Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
BA
DA
BPS A
K
T
I
HU
S
Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
BA
DA
BPS A
K
T
I
HU
S
Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang ISBN : 979-724-386-9
No. Publikasi : 04200.0503 Katalog BPS : 4119.1671
Ukuran Buku : 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman : 71 halaman
Tim Penyusun : Pengarah Editor
: DR. Rusman Heriawan : Arizal Ahnaf, MA DR. Pandu Riono Drs. Johnny Anwar Penulis : Arizal Ahnaf, MA Drs. Johnny Anwar Dyan Pramono, SE Ir. Aryago Mulia, MSi Halip Purnama, MA Yeane Irmaningrum S., MA Ir. Hilmiah M. Noor Farid, SSi Sugihartono, SSi dr. Dicky Budiman Asisten Penulis : Tini Suhartini, SSi Gaib Hakiki, SE Kurniawan Pengolah Data : M. Noor Farid, SSi Sugihartono, SSi Sumardiyanto Desain & Layout : Zulhan R.
Penerbit : Badan Pusat Statistik Jl. Dr. Sutomo 6-8 Jakarta Pusat Telp. (021) 3810291 Boleh mengutip dengan menyebut sumbernya.
Kata Pengantar Publikasi berjudul Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan ini disusun dari hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2004/2005. Seperti pada SSP tahun 2002/2003, SSP 2004/2005 juga diselenggarakan atas kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International (FHI) dan the United States Agency for International Development (USAID) serta dengan Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) yang didukung oleh Australian Agency for International Development (AusAID). Pelaksanaan SSP 2004/2005 juga dilakukan melalui kerjasama dengan Direktorat Pencegahan Penyakit Menular Langsung (Dit. P2ML) - Departemen Kesehatan serta dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli/pemerhati HIV/AIDS, khususnya untuk pencacahan kelompok sasaran yang lebih sulit dijangkau seperti kelompok lelaki suka lelaki, waria, dan pengguna narkoba suntik. Publikasi ini memuat rangkuman hasil survei dari seluruh kelompok sasaran yang dicakup dalam SSP 2004/2005 di Kota Palembang, yaitu wanita penjaja seks dan pelanggan penjaja seks. Kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya SSP 2004/2005, termasuk penerbitan publikasi ini, disampaikan penghargaan dan terima kasih. Secara khusus penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada pimpinan FHI dan USAID, beserta tim teknis SSP 2004/2005 dari Program ASA, dan Direktorat terkait di BPS beserta staf teknis yang terlibat. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada pimpinan dan staf Dit. P2ML, serta pimpinan dan anggota LSM yang membantu pelaksanaan SSP 2004/2005 di Kota Palembang. Semoga publikasi ini memberi manfaat yang berarti bagi upaya pencegahan penularan HIV/AIDS khususnya di Indonesia.
Jakarta, September 2005 Deputi Bidang Statistik Sosial
DR. Rusman Heriawan
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
i
Kata Pengantar Ancaman AIDS semakin luas melanda seluruh wilayah di Indonesia. Kita tahu bahwa epidemi AIDS di Indonesia-sebagaimana negara Asia lainnya- tidak seperti di Afrika, terutama didorong oleh penggunaan narkoba suntik dan oleh karena itu dengan cepat menyebar. Ini disebabkan penggunaan jarum suntik secara bergantian oleh pengguna narkoba suntik adalah salah satu cara paling efisien dalam menularkan HIV. Oleh karena itu adanya epidemi ganda, yaitu HIV dan pengguna narkoba suntik membawa ancaman yang paling mendesak dan paling mengkhawatirkan, serta membutuhkan tanggapan yang tepat dan cepat di Indonesia. Dalam konteks seperti itulah saya menyambut gembira dipublikasikannya hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) tahun 2004/2005 ini, karena sesuai dengan amanat yang diemban dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, maka Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) - Departemen Kesehatan berkewajiban melakukan surveilans epidemiologi penyakit menular, dimana sebagian kecil dari kegiatan tersebut berupa pelaksanaan SSP, yang merupakan bagian dari Surveilans HIV generasi kedua. Hasil SSP ini diharapkan bermanfaat dalam mengetahui besarnya masalah, menentukan sasaran program, juga berfungsi sebagai alat evaluasi program, kebijakan dan intervensi yang telah dilaksanakan pada beberapa kelompok populasi rawan. Dengan terlaksananya kegiatan SSP 2004-2005, kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segenap pihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam pelaksanaannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Jakarta, September 2005 Direktur Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan
Dr. I Nyoman Kandun, MPH
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
iii
Daftar Isi Kata Pengantar ....................................................................................................................... Daftar Isi .................................................................................................................................. Daftar Gambar ....................................................................................................................... Daftar Tabel ............................................................................................................................ Tabel Indikator Kunci ..........................................................................................................
i v vii ix xi
Pendahuluan ........................................................................................................................... Umum ............................................................................................................................... Cara Penyajian .................................................................................................................
1 1 1
1.
Situasi Risiko Penularan HIV ..................................................................................... Situasi Epidemi dan Dinamika Perilaku Berisiko ...................................................... Situasi Epidemi di Sumatera Selatan............................................................................ Penularan melalui Seks Komersial .............................................................................. Mobilitas Seks Berisiko................................................................................................... Asal Penjaja Seks dan Pelanggannya ........................................................................... Jenis Pekerjaan Pelanggan Penjaja Seks ....................................................................... Tren Kaum Pria dalam Membeli Seks ......................................................................... Frekuensi Kontak Seks Komersial ................................................................................ Tarif Seks ..........................................................................................................................
3 3 5 6 6 8 9 10 10 11
2.
Tingkat Perilaku Berisiko dan Kecenderungannya ............................................... Perilaku Berisiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya ........................................... Tren Perilaku Seks ......................................................................................................... Pengaruh Alkohol dan Narkoba terhadap Perilaku Seks Komersial Tanpa Kondom ........................................................................................................................... Persepsi Risiko dari Orang yang Berperilaku Berisiko .............................................
13 13 13
3.
4.
15 16
Perilaku Pencegahan HIV dan Pencarian Pengobatan IMS.................................. Tren Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Komersial ..................................... Perilaku Pemakaian Kondom pada Seks Komersial menurut Pengetahuan, Ketersediaan, Punya, dan Menawarkan...................................................................... Alasan Utama Tidak Memakai Kondom.....................................................................
21 24
Pencarian Pengobatan IMS dan Tes HIV.................................................................. Pengetahuan yang Salah tentang Pencegahan HIV................................................... Tren Perilaku Pencarian Pengobatan IMS .................................................................. Pengetahuan tentang HIV hanya Bisa dengan Tes Darah ....................................... Perilaku Tes HIV.............................................................................................................
27 27 29 32 33
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
19 19
v
5.
Program Pencegahan dan Dampaknya...................................................................... Program Pencegahan ..................................................................................................... Program Penyuluhan ..................................................................................................... Distribusi Kondom ......................................................................................................... Dampak Program............................................................................................................
35 35 36 37 38
6.
Penyebaran dan Penularan: Perpindahan HIV antar Populasi ...........................
43
7.
Kesimpulan dan Saran.................................................................................................. Temuan Kunci ................................................................................................................. Penularan melalui Seks Komersial............................................................................... Tren Perilaku Seks dan Transmisi antar Kelompok .................................................. Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan IMS dan HIV.............................................. Upaya Pencegahan dengan Penjangkauan dan Penyuluhan................................... Usulan Tindakan.............................................................................................................
45 46 46 46 46 47 47
Lampiran: A.
Survei Surveilans Perilaku (SSP) ...............................................................................
49
B.
Metodologi Survei ......................................................................................................... Sasaran Survei ................................................................................................................. Metode Survei ................................................................................................................. Hasil Listing.....................................................................................................................
51 51 52 53
C.
Karakteristik Responden.............................................................................................. Umur ........................................................................................................................... Status Perkawinan .......................................................................................................... Pendidikan ......................................................................................................................
55 55 56 57
vi
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Daftar Gambar Gambar 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7
4.1
Judul Gambar Tingkat Penularan Tertinggi pada Sub Populasi Tertentu di Indonesia, 2002-2004 ................................................................................................................. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV di Sumsel, 2005 ................................. Estimasi ODHA di Sumsel, 2005 ......................................................................... Lama Menjadi Penjaja Seks (Tahun) ................................................................... Persentase Responden yang Pernah Menjadi Penjaja Seks di Propinsi Lain . Persentase WPS menurut Asal Pelanggan ......................................................... Persentase Responden Pria yang Membeli Seks Setahun Terakhir ................ Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Sebulan (Pelanggan) ..................................................................................... Rata-rata Tarif pada Seks Komersial Terakhir (yang Diterima Penjaja Seks dan Dibayarkan Pelanggan) ................................................................................. Persentase Responden Pria menurut Perilaku ABC ......................................... Persentase Responden Pria menurut Perilaku Seks ......................................... Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Mengkonsumsi Alkohol atau Tidak .................................. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Penggunaan Narkoba .......................................................... Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Merasa Berisiko Tertular HIV atau Tidak .........................
Hlm
4 5 6 7 8 9 10 11 12 14 14 15 16 17
Tren Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Terakhir ............................... Persentase Pemakaian Kondom pada Seks Komersial ..................................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pengetahuan bahwa Kondom Dapat Mencegah HIV ..................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Kemudahan Memperoleh Kondom .................................................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Punya Tidaknya Kondom .................................................................... Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Frekuensi Menawarkan Kondom ....................................................... Persentase Responden menurut Alasan Tidak Mau Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir .............................................................................
25
Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV .......................................................................................................
28
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
20 20 21 22 23 24
vii
Gambar 4.2
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8
6.1 6.2
viii
Judul Gambar
Hlm
Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV menurut Alasan Tidak Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir ................................................................................................ Persentase Responden yang Berobat ke Petugas Kesehatan Ketika Mengalami Gejala IMS .......................................................................................... Persentase Responden yang Melakukan Pengobatan Sendiri Ketika Mengalami Gejala IMS .......................................................................................... Pola Pencarian Pengobatan Ketika Mengalami Gejala IMS ............................ Persentase Responden yang Pernah Diperiksa Kelamin dalam Sebulan Terakhir ................................................................................................................... Persentase WPS yang Pernah Disuntik untuk Pencegahan IMS Sebulan Terakhir ................................................................................................................... Persentase Responden yang Tahu bahwa HIV Bisa Diketahui Hanya dengan Tes Darah .................................................................................................. Persentase Responden yang Pernah Tes HIV dan Konseling selama Setahun Terakhir .................................................................................................... Tren Persentase Responden ynag Pernah Mendapat Penyuluhan ................ Persentase Responden menurut Cakupan Intervensi tentang HIV/AIDS ... Persentase Penjaja Seks dan Pelanggannya menurut Akses terhadap Kondom ................................................................................................................... Persentase yang Tahu Cara untuk Menghindari HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi ............................................................................................... Persentase Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi ............................................................................................... Persentase Penjaja Seks yang Sering atau Selalu Menawarkan Kondom menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM ...................................................... Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM ...................................................... Persentase Penjaja Seks yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan HIV ................ Persentase Responden yang Pernah Mencoba Narkoba Suntik ..................... Persentase Responden Pria yang Pernah Berhubungan Seks Komersial Tanpa Kondom Setahun Terakhir menurut Status Perkawinan ....................
28 29 30 31 31 32 33 34 36 37 38 39 40 40 41 42 44 44
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Daftar Tabel Tabel
Judul Tabel
Hlm
B
Jumlah Lokasi dan Perkiraan Populasi menurut Kelompok Sasaran.............
53
C.1
Persentase Responden menurut Kelompok Umur ............................................
56
C.2
Rata-rata dan Median Umur Responden ............................................................
56
C.3
Persentase Responden menurut Status Perkawinan .........................................
57
C.4
Persentase Responden menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan.....
57
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
ix
Tabel Indikator Kunci Keterangan
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Pria
1
2
1
2
1
2
Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
85,60
76,40
94,00
89,50
87,80
82,00
Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
54,40
55,60
72,50
75,00
58,50
55,50
Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
-
-
42,50
57,30
Persentase yang pernah mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
-
-
-
40,80
47,30
Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir
6,80
6,60
5,80
8,00
-
-
Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
32,50
48,40
58,20
61,50
17,70
15,00
Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
7,80
18,90
23,60
34,20
3,60
11,40
Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
2,80
1,20
5,00
1,50
0,00
0,30
Persentase yang mengalami gejala penyakit menular seksual (PMS) dalam setahun terakhir
19,20
24,40
17,50
15,50
13,00
9,90
Persentase yang berobat ke Petugas Kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
81,30
59,00
57,10
71,00
55,30
35,10
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
xi
Pendahuluan Umum Lokakarya hasil SSP 2002-2003 yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2003 merekomendasikan agar SSP dapat diulang kembali dalam rentang waktu antara 2 sampai 3 tahun, untuk mengetahui seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku pada kelompok sasaran yang diteliti. Merujuk pada rekomendasi tersebut maka pada tahun 2004/2005, BPS bekerjasama dengan Depkes kembali melaksanakan SSP dengan dukungan FHI/USAID di 13 lokasi (kabupaten/kota) dan dengan dukungan IHPCP/AusAID di 3 lokasi. SSP juga dilaksanakan di Kota Pontianak pada bulan April 2004 atas kerjasama Depkes dengan BPS dengan dukungan WHO. SSP 2004/2005 pada dasarnya merupakan pengulangan dari SSP 2002/2003, baik lokasi survei maupun kelompok sasaran terpilih. Namun demikian, dalam SSP 2004/2005 dilakukan penambahan dan perubahan cakupan kelompok sasaran di beberapa lokasi, termasuk juga penambahan satu lokasi terpilih (Kota Bandung). Tambahan cakupan kelompok sasaran adalah untuk kelompok lelaki suka lelaki dan waria di Jakarta, Surabaya, dan Bandung, dan untuk kelompok pengguna narkoba suntik di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Selain itu dilakukan pula perubahan kelompok sasaran yaitu pegawai negeri sipil di Jayapura (sebelumnya TNI/POLRI), dan buruh/karyawan pabrik di Kabupaten Karawang (sebelumnya pelaut/nelayan). Untuk sasaran kelompok remaja dilakukan penggantian, yaitu dari remaja usia 15-24 tahun (SSP 2002/2003 di Kabupaten Merauke) menjadi remaja SLTA di Kota Surabaya. Mengingat banyaknya kelompok sasaran yang dicakup dan sulitnya metodologi dan penjangkauan sasaran tertentu, maka pelaksanaan SSP di beberapa kota dilaksanakan secara bertahap. Untuk Kota Surabaya misalnya, pencacahan kelompok sasaran WPS, pelanggan pria dan pengguna narkoba suntik (penasun) dilaksanakan pada tahun 2004, sementara untuk kelompok sasaran lelaki suka lelaki (gay dan kucing) serta remaja SLTA dilaksanakan pada triwulan pertama tahun 2005. Di Kota Palembang, kelompok sasaran SSP 2003 dan 2005 tetap sama yaitu WPS (langsung dan tak langsung) dengan pelanggannya yaitu supir/kernet truk. Cara Penyajian Publikasi dibuat untuk masing-masing wilayah survei (lingkup provinsi) dan mencakup seluruh kelompok sasaran terpilih di setiap kabupaten/kota tersebut. Hasil SSP untuk “bukan kelompok risiko tinggi”yaitu kelompok remaja SLTA (di Jakarta dan Surabaya), buruh/karyawan pabrik (di Kabupaten Karawang), dan pegawai negeri sipil (di Kota Jayapura) juga digabungkan ke dalam satu publikasi agar memudahkan pembandingan antar kelompok sasaran. Penjelasan umum mengenai SSP dan kaitannya dengan surveilans generasi kedua, serta metodologi survei untuk semua kelompok sasaran terpilih disajikan pada lampiran publikasi ini.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
1
1 Situasi Risiko Penularan HIV Situasi Epidemi dan Dinamika Perilaku Berisiko Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sangat mendesak untuk segera ditanggulangi pada saat ini adalah melaksanakan langkah-langkah respon yang strategik dan tepat untuk menekan laju penularan HIV dan mengurangi dampak dari perluasan epidemi HIV/AIDS. Berbagai fakta yang ada memperlihatkan gambaran yang memprihatinkan, yaitu laju penularan HIV yang cenderung terus meningkat pada beberapa sub populasi yang diamati, serta peningkatan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari waktu ke waktu. Upaya-upaya pencegahan penularan HIV sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk proses pengobatan bagi para penderitanya. Berdasarkan hasil surveilans sentinel HIV nasional pada beberapa sub populasi yang diamati diperoleh gambaran bahwa tingkat penularan HIV menunjukkan kecenderungan meningkat di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil surveilans sentinel HIV menunjukkan bahwa tingkat penularan HIV relatif tinggi pada beberapa sub populasi yang terpantau sampai pertengahan tahun 2004, yaitu tercatat sebesar 48 persen pengguna narkoba suntik, 22 persen waria penjaja seks dan 17 persen wanita penjaja seks, tercatat telah tertular HIV. Bahkan Unit Transfusi Darah PMI DKI Jakarta juga melaporkan kecenderungan peningkatan persentase darah yang diduga telah mengandung HIV berdasarkan hasil penapisan darah donor, yaitu tercatat 0,07 persen pada tahun 2002 menjadi 0,11 persen pada akhir 2003.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
3
Gambar 1.1 Tingkat Penularan Tertinggi pada Sub Populasi Tertentu di Indonesia, 2002-2004 100 90 80
Persentase HIV+
70 60 48
50 40 30 22 17
20 10
25
6
0 Pria Penjaja Seks Wanita Penjaja Seks Waria Penjaja Seks (Jakarta, 2004) (Papua, 2002) (Jakarta, 2002)
Narapidana (Jakarta, 2002)
Pengguna Narkoba Suntik (Jakarta, 2002)
Dalam menentukan kegiatan respon yang tepat dan strategik untuk menekan laju penularan HIV dan menekan dampak epidemik, diperlukan upaya pengkajian yang berbasiskan pada data yang ada dan pemahaman terhadap potensial perluasan epidemi. Juga kita bersama perlu memperkirakan ancaman penyebaran yang semakin cepat pada beberapa sub populasi berisiko dan sangat berpotensi meluas ke populasi umum. Dengan upaya pencegahan yang semakin meluas diharapkan dapat ditekan penularan baru. Sampai saat ini di Indonesia diperkirakan ada sekitar 90-150 ribu orang telah tertular HIV, sehingga dibutuhkan adanya layanan dukungan pada anggota masyarakat yang telah terkena HIV (ODHA). Selain itu perlu mengurangi sikap diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, antara lain dengan menyediakan fasilitas pengobatan serta dukungan perawatan lainnya. Respon pemerintah dan masyarakat sampai saat ini tercermin dengan rumusan tujuh butir Komitmen Sentani yang dideklarasikan pada bulan Januari 2004, kemudian ditindak-lanjuti dengan evaluasi pelaksanaan Komitmen Sentani di Denpasar dan Jakarta pada tahun 2005. Kegiatan respon penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang disepakati dalam Komitmen Sentani antara lain: • Mempromosikan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seksual berisiko dengan target pencapaian 50 persen pada tahun 2005. • Penerapan upaya pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba suntik. • Mengupayakan pengobatan kepada minimal sebanyak 5000 ODHA pada tahun 2004. • Pengurangan stigma dan diskriminasi pada ODHA. • Membentuk dan memfungsikan KPAD Propinsi, Kabupaten dan Kota.
4
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
• Mengupayakan dukungan peraturan, perundangan dan penganggaran kegiatan penanggulangan HIV tersebut. • Mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS. Saat ini ada lebih dari 14 propinsi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah prioritas untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Propinsi-propinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua. Harapan kita bersama tentunya agar pelaksanaan tujuh butir komitmen pemerintah tersebut dapat berdampak dalam menekan laju penularan HIV di Indonesia. Situasi Epidemi di Sumatera Selatan Perencanaan kegiatan respon penanggulangan epidemi yang strategik di suatu wilayah perlu berbasiskan pada informasi tentang jumlah sub populasi rawan yang ada dan pemahaman terhadap potensi perluasan epidemi. Gambar 1.2 menunjukkan hasil estimasi jumlah populasi rawan HIV di Sumatera Selatan.
Gambar 1.2 Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV di Sumsel, 2005 160,000 141,770 140,000
120,000
100,000 75,160
80,000
60,000
40,000
20,000
11,670 110
4,150
2,190
0 Penasun
Napi
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
Pasangan tetap orang risiko tinggi
Wanita penjaja seks
Pelanggan penjaja seks
Waria, Gay, & Kucing
5
Gambar 1.3. Estimasi ODHA di Sumsel, 2005
Penasun 1% Waria, Gay, Kucing 6%
Napi 3%
Pasangan tetap orang risiko tinggi 6%
Wanita penjaja seks 22%
Pelanggan penjaja seks 62%
Hasil estimasi juga menunjukkan ada dua perilaku berisiko yang terbesar dalam menyumbang jumlah ODHA di Sumatera Selatan, yaitu lelaki pelanggan penjaja seks wanita (62 persen) dan wanita penjaja seks (22 persen). Upaya dukungan dan perawatan bagi yang telah terkena HIV perlu diprioritaskan pada kelompok tersebut, termasuk layanan tes HIV yang bersifat sukarela dan melalui konseling. Penularan melalui Seks Komersial Ada beberapa cara HIV menular ke dalam tubuh manusia, yang pada dasarnya terjadi melalui pertukaran cairan tubuh, seperti berhubungan seks, transfusi darah, menggunakan jarum suntik yang tak steril secara bersama, ketidakbersihan dalam mengelola alat medis, dan dari seorang ibu ketika melahirkan bayinya. Penularan utama HIV di Indonesia adalah melalui jalur seks dengan pasangan seks yang banyak dan berganti-ganti maupun penggunaan jarum suntik tak steril secara bersama pada pengguna narkoba suntik. Dampak penularan pada perilaku seks berisiko tersebut dapat semakin meluas dengan mobilitas penjaja seks dan pelanggannya yang tinggi. Di samping itu jumlah kontak seksual komersial antara penjaja seks dan pelanggannya tanpa menggunakan kondom akan lebih memudahkan penularan dan infeksi menular seksual dan HIV. Mobilitas Seks Berisiko Penjaja seks, baik perempuan, waria, maupun kucing, merupakan kelompok yang sangat berisiko tertular HIV. Risiko penularan dapat semakin meningkat sejalan dengan lama menjadi penjaja seks dan mobilitas penjaja seks atau menjadi penjaja seks yang berpindahpindah baik antar kota maupun antar propinsi.
6
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Dilihat dari lamanya, WPS tak langsung di Palembang mempunyai lama kerja yang lebih tinggi dibanding penjaja seks lainnya yaitu WPS langsung. Rata-rata lama WPS tak langsung di Palembang sebagai penjaja seks sekitar 3-4 tahun, sedikit lebih lama dibanding WPS langsung sebagai penjaja seks yang sekitar 2-3 tahun. Gambar 1.4. Lama menjadi Penjaja Seks (Tahun) 5
4 3,3 2,8
Tahun
3
2,3 2
1,7
1
0 WPS Langsung Lama menjadi penjaja seks (tahun)
WPS Tak Langsung Lama menjadi penjaja seks di Palembang (tahun)
Jam terbang WPS tak langsung sebagai penjaja seks tidak terlalu lama dibanding WPS langsung
Rata-rata lama WPS tak langsung menjadi penjaja seks kurang dari 4 tahun dan 3 tahun diantaranya dilakukan di Palembang, berarti selama 1 tahun WPS tak langsung di Palembang pernah menjadi penjaja seks di daerah lain. Begitu pula untuk WPS langsung yang mempunyai pengalaman pernah menjadi penjaja seks juga 1 tahun di luar Palembang. Dilihat dari banyaknya penjaja seks yang pernah menjual seks di propinsi lain, ternyata WPS langsung lebih tinggi persentasenya dibanding WPS tak langsung. Sekitar 27 persen WPS langsung pernah menjadi penjaja seks di propinsi lain, sementara pada kelompok WPS tak langsung sekitar 18 persen. Semakin banyak penjaja seks yang pernah menjadi penjaja seks di propinsi lain, maka akan semakin efektif pula penyebaran virus ini. Persentase yang cukup tinggi juga terlihat pada kelompok lelaki berisiko karena potensial menjadi pelanggan WPS. Dari pria yang menjadi responden, yaitu supir/kernet truk, sebanyak 40 persen menyatakan pernah beli seks di propinsi lain selama setahun terakhir.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
7
Gambar 1.5. Persentase Responden yang Pernah menjadi Penjaja Seks di Propinsi Lain 100 90 80 70 Persen
60 50 40 30
27.2 18.0
20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Mobilitas WPS langsung di Palembang lebih tinggi dibanding WPS tak langsung
Asal Penjaja Seks dan Pelanggannya Sebagian besar WPS langsung di Kota Palembang berasal dari Propinsi Jawa Barat sebesar 46 persen, Jawa Timur 19 persen, dan Propinsi Sumatera Selatan sendiri hanya 13 persen. WPS tak langsung di Kota Palembang sebagian besar berasal dari Propinsi Jawa Barat 35 persen, Propinsi Sumatera Selatan 28 persen, dan Propinsi Jawa Tengah 16 persen. Dilihat dari daerah asalnya propinsi Jawa Barat mendominasi sebagai “pemasok” penjaja seks di kota Palembang. Dari sisi pelanggan diperoleh gambaran bahwa sekitar 51 persen supir/kernet truk yang menjadi responden berasal dari Propinsi Sumatera Selatan, selebihnya berasal dari propinsipropinsi lain, baik di Jawa maupun luar Jawa seperti Propinsi Sumatera Utara sebesar 11 persen, Propinsi Lampung 8 persen, dan propinsi lainnya. Hal ini berpeluang membuat penyebaran HIV menjadi lebih cepat, apalagi lebih dari sepertiga dari jumlah supir/kernet truk tersebut pernah beli seks di luar Propinsi Sumatera Selatan. Daerah asal pelanggan juga sangat penting dalam melihat situasi penyebaran HIV, karena pelanggan WPS kemungkinan juga melakukan hubungan seks dengan orang lain, baik dengan istri, pacar, maupun dengan WPS di tempat asalnya. Menurut informasi dari WPS, separuh lebih pelanggannya adalah penduduk setempat (68 persen pelanggan WPS langsung dan 70 persen pelanggan WPS tidak langsung). Diantara pelanggan pendatang, mayoritasnya adalah pendatang WNI . Pelanggan WNI yang datang pada WPS langsung 17
8
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
persen dan WPS tak langsung 18 persen. Asal pelanggan yang tidak diketahui, cukup banyak pada WPS langsung 14 persen sedang WPS tak langsung hanya 10 persen. Besarnya proporsi WPS yang tidak mengetahui dari mana asal pelanggan bukanlah suatu yang luar biasa, karena banyak WPS yang tidak merasa perlu tahu dari mana asal pelanggan mereka. Yang mereka tahu biasanya dari logat bicara pelanggan atau langganan lama. Gambar 1.6. Persentase WPS menurut Asal Pelanggan 100 90 80 70
68.0
70.0
Persen
60 50 40 30 16.8
20
18.5
10
14.0 1.2
10.5
1.0
0 Penduduk setempat
Pendatang WNI WPS Langsung
Pendatang WNA
Tidak tahu
WPS Tak Langsung
Menurut WPS, sebagian besar pelanggan mereka adalah penduduk setempat dan pendatang WNI
Jenis Pekerjaan Pelanggan Penjaja Seks Sebagian besar WPS ternyata tidak tahu apa jenis pekerjaan para pelanggannya. Ini ditunjukkan oleh besarnya proporsi WPS yang menyatakan itu, di kalangan WPS langsung hampir 44 persen dan WPS tak langsung 49 persen. Sementara itu, pegawai swasta dan pedagang, yang menjadi pelanggan WPS langsung maupun WPS tak langsung persentasenya cukup besar masing-masing sekitar 18-20 persen untuk pegawai swasta dan 13-15 persen untuk pedagang.
Sebagian besar WPS tidak mengetahui pekerjaan pelanggan mereka
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
9
Tren Kaum Pria dalam Membeli Seks Seperti diketahui bahwa seks merupakan bagian dari kehidupan manusia. Laki-laki yang tidak setiap hari pulang ke rumah berpotensi untuk melakukannya di luar rumah dengan cara membeli. Hasil SSP pada kelompok supir/kernet truk di Palembang menunjukkan bahwa tren supir/kernet truk dalam membeli seks meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 lebih dari separuh dari supir/kernet truk membeli seks dalam setahun terakhir, ada peningkatan yang cukup berarti dibandingkan keadaan tahun 2003 yang kala itu baru berkisar 42 persen. Dari hasil survei diketahui pula bahwa sekitar 56 persen supir/kernet truk yang sudah beristri juga suka membeli seks. Kecenderungan mereka yang sudah beristri dalam membeli seks juga terlihat tidak menurun, bahkan persentase kenaikannya lebih tinggi dibandingkan dengan supir/kernet truk pada umumnya. Keadaan ini menunjukkan tingginya potensi penyebaran virus HIV ke istri atau pasangan tetapnya.
Gambar 1.7. Persentase Responden Pria yang Membeli Seks Setahun Terakhir 100 90 80
Persen
70 57.3
60 50
56.2
42.5
40.4
40 30 20 10 0 Supir/Kernet Truk
Supir/Kernet Truk yang Beristri 2003
2005
Kecenderungan pria untuk membeli seks tidak banyak berubah bahkan pada pria yang sudah beristri justru meningkat, suatu hal yang dapat mempercepat penyebaran HIV Frekuensi Kontak Seks Komersial Salah satu hal yang mempercepat penularan HIV adalah banyaknya kontak seks komersial yang terjadi. Banyak sedikitnya kontak seks komersial dapat diindikasikan dari jumlah dan frekuensi pelanggan yang mendapat pelayanan seks dari penjaja seks.
10
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Penjaja seks yang mempunyai pelanggan terbanyak dalam seminggu adalah WPS tak langsung (8 orang), sedangkan WPS langsung (6-7 orang). Ada peningkatan jumlah pelanggan pada kelompok WPS tak langsung dari sekitar 6 orang menjadi sekitar 8 orang di tahun 2005, sedangkan WPS langsung hampir sama sekitar 7 orang dalam seminggu. Kalangan responden pria justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Bila pada tahun 2003 mereka biasa beli seks sekitar 3 kali sebulan, maka pada tahun 2005 menjadi 1-2 kali sebulan.
Gambar 1.8. Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Sebulan (Pelanggan) 9 8.0
8 6.8
7
6.6 5.8
6 5 4
2.8
3
1.6
2 1 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Dilihat dari jumlah pelanggan WPS, permintaan jasa seks pada WPS tak langsung menunjukkan peningkatan cukup berarti
Tarif Seks Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kecenderungan lelaki beli seks tidak berubah antar waktu dan juga tidak sedikit jumlah kontak seks komersial antara penjaja seks dan pelanggannya meskipun tarif seks tidak turun. Bahkan pada WPS langsung tarif seks meningkat dari sekitar 80 ribu rupiah menjadi 90 ribu rupiah. Yang cukup menarik bahwa ada penurunan sedikit tarif WPS tak langsung dari 147 ribu rupiah ke 146 ribu rupiah antara tahun 2003 ke 2005. Fenomena tarif WPS tak langsung yang hampir konstan dari tahun 2003 ke tahun 2005 justru meningkatkan jumlah frekwensi pelanggan perminggunya yang ratarata 6-7 orang di tahun 2003 menjadi 8 orang di tahun 2005.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
11
Dilihat dari uang yang dibayarkan supir/kernet truk sebagai pelanggan WPS ternyata nilainya hampir setengah dari tarif rata-rata WPS langsung. Hal ini dapat berarti bahwa supir/kernet truk sebagai responden pria dalam SSP di Palembang pada umumnya mewakili kelompok pelanggan WPS langsung kelas bawah.
Gambar 1.9. Rata-rata Tarif pada Seks Komersial Terakhir (Yang diterima Penjaja Seks dan Dibayarkan Pelanggan) 160
147.1
146.7
140
Ribuan Rupiah
120 100
91.5 82.5
80 53.5
60 43.5 40 20 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Responden pria risiko tinggi dalam SSP di Palembang umumnya mewakili kelompok pelanggan WPS langsung jika dilihat dari tarif yang dibayarkan
12
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
2 Tingkat Perilaku Berisiko dan Kecenderungannya Perilaku Berisiko pada Penjaja Seks dan Pelanggannya Tiga cara yang kerap dianjurkan bagi kelompok berisiko dalam berperilaku seks adalah tidak berhubungan seks (Abstinence), hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang setia (Be faithful), atau kalau beli seks/punya banyak pasangan seks yang bergantian harus selalu menggunakan kondom (Condom). Ketiga cara tersebut diatas lazim disingkat dengan perilaku ABC. Tren Perilaku Seks Perilaku seks responden pria (supir/kernet truk) berdasarkan hasil pengumpulan data pada dua putaran (tahun 2003 dan 2005) di Palembang menunjukkan kecenderungan semakin berbahaya. Ini terlihat dari semakin mengecilnya persentase mereka yang setia pada satu pasangan, dan membesarnya persentase mereka yang berperilaku seks berisiko dari 43 persen pada tahun 2003 menjadi 53 persen pada tahun 2004. Meskipun demikian, walaupun persentasenya relatif kecil, yang selalu menggunakan kondom pada saat beli seks juga meningkat dari 4 persen menjadi 9 persen.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
13
Gambar 2.1. Persentase Responden Pria menurut Perilaku ABC
2005
6.8
2003
31.5
9.5
0
9.0
52.8
44.3
10
20
30
Tidak Berhubungan seks (A)
3.5
40
50 Persen
Saling Setia (B)
42.8
60
70
80
Selalu Pakai Kondom (C)
90
100
Perilaku Berisiko
Perilaku seks responden pria semakin berbahaya
Dari responden pria berisiko di atas, 16 persennya sudah mulai berhubungan seks sejak sebelum menikah, dan hampir setengahnya pernah berhubungan seks dengan orang selain istri/pasangan tetapnya setelah menikah dalam setahun terakhir ini. Gambar 2.2. Persentase Responden Pria menurut Perilaku Seks 100 90 80
Persen
70
57.3
60
47.3
46.8
50 40 30 20
15.5
10
0.8
0
Pernah Pernah Pernah Berhubungan Seks Berhubungan Seks Berhubungan Seks sebelum Menikah dengan Wanita Lain Komersial Selain Istri/Pasangan dalam Setahun Tetap dalam Terakhir Setahun Terakhir
14
Mempunyai Pasangan Seks lebih dari Satu
Pernah Melakukan Seks Anal dengan Laki-laki/Waria
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Separuh lebih responden pria suka jajan seks di luar rumah
Pengaruh Alkohol dan Narkoba terhadap Perilaku Seks Komersial Tanpa Kondom Lebih dari dua pertiga WPS, baik WPS langsung maupun tak langsung berhubungan seks komersial tanpa kondom. Proporsi WPS langsung yang berhubungan seks tanpa kondom sedikit lebih besar dari WPS tak langsung. Perilaku berhubungan seks komersial tanpa kondom mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya adalah karena kebiasaan minum minuman beralkohol atau mengkonsumsi narkoba. Kerap kali pria atau WPS yang ingin berhubungan seks, terlebih dahulu minum minuman beralkohol atau mengkonsumsi narkoba, barangkali dengan maksud menambah gairah seks atau tujuan lain. Dari ketiga kelompok yang cukup besar persentasenya mengkonsumsi alkohol dan berhubungan seks tanpa kondom sebagai berikut; kelompok WPS langsung sebesar 85 persen, WPS tak langsung sebesar 71 persen, dan kelompok supir/kernet truk sebesar 52 persen.
Gambar 2.3. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Mengkonsumsi Alkohol atau Tidak 100 84.9
90 80
71.8
70.9
Persen
70
64.4
60
51.6
50 40 25.5
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak mengkonsumsi alkohol
Supir/Kernet Truk Mengkonsumsi alkohol
Pengaruh alkohol dalam berhubungan seks komersial tanpa kondom terlihat nyata pada kelompok supir/kernet truk
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
15
Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap hubungan seks komersial tanpa kondom adalah penggunaan narkoba. Menggunakan narkoba sebelum melakukan hubungan seks, dapat menyebabkan seseorang lupa atau tidak merasa perlu menggunakan kondom. Sebagaimana pada penggunaan alkohol, proporsi supir/kernet truk yang tidak menggunakan kondom pada seks komersial jauh lebih tinggi pada kelompok pengguna narkoba. Dari supir/kernet truk yang menggunakan narkoba, sekitar 73 persen pernah berhubungan seks secara komersial tanpa kondom, sedangkan yang tidak menggunakan narkoba proporsinya sekitar 45 persen. Pengaruh penggunaan narkoba dan tidak menggunakan narkoba terhadap pemakaian kondom dalam hubungan seks secara komersial terlihat perilakunya tidak berbeda jauh pada kelompok WPS. Kelompok WPS langsung sangat rentan karena perilaku berhubungan seks tanpa kondom untuk yang menggunakan narkoba cukup tinggi sebesar 89 persen.
Gambar 2.4. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Penggunaan Narkoba 100 88.6
90 80
78.3
77.5
Persen
73.1
65.6
70 60
45.2
50 40 30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak pernah menggunakan narkoba
Supir/Kernet Truk Pernah menggunakan narkoba
Persepsi Risiko dari Orang yang Berperilaku Berisiko Banyak kelompok yang berisiko sadar bahwa pekerjaan dan perilaku seks mereka berisiko tertular HIV. Orang yang merasa berisiko tertular HIV mestinya berusaha melindungi diri mereka, dengan cara selalu berhubungan seks komersial pakai kondom. Namun kenyataannya justru diantara mereka yang merasa berisiko tertular HIV, lebih banyak persentase yang berperilaku seks tidak aman yaitu pernah berhubungan seks komersial tanpa menggunakan kondom. Perbedaan yang sangat nyata terlihat pada supir/kernet truk. Supir/kernet truk yang merasa berisiko jauh lebih besar proporsinya daripada yang tidak merasa berisiko, ketika mereka berhubungan seks tanpa menggunakan kondom, yaitu 67 persen berbanding 27 persen.
16
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Pada kelompok WPS langsung maupun WPS tak langsung yang pernah berhubungan seks komersial tanpa kondom setahun terakhir pada umumnya yang merasa berisiko tertular HIV maupun yang tidak merasa berisiko tertular HIV relatif tidak banyak berbeda, terutama pada WPS tak langsung.
Gambar 2.5. Persentase Responden yang Pernah Hubungan Seks Komersial Tanpa Kondom menurut Merasa Berisiko Tertular HIV atau Tidak 100 90 80
83.6 74.2 65.9
Persen
70
66.7
65.8
60 50 40 26.5
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung Tidak merasa berisiko
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
Supir/Kernet Truk
Merasa berisiko
17
3 Perilaku Pencegahan HIV Tren Perilaku Penggunaan Kondom pada Seks Komersial Upaya pencegahan terhadap penularan HIV antara lain bisa dilakukan dengan berpantang seks, setia dengan satu pasangan saja, pakai kondom waktu berhubungan seks, dan tidak menggunakan narkoba suntik secara bersama. Diantara tiga kelompok berisiko yang tersedia tren datanya, terlihat adanya variasi perubahan perilaku penggunaan kondom. Perubahan berarti terjadi pada WPS langsung, di mana yang menggunakan kondom dalam berhubungan seks komersial yang terakhir meningkat dari sekitar 32 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 48 persen pada tahun 2005. Di kelompok WPS tak langsung, peningkatan persentase penggunaan kondom meskipun tidak terlalu besar tetapi ada yaitu dari sekitar 58 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 62 persen pada tahun 2005. Di kelompok supir/kernet truk justru terjadi penurunan walaupun relatif kecil.
Ada perkembangan baik dalam menggunakan kondom di kalangan WPS langsung dan WPS tak langsung
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
19
Gambar 3.1. Tren Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Terakhir 100 90 80
Persen
70 58.2
60 48.4
50 40
61.5
32.5
30 17.7
20
15.0
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Tingkat penggunaan kondom secara umum lebih tinggi di kalangan WPS tak langsung dari pada WPS langsung. Dilihat dari konsistensi penggunaan kondom, yaitu selalu menggunakan kondom pada seks komersial, yang paling tinggi konsistensinya adalah WPS tak langsung, yaitu 34 persen selalu menggunakan kondom saat jual seks. Sebaliknya, supir/kernet truk adalah yang paling tidak konsisten dalam penggunaan kondom pada seks komersial.
Gambar 3.2. Persentase Pemakaian Kondom pada Seks Komersial 100 90 80
Persen
70
61.5
60 50
48.4
40
34.2
30 20
18.9
15.0
11.4
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Supir/Kernet Truk
Pakai kondom pada seks komersial terakhir Selalu pakai kondom pada seks komersial seminggu terakhir (penjaja seks) dan setahun terakhir (pelanggan)
20
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Perilaku Pemakaian Kondom pada Seks Komersial menurut Pengetahuan, Ketersediaan, Punya, dan Menawarkan Di dalam seks komersial kondom merupakan alat yang sangat ampuh untuk menanggulangi penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS. Pengetahuan akan keampuhan kondom merupakan salah satu materi yang sering diberikan oleh para penyuluh atau petugas lapangan, dengan harapan kelompok sasaran yang dijangkau mengetahui, memahami, dan menindaklanjuti dalam perilaku seksnya. Faktanya, tidak semua penjaja dan pembeli seks menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks komersial. Namun demikian, ternyata pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif terhadap perilaku penggunaan kondom pada seks komersial. Dampak pengetahuan terhadap perilaku ini cukup dominan pada WPS langsung dan tak langsung. Diantara WPS yang tidak tahu bahwa kondom dapat mencegah HIV, hanya sekitar 48 persen dari WPS langsung dan 36 persen dari WPS tak langsung yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, sementara dari WPS yang tahu bahwa kondom dapat mencegah HIV, sekitar 70 persen WPS tak langsung menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir, begitu pula pada kelompok WPS langsung sekitar 49 persen menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir.
Gambar 3.3. Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pengetahuan bahwa Kondom Dapat Mencegah HIV 100 90 80 70.0
Persen
70 60 50
47.8
48.9 36.0
40 30 20 10 0 WPS Langsung Tidak tahu kondom dapat cegah HIV
WPS Tak Langsung Tahu kondom dapat cegah HIV
Pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif bagi perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
21
Ketersediaan kondom di tempat main seks juga diharapkan berdampak positif terhadap penggunaan kondom. Dampak ketersediaan kondom cukup menonjol pada WPS tak langsung dimana tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir di lokasi yang mudah memperoleh kondom sebesar 78 persen, dibanding dengan lokasi yang tidak mudah memperoleh kondom sebesar 51 persen. Meskipun tidak sebesar pada kelompok WPS tak langsung, dampak kemudahan memperoleh kondom di tempat main seks juga cukup berarti dalam meningkatkan penggunaan kondom pada WPS langsung. WPS langsung di lokasi yang mudah memperoleh kondom sebesar 60 persen lebih baik dibandingkan lokasi yang tidak mudah memperoleh kondom sebesar 33 persen saja. Gambar 3.4. Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Kemudahan Memperoleh Kondom 100 90 77.9
80
Persen
70
59.7
60
51.2
50 40
33.0
30 20 10 0 WPS Langsung Kondom tidak mudah diperoleh
WPS Tak Langsung Kondom mudah diperoleh
Perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh kemudahan dalam memperoleh kondom
Pemakaian kondom di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh punya tidaknya kondom. Kesiapan para penjaja seks dengan kondom (punya kondom) tentunya menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan hubungan seks komersial dengan memakai kondom, dan hasil SSP menunjukkan adanya perbedaan tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir diantara penjaja seks yang mempunyai kondom dan yang tidak. Kelompok WPS tak langsung yang menyatakan punya kondom dan menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir cukup tinggi yaitu sebesar 75 persen, sementara bagi mereka yang tidak punya kondom hanya sebesar 35 persen. Untuk kelompok WPS langsung
22
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
yang menyatakan punya kondom dan menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir sebesar 59 persen, sementara bagi mereka yang tidak punya kondom hanya sebesar 24 persen saja.
Gambar 3.5. Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Punya Tidaknya Kondom 100 90 80
74.6
Persen
70 59.2
60 50 40 30
34.9 23.7
20 10 0 WPS Langsung Tidak punya kondom
WPS Tak Langsung Punya kondom
Tingkat penggunaan kondom pada seks komersial juga dipengaruhi oleh kemauan penjaja seks untuk selalu menawarkan pemakaian kondom ketika berhubungan seks kepada pelanggannya. Dari penjaja seks yang tidak pernah menawarkan memakai kondom kepada pelanggannya ternyata pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir tidak sampai 10 persen. Penjaja seks yang kadang-kadang menawarkan kondom, tingkat pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir hanya pada kisaran 30-40 persen. Sementara penjaja seks yang sering menawarkan memakai kondom kepada pelanggannya, tingkat pemakaian kondom pada seks komersial yang terakhir cukup bervariasi yaitu sekitar 30-60 persen. Bahkan tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir di kalangan penjaja seks yang selalu menawarkan dan memakai kondom kepada pelanggannya sangat tinggi, yaitu sekitar 70-80 persen. Pola menawarkan kondom ke pelanggan dan pelanggan yang menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir pada kelompok WPS tak langsung persentase kenaikannya sangat tinggi untuk setiap perilaku menawarkan. Dilihat dari persentase kadang-kadang, sering dan selalu menawarkan, efektivitasnya lebih baik WPS tak langsung dibandingkan dengan kelompok WPS langsung. Sementara itu pada kelompok WPS langsung yang sering menawarkan menggunakan kondom, tingkat penggunaan kondomnya justru lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok yang kadang-kadang menawarkan kondom. Ini membuktikan posisi tawar dari WPS langsung tidak kuat. Sementara itu, kelompok yang selalu menawarkan kondom dan menggunakan kondom pada seks terakhir baik WPS langsung maupun WPS tak langsung persentase keduanya cukup baik.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
23
Gambar 3.6. Persentase yang Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Frekuensi Menawarkan Kondom 100 90 80
79.5 73.8
70
60.0
Persen
60 50 38.5
40 30
31.3
30.2
20 10 0
8.7 6.7 Tidak pernah
Kadang-kadang WPS Langsung
Sering
Selalu
WPS Tak Langsung
Perilaku penggunaan kondom di kalangan penjaja seks juga sangat dipengaruhi oleh frekuensi penjaja seks menawarkan kondom kepada pelanggannya
Alasan Utama Tidak Memakai Kondom Ada beberapa alasan yang dikemukakan responden mengapa mereka enggan menggunakan kondom, diantaranya yang paling dominan adalah lelaki pasangan seksnya tidak mau pakai. Jawaban ini diperoleh, baik dari sisi penjaja seks maupun pelanggannya. Selain itu, cukup banyak juga yang beralasan mereka merasa aman karena sudah minum obat, atau menganggap pasangan seksnya bersih. Persentase terbesar responden dengan alasan pelanggan tidak mau pakai kondom pada seks komersial yang terakhir adalah pada kelompok WPS tak langsung (81 persen), kemudian kelompok WPS langsung (79 persen), dan supir/kernet truk sebesar (63 persen). Alasan tidak ada kondom merupakan persentase terbesar kedua setelah alasan pelangan tidak mau pakai kondom.
24
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Gambar 3.7. Persentase Responden menurut Alasan Tidak Mau Memakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir
63.1
Supir/Kernet Truk
WPS Tak Langsung
81.3
WPS Langsung
79.0
0
10
20
30
40
Tidak ada kondom Menganggap pasangan bersih Lainnya
50 Persen
60
70
80
90
100
Laki-laki tidak mau pakai kondom Sudah minum obat
Tidak mau memakai kondom pada seks komersial merupakan alasan yang sama diungkapkan oleh penjaja seks dan pelanggannya
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
25
4 Pencarian Pengobatan IMS dan Tes HIV Pengetahuan merupakan dasar untuk dapat memahami suatu permasalahan. Meskipun tidak selalu berkaitan langsung dengan upaya yang diambil dan cara yang ditempuh untuk menghindari penularan IMS dan HIV, mengetahui tentang cara menghindar dan kemana mencari pertolongan ketika terserang penyakit menular seksual, merupakan hal yang perlu diketahui oleh setiap orang, apalagi yang berisiko tinggi untuk tertular IMS maupun HIV. Pengetahuan yang Salah tentang Pencegahan HIV Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menjadi pendorong untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar tidak tertular virus tersebut. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku seseorang tidak selalu konsisten dengan tingkat pengetahuannya. Salah satu pengetahuan yang “tidak benar”, yang mencuat ke permukaan adalah adanya anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV. Paling tidak ada sekitar 36 persen WPS langsung, kemudian 40 persen WPS tak langsung, dan 28 persen supir/kernet truk yang beranggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV. Mungkin karena keyakinan tersebut, maka mereka tidak menggunakan kondom dalam berhubungan seks komersial karena sudah merasa aman dengan minum obat.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
27
Gambar 4.1. Persentase Responden yang Menganggap bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV 100 90 80
Persen
70 60 50 39,5
35,6
40
28,0
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Sopir/Kernet Truk
Dari responden yang mempunyai anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV dan tidak menggunakan kondom pada seks komersial yang terakhir ternyata sebagian besar beralasan bahwa laki-laki atau pelanggannya yang tidak mau pakai kondom. Hal ini diungkapkan oleh WPS langsung (80 persen), WPS tak langsung (82 persen), supir/kernet truk (59 persen). Alasan terbesar kedua adalah karena tidak ada kondom sehingga tidak pakai kondom saat berhubungan seks.
Gambar 4.2. Persentase Responden yang Menganggap Bahwa Minum Obat Dapat Mencegah HIV menurut Alasan Tidak Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir
Supir/Kernet Truk
59.3
WPS Tak Langsung
82.5 1.5
WPS Langsung
79.7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen Tidak ada kondom Menganggap pasangan bersih Lainnya
28
Laki-laki tidak mau pakai kondom Sudah minum obat
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Salah anggapan membuat kelompok risti menjadi salah bertindak dalam mencegah penularan HIV
Tren Perilaku Pencarian Pengobatan IMS Pengetahuan yang benar dalam pencarian pengobatan bagi responden yang mengalami gejala IMS diharapkan dapat mengurangi jumlah penderita penyakit sejenis. Dalam kurun waktu dua putaran SSP di Palembang perilaku responden yang benar dalam mencari pengobatan ketika mengalami gejala IMS tampak cenderung menurun terutama pada kelompok WPS langsung dan supir/kernet truk. Di kalangan WPS langsung, terjadi penurunan dari 81 persen pada tahun 2003 menjadi 59 persen pada tahun 2005, dan di kalangan supir/kernet truk dari 55 persen menjadi 35 persen pada waktu yang sama. Sebelumnya di kalangan WPS tak langsung justru terlihat meningkat dari 57 persen menjadi 71 persen. Hal ini mungkin disebabkan kurang gencarnya penyuluhan tentang IMS di dua kelompok tersebut atau rendahnya daya serap mereka dalam menerima materi penyuluhan.
Gambar 4.3. Persentase Responden yang Berobat ke Petugas Kesehatan ketika Mengalami Gejala IMS 100 90
81,3
80
71,0
Persen
70 60
59,0
57,1
55,3
50 40
35,1
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Ada penurunan perilaku yang benar dalam mencari pengobatan IMS, terutama di kalangan WPS langsung maupun pelanggannya
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
29
Peningkatan perilaku negatif dalam mencari pengobatan ketika mengalami gejala IMS juga sangat didukung dengan peningkatan perilaku negatif yang lain yaitu berusaha mengobati sendiri ketika mengalami gejala IMS. Persentase responden yang melakukan pengobatan sendiri ketika mengalami gejala IMS terlihat meningkat secara drastis, terutama pada WPS langsung yaitu dari 19 persen di tahun 2003 meningkat menjadi 39 persen di tahun 2005, begitu pula pada kelompok supir/kernet truk dengan perubahan proporsi yang berbeda. Gambar 4.4. Persentase Responden yang Melakukan Pengobatan Sendiri ketika Mengalami Gejala IMS 100 90 80
Persen
70 60 50 39,3
40
34,0 25,8
30 20
43,2
42,9
18,8
10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Perilaku pencarian pengobatan ke petugas kesehatan pada kelompok responden supir/kernet truk sebesar 35 persen lebih rendah dibandingkan dengan kelompok WPS langsung yang sudah mencapai 59 persen, dan WPS tak langsung sebesar 71 persen. Responden yang melakukan pengobatan sendiri ketika mengalami gejala IMS lebih dominan pada kelompok supir/kernet truk yaitu sebesar 43 persen. Selain itu ada juga responden yang tidak melakukan sesuatu meskipun mengalami gejala IMS, terutama pada kelompok supir/kernet truk (19 persen).
Meski cukup banyak kelompok risiko tinggi yang berobat ke petugas kesehatan, namun tidak sedikit yang masih mengobati dirinya sendiri
30
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Gambar 4.5. Pola Pencarian Pengobatan ketika Mengalami Gejala IMS
Supir/Kernet Truk
35,1
43,2
WPS Tak Langsung
71,0
WPS Langsung
25,8
59,0
0
10
20
30
39,3
40
50
60
70
80
90
100
Persen Berobat ke petugas kesehatan
Tidak melakukan sesuatu
Mengobati sendiri
Mengingat pekerjaannya berisiko, kelompok risti ini semestinya peduli terhadap kesehatan mereka, demikian juga kesehatan pelanggannya. Meskipun sudah cukup tinggi persentase WPS tak langsung yang memeriksakan kesehatan kelaminnya dalam sebulan terakhir, namun kesadaran ini tampaknya tidak bertambah baik dibandingkan dua tahun sebelumnya. Ini ditunjukkan dengan penurunan persentase yang sangat drastis dari kelompok WPS tak langsung yang memeriksakan kelaminnya dalam sebulan terakhir, yaitu dari 60 persen di tahun 2003 menjadi 34 persen saja di tahun 2005. Pada kelompok WPS langsung justru terjadi peningkatan, yaitu dari 44 persen pada tahun 2003 menjadi 56 persen pada tahun 2005.
Gambar 4.6. Persentase Responden yang Pernah Diperiksa Kelamin dalam Sebulan Terakhir 100 90 80
Persen
70
50
60.0
56.4
60 44.4
40
33.5
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
2005
31
Praktek penyuntikan untuk pencegahan IMS sebenarnya memang tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kekebalan terhadap IMS. Praktek penyuntikan ini dapat menjadi lebih berisiko jika dilakukan secara massal, atau dilakukan sendiri tetapi tidak menggunakan jarum yang steril. Kegiatan penyuntikan untuk pencegahan IMS di kalangan WPS cukup mengkhawatirkan apabila terus meningkat. Praktek penyuntikan untuk kelompok WPS langsung dan WPS tak langsung sudah mulai mengalami sedikit penurunan. Ini dapat dilihat dari perkembangannya antara tahun 2003-2005, terutama pada kelompok WPS tak langsung dari 52 persen di tahun 2003 menurun menjadi 42 persen di tahun 2005.
Gambar 4.7. Persentase WPS yang Pernah Disuntik untuk Pencegahan IMS Sebulan Terakhir 100 90 80
Persen
70 60 50 40
51.5 41.2
42.0
39.6
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
2005
Pengetahuan tentang HIV hanya Bisa dengan Tes Darah Tes darah adalah satu-satunya cara untuk dapat mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari seluruh responden SSP di Palembang, masih kurang dari setengahnya yang tahu bahwa tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui seseorang tertular HIV. Dari semua kelompok responden, pengetahuan WPS tak langsung adalah yang paling baik, ini ditunjukan oleh besarnya persentase mereka (57 persen), diikuti oleh supir/kernet truk dan WPS langsung masing-masing sekitar 47 persen dan 41 persen.
32
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Gambar 4.8. Persentase Responden yang Tahu bahwa HIV Bisa Diketahui Hanya dengan Tes Darah 100 90 80 70 56.5
Persen
60
46.8
50
41.2
40 30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Supir/Kernet Truk
Kalangan WPS tak langsung mempunyai pengetahuan paling baik tentang tes HIV yaitu hanya bisa diketahui dengan tes darah
Perilaku Tes HIV Meski lebih dari 40 persen responden tahu bahwa tes darah merupakan cara yang paling jitu, namun yang pernah ikut tes tidak banyak. Pada kelompok WPS yang pernah ikut tes ada sekitar 29 persen, namun yang secara sukarela mau di tes dan dikonseling hanya sekitar 18 persen. Sementara di kalangan supir/kernet truk kurang dari 1 persen. Meskipun persentase yang pernah tes HIV di kalangan WPS langsung lebih rendah sedikit dibandingkan kelompok WPS tak langsung, namun secara umum kesadaran untuk melakukan tes HIV secara sukarela di antara mereka hampir sama, dan sebagian diantaranya disertai dengan konseling.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
33
Gambar 4.9. Persentase Responden yang Pernah Tes HIV dan Konseling selama Setahun Terakhir 100 90 80
Persen
70 60 50 40 30 20
29.5
28.0 16.4
20.8
16.0
16.5
10
0.8
0.8
0.8
0 WPS Langsung Pernah tes HIV
WPS Tak Langsung Pernah tes HIV secara sukarela
Supir/Kernet Truk Pernah mendapat konseling
Kesadaran untuk melakukan tes HIV terlihat sangat rendah di kalangan Supir/kernet truk dibanding WPS
34
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
5 Program Pencegahan dan Dampaknya Program Pencegahan Upaya pencegahan mestinya merupakan program prioritas, selain pelayanan, pengobatan, perawatan, dan dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Pada situasi epidemi HIV/AIDS yang saat ini masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok berisiko tinggi, maka program pencegahan seyogyanya dapat dilakukan secara terfokus dan efektif. Bila upaya pencegahan tidak berhasil maka penyediaan pelayanan, pengobatan, perawatan, dan dukungan bagi ODHA tidak akan pernah mencukupi. Data yang ada mengindikasikan secara jelas bahwa laju penularan HIV terus meningkat pada semua sub populasi yang mempunyai perilaku seksual berisiko. Laju peningkatan yang jauh lebih pesat terjadi pada pengguna narkoba suntik karena pengguna sering menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tingginya frekuensi kontak seksual antara berbagai kelompok berisiko sehingga dapat mendorong lebih cepatnya penularan HIV dan penyakit seksual pada sub populasi yang mempunyai perilaku seks berisiko. Mengingat bahwa penularan HIV sangat dipengaruhi oleh perilaku seseorang, maka upaya pencegahan lebih difokuskan untuk mengubah perilaku populasi yang dianggap berisiko
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
35
tinggi tertular HIV, yaitu para pengguna narkoba suntik, para penjaja seks, dan juga pembeli jasa seks. Sejauh mana upaya pencegahan telah menjangkau populasi berisiko, dan sejauh mana upaya pencegahan telah berhasil mendorong perubahan perilaku pada masingmasing kelompok berisiko tersebut. Program Penyuluhan Penyuluhan tentang HIV/AIDS merupakan upaya memberikan pemahaman yang jelas tentang HIV/AIDS. Program penyuluhan merupakan upaya pencegahan, bukan hanya bagi orang yang belum tahu risiko dan bahaya HIV, tetapi juga ditujukan untuk orang yang juga sudah tertular HIV, bahkan bagi penderita AIDS sekalipun. Semua kelompok berisiko tinggi pada tahun 2005 sudah tersentuh program penyuluhan tentang HIV/AIDS, namun variasi cakupan program penyuluhan antar kelompok masih sangat tinggi. WPS langsung dan WPS tak langsung adalah kelompok berisiko yang paling banyak dijangkau program penyuluhan. WPS tak langsung pernah mendapat penyuluhan ditahun 2003 sebesar 61 persen, kemudian turun menjadi 43 persen di tahun 2005. Sedangkan WPS langsung sedikit mengalami kenaikan dari 31 persen di tahun 2003 menjadi 36 persen di tahun 2005. Kelompok yang mobilitasnya tinggi seperti supir/kernet truk masih sangat sedikit yang terjangkau program penyuluhan bahkan terjadi penurunan drastis dari 9 persen pada tahun 2003 menjadi 1 persen pada tahun 2005. Gambar 5.1. Tren Persentase Responden yang Pernah Mendapat Penyuluhan 100 90 80 70 Persen
60.7 60 50 40
42.5 36.0 31.3
30 20 9.1
10
1.0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung 2003
Supir/Kernet Truk
2005
Upaya penyuluhan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan terlihat sangat kurang di kalangan pelanggan penjaja seks, bahkan di kalangan supir/kernet truk hampir tidak dilakukan
36
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS merupakan program nasional, di bawah koordinasi instansi pemerintah dan dilakukan bersama oleh LSM-LSM yang terjun dalam penanggulangan HIV/AIDS. Dalam memberikan penyuluhan mengenai HIV/AIDS, ternyata LSM lebih banyak berperan pada semua sub populasi, yaitu kepada WPS langsung (27 persen), WPS tidak langsung (35 persen), dan supir/kernet truk (0,3 persen). Sebaliknya, instansi pemerintah berperan jauh lebih sedikit pada semua sub populasi, 11 persen pada WPS langsung, 10 persen pada WPS langsung, dan 0,8 persen pada supir/kernet truk. Gambar 5.2. Persentase Responden menurut Cakupan Intervensi tentang HIV/AIDS 100 90 80 70 Persen
60 50 40
35.0 27.2
30 20
10.8
10
10.0 0.8
0.3
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Pernah mendapat penyuluhan HIV dari Pemerintah
Supir/Kernet Truk
Pernah mendapat penyuluhan HIV dari LSM
LSM lebih banyak berperan dalam penyuluhan HIV, dibanding pemerintah
Distribusi Kondom Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang pencegahan HIV/AIDS hendaknya didukung oleh tersedianya sarana pencegah. Ini berarti bahwa ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan sarana pencegah, khususnya kondom, merupakan hal penting dalam program pencegahan HIV/AIDS. Berdasarkan pengamatan tampak bahwa distribusi kondom di tempat-tempat para penjaja seks beroperasi atau bertransaksi masih perlu ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan oleh besaran persentase WPS yang dapat mengaksesnya. Di kalangan WPS langsung ada 58 persen responden yang menyatakan dimudahkan oleh ketersediaan kondom di tempat-tempat mereka beroperasi, sementara WPS tak langsung hanya 38 persen. Sebaliknya, ketersediaan
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
37
kondom di tempat mangkal atau di tempat nongkrong para supir/kernet truk terlihat sangat kurang memadai, hampir tidak ada dari supir/kernet truk yang menyatakan mudah mendapatkan kondom di tempat mereka biasa mangkal.
Gambar 5.3. Persentase Penjaja Seks dan Pelanggannya menurut Akses terhadap Kondom 100 90 80
74,8
Persen
70 60
59,0
57,6
50 38,5
40 30 20 10
0,0
0,3
0 WPS Langsung Kondom Tersedia di Tempat
WPS Tak Langsung
Supir/Kernet Truk
Pernah Mendapat Kondom dalam 3 Bulan Terakhir
Ketersediaan kondom di tempat tempat transaksi seks dan tempat nongkrong pelanggan seks kurang memadai
Program pembagian kondom cukup banyak menjangkau kelompok penjaja seks, terutama pada kelompok WPS langsung (75 persen) dan WPS tak langsung (59 persen) yang menyatakan pernah mendapat kondom dari petugas dalam tiga bulan terakhir. Dari sisi pembeli seks, terlihat sangat kecil (0,3 persen) menyatakan pernah mendapatkan kondom dari petugas dalam tiga bulan terakhir. Dampak Program Program pencegahan pada dasarnya bertujuan menahan laju penyebaran HIV/AIDS. Program ini antara lain berupa pemberian pengetahuan tentang HIV/AIDS, menimbulkan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, hingga program untuk merubah perilaku kelompok yang berisiko tertular menjadi perilaku yang aman. Program penyuluhan dapat menambah pengetahuan seseorang tentang cara untuk menghindari HIV/AIDS. Hal ini ditunjukkan oleh responden yang tahu cara menghindari HIV/AIDS, yang mana persentasenya lebih tinggi pada kelompok yang pernah mendapatkan penyuluhan dibanding yang tidak, seperti pada WPS langsung dan WPS tak
38
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
langsung. Kelompok WPS tak langsung yang tahu cara menghindari HIV/AID dan pernah mendapat penyuluhan ada sebesar 64 persen, dan kelompok WPS langsung sebesar 43 persen. Sementara itu, kelompok supir/kernet truk hanya sebesar 25 persen saja, angka ini lebih rendah dari supir/kernet truk yang tidak mendapat penyuluhan tetapi tahu cara menghindari HIV/AIDS yaitu sebesar 35 persen.
Gambar 5.4. Persentase yang Tahu Cara untuk Menghindari HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi 100 90 80
Persen
70
63.5
60 50 40
43.3
42.6 34.6
30.6
25.0
30 20 10 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan
Supir/Kernet Truk Pernah Mendapat Penyuluhan
Meski tidak terlalu besar bedanya, jelas ada pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan
Kesadaran akan risiko tertular HIV/AIDS cukup berbeda antara responden yang pernah mendapat penyuluhan dan yang belum pernah mendapat penyuluhan. Gambar di bawah menunjukkan bahwa penyuluhan cukup berdampak dalam meningkatkan kesadaran pada kelompok WPS, terutama WPS tak langsung meskipun pada kelompok supir/kernet truk tidak ada pengaruhnya.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
39
Gambar 5.5. Persentase Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Cakupan Intervensi 100 90
81.7
80
Persen
70
73.2 61.8
60
54.6
50
42.6
40 30 20 10
0.0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak Pernah Mendapat Penyuluhan
Supir/Kernet Truk
Pernah Mendapat Penyuluhan
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tingkat penggunaan kondom pada seks komersial sangat dipengaruhi oleh frekuensi penjaja seks dalam menawarkan pemakaian kondom kepada pelanggannya. Semakin sering penjaja seks menawarkan kondom kepada pelanggannya maka semakin tinggi tingkat pemakaian kondom pada seks komersial. Gambar 5.6 menunjukkan bahwa penjaja seks yang sering atau selalu menawarkan kondom pada pelanggannya ternyata lebih banyak berasal dari penjaja seks yang pernah dihubungi oleh LSM yang terlibat program pencegahan. Perbedaan perilaku menawarkan kondom ini sangat terlihat nyata pada WPS tak langsung. Pada WPS tak langsung yang tidak pernah dihubungi LSM, ada sekitar 52 persen yang sering atau selalu menawarkan kondom kepada pelanggannya dan yang pernah dihubungi LSM persentasenya ada sekitar 89 persen.
Gambar 5.6. Persentase Penjaja Seks yang Sering atau Selalu Menawarkan Kondom menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM 100 88.8
90 75.6
80
Persen
70 60
55.3
52.2
50 40 30 20 10 0 WPS Langsung Tidak pernah dihubungi LSM
40
WPS Tak Langsung Pernah dihubungi LSM
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Upaya selalu menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan, sedikit banyak dipengaruhi oleh penjangkauan yang dilakukan LSM
Kunjungan LSM kepada kelompok berisiko tertular HIV di kalangan kelompok tersebut juga mempengaruhi perilaku penggunaan kondom pada seks komersial yang terakhir. Pengaruh positifnya terlihat pada kelompok WPS yang menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial terakhir. Pada WPS langsung ada sekitar 53 persen dan pada WPS tak langsung sekitar 77 persen yang menggunakan kondom pada hubungan seks komersial yang terakhir. Namun demikian di kalangan kelompok yang tidak pernah dihubungi LSM cukup besar juga persentasenya yang pakai kondom pada hubungan seks komersial terakhir. Ada sekitar 44 persen yang pakai kondom pada seks komersial yang terakhir baik di kalangan WPS langsung maupun WPS tak langsung. Sementara di kalangan supir/kernet truk yang tidak pernah dihubungi LSM ada sekitar 15 persen yang menggunakan kondom pada hubungan seks komersial yang terakhir.
Gambar 5.7. Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Dihubungi LSM 100 90 76.9
80
Persen
70 60 50
52.6 43.5
43.5
40 30 20
15.2
10 0.0
0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Tidak pernah dihubungi LSM
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
Supir/Kernet Truk Pernah dihubungi LSM
41
Dampak yang relatif sama juga dihasilkan dari kegiatan penyuluhan pencegahan HIV/AIDS. Ini terlihat dari perbedaan yang cukup berarti dalam hal penggunaan kondom pada hubungan seks komersial terakhir di kalangan penjaja seks, antara yang tidak pernah mendapat penyuluhan tentang HIV/AIDS dan yang pernah. Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh ketersediaan kondom di lokasi penjaja seks beroperasi atau bertransaksi. Pada Gambar 5.8 terlihat bagaimana perbedaan penggunaan kondom antara yang pernah mendapat penyuluhan HIV dengan yang tidak mendapat penyuluhan.
Gambar 5.8. Persentase Penjaja Seks yang Pakai Kondom pada Seks Komersial Terakhir menurut Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan HIV 100 90 80
71.8
Persen
70 56.7
60 50
53.9
43.8
40 30 20 10 0 WPS Langsung Tidak pernah mendapat penyuluhan HIV
WPS Tak Langsung Pernah mendapat penyuluhan HIV
Penyuluhan HIV cukup berpengaruh pada penggunaan kondom dalam seks komersial yang terakhir di kalangan penjaja seks
42
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
6 Penyebaran dan Penularan: Perpindahan HIV antar Populasi HIV merupakan virus yang mudah ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh. Ini dapat terjadi melalui hubungan seks, transfusi darah, pertukaran jarum suntik (yang biasa terjadi di kalangan penasun), ketika seorang ibu melahirkan anaknya, atau pada petugas kesehatan yang terluka ketika membersihkan jarum dan alat-alat kesehatan lain bekas pakai seseorang yang mengidap virus HIV. Dari beberapa kemungkinan cara penularan di atas, yang paling cepat perkembangan penularannya adalah melalui jarum suntik. Selain pada penasun, penggunaan narkoba dengan cara disuntikkan juga terdapat pada kelompok berisiko lainnya karena perilaku seksualnya. Kurang dari 4 persen responden kelompok berisiko tinggi menyatakan pernah menggunakan narkoba suntik, ini berarti mereka mempunyai risiko ganda, yaitu risiko karena perilaku seksualnya dan risiko karena penggunaan jarum suntik. Proporsi terbesar kelompok berisiko yang juga pernah menggunakan narkoba suntik terjadi di kalangan WPS tak langsung
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
43
Gambar 6.1. Persentase Responden yang Pernah Mencoba Narkoba Suntik 5
Persen
4
3
2 1.5 1.2 1 0.3 0 WPS Langsung
WPS Tak Langsung
Supir/Kernet Truk
Meski kecil proporsinya, semua kelompok berisiko juga pernah menggunakan narkoba suntik
Risiko lain penyebaran virus juga bisa terjadi dari kelompok risiko tinggi ke kelompok risiko rendah atau bahkan tidak berisiko. Hal ini bisa terjadi pada istri yang setia kepada suaminya yang suka membeli seks. Risikonya akan semakin tinggi jika sang suami tidak menggunakan kondom saat membeli seks tersebut. Ternyata cukup banyak dari supir/kernet truk yang berstatus menikah, pernah berhubungan seks secara komersial tanpa menggunakan kondom dalam setahun terakhir, yaitu 48 persen. Gambar 6.2. Persentase Responden Pria yang Pernah Berhubungan Seks Komersial Tanpa Kondom Setahun Terakhir menurut Status Perkawinan 100 90 80
Persen
70 60
50.6
50
47.6
40 30 20 10 0 Tidak menikah
44
Menikah
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
7 Kesimpulan dan Saran Telah lebih dari 20 tahun epidemi HIV berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Upaya mencari pencegahan penularan virus terus dipelajari dan dilakukan, dan berbagai program telah diimplementasikan untuk menghambat laju penularan atau meluasnya epidemi tersebut. Salah satu upaya yang telah dijalankan cukup lama adalah memberi informasi tentang HIV kepada kelompok masyarakat, khususnya yang berisiko tinggi, dan mengkampanyekan seriusnya ancaman virus ini agar segenap masyarakat peduli betapa gentingnya persoalan yang sedang dan akan dihadapi. Mempertimbangkan bahwa perubahan perilaku merupakan salah satu upaya penting mencegah penularan HIV, maka telah dikembangkan SSP untuk mengetahui gambaran tentang perilaku berisiko dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya yang berisiko tinggi tertular HIV. Di Palembang, SSP telah dilakukan dalam dua putaran, yaitu tahun 2003 dan 2005. Jika SSP tahun 2003 mencakup kelompok wanita penjaja seks (WPS) dan pria pelanggan WPS (supir/kernet truk), pada tahun 2005 SSP kembali mencakup kelompok yang sama. Dengan cakupan kelompok sasaran yang sama, maka data SSP 2005 untuk Kota Palembang cukup kaya akan informasi dalam mengungkap perubahan perilaku di kalangan kelompok berisiko, beberapa diantaranya dapat menggambarkan perkembangan keadaan dalam dua tahun terakhir. Bagian ini menyajikan ringkasan temuan hasil SSP di Kota Palembang tahun 2005 dan kecenderungan permasalahannya selama dua tahun terakhir, serta gambaran tantangan ke depan yang masih harus dihadapi dengan langkah-langkah yang lebih strategik dan holistik.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
45
Temuan Kunci Penularan melalui Seks Komersial •
•
•
Ancaman HIV bagi masyarakat semakin mengkhawatirkan. Indikasi ini terlihat dari banyaknya pelanggan penjaja seks yang sebagian besar adalah penduduk setempat dan pendatang WNI. Di sisi lain terlihat juga bahwa permintaan jasa seks memang tinggi, terutama dari kalangan WPS, dan sebagian besar diantaranya dilakukan tanpa kondom. Sebagian besar WPS ternyata tidak tahu jenis pekerjaan para pelanggannya. Ini terlihat dari hampir setengah dari populasi WPS yang tidak mengetahui hal tersebut. Namun demikian cukup banyak pegawai swasta dan pedagang yang menjadi pelanggan mereka. Dilihat dari jumlah pelanggan WPS tahun 2005, permintaan jasa seks dari WPS langsung sedikit menurun sedangkan WPS tak langsung ada peningkatan yang cukup berarti. Sementara itu pelanggan seks supir/kernet truk justru mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2003.
Tren Perilaku Seks dan Transmisi antar Kelompok •
•
•
Perilaku seks kaum pria semakin berbahaya seperti terlihat dari meningkatnya persentase pria yang berprilaku berisiko. Sekitar 16 persen responden pria di Palembang telah berhubungan seks sebelum menikah, dan hampir separuh responden pria yang sudah menikah masih suka jajan seks di luar rumah. Ini berarti bahwa semakin besar proporsi pria beristri yang berpotensi mentransmisikan HIV kepada istri atau pasangan tetapnya. Alkohol dan narkoba dapat membuat kelompok berisiko berperilaku seks komersial yang tidak aman. Ini terutama terlihat di kalangan WPS tak langsung dan supir/kernet truk. Meski sadar bahwa pekerjaan mereka berisiko ternyata masih saja banyak kelompok berisiko yang berperilaku seks tidak aman. Indikasi ini terlihat dari masih rendahnya penggunaan kondom pada kelompok tertentu, padahal mereka berhubungan seks dengan banyak pasangan.
Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan IMS dan HIV •
•
Pengetahuan bahwa kondom dapat mencegah HIV berdampak positif bagi perilaku penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks. Ini dibuktikan dengan seringnya mereka menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan mereka. Dampaknya adalah perilaku menggunakan kondom yang cukup tinggi pada penjaja seks yang menawarkan kondom sebelum berhubungan seks. Perilaku penggunaan kondom pada seks komersial di kalangan penjaja seks juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan dalam memperoleh kondom di tempat mereka menjajakan seks, serta kemauan untuk menawarkan kondom pada pelanggan ketika hendak berhubungan seks meski pada akhirnya keputusan tetap pada pelanggan.
46
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
•
•
•
•
Sudah cukup banyak kelompok berisiko yang punya pengetahuan tentang tes HIV, namun yang paling baik pengetahuannya adalah WPS tak langsung. Ini terbukti dari cukup banyaknya kalangan WPS tak langsung yang pakai kondom ketika berhubungan seks, khususnya ketika mereka selalu menawarkan penggunaan kondom kepada pelanggan. Meskipun yang mempunyai pengetahuan tentang test HIV sudah cukup banyak, namun yang telah melakukan tes HIV apalagi yang melakukannya secara sukarela dan mendapat konseling masih sangat terbatas. Ada penurunan perilaku yang benar dalam mencari pengobatan IMS, di kalangan WPS langsung dan supir/kernet truk, hanya pada kelompok WPS tak langsung ada peningkatan dalam berperilaku benar dalam mencari pengobatan IMS. Ada konsistensi antara perilaku yang negatif dalam mencari pengobatan ketika mengalami gejala IMS dengan menurunnya perilaku yang benar dengan berobat ke petugas kesehatan ketika mengalami gejala IMS. Di kalangan WPS langsung dan supir/kernet truk masih banyak yang mencoba mengobatinya sendiri ketika mengalami gejala IMS.
Upaya Pencegahan melalui Penjangkauan dan Penyuluhan • •
•
•
•
Penanggulangan HIV/AIDS merupakan tanggungjawab berbagai pihak, namun dalam hal penyuluhan LSM tanpa lebih banyak berperan dibanding pemerintah. Upaya penyuluhan HIV/AIDS yang selama ini dilakukan terlihat menurun di kalangan penjaja seks, demikian juga di kalangan supir/kernet truk yang penurunannya cukup drastis. Upaya penjangkauan dan penyuluhan cukup berpengaruh pada pengetahuan kelompok berisiko, seperti tercermin dari perasaan mereka terhadap peluang risiko yang akan diterima akibat perilaku berisikonya, dan keinginan untuk menawarkan serta menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Upaya untuk selalu menawarkan penggunaan kondom pada pelanggan, cukup dipengaruhi oleh penjangkauan yang dilakukan LSM dan ketersediaan kondom di tempat-tempat menjual seks, atau di tempat mangkal pelanggan seks. Keberhasilan penjaja seks meminta pelanggan mereka untuk mau menggunakan kondom ternyata juga tergantung pada ketersediaan kondom di tempat-tempat transaksi seks dan tempat nongkrong pelanggan seks.
Usulan Tindakan •
•
Aliran informasi yang benar tentang HIV dan bahayanya, disertai cara pencegahan dan penanggulangannya perlu terus dipelihara dan diperluas ke berbagai kalangan, tidak hanya pada kalangan yang berisiko tinggi semata. Penjangkauan dan penyuluhan harus diperluas, terutama untuk kalangan pelanggan WPS, termasuk juga untuk kalangan remaja. Sementara bagi kalangan yang sudah terjangkau, upaya penyuluhan perlu dipelihara, paling tidak untuk selalu mengingatkan akan bahaya HIV.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
47
•
•
•
•
•
•
•
Ketersediaan outlet kondom pada tempat-tempat transaksi seks perlu dipelihara dan diperluas. Kepada rumah-rumah bordil atau tempat-tempat transaksi seks lainnya yang masih belum dapat bekerjasama dalam menganjurkan pemakaian kondom, perlu terus dilakukan kampanye agar melakukannya. Untuk lebih memahami permasalahan kelompok berisiko dan merancang program yang lebih tepat sasaran di masa datang, maka perlu dilakukan penelitian kualitatif tentang mengapa orang yang merasa berisiko masih tetap saja melakukan perilaku berisiko. Kampanye terhadap cara menghindarkan diri dari HIV secara benar perlu dipergencar, sehingga anggapan bahwa minum obat sebelum berhubungan seks tidak lagi dipercaya sebagai hal yang benar untuk menghindari penularan HIV. Praktek penyuntikan terhadap kelompok berisiko oleh oknum yang bekerja di bidang kesehatan masih terlihat, oleh karena itu upaya yang gencar untuk menghentikannya perlu lebih efektif. Untuk menjamin agar para praktisi kesehatan (termasuk dokter praktek) tidak mendiskriminasikan pelayanan pengobatan IMS dan HIV bagi kelompok berisiko tinggi, maka perlu memberikan bekal pengetahuan HIV dan prasarana pelayanannya secara memadai kepada praktisi tersebut. Perlu menjalin dan memelihara kerjasama dengan para pekerja industri seks untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat, termasuk mengusahakan agar kartu sehat bagi para penjaja seks dapat direalisasikan, yaitu kartu yang berisi catatan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang mereka alami. Perlu membangun kesamaan visi pada berbagai kalangan yang peduli terhadap masalah penyalahgunaan narkoba, terutama narkoba suntik, sehingga penanganannya lebih bersifat pencegahan dan pengobatan daripada mendahulukan kekerasan dan penangkapan.
48
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
A Survei Surveilans Perilaku (SSP) Survei Surveilans Perilaku (selanjutnya disingkat SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku berisiko pada sub populasi tertentu terhadap penularan HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari surveilans HIV generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, minat, dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan epidemi HIV, menentukan sub populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengukur tingkat penularan HIV (prevalensi HIV) pada sub populasi tertentu, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, karena itu peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
49
perilaku berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko untuk tertular HIV. Surveilans HIV generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.
50
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
B Metodologi Survei Sasaran Survei Pada saat ini, banyak kasus baru terinfeksi HIV di Indonesia terjadi pada penduduk berperilaku dengan risiko tinggi, terutama pada kelompok penduduk yang sering berganti pasangan seks, dan pengguna narkoba suntik yang suka melakukan penyuntikan narkoba secara bersama-sama. Populasi sasaran SSP adalah populasi pria dewasa dan wanita yang berisiko tinggi terjangkit HIV. Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi terutama adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti wanita penjaja seks (WPS) komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (WPS langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat, salon, spa, bar, karaoke, diskotek, café/restoran, dan hotel/motel/cottage (WPS tak langsung). Kelompok pria dewasa yang berisiko tinggi terjangkit HIV diantaranya adalah kelompok pria yang juga sering berganti pasangan seks atau yang suka membeli seks kepada WPS. Pria yang potensial menjadi pelanggan WPS adalah pria yang suka bepergian dalam jangka waktu lama seperti pelaut dan anak buah kapal, nelayan, serta sopir dan kernet truk. Kelompok pria dewasa lainnya yang berisiko tinggi adalah pria yang suka berhubungan seks dengan pria. Kelompok ini terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu pria penjaja seks (PPS atau biasa disebut kucing), lelaki suka lelaki (LSL atau gay), dan waria.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
51
Definisi atau batasan mengenai penduduk yang dicakup dalam SSP di Palembang adalah sebagai berikut: • Wanita penjaja seks (WPS) langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. • WPS tak langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. • Supir/kernet truk adalah mereka yang bekerja sebagai supir/kernet truk. Metode Survei Besarnya ukuran sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik penduduk yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Kalkulasi dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran penduduk berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Alokasi besarnya sampel untuk penjaja seks baik WPS langsung sebesar 250 responden, WPS tak langsung sebesar 200 respoden. Target sampel untuk supir/kernet truk sebesar 400 responden. Perkiraan populasi WPS langsung, dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi menjajakan seks (tempat mejeng) dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari instansi pemerintah daerah setempat seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pariwisata, serta dari LSM, dan sumber lainnya. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara snowballing system (sistem putaran bola salju). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Untuk supir/kernet truk listing dilakukan di tempat-tempat pemberhentian truk. Listing pada kelompok lelaki suka seks lelaki dilakukan di tempat-tempat hiburan seperti mall, diskotik, pub, bar, panti pijat, dan tempat sejenis lainnya. Untuk WPS digunakan metode sampling dua tahap (two-stage cluster sampling design). Random sampling digunakan baik untuk pemilihan sampel lokasi (cluster) maupun responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Intervensi pihak lain yang dapat menimbulkan bias terhadap hasil yang akan diperoleh telah diupayakan seminimal mungkin.
52
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Hasil Listing Listing dilakukan dalam rangka pembentukan kerangka sampel yang digunakan untuk memilih sampel lokasi. Listing dilakukan pada kelompok sasaran WPS langsung, WPS tak langsung, waria penjaja seks, LSL (gay dan PPS), dan supir/kernet truk. Hasil listing untuk masing-masing kelompok sasaran tersebut di Palembang terlihat pada Tabel B. Tabel B: Jumlah Lokasi dan Perkiraan Populasi menurut Kelompok Sasaran Kelompok Sasaran
Jumlah Lokasi
Perkiraan Populasi
WPS Langsung
14
490
WPS Tak Langsung
38
406
Supir/Kernet Truk
14
486
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
53
C Karakteristik Responden Di samping data pengetahuan dan perilaku responden, dalam SSP juga ditanyakan beberapa pertanyaan tentang karakteristik responden seperti umur, pendidikan, status perkawinan. Khusus untuk kelompok sasaran waria dan gay, tidak ditanyakan status perkawinan karena hal tersebut bersifat “sensitif”, dan dikhawatirkan akan mengganggu wawancara atau kebenaran jawaban responden pada pertanyaan selanjutnya. Berikut adalah karakteristik responden SSP di Palembang. Umur Sebagian besar responden SSP 2005 di Palembang, berumur di atas 25 tahun. Responden supir/kernet truk yang berumur kurang dari 20 tahun sebesar 3 persen, sedangkan responden WPS langsung dan WPS tak langsung yang berumur kurang dari 20 tahun masing-masing sebesar 12 persen dan 4 persen. Sekitar 70-80 persen lebih dari WPS, baik WPS langsung maupun WPS tak langsung berumur antara 20-34 tahun. Mayoritas responden (80 persen) supir/kernet truk berumur lebih dari 25 tahun.
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
55
Tabel C.1: Persentase Responden menurut Kelompok Umur Kelompok Umur (tahun) Kelompok Sasaran
Jumlah Sampel
< 20
20 - 24
25 - 34
35 +
Total
12.4
29.6
47.2
10.8
100.0
250
WPS Tak Langsung
3.5
28.5
52.0
16.0
100.0
200
Supir/Kernet/Truk
3.0
14.5
33.7
48.8
100.0
400
WPS Langsung
Dilihat dari rata-rata umur responden, WPS langsung (26 tahun) berusia lebih muda dibanding WPS tak langsung (28 tahun). Sementara itu, rata-rata umur supir/kernet truk adalah sekitar 34 tahun.
Tabel C.2: Rata-rata dan Median Umur Responden Umur (tahun)
Kelompok Sasaran
Jumlah Sampel
Rata-rata
Median
WPS Langsung
26
24
250
WPS Tak Langsung
38
27
200
Supir/Kernet/Truk
34
34
400
Status Perkawinan Dari SSP diketahui bahwa ternyata ada juga WPS yang berstatus kawin, yaitu sekitar 11 persen pada WPS langsung dan 15 persen pada WPS tak langsung. Meskipun demikian sebagian besar WPS berstatus cerai (lebih dari 60 persen). Selain itu ada sekitar 15 persen WPS tak langsung yang belum kawin, sedangkan pada WPS langsung sekitar 13 persen. Responden supir/kernet truk sebesar 78 persen kawin dan sekitar 20 persennya belum kawin.
56
Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Sumatera Selatan
Tabel C.3: Persentase Responden menurut Status Perkawinan Status Perkawinan Belum Kawin
Kawin
Cerai Hidup
Cerai Mati
Total
Jumlah Sampel
WPS Langsung
13.2
11.6
67.2
8.0
100.0
250
WPS Tak Langsung
14.5
15.0
62.5
8.0
100.0
200
Supir/Kernet/Truk
20.5
78.3
1.0
0.2
100.0
400
Kelompok Sasaran
Pendidikan WPS tak langsung mempunyai pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok risti yang lain yaitu sekitar 23 persen berpendidikan tamat SMA atau lebih tinggi. Sedangkan yang berpendidikan relatif rendah adalah WPS langsung, hanya 4 persen saja dari mereka yang tamat SMA atau lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau sekitar 75 persen berpendidikan paling tinggi tamat SD. Pada kelompok supir/kernet truk pendidikan yang ditamatkan terbesar pada jenjang SD dan SMP yaitu sebesar 67 persen, sedangkan tamatan SMA atau lebih tinggi, hanya mencapai 12 persen.
Tabel C.4: Persentase Responden menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tidak Tamat SD
SD
SMP
SMA+
Total
Jumlah Sampel
WPS Langsung
32.4
43.6
19.6
4.4
100.0
250
WPS Tak Langsung
11.0
39.0
27.0
23.0
100.0
200
Supir/Kernet/Truk
11.7
32.3
34.5
12.5
100.0
400
Kelompok Sasaran
Hasil SSP Tahun 2005 di Kota Palembang
57
Family Health International
A Aksi ksi S St t pA AIDS IDS