MOTIVASI BERWIRAUSAHA PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK Milu Winasti Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
[email protected] Abstract This study aims to determine motivation of entrepreneurship in people with physical disabilities, factors that become obstacles in entrepreneurship, and how to overcome the obstacles that occurred. Subjects in this research is two persons with physical disabilities acquired. The research method used was a qualitative phenomenological approach and using content analysis. Data collection techniques with semi-structured interviews, non-participant observation and field notes. This research also complete the the data by interviewing the significsnt personas a triangulator. The results showed that entrepreneurial motivation in people with physical disabilities is to to support his family, build a relationship with people, helpingpeople with physical disabilities to be more prosperous, the existence ofself esteem, the desire to align with normal people. Factors that become obstacles in the work comes from external factors which factors of production and labor issues, marketing issues, financing, design, quality ofproducts and partners. Both subjects to overcome obstacles using theproblem focused coping strategies. The conclusion of this research that entrepreneurial motivation in peoplewith physical disabilities is driven by the needs of existence, relationships and growth. Obstacles were found is a factor of production and employment, marketing, financing, design, quality products, and partners. How to overcome the obstacles subjects using problem focused coping strategies such as planfull problem solving, direct action, asistence seeking and information seeking. Keywords: motivation, physical disabilities, obstacles, problem focused coping
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi berwirausaha pada penyandang disabilitas fisik, faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam berwirausaha, dan cara mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi. Subjek penelitian ini adalah dua orang penyandang disabilitas fisik perolehan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dengan wawancara semi terstruktur,
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
178
observasi non partisipan dan catatan lapangan. Kredibilitas penelitian diperoleh dari penggunaan triangulasi sumber data dan triangulasi metode. Data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi berwirausaha pada penyandang disabilitas fisik adalah untuk menafkahi keluarga, menjalin hubungan dengan orang banyak, menolong penyandang disabilitas fisik agar lebih sejahtera, adanya harga diri, dan keinginan menyetarakan dengan individu normal. Faktor yang menjadi hambatan dalam bekerja berasal dari faktor eksternal yaitu faktor masalah produksi dan tenaga kerja, masalah pemasaran, permodalan, desain, kualitas produk dan mitra kerja. Kedua subjek dalam menghadapi hambatan menggunakan strategi problem focused coping. Simpulan penelitian ini bahwa motivasi berwirausaha pada penyandang disabilitas fisik didorong oleh kebutuhan eksistensi, keterhubungan dan pertumbuhan. Hambatan yang ditemui yaitu faktor produksi dan tenaga kerja, pemasaran, permodalan, desain, kualitas produk, dan mitra kerja. Cara subjek dalam mengatasi hambatan menggunakan strategi problem focused coping seperti planfull problem solving, direct action, assistance seeking dan information seeking. Kata kunci : motivasi berwirausaha, disabilitas fisik
PENDAHULUAN Masa dewasa awal (early adulthood) biasanya dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 30-an. Masa ini merupakan masa untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Perkembangan karir menjadi lebih penting ketimbang pada waktu remaja. Bagi kebanyakan dewasa muda, memilih pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara intim, dan memulai keluarga merupakan kegiatan yang banyak menyita waktu. Yang semakin diakui sebagai tanda seseorang memasuki masa dewasa adalah kalau mempunyai pekerjaan penuh waktu dan permanen. Kebebasan ekonomi dapat dianggap sebagai kriteria kedewasaan, tetapi mengembangkan kemandirian ekonomi merupakan proses yang berlangsung lama (Santrock, 2002). Super (Santrock, 2002) memandang bahwa konsep diri individu memainkan peran penting dalam pemilihan karir. Super membagi lima tahapan dalam perkembangan karir seseorang, yaitu fase kristalisasi (14-18 tahun), spesifikasi (18-22 tahun), implementasi (21-24 tahun), stabilisasi (25-35 tahun) dan konsolidasi (di atas 35 tahun). Penelitian ini akan difokuskan pada usia 21 tahun ke atas, artinya subjek dalam penelitian ini minimal berusia 21 tahun atau minimal pada fase implementasi, yang ketika itu individu telah menyelesaikan pendidikan dan mulai memasuki dunia kerja. Tidak semua orang terlahir dalam keadaan fisik yang sempurna atau lengkap, yang sering disebut sebagai penyandang disabilitas fisik. Istilah disabilitas fisik sering dinamakan juga dengan cacat fisik atau tunadaksa. Disabilitas fisik adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal (Somantri, 2006). Disabilitas fisik juga sering diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat
Milu Winasti
179 kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri (Somantri, 2006). Individu yang mengalami keterbatasan fisik juga mempunyai tugas untuk kemandirian pribadi dan ekonomi, namun hal ini masih cukup sulit untuk dilakukan. Adanya stigma bahwa penyandang disabilitas fisik adalah orang yang tidak mampu, tidak berdaya, dan perlu dibelaskasihani. Hal ini menyebabkan kurangnya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas fisik. Perusahaan cenderung untuk menolak penyandang disabilitas fisik ketika melamar pekerjaan dengan alasan penyandang disabilitas fisik tidak mampu bekerja dan tidak ada akses. Meski penyandang disabilitas fisik menghadapi keterbatasan fisik dan stigma masyarakat, namun ada yang membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah menjadi hambatan bagi mereka untuk beraktivitas. Sebaliknya kondisi tersebut justru menjadi motivasi untuk dapat maju, berkembang seperti orang-orang normal lainnya, termasuk dalam hal bekerja, bahkan mampu memberdayakan orang lain dengan cara berwirausaha. Hasil wawancara dan observasi pada tanggal 24 April 2012 di sebuah desa di Kabupaten Bantul memperlihatkan bahwa subjek A (46 tahun) ini mengalami kelumpuhan akibat gempa Jogja pada tanggal 26 Mei 2006 yang lalu. A menguraikan alasan bekerja karena rasa tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Sebelum gempa subjek telah bekerja di sebuah tempat kerajinan. Setelah mengalami kelumpuhan pasca gempa akhirnya beliau membuka usaha sendiri dengan membuat tas kerajinan dari bahan kain batik. Wawancara kedua 18 Mei 2012 dilakukan di Yayasan Penyandang Cacat Mandiri Craft Yogyakarta. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subjek yang mengalami amputasi kaki kiri akibat kecelakaan kerja ini menguraikan alasan mendirikan usaha adalah pengamatan subjek tentang masih kurangnya kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas fisik dan adanya keinginan untuk memajukan penyandang disabilitas fisik. Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (disabilitas fisik) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo, dalam Effendi, 2009). Menurut Departemen Sosial dikutip oleh Mangunsong (Rostiana dan Damayanti, 2003) bahwa disabilitas fisik didefinisikan sebagai ketidaklengkapan anggota tubuh disebabkan faktor bawaan dari lahir, kecelakaan, maupun akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang bersangkutan, contohnya amputasi tangan/kaki, paraplegia, kecacatan tulang, dan cerebral palsy. Sarinem (2010) menguraikan tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas fisik. Disabilitas fisik yang dialami seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik untuk melakukan suatu perbuatan atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari. Disabilitas fisik juga dapat mengganggu kejiwaan atau mental seseorang sehingga menjadi rendah diri atau sebaliknya terlalu berlebihan. Disabilitas fisik menimbulkan kesulitan pula khususnya ada anak umur sekolah, yang memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Keterbatasan fisik menyebabkan tidak dimilikinya keterampilan kerja (produksi). Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan dan berada di bawah garis kemiskinan. Secara sosial, disabilitas fisik mempengaruhi ketidakmampuan hubungan dalam mengambil peranan dalam kegiatan sosial atau kelompok, kecanggungan hubungan antar manusia di masyarakat, dan ketidakmampuan saling pengaruh-mempengaruhi dalam suatu kelompok sosial atau interaksi sosial. Keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas fisik, orang tuanya
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012 180 ada yang merasa malu sehingga penyandang disabilitas tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, serta kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya. Akibatnya anak tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya, yang pada gilirannya menjadi beban keluarganya secara menetap. Terkadang masyarakat yang mempunyai warga penyandang disabilitas fisik turut terganggu kehidupannya, apabila penyancang cacat belum bisa berdiri sendiri dan ada yang menggantungkan dirinya kepada orang lain. Penyandang disabilitas fisik dimungkinkan mengalami kendala dalam pergaulan seperti : sulit menemukan kelompok bermain, membentuk kelompok khusus yang cenderung menutup diri, dan antar kelompok berkompetisi secara negatif (Sarinem, 2010). Menurut Martoyo (2007) motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu. Motivasi kerja diartikan sebagai kondisi yang berpengaruh dalam membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja (Amirullah dan Budiyono, 2004). Alderfer (Robbins, 2003) membagi motivasi menjadi tiga kelompok kebutuhan yaitu eksistensi (existence), keterhubungan (relatedness) dan pertumbuhan (growth) sehingga sering disebut sebagai teori ERG. Kelompok eksistensi memperhatikan keberadaan materiil dasar manusia mencakup kebutuhan psikologis (rasa lapar, haus, sandang, perumahan, seks dan kebutuhan jasmani) dan kebutuhan keamanan (keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional). Kelompok kebutuhan kedua adalah keterhubungan yaitu hasrat untuk memelihara hubungan antar pribadi atau interaksi dengan orang lain, meliputi hasrat sosial (kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, persahabatan) dan penghargaan dari faktor eksternal (penghormatan dari luar, status, pengakuan, perhatian). Kebutuhan pertumbuhan yaitu hasrat instrinsik untuk perkembangan diri, mencakup komponen-komponen intrinsik penghargaan (harga diri, otonomi, prestasi) dan karakteristik aktualisasi diri (dorongan untuk menjadi/sesuatu sesuai dengan ambisinya; pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri). Teori ERG memperlihatkan bahwa (1) lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama, dan (2) jika kepuasan pada kebutuhan tingkat lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk memenuhi kebutuhan tingkat lebih rendah meningkat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi berwirausaha pada penyandang disabilitas fisik, faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam berwirausaha, dan cara mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi.
METODE PENELITIAN Sampel dalam penelitian ini menggunakan criterion sampling yaitu sampel yang kriteriakriterianya telah ditentukan sebelumnya. Subjek penelitian ini memiliki kriteria penyandang disabilitas fisik yang disebabkan perolehan (bukan disabilitas bawaan), berusia minimal 21 tahun dan telah bekerja sebagai wirausahawan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dengan wawancara semi struktur, observasi non partisipan dan catatan lapangan. Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber berupa penggabungan data dari subjek dan significant person, sedangkan triangulasi metode yaitu penggabungan data dari hasil wawancara dan observasi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis isi (content analysis).
Milu Winasti
181
HASIL DAN PEMBAHASAN Motivasi Berwirausaha pada Penyandang Disabilitas Fisik Temuan penelitian menunjukkan adanya kebutuhan eksistensi. Subjek 1 mengungkapkan bahwa keinginannya bekerja dengan membuka usaha adalah untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Kebutuhan pertama yang ingin dicapai terlebih dahulu adalah kebutuhan akan eksistensi. Alderfer (Robbins, 2003) menyatakan bahwa kelompok eksistensi memperhatikan keberadaan materiil dasar manusia mencakup kebutuhan fisiologis (rasa lapar, haus, sandang, perumahan, seks dan kebutuhan jasmani) dan kebutuhan keamanan (keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional). Gaji yang diperoleh dalam usahanya bekerja diberikan kepada keluarga, dimana nafkah yang diperoleh digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar subjek yaitu kebutuhan fisik dan keamanan. Adapun pada subjek 2 tidak ditemukan kebutuhan akan eksistensi. Temuan lain berupa adanya kebutuhan keterhubungan (relatedness). Alderfer (Robbins, 2003) mengungkapkan bahwa kebutuhan keterhubungan adalah hasrat untuk memelihara hubungan antar pribadi atau interaksi dengan orang lain, meliputi hasrat sosial (kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, persahabatan) dan penghargaan dari faktor eksternal (penghormatan dari luar, status, pengakuan, perhatian). Kedua subjek memiliki keinginan untuk berhubungan dengan orang lain, menjalin kerjasama, dan memberikan perhatian kepada sesama penyandang disabilitas fisik. Seperti diungkapkan oleh Subjek 1 bahwa dengan berwirausaha mempunyai keuntungan yang banyak. Selain mendapatkan rejeki, subjek juga mempunyai teman yang banyak. Dengan bekerja dan membuka lapangan usaha, subjek dapat membantu orang lain yang tidak mampu, memberikan kesempatan bekerja, subjek dapat berzakat dan menyantuni anak yatim. Begitu pula dengan subjek 2 yang membuka lapangan kerja bagi penyandang disabilitas fisik agar mandiri dan sejahtera, tanpa pamrih membantu orang lain, khususnya penyandang disabilitas fisik. Kedua subjek menunjukkan rasa prososial yang tinggi. Baron dan Byrne (2005) menyatakan tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung kepada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Berada dalam satu keterbatasan fisik yang sama menimbulkan perasaan empati kepada sesamanya sehingga kedua subjek berusaha untuk menolong. Kebutuhan lainnya adalah kebutuhan pertumbuhan (growth). Setiap individu mempunyai harapan bahwa kehidupannya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, namun terkadang ada peristiwa buruk yang menimpa sehingga individu mengalami perasaan putus asa, misalnya kecelakaan yang menyebabkan kehilangan anggota tubuh atau penurunan fungsi kerjanya sehingga menyebabkan individu mengalami keterbatasan fisik atau disabilitas fisik. Damayanti dan Rostiana (2003) menguraikan bahwa disabilitas fisik akibat kecelakaan merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap disabilitas fisik yang dialaminya. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang penyandang disabilitas fisik perolehan. Kedua subjek menyatakan bahwa setelah peristiwa kecelakaan itu, individu mengalami perasaan shock, down. Bukan hal yang mudah untuk dapat menerima kenyataan. Kondisi fisik yang awalnya sempurna kemudian mengalami disabilitas fisik menyebabkan kedua subjek mengalami guncangan mental.
182
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Subjek pertama menceritakan bahwa keterbatasan fisik yang dialami disebabkan oleh bencana gempa Jogja 26 Mei 2006. Gempa menyebabkan subjek tidak mampu berjalan lagi. Hal ini menyebabkan subjek mengalami down, putus asa selama enam bulan. Sebagai kepala keluarga, subjek mengalami kecemasan karena memikirkan masa depan keluarganya dan pendidikan anak-anaknya. Begitu juga subjek kedua yang mengalami guncangan dalam jiwa selama satu tahun akibat kecelakaan kerja sehingga subjek harus kehilangan kaki kirinya. Setelah mengalami peristiwa itu subjek menjadi sosok yang pendiam, berdiam diri di rumah, suka marah, putus asa, tidak terpikir masa depan, malu, dan merasa tidak berdaya. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sarafino (Damayanti dan Rostiana, 2003) yang mengungkapkan reaksi awal yang timbul adalah perasaan terguncang (shock) ketika mengetahui bahwa anggota tubuhnya tidak lagi digerakkan atau tidak lagi berfungsi seperti biasanya. Ketakutan, kecemasan, kesedihan mungkin juga kemarahan akan mewarnai ekspresi emosi dari penyandangnya. Centi (1993) menyatakan bahwa penilaian diri sendiri merupakan harga atau kewajaran individu sebagai pribadi. Jika individu suka dengan dirinya maka individu memiliki harga diri yang tinggi (high self esteem). Sebaliknya bila individu tidak suka dengan dirinya maka individu memiliki harga diri yang rendah (low self esteem). Tidak mudah menerima kondisi fisik setelah mengalami kecelakaan ataupun musibah. Kondisi fisik yang awalnya nomal kemudian kehilangan fungsinya membuat subjek menjadi putus asa dan merasa tidak mampu. Dukungan sosial dalam hal ini dukungan keluarga sangat berperan dalam membantu subjek untuk keluar dari tekanan. Kedua subjek mendapatkan dukungan dari keluarga sehingga secara perlahan dapat menerima kondisi fisiknya. Subjek pertama bangkit karena termotivasi oleh keluarga dan anak-anaknya sehingga subjek berusaha untuk mengatasi keterbatasan fisik yang dialaminya. Subjek tidak ingin dilihat lemah di mata anak-anaknya, bahwa subjek mampu bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Begitu juga pada subjek kedua yang terdorong oleh keluarga dan melihat penyandang disabilitas fisik lain yang ternyata dapat bekerja. Hal ini membuat subjek menjadi percaya diri bahwa dirinya juga mampu. Kedua subjek menunjukkan bahwa yang mendorong mereka untuk bekerja dengan membuka lapangan kerja atau berwirausaha adalah lebih kepada adanya harga diri atau self esteem yang ada pada diri kedua subjek. Harga diri adalah salah satu bagian dari kebutuhan pertumbuhan (growth). Alderfer (Robbins, 2003) menyatakan bahwa kebutuhan pertumbuhan yaitu hasrat instrinsik untuk perkembangan diri, mencakup komponen-komponen intrinsik penghargaan (harga diri, otonomi, prestasi) dan karakteristik aktualisasi diri (dorongan untuk menjadi/sesuatu sesuai dengan ambisinya; pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri). Hal ini dapat dilihat dari subjek 1 yang tidak ingin dikasihani, tidak mau dipinjami uang, bekerja dengan jerih payah sendiri, tidak mau menggantungkan diri pada orang lain agar tidak dianggap sebagai individu yang lemah. Menurut Maslow (Feist dan Fiest, 2008) harga diri adalah perasaan seseorang terhadap keberhargaan dan keyakinan dirinya. Harga diri mencerminkan hasrat bagi kekuatan, pencapaian, ketepatan, penguasaan, dan kompetensi, keyakinan diri menghadapi dunia, independensi dan kebebasan. Dengan kata lain, harga diri didasarkan pada kompetensi nyata dan bukan sekadar opini orang lain. Harga diri menjadi pendorong dalam motivasi mendirikan usaha karena subjek ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas fisik itu mampu dan bukan sosok yang lemah. Subjek 2 memiliki harapan untuk mensejajarkan penyandang disabilitas fisik agar sama dengan yang individu normal. Subjek 2 merasa belum ada kesejajaran yang merata, baik secara ekonomi, pendidikan ataupun peran sosial.
Milu Winasti
183 Subjek 2 mendirikan usaha untuk penyandang disabilitas fisik agar pemerintah dan perusahaan-perusahaan dapat tergugah bahwa ada sebuah lembaga khusus yang para pekerjanya adalah penyandang disabilitas fisik. Hal ini dapat membuktikan bahwa penyandang disabilitas fisik mampu bekerja di tengah keterbatasan karena menurut subjek 2 kenyataan yang ada selama ini banyak perusahaan yang menolak menerima penyandang disabilitas fisik dengan alasan tidak mampu dan tidak ada akses. Harapan subjek dengan mendirikan usaha maka penyandang disabilitas fisik dapat maju, semakin terbuka kesempatan untuk bekerja sehingga lambat laun perusahaan pun akan menerima keberadaan penyandang disabilitas fisik untuk bekerja di perusahaan-perusahaan dan akhirnya dapat mengurangi jumlah pengangguran di kalangan penyandang disabilitas fisik. Kedua subjek memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena mereka melakukan penilaian diri yang positif kepada dirinya sehingga menimbulkan konsep diri yang baik dan meningkatkan kepercayaan diri bahwa dirinya mampu untuk bekerja. Kedua subjek tidak memperlihatkan bahwa keterbatasan yang ada pada diri mereka sebagai sebuah hambatan. Keterbatasan fisik yang ada pada diri kedua subjek telah mampu diterima oleh masing-masing individu sehingga tidak lagi mengalami rasa rendah diri, pemalu, tidak percaya diri, dan putus asa. Dengan bekerja dan membuka lapangan kerja, kedua subjek telah melakukan pengembangan dan aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan pertumbuhan (growth). Faktor-faktor Penghambat Berwirausaha Berdasarkan temuan yang ada dalam penelitian ini, hambatan dalam bekerja lebih kepada faktor eksternal karena tidak ditemukan adanya faktor internal. Kedua subjek telah mampu menerima keadaan dirinya yang mengalami keterbatasan fisik. Kedua subjek menyatakan bahwa keterbatasan fisik bukanlah menjadi masalah, bukan penghalang dalam bekerja. Faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam berwirausaha yang ditemukan dalam penelitian ini di antaranya faktor produksi dan tenaga kerja, faktor pemasaran, faktor permodalan, faktor desain, faktor kualitas produk dan faktor mitra kerja. Pada subjek 1, ketidakmampuan tenaga kerja dalam menyelesaikan order terjadi karena memang jumlah karyawan yang terbatas atau sedikit, sementara jumlah permintaan banyak sehingga tenaga kerja tidak mampu untuk menyelesaikan order tersebut. Masalah lain yang berkaitan dengan tenaga kerja adalah seringnya tenaga kerja absen atau tidak berangkat karena alasan sosial seperti kematian dan hajatan tetangga sehingga terkadang itu pun menimbulkan keterlambatan dalam produksi. Pada subjek 2 juga terkait masalah dengan karyawan yaitu batas pengerjaan order. Subjek mengalami hambatan dalam masalah deadline pengerjaan order yang terlambat. Hal ini membuat subjek menjadi stress memikirkannya dan terpaksa menunda acara atau kegiatan di luar untuk menunggui karyawan. Subjek merasa heran dengan kinerja para karyawan karena ketika ditunggui dan diarahkan, pola kerja karyawan menjadi cepat, sebaliknya jika tidak ditunggui cara kerjanya menjadi lambat. Hambatan selanjutnya terkait dengan pemasaran. Hambatan dalam pemasaran di antaranya berupa persaingan pasar. Pada subjek 1 terkendala oleh pemasaran yaitu pada penjualannya karena dalam setahun itu ada penjualan yang ramai, sedang, bahkan sepi sehingga berpengaruh pada produksinya. Pada subjek 2 terkendala persaingan pasar, dimana harga di tempat lain lebih murah dibandingkan dengan harga produknya. Subjek menyadari bahwa konsumen akan memilih suatu produk yang berkualitas baik tetapi harganya murah sehingga berupaya untuk senantiasa mengetahui kondisi pasar.
184
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Hambatan ketiga adalah permodalan. Masalah permodalan terjadi ketika ada order dalam jumlah banyak dan kedua subjek mengalami kekurangan modal untuk memproduksinya sehingga permodalan ini sangat penting. Hambatan keempat yang ditemukan dalam penelitian ini terkait desain. Masalah desain terjadi pada subjek 2 yaitu adanya perubahan dalam pembuatan desain produk, baik dari segi bentuk dan ketebalan untuk produk yang sama. Di sini diperlukan ketelitian ketika memproduksi. Desain pun dibuat dengan disesuaikan atau diminati oleh pasar sehingga desain harus menarik dan inovatif. Subjek mengeluh atas hasil kerja karyawan yang tidak sesuai dengan desain yang telah ditentukan. Subjek bersabar, tabah dan menahan diri untuk tidak marah kepada karyawan. Subjek berencana pada tahun 2013 akan membuat komposisi karyawan difabel dan non difabel dengan rasio 3 : 1. Hambatan selanjutnya adalah kualitas produk. Kualitas menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh subjek 2 karena terkadang para karyawan lupa melakukan quality control, misalnya mengirim permainan kereta angka namun tidak ada rodanya sehingga subjek mendapat keluhan dari konsumen. Subjek berusaha menahan diri untuk tidak marah kepada karyawan meski subjek dimarahi oleh konsumen. Hambatan terakhir yang dialami subjek 2 terkait dengan mitra kerja yaitu proposal dan laporan yang sering dianggap kurang betul dalam pembuatannya sehingga terkadang membuat pusing. Menurut subjek laporan yang telah dibuat itu benar, akan tetapi menurut mitra kerja masih belum tepat, sehingga subjek harus sering melakukan perbaikan. Cara Mengatasi Hambatan-hambatan dalam Berwirausaha Alma (2001) menyatakan bahwa seorang wirausahawan harus mampu melihat ke depan. Melihat ke depan bukanlah melamun kosong, melainkan melihat, berfikir dengan penuh perhitungan, mencari pilihan dari berbagai alternatif masalah dan pemecahannya. Kedua subjek berusaha menghadapi permasalahan dari hambatan-hambatan tersebut dengan melakukan coping. Menurut Lazarus dan Folkman (Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses yaitu individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Taylor (2009) bahwa coping didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Skinner (Sarafino, 2006) mengemukakan pengklasifikasian bentuk coping terdiri dari dua klasifikasi yaitu problem focused coping yang terdiri dari planful problem solving, direct action, assistance seeking, information seeking, dan emotion focused coping yang terdiri dari avoidance, denial, self-criticism, dan positive reappraisal. Kedua subjek dalam menghadapi hambatan dengan menggunakan strategi problem focused coping. Folkman dan Lazarus (Sarafino, 2006) menyatakan bahwa problem focused coping (PFC) merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan, artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah. Kedua subjek berusaha berpikir untuk menyelesaikan hambatan tersebut dan telah mempunyai kesiapan sendiri di dalam menghadapi masalah atau hambatan dalam bekerja. Subjek 1 berusaha mengatasi hambatan yang terjadi dengan melakukan berbagai rencana dan persiapan. Skinner (Sarafino, 2006) menguraikan tentang planful problem solving yaitu individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan
Milu Winasti
185 masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan. Subjek memiliki berbagai rencana stategi dalam memecahkan hambatan, bagaimana rencana A jika tidak berhasil maka ada rencana B, jika tidak B maka rencana C dan melakukan evaluasi atas rencana yang telah dilakukan. Kedua subjek dalam bekerja menemui hambatan dalam produksi dan tenaga kerja. Subjek 1 melakukan coping berupa direct action. Skinner (Sarafino, 2006) menyatakan bahwa direct action adalah tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan. Subjek melakukan tindakan langsung yang dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar yaitu dengan sub kontrak ke usaha lain. Jumlah order yang banyak sementara jumlah karyawan yang terbatas maka solusi yang dilakukan subjek untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan sub kontrak. Subjek 2 melakukan penyelesaian masalah produksi dan tenaga keja dengan cara melakukan bimbingan dan pengawasan langsung karyawan dalam bekerja sehingga diharapkan order dapat selesai. Direct action yang digunakan dengan cara subjek melakukan bimbingan dalam bekerja supaya jika ada karyawan yang menemui kesulitan, subjek dapat membantu. Tetapi subjek juga melakukan pengawasan kepada karyawan agar karyawan dapat bekerja dengan cepat dan benar. Coping yang digunakan subjek 1 berupa direct action. Subjek menyelesaikan masalah secara langsung dengan memiliki grafik pasar dan tindakan berupa penyiapan produk ketika bulan sepi. Dengan mengetahui grafik pasar, subjek dapat mengetahui naik turunnya penjualan produk sehingga tidak akan ada kekurangan produk di pasar ketika masa ramai, dan sebaliknya tidak akan mengalami kelebihan ketika masa sepi karena sudah disesuaikan dengan produksi. Pada subjek 2, coping yang digunakan untuk menghadapi persaingan pasar berupa planful problem solving. Subjek 2 menjelaskan kelebihan produk yang ditawarkan kepada konsumen berupa keamanan produk untuk anak dari segi warna cat yang telah bersertifikat, bentuk mainan yang aman tidak runcing pada bagian sudut-sudutnya, dan kehalusan produk. Selain itu, dari segi harga dibuat selisih yang tidak terlalu tinggi dari harga pasar sehingga konsumen masih mampu menjangkau untuk membeli produk tersebut. Penyampaian ini dapat memberikan kepercayaan dan memperkuat konsumen. Subjek 1 menggunakan coping berupa direct action. Subjek melakukan tindakan langsung berupa penyertaan uang muka sebesar 50% pada setiap pemesanan produk. Adapun pada subjek 2 untuk menghadapi permasalahan modal ini menggunakan dua coping yaitu direct action dan assistance seeking. Menurut Skinner (Sarafino, 2006) assistance seeking adalah usaha mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya. Subjek 2 melakukan direct action terlihat dari tindakan langsung subjek dengan memberikan syarat uang muka sebesar 30% pada setiap pemesan produk dan assistance seeking berupa mencari bantuan orang lain. Terlihat dari subjek yang datang kepada temannya untuk melakukan pinjaman uang guna memenuhi modal yang masih kurang. Dengan adanya direct action dan assistance seeking dapat mengatasi hambatan bekerja berupa modal. Masalah desain terjadi pada subjek 2, dan untuk mengatasi masalah desain ini, subjek menggunakan direct action. Desain dibuat inovatif dan tidak rumit sehingga mudah dikerjakan oleh karyawan. Subjek juga melakukan information seeking dengan membuat desain produk yang disesuaikan dengan kemauan pasar. Skinner (Sarafino, 2006) menyatakan information seeking adalah usaha mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu tersebut. Terlihat bahwa subjek mencari informasi desain produk seperti
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012 186 apa yang dibutuhkan dan sukai oleh masyarakat. seperti desain mendapatkan masukan dari guru PAUD, TK dan juga mahasiswa. Untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan maka subjek 2 melakukan coping berupa planful problem solving. Subjek memikirkan dan mempertimbangkan dengan matang permasalahan kualitas produk. Subjek juga melakukan quality control yang harus dijalankan oleh tenaga kerja, dimana selalu ada pengecekan barang dari bahan mentah sampai barang jadi dan adanya koordinasi antara bagian produksi, finishing dan quality control sehingga dapat mengurangi hasil produk yang kurang berkualitas. Dalam menghadapi permasalahan dengan mitra kerja, subjek menggunakan coping berupa planful problem solving. Subjek bersabar, berhati-hati dalam mengambil kebijakan, keputusan dan kesepakatan dengan lembaga mitra yang mengajak bekerja sama.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi berwirausaha pada penyandang disabilitas fisik didorong oleh kebutuhan eksistensi, keterhubungan dan pertumbuhan. Hambatan-hambatan dalam berwirausaha yang ditemukan dalam penelitian lebih kepada faktor ekternal karena tidak ditemukan faktor internal. Kedua subjek telah mampu menerima keadaan dirinya yang mengalami keterbatasan fisik sehingga tidak menjadi faktor penghalang dalam bekerja. Subjek pertama menghadapi hambatan berupa faktor produksi dan tenaga kerja, faktor pemasaran, faktor permodalan. Adapun subjek kedua mengalami hambatan berupa faktor produksi dan tenaga kerja, faktor pemasaran, faktor permodalan, faktor desain, faktor kualitas produk dan faktor mitra kerja. Kedua subjek dalam menghadapi hambatan dengan menggunakan strategi problem focused coping. Subjek pertama menggunakan strategi planful solving dan direct action, sedangkan subjek kedua menggunakan strategi direct action, planful solving, assistance seeking, dan information seeking.
DAFTAR PUSTAKA Alma, B. 2001. Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta. Amirullah & Budiyono, H. 2004. Pengantar Manajemen. Yogyakarta : Graha Ilmu. Baron A. R. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Penerjemah: Ratna Djuwita. Jakarta : Erlangga. Centi, P. J. 1993. Mengapa Rendah Diri. Penerjemah: AM Hardjana. Yogyakarta : Kanisius. Efendi, M. 2009. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara. Feist, J. & Feist, J. G. 2008. Theories of Personality. Edisi keenam. Penerjemah: Yudi Santoso. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Milu Winasti
187
Martoyo, S. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE. Rostiana & Damayanti, S. 2003. Dinamika emosi penyandang tunadaksa pasca kecelakaan. Jurnal Psikologi Arkhe, 1, 15-28. Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Penerjemah: Tim Indeks. Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia. Robbins, S. P. & Judge, T. A. 2008. Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Edisi 12 Buku 1. Penerjemah: Diana Angelica. Jakarta : Salemba Empat. Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima Jiilid 2. Jakarta : Erlangga. Sarafino, P.E. 2006. Health Psychology Biopsychosocial Interactions. New York : Springer. Sarinem. 2010. Pelayanan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tubuh di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan Jawa Timur. Meida Info Letkos, 34, 391 – 406. Somantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama.