Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
NABI MUHAMMAD SAW, SANG EKONOM SEJATI [caption id="attachment_322" align="alignleft" width="150"]
Rasulullah, sang ekonom sejati[/caption] Oleh: MB Hendrie Anto, SE., M.Sc* Muqaddimah Barangkali tidaklah cukup himpunan kata-kata untuk menggambarkan kebesaran dan kehebatan Nabi terakhir Muhammad e, atau sebaliknya tidak diperlukan ungkapan pujian terhadap beliau karena beliau benar-benar sang terpuji. Terlampau banyak pujian terhadap beliau, tetapi kejujuran Michael H Hart dalam menempatkan Muhammad e sebagai orang paling besar sepanjang sejarah manusia dapat merangkum segalanya. “My choice of Muhammad to lead the list of the world's most influential persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular levels”[1] Muhammad e adalah pemimpin dalam segala aspek kehidupan manusia. Salah satu bidang yang saat ini sedang mendapat banyak kajian adalah peranan beliau dalam ekonomi dan bisnis. Perhatian masyarakat terhadap konsep dan praktek ekonomi Islam saat ini, di dunia muslim maupun non muslim, pasti akan membawa pada perhatian terhadap beliau. Jika ekonomi Islam adalah superior maka superioritas ini tentu dinisbatkan kepada beliau. Rasûlullâh adalah seorang ekonom besar, ekonom sejati. Beliau telah melakukan reformasi pandangan-pandangan yang salah terhadap ekonomi secara fundamental dan meletakkan dasar-dasar bagi sebuah sistem dan ilmu ekonomi adil dan stabil. Hebatnya lagi, beliau tidak hanya menyampaikan gagasan-gagasan reformasi ekonomi, tetapi memimpin langsung proses reformasi tersebut. Secara garis besar langkah yang telah dikerjakan oleh Rasûlullâh e antara lain : 1. Mengembalikan aspek transendensi ekonomi dan bisnis 2. Mengembangkan nilai-nilai baru bagi ekonomi dan bisnis 3. Memberikan konsep mekanisme pengelolaan ekonomi sekaligus mempraktekannya Sistem ekonomi ini mampu menerangi peradaban Islam hingga berabad-abad. Dalam era
1 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
modern, sistem ekonomi ‘prophetic’ ini secara ilmiah telah banyak diakui. Implementasi secara parsial juga telah dilakukan, meskipun deviasi dari konsep ideal masih banyak terjadi. Paper ini dibuka dengan penggambaran kondisi perekonomian masyarakat Arab pra islam, kemudian dilanjutkan dengan penggambaran reformasi ekonomi yang dilakukan Rasûlullâh e, dan akhirnya ditutup dengan tantangan ke depan.
Perekonomian masyarakat Arab Pra Islam Masyarakat Mekkah abad 6 M sebelum kedatangan Islam adalah kombinasi unik antara oligarki politik berdasarkan kesukuan dan kapitalisme perdagangan (merchant capitalism). Keadaan geografis jazirah Arab yang sebagian besar terdiri dari gurun pasir tandus, letak geografis yang strategis sebagai jalur perdagangan antara Asia, Eropa, dan Afrika, serta adanya Baitullah di kota Mekkah menyuburkan oligarkhi seperti ini. Sejak waktu jauh sebelum Islam datang, perkawinan oligarkhi kesukuan dengan kapitalisme perdagangan ini terjadi. Pada masa menjelang Islam dating, klan Bani Umayah mendominasi kapitalisme perdagangan Mekkah. Muhammad e pra kenabian adalah juga seorang pedagang besar yang sukses, demikian pulan banyak sahabat nabi. Para kapitalis perdagangan mendominasi dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Kepentingan perdagangan ini bahkan ditengarai menjadi motivasi berbagai layanan sosial terhadap para tamu peziarah Baitullah atau pendatang,kota Mekkah, misalnya sedekah (dalam berbagai bentuk, konsumsi atau akomodasi), rifadah (dukungan), siqâyah (penyediaan air untuk peziarah), dan îlâf (perlindungan). Bahkan dinamika sosial dan politik masyarakat muslim pada masa-masa selanjutnyapun langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh kepentingan dagang ini.[2] Secara umum masyarakat tidak berada dalam keadaan makmur dan sejahtera. Kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan,,bahkan perbudakan adalah gambaran nyata pada masa itu. Sumber daya ekonomi, misalnya kapital, berada pada kendali segelintir kapitalis dan hanya beredar di kalangan terbatas mereka. Kebodohan, keterbelakangan, dan dekadensi moral juga menjadi gambaran kembar dari keadaan saat itu sehingga sering disebut sebagai era jahiliyah. Dalam analisis sosial-ekonomi modern kemiskinan dan kebodohan memang merupakan sebuah lingkaran setan yang tak berujung pangkal (vicious cycle). Tidak dikenalnya peradaban masyarakat Mekkah pra Islam dalam sejarah peradaban dunia adalah bukti rendahnya peradaban mereka pada waktu itu.[3] Islam yang dibawa oleh Muhammad e tidak hanya membawa revolusi keagamaan dan spiritualitas, namun juga tatanan sosial-ekonomi-politik masyarakat. Kepercayaan paganismepolytheisme yang telah lama berakar dalam budaya masyarakat jahiliyah dihapuskan menuju monoteisme murni (tauhid). Kedatangan agama Islam juga memberikan pandangan baru tentang kegiatan sosial-ekonomi-politik serta tata-kelola baru tentangnya. Meskipun awalnya terdapat tantangan hebat dari internal dan eksternal masyarakat Arab waktu itu namun akhirnya revolusi ini berhasil gemilang. Hanya dalam waktu kurang dari 23 tahun, masyarakat muslim Arab kemudian telah berubah menjadi suatu masyarakat yang memiliki peradaban tinggi
2 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
sehingga seringkali di-idealisasikan sebagai suatu model masyarakat yang paling beradab (civilized society)[4]. Khusus dalam perekonomian, bapak Ilmu Ekonomi modern ‘Adam Smith’ dalam magnum opusnya - The Wealth of Nation - menempatkan perekonomian Muhammad dan Khulafaurrasyidin sebagai contoh perekonomian yang maju.[5]
Reformasi Perekonomian Masa Rasûlullâh e Hal pertama yang paling fundamental dilakukan Rasûlullâh e dalam menata perekonomian adalah mengembalikan aspek transendensi kegiatan ekonomi dan bisnis. Kegiatan ekonomi dan bisnis dalam masyarakat tradisional bersifat transenden. Mereka seringkali mengaitkan langsung keuntungan dan rizqi dengan kehendak Tuhan atau sang Penguasa alam. Namun, masyarakat jahiliyah Arab pada masa itu menempatkan kegiatan ekonomi dan bisnis semata sebagai kegiatan duniawi dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran material. Sistem kepercayaan (paganisme) tidak mampu menciptakan spiritualitas dalam kehidupan nyata, mereka berpikir sekuler. Islam datang mengembalikan spiritualitas ekonomi dan bisnis dan memaknainya dalam dua pengertian, yaitu (a) kegiatan ekonomi dan bisnis adalah ibadah, dan (b) ibadah adalah adalah kegiatan ekonomi dan bisnis. Kegiatan ekonomi dan bisnis bukan semata urusan duniawi, namun adalah ibadah yang membawa konsekuensi kepada kehidupan akhirat. Terdapat implikasi dosa dan pahala di akhirat bagi aktifitas ekonomi dan bisnis. Ia adalah bagian dari upaya menciptakan kemuliaan (falah) dan kemaslahatan hidup yang merupakan tujuan dari syariah (maqasyid al-syariah) itu sendiri.[6] Ibadah adalah kegiatan ekonomi dan bisnis. Jika ekonomi dan bisnis adalah kegiatan mengelola sumber daya ekonomi untuk mencari keuntungan guna mencapai kemakmuran, maka ibadah juga demikian. Ibadah akan membawa implikasi keuntungan dan kemakmuran di dunia dan akhirat. Ibadah adalah bisnis besar yang menciptakan keuntungan dan kemakmuran tidak terhingga. Sebaliknya, meninggalkan ibadah adalah kerugian yang akan menciptakan kesengsaraan tidak terhingga pula. Berbagai idiom ekonomi dan bisnis digunakan al-Qur’ân untuk menganalogikan ibadah, antara lain perdagangan yang tak pernah rugi (tijaratan lantabûr), pinjaman yang baik (qardh al-hasanah), membeli (asytarâ), pergangangan yang melenyelamatkan dari azab (tijaratan tunjiikum min ‘adzab), dan lain-lain.[7] Manusia telah diberikan berbagai sumber daya untuk dikelola sedemikian rupa bagi ibadah untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Setelah mengembalikan spiritualitas ekonomi, Rasûlullâh e kemudian meletakkan nilai-nilai Islam sebagai fundamental (aksioma) dan etika dari bangunan ekonomi. Menurut Naqvy (1981, 1994), misalnya, aksioma ini adalah kesatuan (tauhid), kebebasan (ikhtiar), tanggungjawab (fard), dan keseimbangan (‘adl wa al-ihsan). Di atas aksioma inilah etika Islam kemudian ditegakkan, seperti penghapusan riba, gharar, maysir, dharar, haram, dan lain sebagainya, di satu sisi dan penegakan kerjasama, tolong menolong, kejujuran, efisiensi, dan produktif, di sisi lain. Di kelak kemudian hari, etika Islam ini terbukti memang fundamental dalam menciptakan sistem ekonomi yang adil dan stabil. Tak terhitung ilmuwan modern yang menguji validitas dan
3 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
rasionalitas etika Islam bagi sistem ekonomi, baik dari kalangan Muslim maupun non muslim. Riba dan gharar, misalnya, ternyata terbukti sebagai salah satu penyebab utama instabilitas perekonomian.[8] Rasûlullâh e adalah teladan yang sempurna (uswatun hasanah). Beliau tidak hanya memberikan gagasan, tetapi memberikan contoh langsung penerapan dari gagasan-gagasan tersebut. Perekonomian masyarakat di bawah Rasûlullâh e memang relative kecil dari sisi ukuran dan skala. Negara Islam pada masa itu hanya meliputi sebagian kecil jazirah Arab yang berpusat di Madinah. Madinah sendiri pada masa Rasûlullâh e diperkirakan hayalah sebuah kota seluas area mesjid Nabawi pada saat ini. Namun apa yang beliau lakukan telah memberikan dasar-dasar fundamental bagi sistem perekonomian dengan ukuran dan skala yang lebih luas. Oleh karenanya, pengelolaan perekonomian masyarakat muslim di bawah Rasulullah adalah model dasar bagi pengembangan ekonomi Islam pada masa kapanpun, termasuk masa kini. Secara garis besar pengelolaan ekonomi yang dicontohkan Rasûlullâh e adalah sistem ekonomi 3 sektor, yaitu harmonisasi antara peran pasar, pemerintah, dan masyarakat. Islam menempatkan ketiganya pada fungsi dan peran yang proporsional, sesuai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mekanisme ini berbeda dengan kapitalisme yang lebih bertumpu pada peranan pasar (pasar liberal) dengan meminimalisir peran pemerintah dan masyarakat, serta berbeda dengan sosialisme yang lebih bertumpu pada peran pemerintah dengan meminimalisir peran pasar. Harmonisasi ini adalah untuk memastikan bahwa sumber daya ekonomi dapat dikelola secara optimal untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masayarakat. Modernisasi rancang bangun ekonomi Rasûlullâh e disajikan dalam bagan di bawah.
Gambar 1
Sumber: P3EI dan Bank Indonesia, 2009
Pasar memegang peranan penting dalam perekonomian, karena pasar merupakan tempat perniagaan dilakukan secara sukarela antara pembeli dan penjual. Hal ini sejalan dengan persyaratan perniagaan yang diperintahkan oleh Allâh, yaitu antarâdhim minkum (mutual goodwill) sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’ân, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.[9] Sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS al-Nisâ’[4]: 29)
4 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual goodwill bagi para pelakunya, maka nilai-nilai moralitas mutlak harus ditegakkan. Secara khusus nilai moralitas yang mendapat perhatian penting adalah persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (tranparancy) dan keadilan (justice). Nilai-nilai moralitas ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam.[10] Untuk memastikan nilai-nilai di atas, Rasûlullâh e mengawasi langsung berjalannya pasar. Beliau melarang berbagai model bisnis yang bertentangan dengan islam seperti hashah, najasy, ghaban faa hisy, tallaqi rukhban, mukhadarah, dan ikhtikar.[11] Bahkan beliau menginspeksi langsung ketepatan timbangan maupun kejujuran penjual sehingga menegur dengan keras pedagang yang menipu. Peran Rasûlullâh e sebagai market controller atau almuhtasib ini di kemudian hari dilembagakan oleh para penerusnya menjadi al-hisbah..Menurut ibnu Taimiyah, al-hisbah bahkan berfungsi untuk mengontrol ibadah para pelaku pasar, karena ibadah adalah pembentuk akhlaq dan perilaku.[12] Pasar adalah sebuah mekanisme kolektif dan alamiah yang melibatkan banyak pelaku dan banyak faktor, karenanya beliau sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar ini. Harga pasar adalah resultan dari mekanisme tidak dapat diintervensi oleh individu, melainkan atas kehendak Allâh. Intervensi pasar dilakukan jika dan hanya jika terdapat gangguan berlangsungnya mekanisme pasar yang Islami. Beliau menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga manakala tingkat harga di Madinah pada saat itu tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolistik dan monopsonistik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Pada saat itu para sahabat berkata , “ Wahai Rasûlullâh tentukanlah harga untuk kita !”. Beliau menjawab, “ Allâh itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rizqi. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam hal darah dan harta”[13]. Peranan pemerintah dalam Islam bukan sekedar untuk menutup kelemahan mekanisme pasar melainkan atas sebuah alasan yang fundamental dan permanen. Dalam ekonomi konvensional pemerintah harus berperan sekedar untuk menutup kegagalan pasar (market failure), yaitu ketidakmampuan pasar dalam menyelesaikan beberapa persoalan seperti adanya barang publik, eksternalitas, dan penegakan keadilan. Pemerintah adalah pemegang amanah Allâh (khalifatullâh) untuk mengorganisir masyarakat dan sumber daya (ekonomi) mencapai kesejahteraan hakiki (falah). Pemerintah bertindak sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktifitas pasar.[14] Pembentukan bait al-mâl pada masa itu adalah sebuah langkah pioner dan revolusioner, di mana kekayaan negara dikelola oleh pemerintah terpisah dengan kekayaan individu penguasa. Pada masa itu, bahkan hingga berabad-abad setelahnya, di Eropa dan berbagai masyarakat di belahan bumi lainnya masih mencampuradukkan antara kekayaan individu penguasa dengan negara. Bahkan, seringkali terjadi kekayaan negera adalah kekayaan raja. Bait al-mâl ini menjadi cikal bakal eksistensi berbagai insititusi pemerintah dalam mengelola perekonomian. Bait al-mâl pada masa Rasûlullâh e masih bersifat umum, yaitu mengelola harta negara untuk
5 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
segala keperluan. Namun pada masa Umar bin Khaththab berbagai bait al-mâl dengan fungsi khusus telah didirikan, misalnya al-Divan yang berfungsi sebagai pengelola tunjangan sosial masyarakat.[15] Masyarakat selalu berperan besar dalam perekonomian, meskipun keberadaannya terkadang diremehkan. Yang dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat pelaku pasar (yang bermotif mencari keuntungan) dan bukan masyarakat yang menjadi pemerintah (yang bermotif hukum dan politik). Dalam literature ekonomi modern sekcor ini sering disebut sektor social atau sukarela (voluntary sector), karena motifnya adalah sosial-relijius. Islam memberikan kedudukan penting bagi sektor ini melalui wakaf dan zakat-infaq-sedekah (WAZIS). Sejarah Islam telaah memberikan bukti yang tiada terhitung tentang peranan WAZIS ini dalam menopang perekonomian. WAZIS dapat melengkapi kebutuhan perekonomian yang tidak dapat disediakan secara efektif dan efisien oleh pasar dan pemerintah, baik dalam penyediaan barang public (pasar,jalan, fasilitas umum lainnya) maupun barang-barang ekonomi (barang kebutuhan konsumsi dan produksi pada umumnya). Sejak masa Rasûlullâh e hingga era modern saat ini WAZIS tetap menjadi andalan bagi perekonomian. Peran dan kedudukan zakat tentu tidak perlu dipertanyakan lagi, sebab ia adalah salah satu rukun Islam. Wakaf barang kali merupakan salah satu contoh peran masyarakat yang sangat unik dalam Islam. Wakaf dalam rentang waktu yang cukup lama telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural dan kesejahteraan.[16] Beberapa gambaran pemanfaat wakaf menunjukkan nilai penting ini, antara lain hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf, setengah dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf, pada periode yang sama, 33 %. Tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf, di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian adalah tanah wakaf, pada tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami adalah lahan wakaf.
MARÂJI’ Askari, Hossein, et.al. 2010, The Stability of Islamic Finance, Singapore: John Wiley and Son. Askari, Hossein, Iqbal, and Mirakhor. 2010. Globalization and Islamic Finance. Singapore: John Wiley and Son. Haikal, Muhammad Husain. 2008. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. Ke-37, Jakarta: Lentera Antar Nusa. Ibrahim, Mahmood. 1991. “Merchant capital and Islam”, The American Journal of Islamic Social Science. Austin:The Texas University Press Vol 8 No 3.
6 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Islahi, Abdul Azim. 1988. Economic Concepts of Ibn Taimiyyah. Leicester U.K: The Islamic Foundation Hart, Michael H. 1978. The 100: A Ranking of The Most Influential Persons In History. New York. p. 33 Kahf, Monzer. 1978. The Islamic Economy : Analitical Study of the Functioning of Islamic System. Indiana: MSA of US and Canada. ________. 1982 “Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy”. dalam Arif, Mohammad (Ed.). 1992. Monetary and Fiscal Economics of Islam. Jeddah KSA: King Abdul Azzis University. Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer,.Jakarta: Gema Insani Press. Khan, Mohsin and Mirakhor, A. 1987. “Islamic Interest Free Banking: a Theoritical Analysis”, Theoritical Studies in Islamic Banking and Finance. Houston: IRIS Books. Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam (terj.). Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. Jilid 1-4. Rodinson, Maxime. 1982. Islam and Capitalism (terj.). Bandung: Al-Iqro’ Sabzwari. 1991. “Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad”, dalam Karim, Adiwarman (Ed.). 2000. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: IIIT of Indonesia P3EI dan Bank Indonesia. 2009. Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press.
* Dosen tetap Fakultas
[email protected]
Ekonomi
dan
Direktur
P3EI
Fakultas
Ekonomi
UII,
[1] Michael H Hart. The 100: A Ranking of The Most Influential Persons In History. (New York: tp, 1978)
7 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[2] Mahmood Ibrahîm. “Merchant capital and Islam”, The American Journal of Islamic Social Science. (Austin:The Texas UniveRasulullah sawity Press, 1991). Vol 8 no 3 1991. Lihat juga di Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4, dan Maxime Rodinson. Islam and Capitalism (terj.), (Bandung: Al-Iqro’, 1982)
[3] Muhammad Husain Haikal.2008. Sejarah Hidup Muhammad. Cet. Ke-37. (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2008)
[4] Struktur masyarakat ini dikenal dengan masyarakat madani, yang berasal dari nama kota Madinah (kota nabi). Istilah lain adalah masyarakat tammaddun, di mana dalam masyarakat ini terjadi keseimbangan dalam berbagai hal, material, spiritual, individu, sosial, kebebasan individu, kewajiban individu, hak-hak manusia dihormati, dan lain-lain.
[5] Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
[6] Lihat dalam al-Qur’an, Surat Al-An’âm [6]: 65, Surat Jumu’ah [62]: 9-11, Surat al-Qurasy [106]: 1-4, Surat al-Nûr [24]:37, dan Surat al-Taubah [9]: 24.
[7] Lihat dalam al-Qur’ân Surat al-Taubah [9]: 111, Surat Ali Imrân [3]: 199, Surat al-Baqarah [2]: 86, Surat Fâthir [35]: 29, Surat al-Shaff [61]:10, dan Surat al-Syua’ra [26]: 207.
8 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[8] Hossein Askari. et.al. The Stability of Islamic Finance. (Singapore: John Wiley and Son, 2010). Mohsin and Mirakhor A. Khan. “Islamic Interest Free Banking: a Theoritical Analysis”, Theoritical Studies in Islamic Banking and Finance. (Houston: IRIS Books, 1987)
[9] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
[10] Lihat misalnya dalam al-Qur’ân Surat al-An’âm [6]: 152, Surat al-Isrâ’[17]: 35, Surat alMuthafifin [83]: 1-6, Surat al-Syu’arâ [26]:181-183, Surat Hud [11]: 85, Surat al-A’râf [7]: 85.
[11] Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4.
[12] Abdul Azim Islahi. Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester U.K: The Islamic Foundation, 1988)
[13] Hadits ini diriwayatkan oleh enam imam hadits yang utama, kecuali al-Nasâ’i, sehingga merupakan hadits hasan sahih. Terdapat juga hadist lain yang diriwayatkan Abû Dawud dari laporan Abû Hurairah bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi e: “ Wahai Nabi Allah, tetapkanlah harga untuk kita !”, Nabi menjawab, “Engkau harus berdoa kepada Allâh untuk
9 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
itu!” Orang lain juga datang kepada Nabi dan meminta hal yang sama, sehingga Nabi menjawab, “Hanya Allâh yang menurunkan dan menaikkan harga!”.
[14] Monzer Kahf. 1982, “Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy”, dalam Arif, Mohammad (Ed.) Monetary and Fiscal Economics of Islam, (Jeddah KSA: King Abdul Azzis University, 1992)
[15] Sabzwari, Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad, dalam Adiwarman Karim (Ed.). 2000. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT of Indonesia, 1982) dan Afzalur Rahman. Doktrin Ekonomi Islam (terj.) (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995). Jilid 1-4.
[16] Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press. 2001)
10 / 10 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)