1 Misteri Gandrung dari Tiongkok Sumono Abdul Hamid
Dua puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 5 Maret 1990, saya menonton pementasan gandrung di Taman Ismail Marzuki, garapan seniman kondang Hendrawanto Panji Akbar atau yang lebih dikenal Deddy Luthan. Tema yang diangkat cukup menggugah: Kadung Dadi Gandrung Wis! Deddy menampilkan dua penari gandrung senior, Mbah Suanah dan Mbah Awiyah, serta penari gandrung muda lainnya. Dari Harian Kompas saat itu saya mengetahui, Deddy Luthan ternyata telah empat kali mementaskan gandrung pada tahun 1990 hingga 1993. Bahkan pernah membawa seniman gandrung ke Amerika Serikat. Sungguh perhatian yang luar biasa! Pementasan gandrung tersebut cukup mengobati kerinduan, karena sudah 27 tahun saya tidak menonton gandrung. Sebabnya banyak. Karena makin menjamurnya tontonan baru seperti
orkes melayu atau angklung modern, diikuti berkembangnya anggapan miring kalau nonton gandrung dikatakan orang ndeso. Selain terkesan, pementasan gandrung saat itu memunculkan banyak pertanyaan di kepala saya. Terutama ketika mengamati, para penari dan nayoga yang berwajah mongoloid: berkulit kuning, berambut hitam, dan bentuk mata sipit. Ras Mongoloid mulanya tumbuh di Asia Utara, Asia Tengah dan Asia Timur yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia. Bangsa Tionghoa/China yang merupakan rumpun ras ini, paling banyak melakukan migrasi ke Indonesia sehingga terbentuklah akulturasi budaya yang bisa kita saksikan hingga saat ini. Lalu, apakah ada keterkaitan gandrung dengan kebudayaan Tionghoa? Benarkah gandrung memang dibawa oleh orang-orang dari negeri Tirai Bambu itu? Gandrung dan Cungking Betapa misterinya gandrung, menggugah saya untuk menelusuri asal-muasal kesenian ini. Saya mengunjungi daerah Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, atau sekitar 3
kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Daerah ini disebut-sebut sebagai pusat kelahiran gandrung. Saya mengunjungi makam Mbah Cungking. Arsitektur bangunan makam ini amat mirip dengan rumah-rumah kuno yang pernah saya saksikan di Cina. Menurut cerita juru kunci, bangunan makam sebenarnya pernah diubah menjadi bangunan gedung, tapi akhirnya dikembalikan ke bentuk semula karena terbakar. Nama Cungking di Banyuwangi pun sangat identik dengan salah satu kota modern di China bagian selatan yang juga bernama Chungking. Kota ini dibangun oleh Dinasti Ming pada abad ke-14 masehi yang menjadi ibu kota kerajaan menggantikan ibu kota sebelumnya, Beijing. Adanya nama Cungking di Banyuwangi menunjukkan bahwa jejak Dinasti Ming pernah singgah di Banyuwangi (dulu, Blambangan). Slamet Mulyana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, menuliskan, bahwa rumpun mongoloid telah datang ke Indonesia sebelum abad ke-7. Kedatangan mereka kemudian disusul penyerbuan Kubilai Khan ke Singosari, hubungan diplomatik masa Sriwijaya dan muhibah Laksamana Cheng Ho pada masa Majapahit. Bahkan saat kolonial Belanda, migrasi orang-orang mongoloid ini terjadi secara besar-besaran.
Sebagai kerajaan baru yang maju pesat, Dinasti Ming mengirim misi muhibah raksasa yang dipimpin Laksamana Cheng Ho meliputi ke seluruh Asia dan tepi timur Afrika. Mereka menyatakan diri sebagai orang Chungking karena saat itu sebutan Cina belumlah muncul. Muhibah ini bermisi diplomatik dan perdagangan, sekaligus mengabarkan tentang keberhasilan Dinasti Ming dari kekuasaan Mongol. Salah satu tujuan muhibah adalah Majapahit. Namun di awal abad 16, Majapahit telah mengalami sandyakala atau mulai melemah sehingga bermunculan kerajaan-kerajaan kecil, salah satunya adalah Kerajaan Blambangan yang saat itu muncul sebagai kekuatan baru di Jawa. Dengan adanya perkembangan politik di Majapahit tersebut, armada Cheng Ho dibagi menjadi dua: satu tetap menuju Majapahit (atau disebut kedaton kulon) dan satu lagi menuju Blambangan (Majapahit kedaton wetan). Ketika armada Cheng Ho menuju Blambangan, amarah Majapahit yang saat itu diperintah Dewi Suhita tersulut. Majapahit berprasangka bahwa Laksamana Cheng Ho mendukung Blambangan untuk menghancurkan Majapahit. Prasangka tersebut sangat wajar karena ketika Raden Wijaya yang masih keturunan Singosari itu mendirikan Majapahit, dia
menggunakan tentara Kubilai Khan menghancurkan kekuasaan Kediri.
untuk
Oleh karena itu, Dewi Suhita -yang lebih dekat pada trah Kediri, segera mengirim kekuatan tempur ke Blambangan yang dipimpin Bhree Narapati. Sedangkan Blambangan saat itu diperintah oleh Bhree Wirabhumi yang lebih dekat pada trah Singosari. Pada penyerangan ini, pasukan Majapahit berhasil menghancurkan dan membunuh lebih dari setengah utusan armada Cheng Ho, sedangkan sisa pasukan yang selamat melarikan diri ke hutan hutan di Banyuwangi. Meski akhirnya akibat tindakannya ini, Majapahit harus menelan pil pahit karena harus membayar denda dan memberikan upeti ke Dinasti Ming dalam jumlah sangat besar. Sisa armada Cheng Ho ke pedalaman Blambangan inilah, yang kemungkinan kuat menjadi cikal bakal wajah mongoloid di Cungking Banyuwangi.