Naga-Patala: Konsep Ruang Kreasi bagi Persentuhan Arsitektur India dan Nusantara Indah Widiastuti Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Labtek IX B , Gedung Arsitektur Jalan Ganeca no 10, Bandung, 40132
[email protected] Abstrak Mitos naga dan legenda pernikahan pangeran dari India dengan putri naga ditemukan di banyak tempat di Nusantara dan Asia Tenggara dan merupakan indikasi lokasi berasimilasinya budaya India dan budaya lokal. Pengertian “ruang kreasi” mengambil dasar pada asumsi bahwa sang medium juga membentuk sebuah badan pengetahuan pula. Mitos Naga-Patala dalam makalah ini dihadirkan sebagai representasi pengetahuan mengenai ruang kreasi tempat sintesis pengetahuan baru dan kecerdasan lokal dengan luar. Kajian ini merupakan respon kritis terhadap arus utama kajian arsitektur Nusantara sebagai buah pertemuan budaya India dan Nusantara yang kerap lebih menekankan pada obyek sinkretiknya dan bukan pada medium potensi yang memungkinkan proses sinkretik tersebut terjadi. Kajian dalam makalah ini dilakukan dengan menggunakan metoda kritik mitologi dengan tujuan mengupas “ruang kreasi“ sebagai medan yang mengandung kekuatan dan pengetahuan tentang tempat bertumbuhnya gagasan arsitektur. Ruang gagasan ini ini dikonsepkan sebagai Naga-Patala, yang nampaknya bisa menjadi cara lain memahami arsitektur buah dari pertemuan pengetahuan yang tertanam pada lingkungan di lokal Nusantara dengan pengetahuan arsitektur dari India (vaastuvidya). Kajian ini bertumpu pada sumber-suber tertulis dengan dukungan contoh-contoh dari lapangan. Pada prinsipnya kajian ini dilakukan dengan cara membedah representasi konseptual dari metafora naga, aspek gender wanita dan pernikahnnya dengan pangeran India. Naga-Patala sebagai konsep pengetahuan liyan sejauh ini tertekan atau terabaikan karena kacamata ilmiah lebih tertuju pada pengetahuan obyektif sinkretik hasil difusi budaya India dan Nusantara. Dari kajian ini diharapkan akan diperoleh pemahaman lain mengenai struktur pengetahuan arsitektur Nusantara yang asli yang tidak bertumpu pada obyek yang hadir tapi pada kreatifitas medium yang menghadirkannya. Kata kunci: Naga, Patala, Arsitektur Nusantara, Indianisasi, Ruang Kreasi, Tenmpat Pertemuan 1. Pendahuluan dan Metoda Kajian Kajian mengenai Naga-Patala dilakukan sebagai hasil refleksi atas berbagai bacaan mengenai seni, budaya dan arsitektur hasil dari pertemuan budaya India dan Nusantara. Kajian ini berangkat dari kecurigaan akan adanya sebuah karakter pengetahuan yang solid dan unik namun masih tersembunyi mengenai tempat yang dapat dijelajahi dari mitos pernikahan putri Naga dan pangeran atau brahmana dari India. Pengetahuan ini tersembunyi di bawah lapisan sinkretik yang mawujud pada seni bangunan asli di Nusantara. Kajian dalam tulisan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisisi kritik mitos. Kritik mitos adalah sebuah Pendekatan penelitian yang menekankan pada penjelasan terhadap pola universal yang berulang dalam legenda dan mitos. Kritik mitologi mencoba menelusuri bagaimana imajinasi individu hadir dalam mitos dan simbol secara umum dalam budaya pada zaman yang berbeda . Salah satu konsep kunci dalam kritik mitologis adalah archetype/ arketipe, simbol, karakter , situasi , atau
gambar yang membangkitkan tanggapan yang universal dalam sebuah sastra atau teks. Northrop Frye (1957 dalam 1990), mendefinsikan arketipe sebagai gambaran atau imaji yang berulang cukup sering dalam literatur untuk dapat dikenali sebagai wujud pengalaman menyeluruh. Gagasan mengenai arketipe Frye mengacu pada pandangan psikolog Swiss CG Jung mengenai pola-pola bawah sadar kolektif dari suatu masyarakat. Pola-pola dasar yang akan dianalisis di sini adalah konseptual Naga, patala dan pernikahan sang putri menuntut kaca mata paradigma Brahmanisme. Darinya akan diinterpretasikan pemahaman mengenai arsitektur dan lingkungan Nusantara dari kaca mata subyek India. Bahan-bahan kajian dikumpulkan dari berbagai literatur Indologi modern mengenai naga, patala, pernikahan naga dan vaastu, makalah, buku dan tesis mengenai arsitektur vernakuler di Asia Selatan, Nusantara dan Asia Tenggara dan kajian terhadap legenda pernikahan putri Naga di berbagai tempat Nusantara, Asia Tenggara dan Asia Selatan dan teks mengenai sejarah sosial prinsip arsitketural tradisional-vernakuler yang melibatkan diskusi mengenai Naga. Dari bacaan tersebut serangkaian pembahasan dilakukan pada beberapa lapisan. Lapisan pertama membahas kehadiran historis dengan menilik penyebaran legenda tersebut di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang kemudian diverifikasi secara kritis dengan tek-teks mengenai pertemuan budaya India dan Nusantara. Lapisan kedua adalah penjelajahan atas karakter-karakter intrinsik dan konseptual pada arsitektur dalam lingkup geo-hisotirs lapisan pertama, sifat dari ruang gerak Patala serta kaitannya dengan posisi vaastuvidya. Lapisan ketiga lebih bersifat universal dari Naga-Patala sebagai sebuah pengetahuan tentang tempat dan ruang yang bersifat bawah sadar. Kajian dalam makalah ini adalah cara lain untuk menelusuri hakikat pengetahuan arsitektur di Nusantara dengan cara mengurai konstruksi pengetahuan arsitektur- namun bukan lewat obyek sinkretik atau kodifikasi, formal Vaastuvidya, namun - dari aspek lokalitas, sosial-kultural dan fisik yang masih asli dan liar; sebuah gairah asali dan asli yang kemudian ”dinikahkan”, dijinakan dan didisiplinkan atau dibina, selain juga disejahterakan dan dikagumi- mungkin setara dengan representasi dalam Vaastuvidya, yaitu.vastupurusha sebelum ia dikerangkakan dalam mandala. 2 Legenda pernikahan putri Naga dan Patala dan penyebaranya Ada dua pengertian naga di Asia yang berbeda, antara naga dalam budaya Asia Timur dan Asia Selatan, dengan properti fisik yang berbeda. Naga dalam budaya Asia Timur berasosiasi dengan monster konseptual bertubuh ular, bersayap, kaku dan dapat menyemburkan api (Inggris: dragon). Sedangkan di Asia Selatan naga berasosiasi dengan gambaran mahluk nyata ular atau kobra (Inggris: serpent), dengan pemimpinya yaitu Ananta. Sekalipun ananta, dragon maupun serpent sama-sama akrab dengan kekuatan adiduniawi yang bersifat cair, amfibi, bumi, acak, cuaca dan tidak teratur namun karakter Naga-dragon dalam budaya Asia Timur bukanlah Ananta atau naga-serpent (Pha anh Tu 2005). Naga Asia Selatan merujuk pada kekuatan adiduniawi bawah bumi, naga-Asia Timur dari atas langit. Menurut Tu (2005) citra naga-Asia Timur juga menyusup dalam penggambaran Naga-serpent di Asia Tenggara seiring perkembangan agama Buda. Untuk membatasi lingkup bahasan legenda naga di makalah ini akan difokuskan pada naga yang berasal dari literatur Asia Selatan, dan secara kritis merujuk pada konsep pernikahan putri naga dan pangeran India. Dalam Brahmanisme naga adalah hewan mitis, ular dalam bahasa Sansekerta1. Konon istilah ini di India sudah ada sebelum kedatangan bangsa Arya dengan bahasa Sansekertanya dan digunakan dalam literatur Pali (nag). Dalam Brahmanisme, mitologi Asia Selatan dan Asia Tenggara, “Naga” digambarkan sebagai mahluk yang tinggal di langit ketujuh di bawah bumi yang disebut Patala/ paataala. Dunia bawah yang misterius, tertutup dan dihuni naga ini beroposisi secara simbolik dengan dunia atas direpresentasikan dengan hewan mitis Garuda. Eksistensi naga tidak dapat dipisahkan dari ekologi mitisnya yang dalam
1
Istilah Sansekerta untuk Naga yang asli adalah Srpa (serpent).
kosmologi Hindu disebut Patala, yaitu sebuah ekologi yang tidak atau belum beradab, tempat segala yang tersisa dibuang; dunia tanpa konstruksi pengetahuan dan waktu. Paradoksnya, beberapa purana (Bhagavata dan Vishnu purana) mencatat Patala sebaliknya, yaitu sebagai tempat yang lebih indah daripada surga (Svarga), penuh dengan perhiasan, tanaman dan pepohonan yang subur, danau dan bidadari yang cantik, udara yang harum diselingi alunan musik . Patala digambarkan memiliki tanah berwarna putih, ungu, hitam, berpasir, kuning, berbatu dan mengandung emas2. Ini membuktikan bahwa patala, bukan entitas tanpa isi dan kekuatan. Paradoks ini juga membuktikan bahwa oposisi dunia atas dan dunia atas dari Patala tidak bersifat hitam putih. Dalam hal ini penulis membaca Patala sebagai domain “sang liyan” dari sebuah situasi yang biasa dikenal dalam epistemilogi Weda. Perspektif negatif mengenainya adalah dampak ideologis dari Brahmanisme. Di Asia Tenggara banyak ditemukan tempat yang memiliki legenda pernikahan putri naga dan ksatriya atau brahmana dari India, yang dalam wacana ini dibaca sebagai narasi difusi budaya India ke Asia Tenggara yang menghasilkan budaya hibdrid Nusantara-India. Asal-usul kerajaan Funan diartikulasikan lewat pernikahan mitis pangeran Kaundya dengan putri Naga bernama Soma. Asal-usul Kamboja, dilegendakan lewat pernikahan Brahmana Kambu dengan putri Naga Mera. Masyarakat pantai Selatan Jawa dan Sunda mengenal mitos Nyai Loro Kidul sebagai permaisuri spiritual mitos dari Sultan Mataram dan Yogyakarta yang menurut Martono Soemarsaid sering diwacanakan sebagai personifikasi putri " naga " yang sakti dan mampu mengendalikan Samudra Hindia. Kisah kerajaan Tarumanegara mengenal tokoh Ciung Wanara sebagai putra dari putri Naganingrum dan Raja Barma Wijaya. Narasi yang sama juga mewarnai legenda seperti Tuanku Tapa dari aceh, Ajisaka and Majapahit di Jawa, dan Minahasa. Tidak hanya di Asia Tenggara, dalam teritori Asia Selatan masa kini juga terdapat daerah traditional dengan mitos yang sama. Manipur di daerah Timur Laut India berbatasan dengan Myanmar, mengenal legenda pernikahan ratu Naga, Ulupi dan Arjuna semasa pengasingan Pandawa. Galur keturunan kerajaan Pallava di Kanchipuram digambarkan sebagai keturunan tak resmi dari pangeran Tamil dengan putri Naga di ujung tenggara India (Subrahmaniyam, 1932, 1989). Dalam filsafat India naga berasosiasi dengan karakter budaya asli pra-Arya atau budaya yang belum tersentuh ideologi Brahmanisme, filsafat Weda dan bangsa Arya. Hampir mirip dengan Asia Tenggara, di India Selatan dan penduduk asli dari Australia legenda naga berasosiasi dengan narasi transformasi geotektonik baru yang muncul dari dasar laut (legenda Parasurama di India Selatan dan mitos benua Kumari kandam). Naga ini dikatakan telah mengembangkan peradaban bawah tanah atau bawah laut berteknologi lebih maju dan dianggap memiliki kekuatan adiduniawi. Profil lingkungan patala juga bersesuaian dengan gambaran mengenai sejarah dan sifat geotektonik Nusantara (Ophenheimer, 2010). Sifat liquid, feminin berpusat pada budaya sungai besar, laut dan peradaban sawah. Imaji yang sama juga mengemuka seperti pada legenda Antaboga di Jawa3, juga sebagai fakta nyata di Nusantara, India Selatan, Myanmar dan Asia Tenggara benua. Karakter wanita kuat dan asosiasi atas kepenguasaan keturunan menurut garis ibu, melekat pada konsep Dewaraja di Thailand (Tu, 2006), dan mitos penikahan Nyi Roro Kidul dengan raja Jawa (Soemarsaid dalam Trumbull). Menilik distribusi geografis legenda Naga dan pernikahan Naga terlihat bahwa ekologi Naga-Patala meliputi pecahan bahagian dari Asia Tenggara, Kamboja, Vietnam, Thailand, Laos, Myanmar, India Timur laut dan selatan sebelah Barat Nusantara dan subtratum asli masyarakat Asia Selatan. Naga-Patala menjadi lingkup spasial perpotongan budaya diketiga ranah spasial tersebut. Distribusi ini menunjukan bahwa gravitasi Indianisasi Brahmanisasi yang tak selalu korelatif dengan teritori India. India yang dipahami secara umum adalah bentukan pra-kemerdekaan Mahatma Gandhi. Monica Smith bahkan menyatakan bahwa Indianisasi juga terjadi di dalam teritori sosial-politik-kultural India sendiri dan itupun 2
menurut Wilson, Horace Hayman (1865) dalam "Chapter V". The Vishnu Purana yang diuraikan oleh Dimmitt, Cornelia; Buitenen, Johannes Adrianus Bernardus (1978) 3 Dalam literatur Indic, rumah naga adalah Bhogavati (K.R Subrahmaniyam, 1929)
tidak lebih awal dari 400 M. (Monica Smith 1999). Secara historis penyebaran weda di India sendiri itupun tidak merata. Banyak tempat seperti di ujung India Selatan dan India Timur laut yang baru belakangan tersentuh Weda bersamaan dengan masuknya agama Semit. Berbagai versi Vaastu yang beragam dan peka konteks dan sejarah menjadi bukti ketidakrataan difusi di India sendiri. Dengan demikian Indianisasi tidak mewakili dikotomi teritorial antara India dan luar India, namun budaya yang terbrahmanisasi dan yang tidak terbrahmanisasi. Di sini naga dan patala menjadi representasi masyarakat dari ekologi asli yang belum terbrahmanisasikan. 2.1 Naga dan Patala dalam berbagai citra Masih dalam konteks masyarakat asli bukan hanya ular, representasi naga dalam filsafat India juga hadir dalam citra yang lain, seperti manusia, komunitas, gagasan dan konsep. Menurut K.R Subrahmaniyam (1929) naga adalah manusia super yang kaya, indah dan hebat yang memiliki kemampuan berubah menjadi mahluk apapun. Mereka adalah mahluk surgawi yang tetap tinggal di bawah bumi. Naga juga diartikan sebagai pepohonan dan bukit, dan merupakan indikator dari masyarakat yang tinggal di gununggunung. Metafora naga dalam legenda asal-usul budaya Indonesia juga ada. Mitologi Kutai mengenai mitos Naga Erau yang mengisahkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara sebagai keturunan sepasang naga. Sang naga ini diyakini sebagai pelindung masyarakat Kutai. Hikayat Sriwijaya juga mengenal legenda legenda Jaya Naga sebagai penguasa lokal. Sumset Jumsai juga menguraikan masyarakat Asia Tenggara sebaga masyarakat Naga. Budaya Sunda memilik istilah naga pada sistem kekerabatan sanaga. Legenda Batak mengenal konsep penguasa lokal Naga Padoha yang digambarkan berkuasa di Banua Toru melawan Betara Guru. Legenda Jawa mengenal tokoh adiduniawi yang tertindas, dan terjajah Naga Antaboga. Narasai kolonisasi atas konteks lokal yang asli pada legenda Antaboga berkaitan dengan kehidupan dewi padi, yang menjelma menjadi sawah yang subur, setelah ia mati karena keinginan Dewi Shiva untuk memperistrinya tak tercapai. Narasi setara terjadi di India Selatan seperti dituturkan lewat legenda pembenaman raja agung Kerala Mahabali ke dasar bumi akibat kecemburuan dewa Wisnu atas kemampuannya mensejahterakan pertanian di Kerala, dan di Jawa lewat legenda pemimpin antagonis Medhangkemulan Dewatacangker yang diatasi oleh Ajisaka. Secara umum masyarakat Asia Selatan asli yang tidak mengalami Brahmanisasi juga kebanyakan mengemban nomenklatur “naga” dan biasanya mereka adalah lapisan masyarakat dan awal yang kini kebanyakan berstatus sebagai masyarakat berkasta rendah dan atau suku terasing India. Mitos Naga erat dengan perkembangan Budisme yang di India selalu berdiri sebagai anti-tesis dari Hinduisme4. Kinipun persaingan ideologis antara Buda dan Hindu di India menjadi wacana simbolis perlawanan masyarakat asli melawan Arya. Posisi minoritas Budisme dalam budaya India menjadikan Pallava bukan sebagai budaya arus utama5. Pertemuan antara India dan Nusantara juga bisa dimetaforakan sebagai peperangan antara naga raja dan brahmana India. Secara konseptual simbolisasi naga menandai masyarakat asal di Asia selatan dan Asia Tenggara yang diadabkan lewat Brahmanisme. Personifikasi Naga di India menjadi simbol masyarakat pra-Arya yang digambarkan sebagai masyarakat raksasayang yang tidak beradab. Pramar menggambarkan masyarakat Naga di India sebagai masyarakat pemuja totem pohon, penganut Buda dan pembangun stupa dan disebut
4
Ini sejalan dengan ungkapan K.R Subrahmaniyam (1929) bahwa hegemoni Buda lebih behasil dalam menjinakan naga. Abad ke tiga adalah jaman keemasan Naga yang kemudian dikalahkan Gupta baik melalui penyerangan atau pernikahan 5 Menurut Srinivas Aiyangar, Pallavas digambarkan sebagai bagian dari masyarakat kuno Naga dari dinasti kerajaan lokal Andhra, dari kerajaan Klasik tanah Tamil di India selatan. Yang pasti jaringan Pallava terkenal dengan kekuatan maritim yang awalnya kuat dibawah popularitas Buda dan membina kontak dengan Srilanka Andhra Pradesh, kerajaan Amarvati dan kemudian Nusantara.
masayarakat Naga, Dasyu dan Asura6. Beberapa literatur menyamakan masyarakat Dasyus adalah Naga7. Secara etnografis Naga juga adalah sebutan bagi masyarakat asli di Kerala, Benggala, kepulauan Nicobar. Pertiwi pun dalam legenda Ramayana di tanah seperti yang dituturkan oleh WF Strutheim (dalam IGNCA, 1989) digambarkan sebagai Naga. Di India Manipur, Assam, Nagaland, Arunachal dan Myanmar membentuk lansekap sakral yang disebut Naga'Nag Bhumi'-tanah ular. Mitologi Weda menarasikan naga sebagai mahluk tersubjugasi, namun bukan pula entitas tersisih. Sosok Naga adalah konsekuensi perspektif patriarki budaya India dalam melihat dan memaknai kehadirannya di Nusantara. Konteks pernikahan dan penaklukan dalam paradigma Weda ini lebih dari sekedar membangun tatanan yang berdisiplin dengan basis prinsip-prinsip Brahmanisme tapi upaya menghadirkan Brahmanisme itu sendiri sebagai pusat dari pengetahuan dan memposisikan konteks di periferi. Pola narasi subjugasi hadir dalam dua bentuk :1) pernikahan dengan putri naga yang menandai lahirnya hibrida budaya atau peradaban dan 2) peperangan melawan naga pria yang menandai situasi penguasaan atau upaya menggali manfaat dari kekayaan lawan, sang naga. Di dalamnya juga terdapat gagasan konseptual tentang kekuatan lokal yang sukar dikendalikan namun ingin dibatasi atau dijinakan, kerahasiaan yang diungkap. 2.2 Arketipe Naga dalam Vaastuvidya Vaastuvidya dengan bukunya Vaastusastra adalah satu jalur taksonomi dalam struktur pengetahuan weda yang membahas ilmu tentang bangunan dan hunian. Ia adalah manifestasi formal Brahmanisme dalam pengetahuan arsitektur. Harus diakui bahwa sebagai sebuah karya tradisi sastrik (Lowell; 1993) 8 Vaastusastra memiliki struktur formal yang sangat rapih9. Orientasi merupakan hal penting dalam arsitektur, baik untuk ruang maupun waktu yang diolah dan disintesiskan dengan instrument geometri mandala, reka dimensi, bentuk dan proporsi diturunkan, demikian pula struktur organisasi profesi formal sthapati, sutragrahi, vardhaki dan taccan. Setiap tipologi dan konteks yang berbeda memiliki bukunya masing-masing. Vaastusastra khusus untuk bangunan domestik, kota dan pemukiman yang umum dijadikan rujukan adalah Mayamata dan Manasara. Namun untuk setiap konteks regional yang berbeda, Mayamata dan Mansara mengalami kontekstualisasi. Menurut Tarapada Bhatacharya (1981) dalam uraiannya tentang latar belakang sosial vastuvidya pengetahuan bangunan lokal di India sudah ada sebelum kodifikasi formal vastuvidya diformulasikan. Kajian mengenai kemunculan formulasi Vaastuvidya berdasarkan teks-teks arkaik Vaastuvidya di India juga menghadirkan sosok Naga sebagai representasi entitas primordial dan pengetahuan lokal yang unik dan kuat. Dalam teks-teks tersebut pengetahuan awal ini dimitoskan lewat alegori dua arsitek illahiah yaitu Asura dan Naga. Mereka mewakili masyarakat asli dengan tata cara konstruksi membangunnya masingmasing. Konstruksi bangunan kaum Naga dan Asura digambarkan selalu dibangun disekeliling tiang kayu 6
Pada literatur lain Menurut Purana, India terbagi 9. Bagian barat adalah dunia naga yang kemudian dikonfirmasi oleh Alberuni sebagai South West India, keala. Ada juga di mulut sungai Indus, Kashmir, Assam. Ada juga di Kandahar. Tapi kerala adalah naga paling Murni (K.R Subrahmaniyam, 1929) 7 VS Pramar (2005) dan Lukas (1999) mengkategorika budaya berhuni masyarakat asli India ke dalam empat besar (Arya, Dravida, Mundaric dan Mongoloid)7. Fergusson mengambarkan kelompok etnis Mundarik dan Mongoloid sebagai aborigin India yang secara tradisional disebut sebagai masyarlat Dasyus. Mereka digambarkan sebagai masayrakat yang banyak ditemukan pada masa Pra-Buddha india yang diperkirakan lebih besar daripada jumlah ras Arya namun sejarahnya tidak terekam dengan baik. Penulis melihat bahwa profil etnografi ras ini paling mendekati ras masyarkat di Nusantara. 8 Tradisi sastrik tradisi yang didasari oleh paradigma Weda atau Vedic dan literatur Sansekerta, (Lewis, 1993) 9 Bruni Dagens menyatakan bahwa gambaran Pagoda di Manasara diduga datang dari Asia Tenggara.
pusat. Nampak di sini bahwa pertukangan dan lingkungan berbasis air dan kayu di sini menjadi sebuah pengetahuan dan kehadiran arketipikal melatarbelakanginya. Menarik untuk mencermati bahwa menurut pandangan Bhatacharya kehadiran teks naga dalam vaastuvidya sebagai entitas yang tua yang menandai proses formulasinya dan merupakan representasi dari arsitektur kaum Dravida dan Arya. Dari serangkaian kajian teks, Bhatacharya mengidentifikasi arketipikal sosial India selatan yang disebutnya berakar pada masyarakat Dasyu dan India Utara, masyarakat Asura. Namun ia tak mampu menjelaskan konstituen Naga. Sehubungan dengan naga, dalam legenda lain vastu adalah sebuah ranah yang berhubungan dengan konsep berhuni dan hunian yang memiliki dewa bernama Vastospati10. Ia bersosiasi secara tak langsung dengan dewa cuaca Indra dan merupakan pelindung dari dunia pertukangan kayu (Tvastrin11). Tvastrin digambarkan berwujud Naga dan merupakan putra mitis Viswakarma (dewa hunian). Nampaknya Tvastrin didudukan sebagai manifestasi keahlian pertukangan kayu dan bambu milik kaum primordial Dasyu dan Naga yang kemudian diakuisisi ke dalam Brahmanisme oleh Viswakarma. Viswakarma di sini adalah tokoh utama Aryanisasi dan Viswakarma ini kemudian munculah dua aliran vastushastra yang melahirkan Mayamata di India Selatan, dan Samaangana Suthradhara di India utara. Legenda lahirnya vaastuvidya di India tersebut bersesuaian dengan situasi sosial-politik dunia kuno Asia Selatan. Vaastuvidya tesusun dari kumpulan kearifan lokal yang ada di tempat-tempat yang terserak. Formalisasi sastrik yang universal dan abstrak lahir semasa kekuasaan Buda di bawah wangsa Maurya (abad 4SM-2 SM), ketika akumulasi kearifan lokal di India mulai dibukukan dalam sastra-sastra. Formulasi kedua terjadi mengikuti pembentukan hegemoni Hindu di bawah wangsa Gupta (abad 3M-6 SM). Pada masa itu pemutakhiran terjadi dengan memasukan norma Bhakti (ritual keagamaan) dan Varnajati (organisasi sosial berbasis kasta) dan memformalkan Weda. Konteks dan faktor pembentuknya juga bisa hadir dari luar teritori epistemologinya. Makalah ini belum dapat mengulas secara sistematis aspek ini namun setidaknya dapat menyajikan beberapa catatan dari beberapa teks: Bruno Dagens (1995) mensinyalir rumusan desain pagoda pada Mayamata sebagai pinjaman dari luar yang diidentifikasinya sebagai Kamboja. Dumarcay (2005) menguraikan pertukaran konstruksi kayu antara India Selatan dan India Timur Laut dan Nusantara sudah terjadi sejak awal abad Masehi. Pramar menggambarkan bahwa sebelum kedatangan kaum Arya di India timur laut sudah ada penduduk dengan profil etnografi yang mirip dengan orang Tibet, Burma dan Siam juga ras ras lain yang bukan Dravida, seperti ras mongoloid, dan Sakhyas (Pramar menjelaskanya sebagai etnik asal dari Sidharta gautama). Sylain Levy (1900) sudah mengindikasikan bahwa bahasa Austronesia dan Austro-Asiatik berkontribusi pada perkembangan bahasa Sansekerta dan Tamil. Kehadiran masyarakat Austronesia tercatat lewat kehadiran perahu Cadik di sungaisungai India Selatan yang di sana disebut “Janjar” oleh Coomaraswamy (1992) Dari dunia Barat Tarapada mencurigai adanya interferensi tradisi dari Romawi pada tradisi penulisan sastra universal seperti yang kemudian melahirkan karya tulis Vitruvius.
10
Sebagai sebuah kekuatan Vastospati adalah pengejawantahan total dari kekuatan Asura yang manifestasi utuh dan kejamakannya kemudian ditahan di tempatnya berada dan kemudian disebut sebagai vaastupurusa dan menandai penyerahan diri dan ketaatanya terhadap prinsip kemahaesaan yang disepakati dalam Weda . Dalam tradisi Siwa, Vastospati adalah pengejawantahan Siwa (Isana) yang tinggal di Paataala - Vaastu-deva. Lebih jauh lagi Vaastu-deva ini juga disebut sebagai Vastu-naaga, sang pemangku segala arsitektur, tradisi membangun dan budaya berhuni yang dipuja sebagai Naga emas fn.'Nagara'; pada bagian VII dari The Hindu Temple 1, p 85, Stella Kramrich, 1996) 11 Tvastr – dalam Rg Veda adalah arsitek adiduniawi leluhur adiduniawi dari para pembangun dan arsitek, leluhur dari Sthatapati (Stella Kramrich, 1996).
Pada kenyataanya bagaimana Vaastuvidya diterima di berbagai tempat di luar wilayah teritori epistemologinya12 ternyata beragam. Ada yang mengadopsi hingga tradisi sastrik-nya, prinsip utamanya seperti mandala dan sistem orientasi, secara menyeluruh maupun sebagian, seperti pada Arsitektur vernakuler Bali dan arsitektur candi-candi Hindu-Buda di Jawa dan Sumatera. Fenomena ini dalam nomenklatur filsafat India disebut sebagai Aryanisasi13. Ada yang sekedar formalisasi dari pengetahuan arsitektural yang tak tertulis yang sudah ada sekaligus meminjam istilah dan perumpamaan Sansekerta untuknya yang kemudian disebut sebagai Sanskritisai. Di Nusantara, beberapa aspek asimilasi sudah demikian kompleksnya dan melibatkan aspek dari India di luar Brahmanisme, seperti Islam dan Barat, karena itu Coedes (1968) cenderung menyebutnya sebagai Indianisasi. Ini kian membuktikan kekuatan lokal untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan yang tiba menjadi sintesa baru. Dengan demikian secara konseptual Naga-Patala adalah aspek kontekstual yang berkelindan dengan pengetahuan dari luar. Munoz (2005) membacanya secara positif sebagai respresentasi konseptual jalinan gagasan baru yang dilahirkan dari asimilasi sebuah inovasi teknologi dengan konteks dan memunculkan teknologi, dinasti dan kota yang baru. Namun yang perlu di catat adalah bahwa Naga-Patala bermakna lebih daripada sang “liyan”. Uraian di atas mengindikasikan bahwa Naga-Patala adalah asal-usul konseptual dari vaastuvidya sebelum proses Brahmanisasi, sekaligus konsep yang teridentifikasi sebagai sang liyan (the otherness) oleh vaastuvidya setelah Brahmanisasi. Di sebuah lokasi, kehadiran konseptual Naga-Patala menjadi dasar proses “pribumisasi” vaastuvidya dan ilmu apapun dari luar konteks. Dengan demikian Pribumisasi bukan semata reaksi pragmatis- atas nilai baru yang tiba. 3. Diskusi 3.1 Kesamaan Karakter “Naga” dalam arsitektur asli di Asia tenggara dan Asia selatan Lalu seperti apa gerangan bangsa Naga ini? Ada dua buku yang mengurai akar kemunculan arsitektur Asia Selatan dan Asia Tenggara yang juga akhirnya keluar dengan nomenklatur yang sama- naga - karya V.S. Pramar (2005) dan Sumset Jumsai (1989). Beberapa kritik memang dilontarkan terhadap karya dua penulis arsitek ini yang masih dinilai spekulatif. Namun sebagai teks yang ditulis secara terpisah, homogenitas wacana mengenai arsitektur asli dengan nomenklatur Naga pada kedua buku ini layak digaris bawahi. Jumsai menggambarkan arsitektur Asia Tenggara sebagai buah peradaban air milik orang-orang Naga yang keberadaanya termarjinalisasikan oleh struktur pengetahuan arus utama yang berbasis daratan. Sumset Jumsai menggambarkan sifat arsitektur di Asia Tenggara yang berbasis air dengan tiga komponen lingkungan penting: pertanian padi, anyaman dan tenun tiga dan yang penting adalah rumah di atas panggung. Arsitekturnya berstruktur ringan, lentur, dinamis, material tarik dan mampu beradapatasi dengan kondisi berair. Sementara itu Pramar secara kritis mengatakan bahwa tradisi adiluhung arsitektur India mengabaikan kenyataan bahwa tubuh pengetahuan arsitektur adiluhung India dibangun si atas arsitektur vernakuler dan primitif India. Bagi Pramar ini adalah respresentasi sang liyan dari tradisi arsitektur India. Dalam uraian lengkapnya Pramar sama sekali tidak menyinggung arsitektur di Asia Tenggara namun ia menengarai kondisi unik India pra-Arya yang memiliki kesetaraan dengan Asia Tenggara. Beberapa hal yang saling bersesuaian berkenaan dengan karakter asli arsitektur Naga yang dapat disarikan dari teks Pramar dan Jumsai adalah, sebagai berikut : 1.
12
Totem pohon sebagai pusat pemukiman. Wacana totem ini mendasari representasi konseptual pohon hayat, lokasi dari leluhur masyarakat pemukiman asli, pohon terakhir yang ditebang
Istilah “teritori epistemologi” di sini adalah wilayah tempat Brahmanisme lahir, dan itu hanyalah sebuah lingkup dalam teritori Nasional India masa kini, yaitu taah air bangsa Arya. 13 pengadopsian paradigma yang dikembangkan kaum Arya dicirikan oleh sistem kasta, sistem Bhakti, sistem hirarki, epistemologi Weda dan ritual Hindu Brahmanisme.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
setelah perambahan hutan yang dilakukan untuk membangun pemukiman dan pertanian ladang berpindah. Representasinya bisa hadir dalam bentuk hutan kecil sakral (groove) dengan sumber alam utama terutama air dan mineral di dekatnya, pohon sebagai axis mundi masyarakat asli. Dalam tradisi Buda stupa merupakan perwujudan konseptual pohon Bodi, dan pendirian kuil Hindu di India Selatan selalu berbasis totem pohon. masyarakat naga memiliki sifat egaliter dan mengenal tradisi bangunan kongregasi untuk keperluan pendidikan, musyawarah, asrama, peristirahatan sementara, balai dan surau. Di Nusantara tradisi ini populer lewat variasi tipologi bangunan balai, dalam agama Buda medasari tradisi monastik pada tipologi arsitektur biara dan asrama pada agama Hindu. Tradisi arsitektur perahu ternyata selain menjadi tema arsitektur Nusantara juga terdapat pada substratum arsitektur tribal. Menurut Pramar dan Fergusson wujud ini terlihat pada struktur curve ribbed pada arsitektur Chatya dan atap perisai dengan gable di Kerala. Daerah Timur laut, dan Selatan India dan Nusantara, memang kaya akan kehidupan yang bermuara di sungai besar. Pertanian sawah dan artefak perunggu adalah aspek yang sama dan khas dari dunia masyarakat Naga. Menurut Pramar ketidak-populeran teks mengenai beras dan padi pada teks Weda dan Tripitaka membuktikan bahwa padi dan beras bukanlah aspek sehari-hari dari penganut dari tempat aslinya. Konstruksi kayu dan Bambu menjadi karakter khas dari arsitektur masyarakat Naga. Menurut Pramar di India penggunaan material Bata ekstensif terjadi seiring perkembangan ritual Weda yang banyak melibatkan api. Seperti halnya di Nusantara, bangunan rumah tinggal masyarakat India pra-Arya tidak solid dan membentuk couryard, namun lebih merupakan bangunan tunggal persegi yang terletak menyebar. Unit keluarga marga atau suku. Nusantara dan India kuno mengenal praktek pernikahan antar sepupu , kehidupan di rumah besar, keluarga petani dipimpin oleh kepala suku atau paman yang dituakan sehingga memungkinkan konsep satu kampung/ desa sebagai sebuah unit kekerabatan dengan pertanian sawah tadah hujan mirip dengan situasi di Batak, Minangkabau, Tamil, Assam dan Nagaland. Di India ini menjadi dasar organisasi kasta. Banyak budaya di nusantara yang memusatkan dirinya pada totem gunung dengan lingkungan akuatik di sekitarnya. Entah apakah ini merupakan sebuah kebetulan bahwa di hampir semua lokasi tempat legenda Naga-Patala berada berlaku kosmologi Buda, dengan pohon sucinya Jambu Dvipa yang disebut Jumsai mewakili masyarakat Naga. Sekalipun India secara fisik lebih mirip dengan representasi alam di Asia Tenggara, terutama Bali. Benggala, Kerala, Cina Selatan, Indo Cina dan Nusantara mengenal tradisi festival Perahu Naga. Tenun dan anyaman tiga arah juga merupakan akar dari kekayaan kriya masyarakat asli India. Menarik untuk mengetahui bahwa Andhra Pradesh juga memiliki perbendaharaan tenun asli praArya yang disebut “Ikat”
Yang mungkin akan sangat membedakan antara pemahaman arsitektur pra-Arya di India dan Nusantara adalah keberadaan bangunan berpanggung atau berdiri di atas tiang dan konstruksi statis-dinamis bangunan. Situasi gempa relatif bukan situasi umum di India kecuali di daerah sepanjang pertemuan benua mitis Lemuria dan Gondwanda atau lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia yang merupakan situasi di daerah seperti Gujarat dan Himalaya dan Benggala. Situasi berikut mengenai rujukan Heine Geldern atas arsitektur Nias dan Assam mungkin dapat memberi contoh sebuah perspektif. Heine-Geldern sempat menyebut bahwa kerumitan ornamen dalam nekara perunggu di Nias adalah bukti terjadinya difusi dari budaya yang lebih tinggi dalam hal ini adalah India ke masyarakat lokal yang lebih sederhana (Geldern, 1966, dalam Weterson 1990). Sementara di tempat lain ia menjelaskan bahwa sekalipun habitat Assam di India dan Nias Asia Tenggara, terpisah oleh statuta dua nasionalitas India dan Indonesia keduanya merupakan wujud budaya pra-India (Geldern 19.. dalam Lukas 1999). Hal ini membuktikan bahwa, tidak semua tempat di India berkarakter India. Arsitektektur Nias dan Assam mungkin tak berbagi Vaastuvidya namun berbagi Naga-Patala
3.2 Naga-Patala sebagai konsep “Ruang Kreasi” arsitektur Nusantara Pemahaman mengenai pertemuan budaya India dan Nusantara termasuk yang berkaitan dengan arsitektur cenderung terlalu menekankan paradigma difusi dan asimilasi yang mengutamakan arsitektur dari India, dengan norma Vaastuvidya yang kemudian direpresentasikan dengan arsitektur sinkretik India-Indonesia. Konsep Naga-Patala akan membawakan pemahaman “pribumisasi” yaitu kekuatan lokal yang memiliki badan pengetahuan, kekuatan dan identitas yang sebetulnya secara sistematis memiliki daya urai terhadap vaastuvidya menjadi bentuk lain. Kehadiran sebuah konsep baru tidak selalu dikarenakan ketiadaan filsafat di tempat atau medium penerimanya atas (Deleuze 1995 dalam Semetsky, 2003). Sebaliknya, sebuah konsep baru yang datang hanya bisa mengada karena medium atau tempat tersebut memiliki kemampuan besar untuk mengolah kembali struktur baru yang tiba. Sebaliknya filsafat yang tiba itu pula memiliki kemampuan untuk membina relasi yang hakiki dengan medium yang didatanginya. Karena itu baik Jung dan Deleuze pun lebih menyukai komplemen biner " filsafat dan filsafat liyan" atau yang “terafeksi” dan yang “mengafeksi” - ketimbang dikotomi filsafat dan non- filsafat. Sang medium penerima memiliki gairah, kebijaksanaan, pikiran dan tubuh. Iapun dapat diapresiasi secara intelektual atau harmonis-musikal namun belum tentu hadir sebagai aspek yang teramati. Kualitas ruang kreasi (space of creation) yang luar biasa dari Naga-Patala adalah kehadirannya sebagai arketipe yang mengakar pada pengetahuan asli di sebuah tempat yang menjadi daya dorong sintesis. Ia bekerja dengan cara mengasimilasi pengaruh atau pengetahuan luar yang tiba di sebuah tempat. Dalam epistemologi Weda konsep naga dan patala menandai modus identifikasi yang dilakukan subyek Brahmanisme atas “rahim” dan “benih” kreasi di lokal dan vaastuvidya sebagai kodifikasi dan metodologi desain arsitekturalnya. Sang rahim memang dibaca sebagai tubuh dengan sifat tanpa bentuk tanpa order, tanpa ada apa apa namun bukan tanpa daya. Namun modus ini dapat dibaca dengan cara yang berbeda, bahwa kualitas dan bentuk sinkretik arsitektur Nusantara merupakan hasil identifikasi sang Naga sebagai subyek dengan infinite subconcious-nya - Patala, atas Vaastuvidya itu sendiri. Penulis melihat bahwa mungkin karakter yang tepat dari ruang kreasi Naga-Patala adalah sebuah sistem kompleks-dinamis yang penuh dengan sifat organismik, chaotic dan probabilistik (Widiastuti, 1999) yang memiliki daya transformasi dan penyelarasan. Dalam sistem ini ruang dan bentuk arsitektural merupakan hasil objektifisasi dari kemunculan tatar dan ritme dari jaringan peristiwa, lintang-pukang pikiran-pikiran kolektif (nomadic thought) yang mendorong “keterjadian” atau process of becoming yang terus menerus. Lewat peristiwa historis pertemuan budaya, Naga-Patala itu mengejawantah dalam ruang dan waktu historis di Asia Tenggara dan Nusantara dalam wujud prinsip menjadi yang terus menerus dalam rangkaian proses umpan balik tanpa akhir. Kini, sekalipun Vaastuvidya sudah tidak hadir dalam kehidupan modern ruang dan tempat di Nusantara tapi Naga-Patala tetap ada. Naga-Patala menyebabkan gagasan tentang India tetap direproduksi hingga kini sesuai dengan kebutuhan lokal, termasuk seperti apa yang diistilahkan oleh Andrik Purwasito sebagai sebagai imajeri. Dan bila demikian, selain teramati, ruang kreasi Naga-Patala selain sebagai wadah sebetulnya adalah model dari badan pengetahuan atau filsafat mengenai pembacaan sistem kompleks dan kreativitas di sebuah tempat terhadap pengetahuan luar yang tiba dan hadir. Inilah aspek pengetahuan yang terabaikan karena fokus tertuju pada aspek obyektif fisik. Uraian berikut mungkin belum (atau mungkin tidak akan pernah) dapat menguarai hakikat pengetahuan arsitektur Nusantara lewat konsep ruang kreasi Naga-Patala, namun dapat memberi karakter umum tentang bagaimana kompleksitas konseptual ruang kreasi Naga-Patala berbeda dengan sistem kanonik seperti vaastuvidya atau bahkan rumusan positivistik formal teori arsitektur Modern. Karakter kehadiran Non-Representasional: Dalam epistemologi occident dan vaastuvidya arsitektur selalu dipahami secara obyek ruang, fungsi dan konstruksi yang dibuktikan lewat keterbangunan dan kehadiannya fisik. Untuk memahami bagaimana ruang kreasi Naga-Patala dibaca, berikut ini akan dibahas rujukan atas interpretasi Marika Trumbul (2013) tentang konsep Naga dalam sejarah dan seni Nusantara. Dalam kajiannya tentang penciptaan koreografi Nyi Roro Kidul tari Bedhaya oleh Sri
Susuhunan Trumbull mendudukan visualisasi gerak tarian sebagai efek pancaran citra dari sebuah kekuatan (body’s of power) lewat konstruksi gerak, lagu dan ruang yang bersifat sementara yang secara terus menerus berproses-‘ephemeral processual”. Representasi dalam konteks ini adalah panggung pertunjukan (Spectral Space). “Ketak-tampakan” dan “ketiadaan” bukanlah kebalikan dari penampakan. Ia bukanlah ketiadaan atau “kondisi nol” namun komplemennya. Ketak-tampakan dan “ketiadaan” sama berartinya berartinya kehadiran, keduanya bersifat sementara dan Trumbul menyebutnya “ketertenggelaman” (the Dive). Ketiadaan merupakan bentuk penampakan yang tertekan kebawah jangkauan horizon visualitas dan kesadaran. Ketertenggelaman tidak selalu bermakna negatif, operasi konseptualnya juga dibutuhkan sebagai cara untuk bertahan di masa-masa kolonisasi. Ruang-ruang sihir - ghostly space - adalah ruang konseptual yang berisi gagasan-gagasan, narasi asal-usul yang belum atau tak terungkap yang resilien terhadap pengrusakan dan penghilangan (deletion), akibat trauma kolonisasi, naturalisasi ideologi luar dan kekerasan. Demikin jamaknya lapisan ini Trumbul juga menyebutnya sebagai– space of exccess of bodies, water, life. Dalam space of excess ini masa lalu, masa depan dan utopiapun tumpang-tindih membetuk “ruang-ruang hantu’ - inilah Patala . Dalam konteks ini aspek visualitas Nusantara sebagai ruang kreasi bukanlah pakem atau karakter representasional tertentu. Yang secara tepat terkandung dalam visualitas arsitektur Nusantara, adalah kekayaan keboleh jadian yang berkembang dari arketipe tempat berteduh atau perasaan dinaungi. NagaPatala, menjadi medium peristiwa representasi alam bawah sadar kolektif dari masyarakat primordial yang hidup di alam tropis, bersawah dan berladang, terbiasa dengan air dan tetumbuhan yang dengan input konsep eksternal apapun akan menghasilkan perwujudan fisik. Karakter non-antroposentrik. Acuan tubuh untuk memahami semesta dan manusia sebagai pusat adalah kecenderungan umum kosmologi occident dan Vaastuvidya. Pada dasarnya antropomorfi tersebut hanya metafora manusia atas pembacaan dalam horizon visualitasnya semata. Namun operasi fisik dan visual Naga-Patala tidak bekerja dengan modus antropomorfik. Ia beroperasi untuk mengejawantahkan eksistensi antropomorfik, namun ia bukanlah si anthopos itu sendiri atau bisa jadi lebih dari sosok antropomorfinya. Seperti halnya Vastu Purusha Mandala yang dikerangkakan dalam Mandala, Naga adalah tubuh konseptual asli dari sang Vastu Purusha sebelum ia dimandalakan oleh mandala antropomorfis. Dalam mitologi naga konsep tubuh memiliki kelenturan untuk menjadi mahluk apapun body without organ14 - bagi realita antropometri yang bersifat ganda dan bersifat probabilistik dan kompleks, yang baru “menjadi” setelah memperoleh input pengetahuan atau tujuan. Konsep Naga merupakan indikasi bahwa orientasi antropometri manusia Nusantara mungkin memang lebih dari sosok tubuhnya, bahwa arsitektur orang Nusantara tak mungkin dipecah atas dasar lansekap, bangunan dan manusianya dan peristiwa yang melahirkanya. Mungkin struktur tubuh manusia Nusantara dalan lansekap tropis asli Nusantara itu sendiri yang memang secara fisik sangat mirip “naga” dengan pegunungan air dan hutannya, mungkin juga melibatkan pula struktur bawah sadar atau arketipe yang akan sangat menentukan bagaimana interaksi dan pertukaran simbol beroperasi dalam kehidupan sehari hari terjadi, hingga kini. Karakter ateritorial dari ruang yang cair. Masyarakat Nusantara pada dasarnya tidak memiliki kesadaran politisasi dan kepemilikan ruang, termasuk di antaranya adalah hak tanah dan ulayat. Teritori pada dasarnya adalah sebuah dreamy demarcation yang timeless dan ideal dan hadir di setiap kekinian dan tak akan terbatas oleh kebutuhan dan keharusan untuk hadir. Dia adalah kedisinian dan kesekarangan yang abadi ditandakan lewat simbolisasi, mantra dan ritual yang diupacarakan. Inilah ruang-ruang dan medan yang berada di luar lensa bidik dari kerangka tripartit, golden section, oposisi biner bahkan mandala. Jumsaipun menggambarkan bahwa ruang gerak masyarakat Naga tak dapat dikerangkakan secara kartografis, dan ia hanya menggolongkannya ke dalam peradaban air sebagai anti tesis peradaban darat. 14
Body without Organ adalah konsep Deleuzian tentang sebuah potensi dan kekuatan yang belum produktif, masih steril, dan karenanya belum dapat dimanfaatkan atau diartikan.
Lansekap dan panorama adalah realitas dari kekinian, yang tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami proses pembentukan dan daya tahannya sejak masa prasejarah. Sejarah pertemuan yang relatif dan kerap menjadikan Indonesia bagian barat memiliki lapisan transformasi yang demikian banyak dan menghasilkan kompleksitas fungsi, visualisasi dan ornamen yang membuatnya terbedakan dari indonesia bagian timur. Namun arketipe yang sama masih dapat dideteksi lewat perulangan beberapa pola dasar. Banyak konsep dan tipologi pemukiman, kerajaan dan hunian yang pada dasarnya merupakan produk intensifikasi arketipe tipologi yang sama, mirip seperti trasformasi zygoth hingga menjadi janin dan lalu manusia. Ini terjadi pada Konsep pemukiman Nagari di Minangkabau dan Tattakam di di India Selatan. 4. Kesimpulan Kajian mengenai arsitektur Nusantara sebagai entitas diskrit dan dalam kaitannya dengan pertemuan dengan budaya India, sudah banyak dilakukan dengan bantuan disiplin arkeologi, antropologi, sejarah, sastra dan seni dengan tujuannya mengungkap seutuh-utuhnya hakikat arsitektur Nusantara. Kajian mengenai ruang kreasi tempat pertemuan arsitektur India dan Nusantara di sini dilakukan dengan tujuan yang sama pula namun dengan cara membaca secara kritis aspek paradigmatis yang mendasari konstruksi formal pengetahuan arsitektur dan ideologi yang tiba dari India itu sendiri. Pembacaan ini menghantar penulis upaya menjelaskan konsep Naga-Patala sebagai pengetahuan ruang kreasi, yang dibaca sebagai sang liyan dari Vaastuvidya sebagai pengetahuan mengenai desain. Naga-Patala memang bukan sebuah sastra seperti halnya Vaastuvidya melainkan konsep tempat kreatif yang menyelip dalam mitos-mitos mengenai dunia yang masih di luar jangkauan budaya Arya dalam paradigma Brahmanisme. Naga adalah subyek daya kreasi itu sendiri yang berdiam dalam alam bawah sadar kolektif masyarakat awal sebuah tempat. Patala adalah, seperti rahim dan lingkungan, sebuah medium penggabungan, tempat keboleh jadian akan memperoleh materialitasnya. Konsep Naga-Patala menunjukan bahwa konteks dan lokalitas adalah sebuah tubuh pula dengan properti pengetahuannya. Naga-patala membuktikan bahwa pribumisasi bukanlah sekedar peristiwa yang reaktif, namun adanya sebuah struktur pembacaan dan pemahaman oleh lokal di Nusantara dan Asia Tenggara yang mengkerangka. Mungkin adalah suatu ekspresi yang tepat bila Bosch kemudian membaca pengaruh India ke Nusantara sebagai epistemologi “pembuahan”. Sang putri Naga nampaknya adalah ibu dari kreatifitas sintesis. Sang ibu tidak tidak membaca pernikahannya sebagai kolonisasi tapi emergence. Dalam situasi genting sang ibu tidak mati, hanya bersembunyi (the dive) menunggu dan mengupayakan waktu untuk hadir lagi di permukaan. Bersama patala sang ibu Naga adalah daya yang hidup dan memiliki kemampuan dan kemampuan untuk menolak untuk berubah. Ia bukan Vastupurusha yang bisa dan mau di-mandala-kan. Ia adalah aspek paling asli yang tak terkodifikasikan dengan instrumen vaastuvidya yang ada - kelokalan. Kajian dalam makalah ini memang masih merupakan lontaran wacana. Penulis masih akan menjelajah lebih lanjut kemungkinan untuk merumuskan sistem pengetahuan yang lebih utuh mengenai dimensi kreatif dan sintesis dari dari tempat, khusunya Nusantara, dan bila mungkin menghasilkan pengetahuan yang lebih sistematis dengan instrumen metodologisnya. Daftar Pustaka Arismunandar, Agus Aris. 2012, Mitos dan Peradaban Bangsa, Proceeding the 4th Int. Conf. on Indonesia Studies: “Unity, Diversity and Future” di akses dari https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-03.pdf Bhattacharyya,Tarapada. 2007, Vastuvidya Systems of Indian Architecture, New Delhi: Ajay Book Service Coedes, Goerge. 1968, Indianized States of Southeast Asia, Honolulu: East West Centre
Coomaraswamy, Ananda K, Michael W Meister (ed). 1992; Essays in Early Indian Architecture. New Delhi : Indira Gandhi National Centre for The Arts - Oxford University press Dagens, Bruno, 2000. Mayamatam – Vol 1. New Delhi: Indira Gandhi National Centre for the Arts, Dallapiccola, Anna Libera. 1993, Review atas Karya Lewis, Rowell - Shastric Traditions in Indian Arts, Journal of the American Oriental Society, Vol. 113, No. 3, hal. 469-476. Dharma Keerthi Sri Ranjan D.G. and Zhou Chang C. 2010, The Chinese Dragon Concept as a Spiritual Force of the Masses, Sabaramuwa University Journal Volume 9 Number 1; December 2010 hal. 65-80. Dumarcay, Jacques. 2005, Construction Technique in South and Southeast Asia (terjemahan dari Barbara Silverstone and Raphaelle Dedauge), Leiden: Koninklijke Brill NV, Frye, Northrop.1990 (edisi pertama 1957), Anatomy of Criticism - Four Essay (pengantar baru oleh Harold Bloom), Oxford Princeton University Press Jumsai, Sumset. 1989, Naga- Cultural Origins in Siam and the West Pacific, Singapore: Oxford University Press Kramrisch, Stella. 1996, (edisi pertama 1976), The Hindu Temple, Volume 1, New Delhi: Motilal Banarsidass Lukas, Helmut. 2003, Theories of Indianization, makalah dalam Sanskrit Studies Centre and Department of Orient Languages: Bangkok Mahaculalongkornrajavidyalaya Press, hal, 82-107 Munoz, Paul Michel. 2006. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and The Malay Peninsula; Singapore: Editions Didier Millet Oppenheimer, Stephen. 2010, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara (terjemahan dari Eden in The East), Jakarta, Ufuk Press. Pramar, V.S. 2005. A Social History of Indian Architecture, Oxford: New Delhi, 2005 Przyluski , Jean; Sylvain Levi and Jules Bloch, (1929), dalam Pre-Aryan and Pre-Dravidian India, Bagchi, 1995 (ed), New Delhi: Asian Educational Services. Purwasito, Andrik. 2002, Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana, Jogjakarta: Pustaka Cakra Semetsky, Inna. 2003, An Unconcious Subject of Deleuze and Guattari, Monash: Centre for Comparative Literature and Cultural Studies, 17th September 2003. Trumbull, Raissa DeSmet. 2013 A Liquid World: Figuring Coloniality in The Indies, PhD Dissertation, University of California Santa Cruz. Widiastuti, Indah. 2012 Proses-Proses dalam Pembentukan Vaastusastra: Kajian terhadap Mayamatam, Manasara, Manusyalaayacandrika dan Taccusastra, Jurnal Temu Ilmiah IPLBI 2012 Widiastuti, Indah. 2012 Network Mechanism in Traditional-Vernacular Settlement of Nagari in Minangkabau, Indonesia and Tara in Malabar, Kerala, India. Proceeding Int. Conf. Arte-Polis 4, hal.93-103 Wilson, Horace Hayman (1865), Chapter V". The Vishnu Purana (Translation) II. London: Trubner & co. pp. 209–213.Dimmitt, Cornelia; Buitenen, Johannes Adrianus Bernardus (1978) Subramanian K R (1985, terbitan pertama 1929) , The Origin of Saivism and Its History in the Tamil Land, New Delhi: Asian Education Service Subramanian, K. R. (1989, terbitan pertama 1932) Buddhist Remains in Andhra and the History of Andhra Between 225 and 610 A.D , New Delhi: Asian Education Service Stutterheim, Willem Frederik. 1989, Rāma-legends and Rāma-reliefs in Indonesia Volumes 1-2, diterjemahkan oleh Indira Gandi National Centre of the Arts, New Delhi, IGNCA Smith, Monica L. 1999 “Indianization- From the Indian Point of View: Trade and Cultural contacts with Southeast Asia in the early 1stMillenium C.E.”, Journal of The Economic and Social History of the Orient, Vol.42,no.1 (1999), hal.1-26 Tu, Phan Anh, 2004,The Signification of Naga in Thai Architectural and Sculptural Ornaments , Asian scholarship Foundation Waterson, Roxana. 1990, The Living House – An Anthropology of Architecture in South East Asia, New York: Oxford University Press.