MODEL INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DALAM PENGEMBANGAN AKADEMIK KEILMUAN UIN Mulyono Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang Jl. Gajayana 50 Telp. (0341) 558916 Malang Email:
[email protected]
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan upaya Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia dengan studi kasus di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam melakukan integrasi sains dan agama guna mewujudkan bangunan akademik keilmuan. Upaya UIN Sunan Kalijaga untuk mengakhiri dikotomi dan mewujudkan integrasi sains dan agama diwujudkan dengan mengembangkan paradigma keilmuan yang disebut Paradigma Integrasi-Interkoneksi dengan mengambil metafora Jaring Laba-laba. Paradigma ini langsung dipelopori oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Amin Abdullah (2001-2010). Makna Paradigma integrasi-interkoneksi pada hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan baik agama maupun sains sebenarnya saling memiliki keterkaitan. Mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat saling terkait antar berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi. Kata kunci: integrasi, sains, agama, akademik, UIN
319
THE MODEL OF INTEGRATION OF SCIENCE AND RELIGION IN ACADEMIC DEVELOPMENT SCHOLARSHIP OF STATE ISLAMIC UNIVERSITY Mulyono Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang Jl. Gajayana 50 Telp. (0341) 558916 Malang Email:
[email protected]
Abstract: This article explains the efforts made by Universitas Islam Negeri (UIN/the State Islamic University) to integrate science and religion as a solid foundation for scientific academic institutions. Based on a case study at UIN Sunan Kalijaga, the study shows that the institution develops a new paradigm to terminate the dichotomy of science and religion and to integrate them. This is called an integrated-interconnected paradigm symbolized as “Spider Web” (Jaring Laba-laba). The former Rector of UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Amin Abdullah (2001-2010) proposed the idea. This idea contends that religious knowledge and sciences are mutually integrated and interconnected. Integration here means that each field in religion and science can benefit from one another to develop new research areas or studies, without which such an effort can be unsuccessful. The integration thus necessitates interconnection among the disciplines in religion and science. Key words: integration, science, religion, academic, UIN
320
Model Integrasi Sains (Mulyono)
PENDAHULUAN Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul cukup lama. Meski tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplesit, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup populer juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated.1 Dalam perbincangan ini nama-nama yang kerap muncul adalah Seyyed Hossein Nasr, Isma’il Al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut gagasan awalnya sebagai “dewesternisasi ilmu”, Isma’il Al-Faruqi berbicara tentang islamisasi ilmu; sedangkan Sardar mengusung gagasan “sains Islam kontemporer”. Selain mereka, harus disebut fisikawan Mehdi Golshani, yang pada 1980-an popular dengan karyanya The Holy Qur’an and Sciences of Nature, sebagai awal dari upayanya memadukan sains dengan Islam.2 Dalam konteks Indonesia, meluasnya pemikiran perlunya transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN/STAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) atau dengan wider-mandate dan perlunya kaji ulang bidang ilmu-ilmu keislaman, merupakan pemicu utama mencuatnya kajian tentang integrasi science dan religion serta dialektika antara intellectual authority (al-quwwah al-ma’rifiyyah), continuity (al-turâts wa al-tajdîd) dan change (al-tajdîd wa al-ishlâh).3 Dalam realitas kehidupan masyarakat luas hingga kini, masih kuat pemikiran bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masingmasing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan ungkapan lain, ilmu tidak peduli agama dan agama tidak peduli ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air selama ini dengan berbagai dampak negatif 1
Zainal Abidin Bagir, dkk., (Eds)., Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi (Bandung: PT Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005), 20. 2 Mohammad Muslih, “Pengaruh Budaya dan Agama Terhadap Sains Sebuah Survey Kritis” dalam Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, Volume 6, Nomer 2, Oktober 2010, 234. 3 Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menuju UIN: Sebuah Pengantar” dalam M. Amin Abdullah, dkk. Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemology Islam dan Sains, Cet. 1 (Yogyakarta: Pilar Religia, 2004), ix.
321
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. 4 Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengintegrasikan sains dan agama dalam satu sistem pendidikan yang terpadu. Transformasi IAIN/STAIN menjadi UIN pada dasarnya dalam upaya memadukan atau mengintegrasikan sains dan agama dalam satu sistem pendidikan5 tersebut. Integrasi sains dan agama nampaknya sudah menjadi komitmen para pengelola Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) utamanya di lingkungan UIN, bahwa agenda utama transformasi IAIN/STAIN menjadi UIN dalam bidang akademik adalah melakukan integrasi sains dan agama. UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta sebagai salah satu dari enam UIN di Indonesia, telah melihat aspek integrasi sains dan agama menjadi perhatian utama sejak awal transformasi. Tercatat sejak tahun 2002, upaya pembahasan ini mulai serius dilakukan. Pada tahun tersebut dilaksanakan Seminar Nasional tentang epistemologi keilmuan yang tepat untuk UIN. Proceeding seminar tersebut kemudian diterbitkan SUKA Press dengan judul Menyatukan ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Tidak hanya itu, berbagai ahli dan pakar pun diundang, baik level nasional dan internasional. Dalam hal ini bisa dicatat misalnya Roundtable Discussion pada tanggal 28 Juni 2004, yang dilanjutkan dengan perumusan Kerangka Dasar Kurikulum UIN Sunan Kalijaga oleh Tim Perumus pada tanggal 3-5 Juli 2004. Kemudian diselenggarakan Dialog Interaktif bersama Pakar, yaitu Prof. John Haught dari Amerika, Prof. Mehdi Golshani dari Iran, juga Prof. H.M. Amin Abdullah sendiri pada tanggal 26 Juli 2004 mengenai topik Islamic Studies, Humanities, and Social Sciences: An Integrated Perspective.6 Pada akhirnya disepakatilah sebuah paradigma keilmuan baru yang dikenal sebagai Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Dengan dipelopori oleh M. Amin Abdullah selaku rektor UIN Sunan Kalijaga (2001-2010) dan sekaligus penggagas paradigma ini, struktur keilmuan IAIN yang hampir lima puluh tahun berjalan mulai direformulasi.7 4
M. Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan Epistemology Islam dan Sains, Cet. 1 ( Yogyakarta: Pilar Religia, 2004), 3-4. 5 Nanat Fatah Natsir, “Merumuskan Landasan Epistemologi Pengintegrasian Ilmu Qur’aniyyah dan Kawniyyah” dalam Konsorsium Bidang Ilmu Universitas Islam Negeri Sunan gunung Djati Bandung, Pandangan Keilmuan UIN Wahyu Memandu Ilmu (Bandung: Gunung Djati Press, 2006), 11. 6 Fahruddin Faiz, “Kata Pengantar: Mengawal Perjalanan Paradigma” dalam M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi) (Yogyakarta: Suka Press, 2007), vi. 7 Ibid., vi.
322
Model Integrasi Sains (Mulyono)
Dalam artikel ini penulis ingin mengkaji lebih mendalam tentang upaya Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia dengan studi kasus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk memecahkan masalah dikotomi sains dan agama yang berkembang beberapa abad terakhir yang ternyata memiliki dampak yang amat buruk terhadap kemajuan keilmuan, akademik, dan peradaban umat Islam dalam arti luas. Karena begitu luasnya permasalahan yang dikaji maka penulis membatasi masalah dengan mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melakukan integrasi sains dan agama guna mewujudkan bangunan akademik keilmuan Perguruan Tinggi Agama Islam? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan upaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melakukan integrasi sains dan agama guna mewujudkan bangunan akademik keilmuan. Manfaat penelitian adalah untuk menemukan salah satu model integrasi sains dan agama dalam pengembangan akademik keilmuan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. METODE PENELITIAN Guna menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Dengan library research, sebuah penelitian dapat menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu data yang diperoleh berupa kata-kata, gambar dan perilaku yang tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif dengan memberi pemaparan gambaran mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. 8 Jadi secara terperinci dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif lebih menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.9 Untuk mempertajam analisis metode deskriptif kualitatif, peneliti menggunakan teknis analisis isi (content analisys), yaitu suatu analisis yang menekankan pada analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. 10 Content analisys memanfaatkan prosedur yang dapat menarik kesimpulan shahih dari sebuah buku atau dokumen.11 Proses content analisys adalah dimulai dari isi 8
Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 39. Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
9
310. 10
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), 163-164. 11 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), 72.
323
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
pesan komunikasi tersebut, dipilah-pilah (disortir), kemudian dilakukan kategorisasi (pengelompokan) antara data yang sejenis, dan selanjutnya dianalisis secara kritis dan obyektif.12 Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang sifatnya tekstual. Sumber data dipilih menjadi tiga, yaitu: sumber data primer, sekunder dan penunjang. Adapun data primer penelitian ini adalah buku-buku yang membahas tentang integrasi ilmu dan agama dengan studi kasus di UIN Yogyakarta. Data primer tersebut yaitu: (1) M. Amin Abdullah, dkk. (2004), Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan epistemology Islam dan Sains; (2) M. Amin Abdullah, dkk. (2007), Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi); (3) M. Amin Abdullah, dkk., (2007), Re-strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta; (4) Zainal Abidin Bagir, dkk., (Eds). (2005), Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi. Dokumen sekunder dan penunjang yaitu sejumlah buku dan dokumen kepustakaan lainnya maupun hasil download di internet yang mendukung terhadap kajian integrasi sains dan agama di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta guna mewujudkan model bangunan akademik keilmuan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN Hingga akhir 2005 sebanyak 6 PTAIN yang telah berhasil melakukan transformasi dari IAIN dan STAIN menjadi UIN, yakni: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (20 Mei 2002), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (21 Juni 2004), UIN Maliki Malang (21 Juni 2004), UIN Sunan Gunung Djati Bandung (10 Oktober 2005), UIN Syarif Kosim Pekanbaru (2005), dan UIN Alauddin Makasar (2005). Dapat dipastikan masing-masing UIN telah mengembangkan model integrasi sains dan agama sebagai pondasi pengembangan akademik keilmuannya. UIN Jakarta dengan konsep “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”; UIN Yogyakarta dengan konsep “Integrasi-Interkoneksi” dengan metafora Jaring Laba-laba; UIN Malang dengan konsep “Integrasi Ilmu dalam Islam” dengan metafora Pohon Ilmu; UIN Bandung dengan konsep “Wahyu Memandu Ilmu” dengan metafora Roda; UIN Makasar dengan konsep “Integrasi dan Interkoneksi Sains dan Ilmu Agama” dengan metafora Sel Cemara; UIN Pekanbaru dengan konsep 12 Josep Bleicher, Comtemporary Herminiutics as Method Philosophy and Critique (London: Reutledge Paul, 1980), 28.
324
Model Integrasi Sains (Mulyono)
“Mengukuhkan Eksistensi Metafisika Ilmu dalam Islam”.13 Walaupun antara UIN satu dengan lainnya dalam mewujudkan model integrasi dengan istilah dan lambang/metafora yang berbeda-beda, tetapi semuanya pada hakikatnya memiliki dasar filosofis dan tujuan yang sama yaitu upaya PTAI di Indonesia untuk mewujudkan model integrasi sains dan agama. Adapun upaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melakukan integrasi sains dan agama guna mewujudkan bangunan akademik keilmuannya dapat dijelaskan sebagai berikut: Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Praktek Kependidikan Rektor UIN Yogyakarta periode 2001-2010, Amin Abdullah 14 menjelaskan aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi informasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan kekacauan mewabah di mana-mana. M. Kamal Hasan15 meringkas kegalauan zaman ini sebagai berikut: The advent of the new millennium brings with new challenges of the negative aspects of globalization and environmental crises which, if unchecked, would put the whole planet earth in peril, in addition to the old theath of nuclear war, unresolved international conflicts in the Middle East and Eastern Europe, tribal wariare in Africa, the AIDS scourge, increasing crime of all forms, breaking of the family institution, drug abuse, urban decay, obscenity and a host of social ills. Religions which preach the goals of peace, justice, holistic, wellbeing and righteous living have to address the above issues while they continue to oppose social injustices, oppression, corruption, abuse of power, greed, materialism, racism, sexism, hedonism and nihilism.
Demikian pula pemenang hadiah nobel bidang fisika, Muhammad Abdus Salam juga menyatakan dengan tepat bahwa tidak diragukan saat ini di antara seluruh peradaban di planet ini, ilmu pengetahuan menempati posisi yang paling lemah di dunia Islam. Menurut pendapatnya, bahaya kelemahan ini nyata sekali 13
Disarikan dari Nanat Fatah Natsir dan Hendriyanto Attan, (Eds.), Strategi Pendidikan: Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1-2. 14 Abdullah, Integrasi Sains-Islam, 5-6. 15 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Lohare: Suhail Academy, 1988), 6, 45, 85.
325
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
sejak kelangsungan hidup terhormat sebuah masyarakat bergantung secara langsung pada penguasaan ilmu dan teknologi yang berkembang masa kini.16 Mahatir Muhammad mengatakan dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi pertanian, revolusi industri dan revolusi informasi, tidak ada satu pun ilmuwan Muslim tercatat namanya dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.17 Azra menjelaskan fakta bahwa riset dan pengembangan ilmiah sangat lemah pada kebanyakan negara-negara Islam terkait dengan realitas lain yang memprihatinkan, yakni sains merupakan institusi yang belum berfungsi mendorong sikap ilmiah dalam kebanyakan dunia Islam. Di Barat dan negara-negara lain, institusi sains terus tumbuh untuk mengantisipasi era globalisasi, sedangkan di hampir negara Islam pertumbuhannya sangat lambat. Di kebanyakan negara Islam, dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah institusi-institusi riset sains masih sangat rendah; anggaran yang dialokasikan untuk program-program ilmiah hampir tidak memadai; jumlah komunitas ilmiah dan produktivitas ilmuwan juga masih dianggap rendah.18 Perkembangan dan pertumbuhan sains modern (sekular) sebagai simbol keberhasilan perguruan tinggi umum yang tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di satu pihak, sementara di lain pihak, perkembangan dan pertumbuhan perguruan tinggi agama (baca: Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial keagamaan di tanah air. Dari sini tergambar bahwa sains modern yang dikembangkan di perguruan tinggi umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di perguruan tinggi agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit rendahnya relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang 16 Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam”, dalam Natsir, Strategi Pendidikan, 1-2. 17 Mahatir Muhammad, Globalization and the New Realitas (Selangor: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, 2002), 54, 61. 18 Azra, “Reinterpretasi Ilmu-Ilmu”, 3.
326
Model Integrasi Sains (Mulyono)
lebih menyejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban). Dari latar belakang seperti itulah, gerakan reapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan reapproachment, dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalîfah Allah fi al-ardl. Amin Abdullah menegaskan Perguruan Tinggi Agama khususnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, secara sadar telah berani mengkaji ulang paradigma keilmuan yang pernah dibangunnya selama 50 tahun yaitu memisahkan antara kajian ilmu umum dan ilmu agama. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer. Tujuan UIN Yogyakarta secara khusus dan PTAI pada umumnya perlu diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan menganalisis secara akadamik, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan.19 Dengan demikian transformasi IAIN dan STAIN menjadi UIN ini diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik sebagaimana yang dipelopori oleh Amin Abdullah20 di UIN Yogyakarta tersebut pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan sekedar asal berkembang dan berubah. Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi umum dan agama yang didirikan oleh negara maupun swasta. Model 19
Abdullah, Integrasi Sains-Islam, 6-8. Ibid., 9
20
327
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
pengembangan keilmuan UIN penting dibangun untuk memberikan landasan moral Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan di tanah air, sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer. Dengan upaya keras tersebut tentunya dapat mengakhiri dikotomi sains dan agama dalam praktek kependidikan di lingkungan PTAI utamanya UIN. Melahirkan Paradigma Integrasi-Interkoneksi Ilmu Konsep detail mengenai Integrasi-Interkoneksi ilmu yang diberlakukan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini bisa ditelaah dalam naskah akademik yang tertuang dalam buku Kerangka Dasar Keilmuan dan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang disusun oleh Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan diterbitkan tahun 2004. Paradigma Integrasi-Interkoneksi Ilmu UIN Yogyakarta ini tentu tidak lahir begitu saja, melainkan melalui proses perjuangan yang panjang. Pada saat paradigma integrasi-interkoneksi ini digulirkan, muncul berbagai tanggapan, pandangan, komentar, masukan, juga kritikan. Namun tentu saja harus ada ketegasan paradigma bagi UIN sebagai pusat dinamika keilmuan dan keislaman di Indonesia. Sebagai produk historis, tentu saja integrasi-interkoneksi memiliki konteks dan kapabilitasnya sendiri, sehingga kelemahan dan kekurangan ketika dilakukan implementasi pasti terjadi. Dalam bahasa filsafat ilmu, anomalianomali pasti muncul. Namun sebagai sebuah paradigma yang sudah disepakati bersama oleh civitas akademik UIN, menjadi tanggung-jawab bersama pula untuk mengimplementasikan paradigma yang dimaksud sebagai dasar epistemologis nalar UIN. Secara institusional, UIN Sunan Kalijaga telah melakukan berbagai upaya sosialisasi-promosi dan implementasi dari paradigma yang dimaksud. Sebagai contoh kecil, dalam konteks pembelajaran saja, dilakukan upaya-upaya berikut: a. Penyusunan Desain Keilmuan Integratif dan Kerangka Dasar Kurikulum 1) Roundtable discussion pada tanggal 28 juni 2004. Kegiatan roundtable discussion ini menghadirkan pemakalah kunci Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah dengan tema makalah “Redesain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik 328
Model Integrasi Sains (Mulyono)
ke Arah lntegratif-Interdisipliner”. Bertindak sebagai pembahas empat orang panelis: (1) Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D., (2) Prof. Dr. H. A. Munir Mulkhan, S.U., (3) Prof. Dr. H. Machasin, dan (4) Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.; 2) Perumusan Kerangka Dasar Kurikulum UIN Sunan Kalijaga (3 Juli 2004); 3) Lokakarya Penyusunan Desain Keilmuan Integratif UIN Sunan Kalijaga (18 Agustus 2004); 4) Roundtable Discussion bersama Ahli Kurikulum, yaitu Dr. Anik Ghufron dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Prof. Djohar dari Universitas Sarjana Tamansiswa (UST) (18 September 2004); b. Penyusunan Lima Pedoman Praktis Pengembangan Keilmuan dan Kurikulum (23 September s.d. Nopember 2004); c. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi; 1) Lokakarya ‘Redesain Kurikulum Berbasis Kompetensi’ pada tanggal 18-19 Desember 2002; 2) Workshop ‘Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi-Kurikulum Inti Nasional’ pada tanggal 22-24 Mei 2003; 3) Workshop ‘Penyusunan Silabi Kurikulum Berbasis Kompetensi-Mata Kuliah Inti Umum pada tanggal 27-28 Agustus 2003; 4) Workshop ‘Penyusunan Silabi Mata Kuliah Lintas Program Studi’ pada bulan Desember 2003; 5) Workshop ‘Penyusunan Silabi 33 Mata Kuliah’ pada bulan Agustus s.d. September 2004; 6) Workshop ‘Penyempurnaan Silabi Fakultas’ (20 Silabi) pada bulan Desember 2004; d. Redesain Kurikulum (13-15 Agustus 2005); e. Evaluasi Silabi Mata Kuliah Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan Paradigma Integrasi-Interkoneksi (6 dan 10 September 2005); f. Penyusunan Rencana Program Kegiatan Perkuliahan Semester (RPOS) (15-17 September 2005); g. Penulisan Modul Bahan Ajar (1-2 Oktober 2005).21 21
Faiz, “Kata Pengantar: Mengawal”, ix-xii.
329
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
Beragam upaya telah dilakukan UIN Yogyakarta, beragam diskusi dan konseptualisasi telah dijalankan dalam rangka membangun basis yang kuat untuk implementasi paradigma integrasiinterkoneksi ini. Namun apabila melihat betapa umur paradigma ini masih “sangat muda”, tentu saja produk keilmuan, pengaruh serta kontribusi paradigma ini, baik dalam ranah ilmiah maupun secara institusional masih harus ditunggu hasilnya. Meskipun demikian, karena hakikatnya perubahan paradigma ini adalah sebentuk “revolusi ilmiah” terhadap paradigma sebelumnya, maka banyak pihak yang “tidak sabar” menunggu bukti kongkrit dari aplikasi paradigma ini. Berbagai diskusi yang diselenggarakan seringkali memunculkan pertanyaan “seperti apakah model dan contoh kongkrit kajian yang integratif-interkonektif itu?”.22 Perjuangan UIN Sunan Kalijaga dalam melahirkan paradigma integrasi-interkoneksi ilmu tentunya merupakan langkah kemajuan untuk menghasilkan suatu inovasi akademik. Model integrasi ini merupakan salah satu kekayaan intelektual dari kalangan akademisi PTAI yang muncul beriringan dengan kebijakan transformasi IAIN/STAIN menjadi UIN. Wacana model keilmuan ini selayaknya menjadi perhatian kita utamanya para akademisi PTAI, karena wacana keilmuan seperti ini tidak begitu mencuat ke permukaan pada saat perubahan IKIP menjadi Universitas di era 1995-2000-an. Untuk itu model keilmuan UIN ini layak untuk dikaji, didiskusikan, disempurnakan bahkan perlu dukungan kebijakan dalam implementasinya di lapangan, sehingga tidak sekedar diwacanakan untuk dikritik kemudian dijatuhkan. Visi Baru Program Reintegrasi Epistemologi Keilmuan: Metafora Jaring Laba-Laba Dengan meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh Kuntowijoyo, Amin Abdullah selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2001-2010, sebagai pelopor integrasi ilmu dan agama dengan metafora Jaring Laba-laba memberi beberapa ilustrasi tambahan di sana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama ini di IAIN/UIN dan upaya pengembangannya lebih lanjut secara integratif di masa depan. Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturanaturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut “Syariat”.23 Kitab suci al-Quran merupakan 22
330
Ibid.
Model Integrasi Sains (Mulyono)
petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta Grand Theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengatahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Modernisme dan sekularisme sebagai hasil turunannya yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektorsektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dlarûriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness).24 Amin Abdullah25 lebih lanjut menjelaskan bahwa ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif (mengalami proses objektifikasi). Dalam arti, bahwa ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non-agama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak 23 Ziaudin Sardar, “The Ethical Connection: Cristian Muslim Relations in the Postmodern Age,” dalam Islam and Cristian-Muslim Relations, Volume 2, Number I, June 1991, 66. 24 Abdullah, Integrasi Sains-Islam, 10-12. 25 Ibid., 12-13.
331
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
menjadi masalah. Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif. Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja. Contoh objektivikasi ilmu, antara lain dapat disebutkan di sini: Optik dan aljabar (tanpa harus dikaitkan dengan budaya Islam era aI-Haitami, al-Khawarizmi) Mekanika dan astropisika (tanpa dikait-kaitkan dengan budaya Yudeo-Kristiani), akupuntur (tanpa harus percaya konsep Yin-Yang Toisme), pijet urat (tanpa harus percaya konsep animisme dinamisme dalam budaya leluhur), yoga (tanpa harus percaya Hindhuisme), khasiat madu lebah (tanpa harus percaya kepada al-Quran yang memuji lebah), perbankan Syariah (tanpa harus meyakini Etika Islam tentang ekonomi). Selain itu para cerdik pandai telah tertipu. Ilmu-ilmu sekular yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu di antaranya ialah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi negara-negara kuat era globalisasi),26 dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir),27 dominasi kepentingan kebudayan Barat (Orientalisme).28 Ilmu yang lahir bersama etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Produk keilmuan harus bermanfaat untuk seluruh umat manusia tanpa memandang corak agama, bangsa, kulit maupun etnisnya (rahmatan lil’alamin). Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekadar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi epistemologi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.29 Beberapa contoh di bawah ini akan memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat diambil dari ilmu Ekonomi Syariah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan 26
Muhammad, Globalization and, 21-23. Ali A. Mazrui, “The Ethics of war and the rhetoric of politics: The West and the rest,” dalam Islamic Millenium, Volume II, Number 2, January-March 2002, 1-10. 28 Edwar W. Said, Orientaslisme, (New York: Vintage Books, 1979). 29 Abdullah, Integrasi Sains-Islam, 12-13. 27
332
Model Integrasi Sains (Mulyono)
antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. 30 Ada BMl (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha argrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil (almudlârabah), dan kerjasama (al-musyârakah). Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non agama, atau bahkan anti-agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-‘alamin). Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan begitu seterusnya.31 Gambar di bawah ini mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan, di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan AI-Quran dan al-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschaung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersamasama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan. Melalui berikut, Amin Abdullah32 menjelaskan kondisi yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa radius daya jangkau aktivitas keilmuan dan lebih-lebih pendidikan agama di perguruan 30 Cik Mustafa Hasan (Penyunting), Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia (Kualalumpur: Institut Kepahaman Islam Malaysia [IKIM]), 2002. 31 Abdullah, Integritas Sains-Islam, 13-14. 32 Ibid., 15-16
333
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
tinggi agama, khususnya IAIN dan STAIN di seluruh tanah air, hanya terfokus pada lingkar 1 dan jalur lingkar lapis 2 (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadis, Tarikh, Fiqih, Tafsir, Lughah). Itu pun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan humaniora klasik. IAIN pada umumnya sekarang ini belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer seperti yang tergambar pada jalur lingkar 2 (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan berbagai teori dan pendekatan yang ditawarkannya). Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Gambar 1. Horizon Jaring Laba-laba Keilmuan UIN Yogyakarta33 Para Ilmuan Muslim pascakolonial antara lain M. Arkoun, Muhammad Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullahi Ahmed al-Naim, Muhammad Sahrur, Abdul Karim Soroush di samping Hasan Hanafi, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman dan lain-lain telah menggunakan dan memanfaatkan pisau analisis baru dimaksud. Terjemahan karya-karya mereka di antara mahasiswa IAIN dan perguruan tinggi umum serta kelompokkelompok studi Islam membacanya. 33
334
Ibid., 15.
Model Integrasi Sains (Mulyono)
Amin Abdullah34 lebih lanjut menjelaskan bahwa kesenjangan wawasan keilmuan ini cukup berakibat pada dinamika keilmuan dan implikasinya dalam kehidupan sosial-keagamaan dalam masyarakat Indonesia, mengingat alumni IAIN Sunan Kalijaga banyak yang menjadi tokoh di masyarakat di mana pun mereka berada. Lebih-lebih, kesenjangan wawasan keilmuan ini juga dirasakan oleh mahasiswa dan alumni perguruan tinggi umum, khususnya yang mengambil jurusan eksakta. Upaya-upaya untuk menjembatani jurang wawasan tersebut dilakukan oleh program Strata 2 (Magister), tetapi tidak semua IAIN dapat melakukannya. Hal itu disebabkan karena keterbatasan sumber daya tenaga pengajar yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu keislaman sekaligus ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Yang dapat melakukan pun akan menemui banyak kesulitan karena selain keterbatasan sumber daya manusia, juga mindset mahasiswa Strata 1 sudah sedemikian kental warna studi teks klasik normatif tanpa tersentuh oleh warisan Iptek, Ilmu sosial maupun Humaniora. Isu-isu sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender, lingkungan, ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer pasca modern, seperti yang tergambar pada jalur lingkar lapis 3 hampirhampir tidak tersentuh oleh ilmu-ilmu sosial dan kajian keislaman di tanah air, khususnya di IAIN dan STAIN. Ungkapan seperti “to be religious today is to be interreligious” terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan mustahil untuk dipikirkan bagi tradisi keilmuan lingkar lapis 2, meskipun era globalisasi-informasi memaksa manusia beragama di era sekarang untuk berpikir demikian. Lebih jauh Amin Abdullah memprediksi bahwa ke depan, kesulitan ini akan semakin diperparah dengan realitas di lapangan bahwa ilmu-ilmu agama (baca: Islam) ini memang tidak dirancang terintegrasi dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi bobot keterampilan untuk hidup (life skill) secara lebih luas, untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan birokrasi pemerintah, c.q. Kementerian Agama - bersama-sama dengan alumni perguruan tinggi yang lain. Ilmu-ilmu Kauniyyah (Iptek atau science and technology) ini terpisah jauh dari inti ilmu-ilmu Qauliyyah (Teksnaskah), dan kemudian masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tanpa kontak dan tegur sapa. Bahkan nyaris seringkali terjadi bahwa ilmu-ilmu keagamaan Islam seperti yang disajikan sekarang ini hampir-hampir tidak dapat membekali perangkat lunak untuk 34
Ibid., 16.
335
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
menjaga, memelihara, mengawasi dan mengontrol dengan mengkritik moralitas dan kesalahan publik. Sudah barang tentu fenomena ini kurang menguntungkan anak didik bagi kehidupan bangsa secara luas karena dari awal mula telah menyeberang dari pola pokok ajaran Al-Quran yang selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Bukankah al’ulûm al-dîniyah, al-‘ulûm al-kauniyah, al-‘ulûm al-insâniyah, al-‘ulûm al-târîkhiyah, al-‘ulûm alfalsafiyah-al-akhlâqiyyah menyatu padu dalam kosa kata Al-Quran sehingga perlu digali secara simultan dan dikembangkan secara terpadu dan proporsional.35 Menurut Kartanegara,36 integrasi sains dan agama dalam suatu lembaga pendidikan, tidak mungkin tercapai, jika hanya mensandingkan saja kedua macam ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu umum sekuler, seperti yang sedang berjalan selama ini baik di PTIS maupun di IAIN. Karena itu ilmu agama dan ilmu umum berjalan sendiri-sendiri seperti tidak ada hubungannya. Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu umum menurutnya, integrasi harus dilakukan pada level: integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis. Secara akademik keilmuan, perjuangan UIN Sunan Kalijaga dalam melahirkan paradigma integrasi-interkoneksi ilmu tentunya merupakan langkah keberanian untuk menghasilkan suatu paradigma keilmuan. Hal ini seperti dikatakan Muslih37, bahwa integrasi ilmu merupakan tema studi yang cukup menarik dan menggelisahkan. Dalam konteks ini, integrasi ilmu diposisikan lebih dari sekedar wacana, ia telah menjadi semacam tawaran paradigma baru bagi pengembangan sains. Benarkah akan lahir sains generasi baru? Mungkinkah lahir paradigma keilmuan baru yang meletakkan asumsi metafisi-teologis sebagai bagian tak terpisahkan dalam pengembangan sains? Paradigma integrasiinterkoneksi yang dipelopori oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Amin Abdullah (2001-2010) tentu bukan sekedar wacana tetapi sudah merupakan salah satu model pengembangan akademik keilmuan di lingkungan PTAI khususnya di Indonesia. Salah satu kemajuan akademik keilmuan UIN ini sudah tentu memerlukan studi lanjutan yang tidak kalah serunya. Untuk mencapai keberhasilan dan pengembangan ke depan tentu saja perlu keterlibatan banyak pihak. 35
Ibid., 17-18. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi limu Sebuah Rekonstruksi Holistik (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). 37 Muslih, “Pengaruh Budaya”, 250. 36
336
Model Integrasi Sains (Mulyono)
SIMPULAN Sesuai dengan rumusan masalah, hasil penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, upaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk mengakhiri dikotomi dan mewujudkan integrasi ilmu umum (sains) dan ilmu agama dengan mengembangkan paradigma keilmuan yang disebut Paradigma Integrasi-Interkoneksi dengan mengambil metafora/lambang pada gambar Jaring Laba-laba. Kedua, melihat karakter dasar dari paradigma integrasi interkoneksi sebagaimana yang dikembangkan UIN Sunan Kalijaga tersebut, maka sebenarnya model apapun masih bisa ditolelir asalkan memuat empat hal berikut: (1) profesionalitasobyektifitas ilmiah; (2) Komitmen keagamaan/keislaman; (3) Kesadaran interkoneksi; (4) Kontribusi positif emansipatif bagi masyarakat. Paradigma integrasi keilmuan agama dan umum ini sebenarnya juga dikembangkan oleh UIN maupun PTAI lain, walaupun boleh jadi dengan istilah yang berbeda namun pada hakekatnya memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu mengakhiri dikotomi dan mewujudkan integrasi sains dan agama. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin dkk. Integrasi Sains-Islam: Mempertemukan epistemology Islam dan Sains. Cet. 1. Yogyakarta: Pilar Religia, 2004. ______. Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: Suka Press, 2007. Bagir, Zainal Abidin dkk. (eds). Integrasi Ilmu dan Agama: Intrepretasi dan Aksi. Bandung: PT Mizan Pustaka Kerjasama dengan UGM dan Suka Press Yogyakarta, 2005. Natsir, Nanat Fatah. “Merumuskan Landasan Epistemologi Pengintegrasian Ilmu Qur’aniyyah dan Kawniyyah” dalam Konsorsium Bidang Ilmu Universitas Islam Negeri Sunan gunung Djati Bandung. Pandangan Keilmuan UIN Wahyu Memandu Ilmu. Bandung: Gunung Djati Press, 2006. Natsir, Nanat Fatah, dan Hendriyanto Attan, (eds.). Strategi Pendidikan: Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu. Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi limu Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Muhammad, Mahatir. Globalization and the New Realitas. Selangor: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, 2002. 337
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juni 2011: 319-338
Muslih, Mohammad. “Pengaruh Budaya dan Agama Terhadap Sains Sebuah Survey Kritis”, dalam Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam, Volume 6, Nomer 2, Oktober 2010. Hasan, Cik Mustafa (Penyunting). Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Kualalumpur: Institut Kepahaman Islam Malaysia (IKIM), 2002. UIN Sunan Kalijaga, http://www.uin-suka.ac.id/ [Online] Senin, 4 Mei 2009. Sardar, Ziaudin. “The Ethical Connection: Cristian Muslim Relations in the Pstmodern Age,” dalam Islam and CristianMuslim Relations, Volume 2, Number I, June 1991.
338