UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah; c. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara; d. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undangundang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Mengingat . . .
-2Mengingat
: Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2.
Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
3.
Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4.
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 5. Simpul . . .
-35.
Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.
6.
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
7.
Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8.
Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9.
Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. 11. Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. 12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. 13. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. 14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. 15. Parkir . . .
-415. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. 16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. 17. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan. 18. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas. 19. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan. 20. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. 21. Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. 22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. 23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 24. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. 25. Penumpang . . .
-525. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan. 26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan. 27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas. 28. Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan. 29. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas. 30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas. 31. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan. 32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan. 33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan. 34. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 35. Penyidik . . .
-635. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 36. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 37. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 39. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan. 40. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan: a. asas transparan; b. asas akuntabel; c. asas berkelanjutan; d. asas . . .
-7d. e. f. g. h. i.
asas asas asas asas asas asas
partisipatif; bermanfaat; efisien dan efektif; seimbang; terpadu; dan mandiri. Pasal 3
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
BAB III RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG Pasal 4 Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan; b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB IV . . .
-8BAB IV PEMBINAAN Pasal 5 (1)
Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2)
Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan; b. pengaturan; c. pengendalian; dan d. pengawasan.
(3)
Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 6 . . .
-9Pasal 6 (1)
Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional; d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2)
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(3)
Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
(4)
Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; b. pemberian . . .
- 10 b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.
BAB V PENYELENGGARAAN Pasal 7 (1)
Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
(2)
Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 8 . . .
- 11 Pasal 8 Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu: a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya; b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan; d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan; e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan; f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan. Pasal 9 Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor; d. perizinan angkutan umum; e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 10 . . .
- 12 Pasal 10 Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor; b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 11 Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor; b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 12 Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi: a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor; b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor; c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas; f. penegakan . . .
- 13 f.
penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas; g. pendidikan berlalu lintas; h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas. Pasal 13 (1)
Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
(2)
Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3)
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4)
Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 14 (1)
Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.
(2)
Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan. (3) Rencana . . .
- 14 (3)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota. Pasal 15
(1)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
(3)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional. Pasal 16
(1)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana . . .
- 15 c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional. (3)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi. Pasal 17
(1)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3)
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan d. rencana . . .
- 16 d. rencana kebutuhan kabupaten/kota.
Ruang
Lalu
Lintas
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua Ruang Lalu Lintas Paragraf 1 Kelas Jalan Pasal 19 (1)
Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2)
Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; c. jalan . . .
- 17 c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton. (3)
Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.
(4)
Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 20
(1)
Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh: a. Pemerintah, untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2)
Kelas jalan sebagaimana dimaksud dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
pada
ayat
(1)
Paragraf 2 . . .
- 18 Paragraf 2 Penggunaan dan Perlengkapan Jalan Pasal 21 (1)
Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
(2)
Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.
(3)
Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4)
Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 22
(1)
Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2)
Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3)
Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4)
Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5)
Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Hasil . . .
- 19 (6)
Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7)
Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23
(1)
Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 24
(1)
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2)
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 25
(1)
Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: a. Rambu Lalu Lintas; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. alat penerangan Jalan; e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f. alat . . .
- 20 f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan; g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 26
(1)
Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2)
Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27
(1)
Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.
(2)
Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah. Pasal 28
(1)
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2)
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1). Bagian Ketiga . . .
- 21 Bagian Ketiga Dana Preservasi Jalan Pasal 29 (1)
Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.
(2)
Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.
(3)
Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4)
Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 30
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian. Pasal 31 Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan. Pasal 32 Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden. Bagian Keempat Terminal Paragraf 1 Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal Pasal 33 (1)
Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal. (2) Terminal . . .
- 22 (2)
Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang. Pasal 34
(1)
Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(2)
Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani. Pasal 35
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
Paragraf 2 Penetapan Lokasi Terminal Pasal 37 (1)
Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; c. kesesuaian . . .
- 23 c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau i. kelestarian lingkungan hidup.
Paragraf 3 Fasilitas Terminal Pasal 38 (1)
Setiap penyelenggara Terminal wajib fasilitas Terminal yang memenuhi keselamatan dan keamanan.
menyediakan persyaratan
(2)
Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3)
Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.
Paragraf 4 Lingkungan Kerja Terminal Pasal 39 (1)
Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2)
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Lingkungan . . .
- 24 (3)
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Paragraf 5 Pembangunan dan Pengoperasian Terminal Pasal 40 (1)
Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan: a. rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; d. analisis dampak Lalu Lintas; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan.
(2)
Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional Terminal. Pasal 41
(1)
Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
(2)
Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6 Pengaturan Lebih Lanjut Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kelima . . .
- 25 Bagian Kelima Fasilitas Parkir Pasal 43 (1)
Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2)
Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok.
(3)
Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan: a. rencana umum tata ruang; b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa. Bagian Keenam Fasilitas Pendukung Pasal 45 (1)
Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar; b. lajur . . .
- 26 b. c. d. e. (2)
lajur sepeda; tempat penyeberangan Pejalan Kaki; Halte; dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. Pasal 46
(1)
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VII KENDARAAN Bagian Kesatu Jenis dan Fungsi Kendaraan Pasal 47
(1)
Kendaraan terdiri atas: a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor.
(2)
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor; b. mobil . . .
- 27 b. c. d. e.
mobil penumpang; mobil bus; mobil barang; dan kendaraan khusus.
(3)
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum.
(4)
Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam: a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
Bagian Kedua Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor Pasal 48 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau i. penempelan Kendaraan Bermotor.
(3)
Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: a. emisi gas buang; b. kebisingan . . .
- 28 b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
(4)
kebisingan suara; efisiensi sistem rem utama; efisiensi sistem rem parkir; kincup roda depan; suara klakson; daya pancar dan arah sinar lampu utama; radius putar; akurasi alat penunjuk kecepatan; kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pengujian Kendaraan Bermotor Pasal 49
(1)
Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.
(2)
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. uji tipe; dan b. uji berkala. Pasal 50
(1)
Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
(2)
Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan b. penelitian . . .
- 29 b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya. (3)
Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 51
(1)
Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.
(2)
Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.
(3)
Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya.
(4)
Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.
(5)
Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52 . . .
- 30 Pasal 52 (1)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.
(2)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.
(3)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.
(4)
Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang. Pasal 53
(1)
Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2)
Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan b. pengesahan hasil uji.
(3)
Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh: a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah. Pasal 54 . . .
- 31 Pasal 54 (1)
Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
(2)
Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; dan e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
(3)
Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor; b. tingkat kebisingan; c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan; f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. kedalaman alur ban.
(4)
Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.
(5)
Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.
(6)
Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.
(7)
Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji. Pasal 55 . . .
- 32 Pasal 55 (1)
Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh: a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta.
(2)
Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan. Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat Perlengkapan Kendaraan Bermotor Pasal 57 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(2)
Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
(3)
Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurangkurangnya terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga . . .
- 33 c. d. e. f.
segitiga pengaman; dongkrak; pembuka roda; helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas. (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 58
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Pasal 59 (1)
Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2)
Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning.
(3)
Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
(4)
Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
(5)
Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. lampu . . .
- 34 b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus. (6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kelima Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Pasal 60 (1)
Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2)
Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
(3)
Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri.
(4)
Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Pengawasan . . .
- 35 (5)
Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam Kendaraan Tidak Bermotor Pasal 61 (1)
Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi: a. persyaratan teknis; dan b. persyaratan tata cara memuat barang.
(2)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi: a. konstruksi; b. sistem kemudi; c. sistem roda; d. sistem rem; e. lampu dan pemantul cahaya; dan f. alat peringatan dengan bunyi.
(3)
Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 62
(1)
Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda.
(2) Pesepeda . . .
- 36 (2)
Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas. Pasal 63
(1)
Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah provinsi. Bagian Ketujuh
Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor Pasal 64 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.
(2)
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. registrasi Kendaraan Bermotor baru; b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik; c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/atau d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor.
(3)
Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. tertib administrasi; b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia; c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan; d. perencanaan . . .
- 37 d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan e. perencanaan pembangunan nasional. (4)
Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor.
(5)
Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 65
(1)
Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya; b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Pasal 66
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe; b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
Pasal 67 . . .
- 38 Pasal 67 (1)
Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap.
(2)
Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah.
(3)
Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden. Pasal 68
(1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku.
(3)
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku.
(4)
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan.
(5)
Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia. (6) Ketentuan . . .
- 39 (6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 69
(1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 70
(1)
Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku kepemilikannya tidak dipindahtangankan.
selama
(2)
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun.
(3)
Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan. Pasal 71
(1)
Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika: a. bukti registrasi hilang atau rusak; b. spesifikasi teknis dan/atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah; c. kepemilikan . . .
- 40 c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terusmenerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan diregistrasi. (2)
Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi.
(3)
Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan. Pasal 72
(1)
Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 73
(1)
Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum.
(2)
Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 74 . . .
- 41 Pasal 74 (1)
Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor.
(2)
Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika: a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(3)
Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali. Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedelapan Sanksi Administratif Pasal 76 (1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Setiap . . .
- 42 (2)
Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; dan/atau c. penutupan bengkel umum.
(3)
Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/atau d. pencabutan sertifikat pengesah.
(4)
Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VIII PENGEMUDI Bagian Kesatu Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Persyaratan Pengemudi Pasal 77 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. (2) Surat . . .
- 43 (2)
Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis: a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
(3)
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.
(4)
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
(5)
Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan. Paragraf 2 Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi Pasal 78
(1)
Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.
(2)
Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
(3)
Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 79 . . .
- 44 Pasal 79 (1)
Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji.
(2)
Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.
Paragraf 3 Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi Pasal 80 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. Pasal 81 (1)
Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat . . .
- 45 (2)
Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
(3)
Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari.
(4)
Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.
(5)
Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/atau c. ujian keterampilan melalui simulator.
(6)
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
Pasal 82 . . .
- 46 Pasal 82 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram. Pasal 83 (1)
Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus.
(2)
Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum; b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.
(3)
Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai: 1. pelayanan angkutan umum; 2. fasilitas umum dan fasilitas sosial; 3. pengujian Kendaraan Bermotor; 4. tata cara mengangkut orang dan/atau barang; 5. tempat . . .
- 47 5. tempat penting di wilayah domisili; 6. jenis barang berbahaya; dan 7. pengoperasian peralatan keamanan. b. lulus ujian praktik, yang meliputi: 1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya; 2. tata cara mengangkut orang dan/atau barang; 3. mengisi surat muatan; 4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan 5. pengoperasian peralatan keamanan. (4)
Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
(5)
Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 84
Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut: a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; b. Surat . . .
- 48 b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I; d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II. Pasal 85 (1)
Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain.
(2)
Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(3)
Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4)
Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia.
(5)
Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 4 . . .
- 49 Paragraf 4 Fungsi Surat Izin Mengemudi Pasal 86 (1)
Surat Izin Mengemudi kompetensi mengemudi.
berfungsi
sebagai
bukti
(2)
Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai Pengemudi Kendaraan Bermotor yang keterangan identitas lengkap Pengemudi.
(3)
Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.
registrasi memuat
Bagian Kedua Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Penerbitan Surat Izin Mengemudi Pasal 87 (1)
Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi.
(2)
Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi.
(4)
Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi. Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 2 . . .
- 50 Paragraf 2 Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi Pasal 89 (1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas.
(2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga Waktu Kerja Pengemudi Pasal 90 (1)
Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari.
(3)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.
(4)
Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam. Bagian Keempat . . .
- 51 -
Bagian Keempat Sanksi Administratif Pasal 91 (1)
Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 92
(1)
Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberian denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB IX . . .
- 52 BAB IX LALU LINTAS Bagian Kesatu Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Paragraf 1 Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 93 (1)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus; b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas; e. pemaduan berbagai moda angkutan; f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan; g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau h. perlindungan terhadap lingkungan.
(3)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan.
Pasal 94 . . .
- 53 Pasal 94 (1)
Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi: a. identifikasi masalah Lalu Lintas; b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas; c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang; d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan; e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan; f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas; g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas; h. penetapan tingkat pelayanan; dan i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas.
(2)
Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi: a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
(3)
Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi: a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.
(4)
Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian: a. arahan; b. bimbingan; c. penyuluhan; d. pelatihan . . .
- 54 d. pelatihan; dan e. bantuan teknis. (5)
Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi: a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan; b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan c. tindakan penegakan hukum. Pasal 95
(1)
Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan: a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi; c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau d. peraturan daerah kota untuk jalan kota.
(2)
Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. Paragraf 2
Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 96 (1)
Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional. (2) Menteri . . .
- 55 (2)
Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional.
(3)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5).
(4)
Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(5)
Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.
(6)
Walikota bertanggung jawab Manajemen dan Rekayasa Lalu dimaksud pada ayat (1) dan ayat setelah mendapat rekomendasi dari
atas pelaksanaan Lintas sebagaimana (2) untuk jalan kota instansi terkait.
Pasal 97 (1)
Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian.
(2)
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara.
(3)
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait. Pasal 98 . . .
- 56 Pasal 98 (1)
Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya.
(2)
Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Kedua Analisis Dampak Lalu Lintas Pasal 99
(1)
Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
(2)
Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(3)
Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 100
(1)
Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat. (2) Hasil . . .
- 57 (2)
Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dan Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan Petugas yang Berwenang Paragraf 1 Syarat dan Prosedur Pemasangan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan Marka Jalan Pasal 102 (1)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan yang bersifat perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk pada jaringan atau ruas Jalan pemasangannya harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberlakuan peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1).
(2)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemasangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kekuatan hukum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2 . . .
- 58 Paragraf 2 Pengutamaan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas Pasal 103 (1)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.
(2)
Rambu Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan harus diutamakan daripada Marka Jalan.
(3)
Dalam hal terjadi kondisi kemacetan Lalu Lintas yang tidak memungkinkan gerak Kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus diutamakan daripada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas yang bersifat perintah atau larangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Paragraf 3 Pengutamaan Petugas Pasal 104 (1)
Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan: a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan; b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus; c. mempercepat arus Lalu Lintas; d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.
(2)
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diutamakan daripada perintah yang diberikan oleh Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. (3) Pengguna . . .
- 59 (3)
Pengguna Jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Keempat Tata Cara Berlalu Lintas Paragraf 1 Ketertiban dan Keselamatan Pasal 105
Setiap orang yang menggunakan Jalan wajib: a. berperilaku tertib; dan/atau b. mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan. Pasal 106 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.
(3)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan.
(4)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan: a. rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. gerakan Lalu Lintas; e. berhenti dan Parkir; f. peringatan . . .
- 60 f. peringatan dengan bunyi dan sinar; g. kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain. (5)
Pada saat diadakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor wajib menunjukkan: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. Surat Izin Mengemudi; c. bukti lulus uji berkala; dan/atau d. tanda bukti lain yang sah.
(6)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.
(7)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di Jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.
(8)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor dan Penumpang Sepeda Motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia.
(9)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.
Paragraf 2 Penggunaan Lampu Utama Pasal 107 (1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi . . .
- 61 (2)
Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
Paragraf 3 Jalur atau Lajur Lalu Lintas Pasal 108 (1)
Dalam berlalu lintas Pengguna menggunakan jalur Jalan sebelah kiri.
Jalan
harus
(2)
Penggunaan jalur Jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika: a. Pengemudi bermaksud akan melewati Kendaraan di depannya; atau b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.
(3)
Sepeda Motor, Kendaraan Bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan Kendaraan Tidak Bermotor berada pada lajur kiri Jalan.
(4)
Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului Kendaraan lain. Pasal 109
(1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur Jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.
(2)
Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3) Jika . . .
- 62 (3)
Jika Kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati Kendaraan tersebut. Pasal 110
(1)
Pengemudi yang berpapasan dengan Kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan Kendaraan.
(2)
Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang oleh suatu rintangan atau Pengguna Jalan lain di depannya wajib mendahulukan Kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Pasal 111
Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak memungkinkan bagi Kendaraan untuk saling berpapasan, Pengemudi Kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada Kendaraan yang mendaki.
Paragraf 4 Belokan atau Simpangan Pasal 112 (1)
Pengemudi Kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan.
(2)
Pengemudi Kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping wajib mengamati situasi Lalu Lintas di depan, di samping, dan di belakang Kendaraan serta memberikan isyarat.
(3)
Pada persimpangan Jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. Pasal 113 . . .
- 63 Pasal 113 (1)
Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Pengemudi wajib memberikan hak utama kepada: a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas atau Marka Jalan; b. Kendaraan dari Jalan utama jika Pengemudi tersebut datang dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang berbatasan dengan Jalan; c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama besar; d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus; atau e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.
(2)
Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali Lalu Lintas yang berbentuk bundaran, Pengemudi harus memberikan hak utama kepada Kendaraan lain yang datang dari arah kanan. Pasal 114
Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan Jalan, Pengemudi Kendaraan wajib: a. berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain; b. mendahulukan kereta api; dan c. memberikan hak utama kepada Kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Paragraf 5 . . .
- 64 -
Paragraf 5 Kecepatan Pasal 115 Pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan dilarang: a. mengemudikan Kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan/atau b. berbalapan dengan Kendaran Bermotor lain. Pasal 116 (1)
Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan Rambu Lalu Lintas.
(2)
Selain sesuai dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika: a. akan melewati Kendaraan Bermotor Umum yang sedang menurunkan dan menaikkan Penumpang; b. akan melewati Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring; c. cuaca hujan dan/atau genangan air; d. memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas; e. mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kereta api; dan/atau f. melihat dan mengetahui ada Pejalan Kaki yang akan menyeberang. Pasal 117
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus mengamati situasi Lalu Lintas di samping dan di belakang Kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan Kendaraan lain.
Paragraf 6 . . .
- 65 Paragraf 6 Berhenti Pasal 118 Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali: a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan yang bergaris utuh; b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan, keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau c. di jalan tol. Pasal 119 (1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti.
(2)
Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan kendaraannya sementara.
Paragraf 7 Parkir Pasal 120 Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas. Pasal 121 (1)
Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan.
(2) Ketentuan . . .
- 66 (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping. Paragraf 8 Kendaraan Tidak Bermotor Pasal 122
(1)
Pengendara Kendaraan Tidak Bermotor dilarang: a. dengan sengaja membiarkan kendaraannya ditarik oleh Kendaraan Bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan; b. mengangkut atau menarik benda yang dapat merintangi atau membahayakan Pengguna Jalan lain; dan/atau c. menggunakan jalur jalan Kendaraan Bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi Kendaraan Tidak Bermotor.
(2)
Pesepeda dilarang membawa Penumpang, kecuali jika sepeda tersebut telah dilengkapi dengan tempat Penumpang.
(3)
Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi Kendaraan lain untuk mendahului. Pasal 123
Pesepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.
Paragraf 9 Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum Pasal 124 (1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek wajib: a. mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; b. memindahkan . . .
- 67 b. memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas; c. menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah; d. memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang; e. menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan f. mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum. (2)
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum untuk angkutan orang dalam trayek dengan tarif ekonomi wajib mengangkut anak sekolah. Pasal 125
Pengemudi Kendaraan Bermotor angkutan barang wajib menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan. Pasal 126 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang: a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan; b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan; c. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek.
Bagian Kelima . . .
- 68 Bagian Kelima Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas Paragraf 1 Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas yang Diperbolehkan Pasal 127 (1)
Penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.
(2)
Penggunaan jalan nasional dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.
(3)
Penggunaan jalan kabupaten/kota dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan pribadi. Paragraf 2
Tata Cara Penggunaan Jalan Selain untuk Kegiatan Lalu Lintas Pasal 128 (1)
Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) yang mengakibatkan penutupan Jalan dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.
(2)
Pengalihan arus Lalu Lintas ke jalan alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sementara.
(3)
Izin penggunaan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 3 Tanggung jawab Pasal 129
(1)
Pengguna Jalan di luar fungsi Jalan bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan. (2) Pejabat . . .
- 69 (2)
Pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) bertanggung jawab menempatkan petugas pada ruas Jalan untuk menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Jalan selain untuk kegiatan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, Pasal 128, dan Pasal 129 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas Pasal 131 (1)
Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
(2)
Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.
(3)
Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya. Pasal 132
(1)
Pejalan Kaki wajib: a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan yang paling tepi; atau b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
(2)
Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas. (3) Pejalan . . .
- 70 (3)
Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas dan mudah dikenali Pengguna Jalan lain.
Bagian Ketujuh Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas Pasal 133 (1)
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria: a. perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan; b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan c. kualitas lingkungan.
(2)
Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; b. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; c. pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; d. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan; e. pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau f. pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.
(3)
Pembatasan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja Lalu Lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Manajemen . . .
- 71 (4)
Manajemen kebutuhan Lalu Lintas ditetapkan dan dievaluasi secara berkala oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan lingkup kewenangannya dengan melibatkan instansi terkait.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen kebutuhan Lalu Lintas diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedelapan Hak Utama Pengguna Jalan untuk Kelancaran Paragraf 1 Pengguna Jalan yang Memperoleh Hak Utama Pasal 134
Pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut: a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; b. ambulans yang mengangkut orang sakit; c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; d. Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; f. iring-iringan pengantar jenazah; dan g. konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 2 Tata Cara Pengaturan Kelancaran Pasal 135 (1)
Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene. (2) Petugas . . .
- 72 (2)
Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan pengamanan jika mengetahui adanya Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.
Bagian Kesembilan Sanksi Administratif Pasal 136 (1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 128 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pelayanan umum; c. penghentian sementara kegiatan; d. denda administratif; e. pembatalan izin; dan/atau f. pencabutan izin.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB X ANGKUTAN Bagian Kesatu Angkutan Orang dan Barang Pasal 137 (1)
Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Angkutan . . .
- 73 (2)
Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
(3)
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang.
(4)
Mobil barang dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali: a. rasio Kendaraan Bermotor untuk angkutan orang, kondisi geografis, dan prasarana jalan di provinsi/kabupaten/kota belum memadai; b. untuk pengerahan atau pelatihan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau c. kepentingan lain berdasarkan pertimbangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai mobil barang yang digunakan untuk angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum Pasal 138 (1)
Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.
(2)
Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Angkutan umum orang dan/atau barang dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
hanya
Pasal 139 (1)
Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara. (2) Pemerintah . . .
- 74 (2)
Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.
(3)
Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.
(4)
Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Paragraf 1 Umum Pasal 140 Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek. Paragraf 2 Standar Pelayanan Angkutan Orang Pasal 141 (1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: a. keamanan; b. keselamatan; c. kenyamanan; d. keterjangkauan; e. kesetaraan; dan f. keteraturan. (2) Standar . . .
- 75 (2)
Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 3
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek Pasal 142 Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a terdiri atas: a. angkutan lintas batas negara; b. angkutan antarkota antarprovinsi; c. angkutan antarkota dalam provinsi; d. angkutan perkotaan; atau e. angkutan perdesaan. Pasal 143 Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus: a. memiliki rute tetap dan teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan. Pasal 144 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan: a. tata ruang wilayah; b. tingkat permintaan jasa angkutan; c. kemampuan . . .
- 76 c. d. e. f. g.
kemampuan penyediaan jasa angkutan; ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; kesesuaian dengan kelas jalan; keterpaduan intramoda angkutan; dan keterpaduan antarmoda angkutan. Pasal 145
(1)
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek.
(2)
Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait.
(3)
Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jaringan trayek lintas batas negara; b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi; c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi; d. jaringan trayek perkotaan; dan e. jaringan trayek perdesaan.
(4)
Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima) tahun. Pasal 146
(1)
Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan.
(2)
Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi; b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota. Pasal 147 . . .
- 77 Pasal 147 (1)
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum lintas batas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan perjanjian antarnegara.
(2)
Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 148
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota antarprovinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) provinsi; b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum antarkota dalam provinsi dan perkotaan yang melampaui batas 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; atau c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perkotaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 149 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) huruf e ditetapkan oleh: a. bupati untuk kawasan perdesaan yang menghubungkan 1 (satu) daerah kabupaten; b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang melampaui 1 (satu) daerah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau c. Menteri . . .
- 78 c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perdesaan yang melampaui satu daerah provinsi. Pasal 150 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 4 Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek Pasal 151 Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu. Pasal 152 (1)
Angkutan orang dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a harus digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam kawasan perkotaan.
(2)
Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berada dalam wilayah kota; b. berada dalam wilayah kabupaten; c. melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) daerah provinsi; atau d. melampaui wilayah provinsi.
(3)
Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal kebutuhan taksi ditetapkan oleh: a. walikota untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kota; b. bupati . . .
- 79 b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten; c. gubernur untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah kota atau wilayah kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu lintas dan Angkutan Jalan untuk taksi yang wilayah operasinya melampaui wilayah provinsi. Pasal 153 (1)
Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek.
(2)
Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum. Pasal 154
(1)
Angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf c harus digunakan untuk pelayanan angkutan wisata.
(2)
Penyelenggaraan angkutan orang untuk keperluan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum dan mobil bus umum dengan tanda khusus.
(3)
Angkutan orang untuk keperluan pariwisata tidak diperbolehkan menggunakan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, kecuali di daerah yang belum tersedia angkutan khusus untuk pariwisata. Pasal 155
(1)
Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d harus dilaksanakan melalui pelayanaan angkutan di jalan lokal dan jalan lingkungan. (2) Angkutan . . .
- 80 (2)
Angkutan orang di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mobil penumpang umum. Pasal 156
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan angkutan orang tidak dalam trayek dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun dan diumumkan kepada masyarakat. Pasal 157 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 5 Angkutan Massal Pasal 158 (1)
Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.
(2)
Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan: a. mobil bus yang berkapasitas angkut massal; b. lajur khusus; c. trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan d. angkutan pengumpan. Pasal 159
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Keempat . . .
- 81 Bagian Keempat Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum Paragraf 1 Umum Pasal 160 Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan barang umum; dan b. angkutan barang khusus.
Paragraf 2 Angkutan Barang Umum Pasal 161 Pengangkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi ketentuan kelas Jalan; b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau tempat untuk memuat dan membongkar barang; dan c. menggunakan mobil barang.
Paragraf 3 Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat Pasal 162 (1)
Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib: a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan; d. membongkar . . .
- 82 d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan f. mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (2)
Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut. Pasal 163
(1)
Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus wajib memberitahukan kepada pengelola pergudangan dan/atau penyelenggara angkutan barang sebelum barang dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum.
(2)
Penyelenggara angkutan barang yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus wajib menyediakan tempat penyimpanan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 164
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Kelima . . .
- 83 Bagian Kelima Angkutan Multimoda Pasal 165 (1)
Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.
(2)
Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
(3)
Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan mendapat izin dari Pemerintah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keenam Dokumen Angkutan Orang dan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum Pasal 166
(1)
Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.
(2)
Dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam trayek; b. tanda pengenal bagasi; dan c. manifes.
(3)
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum wajib dilengkapi dengan dokumen yang meliputi: a. surat perjanjian pengangkutan; dan b. surat muatan barang. Pasal 167 . . .
- 84 Pasal 167 (1)
Perusahaan Angkutan Umum orang wajib: a. menyerahkan tiket Penumpang; b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek; c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.
(2)
Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah. Pasal 168
(1)
Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat muatan barang sebagai bagian dokumen perjalanan.
(2)
Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut barang wajib membuat surat perjanjian pengangkutan barang. Bagian Ketujuh Pengawasan Muatan Barang Pasal 169
(1)
Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan.
(2)
Untuk mengawasi pemenuhan terhadap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengawasan muatan angkutan barang.
(3)
Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.
(4)
Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
ketentuan dilakukan
Pasal 170 . . .
- 85 -
Pasal 170 (1)
Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.
(2)
Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.
(3)
Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap dilakukan oleh unit pelaksana penimbangan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4)
Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan. Pasal 171
(1)
Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf b digunakan dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.
(2)
Pengoperasian alat penimbangan untuk pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemeriksa Kendaraan Bermotor.
(3)
Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama dengan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 172
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan muatan angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan . . .
- 86 Bagian Kedelapan Pengusahaan Angkutan Paragraf 1 Perizinan Angkutan Pasal 173 (1)
Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki: a. izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; b. izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau c. izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat.
(2)
Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau b. pengangkutan jenazah. Pasal 174
(1)
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan.
(2)
Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan. Pasal 175
(1)
Izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu. (2) Perpanjangan . . .
- 87 (2)
Perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2). Paragraf 2
Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang dalam Trayek Pasal 176 Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a diberikan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara; 2. trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; 3. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan 4. trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi. b. gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; 2. trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan 3. trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi. c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. d. bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: 1. trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan 2. trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten. e. walikota . . .
- 88 e. walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota. Pasal 177 Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek wajib: a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1). Pasal 178 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 3 Izin Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak dalam Trayek Pasal 179 (1)
Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b diberikan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani: 1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi; 2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau 3. angkutan pariwisata.
b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan d. bupati . . .
- 89 d. bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 4
Izin Penyelenggaraan Angkutan Barang Khusus dan Alat Berat Pasal 180 (1)
Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan rekomendasi dari instansi terkait.
(2)
Izin penyelenggaraan angkutan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c diberikan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian izin penyelenggaraan angkutan barang khusus dan alat berat diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Kesembilan Tarif Angkutan Pasal 181
(1)
Tarif angkutan terdiri barang.
atas tarif Penumpang dan tarif
(2)
Tarif Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek; dan b. tarif . . .
- 90 b. tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek. Pasal 182 (1)
Tarif Penumpang untuk angkutan orang dalam trayek terdiri atas: a. tarif kelas ekonomi; dan b. tarif kelas nonekonomi.
(2)
Penetapan tarif kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota antarprovinsi, angkutan perkotaan, dan angkutan perdesaan yang wilayah pelayanannya melampaui wilayah provinsi; b. gubernur untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam provinsi serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang melampaui batas satu kabupaten/kota dalam satu provinsi; c. bupati untuk angkutan orang yang melayani trayek antarkota dalam kabupaten serta angkutan perkotaan dan perdesaan yang wilayah pelayanannya dalam kabupaten; dan d. walikota untuk angkutan orang yang melayani trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya dalam kota.
(3)
Tarif Penumpang angkutan orang dalam trayek kelas nonekonomi ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 183
(1)
Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a ditetapkan oleh Perusahaan Angkutan Umum atas persetujuan Pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. (2) Tarif . . .
- 91 (2)
Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 184
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum. Bagian Kesepuluh Subsidi Angkutan Penumpang Umum Pasal 185 (1)
Angkutan penumpang umum dengan tarif kelas ekonomi pada trayek tertentu dapat diberi subsidi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan Penumpang umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas
Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Umum Paragraf 1 Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum Pasal 186 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang. Pasal 187 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan. Pasal 188 . . .
- 92 Pasal 188 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan. Pasal 189 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188. Pasal 190 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan. Pasal 191 Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Pasal 192 (1)
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang.
(2)
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan.
(3)
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati.
(4)
Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut. (5) Ketentuan . . .
- 93 (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 193
(1)
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.
(2)
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami.
(3)
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang disepakati.
(4)
Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan surat muatan angkutan barang.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 194
(1)
Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Perusahaan Angkutan Umum.
(2)
Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian pihak ketiga kepada Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.
Paragraf 2 . . .
- 94 Paragraf 2 Hak Perusahaan Angkutan Umum Pasal 195 (1)
Perusahaan Angkutan Umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan.
(3)
Perusahaan Angkutan Umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 196
Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, Perusahaan Angkutan Umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Belas Tanggung Jawab Penyelenggara Pasal 197 (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara angkutan wajib: a. memberikan jaminan kepada Pengguna Jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan; b. memberikan perlindungan kepada Perusahaan Angkutan Umum dengan menjaga keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan c. melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang. (2) Ketentuan . . .
- 95 (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Ketiga Belas Industri Jasa Angkutan Umum Pasal 198
(1)
Jasa angkutan umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.
(2)
Untuk mewujudkan standar pelayanan dan persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus: a. menetapkan segmentasi dan klasifikasi pasar; b. menetapkan standar pelayanan minimal; c. menetapkan kriteria persaingan yang sehat; d. mendorong terciptanya pasar; dan e. mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan dan persaingan yang sehat diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Belas Sanksi Administratif Pasal 199
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 177, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, dan Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin. (2) Ketentuan . . .
- 96 (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. BAB XI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 200 (1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
(3)
Untuk mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan kegiatan: a. penyusunan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan pemeliharaan fasilitas dan b. penyediaan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan berlalu lintas dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum dan etika masyarakat dalam berlalu lintas; d. pengkajian masalah Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. manajemen keamanan Lalu Lintas; f. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan/atau patroli; g. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; dan h. penegakan hukum Lalu Lintas. Pasal 201 . . .
- 97 Pasal 201 (1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi untuk memudahkan pendeteksian kejadian kejahatan di Kendaraan Bermotor. Pasal 202
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 dan Pasal 201 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Kedua Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 203 (1)
Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi: a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan pemeliharaan fasilitas dan b. penyediaan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan d. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 204
(1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Kendaraan . . .
- 98 (2)
Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 205
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2) dan kewajiban Perusahaan Angkutan Umum membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan serta persyaratan alat pemberi informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 206 (1)
Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. audit; b. inspeksi; dan c. pengamatan dan pemantauan.
(2)
Audit bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4)
Inspeksi bidang Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Inspeksi . . .
- 99 (5)
Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan secara periodik berdasarkan skala prioritas oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(6)
Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilaksanakan secara berkelanjutan oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(7)
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan tindakan korektif dan/atau penegakan hukum. Pasal 207
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat Budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 208 (1)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertangggung jawab membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini; b. sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pemberian penghargaan terhadap tindakan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. penciptaan lingkungan Ruang Lalu Lintas yang mendorong pengguna jalan berperilaku tertib; dan e. penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan. (3) Pembina . . .
- 100 (3)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas. BAB XII DAMPAK LINGKUNGAN Bagian Kesatu
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 209 (1)
Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 210 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang beroperasi di Jalan wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, dan prosedur penanganan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 211
Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan. Pasal 212 . . .
- 101 Pasal 212 Setiap pemilik dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor dan Perusahaan Angkutan Umum wajib melakukan perbaikan terhadap kendaraannya jika terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kebisingan. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Paragraf 1 Kewajiban Pemerintah Pasal 213 (1)
Pemerintah wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib: a. merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; b. membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; c. melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan Bermotor yang beroperasi di jalan; dan d. menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 2
Hak dan Kewajiban Perusahaan Angkutan Umum Pasal 214 (1)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh kemudahan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan. (2) Perusahaan . . .
- 102 (2)
Perusahaan Angkutan Umum berhak memperoleh informasi mengenai kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 215
Perusahaan Angkutan Umum wajib: a. melaksanakan program pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah; b. menyediakan sarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan; c. memberi informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi jasa angkutan umum; d. memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sarana angkutan umum; dan e. mematuhi baku mutu lingkungan hidup.
Paragraf 3 Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 216 (1)
Masyarakat berhak mendapatkan Ruang Lalu Lintas yang ramah lingkungan.
(2)
Masyarakat berhak memperoleh informasi tentang kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 217
Masyarakat wajib menjaga kelestarian lingkungan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Keempat . . .
- 103 Bagian Keempat Sanksi Administratif Pasal 218 (1)
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai dampak lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XIII
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Umum Pasal 219 (1)
Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor; b. peralatan penegakan hukum; c. peralatan uji laik kendaraan; d. fasilitas Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. peralatan registrasi dan identifikasi Kendaraan dan Pengemudi; f. teknologi serta informasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; g. fasilitas pendidikan dan pelatihan personel Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. komponen pendukung Kendaraan Bermotor. (2) Pemberdayaan . . .
- 104 (2)
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor; b. pengembangan standardisasi Kendaraan dan/atau komponen Kendaraan Bermotor; c. pengalihan teknologi; d. penggunaan sebanyak-banyaknya muatan lokal; e. pengembangan industri bahan baku dan komponen; f. pemberian kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan; g. pemberian fasilitas kerja sama dengan industri sejenis; dan/atau h. pemberian fasilitas kerja sama pasar pengguna di dalam dan di luar negeri.
Bagian Kedua Pengembangan Rancang Bangun Kendaraan Bermotor Pasal 220 (1)
Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. badan hukum; d. lembaga penelitian; dan/atau e. perguruan tinggi.
(2)
Pengembangan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan: a. dimensi utama dan konstruksi Kendaraan Bermotor; b. kesesuaian material; c. kesesuaian motor penggerak; d. kesesuaian daya dukung jalan; e. bentuk fisik Kendaraan Bermotor; f. dimensi . . .
- 105 f. g. h. i. j. k. (3)
dimensi, konstruksi, posisi, dan jarak tempat duduk; posisi lampu; jumlah tempat duduk; dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki; peruntukan Kendaraan Bermotor; dan fasilitas keluar darurat.
Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 221
Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (2) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber daya nasional, menerapkan standar keamanan dan keselamatan, serta memperhatikan kelestarian lingkungan.
Bagian Ketiga Pengembangan Industri dan Teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 222 (1)
Pemerintah wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
(3)
Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi modernisasi fasilitas: a. pengatur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. penegakan hukum; c. uji kelaikan Kendaraan; d. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, serta Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengawasan . . .
- 106 e. pengawasan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi; g. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan h. keselamatan Pengemudi dan/atau Penumpang. (4)
Metode pengembangan industri dan teknologi meliputi: a. pemahaman teknologi; b. pengalihan teknologi; dan c. fasilitasi riset teknologi.
(5)
Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan pengesahan dari instansi terkait.
Bagian Keempat Pemberdayaan Industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 223 (1)
Untuk mengembangkan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2), Pemerintah mendorong pemberdayaan industri dalam negeri.
(2)
Untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemberian fasilitas, insentif bidang tertentu, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 224
(1)
Pengembangan industri Prasarana Angkutan Jalan terdiri atas: a. rekayasa; b. produksi; c. perakitan; dan/atau d. pemeliharaan dan perbaikan.
Lalu
Lintas
dan
(2) Pengembangan . . .
- 107 (2)
Pengembangan industri Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mencakup alih teknologi yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Bagian Kelima Pengaturan Lebih Lanjut Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV KECELAKAAN LALU LINTAS Bagian Kesatu Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas Pasal 226 (1)
Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui: a. partisipasi para pemangku kepentingan; b. pemberdayaan masyarakat; c. penegakan hukum; dan d. kemitraan global.
(2)
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
(3)
Penyusunan program pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua . . .
- 108 Bagian Kedua Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Paragraf 1 Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Pasal 227 Dalam hal terjadi Kecelakaan Lalu Lintas, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib melakukan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dengan cara: a. mendatangi tempat kejadian dengan segera; b. menolong korban; c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara; d. mengolah tempat kejadian perkara; e. mengatur kelancaran arus Lalu Lintas; f. mengamankan barang bukti; dan g. melakukan penyidikan perkara. Pasal 228 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan Kecelakaan Lalu Lintas diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 2 Penggolongan dan Penanganan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Pasal 229 (1)
Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2)
Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3)
Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. (4) Kecelakaan . . .
- 109 (4)
Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5)
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan. Pasal 230
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3 Pertolongan dan Perawatan Korban Pasal 231 (1)
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib: a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya; b. memberikan pertolongan kepada korban; c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
(2)
Pengemudi Kendaraan Bermotor, yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat. Pasal 232
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib: a. memberikan pertolongan kepada korban Kecelakaan Lalu Lintas; b. melaporkan . . .
- 110 b. melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau c. memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 4 Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas Pasal 233 (1)
Setiap kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data Kecelakaan Lalu Lintas.
(2)
Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari data forensik.
(3)
Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan data yang berasal dari rumah sakit.
(4)
Data Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga Kewajiban dan Tanggung Jawab Paragraf 1 Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Pasal 234 (1)
Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.
(2)
Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. (3) Ketentuan . . .
- 111 (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Pasal 235
(1)
Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
(2)
Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Pasal 236
(1)
Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
(2)
Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat. Pasal 237
(1)
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan. (2) Perusahaan . . .
- 112 (2)
Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan. Paragraf 2 Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Pasal 238
(1)
Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
(2)
Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 239
(1)
Pemerintah mengembangkan program Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
asuransi
(2)
Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat Hak Korban Pasal 240 Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan: a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah; b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; dan c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pasal 241 . . .
- 113 Pasal 241 Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT, MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT Bagian Kesatu Ruang Lingkup Perlakuan Khusus Pasal 242 (1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
(2)
Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. aksesibilitas; b. prioritas pelayanan; dan c. fasilitas pelayanan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 243
Masyarakat secara kelompok dapat mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Kedua . . .
- 114 Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 244 (1)
Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan izin; dan/atau d. pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Pasal 245 (1)
Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.
(2)
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Sistem . . .
- 115 (3)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan serta operasional Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi: a. bidang prasarana Jalan; b. bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, penegakan hukum, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas. Pasal 246
(1)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) merupakan subsistem dalam Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh pusat kendali yang mengintegrasikan data, informasi, dan komunikasi dari setiap subsistem.
(3)
Data, informasi, dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat diakses oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Kedua
Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi Pasal 247 (1)
Dalam mewujudkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengelola subsistem informasi dan komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Subsistem informasi dan komunikasi yang dibangun oleh setiap pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terintegrasi dalam pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Pusat . . .
- 116 (3)
Pusat kendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi Pasal 248 (1) Untuk memenuhi tugas pokok dan fungsi berbagai pemangku kepentingan, dikembangkan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data. (2)
Sistem terstruktur, jaringan informasi, jaringan komunikasi, dan pusat data meliputi: a. perencanaan; b. perumusan kebijakan; c. pemantauan; d. pengawasan; e. pengendalian; f. informasi geografi; g. pelacakan; h. informasi Pengguna Jalan; i. pendeteksian arus Lalu Lintas; j. pengenalan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan/atau k. pengidentifikasian Kendaraan Bermotor di Ruang Lalu Lintas.
Bagian Keempat Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Pasal 249 (1)
Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berfungsi sebagai pusat: a. kendali; b. koordinasi; c. komunikasi; d. data . . .
- 117 d. data dan informasi terpadu; e. pelayanan masyarakat; dan f. rekam jejak elektronis untuk penegakan hukum. (2)
Pengelolaan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu.
(3)
Kegiatan pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sekurang-kurangnya meliputi: a. pelayanan kebutuhan data, informasi, dan komunikasi tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. dukungan tindakan cepat terhadap pelanggaran, kemacetan, dan kecelakaan serta kejadian lain yang berdampak terhadap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. analisis, evaluasi terhadap pelanggaran, kemacetan, dan Kecelakaan Lalu Lintas; d. dukungan penegakan hukum dengan alat elektronik dan secara langsung; e. dukungan pelayanan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; f. pemberian informasi hilang temu Kendaraan Bermotor; g. pemberian informasi kualitas baku mutu udara; h. dukungan pengendalian Lalu Lintas dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli; i. dukungan pengendalian pergerakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan j. pemberian informasi tentang kondisi Jalan dan pelayanan publik. Pasal 250
Data dan informasi pada pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat. Pasal 251 . . .
- 118 Pasal 251 Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat digunakan untuk penegakan hukum yang meliputi: a. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau kejahatan lain; b. tindakan penanganan kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan Lalu Lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau c. pengejaran, penghadangan, penangkapan, dan penindakan terhadap pelaku dan/atau kendaraan yang terlibat kejahatan atau pelanggaran Lalu Lintas. Bagian Kelima Pengaturan Lebih Lanjut Pasal 252 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVII SUMBER DAYA MANUSIA Pasal 253 (1)
Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh: a. Pemerintah; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau c. lembaga swasta yang terakreditasi. Pasal 254 . . .
- 119 Pasal 254 (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bagi tenaga mekanik dan Pengemudi.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap manajemen Perusahaan Angkutan Umum untuk meningkatkan kualitas pelayanan, Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XVIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 256 (1)
Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemantauan dan penjagaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. pendapat dan pertimbangan kepada instansi pembina dan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di tingkat pusat dan daerah terhadap kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menimbulkan dampak lingkungan; dan d. dukungan terhadap penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Pemerintah . . .
- 120 (3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan/atau dukungan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 257
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan. Pasal 258 Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB XIX PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Penyidikan Pasal 259 (1)
Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh: a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini.
(2)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Penyidik; dan b. Penyidik Pembantu.
Paragraf 1 . . .
- 121 Paragraf 1 Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 260 (1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang: a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan; b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum; d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti; e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti; h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab. (2) Pelaksanaan penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 261 . . .
- 122 Pasal 261 Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), kecuali mengenai penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Paragraf 2 Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pasal 262 (1)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus; b. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum; c. melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap; d. melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan; e. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau f. melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
(2)
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap. (3) Dalam . . .
- 123 (3)
Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 3 Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pasal 263 (1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku koordinator dan pengawas, melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Dalam melaksanakan kewenangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Paragraf 1 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan Pasal 264 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh: a. Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 265 . . .
- 124 Pasal 265 (1)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 meliputi pemeriksaan: a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji; c. fisik Kendaraan Bermotor; d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau e. izin penyelenggaraan angkutan.
(2)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan kebutuhan.
(3)
Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: a. menghentikan Kendaraan Bermotor; b. meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau c. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab. Pasal 266
(1)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) dapat dilakukan secara insidental oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dapat dilakukan secara insidental oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(3)
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) dalam keadaan tertentu dilakukan secara gabungan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (4) Penyidik . . .
- 125 (4)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didampingi oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Paragraf 2 Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 267 (1)
Setiap pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan.
(2)
Acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar.
(3)
Pelanggar yang tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(4)
Jumlah denda yang dititipkan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar denda maksimal yang dikenakan untuk setiap pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(5)
Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran. Pasal 268
(1)
Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil.
(2)
Sisa uang denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diambil dalam waktu 1 (satu) tahun sejak penetapan putusan pengadilan disetorkan ke kas negara. Pasal 269
(1)
Uang denda yang ditetapkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. (2) Sebagian . . .
- 126 (2)
Sebagian penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan sebagai insentif bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan penegakan hukum di Jalan yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Penanganan Benda Sitaan Pasal 270
(1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)
Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(3)
Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain, atau tetap di tempat semula benda itu disita.
(4)
Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 271
(1)
Penyidik wajib mengidentifikasi dan mengumumkan benda sitaan Kendaraan Bermotor yang belum diketahui pemiliknya melalui media massa.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan ciri-ciri Kendaraan Bermotor, tempat penyimpanan, dan tanggal penyitaan. (3) Pengumuman . . .
- 127 (3)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(4)
Benda sitaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah lewat waktu 1 (satu) tahun dan belum diketahui pemiliknya dapat dilelang untuk negara berdasarkan penetapan pengadilan. Pasal 272
(1)
Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
(2)
Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 273 (1)
Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). (4) Penyelenggara . . .
- 128 (4)
Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 274
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2)
Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2). Pasal 275
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang merusak Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan sehingga tidak berfungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 276
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek tidak singgah di Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 277 . . .
- 129 Pasal 277 Setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 278 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 279 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 280 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 281 . . .
- 130 Pasal 281 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 282 Setiap Pengguna Jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 283 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 284 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 285 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap . . .
- 131 (2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 286
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 287 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (4) Setiap . . .
- 132 (4)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(5)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf g atau Pasal 115 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(6)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan tata cara penggandengan dan penempelan dengan Kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf h dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 288
(1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (3) Setiap . . .
- 133 (3)
Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 289
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 290 Setiap orang yang mengemudikan dan menumpang Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dan tidak mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 291 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 292 . . .
- 134 Pasal 292 Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping yang mengangkut Penumpang lebih dari 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (9) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 293 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pasal 294
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 295 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 296 . . .
- 135 Pasal 296 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan Jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 297 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor berbalapan di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 298 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang tidak memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan darurat di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 299 Setiap orang yang mengendarai Kendaraan Tidak Bermotor yang dengan sengaja berpegang pada Kendaraan Bermotor untuk ditarik, menarik benda-benda yang dapat membahayakan Pengguna Jalan lain, dan/atau menggunakan jalur jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf a, huruf b, atau huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pasal 300 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang: a. tidak menggunakan lajur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf c; b. tidak . . .
- 136 b. tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf d; atau c. tidak menutup pintu kendaraan selama Kendaraan berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) huruf e. Pasal 301 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor angkutan barang yang tidak menggunakan jaringan jalan sesuai dengan kelas jalan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 302 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 303 Setiap orang yang mengemudikan mobil barang untuk mengangkut orang kecuali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 304 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan angkutan orang dengan tujuan tertentu yang menaikkan atau menurunkan Penumpang lain di sepanjang perjalanan atau menggunakan Kendaraan angkutan tidak sesuai dengan angkutan untuk keperluan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 305 . . .
- 137 Pasal 305 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 306 Setiap orang yang mengemudikan kendaraan angkutan barang yang tidak dilengkapi surat muatan dokumen perjalanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 307 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 308 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang: a. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf a; b. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf b; c. tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) huruf c; atau d. menyimpang . . .
- 138 d. menyimpang dari izin yang dimaksud dalam Pasal 173.
ditentukan
sebagaimana
Pasal 309 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya untuk penggantian kerugian yang diderita oleh Penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 310 (1)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4)
Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 311 . . .
- 139 Pasal 311 (1)
Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 312
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Pasal 313 . . .
- 140 Pasal 313 Setiap orang yang tidak mengasuransikan awak Kendaraan dan penumpangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 314 Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas. Pasal 315 (1)
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.
(2)
Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
(3)
Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan. Pasal 316
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274, Pasal 275 ayat (1), Pasal 276, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 300, Pasal 301, Pasal 302, Pasal 303, Pasal 304, Pasal 305, Pasal 306, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 309, dan Pasal 313 adalah pelanggaran. (2) Ketentuan . . .
- 141 (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan. Pasal 317
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 318 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Pasal 319 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 320 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Pasal 321 Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Pasal 322 . . .
- 142 -
Pasal 322 Pusat kendali Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dibentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Pasal 323 Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan harus berfungsi paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Pasal 324 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 325 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 326 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 143 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
I.
UMUM
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, serta di antara dua benua dan dua samudera, mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk mendukung pembangunan ekonomi, pemantapan integrasi nasional guna memperkukuh ketahanan nasional, serta menciptakan ketertiban dunia dan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Dalam Undang-Undang ini pembinaan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) sebagai berikut:
1) urusan . . .
-21) 2)
3)
4)
5)
urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang Jalan; urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang industri; urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang teknologi; dan urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pembagian kewenangan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan tanggung jawab setiap pembina bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terlihat lebih jelas dan transparan sehingga penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap hal-hal yang bersifat teknis operasional, yang semula dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya, dalam Undang-Undang ini telah diatur secara tegas dan terperinci dengan maksud agar ada kepastian hukum dalam pengaturannya sehingga tidak memerlukan lagi banyak peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya. Penajaman formulasi mengenai asas dan tujuan dalam Undang-Undang ini, selain untuk menciptakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain, juga mempunyai tujuan untuk mendorong perekonomian nasional, mewujudkan kesejahteraan rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Aspek keamanan juga mendapatkan perhatian yang ditekankan dalam pengaturan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, di dalam Undang-Undang ini juga ditekankan terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa (just culture) melalui upaya pembinaan, pemberian bimbingan, dan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini serta dilaksanakan melalui program yang berkesinambungan. Dalam . . .
-3Dalam Undang-Undang ini juga disempurnakan terminologi mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjadi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis global yang membutuhkan ketangguhan bangsa untuk berkompetisi dalam persaingan global serta untuk memenuhi tuntutan paradigma baru yang mendambakan pelayanan Pemerintah yang lebih baik, transparan, dan akuntabel, di dalam Undang-Undang ini dirumuskan berbagai terobosan yang visioner dan perubahan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang ini berdasar pada semangat bahwa penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang bersifat lintas sektor harus dilaksanakan secara terkoordinasi oleh para pembina beserta para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Guna mengatasi permasalahan yang sangat kompleks, Undang-Undang ini mengamanatkan dibentuknya forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut merupakan badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergiskan tugas pokok dan fungsi setiap instansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka menganalisis permasalahan, menjembatani, menemukan solusi, serta meningkatkan kualitas pelayanan, dan bukan sebagai aparat penegak hukum. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut mempunyai tugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sedangkan keanggotaan forum tersebut terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat. Untuk mempertahankan kelaikan kondisi jalan dan untuk menekan angka kecelakaan, dalam Undang-Undang ini telah dicantumkan pula dasar hukum mengenai Dana Preservasi Jalan. Dana Preservasi Jalan hanya digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi . . .
-4rekonstruksi jalan, yang pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian. Dana Preservasi Jalan dikelola oleh Unit Pengelola Dana Preservasi Jalan yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri yang membidangi jalan, yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan industri di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Pemerintah berkewajiban mendorong industri dalam negeri, antara lain dengan cara memberikan fasilitas, insentif, dan menerapkan standar produk peralatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengembangan industri mencakup pengembangan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan cara dan metode rekayasa, produksi, perakitan, dan pemeliharaan serta perbaikan. Untuk menekan angka Kecelakaan Lalu Lintas yang dirasakan sangat tinggi, upaya ke depan diarahkan pada penanggulangan secara komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan, pengaturan, dan penegakan hukum. Upaya pembinaan tersebut dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas dan penyuluhan hukum serta pembinaan sumber daya manusia. Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan Kendaraan, termasuk pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif. Upaya pengaturan meliputi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan modernisasi sarana dan Prasarana Lalu Lintas. Upaya penegakan hukum dilaksanakan lebih efektif melalui perumusan ketentuan hukum yang lebih jelas serta penerapan sanksi yang lebih tegas. Dalam rangka mewujudkan kesetaraan di bidang pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang ini mengatur pula perlakuan khusus bagi penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah berupa pemberian kemudahan sarana dan prasarana fisik atau nonfisik yang meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan. Untuk . . .
-5Untuk meningkatkan pelayanan di bidang keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, Undang-Undang ini mengatur dan mengamanatkan adanya Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang didukung oleh subsistem yang dibangun oleh setiap Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu. Pengelolaan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan mengenai operasionalisasi Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara terintegrasi melalui pusat kendali dan data. Undang-Undang ini juga menegaskan keberadaan serta prosedur pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk menjamin kelancaran pelayanan administrasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang meliputi registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi serta Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLL). Dalam rangka memajukan usaha di bidang angkutan umum, UndangUndang ini juga mengatur secara terperinci ketentuan teknis operasional mengenai persyaratan badan usaha angkutan Jalan agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan kompetitif secara nasional dan internasional. Selanjutnya, untuk membuka daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia, Undang-Undang ini tetap menjamin pelayanan angkutan Jalan perintis dalam upaya peningkatan kegiatan ekonomi. Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, UndangUndang ini mengatur persyaratan teknis dan uji berkala kendaraan bermotor. Setiap jenis Kendaraan Bermotor yang berpotensi menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas dan menimbulkan pencemaran lingkungan wajib dilakukan uji berkala. Untuk memenuhi kebutuhan angkutan publik, dalam norma UndangUndang ini juga ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk menjamin tersedianya angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau menjadi tanggung jawab Pemerintah dan dalam pelaksanaanya Pemerintah dapat melibatkan swasta.
Dalam . . .
-6Dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dengan tujuan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas tersebut meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan, perekayasaan, pemberdayaan, dan pengawasan. Untuk menangani masalah Kecelakaan Lalu Lintas, pencegahan kecelakaan dilakukan melalui partisipasi para pemangku kepentingan, pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum, dan kemitraan global. Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas dimaksud, dilakukan dengan pola penahapan, yaitu program jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Selain itu, untuk menyusun program pencegahan kecelakaan dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam Undang-Undang ini diatur bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya PPNS agar selalu berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan serta adanya kepastian hukum sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangundangan, antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Undang-Undang ini, pengaturan dan penerapan sanksi pidana diatur lebih tegas. Bagi pelanggaran yang sifatnya ringan, dikenakan sanksi pidana kurungan atau denda yang relatif lebih ringan. Namun, terhadap pelanggaran berat dan terdapat unsur kesengajaan dikenakan sanksi pidana yang jauh lebih berat. Hal ini dimaksudkan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran dengan tidak terlalu membebani masyarakat. Selain sanksi pidana, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai sanksi administratif yang dikenakan bagi perusahaan angkutan berupa peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin, pemberian denda. Ketentuan mengenai sanksi pidana dan administratif diancamkan pula kepada pejabat atau penyelenggara Jalan. Di sisi lain, dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum diterapkan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment) berupa pemberian insentif bagi petugas yang berprestasi. Undang-Undang . . .
-7-
Undang-Undang ini pada dasarnya diatur secara komprehensif dan terperinci. Namun, untuk melengkapi secara operasional, diatur ketentuan secara teknis ke dalam peraturan pemerintah, peraturan Menteri, dan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Untuk menghindari kekosongan hukum, semua peraturan pelaksanaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UndangUndang ini.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan ”asas transparan” adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Huruf b Yang dimaksud dengan ”asas akuntabel” adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat dipertanggungjawabkan. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Huruf d . . .
-8Huruf d Yang dimaksud dengan ”asas partisipatif” adalah pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas bermanfaat” adalah semua kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas efisien dan efektif” adalah pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. Huruf g Yang dimaksud dengan ”asas seimbang” adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan penyelenggara. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas terpadu” adalah penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antarinstansi pembina. Huruf i Yang dimaksud dengan ”asas mandiri” adalah upaya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 . . .
-9Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” adalah badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergikan tugas pokok dan fungsi setiap instansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka: a. menganalisis permasalahan; b. menjembatani, menemukan solusi, dan meningkatkan kualitas pelayanan; dan c. bukan sebagai aparat penegak hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 . . .
- 10 Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah dalam hal berikut: a. Lalu Lintas yang membutuhkan Prasarana Jalan adalah Lalu Lintas dengan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton; dan/atau b. Penyelenggara Jalan belum mampu membiayai penyediaan Prasarana Jalan untuk Lalu Lintas dengan muatan sumbu terberat paling berat 8 (delapan) ton. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 . . .
- 11 Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 . . .
- 12 Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “fasilitas utama” adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket. Yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja Terminal” adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasiltas Terminal dan dibatasi dengan pagar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”penyelenggara Terminal” adalah unit pelaksana teknis dari Pemerintah Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 . . .
- 13 Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Parkir untuk umum” adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tempat penyeberangan” dapat berupa zebra cross dan penyeberangan yang berupa jembatan atau terowongan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 14 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “mobil penumpang” adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Huruf c Yang dimaksud dengan “mobil bus” adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Huruf d Yang dimaksud dengan “mobil barang” adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan barang. Huruf e Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: a. Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia; b. Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta d. Kendaraan khusus penyandang cacat. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 15 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “susunan” terdiri atas: a. rangka landasan; b. motor penggerak; c. sistem pembuangan; d. sistem penerus daya; e. sistem roda-roda; f. sistem suspensi; g. sistem alat kemudi; h. sistem rem; i. sistem lampu dan alat pemantul cahaya, terdiri atas: 1. lampu utama dekat, warna putih, atau kuning muda; 2. lampu utama jauh, warna putih, atau kuning muda; 3. lampu penunjuk arah, warna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; 4. lampu rem, warna merah; 5. lampu posisi depan, warna putih atau kuning muda; 6. lampu posisi belakang, warna merah; dan 7. lampu mundur, warna putih atau kuning muda; j. komponen pendukung, yang terdiri atas: 1. pengukur kecepatan (speedometer); 2. kaca spion; 3. penghapus kaca kecuali sepeda motor; 4. klakson; 5. spakbor; dan 6. bumper kecuali sepeda motor. Huruf b Yang dimaksud dengan “perlengkapan” terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih, yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan. Huruf c . . .
- 16 Huruf c Yang dimaksud dengan “ukuran” adalah dimensi utama Kendaraan Bermotor, antara lain panjang, lebar, tinggi, julur depan (front over hang), julur belakang (rear over hang), dan sudut pergi (departure angle). Huruf d Yang dimaksud dengan “karoseri” adalah badan kendaraan, antara lain kaca-kaca, pintu, engsel, tempat duduk, tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor, tempat keluar darurat (khusus mobil bus), tangga (khusus mobil bus), dan perisai kolong (khusus mobil barang). Huruf e Yang dimaksud dengan “rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya” adalah rancangan yang sesuai dengan fungsi: a. kendaraan bermotor untuk mengangkut orang; atau b. kendaraan bermotor untuk mengangkut barang. Huruf f Yang dimaksud dengan “pemuatan” adalah tata cara untuk memuat orang dan/atau barang. Huruf g Yang dimaksud dengan “penggunaan” adalah cara menggunakan Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya. Huruf h Yang dimaksud dengan ”penggandengan Kendaraan Bermotor” adalah cara menggandengkan Kendaraan Bermotor dengan menggunakan alat perangkai. Huruf i Yang dimaksud dengan “penempelan Kendaraan Bermotor” adalah cara menempelkan Kendaraan Bermotor dengan: a. menggunakan alat perangkai; b. menggunakan roda kelima yang dilengkapi dengan alat pengunci; dan c. dilengkapi kaki-kaki penopang. Ayat (3) . . .
- 17 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “izin dari Pemerintah” adalah izin dari kementerian negara yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berdasarkan rekomendasi dari kementerian yang membidangi industri, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 . . .
- 18 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Yang dimaksud dengan “perlengkapan keselamatan berlalu lintas” adalah perlengkapan, atau benda lain pada membahayakan keselamatan lalu lintas, bumper tanduk dan lampu menyilaukan.
yang dapat mengganggu pemasangan peralatan, Kendaraan yang dapat antara lain pemasangan
Pasal 59 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” adalah Kendaraan yang karena sifat dan fungsinya diberi lampu isyarat berwarna merah atau biru sebagai tanda memiliki hak utama untuk kelancaran dan lampu isyarat berwarna kuning sebagai tanda yang memerlukan perhatian khusus dari Pengguna Jalan untuk keselamatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama” adalah Kendaraan Bermotor yang mendapat prioritas dan wajib didahulukan dari Pengguna Jalan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 60 . . .
- 19 Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”mempunyai kualitas tertentu” adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dimensi” adalah ukuran muatan yang didasarkan pada panjang, lebar, dan tinggi bak kendaraan yang memenuhi persyaratan keselamatan Kendaraan, Pengemudi, dan Pengguna Jalan lain. Yang dimaksud dengan “berat” adalah beban yang sesuai dengan kemampuan penarik atau pendorong, kemampuan rem, dan daya dukung sumbu roda sesuai dengan daya dukung Jalan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 20 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “fasilitas pendukung” antara lain berupa lajur khusus sepeda, fasilitas menyeberang khusus dan/atau bersamaan dengan Pejalan Kaki. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “cek fisik Kendaraan Bermotor” adalah cek fisik yang disesuaikan dengan dokumen hasil uji tipe dan dokumen pendukung lain. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” meliputi: a. memindahkan kendaraan dari tempat penjual, distributor, atau pabrikan ke tempat tertentu untuk mengganti atau melengkapi komponen penting dari Kendaraan yang bersangkutan atau ke tempat pendaftaran Kendaraan Bermotor; b. memindahkan dari satu tempat penyimpanan di suatu pabrik ke tempat penyimpanan di pabrik lain; c. mencoba Kendaraan Bermotor baru sebelum kendaraan tersebut dijual; d. mencoba Kendaraan Bermotor yang sedang dalam taraf penelitian; atau e. memindahkan . . .
- 21 e. memindahkan Kendaraan Bermotor dari tempat penjual ke tempat pembeli. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengesahan setiap tahun” adalah sebagai pengawasan tahunan terhadap registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor serta menumbuhkan kepatuhan wajib pajak Kendaraan Bermotor. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “bukti registrasi hilang atau rusak” adalah kehilangan atau kerusakan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan/atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Huruf b Yang dimaksud dengan “spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor diubah” adalah perubahan yang terjadi pada spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor, antara lain perubahan mesin penggerak, perubahan karoseri, dan modifikasi. Yang dimaksud dengan “fungsi Kendaraan Bermotor diubah” adalah terjadinya perubahan fungsi Kendaraan Bermotor Umum menjadi Kendaraan Bermotor perseorangan atau sebaliknya. Huruf c Yang dimaksud dengan “beralih” adalah Kendaraan Bermotor yang telah dijual atau dihibahkan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 22 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “akreditasi” mencakup kelembagaan, instruktur, kurikulum, kendaraan, pelatihan, dan sarana lain. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . .
- 23 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Kendaraan alat berat” antara lain traktor, stoomwaltz, forklift, loader, excavator, buldozer, dan crane. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “tempat tertentu lainnya” antara lain, Halte, pusat distribusi barang, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, dan pusat perekonomian. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 . . .
- 24 Angka 5 Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Izin Mengemudi bentuk lain” adalah Surat Izin Mengemudi yang bentuknya disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 . . .
- 25 Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan ”tingkat pelayanan” adalah ukuran kuantitatif (rasio volume per kapasitas) dan kualitatif yang menggambarkan kondisi operasional, seperti kecepatan, waktu perjalanan, kebebasan bergerak, keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam arus Lalu Lintas serta penilaian Pengemudi terhadap kondisi arus Lalu Lintas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
- 26 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan ”perbaikan geometrik ruas jalan” adalah perbaikan terhadap bentuk dan dimensi jalan, antara lain radius, kemiringan, alinyemen (alignment), lebar, dan kanalisasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “jalan kota” adalah seluruh Jaringan Jalan yang berada dalam wilayah administratif kota, kecuali jalan nasional dan jalan provinsi. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 . . .
- 27 Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur” adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” adalah instansi yang membidangi Jalan, instansi yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari adalah waktu yang disediakan untuk memberikan informasi kepada Pengguna Jalan. Ayat (3) . . .
- 28 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 103 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “marka kotak kuning” adalah Marka Jalan berbentuk segi empat berwarna kuning yang berfungsi untuk melarang Kendaraan berhenti di suatu area. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 104 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah keadaan sistem Lalu Lintas tidak berfungsi untuk Kelancaran Lalu Lintas yang disebabkan, antara lain, oleh: a. perubahan Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional; b. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas tidak berfungsi; c. adanya Pengguna Jalan yang diprioritaskan; d. adanya pekerjaan jalan; e. adanya bencana alam; dan/atau f. adanya Kecelakaan Lalu Lintas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 . . .
- 29 Pasal 106 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tanda bukti lain yang sah” adalah surat tanda bukti penyitaan sebagai pengganti Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Surat Izin Mengemudi, dan kartu uji berkala. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 107 . . .
- 30 Pasal 107 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi jarak pandang terbatas karena gelap, hujan lebat, terowongan, dan kabut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah jika lajur sebelah kanan atau paling kanan dalam keadaan macet, antara lain akibat Kecelakaan Lalu Lintas, pohon tumbang, jalan berlubang, genangan air, Kendaraan mogok, antrean mengubah arah, atau Kendaraan bermaksud berbelok kiri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 . . .
- 31 Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tempat tertentu yang dapat membahayakan” adalah: a. tempat penyeberangan Pejalan Kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan; b. jalur khusus Pejalan Kaki; c. tikungan; d. di atas jembatan; e. tempat yang mendekati perlintasan sebidang dan persimpangan; f. di muka pintu keluar masuk pekarangan; g. tempat yang dapat menutupi Rambu Lalu Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; atau h. berdekatan dengan keran pemadam kebakaran atau sumber air untuk pemadam kebakaran. Huruf c Cukup jelas. Pasal 119 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “isyarat tanda berhenti” dapat berupa peralatan elektronik atau mekanik yang menunjukkan isyarat dengan tulisan berhenti. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 . . .
- 32 Pasal 121 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “isyarat lain” antara lain lampu darurat dan senter. Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah Kendaraan dalam keadaan mogok, Kecelakaan Lalu Lintas, dan mengganti ban. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Yang dimaksud dengan “jaringan Jalan” adalah satu kesatuan jaringan yang terdiri atas sistem jaringan primer dan sistem jaringan Jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarkis. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya” antara lain: a. kegiatan keagamaan; b. kegiatan kenegaraan; c. kegiatan olahraga; dan/atau d. kegiatan budaya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kepentingan pribadi” antara lain untuk pesta perkawinan, kematian, atau kegiatan lain. Pasal 128 . . .
- 33 Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “fasilitas lain” antara lain lampu yang ada tandanya bagi Pejalan Kaki. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “retribusi pengendalian Lalu Lintas” adalah dana yang dipungut dari Pengguna Jalan yang akan memasuki ruas jalan atau kawasan yang telah ditetapkan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 134 Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . .
- 34 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “kepentingan tertentu” adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain, Kendaraan untuk penanganan ancaman bom, Kendaraan pengangkut pasukan, Kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan Kendaraan untuk penanganan bencana alam. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . .
- 35 Huruf c Yang dimaksud dengan “kepentingan lain” adalah kepentingan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keamanan, sosial, dan keadaan darurat yang disebabkan tidak dapat menggunakan mobil penumpang atau mobil bus. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Yang dimaksud dengan “trayek” adalah lintasan Kendaraan Bermotor Umum untuk pelayanan jasa angkutan, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, serta lintasan tetap, baik berjadwal maupun tidak berjadwal. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Huruf a Yang dimaksud dengan ”angkutan lintas batas negara” adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum yang terikat dalam trayek. Huruf b Yang dimaksud dengan ”angkutan antarkota antarprovinsi” adalah angkutan dari satu kota ke kota lain yang melalui daerah kabupaten/kota yang melewati satu daerah provinsi yang terikat dalam trayek. Huruf c Yang dimaksud dengan ”angkutan antarkota dalam provinsi” adalah angkutan dari satu kota ke kota lain antardaerah kabupaten/kota dalam satu daerah provinsi yang terikat dalam trayek. Huruf d . . .
- 36 Huruf d Yang dimaksud dengan ”angkutan perkotaan” adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam kawasan perkotaan yang terikat dalam trayek. Kawasan perkotaan yang dimaksud berupa: a. kota sebagai daerah otonom; b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; atau c. kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Huruf e Yang dimaksud dengan “angkutan perdesaan” adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi terkait” pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
adalah
instansi
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 . . .
- 37 Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dari pintu ke pintu” adalah pelayanan taksi dari tempat asal ke tempat tujuan (door to door). Yang dimaksud dengan “wilayah operasi” adalah kawasan tempat angkutan taksi beroperasi berdasarkan izin yang diberikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 153 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keperluan lain” adalah angkutan yang digunakan untuk karyawan dan keperluan sosial, antara lain, melayat, olahraga, dan hajatan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanda khusus” antara lain adalah tulisan pariwisata dan nama perusahaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 . . .
- 38 Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “angkutan massal berbasis Jalan” adalah suatu sistem angkutan yang menggunakan mobil bus dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal. Yang dimaksud dengan “kawasan perkotaan” adalah kawasan perkotaan megapolitan, kawasan metropolitan, dan kawasan perkotaan besar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “lajur khusus” adalah lajur yang disediakan untuk angkutan massal berbasis jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “tidak berimpitan” adalah trayek angkutan umum memiliki kesamaan dengan trayek angkutan massal sehingga memungkinkan timbulnya persaingan yang tidak sehat. Huruf d Yang dimaksud dengan “angkutan pengumpan (feeder)” adalah angkutan umum dengan trayek yang berkelanjutan dengan trayek angkutan massal. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Huruf a Yang dimaksud dengan “angkutan barang umum” adalah angkutan barang pada umumnya, yaitu barang yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sarana khusus. Huruf b . . .
- 39 Huruf b Yang dimaksud dengan “angkutan barang khusus” adalah angkutan yang membutuhkan mobil barang yang dirancang khusus untuk mengangkut benda yang berbentuk curah, cair, dan gas, peti kemas, tumbuhan, hewan hidup, dan alat berat serta membawa barang berbahaya, antara lain: a. barang yang mudah meledak; b. gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau temperatur tertentu; c. cairan mudah menyala; d. padatan mudah menyala; e. bahan penghasil oksidan; f. racun dan bahan yang mudah menular; g. barang yang bersifat radioaktif; dan h. barang yang bersifat korosif. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “angkutan multimoda” adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 166 . . .
- 40 Pasal 166 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tiket Penumpang” adalah dokumen yang memuat informasi paling sedikit: a. nomor, tempat duduk, dan tanggal penerbitan; b. nama Penumpang dan nama pengangkut; c. tempat, tanggal, dan waktu pemberangkatan serta tujuan perjalanan; d. nomor pemberangkatan; dan e. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang ini. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanda pengenal bagasi” adalah tanda yang paling sedikit memuat informasi tentang: a. nomor tanda pengenal bagasi; b. kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan c. berat bagasi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “surat perjanjian pengangkutan barang” adalah bukti pembayaran sah antara pengangkut barang dan pengirim barang. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat muatan barang” adalah surat yang menerangkan jenis dan jumlah barang serta asal dan tujuan pengiriman. Pengangkutan barang dengan surat muatan barang tidak termasuk angkutan untuk barang pribadi. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 . . .
- 41 Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”jangka waktu tertentu” adalah masa berlaku izin penyelenggaraan angkutan umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 . . .
- 42 Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “trayek tertentu” adalah trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 . . .
- 43 Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup jelas. Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memungut biaya tambahan” adalah pengenaan biaya tambahan di luar biaya yang telah disepakati oleh pengirim atau penerima barang kepada Perusahaan Angkutan Umum karena adanya biaya penyimpanan barang sebagai akibat keterlambatan pengambilan barang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
- 44 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain: a. Polisi Sahabat Anak; b. Cara Aman ke Sekolah; c. Patroli Keamanan Sekolah; d. Pramuka Saka Bhayangkara Krida Lalu Lintas; e. Kemitraan Lalu Lintas; dan f. Pedoman Sistem Keamanan bagi Perusahaan Angkutan Umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “fasilitas dan perlengkapan Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain: a. pusat manajeman Lalu Lintas (traffic management centre); b. pusat komunikasi dan sambungan langsung (call centre and hotline); c. sirkuit televisi terbatas (closed circuit television); d. alat pemberi isyarat terjadinya bahaya; e. Pos Polisi; f. sarana peraga; dan g. tombol untuk pemberitahuan keadaan panik (panic button); Huruf c Yang dimaksud dengan “pelaksanaan pendidikan dan pelatihan” antara lain: a. cara aman dan selamat ke sekolah; dan b. cara aman dan selamat berkendara. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 201 . . .
- 45 -
Pasal 201 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “alat pemberi informasi” adalah perangkat elektronik yang berisi informasi dan komunikasi dengan menggunakan isyarat, gelombang radio, dan/atau gelombang satelit untuk memberikan informasi dan komunikasi terjadinya tindak pidana, antara lain lampu isyarat, alat pelacakan, dan alat petunjuk posisi geografis (global positioning system). Pasal 202 Cukup jelas. Pasal 203 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “program nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain: a. Polisi Mitra Kampus (Police Goes to Campus); b. Cara Berkendara dengan Selamat (Safety Riding); c. Forum Lalu Lintas (Traffic Board); d. Kampanye Keselamatan Lalu Lintas; e. Taman Lalu Lintas; f. Sekolah Mengemudi; dan g. Kemitraan Global Keselamatan Lalu Lintas (Global Road Safety Partnership). Huruf b Yang dimaksud dengan “fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas” antara lain alat pemantau kecepatan dan alat pemantau kemacetan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 204 . . .
- 46 Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 Cukup jelas. Pasal 206 Cukup jelas. Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Cukup jelas. Pasal 211 Cukup jelas. Pasal 212 Cukup jelas. Pasal 213 Cukup jelas. Pasal 214 Cukup jelas. Pasal 215 Cukup jelas. Pasal 216 Cukup jelas. Pasal 217 Cukup jelas. Pasal 218 . . .
- 47 Pasal 218 Cukup jelas. Pasal 219 Cukup jelas. Pasal 220 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 Cukup jelas. Pasal 223 Cukup jelas. Pasal 224 Cukup jelas. Pasal 225 . . .
- 48 Pasal 225 Cukup jelas. Pasal 226 Cukup jelas. Pasal 227 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “menolong korban” adalah upaya yang dilakukan untuk membantu meringankan beban penderitaan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas, antara lain memberikan pertolongan pertama di tempat kejadian dan membawa korban ke rumah sakit. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 228 Cukup jelas. Pasal 229 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 49 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “luka ringan” adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan dalam luka berat. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang mengakibatkan korban: a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; c. kehilangan salah satu pancaindra; d. menderita cacat berat atau lumpuh; e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 230 Cukup jelas. Pasal 231 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah situasi di lingkungan lokasi kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan diri Pengemudi, terutama dari amukan massa dan kondisi Pengemudi yang tidak berdaya untuk memberikan pertolongan. Pasal 232 Cukup jelas. Pasal 233 Cukup jelas. Pasal 234 . . .
- 50 Pasal 234 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah pertanggungjawaban disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian. Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah : a. orang yang berada di luar Kendaraan Bermotor; atau b. instansi yang bertanggung jawab di bidang Jalan serta sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” termasuk keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 235 Ayat (1) Yang dimaksud dengan membantu berupa biaya pengobatan adalah bantuan biaya yang diberikan kepada korban, termasuk pengobatan dan perawatan atas dasar kemanusiaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 236 Cukup jelas. Pasal 237 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “awak kendaraan” adalah Pengemudi, Pengemudi cadangan, kondektur, dan pembantu Pengemudi. Pasal 238 . . .
- 51 Pasal 238 Cukup jelas. Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perlakuan khusus” adalah pemberian kemudahan berupa sarana dan prasarana fisik dan nonfisik yang bersifat umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit untuk memperoleh kesetaraan kesempatan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “prioritas pelayanan” pengutamaan pemberian pelayanan khusus.
adalah
Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 243 Cukup jelas. Pasal 244 Cukup jelas. Pasal 245 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
- 52 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “bidang prasarana Jalan” antara lain informasi tentang: 1. jaringan Jalan; 2. kondisi Jalan dan jembatan; 3. tingkat pelayanan Jalan dan jembatan; 4. bangunan pelengkap; 5. pemeliharaan Jalan; dan 6. pembangunan Jalan; Huruf b Yang dimaksud dengan “bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” antara lain informasi tentang: 1. jaringan angkutan; 2. Terminal; 3. izin trayek; 4. perlengkapan jalan; 5. aturan perintah dan larangan; 6. pengujian Kendaraan Bermotor; 7. alat penimbang Kendaraan Bermotor; dan 8. fasilitas pendukung. Huruf c Yang dimaksud dengan “bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas” antara lain informasi tentang: 1. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor; 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kecelakaan Lalu Lintas; pelanggaran Lalu Lintas; situasi dan kondisi Lalu Lintas; administrasi manunggal satu atap; Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian; manajemen operasional lalu lintas kepolisian; pendidikan berlalu lintas; dan pelayanan, pelaporan, dan pengaduan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “manajemen operasional” adalah pengelolaan pergerakan dalam sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, antara lain pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli, kendali, koordinasi, komunikasi, dan informasi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 246 . . .
- 53 Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 Cukup jelas. Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Ayat(1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “pusat pelayanan masyarakat” adalah wadah yang berfungsi sebagai penyedia informasi dan sarana berkomunikasi masyarakat di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 250 Cukup jelas. Pasal 251 Cukup jelas. Pasal 252 . . .
- 54 Pasal 252 Cukup jelas. Pasal 253 Cukup jelas. Pasal 254 Cukup jelas. Pasal 255 Cukup jelas. Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Cukup jelas. Pasal 260 Cukup jelas. Pasal 261 Cukup jelas. Pasal 262 Cukup jelas. Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 Cukup jelas. Pasal 265 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 55 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berkala” adalah pemeriksaan yang dilakukan secara bersama-sama demi efisiensi dan efektivitas agar tidak terjadi pemeriksaan yang berulang-ulang dan merugikan masyarakat. Yang dimaksud dengan “insidental” adalah termasuk tindakan petugas terhadap pelanggaran yang tertangkap tangan, pelaksanaan operasi kepolisian dengan sasaran Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta penanggulangan kejahatan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 266 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah adanya peningkatan antara lain: a. angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan; b. angka kejahatan yang menyangkut Kendaraan Bermotor; c. jumlah Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan; d. tingkat ketidaktaatan pemilik dan/atau pengusaha angkutan untuk melakukan pengujian Kendaraan Bermotor pada waktunya; e. tingkat pelanggaran perizinan angkutan umum; dan/atau f. tingkat pelanggaran kelebihan muatan angkutan barang. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 267 Cukup jelas. Pasal 268 Cukup jelas. Pasal 269 . . .
- 56 Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 Cukup jelas. Pasal 272 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”peralatan elektronik” adalah alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 273 Cukup jelas. Pasal 274 Cukup jelas. Pasal 275 Cukup jelas. Pasal 276 Cukup jelas. Pasal 277 Cukup jelas. Pasal 278 Cukup jelas. Pasal 279 Cukup jelas. Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 . . .
- 57 Pasal 282 Cukup jelas. Pasal 283 Cukup jelas. Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Cukup jelas. Pasal 286 Cukup jelas. Pasal 287 Cukup jelas. Pasal 288 Cukup jelas. Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 Cukup jelas. Pasal 294 Cukup jelas. Pasal 295 Cukup jelas.
Pasal 296 . . .
- 58 Pasal 296 Cukup jelas. Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 300 Cukup jelas. Pasal 301 Cukup jelas. Pasal 302 Cukup jelas. Pasal 303 Cukup jelas. Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Cukup jelas. Pasal 308 Cukup jelas. Pasal 309 Cukup jelas. Pasal 310 . . .
- 59 Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 Cukup jelas. Pasal 312 Cukup jelas. Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 Cukup jelas. Pasal 316 Cukup jelas. Pasal 317 Cukup jelas. Pasal 318 Cukup jelas. Pasal 319 Cukup jelas. Pasal 320 Cukup jelas. Pasal 321 Cukup jelas. Pasal 322 Cukup jelas. Pasal 323 Cukup jelas. Pasal 324 . . .
- 60 Pasal 324 Cukup jelas. Pasal 325 Cukup jelas. Pasal 326 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5025
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 9 Tahun 2004 TENTANG PENGUJIAN TIPE KENDARAAN BERMOTOR MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang
Mengingat
:
a.
bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi telah diatur ketentuan mengenai pengujian tipe serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, karoseri bak muatan, modifikasi kendaraan bermotor;
b.
bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
: 1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
6.
Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002;
7.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.24 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 91 Tahun 2001. MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENGUJIAN TIPE KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1.
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
2.
Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua, atau tiga tanpa rumah-rumah, baik dengan atau tanpa kereta samping;
3.
Kereta gandengan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang yang seluruh bebannya ditumpu oleh alat itu sendiri dan dirancang untuk ditarik oleh kendaraan bermotor;
4.
Kereta tempelan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang yang dirancang untuk ditarik dan sebagian bebannya ditumpu oleh kendaraan bermotor penariknya;
5.
Pengujian kendaraan bermotor adalah serangkaian kegiatan menguji dan/atau memeriksa bagian-bagian atau komponenkomponen kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan;
2
6.
Pengujian tipe kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut uji tipe kendaraan bermotor adalah pengujian yang dilakukan terhadap fisik kendaraan bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan sebelum kendaraan bermotor tersebut dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor secara massal serta kendaraan bermotor yang dimodifikasi;
7.
Pengujian berkala kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut uji berkala adalah pengujian kendaraan bermotor yang dilakukan secara berkala terhadap setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang dioperasikan di jalan;
8.
Sertifikat uji tipe adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal sebagai bukti bahwa tipe kendaraan bermotor atau landasan kendaraan bermotor yang bersangkutan telah lulus uji tipe;
9.
Pengesahan Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor adalah Surat Keputusan Direktur Jenderal sebagai bukti bahwa rancangan kendaraan bermotor, kereta gandengan, atau kereta tempelan tersebut telah memenuhi persyaratan teknis;
10.
Sertifikat registrasi uji tipe adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal, sebagai bukti bahwa setiap kendaraan bermotor, landasan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan/atau kereta tempelan yang dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor atau dimodifikasi memiliki spesifikasi teknik sama/sesuai dengan tipe kendaraan yang telah disahkan atau rancang bangun dan rekayasa kendaraan yang telah disahkan, yang merupakan kelengkapan persyaratan pendaftaran dan pengujian berkala kendaraan bermotor;
11.
Modifikasi kendaraan bermotor adalah kendaraan bermotor yang diubah bentuk dan/atau peruntukannya yang dapat mengakibatkan perubahan spesifikasi teknik utama;
12.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat;
13.
Dinas Propinsi adalah dinas yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
3
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN UJI TIPE KENDARAAN BERMOTOR Pasal 2 (1)
Uji tipe kendaraan bermotor dilakukan untuk : a. memberikan jaminan keselamatan secara teknis terhadap penggunaan kendaraan bermotor di jalan; b. melestarikan lingkungan dari kemungkinan pencemaran diakibatkan oleh penggunaan kendaraan bermotor di jalan;
yang
c. memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. (2)
Untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengujian tipe kendaraan bermotor dilakukan sebagai berikut : a. unit pelaksana pengujian tipe kendaraan bermotor harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan pengujian; b. pemilihan jenis, tipe, kapasitas, jumlah, dan teknologi fasilitas serta peralatan pengujian harus dilakukan secara cermat dan tepat; c. pengujian dilakukan oleh tenaga penguji yang memiliki kualifikasi teknis tertentu dari Direktur Jenderal; d. pengujian harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara serta pada lokasi yang telah ditetapkan dengan menggunakan peralatan pengujian yang tersedia; e. hasil uji tipe kendaraan bermotor harus akurat dan dapat dipertanggung jawabkan; f. fasilitas dan peralatan pengujian harus dipelihara / dirawat dengan baik secara periodik, sehingga semua fasilitas dan peralatan pengujian selalu dalam kondisi layak pakai; g. peralatan pengujian harus dilakukan kalibrasi secara periodik oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat; h. kapasitas fasilitas dan peralatan pengujian harus diupayakan sebanding dengan jumlah tipe kendaraan bermotor yang diuji; i. memberikan informasi yang berisi kemudahan dan kejelasan bagi pemohon pengujian tipe.
4
BAB III RUANG LINGKUP UJI TIPE Pasal 3 (1) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebelum disetujui untuk diimpor atau diproduksi dan/atau dirakit secara massal atau dimodifikasi, wajib dilakukan uji tipe. (2) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari : a. uji tipe fisik kendaraan bermotor, dapat berupa: 1) uji tipe kendaraan bermotor dalam keadaan lengkap; atau 2) uji tipe kendaraan bermotor dalam bentuk landasan. b. penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan, atau kereta tempelan. (3) Penelitian rancang bangun dan rekayasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, tidak dibatasi oleh jumlah untuk setiap tipenya dan diberlakukan terhadap : a. b. c. d. e.
rumah-rumah; bak muatan; kereta gandengan; kereta tempelan; kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa : 1) perubahan sumbu dan jarak sumbu; 2) selain perubahan sumbu dan jarak sumbu.
(4) Bagi kendaraan bermotor yang diimpor sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) unit untuk setiap tipe diberikan kebebasan untuk memilih : a. diuji tipe fisik kendaraan bermotor; atau b. diteliti rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor. (5) Kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit didalam negeri sebanyakbanyaknya 10 (sepuluh) unit untuk setiap tipe, dibebaskan dari uji tipe fisik dan wajib dilakukan penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
5
(6) Kendaraan bermotor yang diimpor dan/atau dibuat dan/atau dirakit lebih dari 10 (sepuluh) unit untuk setiap tipe, wajib dilakukan uji tipe fisik kendaraan bermotor. (7) Jumlah kendaraan bermotor yang diimpor dan/atau dibuat dan/atau dirakit sebagaimana dimaksud ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) tidak dibatasi oleh waktu pengimporan, pembuatan atau perakitan. BAB IV PERSYARATAN UMUM UJI TIPE KENDARAAN BERMOTOR Pasal 4 Uji tipe kendaraan bermotor dikenakan biaya pengujian sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan disetorkan ke kas negara. Pasal 5 (1)
Pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor dilakukan oleh tenaga penguji yang memiliki kualifikasi teknis dengan jumlah yang memadai terhadap beban kerjanya.
(2)
Tenaga penguji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk.
(3)
Kualifikasi teknis penguji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikelompokkan berdasarkan tingkat keahlian, wewenang dan tanggung jawab secara berjenjang.
(4)
Setiap tenaga penguji yang melaksanakan tugas pengujian, penelitian dan penilaian teknis rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan wajib memakai tanda kualifikasi teknis penguji yang ditetapkan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan persyaratan, prosedur pengangkatan tenaga penguji serta tanda kualifikasi teknis penguji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.
6
BAB V UJI TIPE FISIK KENDARAAN BERMOTOR Bagian Pertama Persyaratan, Komponen dan Fasilitas serta Peralatan Pengujian Pasal 6 (1)
Uji tipe kendaraan bermotor dilakukan secara terpusat oleh Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor Direktorat Jenderal Perhubungan Darat yang selanjutnya disebut Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor.
(2)
Dalam melaksanakan uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor harus memiliki fasilitas dan peralatan pengujian yang memadai, serta sesuai dengan tata cara dan prosedur yang berlaku.
(3)
Peralatan pengujian yang digunakan harus dikalibrasi secara periodik dan diperbaiki serta dirawat dengan baik, agar kondisinya senantiasa layak dan siap operasi. Pasal 7
(1)
Komponen uji tipe kendaraan bermotor dalam keadaan lengkap, sekurangkurangnya meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
uji rem utama dan rem parkir; uji lampu utama; uji radius putar; uji speedometer; uji/pemeriksaan konstruksi (fisik dan fungsi perlengkapan kendaraan bermotor); uji emisi gas buang; uji tingkat suara klakson; uji/pengukuran berat kendaraan; uji kincup roda depan; uji/pengukuran dimensi; uji posisi roda depan; 7
l. uji prestasi/performansi; m. uji jalan/kemampuan jalan; n. uji/pengukuran penghapus kaca depan; o. uji sabuk keselamatan; p. uji suspensi; q. uji kebisingan; r. uji lain, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor. (2)
Untuk tahap awal berdasarkan perkembangan industri kendaraan bermotor di dalam negeri, pelaksanaan komponen uji tipe kendaraan bermotor hanya dilakukan terhadap komponen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m.
(3)
Komponen uji tipe kendaraan bermotor dalam bentuk landasan (chassis engine), sekurang-kurangnya meliputi : a. b. c. d.
uji rem utama dan rem parkir; uji radius putar; uji speedometer; uji/pemeriksaan konstruksi;
e. uji emisi gas buang; f. uji tingkat suara klakson; g. uji kincup roda depan; h. uji/Pengukuran berat landasan; i. uji lampu; j. uji lain, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor. Pasal 8 (1)
Komponen uji tipe kendaraan bermotor jenis sepeda motor, sekurangkurangnya meliputi : a. b. c. d. e. f. g.
uji rem; uji lampu utama; uji emisi gas buang; uji tingkat suara klakson; uji/pengukuran berat kendaraan bermotor; uji/pengukuran dimensi kendaraan bermotor; uji speedometer; 8
h. uji kebisingan; i. uji/pemeriksaan konstruksi (fisik dan fungsi perlengkapan kendaraan bermotor); j. uji prestasi/performansi dan/ atau uji kemampuan jalan; k. uji lain, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor. Pasal 9 (1)
Fasilitas uji tipe kendaraan bermotor terdiri dari : a. bangunan beban kerja untuk fasilitas pengujian tipe kendaraan bermotor dalam gedung (indoor); b. bangunan gedung untuk generator set, kompresor dan gudang; c. jalan keluar masuk; d. jalan lingkungan pengujian; e. lapangan parkir; f. bangunan gedung administrasi; g. pagar; h. fasilitas listrik; i. lampu penerangan; j. pompa air dan menara air; k. fasilitas pengisian bahan bakar; l. fasilitas pengujian tipe kendaraan bermotor di luar gedung; m. fasilitas penunjang.
(2)
Fasilitas uji tipe kendaraan bermotor di luar gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l, terdiri dari : a. fasilitas pengujian tingkat suara; b. fasilitas pengujian radius putar; c. trek pengujian kecepatan tinggi; d. trek pengujian pengendalian; e. trek pengujian serba guna; f. trek pengujian Belgian Road; g. trek pengujian tanjakan dan turunan; h. trek pengujian melalui jalan berlumpur; i. trek pengujian slip; 9
j. skid pad; k. trek pengujian melalui lintasan berair; l. terowongan air; m. terowongan debu; n. fasilitas pembuat angin; o. lintasan berliku-liku; p. lapangan pengujian analitis; q. fasilitas uji tubrukan; r. jalan inspeksi; s. fasilitas dan peralatan bantu. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata letak, ukuran, bentuk, jenis, tipe, peralatan, perlengkapan, konstruksi, bahan, spesifikasi teknik, pembangunan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian fasilitas uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Pasal 10
(1)
Peralatan uji tipe kendaraan bermotor meliputi : a. alat uji rem utama dan rem parkir; b. alat uji lampu utama; c. alat uji suspensi roda dan pemeriksaan kondisi teknis bagian bawah kendaraan bermotor; d. alat uji speedometer; e. alat uji tekanan udara; f. alat uji konstruksi; g. alat uji ban; h. alat uji tingkat suara; i. alat uji pengujian berat; j. alat uji kincup roda depan; k. alat uji dimensi; l. alat uji posisi roda depan; m. alat uji helm; n. alat uji motor penggerak; o. alat uji kaca; 10
p. alat uji sabuk keselamatan; q. alat uji emisi gas buang, termasuk ketebalan asap gas buang; r. alat uji prestasi kendaraan bermotor; s. alat uji kebisingan; t. peralatan bantu; u. alat uji lain, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tipe, ukuran, bentuk, spesifikasi teknik, jumlah, kapasitas, teknologi yang digunakan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian peralatan uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Bagian Kedua Pembangunan Fasilitas dan Peralatan Pengujian Pasal 11
(1)
Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe kendaraan bermotor menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(2)
Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 12
(1)
Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan secara bertahap.
(2)
Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal dengan mempertimbangkan : a.
keselamatan penggunaan kendaraan bermotor;
b.
kelestarian lingkungan hidup;
c.
kesepakatan-kesepakatan regional dan/atau internasional;
d.
perkembangan teknologi;
e.
kapasitas, umur teknis dan ekonomis peralatan serta fasilitas yang ada;
f.
kemajuan industri kendaraan bermotor;
g.
mengutamakan produksi dalam negeri.
11
Bagian Ketiga Tipe Kendaraan Bermotor Pasal 13 (1)
Seri produksi kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor dan/atau dimodifikasi dikelompokkan menjadi 1 (satu) tipe, apabila seri produksi tersebut memiliki ciri-ciri utama yang sama antara satu dengan lainnya.
(2)
Kesamaan ciri-ciri utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a.
b.
jenis dan peruntukan kendaraan bermotor, terdiri dari : 1) sepeda motor; 2) mobil penumpang; 3) mobil bus; 4) mobil barang; 5) kendaraan khusus. spesifikasi teknik utama, berupa : 1) motor penggerak : a) tipe/model motor (engine); b) konstruksi dasar; c) jenis bahan bakar dan peralatan suplai yang digunakan; d) volume silinder; e) daya motor; f) momen puntir motor; g) letak. 2) sistem suspensi yang meliputi : a) coil spring; b) leaf spring; c) torsion bar; d) air spring; e) hydro pneumatic. 3) jarak sumbu; 4) lebar jejak; 5) transmisi, terdiri dari : a) sistem pengoperasian : 1) manual; 2) otomatis.
12
b) sistem penggerak : 1) 4 roda digerakkan oleh 2 roda penggerak; 2) 4 roda atau lebih digerakkan oleh 4 roda penggerak. 6) kerangka landasan, terdiri dari : a) terpisah dari bodi; b) menyatu dengan bodi (monocoque); c) semi monocoque. 7) jenis rem : a) cakram (disc); b) teromol (drum); c) kombinasi cakram dan teromol. 8)
sistim pengereman, terdiri dari : a) sistem pengendalian rem : 1)) hidrolis; 2)) pneumatis; 3)) hidro-pneumatis; 4)) mekanis. b) peralatan bantu (booster) : 1)) tanpa peralatan bantu; 2)) dengan peralatan bantu. c) sistim pengoperasian rem parkir : 1)) stick; 2)) center level; 3)) tekanan kaki.
(3)
Besarnya daya motor dan momen puntir motor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b angka 1) huruf e) dan huruf f) untuk masing-masing tipe diberikan toleransi sebesar 5 (lima) %.
(4)
Apabila salah satu atau lebih dari ciri-ciri utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ternyata berbeda, seri produksi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai tipe yang berbeda, dan wajib dilakukan uji tipe.
13
Pasal 14 (1)
Seri produksi kendaraan bermotor yang memiliki perbedaan teknis dengan tipenya sepanjang tidak menyangkut ciri-ciri utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), seri produksi kendaraan bermotor tersebut ditetapkan masih berada dalam tipe yang sama.
(2)
Seri produksi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai varian dari tipe kendaraan bermotor yang bersangkutan dan tidak diwajibkan uji tipe.
(3)
Varian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dinyatakan secara jelas pada setiap sertifikat uji tipe dan sertifikat registrasi uji tipe beserta rincian perbedaan teknisnya. Bagian Keempat Prosedur dan Pelaksanaan Pengujian Pasal 15
(1)
Setiap tipe kendaraan bermotor sebelum diizinkan untuk dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor untuk dioperasikan di jalan, wajib dilakukan uji tipe kendaraan bermotor.
(2)
Kendaraan bermotor yang diwajibkan uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa tipe kendaraan bermotor dalam keadaan lengkap (standar) dan/atau tipe landasan kendaraan bermotor, yang dilaksanakan terhadap contoh setiap tipe dari seri produksi kendaraan bermotor. Pasal 16
Setiap landasan kendaraan bermotor yang telah memiliki sertifikat uji tipe landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) untuk dijalankan di jalan menuju tempat pembuatan karoseri atau tempat penjualan (show room) wajib dilengkapi sekurang kurangnya : a. b. c. d. e. f. g.
lampu utama; lampu penunjuk arah; lampu rem; lampu posisi; lampu mundur; rem utama dan rem parkir; speedometer; 14
h. tempat duduk pengemudi yang kokoh; i. sabuk keselamatan; j. helm untuk landasan yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah pengemudi (cabin). Pasal 17 (1)
Perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor kendaraan bermotor harus mengajukan permohonan uji tipe kepada Direktur Jenderal.
(2)
Permohonan uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi persyaratan :
(3)
a. pemohon adalah penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi kendaraan bermotor; b. mengisi formulir permohonan, sebagaimana Contoh 1 dalam Lampiran Keputusan ini; c. menyampaikan data perusahaan, sebagaimana Contoh 2 dalam Lampiran Keputusan ini; d. menyampaikan data spesifikasi teknik kendaraan bermotor atau landasan kendaraan bermotor sesuai jenis kendaraan bermotor yang diajukan, sebagaimana Contoh 3 dalam Lampiran Keputusan ini; e. menyampaikan gambar teknik dan foto dan/atau brosur kendaraan bermotor atau landasan kendaraan bermotor. Dalam hal permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemohon wajib : a. membayar biaya pengujian tipe kendaraan bermotor sesuai ketentuan yang berlaku dengan menunjukkan bukti pembayaran yang sah kepada Balai Pengujian Laik jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB); b. membawa contoh tipe kendaraan bermotor atau contoh tipe landasan kendaraan bermotor selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak tanggal pembayaran biaya uji ke Balai Pengujian Laik jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB) untuk dilakukan uji tipe kendaraan bermotor dan apabila melewati batas waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja wajib membayar biaya uji lagi.
(4)
Persetujuan atau penolakan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Pasal 18
Unit pelaksana uji tipe kendaraan bermotor harus dilengkapi dengan papan informasi yang ditempatkan pada tempat-tempat yang mudah terlihat dan dapat dibaca oleh pemohon yang memuat besarnya biaya yang dikenakan dalam rangka uji tipe kendaraan bermotor dan prosedur uji tipe kendaraan bermotor. 15
Pasal 19 (1)
Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor menyampaikan data hasil uji tipe kendaraan bermotor, tanggal pengujian, dan nama penguji yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal, setelah selesai melakukan uji tipe kendaraan bermotor.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor, penggunaan, pemeliharaan, perawatan, perbaikan serta penggantian fasilitas, dan peralatan uji tipe kendaraan bermotor, kualifikasi tenaga penguji, tata cara penyelenggaraan administrasi uji tipe kendaraan bermotor, dan tata cara pelaporannya diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal. Pasal 20
Dengan memperhatikan ambang batas laik jalan dan mempertimbangkan data hasil uji tipe kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) serta data spesifikasi teknik dan gambar teknik dan/atau brosur kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d dan huruf e, Direktur Jenderal menetapkan lulus atau tidak lulus terhadap tipe kendaraan bermotor yang diuji tipe. Pasal 21 (1)
Tipe kendaraan bermotor yang dinyatakan lulus uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 diberikan pengesahan dan sertifikat uji tipe oleh Direktur Jenderal.
(2)
Sertifikat uji tipe sebagaimana tercantum dalam Contoh 4 Lampiran Keputusan ini. Pasal 22
(1)
Dalam hal tipe kendaraan bermotor yang diuji tipe dinyatakan tidak lulus uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib dilakukan uji ulang.
(2)
Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan secara tertulis mengenai penetapan hasil uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mencantumkan :
(3)
a. alasan tidak lulus uji; b. perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan; c. waktu dan tempat dilakukan pengujian ulang. Pemohon yang melakukan uji ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlakukan sebagai pemohon baru dan dipungut biaya hanya terhadap komponen-komponen yang dinyatakan tidak lulus uji tipe kendaraan bermotor. 16
(4)
Uji ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan setelah pemohon menunjukkan dan memberitahukan secara tertulis mengenai perbaikan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, kepada Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk.
(5)
Jika hasil uji tipe ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) juga dinyatakan tidak lulus, tipe kendaraan bermotor yang bersangkutan tidak dapat dilakukan uji ulang lagi dan apabila akan mengujikan kembali tipe kendaraannya, harus memproses dari awal lagi sebagai pemohon baru.
(6)
Uji ulang hanya dilakukan terhadap tipe kendaraan bermotor yang memiliki nomor landasan/rangka dan/atau nomor mesin yang sama dengan yang dimiliki kendaraan bermotor yang dinyatakan tidak lulus uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(7)
Pemohon yang tidak melakukan uji ulang pada waktu dan tempat yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, dianggap tidak bersedia melakukan uji ulang. Pasal 23
(1)
Sertifikat uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sekurangkurangnya berisi data mengenai : a. b. c. d. e.
nomor sertifikat uji tipe (diterbitkan oleh Direktur Jenderal); merek dan tipe; jenis dan peruntukan; varian, apabila ada; nomor rangka dan/atau nomor mesin kendaraan bermotor yang diuji tipe; f. nama perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; g. alamat perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; h. penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; i. spesifikasi teknik tipe kendaraan bermotor; j. spesifikasi teknik varian, apabila ada dan diperiksa keberadaan fisiknya; k. jumlah berat yang diperbolehkan dan/atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan; l. berat kosong kendaraan bermotor; m. jumlah berat yang diizinkan dan/atau jumlah berat kombinasi yang diizinkan; n. daya angkut orang dan/atau barang; o. dimensi bak muatan / tangki; p. kelas jalan terendah yang boleh dilalui; 17
(2) (3)
q. tempat dan tanggal dilakukan uji tipe fisik kendaraan bermotor; r. tempat dan tanggal diterbitkan sertifikat uji tipe oleh Direktur Jenderal dan distempel; s. nama dan tanda tangan pemberi sertifikat uji tipe. Sertifikat uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat dari bahan yang memiliki unsur-unsur pengaman. Unsur pengaman pada sertifikat uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat berupa kertas sekuriti (security paper) dan/atau hologram dan/atau water mark dan/atau invisible ink. Pasal 24
(1)
Setiap kendaraan bermotor yang tipenya telah memperoleh sertifikat uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi kendaraan bermotor yang bersangkutan harus memberi jaminan, bahwa setiap unit kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor dan/atau dimodifikasi memiliki spesifikasi teknik dan unjuk kerja yang sama dengan tipenya berupa Sertifikat Registrasi Uji Tipe.
(2)
Sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disertakan pada setiap unit kendaraan bermotor.
(3)
Dalam rangka kepentingan administrasi, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat mencetak dan meregistrasi setiap sertifikat registrasi uji tipe sebelum diberikan oleh penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi kendaraan bermotor untuk setiap seri tipe / varian kendaraan bermotor. Pasal 25
(1)
Sertifikat registrasi uji tipe setiap kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, sekurang-kurangnya berisi data mengenai : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
nomor sertifikat registrasi uji tipe (diterbitkan oleh perusahaan); nomor Keputusan Direktur Jenderal; nomor sertifikat uji tipe; merek dan tipe; jenis; peruntukan; varian, apabila ada; nomor rangka landasan; nomor motor penggerak; nama perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; 18
(2)
k. alamat perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; l. penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi; m. tahun pembuat/perakit/modifikasi; n. spesifikasi teknik kendaraan bermotor; o. spesifikasi teknik varian, apabila ada; p. jumlah berat yang diperbolehkan dan/atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan; q. berat kosong kendaraan bermotor; r. jumlah berat yang diizinkan dan/atau jumlah berat kombinasi yang diizinkan; s. daya angkut orang dan/atau barang; t. dimensi bak muatan/tangki; u. kelas jalan terendah yang boleh dilalui; v. tempat dan tanggal pemberian sertifikat registrasi uji tipe oleh penanggung jawab perusahaan; w. nama dan tanda tangan pejabat yang meregistrasi dan stempel; x. nama dan tanda tangan penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi, atau kuasanya yang distempel. Sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat dari bahan yang memiliki unsur-unsur pengaman.
(3)
Unsur pengaman pada sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat berupa kertas sekuriti dan/atau hologram dan/atau water mark dan/atau invisible ink.
(4)
Sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diserahkan kepada pemilik kendaraan bermotor melalui penanggung jawab perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor kendaraan bermotor, sebagai salah satu persyaratan pendaftaran kendaraan bermotor.
(5)
Setiap Sertifikat Registrasi Uji Tipe sebagai bukti telah dilakukan registrasi terhadap tipe kendaraan bermotor yang telah lulus uji tipe kendaraan bermotor oleh Perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor, dikenakan biaya sesuai ketentuan yang berlaku dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
(6)
Bentuk dan isi sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagaimana Contoh 5 dalam Lampiran Keputusan ini.
19
Pasal 26 (1) Sertifikat registrasi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 merupakan persyaratan untuk pendaftaran kendaraan bermotor dalam rangka mendapatkan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) serta persyaratan dalam pelaksanaan pengujian berkala untuk yang pertama kali. (2) Kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor berdasarkan pengesahan uji tipe dan telah memperoleh sertifikat registrasi uji tipe, STNK serta BPKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan mendapatkan Surat Keterangan dari Kepala Dinas Propinsi atas nama Direktur Jenderal yang menyatakan bahwa kendaraan bermotor tersebut dibebaskan dari kewajiban uji berkala untuk yang pertama kali yang berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak diterbitkannya STNK. (3) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Dinas Propinsi sebagai tugas dekonsentrasi. (4) Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bebas uji berkala pertama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemilik kendaraan bermotor wajib melaporkan kendaraannya kepada Unit Pelaksana Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor sesuai dengan domisili pemilik kendaraan bermotor untuk mendapatkan penetapan lokasi uji dan waktu (hari, tanggal dan jam) pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. (5) Bentuk dan Isi Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sebagaimana Contoh 6 dalam Lampiran Keputusan ini.
20
BAB VI PENELITIAN RANCANG BANGUN DAN REKAYASA KENDARAAN BERMOTOR Bagian Pertama Persyaratan Umum Pasal 27 (1) Kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) huruf b sebelum dioperasikan di jalan, tipenya harus dilakukan penelitian rancang bangun dan rekayasa. (2) Hasil penelitian Rancang bangun dan rekayasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disahkan dengan Keputusan Direktur Jenderal. Bagian Kedua Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor Pasal 28 (1)
Permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf e angka 1) dan ayat (4) huruf b diajukan oleh perusahaan pembuat dan/atau perakit dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi kepada Direktur Jenderal.
(2)
Permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e angka 2) ditujukan kepada Dinas Propinsi sesuai domisili pemohon sebagai tugas dekonsentrasi.
(3)
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. mengisi formulir permohonan; b. menyampaikan data perusahaan; c. menyampaikan data spesifikasi teknik kendaraan atau landasan kendaraan bermotor, sebagaimana Contoh 3 dalam Lampiran Keputusan ini; d. menyampaikan gambar teknik yang meliputi tampak utama, detail, exploded view, sistem rem dan kelistrikan; 21
e. rekomendasi dari Agen Tunggal Pemegang Merek/Prinsipal bagi kendaraan bermotor yang dimodifikasi sumbu; f. perhitungan-perhitungan teknis konstruksi meliputi antara lain rem, suspensi, axle, chasis, sub-frame dan ban bagi kendaraan bermotor yang dimodifikasi. (4)
Persetujuan atau penolakan permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap;
(5)
Bentuk permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagaimana Contoh 7 dalam Lampiran Keputusan ini;
(6)
Bentuk permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa modifikasi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebagaimana Contoh 8 dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 29
(1)
Permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa modifikasi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi persyaratan tipe kendaraan bermotor yang telah lulus uji tipe fisik kendaraan bermotor dan mendapatkan pengesahan dari Direktur Jenderal.
(2)
Permohonan penelitian rancang bangun dan rekayasa rumah-rumah dan bak muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan huruf b harus memenuhi persyaratan menggunakan landasan (chassis engine atau chassis cabin) yang telah diuji tipe dalam bentuk landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a angka 2) dan mendapatkan pengesahan dari Direktur Jenderal.
(3)
Kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan lengkap sebanyakbanyaknya 10 (sepuluh) unit untuk setiap tipe dan memilih uji tipe melalui penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b, maka landasan kendaraan bermotor tersebut tidak perlu di uji tipe landasan. Pasal 30
(1)
Setiap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dilakukan penelitian dan penilaian serta pengesahannya oleh Direktur Jenderal.
22
(2)
Setiap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dilakukan penelitian dan penilaian serta pengesahannya oleh Dinas Propinsi atas nama Direktur Jenderal sebagai tugas dekonsentrasi. Pasal 31
(1)
Dinas Propinsi melakukan penelitian dan penilaian kesesuaian antara fisik kendaraan bermotor dengan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor yang disahkan oleh Direktur Jenderal dan Dinas Propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(2)
Penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pemeriksaan fisik secara langsung terhadap setiap unit produksi/karoseri kendaraan bermotor yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal penelitian dan penilaian masih dijumpai ketidaksesuaian antara fisik kendaraan bermotor dengan desain rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, wajib dilakukan perbaikan terhadap fisik kendaraan bermotor tersebut.
(4)
Penelitian dan penilaian fisik kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang-kurangnya meliputi : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
dimensi utama dan konstruksi kendaraan bermotor; kesesuaian material; kesesuaian landasan; bentuk fisik kendaraan bermotor; dimensi, konstruksi, posisi dan jarak tempat duduk; posisi lampu-lampu; jumlah tempat duduk; dimensi dan konstruksi bak muatan/volume tangki; peruntukan kendaraan bermotor; fasilitas tempat keluar darurat. Pasal 32
(1)
Setiap kendaraan bermotor yang telah memenuhi kesesuaian fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dibuatkan Berita Acara Hasil Penelitian dan Penilaian Fisik Kendaraan Bermotor yang ditandatangani Dinas Propinsi sesuai domisili perusahaan pemohon atas nama Direktur Jenderal.
(2)
Formulir berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagaimana Contoh 9 dalam Lampiran Keputusan ini.
23
(3)
Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon meregistrasikan tipe kendaraan bermotor dengan membayar biaya registrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
(4)
Pengambilan sertifikat registrasi uji tipe dilakukan dengan melampirkan berita acara hasil penelitian dan penilaian fisik kendaraan bermotor dan tanda bukti penyetoran pembayaran registrasi.
(5)
Sertifikat registrasi uji tipe untuk pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor dilampiri gambar utama kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan, dengan bentuk tampak depan, tampak belakang dan tampak samping kiri yang telah mendapat pengesahan dari Direktur Jenderal.
(6)
Sertifikat registrasi uji tipe diterbitkan/dicetak oleh Direktur Jenderal dan di distribusikan berdasarkan permohonan dari Dinas Propinsi.
(7)
Bentuk surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) sebagaimana Contoh 10 dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 33
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tentang penetapan Surat Keterangan bebas uji berkala untuk yang pertama kali, tidak berlaku bagi kendaraan bermotor yang dibuat/dirakit berdasarkan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor.
(2)
Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan pengujian berkala kendaraan bermotor dengan membawa sertifikat registrasi uji tipe dan STNK sebagai persyaratan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor untuk yang pertama kali.
(3)
Unit Pelaksana Teknis Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor Kabupaten/Kota tidak dibenarkan melaksanakan pengujian berkala untuk yang pertama kali, apabila kendaraan bermotor tersebut tidak dilengkapi dengan sertifikat uji tipe atau sertifikat registrasi uji tipe.
(4)
Unit Pelaksana Teknis Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor Kabupaten/Kota dalam setiap melaksanakan pengujian berkala, wajib melakukan penelitian terhadap kesesuaian antara fisik kendaraan bermotor dengan hasil uji tipe fisik kendaraan bermotor atau hasil penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor yang telah disahkan oleh Direktur Jenderal.
24
BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 34 (1)
Pembinaan dan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor dilakukan oleh Direktur Jenderal.
(2)
Pembinaan dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kegiatan : a. b. c. d. e.
f. g. h. i. j.
k. l.
menetapkan kebijaksanaan pelaksanaan; menetapkan persyaratan teknis pelaksanaan; menerbitkan pedoman teknis; memberikan bimbingan dan petunjuk; mengawasi, mengarahkan dan mengambil tindakan korektif terhadap pelaksanaan uji tipe serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor; menetapkan jumlah dan kualifikasi teknis tenaga penguji; menerbitkan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji; pembekuan sementara, penurunan dan pencabutan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pengujian tipe serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor; menyelenggarakan pembekalan terhadap penguji tipe serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor tentang perkembangan teknologi kendaraan bermotor dan peralatan pengujian serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor; menyelenggarakan ujian kualifikasi tenaga penguji; menetapkan jumlah, jenis, tipe, teknologi dan persyaratan teknis fasilitas dan peralatan pengujian tipe serta rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35
Sertifikat Uji Tipe, Sertifikat Registrasi Uji Tipe, Surat Keputusan Pengesahan Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor, dan Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Mutu yang telah diterbitkan sebelum keputusan ini ditetapkan dinyatakan tetap berlaku. 25
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 81 Tahun 1993 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 23 Januari 2004 --------------------------------------------------------AAAAAAAAAAAA MENTERI PERHUBUNGAN ttd AGUM GUMELAR, M.Sc SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan; Menteri Negara Lingkungan Hidup; Menteri Dalam Negeri; Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Menteri Keuangan; Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; Sekjen, Irjen, para Dirjen dan para Kabadan di lingkungan Departemen Perhubungan; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Elektronik, dan Aneka (ILMEA); Direktur Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan; Para Gubernur Propinsi; Para Kepala Kepolisian Daerah di seluruh Indonesia; Para Kepala Dinas Perhubungan/LLAJ Propinsi; GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia); AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia); AIKI (Asosiasi Importir Kendaraan Bermotor Indonesia); PAABI (Perhimpunan Agen Tunggal Alat-alat Berat Indonesia); ASKARINDO (Asosiasi Perusahaan Karoseri Indonesia).
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan KSLN ttd KALALO NUGROHO NIP.120105102 26
Contoh 1
Lampiran Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Tanggal : KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR PERMOHONAN UJI TIPE
Nomor
:
………………………., .………………..……
Lampiran Perihal
: 1 (satu) berkas. : Permohonan Uji Tipe.
Kepada Yth. Direktur Jenderal Perhubungan Darat cq Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Jl. Medan Merdeka Barat No. 8 diJakarta 10110.
1. Kami yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Jabatan Alamat Bidang Usaha
: : : :
……………………………………………………………………………….. Direktur Utama PT/CV/Perum/Koperasi ………………………. ……………………………………………………………………………….. Pembuat/Perakit/Pengimpor/Pemodifikasi ……………………
Untuk dan atas nama perusahaan/koperasi …………………………………………………. mengajukan permohonan uji tipe kendaraan bermotor/landasan kendaraan bermotor : Merek/Tipe : Jenis/Peruntukan : Varian : 2. Sebagai kelengkapan permohonan kami, bersama ini kami lampirkan : a. Data umum perusahaan. b. Spesifikasi teknik tipe. c. Gambar teknik dan foto tipe kendaraan bermotor. 3. Demikian dan atas perhatian Bapak Direktur, kami ucapkan terima kasih. NAMA PERUSAHAAN Cap/Stempel perusahaan dan tanda tangan
Nama Jelas Jabatan
Contoh 2
KOP SURAT PERUSAHAAN FORMULIR DATA UMUM PERUSAHAAN PEMOHON UJI TIPE 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Perusahaan : Alamat Kantor Pusat : Alamat Pabrik : Pelabuhan Impor : (hanya diisi oleh pengimpor) Status Perusahaan : ATPM/Pembuat/Perakit/Pengimpor/Pemodifikasi Izin Usaha : a. Penanggung Jawab Perusahaan: b. Jabatan : 8. a. Petugas yang menangani : b. Jabatan : 9. a. Nama Pejabat yang menandatangani Sertifikat Registrasi uji tipe. : b. Jabatan : c. Contoh tanda tangan :
NAMA PERUSAHAAN Cap/Stempel perusahaan dan tanda tangan penanggung jawab perusahaan Nama Jelas Jabatan
Contoh 3
DATA SPESIFIKASI TEKNIK KENDARAAN BERMOTOR 1.
Merek
:
2.
Tipe
:
3.
Jenis Kendaraan :
4.
Nama Niaga : (Nama yang diberikan oleh pemohon)
5.
Nomor dan Tempat Penomoran Landasan (Chassis No.)/Motor (Engine No.) Kendaraan uji : Item
Tempat Nomor
Cara Penomoran
Chassis No. :
Engine No. :
6. Data Lengkap Kendaraan Bermotor : SUBJECT
KETERANGAN
MOTOR PENGGERAK : 1
Nama pembuat/pemegang merk
2
Merek
3
Model
OHV :
4
Letak Motor Penggerak
FF :
5
Sistem Pembakaran
6
Jumlah dan Konfigurasi Silinder
7
Diameter x Langkah Torak [mm x mm]
8
Daya Maksimum [kW/rpm ; HP/rpm]
9
Torsi Maksimum [Nm/rpm]
10
Idle Speed [rpm]
11 Volume Silinder [cc]
SOHC : FR :
DOHC : RR :
Lain² :
SUBJECT
KETERANGAN
SISTEM BAHAN BAKAR : 1
Jenis Bahan Bakar
2
Sistem Pemberian Bahan Bakar
3
Kapasitas Tanki Bahan Bakar [liter]
DIMENSI KENDARAAN : 1
Panjang Total [mm]
2
Lebar Total [mm]
3
Tinggi Total [mm]
4
Jarak sumbu [mm]
5
Lebar Jejak : Roda Depan (Front thread) [mm] Roda Belakang (Rear thread) [mm]
6
Julur Depan/(Front Over Hang) [mm]
7
Julur Belakang/(Rear Over Hang) [mm]
8
Jarak Bebas (Ground Clearence) [mm]
9
Dimensi Bak Muatan / Dimensi Tangki (PxLxT) [mm] / liter
KONFIGURASI SUMBU : 1
1. 1
2
1. 2
3
1. 22
4
11.22
SUSUNAN RODA : 1
Ukuran Ban dan Lingkar Roda : Sumbu I Sumbu II Sumbu III Sumbu IV
Karburator :
STANDARD
O
VARIANT-1
Injeksi :
VARIANT-2
KET.
SUBJECT BERAT KENDARAAN : 1
Berat Kendaraan Kosong [kg] : Sumbu I Sumbu II Sumbu III Sumbu IV Total
2
Kekuatan Rancang Sumbu [kg] :
KETERANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat (4), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51 ayat (6), Pasal 56, Pasal 57 ayat (4), Pasal 59 ayat (6), Pasal 60 ayat (6), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 76 ayat (5) Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kendaraan;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
MEMUTUSKAN: Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KENDARAAN.
BAB I . . .
-2BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1.
Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
2.
Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
3.
Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
4.
Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda 2 (dua) dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping, atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
5.
Mobil Penumpang adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
6.
Mobil Bus adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
7.
Mobil Barang adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang sebagian atau seluruhnya untuk mengangkut barang.
8.
Rumah–rumah adalah bagian dari Kendaraan Bermotor jenis Mobil Penumpang, Mobil Bus, Mobil Barang, atau Sepeda Motor yang berada pada landasan berbentuk ruang muatan, baik untuk orang maupun barang.
9.
Pengujian Kendaraan Bermotor adalah serangkaian kegiatan menguji dan/atau memeriksa bagian atau komponen Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. 10. Uji . . .
-310. Uji Tipe Kendaraan Bermotor adalah pengujian yang dilakukan terhadap fisik Kendaraan Bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan sebelum Kendaraan Bermotor dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor secara massal serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi. 11. Uji Berkala adalah Pengujian Kendaraan Bermotor yang dilakukan secara berkala terhadap setiap Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan, yang dioperasikan di jalan. 12. Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. 13. Uji Sampel adalah pengujian kesesuaian spesifikasi teknis seri produksi terhadap sertifikat Uji Tipe. 14. Kereta Gandengan adalah sarana untuk mengangkut barang yang seluruh bebannya ditumpu oleh sarana itu sendiri dan dirancang untuk ditarik oleh Kendaraan Bermotor. 15. Kereta Tempelan adalah sarana untuk mengangkut barang yang dirancang untuk ditarik dan sebagian bebannya ditumpu oleh Kendaraan Bermotor penariknya. 16. Jumlah Berat Yang Diperbolehkan yang selanjutnya disebut JBB adalah berat maksimum Kendaraan Bermotor berikut muatannya yang diperbolehkan menurut rancangannya. 17. Jumlah Berat Kombinasi Yang Diperbolehkan yang selanjutnya disebut JBKB adalah berat maksimum rangkaian Kendaraan Bermotor berikut muatannya yang diperbolehkan menurut rancangannya. 18. Jumlah Berat Yang Diizinkan yang selanjutnya disebut JBI adalah berat maksimum Kendaraan Bermotor berikut muatannya yang diizinkan berdasarkan kelas jalan yang dilalui. 19. Jumlah Berat Kombinasi Yang Diizinkan yang selanjutnya disebut JBKI adalah berat maksimum rangkaian Kendaraan Bermotor berikut muatannya yang diizinkan berdasarkan kelas jalan yang dilalui. BAB II . . .
-4BAB II JENIS DAN FUNGSI KENDARAAN Pasal 2 Kendaraan terdiri atas: a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor. Pasal 3 (1)
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berdasarkan jenis dikelompokkan ke dalam: a. b. c. d. e.
(2)
Sepeda Motor; Mobil Penumpang; Mobil Bus; Mobil Barang; dan Kendaraan khusus.
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan fungsi dikelompokan ke dalam Kendaraan Bermotor perseorangan dan Kendaraan Bermotor umum. Pasal 4
Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dikelompokkan ke dalam: a. b.
Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan Kendaraan yang ditarik oleh tenaga hewan. Pasal 5
(1)
Kendaraan Bermotor jenis Sepeda Motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi: a. Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa rumah-rumah; b. Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa kereta samping; dan c. Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga) tanpa rumah-rumah. (2) Kendaraan . . .
-5(2)
Kendaraan Bermotor jenis Mobil Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b meliputi: a.
Mobil Penumpang sedan yang memiliki 3 (tiga) ruang terdiri atas: 1. ruang mesin; 2. ruang pengemudi dan penumpang; dan 3. ruang bagasi. b. Mobil Penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang terdiri atas: 1. ruang mesin; dan 2. ruang pengemudi, ruang penumpang dan/atau bagasi. c. Mobil Penumpang lainnya dirancang untuk keperluan khusus. (3)
Kendaraan Bermotor jenis Mobil Bus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c meliputi: a.
Mobil Bus kecil yang dirancang dengan: 1. JBB lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) sampai dengan 5.000 (lima ribu) kilogram; 2. ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak lebih dari 6.000 (enam ribu) milimeter; dan 3. ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
b.
Mobil Bus sedang yang dirancang dengan: 1. 2.
3.
JBB lebih dari 5.000 (lima ribu) sampai dengan 8.000 (delapan ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan panjang keseluruhan tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter; dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya. c. Mobil . . .
-6c.
Mobil Bus besar yang dirancang dengan: 1. 2.
3.
d.
Mobil Bus maxi yang dirancang dengan: 1.
2.
3.
e.
JBB lebih dari 8.000 (delapan ribu) sampai dengan 16.000 (enam belas ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan ukuran panjang keseluruhan Kendaraan Bermotor lebih dari 9.000 (sembilan ribu) milimeter sampai dengan 12.000 (dua belas ribu) milimeter; dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi ukuran landasan dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter serta tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
JBB lebih dari 16.000 (enam belas ribu) kilogram sampai dengan 24.000 (dua puluh empat ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan lebih dari 12.000 (dua belas ribu) milimeter sampai dengan 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter; dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya.
Mobil Bus gandeng yang dirancang dengan: 1.
2.
3.
JBKB paling sedikit 22.000 (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan 26.000 (dua puluh enam ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan lebih dari 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan 18.000 (delapan belas ribu) milimeter; dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya. f. Mobil . . .
-7f.
Mobil Bus tempel yang dirancang dengan: 1.
2.
3.
g.
JBKB paling sedikit 22.000 (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan 26.000 (dua puluh enam ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan lebih dari 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan 18.000 (delapan belas ribu) milimeter; dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi Kendaraan tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraannya;
Mobil Bus tingkat yang dirancang dengan: 1.
2.
3. 4.
JBB paling sedikit 21.000 (dua puluh satu ribu) kilogram sampai dengan 24.000 (dua puluh empat ribu) kilogram; ukuran panjang keseluruhan paling sedikit 9.000 (sembilan ribu) milimeter sampai dengan 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter; ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter; dan ukuran tinggi Mobil Bus tingkat tidak lebih dari 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter.
(4)
Kendaraan Bermotor jenis Mobil Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d meliputi: a. mobil bak muatan terbuka; b. mobil bak muatan tertutup; c. mobil tangki; dan d. mobil penarik.
(5)
Kendaraan Bermotor jenis Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e meliputi Kendaraan yang dirancang bangun untuk fungsi tertentu.
(6)
Fungsi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi: a. militer; b. ketertiban dan keamanan masyarakat; c. alat produksi; dan d. mobilitas penyandang cacat. BAB III . . .
-8BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN LAIK JALAN KENDARAAN BERMOTOR Bagian Kesatu Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor Paragraf 1 Umum Pasal 6 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis.
(2)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis Kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. Paragraf 2 Susunan Pasal 7
Susunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
rangka landasan; motor penggerak; sistem pembuangan; sistem penerus daya; sistem roda-roda; sistem suspensi; sistem alat kemudi; sistem rem; sistem lampu dan alat pemantul cahaya; komponen pendukung. Pasal 8 . . .
-9Pasal 8 (1)
Rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a harus memenuhi persyaratan: a. dengan konstruksi menyatu, terpisah, atau sebagian menyatu sebagian terpisah dengan badan Kendaraan; b. dapat menahan seluruh beban getaran dan goncangan Kendaraan berikut muatannya sebesar JBB atau JBKB; c. tahan terhadap korosi; dan d. dilengkapi dengan alat pengait di bagian depan dan bagian belakang Kendaraan Bermotor, kecuali Sepeda Motor.
(2)
Rangka landasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kendaraan Bermotor yang dirancang untuk menarik Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan, dilengkapi dengan peralatan penarik yang dirancang khusus untuk itu. Pasal 9
(1)
Rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus dibubuhkan nomor rangka landasan.
(2)
Nomor rangka landasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. ditempatkan secara permanen pada bagian tertentu rangka landasan; b. ditulis dalam bentuk embos ke dalam atau keluar; dan c. mudah dilihat dan dibaca. Pasal 10
(1)
Rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi: a. rangka landasan untuk angkutan orang; b. rangka landasan untuk angkutan barang.
(2)
Untuk kendaraan khusus dapat menggunakan rangka landasan untuk angkutan barang atau angkutan orang. Pasal 11 . . .
- 10 Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis rangka landasan diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 12 (1)
Motor penggerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi: a. motor bakar; b. motor listrik; dan c. kombinasi motor bakar dan motor listrik.
(2)
Motor penggerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. mempunyai daya untuk dapat mendaki pada jalan tanjakan dengan sudut kemiringan minimum 8 (delapan derajat) dengan kecepatan minimum 20 (dua puluh) kilometer per jam pada segala kondisi jalan; b. motor penggerak dapat dihidupkan dari tempat duduk pengemudi; c. motor penggerak Kendaraan Bermotor tanpa Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan, selain Sepeda Motor harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total Kendaraan berikut muatannya paling sedikit sebesar 4,50 (empat koma lima puluh) kilo Watt setiap 1.000 (seribu) kilogram dari JBB atau JBKB; d. motor penggerak pada Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk menarik Kereta Gandengan, Kereta Tempelan, bus tempel dan bus gandeng, selain Sepeda Motor harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total Kendaraan berikut muatannya paling sedikit sebesar 5,50 (lima koma lima puluh) kilo Watt setiap 1.000 (seribu) kilogram dari JBB atau JBKB; dan e. perbandingan antara daya motor penggerak dan berat Kendaraan khusus atau Sepeda Motor ditetapkan sesuai dengan kebutuhan lalu lintas dan angkutan serta kelas jalan. (3) Ketentuan . . .
- 11 (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e tidak berlaku untuk Kendaraan Bermotor yang dirancang dengan kecepatan tidak melebihi 25 (dua puluh lima) kilometer per jam pada jalan datar. Pasal 13
(1)
Setiap motor penggerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus dibubuhkan nomor motor penggerak.
(2)
Nomor motor penggerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a. ditempatkan secara permanen pada bagian tertentu pada motor penggerak; b. ditulis dalam bentuk embos ke dalam atau keluar atau dalam bentuk lain; dan c. mudah dilihat dan dibaca. Pasal 14
(1)
Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c paling sedikit terdiri atas manifold, peredam suara, dan pipa pembuangan.
(2)
Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. b. c.
d. (3)
dirancang dan dibuat dari bahan yang cukup kuat; arah pipa pembuangan dibuat dengan posisi yang tidak mengganggu pengguna jalan lain; asap dari hasil pembuangan tidak mengarah pada tangki bahan bakar atau roda sumbu belakang Kendaraan Bermotor; dan pipa pembuangan tidak melebihi sisi samping atau sisi belakang Kendaraan Bermotor.
Pipa pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diarahkan ke: a. atas; b. belakang; atau c. sisi kanan disebelah belakang ruang penumpang dengan sudut kemiringan tertentu terhadap garis tengah Kendaraan Bermotor; untuk Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor. (4) Sistem . . .
- 12 (4)
Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diarahkan ke arah kanan bagian depan ruang pengemudi, untuk Kendaraan Bermotor untuk mengangkut barang yang mudah terbakar.
(5)
Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diarahkan ke arah belakang pada sisi kanan, untuk Mobil Bus. Pasal 15
(1)
Sistem penerus daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d terdiri atas: a. otomatis; b. manual; dan c. kombinasi otomatis dan manual.
(2)
Sistem penerus daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dapat dikendalikan dari tempat duduk pengemudi; b. Kendaraan Bermotor dapat bergerak maju dengan 1 (satu) atau lebih tingkat kecepatan; dan c. Kendaraan Bermotor dapat bergerak mundur.
(3)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku untuk: a. Sepeda Motor beroda dua; dan b. Sepeda Motor beroda tiga yang rodanya dipasang simetris terhadap bidang tengah arah memanjang, yang memiliki JBB maksimum 400 (empat ratus) kilogram. Pasal 16
(1)
Sistem roda-roda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e terdiri atas: a. roda; dan b. sumbu roda.
(2)
Roda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas pelek, ban bertekanan, dan sumbu atau gabungan sumbu dan roda. (3) Ban . . .
- 13 (3)
Ban bertekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki adhesi yang cukup, baik pada jalan kering maupun jalan basah.
(4)
Pelek dan ban bertekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan pada Kendaraan Bermotor harus memiliki ukuran dan kemampuan yang disesuaikan dengan JBB atau JBKB. Pasal 17
Sistem suspensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f harus mampu menahan beban, getaran, dan kejutan. Pasal 18 (1)
Sistem alat kemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g meliputi: a. roda kemudi atau stang kemudi; dan b. batang kemudi.
(2)
Sistem alat kemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dapat digerakkan; dan b. roda kemudi atau stang kemudi dirancang dan dipasang yang tidak membahayakan pengemudi.
(3)
Sistem alat kemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan tenaga bantu untuk membantu pengemudi dalam mengendalikan Kendaraan. Pasal 19
(1)
Sistem rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h meliputi: a. rem utama; dan b. rem parkir.
(2)
Dalam hal Kendaraan Bermotor dengan transmisi otomatis selain dilengkapi dengan sistem rem sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi dengan sistem yang mampu menurunkan putaran mesin pada saat dilakukan pengereman. Pasal 20 . . .
- 14 Pasal 20 Rem utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan: a. ditempatkan dekat dengan pengemudi; dan b. bekerja pada semua roda Kendaraan sesuai dengan besarnya beban pada masing-masing sumbu. Pasal 21 Rem parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan: a.
b.
dapat dikendalikan dari ruang pengemudi dan mampu menahan posisi Kendaraan dalam keadaan berhenti pada jalan datar, tanjakan, maupun turunan; dan dilengkapi dengan pengunci yang bekerja secara mekanis atau sistem lain sesuai perkembangan teknologi. Pasal 22
Sistem rem parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b tidak berlaku bagi Sepeda Motor yang memiliki JBB dibawah 400 (empat ratus) kilogram. Pasal 23 Sistem lampu dan alat pemantul cahaya dimaksud dalam Pasal 7 huruf i meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
sebagaimana
lampu utama dekat berwarna putih atau kuning muda; lampu utama jauh berwarna putih atau kuning muda; lampu penunjuk arah berwarna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; lampu rem berwarna merah; lampu posisi depan berwarna putih atau kuning muda; lampu posisi belakang berwarna merah; lampu mundur dengan warna putih atau kuning muda kecuali untuk Sepeda Motor; lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor di bagian belakang Kendaraan berwarna putih; lampu isyarat peringatan bahaya berwarna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; j. lampu . . .
- 15 j.
k.
lampu tanda batas dimensi Kendaraan Bermotor berwarna putih atau kuning muda untuk Kendaraan Bermotor yang lebarnya lebih dari 2.100 (dua ribu seratus) milimeter untuk bagian depan dan berwarna merah untuk bagian belakang; alat pemantul cahaya berwarna merah yang ditempatkan pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor. Pasal 24
(1)
Lampu utama dekat dan lampu utama jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 selain Sepeda Motor harus memenuhi persyaratan: a. b. c.
d.
berjumlah 2 (dua) buah atau kelipatannya; dipasang pada bagian depan Kendaraan Bermotor; dipasang pada ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter dari permukaan jalan dan tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar Kendaraan; dan dapat memancarkan cahaya paling sedikit 40 (empat puluh) meter ke arah depan untuk lampu utama dekat dan 100 (seratus) meter ke arah depan untuk lampu utama jauh.
(2)
Untuk Sepeda Motor harus dilengkapi dengan lampu utama dekat dan lampu utama jauh paling banyak dua buah dan dapat memancarkan cahaya paling sedikit 40 (empat puluh) meter ke arah depan untuk lampu utama dekat dan 100 (seratus) meter ke arah depan untuk lampu utama jauh.
(3)
Apabila Sepeda Motor dilengkapi lebih dari 1 (satu) lampu utama dekat maka lampu utama dekat harus dipasang berdekatan. Pasal 25
(1)
Lampu penunjuk arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c harus memenuhi persyaratan: a. berjumlah genap; b. dapat dilihat pada waktu siang dan malam hari oleh pengguna jalan lain; c. dipasang . . .
- 16 c.
d.
(2)
dipasang pada sisi kiri dan kanan bagian depan Kendaraan Bermotor dengan ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter; dan dipasang pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor dengan ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter.
Lampu penunjuk arah untuk Sepeda Motor dipasang secara berpasangan di bagian depan dan bagian belakang Sepeda Motor, sejajar di sisi kiri dan kanan. Pasal 26
(1)
Lampu rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d selain Sepeda Motor, harus memenuhi persyaratan: a. b.
c.
berjumlah paling sedikit 2 (dua) buah; mempunyai kekuatan cahaya lebih besar dari lampu posisi belakang tetapi tidak menyilaukan bagi pengguna jalan lain; dan dipasang pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor dengan ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter.
(2)
Dalam hal jumlah lampu rem lebih dari 2 (dua) buah, dapat ditempatkan di bagian atas belakang Kendaraan Bermotor bagian dalam atau luar.
(3)
Untuk Sepeda Motor lampu rem harus dipasang paling banyak 2 (dua) buah pada bagian belakang. Pasal 27
(1)
Lampu posisi depan sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf e selain Sepeda Motor, harus memenuhi persyaratan: a. b. c.
berjumlah 2 (dua) buah; dipasang di bagian depan; dapat bersatu dengan lampu utama dekat; d. dipasang . . .
- 17 d.
e.
(2)
dipasang pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor dengan ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter dan tidak menyilaukan pengguna jalan lain; dan tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi depan, tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar Kendaraan.
Untuk Sepeda Motor apabila mempunyai 2 (dua) lampu posisi depan, harus dipasang berdekatan. Pasal 28
(1)
Lampu posisi belakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f selain Sepeda Motor, harus memenuhi persyaratan: a. berjumlah genap; b. dipasang pada ketinggian tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan dan harus dapat dilihat pada malam serta tidak menyilaukan pengguna jalan lain; dan c. tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi belakang tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar Kendaraan.
(2)
Lampu posisi belakang untuk Sepeda Motor berjumlah paling banyak 2 (dua) buah. Pasal 29
Lampu mundur sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf g harus memenuhi persyaratan: a. b.
c. d. e.
berjumlah paling banyak 2 (dua) buah; dipasang pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor dengan ketinggian tidak melebihi 1.200 (seribu dua ratus) milimeter; tidak menyilaukan pengguna jalan lain; hanya menyala apabila penerus daya digunakan untuk posisi mundur; dan dilengkapi tanda bunyi mundur untuk Kendaraan dengan JBB lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Pasal 30 . . .
- 18 Pasal 30 Lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf h dipasang di bagian belakang dan dapat menyinari tanda nomor Kendaraan Bermotor agar dapat dibaca pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari belakang. Pasal 31 Lampu isyarat peringatan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf i menggunakan lampu penunjuk arah yang menyala secara bersamaan untuk kedua arah dengan sinar kelap-kelip.
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 32 Lampu tanda batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf j hanya dipersyaratkan bagi Kendaraan yang memiliki lebar lebih dari 2.100 (dua ribu seratus) milimeter. Lampu tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang di bagian depan dan bagian belakang sisi kiri atas dan sisi kanan atas. Pasal 33 Alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf k harus memenuhi persyaratan: a. dipasang secara berpasangan; b. dapat dilihat oleh pengemudi Kendaraan lain yang berada di belakang Kendaraan pada malam hari dari jarak paling sedikit 100 (seratus) meter apabila pemantul cahaya tersebut disinari lampu utama Kendaraan di belakangnya; c. dipasang di bagian belakang Kendaraan Bermotor pada ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter; dan d. tepi bagian terluar pemantul cahaya tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi terluar Kendaraan. Alat pemantul cahaya untuk Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan harus berbentuk segitiga. (3) Dalam . . .
- 19 (3)
Dalam hal alat pemantul cahaya untuk mobil barang menggunakan stiker, harus memantulkan cahaya.
(4)
Untuk Sepeda Motor dilarang menggunakan alat pemantul cahaya berbentuk segitiga. Pasal 34
(1)
Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu kabut yang berjumlah paling banyak 2 (dua) buah dipasang di bagian depan Kendaraan.
(2)
Lampu kabut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dengan cahaya warna putih atau kuning; b. titik tertinggi permukaan penyinaran tidak melebihi titik tertinggi permukaan penyinaran dari lampu utama dekat; c. dipasang pada ketinggian tidak melebihi 800 (delapan ratus) milimeter; d. tepi terluar permukaan penyinaran lampu kabut tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi terluar Kendaraan; dan e. tidak menyilaukan pengguna jalan. Pasal 35
Komponen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf j meliputi: a. pengukur kecepatan; b. kaca spion; c. penghapus kaca, kecuali Sepeda Motor; d. klakson; e. spakbor; dan f. bumper, kecuali Sepeda Motor. Pasal 36 (1)
Pengukur kecepatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a berupa alat penunjuk kecepatan mekanik dan/atau alat penunjuk kecepatan elektronik. (2) Pengukur . . .
- 20 (2)
Pengukur kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan pengukur jarak dan dipasang pada tempat yang mudah dilihat oleh pengemudi. Pasal 37
Kaca spion Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b harus memenuhi persyaratan: a. berjumlah 2 (dua) buah atau lebih; dan b. dibuat dari kaca atau bahan lain yang dipasang pada posisi yang dapat memberikan pandangan ke arah samping dan belakang dengan jelas tanpa mengubah jarak dan bentuk objek yang terlihat. Pasal 38 (1)
Penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c harus memenuhi persyaratan: a. paling sedikit berjumlah 1 (satu) buah dipasang di bagian kaca depan; b. dilengkapi alat penyemprot air ke kaca; dan c. digerakkan secara mekanis dan/atau elektronis.
(2)
Penghapus kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mampu membersihkan kaca depan. Pasal 39
Klakson sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d harus mengeluarkan bunyi dan dapat digunakan tanpa mengganggu konsentrasi pengemudi. Pasal 40 (1)
Spakbor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e harus memiliki lebar paling sedikit selebar telapak ban.
(2)
Spakbor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mampu mengurangi percikan air atau lumpur ke belakang Kendaraan atau badan Kendaraan. Pasal 41 . . .
- 21 (1)
Pasal 41 Bumper sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f harus dipasang di: a. depan dan belakang untuk Mobil Penumpang, Mobil Bus dan Mobil tangki; b. depan untuk Mobil Barang selain mobil tangki.
(2)
Bumper depan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menonjol ke depan lebih dari 500 (lima ratus) milimeter melewati bagian badan Kendaraan yang paling depan. Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan komponen pendukung diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 3 Perlengkapan Pasal 43 Perlengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, selain Sepeda Motor terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki Rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pasal 44 (1) (2)
Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene. Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. lampu rotasi atau stasioner; b. lampu kilat; dan c. lampu bar lengkap. (3) Lampu . . .
- 22 (3)
Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dipasang di bagian atas kabin dan dapat memancarkan cahaya secara efektif.
(4)
Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dipasang di bagian atas kabin Kendaraan pada sumbu horizontal sejajar dengan bidang median longitudinal Kendaraan.
(5)
Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. terlihat di siang hari dari jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari segala arah; dan b. lampu berbentuk batang memanjang.
(6)
Panjang lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tidak boleh melebihi lebar kabin Kendaraan.
(7)
Sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dapat mengeluarkan suara secara terus menerus; dan b. dalam keadaan darurat dapat mengeluarkan suara semakin meninggi. Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 46 (1)
Sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a harus dipasang paling sedikit di tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang di samping tempat duduk pengemudi.
(2)
Sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. paling sedikit berjumlah 3 (tiga) jangkar untuk tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang paling pinggir di samping pengemudi serta paling sedikit berjumlah 2 (dua) jangkar untuk tempat duduk penumpang lainnya; b. tidak . . .
- 23 b. tidak mempunyai tepi yang tajam; dan c. kepala pengunci harus dapat dioperasikan dengan mudah. Pasal 47 (1)
Ban cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b harus memiliki ukuran yang sama dengan ban yang terpasang pada Kendaraan tersebut.
(2)
Ban cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki lebar tapak yang berbeda dengan ban yang terpasang pada Kendaraan tersebut tetapi memiliki diameter keseluruhan sama.
(1) (2)
Pasal 48 Segitiga pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c paling sedikit berjumlah 2 (dua) buah. Segitiga pengaman berwarna memantulkan cahaya.
merah
dan
bersifat
Pasal 49 Dongkrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d paling sedikit mampu mengangkat muatan sumbu sesuai dengan muatan sumbu terberat Kendaraan Bermotor yang digunakan. Pasal 50 Pembuka roda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e harus mampu membuka roda Kendaraan Bermotor yang digunakan dan tidak merusak komponen yang ada pada roda. Pasal 51 (1) (2)
Helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf f harus memenuhi Standar Nasional Indonesia. Rompi pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf f harus mampu memantulkan cahaya, kuat, dan tahan terhadap cuaca tertentu. Pasal 52 . . .
- 24 Pasal 52 Peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf g paling sedikit terdiri atas: a. obat antiseptic; b. kain kassa; c. kapas; dan d. plester. Pasal 53 Setiap Sepeda Motor dengan atau tanpa kereta samping wajib dilengkapi helm Standar Nasional Indonesia untuk pengemudi dan/atau penumpangnya. Paragraf 4 Ukuran Pasal 54 (1)
Ukuran Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor harus memenuhi persyaratan: a. panjang tidak melebihi: 1. 12.000 (dua belas ribu) milimeter untuk Kendaran Bermotor tanpa Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan selain Mobil Bus; 2. 13.500 (tiga belas ribu lima ratus) milimeter untuk Mobil Bus tunggal; 3. 18.000 (delapan belas ribu) milimeter untuk Kendaraan Bermotor yang dilengkapi dengan Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan. b. lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter; c. tinggi tidak melebihi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraan; d. sudut pergi Kendaraan paling sedikit 8° (delapan derajat) diukur dari atas permukaan bidang atau jalan yang datar; dan e. jarak bebas antara bagian permanen paling bawah Kendaraan Bermotor terhadap permukaan bidang jalan tidak bersentuhan dengan permukaan bidang jalan. (2) Panjang . . .
- 25 (2)
Panjang bagian Kendaraan yang menjulur ke belakang dari sumbu paling belakang maksimum 62,50% (enam puluh dua koma lima nol persen) dari jarak sumbunya, sedangkan yang menjulur ke depan dari sumbu paling depan maksimum 47,50% (empat puluh tujuh koma lima nol persen) dari jarak sumbunya.
(3)
Dalam hal Kendaraan Bermotor memiliki tinggi keseluruhan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, wajib dilengkapi dengan tanda.
(4)
Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa tulisan yang mudah dilihat oleh pengemudi di dalam ruang pengemudi.
Pasal 55 (1)
Ukuran bak muatan Mobil Barang disesuaikan dengan konfigurasi sumbu, JBB, JBI, dan spesifikasi tipe landasan Kendaraan Bermotor.
(2)
Bak muatan Mobil Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. bak muatan terbuka; dan b. bak muatan tertutup.
(3)
Bak muatan terbuka dan tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. panjang, lebar, dan tinggi ukuran bak muatan harus sesuai dengan spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor dan daya angkut; b. jarak antara dinding terluar bagian belakang kabin dengan bak muatan bagian depan paling sedikit 150 (seratus lima puluh) milimeter untuk kendaraan sumbu belakang tunggal dan 200 (dua ratus) milimeter untuk Kendaraan Bermotor dengan sumbu belakang ganda atau lebih; c. dinding terluar bak muatan bagian belakang tidak melebihi ujung landasan bagian belakang kecuali untuk dump truck; dan d. lebar maksimum bak muatan terbuka tidak melebihi: 1. 50 (lima puluh) milimeter dari ban terluar pada sumbu kedua atau sumbu belakang Kendaraan untuk Kendaraan Bermotor sumbu ganda; atau 2. lebar . . .
- 26 2.
lebar kabin ditambah 50 (lima puluh) milimeter pada sisi kiri dan 50 (lima puluh) milimeter pada sisi kanan untuk Kendaraan Bermotor sumbu tunggal.
(4)
Dalam hal tinggi bak muatan terbuka pada Mobil Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a lebih rendah dari jendela kabin belakang, pada jendela kabin belakang Mobil Barang harus dipasang teralis.
(5)
Untuk bak muatan tertutup selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan tinggi bak muatan tertutup diukur dari permukaan tanah paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar Kendaraan Bermotor. Pasal 56
JBB dan/atau JBKB dihitung berdasarkan: a. kekuatan konstruksi; b. daya motor; c. kapasitas pengereman; d. kemampuan ban; e. kekuatan sumbu; dan f. ketinggian tanjakan jalan. Pasal 57 (1)
JBI dan JBKI dihitung berdasarkan: a. berat kosong Kendaraan; b. JBB dan/atau JBKB; c. dimensi Kendaraan dan bak muatan; d. titik berat muatan dan pengemudi; e. kelas jalan; dan f. jumlah tempat duduk yang tersedia, bagi Mobil Bus.
(2)
JBI maksimum sama dengan JBB.
(3)
JBKI maksimum sama dengan JBKB.
Paragraf 5 . . .
- 27 Paragraf 5 Karoseri Pasal 58 (1)
Karoseri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d paling sedikit meliputi: a. kaca; b. pintu; c. engsel; d. tempat duduk; e. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Karoseri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dirancang kuat untuk menahan semua jenis beban sewaktu Kendaraan Bermotor dioperasikan; b. diikat kukuh pada rangka landasan; dan c. pada bagian dalam Kendaraan Bermotor tidak terdapat bagian yang runcing yang dapat membahayakan keselamatan.
(3)
Kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kaca depan, kaca belakang, dan jendela Kendaraan Bermotor dan Kereta Gandengan.
(4)
Kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memenuhi persyaratan: a. tahan goresan; b. bening dan tidak mudah pudar; c. tidak membahayakan apabila kaca pecah; dan d. tidak mengganggu penglihatan pengemudi.
(5)
Kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai tingkat kegelapan tertentu.
(6)
Pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dirancang sehingga tidak dapat terbuka tanpa disengaja.
(7)
Engsel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus dipasang pada sisi pintu Kendaraan.
(8)
Tempat duduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang.
harus
(9) Tempat . . .
- 28 (9)
Tempat duduk pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus memenuhi persyaratan: a. ditempatkan pada bagian dalam badan Kendaraan yang memungkinkan pengemudi dapat mengendalikan Kendaraannya; b. mempunyai lebar paling sedikit 400 (empat ratus) milimeter dan simetris dengan pusat roda kemudi; c. memungkinkan pengemudi mempunyai pandangan yang bebas ke depan dan ke samping; dan d. tidak ada gangguan cahaya dari dalam Kendaraan.
(10) Tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e harus memenuhi persyaratan: a. ditempatkan pada sisi bagian depan dan belakang Kendaraan Bermotor; dan b. dilengkapi lampu tanda nomor Kendaraan Bermotor pada sisi bagian belakang Kendaraan Bermotor.
Paragraf 6 Rancangan Teknis Kendaraan sesuai dengan Peruntukannya Pasal 59 Rancangan teknis Kendaraan sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e terdiri atas Kendaraan Bermotor untuk mengangkut orang atau Kendaraan Bermotor untuk mengangkut barang.
Paragraf 7 Pemuatan Pasal 60 Pemuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf f merupakan tata cara untuk memuat orang dan/atau barang.
Paragraf 8 . . .
- 29 Paragraf 8 Penggunaan Pasal 61 (1)
Sepeda Motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a hanya dapat digunakan untuk pengemudi dan 1 (satu) penumpang.
(2)
Mobil Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b hanya digunakan untuk mengangkut paling banyak 7 (tujuh) penumpang selain pengemudi.
(3)
Mobil Bus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c hanya digunakan untuk mengangkut lebih dari 7 (tujuh) penumpang selain pengemudi.
(4)
Mobil Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d digunakan untuk mengangkut barang.
(5)
Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e digunakan untuk keperluan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, alat berat dan kendaraan khusus untuk penyandang cacat. Paragraf 9 Penggandengan Kendaraan Bermotor Pasal 62
(1)
Penggandengan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf h merupakan cara menggandengkan Kendaraan Bermotor dengan Kereta Gandengan atau bus gandeng.
(2)
Penggandengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan alat perangkai.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggandengan diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 10 . . .
- 30 Paragraf 10 Penempelan Kendaraan Bermotor Pasal 63 Penempelan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf i dilakukan dengan cara: a. b.
menggunakan alat perangkai; menggunakan roda kelima yang dilengkapi dengan alat pengunci; atau dilengkapi kaki-kaki penopang.
c.
Bagian Kedua Persyaratan Laik Jalan Kendaraan Bermotor Paragraf 1 Umum Pasal 64 (1)
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan laik jalan.
(2)
Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang paling sedikit meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
emisi gas buang; kebisingan suara; efisiensi sistem rem utama; efisiensi sistem rem parkir; kincup roda depan; suara klakson; daya pancar dan arah sinar lampu utama; radius putar; akurasi alat penunjuk kecepatan; kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
Paragraf 2 . . .
- 31 Paragraf 2 Emisi Gas Buang Pasal 65 (1)
Emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a diukur berdasarkan kandungan polutan yang dikeluarkan Kendaraan Bermotor.
(2)
Kandungan polutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi ambang batas.
(3)
Ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
(4)
Dalam menetapkan ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berkoordinasi dengan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 3 Kebisingan Suara Pasal 66
(1)
Kebisingan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf b diukur berdasarkan energi suara dalam satuan desibel (A) atau dB (A).
(2)
Energi suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi ambang batas.
(3)
Ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
(4)
Dalam menetapkan ambang batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berkoordinasi dengan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Paragraf 4 . . .
- 32 Paragraf 4 Efisiensi Sistem Rem Pasal 67 (1)
Efisiensi sistem rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c dan huruf d harus memenuhi hasil pengukuran dengan perlambatan paling sedikit 5 (lima) meter per detik kuadrat.
(2)
Ketentuan mengenai ukuran perlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Paragraf 5 Kincup Roda Depan Pasal 68 Kincup roda depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf e dengan batas toleransi lebih kurang 5 (lima) milimeter per meter (mm/m).
Paragraf 6 Suara Klakson Pasal 69 Suara klakson sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf f paling rendah 83 (delapan puluh tiga) desibel atau dB (A) dan paling tinggi 118 (seratus delapan belas) desibel atau dB (A). Paragraf 7 Daya Pancar Dan Arah Sinar Lampu Utama Pasal 70 Daya pancar dan arah sinar lampu utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf g meliputi: a. daya pancar lampu utama lebih dari atau sama dengan 12.000 (dua belas ribu) candela; b. arah . . .
- 33 -
b.
arah sinar lampu utama tidak lebih dari 0O 34’ (nol derajat tiga puluh empat menit) ke kanan dan 1O 09’ (satu derajat nol sembilan menit) ke kiri dengan pemasangan lampu dalam posisi yang tidak melebihi 1,3% (persen) dari selisih antara ketinggian arah sinar lampu pada saat tanpa muatan dan pada saat bermuatan.
Paragraf 8 Radius Putar Pasal 71 (1)
Radius putar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf h untuk Kendaraan Bermotor tanpa Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan maksimum 12.000 (dua belas ribu) milimeter.
(2)
Radius putar Kendaraan Bermotor dengan Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan maksimum 18.000 (delapan belas ribu) milimeter. Paragraf 9 Akurasi Alat Penunjuk Kecepatan Pasal 72
(1)
Akurasi alat penunjuk kecepatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf i diukur menggunakan alat pengukur kecepatan pada kecepatan tertentu yang memberikan hasil pengukuran yang sama antara alat uji dengan alat penunjuk kecepatan.
(2)
Dalam hal hasil pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sama dengan alat penunjuk kecepatan dapat diberikan batas toleransi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kecepatan tertentu dan batas toleransi diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 10 . . .
- 34 Paragraf 10 Kesesuaian Kinerja Roda dan Kondisi Ban Pasal 73 Kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf j untuk kedalaman alur ban tidak boleh kurang dari 1 (satu) millimeter. Paragraf 11 Kesesuaian Daya Mesin Penggerak terhadap Berat Kendaraan (1)
(2)
Pasal 74 Kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf k selain mobil penarik dan sepeda motor harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total Kendaraan berikut muatannya paling sedikit 4,50 (empat koma lima nol) kilowatt setiap 1.000 (seribu) kilogram dari JBB. Kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan untuk mobil penarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total Kendaraan berikut muatannya paling sedikit 5,50 (lima koma lima nol) kilowatt setiap 1.000 (seribu) kilogram dari JBKB.
Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c sampai dengan huruf k diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Bagian Ketiga Persyaratan Teknis Tambahan Paragraf 1 Persyaratan Teknis Tambahan Sepeda Motor (1)
Pasal 76 Ketentuan efisiensi sistem rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c dan huruf d tidak berlaku untuk roda kereta samping yang dipasang pada Sepeda Motor. (2) Sepeda . . .
- 35 (2)
Sepeda Motor yang mempunyai roda tiga, harus dilengkapi dengan rem parkir. Pasal 77
(1)
Kereta samping yang dipasang pada Sepeda Motor roda dua, harus dilengkapi: a. lampu posisi depan; b. lampu posisi belakang; c. 1 (satu) pemantul cahaya pada tepi terluar bagian belakang; dan d. lampu penunjuk arah yang dipasang di sisi kiri bagian depan dan belakang Sepeda Motor.
(2)
Lampu posisi depan dan lampu posisi belakang kereta samping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus menyala apabila lampu posisi belakang Sepeda Motor dinyalakan.
(3)
Sepeda Motor yang mempunyai tiga roda dipasang secara simetris terhadap bidang sumbu Sepeda Motor yang membujur, dan yang diperlakukan sebagai Sepeda Motor, harus dilengkapi dengan lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Lebar Sepeda Motor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 1.300 (seribu tiga ratus) millimeter. Pasal 78
Lebar Kereta Gandengan yang dapat ditarik oleh Sepeda Motor maksimum 1.000 (seribu) milimeter. Pasal 79 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis tambahan untuk Sepeda Motor diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 2 . . .
- 36 Paragraf 2 Persyaratan Teknis Tambahan Kendaraan Bermotor Pasal 80 Selain harus dilengkapi dengan rem utama dan rem parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c dan huruf d, Kendaraan Bermotor dengan JBB lebih dari 7.000 (tujuh ribu) kilogram harus dilengkapi dengan rem pelambat. (1)
(2)
Pasal 81 Mobil Bus yang dirancang untuk mengangkut penumpang kurang dari 15 (lima belas) orang tidak termasuk pengemudi, harus mempunyai paling sedikit 1 (satu) pintu keluar dan/atau masuk penumpang pada dinding kiri bagian depan atau belakang, yang lebarnya paling sedikit 650 (enam ratus lima puluh) milimeter dan meliputi seluruh tinggi dinding. Mobil Bus yang dirancang untuk mengangkut penumpang sebanyak 15 (lima belas) orang atau lebih, tidak termasuk pengemudi, harus dilengkapi paling sedikit: a. 1 (satu) pintu keluar dan/atau masuk yang lebarnya paling sedikit 1.200 (seribu dua ratus) milimeter atau 2 (dua) pintu dengan lebar paling sedikit 550 (lima ratus lima puluh) milimeter untuk pintu depan dan 650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk pintu belakang; b. tinggi pintu sebagaimana dimaksud dalam huruf a meliputi seluruh dinding mobil bus atau paling sedikit 1.900 (seribu sembilan ratus) milimeter untuk Mobil Bus yang tingginya lebih dari 2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh) milimeter diukur dari permukaan tanah.
(3)
Pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menjamin kemudahan penggunaannya dan tidak terhalang.
(4)
Anak tangga paling bawah pada pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling tinggi 350 (tiga ratus lima puluh) milimeter diukur dari permukaan jalan dan lebar paling sedikit 400 (empat ratus) milimeter.
(5)
Dalam hal tangga pintu dapat dilipat, harus dikonstruksi sehingga anak tangga selalu berada pada tempatnya secara kukuh dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jika pintu dibuka. Pasal 82 . . .
- 37 -
(1)
(2)
(1)
Pasal 82 Tinggi ruang penumpang Kendaraan bermotor paling sedikit: a. 1.700 (seribu tujuh ratus) milimeter, untuk Mobil Bus yang dilengkapi dengan tempat berdiri; b. 1.500 (seribu lima ratus) milimeter, untuk Mobil Bus yang tidak dilengkapi dengan tempat berdiri. Tinggi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur 400 (empat ratus) milimeter dari dinding sisi kiri atau kanan dalam Kendaraan Bermotor. Pasal 83 Selain pintu penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, Mobil Bus harus mempunyai akses keluar pada sisi kanan dan kiri untuk keadaan darurat.
(2)
Akses keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa jendela dan/atau pintu.
(3)
Akses keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berjumlah: a. 1 (satu) akses keluar pada sisi kanan dan kiri, apabila jumlah tempat duduk tidak lebih dari 26 (dua puluh enam); b. 2 (dua) akses keluar pada sisi kanan dan kiri, apabila jumlah tempat duduk 27 (dua puluh tujuh) sampai dengan 50 (lima puluh); c. 3 (tiga) akses keluar pada sisi kanan dan kiri, apabila jumlah tempat duduk 51 (lima puluh satu) sampai dengan 80 (delapan puluh); d. 4 (empat) akses keluar pada sisi kanan dan kiri, apabila jumlah tempat duduk lebih dari 80 (delapan puluh).
(4)
Akses keluar untuk Mobil Bus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d satu diantaranya harus berupa pintu.
(5)
Dalam hal pada bagian belakang mobil bus terdapat pintu yang lebarnya paling sedikit 430 (empat ratus tiga puluh) milimeter, jumlah akses keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikurangi satu.
(6)
Akses keluar berupa jendela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki ukuran paling sedikit 600 (enam ratus) milimeter kali 430 (empat ratus tiga puluh) milimeter; b. mudah . . .
- 38 b. mudah dibuka atau dirusak; c. sudut jendela tidak runcing; dan d. tidak terhalang apapun. (7)
(1)
(2)
Akses keluar berupa pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada dinding sisi kanan harus memenuhi persyaratan: a. memiliki lebar paling sedikit 430 (empat ratus tiga puluh) milimeter; dan b. mudah dibuka dari dalam. Pasal 84 Akses keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diberi tanda dengan tulisan yang menyatakan akses keluar dan penjelasan mengenai tata cara membukanya. Tempat duduk di dekat akses keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah dilipat. Pasal 85
Mobil Bus harus dilengkapi lorong dengan lebar paling sedikit 350 (tiga ratus lima puluh) milimeter. Pasal 86 (1)
Mobil Bus yang digunakan untuk angkutan siswa sekolah pada sisi luar bagian depan dan belakang ditulis tanda berupa tulisan bus sekolah.
(2)
Mobil Bus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan lampu berwarna merah bertuliskan berhenti dan dipasang di bawah kaca belakang. Pasal 87
(1)
Pintu masuk dan/atau keluar dilengkapi dengan anak tangga.
Mobil
Bus
sekolah
(2)
Jarak antara anak tangga paling tinggi 200 (dua ratus) milimeter dan jarak antara permukaan tanah dengan anak tangga terbawah paling tinggi 300 (tiga ratus) milimeter.
(3)
Ukuran lebar dan tinggi pintu masuk dan/atau keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 83. Pasal 88 . . .
- 39 Pasal 88 (1)
Kendaraan Bermotor jenis Mobil Bus yang berfungsi umum wajib menyediakan fasilitas bagi penumpang penyandang cacat.
(2)
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa: a. tempat naik dan turun penumpang yang dapat dioperasikan secara otomatis maupun mekanis. b. tanda atau petunjuk bagi penyandang tunanetra.
Pasal 89 (1)
Mobil Barang dengan atau tanpa Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan yang memiliki JBB atau JBKB lebih dari 12.000 (dua belas ribu) kilogram harus dilengkapi dengan tanda.
(2)
Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tulisan yang menunjukan Kendaraan Bermotor berat.
Pasal 90 Mobil barang, Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan yang tinggi ujung landasannya dan atau bagian belakang dan/atau bagian samping badannya berjarak lebih dari 700 (tujuh ratus) milimeter yang diukur dari permukaan jalan, dan/atau sumbu paling belakang berjarak lebih dari 1.000 (seribu) milimeter diukur dari sisi terluar bagian belakang wajib dilengkapi dengan perisai kolong.
Pasal 91 Mobil barang dapat dipasang peralatan hidrolis, pneumatis atau mekanis yang dapat menaikkan atau menurunkan roda dari tanah yang disesuaikan dengan beban muatan.
Pasal 92 Mobil barang dapat dipasang alat pengontrol kendaraan.
Pasal 93 . . .
- 40 Pasal 93 (1)
Kendaraan khusus bagi penyandang cacat harus dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kendaraan khusus bagi penyandang cacat diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
BAB IV PERSYARATAN TEKNIS DAN LAIK JALAN KERETA GANDENGAN DAN KERETA TEMPELAN Bagian Kesatu Persyaratan Teknis Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan Pasal 94 Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan wajib dilengkapi dengan lampu dan alat pemantul cahaya yang meliputi: a. lampu penunjuk arah pada sisi kiri dan kanan; b. lampu rem pada sisi kiri dan kanan; c. lampu posisi depan pada ujung terluar sisi kiri dan kanan, apabila Kereta Gandengan lebih lebar dari Kendaraan penariknya; d. lampu posisi belakang pada ujung terluar kiri dan kanan; e. lampu penerangan tanda nomor Kendaraan di bagian belakang Kereta Gandegan atau Kereta Tempelan; f. lampu tanda batas atas bagian belakang; g. lampu mundur pada sisi kiri dan kanan; h. alat pemantul cahaya pada sisi kiri dan kanan; dan i. alat pemantul cahaya berwarna putih yang tidak berbentuk segitiga pada sisi kiri dan kanan. Pasal 95 (1)
Lampu penunjuk arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a berjumlah genap dan memancarkan sinar kelap-kelip berwarna kuning tua serta dapat dilihat pada waktu siang maupun malam hari oleh pengguna jalan lainnya. (2) Lampu . . .
- 41 (2)
Lampu penunjuk arah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang pada bagian depan dan belakang Kereta Gandengan. Pasal 96
Lampu rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf b berjumlah 2 (dua) buah berwarna merah yang kekuatan cahayanya lebih besar dari lampu posisi belakang dan dipasang pada bagian belakang Kereta Gandengan.
Pasal 97 (1)
Lampu posisi depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf c berjumlah 2 (dua) buah dan berwarna putih.
(2)
Lampu posisi depan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang di sudut kiri bawah dan kanan bawah bagian depan Kereta Gandengan dengan jarak antara tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi depan dengan sisi terluar Kereta Gandengan tidak lebih dari 150 (seratus lima puluh) milimeter.
Pasal 98 (1)
Lampu posisi belakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf d berjumlah genap dan berwarna merah yang terlihat pada malam hari dengan jarak paling sedikit 300 (tiga ratus) meter dan tidak menyilaukan pengguna jalan lainnya.
(2)
Lampu posisi belakang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang di sudut kiri bawah dan kanan bawah bagian belakang Kereta Gandengan dengan jarak antara tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi belakang dengan sisi terluar Kereta Gandengan tidak lebih dari 400 (empat ratus) milimeter.
Pasal 99 Lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor bagian belakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf e harus dapat menerangi tanda nomor Kendaraan pada waktu malam hari.
Pasal 100 . . .
- 42 Pasal 100 Lampu tanda batas atas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf f berjumlah genap berwarna putih atau kuning muda untuk bagian depan dan berwarna merah untuk bagian belakang.
Pasal 101 (1)
Lampu mundur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf g berjumlah dua buah berwarna putih atau kuning muda yang tidak menyilaukan pengguna jalan lainnya.
(2)
Lampu mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya menyala apabila alat penerus daya digunakan pada posisi mundur.
(1)
Pasal 102 Alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf h berjumlah genap berwarna merah dan berbentuk segitiga sama sisi dengan panjang sisinya tidak kurang dari 150 (seratus lima puluh) milimeter dan tidak melebihi 200 (dua ratus) milimeter serta dipasang di sudut kiri bawah dan kanan bawah bagian belakang Kereta Gandengan.
(2)
Alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat oleh pengemudi yang ada dibelakangnya pada waktu malam hari dalam cuaca cerah dari jarak 100 (seratus) meter apabila terkena sinar lampu utama Kendaraan di belakangnya.
(3)
Titik sudut terluar alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 100 (seratus) milimeter dari sisi terluar Kereta Gandengan.
(4)
Kereta Gandengan yang lebarnya tidak melebihi 800 (delapan ratus) milimeter dilengkapi 1 (satu) buah atau lebih alat pemantul cahaya.
Pasal 103 Alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf i berjumlah dua buah dan dipasang di sisi kiri dan kanan bagian depan Kereta Gandengan dengan jarak tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi terluar Kereta Gandengan. Pasal 104 . . .
- 43 Pasal 104 Lampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g harus memenuhi persyaratan: a. dipasang simetris terhadap bidang sumbu tengah memanjang Kendaraan; b. simetris dengan sesamanya terhadap bidang sumbu tengah memanjang Kendaraan; c. memiliki warna yang sama; d. mempunyai sifat fotometris yang sama; dan e. dipasang dengan ketinggian tidak melebihi 1.500 (seribu lima ratus) milimeter dari permukaan jalan.
(1)
Pasal 105 Lampu sebagaimana dimaksud dalam pasal 94 huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f harus dapat dinyalakan atau dimatikan secara serentak.
(2)
Lampu utama jauh, lampu utama dekat, atau lampu kabut hanya dapat dinyalakan apabila lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan menyala.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila lampu utama jauh sedang memberikan peringatan.
Pasal 106 Dilarang memasang lampu pada Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan yang menyinarkan: a. cahaya kelap-kelip, selain lampu penunjuk arah dan lampu isyarat peringatan bahaya; b. cahaya berwarna merah ke arah depan; c. cahaya berwarna putih ke arah belakang kecuali lampu mundur.
(1)
Pasal 107 Kendaraan Bermotor penarik yang dirangkai dengan Kereta Tempelan harus menggunakan alat perangkai.
(2) Alat perangkai . . .
- 44 (2)
Alat perangkai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan roda kelima yang dilengkapi dengan alat pengunci.
(3)
Alat perangkai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa alat perangkai otomatis dan bukan otomatis.
(4)
Rangkaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan alat perangkai otomatis hanya digunakan pada rangkaian Kendaraan yang memiliki JBKB maksimum 20.000 (dua puluh ribu) kilogram. Pasal 108
(1)
Kereta Tempelan harus dilengkapi dengan kaki penopang yang dipasang secara kukuh pada jarak lebih dari dua pertiga dari seluruh panjang Kereta Tempelan diukur dari ujung paling belakang Kereta Tempelan.
(2)
Letak kaki penopang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lebih lebar dari Kereta Tempelan.
(1) (2)
Pasal 109 Kereta Gandengan yang dirangkai dengan Kendaraan Bermotor harus menggunakan alat perangkai. Alat perangkai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dikonstruksi dengan gerakan terbatas; b. dapat menahan seluruh berat Kendaraan yang ditarik; dan c. dilengkapi dengan alat pengunci.
Bagian Kedua Persyaratan Laik Jalan Kereta Gandegan dan Kereta Tempelan (1)
Pasal 110 Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan harus dilengkapi dengan: a. rem utama; dan b. rem parkir. (2) Rem . . .
- 45 (2)
Rem utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dapat berfungsi mengendalikan kecepatan dan memberhentikan Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan secara bersama atau hampir bersamaan dengan Kendaraan Bermotor penariknya pada semua roda dengan kekuatan yang sama dalam keadaan bermuatan penuh sesuai JBKB atau tidak bermuatan.
(3)
Rem parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mampu menahan posisi Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan berhenti pada jalan datar, jalan menanjak, atau jalan menurun dalam keadaan bermuatan penuh sesuai dengan JBKB.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Kereta Tempelan satu sumbu yang memiliki JBKB tidak melebihi 750 (tujuh ratus lima puluh) kilogram.
(1)
Pasal 111 Rem utama Kereta Gandengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis menghentikan Kereta Gandengan apabila alat perangkai putus atau terlepas dari Kendaraan penariknya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Kereta Gandengan yang jarak sumbu rodanya kurang dari 1 (satu) meter dengan JBB tidak lebih dari 1.500 (seribu lima ratus) kilogram dan/atau Kereta Gandengan yang ditarik oleh Kendaraan Bermotor penarik yang dirancang untuk kecepatan maksimum kurang dari 20 (dua puluh) km/jam.
(3)
Kereta Gandengan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan perangkai tambahan berupa rantai, kabel, atau alat sejenisnya yang dapat mencegah tongkat penarik menyentuh tanah. Pasal 112
(1)
Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan yang dirangkaikan dengan Kendaraan Bermotor dalam satu rangkaian harus memiliki peralatan pengereman yang bersesuaian. (2) Bekerjanya . . .
- 46 (2)
(1)
Bekerjanya rem utama harus tersebar dan bekerja hampir bersamaan secara baik pada masing-masing roda setiap sumbu rangkaian Kendaraan.
Pasal 113 Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan yang dirangkaikan dengan Kendaraan Bermotor penarik ditetapkan sebagai Kendaraan Bermotor.
(2)
Kereta Gandengan yang dirangkaikan dengan Kendaraan Bermotor penarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki paling sedikit 2 (dua) sumbu roda.
(3)
Kereta Tempelan yang dirangkaikan dengan Kendaraan Bermotor penarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki paling sedikit 1 (satu) sumbu roda.
BAB V KENDARAAN TIDAK BERMOTOR Bagian Kesatu Jenis
(1)
(2)
Pasal 114 Kendaraan Tidak Bermotor yang digerakkan oleh tenaga orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri atas: a. sepeda; b. becak; c. kereta dorong. Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dapat berupa kereta, delman, dan cikar atau nama lain. Bagian Kedua Persyaratan Keselamatan
(1)
Pasal 115 Sepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf a memiliki ukuran: a. lebar . . .
- 47 a.
lebar maksimum 550 (lima ratus lima puluh) milimeter; b. panjang maksimum 2.100 (dua ribu seratus) milimeter. (2)
Sepeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan: a. spakbor; dan b. rem.
(3)
Spakbor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan: a. mampu mengurangi percikan air ke arah belakang; dan b. memiliki lebar paling sedikit sama dengan telapak ban.
(4)
Rem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus berfungsi dengan baik untuk memperlambat dan menghentikan sepeda.
(5)
Rem sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit dipasang pada roda penggerak sepeda sesuai dengan besarnya beban. Pasal 116
(1)
Becak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf b harus memiliki ukuran: a. lebar maksimum 1.500 (seribu lima ratus) milimeter; b. tinggi maksimum 1.800 (seribu delapan ratus) milimeter; dan c. panjang maksimum 2.800 (dua ribu delapan ratus) milimeter.
(2)
Becak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi sistem suspensi berupa penyangga yang mampu menahan beban, getaran dan kejutan untuk menjamin keselamatan.
(3)
Becak sebagaimana dilengkapi dengan:
dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
a. spakbor; dan b. rem. (4)
Spakbor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi persyaratan: a. mampu . . .
- 48 a. mampu mengurangi percikan air ke arah belakang; dan b. memiliki lebar paling sedikit sama dengan telapak ban. (5)
Rem sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus berfungsi dengan baik untuk memperlambat dan menghentikan becak.
(6)
Rem sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit dipasang pada roda penggerak becak sesuai dengan besarnya beban.
Pasal 117 (1)
Kereta dorong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf c harus memiliki ukuran: a. lebar maksimum 1.500 (seribu lima ratus) milimeter; b. tinggi maksimum 2.000 (dua ribu) milimeter; c. panjang maksimum 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter.
(2)
(1)
Kereta dorong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ketinggiannya melebihi bahu orang yang mendorongnya harus memiliki bidang pandang bagi pendorongnya untuk dapat melihat ke depan.
Pasal 118 Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) untuk mengangkut orang memiliki ukuran: a. untuk yang ditarik dengan 1 (satu) ekor hewan: 1. lebar maksimum 1.700 (seribu tujuh ratus) milimeter; 2. tinggi maksimum 2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh) milimeter; 3. panjang maksimum 5.250 (lima ribu dua ratus lima puluh) milimeter. b. untuk yang ditarik dengan 2 (dua) ekor hewan: 1. lebar maksimum 2.000 (dua ribu) milimeter; 2. tinggi maksimum 2.300 (dua ribu tiga ratus) milimeter; 3. panjang maksimum 6.000 (enam ribu) milimeter. (2) Kendaraan . . .
- 49 (2)
Kendaraan Tidak Bermotor yang ditarik oleh tenaga hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) untuk mengangkut barang memiliki ukuran: a. untuk yang ditarik dengan 1 (satu) ekor hewan: 1. 2. 3.
lebar maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) milimeter; tinggi maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) milimeter; panjang maksimum 5.000 (lima ribu) milimeter.
b. untuk yang ditarik dengan 2 (dua) ekor hewan: 1. 2. 3.
(1)
(2)
lebar maksimum 2.200 (dua ribu dua ratus) milimeter; tinggi maksimum 2.700 (dua ribu tujuh ratus) milimeter; panjang maksimum 5.400 (lima ribu empat ratus) milimeter.
Pasal 119 Kendaraan Tidak Bermotor jenis kereta yang ditarik dengan tenaga hewan harus dilengkapi dengan alat bantu yang berfungsi untuk memperlambat kecepatan Kendaraan sebagai pengganti rem. Alat bantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dikendalikan dari tempat duduk pengemudi tanpa mengganggu pengemudi dalam mengendalikan atau mengemudikan Kendaraan.
Pasal 120 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor diatur dengan Peraturan Daerah. BAB VI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR Bagian Kesatu Umum Pasal 121 (1)
Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan yang akan dioperasikan di jalan wajib dilakukan pengujian. (2) Kendaraan . . .
- 50 (2)
Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi yang dibuat atau dirakit di dalam negeri dan/atau diimpor.
(3)
Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Uji Tipe; dan b. Uji Berkala.
(4)
Dalam pelaksanaan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jenis Kendaraan Bermotor dibagi ke dalam kategori: a. L1, L2, L3, L4 dan L5 untuk Sepeda Motor; b. M1 untuk Mobil Penumpang; c. M2 dan M3 untuk Mobil Bus; dan d. N1, N2, N3, O1, O2, O3, dan O4 untuk Mobil Barang.
(1)
Pasal 122 Pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 hanya dapat dilakukan oleh unit pelaksana pengujian Kendaraan Bermotor yang memiliki: a. prasarana dan peralatan pengujian yang akurat, sistem dan prosedur pengujian, dan sistem informasi manajemen penyelenggaraan pengujian; dan b. tenaga penguji yang memiliki sertifikat kompetensi penguji Kendaraan Bermotor.
(2)
Peralatan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipelihara dan dikalibrasi secara berkala. Bagian Kedua Uji Tipe Paragraf 1 Umum
(1)
Pasal 123 Uji Tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) huruf a terdiri atas: a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan b. penelitian . . .
- 51 -
(2)
b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor. Terhadap Uji Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak.
(3)
Dalam hal Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dinyatakan lulus, dapat dibuat, dirakit, atau diimpor secara massal.
(4)
Masing-masing Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan registrasi uji tipe.
Paragraf 2 Pengujian Fisik Pasal 124 (1)
Pengujian fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan persyaratan teknis secara visual dan pengecekan secara manual dengan atau tanpa alat bantu.
(2)
Pemeriksaaan persyaratan teknis secara visual terhadap landasan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. nomor dan kondisi rangka Kendaraan Bermotor; b. nomor dan tipe motor penggerak; c. kondisi tangki bahan bakar, corong pengisi bahan bakar, pipa saluran bahan bakar; d. kondisi sistem converter kit bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan bahan bakar tekanan tinggi; e. kondisi dan posisi pipa pembuangan; f. ukuran roda dan ban sesuai yang diizinkan, serta kondisi ban; g. kondisi sistem suspensi berupa pegas dan penyangganya; h. kondisi rem utama baik di roda depan maupun tengah dan/atau belakang, kebocoran sistem rem; i. kondisi penutup atau casing lampu-lampu dan alat pemantul cahaya; j. kondisi panel instrumen pada dashboard Kendaraan, seperti alat penunjuk kecepatan; k. kondisi kaca spion bagi landasan Kendaraan berupa chassis kabin; l. bentuk . . .
- 52 l. m. n. o.
p.
bentuk bumper bagi landasan Kendaraan berupa chassis kabin; keberadaan dan kondisi ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, alat pembuka roda; keberadaan dan kelengkapan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan; kondisi badan Kendaraan, kaca-kaca bagi landasan Kendaraan berupa chassis kabin, engsel, dan tempat duduk; dan rancangan teknis Kendaraan sesuai peruntukannya.
(3)
Pemeriksaaan persyaratan teknis secara visual terhadap Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain melakukan pemeriksaan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pemeriksaan persyaratan teknis terhadap: a. kondisi spakbor; b. keberadaan dan kondisi alat tanggap darurat untuk Mobil Bus; c. keberadaan dan kelengkapan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan d. kondisi kaca-kaca, perisai kolong, pengarah angin untuk mobil barang bak muatan tertutup.
(4)
Pemeriksaaan persyaratan teknis secara visual terhadap Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap jenis Sepeda Motor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. nomor dan kondisi rangka Kendaraan Bermotor; b. nomor dan tipe motor penggerak; c. kondisi tangki bahan bakar, corong pengisi bahan bakar, pipa saluran bahan bakar; d. kondisi sistem converter kit bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan bahan bakar tekanan tinggi; e. kondisi dan posisi pipa pembuangan; f. ukuran roda dan ban sesuai yang diizinkan, serta kondisi ban; g. kondisi sistem suspensi berupa pegas dan penyangganya; h. kondisi rem utama baik di roda depan atau belakang, kebocoran sistem rem; i. kondisi penutup atau casing lampu-lampu dan alat pemantul cahaya; j. kondisi . . .
- 53 j.
kondisi panel instrumen pada dashboard Kendaraan, seperti alat penunjuk kecepatan; k. kondisi kaca spion; l. kondisi spakbor; m. kondisi badan Kendaraan; dan n. rancangan teknis Kendaraan sesuai peruntukannya. (5)
Pemeriksaaan persyaratan teknis yang dilakukan secara manual dengan alat bantu atau tanpa alat bantu terhadap landasan Kendaraan Bermotor meliputi: a. kondisi penerus daya dengan menjalankan maju dan mundur Kendaraan; b. sudut bebas kemudi; c. kondisi rem parkir; d. mengecek fungsi semua lampu dan alat pemantul cahaya; e. mengecek fungsi penghapus kaca; f. kondisi dan berfungsinya sabuk keselamatan, kecuali untuk Sepeda Motor; g. mengukur dimensi utama Kendaraan; dan h. mengukur ukuran tempat duduk, bagian dalam Kendaraan, dan akses keluar darurat.
(6)
Pemeriksaaan persyaratan teknis yang dilakukan secara manual dengan alat bantu atau tanpa alat bantu terhadap Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap meliputi: a. kondisi penerus daya dengan menjalankan maju dan mundur Kendaraan; b. sudut bebas kemudi; c. kondisi rem parkir; d. mengecek fungsi semua lampu dan alat pemantul cahaya; e. mengecek fungsi penghapus kaca; f. fungsi klakson; g. kondisi dan berfungsinya sabuk keselamatan; h. mengukur ukuran Kendaraan; dan i. mengukur ukuran tempat duduk, bagian dalam Kendaraan, dan akses keluar darurat.
(7)
Pemeriksaaan persyaratan teknis yang dilakukan secara manual dengan alat bantu atau tanpa alat bantu terhadap Kendaraan Bermotor jenis Sepeda Motor meliputi: a. kondisi . . .
- 54 a. kondisi penerus daya; b. kondisi rem parkir; c. mengecek fungsi semua lampu dan alat pemantul cahaya; d. fungsi klakson; dan e. mengukur ukuran Kendaraan. Pasal 125 (1)
Pengujian laik jalan terhadap Kendaraan Bermotor dalam bentuk landasan paling sedikit meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
uji emisi gas buang; uji kebisingan suara; uji efisiensi rem utama dan rem parkir; uji kincup roda depan; uji tingkat suara klakson; uji daya pancar dan arah sinar lampu utama; uji radius putar; uji akurasi alat penunjuk kecepatan; uji kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; uji kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan; dan k. uji berat Kendaraan. (2)
Pengujian laik jalan terhadap Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap selain melakukan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengujian terhadap: a. uji berat Kendaraan; b. uji posisi roda depan; c. uji unjuk kerja mesin; d. uji kemampuan jalan; e. uji penghapus kaca depan; f. uji sabuk keselamatan; dan g. uji suspensi.
(3)
Pengujian laik jalan terhadap Sepeda Motor paling sedikit meliputi: a. uji emisi gas buang; b. uji rem; c. uji . . .
- 55 c. d. e. f. g. h. i.
uji uji uji uji uji uji uji
lampu utama; tingkat suara klakson; berat Kendaraan; akurasi alat penunjuk kecepatan; kebisingan; unjuk kerja mesin; dan kemampuan jalan.
Pasal 126 Kendaraan Bermotor yang menggunakan motor listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, selain harus memenuhi ketentuan uji persyaratan teknis dan laik jalan, harus dilakukan pengujian terhadap unjuk kerja akumulator listrik, perangkat elektronik pengendali kecepatan, dan alat pengisian ulang energi listrik. Pasal 127 (1)
Pengujian fisik terhadap Kendaraan Bermotor yang memenuhi persyaratan dinyatakan lulus dan yang tidak memenuhi persyaratan dinyatakan tidak lulus.
(2)
Kendaraan Bermotor yang dinyatakan tidak lulus uji fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan: a. alasan tidak lulus uji; b. item yang tidak lulus uji; c. perbaikan yang harus dilakukan; dan d. batas waktu mengajukan pengujian ulang.
(3)
Kendaraan Bermotor yang dinyatakan lulus uji fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bukti lulus uji tipe oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, berupa: a. sertifikat Uji Tipe dilengkapi dengan pengesahan hasil uji untuk Kendaraan Bermotor yang diuji fisik dalam keadaan lengkap; b. sertifikat Uji Tipe landasan dilengkapi dengan pengesahan hasil uji untuk landasan Kendaraan Bermotor yang diuji fisik dalam bentuk landasan. Pasal 128 . . .
- 56 -
(1)
Pasal 128 Pengujian ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf d hanya dilakukan terhadap item yang dinyatakan tidak lulus uji tipe.
(2)
Pelaksanaan uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut biaya sesuai dengan item yang dinyatakan tidak lulus Uji Tipe.
(3)
Pelaksanaan uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pemohon menunjukkan dan memberitahukan secara tertulis mengenai perbaikan yang dilakukan kepada menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(4)
Uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(5)
Pemohon yang mengajukan uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diluar waktu dan tempat yang telah ditetapkan, dianggap sebagai permohonan baru.
(1)
Pasal 129 Sertifikat Uji Tipe setiap Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (3) paling sedikit memuat: a. nomor sertifikat Uji Tipe; b. merek dan tipe; c. jenis; d. peruntukan; e. varian, apabila ada; f.
nomor rangka landasan;
g. nomor motor penggerak; h. nama perusahaan pengimpor, perakit, serta pemodifikasi;
pembuat
dan/atau
i.
alamat perusahaan pembuat dan/atau dan/atau pengimpor dan/atau pemodifikasi;
perakit
j.
penanggung jawab perusahaan pengimpor, pembuat dan/atau perakit, serta pemodifikasi;
k. tahun pembuat/perakit/modifikasi; l. spesifikasi . . .
- 57 l.
spesifikasi teknik Kendaraan Bermotor;
m. spesifikasi teknik varian, apabila ada; n. JBB dan/atau JBKB; o. berat kosong Kendaraan Bermotor; p. JBI dan/atau JBKI; q. daya angkut orang dan/atau barang; r.
dimensi bak muatan atau tangki; dan
s. kelas jalan terendah yang boleh dilalui. (2)
Sertifikat Uji Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dari bahan yang memiliki unsur pengaman.
(3)
Sertifikat Uji Tipe diterbitkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 130 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara penerbitan sertifikat Uji Tipe diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Paragraf 3 Penelitian Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor Pasal 131 Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap desain: a. rumah-rumah; b. bak muatan; c. Kereta Gandengan; d. Kereta Tempelan; e. Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi yang menyebabkan perubahan tipe berupa dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.
Pasal 132 . . .
- 58 (1)
Pasal 132 Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap rumah-rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf a paling sedikit meliputi: a. rancangan teknis; b. ukuran dan susunan; c. material; d. sistem kelistrikan; e. kaca, pintu, engsel, bumper; f. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; g. tempat duduk; h. akses keluar darurat; i. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor; j. sabuk keselamatan; k. tempat ban cadangan; dan l. tangga penumpang khusus untuk Mobil Bus.
(2)
Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap bak muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf b paling sedikit meliputi: a. rancangan teknis; b. ukuran dan susunan; c. material; d. pintu, engsel, dan bumper; e. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; f. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor; dan g. perisai kolong.
(3)
Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap Kereta Gandengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf c paling sedikit meliputi: a. rancangan teknis; b. ukuran dan susunan; c. material; d. engsel dan bumper; e. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; f. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor; g. perisai . . .
- 59 g. h. i. j.
perisai kolong; alat perangkai; sistem rem; dan sistem suspensi.
(4)
Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap Kereta Tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf d paling sedikit meliputi: a. rancangan teknis; b. ukuran dan susunan; c. material; d. engsel dan bumper; e. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; f. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor; g. perisai kolong; h. alat perangkai; i. kaki penopang; j. alat pengunci; k. sistem rem; dan l. sistem suspensi.
(5)
Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor terhadap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 huruf e paling sedikit meliputi: a. rancangan teknis; b. susunan; c. ukuran; d. material; e. kaca, pintu, engsel, dan bumper; f. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; dan g. tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor.
(6)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari agen tunggal pemegang merek. (7) Modifikasi . . .
- 60 (7)
Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib dilakukan oleh bengkel umum Kendaraan Bermotor yang ditunjuk oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang industri.
(8)
Penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) dilakukan dengan berpedoman pada persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(1)
Pasal 133 Pelaksanaan penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dituangkan dalam berita acara hasil penelitian oleh pimpinan unit pelaksana Uji Tipe.
(2)
Dalam hal berita acara hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, berita acara disampaikan kepada pemohon atau pemilik Kendaraan Bermotor dengan tembusan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(3)
Dalam hal berita acara hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, berita acara disampaikan kepada menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(4)
Berdasarkan berita acara hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan menerbitkan Keputusan Pengesahan Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor.
Paragraf 4 . . .
- 61 Paragraf 4 Sertifikat Registrasi Uji Tipe Pasal 134 (1)
Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, Kereta Tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi yang telah dilakukan registrasi Uji Tipe diberikan sertifikat registrasi Uji Tipe.
(2)
Untuk memperoleh sertifikat registrasi Uji Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuat, perakit atau pengimpor Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, Kereta Tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi mengajukan permohonan kepada menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai surat pernyataan yang menyatakan bahwa setiap unit Kendaraan yang dibuat, dirakit, atau diimpor memiliki spesifikasi teknis dan unjuk kerja yang sama dengan tipenya.
(4)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan memberikan sertifikat registrasi Uji Tipe.
Pasal 135 (1)
Untuk menjamin kesesuaian spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan terhadap sertifikat Uji Tipe dan keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor dilakukan Uji Sampel.
(2)
Uji Sampel sebagaimana dimaksud dilakukan oleh unit pelaksana Uji Tipe.
pada
ayat
(1)
Pasal 136 . . .
- 62 -
(1)
Pasal 136 Pelaksanaan Uji Sampel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dilakukan apabila Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan yang dibuat, dirakit, atau diimpor telah mencapai jumlah dan/atau waktu 1 (satu) tahun.
(2)
Jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(3)
Pemilihan Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan yang akan dilakukan Uji Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh unit pelaksana Uji Tipe.
(4)
Pelaksanaan Uji Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sama dengan pelaksanaan Uji Tipe.
(1)
Pasal 137 Kendaraan Bermotor yang telah dilakukan Uji Sampel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 diberikan surat keterangan kesesuaian spesifikasi teknis atau ketidaksesuaian spesifikasi teknis.
(2)
Surat keterangan kesesuaian spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Kendaraan Bermotor yang diuji sampel sesuai dengan spesifikasi teknis dalam sertifikat Uji Tipe dan keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor.
(3)
Dalam hal Kendaraan Bermotor yang diuji sampel tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dalam sertifikat Uji Tipe dan/atau keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor, unit pelaksana Uji Tipe melakukan Uji Sampel terhadap Kendaraan Bermotor lain yang sama tipenya.
(4)
Penambahan Uji Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling banyak 2 (dua) kali.
(5)
Dalam hal hasil Uji Sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) tetap menunjukkan ketidaksesuaian spesifikasi teknis, unit pelaksana Uji Tipe mengeluarkan surat keterangan ketidaksesuaian. (6) Berdasarkan . . .
- 63 (6)
Berdasarkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan: a. menghentikan pemberian sertifikat registrasi Uji Tipe terhadap Kendaraan Bermotor, Rumah-rumah, bak muatan, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan seri produksi selanjutnya; b. mengumumkan hasil Uji Sampel yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis kepada masyarakat.
(1)
(2)
Pasal 138 Penerbitan sertifikat registrasi Uji Tipe dan pelaksanaan Uji Sampel dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dan disetorkan ke kas negara.
Pasal 139 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan sertifikat registrasi Uji Tipe dan Uji Sampel diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Paragraf 5 Unit Pelaksana Uji Tipe (1)
Pasal 140 Unit pelaksana uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) dibentuk oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(2)
Unit pelaksana Uji Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyediakan fasilitas dan peralatan pengujian serta tenaga penguji yang memiliki kompetensi.
(3)
Dalam hal fasilitas, peralatan pengujian, dan/atau tenaga penguji yang memiliki kompetensi belum tersedia, unit pelaksana Uji Tipe dapat bekerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan Uji Tipe.
(4) Fasilitas . . .
- 64 (4)
Fasilitas dan peralatan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dirawat dan/atau diperbaiki apabila rusak, serta dikalibrasi secara berkala.
(5)
Unit pelaksana Uji Tipe harus menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi pengujian Kendaraan Bermotor.
(1)
(2)
Pasal 141 Fasilitas pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) untuk uji fisik Kendaraan Bermotor paling sedikit meliputi: a. bangunan gedung untuk laboratorium uji; b. bangunan gedung untuk generator set, kompresor, dan gudang; c. bangunan gedung administrasi; d. akses keluar masuk; e. jalan lingkungan pengujian; f. lapangan parkir; g. pagar; h. fasilitas listrik; i. lampu penerangan; j. pompa air dan menara air; k. fasilitas pengisian bahan bakar; l. fasilitas untuk pelaksanaan uji tipe di luar gedung; dan m. fasilitas penunjang. Fasilitas untuk pelaksanaan uji tipe di luar gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l, paling sedikit meliputi: a. fasilitas pengujian tingkat suara; b. fasilitas pengujian radius putar; c. trek pengujian kecepatan tinggi; d. trek pengujian pengendalian; e. trek pengujian serba guna; f. trek pengujian Belgian road; g. trek pengujian tanjakan dan turunan; h. trek pengujian melalui jalan berlumpur; i. trek pengujian slip; j. tapak selip; k. trek . . .
- 65 k. l. m. n. o. p. q. r. s. (3)
trek pengujian melalui lintasan berair; terowongan air; terowongan debu; fasilitas pembuat angin; lintasan berliku-liku; lapangan pengujian analitis; fasilitas uji tabrakan; jalan inspeksi; dan fasilitas dan peralatan bantu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata letak, ukuran, bentuk, jenis, tipe, peralatan, perlengkapan, konstruksi, bahan, spesifikasi teknis, pembangunan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian fasilitas Uji Tipe Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 142 (1)
Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) paling sedikit meliputi: a. alat uji rem utama dan rem parkir; b. alat uji lampu utama; c. alat uji suspensi roda dan pemeriksaan kondisi teknis bagian bawah Kendaraan Bermotor; d. alat uji speedometer; e. alat uji tekanan udara; f. alat uji konstruksi; g. alat uji ban; h. alat uji tingkat suara; i. alat uji pengujian berat; j. alat uji kincup roda depan; k. alat uji dimensi; l. alat uji posisi roda depan; m. alat uji motor penggerak; n. alat uji kaca; o. alat uji sabuk keselamatan;
p. alat . . .
- 66 p. alat uji emisi gas buang, termasuk ketebalan asap gas buang; q. alat uji prestasi Kendaraan Bermotor; r. alat uji kebisingan; s. peralatan bantu; dan t. alat uji lain sesuai dengan perkembangan teknologi Kendaraan Bermotor. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tipe, ukuran, bentuk, spesifikasi teknis, jumlah, kapasitas, teknologi yang digunakan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian peralatan Uji Tipe Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Bagian Ketiga Uji Berkala Paragraf 1 Umum
(1)
(2)
Pasal 143 Uji Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) huruf b wajib bagi Mobil Penumpang umum, Mobil Bus, Mobil Barang, Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan yang dioperasikan di jalan. Uji Berkala sebagaimana dilaksanakan oleh:
dimaksud
pada
ayat
(1)
a. unit pelaksana pengujian milik pemerintah kabupaten/kota; b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; atau c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapat izin dari menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. (3) Uji . . .
- 67 (3)
(1) (2)
Uji a. b. c. d. e.
Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Uji Berkala pertama; pemeriksaan persyaratan teknis; pengujian persyaratan laik jalan; pemberian bukti lulus uji; dan unit pelaksana Uji Berkala.
Pasal 144 Uji Berkala Kendaraan Bermotor harus dilakukan di daerah tempat Kendaraan Bermotor diregistrasi. Dalam keadaan tertentu uji berkala Kendaraan Bermotor dapat dilakukan pada unit pelaksana uji berkala Kendaraan Bermotor di daerah lain. Paragraf 2 Uji Berkala Pertama
(1)
Pasal 145 Kendaraan Bermotor wajib Uji Berkala wajib didaftarkan pada unit pelaksana Uji Berkala di daerah tempat Kendaraan Bermotor diregistrasi.
(2)
Unit pelaksana Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat kartu induk Uji Berkala.
(3)
Kartu induk Uji Berkala Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat data mengenai: a. tanggal dan nomor Sertifikat Registrasi Uji Tipe; b. nomor Kendaraan; c. nomor Uji Berkala; d. nama pemilik; e. alamat pemilik; f. merek dan tipe; g. jenis; h. tahun pembuatan atau perakitan; i. isi silinder; j. daya motor penggerak; k. nomor rangka landasan Kendaraan Bermotor; l. nomor motor penggerak atau mesin; m. konfigurasi . . .
- 68 m. n. o. p. q. r.
(1)
konfigurasi sumbu; dimensi Kendaraan; bahan bakar yang digunakan; tanggal dan nomor pengesahan Uji Tipe; tempat dan tanggal dilakukan uji pertama kali; nama dan identitas penanggung jawab unit pelaksana Uji Berkala yang membuat kartu induk Uji Berkala.
Pasal 146 Uji Berkala terhadap kendaran bermotor wajib Uji Berkala, untuk pertama kali dilakukan setelah 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
(2)
Masa berlaku Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 6 (enam) bulan.
(3)
Setelah berakhirnya masa berlaku Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilakukan uji Berkala berikutnya.
(4)
Kendaraan Bermotor asing yang wajib Uji Berkala dan digunakan di Indonesia wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(1)
Pasal 147 Setiap Kendaraan wajib uji yang telah dilakukan Uji Berkala untuk pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) diberi nomor uji Kendaraan Bermotor.
(2)
Nomor uji Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat kode provinsi, kode Kabupaten/Kota, kode jenis Kendaraan Bermotor, kode tahun pendaftaran uji, dan nomor urut pengujian.
(3)
Nomor uji Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Kendaraan yang bersangkutan masih termasuk sebagai Kendaraan wajib uji. Pasal 148 . . .
- 69 Pasal 148 Permohonan uji berkala Kendaraan Bermotor disampaikan secara tertulis kepada unit pelaksana uji berkala dengan melampirkan: a. fotocopy sertifikat registrasi uji tipe; b. fotocopy identitas pemilik Kendaraan Bermotor; c. fotocopy bukti pemilik Kendaraan Bermotor; d. fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.
Paragraf 3 Pemeriksaan Persyaratan Teknis (1)
Pasal 149 Pemeriksaan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) huruf b meliputi: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. rumah-rumah; dan e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara visual dan pengecekan secara manual dengan atau tanpa alat bantu.
(3)
Pemeriksaan secara visual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. nomor dan kondisi rangka Kendaraan Bermotor; b. nomor dan tipe motor penggerak; c. kondisi tangki bahan bakar, corong pengisi bahan bakar, pipa saluran bahan bakar; d. kondisi sistem converter kit bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan bahan bakar tekanan tinggi; e. kondisi dan posisi pipa pembuangan; f. ukuran roda dan ban serta kondisi ban; g. kondisi sistem suspensi; h. kondisi sistem rem utama; i. kondisi penutup lampu dan alat pemantul cahaya; j. kondisi . . .
- 70 j.
kondisi panel instrumen pada dashboard Kendaraan;
k. kondisi kaca spion; l.
kondisi spakbor;
m. bentuk bumper; n. keberadaan dan kondisi perlengkapan kendaraan; o. rancangan teknis Kendaraan sesuai peruntukannya; p. keberadaan dan kondisi fasilitas tanggap darurat khusus untuk mobil bus; dan q. kondisi badan Kendaraan, kaca, engsel, tempat duduk, perisai kolong, pengarah angin untuk mobil barang bak muatan tertutup. (4)
Pemeriksaan secara manual dengan atau tanpa alat bantu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. kondisi penerus daya; b. sudut bebas kemudi; c. kondisi rem parkir; d. fungsi lampu dan alat pemantul cahaya; e. fungsi penghapus kaca; f.
tingkat kegelapan kaca;
g. fungsi klakson; h. kondisi dan fungsi sabuk keselamatan;
(5)
i.
ukuran Kendaraan;
j.
ukuran tempat duduk, bagian dalam Kendaraan, dan akses keluar darurat khusus untuk mobil bus.
Dalam hal pemeriksaan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan paling sedikit meliputi: a. pengukuran berat; b. pengukuran dimensi; dan c. pemeriksaan konstruksi.
Paragraf 4 . . .
- 71 Paragraf 4 Pengujian Persyaratan Laik Jalan
(1)
(2)
Pasal 150 Pengujian persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi uji: a. emisi gas buang; b. tingkat kebisingan; c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan; f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. kedalaman alur ban. Dalam hal pengujian persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan paling sedikit meliputi: a. uji kemampuan rem; b. kedalaman alur ban; dan c. uji sistem lampu. Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan pengujian diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Paragraf 5 Pemberian Bukti Lulus Uji Pasal 152 (1)
Kendaraan wajib uji berkala yang telah dinyatakan lulus pemeriksaan dan pengujian diberikan bukti lulus Uji Berkala kendaraan bermotor.
(2)
Bukti lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk kartu uji dan tanda uji. (3) Kartu . . .
- 72 (3)
(1)
(2)
Kartu uji dan tanda uji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 153 Dalam hal Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak lulus uji, penguji wajib menerbitkan surat keterangan tidak lulus uji. Surat keterangan tidak lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pemilik Kendaraan Bermotor dengan mencantumkan: a. b. c. d.
item yang tidak lulus uji; alasan tidak lulus uji; perbaikan yang harus dilakukan; dan waktu dan tempat dilakukan pengujian ulang.
(3)
Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4)
Dalam hal pemilik Kendaraan Bermotor tidak menyetujui surat keterangan tidak lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan kepada pimpinan unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang bersangkutan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 154
(1)
Kendaraan Bermotor yang dinyatakan tidak lulus uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (1) wajib menjalankan uji ulang sesuai dengan waktu dan tempat yang ditetapkan dalam surat keterangan tidak lulus uji.
(2)
Uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlakukan sebagai pemohon baru kecuali permohonan uji ulang dilakukan setelah batas waktu yang ditetapkan. Pasal 155 . . .
- 73 Pasal 155 (1)
Kartu Uji Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) paling sedikit memuat data mengenai: a. nomor dan tanggal sertifikat registrasi Uji Tipe; b. foto berwarna tampak samping kanan, kiri, depan dan belakang Kendaraan Bermotor; c. nomor uji Kendaraan; d. nama pemilik; e. alamat pemilik; f. merek dan tipe; g. jenis; h. tahun pembuatan atau perakitan; i. isi silinder; j. daya motor penggerak; k. nomor rangka landasan Kendaraan Bermotor; l. berat kosong Kendaraan; m. konfigurasi sumbu roda; n. ukuran ban; o. kelas jalan terendah yang boleh dilalui; p. ukuran utama Kendaraan; q. daya angkut; r. masa berlaku hasil uji; s. bahan bakar yang digunakan; t. hasil uji; u. JBB dan/atau JBKB khusus untuk Mobil Barang dan Mobil Bus; v. JBI dan/atau JBKI khusus untuk Mobil Barang dan Mobil Bus.
(2)
(1) (2)
Kartu Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kartu pintar atau bentuk lain. Pasal 156 Tanda Uji Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) berupa stiker. Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempel pada kaca depan sisi kiri bawah bagian dalam. (3) Tanda . . .
- 74 (3)
Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat keterangan mengenai: a. nomor kendaraan; b. JBI dan/atau JBKI; c. daya angkut orang dan barang; d. masa berlaku uji Kendaraan; e. muatan sumbu terberat. Pasal 157
Ketentuan lebih lanjut mengenai kartu uji dan tanda uji diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 158 (1)
Perpanjangan masa berlaku bukti lulus Uji Berkala diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. memiliki identitas pemilik Kendaraan; dan c. lulus Uji Berkala.
(2)
Dalam hal terdapat perubahan kepemilikan, spesifikasi teknis dan/atau wilayah operasi Kendaraan, pemilik atau pemilik baru Kendaraan wajib mengajukan permohonan perubahan bukti lulus Uji Berkala.
(3)
Bukti lulus Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor; c. keterangan mengenai perubahan kepemilikan, spesifikasi teknis Kendaraan Bermotor dan/atau wilayah operasi Kendaraan; dan d. lulus Uji Berkala untuk Kendaraan yang mengalami perubahan spesifikasi teknisnya.
(4)
Dalam hal bukti lulus Uji Berkala hilang atau rusak yang tidak dapat dibaca, pemilik dapat mengajukan permohonan penerbitan bukti lulus Uji Berkala pengganti. (5) Bukti . . .
- 75 (5)
Bukti lulus Uji Berkala pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. melampirkan fotocopy identitas pemilik Kendaraan; c. membawa surat keterangan kehilangan dari kepolisian setempat, apabila bukti lulus Uji Berkala hilang; dan d. bukti pengumuman kehilangan bukti lulus Uji Berkala pada media massa.
(6)
Perpanjangan, perubahan dan penggantian bukti lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diberikan paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterima permohonan. Pasal 159
Pemilik Kendaraan Bermotor harus melaporkan secara tertulis kepada unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang menerbitkan bukti lulus Uji Berkala apabila Kendaraan bermotornya dioperasikan di wilayah lain di luar wilayah pengujian yang bersangkutan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) bulan. Paragraf 6 Unit Pelaksana Uji Berkala Pasal 160 Unit pelaksana Uji Berkala wajib: a. b. c.
d. e.
melaksanakan pengujian sesuai dengan akreditasi dan sertifikasi; mempertahankan mutu pengujian yang diselenggarakan; membuat rencana dan pelaporan secara berkala setiap penyelenggara pengujian kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; menggunakan peralatan pengujian; dan mengikuti tata cara pengujian.
Pasal 161 . . .
- 76 -
(1)
Pasal 161 Setiap unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) harus diakreditasi oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(2)
Untuk memperoleh akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor harus memenuhi persyaratan: a. lokasi; b. kompetensi penguji Kendaraan Bermotor; c. standar fasilitas prasarana dan peralatan pengujian Kendaraan Bermotor; d. keakurasian peralatan pengujian Kendaraan Bermotor; e. sistem dan tata cara pengujian; dan f. sistem informasi Uji Berkala Kendaraan Bermotor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis unit pelaksana Uji Berkala diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 162 Lokasi unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a. terletak pada lokasi yang mudah dijangkau oleh pemilik Kendaraan Bermotor; b. sesuai dengan rencana umum tata ruang daerah; c. memenuhi hasil analisis dampak lalu lintas; dan d. memiliki atau menguasai area tanah sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 163 Dalam hal tertentu penyelenggaraan Uji Berkala dapat dilakukan dengan menggunakan unit Uji Berkala keliling.
(1)
Pasal 164 Unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor harus memiliki peralatan uji. (2) Peralatan . . .
- 77 (2)
Peralatan uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. alat uji emisi gas buang; b. alat uji kebisingan; c. alat uji rem; d. alat uji lampu; e. alat uji kincup roda depan; f. alat uji penunjuk kecepatan; g. alat pengukur kedalaman alur ban; h. alat pengukur berat; i. alat pengukur dimensi; j. alat uji daya tembus cahaya pada kaca; k. kompresor udara; l. generator set; dan m. peralatan bantu.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi teknis peralatan Uji Berkala Kendaraan Bermotor dan peralatan pendukungnya diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 165
(1)
Pada setiap unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor harus dilengkapi dengan papan informasi atau media informasi lainnya yang berisikan prosedur Uji Berkala Kendaraan Bermotor.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat dibaca oleh pemohon. Pasal 166
(1)
Unit pelaksana Uji Berkala harus membangun sistem informasi Uji Berkala Kendaraan Bermotor.
(2)
Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terhubung dan terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan serta dapat diakses oleh masyarakat. (3) Ketentuan . . .
- 78 (3)
(1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi Uji Berkala Kendaraan Bermotor diatur dalam peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 167 Untuk menjamin keakurasian peralatan uji, peralatan uji harus dikalibrasi secara berkala 1 (satu) tahun sekali.
(2)
Kalibrasi peralatan uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(3)
Unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang tidak melakukan kalibrasi peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hasil Uji Berkala yang dilakukan dinyatakan tidak sah.
(4)
Biaya kalibrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada unit Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang bersangkutan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kalibrasi diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(1)
Pasal 168 Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan dan gubernur dapat melakukan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan Uji Berkala Kendaraan Bermotor.
(2)
Pengawasan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uji petik terhadap Kendaraan Bermotor hasil Uji Berkala yang dipilih secara acak.
(3)
Hasil uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai salah satu penilaian hasil pemeriksaan kinerja unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang bersangkutan.
Bagian . . .
- 79 Bagian Keempat Kualifikasi Teknis dan Kompetensi Penguji Pasal 169 (1)
Kompetensi penguji diberikan berdasarkan keahlian, wewenang, dan tanggung jawab berjenjang.
tingkat secara
(2)
Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan serta lulus uji kompetensi pengujian Kendaraan Bermotor.
(3)
Bukti lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk sertifikat kompetensi dan tanda kualifikasi teknis penguji Kendaraan Bermotor.
(4)
Sertifikat kompetensi dan tanda kualifikasi teknis penguji Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasana lalu lintas dan angkutan jalan.
(5)
Sertifikat kompetensi dan tanda kualifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku di seluruh Indonesia.
Pasal 170 Penguji yang menjalankan tugas pengujian wajib mengenakan tanda kualifikasi teknis.
Pasal 171 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, persyaratan, dan tata cara pengangkatan penguji serta tanda kualifikasi teknis penguji diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
BAB VII . . .
- 80 BAB VII BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR Bagian Kesatu Penyelenggaraan Bengkel Umum
(1)
Pasal 172 Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2)
Bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis bengkel umum Kendaraan Bermotor.
(3)
Persyaratan teknis bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan tingkat pemenuhan terhadap persyaratan sistem mutu, mekanik, fasilitas dan peralatan, serta manajemen informasi.
(4)
Bengkel umum terdiri atas: a. bengkel kelas I tipe A, B, dan C; b. bengkel kelas II tipe A, B, dan C; c. bengkel kelas III tipe A, B, dan C.
(5)
Bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan sertifikasi bengkel umum.
(6)
Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang industri.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis, klasifikasi, dan sertifikasi bengkel umum diatur oleh peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang industri.
Bagian Kedua Akreditasi Bengkel Umum Untuk Uji Berkala (1)
Pasal 173 Bengkel umum yang melakukan Uji Berkala Kendaraan Bermotor wajib mempunyai akreditasi.
(2) Akreditasi . . .
- 81 (2)
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti kemampuan bengkel umum untuk melakukan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan landasan dan badan Kendaraan.
(3)
Bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bengkel umum agen tunggal pemegang merek Kendaraan Bermotor; dan b. bengkel umum swasta bukan agen tunggal pemegang merek Kendaraan Bermotor. Pasal 174
(1)
Bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 dapat menjadi unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor.
(2)
Bengkel umum yang melakukan Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki peralatan dan fasilitas Uji Berkala; b. memiliki izin usaha bengkel Kendaraan Bermotor dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari menteri yang bertanggung jawab di bidang industri dan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan c. memenuhi hasil analisis dampak lalu lintas.
(3)
Penetapan bengkel umum Kendaraan Bermotor menjadi unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor dilakukan oleh menteri yang bertangung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian akreditasi dan penetapan bengkel umum menjadi unit pelaksana Uji Berkala diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. BAB VIII . . .
- 82 BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 175 (1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 121 ayat (1), Pasal 123 ayat (4), atau 143 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; dan b. denda administratif. Pasal 176
(1)
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (2) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2)
Dalam hal pemilik Kendaraan Bermotor tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(1) (2)
(1)
Pasal 177 Bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 173 ayat (1) atau Pasal 174 ayat (2) dikenai sanksi administratif. Sanksi admnistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau c. penutupan bengkel umum. Pasal 178 Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (2) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender. (2) Dalam . . .
- 83 (2)
Dalam hal pemilik bengkel umum tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai denda administratif paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3)
Dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengenaan denda administratif atau 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak pembayaran denda, pemilik bengkel umum tidak melaksanakan kewajibannya dilakukan penutupan bengkel umum untuk menyelenggarakan Uji Berkala. Pasal 179
(1)
Penguji yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan penguji yang melakukan pengujian tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dikenai sanksi administratif oleh pemberi kompetensi pengujian Kendaraan Bermotor.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan sertifikat kompetensi; dan/atau d. pencabutan sertifikat kompetensi. Pasal 180
(1)
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2)
Dalam hal penguji Kendaraan Bermotor tidak mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai denda administratif sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3)
Selain dikenai denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pembekuan sertifikat kompetensi.
(4)
Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pembekuan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penguji kendaraan bermotor tidak mengindahkan kewajibannya, sertifikat kompetensinya dicabut. Pasal 181 . . .
- 84 Pasal 181 Bukti lulus Uji Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dan Pasal 158 dapat dicabut apabila: a. spesifikasi teknik kendaraan diubah sehingga tidak sesuai dengan data yang ada pada Sertifikat Registrasi Uji Tipe dan bukti lulus Uji Berkala Kendaraan yang bersangkutan; b. pemilik baru tidak melaporkan pengalihan kepemilikan Kendaraan Bermotor sehingga nama pemilik tidak sesuai dengan yang tercantum dalam bukti lulus Uji Berkala.
Pasal 182 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 183 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, rem parkir untuk Sepeda Motor yang sudah diproduksi dengan JBB 400 (empat ratus) kilogram atau lebih harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Pasal 184 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, penggunaan buku uji, tanda uji, dan tanda samping yang telah ada dinyatakan masih berlaku sampai habis masa berlakunya. Pasal 185 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, setiap unit pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor paling lama 5 (lima) tahun wajib membangun sistem informasi pengujian Kendaraan Bermotor. BAB X . . .
- 85 -
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 186 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530) yang mengatur tentang Kendaraan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 187 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 188 Peraturan Pemerintah diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 86 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 120 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, ttd. SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN I.
UMUM Kendaraan merupakan sebagian unsur pokok dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang bertujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Di samping itu, kedudukan dan peranan Kendaraan sebagai sarana transportasi yang memiliki peran di dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan juga menyangkut hajat hidup seluruh lapisan masyarakat, terutama yang menyangkut perwujudan keseimbangan perkembangan antar daerah dan pemerataan hasil-hasil pembangunan secara nasional, serta untuk mendukung kegiatan ekonomi, meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional menunju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam kedudukan dan peranannya seperti itu, maka pengaturan tentang Kendaraan seharusnya tidak hanya dilihat dari kepentingan sektoral semata, namun lebih dimaksudkan untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diuraikan di atas. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, mempunyai tugas dan kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap Kendaraan yang semata-mata diarahkan untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembangunan nasional. Peraturan Pemerintah ini mengandung semangat pemberian kemudahan pelayanan kepada masyarakat, dinamika perubahan atau perkembangan teknologi di bidang Kendaraan Bermotor dan perubahanperubahan secara global serta meningkatkan peran serta pemerintah daerah dan swasta. Peraturan . . .
-2Peraturan Pemerintah ini telah menampung berbagai perubahan pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan pengujian Kendaraan Bermotor baik yang menyangkut unit pelaksana pengujianya maupun mekanisme pengujian. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kinerja pengujian Kendaraan Bermotor sekaligus kemudahan pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat diwujudkan keselamatan sarana yang lebih baik. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal, diperlukan adanya pengaturan mengenai Kendaraan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Hal ini dapat dicapai jika kegiatan pengaturan dan pembinaan pada masing-masing instansi pembina lalu lintas dan angkutan jalan terkoordinasi secara utuh, tertib, teratur dan sinergis antara satu dengan lainnya. Dalam rangka mendukung sistem informasi dan komunikasi secara terpadu, peraturan pemerintah ini mengatur ketentuan bagi unit pelaksana pengujian Kendaraan Bermotor untuk membangun sistem informasi dan komunikasi di bidang pengujian Kendaraan Bermotor, serta dalam rangka menciptakan sarana yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan perlu ada pengaturan mengenai kompetensi bagi penguji Kendaraan Bermotor dan pengawasan pelaksanaan pengujian Kendaraan Bermotor yang diatur melalui sistem akreditasi pengujian Kendaraan Bermotor secara berkala. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan jenis dan fungsi Kendaraan Bermotor, persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan, kewajiban yang harus dipenuhi oleh Kendaraan Bermotor yang akan dibuat/dirakit di dalam negeri dan/atau diimpor, perlengkapan Kendaraan Bermotor, persyaratan Kendaraan Tidak Bermotor, Pengujian Kendaraan Bermotor beserta susunannya, pemeliharaan dan perbaikan Kendaraan Bermotor serta pemberian sanksi administratif. II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
-3Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor umum” adalah setiap Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Mobil Penumpang sedan yang memiliki 3 (tiga) ruang” adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang terpisah secara permanen atau tidak permanen antara ruang mesin di bagian depan atau belakang, ruang pengemudi dan penumpang di bagian tengah, dan ruang bagasi di bagian belakang atau depan. Huruf b Yang dimaksud dengan “Mobil Penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang” adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang terpisah secara permanen atau tidak permanen antara ruang mesin di bagian depan atau belakang dengan ruang pengemudi dan penumpang dan/atau bagasi. Mobil penumpang bukan sedan misalnya Sport Utility Vehicle, Station Wagon, Multy Purpose Vehicle, Hatch Back, All Purpose Vehicle. Huruf c Mobil Penumpang lainnya yang dirancang untuk keperluan khusus dalam ketentuan ini misalnya mobil ambulance, mobil jenazah. Ayat (3) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Panjang keseluruhan dalam ketentuan ini tidak termasuk bumper. Angka 3 . . .
-4Angka 3 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Panjang keseluruhan dalam ketentuan ini tidak termasuk bumper. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Panjang keseluruhan dalam ketentuan ini tidak termasuk bumper. Angka 3 Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Mobil Barang bak muatan terbuka dalam ketentuan ini misalnya dump truck, non dump truck, flat deck, double cabin (Mobil Barang kabin ganda). Mobil Barang kabin ganda adalah kendaraan bermotor yang dirancang memiliki 2 (dua) baris tempat duduk pengemudi dan penumpang dengan ruang barang yang terpisah secara permanen dan/atau tidak permanen oleh dinding atau sekat. Huruf b . . .
-5Huruf b Mobil Barang bak muatan tertutup dalam ketentuan ini misalnya box, wing box, box freezer, Mobil Barang kabin ganda. Huruf c Yang dimaksud dengan “Mobil tangki” adalah mobil yang dirancang untuk mengangkut benda cair atau gas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Kendaraan khusus untuk fungsi militer misalnya Kendaraan tank, panser, Explosive Ordinance Disposal (EOD), Commander Call Carrier, Security Barrier, Kendaraan lapis baja yang digunakan untuk tempur dan Kendaraan yang dirancang khusus yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia. Huruf b Kendaraan khusus untuk fungsi ketertiban dan keamanan masyarakat misalnya Kendaraan water canon, Anti Personel Carrier (APC), Explosive Ordinance Disposal (EOD), Commander Call Carrier, Security Barrier, dan Kendaraan taktis lainnya yang dirancang khusus yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Huruf c Kendaraan khusus untuk fungsi alat produksi misalnya traktor, stoomwaltz, forklift, loader, excavator, buldozer, dan crane. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 . . .
-6Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “rangka landasan” adalah chassis. Huruf b Yang dimaksud dengan “motor penggerak” adalah mesin atau engine. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “sistem penerus daya” adalah sistem untuk meneruskan tenaga dari mesin ke roda atau gear box, transmisi, dan perseneling. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 . . .
-7Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “motor bakar” adalah motor penggerak yang menggunakan bahan bakar padat, cair, dan/atau gas. Huruf b Yang dimaksud dengan “motor listrik” adalah motor penggerak yang menggunakan listrik sebagai tenaga penggerak. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “bus gandeng” adalah bus yang ditarik oleh mobil bus penarik yang mempunyai sedikitnya 2 (dua) sumbu roda dan dilengkapi dengan alat untuk digandengkan dengan mobil bus penarik dan tidak membebani sumbu mobil bus penarik. Yang dimaksud dengan “bus tempel” adalah bus yang ditarik oleh mobil bus penarik yang mempunyai sedikitnya 1 (satu) sumbu roda dan dilengkapi dengan alat untuk ditempelkan dengan mobil bus penarik dan membebani sumbu mobil bus penarik. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
-8Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pipa pembuangan tidak melebihi sisi samping atau sisi belakang Kendaraan Bermotor dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pusaran-pusaran (turbulensi) yang dapat mengakibatkan masuknya asap atau gas buang ke ruang penumpang, termasuk dalam hal ini pipa pembuangan yang tidak terlalu pendek. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
-9Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ban bertekanan” adalah ban yang berongga yang dapat diisi dengan gas. Sumbu-sumbu roda Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan harus dihitung dan dirancang atau dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memikul beban dinamis Kendaraan sebesar JBB. Untuk dapat memberikan jaminan keselamatan secara teknis terhadap penggunaan ban dan pelek pada Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan dan Kereta Tempelan, besarnya beban yang diperbolehkan untuk masing-masing ukuran ban, dikaitkan dengan tekanan kerja ban, cara pemasangan, dan tingkat keausan serta kerusakannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Jenis sistem suspensi dalam ketentuan ini dapat berupa pegas daun, penyangga hidrolis, dan penyangga pneumatis. Pasal 18 Ayat (1) Sistem alat kemudi yang dipasang dalam Kendaraan Bermotor berfungsi untuk mengendalikan arah gerak Kendaraan Bermotor yang bersangkutan. Roda kemudi digunakan untuk Mobil Penumpang, Mobil Bus, Mobil Barang, dan Kendaraan khusus sedangkan stang digunakan untuk Sepeda Motor roda dua atau roda tiga. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sistem alat kemudi yang dilengkapi dengan tenaga bantu harus dapat menurunkan kinerjanya menjadi sistem alat kemudi tanpa tenaga bantu atau manual apabila Kendaraan Bermotor tersebut bergerak dengan kecepatan tinggi. Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 . . .
- 10 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Ketentuan ini dimaksudkan agar pengemudi dapat mengendalikan kecepatan dan memberhentikan Kendaraan Bermotor dari tempat duduknya tanpa melepaskan tangannya dari roda kemudi atau stang kemudi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 . . .
- 11 Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Kepentingan tertentu dalam ketentuan ini misalnya pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan bermotor untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan, kendaraan pimpinan lembaga negara, kendaraan bermotor pengangkut jenazah, kendaraan bermotor petugas kepolisian, kendaraan bermotor pengawalan Tentara Nasional Indonesia, kendaraan bermotor penanganan bencana alam, kendaraan bermotor untuk pengawasan jalan tol, kendaraan bermotor untuk pengawasan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Ayat (2) . . .
- 12 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “rotasi atau stasioner” adalah lampu peringatan khusus yang berkedip dengan memancarkan cahaya di sekeliling sumbu vertikal. Huruf b Yang dimaksud dengan “lampu kilat” adalah lampu strobo, directional flashing lamp, atau lampu peringatan khusus yang memancarkan cahaya kedap-kedip dengan arah sudut tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “lampu bar lengkap” adalah complete bar lamp atau lampu peringatan khusus dengan dua atau lebih sistem optik yang memancarkan cahaya berkedip di sekeliling sumbu vertikal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 . . .
- 13 Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter dalam ketentuan ini tidak berarti Kendaraan dapat memiliki lebar 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter tetapi lebar kendaraan bermotor ditentukan berdasarkan lebar chassis asli dari pabrik pembuat dan hanya dapat ditambah dengan paling banyak 50 (lima puluh) milimeter ke kiri dan ke kanan. Yang dimaksud dengan “lebar tidak melebihi” adalah lebar terluar yang termasuk engsel pintu atau bak, handle bak muatan, namun tidak termasuk kaca spion Kendaraan Bermotor. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 14 Ayat (2) Jarak sumbu (wheel base) Kendaraan Bermotor dihitung dari sumbu depan ke titik tengah antara sumbu terdekat dengan sumbu depan dengan sumbu yang paling jauh kecuali untuk Kendaraan 2 (dua) sumbu, jarak sumbunya dihitung dari jarak sumbu depan ke sumbu belakang. Dalam hal jarak sumbu (wheel base) Kendaraan Bermotor yang memiliki lebih dari satu steering axle maka yang merupakan sumbu terdepan adalah steering axle yang paling depan. Dalam hal jarak sumbu (wheel base) untuk Kereta Tempelan dihitung dari king pin ke titik tengah antara sumbu terdekat dengan sumbu depan dengan sumbu yang paling jauh. Dalam hal jarak sumbu untuk Kereta Gandengan dihitung dari sumbu depan ke titik tengah antara sumbu terdekat dengan sumbu depan dengan sumbu yang paling jauh. Walaupun panjang bagian Kendaraan tanpa muatan yang menjulur ke belakang dari sumbu paling belakang, maksimum 62,50% (enam puluh dua koma lima nol persen), tidak berarti Kendaraan memiliki julur belakang 62,50% (enam puluh dua koma lima nol persen), tetapi dihitung berdasarkan panjang chassis asli dari pabrik pembuat dan hanya dapat ditambah dengan bumper. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 15 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tidak membahayakan” adalah jika kaca pecah maka serpihan kaca tidak berhamburan atau tetap menempel (laminated glass) dan ujung atau tepi pecahan kaca berbentuk tumpul (tempered glass). Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pintu dalam ketentuan ini meliputi pintu samping, dan pintu belakang kecuali pintu sorong. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 . . .
- 16 Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Kandungan polutan dalam ketentuan ini misalnya Carbon Monoxida (CO), Hidrocarbon (HC), Nitrogen Oksida (NOx), dan/atau partikulat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “desibel (A) atau dB (A)” adalah satuan ukuran suara yang dapat didengar manusia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 . . .
- 17 Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Lampu utama dalam ketentuan ini adalah lampu utama jauh. Ketentuan ini dimaksudkan agar daya pancar dan arah sinar lampu utama tidak menyilaukan. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “alat penunjuk kecepatan” adalah speedometer tester. Yang dimaksud dengan “kecepatan tertentu” adalah kecepatan yang digunakan untuk mengetahui keakuratan alat penunjuk kecepatan misalnya 40 (empat puluh), 80 (delapan puluh), 120 (seratus dua puluh) kilometer per jam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 . . .
- 18 Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Rem pelambat dalam ketentuan ini misalnya rem gas buang (exhaust brake), transmisi. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Lampu berwarna merah bertuliskan berhenti dimaksudkan agar ketika bus berhenti, pengguna jalan lainnya yang berada di belakang mobil bus dapat mengetahui bahwa bus dalam keadaan berhenti. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 . . .
- 19 Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Yang dimaksud dengan “alat pengontrol kendaraan” adalah alat yang berfungsi mengetahui posisi atau kecepatan selama kendaraan dioperasikan misalnya tachograph, Global Positionting System (GPS). Pasal 93 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rancang bangun tertentu” adalah rancang bangun yang disesuaikan dengan kebutuhan kondisi kecacatan (disabilitas). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 . . .
- 20 Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “secara bersama atau hampir bersamaan” adalah penggunaan sistem pengereman yang bersesuaian antara Kendaraan Bermotor penarik dengan Kendaraan yang ditarik, misalnya apabila Kendaraan Bermotor penariknya menggunakan alat pengereman dengan sistem udara, maka sistem rem yang digunakan pada Kendaraan yang ditarik juga sistem udara, atau jika Kendaraan Bermotor penariknya menggunakan sistem rem hidrolis, maka Kendaraan yang ditarik harus menggunakan sistem rem hidrolis pula. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 21 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Kereta Gandengan atau tempelan” adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang dan dirancang untuk ditarik oleh Kendaraan Bermotor. Yang dimaksud dengan “Kendaraan Bermotor penarik” adalah Kendaraan Bermotor yang memiliki perlengkapan untuk menarik, sistem pengereman, dan sistem kelistrikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “alat bantu” antara lain tali pengendali.
Ayat (2) . . .
- 22 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Ayat (1) Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan, menjaga kelestarian lingkungan, dan pelayanan umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Kategori L1 adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum 50 km/jam. Kategori L2 adalah Kendaraan Bermotor beroda tiga dengan susunan roda simetris atau tidak simetris dan kapasitas silinder mesin tidak lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan maksimum 50 km/jam. Kategori L3 adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan lebih dari 50 km/jam. Kategori L4 adalah Kendaraan Bermotor beroda tiga dengan susunan roda tidak simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm3 atau dengan desain kecepatan lebih dari 50 km/jam. Kategori L5 adalah Kendaraan Bermotor beroda tiga dengan susunan roda simetris dengan kapasitas silinder mesin lebih dari 50 cm 3 atau dengan desain kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Huruf b . . .
- 23 Huruf b Kategori M1 adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal delapan orang termasuk tempat duduk pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3500 Kilogram. Huruf c Kategori M2 adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk dan mempunyai JBB atau Gross Vehicle Weight (GVW) sampai dengan 5000 Kilogram. Kategori M3 adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan mempunyai lebih dari delapan tempat duduk dan mempunyai JBB atau Gross Vehicle Weight (GVW) lebih dari 5000 Kilogram. Huruf d Kategori N1 adalah Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai JBB atau Gross Vehicle Weight (GVW) sampai dengan 3.500 Kilogram. Kategori N2 adalah Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai JBB atau Gross Vehicle Weight (GVW) lebih dari 3.500 Kilogram tetapi tidak lebih dari 12.000 Kilogram. Kategori N3 adalah Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang digunakan untuk angkutan barang dan mempunyai JBB atau Gross Vehicle Weight (GVW) lebih dari 12.000 Kilogram. Kategori O1 adalah Kendaraan Bermotor penarik untuk Kereta Gandengan atau Kereta Tempelan dengan JBKB atau Gross Combination Weight (GCW) tidak lebih dari 750 Kilogram. Kategori . . .
- 24 Kategori O2 adalah Kendaraan Bermotor penarik untuk kereta gandengan atau kereta tempelan dengan JBKB atau Gross Combination Weight (GCW) lebih dari 750 Kilogram tetapi tidak lebih dari 3.500 Kilogram. Kategori O3 adalah Kendaraan Bermotor penarik untuk kereta gandengan atau kereta tempelan dengan JBKB atau Gross Combination Weight (GCW) lebih dari 3.500 Kilogram tetapi tidak lebih dari 10.000 Kilogram. Kategori O4 adalah Kendaraan Bermotor penarik untuk kereta gandengan atau tempelan dengan JBKB atau Gross Combination Weight (GCW) lebih dari 10.000 Kilogram. Pasal 122 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dikalibrasi” adalah suatu proses untuk menguji keakuratan peralatan pengujian. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 25 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “unsur pengaman” antara lain berupa hologram dan/atau water mark dan/atau invisible ink. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Yang dimaksud dengan “penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor” adalah pemeriksaan secara teliti atas desain sesuai dengan persyaratan teknis. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bak muatan” adalah semua bentuk konstruksi bak muatan untuk angkutan barang yang bersifat padat, cair, atau gas yang terpasang pada landasan Kendaraan Bermotor. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Modifikasi dimensi hanya dapat dilakukan pada perpanjangan atau pemendekan landasan (chassis) tanpa mengubah jarak sumbu dan konstruksi Kendaraan Bermotor tersebut. Modifikasi mesin dilakukan dengan mengganti mesin dengan mesin yang merek dan tipenya sama. Modifikasi daya angkut hanya dapat dilakukan pada Kendaraan Bermotor dengan menambah sumbu bagian belakang tanpa mengubah jarak sumbu aslinya dan sumbu yang ditambahkan harus memiliki material yang sama dengan sumbu aslinya dan harus dilakukan perhitungan sesuai dengan daya dukung jalan yang dilalui.
Pasal 132 . . .
- 26 Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jumlah” adalah Kendaraan Bermotor yang diproduksi telah mencapai jumlah yang ditentukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kesesuaian spesifikasi teknis” adalah meliputi kesesuaian persyaratan teknis dan laik jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) . . .
- 27 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “unit pelaksana pengujian swasta” adalah pihak swasta yang melakukan kegiatan khusus di bidang Pengujian Kendaraan Bermotor atau bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu untuk dapat melakukan uji berkala Kendaraan Bermotor. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 28 Ayat (2) Yang dimaksud “dalam keadaan tertentu” adalah keadaan dimana masa berlaku Uji Berkala telah jatuh tempo sedangkan Kendaraan Bermotor sedang berada di luar daerah tempat Kendaraan Bermotor diregistrasi atau Kendaraan terkena sanksi pelanggaran karena tidak terpenuhi persyaratan teknis dan laik jalan dan terkena kewajiban uji. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Alat bantu dalam ketentuan ini misalnya palu, senter, alat ukur (meteran), kunci pas, dan tang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas.
Pasal 152 . . .
- 29 Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kartu pintar” adalah smart card. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Dalam hal tertentu dalam ketentuan ini misalnya daerah hanya terdapat Kendaraan Bermotor wajib uji dalam jumlah relatif sedikit dibanding dengan luas daerah atau kondisi geografis daerah mengakibatkan tidak efisien apabila kendaraan bermotor mencapai tempat unit pelaksana uji.
Pasal 164 . . .
- 30 Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Izin usaha bengkel Kendaraan Bermotor dari pemerintah untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Rekomendasi yang diberikan Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait dengan aspek keamanan lingkungan. Huruf c . . .
- 31 Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas.
Pasal 186 . . .
- 32 Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5317