Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
762634
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 07, Mei - Juli 08
Peran Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria
Pelaksanaan UUPA Dan Permasalahannya
Keterangan Cover
Land Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
762634
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 06, Feb - April 08
Peran Tata Ruang dan Tata Guna Tanah
NEGARA melaksanakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran RAKYAT (Pasal 7 UU. No. 26 tahun 2007)
Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria
Pelaksanaan UUPA Dan Permasalahannya
Cover Depan Foto : LMPDP/MAP Lokasi : Manggarai - Jakarta
Cover Belakang Foto : LMPDP/MA Lokasi : DKI Jakarta
3
dan Reforma Agraria
Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang pada umumnya untuk kepentingan petani, buruh tani, rakyat kecil dan sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria. Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita. Namun, dalam semangat merevitalisasi pertanian kita, hendaknya dihindari jebakan dengan hanya mengatasi penyakit-penyakit hilir tanpa keseriusan dalam menuntaskan akar soal yang ada di hulu. Ada beberapa hal yang harus disepahami terlebih dahulu, sebelum kita sampai pada pokok bahasan mengenai perlu/tidaknya atau mendesak/tidaknya penyusunan legislasi “Lahan Pertanian Pangan Abadi”. Pertanyaan kuncinya: Bagaimana politik agraria dan kondisi agraria terkini? Sejauhmana pemerintah menjawab problem pokok agraria tersebut? Apa agenda utama yang mendesak dilakukan bangsa ini?
Land
Bulletin LMPDP
dan Permasalahannya
DARI REDAKSI
Lahan Abadi Pertanian
9
Pelaksanaan UUPA Pelaksanaan UUPA walaupun sudah berusia 48 tahun ternyata masih belum berjalan setara dan sistematis sehingga tujuan UUPA berupa pemanfaatkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat belum terwujud. Pelaksanaan Rencana Tata Guna Tanah dalam rangka mewujudkan keadilan melalui penataan, penguasan dan pemilikan tanah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian yang perlu menjadi perhatian utama adalah bagaimana melaksanakan Pasal-Pasal utama UUPA secara bersistem untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sampai saat ini belum terwujud?
4
Peran Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Lahirnya undang-undang otonomi daerah (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) merupakan tantangan sekaligus harapan bagi pemerintah guna meningkatkan kemampuan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam pengelolaan dan penataan ruang. Dan sejak Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditetapkan, setiap kabupaten/kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten di kotanya. Undang-Undang ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menjelaskan bahwa tujuan dari penatagunaan tanah adalah menciptakan kesesuaian antara penguasaan tanah, penggunaan tanah, dan pemanfaatan tanah pada fungsi kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah. Namun pada kenyataannya, masih banyak kendala dari kedua instansi terkait untuk berkoordinasi dalam mengembangkan suatu keterpaduan sistem penataan ruang dan penatagunaan tanah. Kita membutuhkan rencana tata ruang yang lebih operasional dalam memberikan dasar penatagunaan tanah/ruang dan akan menjadi dasar pertimbangan dalam menerbitkan sertifikat hak atas tanah.
14
Dari Redaksi Bappenas Salah satu unsur kebijakan dalam pengelolaan pertanahan yang penting adalah kebijakan dalam aspek penggunaan tanah. Dari sisi pemegang hak atas tanah kebijakan pokoknya adalah bahwa tanah yang diberi hak harus dipergunakan dan tidak boleh dibiarkan terlantar (hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dan ketentuan lainnya dalam UUPA), sedangkan dari sisi Negara sebagai penanggung-jawab pengelolaan seluruh tanah di Indonesia kebijakan pokoknya adalah bahwa tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pasal 33 ayat 3 UUD). Kebijakan pokok tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang dan penatagunaan tanah. Namun demikian sejak UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menjabarkan kebijakan pokok di atas dan Undangundang Tata Ruang yang pertama (UU Nomor 24 Tahun 1992) disahkan dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penggunaan tanah masih terus menjadi masalah pokok dalam pengelolaan pertanahan. Dalam Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (KKPN), yang disusun berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para pemangku kepentingan bidang pertanahan yang berasal dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah, masalah penggunaan tanah diidentifikasi dengan rumusan “belum optimalnya penggunaan tanah”. Sebenarnya kondisi sekarang menunjukkan bahwa masalah penggunaan tanah adalah lebih serius dari sekedar “belum optimal”. Sengketa penggunaan tanah antar berbagai kepentingan dan subyek hukum (antar sektor, antar individu dan korporasi), penggunaan tanah yang boros dan merusak lingkungan, bahkan penggunaan tanah yang anasional dan melecehkan harga diri bangsa seperti pengurangan massa tanah dalam negeri untuk menambah massa tanah negara tetangga masih marak dan jelas lebih merugikan daripada masalah “belum optimalnya penggunaan tanah”. Pertanyaannya adalah apakah perangkat kebijakan yang dituangkan dalam berbagai produk hukum yang ada sekarang sudah cukup untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Kiranya masih banyak yang harus dikerjakan di tingkat perumusan kebijakan untuk mewujudkan kebijakan pokok yang telah disebut di muka. Berbagai masalah operasional, seperti pembagian kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah, perimbangan kepentingan antar sektor dan antar kelompok masyarakat dalam penataan ruang, mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang/tanah, masih perlu dirumuskan kebijakannya. Artikel dalam Edisi Bulletin Land kali ini menyajikan sebagian kecil dari hal-hal yang perlu diperhatikan dalam elaborasi kebijakan pokok mengenai penggunaan tanah dalam konteks penataan ruang. Masih banyak hal-hal lain baik teknis maupun prosedural yang harus diperhatikan dalam proses perumusan kebijakan yang lebih operasional. Walaupun demikian diharapkan sumbangan pemikiran ini akan membantu dalam proses tersebut.
Redaksi
3 MEI - JULI 2008
Land
Edisi 05, Nov 07 - Jan 08 ISSN 1978-7626
diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP
Pelindung
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah - Bappenas
Penanggungjawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Pemimpin Redaksi
Ir. Rinella Tambunan, MPA
Dewan Redaksi
J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA Ing. Andreas Groetschel, Dipl. Agr., Msc Ir. Salusra Widya, MA Ir. Nana Apriyana, MT Dr. jur. Any Andjarwati Sudira, S.Sos
Editor
B. Guntarto Khairul Rizal
Redaksi
Esther Fitrinika Zaenal Arifin Arrie Faizal Idham Khalik
Desain & Layout
Dica.H
Distribusi & Administrasi
Nerry.G Nunik P (Sekretariat Komponen-1 LMPDP)
Alamat Redaksi
Jl. Latuharhary No. 9 Jakarta 10310 Phone (021) 310 1885-87 Fax (021) 390 2983 www.landpolicy.or.id E-mail :
[email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca. Tulisan/artikel dalam bulletin ini tidak selalu mencerminkan opini pengelola program LMPDP (PIU-Bappenas)
LAND 07
Pelaksanaan UUPA Dan Permasalahannya Oleh: S. B. Silalahi*)
D
alam Alkitab “Penuntun Hidup Berkelimpahan” (Penerbit Gandum Mas, Malang tahun 1994) pada kitab Kejadian 1, bagaimana Allah menciptakan bumi langit dengan segala isinya menurut suatu rencana dan tatanan tertentu, sehingga semua ciptaannya itu baik adanya. Semua ciptaannya itu sempurna dan baik, sehingga Allah memberkati semua ciptaan-Nya itu. Allah menciptakan manusia secara khusus menurut gambar dan rupa Allah, agar manusia itu dapat bersekutu dengan Allah, mengenal, menghormati, mentaati-Nya dan memiliki keserupaan moral dengan Allah, karena manusia itu tidak berdosa dan kudus memiliki hikmat hati yang mengasihi dan kehendak melakukan yang benar di hadapan Allah.
ini diteruskan pada semua manusia, termasuk pada bangsa Indonesia.
Manusia Adam dan Hawa ditempatkan di Taman Eden terletak di dekat dataran sungai Efrat dan Tigris, letaknya di wilayah Iraq sekarang. Kepada manusia ciptaan-Nya itu, Allah memberkati untuk beranak cucu dan bertambah banyak dan menguasai bumi memanfaatkan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta memeliharanya dengan baik untuk memuliakan Allah. Masa depan seluruh ciptaan-Nya diserahkan kepada kekuasaan manusia.
Menurut Hasan (1998) pada Seminar Nasional Pertanahan di Yogyakarta dalam Al-Qur'an terdapat sekitar 420 ayat tentang penataan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, termasuk sewa dan bagi hasil. Menurut teman-teman yang beragama Hindu dan Budha, hal yang sama juga dijumpai dan diatur baik dalam kitab suci agama Hindu maupun agama Budha. Bahkan masyarakat tradisional menjaga, menata, dan memanfaatkan alam sekitarnya dengan arif dan bijaksana.
Pada Kitab Kejadian 3 tentang kejatuhan manusia, dimana ular digunakan iblis menyerang Allah melalui ciptaan-Nya Adam dan Hawa dan kematian moral dan rohani langsung terjadi, sedangkan kematian jasmani baru dialami kemudian. Kematian moral merupakan kematian hidup Allah di dalam diri manusia, tabiat mereka menjadi penuh dosa, kematian rohani berarti bahwa hubungan mereka dengan Allah sudah hancur sejak dosa Adam dan Hawa. Semua yang lahir memasuki dunia dengan tabiat berdosa, meliputi keinginan bawaan untuk mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperhatikan Allah atau sesama dan pencemaran
Bagaimana hebatnya dan uniknya penataan langit, bumi, tanah, air dan udara, serta kekayaan yang ada padanya dapat dibaca dalam Alkitab. Dalam Alkitab ada 1200 kali didapati kata tanah yang berkaitan, bagaimana harusnya manusia memelihara, mengolah, menata tanda batas, menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan, bagi hasil, sewa, gadai, pinjam, pewarisan dan lain-lain, sehingga diperoleh rasa keadilan keamanan dan kelestarian. Hal yang sama juga diatur untuk bumi, air diatur dengan baik, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Atas dasar hal-hal yang telah diungkap di atas, apabila dilihat, baik pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sangat sarat dengan apa yang terdapat pada keseluruhan kitab suci tersebut dan tercermin dari isi pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, sehingga UUPA masih relevan dan sampai saat ini belum direvisi. Haknya peraturan pelaksanaan belum semua dibuat walaupun usianya sudah 48 tahun, atau hampir setengah abad.
LAND 07
MEI - JULI 2008
4
Salah satu yang luar biasa pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria terdapat pada “Berpendapat: mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong”. Dengan demikian yang menjadi masalah setelah 48 tahun UUPA pada tanggal 24 September 2008 yang perlu menjadi perhatian utama adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan pasal-pasal utama UUPA secara sistematis untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sampai saat ini belum terwujud? 2. Bagaimana pelaksanaan Rencana Tata Guna Tanah Penatagunaan Tanah dalam kaitan PasalPasal utama UUPA? 3. Mengapa dalam pemberian hak atas tanah tidak dicantumkan kewajiban pemegang atas tanah yang baik pada SK Hak Atas Tanah maupun dalam Sertifikat Tanah?
Pengelolaan Pertanahan ketika UUPA lahir Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda Bangsa Indonesia yang bersumpah: “Bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu” dan salah satu bait lagu Kebangsaan Indonesia Raya berbunyi: Indonesia tanah airku / Tanah tumpah darahku / Disanalah aku berdiri / Jadi pandu ibuku…… Baik Sumpah Pemuda maupun bait lagu kebangsaan tersebut mengingatkan kepada bangsa Indonesia dari Sabang di barat sampai Merauke di timur dan dari Miangas di utara dan Pulau Rote di selatan betapa strategisnya peranan tanah dan air bagi Bangsa Indonesia, baik sebagai sumber daya alam sumber hidup dan kehidupan bangsa Indonesia masa lalu, masa kini dan masa datang. Bagi bangsa Indonesia tanah dan air merupakan modal dasar utama untuk mewujudkan tujuan nasional yaitu terciptanya masarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan pertimbangan itulah maka setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa melihat bahwa tanah, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang ada di dalamnya begitu pentingnya sehingga pada tahun 1948 membentuk Panitia untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria. Dibutuhkan waktu selama 12 tahun dalam situasi multipartai, yang akhirnya pada tanggal 24 September 1960 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diundangkan
5 MEI - JULI 2008
LAND 07
dan dibentuk Departemen Agraria sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam menangani pelaksanaan UUPA ini, dan dipimpin oleh seorang Menteri. Departemen Agraria sebagai lembaga yang baru menghadapi berbagai macam masalah agraria sebagai warisan masa lalu yang sangat kompleks, seperti: a. Menghadapi peninggalan zaman Belanda dan zaman Jepang, dimana banyak penggarapan tanah perkebunan besar, tanah kehutanan, tanah milik perusahaan pemerintah Belanda dan sebagainya. b. Menghormati hak-hak atas tanah yang dikuasai orang asing. c. Menghormati hak-hak masyarakat adat, marga dan ulayat. d. Pengambilalihan kembali perusahaan perkebunan Belanda. e. Menertibkan dan rehabilitasi kembali kerusakan tanah dan lingkungan yang terus meningkat, karena banyaknya penggarapan tanah perkebunan dan kehutanan tanpa memperhatikan pemeliharaan tanah dan air. f. Penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah (Land Reform). g. Cara pelaksanaan “Land Use Planning” untuk menata penggunaan tanah. h. Keadaan administrasi pertanahan, warisan Belanda banyak yang terbakar, hilang, rusak dan dirusak. i. Keadaan administrasi pertanahan adat, ulayat, marga sebagian besar tidak tertulis, tercatat dan tidak ada petanya. j. Para pengemban UUPA diambil dari berbagai departemen, dimana masing-masing belum mengetahui cara penanganan UUPA secara sistematis. Pelaksana, pemikir yang sangat terbatas serta belum adanya persepsi yang sama untuk menangani secara sistematis. k. UUPA lahir pada saat dimana pelaksanaan hukum sangat lemah dan pemerintahan tidak stabil, serta kemauan politik melaksanakannya tidak konsisten. Hal ini dapat dilihat kelembagaan yang menangani UUPA selalu berubah. Cara penanganan penyusunan peraturan pelaksanaan UUPA dalam bentuk undang-undang maupun Peraturan Pemerintah berjumlah sekitar 44 buah tidak dapat dilaksanakan secara baik dan telah dibuat tanpa memperhatikan kaitan pasal-pasal utama secara bersistem sehingga tidak dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewajiban pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah dan mencegah kerusakan (Pasal 15), membatasi penguasaan tanah (Pasal 7, 10, 11, 13 dan 17), memelihara tanda-tanda batas tanah agar jangan terjadi sengketa tanah (Pasal 52), memberikan hak atas tanah yang sesuai dengan
peruntukan tidak pernah dilihat dalam kaitan pasalpasal utama UUPA. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan UUPA adalah Catur Tertib Pertanahan (Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup), hanya dapat diwujudkan melalui “Siklus Agraria”. Siklus Agraria, tidak dilaksanakan dalam kaitan kerja bersistem sesuai dengan kaitan pasal-pasal utama yang terdapat dalam UUPA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai akibatnya, sampai saat ini tidak ada kewajiban pemegang hak atas tanah baik dalam SK Hak Atas Tanah dan dalam Sertifikat Tanah sebagai sarana monitoring, kontrol dan evaluasi terhadap penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah. Oleh karena itu, sebenarnya ketika tanah sudah diterbitkan SK Hak Atas Tanah dan Sertifikat Hak Atas Tanah, hubungan telah terputus dengan pengelola UUPA, karena tidak ada sarana monitoring atau pengawasan apakah tanah itu dimanfaatkan sesuai dengan permohonan dan mewujudkan sebesar-besar kemakmuran sesuai dengan perkembangan waktu. Pada tahun 1968 ada peraturan tentang Fatwa Tata Guna Tanah yang kemudian dikuatkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1978. Peraturan ini sangat berguna sebagai sarana kontrol penggunaan tanah dan pemeliharaan tanah. Namun peraturan ini sudah dicabut dengan peraturan Menteri No. 6 Tahun 1986. Harapan semakin pudar, setelah Rancangan Undang-Undang Tata Guna Tanah yang sudah disampaikan pada Presiden tahun 1982 dikembalikan, karena masuknya Rancangan Undang-Undang Tata Ruang yang kemudian diundangkan tahun 1992 sebagai Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (direvisi dengan UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini menyebabkan pasal 14, 15, dan 52 dalam UUPA yang seharusnya diatur dengan undang-undang hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Peraturan itu tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, sehingga terjadi perubahan penggunaan tanah yang tidak dapat dikendalikan.
Kerja bersistem dalam UUPA dan Masalahnya Setelah lahirnya undang-uUndang No. 5 Tahun 1960 dan terbentuknya Departemen Agraria yang dipimpin seorang Menteri dalam rangka mengemban secara utuh dan terpadu UUPA dalam penataan kelembagaan dilakukan pembidangan sebagai berikut:
a. Bidang Hak Atas Tanah (Pasal 16) dilikuidasi dari Jawatan Agraria Departemen Dalam Negeri. b. Bidang Pendaftaran Tanah (Pasal 19) dilikuidasi dari Jawatan Pendaftaran Tanah Departemen Kehakiman. c. Bidang Land Use (Pasal 14,15), dilikuidasi dari Direktorat Tata Bumi Departemen Pertanian. d. Bidang Land Reform (Pasal 7, 10, 11, 13 dan 17), merupakan bayi kandung yang dilahirkan UUPA). Sebagai akibatnya para pelaksana UUPA menjadi berkotak-kotak sesuai dengan bidang dan pasalpasal UUPA yang diembannya. Para pelaksana/pegawai tidak pernah diajak oleh pimpinan untuk melihat UUPA secara utuh dan terpadu serta pasal-pasal utama penanganan UUPA harus secara bersistem dengan melihat sebagai berikut: a. Kebijakan Inti UUPA adalah Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4. b. Kebijakan penunjang adalah Land Reform di Pasal 7, 10, 11, 13 dan 17; Land Use (Tata Guna Tanah) Pasal 14, 15; Pengurusan Hak Atas Tanah Pasal 16; Pendaftaran Tanah Pasal 19; dan Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Pasal18. c. Kebijakan pelaksanaan yang seharusnya diatur dengan undang - undang atau peraturan pemerintah, jumlahnya 44 buah, tetapi karena situasi politik dan kemauan pemerintah, banyak diatur peraturan yang lebih rendah sesuai dengan perjalanan kelembagaan pengemban UUPA yang selalu berubah. Perlu dijelaskan bahwa yang memberikan sebesarbesar kemakmuran rakyat adalah pembangunan yang dilaksanakan di atas tanah itu (Pasal 2 ayat 3 UUPA) yaitu apa yang dibangun di atas tanah itu. Akan tetapi perlu diadakan monitoring dan kontrol, apakah pemohon hak atas tanah tersebut, sebagai perseorangan atau pengusaha tidak diperbolehkan untuk menguasai tanah yang berlebihan dan tidak sejalan dengan UUPA. Perlu dilakukan kontrol aspek penguasaan dan pemilikan tanah. Sebagai contoh penelitian Romdhoni (2005) di kelurahan Kamal kecamatan Kalideres Jakarta Barat ada yang memiliki bidang tanah 157 bidang dengan luas 16,88 ha. Sawah-sawah yang ada di Kelurahan Kamal sejak tahun 2003 telah dimiliki bukan penduduk etnis Betawi. Dari aspek tata guna tanah, perlu dilihat apakah pembangunan yang dilakukan sesuai dengan perencanaan penggunaan tanah dan prinsip pemeliharaan tanah dan air serta lingkungan dilaksanakan. Berdasarkan aspek land reform yang sering disebut aspek penguasaan/pemilikan tanah dan aspek tata
LAND 07
MEI - JULI 2008
6
guna tanah, sesuai dengan jenis pembangunan yang dinilai akan memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat bagi pemohon dan masyarakat di sekitarnya diberikan Pemberian Hak Atas yang sesuai, apakah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Meningkat Hasil Hutan maupun Hak Pengelolaan. Kemudian bidang tanah yang dimohon untuk pembangunan itu dilakukan penelitian aspek pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah (P2T). Dari pertimbangan-pertimbangan seluruh aspek tersebut dibuat SK Hak Atas Tanah sebagai dasar penerbitan Sertifikat Tanah. Apabila prosedur tersebut dilakukan dengan mudah dapat dicantumkan kewajiban-kewajiban pemegang Hak Atas Tanah baik dalam SK Hak Atas Tanah maupun dalam Sertifikat Tanah berkaitan dengan Pasal 52 UUPA. Dengan melakukan pertimbangan seluruh aspek-aspek pertanahan tersebut, pembangunan yang dilaksanakan pasti akan memberikan sebesarbesar kemakmuran bagi pemilik/penguasaha/pemerintah yang melakukan pembangunan. Demikian juga untuk masyarakat sekitarnya. Adanya pencantuman kewajiban-kewajiban pemegang hak atas tanah akan menjadi sarana monitoring dan kontrol bagi aparat pertanahan maupun pemerintah. Pada saat ini banyak tanah yang terlantar penggunaannya tapi pemerintah tidak bisa mengambil tindakan karena tidak adanya
kewajiban-kewajiban pemegang hak tercantum sebagai kewajiban harus dilaksanakan. Apabila dikemudian hari ternyata pembangunan tersebut tidak lagi dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ada pembangunan baru yang membutuhkan tanah dan dinilai berdasarkan pertimbangan aspek-aspek pertanahan serta perencanaan pembangunan memberikan sebesarbesar kemakmuran sesuai dengan perkembangan waktu, teknologi, sosial ekonomi, budaya dan lingkungan maka Hak Atas Tanahnya dapat dicabut sesuai dengan Pasal 18 UUPA dengan pemberian ganti kerugian yang benar kepada pemegang haknya. Untuk lebih memperlihatkan kaitan Pasal-Pasal Utama UUPA, dengan pembangunan yang dinamis dalam upaya mewujudkan Catur Tertib Pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat digambarkan sebagai terlihat pada Skema 1 berikut : Dari skema tersebut di bawah dapat dilihat kaitan antara Sistem Pemerintahan (UU No. 32 Tahun 2004) dengan Sistem Pertanahan Pasal-Pasal Utama UUPA, Sistem Pembangunan, dan Land Use Planning (Pasal 14) serta seluruh aspek-aspek pertanahan, Sanksi (Pasal 52), sertifikat tanah dalam mewujudkan Catur Tertib Pertanahan dan sebesarbesar kemakmuran rakyat kemudian dikaitkan pula dengan Pasal 18, pencabutan hak atas tanah berkaitan dengan kepentingan umum (Pasal 18), kembali lagi pasal 2 Ayat 3 dan Pasal 14 dan seterusnya.
Skema 1 : Sistem Pemerintahan dan Pasal – Pasal Utama UUPA Dalam Kerja Bersistem Untuk Sebesar – Besar Kemakmuran Rakyat Pemerintah Nasional KETERANGAN : ALR : Aspek Landreform AHT : Aspek Hak Atas Tanah ATG : Aspek Tanah Guna Tanah APT : Aspek Pendaftaran Tanah AP2T : Aspek Pendaftaran Tanah
Melaksanakan penataan penguasaan dan pemilikan yang berkeadilan (Land. Reform)
Pemerintah Provinsi
UU 5/60 UU 32/2004 Perpres No. 10/2006
Pemerintah Kab. / Kota
Data base pertanahan belum tersedia, mulai desa/kelurahan kec, kab/kota mendukung kerja bersistem.
Pasal 7,10,11,13,17
Kec amatan
ALR
D es a / K elurahan Adat/ U layat/Marga
Sabang
Pasal 1
M erauke
Tanah sebagai ruang muka bumi ada di desa/kelurahan Wawasan nusantara (S-M) Tanah dan sumber daya alam tidak ada hirearkinya Sistem pemerintahan ada hierarki Sistem pembangunan ada hierarki
7 MEI - JULI 2008
LAND 07
Pasal 2/3 Tanah Dimanfaatkan Untuk Pembangunan Oleh : Masyarakat Swasta Nasional Asing Pemerintah Pengaturan dan pemanfaatan
Pasal 14
Land Use Planning Tata Ruang Wilayah
Pasal 52 Kewajiban pemegang hak (Cantumkan pada SK dan Sertipikat)
Pada saat ini setiap jengkal tanah telah AP2T ada yang menguasai, AHT Pasal 19 Pasal 16 menggunakan oleh masyarakat, Berikan hak Pengukuran Pemerintah dan yang sesuai dan sebagainya dengan pendaftaran pembangunan tanah ATG
Sertipikat Tanah
UU 20 – 61
Pasal 15 Konsolidasi Tanah
Penataan Aspek pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. (kemakmuran dan berkelanjutan)
Sebesar Kemakmuran Catur Tertib Pertanahan
Pasal 18 Kepentingan Umum
Sampai saat ini kaitan pasal-pasal utama UUPA tersebut tidak berjalan karena : a. Belum adanya persepsi yang sama terhadap penjabaran UUPA secara utuh dan bersistem, dan pengaruh adanya peraturan perundangan yang lahir kemudian. b. Data pertanahan yang akurat digambarkan dalam peta dasar yang akurat dalam skala besar mulai dari desa/kelurahan, kecamatan dan seterusnya dalam bentuk Sistem Informasi Pertanahan. c. Organisasi kelembagaan yang menangani UUPA tidak sejalan dengan beban tugas yang besar dan berat, sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah yang selalu berubah. d. Kualitas seluruh sumber daya manusia, baik dari kalangan pemerintahan, pelaksanaan masyarakat dan swasta yang tidak sesuai TAP MPR-RI/VI/2001 tentang Etika Berbangsa. e. Terbatasnya dana pada pemerintah Pusat, terlambatnya pelaksanaan TAP MPRRI/IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan bidang pertanahan. Sebagai akibatnya gejala-gejala penguasaan tanah yang berlebihan sudah banyak terjadi, misal tanah yang dikuasai Soeharto dan keluarga ada 154 bidang terdiri dari 20 HGB dan 134/HM tersebar di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara dan Lampung. Tentunya apabila diteliti dengan cermat, banyak anggota masyarakat yang sudah menguasai dan melebihi ketentuan dalam peraturan pelaksanaan UUPA, tetapi langkah-langkah kebijakan masih belum ada sampai saat ini. Selain itu, apabila diamati saat ini di Pulau Jawa telah terjadi pergeseran penguasaan tanah-tanah pertanian (sawah) dari penduduk asli kepada pendatang atau orang luar desa, sehingga dengan mudah dilakukan konversi penggunaan tanah ke non pertanian. Sebaliknya di luar Jawa tanah-tanah dengan kualitas terbaik dikuasai oleh perkebunan besar, transmigrasi dan masyarakat pendatang spontan, penduduk asli tergeser ke tanah-tanah marginal. Konflik penggunaan tanah dan penguasaan tanah antara masyarakat dengan kehutanan, pertambangan, pembangunan terus berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Pemekaran wilayah kabupaten dan kota banyak mengorbankan tanahtanah pertanian berkualitas baik. Contoh: tanah eks perkebunan tembakau Deli yang terletak antara Sei Wampu dan Sei Ular yang luasnya + 255.000 ha yang terkenal itu, saat ini sudah hampir punah. Sebagian besar menjadi non pertanian, karena tidak
dilaksanakan penanganan sesuai dengan jiwa, semangat, dan tujuan UUPA, dimana negara harus mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya.
Penutup Pelaksanaan UUPA walaupun sudah berusia 48 tahun ternyata masih belum berjalan secara sistematis sesuai dengan pasal-pasal utama yang ada ada dalam UUPA sehingga tujuan UUPA berupa pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat belum terwujud. Telah terjadi ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta meluasnya kerusakan tanah, tata air, dan kualitas lingkungan hidup. Pelaksanaan Rencana Tata Guna Tanah sesuai dengan Pasal 14, tidak berjalan karena belum dikaitkan dengan pasal 7, 10, 11, 13, dan 17 tentang land reform dalam rangka mewujudkan keadilan melalui penataan penguasan dan pemilikan tanah serta pasal utama lainnya Pasal 16, Pasal 19, Pasal 18 dan Pasal 52. Peranan tanah sebagai sumber daya yang strategis tidak berjalan karena Pasal 14 yang seharusnya diatur dengan undang-undang sesuai dengan perintah UUPA hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tanpa ada sanksi dan belum dilaksanakan secara bersistem. Dalam pemberian hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan maupun pengakuan hak ataupun pemberian hak atas tanah, tidak dicantumkan dan dituliskan tentang kewajibankewajiban pemegang hak atas tanah, baik dalam SK Hak maupun sertifikat, sehingga mata rantai pengelolaan pertanahan menjadi terputus dan tidak dapat dilakukan monitoring dan kontrol apakah tanah itu sudah benar dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat atau terlantar/belum digunakan/obyek spekulasi. Perbaikan moral seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia sangat diperlukan, untuk dapat menata kembali pelaksanaan UUPA sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 (3), perintah agama dan kepercayaan untuk dapat mewujudkan jiwa dan semangat UUPA yang bernafaskan keadilan dan kemakmuran, yang telah dirasakan mulai menyimpang. Mungkin terlambat, tetapi mari bangkit kembali!
*) Guru Besar Manajemen Pertanahan Pasca Sarjana Ilmu Geografi, Universitas Indonesia
LAND 07
MEI - JULI 2008
8
Lahan Abadi Pertanian
Dan Reforma Agraria
Oleh: Usep Setiawan *)
K
etika kita hendak membedah persoalan pengelolaan lahan pertanian berkaitan dengan reforma agraria serta hak-hak petani, maka sangat penting untuk membongkar konsepsi politik agraria dan dinamika kebijakan agraria nasional secara keseluruhan. Inisiatif Departemen Pertanian RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi mesti diletakkan dalam konteks kemungkinan pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Reforma agraria yang kita perjuangkan mestilah menjadi dasar bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan pertanian secara lebih kokoh. Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita. Namun, dalam semangat merevitalisasi pertanian kita, hendaknya dihindari jebakan hanya mengatasi penyakit-penyakit hilir tanpa keseriusan dalam menuntaskan akar soal yang ada di hulu. Ada beberapa hal yang harus disepahami terlebih dahulu, sebelum kita sampai pada pokok bahasan mengenai perlu/tidaknya atau mendesak/tidaknya penyusunan legislasi “Lahan Pertanian Pangan Abadi”. Pertanyaan kuncinya: Bagaimana politik agraria dan kondisi agraria terkini? Sejauhmana pemerintah menjawab problem pokok agraria tersebut? Apa agenda utama yang mendesak dilakukan bangsa ini?
Politik Agraria dan Kondisi Agraria Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksploitasi dan
9 MEI - JULI 2008
LAND 07
*) Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
akumulasi dari modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor agraria. Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Soeharto dan rezim Orde Baru berkuasa (1966) pelanggaran terhadap UUPA mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undangundang yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak. Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada kenyataan banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai macam ijin usaha. Dengan memegang teguh prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan. Karena proses pelanggaran yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undangundang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui
menjadi UU No. 41/1999, dan undang-undang sektoral lainnya. Mengerdilnya posisi UUPA dari yang seharusnya menjadi rujukan dalam pengaturan seluruh sumber agraria menjadi “hanya” mengatur soal tanah nonhutan ini merupakan awal dari era sektoralisme dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak UU Kehutanan diberlakukan dan dikawal oleh Departemen Kehutanan (hingga saat ini), sementara UUPA yang sebelumnya dikawal oleh Departemen Agraria namun belakangan dikerdilkan menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus aspek administratif pertanahan, maka praktis sejak saat itulah terjadi pengaburan makna agraria dari yang sejatinya dimaksud UUPA menjadi hanya sekedar soal pertanahan saja. Ini sekedar menunjukkan contoh bahwa UUPA bukan hanya mengurusi soal tanah saja. Lihat Pasal 1 (4) dan (5) yang berbunyi: “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air”, dan “Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia”. Sementara itu, politik sentralisme dan sektoralisme hukum serta kelembagaan pendukungnya telah memuluskan proses perampasan hak-hak rakyat atas tanah untuk kepentingan “pembangunan” ala Orde Baru. Kenyataan berikutnya yang segera mencuat adalah konsentrasi penguasaan sumbersumber agraria di tangan segelintir orang saja. Misalnya di sektor pertanian, berdasarkan perbandingan hasil empat kali Sensus Pertanian (SP) diketahui bahwa rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 hektar (1963) menjadi 0,99 hektar (1973), lalu turun menjadi 0,90 hektar (1983) dan menjadi 0,81 hektar (1993). Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa 21,2 juta rumah tangga di pedesaan, 70%-nya menggantungkan diri pada sektor pertanian. Dari jumlah itu, 3,8% atau sekitar 0,8 juta merupakan rumah tangga penyakap yang tidak punya tanah, 9,1 juta rumah tangga menjadi buruh tani, dan diperkirakan jumlah petani tak bertanah di Indonesia ada sekitar 9,9 juta atau sekitar 32,6% dari seluruh rumah tangga petani (lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Lembaga Penerbit FE 1997). Dalam catatan Khudori (Kompas, 16/3/07), hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar milik sendiri maupun menyewa meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah
tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Karena sebagian besar rumah tangga petani di Indonesia (73,4 persen) adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem adalah petani padi/palawija. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan. Di sektor kehutanan, hingga tahun 1998, menurut catatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, ada sekitar 500 buah HPH yang beroperasi mengusahakan sekitar 55 juta hektar hutan produktif di Indonesia. Menurut catatan, sampai tahun 1994 ada 20 kelompok pengusaha yang menguasai 64.291.436 hektar (lebih dari 50%) jumlah hutan yang diberikan HPH-nya. Di sektor pertambangan tidak kalah spektakulernya, misalnya PT. Freeport Indonesia yang mengeruk emas di Papua memiliki areal konsesi melalui Kontrak Karya seluas 2,9 juta hektar (1991). Sementara sektor perkebunan melalui HGU menduduki peringkat tertinggi dalam konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Menurut Sensus Perkebunan Besar (1990-1993) ada sekitar 3,80 juta hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 21 koperasi, dengan ratarata 3.096.985 hektar dikuasai tiap perusahaan (Lihat Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) adalah Agenda yang Inklusif dengan Reformasi Sosial secara Menyeluruh, dalam “Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumbersumber Agraria”, KRHN dan KPA, hal. 38-39, Oktober 1998). Kenyataan inilah yang menjauhkan rakyat, terutama buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat di pedesaan dari keadilan dan kemakmuran. Di sisi lain, konflik agraria menjadi realitas yang rutin kita hadapi. KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" sektor bisnis dan/atau negara. Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus),
LAND 07
MEI - JULI 2008 10
perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.
Reforma Agraria sebagai Solusi Pokok Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasil seperti yang diharapkan, landreform yang didahului dengan redistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagi para penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program. Karena itu, program redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barangbarang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil-hasil pertanian, penyuluhanpenyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalahmasalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang pada intinya dapat menunjang keberhasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi. (Pengertian ini mengacu pada Petisi Cisarua: ”Kerangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria: Rekomendasi untuk Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak M. Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 20042009”, disusun Sediono MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Anton Poniman, Dianto Bachriadi, Syaiful Bahari, Usep Setiawan, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, Erpan Faryadi, dan Agustiana, 20 Oktober 2004).
11 MEI - JULI 2008
LAND 07
Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria. Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakup kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulaupulau kecil dan kelautan. Suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan upaya merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, orientasi utamanya adalah keadilan yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu “suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya.” Pembaruan agraria dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan bahwa reforma agraria adalah sebuah program multi dimensional yang melintasi rentangrentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi “kekalahan” wanita pedesaan (Christodoulou, The Unpromised Land, 1990, hal. 112). Dalam kerangka politik hukum, sejak tahun 2001 sudah ada kemajuan yang cukup berarti yang ditandai dengan terbitnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok bagi upaya mengurangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumberdaya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang rusak.
RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi: Menjawab Apa? Apa yang dilakukan pemerintah dalam menjawab problem-problem agraria di atas? Dengan berat hati harus dinyatakan bahwa sejauh ini belum ada hasil signifikan dari apa yang dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan sejumlah penggalan rencana besar yang kesemuanya masih cenderung berupa wacana yang harus diuji dalam praktek. Pencanangan Progam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata belum dapat dikatakan sukses. Indikator pentingnya, program ini belum sanggup meningkatkan kesejahterakan kaum tani, nelayan dan masyarakat di sekitar hutan. Di sektor pertanian, produktivitas dan ketersediaan lahan pertanian kita tampaknya masih memprihatinkan. Rendahnya produktivitas pertanian kita telah memaksa bangsa agraris ini mendatangankan bahan pangan (beras) dari negeri orang melalui mekanisme impor. Hal inilah mendorong kita memikirkan masalah ketahanan pangan bangsa ini. Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salah satu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kita patut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah dan jangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kita ungkapkan kembali mengingat pada tahun 2006 yang lalu telah terjadi bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Di tahun yang sama berjangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kelaparan dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Pemerintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yang dijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintah menggeser strategi “ketahanan” pangan menjadi “kedaulatan” pangan. Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan oleh kalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalan kelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu ketahanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangan dunia (FAO). Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapan luas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuh dengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas. Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran di negara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjak bergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadap produk pangan semakin hilang. Menurut Kaman Nainggolan (Sinar Harapan, 16/10/2006), kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa
untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga. Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi memanfaatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan. Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menuju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati. Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofis harus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasar bebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalan internal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yang bercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhan mendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembali struktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria. Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkan untuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedaulatan pangan. Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagi kaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan tergelincir menjadi “makan roti dalam mimpi”. Di sisi lain, fenomena alih fungsi lahan (konversi) pertanian ke non-pertanian semakin mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Berbagai pihak memandang perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi tersebut. Penyusunan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi yang digarap Deptan RI juga dimaksudkan untuk itu. Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan, dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53% dan periode 2000-2005 tumbuh 1,22%. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78% dan pada periode 2005
LAND 07
MEI - JULI 2008
12
minus 0,17%. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984. Peningkatan luas lahan areal, sudah mengalami penurunan nyata yang disebabkan luas laju konversi lahan sawah untuk penggunaan industri dan nonpertanian lainnya yang melebihi kemampuan negara mencetak sawah baru. Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, maka sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang. Tahun ini pemerintah (Deptan) mencetak sawah baru 20.000 ha dan tahun depan 50.000 ha. Wakil Ketua Badan Legislasi dan anggota komisi IV DPR Bomer Pasaribu menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (periode 1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3%) berupa alih guna menjadi kawasan permukiman. Di Sumatra dan pulau lainnya 50,6% beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah. Padahal, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sinequanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Menteri Pertanian mengatakan untuk memperkuat kemampuan negara memproduksi beras, maka perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara mencetak lahan pertanian baru. Bomer Pasaribu mengatakan dalam keputusan DPR No 07A/DPRRI/I/2006-2007 tetang Program Legislasi Nasional (Proglegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2007, RUU Lahan Abadi Pertanian ini tercantum dalam Proglegnas Prioritas dengan nomor urut 29. "Inilah serangkaian upaya legislasi untuk memperjuangkan atau mendukung program RUU lahan itu”. Kritik dan masukan terhadap RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi dapat diberikan pada tataran substansi dan konteks. Secara substansi, dalam draft RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tidak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak untuk menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu kepada pemikiran dan cita-cita para pendiri republik.
13 MEI - JULI 2008
LAND 07
Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit dunia pertanian kita: yakni penyediaan lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dalam kajian KPA, dua problem utama agraria di Indonesia berupa ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik dan sengketa pertanahan tidak tersentuh draft RUU ini. Padahal fakta ketimpangan dan konflik ini - termasuk dan terutama terjadi atas lahan pertanian, harus didahulukan untuk dilakukan, atau setidaknya dibuat secara terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi.
Penutup Penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasional yang terkait pengadaan dan pengelolaan “Lahan Pertanian Pangan Abadi” hendaknya diletakkan dalam konteks pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Yang tengah kita butuhkan bukan sekedar “UU” melainkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk merombak total paradigma politik agraria (termasuk pertanian) dari sekedar pro-produktivitas atau pro-pertumbuhan, menjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang mengutamakan kepentingan kaum buruh tani, petani penggarap, petani gurem dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada lahan pertanian. Legislasi untuk “Lahan Pertanian Pangan Abadi” akan relevan jika disusun secara integrated dengan legislasi yang ditujukan untuk menata struktur penguasaan/pemilikan lahan bagi golongan ekonomi lemah dan menyelesaikan konflik agraria/sengketa tanah yang selama ini menjadi dua problem pokok agraria kita. Integrasi legislasi bagi perombakan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria dan pengadaan lahan pertanian pangan layak dipikirkan dan dikembangkan. Kenapa tidak, klausul pengaturan mengenai pengadaan dan pengelolaan “Lahan Pertanian Pangan Abadi” dimasukan saja ke dalam suatu UU yang secara utuh mengatur pertanahan kita dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sejati. Secara strategis, muara pelaksanaan reforma agraria ialah mengikis ketimpangan, mengurangi kemiskinan, menyediakan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, menuntaskan konflik/sengketa agraria, mengamankan ketersediaan pangan, sekaligus memulihkan lingkungan hidup. Tujuan strategis ini mutlak membutuhkan komitmen kuat dari segenap komponen bangsa, terutama dari seluruh jajaran pemerintahan bersama kaum tani pedesaan melalui kekuatan yang terorganisir secara sinergis.
Peran Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Oleh: M. Rizal Alif, SH., Mhi*)
L
ahirnya undang-undang otonomi daerah (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) merupakan tantangan sekaligus harapan bagi Pemerintah guna meningkatkan kemampuan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam pengelolaan dan penataan ruang. Ini merupakan bagian keterpaduan dan upaya menyeluruh dari rencana pembangunan daerah bagi seluruh sektor. Dan sejak Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang ditetapkan, setiap kabupaten/kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (selanjutnya disebut RTRW) Kabupaten/Kota. Undang-Undang ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah yang menjelaskan bahwa tujuan dari penatagunaan tanah adalah menciptakan kesesuaian antara penguasaan tanah, penggunaan tanah, dan pemanfaatan tanah pada fungsi kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah. Namun pada kenyataannya, masih banyak kendala dari kedua instansi terkait yaitu institusi penatagunaan tanah dan institusi penataan ruang untuk berkoordinasi dalam mengembangkan suatu keterpaduan sistem penataan ruang dan penatagunaan tanah. Misalnya, meskipun semua kabupaten/kota telah memiliki rencana tata ruang kota, tetapi kenyataan di lapangan masih terjadi inkonsistensi. Perubahan fungsi tanah seperti perubahan dari kawasan perumahan menjadi kawasan perdagangan, atau kawasan pertanian menjadi kawasan nonpertanian masih sering terjadi di kabupaten/kota. Terjadi penurunan kualitas lingkungan disebabkan inkonsistensi penggunaan tanah oleh pemerintah dan masyarakat. Di samping penurunan kualitas lingkungan, isu lain yang muncul terkait dengan penggunaan tanah wilayah adalah: 1. Konflik dan sengketa tanah yang terjadi hampir di semua sektor di Indonesia. 2. Kepemilikan dan penguasaan tanah terkonsentrasi di dalam kelompok kecil masyarakat. Ini ditunjukkan dalam peningkatan kelompok miskin
marjinal di kawasan perkotaan, yang kehilangan tanahnya atas nama pembangunan. 3. Lemahnya jaminan legal status kepemilikan tanah masyarakat tidak terlindungi terutama untuk kelompok masyarakat miskin. Berdasarkan penjelasan di atas kita membutuhkan rencana tata ruang yang lebih operasional di dalam memberikan dasar penatagunaan tanah/ruang dan akan menjadi dasar pertimbangan dalam menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Pada saat ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keberadaan dan kemampuan rencana tata ruang melalui suatu studi “Peningkatan Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Untuk Pemerintah Daerah” yang akan menghasilkan rekomendasi harmonisasi sistem penatagunaan tanah dan sistem penataan ruang di masa depan.
Kebijakan Perundangan Di Bidang Penataan Ruang Yang dimaksud dengan penataan ruang menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan melalui kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Secara garis besar penataan ruang terdiri dari 3 proses utama, yakni (lihat Hermanto Dardak, Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia Tinjauan Yuridis Dan Praktis, hal 3): 1. Proses perencanaan tata ruang wilayah yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah. Di samping sebagai guidance of future actions, RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya
LAND 07
MEI - JULI 2008
14
kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. 2. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. 3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: 1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; 2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan 3. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
Dengan diterbitkannya PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, masyarakat mendapat tempat untuk berperan serta dalam penataan ruang. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang, yaitu terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Sesuai dengan hirarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan, maka peraturan di bidang penataan ruang adalah: 1. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 2. Pasal 2, 14 dan 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA). 3. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti dari Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Dari peraturan perundang-undangan di atas jelas terlihat bahwa kewenangan penataan ruang berada di tangan Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia. Hal ini mendapat penegasan dalam Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007, sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara hirarkis menurut kewenangan administratif, yaitu dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. Pasal 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: keterpaduan; keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; keberlanjutan; keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; keterbukaan; kebersamaan dan kemitraan; perlindungan kepentingan umum; kepastian hukum dan keadilan; dan akuntabilitas. Selanjutnya dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
15 MEI - JULI 2008
LAND 07
Masyarakat sebagai mitra pemerintah, diharapkan mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan peran sertanya dan sebagai perwujudan dari hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh orang seorang, kelompok orang, dan badan hukum seperti Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha swasta. Sedangkan bentuk peran serta dapat berupa usul, saran, pendapat, pertimbangan atau keberatan serta bantuan lain terhadap penyelenggaraan penataan ruang. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 dinyatakan bahwa dalam kegiatan penataan ruang, masyarakat berhak: 1. Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; 2. Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan; 3. Menikmati manfaat ruang dan/atau penambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; 4. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Pelaksanaan hak masyarakat dalam menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak masyarakat, Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, menyebarluaskan informasi dan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping hak yang dapat dilaksanakan, dalam kegiatan penataan ruang, masyarakat pun berkewajiban untuk: 1. Berperan serta dalam memelihara kualitas ruang; 2. Berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang, dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturanaturan penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Penataan Ruang Dalam Otonomi Daerah Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal pada tahun 2001, yang saat ini telah berubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada hakikatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu
diberikannya kepada pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur kepentingan (interest) daerah masingmasing. Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah telah mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah. Perencanaan pembangunan akan terkait dengan suatu sistem pembangunan dan sistem penganggaran pembangunan daerah, dimana Bappeda Kabupaten/Kota sangat berperan khususnya dalam merumuskan dan mengkoordinasikan programprogram pembangunan sektoral dan daerah serta mengalokasikan pembangunan. Dalam rangka mengoperasikan program pembangunan tersebut ke dalam pelaksanaan pembangunan serta pengendaliannya akan melibatkan berbagai instansi atau kelembagaan. Berdasarkan pertimbangan aspek-aspek dalam perencanaan tata ruang, struktur kelembagaan yang ada serta fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga dalam perencanaan. Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Keterlibatan Kelem bagaan Dalam Pengelolaan Tata Ruang Kabupaten/Kota No
Kelem bagaan
Pere ncanaan
Pema nfaatan
Penge ndalian
1
Gubernur Pro pinsi
- Pengesahan Perda RTRW Kabupaten/Kota
- Mem berikan izin prinsip untuk pe m bangunan bersifat skala besar/antar kaw asan
2
Bupati/Walikota
- Mem bentuk Tim Koordinasi Tata Ruang D aerah - Bersama DPRD mene tapkan RTRW Kabupaten/Ko ta
- Mem berikan izin prinsip dalam pe mbangunan
3
DPRD K abupaten/Kota
- Mem bahas naskah dan Ranperda RTRW Kabupaten/Kota - Bersama Bupati/Walikota menetapkan Perda RTRW Kabupaten/Kota
- Menolak atau me nyetujui pelaksanaan keg iatan pem bangunan
4
Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah Kabupaten/Kota
- Melaksanakan kegiatan penyusunan RTRW Kabupaten/Kota - Peninjauan Kem bali RTRW Kabupaten/Kota
- Mem bantu Pe mda dalam me mberi m asukan bag i upaya pelak sanaan program kegiatan pe m bangunan
5
Bappeda Kabupaten/Kota
- Koordinator Penyusunan RTRW Kabupaten/Ko ta - Menyusun konse p Ranperda RTRW Kabupaten/Ko ta
- Mem berikan reko mendasi - Melakuk an koordinasi kelayak an pem bangunan dari pem antauan dan e valuasi pertim bang an aspek lingkungan - Koordinator penyusunan program
6
BPN Kabupaten/Kota
- Menyediak an data/informasi - Mem berikan izin lokasi di bidang pertanahan dan prose dur perizinan
- Mem berikan informasi tentang bidang pertanahan
7
Bagian Penyusunan Program Setw ilda Kabupaten/Kota
- Penyusunan program
- Pengaw asan pelaksanaan pem bangunan
8
BKPM D
- Menyusun rencana investasi - Inventarisasi investasi
9
Dinas Tata Kota
- Menyediak an data/informasi - Mem berikan arahan-arahan perkem bangan pe manfaatan sebagai dasar acuan dalam ruang di lapang an me mberikan periz inan pem bangunan
- Melakuk an koordinasi pem antauan dan pelaporan aspek teknis
10 Lembaga dan Instansi Terkait
- Menyediak an data/informasi - Menyiapkan usulan program sektor sektor kepada Tim RTRW Kabupaten/Kota
- Penertiban sesuai de ngan fungsi, tugas dan kew enangan dalam bidang bersangkutan
11 Badan Pe ngendalian Pem bangunan Perumahan dan Perm ukiman
- Pem antauan pem bangunan - Mem berikan pe mbinaanperumahan dan permukiman pem binaan
- Pengaw asan dan pengandalian pem bangunan perumahan dan perm ukiman
12 Bagian L ingkungan Hidup (Bappedal) Kabupaten/Kota
- Menyediak an inform asi tentang lingkungan
- Pengendalian masalah lingkungan
Sumber: RTRW Kota Denpasar
- Mem berikan arahan inve stor pem bangunan
- Mem beri input dalam penyusunan AMD AL lingkungan kegiatan pem banguan
- Menerbitk an peraturan yang bersifat operasional
-
LAND 07
MEI - JULI 2008
16
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang berpedoman kepada RTRW Kabupaten/Kota, maka harus ada dukungan komitmen dari semua pihak di wilayah Kabupaten/Kota, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Disamping itu, perlu pula disiapkan perangkat-perangkat pendukung, yaitu: 1. Tersedianya rencana tata ruang skala rinci yang merupakan penjabaran dari RTRW Kabupaten/Kota yang antara lain berbentuk RDTR Kawasan dan Rencana Teknik Ruang Kawasan; 2. Tersedianya aparat yang berkemampuan teknis memadai, yang ditunjang dengan peralatan kerja yang mencukupi untuk dapat memberikan layanan yang cepat dan tepat bagi para pemohon KRR; dan 3. Tersedianya aparat yang khusus melakukan pemantauan pemanfaatan ruang yang secara struktural merupakan bagian dari unit kerja yang sudah ada (bukan merupakan instansi/unit kerja baru), seperti Dinas Tata Kota, Dinas TRAMTIB. Dalam meningkatkan ketersediaan perangkat pendukung perlu disediakan personil, prasarana dan sarana serta anggaran yang lebih memadai. Kebijaksanaan yang patut ditempuh yang terkait dengan masalah-masalah yang berlandaskan budaya setempat yaitu mewujudkan/menciptakan kebersamaan, kebenaran dan keseimbangan dengan tetap melibatkan lembaga non formal dan swasta dalam pengendalian pembangunan serta dengan melibatkannya dalam Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD). Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebijaksanaan yang berlandaskan budaya setempat adalah mengikutsertakan secara langsung pendukung utama kebudayaan daerah yaitu warga lembaga adat, asosiasi profesi dan lembaga non formal lainnya yang terkait. Dalam hal ini perlu disusun suatu peraturan tentang keterlibatan langsung pendukung utama kebudayaan daerah tersebut dalam penyusunan, pelaksanaan serta pengendalian peraturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Terkait dengan studi ini yaitu penataan ruang dan penatagunaan tanah maka lembaga yang paling berperan penting adalah Departemen Pekerjaan Umum sebagai lembaga penyelenggara penataan ruang dan Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga penatagunaan tanah. Oleh karena itu keharmonisan penataan ruang dan penatagunaan tanah sangat terantung dari keharmonisan kinerja kedua kelembagaan tersebut di daerah. Berdasarkan kajian yang dilakukan kedua lembaga ini dengan berbagai keterbatasan masih terkesan belum terkoordinasi dengan baik dalam melaksanakan rencana tata ruang dan penatagunaan tanah.
Peran kelembagaan Peran kelembagan Bappenas di tingkat Pusat, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan
17
MEI - JULI 2008
LAND 07
Pembangunan Nasional Nomor:PER01/M.BAPPENAS/08/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, maka yang menyelenggarakan koordinasi penataan ruang dan penatagunaan tanah adalah Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah khususnya Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Tupoksi Deputi meneg PPN/Ka. Bappenas Bidang Pengembangan Regional dan OTDA adalah sebagai berikut: ”...perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional pengembangan regional dan OTDA. (Pasal 381) Fungsi Deputi bidang pengembangan Regional dan OTDA antara lain (Pasal 382) : a. Penyiapan perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang OTDA, perekonomian daerah serta perkotaan, tata ruang dan pertanahan. b. Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang OTDA, perekonomian daerah serta perkotaan, tata ruang dan pertanahan. c. Pelaksanaan penyusunan perencanaan pembangunan nasional di bidang OTDA, perekonomian daerah serta perkotaan, tata ruang dan pertanahan. d. Pemantauan, evaluasi dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan perencanaan perkotaan, tata ruang dan pertanahan. e. Pelaksanaan hubungan kerja di bidang perencanaan pembangunan nasional kewilayahan, OTDA, perekonomian daerah serta perkotaan dan pertanahan. Disamping lembaga Bappenas, di tingkat pusat juga ada Badan Koordinasi Penataan Ruang Tingkat Nasional/BKTRN , yang dipimpin oleh Menko Perekonomian. Di tingkat daerah, pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) berdasarkan SK Mendagri No. 147 Tahun 2004 tentang BKPRD. Di lingkungan Pemda DKI, BKPRD belum masuk dalam SK Gub DKI No. 114 Tahun 2002, sehingga sebagai lembaga berdiri sendiri (numpang)/ belum independen meskipun berkantor di Bappeda DKI. Susunan keanggotaan BKPRD Propinsi terdiri dari Gubernur sebagai penanggungjawab; Wakil Gubernur sebagai ketua; Sekretaris Daerah sebagai ketua harian, Kepala Bappeda sebagai sekretaris; Kepala Dinas yang mengatur tata ruang sebagai wakil sekretaris; dengan anggota disesuaikan dengan kebutuhan. Tugas BKPRD Propinsi antara lain : a) Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang Provinsi dengan memperhatikan kebijakan penataan ruang Nasional dan Kab/Kota. b) Mengkoordinasikan penyusunan RTRW provinsi. c) Mengkoordinasikan penyusunan rencana rinci tata
d)
e)
f)
g)
h) i)
j) k)
l)
m)
ruang kawasan sesuai dengan kewenangan Provinsi. Mengintegrasikan dan memaduserasikan RTRW Propinsi dengan RTRW Kab/Kota, Rencana tata ruang nasional, rencana tata ruang kawasan tertentu dan rencana tata ruang wilayah propinsi yang berbatasan. Memaduserasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan tahunan yang dilakukan Pemerintah provinsi, masyarakat dan dunia usaha dengan rencana tata ruang. Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan pemantauan penyelenggaraan pemanfaatan ruang. Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Memberikan rekomendasi perizinan tata ruang. Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam perencanaan , pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mensosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang provinsi. Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian konflik yang berkaitan dengan penyelenggaraan tata ruang di Propinsi maupun Kabupaten/Kota serta memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Memperpadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan Kabupaten/Kota dan propinsi sekitarnya. Menyampaikan laporan secara berkala kepada Gubernur.
Sedangkan susunan keanggotaan BKPRD Kab/Kota terdiri dari Bupati / Walikota sebagai penanggungjawab; Wakil Bupati / Walikota sebagai ketua; Sekretaris Daerah sebagai ketua harian; Kepala Bappeda sebagai sekretaris; Kepala Dinas yang mengurus tata ruang sebagai wakil sekretaris; dan anggota sesuai tingkat kebutuhan potensi daerah. Tugas BKPRD Kab/Kota kurang lebih sama dengan BKPRD Propinsi. Dengan adanya kabinet baru serta dorongan kuat yang mengusulkan beberapa departemen pengguna ruang masuk dalam keanggotaan BKTRN, maka Keppres 62 tahun 2000 perlu ditinjau kembali.
Kebijakan Penatagunaan Tanah Saat Ini 1. Peraturan Perundangan Di Bidang Penatagunaan Tanah Sesuai dengan hirarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan, maka peraturan di bidang penatagunaan tanah adalah : 1) Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 : 2) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 3) Pasal 2, 14 dan 15 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
4)
5) 6)
7)
Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang sebagai pengganti dari Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 Tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria memuat kewenangan Negara Republik Indonesia, yaitu: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Kekuasaan legislatif yang dalam pasal 2 dicakup dalam pengertian mengatur dan menentukan, dilaksanakan oleh badan-badan legislatif pusat. Kekuasaan eksekutif, dicakup dalam pengertian menyelenggarakan dan menentukan, dilakukan oleh presiden dibantu oleh menteri atau pejabat tinggi lain yang bertugas di bidang pertanahan. Kewenangan ini sebagian dapat ditugaskan pelaksanaannya kepada para pejabat pusat yang bertugas di daerah dalam rangka dekonsentrasi. Mengenai tugas kewenangan yang disebut dalam pasal 2 ayat 2 huruf a, terdapat ketentuannya yang khusus dalam pasal 14 UUPA, yaitu: (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2, Pemerintah dalam rangka Sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. untuk keperluan negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluankeperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang
LAND 07
MEI - JULI 2008
18
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Pasal ini mengandung arti adanya kewajiban pemerintah untuk menyusun suatu rencana umum, yang kemudian akan dirinci lebih lanjut dalam rencana-rencana regional dan daerah oleh Pemerintah Daerah. Di samping itu, pasal 14 dan pasal 15 menyatakan : Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah. Dengan pasal 15 ini menjadi jelas bahwa kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-badan hukum atau instansi-instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu, yang dalam pelaksanaannya wajib memperhatikan pihak yang ekonomi lemah. Oleh pemerintah kewenangan membuat rencana umum tersebut, mendapat pengaturan umum dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007. Meski tidak dinyatakan secara tegas dalam UU 26 Tahun 2007 mengenai hubungan antara pasal 14 UUPA dengan UU ini, namun dapat disimpulkan bahwa ketentuan pasal 14 UUPA adalah sejalan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Peraturan Daerah yang dimaksudkan dalam undangundang ini adalah sama dengan peraturan daerah yang dimaksud dalam pasal 14 UUPA. Untuk pedoman pelaksanaannya seperti dimaksud dalam undangundang ini, dibuat peraturan pemerintah tentang penatagunaan tanah, sebagai sub sistem penataan ruang. Pengelolaan tata guna tanah yang merupakan upaya pemerintah dan berisikan pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah harus mampu menjiwai dan mewujudkan rencana tata ruang wilayah yang digariskan. Untuk itu penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah serta peralihan hak atas tanah perlu dilanjutkan dan terus dikembangkan dalam rangka mewujudkan catur tertib pertanahan (tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup) sebagai upaya mewujudkan tata ruang wilayah yang dinamis (Heru Wijono, Mekanisme Penatagunaan Tanah Dalam Pengelolaan Pertanahan Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten/Kota, hal 7). Berkaitan dengan maksud di atas, pengelolaan tata guna tanah yang diharapkan pada hakekatnya adalah
19 MEI - JULI 2008
LAND 07
bertujuan dapat menjamin: a. Terwujudnya tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah serta lingkungan hidup; b. Terarahnya peruntukan tanah sesuai rencana tata ruang wilayah dan adanya kepastian penggunaan tanah bagi setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah; c. Terarahnya penyediaan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004, disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah tentang Penatagunaan Tanah ini meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai pedoman umum penatagunaan tanah di daerah. Kegiatan di bidang pertanahan itu sendiri merupakan satu kesatuan dalam siklus agraria yang tidak dapat dipisahkan, meliputi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, penatagunaan tanah, pengaturan hakhak atas tanah serta pendaftaran tanah. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa dalam rangka penetapan kegiatan penatagunaan tanah dilakukan inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, penetapan neraca penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta kajian kondisi fisik wilayah. Selain menjadi bahan utama dalam rangka penyusunan pola pengelolaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, hasil inventarisasi yang disajikan dalam peta dengan tingkat ketelitian berskala lebih besar dari Peta Rencana Tata Ruang Wilayah dikelola dalam suatu sistem informasi manajemen pertanahan antara lain melalui sistem informasi penatagunaan tanah.
2. Kebijakan Penatagunaan Tanah Dalam Otonomi Daerah Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah yang beberapa kali direvisi, dimulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada hakikatnya otonomi daerah mengandung makna yakni diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur kepentingan daerah masing-masing. Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah telah mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah. Dalam otonomi daerah dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind. Guna menyamakan persepsi, berikut ini dikemukakan pengertian dari ketiga istilah tersebut:
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Tugas pembantuan (medebewind) adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pada hakikatnya bidang agraria (khususnya pertanahan) menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Hal ini jelas dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA, yang menyatakan: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Yang menjadi pertimbangan pengurusan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, antara lain: 1. Pasal 1 ayat 1 UUPA Ketentuan pasal ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan agraria. Sebagaimana dalam penjelasan umum angka II, konsep kenasionalan mengendaki bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah RI yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia selayaknya menjadi hak dari bangsa Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidak semata-mata menjadi hak dari rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, melainkan di sana juga melekat hak bangsa Indonesia secara keseluruhan. 2. Pasal 1 ayat 2 UUPA Ketentuan ini mengandung makna bahwa sumber daya agaria merupakan kekayaan nasional. Adapun pengelolaannya harus memperhatikan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan tersebut. Dari konsep ini kiranya dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber daya alam di daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan pembangunan maupun perlakuan terhadap warga negara Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 3. Pasal 1 ayat 3 Ketentuan ini merupakan dasar dalam rangka pembinaan integritas NKRI. Disadari bahwa bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan tanah merupakan komponen yang penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya.
Dalam konsep ini, tanah dalam arti kewilayahan diletakkan sebagai dan merupakan salah satu unsur pembentuk NKRI. Oleh karena itu hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah RI tidak boleh putus atau diputuskan. Selama bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, maka selama itu pula NKRI akan berdiri dengan kokoh. Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka pembentuk UU menempatkan pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Hal ini dimaksudkan agar fungsi tanah baik sebagai sumber kemakmuran maupun sebagai wilayah integritas kedaulatan Negara dapat dikelola dengan tepat. Penempatan urusan pertanahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tekad patriotik yang lebih mengutamakan nasionalisme. Meskipun demikian, pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada daerah otonom. (Lihat Pasal 2 ayat 4 UUPA). Dengan demikian urusan pertanahan dapat dikelola berdasarkan asas: 1. Dekonsentrasi, apabila urusan pertanahan tersebut dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah Pusat yang ada di daerah; 2. Desentralisasi, apabila urusan pertanahan tersebut diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah; 3. Pembantuan atau medebewind, apabila urusan pertanahan tersebut dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah. Pasal 14 ayat 1 dan 2 UUPA : (3) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2, Pemerintah dalam rangka Sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya: a. untuk keperluan negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluankeperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (4) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturanperaturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan asas desentralisasi dalam rangka
LAND 07
MEI - JULI 2008
20
kebijakan pertanahan, adalah dalam aspek fisik, misalnya saja apa yang oleh undang-undang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, sebagaimana Pasal 14 di atas, yaitu kebijakan di bidang penatagunaan tanah.
3. Kelembagaan Penatagunaan Tanah Aspek kelembagan dalam penatagunaan tanah dipegang oleh BPN yang merupakan lembaga non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Perpres No. 10 tahun 2006 Jo.PMA No.10 tahun 2006 tentang BPN) khususnya Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, dan salah satu tugas BPN adalah melaksanakan penatagunaan tanah dan penataan wilayah-wilayah khusus.
Bentuk peran serta masyarakat dalam penatagunaan tanah, antara lain dapat terlihat dalam Pasal 8 PP Nomor 16 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah wajib menggunakan dan dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah. Adapun yang dimaksud dengan wajib menggunakan tanah adalah bahwa pemegang hak atas tanah mematuhi syarat-syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah yang telah ditetapkan. Sedang yang dimaksud dengan dapat memanfaatkan tanah adalah pemegang hak atas tanah dapat meningkatkan nilai tambah dengan cara melakukan kegiatan lain yang tidak mengganggu penggunaan tanahnya.
Adapun tupoksi dari Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN adalah sebagai berikut (Pasal 16 dan 17 PMA No. 10 tahun 2006 tentang BPN) :
Memelihara tanah adalah upaya untuk melindungi fungsi tanah, dan kerusakan tanah adalah keadaan tanah yang tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan fungsi kawasan sebagai akibat tindakan yang secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya.
Tugas Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengaturan dan penataan pertanahan.
Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat dalam penatagunaan tanah inilah maka diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Fungsi Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengaturan dan penataan pertanahan. b. Penyiapan peruntukan, persediaan, pemeliharaan dan penggunaan tanah. c. Pelaksaaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan dan penggunaan tanah d. Pelaksanaan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah tertentu.
Di samping kewajiban, masyarakat (pemegang hak atas tanah), berhak memperoleh perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat ini antara lain bahwa ketika tanah yang menjadi haknya diperlukan untuk pembangunan atau terkena kebijakan dalam rangka penatagunaan tanah, maka : a. Cara perolehannya harus dilaksanakan berdasarkan musyawarah; b. Masyarakat (pemegang hak atas tanah dan bendabenda lain yang berada di atas tanah tersebut), harus mendapat kompensasi atas kerelaannya melepaskan tanah miliknya.
Adapun permasalahan dalam aspek kelembagan penatagunaan tanah adalah ketidakharmonisan antara Dirjen Penatan Ruang/ Departemen PU dengan Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Tanah BPN, dimana masing-masing memiliki egois sektoral dan bukannya kepentingan bersama, bagi percepatan terwujudnya masyarakat adil dan makmur sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke -4 yang dikedepankan. Selanjutnya, dalam PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah (Juklak UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) menyatakan bahwa : Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan yang dibagi bersama dengan Pemda. Penataan ruang dan tata guna lahan menjadi urusan wajib pemerintah pusat dan menjadi juga urusan wajib Pemda berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 tersebut.
4. Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penatagunaan Tanah
21 MEI - JULI 2008
LAND 07
5. Permasalahan Penatagunaan Tanah Berbagai indikasi adanya masalah penggunaan dan pemanfaatan tanah yang merupakan dampak dari persaingan tersebut di atas antara lain : 1. Semakin berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi tanah permukiman, industri dan keperluan non pertanian lainnya; 2. Terjadinya benturan kepentingan berbagai sektor pembangunan misalnya antara perkotaan, pertanian, pertambangan, perkebunan, kehutanan, transmigrasi, pariwisata ataupun kawasan lindung dan lingkungan hidup; 3. Meluasnya tanah kritis akibat pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan potensinya sehingga mempercepat proses erosi, banjir dan sedimentasi; 4. Beberapa penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan telah menghasilkan limbah yang mengganggu lingkungan hidup berupa pencemaran air dan udara. 5. Khusus mengenai PP No.16 tahun 2004 belum disertai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,
6.
7. 8. 9.
sehingga menyulitkan dalam operasionalisasinya di lapangan. Terbatasnya peralatan dan SDM di daerah dalam mendukung kegiatan penatagunaan tanah, sehingga pekerjaan-pekerjaan penatagunaan tanah dilaksanakan secara manual. Urusan penatagunaan tanah masih merupakan urusan instansi vertikal yang didekonsentrasikan. Masih sulitnya dalam mengakses informasi dan data Penatagunaan Tanah. Dengan berbagai keterbatasan masih adanya penatagunaan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
-
-
-
-
Kesimpulan dan Saran
-
Kesimpulan Penataan ruang dan penatagunaan tanah masih jalan sendiri-sendiri dan belum merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam pembangunan bangsa atau ”integrated development”. Oleh karena itu, peran dan fungsi dari lembaga yang terkait di dalam penataan ruang dan penatagunaan tanah menjadi sangat penting untuk ditingkatkan lagi kedepannya dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yanag baik atau ”Good Governance” yang efisien, adil, transparan, akuntabel dan berkelanjutan serta masyarakat adil dan makmur sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke- 4.
Saran
-
-
2. Peningkatan Kualitas Rencana Tata Ruang -
-
1. Peningkatan Peraturan/Regulasi -
-
-
-
-
-
-
Mendorong pihak legislatif di daerah untuk mempercepat pengesahan produk-produk rencana tata ruang yang sudah disusun dengan melibatkan sejak awal. Harus ada komitmen yang kuat antara legislatif dan eksekutif untuk memperdakan rencana tata ruang. Menyusun petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk kepentingan penataan ruang dan penatagunaan tanah yang telah diatur dalam UU dan PP. Harmonisasi tentang aturan-aturan di bidang penataan ruang dan penatagunaan tanah agar tidak tumpang tindih dan tidak jalan sendiri-sendiri. Inventarisasi kualitas RTRW, RDTR untuk segera disesuaikan dengan UU Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 dan mengelompokkan dalam beberapa tipologi. Mengingatkan agar Renstra, RPJP, RPJM, RKPD selalu mengacu kepada rencana tata ruang sebagai landasan pembangunan. Mendorong agar pemerintah pusat di dalam penyampaian bantuan anggaran pembangunan melalui APBN maupun DAU dan lainnya dilandasi oleh RTRW, RDTR dan Peraturan Zonasi. Menyederhanakan proses penetapan Perda setelah disahkannya Rencana Tata Ruang. Meminta kepada Mendagri agar para Kepala Daerah segera membuat Rencana Tata Ruang yang
mengacu kepada RTRWN. Mendorong pihak legislatif di daerah untuk mempercepat pengesahan produk-produk rencana tata ruang yang sudah disusun. Perlu ada peningkatan kapasitas dan pemahaman oleh legislatif dalam aspek-aspek penataan ruang dan penatagunaan tanah. Di setiap daerah harus ada kebijakan pengalokasian anggaran yang cukup untuk memenuhi proses penataan ruang dan penatagunaan tanah dari pusat. Dalam penyusunan dan pengesahan produk tata ruang perlu ada sharing dana dari provinsi. Daerah perlu mempunyai dana yang cukup untuk membiayai Perda dan proses pengesahan. Perlu penetapan batas waktu dalam proses pengesahan Perda rencana tata ruang agar rencana yang disahkan tidak ketinggalan dengan perkembangan di lapangan. Perlu kejelasan mekanisme konsultasi antara eksekutif dan legisatif dalam pengesahan Rencana Tata Ruang. Perlu ada sinkronisasi antara peraturan perundangan penataan ruang dan penatagunaan tanah dengan peraturan perundangan sektoral yang terkait dengan penataan ruang dan penatagunaan tanah.
-
-
-
-
-
-
-
-
Meningkatkan kualitas rencana tata ruang sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang ada. Meningkatkan peran serta masyarakat di dalam penataan ruang dan penatagunaan tanah sesuai ketentuan. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sosialisasi rencana tata ruang dan tata guna tanah sesuai dengan asas keterbukaan sehingga mudah di akses masyarakat. Lebih tegas dalam mengendalikan rencana tata ruang dan penatagunaan tanah melalui peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Lebih selektif mengeluarkan izin-izin berkaitan dengan tata ruang dan tata guna tanah, serta mengacu pada rencana tata ruang. Penyusunan rencana tata ruang perlu dilandasi data primer khususnya yang berkaitan dengan peta bersumber dari citra satelit yang terbaru, dengan sumber dan format yang sama termasuk kaidah kartografinya. Adanya penggunaan sumber dan format peta yang sama untuk kebutuhan penataan ruang dan penggunaan tanah serta penetapan obyek pajak. Diupayakan pembiayaan penyusunan rencana tata ruang disesuaikan dengan kedalaman materi dan kondisi geografis daerah, serta disesuaikan dengan jangka waktu tahun anggaran. Lebih selektif terhadap kualifikasi SDM yang terlibat dalam suatu penyusunan rencana tata ruang. Meningkatkan kualitas tenaga ahli yang berasal dari institusi terkait serta penempatannya konsisten
LAND 07
MEI - JULI 2008
22
-
-
-
dengan kompetensinya dan dilengkapi dengan sarana pendukungnya. Menyusun rencana tata ruang yang lebih realistis, aspiratif dan prospektif dengan memanfaatkan neraca penatagunaan tanah. Perlu ada bantuan teknis oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah yang belum mampu dalam menyusun rencana tata ruang terutama yang mengalami keterbatasan pendanaan. Perlu ada ketegasan di dalam menetapkan peruntukan penggunaan lahan di dalam rencana tata ruang serta dilaksanakan secara konsisten.
dengan tim teknis.
4. Penyempurnaan NSPM Zoning Regulation -
-
3. Peningkatan Peningkatan Kelembagaan - Peningkatan koordinasi yang lebih intensif antara lembaga penataan ruang dan penatagunaan tanah melalui mekanisme yang disepakati antara kedua institusi. Perlu mengefektifkan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 1988 Tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373). - Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM pada institusi penataan ruang dan penatagunaan tanah. - Menyediakan peralatan sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi untuk mendukung penataan ruang dan penatagunaan tanah. - Masing-masing lembaga penataan ruang dan penatagunaan tanah agar mengutamakan kepentingan pelayanan publik termasuk memberi kemudahan mengakses data dan informasi untuk kepentingan penataan ruang. - Bekerjasama dan berkoordinasi dengan Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia), Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) dan APPSI (Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia). - Mensinergiskan SOP (Standar Operasional Prosedur) diantara kedua lembaga. - Mengaktifkan fungsi kelembagaan koordinasi Penataan Ruang dari Pusat hingga Daerah dalam penyusunan rencana tata ruang yang diperkuat
-
-
-
-
-
Perlu segera ditetapkan Norma, Standar, Prosedur Manual (NSPM) zoning regulation untuk memperkuat UU No. 26 tahun 2007 menggunakan materi yang telah disiapkan oleh Departemen PU. NSPM yang ditetapkan perlu segera disahkan dengan legal aspek baik berupa Keputusan Menteri PU atau Keputusan Kepala Bappenas. NSPM yang telah ditetapkan perlu segera disosialisasikan ke daerah-daerah agar daerah segera dapat memahami dan menyusun peraturan zonasi sendiri sesuai amanat UU No. 26 tahun 2007. Membuat tipologi terhadap kualitas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota-kota yang ada, untuk menentukan tingkat re-adjustment yang harus dilakukan terhadap setiap RDTR, sebelum disusun zoning regulation-nya. NSPM yang dipersiapkan Departemen PU perlu mengantisipasi hal ini karena kualitas RDTR di daerah berbeda-beda. Merekomendasikan agar PP No. 16 tahun 2004 dilengkapi dengan juknis dan juklak serta melibatkan institusi penatagunaan tanah untuk menyusun peraturan zonasi. Peraturan zonasi yang baik perlu didukung oleh data dan informasi di bidang penatagunaan tanah (land use), batas persil, neraca tata guna tanah, untuk menjembatani rencana tata ruang di daerah yang belum baik kualitasnya melalui re-adjustment terhadap RDTR yang ada. Glossary yang ada dalam draft NSPM perlu dibuat lebih teknis dimana hal-hal yang tidak mudah dijelaskan dengan kalimat, perlu dijelaskan dalam bentuk gambar-gambar. Contoh yang baik mungkin bisa lihat Glossary Zoning Regulation kota-kota di negara luar yang telah terlebih dahulu melaksanakan zoning regulation.
*) Konsultan Hukum Bisnis/ADVOKAT, peneliti dan penulis masalah hukum
23 MEI - JULI 2008
LAND 07
KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT
NEGARA melaksanakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran RAKYAT (Pasal 7 UU. No. 26 tahun 2007)