Murid Pri dan Nonpri pada Sekolah Pembauran: Kebijakan Asimilasi Orde Baru di Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Multikultural1
Usman Pelly (Universitas Negeri Medan)
Abstract This paper is written based on the author’s research on the policy of Chinese assimilation in two types of high school in Medan (1985–1986). Based on education policy issued in 1975, Indonesian students of Chinese descent are brought to contact with ‘local students’ to absorb so-called National culture through assimilation in schools. The author specifies two models of assimilation school, one is public schools, and the other is private schools with certain religious affiliations. There are seven indicators to measure successful assimilation (cultural, structural, amalgamations, identification, attitude, behaviour, and civic education) which show that the overall success of the assimilation agenda is still open to question if not unexpected. However, the author remarks that surprisingly, the assimilation process seems to have met with greater success in religious schools rather than public schools and he also critically points out that the basic assumption of assimilation is misleading and does not support the enrichment of a multicultural society. Sejak zaman kolonial Belanda, orang Tionghoa perantauan di Indonesia selalu dipakai sebagai kepanjangan tangan Belanda dalam upaya politik pecah belah (devide et empera) dalam menghadapi masyarakat pribumi, terutama di bidang ekonomi. Orang Tionghoa dianggap Belanda sebagai mitra yang baik untuk menguasai perdagangan domestik, 1
Makalah ini dipresentasikan dalam panel ‘Nation Building, Multiculturalism and Ethnic Chinese’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIAke-3:‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”:Menuju Masyarakat Multikultural’, 16–19 Juli 2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
34
dan oleh karena itu diberi peluang untuk menguasai strata perdagangan kelas menengah, sedang orang Belanda dan Eropa lainnya menguasai lapisan kelas teratas yang meliputi ekspor-impor, keuangan (perbankan) dan bidang konstruksi. Di samping itu, pemerintah kolonial dapat memanfaatkan kedudukan orang Tionghoa ini sebagai penyangga (buffer) antara orang Eropa dan pribumi. Dalam posisi seperti ini, orang Tionghoa merasa setingkat lebih tinggi dari orang pribumi yang harus puas berada pada lapisan bawah dalam piramida masyarakat bisnis ciptaan Belanda. Konsekuensinya, pendidikan orang Tionghoa sejak zaman
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
kolonial Belanda, memiliki kecenderungan sosial untuk memisahkan diri dari masyarakat pribumi (Pelly 1983;1993). Menurut Leo Suryadinata (1983:153), pendidikan modern orang Tionghoa di Indonesia dimulai dengan didirikannya Tiong Hoa Hak Tong yang berarti sekolah Tionghoa, di Jakarta pada tahun 1901. Sementara itu, Sigit (1983) menyatakan bahwa sekolah tradisional Tionghoa sudah berdiri di Batavia tahun 1737, walaupun murid-muridnya berasal dari kalangan miskin yang dibiayai oleh pemukimpemukim Tionghoa di Batavia. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah Tiong Hoa Hak Tong ini adalah bahasa Mandarin dan berbagai aspek kurikulumnya didominasi oleh budaya Tionghoa. Sekolah-sekolah Tionghoa lainnya kemudian berkembang dengan pesat. Pada tahun 1934 sudah terdapat 450 buah sekolah Tionghoa, dan 201 buah di antaranya terdapat di Jawa. Pesatnya perkembangan sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia telah mengundang kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengimbanginya pemerintah Belanda mendirikan HCS (Holland Chinese School), sekolah dengan model Barat dan dengan bahasa pengantar Belanda (Suryadinata 1983). Di satu sisi, tujuan utama pendirian sekolah ini untuk melahirkan generasi muda Tionghoa yang berbudaya Barat, yang minimal dianggap dapat mengurangi rasa nasionalisme ketionghoaannya. Di sisi lain, diharapkan agar mereka secara kultural tetap dapat menjaga jarak dengan masyarakat pribumi. Pada akhir kekuasaan kolonial Belanda (1942), sekolah HCS ini hampir sama banyaknya dengan sekolah Tionghoa lainnya yang memakai bahasa pengantar Tionghoa. Pada masa pendudukan Jepang, semua sekolah model HCS yang memakai bahasa pengantar Belanda ditutup. Sekolah yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
dibenarkan hanyalah yang menggunakan bahasa pengantar Melayu dan Tionghoa. Dapat dimengerti apabila masyarakat Tionghoa sebagian besar memilih sekolah-sekolah yang memakai bahasa pengantar Tionghoa daripada Melayu. Pemerintah Kolonial Belanda sejak dini telah memisahkan pendidikan sesuai dengan pengelompokkan masyarakat Hindia Belanda yaitu sekolah-sekolah untuk orang: (1) Eropa/ kulit putih (European), (2) orang Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, dan India (Vreemde Oosterlingen), dan (3) orang-orang Bumiputra (Inheemschen). Pembagian masyarakat dengan jenis pendidikan tersebut telah mewariskan jurang pemisah antara pribumi dan nonpribumi dalam masyarakat Indonesia pada era pasca kolonial. Setiap bangsa disediakan sekolahsekolah sendiri. Misalnya ELS untuk anak Eropa, HCS untuk anak Tionghoa dan HIS untuk anak pribumi. Pada dekade pertama sesudah kemerdekaan, pembenahan pendidikan nasional belum banyak dapat menjamah persoalan sekolah asing atau yang berbahasa pengantar asing seperti sekolah-sekolah yang melanjutkan tradisi di zaman kolonial. Namun, pada periode Orde Lama tahun 1958–1965, ada dua tindakan pemerintah di bidang pendidikan yang disesuaikan dengan kebijakan politik internasional. Pertama, dengan pengakuan terhadap RRC dan politik satu Cina, pemerintah Indonesia membubarkan sekolah-sekolah Tionghoa Kuomintang (Guomindang). Kedua, pemerintah mendirikan PPS (Panitia Kementerian PPK untuk Pengawas Sekolah) dan SNAA (Sekolah Nasional Asal Asing) dengan PP No. 48 tahun 1960. Ketika pecah pemberontakan G30S/PKI 1965, banyak warga negara RRC atau anggota Baperki yang dianggap terlibat, maka pemerintah Orde Baru memiliki alasan yang kuat
35
untuk membubarkan sekolah Tionghoa yang berafiliasi atau dianggap berada di bawah pengaruh RRC. Untuk menampung murid-murid pada sekolah-sekolah tersebut,2 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus3 dengan menggunakan semua aset bekas sekolah Tionghoa asing. Sekolah-sekolah SNPK ini mewajibkan agar: • murid-muridnya merupakan pembauran dari WNA (Asing), WNI Keturunan Asing, dan WNI Asli, • bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, • bahasa asing (Tionghoa) hanya berkedudukan sebagai salah satu mata ajaran. Di Sumatera Utara umpamanya, berdiri 32 buah sekolah SNPK untuk tingkat SD, SLTP dan SLTA. Akan tetapi, Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) I (sebagai penguasa militer untuk Sumatra dan Kalbar waktu itu), melihat bahwa SNPK tersebut hanyalah merupakan sekolah-sekolah RRT gaya baru.4 Sebagai akibat, Kowilhan menetapkan penambahan persyaratan baru untuk sekolah-sekolah SNPK tersebut antara lain dengan mewajibkan komposisi murid-murid 50% WNI Keturunan Asing (selanjutnya disebut murid nonpri) dan 50% WNI Keturunan Asli (selanjutnya disebut murid pri). Kemudian, semua anggota pengurus Yayasan harus mendapat persetujuan (setelah diteliti) Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah)/ Kodam (Komando Daerah Militer) setempat. Setelah itu, sesuai dengan kesepakatan pemerintah pusat, pengelolaannya diserahkan Kowilhan kepada Kanwil P dan K setempat (1974). Kanwil-kanwil ini kemudian membentuk 2
Diperkirakan waktu itu berjumlah 273.000 orang.
3
SNPK-Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/ 1967. 4
Sebetulnya SNPK umumnya diselenggarakan oleh kelompok yang pro-Taiwan (Kuomintang), karena grup yang pro-RRT telah tersingkir. Mungkin para penguasanya tidak menyadari ini.
36
Tim Pembantu Pelaksana Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan Asing di Indonesia (TP-PAP3A) dengan Surat Keputusan Menteri P dan K No.044/P/75 tanggal 18 Maret 1975. Tim TP-PAP3A Propinsi Sumatra Utara kemudian mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk sekolah-sekolah asimilasi tersebut sebagai berikut: • Sekolah asimilasi dilaksanakan oleh yayasan pendidikan swasta baik yang berlatar agama, seperti yayasan pendidikan Islam, Kristen atau Katolik, maupun yayasan pendidikan umum (nasional). • Komposisi murid-murid harus 50% WNI asli dan 50% WNI asing. • Kurikulum: kurikulum nasional (harus sama dengan kurikulum sekolah negeri). • Bahasa pengantar: Bahasa Indonesia. • Dilarang mengajarkan bahasa Tionghoa • Guru-guru harus mendapat persetujuan Kanwil P dan K setempat. • Pengurus yayasan harus lulus skrining Laksusda/Kodam setempat. Pada tahun pertama dan kedua sekolah pembauran ini dibuka, pihak yayasan sebagai penanggung jawab sekolah berusaha keras untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Tetapi, dalam banyak hal ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh semua sekolah terutama mengenai komposisi muridmurid WNI Asli dan WNI Keturunan Asing (Tionghoa). Tahun demi tahun jumlah muridmurid dari kelompok WNI Asli makin menciut, karena berbagai faktor. Di kalangan murid-murid pribumi terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid-murid WNI Keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI Keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
sekolah yang tinggi (walaupun beberapa sekolah memberikan keringanan kepada mereka, terutama dalam pembayaran uang sekolah).
Sekolah sebagai wadah pembauran (melting pot) Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa pemerintah Orde Baru ingin menjadikan sekolah (lembaga pendidikan) dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan 1963). Dalam kepustakaan antropologi, melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok tertentu (dalam hal ini WNI keturunan Tionghoa) dapat meleburkan (dirinya dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan (dalam hal ini kelompok WNI asli). Dalam rangka integrasi nasional, terdapat perbedaaan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap kelompokkelompok etnik WNI asli jika dibandingkan dengan WNI keturunan asing. Untuk WNI keturunan asing, pemerintah menekankan agar mereka melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli), sedang bagi antar sesama kelompok etnik WNI asli diharapkan terjadi akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing). Sekolah-sekolah pembauran dilihat oleh pemerintah sebagai wadah pembauran antara kelompok WNI asli (pribumi) dengan kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa),maka diharapkan generasi muda WNI keturunan Tionghoa tersebut dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan itu. Alur pemikiran ini dapat dilihat dari aturan-aturan baku yang diterapkan dalam sekolah-sekolah pembauran (Pelly 1985). Asumsi di atas dapat dimaklumi juga, karena berbagai latar suasana sosio-politik
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
pasca G30S/PKI, seperti dalam konteks masyarakat WNI keturunan Tionghoa di Medan. Di kalangan masyarakat WNI keturunan Tionghoa generasi tahun 1930-an (kolonial) masih memiliki kecenderungan kuat untuk memisahkan diri (segregative) terhadap masyarakat bumiputera. Di antara mereka masih banyak yang tidak mampu berbahasa Indonesia (Melayu) dengan baik. Akan tetapi, di kalangan intelektual pascakolonial seperti dokter, pengacara, notaris, dosen perguruan tinggi atau wartawan, eksklusivitas ketionghoaan telah tidak kelihatan, sehingga hubungan mereka dengan sesama anggota masyarakat kota tidak pernah menjadi masalah (Pelly 1983; 1995;1999). Sampai tahun 2000-an, Medan belum memiliki kesatuan budaya urban, antara lain karena kota itu tidak memiliki kelompok yang dapat dianggap sebagai kelompok budaya dominan (dominant cultural group) seperti orang Sunda di Bandung, orang Jawa di Solo, atau orang Bugis di Makassar, di mana kelompok-kelompok etnik ini dapat dijadikan rujukan kesatuan budaya. Medan merupakan ‘konfederasi kelompok-kelompok etnik/ras’ yang dibakukan sejak zaman kolonial, baik dalam pengertian fisik dan budaya (Pelly 1999). Dengan setting budaya seperti itu, pemerintah merasa perlu menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah pembauran (melting pot).
Latar penelitian Setelah sepuluh tahun sejak berdirinya sekolah-sekolah pembauran ini, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian untuk melihat sejauh mana proses pembauran itu berhasil, setidaknya seperti yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru pada masa itu (Pelly 1995). Penelitian ini melihat dan menilai proses pembauran ala melting pot yang menjadi asumsi dasar pemerintah dalam 7 (tujuh) aspek kehidupan, yaitu:
37
• • • • • • •
nilai-nilai budaya, keterkaitan dalam struktur masyarakat, amalgamasi (intimasi dalam interaksi sosial), identifikasi diri, sikap (attitude), perilaku (overt behaviour) , dan kesadaran sebagai warga negara (civics). Kemudian diteliti kontekstual hasil penelitian ketujuh aspek tersebut dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, seperti: • pemilihan teman, • hubungan komposisi murid-murid pri dengan nonpri dengan hasil penelitian ketujuh aspek di atas, dan • perbandingan keberhasilan pada tujuh aspek tersebut dengan latar yayasan pengasuh, yaitu yang berlatarkan agama (Islam, Katolik, dan Protestan) dengan yayasan umum (nasional). Sampel kajian ini mengambil 8 (delapan) sekolah-sekolah pembauran yang besar dan cukup dikenal dalam masyarakat kota Medan, masing 2 (dua) sekolah untuk setiap yayasan Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan umum, dengan jumlah murid keseluruhan 5.593 orang dan dengan komposisi etnik untuk masing-masing sekolah seperti terlampir.
Peralihan ini tampak umpamanya dari pertanyaan mengenai kegemaran menonton film: (a) film Mandarin, (b) film Barat, dan (c) film nasional. Kecenderungan pilihan tampak telah mengarah kepada film Barat dan meninggalkan film Mandarin. Murid-murid dari perguruan pembauran yang diasuh oleh yayasan yang berlatar belakang keagamaan ternyata sebagian besar telah meninggalkan pilihan utama dari film Mandarin ke film Barat dan sebagian kecil ke film nasional. Namun, murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh yayasan nasional (umum) masih terlihat lebih banyak ke film Mandarin, kemudian baru film Barat dan terakhir film nasional. Begitu pula hasil penelitian mengenai kegemaran membaca buku-buku cerita Mandarin seperti cerita silat Tionghoa dan penggunaan Bahasa Indonesia. Kesimpulan sementara yang dapat ditarik ialah bahwa murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh yayasan yang belatar belakang agama telah lebih maju dan berhasil di bidang asimilasi kebudayaan (perubahan apresiasi nilai budaya dari nilai budaya Mandarin ke nasional) dibandingkan dari teman-teman mereka di sekolah-sekolah nasional.
Beberapa kesimpulan dari penelitian (1984)
Aspek struktural
Nilai-nilai budaya Pembauran di bidang kebudayaan menyangkut persepsi dan penghayatan muridmurid nonpri kepada nilai-nilai kehidupan nasional, yang tercermin dalam budaya bangsa Indonesia. Ternyata dari hasil penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa terdapat proses peralihan apresiasi (penghargaan) dari budaya Tionghoa ke budaya nasional, melalui budaya yang lebih netral atau universal sebagai budaya antara. Dalam hal ini adalah budaya Barat (Amerika/Eropa).
38
Keterlibatan murid-murid nonpri dalam kegiatan masyarakat secara struktural menunjukkan taraf (level) partisipasi mereka dalam kebersamaan hidup (togetherness) dengan masyarakat luas. Hasil penelitian mengenai ini menunjukkan bahwa murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh sekolah-sekolah asimilasi yang berlatar belakang agama lebih unggul dibandingkan dengan pelajar-pelajar dari sekolah-sekolah umum (nasional). Datadata menunjukkan bahwa pelajar-pelajar dari sekolah yang pertama, banyak terlibat dalam organisasi-organisasi pemuda, dan agama di
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
luar dan di dalam sekolah. Dua jenis organisasi yang sangat memungkinkan tingginya tingkat interaksi sosial antara kelompok-kelompok pelajar dari berbagai etnik dan latar belakang sosial. Tambahan pula bahwa murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh yayasan yang berdasarkan agama lebih banyak turut serta berperan aktif dalam organisasi-organisasi sosial, jika dibandingkan dari pelajar-pelajar yang bersekolah pada perguruan umum (nasional). Amalgamasi (tingkat intimasi dalam hubungan sosial) Amalgamasi menunjukan suatu tingkat integrasi yang tinggi dalam proses asimilasi, seperti pemilihan pertemanan, persahabatan, dan perkawinan. Dalam amalgamasi tingkat keintiman memperlihatkan pula rentang jarak sosial dan psikologis (social and psychological distant) antara seseorang dengan yang lain. Dalam hubungan ini, data-data menunjukkan bahwa murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh yayasan agama telah lebih banyak melakukan amalgamasi, jika dibandingkan dengan pelajar-pelajar dari perguruan yang diasuh oleh perguruan umum (nasional). Hal ini dibuktikan secara kuantitatif lebih banyak sanak saudara mereka yang kawin-mawin dengan sukubangsa Indonesia asli, kecilnya kategori pilihan jodoh yang harus satu etnik/ suku dan satu agama. Tekanan dalam pemilihan jodoh murid-murid telah lebih universal, yaitu siapa saja, asal saling mencintai. Identifikasi Bagaimana seseorang sebenarnya melihat dirinya sendiri dan dilihat oleh orang lain. Apakah seseorang WNI keturunan Tionghoa ingin dilihat tetap sebagai WNI keturunan asing atau lebih senang kalau dia dilihat dan dibandingkan tidak berbeda dengan WNI asli merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan asimilasi.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Hampir seluruh pelajar-pelajar WNI keturunan Tionghoa tidak ingin lagi dipanggil namanya dengan nama lengkap Tionghoa, tetapi lebih senang dipanggil dengan nama panggilan kecil Tionghoa atau dengan nama Indonesia. Tampak bahwa secara formal mereka sudah menolak untuk diidentifikasikan dalam kategori Tionghoa, tetapi menginginkan tetap nama kecil Tionghoa yang akrab atau nama Indonesia. Dengan demikian, terlihat cukup kuat perasaan lebih akrab dengan nama Indonesia. Dalam masalah okupasi (pekerjaan), tampak masih kuat keinginan untuk mewarisi okupasi tipikal Tionghoa, yaitu sebagai pedagang dan wiraswasta. Akan tetapi, di kalangan muridmurid dari perguruan yang diasuh oleh perguruan agama, kecenderungan baru tampak dengan jelas dalam bidang okupasi yaitu pemilihan terhadap okupasi profesional, seperti dokter, pengacara, dosen atau notaris. Pilihan ini menunjukkan bahwa proses pengalihan okupasi tradisional Tionghoa okupasi modern yang lebih profesional telah berlangsung di kalangan pelajar-pelajar tersebut. Okupasi profesional akan lebih banyak memberikan kemungkinan bagi mereka untuk berinteraksi dengan WNI keturunan asli ketimbang okupasi tradisional Tionghoa seperti di bidang dagang dan wiraswasta, baik dalam arti psikologis, kultural, maupun politis. Sikap (attitude) Sikap menunjukkan reaksi mereka terhadap orang lain, benda dan isu yang berada di sekitar kehidupan individu dan sosial seseorang. Sikap positif menunjukkan suatu penerimaan, sebaliknya sikap negatif menunjukan penolakan. Murid-murid dari perguruan yang diasuh oleh Yayasan agama menunjukkan sikap yang pragmatis terhadap orang lain. Umpamanya mereka lebih senang pergi ke sekolah bersama
39
teman yang dekat rumah, sungguhpun bukan berasal dari kelompok Tionghoa, tetapi satu sekolah. Sedang pelajar-pelajar dari sekolah umum (nasional) tidak ingin mensyaratkan satu sekolah, tetapi asal dekat rumah. Dalam masalah mendekati orang lain pelajar-pelajar dari perguruan yang diasuh oleh yayasan yang berlatar belakang agama, lebih menekankan kemungkinan penerimaan orang yang akan didekati daripada faktor kemudahan tehnik (seperti dekat rumah, dan lain-lain). Hal ini menunjukkan bahwa sikap mereka lebih positif dan korektif daripada pelajar-pelajar dari perguruan umum (nasional). Perilaku (overt behaviour) Seberapa berbedanya tingkah laku seseorang dengan lingkungan sosialnya, menunjukkan pula seberapa jauh jarak seseorang itu dengan masyarakat tempat dia tinggal. Ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam kaitan tingkah laku ini antara murid-murid yang diasuh oleh yayasan sekolahsekolah agama dengan umum (nasional). Tampak adanya kecenderungan tingkah laku mereka ke arah penyesuaian dengan lingkungan setempat.
positif, umpamanya keinginan untuk menjadi tentara sukarela dalam menghadapi musuh yang mengancam keselamatan negara. Begitu juga apresiasi mereka kepada tokoh atau pahlawan bangsa. Ternyata, tokoh SukarnoHatta mendapat tempat yang jauh lebih baik dari Sun Yat Sen atau Mahatma Gandhi. Kewajiban perlu tidaknya membayar pajak dengan jujur, mendapat jawaban yang sungguh positif, demikian juga mengenai pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah. Akan tetapi, terdapat perbedaan sikap terhadap pejabat yang sedang bertugas dalam kaitan pelanggaran yang dilakukan, seperti apabila kendaraan di tahan polisi. Murid-murid dari perguruan yang berlatar belakang agama lebih menekankan agar masalah itu diselesaikan langsung oleh yang bersangkutan (tanpa calo) sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, sedang murid-murid dari perguruan umum (nasional) sebagian masih menginginkan agar permasalahan tersebut diselesaikan di tengah jalan (berdamai dengan polisi di tempat tersebut). Perbedaan ini menunjukkan bahwa terdapat sikap yang lebih positif dan konstruktif dari pelajar-pelajar perguruan yang diasuh oleh yayasan yang berlatar belakang agama daripada yang umum (nasional).
Kewarganegaraan (civics) Seseorang yang merasa dirinya warga negara yang bertanggung jawab akan menunjukkan sikap pembelaan penuh (tanpa reserve), kepada negara dan bangsa, terutama apabila negara dan bangsanya dalam keadaaan bahaya. Demikian juga dalam keadaan normal dia selalu dapat menunjukkan sikap yang positif, konstruktif, dan kreatif kepada alat-alat dan aparat negara yang sedang bertugas. Untuk pembelaan negara yang dalam keadaan bahaya, ternyata sikap para pelajar nonpribumi dari kedua jenis sekolah ini sangat
40
Kesimpulan dan diskusi Tujuh faset pembauran Kesimpulan umum dari ketujuh aspek kehidupan dalam proses pembauran di sekolahsekolah yang diasuh oleh yayasan yang berlatar belakang agama (Islam, Kristen, dan Katolik) dan umum (nasional) dapat dilihat pada tabel di halaman berikutnya. Tabel tersebut menunjukkan bahwa muridmurid dari perguruan yang dibina oleh yayasan yang berlatar belakang agama (Islam, Protestan, dan Katolik) lebih unggul dalam proses
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Tabel I Tujuh Faset Pembauran
No
Latar Belakang
Aspek Pembauran Kebudayaan
Struktural
Identifikasi
Murid yang diasuh oleh 1. yayasan agama
+
+
Murid yang diasuh oleh 2. yayasan umum (nasional)
+ -
+ -
Sikap
Perilaku
Civics
+
+ -
+ -
+
+ -
+ -
+ -
+ -
asimilasi jika dibandingkan oleh murid-murid dari sekolah yang dibina oleh yayasan umum (nasional). Secara hipotesis, dapat dijelaskan bahwa faktor agama sebagai salah satu aspek budaya telah turut berperan untuk memperlancar dan mendorong interaksi sosial dan rasa kebersamaan hidup (togetherness) dalam masyarakat/kampus sekolah. Dalam konteks ini, agama yang berperan adalah agama Islam, Protestan, dan Katolik yang telah dianggap pada waktu itu sebagai agama rakyat (folk religion) oleh masyarakat Indonesia asli. Dengan demikian faktor kesamaan agama telah dapat menjembatani perbedaan subkultur etnik atau ras, ke arah integrasi nasional. Komposisi murid pri dan nonpri Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat komposisi etnik pri dan nonpri dengan tingkat keberhasilan asimilasi di sekolah-sekolah yang dijadikan sampel. Walaupun salah satu ketentuan dari pemerintah agar komposisi muridmurid sekolah pembauran harus fifty-fifty (50% keturunan asing dan 50% keturunan asli).
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Ket.
Secara hipotesis hal ini menunjukkan bahwa kehadiran murid-murid pribumi dalam sekolah pembauran belum dapat berfungsi sebagai pusat orientasi akulturasi bagi muridmurid nonpri. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa aspek kuantitatif (jumlah dari murid/ pelajar pribumi) tidak menentukan proses keberhasilan pembauran (asimilasi). Apa yang menentukan adalah segi kualitatif, yaitu kualitas murid-murid pribumi yang terlibat dalam kelompok sosial masyarakat sekolah tersebut. Hal ini diperkuat dari data yang diperoleh, bahwa para pelajar nonpribumi, lebih mengutamakan mencari teman yang sederajat (kualitas: kecerdasan, kemampuan, dan tingkah laku), tanpa banyak membedakan faktor etnik dan agama. Oleh sebab itu, tampak bahwa faktor kondisi sosio-ekonomis dan psikologis memegang peranan dalam proses asimilasi antara pelajar pri dan nonpri sekolah-sekolah bukan jumlah (kuantitas) populasi mereka. Sekolah sebagai melting pot (wadah pembauran) Peleburan identitas murid-murid nonpri ke dalam budaya nasional, seperti yang
41
diharapkan oleh Pemerintah Orde Baru tidak terjadi selama sepuluh tahun proses sekolah pembauran itu dilaksanakan. Kenyataan ini juga ditemukan oleh Glazer dan Moynihan di New York (1963), walaupun kota metropolitan itu menampung belasan kelompok etnik/ras dari berbagai penjuru dunia (terutama Eropa dan Afrika), tetapi proses kehidupan urban itu sendiri tidak meleburkan masing-masing identitas mereka, sehingga Glazer dan Moynihan sendiri menyatakan bahwa melting pot itu suatu mitos yang tidak pernah menjadi kenyataan. Apa yang diperoleh dari proses kebersamaan (togetherness) murid-murid pri dan nonpri adalah tumbuhnya suatu kehidupan yang majemuk, walaupun mereka telah banyak mengacu pada kesatuan unsur-unsur budaya bersama melalui pendidikan dengan kurikulum
nasional. Murid-murid nonpri telah terlibat dalam konteks pergaulan yang lebih luas. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa murid-murid nonpri telah melepaskan semua unsur-unsur budaya yang mereka miliki sebelumnya, dan meluluhkan diri ke dalam budaya sekolah. Apa yang terjadi adalah pengayaan unsur-unsur budaya yang dibawa dari rumah dan menempatkannya dalam konteks budaya yang lebih luas. Begitu juga cara dan gaya mereka mengekspresikan identitas diri mereka menjadi lebih cocok dalam konteks kehidupan bersama. Perubahan seperti ini adalah wajar terjadi dalam proses kehidupan yang majemuk. Dengan demikian yang muncul adalah kehidupan cultural pluralism suatu tahap ke arah multiculturalism yang memerlukan waktu dan suasana yang lebih kondusif.
Referensi Alexander, G. 1973 The Invisible Chinese: The Overseas Chinese and The Politics of Southeast Asia. New York: Macmillan. Babari 1984 ‘Hambatan-Hambatan dalam Proses Pembauran Bangsa’, Analisa XIII(9):688–700. Cooley, C.H. 1960 Sociological Theory and Social Research. New York: Henry Holt Company. Evers, H.D. 1980 ‘Ethnic and Class Conflict in Urban Southeast Asia’, dalam Hans-Dieter Evers (peny.) Sociology of Southeast Asia: Readings on Social Change and Development. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Hlm.121–124. Fitzgerald, S. 1970 ‘China and the Overseas Chinese: Perception and Policy’, China Quarterly No.14. Glazer, N. and D.P. Moynihan 1963 Beyond the Melting Pot. Cambridge: MIT Press. Hutajulu, I.P. 1984 ‘Memahami Masalah Pembauran Secara Konseptual’, Analisa XIII(9):671–687. Jahya, J. (peny.) 1983 Garis Rasial Garis Usang. Jakarta: Bakom PKB.
42
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Koentjaraningrat (peny.) 1971 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Pelly, U. 1983 Urban Migration and Adaptation in Indonesia: A Case Study of Minangkabau and Mandailing Batak Migrants in Medan, North Sumatra. Unpublished Ph.D. thesis. Urbana-Champaign: University of Illinois. 1985-1986 Masalah Asimilasi antar Pelajar Pribumi dan Nonpribumi pada Sekolah Pembauran yang Berlatarbelakang Keagamaan dan Umum di Medan. Laporan Penelitian. Jakarta: Direktorat Jendral Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993 Masalah Asimilasi Keturunan Cina di Indonesia: Sebuah Gugatan Kultural. Kertas Kerja pada Simposium Kebudayaan Sempadan. Pulau Pinang, Malaysia: GAPENA. 1995 Integrasi Masyarakat Indonesia: Peluang dan Tantangan. Kertas Kerja. Seminar Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia. Ujung Pandang. 2–3 November. 1999 ‘Social Institutions an Ethnic Cohesion in Medan,’ dalam M.C.Ferrer (peny.) Samasama: Facets of Ethnic Relations in South East Asia. Diliman: University of Philippines. Soemardjan, S. 1964 Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi . Bandung: PT. Ereslo. Sinar, L. 1980 ‘The Coming of the Chinese Immigration to East Sumatera in the 19th Century’, Berita Antropologi XI(37):29–41. Suryadinata, L. 1983 Dilemma Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers. Skinner, G. W. 1951 ‘Report on the Chinese in Southeast Asia. Department of for Eastern Studies South Cost Asia Program’, dalam Nanyang Xuebao. Cornell University. 1961 ‘Java’s Chinese Minority: Continuity and Change’, Journal of Asian Studies 20(3):353– 362. 1960 Changes and Persistence in Chinese Culture Overseas: A Comparation of Thailand and Java. Sigit, S. 1983
Asimilasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Prijono, O.S. 1984 ‘Suatu Kerangka Teoritis tentang Masalah Pembauran Bangsa Khususnya Kelompok Keturunan Cina’, Analisa XIII(9). Tan, M.G. (Peny.) 1979 Golongan Etnik Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Vasanty, P. 1982 ‘Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia’, dalam Koentjaranigrat (peny.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
43
Lampiran: Tabel II Perbandingan Etnik Siswa Di Dua Sekolah Nasional No.
Etnik f
SMA f
1.
Tionghoa
219
40,48
1042
94,29
2.
Melayu
209
38,63
4
0,36
3.
Batak Toba
39
7,20
24
2,17
4.
Jawa
44
8,13
13
1,18
5.
Aceh
15
2,77
2
0,18
6.
Mandailing
16
2,95
7
0,63
7.
Karo
7
1,29
3
0,27
8.
Minangkabau
-
-
6
0,54
9.
Simalungun
-
-
2
0,18
10.
India
-
-
1
0,09
11.
Lain-lain
-
-
1
0,09
549
100
1105
100
Jumlah
Wahidin %
SMA f
Sutomo %
Tabel III Perbandingan Etnik Siswa Di Dua Sekolah yang Diasuh Oleh Perguruan Islam
Tionghoa
SMA f 134
Amir Hamzah % 26,75
SMA f 24
Sutomo % 9,38
2. 3.
Jawa Mandailing
128 97
25,55 19,36
88 45
24,37 17,50
4. 5.
Batak Toba Minagkabau
29 27
5,79 5,39
15 40
5,85 15,63
6. 7.
Melayu Aceh
27 20
5,39 3,40
10 11
3,91 4,30
8. 9.
Sunda Simalungun
4 3
0,79 0,59
4 2
1,56 0,78
10. 11.
Karo Nias
11 2
2,91 0,91
10 1
3,91 0,39
12.
Lain-lain Jumlah
19 501
3,79 100
6 256
2,34 100
No.
Etnik
1.
44
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Tabel IV Perbandingan Etnik Siswa Di Dua Sekolah yang Diasuh Oleh Perguruan Protestan
Tionghoa
SMA f 306
Kalam Kudus % 68,79
SMA f 928
Methodist % 76,50
2.
Batak Toba
119
26,74
235
19,37
3.
Karo
10
2,25
13
1,07
4.
Simalungun
7
1,57
16
1,31
5.
Jawa
-
-
12
0,99
6.
Sunda
1
0,22
-
-
7.
Aceh
1
0,22
-
-
8.
Nias
-
-
1
0,08
9.
India
-
-
1
0,08
10.
Mandailing
-
-
5
0,41
Jumlah
445
100
1213
100
No.
Etnik
1.
Tabel V Perbandingan Etnik Siswa Di Dua Sekolah yang Diasuh Oleh Perguruan Katolik No.
Etnik
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Tionghoa Batak Toba Karo Jawa Simalungun Minangkabau Mandailing Nias Aceh Melayu India Sunda Lain-lain Jumlah
SMA f 350 257 78 32 15 8 11 6 3 2 2 1 19 784
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Santo Thomas % 44,64 32,78 9,95 4,08 1,91 1,08 1,40 0,77 0,38 0,21 0,21 0,13 2,42 100
SMA f 598 102 8 19 2 2 4 1 2 2 740
Budi Murni % 80,18 13,78 1,08 2,57 0,27 0,27 0,54 0,14 0,27 0,27 100
45