Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 10, Feb - April 09
Konflik dan Sengketa Pertanahan serta Upaya Penyelesaiannya
Penyelesaian
Sengketa Pertanahan
Forest Area Zoning
and related conflicts
Memberi Ujung Pada Konflik Agraria
762634
Penyelesaian
Keterangan Sampul
Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
Sengketa timbul karena
9 771978
762634
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Luas serta
Kebutuhan
akan tanah yang semakin tinggi,
tanah yang tetap sementara jumlah penduduk bertambah,
Ketimpangan Sikap
dalam penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah,
masyarakat dan sudut pandang kepemilikan tanah
Edisi 10, Feb - April 09
Konflik dan Sengketa Pertanahan serta Upaya Penyelesaiannya
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT
Penyelesaian
Sengketa Pertanahan
Forest Area Zoning
and related conflicts
Memberi Ujung Pada Konflik Agraria
Cover Depan Foto : LMPDP/DH Lokasi : Kepulauan Seribu
3
Cover Belakang Foto : LMPDP/Tim Studi DOSL Lokasi : Bukittinggi, SumBar
9
DARI REDAKSI
Konflik dan Sengketa Pertanahan serta Upaya Penyelesaiannya Sengketa, hukum, dan pembangunan merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, karena sengketa pada hakekatnya merupakan salah satu ciri dari berjalannya suatu perubahan sebagai akibat dari kegiatan pembangunan. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang membangun dan berada dalam masa reformasi telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi dalam masa transisi menimbulkan pengaruh yang tidak kecil terhadap dinamika terjadinya sengketa dan hukum di Indonesia.
21
Memberi Ujung Pada Konflik Agraria
Sengketa Pertanahan
Berbagai penyelesaian sengketa pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi tetapi dalam kebanyakan hal terasa kurang memuaskan. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) yang bersifat modern walaupun untuk satu dua kasus tertentu dapat diselesaikan dengan baik, tetapi dalam kebanyakan hal tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan dan bersifat tuntas. Sengketa pertanahan yang muncul dalam masyarakat tidak selamanya dapat diselesaikan melalui mediasi bahkan cukup banyak perkara pertanahan yang masuk ke Pengadilan dibandingkan dengan perkara-perkara lain khususnya dalam lingkungan peradilan umum, karena itu diperlukan upaya membenahi pranata peradilan untuk menangani kasus-kasus pertanahan secara tuntas.
4 15
Forest Area Zoning and related conflicts
Conflicts related to forest zoning in Indonesia are basically caused by the absence of formal acknowledgement from the government side of the existence of communities living in the forest zones. The problems started with the designation of forest zones in each province, followed by the management and allocation of these resources in ways that are overly controlled by government. Conflicts between communities and the government or between community and forest concession holders are mainly triggered by overlapping uses of forest land and/or utilization of timber and other forest products from the forest.
Dalam struktur agraria yang timpang seperti yang tengah terjadi sekarang, konflik agraria adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Sebab itu, konflik agraria yang marak belakangan ini bukanlah sebuah sengketa semata, ia merupakan fenomena yang kental politik. Dengan indikator-indikator yang ada, maka sengketa/konflik agraria masa kini tidak dapat disebut sengketa/konflik biasa, namun sengketa-sengketa tersebut mempunyai akar kedalam struktur dan sistem kekuasaan serta sistem ekonomi dominan yang tengah berlaku.
Land
Bulletin LMPDP
Dari Redaksi Bappenas Banyaknya sengketa mengenai tanah telah menarik perhatian semua pihak termasuk lembaga-lembaga negara. Di lingkungan DPR hal tersebut juga sering dimintakan perhatian dari pemerintah untuk mengatasinya. Struktur organisasi lembaga pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah disesuaikan untuk menunjukkan prioritas penanganan masalah ini, yaitu dengan dibentuknya Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menurut Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang BadanPertanahan Nasional (BPN). Di dalam Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (KKPN) yang disepakati oleh para stakeholders pertanahan, semakin maraknya konflik dan sengketa pertanahan diidentifikasi sebagai salah satu fenomena yang signifikan dalam perumusan kebijakan pertanahan. Sengketa dan konflik pertanahan banyak menimbulkan kerugian di tengah upaya pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia akibat tidak dapat digunakannya tanah yang disengketakan secara optimal. Menurut perhitungan Badan Pertanahan Nasional kerugian ini jika dihitung dalam rupiah akan mencapai jumlah dalam kisaran puluhan trilyun. Oleh karena itu, kebijakan ke arah penyelesaian dan pencegahan sengketa pertanahan yang efektif atau mitigasi dampak negatifnya sangat diperlukan. Sehubungan dengan itu Bulletin LMPDP edisi X ini mengangkat tema sengketa dan konflik pertanahan dengan harapan tulisan-tulisan yang disajikan dapat turut memperkaya perumusan kebijakan pertanahan. Tulisan yang disajikan mewakili beberapa sudut pandang terhadap konflik dan sengketa yang terjadi. Tulisan dari Hakim Agung DR. H. Abdurrahman SH, MH, menguraikan intensitas dan jenis-jenis sengketa yang sampai di Mahkamah Agung, serta kemungkinan penyelesaian yang tidak harus melalui jalur pengadilan melainkan dapat menempuh jalur lain apabila hal itu dipandang lebih praktis dan lebih besar kemungkinannya untuk memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Iwan Nurdin, Koordinator Advokasi Kebijakan dari Konsorsium Pembaruan Agraria, melihat konflik pertanahan sebagai masalah yang harus diselesaikan melalui reformasi kebijakan pertanahan yang lebih luas, karena konflik tersebut justru diakibatkan oleh pelaksanaan kebijakan pertanahan yang tidak memihak kepada rakyat. Selanjutnya anatomi sengketa dan konflik pertanahan diuraikan oleh R.B. Agus WIjayanto, S.H., MHum., Direktur Perkara Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional. Adapula tulisan mengenai sengketa dan konflik yang menyangkut tanah kehutanan yang merupakan 70 % dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Mengingat sifat multi aspek dari masalah pertanahan, keempat tulisan di atas bisa jadi belum mencakup semua aspek dari sengketa dan konflik pertanahan. Namun sektidaknya tulisan-tulisan tersebut dapat lebih membuka cakrawala cara pandang dalam merumuskan kebijakan kearah penyelesaian dan pencegahan sengketa dan konflik pertanahan.
Redaksi
Land Edisi 10, Feb - April 09 ISSN 1978-7626
diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP
Pelindung
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah - Bappenas
Penanggungjawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Pemimpin Redaksi
Ir. Rinella Tambunan, MPA
Dewan Redaksi
J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA Ir. Salusra Widya, MA Ir. Nana Apriyana, MT Dr. jur. Any Andjarwati Sudira, S.Sos
Editor
B. Guntarto Khairul Rizal
Redaksi
Esther Fitrinika Zaenal Arifin Arie Faizal Rajab Idham Khalik
Desain & Layout
Dica.H
Distribusi & Administrasi
Nerry.G Nunik P (Sekretariat Komponen-1 LMPDP)
Alamat Redaksi
Jl. Latuharhary No. 9 Jakarta 10310 Phone (021) 310 1885-87 Fax (021) 390 2983 www.landpolicy.or.id E-mail :
[email protected] Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca. Tulisan/artikel dalam bulletin ini tidak selalu mencerminkan opini pengelola program LMPDP (PIU-Bappenas) Ralat Pada bulletin edisi 5, artikel berjudul Pendaftaran Tanah tertulis "Ir. Chairul Basri Ahmad, CES, Guru Besar Universitas Indonesia dan Pakar Kebijakan Pertanahan" seharusnya "Ir. Chairul Basri Akhmad, CES, Praktisi Pendaftaran Tanah" Untuk itu kami mohon maaf pada semua pihak yang terkait.
3 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
Penyelesaian
Sengketa Pertanahan
Oleh: DR. H. Abdurrahman, SH., MH.*) Masalah pertanahan di negeri kita telah muncul dalam berbagai aspek dengan berbagai wujud yang beraneka ragam. Berbagai upaya penyelesaian telah ditawarkan baik melalui musyawarah atau mediasi tradisional, juga dikenal penyelesaian melalui mediasi pertanahan yang dibentuk dalam lingkungan Instansi Badan Pertanahan Nasional. Penyelesaian cara mediasi tidak selamanya memberikan penyelesaian yang memuaskan dan memberi penyelesaian yang tuntas sementara itu perkara yang masuk ke Pengadilan sudah kian menumpuk. Sehingga perlu dipikirkan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan yang dapat memberikan penyelesaian kasus-kasus pertanahan secara cepat dan sesuai dengan prinsip keadilan.
P
ersoalan sengketa pertanahan dalam masyarakat pada akhir-akhir ini terlihat kian cenderung meningkat. Akumulasi perkara pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung diperkirakan berkisar antara 65% hingga 70% dalam setiap tahun, belum terhitung yang selesai ketika diputus pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding. Sebagian besar kasus-kasus tersebut berasal dari lingkungan Peradilan Umum. Di samping itu ada juga perkara-perkara tanah yang masuk dalam lingkungan peradilan Agama (seperti misalnya sengketa tanah warisan dan tanah wakaf) dan dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (seperti misalnya tuntutan pembatalan sertifikat tanah). Munculnya sengketa pertanahan dimaksud disebabkan antara lain karena tanah terutama di daerah perkotaan sudah kembali menjadi “komoditas” primadona. Dalam kurun waktu sepuluh tahun saja harga tanah di suatu tempat telah naik berlipat ganda mencapai 200% hingga 500%. Kegiatan pembangunan yang berlangsung di sekitar tanah-tanah yang bersengketa turut memicu peningkatan nilai tanah sehingga harganya menjadi melangit dan menjadikan tanah sebagai sumber sengketa spekulasi tanah (land speculation) juga merupakan pemicu yang tidak kalah pentingnya bagi terjadinya berbagai sengketa pertanahan di samping alasan pokok semakin tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan luas tanah yang tersedia. Dalam suatu sengketa tanah tidak selamanya berpangkal dari tuntutan warga masyarakat yang tanahnya dicaplok oleh orang lain yang tidak berhak, tetapi tidak jarang terjadi tuntutan mereka yang merasa berhak dan orang-orang yang berspekulasi menuntut tanah orang lain yang ingin dikuasainya karena mereka mengetahui “si pemilik” tidak punya bukti yang kuat terhadap tanahnya. Selain itu, juga tidak jarang terjadi
sengketa tanah yang justru berpangkal pada tidak adanya jaminan kepastian hukum dari alat bukti yang dipunyai oleh pemilik tanah termasuk sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sengketa tanah juga banyak terjadi berkenaan dengan berbagai “transaksi tanah” yang dimunculkan dalam berbagai model transaksi bisnis yang dapat memungkinkan beralihnya kepemilikan atau penguasaan tanah dari satu tangan ke tangan yang lain tanpa disadari atau sepengetahuan dari mereka yang sebenarnya berhak atas tanah yang bersangkutan. Pemilikan dan penguasaan tanah terasa masih belum mendapatkan jaminan yang kuat dari perangkat hukum yang berlaku. Selain itu ada pula sengketa pertanahan di mana pemilik tanah atau mereka yang menguasai tanah berhadapan dengan instansi pemerintah atau perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan pemerintah. Dari sisi lain kita juga dapat membedakan antara sengketa tanah yang bersifat perorangan dan sengketa tanah yang bersifat struktural. Berbagai penyelesaian sengketa pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi tetapi dalam kebanyakan hal terasa kurang memuaskan. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) yang bersifat modern walaupun untuk satu dua kasus tertentu dapat diselesaikan dengan baik, tetapi dalam kebanyakan hal tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan dan bersifat tuntas. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang telah menduduki tanah selama
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
4
bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai tanah yang bersangkutan atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan. Dalam banyak perkara yang masuk ke pengadilan yang sering dirasakan tidak memuaskan adalah karena banyak pengadilan yang memutus dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau “niet van ontvankelijke verklaard” yang lazim dikenal dengan sebutan “NO” oleh karena penggugat mengajukan gugatan tidak sempurna berkenaan dengan letak dan ukuran tanah dan batas-batas tanah yang digugat masih kabur atau tidak jelas. Gugatan juga dinyatakan tidak dapat diterima tergugat yaitu mereka yang menguasai tanah saja sedangkan jelas dan diketahui bahwa tergugat mendapatkan tanah dari orang tertentu sedangkan orang tersebut tidak digugat dalam perkara yang bersangkutan. Upaya hukum terhadap putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima adalah melalui gugat kembali. Tetapi terkadang pihak penggugat tidak berkenaan menempuh upaya hukum tersebut tetapi menempuh upaya banding, kasasi dan atau peninjauan kembali terutama sekali bilamana mereka berkeyakinan bahwa gugatannya sudah cukup jelas dan cukup pihak. Langkah menempuh upaya hukum tersebut adakalanya juga berhasil di mana Pengadilan Tinggi selaku Pengadilan banding atau Mahkamah Agung selaku Pengadilan kasasi membatalkan putusan judex facti tersebut tetapi juga tidak sedikit Pengadilan Tinggi dan/atau Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO). Akibatnya banyak perkara pertanahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun tidak pernah selesai, penyelesaian perkara pertanahan menjadi berlarut-larut selama puluhan tahun. Selain itu dalam perkara pertanahan seorang penggugat secara mujur selalu “dimenangkan” gugatannya. Permohonan banding dan kasasi dari tergugat ditolak. Namun dia mengalami kesulitan ketika memohon eksekusi terhadap putusan yang berisi kemenangannya tersebut karena situasi untuk eksekusi tidak mungkin dilaksanakan karena di atas tanah yang akan dieksekusi terdapat banyak orang yang menduduki termasuk mereka yang tidak digugat. Ketika dimohon eksekusi pengadilan menyatakan putusan yang memenangkan penggugat tidak dapat melakukan eksekusi (non executable) sehingga penggugat hanya mendapat kemenangan di atas kertas (dalam putusan) tetapi tidak dapat menguasai tanah yang digugatnya. Putusan yang tidak dapat dieksekusi (non executable) dapat juga terjadi karena terkait proses, misalnya seorang penggugat yang gugatannya ditolak sejak dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi. Namun dia mendapatkan “bukti baru” sehingga dia mengajukan permohonan peninjauan
5 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Kasasi. Akan tetapi karena putusan kasasi adalah putusan terakhir yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka pihak tergugat mengajukan permohonan pembatalan sertifikat yang ada di tangan penggugat dengan alasan cacat hukum pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dikabulkan oleh BPN sehingga timbul kesulitan karena putusan PN, PT dan MA dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Gugatan penggugat tidak bisa dieksekusi. Akibatnya penggugat harus menggugat dari awal lagi dan karena ada pembatalan sertifikat oleh BPN maka ia juga harus menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berkenaan dengan penerbitan sertifikat baru Tergugat. Walaupun PTUN dapat membatalkan sertifikat baru atas nama tergugat, PTUN tidak dapat memutuskan untuk menghidupkan kembali sertifikat penggugat yang dibatalkan oleh BPN sehingga perkara menjadi rumit. Persoalan pokok yang cukup menimbulkan kerumitan dalam sengketa tanah adalah berkenaan dengan bukti hak berupa sertifikat. Dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan induk dari perundang-undangan pertanahan di Indonesia menetapkan dalam Pasal 19 bahwa salah satu kegiatan pendaftaran tanah adalah pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Penjelasan Umum UUPA juga menyebutkan bahwa pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi dan kemungkinankemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelengaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh Negara. Semenjak penegasan tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 masih terkesan pelaksanaan pendaftaran tanah berjalan lambat. Pada saat penggantian pertama yang mendasari pendaftaran tanah tersebut tercatat baru 13,5% dari tanah-tanah di Indonesia yang telah berhasil didaftarkan dan itupun lebih banyak dilakukan di kawasan perkotaan. Kemudian di bawah landasan baru pelaksanaan pendaftaran tanah melalui berbagai proyek seperti PRONA dan LARASITA, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari jumlah tanah-tanah yang terdaftar sehingga mencapai angka sekitar 10%. Dalam kondisi yang demikian adalah sangat wajar bilamana kegiatan pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, belum dapat mewujudkan sepenuhnya tujuan tersebut dan mengundang timbulnya banyak sengketa. Di samping itu, sesuai dengan kondisi dan situasi, pendaftaran tanah di Indonesia masih bertumpu pada sistem negatif walaupun ada kecenderungan ke arah
sistem positif. Dalam sistem negatif, alat bukti hak yang bernama sertifikat hanya merupakan bukti yang kuat bukan merupakan bukti yang mutlak. Seseorang yang namanya tercatat dalam sertifikat bukan secara mutlak menunjukkan bahwa ia adalah pemilik tanah yang bersangkutan. Sertifikat tersebut masih dapat dibatalkan oleh pengadilan bilamana ada pihak yang merasa hak atas tanah tersebut dengan alat bukti lain bahwa ia adalah pemilik tanah yang bersangkutan. Dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut: (1) Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
menurut undang-undang harus dilakukan di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi sejalan dengan apa yang diungkapkan di atas, banyak juga transaksi yang dilakukan tidak di muka PPAT tetapi dilakukan di muka Lurah atau Kepala Desa. Dalam beberapa kasus pemilik tanah yang melakukan jual beli tanah dua kali. Pertama ia menjual tanah pada seseorang di muka Kepala Desa berdasarkan hukum adat. Kemudian ia membuat sertifikat hak milik atas tanah dan setelah mempunyai sertifikat ia menjual kembali tanahnya pada orang lain di muka PPAT. Pembeli pertama mengajukan gugatan bahwa ia adalah yang paling berhak atas tanah sengketa. Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya mengabulkan gugatan Penggugat bahwa jual beli yang dilakukan di muka Kepala Desa yang dilakukan secara kontan dan konkrit adalah sah dan mengikat. Dalam kondisi yang demikian seringkali timbul pandangan bahwa Mahkamah Agung mengabaikan prinsip kepastian hukum sebagaimana yang digariskan dalam UUPA, namun dalam kasus seperti ini Mahkamah Agung lebih mengutamakan prinsip keadilan di atas kepastian hukum. Masih banyak lagi kasus-kasus pertanahan yang muncul dalam masyarakat yang tidak tercakup dalam berbagai kasus yang diungkapkan di atas mengingat adanya berbagai kepentingan orang atas tanah mengingat tanah pada saat sekarang adalah merupakan sumber kehidupan yang penting bagi manusia. Termasuk juga kasus-kasus pertanahan yang bersifat pidana sebagaimana yang banyak didakwakan sebagai pelanggaran Pasal 385 KUHP yang harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana atau pemalsuan surat bukti hak baik yang digunakan pada waktu pembuatan sertifikat ataupun sebagai bukti untuk mengukuhkan kepemilikannya atas tanah yang bersangkutan.
Penerapan pasal ini dalam praktik sering menimbulkan permasalahan terutama yang berkenaan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) dengan dalih gugatan telah daluwarsa bilamana seseorang telah mempunyai sertifikat hak atas tanah di atas jangka waktu 5 (lima) tahun, padahal ada persyaratan lain yang cukup menentukan yaitu “memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik” yang untuk pembuktiannya cukup sulit. Ketentuan ini hanya memberikan jaminan kepada pemegang hak atas tanah selaku pemegang sertifikat tidak dapat digugat oleh siapapun yang merasa berhak atas tanah yang bersangkutan selama 5 (lima) tahun dan ia memperoleh hak atas tanah yang bersangkutan dengan itikad baik. Ketentuan ini tidak memberikan perlindungan hukum kepada yang bersangkutan walaupun ia telah memegang sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan lebih dari 5 tahun tetapi terbukti ia memperoleh hak atas tanah tersebut tidak dengan cara itikad baik. Hal ini adalah sesuai dengan Penjelasan pasal tersebut (TLN No. 3696) yang menyatakan bahwa ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada lain pihak, yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Selain itu dikenal pula penyelesaian melalui Kantor Pertanahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam rangka penyelesaian sengketa melalui cara ini telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 01 Tahun 1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan ini disebutkan bahwa sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai: a. Keabsahan suatu hak. b. Pemberian hak atas tanah. c. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.
Persoalan lain yang sering menimbulkan permasalahan adalah berkenaan dengan transaksi jual beli tanah yang
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa untuk menangani sengketa pertanahan yang disampaikan pada Kantor
Penyelesaian sengketa pertanahan tidak selamanya harus dilakukan melalui proses peradilan, penyelesaian yang dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terkadang cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Penyelesaian demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk penyelesaian melalui mediasi tradisional.
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
6
Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dibentuk Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan dan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan yang diketuai oleh Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah pada unit kerja Deputi Bidang Hak-hak atas Tanah Badan Pertanahan Nasional dengan sejumlah anggota dan tugas dari Sekretariat dan Tim Kerja dimaksud. Kemudian pada tanggal 31 Mei 2007 ditetapkan pula Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Petunjuk Teknis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Ketentuan ini adalah merupakan penjabaran lebih jauh dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 yang menentukan dalam Pasal 345 bahwa salah satu fungsi Deputi Bidang Pengkajian dan Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya. Petunjuk teknis ini dibuat karena selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan/litigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan/non litigasi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dikatakan pula bahwa salah satu alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan melalui proses mediasi yang merupakan proses penyelesaian berdasarkan prinsip win-win solution yang diharapkan memberikan penyelesaian secara memuaskan dan diterima semua pihak. Petunjuk teknis (juknis) ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi mediator yang ditunjuk oleh Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam menangani proses mediasi. Sedangkan tujuan dari pada petunjuk teknis ini adalah terdapat keseragaman, kesatuan pemahaman dan ataupun standarisasi bagi mediator yang ditunjuk dalam proses mediasi. Dalam Juknis ini pengertian mediasi dirumuskan sebagai salah satu proses alternatif penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak di mana mediator memfasilitasi tercapainya suatu solusi (perdamaian) yang saling menguntungkan para pihak. Secara singkat mediasi ini dapat disebut sebagai “Mediasi Pertanahan” seperti Mediasi Perbankan, Mediasi Asuransi, Mediasi Peradilan dan lain sebagainya. Dalam Petunjuk Teknis ini disebutkan Mediator adalah orang/Pejabat yang ditunjuk jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan permasalahannya. Pada bagian lain disebutkan bahwa mediasi dilaksanakan oleh Pejabat/Pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas/surat perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan
7 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Ada tiga tipe Mediator yang disebutkan dalam petunjuk teknis ini yaitu: a. Mediator Jaring Sosial (Social Network Mediator). - Tokoh-tokoh masyarakat/informal misalnya: ulama atau tokoh-tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan lain-lain. - Biasanya mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. - Penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai sosial yang berlaku, nilai keagamaan/religi, adat kebiasaan sopan santun, moral dan sebagainya. b. Mediator sebagai Pejabat yang berwenang (Authoritative Mediator). - Tokoh formal misalnya pejabat-pejabat yang mempunyai kompetensi di bidang sengketa yang ditangani. - Disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang ditangani. c. Mediator Independen (Independent Mediator). - Mediator profesional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai legitimasi untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam mediasi. - Konsultan hukum, pengacara arbiter. Disebutkan dalam petunjuk ini Mediator yang melakukan mediasi adalah termasuk tipe Authoritative Mediator. Hasil akhir dari Mediasi Pertanahan adalah keputusan Penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersangkutan, kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi opsi yang diterima, hal dan kewajiban para pihak. Dengan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut pelaksanaannya menjadi kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi. Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian. Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Mediasi pertanahan sebagaimana tersebut di atas tidak melibatkan pengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.. Sengketa pertanahan yang muncul dalam masyarakat tidak selamanya dapat diselesaikan melalui mediasi bahkan sebagaimana diungkapkan di awal tulisan cukup banyak perkara pertanahan yang masuk ke Pengadilan dibandingkan dengan perkara-perkara lain khususnya dalam lingkungan peradilan umum, karena itu diperlukan upaya membenahi pranata peradilan untuk menangani kasus-kasus pertanahan secara tuntas. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa sengketa pertanahan yang masuk ke Pengadilan pada umumnya adalah dalam lingkungan peradilan umum baik dalam perkara perdata maupun pidana. Selain itu ada pula perkara pertanahan yang masuk dalam lingkungan peradilan agama terutama berkenaan dengan
kedudukan tanah sebagai harta bersama dalam perkawinan, pewarisan tanah dan sengketa tanah wakaf. Ada pula sengketa pertanahan yang masuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara terutama berkenaan dengan pembatalan sertifikat sebagai produk badan Tata Usaha Negara. Adanya beragam kasus sengketa pertanahan yang ditangani oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berbeda-beda dalam praktik, tidak jarang menimbulkan persinggungan sengketa kewenangan mengadili antara badan peradilan sesuai dengan kewenangan berdasarkan ketentuan undang-undang. Menyikapi kenyataan yang demikian dan banyaknya perkara pertanahan yang masuk ke Pengadilan ada keinginan untuk membentuk apa yang dinamakan “Peradilan Pertanahan” di samping Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Peradilan Niaga, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Pajak, Peradilan Perikanan, Peradilan HAM dan lain sebagainya. Keinginan untuk membentuk peradilan khusus tentang pertanahan pernah muncul dalam rancangan undangundang perubahan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Keinginan membentuk suatu peradilan pertanahan ini ditandai dengan adanya pandangan yang bersifat pro dan kontra. Adanya perbedaan pendapat ini adalah hal yang wajar bilamana mereka yang berbeda pendapat melihat masalahnya dari sudut pandang yang berbeda.
Kehadiran suatu lembaga peradilan khusus untuk menangani perkara-perkara pertanahan yang masuk ke lingkungan peradilan memang dianggap sebagai suatu hal yang mendesak mengingat banyaknya peradilan yang berbeda, penyelesaian yang selama ini belum tuntas, penyelesaian yang lambat dan lain sebagainya. Peradilan pertanahan sebagaimana dimaksud di atas memang harus berbeda dengan Pengadilan Landreform yang pernah muncul pada tahun 60-an yang pada akhirnya harus dibubarkan karena kurang serasi dengan prinsip-prinsip peradilan yang diakui dalam konstitusi dan ketentuan-ketentuan pokok kehakiman. Peradilan pertanahan sebagaimana dimaksud di atas dapat mencontoh bentuk Peradilan Hubungan Industrial yaitu setelah perkara diperiksa dan diputus pada tingkat pertama langsung diajukan kasasi Ke Mahkamah Agung. Untuk mengisi tenaga hakim dapat ditetapkan hakim karier dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan TUN dan Peradilan Agama yang menguasai dan memahami ketentuan hukum pertanahan yang berlaku untuk menjadi ketua majelis sesuai dengan sifat dan perkara yang bersangkutan. Selain itu dapat diangkat para pakar/ahli hukum pertanahan untuk menjadi hakim non karir seusai dengan kebutuhan yang diperlukan. Pada tingkat Mahkamah Agung perkara-perkara pertanahan dapat ditangani oleh Ketua Muda Bidang Pertanahan yang meliputi perkara perdata pertanahan, perkara pidana pertanahan dan perkara tata usaha pertanahan. Kepentingan untuk membentuk pengadilan pertanahan ini pada saat sekarang sudah cukup mendesak untuk dipikirkan bersama untuk dibentuk melengkapi badanbadan peradilan yang telah ada.
*) Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan pengajar pada beberapa program Pasksarjana (S2/S3) di Indonesia
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
8
Konflik dan Sengketa Pertanahan serta Upaya Pencegahannya Oleh: R.B. Agus Wijayanto, SH., M.Hum *)
S
engketa, hukum, dan pembangunan merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, karena sengketa pada hakekatnya merupakan salah satu ciri dari berjalannya suatu perubahan sebagai akibat dari kegiatan pembangunan. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang membangun dan berada dalam masa reformasi telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi dalam masa transisi menimbulkan pengaruh yang tidak kecil terhadap dinamika terjadinya sengketa dan hukum di Indonesia. Sengketa dan konflik pertanahan adalah perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan, nilai antara dua pihak atau lebih mengenai status tanah, status penguasaan, status kepemilikan, status surat keputusan mengenai kepemilikan atas tanah tertentu, yang berkepanjangan dan dianggap merugikan salah satu pihak dan muncul kepermukaan. Berdasarkan hasil validasi pada tahun 2007 diperoleh data jumlah permasalahan tanah yang masuk dan harus diselesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional sebesar 7.491 kasus yang terdiri dari 4.581 kasus bersifat sengketa, 858 kasus konflik yang melibatkan kelompok masyarakat dan 2.052 kasus merupakan permasalahan yang telah menjadi perkara di pengadilan dan melibatkan Badan Pertanahan Nasional sebagai pihak. Jumlah kasus pertanahan tersebut di atas dapat dikelompokan menjadi 8 (delapan) tipologi sengketa konflik dan perkara, dengan jumlah sebaran dan persentase kasus yang terbesar adalah sengketa penguasaan dan pemilikan tanah sebanyak 67,8% sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini: Jumlah Kasus Pertanahan Berdasarkan Tipologi Masalah No
TIPOLOGI
%
1 2
Masalah Penguasaan Dan Pemilikan Masalah Prosedur Penetapan Hak Dan Pendaftaran Tanah Masalah Batas/Letak Bidang Tanah Masalah Ganti Rugi Tanah Ex Partikelir Masalah Tanah Ulayat Masalah Tanah Obyek Landreform Masalah Pengadaan Tanah/Pembebasan Tanah Masalah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
67,8 12,19
3 4 5 6 7 8
Jumlah
3,23 3,04 3,33 2,85 2,76 4,76 100
Sumber : Dit. Sengketa, Konflik dan Perkara, Dep. V BPN RI, September 2006
9 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
Sosiolog pada umumnya berpendapat bahwa sengketa adalah gejala hukum yang bersifat universal, yang akan selalu timbul dalam setiap bidang kehidupan manusia, dan sering bersifat laten, dalam arti tidak menutup kemungkinan bahwa masalah yang sama bisa muncul kembali bertahun-tahun kemudian bahkan berulang (recurrent), sekalipun bila permasalahan ini telah ditangani dan dianggap selesai pada waktu kini. Oleh karena itu sengketa harus dianggap sebagai bagian alamiah dalam kehidupan masyarakat. Dengan titik berangkat seperti ini kita bisa mencari cara-cara damai untuk mengatasi sengketa tanpa mengandalkan kekerasan. Dilihat dari waktu munculnya sengketa dan konflik pertanahan dapat dikatakan bahwa sengketa adalah akibat yang timbul tentunya dari penyebab, yang pada umumnya akibat itu tidak timbul secara seketika. Tidak jarang sengketa baru terjadi setelah melalui proses yang sangat lama. Hal ini membuat penyelesaiannya kadang menjadi sulit dan berlarut-larut karena kondisi di lapangan yang telah mengalami banyak perubahan. Berikut ini diulas beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di Indonesia saat ini .
a. Perbandingan Luas Tanah dan Pertumbuhan Penduduk Luas tanah yang dimiliki oleh suatu Negara untuk keperluan tinggal dan usaha penduduknya relatif tetap, sementara jumlah penduduk itu sendiri cenderung meningkat yang meningkatkan pula kebutuhan akan tanah. Masalah ini umum dihadapi oleh semua negara, sementara sengketa pertanahan di Indonesia sebagai negara Dunia Ketiga eks kolonial mempunyai faktorfaktor penyebab lain yang lebih pelik dan spesifik.
b. Penjajahan dan Pluralisme Hukum Tanah di Masa Kolonial Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia berlaku tiga jenis hukum tanah sekaligus, yaitu hukum tanah barat, hukum tanah adat, dan hukum tanah swapraja. Menurut hukum tanah barat, hak milik adalah hak eigendom (Pasal 570 KUH Perdata) yang pada dasarnya bersifat liberal individualistik. Hak-hak lainnya merupakan hak sekunder yang bersumber dari hak
eigendom itu sendiri, seperti hak erfpacht, opstal, huur, dan lain-lain yang semuanya diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) Buku II. Tanah-tanah hak barat semuanya telah terdaftar dan mempunyai surat ukur (met brijf) yang menerangkan segi fisik tanah dimaksud (letak, batas, dan luas tanahnya). Menurut konsepsi hukum tanah barat, semua tanah harus ada yang memiliki, tidak ada tanah yang res nillius. Tanah yang tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum berarti milik atau domein negara (Pasal 520 KUH Perdata). Dalam melaksanakan politik pertanahan kolonial di atas, yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870, pemerintah Belanda menyatakan pada Pasal 1 Agraris Besluit 1870 bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu dipunyai dengan hak eigendom adalah tanah domein Negara (dituangkan dalam Domein Verklaring 1870). Negara ditempatkan sebagai pemilik (Eigenaar) atas tanah. Selain itu, di masa kolonial Indonesia dikenal pula lembaga hak eigendom yang memberikan kewenangan kepada pemegang haknya bukan saja kewenangan di bidang perdata, melainkan juga kewenangan di bidang hukum publik, yakni mengangkat kepala desa, memungut pajak, dll. Tanah-tanah eigendom demikian dikenal sebagai tanah-tanah partikelir. Pemegang haknya adalah tuan-tuan tanah (landheer) dan kewenangan khusus yang dimilikinya disebut hak-hak pertuanan. Sementara itu, di daerah pemerintahan swapraja/kerajaan/kesultanan berlaku hukum tanah swapraja yang feodalistik. Dalam konsepsi feodal ini, hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja. Hak-hak penguasaan tanah lainnya bersumber pada hak milik raja ini. Tidak ada rakyat biasa yang bisa memiliki tanah, semuanya hanya hanggaduh milik raja. Hanya raja/sultan yang berhak memberikan tanah kepada mereka yang memerlukannya. Sebagian besar penguasaan tanah lainnya di luar sistem hukum di atas diatur oleh hukum tanah adat yang merupakan hukum asli Indonesia. Hukum tanah adat bersifat kekeluargaan dengan semangat kebersamaan dan keagamaan (komunalistik magi religius). Hukum adat tidak tertulis. Dalam sistem hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak ulayat yaitu hak bersama masyarakat yang menganut hukum adat bersangkutan. Atas dasar hak bersama ini, perorangan atau secara bersama-sama bisa menggunakan tanah untuk keperluan pribadi bagi kehidupan keluarganya. Pemanfaatan tanah bersama secara individual ini pada akhirnya menciptakan hak milik adat. Tanah-tanah hak milik adat belum ada pendaftarannya dan tidak ada tanda bukti haknya. Meski demikian, ada beberapa tanah yang dikenai pajak. Yang terletak di dalam wilayah kotapraja (gementee) dikenai Verponding Indonesia, yang di luar kotapraja dikenai pajak bumi. Kepada pemiliknya diberikan petuk pajak atau girik sebagai penetapan pengenaan pajak.
Pluralisme hukum tanah di masa lalu dengan berlakunya tiga macam hukum tanah inilah yang di kemudian hari menimbulkan saling klaim yang berbuntut pada sengketa, oleh karena masing-masing status tanah yang berlaku menurut sistem hukum barat, hukum tanah swapraja dan hukum tanah adat secara hukum diperlakukan berbeda setelah Indonesia merdeka dan dilakukannya unifikasi hukum tanah dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
c. Unfikasi Hukum Tanah Nasional Semasa Kemerdekaan Sebagaimana telah diuraikan di atas pluralisme hukum tanah semasa kolonial berusaha diakhiri pada masa kemerdekaan melalui UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (populer dengan sebutan UUPA 1960). Fakta bahwa dibutuhkan waktu 14 tahun untuk merumuskan UUPA semenjak kemerdekaan dicapai (1946-1960) membuktikan bahwa unifikasi ini sungguh bukan persoalan mudah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah semasa kolonial seperti Agrarische Wet 1870, Domein Verklaring dalam Agraris Besluit 1870, seluruh Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata, serta ketentuan mengenai bezit dan eigendom uitwijzing dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Konsep ”tanah hak milik negara” digantikan dengan ”hak menguasai negara” dalam UUPA 1960. sebagai pengejawantahan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, negara tidak lagi berkedudukan sebagai pemilik tanah, melainkan sebagai kuasa dari Bangsa Indonesia untuk mengelola tanah kepunyaan Bangsa Indonesia demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian tanah negara menurut hukum tanah nasional bukanlah tanah ”milik” negara, melainkan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Demikian pula dengan tanah-tanah partikelir dihapuskan/dilikuidasi menjadi tanah negara berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1958, dan kepada bekas pemiliknya dapat diberi ganti kerugian berupa tanah jika yang bersangkutan menguasai sendiri tanahnya atau berupa uang menurut ketentuan yang berlaku. Tanah hak barat milik warga negara Belanda yang telah meninggalkan Indonesia terkena ketentuan P3MB dan tanah hak barat milik perusahaan Belanda yang telah ditinggalkan pemiliknya terkena ketentuan Prk 5 yang pada intinya tanah-tanah tersebut jatuh menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, selain itu ada pula tanah hak barat milik perusahaan belanda yang terkena nasionalisasi. Sedangkan tanah hak barat yang bukan objek tanah partikelir, P3MB, Prk 5, dan nasionalisasi, terkena ketentuan konversi menurut UUPA. Tanah hak eigendom yang pemegang haknya memenuhi syarat sebagai subyek hak milik sepanjang memenuhi syarat, dikonversi menjadi hak milik. Selebihnya dikonversi menjadi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Tanah-tanah bekas hak barat yang dikonversi menjadi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai semuanya berakhir tanggal 24 September
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
10
1980 dan menjadi tanah negara berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979. Tanah-tanah milik adat dengan berlakunya UUPA dikonversi menjadi Hak Milik sepanjang pemegang haknya memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik menurut ketentuan UUPA. Berbeda dengan konversi tanah-tanah hak barat yang jangka waktunya dibatasi, maka terhadap tanah-tanah bekas milik adat konversi atau pengakuan hak dapat dilakukan setiap waktu. Demikianlah pluralisme hukum tanah di masa lalu serta proses unifikasinya yang tidak mudah ternyata masih menimbulkan banyak persolan di kemudian hari. Tidak jarang pada saat ini satu bidang tanah oleh satu pihak diakui sebagai yang paling berhak atas tanah tersebut dengan dalil sebagai pemiliknya berdasarkan hak eigendom dibuktikan dengan adanya akta eigendom, sementara pihak lainnya merasa lebih berhak dan mempunyai perioritas untuk memperoleh memiliki tanah tersebut dengan mendalilkan sebagai pihak yang melakukan penguasaan/penggarapan atas tanah ”negara” bekas eigendom dengan bukti surat keterangan garapan, di sisi lain tanah dimaksud diakui juga oleh satu pihak sebagai hak milik adat yang dibuktikan dengan girik/petuk/pipil.
d. Ketimpangan Struktur Penguasaan/Pemilikan Tanah Walaupun UUPA 1960 secara umum diakui sebagai pengejawantahan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mencapai tatanan masyarakat yang lebih adil, ketimpangan struktur agraria kita sendiri ternyata tidak jauh beranjak dari masa kolonial. Saat ini, 70% aset nasional dikuasai oleh 0,2 % masyarakat, di mana 6287% penguasaan itu berbentuk tanah (Winoto, 2007). Akumulasi persoalan sejak jaman kolonial dan kemerdekaan, maupun colonial mode of production itu sendiri yang masih terus menjiwai proses-proses pembangunan berbagai rezim pemerintahan di Indonesia yang silih berganti membuat ketimpangan ini seakan kekal. Ketimpangan dan rasa ketidakadilan yang timbul darinya inilah yang merupakan salah satu sumber pokok penyebab sengketa pertanahan di Indonesia.
e. Kesadaran Hukum Masyarakat mengenai Penguasaan dan Pemilikan Tanah Masalah kesadaran hukum ini abstrak sifatnya. Surjono Sukanto mengindentifikasi indikator kesadaran hukum mencakup atau ditentukan oleh pengetahuan tentang peraturan (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan (law acquaintance), sikap hukum (legal attitude) perilaku hukum (legal behaviour). Dalam hidup keseharian, persepsi dan kesadaran hukum masyarakat turut andil dalam menjaga ketertiban dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Seringkali orang keliru merancukan atau menyamaartikan penguasaan dengan pemilikan. Penguasaan tanah adalah hubungan nyata seseorang dengan tanahnya. Orang ini tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa tanah itu memang ada dalam kekuasannya. Dengan demikian penguasaan selalu
11 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
berkonotasi fisik. Penguasaan itu dicerminkan dengan adanya penggunaan dan pemanfaatan secara langsung oleh yang menguasai, misalnya dengan menggunakannya sebagai tempat tinggal. Berbeda dengan penguasaan, pemilikan (ownership) merupakan sekumpulan hak-hak (a bundle of rights) yang semuanya tergolong ke dalam ius in rem sehingga berlaku terhadap semua orang. Dengan demikian, dalam pemilikan sudah melekat hak (hubungan hukum) yang merupakan legitimasi atas penguasaan tanahnya. Hal ini tidak akan hilang sekalipun yang bersangkutan tidak menggunakan atau menguasainya secara langsung. Demikianlah maka orang yang memiliki tanah tidak selalu menguasai, dan orang yang menguasai tanah tidak selalu pemiliknya. Penguasaan menjadi legal dan sah apabila memperoleh legitimasi hukum dari ”Negara”. Penguasaan tanah yang memperoleh legitimasi disebut penguasaan yuridis (penguasaan dengan suatu hak atas tanah), dan dibuktikan dengan tanda bukti yang diakui menurut hukum/undang-undang dalam hal ini sertipikat hak atas tanah. Dalam praktik banyak dijumpai kenyataan bahwa orang menyamaratakan pengertian ”penguasaan” (dalam arti garapan) dengan ”pemilikan”, sehingga lahirlah pengertian yang sifatnya sosiologis atas tanah garapan yang dikenal sebagai ”hak garap”. Pemegang hak garap ini umumnya hanya dibuktikan dengan surat keterangan Lurah atau Kepala desa atau Camat bahwa yang bersangkutan memang benar menggarap tanah dimaksud. Sesuai dengan namanya, ”hak garap” ini bisa dilakukan di atas tanah negara maupun tanah hak. Surat keterangan ini sering membuat pihak penggarap merasa aman dan tidak perlu segera mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah menurut UUPA sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Garapan kemudian menjadi sengketa karena dialihkan kepada pihak lain yang ternyata tidak menggarap atau menguasai tanahnya, karena merasa dalam pengalihan itu telah melekat pula hubungan hukum dengan tanah itu selayaknya seorang pemilik. Inilah yang sering menimbulkan tumpang tindih garapan karena penggarap asli ternyata mengalihkan garapannya atas bidang tanah yang sama itu kepada beberapa orang.
f. Tidak Terurusnya Tanah-tanah Aset Instansi Pemerintah Berdasarkan petunjuk pelaksanaan Kepala BPN No. 500-1255 tanggal 4 Mei 1992, disebutkan bahwa aset yang dikuasai oleh Instansi Pemerintah dapat berasal dari okupasi, tukar-menukar, peralihan aset yang disebabkan penyerahan kedaulatan pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah RI, pelepasan secara cuma-cuma pada pemerintah oleh pemiliknya, tanah-tanah yang terkena ketentuan SE Menteri Keuangan No. S.1069/MK-03/1990 dan tanah-tanah eks Keppres No. 32 Tahun 1979 yang diperuntukkan bagi pemerintah untuk pembangunan kepentingan umum karena ketentuan undang-undang seperti UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi karena pengadaan tanah untuk instansi pemerintah (pembebasan maupun pencabutan hak).
Instansi pemerintah yang menguasai aset tersebut terdiri dari Lembaga Tinggi Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) termasuk juga BUMN dan BUMD. Tanah-tanah yang termasuk aset pemerintah meliputi : a. tanah-tanah bukan tanah pihak lain dan yang telah dikuasai oleh instansi pemerintah b. tanah tersebut dikelola /dipelihara dengan dana dari instansi pemerintah c. tanah-tanah yang telah terdaftar dalam inventaris instansi pemerintah terkait d. tanah-tanah yang secara fisik dikuasai atau dimanfaatkan oleh pihak berdasarkan hubungan hukum yang dibuat oleh pihak lain dengan instansi pemerintah e. tanah-tanah aset tersebut meliputi tanah-tanah yang sudah ada sertifikatnya (terdaftar) maupun yang belum ada sertifikatnya, dan tidak dapat dibuktikan adanya pengeluaran biaya, tetapi pihak yang menguasai mengakui/mempercayai bahwa tanah tersebut milik instansi pemerintah bersangkutan Dari uraian di atas terlihat bahwa ruang lingkup tanah sebagai aset negara (pemerintah) begitu luas cakupannya. Tidak semua tanah-tanah aset pemerintah terinventarisasi secara baik dan teridentifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional, sementara di lapangan banyak dijumpai tanah-tanah aset BUMN atau Kodam atau PT Persero (misalnya PT KAI, Pertamina) yang tidak berada dalam penguasaannya, melainkan telah dikuasai masyarakat menjadi suatu perkampungan, dan telah diperalihkan secara di bawah tangan antara orang perorangan maupun dengan badan hukum (perusahaan). Kondisi penguasaan tanah-tanah yang demikian berpotensi menjadi sengketa, konflik dan perkara.
g. Tidak Terurusnya Tanah-tanah Aset Swasta Banyak badan-badan hukum seperti pengembang telah membebaskan tanah dalam skala besar berdasarkan izin lokasi tanpa mempertimbangkan kemampuannya sendiri untuk membangun di area yang telah dibebaskan. Hal ini membuat tanah yang telah dibebaskan menjadi terlantar begitu saja, yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain terutama untuk tempat tinggal atau berusaha dan nantinya menimbulkan sengketa di kemudian hari. Bagi tanah-tanah yang telah diterbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk perumahan atau Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan masih dijumpai adanya kenyataan penguasaan atas tanah-tanah HGB atau HGU skala besar oleh kelompok masyarakat dan atau badan hukum tertentu yang mengusahakan tanah hak tersebut, selanjutnya masing-masing pihak saling melakukan pengaduan. Pemegang hak melakukan pengaduan atas penguasaan masyarakat yang dianggap telah melakukan tindak pidana penyerobotan, atau perbuatan melawan hak, sedangkan pihak lain yakni masyarakat melakukan tuntutan agar dapat diberikan hak atas penguasaannya dan mengeluarkan penguasaan masyarakat dari areal HGB atau HGU atas dasar penelantaran tanah oleh pemegang hak.
Menurut ketentuan Pasal 34, Pasal 40 UUPA disebutkan bahwa HGB maupun HGU menjadi hapus apabila tanahnya ditelantarkan. Lebih lanjut di dalam Pasal 9 PP No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa pemegang HGU wajib mengusahakan sendiri tanahnya sesuai dengan kelayakan teknis menurut instansi terkait dan melaksanakan usaha pertanian perkebunan atau perikanan sesuai peruntukkan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam surat keputusan pemberian haknya. Hal demikian berlaku pula bagi pemegang HGB. Hapusnya hak karena penelantaran tanah perlu dilakukan dengan suatu keputusan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998, identifikasi tanah yang dapat dinyatakan terlantar dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan selaku Ketua Panitia Penilai yang beranggotakan wakil-wakil dari instansi-instansi yang terkait dengan penggunaan tanah bersangkutan, baik secara kedinasan maupun berdasarkan perintah Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atas laporan dari instansi pemerintah atau dari masyarakat. Namun demikian penegakkan hukum atas penelantaran tanah tidak mudah, perlu penelitian mengenai sebab musabab penelantaran tanah. Selain itu keputusan pemerintah cq. Badan Pertanahan Nasional yang pada hakekatnya bersifat penegakan hukum tanah atas suatu permasalahan sengketa, konflik tanah termasuk berkaitan dengan penelantaran tanah masih dipandang sebagai suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) semata-mata yang dapat digugat di peradilan tata usaha negara, peradilan negeri perdata, atau bahkan peradilan negeri pidana.
h. Tidak Optimalnya Fungsi Pengawasan dan Pengendalian Sengketa dan konflik juga terjadi sebagai akibat tidak optimalnya fungsi pengawasan dan pengendalian atas suatu kebijakan pertanahan yang telah diterbitkan. Kurangnya pengawasan dan pengendalian ini misalnya terjadi terhadap penerbitan izin lokasi yang sebenarnya berfungsi sebagai pengendali. Penerbitan izin lokasi secara besar-besaran tanpa melihat kemampuan pengembang juga menunjukkan kurangnya pengawasan dan pengendalian yang pada gilirannya mengakibatkan banyak lahan telantar sebagaimana dicontohkan sebelumnya.
i. Kebijakan Pemerintah Sengketa juga dapat terjadi karena tidak sinkronnya kebijakan pemerintah. Pada beberapa daerah terjadi bahwa satu area di satu kabupaten ditetapkan sebagai bukan kawasan hutan sehingga apabila mengacu pada tata ruang kabupaten maka permohonan dan penerbitan hak atas area tertentu dapat dibenarkan secara prosedur administrasi dan hukum. Akan tetapi tata ruang kabupaten ternyata tidak sejalan dengan tata ruang wilayah provinsi dan nasional, sehingga penerbitan hak kepada rakyat yang memerlukan menjadi persoalan. Penguasaan wilayah-wilayah tertentu oleh masyarakat yang telah menetap dalam jangka waktu berpuluh-puluh tahun dan menjadi perkampungan yang kompak ternyata tercatat sebagai kawasan hutan register, sementara data yang ada pada
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
12
Badan Pertanahan Nasional, areal dimaksud berasal dari bekas Hak Erfpacht.
j. Tidak Sinkronnya Penegakkan Hukum di Lembaga Peradilan J. Foeckema Andrea memberi pengertian peradilan sebagai organisasi yang diciptakan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum. Prof. Satjipto Rahardjo (1991;182) memberi pengertian yang berbeda antara pengadilan dan peradilan. Peradilan adalah hal yang berkaitan dengan proses mengadili sedangkan pengadilan adalah salah satu lembaga untuk menegakan kebenaran dan mencapai keadilan, ketertiban dan kepastian. Berdasarkan pengertian di atas maka disimpulkan bahwa pengadilan adalah badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili suatu perkara atau sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam struktur kenegaraan, pengadilan berkedudukan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman berdasarkan kekuatan undang-undang. Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman mempunyai kekuasaan menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan keadilan, maka tugas pokok pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan. Putusan pengadilan menetapkan sebagai hukum hubungan antara pihak-pihak yang berperkara dengan obyek perkara. Jika obyek perkara mengenai tanah tertentu maka putusan pengadilan akan menetapkan status hukum pihak-pihak yang berperkara dengan tanah obyek perkara tersebut. Putusan pengadilan asasnya mempunyai kekuatan eksekutorial artinya dapat dipaksakan pelaksanaannya, jika pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela isi dari amar putusan pengadilan.
menyangkut penerbitan keputusan hak atas tanah maka putusan pengadilan TUN akan pula berakibat terhadap status kepemilikan seseorang atas tanah yang didasarkan pada keputusan pejabat TUN tersebut; peradilan niaga dengan wewenang mengadili perkara kepailitan, yang keputusannya dapat berakibat ada pula pada status tanah yang menjadi kekayaan subyek hukum yang dinyatakan pailit. Persoalan hukum timbul apabila ada satu atau beberapa bidang tanah yang menjadi objek perkara pada berbagai lembaga peradilan tersebut dan diputus dengan putusan yang satu sama lain saling tidak sinkron. Pelaksanaannya jadi sangat sulit bahkan non-executable. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui penegakkan hukum di pengadilan ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah pertanahan secara tuntas, terutama jika salah satu pihak menyangkut kelompok masyarakat , dan akar masalahnya lebih beraspek sosial dan ekonomi. Pada beberapa penegakkan hukum atas sengketa dan konflik tanah di pengadilan pendekatannya lebih banyak dilakukan dari sudut pandang aspek hukum pidana semata-mata sebagai bentuk penyerobotan atau dari aspek pandang hukum perdata sebagai bentuk perbuatan melawan hak karena penguasaan dilakukan tanpa alas hak yang sah, sementara aspek pandang hukum tanah yang membebani pemegang hak dengan suatu kewajiban untuk memelihara dan mengerjakan sendiri tanah haknya sebagaimana maksud Pasal 34 atau Pasal 40 UUPA yang menegaskan bahwa HGB maupun HGU menjadi hapus apabila tanahnya ditelantarkan maupun klausula kewajban yang dimuat dalam surat-surat keputusan pemberian hak seringkali tidak dipertimbangkan.
Upaya Pencegahan Konflik Semula UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dibuat dengan maksud mengakhiri pluralisme di bidang peradilan, seperti peradilan adat, peradilan swapraja, dll, menjadi satu peradilan saja, yakni peradilan negara. Akan tetapi, di dalam peradilan negara tersebut ternyata dibuat pemisahan wewenang yang dilaksanakan oleh berbagai pengadilan yang ternyata juga memeriksa dan memutus sengketa tanah, yakni peradilan umum (terdiri dari peradilan pidana dan perdata) yang ditangani pengadilan negeri. Masalah tanah menjadi obyek perkara pidana apabila satu pihak menggunakan akta palsu untuk memperoleh kedudukan sebagai pemilik tanah tersebut. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan soal perdata adalah masalah-masalah berkenaan dengan hak beralih; peradilan agama yang antara lain menangani masalah cerai, warisan, dan sebagainya yang juga berakibat terhadap kepemilikan tanah. Demikian pula peradilan TUN dengan wewenang mengadili perkara TUN antara masyarakat dengan pejabat TUN sebagai akibat dari dikeluarkannya surat keputusan oleh pejabat TUN yang dianggap merugikan dan menyalahi prosedur serta perundang-undangan yang berlaku. Jika perkara
13 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, sengketa pertanahan pada hakekatnya bisa digolongkan menjadi sengketa yang bersifat hukum murni dan sengketa yang mengandung muatan sosio-ekonomipolitis (meskipun bila dilihat dari latar sejarah kolonial Indonesia, sengketa yang bersifat hukum murni sebenarnya juga mengandung unsur sosial-politik). Oleh karena itu pencegahan terjadi sengketa dan konflik pertanahan harus dilakukan oleh pemerintah dan pemilik tanah. Mengusahakan tanah secara efektif dapat mencegah niat pihak-pihak tertentu untuk melakukan penguasaan atau pendudukan secara melawan hak, oleh karena tidak cukup alasan untuk mendalilkan suatu hak atas tanah ditelantarkan. Mengusahakan tanah secara efektif dapat dilakukan apabila penguasaan tanah yang diperlukan dilakukan sesuai dengan kemampuan untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu fungsi pengawasan dan pengendalian perlu dilakukan sejak awal proses pengadaan/perolehan tanah hingga pelaksanaan haknya. Berkenaan dengan itu perlu ada penguatan terhadap kewenangan Badan Pertanahan Nasional untuk
melakukan penegakan hukum tanah dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum tanah yang berlaku sebagai salah satu wujud pelaksanaan kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 UUPA .
Upaya Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dikenal dengan istilah alternative dispute resolution (ADR) perlu digalakan dengan tujuan mengurangi kemacetan di pengadilan, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa tanah, memperlancar jalur mencapai keadilan serta memberi peluang bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan perlu melihat akar masalah. Sepanjang menyangkut persoalan kesejahteraan maka upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan perlu dilakukan. Reforma agraria sebagai bentuk restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan cara yang tepat untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi timbulnya sengketa dan konflik pertanahan.
Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa pertanahan yang tepat untuk dipilih oleh karena sesuai dengan budaya musyawarah. Dalam penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan Kepala Kanwil BPN P r o v i n s i a t a u K e p a l a k a n t o r Pe r t a n a h a n Kabupaten/Kota mempunyai posisi yang baik untuk menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah, karena kedudukannya kuat dan berpengaruh sehingga memiliki potensi atau kepastian untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah mediasi. Dalam situasi tertentu mereka juga dapat memberi batasan kepada para pihak untuk mencari pemecahan masalah.
Pembentukan peradilan khusus atau hakim-hakim bersertifikat khusus untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara pertanahan perlu dipertimbangkan untuk mencegah terjadi tumpang tindih putusan pengadilan dengan pertimbangan hukum yang berbeda-beda yang justru dapat menciderai kepastian hukum dan mempersulit penyelesaian sengketa tanah itu sendiri.
*) Direktur Perkara Pertanahan, Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
14
Forest Area Zoning and
Related Conflicts
Oleh: Iman Santoso *)
I
n the 1970s land use for various development activities was sharply accelerated by the implementation of food crop expansion programs, transmigration and resettlement projects, and large scale timber concession operations in almost all of the main islands of Indonesia. New plantation areas were established in the outer island of Java along with development of new settlements for transmigration from the populated island of Java, and timber extraction executed in productive forests for plywood industries. There was no comprehensive spatial plan to be referred to in order to give direction to land based developments at either provincial or district levels, so that millions of hectares of forest areas on these islands were 'victimized' for the sake of economic and regional development. Unfortunately most of these forest conversions were not successful in terms of their suitability and accessibility for food crops or human settlement. The remaining areas were then abandoned as degraded and unproductive land, except those with forests that were selectively cut for timber production. Realizing this situation, the Minister of Agriculture urged provincial governments to set aside sufficient areas of permanent forest to maintain crucial land and water systems, conserve bio-diversity, and for the sustainable production of forest products and services. Based on the existing bio-physical condition each province had to set aside areas for Protection Forest (PtF), Strict Nature Reserves (SNR), Conservation Forest/CF (which are Recreation Parks and National Parks), Production Forest/PrF (which are Regular Production Forests and Limited Production Forests), and Hunting Parks (HP), while forested areas that could be converted to other uses were categorized as a Convertible Production Forest (CPrF). Through consensus among provincial agencies using the best available data the allocation of those forest categories were made in 1980s, and forest zones were depicted in so-called Consensus Forest Land Allocation Maps (CFLAM). The map was widely used as reference tool for allocating land for various investments and land-based activities, at least until 1990s, with the result that
15 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
unplanned conversion of forests for other uses was sufficiently restrained. However, with the accelerating rate of land-based development by other sectors, the existence of permanent forest zones was criticized as a barrier to regional development, and CFLAM was characterised as merely a forest sector plan that blocked other sectors from developing unmanaged land better suited to other uses. There was a strong call to replace CFLAM with a more comprehensive and rational spatial plan to accommodate various landbased developments. In response to that appeal, in 1992 the Government issued Spatial Planning Act No.24/1992 which requires each province and district to formulate an intersectoral, spatial plan setting out which areas are to be allocated for Protection Zones (PZ) with the rest opened up as Utilization Zones (UZ). Under these broad categories, Protection Forests, Strict Nature Reserves, and Conservation Forests (under CFLAM) are grouped as Protection Zones, while Production Forests and Convertible Production Forests are grouped in Utilization Zone. By careful review of the new field data in 1990s, a Provincial Spatial Plan (PSP) was then elaborated and mapped for each province. Within the PSP some forest zones have been reallocated to other land uses from those were ascribed under CFLAM, or re-categorized to new types of forest with different functions. There are also some cases where non-forest land has now been allocated as forest zones in the PSP map. Although the PSP was designed to accommodate intersector needs for land, it lacks detail concerning the position of the communities living in these areas. While the plan does allocate protection and utilization zones for various land uses, it does not mention the existence of communities that have long been in forested areas, with traditional practices for managing land and forest resources. This shortcoming has generated conflicts between the communities and the government; and between the communities and forest enterprises, on the use of the land and the utilization of timber and other forest products.
This paper is intended to discuss these conflicts by reviewing the state's control over forest land according to existing regulations, the existence of communities with their traditional knowledge, and the conflicts caused by the existing controls of both the government and the communities. Lessons learned from this review are expected to be of use in improving forestry law and regulation.
State's control over forest land Since the existence of forests has both benefits for and impacts on the nation, all forest areas in Indonesia and all resources therein are controlled by the state. Therefore, article 4 of the Forestry Act No.41/1999 states that all forests are under control of the state for the maximum benefit of the people. With this control, the state has the obligation to assign and maintain certain areas as permanent forest zones for protection, conservation and utilization purposes. Implementation of this control is conducted by the Government based on a mandate given to it by the state to: i) regulate and manage the nation's forest resources in a sustainable way, ii) arrange the most appropriate legal relationship between people and the forest, and iii) regulate all practices related to existing forest. Based on this mandate, the government has designated 123.5 million hectares of land to be maintained as the state's permanent forests (This figure does not include 3.5 million hectares of sea surrounding marine national parks that are recorded in forestry statistics and reports) consisting of 31.8 million hectares of Protection Forests, 20.1 million hectares of Conservation Forests, 57.5 million hectares of Production Forests, and 14.1 million hectares of Convertible Production Forests. All these forest zones are allocated in the Provincial Spatial Plans (PSP). The government, within existing laws and regulations, has granted concessions to private and state forest enterprises to manage and derive benefits from Production Forests mainly through timber extraction; and has issued permits for nature tourism operations in some forest parks to eligible recreation operators. The Government has also set out rules to regulate forest management operations, and plantation and timber harvests in Production Forests managed by concession holders. For Recreational Parks, National Park and Hunting Parks, rules have also been set out for wise use and restricted utilization in order to get optimal benefits from these Conservation Forests. Communities who live on the fringes of, and within, forest zones are granted rights to utilize timber and other products from the forest for daily consumption and livelihood. These rights are considered to be marginal compared to those given to the concession holders, since the community only gets their subsistence from the forests while the greater benefits from the forests are enjoyed by concession holders. Legally, a community would get similar benefits only if it establishes an eligible cooperative to operate a forest concession.
Unfortunately, most communities lack sufficient capital to prove their eligibility and to comply with the requirements set out for competent forest operators. Therefore, conflicts between communities and government and concession holders in the Production Forest zones always begin when the communities are restricted from cutting timber for commercial use, and in using the land they believe is their inheritance from their ancestors. In other zones, i.e. in Protection Forest, Strict Nature Reserves, Conservation Forest, conflicts also occur when they infringe the rights of communities to utilize their land for their homes and farming, and for harvesting forest products. In some cases, Government officials have taken excessive action and have expelled communities from zones that have been unilaterally assigned as restricted forest zones.
The Existence of Communities in the Forest Zones Communities living on the fringes and within the forest are estimated to number about 48.8 million people, and about 10.2 million of them are categorized as poor people who are depended on forest resources for the daily living. Communities perceive the forest as their home and a place that produces the goods and services needed for their survival and livelihoods. According to their beliefs, some places in the forest are also treated as sacred sites where the souls of their ancestors rest. In the zones of Production Forest, as well as in Conservation Forest, job opportunities such as in timber management and in the recreation business are also offered to the communities. Based on the history of their existence and their occupation of forest areas, and the norms and rules they apply in their daily life, communities can be grouped into three main categories as follows: Customary Community: Such communities are comprised of people holding customary land (tanah ulayat) as their territory on which they maintain their sovereignty. They are native to the forest land where they live and use their own norms and rules to regulate their communications and relationships within their community and with others. They live in harmony with the forest by applying their traditional knowledge and local wisdom to manage natural resources and environment. Based on Agrarian Minister Regulation No.5/1999, their existence and their associated land (tanah ulayat) should be identified and legalized through district-level Regulations (Perda). Once the existence is legally acknowledged by Perda, the community has the right to hold and manage its forest land as customary forest land within the state forest. Unfortunately, only a few District Governments have yet issued such Perda. The only Perda that has been issued is for Seko community at Luwuk Utara District, while for communities of Kasepuhan Cibedug at Lebak District, and of Namblong at Jayapura District are still in the formulation process.
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
16
This is partly caused by the complicated criteria used in identifying the existence of the community, and the potential conflicts which may arise among communities in determining the boundaries of their tanah ulayat. In addition, community's rights acknowledged by Forestry Act have not been spelled out in detailed regulations. As yet, these communities' rights over forest land are still uncertain. From the government's perspective the rights to be granted to Customary Community over forest land should include rights to: a. Manage and utilize forest resources by using traditional knowledge and local wisdom taking into account the main function assigned to the forest zone where the tanah ulayat is situated. In this case, the knowledge and wisdom applied by the community should comply with technical or silvicultural techniques required by the government; b. Bequeath its tanah ulayat to its descendants as long as they still belong to the customary community. However, the community is not allowed to transfer the tanah ulayat and related rights to any party outside the community; c. Get information about and be involved in any development plan that relates to community's tanah ulayat Local Community: Such communities are comprised of people that have been living in the forest for some generations, but no longer hold to strictly traditional norms and rules in regulating their communications and relationship within their community and with others. They are not committed to applying their traditional knowledge and local wisdom in utilizing natural resources and maintaining the environment. Some of the family members of such communities have migrated to the cities to get jobs and make a better living, but they still have an emotional link with their land. This type of community can be found in almost all parts of Indonesia, within Production Forests, Protection Forests and even in Conservation Forests. Ideally the government registers and maps their existence in order to recognize their rights and control their land uses. In some cases their existence is legally recognized by the government of the District; however such communities hold only limited rights compared to those held by customary communities. Some rights and restrictions, as set out below, are normally applied to land utilization in forest zones by members of such Local Communities: a. They are not given rights to manage the forest but are granted permits to access and utilize land and resources in the forest zone in accordance with agro-forestry principles set by the government. Even though they could bequeath the land to their descendants, they are not allowed to expand their occupation nor to transfer their rights to other people; b. Rights to be informed of any development plan related to the land where they live on, and to participate actively in the formulation of the plan; c. Rights to be involved in any development program
17
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
and other economic activity around their neighbourhood; d. Rights to apply local norms and traditional knowledge in utilizing land resources of the forest where they live, as long as they meet the terms of sustainable forest management. In addition, they could get technical assistance for their participation in any forest program implemented by the government. e. They could form a cooperative to get small concession to manage and utilize forest resources using the existing government regulation. Newly Arrived Community: This type of community is comprised of people who have no history of settlement in forest zones. Many used to live in urban areas but possess no legal land or secure employment so they move to the fringes of, or within, the forest zone. Some are people who intentionally expand their land 'ownership' by clearing forest and settling on land that has not been intensively managed and/or developed by the government. They have no rights over forest land and any of the resources thereon since their occupation of forest land is considered to be illegal. However, in many cases, the government has legalized their existence, has developed their neighborhood into a kampung/desa or hamlet/village and has built public facilities such as a mosque and/or a church, puskesmas or community health center, and others, to be managed by the kampung under leadership of the chief of the village. In such cases these lands have then been excised from the forest zone as an enclave. Since the community still depends on the forest products from the forest zones the government gives them very limited rights over forest land and the resources thereon as follows: a. They are not given rights to manage the forest, but are only allowed to utilize non-timber forest products from the forest zones where they live, b. Rights to be informed on any development related to their neighborhood, c. Rights to be involved in any forestry development program or economic activities being carried out on the fringes of or within the forest, d. They could form a cooperative to get a small concession to manage and utilize forest resources under existing government regulations.
The conflicts Conflicts between communities and the government or between community and forest concession holders are mainly triggered by overlapping uses of forest land and/or utilization of timber and other forest products from the forest. Based on observations made by government and NGOs, the conflicts can be categorized as: i) forest land use conflicts, ii) conflicts related to forest management and utilization, iii) conflict over activities and, iv) conservation conflicts. Forest land use conflicts Conflicts related to land use occur in almost all
provinces outside Java where community lands have been included in the forest zone. This is mostly caused by the absence of community participation in the forest delineation and forest boundary making when the provincial government made forest zone allocation on the Consensus Forest Land Allocation Map (CFLAM) without considering the existing land uses, as happened in West Lampung District. Other cases also occur when the Ministry of Forestry has extended the area of National Parks to include community lands surrounding the parks, as happened with the enlargement of Gunung Halimun National Park. In these cases the community suffers in two ways. Firstly, the community, especially a local community, suffers from a loss of opportunities to get land title to own the land, since the land has been included in forest zone. With no ownership title, the community only has the right to use the land for housing and farming, but it can not be transferred to other party. For a customary community, such a situation does not affect its opportunity to get recognition from local government (district); while for a newly arrived community the delineation of the forest zone makes it clearer that its existence is illegal. Secondly, the delineation and boundary marking of the forest zone forces the community to use the land in accordance with rules applied to forest zone according to their specific function e.g. for protection of soil and water system or for conservation of genetic resources. In such cases a community is not allowed to cut trees nor till the land (ie. it is not allowed to plow nor to harrow the land). Conflicts between communities and the government occur when the communities clear the forest or practice various forms of shifting cultivation or use the forest zones for permanent agricultural expansion. Other forest clearing may also be executed by a community to extend its hamlet to accommodate the growing population. In past times, the government responded to what it perceived as violations by conducting evictions of such communities from the forest zone, actions that in almost all cases provoked turmoil. Therefore, to improve its policy and action, in the 1990s the government conducted resettlement projects, within the framework of the transmigration program, to develop land as new settlements for forest encroachers, particularly in Sumatera and Kalimantan. Unfortunately due to the financial and technical problems these projects were terminated in 1998. Conflicts related to forest management and utilization This type of conflict occurs mostly in Production Forests that have been granted to concession holders for timber management. Conflict is caused by overriding a community's rights over timber and other forest products by the issuance of a timber concession. Conflicts are also caused by the different schemes of forest management, between those applied according to the traditional knowledge held by the community
and those imposed by government to be applied by concession holders. Customary and local communities suffer from this type of conflict. Under the management of the concession holders, the forest is scheduled to be cut in consecutive blocks for timber production over 20 years in accordance with the procedures set by the government. On the other hand, the communities are only given very limited rights to utilize timber and other forest products for their subsistence. The different values and norms held by the communities and the concession holder have also triggered conflicts. In most cases, concession holders, in maximizing their operations, have to harvest all marketable species of timber found in the forest, while the communities with their traditional norms and values seek to conserve some timbers and keep some places intact. Conflicts between these parties very often take the form of protests followed by acts of destroying forest infrastructure (e.g. roads, bridges, camps, etc) and the seizure of logging vehicles by community members. This has happened in almost all parts of Sumatera, Kalimantan and Papua, where logging operations often face protests from, and confrontations by, customary and local communities. Unfortunately these conflicts are often resolved only in ad hoc ways, such as by paying compensation or by involving some members of the community in the logging operations. For such reasons, and with the aim of seeking a better resolution of such conflicts, since 1980s, the government has made it compulsory for concession holders to implement community development programs within their working area during their tenancy. Conflicts of Activities Environmental disturbances often result from all kinds of forestry activities which may also cause inconvenience to communities living in the forest zone. The construction of logging roads, cutting trees in the forest and timber hauling on the road are some examples of disturbances to the community's life. Such disturbances may never have been experienced by the community members before the forests were allocated as production forest and were given to investors for timber extraction. To customary communities, these activities are not merely a disturbance; they are to some extent perceived as violations against the norms held by the community on its ancestral land. In some cases where such logging activities have been conducted, communities could only protect their land by trying to stop the activities, such as by blocking road that lead to sacred sites. In other cases, communities protest against the logging plans which are to be implemented on their land. On the other hand, however, the existence of the community and its activities to some extent disrupts the operation of forest exploitation. There are some
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
18
traditional events that have to be celebrated and people are not allowed to work. These often bring to a halt all activities in the forest and logging operations may stop for the whole day. In addition, there are beliefs that some species of trees are not allowed to be cut, while certain place have to be maintained intact as sacred sites. This may oblige logging operators to change their plans and redesign their skidding and hauling systems. Conservation conflicts Conflicts between traditional rules with formal restriction on the utilization of some species of flora and fauna are the cause of the so-called conservation conflicts. Based on beliefs held by the communities, some species of flora and fauna are believed to have special meaning for their life or in their rituals and special events; while those same species are considered by law to be endangered species. People who living in the fringe of Manupeu-Tanadaru National Park, West Sumba District, believe that by using mayela timber for the pillars of their traditional houses their families will be protected from any disturbances and diseases.
2.
They also believe that the sacred pillar will bring prosperity to their families. As a matter of fact, mayela timber is the only hardwood that can be found in the park. The timber has mechanical properties suitable for building and construction while other species can be best used as furniture and fuel wood. As a hardwood species the mayela tree grows very slowly in the savanna-like ecosystem, while the population living in surrounding the park is growing faster, so that demand for mayela timber is know higher than the growth of that species. The government has categorized mayela tress as an endangered species that should be protected from any utilization that leads to extinction. The community, however, will not stop using the timber until it no longer found in the park. As long as it is available, the community still believes that the timber can not be substituted by other timber outside the park.
3.
Lessons learned and Recommendations Conflicts related to forest zoning in Indonesia are basically caused by the absence of formal acknowledgement from the government side of the existence of communities living in the forest zones. The problems started with the designation of forest zones in each province, followed by the management and allocation of these resources in ways that are overly controlled by government. Such control by the government over the forest zone and of forest resources, has been criticized for not paying sufficient attention to the community's existence and their related rights. Specifically, controls implemented by the government generate conflicts in the following situations: 1. The government with its mandate to designate the state's permanent forest did not involve communities in assigning forest zones and delineating them on the spatial plan map. There
19 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
4.
were no common (agreed) criteria used by the government and the people for categorizing lands falling in the forest zone. In addition, the government failed to involve people in delineating forest boundaries and in identifying communities' lands as enclaves. As a result, communities' land are included into state's permanent forest implying that the communities have limited rights over lands that have long been their 'own land' (In formal land administration, ownership of the land is proven by the grant of Land Ownership Title by the National Land Agency. In almost all cases, communities have no such titles, since they cannot afford to comply with complicated procedures and costs involved in getting them). However, this situation could be corrected in the process of formulating district spatial plan and in the process of forest boundary marking, by involving representatives of the communities. Until recently, no local government has issued District Regulations recognising the existence of a Customary Community and its Associated Land (CCAL), therefore the position of CCAL in the forest zone is still uncertain and communities' rights over forest land and the resources therein are restricted and under control of the Ministry of Forestry as part of the government system. In this situation, the community is treated as local community that only has access to use the land and utilize the resources thereon under strict supervision and according to procedures set by the government, without the rights to manage the land and resources according to their own knowledge. It is recommended, therefore that the criteria used in determining CCAL be simplified to enable District Governments to issue District Regulations recognizing the existence of CCAL. So far the Government does not recognize traditional knowledge in the management of forest resources. A strict procedure is required in planning and operating forest concession without considering traditional wisdom that has long been practised by communities. In addition, the Government has no procedure to regulate and appropriately control the role of customary communities in the management of the forest resource and in timber harvesting operations. This will be a potential problem once the existence of CCAL is determined by District Regulations. An immediate effort should be conducted to formulate such regulations involving all related stakeholder and local governments. The existence of Customary Communities, Local Communities, and Newly Arrived Communities in the forest zones are facts that can not be denied. While the government lacks sufficient means to exclude them from the forests, it will be appropriate if the communities are taken into account as one of the actors in the management of the zones, whatever rights are then accorded to the communities. In addition, as forest land has a
5.
6.
social function, such as in maintaining soil stability and protecting genetic resources, the government should issue appropriate types of land rights to ensure that lands held by communities cannot be transferred to other parties. As the spatial plan established directives on the potential uses of forest zones, without mentioning ownership of the land, it would be more appropriate for the government to focus its efforts on maintaining and enhancing forest functions, taken into account the existing land occupancies. In this context, the government has to control and secure forest areas that are under its jurisdiction and that should not be utilized other than as forest, regardless of who occupies the land. Overall, there is a need to review and redefine the terms of state control over forest land to clearly include the government's obligation to: i) involve people in all decision making which potentially has impacts on people, ii) give technical assistances to people in managing forest land and resources, iii) assist people in building connections with other parties in managing their forest lands and resources.
References: Harsono B. 1997. Hukum Agrarian Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1, Hukum Tanah Nasional. Penerbit Djambatan. Machmur A.S (ed). 1999. Dinamika Proses Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.41/1999 tentang Kehutanan. Departmen Kehutanan dan Perkebunan Ross M.S. 1984. Forestry in Land Use Policy for Indonesia. Thesis for Degree of Doctor of Philosophy. University of Oxford. Santoso I. 2004. Participatory Forest Land Use Planning in Manupeu-Tadaru National Park. RI EU Forest Inventory and Monitoring Project. Jakarta. Sumardjani L. 2006. Konflik Sosil Kehutanan. Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Forest Land Tenure Working Group. Suwito. 2006. Sallombengang Sekko: “Untaian Pernik Manikam” di Tanah Seko. Seputar Kasus Tenure. Warta Tenure Edisi Khusus, No.1-Januari 2006.
*) Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang, Departemen Kehutanan
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
20
Memberi Ujung Pada
Konflik Agraria Oleh: Iwan Nurdin *)
D
alam struktur agraria yang timpang seperti yang tengah terjadi sekarang, konflik agraria adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Karena itu, konflik agraria yang marak belakangan ini bukanlah sebuah sengketa biasa semata, namun merupakan fenomena yang kental politik. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat memperlihatkan hal tersebut (S.Sunito: 2006): Pertama, peningkatan konflik kasus-kasus sengketa tanah terjadi paralel dengan perubahan dalam konfigurasi kekuasaan di Indonesia. Terutama dengan diadopsinya pendekatan ekonomi liberal yang disertai oleh sistem pemerintahan otoriter masa Orde Baru. Kedua, sengketa agraria yang marak telah melatar belakangi pengorganisasian petani dan masyarakat adat. Ketiga, sengketa agraria menyulut berkembangnya diskursus mengenai konsep-konsep baru tentang sistim penguasaan, manajemen tanah serta sumberdaya alam lain. Konsep ini pada intinya merupakan koreksi dari sentralisasi berlebihan dan ketimpangan penguasaan dari sumber-sumber agraria. Keempat, data konflik agraria yang ada memperlihatkan bahwa sebagian besar konflik ada pada sektor-sektor seperti perkebunan, kehutanan, kawasan industri- yang mengindikasikan konflik-konflik yang menyangkut orang banyak, komunitas sebagai keseluruhan dan menyangkut instansi-instansi pemerintah. Kelima, sengketa-sengketa agraria kini melibatkan kekerasan massal, pengerahan aparat keamanan dan preman, penahanan petani dan korban jiwa. D e n g a n i n d i k a t o r- i n d i k a t o r d i a t a s , m a k a sengketa/konflik agraria masa kini tidak dapat disebut sengketa/konflik biasa, namun sengketa-sengketa tersebut mempunyai akar kedalam struktur dan sistim kekuasaan serta sistem ekonomi dominan yang tengah berlaku. Melihat kekerasan dalam konflik agraria, Gunawan (2007) dalam Laporan Tahunan Perhimpunan Bantuan
21 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengemukakan bahwa terdapat alur umum kekerasan yang selama ini terjadi di dalam konflik agraria yaitu: (1) ia merupakan bagian proses bekerjanya akumulasi modal atau capital violence; (2) dalam operasinya bersinergi dengan alat kekuasaan dan lembaga negara (state violence), dan semakin paripurna jika telah dibingkai oleh hukum (judicial violence). Akhirnya, hukum semata-mata bekerja untuk melegalkan kekerasan itu sendiri. Di sinilah titik utama kelemahan bekerjanya hukum positif kita bekerja selama ini: mereproduksi kekerasan. Maka, dengan mudah kita menemukan bahwa penyelesaian secara hukum dalam konflik agraria adalah proses legal dalam membungkam dan mengalahkan pihak korban. Tidak sulit bagi kita menemukan benih dari tiga pilar kekerasan tersebut bekerja di tengah rakyat. Sebagai contoh, masyarakat petani di Jawa menganut prinsip sadumuk bathuk sanyari bhumi; ditohi pati. Artinya kurang lebih: meski sejengkal, tanah adalah harga diri yang akan dipertahankan sampai mati. Sementara, prinsip dominan yang dianut kekuasaan adalah pengalokasian tanah kepada kelompok yang dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi paling maksimal. Dan sudah pasti kelompok yang diharapkan oleh pemerintah bukanlah petani. Bingkai hukum dari prinsip kekuasaan agraria model ini mudah kita temukan dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan. UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No.18/2004 tentang Perkebunan. Sementara, UU yang melindungi hak-hak agraria rakyat seperti UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar PokokPokok Agraria (UUPA) dikebiri oleh sejumlah PP yang dilahirkan kemudian. Sehingga, ketika hukum tersebut dijalankan dan berbenturan dengan masyarakat telah menyulut korban jiwa seperti di Alas Tlogo Jawa Timur beberapa waktu lalu (Nurdin:2007).
Kerugian Akibat Konflik Data dari BPN menyebutkan bahwa jumlah sengketa yang tercatat pada tahun 2006 berjumlah 1.423 kasus, sedangkan konflik berjumlah 322 kasus, perkara 1.065 kasus. Sehingga total kasus adalah 2.810 kasus.
Kemudian, pada data tahun 2007 jumlah sengketa yang tercatat menjadi 4.581 kasus, konflik berjumlah 858 kasus, dan perkara 2.052 kasus sehingga total kasus menjadi 7.491 kasus. BPN memberikan kategori bahwa sengketa adalah jenis permasalahan tanah yang tidak melibatkan masyarakat banyak dan bukan disebabkan oleh persoalan kebijakan secara langsung. Sementara, konflik adalah permasalah tanah yang bersifat struktural dikarenakan kebijakan pemerintah dan melibatkan masyarakat banyak. Sementara, perkara adalah permasalahan tanah yang dilimpahkan penanganannya melalui pengadilan. Dari data tersebut, BPN menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan, digunakan secara optimal seluas 607.886 ha atau seluas 6.078.860.000 m2. Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp 91,1829 triliun. Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10%, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 triliun. Jadi sesungguhnya pemerintah telah menghitung sendiri bahwa kebijakan-kebijakan pertanahan yang saat ini sangat amburadul itu dan telah merugikan negara dan rakyat begitu besar. Sebagai pembanding, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik baru yang bersifat struktural yang dilaporkan kepada lembaga ini pada tahun 2007 saja berjumlah 80 kasus di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor p e r k e b u n a n d a n k e h u t a n a n . Ta n a h y a n g dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK di antaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang tewas (1 polisi, 2 satpam dan 6 warga). Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, dimana 129 orang di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar (Laporan Akhir Tahun KPA 2007).
Langkah BPN Menyelesaikan Konflik Agraria Memasuki era reformasi, selain melalui jalur pengadilan, sejak tahun 1999, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengembangkan suatu tata cara penanganan sengketa pertanahan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. Dengan Peraturan ini, tata cara, prosedur kerja beserta tanggung jawab dari penanganan sengketa pertanahan dilakukan secara seragam. Dengan harapan bahwa
upaya penyelesaian sengketa tanah dapat dipercepat dengan cara mengatur kembali tata cara penanganannya secara terkoordinasi antar unit kerja di lingkungan kantor Menteri Agraria/BPN dan instansi lain. Secara kelembagaan, BPN kemudian membentuk satu unit kerja berupa sekretariat penanganan sengketa pertanahan yang anggota-anggotanya bertanggung jawab kepada Deputi Bidang Hak-Hak Atas Tanah. Sekretariat tersebut bertugas untuk: (1) Menerima dan mencatat semua sengketa yang masuk baik yang disampaikan secara tertulis maupun lisan, (2) Meneliti masalah yang disengketakan untuk menentukan apakah perlu atau tidak dibentuk tim kerja yang akan ditugasi menelaah dan merumuskan kebijaksanaan dan atau langkahlangkah penyelesaian sengketa bersangkutan, (3) Jika dirasakan perlu untuk membentuk tim kerja tersebut maka sekretariat dapat mengusulkan tim tersebut, (4) Memonitor tahap-tahap penyelesaian serta dapat memperingatkan tim kerja pengolah sengketa pertanahan mengenai sengketa yang belum diselesaikannya, serta (5) Secara periodik membuat laporan mengenai penyelesaian sengketa kepada Kepala BPN melalui Deputi bidang hak-hak atas tanah. Seiring dengan diberlakukannya peraturan ini maka sejumlah sengketa pertanahan yang telah masuk dan dalam proses penanganan pada unit-unit kerja di BPN beserta usulan penyelesaian sengketa yang disampaikan oleh Kanwil BPN ataupun Kantor Pertanahan untuk selanjutnya mengalami penyesuaian yang berdasarkan atas peraturan ini. Termasuk juga dengan dihentikannya pembentukan dan kerja-kerja tim penyelesaian sengketa sebelumnya (lampiran mekanisme kerja peraturan). Dari langkah dan pembentukan kelembagaannya, nampak sekali bahwa perhatian BPN sesungguhnya sangat kecil dalam memandang konflik agraria. Tidak heran, konflik agraria yang dilaporkan semakin menumpuk dan tidak dapat terselesaikan. Baru pada tahun 2006 melalui Perpres 10/2006 tentang BPN pemerintah memandang perlunya usaha lebih serius dalam menyelesaikan sengketa pertanahan dengan adanya kedeputian khusus yang menangani sengketa/konflik pertanahan. Harapannya, kedeputian ini menjadi unsur terpenting dalam menjawab konflik agraria di Tanah Air yang dapat diselesaikan melalui kewenangan BPN. Namun, seperti telah dirasakan oleh masyarakat tak ada kemajuan berarti dalam penyelesaian konflik agraria yang telah terjadi dan konflik agraria baru terus berlangsung. Usaha BPN dalam menyelesaikan konflik agraria yang tengah terjadi melalui Perpres 10/2006 salah satunya adalah menjalin Memorandum of Understanding (MoU) dengan Mabes Polri. Namun alih-alih menyelesaikan secara adil, mengundang polisi masuk kedalam konflik agraria justru meningkatkan penangkapan dan kriminalisasi para petani dan masyarakat adat yang
LAND 10
FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
22
menjadi korban dalam konflik agraria.
Usaha Lembaga Negara Maraknya konflik agraria di tengah keterbukaan politik selama reformasi telah membuat semakin banyak kalangan yang prihatin. Bahkan, telah menarik perhatian dan keterlibatan politik lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, Komnas HAM, untuk turut menyelesaikan persoalan ini. Hal ini terlihat dari lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Melalui ketetapan ini, lembaga tertinggi negara MPR (waktu itu), memerintahkan pemerintah untuk segera melakukan pembaruan agraria dan melakukan pembenahan kerangka kebijakan agraria yang sektoral dan tumpang tindih. Namun, minimnya komitmen politik pemerintah yang dibarengi oleh perubahanperubahan penting dalam konstitusi mengenai kedudukan lembaga-lembaga negara, perubahan tata urutan perundangan, telah membuat implementasi TAP MPR ini menjadi terkatung-katung. Sebab, tak ada lagi kewajiban langsung dari presiden menjalankan TAP MPR ini. Sepanjang tahun 2002-2003, merespon banyaknya konflik agraria yang dilaporkan kepada Komnas HAM, lembaga negara ini bersama kalangan NGO kemudian menggagas pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Dalam pandangan Komnas HAM, pengadilan belum memberikan keadilan bagi masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria sementara lembaga-lembaga lainnya seperti Pemda, DPR, Komnas HAM yang turut mendapatkan laporan dari para korban tidak mempunyai wewenang dalam menyelesaikan konflik agraria. Oleh sebab itu, diperlukan lembaga independen yang menangani konflik agraria (Naskah Akademik KNuPKA:
23 FEBRUARI 2009 - APRIL 2009
LAND 10
2004). Dalam usulannya, lembaga ini kelak diharapkan menyelesaikan konflik agraria dimasalalu dengan prinsip transisional justice seperti yang berlaku di Afrika Selatan semasa peralihan rezim apartheid ke rezim demokratis. Namun, usulan resmi Komnas HAM ini ditolak oleh pemerintah pada tahun 2005 melalui surat jawaban Mensesneg Yusril Ihza Mahendra kepada Komnas HAM pada waktu itu. Pemerintah menjawab bahwa persoalan konflik agraria dapat diselesaikan dengan melakukan revisi terhadap UUPA 1960 dan memperkuat fungsi dan kelembagaan BPN. Dan, usaha pemerintah terkait dengan revisi UUPA masih terus berjalan, sementara penguatan kelembagaan BPN kemudian diatur dengan Perpres No.10 2006. Hasil dari penguatan kelembagaan BPN telah diuraikan secara singkat di atas.
Penutup Di akhir tahun 2006, sebenarnya BPN juga melakukan dorongan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang salah satu tujuannya menyelesaikan konflik agraria. Anehnya, meski bertujuan demikian dalam rencana implementasi PPAN menutup ruang partisipasi masyarakat secara langsung. Sampai sekarang, program ini belum mendapatkan payung hukum dari pemerintah. Lepas dari konsepnya yang mengundang perdebatan, kemandegan PPAN sebenarnya juga telah membuktikan masih begitu kuatnya ketidakpercayaan di dalam tubuh pemerintah bahwa Reforma Agraria adalah jawaban dari krisis dan konflik agraria yang tengah berlangsung sekarang. Padahal, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya reforma agraria. Entah butuh berapa
*) Koordinator Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Sengketa timbul karena
Luas serta
Kebutuhan
akan tanah yang semakin tinggi,
tanah yang tetap sementara jumlah penduduk bertambah,
Ketimpangan Sikap
dalam penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah,
masyarakat dan sudut pandang kepemilikan tanah
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT