HOSPITOUR Volume I No. I - April 20 I0
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Oleh: Rudyal/to (Lecturer ofPelita Harapan - School ofHospitality & Tourism Karawaci - Tangerang) email:
[email protected] Abstract The continued treatment of entrepreneurship as a separate area of study that is distinct from other broader domains (e.g., leadership and interpersonal influence) is questioned. Reviews of related research on personality, demographics, fit, and cognitive framing/bias reveal mixedfindings and a lack ofsufficient evidence to warrant a distinctly different view of entrepreneurship. Instead, recognition of common trends and common threads of thought is encouraged. Final/y, a model is proposed that integrates both process issues and level issues in explaining differential effectiveness in launching, managing, and exiting a newfirm.
Keywords: Entrepreneurship; Leadership; Interpersonal Influence Pendahuluao Apa saja yang mendasari perlunya pemisahan studi entrepreneurship sebagai bidang studi terpisah dari ilmu sosial? Menurut Shane dan Venkataraman (2000: 217), peneliti dapat bertanya apakah riset entrepreneurship dapat meramalkan fenomena di luar dar; apa yang diketahui pada bidang ilmu sosial lainnya. Hasil riset yang ada tidak cukup menjelaskan, kemudian pengetahuan dihubungkan dengan kelahiran perusahaan dan bisnis skala kecil dan digolongkan dalam bidang lain (leadership atau interpersonal influence). Masih diperdebatkan apakah entrepreneurship perlu pembatasan dalam konteks kelahiran perusahaan (start-up firms) dan berkaitan dengan keputusan perorangan. Tindakan keputusan terhadap dua hal, yakni berusaha memengaruhi pihak lain dan memanfaatkan peluang. Memengaruhi pihak lain dan memperoleh keuntungan dari peluang dapat disesuaikan dengan kemapanan
leadership dan interpersonal influence. Esensi potensi keunikan entrepreneurship fokus pada kepemilikan smal/-business atau start-up firm, terbatas pada konteks untuk mempelajari manifestasi pengaruh sosia!. Pertanyaan kunci lain, dinamika sO,sial apa yang menjelaskan perbedaan konteks bidang leadership yang lebih luas tidak cukup disertai tersedianya hasil empiris penelitian? Apa bukti implikasi unik 65
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan yang ada pada entrepreneurial individuals untuk pelatihan dan pengembangaa sumber daya manusia? Penulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, bersama dengan isu riset integrating entrepreneurship dan teori yang semakin mapan mengenai tradisi leadership dan manajemen bisnis. Diharapkan model integrasi kewirausahaan akan membantu perancangan riset rnasa depan dengan menyoroti kecenderungan dan ciri-ciri umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan. Akhirnya, model integrasi kewirausahaan mampu menggambarkan dinaf11.ika proses penggabuhgan tersebut dengan micro-(psikological) dan pengaruh macro-(contextual).
Argumentasi Pemisahan Studi Kewirausahaan Sulit menentukan proses yang mendorong munculnya entrepreneurship sebagai bidang ilmu pengetahuan yang relatifterpisah dari organizational sciences. Landasan penj elasan berdasarkan psikologi dan ekonom iyang rn endukung pem isahan berdasarkan kesamaan karaktem. Basis ekonomi penekanan pada rasionalitas dan studi societal aggregates (Schumpeter, 1934, 1939, 1947) tidak bisa dengan llludah digabungkan dengan pondasi psikologis (penekanan ciri, dorongan pribadi, dan dinamika sosial). Perspektif ini memberikan sikap ambivalen bagi peneliti
entrepreneurship dan mendukung muncuhlyapemisahan bidangstudC Tradisi riset ekonomi fokus pada hasil nyata, sedangkan tr-adisi. riset psikologls fokus pada variabel pengaruh antara (intervening). Banyak data aspek entrepreneurs lebih sukar diperoleh (Shane dan Venkataraman, 2000: 219), diharapkan adanya keterbukaan bagi peneliti untuk mempelajari sampel sebagai pendekatan pada entrepreneur. 01eh karena itulah, maka mungkin tidak terlalu mengejutkan, hasil empiris dalam
entrepreneurship sering tereampur dan inconclusive. Perbedaan akademis entrepreneurship pada alur riset divergensi dari
entrepreneurial traits dan entrepreneurial rates. Riset entrepreneurial trait fokus pada perbedaan individu entrepreneurs. Contoh, pendekatan pengujian dimensi
personality dan dorongan kondisi psikologis sebagai penjelasan potensial dari aktivitas entrepreneurial. Sebaliknya, riset entrepreneurial rate, menguji pengaruh lingkungan (kondisi ekonomi) dengan kecenderungan memulai bisnis atau inovasi. Umumnya pendekatan entrepreneurial rate meng3baikan susunan yang digunakan peneliti entrepreneurial trait. Peneliti trait lebih tertarik mempelajari perubahan tingkat formasi perusahaan dati waktu ke waktu dan lebih umum menggunakan
66
HOSPITOUR
Volume I No. J - April 20 I0
design longitudinal (Shane, 1996). Peneliti trait, senang dengan riset longitudinal,
secara khusus mengadopsi design cross-sectional sebagai bagian dari pendekatan survey-based. Perbedaan fokus dan studi design mana yang lebih disukai peneliti,
maka kedua pendekatan tidak menjadi informasi utama atau instruktif satu sarna lain. Sebagai gantinya, masing-masing pendekatan membantu pengembangan pengetahuan dasar yang menjadi kumulatif dalam orientasi tersendiri, tetapi tidak juga dapat diubah menuju integrasi. Perbedaan traits dan rates dipandang sebagai perbedaan antara perspektif supply-side dan demand-side (Thornton, 1999). Pendekatan supply-side menguji
kecenderungan dan kesediaan individu untuk peran entrepreneurial, sedangkan pendekatan demand-side fokus pada jumlah dan sifat peran entrepreneurial perlu diisi. Pendekatan supply-side menguji psikologi individu, sedangkan demandside fokus pada konteks. Supply-side atau traits, riset ini mengambil konteks yang
diberikan dan menjelaskan variasi perilaku dan sikap melalui pengujian perbedaan individu. Sebaliknya, peneliti demand-side peduli pada perbedaan individu sebagai hal yang lebih berarti penting dibanding dampak perubahan atribut kontektual atas perubahan perilaku bersama. Secara paralel antara pendekatan traits-supply versus rates-demand, dan pendekatan traits versus situationalism pada bidang leadership. Pendekatan traits ke leadership (setelah gagal menemukan hubungan kuat) diakui menjadi terbatas, semata-mata faktor kontektual. Riset sekarang mengakui pentingnya integrasi faktor-faktor individual-level dengan faktor-faktor kontektual dalam menjelaskan perbedaan efektiv.itas. Shane dan Venkataraman (2000) mengajukan tiga argumen yang mendukung entrepreneurship sebagai bidang studi terpisah. Pertama, entrepreneurship dipandang
sebagai mekanisme masyarakat yang mengonversi informasi teknis ke dalam produk danjasa(Arrow, 1962). Kedua, entrepreneur adalah mekanisme yang memungkinkan penemuan dan meringankan sementara ketidakefisiensian ruang ekonomi (Kirzner, 1997). Ketiga, inovasi entrepreneurially-based mendorong perubahan produk dan jasa (Schumpeter, 1934). Semua argumentasi di atas berdasarkan pada pembelaan secara ekonomis, dibanding berdasarkan tingkah laku. Fokus kepercayaan pada economics-based, seperti pengaruh makro sebagai atribut ekonomi regional pada tingkat penciptaan porusahaan baru (Thornton, 1999). Fokus pengaruh atribut regional kehilangan 67
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan titik-kritis yang tidak menciptakan perusahaan seperti individu lakukan. Lebi,h lanjut, entrepreneurship seperti samar-samar, istilah yang sesungguhnya terlalu menyimpang meliputi cakupan luas dan wajar (Low dan Macmillan, 1988). Secara umum diharapkan mempunyai referensi istilah kekurang-tepatan, sebab konteks cenderung menjadi luas secara keseluruhan. Apakah entrepreneur mempunyai maksud sarna dengan ventura (venture) tunggal seperti dalam partnership atau
team venture? Apakah mempunyai maksud sarna, jika dana perseorangan menjadi taruhan investasi perusahaan baru? Apakah mempunyai maksud sarna untuk pemilik monopoli? Apakah mempunyai maksud sama untuk toko berorientasi pertumbuhan
venture, dan lain-lain? Ketika perbedaan kontektual cenderung diabaikan dalam riset di mana entrepreneur yang diteliti secara aggregate, dengan menggunakan istilah entrepreneurship akan memberikan banyak ketidaktepatan. Jika entrepreneurship secarajelas meliputi perbedaan fenomena yang berada di luar arus area pengetahuan leadership dan pengaruh sosial, dan penerbitan literatur mengenai entrepreneurship yang ada seperti penemuan counter-intuitive. Penemuan pola hasil menunjukkan kecenderungan hubungan perbedaan entrepreneurial. Penentuan smal/-business, firm start-ups, dan semacamnya perlu mendefinisikan
boundary limits karena adanya keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu, burden to proof ada pada penetapan perbedaan hubungan secara jelas dengan pola hasil yang dapat dijelaskan dan unik. Dari perspektif psikologis, pemeliharaan pemisahan kesamaan dalam riset sukaruntuk dibenarkan tanpaketerangan bukti empiris, di mana dinamika penelitian menjamin perlakuan pemisahan. Dengan memperhatikan ini sebagai latar belakang, peneliti sekarang mulai mempertimbangkan entrepreneurial
behavior. Argumentasi Menolak Pemisahan Studi Kewirausahaan Literatur
ilmiah
mengenai
entrepreneurial
behavior,
sikap,
dan
kecenderungan secara substansi wajar. Usaha mengembangkan profil entrepreneur dan pemilik smal/-business (sukses atau tidak) sudah banyak. Hasilnya berupa lima atribut secara tetap profil entrepreneurial: risk-taking, need for achievement,
needfor autonomy, self-efficacy, dan locus of control (Begley, 1995; Stewart et 01., 1998). Atribut dimensi personality 'Big Five' dalam dunia nyata riset entrepreneur. Sebagai tambahan terhadap lima dimensi, atribut personal demographics dan
person-system fit juga penting diperhatikan. Ada pertumbuhan literatur rerangka
68
HOSPITOUR Volume I No.1 - April 20 I0 kognitif (cognitive) dan bias yang mungkin dari keterkaitan entrepreneur dengan pemilik small-business. Atribut cognitive dan dinamika meliputi overconfidence, hubris (overbearing or presumption), peningkatan komitmen: dan pemikiran counterfactual. Penemuan ini meneliti apakahfounders/managers perusahaan unik atau hasil penemuan mengungkapkan pola hasil tak terduga yang menandai adanya kebutuhan pemisahan studi entrepreneurship. Tulisan berikut berupa tinjauan riset, pengujian topik yang telah dilupakan dan mempertimbangkan beberapa arah riset baru untuk entrepreneurship. Lima Faktor Ciri-Ciri Umum Wirausaha 1. Kecendrungan Berani Mengambil Risiko
Pada tingkat intuitif, risk-taking propensity layak tercakup dalam profiJ yang mungkin membuat entrepreneur secara jelas berbeda. Riset terhadap risktaking propensity belum menghasilkan bukti hubungan yang jelas. Rangkaian studi Brockhaus (1976) gagal menemukan perbedaan orientasi risk-taking antara entrepreneur dan manager groups (Brockhaus, 1976, J980a; Brockhaus dan Nord, 1979, Litzinger, 1965; Masters dan Meier, 1988). Entrepreneur sukses tidak bisa dibedakan dari entrepreneur gagal dengan mengunakan risk-taking (Brockhaus, 1980b; Peacock, 1986). Studi lain melaporkan risk-taking propensity lebih besar antara entrepreneurs versus managers (Carland, Carland, Carland, dan Pierce, 1995; Hull, Bosley dan Udell, 1980; Stewart et al., J998), dibandingkan dengan populasi sampel yang lebih besar (Broehl, 1978; Liles, 1974; Stewart et al., 1998). Pencarian perbedaan dengan menggunakan ukuranpersonality (Risk-Taking Scale dari Jackson Personality Inventory; Jackson, 1976) dibanding dengan pelatihan pengambilan keputusan (Wallach dan Kogan's, 1961, Choice Dilemma Questionaire). Dalam usaha rekonsiliasi keanekaragaman penemuan, Palich dan Bagby (1995) menggunakan pendekatan berbasis cognitive bahwa entrepreneur tidak merasa atau menerima risiko lebih dari rekan non-entrepreneurial, tetapi lebih dipengaruhi oleh akses kategori yang menyarankan potensi lebih besar dalam skenario bisnis. Palich dan Bagby (1995) tidak menemukan bukti types entrepreneurial menjadi lebih dipengaruhi dengan pertanggungan risiko dibanding individu nonelllrepreneurial. Penemuan menjelaskan entrepreneurial cenderung menurun sesuai situasi kesempatan, ketika pihak lain merasa keadaan serupa seperti mempunyai potensi rendah. Penafsiran ini nampak sedikit semakin dekat dengan dimensi alternatif optimisme atau kepercayaan (Cooper, Woo dan Dunkelberg, 1988). Hasil 69
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan penelitian menunjukkan individu didorong ke arah kepercayaan, sangat kompeteQ dalam pengambilan keputusan dan berpeluang lebih besar dalam situasi pilihan yang penuh risiko sehingga lebih berani mengambil risiko. Percaya mel):liliki kompetensi untuk melihat ancaman lebih besar dan kurang berani mengambillebih sedikit risiko (Krueger dan Dickson, 1994). 2. Kebutuhan Mencapai Hasil Studi konsep klasik tentang kebutuhan dasar (McClelland dan Winter, 1969) menghasilkan penemuan relatiflebih mendukung perbedaan pengharapan. Motivasi prestasi tinggi dihubungkan dengan beberapa aspek kinerja venture (Begly dan Boyd, 1987; Carsrud dan Oim, 1986). Stewart et al. (1998) menemukan entrepreneur yang
lebih tinggi motivasinya lebih berprestasi dibanding manajer perusahaan maupun pemilik - managers small-business. Dukungan hasil penelitian belum seragam (Brockhaus dan Horwitz, 1986; Johnson, 1990). Alternatif penafsiran motivasi prestasi dan entrepreneurship bersandarpada pengertian konfigurasi (tinggi, moderat, atau rendah harus diuji bersama sesuai tingkatan kebutuhan, seperti kekuasaan dan afiliasi) belum secara meyakinkan berhubungan dengan aktivitas entreprenurial atau kesuksesan. 3. Kebutuhan Otoritas Kebutuhan prestasi dan kebutuhan otonomi sering dihubungkan dengan motivasi entrepreneurial. Keinginan menjadi self-directing dan mandiri (Harrell dan Alpert, 1979; McClelland, 1975), kebutuhan otonomi menawarkan: (a) mendasari alasan mengapa .beberapa mahasiswa magister tertarik bekerja pada perusahaan lebih kecil (Harrell dan Alpert, 1979: 260) dan (b) ramalan kesuksesanfit antara individu dengan posisi entrepreneurial (Harrell dan Alpert, 1979: 264). Argumentasi berdasarkan landasan pemikiran perusahaan lebih besar menindas kebebasan pribadi dan potensi prakarsa entrepreneurial. Bukti empiris mendukung pertentangan ini masih kurang. Pendekatan intuitif pemikiran menyatakan peluang altematif pengungkapan pribadi di tempat kerja dan kemampuan adaptasi individu membawa beberapa konsekwensi. Pertanyaan apakah kebutuhan otonomi operasional dengan cara konfigurasi kebiasaan dengan kebutuhan lain menjadi kesamaan yang dilupakan. Singkatnya, retorika melingkupi dorongan kebebasan sebagai inti unsur minat entrepreneurial, di samping karakter self-evident, membutuhkan pembuktian empIrls. 70
HOSPlTOUR Volume I No. I - April 20 I0 4. Kemampuan M.- ·.,Idkan Keberhasilan Diri Menurut teon j()cmllearning (Bandura, 1982; Wood dan Bandura, 1989), dapat mengharapkan individu lebib menyukai situasi di mana inclividu memiliki antisipasi kendali pribadi tinggi, tetapi menghindari situasi antisipasi kendali rendab. Logikanya, alur karier individu mencerminkan penilaian pribadi tentang kemampuan berbagai kedudukan. Perkembangan gagasan aktivitas entrepreneurial menyatakan individu percaya mampu melakukan peranan dan tugas entrepreneurship (mempunyai kepercayaan kuat entrepreneurial self-efficacy) terlibat dalam aktivitas berhubungan dengan perusabaan start-ups (Boyd dan Vozikis, 1994; Scherer, Adams, Carley dan Wiehe, 1989). Individu secara komparatif tinggi pada dimensi entrepreneurial self-efficacy merasa lebih berpeluang, sedangkan individu yang
rendab self-efficacy merasa lebih banyak biaya dan risiko. Individu memiliki selfefficacy lebih tinggi merasa lebih kompeten mengatasi rintangan, dan antisipasi hasil
lebih positif. Penelitian menunjukkan individu didorong ke arah kepercayaan sangat berkompetensi melihat kesempatan lebih besar dalam pilihan penuh risiko dan lebih berani mengambil risiko (Krueger dan Dickson, 1994), perbandingan pendiri smallbusiness versus bukan pendiri menunjukkan nilai pendiri lebih tinggi memiliki entrpreneurial self-efficacy (Chen, Greene dan Crick, 1998). Penjelasan mengapa
sebagian individu mengbindari tindakan entrepreneurial (atau self-efficacy rendab), pendekatan ini membantu ke arah penjelasan mengapa beberapa entrepreneur menghindari aktivitas entrepreneurial kritis tertentu (dengan bebas menghindarkan pertumbuhan perusahaan karena ketakutan kehilangan kendali, dalam kaitan dengan self-efficacy rendah khususnya ketrampilan penting spesifik).
5. Pusat Pengawasan Hubungan riset self-efficacy merupakan konsep lebih luas dari locus of control (Rotter, 1966). Self-efficacy dan locus of control merupakan dua dimensi
kognitif berdasarkan pengetian pengendaIian; locus ofcontrol adalab konsep lebib luas tidak terikat pada pengertian tugas individu (specific efficacy). Studi locus of control berhubungan dengan entrepreneur mempunyai catatan penelitian lemab.
Penelitian Engle, Mah dan Sadri (1997) tidak berhasil membedakan antara pemilik small-business dan sampel kaiyawan berdasarkanskala Rotter (1966), begitu juga
Chen et al. (1998) tidak bisa membedakan antara pendiri dan bukan pendiri bisnis dengan menggunakan skala yang dikembangkan Levinson (1973). Gatewood, Shaver
7I
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan dan Gartner (1995) menggunakan alternatif skala Rotter yang fokus pada personal efficacy (subscale
ofPaulhus~
Spheres ofControl Scale, 1983). Hasil menunjukkan
pola hasil tereampur yang mengusulkan potensifemale entrepreneur lebih eendrung ke atribut internal/stable, sedang potensi male entrepreneur lebih eendrung ke atribut external/stable. Walaupun hasil ini seeara statistik signifikan, peranan moderating gender tidak mudab diinterpretasikan, seperti materi atribut internal! stable tampaknya semakin dekat pada construct tersebutdibanding internal locus of control. Bukti analisa c01ifirmatory faktor berguna untuk menentukan penilaian skala apa dalam studi ini, dan skala dalam beberapa studio Walaupun argumeritasi konseptual peran locus ofcontrol entrepreneurship dapat dipaksakan (Gilad, 1982), walau evidential dasar tidak kuat. Orientasi Kewiraushaan Ada pemikiran babwa
'entrepreneurial
orientation
menunjukkan
keeenderungan individu seeara menyeluruh terlibat dalam aktifitas perusabaan startup, istilah ini gagal mengaeu pada tingkap konsep makro berdasarkan 9 skala indikaior (nine-item) yang dikembangkan oleh Khandwalla (1977), manajer perusahaan diminta menilai aspek inovasi perusabaan yang dirasakan dan proaktif. Keeendrungan materi persepsi manajer puneak, dan atribut produk dan jasa. Ketika semua jawaban dikombinasikan, penilaian diambiI sebagai indeks derajat tingkat entrepreneurship perusahaan (Covin dan Slevin, 1989). Skala mempunyai reabilitas internal eukup, mempunyai dua faktor dasar (inovatif dan disposisi proaktif), dikombinasikan ke dalam score tunggal, tetapi praktiknya masih diragukan (Knight, 1997). Minat penelitian dilanjutkan pada macro-level aggregated construct of entrepreneurial orientation ditunjukkan dalam artikel tinjauan ulang oleh Lumpkin dan Dess (1996), dan entrepreneurial orientation digambarkan sebagai keeenderungan perusahaan menunjukkan otonomi, inovatif, risk-taking, proaktif, dan kompetitif agresif. Lima dimensi ini tumpang-tindih dengan banyaknya atribut perbedaan individu. Banyak ilmu pengetahuan makro, eenderung mendiskusikan perusabaan seolab-olab sebagai tindakan individu menjadi konsekwensi relatif keeil (sedangkan pendekatan mikro, eenderung pasti memiliki pandangan kontekstuaI lebih besar seeara relatiftetap). Pengembangan riset entrepreneurship, diakui meneiptakan composite construct, disebut orientation, baik tingkatan makro maupun mikro terutama subyektif, pengujiannya masih discretionary. Peneliti lain berkesimpulan lain 72
HOSPITOUR Volume
I No. I - April 2010
mengenai dimensi mana yang harns dimasukkan atau dikeluarkan. Penjelasan orientation (sebagai konstelasi faktor) didasarkan pada subdimensions terkait bukti empiris bahwa subdimensions sangat bermanfaat dan pembenaran inclusion! exclusion secara empiris (dan tidak secara intuitif). Bukti seperti itu memiliki kegunaan dimensi prediksi, maupun dapat meyakinkan bukti yang tersedia untuk pemasukan beberapa dimensi peneliti lain. Demografi Individu
Personal demographic me1iputi satuan perbedaan atribut individu yang tidak cocok di bawah permasalahan atribut psikologis. Studi demografis hubungan dengan aktivitas entrepreneurial, menjadi atheoretical secara 1uas. Konsekwensi pendekatan empiris bahwa penemuan yang ada sering membangkitkan keinginantahuan yang tidak mudah ditafsirkan. Pengamatan hubungan lebili banyak mencerminkan demografis menjadi pengganti proses penyebab, atau pengamatan hubungan hasil proses yang 18k ditentukan menghasilkan pilihan atau penyaringan atas beberapa dimensi demografis. Tinjauan ulang literatur menyatakan perbedaan ada pada berbagai dimensi. Analisa data sensus Amerika Serikat, Fairlie dan Meyer (1996) menemukan pendidikan berhubungan positif dengan pekerja mandiri (self-employed). Setelah penyesuaian perbedaan statistik umur, pendidikan, status kependudukan, dan lama tinggal, ditemukan perbedaan signifikan dari pekerj a mandiri pada kelompok 60. AsiaAmericans secara komparatif memiliki tingkat self-employment tinggi, sedangkan African-Americans rendah. Bertentangan dengan penje1asan stereotypic kesukaran berbicara bahasa Inggris mendorong minoritas menjadi self-employment, Fairlie dan Meyer (1996) menemukan kesu1itan berbahasa Inggris berhubungan negatif dengan self-employment. Penelitian menjelaskan tingkat self-employment 1elaki dan wanita berbeda, tingkat gender diatur dengan cara sama da1am kelompok seperti tingkat self-employment wanita, secara aggregat, 55% tingkat self-employment pria. Penelitian Fairlie dan Meyer (1996) menjelaskan bahwa lebih menguntungkan menggolongkan ethnic/racial (dengan mengukur wage/salary earnings, selfemployment earnings, dan unearned income) memiliki tingkat self-employment tertinggi. Penemuan ini bertentangan dengan harapan kelompok racial/etnie secara relatiftidak menguntuligkan memiliki tingkat self-employment lebih tinggi.
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Riset Blanehflower dan Oswald (1998) dari Inggris menyatakan self-
employment berhubungan positif dan tergantung pada individu, apakah pemah menerima warisan atau hadiah, menjelaskan pengaruh kemanfpuan modal untuk memulai usaha adalah sangat tinggi. Studi Jo dan Lee (1996) yang dilakukan di Korea menemukan profitabilitas sebagai entrepreneur, fungsi entrepreneur memiliki pengalaman utarna yang reIevan dengan jalur usaha dan berpendidikan lebih tinggi. Keterlibatan nyata memulai pemsahaan bam (self-employed) menemukan lebih banyak di antara individu lebih muda, usia 25 - 34 tahun di Amerika Serikat (Reynolds, 1997). Dua buku (The Millionaire Next Door, Stanley dan Danko, 1996; The
Millionaire Mind, Stanley, 2000); Stanley (2000) menemukan hasil survey bahwa individu yang kekayaannya unquestionably (rata-rata kekayaan bersih mmah tangga $9.2 juta). Daftar self-report, faktor kesuksesan tinggi menjadi disiplin baik dan memiliki dukungan pasangan suami/istri. Perbandingan dengan kelompok pekerja lain dari senior corporate executives, pengaeara, dokter, dan lainnya, business
owners/entrepreneurs mengungkapkan persentase paling rendah yang mempunyai IQ/Superior tinggi sebagai faktor sukses penting. Kategori pekerjaan sarna memiliki persentase paling tinggi menunjukkan faktor penting berikut: bersama orangorang, mempunyai kualitas kepemimpinan kuat, mempunyai kemarnpuan menjual gagasan dan produk, mengabaikan kritik, dan melihat peluang yang orang lain tidak Iihat. Kelompok pekerja sarna tidak berbeda dengan lainnya yang berasal dari perguman tinggi hebat, meneintai karislbisnis, mempunyai semangat berkompetisi, dan mempunyai sikap sebagai penasihat baik, dan Business owners/entrepreneurs mempunyai laporan persentase paling rendah, seTta faktor yang memengamhi pilihan lapangan kerja juga dinilai. Untuk business owners/entrepreneurs, faktor paling berbeda adalah kesempatan untuk mandiri seeara financial, potensi profit/income lebih besar, dan warisan sebagai bagian dari bisnis keluarga. Kecocokan Antara Individu Dan Sistem
Berdasarkan teori peranan motivasi, Miner (1986) menawarkan rerangka kesarnaan orientasi individu yang eoeok dengan sistem organisasi. Dari berbagai sistemorganisasi, ada dua paling relevan. Miner (1990) mengidentifikasi sistem hirarki (birokrasi) di mana manajer mempakan agen kunci, dan sistem tugas dari individu yang tertarik pada penawaran penghargaan intrinsik dalarn pemenuhan
74
HOSPITOUR Volume I No. I - April 20 I 0 tugas. Dalam sistem hirarki, ada enam alasan penting bagi manajer yang perlu dikuasai: (I) memelihara hubungan positif dengan figur otoritas,
(2) pelatihan kekuasaan dengan mencobamenerapkan sanksi dan kesan memengaruhi bawahan, (3) contoh model tindakan individu, (4) bersaing dengan rekan kerja untuk mencapai penghargaan seperti promosi dan peningkatan gaji, (5) menerima tanggungjawab tugas administratif rutin, dan (6) mengasumsikan status posisi berbeda yang terlibat menjadijelas sebagai bagian dari bawahan. Sebagai pembanding, sistem tugas memerlukan motif penting untuk: (a) memperoleh umpan balik hasil dari usaha individu, (b) mempunyai kendali lebih besar atas hasil (kinerja) untuk mengurangi risiko, (c) keterlibatan dalam tugas dapat memenuhi kebutuhan mencapai keinginan intrinsik, (d) menjadi inovatif, dan (e) perencanaan dan penentuan sasaran. Miner (1990) menyatakan persyaratan sistem perlu memetakan pola perbedaan motivasi seperti halnya bahwa individu memiliki keinginan kebutuhan utama seimbang dengan gambaram sistem menjadi lebihsukses. Studi penelitian Miner (1990) memerlukan waktu 15 tahun, Miner (1986) mengembangkan ukuran motivasi hirarki (managerial) dan task (entrepreneurial), dan melakukan sejumlah perbandingan antara manajer dan entrepreneurs. Hasil menunjukkan score entrepreneur lebih rendah pada motivasi hirarki daripada middle - dan manajer tingkat lebib rendah (Smith dan Miner, (986), atau top-level corporate executives (Berman dan Miner, 1985). Riset dengan ukuran task mengungkapkan score motivasi task pendiri entrepreneurial perusahaan membuat lebih tinggi dibanding manajer - dalam perusahaan kecil yang bukan pendiri (Miner, Smith dan Bracker, 1989). Da1am perbandingan antara entrepreneurs dengan manajer perusahaan kecil, Bellu (1988); Bellu, Davidson dan Goldfarb (1989) dan Bracker, Keats, Miner dan Pearson (1988) menemukan entrepreneur secara konsisten lebih termotivasi oleh task. Miner (1990) menemukan entrepreneur yang memimpin perusahaan high-growth bisa dibedakan, menurut teori, dad perbandingan kelompok managers.
75
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan
Hasil penelitian Miner (1990) secara konsisten mendukung pandangan perbedaan jenis orang dapat dijelaskan sesuai perbedaan jenis sistem organisasi. Menjadi lebih hati-hati menjelaskan perbedaan jenis orang hanya lebih mungkin dikenali dalam sistem organisasi yang berbeda, ketika peneliti tidak mengetahui apakah orang-orang memodifikasi tanggapan mereka pada ukuran peranan teori didasarkan definisi peranan norrnatif yang sedang mereka duduki. Miner (1990) mencatat aspek teori entrepreneurial dibatasi pada pendiri yang memimpin pertumbuhan perusahaan, dan penelitian mungkin punya lebih berkaitan dengan organisasi kecil di mana tidak pernah ada niat mencapai pertumbuhan yimg signifikan. Fakta banyak penelitian sebelumnya mengenai perbedaan entrepreneurial gagal membedakan apakah perusahaan berorientasi pertumbuhan atau bukan, secara parsial meliputi berbagai kesulitan yang dapat dipercaya kesamaan pola konsisten
dari arti ciri entrepreneurial. Kerangka Kognitif
Ada pertumbuhan literatur mengenai cognitive framing dan biases yang meneliti entrepreneurs dan pemilik small-business. Penemuan areaini secara umum lebih konsisten dibanding penemuan ukuran personality. Perbandingan kelompok managerial dengan kelompok entrepreneuriallebih kurang umum.
Banyak penelitian menemukan entrepreneur dan manajer small-business mungkin sangat confident, bahkan untuk sebuah kesalahan. Dalam studi awal Cooper et. al. (1988) yang meneliti entrepreneurs (baru menjadi pemilik bisnis) untuk
menentukan self-perceptions kesempatan untuk menjadi sukses. Secara keseluruhan, individu menyatakan tingkat confidence sangat tinggi untuk menjadi sukses ketika membandingkan data pada tingkat dasar nyata dari firm survival setelah 5 tabun pertama. Cooper et al. (1988) menyimpulkan entrepreneur menunjukkan tingkat derajat luar biasa mengenai optimisme, dan mungkin mengalami jenis euphoria dihubungkan dengan start upfirm. Entrepreneur tidak percaya dan lebih dipengaruhi untuk mengambil risiko dibanding non-entrepreneurs, entrepreneur menggolongkan skenario bisnis menjadi lebih positif dibanding individu lain (Palich dan Bagby, 1995). Ini tidak berarti entrepreneur merasa dan menerima risiko lebih besar dibanding non-entrepreneur, tetapi lebih dipengaruhi untuk menggolongkan situasi secara lebih positifjika potensi lebih besar menguntungan dan adanya kesempatan. Persepsi risiko dipengaruhi tingkat derajat kepercayaan individu (Simon, Houghton 76
HOSPlTOUR Volume I No.1 - April 2010 dan Aquino, 1999), seperti individu yang terlalu percaya diri dan merasa risiko lebih rendah dihubungkan dengan new venture, dan didukung oleh penelitian Busenitz dan Barney (1997) yang membandingkan pendiri perusahaan barn cfengan manajer organisasi· besar. Sedangkan ukuran overcorificence (Lichtenstein dan Fischhoff, 1997) pengelompokan berdasarkan jabatan, besaran hubungan ini tidak diakuinya penemuan berbagai ukuran kepribadian. Membangkitkan minat, mata rantai ini belum meyakinkan, barangkali kesulitan dihubungkan dengan menggambarkan dan mengukur overcorifidence. Pertanyaan lanjut apakah overcorifidence harns dipertimbangkan dengan baik sebagai penjelmaan mengagumi diri sendiri (personality construct)? Overcorifidence secara khas digolongkan sebagai kognitifatau penyimpangan pengamb Han keputusan, bias di mana secara khas dinilai (Simon et al., 1999) tidak melibatkan kepercayaan dalam pengambilan keputusan seperti gaya tanggapan terhadap kemungkinan refleksi high self-esteem. Perlu riset masa depan mengenai overconfidence, meliputi ukuran umum self-esteem untuk menentukan apakah self-esteem merupakan prediksi yang dapat diperbandingkan dan apakah self-esteem benar-benar berhubungan dengan ukuran umum yang dipergunakan untuk overconfidence. Overcorifidence
merupakan
formula
penting
dalam
menyediakan
kelengkapan yang diperlukan untuk berpindah ke wilayah penelitian risiko. Dapat juga untuk meyakinkan pihak lain (investor, pelanggan dan karyawan) bahwa venture akan sukses, dan dengan demikian mendapat bantuan dan mempertahankan dukungan. Overconfidence mungkinjuga, sedikit ironis, menjadi faktor utama dalam kegagalan venture. Kapan overcorifidence mengarah pada kegagalan, sering diberi label hubris (overbearing pride or presumtion). Kroll, Toombs dan Wright (2000) meninjau ulang teori dan contoh hubris dalam politik dan sejarah manajemen. Mereka menggambarkan hubris seperti keyakinan diri yang dilebih-lebihkan, kebanggaan atau keangkuhan yang sering muncul pada saat sedang memimpin, pada akhirnya, gaga!. Prototypical contoh umum pemimpin yang bangkit berasal dari kesederhanaan kekuasaan besar, dan berakhir menjadi reruntuhan, contoh hubris adalah Napoleon dan Hitler. Kroll et al. (2000) menyarankan sejumlah usulan untuk menjaga agar terhindar dari hubris. Usulan meliputi mendengarkan naysayers (someone with
an aggressively negative attitude), menetapkan alter ego, mendasarkan tindakan individu atas model peranan terkait dengan misi, dan terikat latihan melibatkan refleksi mempertimbangkan kinetja pribadi. Kroll et al. (2000) juga membantah 77
•
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan
anggota dewan yang mengatur eksekutif perlu menerima peran pengawasan lebih besar dalarn menghadapi potensi hubris eksekutifsenior. Pandangan itu bertentangan dengan perspektif dominan eksekutif puncak harus dimaklumi lewat promosi aktif kultur organisasi lebih heterogen. Manfred Kets de Vries (1996) membantah, berdasar satu rangkaian wawancara, entrepreneur membutuhkan kendali, perasaan curiga, keinginan applause, dan kecenderungan bertindak. Kets de Vries (1996) membantah sejumlah entrepreneurs, juga mempunyai kecenderungan narcissistic (egotistic, selfloving) yang merefleksikan berbagai kesulitan dalarn hal self-esteem. Konsekuensi dysfunctional meliputi kecenderungan membangkitkan hati dan secara drarnatis
menjadi berani, suka bertualang dan menuruti kata hati, dan ke arah aktivitas micromanage lainnya. Kets de Vries (1996) menduga kecendrungan dysfunctional secara
intuitif menarik dan terkait dengan contoh hubris, sedia terbuka untuk validasi empiris. Bukti tambahan mendukung dugaan entrepreneur yang menguasai corifidence relatif lebih besar dapat ditemukan dalarn riset pemikiran counterfactual. Pemikiran counterfactual mengacu pada tanggapan emosional yang diakibatkan refleksi pada what might have been. Bukti ini ditemukan pada juara kedua dalam olimpiade relatif
dibanding juara ketiga. Secara rinei, juara ketiga pemenang (medali perunggu) dilaporkan bahagianya lebih besar relatif daripadajuara kedua (medali perak) dalarn kaitan dengan kesadaran bahwa altematifcounterfactualmemenangkan tempatketiga adalah untuk tidak memenangkan medali apapun, sedang altematif counterfactual bagi pemenang kedua adalah untuk memenangkan medali emas pemenang pertama (Medvec, Madey dan Gilovich, 1995). Riset Baron (1999) menunjukkan entrepreneur lebih sedikit terlibat dalarn pemikiran counterfactual dibanding pihak lain, sebagai hasilnya, lebih sedikit mengalarni rasa menyesal alas hasil yang mengecewakan. Baron (1999) menemukan entrepreneur, barangkali kecenderungan lebih sedikit untuk terlibat dalarn pemikiran counterfactual, penemuannya lebih mudah untuk mengakui kekeliruan larnpau pada diri mereka dan orang lain. Menurut penelitian Baron (1999: 88), dengan sifat crosssectional riset ini tidak memperoleh determinasi dari apakah pemikiran lebih counterfactual sebagai penyebab dibanding konsekuensi menjadi entrepreneur. Ada banyak perdebatan berkelanjutan apakah keterkaitan pemikiran counterfactual adalah proses tak terpisahkan yang menguntungkan atau merugikan. Sebagai contoh, perbandingan sosial mengarah kepada kecemburuan 78
HOSPITOUR Volume I No.1 - April 2010 (Vecchio, 1995; 2000) dan ketidakpuasan (Medvec et al., 1995). Sebagai altematif,
.
mungkin mendorong ke arah analisa penyebab kegagalan dan dengan demikian, mendorong ke arah peningkatan kinerja masa depan (Roese, 1997). Tantangan untuk riset masa depan adalah spesifikasi dari pengaturan di mana perbedaan proses ini dapat diharapkan. Hubungan Wirausaba Dengan Kepemimpinan
Sejumlah peluang riset bam studi entrepreneurship. Sebagian telah meneliti bidang leadership. Empat bidang penelitian sangat menjanjikan yang meneliti sebagian besar hubungan antara entrepreneur dengan pihak lain adalah keikutsertaan ifollowership}, kecerdasan sosial, substitusi dan netra!, serta pelatihan dan pengembangan. Keikutsertaan
Kemarnpuan mengilharni dan memotivasi bawahan, terutama dengan karakter penuh terhadap risiko yang ada saat awal start up, merupakan atribut kritis pendiri. Riset visi dan karisma pemimpin mempunyai keterkaitan tertentu pada entrepreneurship. Kemarnpuan mengesankan bawahan dan komunikasi visi yang menarik telah menjadi pekerjaari pokok terbaru dalarn kuasa kepemimpinan (Baum, Locke dan Kirkpatrick, 1998; Kirkpatrick dan Locke, 1996). Di luar apa yang leaderl entrepreneur dapat tawarkan seperti merangsang hubungan antar pribadi bawahan, ada kebutuhan untuk mempertimbangkan atribut pengikut sedemikian sebagai proses sosia!. Kecmili penelitian Pearce, Kramer dan Robbins (1997) menemukan para manl\ier entrepreneurially-oriented dalarn perubahan pengaturan bawahan yang menyatakan kepuasan lebih besar dengan pengawasan, topik para pengikut telah dilalaikan dalarn bidang entrepreneurship. Di dalarn bidang leadership,followership dikellali sebagai leader yang ke leader yin. Tidak ada pemaksaan teorifollowership, hingga kini menghasilkan riset penting. Secara luas pandangan dikenal atas atribut pengikut diharapkan ditemukan dalarn Hersey and Blanchard's Situational Leadership Model (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996), dalarn mana pengikut dinilai readiness atan maturity pada dimensi tugas pengetahuan dan komitrnen. Penilaian ini, pada gilirannya, mendikte gaya sesuai gaya perilaku penyelia. Pengikut bekerja untuk entrepreneurlfounder mungkin mempunyai peluang lebih untuk berhubungan secara pribadi lebih besar dengan leaderlfounder, ini juga 79
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan
perlu dipertimbangkan apakah peningkatan hubungan ini berarti bagi masing-masing pengikut. Kesempatan untuk saling berhubungan dengan pimpinan puncak dalam perusahaan menghadirkan kesempatan penting untuk menerinfa persetujuan atau pemyataan figur otoritas. Gabriel (1997) dalam artikel berjudul Meeting God: When Organizational Members Come Face To Face With The Supreme Leader, pengikut dapat menarik dua jenis dukungan psikologis dari persetujuan pimpinan puncak: messianic dan karismatik. Persetujuan karismatik berasal dari pengikut merasa
terberkati oleh siapa yang pengikut bandingkan dengan apa yang sudah dicapai, sedang persetujuan messianic berasal rasa prestasi dan kontribusi nyata. Gabriel (1997) membantah dua pandangan persetujuan dasar dari figur otoritas berasal dari pengalaman keluarga sebelumnya, dalam mana ibu (persetujuan tanpa syarat) dan pihak ayah (secara relatif persetujuan lebih bersyarat) sebagai peranan figur pertama yang ditemui, dan kemudian diperluas sebagai model untuk mengamati dan menginterpretasikan hubungan selanjutnya dengan figur otoritas. Hasil lain riset entrepreneur sehubungan dengan pengikut dapat ditemukan pada teori dan riset yang berhubungan dengan pemimpin-bawahan saling bertuj<:ar teori. Awal 1970 (Dansereau, Cashman dan Graen, 1973; Graen, Dansereau dan Minami, 1972) menghasilkan kelayakan satuan konsisten terhadap penemuan (tinjauan ulang terbaru, lihat Schriesheim, Castro dan Cogliser, 1999). Teori ini membantah bahwa pengikut dan pemimpin merundingkan hubungan pertukaran sosial secara spesifik dalam mana pemimpin menawarkan rangsangan seperti gaji dan peluang untuk masuk pada area pengambilan keputusan, dan pengikut menawarkan kesetiaan dan usaha. Pengalaman try-out awal, pemimpin mengembangkan hubungan kerja unik dengan masing-masing bawahan. Bawahan sangat menginginkan secara relatifuntuk diperlakukan dalam hal pembatasan kontrak psikologis dari pertukaran usaha dengan gaji, hubungan nienjadi sedikit formal; sedang bawahan yang sangat menginginkan diperlakukan sebagai orang kepercayaan dan pendukung, hubungan menerima kualitas khusus melibatkan derajat tingkat kepercayaan hubungan antar pribadi dan dukungan tirnbal balik. Dari waktu ke waktu, bawahan dikategorikan sebagai anggota dari pemimpin out-group atau in-group. Riset menyatakan pengikut in-group, relatifterhadap pengikut out-group, menikmati kepuasan keIja lebih besar, penilaian maksimum lebih tinggi mengenai kinerja, tugas pekerjaan lebih diperkaya, dan kemungkinan bekeIja lebih lama. Perluasan prinsip ini pada pengaturan smallbusiness nampak secara langsung karena adanya pertukaran sosial tidak beroperasi ke sana juga.
80
HOSPITOUR Volume I No. I - April 20 I 0 Akhirnya, gambaran dysfunctional peran follower/subordinate dalam penelitian small-business adalah studi layak. Walaupun kebanyakan tuntutan operator small-business menjadi anekdot, karena kenyataan tidak bisa diabaikan owners/ managers small-business yang mempunyai latitude (garis lintang) lebih besar dalam
menertibkan dan memeeat bawahan, pada perusahaan lebih besar di mana permintaan perpindahan atau prosedur pendekatan sering ada. Sejumlah peraturan tenaga kerja tidak berlaku pada bisnis keeil. Pengikut small-business lebih bisa mempertahankan posisi. Gaya dysfunctional entrepreneurial seperti di atas membangun keeintaan pada diri sendiri, dihubungkan dengan penyalahgunaan pihak lain. Seeara rinei, keeintaan pada diri sendiri (gambaran pandangan megah keunggulan pribadi, perasaan dipompa dari pemberian hak pribadi, empati rendah, dan khayalan kebesaran pribadi) seeara empiris berhubungan tinggi, tetapi tidak stabil, mengagumi diri sendiri. Pola ini terikat pada penjelmaan ingin berkuasa terhadap pihak lain (Baumeister, Bushman dan Campbell, 2000; Bushman dan Baumeister, 1998). Seperti diusulkan Baumeister et al. (2000), aspek mengenai kecintaan pada diri sendiri tidak begitu banyak dengan
aspek kesombongan atau mengagumi diri sendiri tinggi dirinya, seperti perasaan menjadi superior terhadap orang lain dan berhak mendapatkan keistimewaan dan mempertahankan dari aneaman terhadap self-image. Bagian substansi kekuatan pekerja yang dipeketjakan dapat dijelaskan sebagai penentuan small-business (kurang dad 50 karyawan), besaran penyaIahgunaan potensial menjadi penting. Tuntutan bawahan yang merasa dikhianati manajer founders/smallbusiness, setelah beberapa tahun kesetiaan pelayanan adalah pantas untuk studi penelitian lanjut (Elangovan dan Shapiro, 1998; Tepper, 200g). 2. Kecerdasan Sosial dan Modal Sosial Alasan ukuran konvensional analitis seore pengujian IQ (Sternberg, Wagner, Williams dan Horvath, 1995), seperti halnya nilai kelas saat sekolah (Stanley, 2000), tidak berhubungan kuat dengan ukuran kesuksesan dalam hidup. Sternberg
(1988) menawarkan model tiga sisi (rriarchie) mengenai keeerdasan, yakni fungsi intelektual pandangan terbaik seperti kemampuan pemikiran analitis, keeerdasan sosial, dan kreativitas. Pemikiran analitis mengaeu pada kemampuan untuk menggunakan pemikiran deduktif, keeerdasan sosial meliputi kemampuan ketelitian menginterpretasikan tindakan pihak lain dan saling berinteraksi seeara efektif (dikenal sebagai street smarts), dan kreativitas mengaeu pada kemampuan untuk 81
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan menghasilkan kemungkinan pemecahan masalah tertentu. Model Sternberg (1988) menarik sebab menyarankan keberadaan kombinasi optimal tentang kemampuan prediksi efektivitas dalam penentuan dunia nyata spesifik. Yakni;beberapa pekerjaan tidak tetap secara relatif mungkin memerlukan kemampuan pemikiran lebih analitis (analisa keuangan), sedang pihak lain mungkin memerlukan kecerdasan sosiallebih besar (penjualan) atau kreativitas (research anddevelopment). Sternberg dan Horvath (1999) dan Sternberg, Wagner dan Okagaki (1993) mengembangkan instrumen untuk menilai tacit knowledge (pengetahuan berorientasi tindakan praktis dan sering diperoleh melalui pengalaman) untuk pekerjaan seperti hukum, obat-obatan, manajemen tradisional, penjualan dan pengajaran, hingga kini menjadi tantangan peranan entrepreneurship. Aplikasi ukuran managerial tacit knowledge pada contoh
entrepreneurial menghasilkan pengertian mendalam yang menarik dibanding dengan manajer tradisional. Pengembangan ukuran secara unik dibuat untuk pemahaman
tacit knowledge entrepreneurial bemilai praktis besar untuk mengidentifikasi dan memelihara minat entrepreneurial. Titik awal yang baik untuk mengembangkan model entrepreneurial street
smarts (social intelligence) dapat ditemukan dalam penelitian Baron (2000a, 2000b), yang meneliti keterarnpilan sosial yang berhubungan dengan kesuksesan
entrepreneurial. Baron (2000a, 2000b) mengenali kompetensi sosial spesifik yang mungkin memainkan peranan kesuksesan entrepreneur. Kompetensi ini meliputi kemarnpuan mengukur suasana arus hati atau emosi pihak lain secara tepat, kecakapan memengaruhi reaksi positifpihak lain dengan penarnbahan garnbaran dan penampilan diri sendiri (impression management), efektivitas persuasif, dan kemarnpuan melakukan penyesuaian pada cakupan situasi sosial dengan bidang cakupan individu
(social adaptability). Keterarnpilan interpersonal berkontribusi terhadap akumulasi modal sosial personal. Modal sosial digarnbarkan sebagai sumber daya potensial dan nyata bahwa individu memperoleh keuntungan dari pengetabuan pihak lain, tercakup dalarn jaringan sosial, dan memiliki reputasi positif. Entrepreneur dengan modal sosial relatif lebih sukses terhadap entrepreneur lainnya. Walaupun tidak ada penelitian hingga kini, tetapi memunculkan titik kritis pertentangan ini, dua pengarnatan seketika
mun~ul.
Pertama, turnpang-tindih dengan konsep Sternberg
(1988) mengenai pertentangan kecerdasan sosial, dan menyatakan pandangan informatif bagi satu sarna lain. Kedua, argumentasi dan bukti menunjukkan modal
social relative secara unik penting bagi entrepreneur terhadap manajer tradisional 82
HOSPlTOUR
Volume I No.1 - April 2010
dan profesi lain. Contoh, pengacara dan anggota fakultas lebih sukses mempercepat karier jika comparably lebih kuat pada modal 505ia1. Modal sosial mungkin life
skill umum, dibanding keterampilan unik entrepreneurial. Pendekatan paralel yang ditawarkan oleh Baron (2000a, 2000b) dan Sternberg (1988) pantas menerima pertimbangan serius dalam model menyeluruh kesuksesan entrepreneurial. 3. Kewirausahaan Dan Substitusi Kerr dan Jennier (1978) mengusulkan perilaku pemimpin menjadi berlebihan atau tak perlu. Aspek penting keadaan ini disebut substitusi atau kepemimpinan neutralizers. Kontribusi karakteristik pada pengaruh substitUsi atau
neutralization adalah gambaran tugas (terstruktur dan rutin, ada umpan balik, dan pada hakekatnya memuaskan), gambaran bawahan (jika bawahan berpengalaman, sangat terlatih, atau mempunyai orientasi profesional), dan gambaran perusahaan (jarak fisik antara bawahan dan penyelia, dan prosedur terperinci). Kerr dan Jennier (1978) memperkenalkan g~baran yang perlu dipersiapkan untuk memperluas start
up perusahaan dan' kemampuan ownerslfounders memengaruhi perilaku bawahan. Argumentasi untuk memaksa perluasan pandangan pada small business, dan sebagai jaminan pengujian empiris. Pe~atiban dan pengembangan
Pelatihan dan pengembangan sudah lama dan secara tradisional relatif diterima dengan baik di negara maju; Banyak organisasi besar menginvestasikan dana besar dalam program pengembangan dan pelatihan manajerial dan pengawasan. Mungkin lebih jelas dtentukan atau secara luas diterima perlunya pengembangan dan pelatihan entrepreneurial. Durand, 1975 dan McClelland (1965) melakukan penelitian usaha awal meningkat motivasi prestasi, perspektif secara implisitpopuler dan lazim bahwa entrepreneur itu lahir, bukan dibuat (born, not made). Penelitian
Entrepreneurial dipikirkan untuk merefteksikan type dan memerlukan proses selfselection atau self-nomination. Kesamaan tanggung jawab dan pengembangan individu seperti ito tidak secara jelas menjadi togas tanggung jawab sosial (tidak termasuk berbagai program bantuan pemerintah atau perusahaan besar yang mencari pengembangan internal entrepreneurial). Beberapa individu (bertanggung jawab atas karier sendiri) mencari peluang pelatihan entrepreneurial. Hal ini sukar untuk membedakan bagaimana program pelatihan seperti ini berbeda dengan 83
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan program pelatihan tradisional leadership/managerial (belajar teknik praktik sebagai pengembangan perencanaan bisnis dan pengamanan modal venture). Topik yang menyinggung hubungan interpersonal dapat secara besar diperoleh dari bukti ilmu sosial yang tersedia berkenaan dengan teknik persuasi sosial, kuasa dan politik, peningkatan keterampilan sosial, dan model kepemimpinan mapan (LMX,
Situational Leadership Theory, perspektif karismatik, managerial grid). Di luar ukuran kelayakan hasil apakah individu sesudah itu mengejar start up dan sukses (diukur dengan longevity, growth, dan lain lain), penilaian pengaruh program seperti itu perlu menunjukkan keuntungan kepercayaan pribadi dari entrepreneurial self-
efficacy (Chen et al., 1998) dan confidence kesuksesan (Cooper et al., 1988). Baron (2000a) menekankan peningkatan keterampilan sosial entrepreneur meliputi pemberian umpan balik atas keterampilan sosial pada saat ini dan pelatihan teknik latihan secara aktif. Efektivitas pelatihan entrepreneurial mungkin ditingkatkan dengan teknik incorporating dengan penilaian pusat. Contoh, teknik wawancara mendalam, latihan pengambilan keputusan, role-plays (mengungkapkan kecenderungan hubungan interpersonal), dan pengujian situational dapat digunakan untuk menilai kelemahan dan kekuatan individu, dan menyarankan individu yang memerlukan nasihat dan pengembangan keterampilan lebih besar. Keuntungan seperti penilaian luas dan peningkatan keterampilan berikut menjadi nilai tertentu pada minoritas dan wanita, siapa yang terus bertumbuh proporsi dari kekuatan pekerja Amerika (Judy dan D'Amico, 1997), tetapi siapa yang secara komparatif menurunkan tingkat keterlibatan entrepreneurial dan siapa kekurangan peranan dan bagaimana pemahaman terbaik untuk meluncurkan perusahaan baru (Anna, Chandler, Jansen dan Mero, 2000; Fairlie dan Meyer, 1996). Pembahasan Model Kepemimpinan Kewirasuhaan
Sejumlah peneliti (Gartner, 1985; Low dan Macmillan, 1988) mengusulkan
start up perusahaan bergerak melalui tahapan urutan yang spesifik. Tabapan ini meliputi identifikasi kesempatan, pengumpulan sumber daya, delivery jasa atau produk, tanggapan pada kekuatan internal dan eksternal, dan lain lain. Stevenson, Roberts dan Grodsback (1995) menciptakan model pondasi 5 tabapan (five-stage), dan mengusulkan start-up tabapan sebagai berikut: evaluasi kesempatan, pengembangan konsep perusahaan, menilai sumber daya yang diperlukan, memperoleh sumber daya 84
J
HOSPITOUR Volume
I No.1 - April 2010
yang diperlukan, dan managing/harvesting bisnis. Dengan beberapa modifikasi, langkah-Iangkah ini dapat disatukan ke dalam suatu model seperti Gambar I.
I Stages of Firm Start-Up
On-going Conern
Pre-launch And Launch
M.....e Resoun:es
Develop Coacept
Action
I
Evaluau Oppol1unitics
HIrVC$I Resul15
A....sllesoarces
Cullure c",.ti""
DiJellgase Depart
Acquire Reso=es
Relevant Micro-Macro Factors
PcbyJogical Factors
Economic Factors
BiaFive Social Capital
BiaFive SotW Capital Follower Attributes S1t&lleaic IWpollsc Penon-System Fit Framing I/; BilSes
IJaDo8raphiCl (u SlIrtOpUi)
ExI<ma1 Thr....
Capital AvaiJability Allemalive Opportuaitics Support MCQbniUlll
(Competitors,
martet, exhIustioo. ilUlOVlli""
Fltiaue Family
Finandal. Firings
A madd of mtrepr-w leadenbip duI inlqnld process aad l~ ihflu_ ( S - . RobdJ I/; Grousbeck, 1995) .
Gambar I. A Model Of Entrepreneurial Leadership Sumber: Modifikasi Dari Model Stevenson, Roberts.& Grousback{1995)·
Penyajian' perluasan model meliputi pengenalan pendiriyang bertindak sebagai leader/managers sepanjang keseluruhan proses, dan ada hubungan secara terus-menerus penciptaan kultur perusahaan (Schein, 1983; Smith dan Vecchio, 1993). Diskusi life cycle offirm ini perlu mengenali peran pendiri guna melibatkan peristiwa keluar pendiri (direneanakan atau eara lainnya). Model ini mengusulkan faktor psikologi yang lebih kritis pada kondisi tertentu, walaupun faktor ekonomi mungkin lebih berarti penting tahapan spesifik. Usaha terlebih dahulu menghubungkan faktor psikologi entrepreneurship gagal mempertimbangkan faktor-faktor mungkin berbeda-beda kepentingannya menurut tahapan keberadaan perusahaan. Riset psikologis terhahulu mengabaikan peran kontektuallebih secara luas atau faktor ekonomi. Model ini lebih menyeluruh dengan menyertakan kedua proses dan pada konteks dalam usaha menjelaskan periIaku 85
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan entrepreneurial mungkin menjadi jelas. Model ini menyatakan tahapan proses
perusahaan start up melewati sedikitnya tiga fase: prelaunch dan launch, the ongoing concern, dan exiting. Tindakan kritis penentuan masing-masing fase tidak perlu
harus cocok dengan tahapan ini. Contoh, untuk memastikan penciptaan kultur, dapat dimulai bahkan sepanjang tahapan pre-launch. Proses dasar 3 tabapan ini mengakui adanya fokus dan dinamika berbeda-beda, tergantung pada tahapan pengembangan, dan masih jarang ada penelitian topik keberadaan entrepreneurial dalam model dari perusahaan start up. Relatifsedikit diteliti oleh Carroll & Delacroix (1982), dan seting ada diskusi mengenai exiting kebanyakan dengan aspek dysfunctional. Kenyataan pendiri secepatnya menuju tahapan exiting atau memindahkan kendali pada beberapa titik dihadirkan dalam model ini sepenuhnya dalam proses entrepreneurial. Faktor seperti overconfidence kemungkinan meningkatkan kesuksesan start up tetapi juga berkontribusi menghadapi berbagai kesulitan nantinya untuk kelangsungan hidup perusabaan. Pada masing-masing tahapan, variabel tingkat mikro dan makro dapat dikenali relatif berpotensi lebih penting untuk kesuksesan atau kegagalan. Tahapan paling awal, entrepreneurial big five masih dapat dibantah oleh peneliti lain yang relevan. Usaba menghubungkan lima dimensi ini belum mengungkapkan bukti kuat. Kelemaban satuan hasil sebagian dalam kaitan dengan kegagalan terdabulu untuk menyertakan (incorporate) yakni: (a) satuan faktor psikologis yang lebih luas (modal sosial dan demographic surrogate yang mungkin penting sebagai pengendalian untuk memengaruhi yang lain); dan (b) kontektual faktor ekonomi (penggunaan mekanisme dukungan). Titik kunci kesuksesan riset pada tabap awalfirm start up membutuhan lebih banyak pembelajaran daripada unitary level dan tipologi univariat. Proses start up dan aspek manajemen rutin pada ongoing concern, pengaruh ekonomi dan psikologis kritis berubabjuga. Contoh, berbagai dimensi BigFive secara relatif mempunyai arti penting, sedang isu kebiasaan berhubungan dengan kefektifan leadership/management memiliki keterkaitan lebih besar (mengelola perilaku
dan sikap pengikut, manajemen krisis, merancang tanggapan strategis terhadap perubaban lingkungan). Pendiri mempunyai kebebasan memodifikasi sistem lebih besar guna mengakomodasi sesuai gaya yang disukai (hierarchic/bureaucratic vs. task), isu kecocokan individu (person1it) menjadi sangat menentukan. Pendiri yang
mengubab atau memperkenalkan model sistem sesuai dengan gaya masing-masing
86
HOSPITOUR
Volume I No. I - April 20 I0
(pendiri hierarchic menciptakan rutinitas lebih besar) relatifpada keuntungan, ceteris paribus. Rerangka kognitif dan bias juga memengaruhi diferensial tahapan ini. Contoh, down-side biaya hubris (overbearing pride or presumption/dan narcissism (kecintaan pada diri sendiri) meningkat oleh karena potensi akumulasi kesuksesan ke dalam kegagalan. Pada tahap ongoing concern, faktor ekonomi menjadi sumber penting dari ancaman ekstemal. Contoh, masuknya pesaing, perubahan teknologi, dan kelelahan (exhaustion) adalah contoh ancaman pasar yang memerlukan tanggapan strategis yang efektif. Titik-kritis pengulangan penghargaanjasa terhadap kesuksesan fungsi kontektual pada tahapan kedua - faktor ekonomi, faktor psikologi individu, dan interaksi. Tahapan entrepreneur melepaskan (disengage) dan meninggalkan perusahaan (sekalipun hanya melalui kematian sendiri). Diskusi akademis secara komparatif sedikit telah ada pada topik entrepreneurial exiting, terlihat bahwa faktor psikologis dan ekonomi terpisah secara relatif, seperti halnya interaktif, pengaruh pengunduran diri entrepreneurial. Permasalahan kelelahan (kesehatan menurun, hilangnya minat) dan kesuksesan keluarga (generasi selanjutnya tidak ingin mengambil alih perusahaan atau ketika pendiri memiliki emosi aktifterhadap tuntutan perusahaan atas perhatian dan waktu berkenaan dengan orangtua) biasanya dilaporkan jika pendiri tidak sukses. Di luar faktor psikologi pribadi yang memengaruhi keputusan pengunduran diri owner/manager, urgensi kesulitan keuangan menyebabkan kepergian pendiri (terjadi kebangkrutan, kesulitan menghadapi masalah hukum, penutupan, atau tertarik mengambilalih kesempatan lain). Saling memengaruhi antara faktor ekonomi dan psikologis (type entrepreneur apa yang lebih mungkin menarik dari penawaran pengambilalihan, belum mendapat perhatian serius dalam jumal ilmu sosia!. Aspek proses dinamis aktivitas entrepreneurial (dari pre-launch sampai exiting) terintegrasi dengan individu dan faktor kontektual ketika menjelaskan kesuksesan dan aktivitas entrepreneurial. Kecenderungan masa lalu mengabaikan proses keduanya dan pengaruh level/contextual menghasilkan penemuan pola empiris terbagi-bagi (fragmented) dan tercampur. Pendekatan integrasi secara menyeluruh pada studi entrepreneurship menghasilkan dasar teoritis dengan pendekatan pengukuran yang lebih luas, sambil memberi harapan kepada cross-fertilization dengan cara lain perspektif akademis eksklusif.
87
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Kesimpulan
Banyak pengamatan membuat peneliti pereaya bahwa individu yang memulai perusahaan tak terpisahkan perbedaannya dari individuyang meneari kerja di perusahaan, studi entrepreneurship belum menawarkan faktor keyakinan profil dengan jelas apa yang membuat entrepreneur berbeda dari lainnya. Penemuan hasil masih bersifat sugestif, reliabilitas dan besaran asosiasi ini belum terbukti. Beberapa isu masih under-researched (seperti kebutuhan kebebasan individu), sedangkan fokus penelitian lainnya (seperti keeenderungan risk-taking) tidak menghasilkan pola penemuan yang konsisten. Teori Miner (1990) mengenai person-system fit (barangkali, salah satu yang semakin memberikanjalan lebar bagi riset lanjut, dalam kaitan dengan teori dan penemuaan kekuatan) belum banyak mendapat perhatian. Pengabaian ini seearaparsialberasal dari kepereayaan pada pengukuran keterlibatan membuat prosedur angka lebih terperinei dalam perbandingan ukuran. Dalam tinjauan artikel ini, muneul pertanyaan: apakah entrepreneurship menawarkan teori dan penemuan menjadi sangat jelas berbeda, membenarkan pemisahan status, di
lua~
bidang leadership? Dari pengujian literatur, disimpulkan:
(a) banyak construct digunakan di bidang entrepreneur juga ditemukan dalam teori leadership; (b) penemuan ini bukanlah di luar kesatuan ilmu pengetahuan leadership
dan pengaruh hubungan antar pribadi (entrepreneur adalah leadership dalam arti sempit, konteks spesifik); (e) penemuan entrepreneurship seeara jelas tidak mengenal asosiasi nonlinear atau pola hasil disjointed dalam context-specific; dan (d) adanya kekurangan studi yang disebut type entrepreneurial ketika individu dipekerjakan seeara tradisional yang menetapkan apakah dapat dibedakan dari karyawan lainnya (post hoc atau retrospective recall, laporan penelitian menyarankan individu seeara
relatif tidak puas ketika dipekerjakait, tetapi keterangan empiris perasaan individu dan pendapat dari penyelia serta pasangan kerja mereka belum diteliti). Sampai konklusi penutupan ini masih terjadi penyangkalan seeara empiris, hematnya dan keyakinan eara pandang terhadap entrepreneur hanyalah berupajenis kepemimpinan sederhana yang terjadi dalam pengatnran spesifik dan seperti kebanyakan individu lain yang melljelma menjadi pemimpin kelompok keeil (pelatihan regu olahraga, mengorganisir sukarelawan pekerja, dan lain-lain), jenis kepemimpinan ini tidak berada di luar jangkauan atau pemahaman teori di bidang kepemimpinan dan pengaruh hubungan antar pribadi. Beberapa pertentangan bahwa ada penilaian dalam 88
HOSPITOUR Volume I No. 1- April 2010 memperlakukan entrepreneurship sebagai topik khusus adalah penting dan secara jujur mengakui bahwa fenomena lebih jelas unik atau berbeda dibanding kejadian spesifik dari proses sosial yang lebih umum. Saran-8aran, Kontribusi Dan Penelitian Lanjut Hasil penelaahan penulisan ini masih membutuhan penelitian lebih Ianjut sebagai berikut: a.
Bahwa pengertian entrepreneurship dan entrepreneur dalam konteks start up.firm harns dibedakan pada fase growth, stability dan new growth. Yang
akan menghasilkan: 1. growth oriented (highly attractive venture) 2.
attractive
3.
marginal (non-growth.firm), dengan perhatian utama pada kesibukan leaders/managers small-business
(technical,
managerial dan
entrepreneurial)
b. Penelitianlanjutharusdapatmembedakandanmeningkatkanentrepreneurship di kalangan small dan medium enterprises, serta menjelaskan perbedaan penerapan penelitian di Indonesia dibanding dengan negara lain, misalnya di Singapore, high-tech start up sangat didukung oleh pemerintah dan universitas, sebagai suatu incubator centre. c.
Usulan pengembangan pembahasan lebih lanjut dengan kombinasi risk taking dan needfor achievement bagi manajer dan wirausaha, baik pada organisasl birokrasi maupun organisasi bersifat kewirausahaan, serta pengusaha bisnis skala kecil yang berorientasi pada pertumbuhan atau tidak berorientasi pada pertumbuhan sesuai dengan diagram sebagai berikut:
89
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan
(I)
< <
Bureaucratic organization r:
managm
Risk laking
V$
Entrepnneurial
ofRaWzation
entrepreneur
burcucratic
manager
(2)
growtb orientation
Need for achievement
non growtb orientation entrepreneur
Gambar I. Diagram Pembahasan Dengan Kombinasi Risk Taking dan Need For Achievement
Sumber: HasH Olahan Peneliti (2010) d. Sumbangan penulisan artikel ini adalah diharapkan dapat menambah kasanah literatur artikel entrepreneurship dan leadership khususnya tiga fase start up firm: pre-launch and launch, on-going concern, dan exiting. Yang menurut
sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada yang menulis secara rontun hingga entrepreneur keluar, dengan menyertakan pengaruh faktor-faktor psikologi dan ekonomi. Semoga bermanfaat untuk menambah kasanah penulisan artikel ini, dan sekaligus menjadi tantangan uotuk riset entrepreneur leadership di masa depao di Indonesia.
90
HOSPITOUR Volume
I No. 1- April 2010
Daftar Pustaka American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual disorders (4th ed.). Washington, DC: Author. Anna, A. L., Chandler, G. N., Jansen, E., dan Mero, N. P. (2000). Women business owners in traditional and non-traditional industries. Journal of Business Venturing, 15,279 -303. Arrow, K. (1962). Economic welfare and the allocation of resources for invention. In R. Nelson (Ed.), The rate direction of incentive activity: economic and socialfactors (pp. 609 - 625). Princeton, NJ: Princeton University Press. Bandura, A. (1982). Self-efficacy mechanism in human agency. American Psychologist, 37, 122- 147. Baron, R. A. (1998). Cognitive mechanisms in entrepreneurship: why and when entrepreneurs think differently than other people. Journal of Business Venturing, 13,275- 294. Baron, R. A. (1999). Counterfactual thinking and venture formation: the potential effects of thinking about "what might have been". Journal of Business Venturing, 15, 79 -91. Baron, R. A. (2000a). Beyond social capital: how social skills can enhance entrepreneurs' success. Academy of Management Executive, 14, 106liS. Baron, R. A. (2000b). Psychological perspectives on entrepreneurship: cognitive and social factors in entrepreneurs' success. Current Directions in Psychological Science, 9, 15- 18. Baum, J. R., Locke, E. A., dan Kirkpatrick, S. A. (1998). A longitudinal study of the relation of vision and vision communication to venture growth in entrepreneurial firms. Journal ofApplied Psychology, 83,43 -54. Baumeister, R. F., Bushman, B. J., dan Campbell, W. K. (2000). Self-esteem, narcissism, and aggression: does violence result from low self-esteem or from threatened egoism? Current Directions in Psychological Science, 9, 26-29. Begley, J. M. (1995). Using founder status, age of firm, and company growth rate as the basis for distinguishing entrepreneurs from managers of smaller business. Journal ofBusiness Venturing, 10, 249 -263. Begiy, T., dan Boyd, D. (1987). Psychological characteristic. associated with performance in" entrepreneurial firms and small business. Journal of Business Venturing, 2,79- 93.
91
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Bellu, R. R. (1988). Entrepreneurs and managers: are they different? Frontiers of Entrepreneurship Research, 8, 16- 30. Bellu, R. R., Davidson, P., dan Goldfarb, C. (1989). Motivational characteristics of small finn entrepreneurs in Israel, Italy, and Sweden. Proceedings ofthe International Councilfor Small Business, 34, 349 - 364. Bennan, F. E., dan Miner, J. B. (1985). Motivation to manage at the top executive level: a test ofthe hierarchic role-motivation theory. Personnel Psychology, 38,377 -391. Blanchflower, D. G., dan Oswald, A. J. (1998). What makes an entrepreneur? Journal ofLabor Economics, 16, 26- 60. Boyd, N. G., dan Vozikis, G. S. (1994). The influence of self-efficacy in the development of entrepreneurial intentions and actions. Entrepreneurship Theory and Practice, 18, 63 -90. Bracker, J. S., Keats, B., Miner, J. B., dan Pearson, J. N. (1988). Task motivation, planning orientation and finn perfonnance. Working paper, Arizona State University (cited in Miner, 1990). Brockhaus, R. H. (1976). Risk-taking propensity of entrepreneurs. Proceedings of the Academy of Management, 457 -460. Brockhaus, R. H. (1980a). Risk-taking propensity of entrepreneurs. Academy of Management Journal, 23, 509 -520. Brockhaus, R. H. (1980b). Psychological and environmental factors which distinguish the successful from the unsuccessful entrepreneur: a longitudinal study. Proceedings ofthe Academy ofManagement, 368- 372. Brockhaus, R. H., dan Horwitz, P. S. (1986). The psychology of the entrepreneur. In D. Sexton, dan R. Smilor (Eds.), The art and science ofentrepreneurship (pp. 25 -48). Cambridge, MA: Ballinger. Brockhaus, R. H., dan Nord, W. R. (J 979). An exploration of factors affecting the entrepreneurial decision: personal characteristics versus environmental conditions. Proceedings ofthe Academy ofManagement, 364- 368. Broehl, W. G. (1978). The village entrepreneur. Cambridge, MA: Harvard University Press. Busenitz, L. W., dan Barney, J. B. (1997). Differences between entrepreneurs and managers in large organizations: biases and heuristics in strategic decisionmaking. Journal ofBusiness Venturing, 12,9 -30. Bushman, B., dan Baumeister, R. (1998). Threatened egotism, narcissism, selfesteem, and direct and displaced aggression: does self-love or self-hate lead to violence? Journal ofPersonality and Social Psychology, 75,219- 229. 92
HOSPITOUR
Volume I No. I - April 20 I0
Carland III, J. W, Carland, J. W., Carland, J. A., dan Pearce, J. W (1995) . Risktaking propensity among entrepreneurs, small business owners, and managers. Journal ofBusiness and Entrepreneurship, 7, 15~23. Carroll, G. R., dan Delacroix, J. (1982). Organizational mortality in the newspaper industry of Argentina and Ireland: an ecological approach. Administrative Science Quarterly, 27, 169 -198. Carsrud, A., dan aim, K. (1986). The success of male and female entrepreneurs: a comparative analysis of the effects of multidimensional achievement motivation and personality traits. In R. W Smilor, & R. I. Kuhn (Eds.), Managing take-off in fast-growth companies (pp. 147- 162). New York: Praeger. Chen, C. C., Greene, P. G., dan Crick,A. (1998). Does entrepreneurial self-efficacy distinguish entrepreneurs from managers? Journal ofBusiness Venturing, 13,295- 316. Cooper, A. C., Woo, C. Y., dan Dunkelberg, W C. (1988). Entrepreneurs' perceived chances for success. Journal ofBusiness Venturing, 3, 97 -108. Covin, J., dan Slevin, D. (1989). Strategic management of small firms in hostile and benign environments. Strategic Management Journal, 10,75 -87. Dansereau, F., Cashman, J., dan Graen, G. (1973). Instrumentality theory and equity theory as complementary approaches in mediating the relationship of leadership and turnover among managers. Organizational Behavior and Human Peiformance, 10, 184 -220. Durand, D. E. (1975). Effects of achievement motivation and skill training on the entrepreneurial behavior of black businessmen. Organizational Behavior and Human Performance, 14,76-- 90. Elangovan, A. R., dan Shapiro, D. L. (1998). Betrayal of trust in organizations. Academy ofManagement Review, 23, 547 -566. Engle; D. E., Mah, 1. J., dan Sadri, G. (1997). An empirical comparison of entrepreneurs and employees: implications for innovation. Creativity Research Journal, 10,45 - 49. Fairlie, R. W., dan Meyer, B. D. (1996). Ethnic and racial self-employment differences and possible explanations. Journal of Human Resources, 31, 757-793. Fernandez, C., dan Vecchio, R. P. (1997). Situational Leadership Theory revisited: a test of an across-jobs perspective. Leadership Quarterly, 8, 67 -84. Gabriel, Y. (1997). Meeting God: when organizational members come face to face with the Supreme Leader. Human RelatiOns, 50, 315 -352.
93
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Gartner, W. B. (1985). A conceptual framework for describing the phenomenon of new venture creation. Academy ofManagement Review, 10, 696- 706. Gatewood, E. J., Shaver, K. G., dan Gartner, W. B. (1995). A. longitudinal study of cognitive factors influencing start-up behaviors and success at venture creation. Journal ofBusiness Venturing, 10,371 -391. Gilad, B. (1982). On encouraging entrepreneurship: an interdisciplinary analysis. Journal ofBehavioral Economics, 11, 132 -163. Graeff, C. L. (1997). Evolution of Situational Leadership Theory: a critical review. Leadership Quarterly, 8, 153- 170. . Graen, G., Dansereau, F., dan Minami, Y. (1972). Dysfunctional leadership styles. Organizational Behavior and Human Performance, 7, 216-236. Harrell, T., dan Alpert, B. (1979). The need for autonomy among managers. Academy of Management Review, 4, 259- 267. R.P. Vecchio/Human Resource Management Review 13 (2003) 303-327 Hersey, P., Blanchard, K. H., dan Johnson, D. E. (1996). Management of organizational behavior: utilizing human resources (7th ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Hull, D., Bosley, J., dan Udell, G. (1980). Reviewing the heffalump: identifYing potential entrepreneurs by personality characteristics. Journal of Small Business Management, 18, 11- 18. Jackson, D. N. (1976). Personality 'inventory manual. Goshen, NY: Research Psychologists Press. Jo, H., dan Lee, J. (1996). The relationship between entrepreneur's background and performance in a new venture. Technovation, 16, 161- 171. Johnson, B. (1990). Toward a multidimensional model of entrepreneurship: the case ofachievement motivation and the entrepreneur. Entrepreneurship Theory and Practice, 14, 39 -54. Judy, R. W., dan D'Amico, C. (1997). Workforce 2020. Indianapolis, IN: Hudson Institute. Kerr, S. dan Jermier, 1. M. (1978). Substitutes for leadership: their meaning and measurement. Organizational Behavior and Human Performance, 22, 375-403. Kets de Vries, M. F. R.(1996). The anatomy of the entrepreneur: clinical observations. Human Relations, 49,853 -883. Khandwalla, P. (1977). The design of organizations. New York: Harcourt Brace Jovanovich. 94
,
HOSPITOUR Volume I No. 1 - April 2010 Kirkpa trick, S. A. dan Locke, E. A. (1996). Direct and indirect effects of three core charismatic leadership components on performance and attitudes. Journal ofApplied Psychology, 81, 36- 5}. Kirzner, I. (1997). Entrepreneurial discovery and the competitive market process: an Austrian approach. Journal ofEconomic Literature, 35, 60-85. Knight, G. A. (1997). Cross-cultural reliability and validity of a scale to measure firm entrepreneurial orientation. Journal of Business Venturing, 12, 213 -252. Kroll, M. J., Toombs, L. A., dan Wright, P. (2000). Napoleon's tragic march home from Moscow: lessons in hubris. Academy ofManagement Executive, 14, 117- 128. Krueger, N., dan Dickson, P. R. (1994). How believing in ourselves increases risk-taking: perceived self-efficacy and opportunity recognition. Decision Sciences, 25,385- 400. Levinson, H. (1973). Multidimensional locus of control in psychiatric patients. Journal ofConsulting and Clinical Psychology, 41, 397 -404. Lichtenstein, S., dan Fischhoff, B. (1977). Do those who know more also know more about how much they know? Organizational Behavior and Human Performance, 20, 159- 183. Liles, P. R. (1974). New business ventures and the entrepreneur. Homewood, IL: Irwin. LitZinger,W. (l965).The motel entrepreneur and the motel manager. Academy of Management Journal, 8,268 -281. Low, M. B., dan MacMillan, I. C. (1988). Entrepreneurship: past research and future challenges. Journal 0/Management, 14, 139 -161. Lumpkin, G. T. dan Dess, G. G. (1996). ClarifYing the entrepreneurial orientation construct and linking it to performance. Academy ofManagement Review, 21, 135- 172. Masters, R. dan Meier, R. (1988). Sex differences and risk-taking propensity of entrepreneurs. Journal o/Small Business Management, 26, 31- 35. McClelland, D. C.(l965). Toward a theory of motive acquisition. American Psychologist, 23, 321- 333. McClelland, D. C. (1975). Power: the inner experience. New York: Irvington. McClelland, D. C. dan Winter, D. G. (1969). Motivating economic achievement. New York: Free Press.
95
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan
Medvec, V. H., Madey, S. F., dan Gilovich, T. (1995). When less is more: counterfactual thinking and satisfaction among Olympic medalists. Journal ofPersonality and Social Psychology, 69, 603 -610. Miller, D. (1990). The Icarus paradox: how successful companies bring about their own downfall. New York: Harper Business. Miner, J. B. (1986). Scoring guide for the Miner Sentence Completion Scale-Form T Buffalo, NY: Organizational Measurement Systems Press. Miner, J. B. (1990). Entrepreneurs, high growth entrepreneurs, and managers: contrasting and overlapping motivational patterns. Journal of Business Venturing, 5, 221 -234. Miner, J. B., Smith, N. R., dan Bracker, J. S. (1989). Role of entrepreneurial task motivation in the growth of technologically innovative firms. Journal of Applied Psychology, 74, 554- 560. R.P. Vecchio/Human Resource Management Review 13 (2003) 303-327 326 Palich, L. E., dan Bagby, D. R. (1995). Using cognitive theory to explain entrepreneurial risk-taking: challenging conventional wisdom. Journal of Business Venturing, 10,425 -438. Paulhus, D. (1983). Sphere-specific measures of perceived control. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 1253-65. Peacock, P. (1986). The influence of risk-taking as a cognitive behavior of small business success. In R. Ronstadt, J. Hornaday, R. Peterson, & K. Vesper (Eds.), Frontiers of entrepreneurship research (pp. 11 0 -118). Wellesley, MA: Babson College. Pearce, J. A., Kramer, T. R., dan Robbins, D. K. (1997). Effects of managers' entrepreneurial behavior on subordinates. Journal of Business Venturing, 12, 147 -160. Reynolds, P. D. (1997). Who starts new firms? - Preliminary explorations of firms-in-gestation. Small Business Economics, 9, 449- 462. Roese, N. J. (1997). Counterfactual thinking. Psychological Bulletin, 121, 133 -148. Rotter, J. (1966). Generalized experiences for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs, 80 (I, Whole No. 609), 1- 28. Schein, E. H. (1983). The role of the founder in creating organizational culture. Organizational Dynamics, 12, 13 -28. Scherer, R. F., Adams, J. S., Carley, S. S., dan Wiehe, F. A. (1989). Role model performance effects on development of entrepreneurial career preference. Entrepreneurship Theory and Practice, 13,53 -71. 96
HOSPITOUR Volume I No. I - April 2010 Schriesheim, C. A., Castro, S. L., dan Cogliser, C. C. (1999). Leader - member exchange (LMX) research: a comprehensive review oftheory, measurement, and data-analytic practices. Leadership Quarterly, 10, 63 ~113. Schumpeter, J. (1934). The theory ofeconomic development: an inqUiry into profits. capital. interest. and the business cycle. Cambridge: Harvard University Press. Schumpeter, J. (1939). Business cycles: a theoretical. historical. and statistical analysis ofthe capitalist process. New York: McGraw-Hili. Schumpeter, J. (1947). Capitalism. socialism. and democracy. London: Allen & Unwin. Shane, S. (1996). Explaining variation in rates of entrepreneurship in the United States: 1899-1988. Journal ofManagement, 22, 747-781. Shane, S. dan Venkatararnan, S. (2000). The promise of entrepreneurship as a field of research. Academy ofManagement Review, 25, 217- 226. Simon, M., Houghton, S. M., dan Aquino, K. (1999). Cognitive biases, risk perception, and venture formation: how individuals decide to start companies. Journal o/Business Venturing, 15, 113 -134. Smith, C. G., dan Vecchio, R. P. (1993). Organizational culture and strategic management: issues in the management of strategic change. Journal of Managerial Issues, 5, 53 -70. Smith, N. R., dan Miner, J. B. (1983). Type of entrepreneur, type of firm, and . managerial motivation: implications for organizational life cycle theory. Strategic Management Journal, 4, 325- 340. Stanley, T. J. (2000). The millionaire mind. Kansas City, KS: Andrews McMeel. Stanley, T. J., dan Danko, W. D. (1996). The millionaire next door. Kansas City, KS: Andrews McMeel. Staw, B. M., dan Ross, J. (1987). Behavior in escalation situations: antecedents, prototypes, and solutions. In L. Cummings, & B. M. Staw (Eds.), Research in organizational behavior, vol. 9. Greenwich, CT: JAI Press. Sternberg, R. J. (1988). The triarchic mind: a new theory of human intelligence. New York: Viking. Sternberg, R. J., dan Horvath, J.A. (1999). Tacit knowledge in professionalpractice: researcher andpractitioner perspectives. Mahwah, NJ: Erlbaum. Sternberg, R.J., Wagner, R.K., dan Okagaki, L. (1993). Practical intelligence: the nature and role of tacit knowledge in work and at school. In H. Reese, & J. Puckett (Eds.), Advances in lifespan development (pp. 205 -227). Hillsdale, NJ: Erlbaum. 97
Model Kepemimpinan Dan Kewirausahaan Sternberg, R. J., Wagner, R. K., Williams, W. M., dan Horvath, J.A. (1995). Testing common sense. American Psychologist, 50, 912- 927. Stevenson, H. H., Roberts, M. J., dan Grousback, H. I. (1985). New business ventures and the entrepreneur. Homewood, IL: Irwin. Stewart, W. H., Watson, W. E., Carland, J. c., dan Carland, J. W. (1998). A proclivity for entrepreneurship: a comparison ofentrepreneurs, small business owners, and corporate managers. Journal ofBusiness Venturing, 14, 189-- 214. Tepper, B. J. (2000). Consequences ofabusive supervision. Academy ofManagement Journal, 43, 178- 190. . Thornton, P. H. (1999). The sociology of entrepreneurship. Annual Review of Sociology, 25, 19 -46. Vecchio, R.P. (1995). It's not easy being green: jealousy and envy in the workplace. G.R. Ferris (Ed.), Research in personnel andhuman resources management, vol. 13 (pp. 201 -244). Greenwich, CT: JAI Press. Vecchio, R. P. (2000). Negative emotion in the workplace: employee jealousy and envy. International Journal ofStress Management, 7,161-179. Wallach, M. A., dan Kogan, N. (1961). Aspects ofjudgment and decision-making: interrelationships and changes with age. Behavioral Science, 6, 23- 36. Wood, R., dan Bandura, A. (1989). Social cognitive theory of organizational management. Academy ofManagement Review, 14,361 -384.
98