam rentang waktu puluhan tahun hingga ratusan tahun lamanya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan iklim seperti proses biologis, radiasi sinar matahari, tekanan tektonik, erupsi gunung berapi, dan masih banyak lagi. Sedangkan pengertian perubahan iklim menurut Enviromental Protection Agency (EPA) adalah perubahan iklim secara signifikan yang terjadi pada periode waktu tertentu. Dengan kata lain, perubahan iklim juga bisa diartikan sebagai perubahan suhu yang drastis, curah hujan, pola angina, dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa suhu bumi berubah satu derajat dalam tempo 100 tahun terakhir.
.id /
Terjadinya peristiwa perubahan iklim bukan terjadi secara tiba-tiba, ini dikarenakan manusia. Penyebab perubahan iklim antara lain :
s. go
ada faktor-faktor penyebabnya baik itu karena fenomena alam maupun karena tingkah laku
.b p
1. Aktivitas manusia seperti penebangan hutan secara liar
ta
2. Terjadinya fenomena pemanasan global
ar
3. Terjadinya peristiwa efek rumah kaca
//j ak
4. Terjadinya El Nino dan El Nina di lautan
tp :
5. Menipisnya lapisan ozon di atmosfir bumi.
ht
8.1. Pengetahuan tentang Perubahan Iklim Pengetahuan mengenai perubahan iklim bagi masyarakat menjadi hal yang sangat penting agar masyarakat dapat mengetahui dampak dari perubahan iklim tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya perubahan iklim. Gambar 8.1 berikut ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil SUPAS 2015 dari 2,67 juta rumah tangga di DKI Jakarta lebih dari setengahnya pernah mendengar mengenai perubahan iklim, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 58,12 persen. Sisanya sebanyak 41,88 persen rumah tangga menyatakan belum pernah mendengar mengenai perubahan iklim. Apabila dilihat menurut kabupaten kota (Gambar 8.1), persentase jumlah rumah tangga yang pernah mendengar mengenai perubahan iklim terbanyak di Kota Jakarta Selatan sebesar 68,65 persen. Angka ini lebih besar dibanding dengan angka DKI Jakarta yang hanya sebesar 58,12 persen. Selanjutnya adalah Kota Jakarta Barat dan Jakarta Timur yang masing-masing sebesar 57,21 persen dan 57,04 persen. Kota Jakarta Pusat sekitar Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
64
56,36 persen rumah tangganya pernah mendengar mengenai perubahan iklim. Berbeda dengan kota lain, kota Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2015 kurang dari separuh jumlah rumah tangga yang pernah mendengar mengenai perubahan iklim, dimana Kota Jakarta Utara sebesar 49,26 persen, dan Kabupaten Kepulauan Seribu sekitar 36,01 persen. Gambar 8.1 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Pernah Mendengar tentang Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
63,99
tangga
1,5
yang
juta
lebih
menyatakan
rumah pernah
mendengar mengenai perubahan iklim, ternyata tidak seluruhnya mengetahui
68,65 57,04
50,74 58,12 49,26 42,79 41,88
57,21
56,36
43,64
42,96 36,01
Dari
tentang
perubahan
iklim
tersebut.
Jumlah rumah tangga yang pernah mendengar mengenai perubahan iklim
31,35
.id /
dan mengetahui mengenai perubahan
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Pusat Ya
Jakarta Barat
Jakarta Utara
DKI Jakarta
sisanya
16,04
pernah
Tidak
perubahan
menyatakan
iklim
mengenai tetapi
tidak
mengetahui tentang perubahan iklim.
ar
ta
Sumber: SUPAS2015
persen
mendengar
.b p
Kep. Seribu
s. go
iklim sebanyak 83,96 persen, dan
//j ak
Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota tampak bahwa jumlah rumah tangga yang pernah mendengar tetapi tidak mengetahui mengenai perubahan iklim terbanyak di
tp :
Kota Jakarta Utara sebesar 24,56 persen, disusul oleh Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 19,31 persen, untuk Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Barat masing-masing sebesar
ht
17,13 persen, Kota Jakarta Timur sebesar 12,32 persen dan yang terendah (paling baik) di Kota Jakarta Pusat, hanya sebesar 7,51 persen rumah tangga (Tabel 8.1). Tabel 8.1 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Mengetahui tentang Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Kabupaten/Kota 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengetahui tentang Perubahan Iklim Ya Tidak
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
80,69 82,87 87,68 92,49 82,87 75,44 83,96
19,31 17,13 12,32 7,51 17,13 24,56 16,04
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: SUPAS2015 Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
65
Rumah tangga yang pernah mendengar mengenai perubahan iklim dan mengetahui tentang perubahan iklim tidak seluruhnya mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Padahal dengan mengetahui dampak perubahan iklim yang begitu luar biasa mengerikan, maka pelestarian bumi dapat dilakukan dengan berbagai macam hal dalam kehidupan sehari-hari. Dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan antara lain : 1. Sarana dan prasarana (infrastruktur) menjadi rusak. 2. Merebaknya wabah penyakit terutama pernafasan. 3. Kekeringan dan kekurangan sumber air. 4. Terjadinya bencana alam dimana-mana. 5. Harga pangan menjadi semakin meningkat (mahal). 6. Udara menjadi semakin panas/kotor.
.id /
Pada tahun 2015 berdasarkan hasil SUPAS2015 dari 1,3 juta rumah tangga yang mengetahui perubahan iklim, sebanyak 91,52 persen mengetahui akibat dari perubahan
s. go
iklim seperti suhu udara yang mulai panas, musim kemarau yang tidak menentu, dan kelangkaan air bersih. Sementara sebanyak 4,47 persen tidak mengetahui akibat perubahan
.b p
iklim, dan sisanya 4,01 persen menjawab tidak tahu.
//j ak
ar
ta
Gambar 8.2 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Mengetahui Akibat Perubahan Iklim menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Tidak mengetahui
Kep. Seribu
tp :
4,90
Jakarta Timur
DKI Jakarta Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Utara
Jakarta Utara Jakarta Pusat
4,97
ht
Jakarta Selatan
Mengetahui
Jakarta Barat
7,25
DKI Jakarta
8,48
Jakarta Selatan
8,98 11,97 14,90
85,10 88,03 91,02 91,52 92,75
Jakarta Timur
95,03
Kep. Seribu
95,10
Sumber: SUPAS2015 Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota (Gambar 8.2), rumah tangga yang mengetahui akibat perubahan iklim untuk setiap kabupaten/kota jumlahnya sudah cukup tinggi berkisar antara 85 sampai 95 persen. Persentase jumlah rumah tangga yang Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
66
mengetahui akibat perubahan iklim tertinggi di Kabupaten Kepulauan Seribu dan Kota Jakarta Timur yang masing-masing sebesar 95,10 persen dan 95,03 persen. Selanjutnya adalah Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Barat sebesar 92,75 persen dan 91,02 persen. Kota Jakarta Pusat dan Jakarta Utara relatif lebih rendah, sebesar 88,03 persen dan 85,10 persen. Jumlah rumah tangga yang menjawab tidak mengetahui akibat perubahan iklim dan tidak tahu, mencapai 8,48 persen. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, terbanyak di Kota Jakarta Utara mencapai 14,90 persen, disusul oleh Jakarta Pusat 11,97 persen, dan Jakarta Barat 8,98 persen. Kota Jakarta Selatan mempunyai jumlah rumah tangga yang tidak mengetahui dan tidak tahu akibat perubahan iklim sebanyak 7,25 persen, disusul oleh Kota Jakarta Timur dan Kabupaten Kepulauan Seribu masing-masing sebesar 4,97 persen
.id /
dan 4,90 persen.
s. go
8.2. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang
.b p
dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan
ta
iklim yang diprediksi atau yang sudah terjadi. Mitigasi adalah kegiatan jangka panjang yang
ar
dilakukan untuk menghadapi dampak dengan tujuan untuk mengurangi resiko atau
//j ak
kemungkinan terjadi suatu bencana. Kegiatan lebih lanjut dari mitigasi dampak adalah kesiapan dalam menghadapi bencana, tanggapan ketika bencana dan pemulihan setelah
tp :
bencana terjadi (Murdiyarso, 2001). Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan mereka
ht
perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program berkenaan
dengan
beragam
persoalan
seperti
pengentasan
kemiskinan,
pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan tugas pemerintah pusat saja, tetapi menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi non pemerintah, serta pihak swasta. Salah satu dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah suhu udara yang terasa semakin panas. Pada tahun 2015 berdasarkan hasil SUPAS2015 di DKI Jakarta sebanyak 95,64 persen dari 2,6 juta rumah tangga merasakan suhu udara semakin panas, sisanya sebanyak 4,36 persen tidak merasakan. Suhu udara semakin panas ini paling banyak dirasakan oleh rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Kepulauan Seribu, mencapai 98,96 persen dan hanya 1,04 persen rumah tangga yang tidak merasakan. Secara
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
67
umum dapat dikatakan 95 persen lebih rumah
tangga
kabupaten/kota
untuk
setiap
DKI
Jakarta
di
Gambar 8.3 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Merasakan Suhu Udara Semakin Panas menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
merasakan suhu udara yang semakin panas (Gambar 8.3). Berbagai
98,96
upaya
yang
dapat 97,08
dilakukan untuk mengurangi suhu udara yang semakin panas misalnya dengan melakukan
penanaman
pemeliharaan
tanaman.
95,64 95,10
maupun Upaya
96,54
96,07 94,68
lain
misalnya menjaga agar hutan tidak
.id /
terus berkurang, mengurangi efek gas rumah kaca, karena gas rumah kaca
Kep. Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta DKI Seribu Selatan Timur Pusat Barat Utara Jakarta
s. go
menahan panas dari matahari dan tidak
Sumber: SUPAS2015
.b p
dipantulkan kembali ke angkasa.
ar
ta
Tabel 8.2 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Suhu Udara Semakin Panas menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
//j ak
Kabupaten/Kota (1)
tp :
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
ht
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Melakukan Upaya Ya Tidak
Jumlah
(2)
(3)
(4)
99,45 83,56 79,89 81,86 71,94 90,03 80,73
0,55 16,44 20,11 18,14 28,06 9,97 19,27
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: SUPAS2015
Data hasil SUPAS2015 menunjukkan dari total 2,5 juta rumah tangga yang merasakan suhu udara semakin panas, sebanyak 80,73 persen melakukan upaya untuk mengurangi akibat suhu udara yang semakin panas tersebut. Sisanya 19,27 persen tidak melakukan upaya. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, jumlah rumah tangga yang tidak melakukan upaya untuk mengurangi akibat suhu udara yang semakin panas paling banyak terdapat di Kota Jakarta Barat dan Jakarta Timur, masing-masing sebesar 28,06 persen dan 20,11 persen. Jumlah paling sedikit di Kabupaten Kepulauan Seribu, hanya 0,55 persen.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
68
Selain
Gambar 8.4 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Merasakan Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
suhu
udara
yang
semakin panas, dampak lain dari perubahan iklim adalah musim hujan yang tidak menentu. Musim hujan
97,57
dan musim kemarau adalah dua
96,69
musim
yang
Perubahan
95,07 94,49
iklim
berbeda membuat
waktu. batas
antara musim hujan dan musim
94,36 93,87
kemarau menjadi tidak jelas lagi,
93,78
hujan terkadang turun di musim kemarau.
Berdasarkan
hasil
SUPAS2015 yang ditunjukkan oleh
Kep. Jakarta Seribu Pusat Jakarta DKI Selatan Jakarta Jakarta Jakarta Barat Utara Jakarta Timur
.id /
Gambar 8.4 di atas, tampak bahwa
s. go
hampir seluruh rumah tangga di DKI
Sumber: SUPAS2015
Jakarta
merasakan
musim
hujan
.b p
yang tidak menentu (94,49 persen dari 2,5 juta rumah tangga) dan hanya 5,51 persen yang tidak merasakan. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, persentase jumlah rumah tangga
ta
yang merasakan musim hujan yang tidak menentu terbanyak di Kabupaten Kepulauan
ar
Seribu (97,57 persen), disusul oleh Kota Jakarta Pusat (96,69 persen), Kota Jakarta Selatan
//j ak
(95,07), Kota Jakarta Barat (94,36 persen), Kota Jakarta Utara (93,87 persen) dan Kota
tp :
Jakarta Timur (93,78 persen).
Rumah tangga yang merasakan musim hujan yang tidak menentu, tidak seluruhnya
ht
melakukan upaya untuk mengurangi musim hujan yang tidak menentu tersebut. Dari 2,5 juta rumah tangga yang merasakan musim hujan yang tidak menentu tersebut, lebih dari separuhnya (52,36 persen) ternyata tidak melakukan upaya apa-apa. Sisanya sebanyak 47,64 persen menyatakan pernah melakukan upaya mengurangi akibat musim hujan yang tidak menentu (Tabel 8.3). Tampak bahwa lebih banyak masyarakat yang meskipun merasakan akibat musim hujan yang tidak menentu, namun tidak melakukan upaya mengurangi akibat musim hujan yang tidak menentu tersebut. Masih banyaknya masyarakat yang tidak melakukan upaya di atas, bisa jadi karena pengetahuan terkait upaya pencegahan akibat perubahan iklim yang masih kurang, sehingga diperlukan peningkatan pemahaman oleh instansi terkait ataupun penggiat lingkungan.
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
69
Tabel 8.3 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Melakukan Upaya Ya Tidak
Kabupaten/kota (1)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
Jumlah
(2)
(3)
(4)
60,81 49,56 41,48 57,65 44,18 54,36 47,64
39,19 50,44 58,52 42,35 55,82 45,64 52,36
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: SUPAS2015 Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota, wilayah yang lebih dari separuh
.id /
jumlah rumah tangga tidak melakukan upaya mengurangi akibat musim hujan yang tidak
s. go
menentu akibat perubahan iklim, adalah Kota Jakarta Timur (58,52 persen), Jakarta Barat (55,82 persen), dan Jakarta Selatan (50,44 persen). Untuk Jakarta Utara dan Jakarta Pusat
.b p
masing-masing sebesar 45,64 persen dan 42,35 persen. Sementara Kepulauan Seribu
musim
hujan
yang
tidak
//j ak
dengan
Gambar 8.5 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Tidak Melakukan Upaya Mengurangi Akibat Musim Hujan yang Tidak Menentu menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
ar
Perubahan iklim selain ditandai
ta
mempunyai jumlah paling sedikit, hanya 39,19 persen (Gambar 8.5).
menentu juga ditandai dengan semakin
tp :
langkanya sumber air bersih yang bisa
Jakarta Timur
yang panjang. Dari 2,6 juta rumah
Jakarta Barat
tangga di DKI Jakarta pada tahun
DKI Jakarta
2015, sekitar 18,43 persen merasakan
Jakarta Selatan
kelangkaan air bersih, dan sisanya
Jakarta Utara
81,57
merasakan
Jakarta Pusat
kelangkaan air bersih. Lebih banyaknya
Kep. Seribu
ht
jadi diakibatkan oleh musim kemarau
persen
tidak
58,52 55,82 52,36 50,44 45,64 42,35 39,19
rumah tangga yang tidak merasakan kelangkaan
air
bersih
bisa
jadi
Sumber: SUPAS2015
disebabkan rumah tangga tersebut tidak mengalami kendala akses air bersih. Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota, tampak bahwa rumah tangga yang tidak merasakan kesulitan air bersih paling banyak terdapat di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur yang masing-masing sebanyak 86,29 persen dan 85,84 persen rumah tangga. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
70
Gambar 8.6 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Selama Lima Tahun Terakhir Tidak Merasakan Kelangkaan Air Bersih menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
Di kedua wilayah ini masih banyak ditemukan sebagai
penggunaan
sumber
masyarakat.
air
Hal
air bersih
ini
tanah oleh cukup
menggembirakan karena mereka tidak Jakarta Selatan
86,29
merasakan
Jakarta Timur
85,84
dalam lima tahun terakhir. Sekitar Utara
80,12
Jakarta Utara 76,05
Jakarta Barat
75,86
juga
tidak
merasakan
kelangkaan air bersih selama lima tahun terakhir. Sementara itu di Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat dan Kabupaten Kepulauan Seribu masing-
72,70
masing mencapai 76,05 persen, 75,86
s. go
Kep. Seribu
bersih
.id /
Jakarta Pusat
air
80,12 persen rumah tangga di Jakarta
81,57
DKI Jakarta
kelangkaan
persen, dan 72,70 persen (Gambar 8.6).
.b p
Sumber: SUPAS2015
ar
ta
8.3. Upaya yang Dilakukan terhadap Perubahan Iklim
//j ak
a. Pemeliharaan Tanaman di Pekarangan Rumah Seperti sudah disebutkan sebelumnya, salah satu cara untuk menangani akibat
tp :
perubahan iklim adalah dengan melakukan penanaman pohon. Penanaman pohon ini seharusnya dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah dapat
ht
melakukan kegiatan menanam dan memelihara pohon di area publik (seperti ruang terbuka hijau yang berupa taman dan sepanjang jalan), menanam dan memelihara hutan kota, dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat dapat melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon minimal di pekarangan mereka sendiri. Gambar 8.7 menunjukkan bahwa ternyata pada tahun 2015 lebih dari tiga perempat rumah tangga di DKI Jakarta tidak memelihara tanaman di pekarangan rumah mereka. (83,55 persen dari 2,6 juta rumah tangga). Atau dengan kata lain jumlah rumah tangga yang memelihara tanaman hanya 16,45 persen saja. Data ini memberikan gambaran bahwa kesadaran masyarakat DKI Jakarta untuk menanam dan memelihara tanaman di pekarangan rumah masih sangat rendah. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya terbatasnya lahan pekarangan yang dimiliki, atau tidak mengetahui manfaat dari menanam dan memelihara tanaman di pekarangan rumah terkait perubahan iklim. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
71
Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota, tampak bahwa jumlah rumah tangga yang paling sedikit melakukan pemeliharan tanaman di pekarangan rumah ada di Kota Jakarta Pusat, hanya sekitar 9,02 persen, atau hampir seluruh rumah tangga di Jakarta Pusat tidak melakukan pemeliharaan pekarangan rumahnya. Sebaliknya Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan wilayah dengan 22,61 persen rumah tangganya memelihara tanaman di pekarangan rumahnya. Gambar 8.7 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Memelihara Tanaman di Pekarangan Rumah menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Tidak Memelihara Tanaman di Pekarangan Rumah
Memelihara Tanaman Tanaman di Pekarangan Rumah 22,61
21,32
90,98 18,49 86,74 14,60
85,40
.id /
16,45
83,55
13,26
81,51 78,68
77,39
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
9,02
Sumber: SUPAS2015
tp :
b. Keberadaan Sumur Resapan
ht
Selain melakukan penanaman dan
pemeliharaan tanaman di pekarangan rumah,
kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi dampak perubahan iklim adalah dengan membuat sumur resapan di lingkungan pekarangan rumah. Pembuatan sumur resapan di DKI Jakarta tidak hanya dilakukan oleh warga masyarakat tetapi juga dilakukan oleh pemerintah melalui pembuatan sumur resapan di sekitar jalan dan tempattempat lain. Sumur resapan merupakan salah satu cara konservasi air tanah, dan tujuannya antara lain untuk (http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Sumur/sumur.html) : 1.
Pelestarian sumber daya air tanah, perbaikan kualitas lingkungan dan membudayakan kesadaran lingkungan.
2. Membantu menanggulangi kekurangan air bersih. 3. Menjadi keseimbangan air di dalam tanah dalam sitem akuifer pantai. 4. Mengurangi limpasan permukaan (runoff) dan erosi tanah. Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
72
Sedangkan manfaat sumur resapan antara lain mampu menambah jumlah air yang masuk ke dalam tanah sehingga dapat menjaga keseimbangan hidrologi air tanah yang pada gilirannya dapat mencegah intrusi air laut, sumur resapan juga mampu mengisi poripori tanah dan mencegah terjadinya penurunan tanah di suatu tempat. Pada tahun 2015 dari 2,6 juta Gambar 8.8 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Terdapat Sumur Resapan di Rumahnya menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
rumah tangga di DKI Jakarta hanya sekitar 4,01 persen rumah tangga yang terdapat sumur resapan di rumahnya, dan sisanya sebanyak 95,99 persen
6,41
rumah tangga tidak terdapat sumur resapan
di
rumahnya.
5,52
Apabila
4,01
3,69
tampak
bahwa
persentase
jumlah
1,59
s. go
rumah tangga yang mempunyai paling banyak sumur resapan di rumahnya
1,86
1,88
Kep. Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Seribu Selatan Timur Pusat Barat Utara
.b p
terdapat di Kota Jakarta Selatan dan
DKI Jakarta
Sumber: SUPAS2015
ar
ta
Jakarta Timur, masing-masing sebesar 6,41 persen dan 5,52 persen. Seperti
.id /
diperhatikan menurut kabupaten/kota,
//j ak
diketahui Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur merupakan wilayah di DKI Jakarta yang masih terdapat lahan bukan perumahan relatif lebih banyak dibandingkan wilayah lain.
tp :
Kedua wilayah ini sebagian masyarakatnya bahkan tidak sedikit yang masih menggunakan
ht
sumber air minum yang berasal dari sumur, karena kualitas air tanahnya yang masih bagus. Persentase jumlah rumah tangga di Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat yang terdapat sumur resapan di lingkungan rumahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Kota Jakarta Pusat terdapat 3,69 persen rumah tangga, sementara di Jakarta Utara dan Jakarta Barat masing-masing hanya 1,88 persen dan 1,86 persen. Di Kabupaten Kepulauan Seribu bahkan hanya sebesar 1,59 persen rumah tangga (Gambar 8.8). Relatif sedikitnya sumur resapan yang dimiliki oleh rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Seribu disebabkan oleh terbatasnya lahan pekarangan di Kabupaten Kepulauan Seribu, sehingga kurang memungkinkan untuk keberadaan sumur resapan. Mengingat besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sumur resapan, dan masih sedikitnya rumah tangga yang mempunyai sumur resapan, tekonologi pembuatan sumur resapan ini seharusnya terus disampaikan kepada masyarakat. Kepala Dinas Energi dan Perindustrian DKI Jakarta, Andi Baso mengatakan bahwa telah ada peraturan yang Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
73
mewajibkan tiap bangunan maupun tiap rumah untuk menyediakan sumur resapan. Kewajiban itu diatur ke dalam Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2005 tentang Pembuatan Sumur
Resapan. Namun selama ini peraturan tersebut diabaikan dan tidak
dilaksanakan. c. Keberadaan Lubang Resapan Biopori Menurut Wikipedia, lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah sebagai metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya serap air pada tanah. Selanjutnya ke dalam lubang biopori tersebut diisikan sampah organik. Metode ini dicetuskan oleh Dr. Kamir Raziudin Brata, salah satu peneliti dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Prinsip kerja dari biopori
ini
sendiri
adalah
.id /
lubang
meningkatkan daya serap tanah terhadap
s. go
air yang ada di permukaan. Beberapa manfaat lubang biopori
.b p
antara lain :
ta
1. Penyerapan air.
kawasan
di
Gambar : Pembuatan Lubang Biopori oleh Relawan Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Biopori
ht
halaman rumah.
hijau
tp :
4. Meningkatkan
//j ak
3. Kesehatan tanah.
ar
2. Penanganan limbah organik.
Sebanyak 4,57 persen dari 2,67
Gambar 8.9 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang terdapat Lubang Resapan Biopori di Rumahnya menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015
juta rumah tangga di DKI Jakarta pada
7,94
biopori di rumahnya. Sisanya sebanyak 7,18
tahun 2015 mempunyai lubang resapan 95,43
persen
rumah
tangga
tidak
mempunyai lubang resapan biopori di 4,57
lingkungan rumah (Gambar 8.9).
3,81 3,08 1,75 1,02
Jakarta Jakarta DKI Kep. Jakarta Jakarta Jakarta Selatan Timur Jakarta Seribu Pusat Barat Utara Sumber: SUPAS2015
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
Seperti halnya keberadaan sumur resapan, keberadaan lubang resapan biopori juga paling banyak terdapat pada rumah tangga di Kota Jakarta Selatan (7,94 persen) dan Jakarta Timur (7,18 74
persen). Jumlah ini melebihi rata-rata DKI Jakarta yang hanya sebesar 4,57 persen. Sementara itu lubang resapan biopori juga banyak ditemukan di Kabupaten Kepulauan Seribu, mencapai 3,81 persen rumah tangga. Jumlah ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di Jakarta Pusat yang sebesar 3,08 persen. Jumlah paling sedikit terdapat di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, masing-masing 1,75 persen dan 1,02 persen. Masih sedikitnya rumah tangga di DKI Jakarta yang mempunyai lubang biopori di pekarangan rumahnya membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya lubang biopori sebagai bagian dari upaya yang harus dilakukan dalam mengurangi dampak perubahan iklim masih sangat rendah. Perlu upaya sosialisasi dari pemerintah guna menyadarkan masyarakat agar ikut serta dalam upaya pencegarah dampak akibat
.id /
perubahan iklim di Jakarta.
s. go
d. Pemanfaatan Air Bekas Cucian Buah/Sayur/Beras/Wudhu
Air tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang pemanfaatannya harus
.b p
dikelola dengan baik. Eksploitasi air tanah secara berlebihan sangat tidak dianjurkan karena akan menurunkan permukaan air tanah dan menyebabkan intrusi air laut masuk ke dalam
ta
tanah. Untuk mencegah pemanfaatan air tanah secara berlebihan, rumah tangga dapat
ar
memanfaatkan kembali air bekas cucian buah, sayur, beras, dan bahkan air bekas wudhu
//j ak
untuk keperluan rumah tangga yang lain, misalnya untuk menyiram tanaman, mencuci mobil atau kendaraan yang lain. Pemanfaatan kembali air bekas ini akan mengurangi
tp :
pemakaian air secara keseluruhan, sehingga eksploitasi air dapat dikurangi. Pengurangan
ht
eksploitasi air akan berdampak baik terhadap kelestarian lingkungan dan dalam jangka panjang mampu mencegah kekeringan sebagai dampak dari perubahan iklim global. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa air bekas cucian ini dapat dimanfaatkan kembali untuk berbagai hal seperti ditunjukkan oleh Tabel 8.4 di bawah ini. Tabel 8.4 menunjukkan bahwa pada tahun 2015, hanya 13,15 persen rumah tangga di DKI Jakarta yang memanfaatkan air bekas cucian (buah, sayur, beras) dan wudhu untuk keperluan lain. Sisanya sebanyak 86,85 persen tidak memanfaatkan, atau langsung membuang air bekas cucian tersebut padahal masih dapat digunakan untuk kegiatan lain dalam rumah tangga. Kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan air bekas perlu terus ditingkatkan, hal ini agar penggunaan air pada kegiatan lain yang masih bisa menggunakan air bekas dapat terus dilakukan guna menghemat air yang baru. Apabila diperhatikan menurut kabupaten/kota tampak bahwa jumlah rumah tangga yang memanfaatkan air bekas terdapat di semua kabupaten/kota dengan jumlah tertinggi di Kota Jakarta Selatan Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
75
sebesar 17,82 persen, disusul Kota Jakarta Timur sebesar 15,57 persen. Selanjutnya Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Barat masing-masing sebesar 10,87 persen, 10,31 persen dan 9,31 persen. Sementara yang terendah di Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 2,06 persen. Tabel 8.4 Persentase Jumlah Rumah Tangga yang Memanfaatkan Air Bekas Cucian Buah/Sayur/Beras/Wudhu untuk Keperluan Lain menurut Kabupaten/Kota di DKI Jakarta, 2015 Memanfaatkan Air Bekas Cucian Buah/Sayur/Beras/Wudhu untuk Keperluan Lain Ya Tidak Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI Jakarta
(2)
(3)
(4)
2,06 17,82 15,57 10,87 9,31 10,31 13,15
97,94 82,18 84,43 89,87 90,69 89,69 86,85
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
Sumber: SUPAS2015
.id /
(1)
s. go
Kabupaten/Kota
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
76
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
9. PENUTUP
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
77
Penutup Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan bahwa penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Hal tersebut bermakna bahwa penduduk menjadi subyek dan obyek dalam pembangunan. Pembangunan oleh penduduk dan untuk penduduk. Oleh karena itu, isu tentang kependudukan menjadi sangat penting sekali dalam kaitannya dengan pembangunan berwawasan kependudukan. Profil kependudukan yang disajikan dalam laporan ini menggambarkan beberapa indikator dan variabel yang diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan perencanaan pembangunan ke
.id /
depan.
s. go
Kepadatan penduduk DKI Jakarta yang menunjukkan trend yang sedikit meningkat, bonus demografi yang terus dialami sejak tahun 1980-an hingga saat ini perlu mendapat
.b p
perhatian. Selain itu, adanya peningkatan CWR pada kurun waktu 2005-2015 (dari 250 anak per seribu 1.000 perempuan usia produktif menjadi 296 anak per seribu 1.000 perempuan
ta
usia produktif) dan semakin menurunnya tingkat penggunaan alat/cara KB dari 69 persen
ar
perempuan usia subur (10-54 tahun) pada tahun 2005 menjadi 46 persen tahun 2015,
//j ak
memerlukan adanya evaluasi tentang program pengendalian kelahiran penduduk yang telah dilakukan selama ini. Namun yang cukup menggembirakan, terjadinya penurunan rata-rata
tp :
umur perkawinan pertama perempuan, dari 26,41 tahun pada tahun 2005 menjadi 25,48
ht
tahun pada tahun 2015.
Gambaran mengenai kesulitan fungsional atau disabilitas dari beberapa jenis kesulitan/gangguan
seperti
penglihatan,
pendengaran,
dan
lainnya
tidak
terlalu
mengkhawatirkan, karena secara umum masih di atas 90 persen yang tidak mengalami kesulitan sama sekali. Namun demikian, tetap perlu menjadi perhatian terutama pada penduduk yang benar-benar mengalami kesulitan/gangguan meskipun jumlahnya sedikit. Pada tahun 2015, tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini dikarenakan semakin rendahnya persentase penduduk yang berpendidikan rendah (SD ke bawah) dan semakin tinggi persentase penduduk yang berpendidikan tinggi (SLTA ke atas). Aspek perumahan juga mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik dalam kurun waktu 2005-2015. Status kepemilikan/penguasaan bangunan tempat tinggal oleh rumah Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
78
tangga di DKI Jakarta yang merupakan milik sendiri, meningkat dari 54 persen rumah tangga pada tahun 2005 menjadi 55 persen tahun 2015. Penggunaan lantai terluas yang semakin
bergeser
ke
jenis
lantai
yang
lebih
baik,
dimana
penggunaan
keramik/marmer/granit meningkat dari 60 persen pada tahun 2005 menjadi hampir 80 persen tahun 2015. Demikian pula dengan penggunaan dinding dan atap terluas dari bangunan tempat tinggal menjadi semakin lebih baik. Beberapa indikator perumahan lainnya juga menunjukkan perubahan yang lebih baik. Pengetahuan tentang perubahan iklim bagi masyarakat dan upaya yang dilakukan terhadap perubahan iklim juga menjadi hal yang sangat penting. Gambaran yang terjadi pada tahun 2015, ternyata hanya 58 persen rumahtangga di DKI Jakarta yang pernah mendengar atau mengetahui tentang perubahan iklim. Dari 58 persen rumahtangga
.id /
tersebut, masih terdapat 8 persen rumahtangga yang tidak mengetahui dampak dari perubahan iklim tersebut (suhu udara yang mulai panas, musim kemarau yang tidak
s. go
menentu dan kelangkaan air bersih).
Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap perubahan iklim di lubang
resapan
biopori,
dan
ta
keberadaan
.b p
antaranya pemeliharaan tanaman di pekarangan rumah, keberadaan sumur resapan, pemanfaatan
air
bekas
cucian
ar
buah/sayur/beras/wudhu. Pada kenyataannya, masih sedikit masyarakat di DKI Jakarta
//j ak
yang telah melakukan upaya-upaya tersebut. Bahkan masyarakat yang membuat sumur
ht
persen rumah tangga.
tp :
resapan dan lubang resapan biopori di rumahnya hanya berkisar masing-masing sekitar 4
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
79
ht
tp :
//j ak
ar
ta
.b p
s. go
.id /
DAFTAR PUSTAKA
Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
80
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 1997. Profil Kependudukan Indonesia SUPAS 1995. Jakarta. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2016. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2016. Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015 . Jakarta. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2016. Jakarta Dalam Angka 2016. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2016. Perkawinan Usia anak di Indonesia (2013 dan 2015). Jakarta Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2016. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2015. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Jakarta.
s. go
.id /
Sukarno. 2015. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Fertilitas dan Umur Kawin Pertama. Jakarta: BKKBN. Situs BKKBN http://genre.indonesia.bkkbn.go.id. 2016. Rangkaian Materi Capacity Building bagi Pengelola Program Genre. Dikunjungi pada November 2016. Jakarta.
ta
.b p
Forkonas Kemendikbud. 2014. Laporan Tahunan Pendidikan untuk Semua (PUS) Nasional Tahun 2014. Jakarta.
//j ak
https://goo.gl/efW8Ef
ar
http://pinterdw.blogspot.co.id/2012/01/v-upaya-adaptasi-dan-mitigasi-terhadap.html
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/12/07/1457575/Tiap.Rumah.di.Jakarta.Wajib.Pu
tp :
nya.Satu.Sumur.Resapan
ht
http://ipemasanaglobal.blogspot.com/2014/08/pengertian-perubahan-iklim-serta.html Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas http://www.freedominstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=294:mitigasi-adaptasiperubahan-iklim-untuk-keberlangsungan-hidup-kita-&catid=48:laporan-utama https://www.flickr.com/photos/gpsea/2498556888/ https://id.wikipedia.org/wiki/Biopori https://makkita.wordpress.com/2011/01/27/kesulitan-belajar-disebabkan-oleh-gangguanpendengaran/ http://health.detik.com/read/2012/09/11/112508/2014501/763/susah-fokus-dan-
konsentrasi-mungkin-salah-satu-hal-ini-penyebabnya http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195604121983011ATANG_SETIAWAN/PENDIDIKAN_ATL/TERJEMAHAN_ATL.pdf Profil Penduduk DKI Jakarta Hasil SUPAS2015
81
ht //j ak
tp :
s. go
.b p
ta
ar .id /