Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 1
Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 2
Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 3
PRINSIP KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH: Kajian Orientasi Pengembangan. Oleh: Moh. Mahfud Effendi o Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Malang o e-mail:
[email protected]
Abstraction The students’ abilities in Indonesia to mathematics either international or national levels is lowering. This happened because school mathematics is not developed according to principle of mathematics curriculum. A curriculum is not only a collection of activities but it must be coherent, focused on important subjects, and well articulated across the grades.In a coherent curriculum, mathematical ideas are linked to and build on one another so that students’ understanding and knowledge deepens and their ability to apply mathematics.The interconnections should be displayed prominently in the curriculum and in instructional materials and lessons that can saw how the ideas build on, or connect with, others ideas, thus enabling them to develop new understanding and skills. School mathematics curricula should focus on mathematics content and processes. Mathematics thinking and reasoning skills, including making conjectures and developing sound deductive argument, are important because they serve as a basis for developing new insights and promoting further study. A school mathematics curriculum should provide a road map that helps teachers guide students to increasing levels of sophistication and depths of knowledge. Such guidance requires a wellarticulated curriculum so that teachers at each level understand the mathematics that has been studied by students at the previous level and what is to be the focus at successive levels. Without a clear articulation of the curriculum across all grades, duplication of effort and unnecessary review are inevitable. Keyword: curriculum, mathematics school, principle. A. Pendahuluan Harus diakui bahwa kemampuan siswa Indonesia terhadap matematika masih rendah dibanding Singapore, Chenese Taipei, dan bahkan Malaysia. Laporan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) pada tahun 1999 dapat menjelaskan hal ini, bahwa kemampuan siswa Indonesia terhadap matematika menempati urutan ke-34 dari 38 negara dengan skor rata-rata 403, Singapore menempati urutan pertama dengan skor rata-rata 604, Chenese Taipei urutan ke-3 dengan rata-rata 585, dan Malaysia urutan ke-16 dengan skor rata-rata 519 (McNeil, 2006:259). Mengapa demikian? Memang tidak mudah mencari solusinya, karena paling tidak kita harus memperhatikan 6 prinsip matematika sekolah, yaitu prinsip equity, curriculum, teaching, learning, assessment, dan technology (National Council of Teachers of Mathematics/NCTM, 2000: 11). Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 4
Banyak orang menyamakan matematika dengan aritmatika, sehingga ketika mengembangkan kurikulum matematika, mereka akan focus pada ketrampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian sejumlah bilangan (Reys, Robert E., et.al.,1998: 2). Matematika bukan sekedar berurusan dengan bilangan dan operasinya, tetapi matematika juga mempelajari tentang pola dan hubungan (a study of patterns and relationships) antara ide-ide matematik. Mempelajari tentang pola dan hubungan tidak bisa lepas dari kegiatan menganalisis, mensintesis, mengembangkan, dan melakukan analogi terhadap masalah sehari-hari, hal ini menggambarkan bahwa matematika adalah “a way of thinking”. Proses atau cara berpikir ini mensyaratkan adanya ketaatan dan kekonsistenan (mathematics is an art) terhadap simbol, konsep, teori yang mendasari untuk membangun pemahaman baru, serta mampu mengkomunikasikan (mathematics is a language) hasil pemikiran tersebut dalam realitas kehidupan maupun matematika sendiri. Dengan demikian, matematika juga merupakan alat (mathematics is a tool), alat untuk memecahkan masalah baik masalah matematika maupun masalah kehidupan sehari-hari termasuk dalam pekerjaan. Salah satu penyebab rendahnya pemahaman siswa Indonesia terhadap matematika adalah karena dalam proses pembelajaran matematika, guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal yang lebih bersifat procedural dan mekanistik, lebih-lebih dalam menghadapi ujian nasional (UN), padahal inti pembelajaran matematika adalah problem solving (Ministry of Education Singapore, 2009: 5). Problem solving tidak dapat dipisahkan dari belajar matematika (NCTM, 2000: 52), oleh karenanya kontek masalah dapat dijadikan bagian pengalaman belajar siswa di sekolah atau dalam mengaplikasikan pengetahuannya ke dalam hidup atau setiap pekerjaannya. Banyaknya tuntutan dan besarnya harapan terhadap lulusan, akan menambah beban pada pengembangan kurikulum. Banyaknya beban akan nampak pada jumlah jam perminggu, banyaknya materi yang harus disampaikan, banyaknya ketrampilan yang harus dilatihkan, dan bahkan akan terjadi overload dan overlap materi ajar dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya, dalam pengembangan kurikulum perlu melakukan assessing needs yang mampu memenuhi kebutuhan siswa, sosial, bisnis, dan seni, “…the curriculum should meet the needs of the individual child, of society, of business, of the art” (Longstreet,1993). Bahkan dikatakan “a curriculum needs assessment is a process for identifying programatics needs (needs of
Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 5
learners, needs of society, needs of subject matters) that must be addressed by curriculum planners” (Unruh & Unruh, 1984; Oliva, 1991; Reys, RE., 1998: 4; Mahfuddin, 2009). Pengembang kurikulum matematika sekolah tidak hanya menghasilkan kurikulum yang berisi tentang kumpulan materi dan aktivitas, tetapi a mathematics curriculum should be coherent, a mathematics curriculum should focus on important mathematics, dan a mathematics curriculum should be well articulated across the grades (NCTM, 2000: 14).
B. Pembahasan B.1. Coherence Matematika memiliki beberapa topik atau bidang kajian yang berbeda-beda, seperti himpunan, bilangan dan operasinya, aljabar, geometri, kalkulus, dan seterusnya, tetapi mereka sangat saling berhubungan (interconnected). Interkoneksi ini harus tergambar dengan jelas dalam kurikulum dan pembelajaran, karena isu sentral dalam pengembangan kurikulum adalah connection dan coherence yang terlihat dalam organizing content yang meliputi scope dan sequence (Hammond, Linda Darling, 2005). Kurikulum yang koheren secara efektif mengorganisir dan mengintegrasikan ide-ide matematika sehingga guru dan siswa dapat melihat bagaimana ide dibangun dan dikoneksikan dengan ide lain sehingga memungkinkan mereka untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan yang baru.
Activity
Activity
Activity
Algebraic
Numeric
Geometric Competence Activity
Probabilistic
Activity
Statistic
Activity
Gambar 1: Contoh Interkoneksi Beberapa Topik Matematika Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 6
Kurikulum koheren sangat penting bagi sekolah dan pembelajaran di kelas karena merupakan kurikulum efektif. Kurikulum efektif dapat menjadi the school’s living document yang menggambarkan konten, skills, dan asesmen baik secara horisontal di dalam suatu level atau konten maupun secara vertikal antar level, kelas atau jenjang pendidikan (Udelhofen, 2005: 5). Kurikulum yang koheren sebagai kurikulum terintegrasi akan mengurangi overlap dan overload ide, konsep, dan materi ajar. Berikut gambaran materi ajar tentang sudut mata pelajaran Trigonometri mulai primary grades sampai senior grades.
Approximate Grade Levels
Trigonometric functions Special angles
Senior high Junior high Measure angles
Relationships among angles Name angles
Middle grades
Find angles in real world
Primary grades
Compare angles
Gambar 2: Spiral Approach for Learning about Angels
Dalam perencanaan pembelajaran, guru harus mengorganisir pelajaran matematika sehingga ide-ide fundamental terintegrasi secara utuh. Ide-de besar dipertemukan dalam kontek yang bervariasi dan dibangun secara hati-hati dengan unsur-unsur penting seperti istilah, notasi, konsep, dan ketrampilan yang muncul dalam proses belajar mengajar. Urutan materi ajar harus koheren dengan unit materi ajar yang lain dan bahkan dengan materi ajar pada tahun berikutnya. Dengan demikian, guru perlu melakukan penyesuaian dan bahkan dapat mengambil keuntungan sebagai langkah antisipasi dalam pembelajaran berikutnya. Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 7
Dengan demikian, desain kurikulum matematika sekolah yang didasarkan pada prinsip koheren meliputi banyaknya materi yang terintegrasi, kedalaman dan cakupan pokok bahasan, serta penginterasian skill, tema, konsep, dan topik. Desain yang demikian, oleh Fogarty (1991) disebut dengan “The Integrate Curricula: Three Dimensions”.
Grade 12
Numerical Curricula
Statistical
Spiraling
Breadth and Depth Within Discipline
Geometrical
Algebraic Grade 1
Gambar 3: The Integrate Curricula: Three Dimensions Spiral vertikal adalah spiraling curricula yang menunjukkan tingkatan atau banyaknya materi yang terintegrasi. Penguasaan materi (skill, konsep, topik) pada tingkatan atau jenjang tertentu dapat dijadikan ukuran untuk mempersiapkan pemberian materi pada jenjang berikutnya. Panah horisontal merepresentasikan kedalaman dan cakupan pembelajaran dari pokok bahasan disiplin tertentu. Sedangkan lingkaran menunjukkan pengintegrasian skill, tema, konsep, dan topik lintas disiplin yang similar. Pengintegrasian kurikulum ini harus berlangsung selama pendidikan di sekolah.
B.2. Focus on Important Mathematics Kurikulum matematika perlu memfokuskan pada konten dan proses. Topik-topik matematika dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan kemanfaatan dan kegunaan, misalnya pengembangan atau memperdalam ide-ide matematika yang dihubungkan dengan lingkup matematika yang lain, atau memecahkan persoalan-persoalan di dalam dan di luar Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 8
matematika. Matematika apa yang harus diajarkan? National Council of Supervisors of Mathematics (NCSM) (Reys, Robert E., et.al.,1998: 13) mengidentifikasi 12 komponen yang esensial, yaitu: 1) Problem solving, 2) Communicating Mathematics ideas, 3) Mathematics reasoning, 4) Applying Mathematics to everyday situations, 5) Alertness to the reasonableness of results, 6) Estimation, 7) Appropriate computation skills, 8) Algebraic thinking, 9) Measurement, 10) Geometry, 11) Statistics, dan 12) Probability. Mengapa Singapore selalu berpretasi di bidang matematika dalam laporan TIMSS 1995, 1999, dan 2003? Ternyata Singapore memiliki the mathematics curriculum framework yang difokuskan pada problem solving yang secara kontinu menekankan pemahaman konsep, kecakapan ketrampilan, belajar ketrampilan proses, metakognitif, dan pengembangan sikap positif terhadap matematika (Ministry of Education Singapore, 2009). Framework ini dikenalkan pada tahun 1990, kemudian direview pada tahun 2000, dan diformalkan untuk semua level pada tahun 2003. Pengembangan kemampuan problem solving bergantung pada 5 komponen yang saling terkait, yaitu concepts, skills, processes, attitudes, and metacognition.
Beliefs Interest Appreciation Confidence Perseverance
Numerical calculation Algebraic manipulation Spatial visualisation Data analysis Measurement Use of mathematical tools Estimation
Monitoring of one’s own thinking Self‐regulation learning
Mathematical Problem Solving
Concepts
Reasoning, communication, and connections Thinking skills and heuristics Applications and modelling
Numerical Algebraic Geometrical Statistical Probabilistics Analytical
Gambar 4: Singapore Mathematics Framework (2003) Problem solving bukan merupakan suatu topik pelajaran tetapi merupakan suatu proses yang harus menyebar keseluruh bagian program dan menyediakan kontek dimana konsep dan Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 9
ketrampilan dapat dipelajari. Problem solving merupakan proses dan alat menemukan solusi, sehingga bukan merupakan tujuan belajar matematika. Dalam proses ini, siswa mempunyai peluang memformulasi, menggambarkan, dan memecahkan masalah secara komplek yang harus didukung oleh pengetahuan dan kemampuan berpikir mereka. Dengan problem solving, siswa dapat meningkatkan cara berpikirnya, terbiasa tekun, penuh kecurigaan, dan meningkatkan kepercayaan dalam menghadapi situasi, dan tentu saja akan meningkatkan retensi belajar. Retensi mencerminkan sejumlah pengetahuan dan ketrampilan yang terjaga atau kebiasaan problem solving yang nampak secara konsisten.
Before instruction
During instruction
After instruction
Gambar 5: Typical Learning Retention Curve
B.3. Articulated across the grades Agar siswa memiliki kemampuan terhadap matematika, maka pengembangan kurikulum matematika sekolah diarahkan pada lima tujuan umum (NCTM, 2000), yaitu 1) siswa belajar menghargai matematika, 2) siswa membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya dalam menggunakan matematika, 3) siswa menjadi pemecah masalah, 4) siswa belajar berkomunikasi secara matematis, dan 4) siswa belajar bernalar matematis. Tujuan tersebut akan tercapai jika kurikulum dikembangkan atas dasar koheren, fokus pada matematika yang penting, dan terartikulasi dengan baik pada semua jenjang. Pelajaran matematika banyak melibatkan ketrampilan, tema, konsep, topik yang saling terkait tidak hanya dalam satu jenjang tetapi antar jenjang. Oleh karenanya, kurikulum Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 10
matematika sekolah (grades 1-12) harus terartikulasi dengan baik dengan melakukan curriculum mapping.
Curriculum mapping menggambarkan bagaimana gagasan-gagasan
matematika saling berhubungan dan saling mendasari satu sama lainnya sehingga menghasilkan keutuhan yang koheren. Kurikulum yang terartikulasi dengan jelas akan memuat topik, konten, skills, dan asesmen secara rinci dan berjenjang (Udelhofen, 2005) pada setiap tingkat dan jenjang pendidikan. Situasi ini dalam beberapa segi membantu para guru matematika, tetapi dalam beberapa segi lain dapat menimbulkan masalah. Kelebihan kurikulum ini terletak pada fakta bahwa ide-ide matematika bersifat saling berkaitan, sehingga dapat mempermudah mata pelajaran ini untuk dipahami dan diingat seandainya diajarkan secara bermakna. Tetapi harus diingat bahwa hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah yang serius dalam pembelajaran, manakala satu atau beberapa mata rantai dalam struktur hilang. Guru harus memiliki data yang menunjukkan tingkat pencapaian siswa dalam berbagai hirarki yang termuat dalam program. Sebagai prosedur standar, guru harus memiliki profil pencapaian yang komprehensif untuk masing-masing siswa. Tahap-tahap perkembangan siswa dan pencapaian siswa pada jenjang sebelumnya hendaknya menjadi landasan untuk memilih tugas-tugas pembelajaran yang dapat dijangkau. Pengabaian terhadap data ini dapat menimbulkan kegagalan pembelajaran dan berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan terkait dengan kegagalan pembelajaran.
C. Kesimpulan Kurikulum harus memberikan kesempatan yang luas bagi siswanya untuk belajar dan apa saja yang harus mereka pelajari. Oleh karenanya, pengembangan kurikulum matematika sekolah harus memenuhi prinsip koheren, fokus pada matematika yang penting, dan terartikulasi secara jelas baik secara vertikal maupun horisontal agar gagasan/konsep/ide matematika terhubung dan terbangun satu sama lain sehingga pengetahuan dan pemahaman siswa lebih mendalam serta mempunyai kemampuan mengaplikasikan matematika secara luas. Pengembangan kurikulum yang kurang memperhatikan prinsip tersebut akan cendrung terjadi overlap dan overload konsep/materi ajar pada tingkat implementasi atau pembelajaran. Kurikulum matematika sekolah yang terintegrasi akan mampu memberikan pengalaman belajar kepada siswa secara utuh dan bermakna yang memungkinkan siswa untuk belajar Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 11
menghargai matematika, membangun kepercayaan diri, menjadi pemecah masalah, serta belajar berkomunikasi dan bernalar secara matematis.
D. Daftar Pustaka Fogarty, Robin. (1991). The Mindful School: How to Integrate The Curricula. Palatine, Illinois: IRI/Skylight Publishing, Inc. Hammond, Linda Darling et.al. (2005). Preparing Teachers For A Changing World: What teachers should learn and be able to do. San Fancisco: John Wiley & Sons, Inc. House, Peggy A & Coxford, Arthur F. (1995). Connecting Mathematics Across the Curriculum. NCTM: USA Longstreet W.S. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston: Allyn & Bacon. Mahfuddin, 2009, Needs Assessment dalam Pengembangan Kurikulum, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Optimalisasi Potensi Daerah dalam Pengembangan KTSP Berkualitas Nasional dan Global, Grand Hotel Preanger Bandung, 30 Mei 2009. McNeil (2006) Contemporary Curriculum in Thought and Action. USA: John Wiley & Sons. Ministry of Education Singapore. (2009). The Singapore Model Method for Learning Mathematics. Singapore: EPB Pan Pacific. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for School Mathematics. The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. Oliva, Peter F. (1991). Developing Curriculum, A Guide to , Principles and Process. New York: Harper & Publisher. Reys, Robert E., et.al. (1998). Helping Children Learn Mathematics. 5th Edition. USA: Allyn & Bacon. Udelhofen, Susan. (2005). Keys to Curriculum Mapping: Strategies and Tools to Make It Work. California: Corwin Press. Unruh & Unruh (1984). Curriculum Development, Barkeley, California: McCutchan Publishing, Co.
Moh. Mahfud Effendi, Makalah Seminar Nasional Æ Page 12