UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISIS α-TOKOFEROL (VITAMIN E) PADA MINYAK BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam.) SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SKRIPSI
NURUL FITHRIYAH NIM : 109102000055
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISIS α-TOKOFEROL (VITAMIN E) PADA MINYAK BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam.) SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NURUL FITHRIYAH NIM : 109102000055
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Nurul Fithriyah
NIM
: 109102000055
Tanda Tangan :
Tanggal
iii
: 6 September 2013
iv
v
ABSTRAK
Nama : Nurul Fithriyah Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Analisis α-Tokoferol (vitamin E) Pada Minyak Biji Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman yang sering dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Salah satu bagian tanaman yang sering digunakan adalah biji dari buahnya. Tokoferol (Vitamin E) merupakan salah satu komponen yang terkandung dalam minyak yang dihasilkan dari biji buah kelor tersebut, yang berkhasiat menghambat proses oksidasi dan pembentukan radikal bebas. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kandungan vitamin E dalam minyak biji kelor secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi metode perolehan minyak (ekstraksi dengan pelarut dan kempa dengan variasi suhu pengeringan sampel) memberikan hasil rendemen minyak dan kandungan α-tokoferol yang berbeda-beda. Pada metode ekstraksi yakni maserasi dengan n-heksan menghasilkan minyak dengan jumlah 40,01%, sedangkan metode pengepresan mekanis dengan variasi suhu pengeringan sampel 40 oC, 80 oC dan 120 oC menghasilkan minyak berturut-turut 10%; 7,6%; dan 6,77%. Hasil validasi menggunakan standar α-Tokoferol memberikan linieritas kurva kalibrasi 0,999991 dengan batas deteksi dan kuantitasi masing-masing 0,06 µg/mL dan 0,2 µg/mL. Uji perolehan kembali α-Tokoferol dalam matriks minyak biji kelor memberikan hasil 95,8%. Sampel minyak dilarutkan dengan etanol dan THF terlebih dahulu, kemudian dianalisis dengan KCKT menggunakan kolom fase terbalik LiChosper® C18 (25 cm x 5 µm) dengan fase gerak metanol, volume penyuntikan 20,0 µL dan kecepatan alir 1,0 mL/menit. Masing-masing sampel minyak tersebut menghasilkan kadar α-tokoferol berturut-turut: 0,235; 0,37; 0,265; dan 0,265 mg/g. Untuk mengetahui kualitas minyak tersebut dilakukan analisis kandungan minyak dengan GCMS. Hasil menunjukkan bahwa minyak biji kelor terdiri dari asam lemak tidak jenuh berupa asam oleat dan asam-asam lemak jenuh yang dominan yaitu asam palmitat dan asam stearat. Kata kunci
: Biji kelor, minyak, tokoferol, KCKT, kolom C18.
vi
ABSTRACT
Name : Nurul Fithriyah Program study : Pharmacy Tittle : Analysis of α-Tocopherol (vitamin E) On Seeds Oil Moringa (Moringa oleifera Lam.) By High Performance Liquid Chromatography Moringa oleifera Lam is a plant mostly used as medical plant. Seed of fruit is the part that coomonly used. Tocopherol (Vitamin E) is one of the components contained in the oil which is produced from the seed of the Moringa fruit, that can inhibit the oxidation process and formation of free radical. The purpose of the present study was to determine vitamin E in the seed oil of moringa with High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The analysis showed that the variaous method of oil production, produce variations of oil yield and tocopherol content. Maceration extraction method with n-hexane produces 40,01% of oil, while mechanical pressing method with variations of sample drying temperature 40 °C, 80 °C and 120 °C produce oil 10%; 7,6%; and 6,77%. The result showed that linearity of standard α-Tocopherol was 0,999991 with the detection and quantitation limits respectively 0,06 mg/mL and 0.2 mg/mL. The result of recovery value using moringa seed oil matrix was 95,8%. Sample of moringa seed oil dissolved in ethanol and tetrahydrofuran (THF), and then analyzed by HPLC using a reversed-phase column LiChosper® C18 (25 cm x 5 µm) with methanol as mobile phase, volume of injection 20,0 µL and flow rate 1,0 mL/min. Each of the oil samples contains 0,235; 0,37; 0,265 and 0,265 mg/g α-tocopherol. Determination of oil quality carried by oil contents analysis by GCMS. Result showed that moringa seed oil is composed by unsaturated fatty acids such as oleic acid and dominated by saturated fatty acids such as stearic acid and palmitic acid. Key words
: Moringa seeds, oil, tokoferol, HPLC, C18 coloumn
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai macam nikmat, rahmat dan hidayah-Nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada sang revolusioner islam sejati baginda Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir nanti semoga kita senantiasa mendapatkan syafaat dari beliau. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna memperoleh gelas Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis α-Tokoferol (Vitamin E) Pada Minyak Biji Kelor (Moringa Oleifera Lam.) Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)”. Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada beberapa pihak yang sangat memberikan kontribusinya kepada penulis. Oleh karenanya penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, khususnya kepada : 1. Prof. Dr. H. Chairul, Apt sebagai Pembimbing I dan Puteri Amelia, M.Farm., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta memberikan ilmu terbaik yang mereka miliki dan dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Kementrian Agama RI selaku pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
5. Ibu/bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Ayahanda tercinta H. Nukhin, Spd pemimpin dan penasehat terbaik beserta Ibunda tercinta Dra. Hj. Sri Jauharoh bidadari yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, do’a dan nasihatnya yang tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis membalas semua itu. Adik-adik penulis, Ahmad Yusron dan Saidatul Husna yang selalu memberikan keceriaan yang mampu mengusir kepenatan penulis dalam menyusun skripsi ini. 7. Teman-teman CSS MORA 2009 (Community of Santri Scholar of Ministry Of Religious Affair), teman-teman Farmasi 2009 khususnya “EDTA-C” serta teman-teman “PIM LOVERS” terkhusus untuk sahabat-sahabat terbaik Dila, Dhea, Leli, Fina, Omi, Mila, Fitri, Walida, Fatimah, Lulu, Azizah, Ema, Neneng, Arif, Dyah, Ainul, Farichah, Nurul, Ferry, dan Zaky yang selalu menjadi keluarga kedua bagi penulis dan selalu memberikan keceriaan dalam masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini selesai. 8. Teman-teman UNIQUE IMMERSION terkhusus untuk Uswah Azizah. 9. Laboran yang telah membantu keseharian penulis selama penelitian di laboratorium LIPI, teh Ana dan teh Lina. Serta operator instrumen bu Indri dan bu Endah. 10. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan,
kekurangan
dan
masih
jauh
dari
kesempurnaan.
Penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki kemampuan penulis dalam pembuatan skripsi. Ciputat, 6 September 2013
Penulis ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKAKSI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai Syarif
sivitas
Hidayatullah
akademik Jakarta,
Universitas
saya
yang
Islam
bertanda
Negeri tangan
(UIN) dibawah
ini : Nama
: Nurul Fithriyah
NIM
: 109102000055
Program Studi : Farmasi Fakultas
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
: Skripsi
Demi
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
saya
menyetujui
skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul ANALISIS α-TOKOFEROL (VITAMIN E) PADA MINYAK BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam.) SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) Untuk
dipublikasikan
atau
ditampilkan
yaitu
digital
Library
(UIN)
Syarif
Hidayatullah
Perpustakaan Jakarta
di
internet
atau
Universitas untuk
media
Islam
kepentingan
lain
Negeri akademik
sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan
demikian
persetujuan
publikasi
Dibuat di
: Ciputat
karya
saya buat dengan sebenarnya.
Pada Tanggal : 6 September 2013 Yang menyatakan,
(Nurul Fithriyah)
x
ilmiah
ini
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ABSTRAK .................................................................................................................. ABSTRACT................................................................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... DAFTAR ISI ............................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. DAFTAR TABEL ...................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2.1 Kelor (Moringa oleifera Lam.) .................................................................. 2.1.1 Klasifikasi Tanaman...................................................................... 2.1.2 Nama Daerah ................................................................................. 2.1.3 Sinonim ......................................................................................... 2.1.4 Morfologi ...................................................................................... 2.1.5 Tempat Tumbuh dan Distribusi Tanaman .................................... 2.1.6 Kandungan Kimia ......................................................................... 2.1.8 Kegunaan/Khasiat ......................................................................... 2.2 Minyak dan Lemak ................................................................................... 2.2.1 Sumber Minyak dan Lemak ......................................................... 2.2.2 Komposisi minyak dan lemak ....................................................... 2.2.3 Proses Pengolahan Minyak dari Tanaman .................................... 2.3 Metode Ekstraksi ...................................................................................... 2.4 Tokoferol (Vitamin E) .............................................................................. 2.4.1 Tokoferol sebagai Antioksidan ..................................................... 2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ............................................................ 2.5.1 Keuntungan KCKT ....................................................................... 2.5.2 Cara Kerja KCKT ......................................................................... 2.5.3 Instrumentasi KCKT ..................................................................... 2.5.4 Analisa dalam KCKT .................................................................... 2.6 Identifikasi Kandungan Minyak ............................................................... 2.6.1 Gas Cromatography-Mass Spectrometry ......................................
xi
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv 1 1 4 4 4 5 5 5 5 5 6 6 7 8 9 9 10 11 13 14 15 16 17 18 18 21 22 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 3.3 Prosedur Kerja ......................................................................................... 3.3.1 Penyiapan simplisia ....................................................................... 3.3.2 Proses perolehan minyak............................................................... 3.3.3 Pembuatan larutan induk α-tokoferol ........................................... 3.3.4 Validasi metode analisa................................................................. 3.3.5 Analisis α-tokoferol pada minyak biji kelor dengan KCKT ........ 3.3.6 Analisis kandungan minyak biji kelor .......................................... BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 4.1 Hasil ........................................................................................................... 4.2 Pembahasan................................................................................................ BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 5.2 Saran .......................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
xii
24 24 24 25 25 25 26 27 28 29 30 30 39 45 45 45 46
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.) ................................................... Gambar 2. Struktur kimia trigliserida .......................................................................... Gambar 3. Struktur kimia tokoferol ............................................................................. Gambar 4. Diagram Alat dan Komponen KCKT ........................................................ Gambar 5. Rendemen minyak yang diperoleh berdasarkan variasi metode ................ Gambar 6. Kurva kalibrasi standar α-tokoferol ........................................................... Gambar 7. Kadar α-tokoferol yang diperoleh dari masing-masing metode ................ Gambar 8. Kromatogram sampel A ulangan 1 ............................................................ Gambar 9. Kromatogram sampel A ulangan 2 ............................................................ Gamabr 10. Kromatogram sampel B ulangan 1 .......................................................... Gambar 11. Kromatogram sampel B ulangan 2 .......................................................... Gambar 12. Kromatogram sampel C ulangan 1 .......................................................... Gambar 13. Kromatogram sampel C ulangan 2 .......................................................... Gambar 14. Kromatogram sampel D ulangan 1 .......................................................... Gambar 15. Kromatogram sampel D ulangan 2 .......................................................... Gambar 16. Kromatogram hasil GCMS sampel minyak hasil ekstraksi .....................
xiii
6 9 16 19 31 32 34 34 35 35 36 36 37 37 38 38
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1. Kandungan kimia tumbuhan yang diisolasi dari Moringa oleifera Lam. ...... Tabel 2. Asam lemak jenuh ......................................................................................... Tabel 3. Asam lemak tak jenuh .................................................................................. Tabel 4. Keterangan nama senyawa tokoferol berdasarkan R1 dan R2........................ Tabel 5. Hasil perolehan minyak ................................................................................. Tabel 6. Data uji linearitas ........................................................................................... Tabel 7. Data penentuan LOD dan LOQ ..................................................................... Tabel 8. Uji perolehan kembali ................................................................................... Tabel 9. Data kadar α-tokoferol dari sampel ............................................................... Tabel 10. Kandungan senyawa kimia sampel ..............................................................
xiv
7 10 10 16 30 31 32 33 33 39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman .................................................................... Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat Penelitian ......................................................... Lampiran 3. Alur Penelitian ........................................................................................ Lampiran 4. Perhitungan hasil rendemen minyak biji kelor........................................ Lampiran 5. Pembuatan deret larutan standar ............................................................. Lampiran 6. Cara Memperoleh Persamaan Garis Linear ............................................ Lampiran 7. Cara Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuntitasi.............................. Lampiran 8. Cara Perhitungan Uji Perolean Kembali ................................................. Lampiran 9. Cara Perhitungan Konsentrasi dan Kadar α-Tokoferol ........................... Lampiran 10. Kandungan Kimia Penyusun Minyak Lemak Hasil GCMS ................. Lampiran 11. Data hasil uji statistik ............................................................................ Lampiran 12. Kromatogram standar α-tokoferol ......................................................... Lampiran 13. Kromatogram sampel ............................................................................ Lampiran 14. Sertifikat Analisis Tokoferol .................................................................
xv
50 51 53 54 55 56 57 58 59 60 62 63 65 68
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Tanaman kelor atau Moringa oleifera Lam., merupakan tanaman yang
termasuk dalam familia Moringaceae. Tanaman ini merupakan tanaman yang kerap kali ditemukan dan dibudidayakan di berbagai negara seperti India, Filipina, Pakistan, Thailand dan Indonesia sendiri (Promkum et al., 2010). Bagian-bagian dari tanaman tersebut seperti daun, buah-buahan, bunga dan polong matang dari pohon ini sering digunakan sebagai sayur-sayuran di negara-negara tersebut. Selain itu bagian tanaman ini seperti bunga, daun muda dan polong/biji juga dikenal sebagai tanaman obat tradisional secara turun temurun (Budda et al., 2011). Studi sebelumnya telah mendokumentasikan adanya senyawa fenolik, flavonoid, saponin, terpenoid, proantosianidin dan glikosida jantung pada polong/biji dari M.oleifera (Sharma et al., 2012). Ekstrak hidro-alkohol biji/polong dari tanaman yang kerap di sapa kelor ini telah dilaporkan mampu meningkatkan metabolisme oleh enzim di hati dengan konsumsi oral (Promkum et al., 2010). Biji M.oleifera juga banyak digunakan untuk pengolahan limbah dan penjernihan air (Water purification) karena memiliki aktivitas antimikroba. Pada biji tersebut terkandung minyak yang secara komersial dikenal sebagai “Behen Oil”, konsentrasi minyak pun bervariasi tergantung pada metode ekstraksi yang digunakan. Minyak tersebut juga telah dilaporkan tahan terhadap ketengikan, hal tersebut dimungkinkan karena kandungan antioksidan pada minyak tersebut sehingga minyak tidak mudah teroksidasi dan berbau tengik (Anwar et al., 2006). Biji (polong) kelor mengandung +38% minyak yang mengandung vitamin E (0,01%) dan beta karoten (0,014%) (Bhoomika et al., 2007). Biji yang sudah tua mengandung karbohidrat, metionin, sistein, benzilglukosinolat, moringin, monopalmitat and di-oleat trigliserida. Vitamin E (tokoferol) merupakan salah satu komponen yang terkandung dalam biji buah kelor. Vitamin E merupakan suatu zat antioksidan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki peranan penting dalam menjaga
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
keseimbangan sel dari radikal bebas dan menghambat proses oksidasi. Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil dan sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan perubahan pada sel-sel tubuh yang memicu terjadinya proses penuaan dini dan penyakit degeneratif seperti kanker. Dengan kemampuannya sebagai zat antioksidan, vitamin E dapat mengurangi resiko penyebab berbagai macam penyakit, seperti jantung dan diabetes. Selain itu vitamin E juga dapat mengurangi resiko terjadinya pembekuan darah, mencairkan darah beku, mencegah penyumbatan pembuluh darah, menguatkan dinding pembuluh darah kapiler, meningkatkan pembentukan sel-sel darah merah, mengurangi kadar gula darah, memperbaiki kerja insulin serta meningkatkan kekuatan otot dan stamina (Winarsi, 2007). Sumber vitamin E dapat diperoleh secara alami maupun sintetis. Sumber vitamin E alami banyak terdapat pada minyak tumbuh-tumbuhan seperti minyak jagung, minyak kedelai, minyak kacang tanah dan juga biji-bijian lain. Selain banyak dihasilkan dari tanaman, juga dapat diperoleh dari ikan. Vitamin E tersusun dari dua senyawa yakni tokoferol dan tokoetrinol yang sama-sama memiliki aktivitas antioksidan. Tokoferol, terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran. Senyawa tersebut dilaporkan bekerja sebagai scanvenger radikal bebas oksigen, peroksida lipid dan oksigen singlet. Berdasarkan jumlah gugus metil pada inti aromatik, dikenal 4 tokoferol yaitu α, δ, , . Diantara keempat bentuk tokoferol tersebut, yang paling aktif adalah α-tokoferol. Oleh sebab itu, aktivitas vitamin E diukur sebagai α-tokoferol (Winarsi, 2007) Selain variasi metode perolehan minyak, tingkat kekeringan sampel juga akan menentukan jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan. Metode yang akan digunakan dalam perolehan minyak biji kelor ini menurut Ketaren, S (1986) menggunakan solvent extraction yakni maserasi dengan n-heksan dan juga kempa hidrolis dengan variasi suhu pengeringan pada sampel sebelum dikempa. Analisis vitamin E dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas (KG) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pada penelitian ini digunakan metode KCKT karena memiliki kelebihan yaitu: kolom KCKT dapat digunakan berulang kali, resolusi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
yang didapatkan jauh lebih tinggi daripada metode lain (KLT, spektrofotometer); teknik yang digunakan tidak terlalu tergantung pada kemampuan operator, waktu analisisnya cepat dan cara kerjanya relatif sederhana, selain itu KCKT juga dapat menganalisis senyawa yang tidak mudah menguap dan termolabil (Ekasari, 2008). Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan kadar senyawa obat baik dalam bentuk sediaan maupun dalam sampel hayati. Hal ini disebabkan karena KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas yang tinggi. Selain itu, KCKT memiliki banyak keuntungan antara lain: cepat, resolusinya baik, mudah pelaksanaannya, detektor yang sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, kolom dapat digunakan kembali, mudah memperoleh kembali cuplikan, ideal untuk molekul besar dan ion (Rohman, 2007). Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik menggunakan metode KCKT untuk menganalisis α-tokoferol dari ekstrak minyak biji kelor. Hasil tersebut diharapkan mampu menjadi dasar untuk penelitian lanjutan mengenai α-tokoferol pada minyak biji M.oleifera karena sifat α-tokoferol sendiri merupakan vitamin yang larut minyak/lemak sehingga bisa diketahui seberapa besar potensi biji kelor tersebut untuk menjadi sumber antioksidan alami baik untuk dikonsumsi maupun dikomersilkan. Selain itu, untuk mengetahui kualitas minyak yang dihasilkan dari biji kelor maka akan digunakan alat GCMS untuk mengetahui
komponen-komponen
asam
lemak
penyusun
trigliseridanya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi minyak tersebut untuk dikomersilkan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dibuat rumusan masalah sebagai
berikut: 1.
Apakah α-tokoferol yang terkandung pada minyak biji kelor dapat ditentukan kadarnya menggunakan KCKT ?
2.
Apakah proses perolehan minyak (ekstraksi dan kempa dengan variasi pemanasan biji pada suhu 40 oC, 80 oC dan 120 oC) berpengaruh terhadap kandungan α-tokoferol dari minyak biji kelor (M.oleifera) ?
3.
Bagaimanakah kualitas minyak biji kelor berdasarkan komposisi asam-asam lemak penyusun trigliseridanya ?
1.3
TUJUAN PENELITIAN Dari rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut : 1.
Mengidentifikasi keberadaan dan menetapkan kadar α-tokoferol pada minyak biji kelor menggunakan KCKT.
2.
Mengetahui ada dan tidaknya pengaruh proses perolehan minyak terhadap kandungan α-tokoferol didalamnya.
3.
Mengetahui kualitas minyak biji kelor yang berdasarkan komponen asamasam lemak penyusun trigliseridanya.
1.4
MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang vitamin E dalam bidang kesehatan serta referensi bagi penelitian selanjutnya.
2.
Memberikan informasi mengenai potensi biji buah M.oleifera sebagai sumber antioksidan penting berupa vitamin E.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
KELOR (Moringa oleifera Lam.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (USDA, 2013 ) Klasifikasi tanaman kelor adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Magnoliophyta (Angiospermae)
Class
: Magnoliopsida (Dicotyledonae)
Sub class
: Dilleniidae
Ordo
: Capparales
Familia
: Moringaceae
Genus
: Moringa
Species
: Moringa oleifera Lam
2.1.2 Nama Daerah (Local Name) Di Indonesia tanaman kelor memiliki banyak sebutan, diantaranya limaran, kelintang (Jawa); Murong (Sumatera); Wona marungga, kelohe, parangge, kewona (Nusa tenggara); rowe, kelo, wori (Sulawesi); Kanele, oewa herelo (Maluku). Sedangkan diluar negeri dikenal dengan nama drumstick tree, horseradish tree, Ben-oil tree, Clarifier tree, Moringa (Inggris); nugge (Kanada); la ken (Cina); mungna, saijna, shajna (Hindi); Chum ngay (Vietnam); Ma-rum (Thailand); Malunggay (Pilipina). (DepKes RI,1989 & Rollof A. et al.,2009) 2.1.3 Sinonim Anoma moringa (L.) Lour., Guilandina moringa L., Hyperanthera moringa (L.) Vahl, Hyperanthera pterygosperma Oken, Moringa edulis Medic., Moringa erecta Salisb., Moringa moringa (L.) Small, Moringa myrepsica Thell., Moringa nux-eben Desf., Moringa octogona Stokes, Moringa oleifera Lour., Moringa parviflora Noronha, Moringa polygona DC., Moringa pterygosperma Gaertn., Moringa zeylanica Pers. (Navie dan steve, 2010) 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
2.1.4 Morfologi Kelor (M.oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon dengan tinggi 7-12 m. Batang berkayu (lignosus) dengan diameter 10-45 cm, tegak, berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate), beranak daun gasal, helai daun saat muda berwarna hijau muda – setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1-2 cm, lebar 1-2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (optusus), tepi rata, susunan pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus. Bunga muncul di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak krem, menebar aroma khas. Buah kelor berbentuk panjang bersegi tiga, panjang 20-60 cm, buah muda berwarna hijau – setelah tua menjadi cokelat, bentuk biji bulat – berwarna cokelat kehitaman, berbuah setelah berumur 12-18 bulan. Akar tunggang, berwarna putih, membesar seperti lobak. Perbanyakan bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. (a) pohon, (b) buah, (c) biji/polong sebelum dikupas, (d) biji/polong setelah dikupas. (Sumber : Navie dan steve, 2010)
2.1.5 Tempat Tumbuh dan Distribusi Tanaman Tanaman ini tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian + 1000 m dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar di halaman rumah atau ladang. Spesies ini di budidayakan secara luas sejak dahulu di Roma, Yunani kuno dan Mesir dan saat ini meluas di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia karena mempunyai toleransi rentang iklim yang luas. Tanaman ini juga sangat banyak ditemukan di seluruh bagian dari negeri india dan pegunungan Himalaya. (Qaiser 1973; Navie dan steve, 2010) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
2.1.6 Kandungan Kimia Daun kelor kaya asam askorbat, asam amino, sterol, glukosida isoquarsetin, karoten, ramentin, kaemperol dan kaemferitin. Hasil analisis lain juga melaporkan adanya kandungan senyawa-senyawa berikut: 75,0 mg/pelembab (moisture), 6,7 mg protein, 1,7 mg lemak (ekstrak eter.), 13,4 mg karbohidrat, 0,9 mg serat dan 2,3% bahan mineral: 440 mg kalsium, 70 mg fosfor, dan besi 7,0 mg/100 g daun. Daunnya juga mengandung 11.300 IU karoten (prekursor vitamin A), vitamin B, 220 mg vitamin C dan 7,4 mg tokoferol /100g daun. Juga mengandung substansi estrogenik dan esterase pektin. (Singh G.P et al.,2012) Tabel 1. Kandungan kimia tumbuhan yang diisolasi dari Moringa oleifera Lam. Bagian
Kandungan Kimia
Akar
4-(α-L-rhamnopiranoksiloksi)-benzilglukosinolat dan benzilglukosinolat
Batang
4-hidroksimellein, vanillin, -sitosteron, asam oktacosanik dan -sitosterol
Kulit kayu
4-(α-L-rhamnopiranosiloksi)-benzilglukosinolat
Eksudat gum
L-arabinosa, D-galaktosa,asam D-glukuronat, L-rhamnosa, Dmannosa, D-xylosa dan leukoantosianin
Daun
Glikosida niazirin, niazirinin dan three mustard oil glycosides, 4-[4’-O-asetil- α -L-rhamnosiloksi) benzil] isothiosianat, niaziminin A dan B
Bunga yang matang
D-mannosa, D-glukosa, protein, asam askorbat, polisakarida
Keseluruhan biji
Nitril, isotiosianat, tiokarbanat, 0-[β’-hidroksi-γ’-(β’’hepteniloksi)]-propilundekanoat, 0-etil-4-[( α -1-ramnosiloksi)benzil] karbamat, metil-p-hidroksibenzoat dan -sitosterol
Biji yang tua
Crude protein, Crude fat, karbohidrat, metionin, sistein, 4-(α-Lramnopiranosiloksi)-benzilglukosinolat, benzilglukosinolat, moringin, mono-palmitat and di-oleic trigliserida
Minyak biji
Vitamin A, beta karoten, prekursor Vitamin A
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
2.1.7 Kegunaan/Khasiat Moringa oleifera Lam telah digunakan untuk berbagai tujuan seperti kuliner dan pengobatan, dan mendapat julukan sebagai ‘pohon ajaib’. Tumbuh di berbagai belahan dunia dan dimanfaatkan sebagai sayur-sayuran dan makanan. Daun dan polongnya memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dengan berbagai macam vitamin dan mineral. Daun dapat dimakan dengan dimasak maupun dikeringkan, sedangkan buahnya memiliki rasa yang mirip seperti asparagus bisa di rebus atau di goreng. Akarnya memiliki rasa pedas dan digunakan sebagai pengganti lobak, namun kulit akar harus dikerok karena mengandung dua alkaloid dan moringinine yang bersifat toksin. Beberapa bagian dari tanaman ini juga digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan keluhan telinga, mata dan bronkial, infeksi kulit, demam, radang perut, diare, sifilis dan gangguan syaraf. Misalnya, jus dari daun dipercaya mampu menstabilkan tekanan darah, bunga-bunga digunakan untuk mengobati radang, polong digunakan untuk nyeri sendi, dan akar digunakan untuk mengobati rematik. Tanaman ini memiliki khasiat antibiotik dan juga mampu menjadi pencegah kanker. Buah dan daun telah digunakan untuk mengatasi malnutrisi, terutama di kalangan bayi dan ibu menyusui untuk meningkatkan produksi susu dan juga mengatur ketidakseimbangan hormon tiroid. (Luqman S. et al.,2012). Kandungan kimia dari berbagai bagian pohon seperti: niazimicin, niaiminin, berbagai karbamat dan tiokarbamat telah menunjukkan aktivitas antitumor in vitro. Biji dapat digunakan sebagai biosorben untuk menghilangkan kadmium dari medium cair dan merupakan salah satu koagulan alami yang paling terkenal dari semua yang ditemukan sejauh ini. Biji tersebut juga dianggap sebagai antipiretik, dan dilaporkan menunjukkan aktivitas antimikroba (Luqman S. et al.,2012). Selain itu biji tersebut juga mengandung 35-40% minyak yang kualitasnya mirip dengan minyak zaitun yang tidak mudah tengik. (Navie dan steve, 2010) Studi farmakologi yang dilakukan oleh Bhoomika et al, 2007 juga menyatakan bahwa tanaman ini mempunyai beberapa efek farmakologi seperti anti-inlamatory dari ekstrak etanol biji, efek antioksidan pada biji dan daun, antimikroba pada biji, antihiperlipidemia pada daun, dan antifertilitas pada akar.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
2.2
MINYAK DAN LEMAK (Ketaren, S. 1986) Minyak dan lemak merupakan suatu ester dari gliserol dan asam lemak
dengan stuktur seperti dibawah ini : CH2 – O – C = O R1 CH – O – C = O R2 CH2 – O – C = O R3 Gambar 2. Struktur kimia trigliserida Dimana R1, R2 dan R3 adalah rantai alkil dari asam-asam lemak.
2.2.1 Sumber Minyak dan Lemak (Ketaren, S. 1986) Di alam, minyak atau lemak umumnya terdapat pada binatang dan tumbuhan. Berbagai bahan pangan seperti daging, ikan, telur, susu, buah-buahan dan lain-lain mengandung minyak atau lemak yang umumnya dikonsumsi oleh manusia sehari-hari. Minyak atau lemak tersebut dikenal sebagai minyak atau lemak tersembunyi (invisible fat), sedangkan minyak atau lemak yang telah diekstrak dari bahan-bahan tersebut dan telah dimurnikan dikenal sebagai minyak atau lemak kasat mata (visible fat). Berdasarkan sumbernya, minyak dan lemak digolongkan sebagai berikut: 1.
Sumber dari tanaman (minyak nabati) a. Biji-bijian palawija, misalnya jagung, kapas, kedelai, dan lainnya. b. Kulit buah tanaman tahunan, misalnya kelapa sawit, dan lainnya. c. Biji-bijian dari tanaman tahunan, misalnya kelapa, cokelat, dan lainnnya.
2.
Sumber dari hewan (minyak atau lemak hewani) a. Susu hewan mamalia, misalnya sapi, kambing, dan lainnya. b. Daging hewan ternak, misalnya lemak sapi, babi, dan lainnya. c. Hasil laut, misalnya minyak ikan, minyak udang, dan lainnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
2.2.2. Komposisi minyak dan lemak Minyak dan lemak adalah suatu trigliserida yang tersusun dari gliserol dan asam-asam lemak. Komposisi asam lemak sangat mempengaruhi kualitas minyak/minyak yang didapat. Asam lemak penyusun trigliserida berupa campuran dari berbagai macam asam lemak. (Ketaren, S. 1986) Asam-asam lemak yang terdapat pada minyak atau
lemak umumnya
adalah: Tabel 2. Asam lemak jenuh Nama sistematik
Nama trivial
Rumus molekul
Asam butanoat
Asam butirat
C3H7COOH
Asam heksanoat
Asam kaproat
C5H11COOH
Asam oktanoat
Asam kaprilat
C7H15COOH
Asam dekanoat
Asam kapart
C9H19COOH
Asam dodekanoat
Asam laurat
C11H23COOH
Asam tetradekanoat
Asam miristat
C13H27COOH
Asam heksadekanoat
Asam palmitat
C15H31COOH
Asam oktadekanoat
Asam stearat
C17H35COOH
Asam ikosanoat
Asam arakidat
C19H39COOH
Asam dokosanoat
Asam behenat
C21H43COOH
Asam tetrakosanoat
Asam leignoserat
C23H47COOH
Tabel 3. Asam lemak tak jenuh Nama sistematik
Nama trivial
Rumus molekul
Asam tetrakedatoat-9-ena
Asam miristoleat
C13H27COOH, Δ9cis
Asam heksadekoat-9-ena
Asam palmitoleat
C15H29COOH, Δ9cis
Asam oktadekoat-9-ena
Asam oleat
C17H33COOH, Δ9cis
Asam oktadekoat-9, 12-diena
Asam linoleat
C17H31COOH,Δ9,Δ1βcis,cis
Asam oktadekoat-9, 12, 15-
Asam linolenat
C17H25COOH,Δ9,
triena Asam ikosanoat 6,9,12,15tetraena
Δ1β, Δ15
all cis Asam arakhidonat C19H31COOH, Δ14
Δ9, Δ8, Δ11,
all cis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.2.3 Proses Pengolahan Minyak dari tanaman Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pengambilan minyak dari lemak dari jaringan mahluk hidup atau tumbuh-tumbuhan dapat dilakukan dengan cara rendering, pengepresan secara mekanis dan ekstraksi pelarut (Ketaren 1986).
2.2.3.1 Rendering (Ketaren, S. 1986) Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang di duga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk menggumpalkan protein pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya. Menurut pengerjaannya rendering dibagi dalam dua cara yaitu : 1) wet rendering dan 2) dry rendering. 1.
Wet Rendering Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air
selama berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan pada ketel yang terbuka atau tertutup dengan menggunakan temperatur yang tinggi serta tekanan 3-4 atmosfir. Penggunaan temperatur rendah dalam proses wet rendering dilakukan jika diinginkan flavor netral dari minyak atau lemak. Bahan yang akan di ekstraksi ditempatkan pada ketel yang diperlengkapi dengan alat pengaduk, kemudian air ditambahkan dan campuran tersebut dipanaskan perlahan-lahan sampai suhu 50 0C sambil diaduk. Minyak yang terekstraksi akan naik keatas dan kemudian dipisahkan. 2.
Dry Rendering Dry Rendering adalah cara rendering tanpa penambahan air selama proses
berlangsung. Dry rendering dilakukan dalam ketel yang terbuka dan diperlengkapi dengan steam jacket serta alat pengaduk (agitator). Bahan yang diperkirakan mengandung minyak atau lemak dimasukkan kedalam ketel tanpa penambahan air. Bahan tadi dipanasi sambil diaduk. Pemanasan dilakukan pada suhu 220 0F sampai 230 0F (105 0C-110 0C). Ampas bahan yang telah diambil minyaknya akan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
diendapkan pada dasar ketel. Minyak atau lemak yang dihasilkan dipisahkan dari ampas yang telah mengendap dan pengambilan minyak dilakukan dari bagian atas ketel.
2.2.3.2 Pengepresan Mekanis (Mechanical Expression) (Ketaren, S. 1986) Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30-70 persen). Pada pengepresan mekanis ini diperlukan perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan. Dua cara yang umum dalam pengepresan mekanis, yaitu : 1.
Pengepresan Hidraulik (Hydraulic Pressing) Pada cara hydraulic pressing, bahan dipres dengan tekanan sekitar 2000
pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. 2.
Pengepresan Berulir (Expeller Pressing) Cara expeller pressing memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari
proses pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada temperatur 240 0F (115,5 0C) dengan tekanan sekitar 15-20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar sekitar 2,5-3,5 persen, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak sekitar 4-5 persen.
2.2.3.3 Ekstraksi Dengan Pelarut (Solvent Extracion) (Ketaren, S. 1986) Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang rendah yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah, dan mutu minyak kasar yang dihasilkan cenderung menyerupai hasil dengan cara expeller pressing, karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Pelarut minyak atau lemak yang biasa dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasoline karbon disulfida, karbon tetraklorida, benzene dan n-heksan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
2.3
METODE EKSTRAKSI (Ketut Ristiasa et al., 2000)
a.
Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian sederhana. Maserasi dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel atau masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel. Larutan yang lebih pekat (di dalam sel) didesak keluar sel, masuk ke dalam larutan di luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. b.
Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, kemudian melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. c.
Soklet Sokletasi merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
umumnya dilakukan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. d.
Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 0C.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2.4 TOKOFEROL (VITAMIN E) Rumus kimia Pemerian
: C29H50O2 : Praktis tidak berbau dan tidak berasa. Bentuk alfa tokoferol dan alfa tokoferol asetat berupa minyak kental jernih, warna kuning atau kuning kehijauan. Golongan alfa tokoferol tidak stabil terhadap udara dan cahaya terutama dalam suasana alkalis. Bentuk ester stabil terhadap udara dan cahaya, tetapi tidak stabil dalam suasana alkalis.
Sinonim
: 3, 4-dihydro-2, 5, 7, 8-tetramethyl-2-(4,8,12-trimethylterdecyl)-2H-1-benzopiran-6-ol; 2,5,7,8 tetramethyl2- (4’, 8’, 1β’–trimethyldecyl) -6-chromanol; αtochoferol; 5,7,8-trimethyltocol; vitamin antisterilitas; Eprolin S; Epsilan; Ephynal; Syntopherol; E-vimin; Evipherol;
Etavil;
Phytogermine;
Profecundin;
Tocopharm; Viprimol; Viteolin; Esorb; Vascuals; Covitol; Evion. Kelarutan
: tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dapat bercampur dengan eter, dengan aseton, dengan minyak nabati dan dengan kloroform.
Kegunaan/khasiat
: sebagai antioksidan di dalam minyak sayur dan lemak/minyak, untuk pengobatan defisiensi vitamin E, dan mencegah degenerasi otot. (Soesilo, 1995)
Vitamin E adalah salah satu fitonutrien penting dalam minyak makan. Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol α, , , δ dan 4 tokotrienol α, , , δ homolog. Suplemen vitamin E yang ada di pasaran umumnya tersusun atas tokoferol dan tokotrienol yang diyakini merupakan atioksidan potensial (Winarsi, 2007). Alfa-tokoferol adalah bentuk vitamin E paling aktif, yang digunakan pula sebagai standar pengukuran vitamin E dalam makanan. Bentuk sintetik vitamin E mempunyai aktivitas biologik 50% daripada alfa-tokoferol yang terdapat di alam (Almatsier, 2004).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
R1 HO 5
4 3
6 7
H3C
H
H3C
H
CH3
2 8
R2
1
O
CH3 CH3
CH3
Gambar 3. Struktur kimia tokoferol
R1
R2
Compound
CH3
CH3
α
CH3
H
H
CH3
H
H
δ
Tabel 4. Keterangan nama senyawa berdasarkan R1 dan R2 (sumber : Ruperez et al., 2001)
Menurut Almatsier (2004) ada empat jenis tokoferol yang penting dalam makanan yaitu α, , , δ tokoferol. Karakteristik kimia utamanya adalah bertindak sebagai antioksidan dengan adanya gugus fenol pada cincin 6-kromanol. Tokoferol terdiri atas struktur cincin 6-kromanol dengan rantai samping jenuh panjang enam belas karbon fitol. Perbedaan antarjenis tokoferol terletak pada jumlah dan posisi gugus metal struktur cincin. Takaran yang dianjurkan untuk konsumsi vitamin E adalah; anak-anak: 4-7 mg/hari, wanita dewasa: 15 mg/hari, pria dewasa : 15 mg/hari. Tolerable Upper Intake Levels (ULs) atau angka tertinggi dari nilai zat gizi yang bila dikonsumsi tiap hari tidak membahayakan kesehatan untuk dewasa >19 tahun menurut food and nutrition Board and Institute of medicine (IOM) (2000) adalah 1000 mg/hari, yang di dapatkan dari suplemen.
2.4.1 Tokoferol sebagai Antioksidan Vitamin E adalah vitamin larut lemak yang sangat berguna selain sebagai antioksidan. Yang terpenting dan paling diakui, peran dari vitamin E yaitu melindungi
polyunsaturated fatty acids (PUFAs) seperti asam oleat, asam
linoleat, asam linolenat dan asam arakhidonat. Selain itu, vitamin E di dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
tubuh sebagai antioksidan alami yang membuang radikal bebas dan molekul oksigen, yang penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh (Burke, 2007). Tokoferol, terutama α-tokoferol merupakan antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran. Senyawa tersebut dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen, peroksida lipid, dan oksigen singlet (Winarsi, 2007). Menurut Archerio et al. (199β) α-tokoferol merupakan bentuk suplemen vitamin E yang paling banyak. Vitamin E atau α-tokoferol merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Sebagai antioksidan vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang mampu merubah radikal peroksil (hasil peroksida lipid), menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak (Winarsi, 2007). Di samping itu menurut Salonen et al. (1997), vitamin E dan vitamin C dan karoten atau kombinasinya dapat menghambat peroksida lipid secara in vivo. Mekanisme antioksidan tokoferol, termasuk transfer satu atom hidrogen dari grup 6-hidroksil pada cincin kroman, serta inaktivasi singlet oksigen dan spesies reaktif lainnya. Rantai fitil tokoferol terikat pada membran sel bilayer, sedangkan cincin kroman yang aktif terletak pada permukaan sel. Struktur yang unik tersebut menyebabkan tokoferol dapat bekerja secara efektif sebagai antioksidan, dan dapat diregenerasi melalui reaksi dengan antioksidan lain seperti asam askorbat.
2.5 KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Soesilo, 1995). Kegunaan umum KCKT adalah untuk organik,
anorganik,
maupun
senyawa
pemisahan sejumlah senyawa
biologis,
analisis
ketidakmurnian
(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan proteinprotein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain. Metode dalam kromatografi cair dibagi atas dua macam : a.
Kromatografi Cair Retensif Pemisahan dicapai melalui interaksi antara zat terlarut dengan fase diam. Tipe ini mencakup fase normal, fase terbalik dan kromatografi ion.
b.
Kromatografi Cair Non-retensi Pemisahan yang dicapai tergantung pada perbedaan besar molekul zat terlarut dimana terjadi antara zat terlarut dengan pori-pori yang terdapat di permukaan fase diam.
2.5.1 Keuntungan KCKT a.
Waktu analisa cepat Waktu yang diperlukan biasanya kurang dari satu jam, seringkali hanya 1530 menit, untuk analisa yang mudah diperlukan waktu kurang dari 5 menit.
b.
Daya pisahnya baik
c.
Peka Kepekaanya sangat tergantung pada jenis detektor dan eluen yang digunakan
d.
Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi
e.
Kolom dapat dipakai kembali
f.
Mudah untuk molekul besar dan kecil
g.
Mudah untuk memperoleh kembali cuplikan, tidak seperti kebanyakan detektor pada kromatografi gas, detektor KCKT tidak merusak komponen zat yang dianalisis, sehingga zat yang telah dielusi dapat dikumpulkan dengan mudah setelah melewati detektor.
h.
Dapat menghitung sampel dengan kadar yang sangat rendah, hal ini sangat bergantung kepada detektor yang digunakan, namun detektor KCKT dapat mendeteksi zat sampai dengan kadar ppt.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.5.2 Cara Kerja KCKT Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007). Prinsip kerja KCKT adalah sebagai berikut: dengan bantuan pompa fasa gerak cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran. Karena perbedaan kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut yang kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu. Sebaliknya, solut-solut yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka solut-solut tersebut akan keluar kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram, jumlah peak menyatakan konsentrasi komponen dalam campuran. Komputer dapat digunakan untuk mengontrol kerja sistem HPLC dan mengumpulkan serta mengolah data hasil pengukuran HPLC.
2.5.3 Instrumentasi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak (pompa), alat untuk memasukkan sampel (injektor), kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau perekam. (Jhonson, 1991; Gandjar, 2007)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Gambar 4. Diagram Alat dan Komponen KCKT (Sumber : Harmita, 2006) 1.
Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung wadah harus lebih besar dari 500 mL, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 mL/menit.
2.
Pompa Untuk mengerakkan/mengalirkan fase gerak
(eluen) melalui kolom
diperlukan pompa. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 psi pada kecepatan alir 0,1–10 mL/menit. Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume
konstan dan pompa
tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. 3.
Injektor Injektor berfungsi untuk memasukkan cuplikan (sampel) ke dalam kolom. Suatu injektor dikatakan ideal bila memenuhi kriteria : mudah digunakan, reprodusibel, dapat menahan tekanan balik yang tinggi.
4.
Kolom Kolom berfungsi untuk memisahkan masing-masing komponen. Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih kolom adalah panjang kolom, diameter kolom, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
pengisi kolom, fase gerak dan tekanan kolom. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok : a. Kolom analitik: diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis kemasan. Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50100 cm. Untuk kemasan mikropartikel berpori, umumnya 10-30 cm. b. Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25-100 cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. 5.
Detektor Detektor berfungsi untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom dan mengukur jumlahnya. Bagian ini diletakkan sesudah kolom dan dihubungkan dengan pencatat. Detektordetektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Jenis detektor yang dapat digunakan antara lain, detektor spektrofotometri
ultraviolet-visibel,
detektor
photodiobe-array
(PDA),
detektor fluoresensi, detektor indeks kimia dan detektor elektrokimia. 6.
Integrator/Pengolah Data Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder, dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh analis. Integrator berfungsi untuk menghitung luas puncak. (Gandjar, 2007; Jhonson, 1991)
7.
Fase Gerak Dalam KCKT variasi fase gerak sangat beragam dalam hal kepolaran dan selektivitasnya terhadap komponen dalam sampel. Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson & Stevenson, 1991). Elusi dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap sama selama elusi) atau dengan cara gradien (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi). Elusi gradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks (sampel dengan kisaran polaritas yang luas). Terdapat dua pemisahan dalam KCKT yaitu fase normal dan fase terbalik, berdasarkan polaritas fase gerak dan fase diam yang digunakan. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Secara umum eluen yang baik harus mempunyai sifat murni, tidak bereaksi dengan kolom, dapat melarutkan cuplikan, selektif terhadap komponen, viskositasnya rendah, harganya relatif murah, dan dapat memisahkan zat dengan baik. (Gandjar, 2007; Wellings, 2006).
2.5.4 Analisa dalam Kromatografi Cair KinerjaTinggi (Harmita, 2006) Analisa KCKT dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif 2.5.4.1 Analisa Kualitatif Cara yang terbaik adalah dengan menggunakan metode waktu relatif : Rist = Keterangan : tRi = waktu retensi komponen zat tRst = waktu retensi standar 2.5.4.2 Analisa Kuantitatif Tahapan analisis kuantitatif adalah sebagai berikut : a.
Membuat spektrum serapan komponen-komponen yang ada dalam sampel,
b.
Mencari panjang gelombang optimum untuk campuran komponen zat dalam sampel,
c.
Mencari fase gerak yang sesuai agar komponen-komponen tersebut memisah (R> 1,5)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Dasar perhitungan kuantitatif untuk suatu komponen yang dianalisis adalah dengan mengukur luas atau tinggi puncaknya. (Harmita, 2006). Ada beberapa metode yang dapat digunakan : a.
Baku luar (dengan kurva kalibrasi dan perbandingan luas puncak) Larutan baku dengan berbagai konsentrasi disuntikkan dan diukur luas
puncaknya, buat kurva kalibrasi antara luas puncak terhadap konsentrasi, kadar sampel diperoleh dengan cara memplot luas puncak terhadap konsentrasi. Kadar sampel diperoleh dengan cara memplot luas puncak sampel pada kurva kalibrasi baku atau dengan perbandingan langsung. CS =
x Cst
Keterangan : Cs : konsentrasi sampel Cst : konsentrasi standar As : luas puncak sampel Ast : luas puncak standar Kekurangan metode ini adalah diperlukan baku yang murni serta ketelitian dalam pengenceran dan penimbangan. b.
Baku dalam Sejumlah baku dalam ditambahkan pada sampel dan standar. Kemudian
larutan campuran komponen standar dan baku dalam dengan konsentrai tertentu disunikkan dan di hitung perbandingan luas puncak ke dua zat tersebut. Buat kurva baku antara perbandingan luas puncak terhadap konsentrasi komponen standar, kadar sampel diperoleh dengan memplot perbandingan luas puncak komponen sampel dengan baku dalam pada kurva standar, keuntungan menggunakan cara ini adalah kesalahan volume injeksi dieliminer, kesulitan cara ini adalah diperlukan baku dalam yang tepat.
2.6
IDENTIFIKASI KANDUNGAN MINYAK
2.8.1 Gas Chromatography-Mass Spectrometry Kromatografi gas-spektrometri massa atau sering disebut GC-MS (Gas Chromatography-Mass
Spectrometry)
adalah
teknik
analisis
yang
menggabungkan dua metode analisis, yaitu Kromatografi Gas dan Spektrometri Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ionion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa (Khopkar, 1990). Spektrometri massa merupakan sebuah detektor umum untuk kromatografi gas, karena setiap senyawa yang dapat melewati kromatografi gas diubah menjadi ion dalam spektrometri massa. Tujuan dari menggabungkan kedua instrument ini yaitu agar pengoperasian kromatografi gas dan spektrometri massa dapat lebih baik lagi tanpa menurunkan kinerja keduanya (Willard et al.,1988). Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada didalam kolom sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium ataupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul didalam kolom. Selanjutnya hasil pemisahan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor (Hermanto, 2009). Instrumen GC-MS terbagi menjadi bagianbagian penting pada instrument Gas Chromatography dan bagian-bagian penting pada instrument Mass Spectrometry. Bagian-bagian pada instrument pada Gas Chromatography terdiri dari: -
Pengatur aliran gas (Gas Flow Controller)
-
Tempat injeksi sampel (Injector)
-
Tempat terjadinya pemisahan (Kolom)
-
Penghubung antara Gas Chromatography dan Mass Spectrometry (Interface)
Sedangkan bagian-bagian dari Mass Spectrometry terdiri dari: -
Tempat masuk sampel (Interface)
-
Sumber Ion (Ion source)
-
Pompa vakum (Vacuum pump)
-
Penganalisis massa (Mass analyzer)
-
Detektor (Electron multiple detector)
-
Sistem pengolah data (Personal computer)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Juni 2013 di Laboratorium Produk Alam, Bidang Botani dan Mikrobiologi - Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berada di jalan Raya Jakarta – Bogor Km 46, Cibinong; dan di laboratorium Instrumen, Balai Besar Industri Agro yang berada di Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122; serta di Laboraturium Forensik Lantai 3 Markas Besar POLRI Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
3.2 BAHAN DAN ALAT 3.2.1 Bahan Uji Bahan uji yang digunakan adalah biji kelor (Moringa oleifera Lam) yang sudah masak +1,7 kg dengan spesifikasi kulit warna coklat kehitaman dan isi berwarna putih kotor dengan bau tidak spesifik dan rasa sepah yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Bahan sebelumnya telah dilakukan determinasi dan authentication specimen di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat.
3.2.2 Bahan Kimia Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah n-heksan, Na2SO4 anhidrat, standar α-Tokoferol (> 96%) grade HPLC (Sigma), etanol pro analis (Merck), Tetrahydrofuran (THF) pro analis (Merck), metanol grade HPLC (J.T. Baker).
3.2.3 Alat Timbangan bahan dan timbangan analitik; grinder; rotary evaporator (Eyela N-1000); oven; seperangkat alat kempa hidrolis (manual); seperangkat instrument HPLC (Perkin Elmer series 200) yang dilengkapi dengan pompa, kolom LiChosper® C18 (25 cm x 5 µm), degasser, detektor spektrofotometer UV/VIS,
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
pemroses data dan interfase; seperangkat instrumen GCMS (Agilent Technologies 6890 N); labu Erlenmeyer; corong; botol vial; pipet tetes; beaker gelas; dan alatalat gelas lainnya.
3.3 PROSEDUR KERJA Prosedur kerja yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi : 3.3.1 Penyiapan simplisia 3.3.2 Proses perolehan minyak 3.3.3 Pembuatan larutan induk dan deret standar α-tokoferol 3.3.4 Validasi Metode Analisa α-Tokoferol 3.3.5 Analisis α-tokoferol pada minyak biji kelor dengan KCKT 3.3.6 Analisis kandungan minyak biji kelor dengan GCMS
3.3.1 Penyiapan Simplisia Penyiapan simplisia biji kelor dilakukan dengan : 1.
Buah yang sudah masak dikupas dan dikeluarkan biji-bijinya
2.
Kemudian biji dikeringkan dengan udara (kering angin)
3.
Kemudian kulit biji dikupas/dibuang kulit arinya
3.3.2 Proses perolehan Minyak 3.3.2.1 Ekstraksi dengan pelarut 1.
Ditimbang sebanyak 500 gram biji kelor yang telah dikupas kemudian di giling menggunakan alat grinder
2.
Sampel yang sudah halus dibagi menjadi 3 untuk pengerjaan secara triplo, masing-masing 130 g sampel halus dimaserasi dengan pelarut n-heksan sebanyak 170 mL untuk menarik kandungan minyak dari dalam sampel, maserasi dilakukan berulang (kontinyu) sampai n-heksan rendaman yang dipisahkan dari sampel jernih/tidak berwarna (kandungan minyak dalam sampel sudah habis/hampir habis).
3.
Selanjutnya ditambahkan Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan sisa air yang ikut tersari dari dalam sampel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
4.
Ekstrak n-heksan hasil maserasi kemudian di uapkan dengan Rotary vacum Evaporator suhu < 40 0C hingga di dapatkan minyak kental dan sudah tidak ada aroma n-heksan.
5.
Minyak yang diperoleh kemudian dihitung rendemen minyaknya, rendemen minyak didapat berdasarkan berat minyak lemak yang diperoleh perberat sampel x 100%.
6.
Minyak kental yang dihasilkan siap untuk di identifikasi kandungan α-tokoferolnya menggunakan alat KCKT.
3.3.2.2 Pengepresan Mekanis 1.
Sampel biji kelor ditimbang sebanyak 130 g untuk di keringkan di oven dengan variasi suhu 40 oC, 80 oC dan 120 oC. Pengeringan dilakukan selama 2 jam dan masing-masing suhu dilakukan secara triplo. Tujuan pemanasan ini adalah untuk menghilangkan sisa air dalam sampel biji kelor dan juga untuk memecahkan sel-sel sehingga memudahkan pengeluaran minyak pada saat dilakukan pengempaan. (Ketaren, S, 1986)
2.
Masing-masing sampel yang sudah dioven ditimbang kembali dan dibandingkan dengan berat awal untuk mengetahui kadar air yang hilang berdasarkan pengaruh masing-masing suhu.
3.
Masing-masing sampel di kempa menggunakan alat kempa hidrolis manual dan minyaknya ditampung lalu ditimbang dan dihitung rendemen minyak yang dihasilkan dari masing-masing suhu. % Rendemen ekstrak
4.
x 100%
Minyak yang diperoleh dari pengempaan kemudian diuji kadar α-tokoferolnya menggunakan alat KCKT.
3.3.3 Pembuatan larutan induk dan deret standar α-tokoferol α-Tokoferol ditimbang seksama 25 mg lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan dilarutkan dengan etanol sampai tanda batas, dikocok hingga homogen. Diperoleh konsentrasi larutan induk standar α-tokoferol (larutan A) sebesar 0,5 mg/mL (500 µg/mL = 500 ppm). Kemudian dilakukan pengenceran larutan induk menjadi 10 µg/mL (larutan B) dengan mengambil 0,5 mL larutan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
standar 500 µg/mL lalu dimasukkan kedalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dengan etanol:THF (1:1) sampai tanda batas. Dari larutan standar 10 ppm (larutan B) dilakukan pengenceran (pembuatan deret standar) dengan konsentrasi 0,5; 1; 2; 5 dan 10 µg/mL. 3.3.4 Validasi Metode Analisa α-Tokoferol dalam ekstrak (Harmita, 2006) a.
Uji linieritas dan pembuatan kurva kalibrasi Seri larutan standar α-tokoferol dengan konsentrasi 0,5-10 µg/mL masingmasing disuntikkan sebanyak 20 µL ke dalam instrumen KCKT pada kondisi (fase gerak dan kecepatan alir) terpilih. Dari data pengukuran dibuat kurva kalibrasi dengan menggunakan persamaan garis regresi linear (y=a+bx). Linieritas dari kurva kalibrasi dilihat dengan menghitung koefisien korelasi (r) dari persamaan garis linier.
b.
Uji batas deteksi (LOD) dan batas kuantifikasi (LOQ) LOQ dihitung melalui persamaan garis regresi linier dari kurva kalibrasi, dengan rumus :
Sedangkan nilai batas deteksi (LOD) diperoleh dengan rumus :
Dimana (Sy/x) adalah simpangan baku residual, b adalah slope dari persamaan regresi.
c.
Uji perolehan kembali Sampel berupa minyak dari biji buah kelor ditimbang seksama sebanyak 0,25 g dan dilarutkan dengan etanol 10 mL, ditambahkan larutan induk dari standar (spike) sebanyak 0,5 mL lalu dicukupkan volumenya hingga 25 mL menggunakan etanol:THF (1:1). Masukkan ke dalam vial kemudian injeksikan sebanyak 20,0 µL ke alat KCKT dan dicatat luas puncaknya. Dan dihitung persen perolehan kembali (recovery) dengan rumus :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
% recovery = a
x 100%
= kadar terukur sampel yang ditambahkan spike
b = kadar rata-rata sampel yang tidak ditambahkan spike c
= penambahan spike
3.3.5 Analisis α-Tokoferol pada minyak biji kelor dengan KCKT Sampel berupa minyak dari biji buah kelor ditimbang seksama sebanyak 0,25 g dan dilarutkan dengan etanol 10 mL, lalu dicukupkan volumenya hingga 25 mL menggunakan etanol:THF (1:1). Sampel dimasukkan ke dalam vial kemudian injeksikan sebanyak 20,0 µL ke alat KCKT dan dicatat luas puncaknya. Percobaan diulang sebanyak dua kali. Berikut ini spesifikasi dan pengkondisian alat KCKT : Nama alat
: Perkin Elmer series 200
Detektor
: Spektrofotometer UV/VIS
Panjang gelombang : 280 nm Kolom
: Kolom LiChosper® C18
Panjang kolom
: 25 cm
Diameter kolom
: 5 µm
Pelarut pembawa
: Metanol Grade HPLC
Suhu kolom
: 25 oC
Kecepatan aliran
: 1,0 mL/min
Instansi
: Laboratorium Instrumen Balai Besar Industri Agro
Kadar α-tokoferol dalam sampel dihitung berdasarkan persamaan kurva kalibrasi yang telah diperoleh. Y = a + bx Y = Luas puncak X = konsentrasi α-tokoferol µg/mL Konsentrasi α-tokoferol dalam sampel minyak menjadi : X= Sehingga kadar α-tokoferol dihitung dengan rumus : X (µg/mL) * (∑ mL pelarut / sampel yang ditimbang)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
3.3.6 Analisis kandungan minyak biji kelor dengan GCMS Sebanyak 0,5 g minyak dilarutkan dengan Etil asetat 5 mL lalu disuntikkan ke alat kromatografi gas. Berikut ini spesifikasi dan pengkondisian alat Kromatografi Gas : Nama alat
: GC – 6890N Network GC system Agilent Technologies
Detektor
: MS
Kolom
: Kolom Kapiler HP-5MS
Bahan pengisi kolom : (5% - phenyl)-Methylpolysiloxane Panjang kolom
: 30 m
Diameter kolom
: 0,25 mm
Gas pembawa
: Helium
Suhu kolom
: 290 oC
Suhu detektor
: 250 oC
Suhu injektor
: 290 oC
Kecepatan aliran
: 1,0 mL/min
Instansi
: Laboratorium Forensik Mabes Polri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PERCOBAAN 1.
Perolehan minyak Pada proses perolehan minyak yang dilakukan dengan metode ekstraksi
dan pengepresan mekanis diperoleh hasil yang berbeda. Hasil selengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 5. Data hasil perolehan minyak Berat
Minyak yang
Persentase
(%)
sampel (g)
dihasilkan (g)
(%)
Rata-rata
Maserasi
130
52,2
40,14
dengan
130
51,8
39,84
n-heksan
130
52,1
40,07
Tempering
130
11,23
8,64
biji suhu
130
14,77
11,36
40 oC
130
13
10
130
10,75
8,27
Metode
Ekstraksi
Pengepre Tempering san
biji suhu
130
8
6,15
mekanis
80 oC
130
10,9
8,38
Tempering
130
10,29
7,92
biji suhu
130
8,67
6,67
130
7,48
5,72
o
120 C
30
40,01
10
7.6
6,77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jumlah rendemen mnyak dalam %
31
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 A
B
C
D
Variasi metode perolehan minyak biji kelor
Gambar 5. Rendemen minyak yang diperoleh dari masing-masing metode Keterangan : A = metode ekstraksi, maserasi dengan n-heksan B = metode kempa mekanis, suhu pengeringan sampel 40 oC C = metode kempa mekanis, suhu pengeringan sampel 80 oC D = metode kempa mekanis, suhu pengeringan sampel 120 oC
2.
Validasi metode analisis
a.
Pembuatan kurva kalibrasi dan uji linearitas Persamaan garis kurva kalibrasi yang didapat yaitu y = 1,7908091 +
4402,4227 x dengan koefisien korelasi (r) : 0,999991. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel dan Gambar berikut : Tabel 6. Data uji linearitas Konsentrasi (C) (µg/mL)
Luas puncak (A) (µV/s)
0,48
2156,71
0,96
4271,09
1,93
8401,82
4,8
21246,04
9,64
42433,07
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
Kurva Kalibrasi α-Tokoferol 45000 y = 4402,4x + 1,7908 R² = 1
40000 35000 Luas Puncak
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 0
2
4
6
8
10
12
Konsentrasi
Gambar 6. Kurva kalibrasi standar α-tokoferol b.
Penentuan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) Batas deteksi dan batas kuantifikasi α-tokoferol yaitu masing-masing
sebesar 0,06 µg/mL dan 0,2 µg/mL. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 7. Data penentuan LOD dan LOQ Konsentrasi (C)
Luas puncak
(µg/mL)
(A) (µV/s) (Y)
0,48
Yi
(Y-Yi)2
2156,71
2114,95
1743,59
0,96
4271,09
4228,12
1846,71
1,93
8401,82
8485,26
6962,12
4,8
21246,04
21133,42
12683,31
9,64
42433,07
42441,15
65,29 ∑= 23301.02
LOD = 0,06
LOQ = 0,2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
c.
Uji perolehan kembali Hasil rata-rata uji perolehan kembali pada matriks minyak biji kelor adalah
95,8%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8. Uji perolehan kembali Bobot
Luas
Kadar
Penambahan
UPK
sampel (g)
puncak
(mg/g)
spike (µg/g)
(%)
1
0,264
52011,17
1,1187
91,27
96,40
2
0,2637
52408,53
1,1286
91,38
95,29
No
UPK rata-rata (%) 95,8
Analisis α-tokoferol dalam sampel minyak biji kelor
3.
Kadar rata-rata α-tokoferol dari sampel minyak hasil ekstraksi dan dan hasil kempa berbeda presentasinya. Hasil selengkapya dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 9. Data kadar α-tokoferol dari sampel Waktu
Luas
Rata-rata
Konsentrasi
Kadar
Kadar rata-
retensi
puncak
Luas puncak
(µg/mL)
(mg/g)
rata (mg/g)
1
10,313
10150,07
2,305
0,23
2
10,347
10644,76
2,417
0,24
1
10,41
16350,03
3,71
0,37
2
10,423
16250,7
3,69
0,37
1
10,392
11680,8
2,65
0,27
2
10,419
11485,98
2,609
0,26
1
10,393
11702,13
2,658
0,27
2
10,36
11244,75
2,55
0,26
Sampel
A
B
C
D
10397,415
16300,365
11583,39
11473,44
0,235
0,37
0,265
0,265
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kadar rata-rata Vit.E (mg/g)
34
0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 A
B
C
D
Variasi metode perolehan minyak
Gambar 7. Kadar α-tokoferol yang diperoleh dari masing-masing metode
Gambar 8. Kromatogram sampel A ulangan 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Gambar 9. Kromatogram sampel A ulangan 2
Gambar 10. Kromatogram sampel B ulangan 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
Gambar 11. Kromatogram sampel B ulangan 2
Gambar 12. Kromatogram sampel C ulangan 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
Gambar 13. Kromatogram sampel C ulangan 2
Gambar 14. Kromatogram sampel D ulangan 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Gambar 15. Kromatogram sampel D ulangan 2
4.
Analisis kandungan minyak biji kelor Proses identifikasi dilakukan menggunakan Gas Chromatography-Mass
Spectrometry. Hasil kromatogram dan kandungan minyak dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut : A b u n d a n c e
T IC : S A M P E L 1 .D \ d a ta .m s 1 7 .8 0 9
4 2 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 0 0 3 6 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 3 2 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 1 8 0 0 0 0 0
1 8 .1 7 7 1 8 .3 6 0
1 6 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 6 .3 7 5
8 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0
2 1 .7 8 2
1 6 . 6 16 79 . 9 5 8
2 12 .28 . 63 02 5 2 1 .1 0 8 11 88 .. 55126996. 8 3 7 2 3 .3 6 1 1 6 . 8 8 1 11 99 ..526 103 3.55 9 4 1 7 .7 1 9 1 5 1. 56 2. 20 6 0
4 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
8 .0 0
1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0 2 2 .0 0 2 4 .0 0 2 6 .0 0 2 8 .0 0 3 0 .0 0 3 2 .0 0 3 4 .0 0
T im e - - >
Gambar 16. Kromatogram hasil GCMS sampel minyak hasil ekstraksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Tabel 10. Kandungan senyawa kimia sampel No
1
Nama trivial senyawa
Turunan senyawa
Asam palmitat
Methyl palmitate /
(C15H31COOH)
Methyl
Waktu
Quality
retensi
(SI)
16.38
98
C15H31COOCH3
17.96
99
C17H35COOCH3
18.18
99
C17H33COOH, Δ9
Rumus molekul
n-hexadecanoate 2
Asam stearat (C17H35COOH)
Methyl stearate trans-Oleic acid / trans-9-Octad ecenoic acid /
3
Asam oleat
trans
Elaidic acid
(C17H33COOH) Methyl oleat
17.81
99
C17H33COOCH3
Ethyl oleat
18.36
99
C17H33COOC2H5
4.2 PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan analisis total α-tokoferol dalam sampel berupa minyak dari biji buah kelor tua (Moringa oleifera Lam.). Analisis α-tokoferol dilakukan menggunakan alat KCKT yang dilengkapi dengan detektor UV-VIS. Metode KCKT dipilih karena waktu analisis yang cepat dan cara kerjanya relatif sederhana. Detektor UV-VIS digunakan karena α-tokoferol memiliki gugus kromofor (gugus yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi) dan gugus asokrom (gugus yang memiliki pasangan elektron bebas). Langkah pertama dalam penelitian ini adalah memperoleh minyak biji kelor. Metode perolehan minyak yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan kondisi alat dan bahan yang terdapat di laboratorium. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah biji dari buah kelor yang sudah tua. Buah kelor tua memiliki spesifikasi kulit warna coklat kehitaman dan isi berwarna putih kotor dengan bau tidak spesifik dan rasa sepah dan keras serta memiliki kandungan air
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
lebih sedikit dari buah yang masih muda. Metode yang pertama adalah ekstraksi, ekstraksi adalah suatu proses penarikan kandungan senyawa dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai (Ketut Ristiasa et al., 2000). Metode ektraksi yang dipakai dalam perolehan minyak ini adalah maserasi. Maserasi merupakan ekstraksi sederhana yang dilakukan dengan cara merendam sampel dalam suatu pelarut selama beberapa hari pada temperatur kamar (Sudjadi, 1986). Keuntungan dari maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Ketut Ristiasa et al., 2000). Maserasi dilakukan menggunakan pelarut n-heksan karena pelarut mudah didapatkan. Selain n-heksan, pelarut minyak atau lemak yang biasa dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah petroleum eter, gasolin karbon disulfida, karbon tetraklorida dan benzen (Ketaren, 1986). Sebelum dilakukan ekstraksi, biji kelor dihaluskan terlebih dahulu untuk meningkatkan luas permukannya sehingga pelarut lebih mudah masuk ke dalam sel dan penarikan senyawa metabolit yang terkandung di dalamnya akan lebih maksimal. Maserat selanjutnya dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator agar diperoleh ekstrak minyaknya. Rotary evaporator merupakan alat yang menggunakan prinsip vakum destilasi, di mana penurunan tekanan akan mengakibatkan pelarut dapat menguap pada suhu dibawah titik didihnya, sehingga senyawa metabolit yang terkandung di dalam pelarut tidak rusak oleh suhu yang tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya penguapan pelarut yang dipercepat oleh putaran labu alas bulat. Pompa vakum akan membantu uap pelarut naik menuju kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang selanjutnya ditampung di labu alas bulat penampung (Hui, 2006). Proses penguapan dihentikan ketika minyak yang diperoleh sudah kental dan tidak berbau n-heksan. Kemudian metode kedua yang digunakan adalah pengepresan mekanis, metode ini memerlukan alat kempa dan dongkrak hidrolis sebagai pendorong mesin kempa tersebut. Sebelum di kempa terlebih dahulu sampel dikeringkan di oven untuk menghilangkan kadar air dan juga untuk memecahkan sel sehingga minyak lebih mudah dikeluarkan. Suhu yang dipakai diantaranya 40 oC, 80 oC dan 120 oC. Tujuan dari variasi suhu tersebut adalah untuk mengetahui pada suhu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
manakah minyak paling banyak dihasilkan dari sampel serta membandingkan kualitas kejernihan minyak yang dihasilkan dari masing-masing suhu pemanasan sampel. Minyak yang dihasilkan dengan metode kempa cenderung lebih sedikit dibandingkan minyak yang dihasilkan dari metode ekstraksi, hal ini dikarenakan minyak yang diperoleh dari proses kempa tidak bisa semuanya tersari karena sebagian masih tertinggal di bungkil-bungkil sampel biji yang dikempa. Namun keuntungan dari metode kempa dibandingkan dengan metode ekstraksi dengan pelarut kimia seperti n-heksan adalah minyak yang diperoleh aman untuk dikonsumsi karena tidak mengandung bahan kimia berbahaya dan karsinogen. Minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi sebesar 40% sedangkan minyak yang diperoleh dari proses kempa yang sebelumnya dipanaskan pada suhu 40 oC, 80 oC dan 120 oC adalah 10%, 7,6% dan 6,77%. Pada metode kempa, pemanasan sampel pada suhu 40 oC memang menghasilkan minyak lebih besar dibandingkan sampel C dan D (yang dipanaskan pada suhu 80 oC dan 120 oC, namun minyak tersebut masih belum sejernih minyak yang dihasilkan dari sampel C dan D. Kejernihan minyak dari sampel C dan D tersebut dimungkinkan karena minyak sudah tidak tercampur protein yang disebabkan oleh pemanasan dengan suhu yang cukup. Menurut Ketaren (1986), adanya perlakuan panas pada biji menyebabkan protein yang terdapat di dalam biji terkoagulasi (menggumpal), dan menyebabkan pecahnya emulsi antara minyak dan protein sehingga memudahkan minyak mengalir keluar, sedangkan protein tetap tertinggal di dalam bungkil. Selain itu banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengempaan, tekanan yang diberikan dan kandungan minyak dalam bahan asal. Pada analisis α-tokoferol ini tidak dilakukan optimasi pengukuran panjang gelombang maksimum dan pemilihan laju alir karena metode yang dipakai sudah tervalidasi dan sering digunakan. Panjang gelombang yang digunakan yakni 280 nm dan laju alir yang digunakan adalah 1 mL/min. Pemilihan laju alir tersebut juga telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya oleh Inggardiayu Amitri (2010) bahwa laju alir 1 mL/min menghasilkan jumlah plat teoritis terbesar dengan nilai HETP terkecil dibandingkan dengan laju alir 1,2 dan 1,5 mL/min.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Pemilihan fase gerak adalah berdasarkan pada literatur (A., Ubaldi, 2005) yaitu menggunakan metanol, dimana metanol merupakan pelarut polar yang memenuhi persyaratan fase gerak antara lain harganya lebih murah dibandingkan fase gerak lain yang mudah didapat. Sehingga kondisi optimum yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan menggunakan Kolom fase LiChosper® C18 (25 cm x 5 µm), detektor UV-VIS, fase gerak metanol, panjang gelombang 280 nm, dengan laju alir 1,0 mL/menit dan volume penyuntikan 20,0 µL. Validasi metode dilakukan sebelum melakukan analisis sampel. Tujuan utama validasi adalah untuk menjamin metode analisis yang digunakan mampu memberikan hasil yang cermat, handal serta dapat dipercaya. Penentuan parameter validasi metode diawali dengan uji linieritas dan rentang. Tujuan pembuatan kurva kalibrasi adalah untuk mengetahui kelinieran hubungan antara konsentrasi α-tokoferol dengan luas puncak yang dihasilkan. Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Pembuatan kurva kalibrasi α-tokoferol dilakukan dengan menghubungkan 4 titik pada berbagai konsentrasi yaitu 0,5; 1; 2; 5 dan 10 µg/mL dari standar α-tokoferol dengan kemurnian 96% sehingga didapatkan deret standar dengan konsentrasi: 0,48; 0,96; 1,927; 4,8 dan 0,96 µg/mL. Persamaan kurva kalibrasi merupakan hubungan antara sumbu x dan sumbu y. Deretan konsentrasi yang dibuat dinyatakan sebagai sumbu x, sedangkan luas puncak α-tokoferol yang diperoleh dari hasil pengukuran dinyatakan sebagai nilaisumbu y. Persamaan kurva kalibrasi α-tokoferol adalah = 1,7908091 + 4402,4227 x dengan nilai koefisien korelasi (r) : 0,999991. Koefisien korelasi yang semakin mendekati nilai 1 menyatakan hubungan yang semakin linier antara konsentrasi dengan luas puncak kromatogram yang dihasilkan. Batas deteksi dan batas kuantifikasi dihitung dengan menggunakan persamaan garis linier kurva kalibrasi yang telah diperoleh. Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas kuantifikasi merupakan parameter dalam analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
2004). Berdasarkan perhitungan statistik, maka diperoleh batas deteksi α-tokoferol sebesar 0,06 µg/mL, sedangkan batas kuantifikasi α-tokoferol sebesar 0,2 µg/mL. Konsentrasi tersebut berada dibawah konsentrasi terkecil pembuatan kurva kalibrasi. Batas deteksi dan batas kuantifikasi ini digunakan untuk menganalisis sampel yang mengandung analit berkadar rendah. Untuk menilai kedekatan analisa dengan kadar analit yang sebenarnya dapat dilakukan melalui uji perolehan kembali yang bertujuan untuk mengetahui keakuratan metode yang digunakan. Uji perolehan kembali (UPK) merupakan cara untuk menentukan kecermatan hasil analisis suatu metode. Kecermatan atau akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil sebenarnya. UPK dapat diakukan dengan dua cara, yaitu metode absolut/simulasi (analit ditambahkan kedalam fase gerak) dan metode penambahan bahan baku (adisi) (Harmita, 2004). UPK dilakukan dengan menggunakan metode adisi dimana minyak biji kelor yang mengandung α-tokoferol (dan sudah diketahui kadarnya) ditambahkan standar α-tokoferol yang juga diketahui kadarnya. Lalu UPK diketahui dengan membagi hasil kadar standar yang terukur dengan kadar sebenarnya. Dan didapatkan rata-rata nilai UPK sebesar 95,8%. Hasil tersebut sudah masuk kedalam rentang recovery factor untuk analisis vitamin E yakni 90%-110% (AOAC SMPR, 2011). Maka analisis α-tokoferol disini sudah dikatakan akurat. Preparasi sampel untuk minyak biji kelor sebelum di analisis dengan KCKT adalah dengan melarutkan minyak dalam pelarut campuran dari etanol dan THF. Pelarut etanol digunakan untuk memecahkan/memisahkan vitamin E yang terikat pada membran/lipoprotein/liposom karena alkohol merupakan medium dimana α-tokoferol larut dan bebas mengelusi (A., Ubaldi, 2005). Sedangkan THF (tetrahidrofuran) digunakan karena pelarut ini memiliki kepolaran sedang dan mampu melarutkan senyawa nonpolar-polar. Setelah di preparasi sampel kemudian di analisis menggunakan kondisi optimum yang telah disebutkan diatas. Dan kadar α-tokoferol dari masing-masing sampel dihitung berdasarkan luas puncak yang diperoleh. Kadar α-tokoferol yang diperoleh dari metode ekstraksi dan kempa dengan variasi suhu 40 oC, 80 oC dan 120 oC berturut-turut adalah 0,235 mg/g; 0,37 mg/g; 0,265 mg/g; dan 0,265 mg/g. Hasil uji statistik dengan uji
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
pearson dan juga uji spearman menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara kadar α-tokoferol yang dihasilkan dengan proses perolehan minyak maupun dengan perbandingan suhu. Hasil yang tidak signifikan tersebut dinyatakan dengan nilai p yang dihasilkan adalah 0,333 (signifikan apabila p<0,05). Selanjutnya dilakukan analisis kandungan minyak biji kelor dalam sampel hasil ekstraksi yang bertujuan untuk mengetahui senyawa-senyawa kimia yang terkandung serta asam-asam lemak penyusun trigliserida dari minyak tersebut. Hasil yang didapat adalah minyak mengandung asam lemak tidak jenuh berupa asam oleat dengan turunan-turunannya yaitu metil oleat, etil oleat dan bentuk cistrans dari asam oleat tersebut. Serta asam lemak jenuh yang dominan berupa asam palmitat dan turunannya yaitu metil palmitat, asam stearat dan turunannya yaitu metil stearat. Tujuan dari pengujian asam lemak penyusun minyak ini adalah untuk mengetahui kualitas minyak biji kelor. Apabila minyak tersusun dari asamasam lemak yang tidak jenuh maka minyak akan mudah teroksidasi (dengan adanya rantai ganda) menjadi peroksida kemudian menjadi aldehid+keton sehingga minyak tersebut berbau tengik. (Winarsi, 2007)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN 1.
Metode penetapan kadar α-tokoferol (vitamin E) dalam sampel minyak biji kelor secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dapat dilakukan pada kondisi optimum menggunakan kolom fase terbalik C18 KromasilTM (25 cm x 4,6 mm) dan detektor UV-VIS pada panjang gelombang 280 nm, volume penyuntikan 20,0 µL, dengan fase gerak metanol dan kecepatan alir 1,0 mL/menit.
2.
Rendemen minyak yang dihasilkan dari masing-masing metode perolehan minyak berupa ekstraksi dan kempa dengan variasi suhu pengeringan sampel 40 oC, 80 oC dan 120 oC berturut turut adalah 40%, 10%, 7,6% dan 6,77% dengan kandungan α-tokoferol (vitamin E) berturut-turut adalah 0,235 mg/g; 0,37 mg/g; 0,265 mg/g; dan 0,265 mg/g. Uji statistik menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang spesifik antara metode perolehan minyak dan suhu pengeringan biji terhadap kandungan α-tokoferol yang dihasilkan.
3.
Hasil analisis kandungan minyak biji kelor menyatakan bahwa minyak tersusun atas asam-asam lemak jenuh yang dominan berupa asam palmitat dan asam stearat serta asam lemak tidak jenuh berupa asam oleat.
5.2 SARAN Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis α-tokoferol pada minyak biji kelor dengan metode ektraksi minyak yang lain, dan juga menganalisis α-tokoferol dalam sumber bahan alam lainnya.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
A., Ubaldi, Delbono G., Fusari A. & Serventi P. 2005. Quick HPLC Method to Determine Vitamin E Concentration in Cow’s Milk. Ann. Fac. Medic. Vet. di Parma. Vol XXV :101-110 Almatsier S. 2004. Prisnsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Anwar, farooq; syeda nahid and umer rashid. 2006. Characterization of Moringa oleifera seed oil from drought and irrigated regions of punjab, pakistan. Grasas Y Aceites 57(2): 160-168 Anwar, farooq and umer rashid. 2007. Physico-chemical characteristic of Moringa oleifera seeds and seed oil from a wild provenance of pakistan. Pak. J. Bot. 39(5): 1443-1453 Archerio A et al. 1992. Correlation of vitamin A and E intakes with the plasma concentrations of carotenoids and tocopherols among American Men and women. Journal of Nutrition 122: 1792-1801. AOAC Official Methods 971.30 α-Tocopherol and α-Tocopheril acetate in foods and feeds. 2006. AOAC Official Methods of Analysis 45.1.24 AOAC Official Methods 2001.13 Vitamin A (Retinol) in foods. 2005. AOAC Official Methods of Analysis 45.p.50 Bhoomika R Goyal, Babita B Agrawal, RameshK Goyal and Anita A Metha. 2007. Phyto-pharmacology of Moringa oleifera Lam. An overview. Natural Product Radiance Vol. 6(4) Budda, Sirintip; Chaniphun Butryee; Siriporn Tuntipopipat; Anudep Rungsipipat; Supradit Wangnaithum; Jeong-Sang Lee; Piengchai Kupradinun. 2011. Suppressive Effects of Moringa oleifera Lam Pod Against Mouse Colon Carcinogenesis Induced by Azoxymethane and Dextran Sodium Sulfate. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention Vol 12 Burke, W, Tracy. 2007. Vitamin E. Diakses dari http://id.svhoong.com tanggal 15 februari 2013 DepKes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jld.IV. Departemen Kesehatan RI
46
47
Draft AOAC SMPR 2011. XXX. Determination of vitamin E in Infant and adult/pediatric nutritional formula. Stakeholder panel for infant formula and adult nutritionals Version 7 Devries, Jonathan W dan Karlene R. Silvera. 2002. Determination of Vitamins A (Retinol) and (alpha-Tocopherol) in foods by Liquid Cromatography: Collaborative study. Journal of AOAC International Vol. 85(2) Gandjar, I.G., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Harborne, J B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara modern Menganalisis Tumbuhan.
Terjemahan oleh Kosasih P dan
Soediro Iwang. Bandung:
Penerbit Institut Teknologi Bandung. 6-17. Harmita, Apt. 2006. Analisis Fisikokimia. Depok : FMIPA UI Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(3): 117-135 Hartanti, Dwi; Eka Prasetyo Agung Pambudi; Pri Iswati Utami. 2009. Pengaruh pemanasan terhadap kadar vitamin e pada kacang hijau (vigna Radiata l.) Dengan metode spektrofotometri sinar tampak. Purwokerto: Pharmacy Vol.06(03) : 1-8 Hermanto Sandra. 2009. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Spektroskopi. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hui YH. 2006. Handbook of Food Science, Technology, an Engineering, Volume 3. Boca Raton : Taylor & Francis Group. Hal. 102-111 Inggardiayu, Amitri. 2010. Skripsi: Analisis Total Vitamin E Dalam Daging Buah Kelapa Kopyor Tua (Cocos nuciera L.) Secara Kromatograi Cair Kinerja Tinggi. Depok : Universitas Indonesia Johnson, E.L., and Stevenson, R (1991).
Basic Liquid Chromatography.
Penerjemah Kosasih Padmawinata. Dasar Kromatografi Cair. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 1– 40. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UIPress Ketut Ritiasa, et al. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Dirjen BPPOM. Departemen Kesehatan RI hal.10-11
48
Khopkar S M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Lalas, stavros dan John tsakins. 2002. Characterization of Moringa oleifera seed oil variety “periyakulam”. Journal of food composition and analysis 15: 65-77 Luqman S., Suchita S., Ritesh K., Anil K.M.,Debabrata C. 2012. Experimental Assessment of Moringa oleifera Leaf and Fruit for Its Antistress, Antioxidant, and Scavenging Potential Using InVitro and InVivo Assays. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine : 1-12 Navie, Sheldon and Steve Csurhes. 2010. Horseradish tree: Moringa oleifera. Queensland Government Ng Mei Han and Choo Yuen May. 2012. Cromatographic Analyses of Tocopherols and Tocotrienols in Palm Oil. Journal of Chromatographic Scienc 50: 283-286 Pimentel, sabria aued; em takemoto; rosemar antoniassi dan elza gastaldo. 2006. Composition of tocopherols on sesame seed oil: an indicative of adulteration. Grasas Y Aceites 57(2):205-210 Promkum, Chadamas; Piengchai Kupradinun; Siriporn Tuntipopipat; Chaniphun Butryee . 2010. Nutritive Evaluation and Effect of Moringa oleifera pod on Clastogenic Potential in the Mouse. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention Vol 11 Qaiser, M (1973). Moringaceae. In: Flora of West Pakistan. No 38. (eds E Nasir and SI Ali). Department of Botany, University of Karachi, Pakistan. Roloff A., H. Weisgerber, U. Lang, B. Stimm. 2005. Moringa oleifera LAM., 1785: Enzyklopadie der Holgewachse, Handbuch und Atlas der Dendrologie. Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA Ruperez, D. Martin, E. Herrera, C. Barbas. 2001. Cromatographic analysis of αtokoferol and related compounds in various matrices. Elsevier A 935 : 45-69 Salonen et al. 1997. “Lipoprotein oxidation and progression of carotid atherosclerosis”. Cirtembagalation Vol. 95 : 840-845 Sashidhara K.V, J.N. Rosaiah, E. Tyagi, R. Shukla, R. Raghubir, S.M. Rajendran. 2009. Rare Dipeptide and Urea Derivatives from Roots of Moringa oleifera as
49
Potential aAnti-inflammatory and Antinociceptive Agents, European Journal of Medicinal Chemistry 44 (1): 432-436 Sharma, Veena; Ritu Paliwal; Pracheta Janmeda; Shatruhan Sharma. 2012. Chemopreventive Efficacy of Moringa oleifera Pods Against 7, 12Dimethylbenz[a]anthracene Induced Hepatic Carcinogenesis in Mice. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention Vol 13 Singh G.P,Rakesh G.,Sudeep B.,S. Kumar S. 2012. Anti-inflammatory Evaluation of Leaf Extract of Moringa oleifera. JPSI: 22-24 Sirait Midian et al,. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan. Situs Dunia Tumbuhan : Informasi Spessies Moringa oleifera Lam. Diakses dari http://www.plantamor.com/index.php?plant=866 tanggal 10 Februari 2013 Soesilo, Slamet. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Sudjadi. 1983. Penuntun Struktur Senyawa Organik. Bandung : Ghalia Indonesia Tsaknis, J; S. Lalas; V. Dourtoglou and V. Spiliotis. 1999. Characterization of Moringa oleifera variety mbololo seed oil of kenya. Food chem. 47 :4495-4499 USDA (United States Department of Agriculture). 2013. Natural Resources Conservation
Service
:PLANTS
Profile
Moringa oleifera
Lam.
Horseradishtree. http://plants.usda.gov Wellings, A. 2006. A Practical Handbook of Prparative HPLC. England : Elsevier the Boulevard Willard Hobart H, Merrit Lynne L, Dean John A dan Settle Frank A. 1988. Instrumental Methods of Analysis. California: Wadsworth Publishing Company. 569-572. Winarsi, Herry. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta : Kanisus. Zhang, Hongxin; Renlu Huang; Qiuxia Yang; Xiaohu Guo dan Hui Chen. 2012. High-performance
liquid
chromatography
(HPLC)
analysis
of
the
α-Tocopherol deposition in the eggs yolk: Eect of α-Tocopheryl-acetate application in feed of breeding hens. Journal of ood, agriculture environment Vol. 10(1): 385-390
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Hasil determinasi Tanaman
51
Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat Penelitian
Gambar 17. Sampel biji kelor yang sudah masak
Gambar 18. Reagen etanol, THF dan metanol
Gambar 20. Grinder
Gambar 23. Oven
Gambar 21. Alat kempa
Gambar 19. Standar α-tokoferol
Gambar 22. Timbangan analitik
Gambar 24. Rotary evaporator
52
Gambar 25. Minyak biji kelor
Gambar 26. Alat GCMS
3 4 5 7 1
2
6
Gambar 28. Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Fase gerak Degasser (Perkin Elmer Series 200) Injektor/autosampler (Perkin Elmer Series 200) Kolom fase terbalik LiChosper® C18 (25 cm x 5 µm) Dtektor UV-VIS (Perkin Elmer Series 200) Pompa (Perkin Elmer Series 200) Interface (Perkin Elmer Series 200) Komputer
8
53
Lampiran 3. Alur Penelitian Determinasi
Pengumpulan bahan baku
o Pengupasan kulit biji o Penggilingan
Pembuatan simplisia
Simplisia serbuk
Ekstraksi minyak lemak
Kempa mekanis
Maserasi dengan n-heksan
Pemanasan suhu 40 oC
Pemanasan suhu 80 oC
Pemanasan suhu 120 oC
Rendemen minyak
Analisis kandungan minyak dengan GCMS
Analisis kadar α-tokoferol menggunakan HPLC Validasi metode
Liniertas
Batas deteksi dan batas kuantitas
54
Lampiran 4. Perhitungan hasil rendemen minyak biji kelor % Rendemen minyak
x 100%
A. Metode ekstraksi 1. % Rendemen minyak
x 100% = 40,14%
2. % Rendemen minyak
x 100% = 39,84%
3. % Rendemen minyak
x 100% = 40,07%
Rata-rata 40,01% B. Metode pengepresan mekanis a. Tempering biji suhu 40 oC 1. % Rendemen minyak
x 100% = 8,64%
2. % Rendemen minyak
x 100% = 11,36%
3. % Rendemen minyak
x 100% = 10%
Rata-rata 10% b. Tempering biji suhu 80 oC 1. % Rendemen minyak
x 100% = 8,27%
2. % Rendemen minyak
x 100% = 6,15%
3. % Rendemen minyak
x 100% = 8,38%
Rata-rata 7,6% c. Tempering biji suhu 120 oC 1. % Rendemen minyak
x 100% = 7,92%
2. % Rendemen minyak
x 100% = 6,67%
3. % Rendemen minyak
x 100% = 5,72%
Rata-rata 6,77%
55
Lampiran 5. Pembuatan deret larutan standar Larutan A = 500 ppm (500 ppm x 96% = 481,92 ppm) Larutan B = 10 ppm ( 10 ppm x 96% = 9,63 ppm) Konsentrasi 0,5
= V1 x N1
= V2 x N2
= V1 x 10 ppm= 10 mL x 0,5 ppm = 0,5 mL (jumlah yang di pipet dari larutan B, kemudian di ad kan hingga 10 mL pada labu ukur) = 0,5 ppm x 96% = 0,48 ppm Konsentrasi 1
= V1 x N1
= V2 x N2
= V1 x 10 ppm= 10 mL x 1 ppm = 1 mL (jumlah yang di pipet dari larutan B, kemudian di ad kan hingga 10 mL pada labu ukur) = 1 ppm x 96% = 0,96 ppm Konsentrasi 2
= V1 x N1
= V2 x N2
= V1 x 10 ppm= 10 mL x 2 ppm = 2 mL (jumlah yang di pipet dari larutan B, kemudian di ad kan hingga 10 mL pada labu ukur) = 2 ppm x 96% = 1,927 ppm Konsentrasi 5
= V1 x N1
= V2 x N2
= V1 x 10 ppm= 10 mL x 5 ppm = 5 mL (jumlah yang di pipet dari larutan B, kemudian di ad kan hingga 10 mL pada labu ukur) = 5 ppm x 96% = 4,8 ppm
56
Lampiran 6. Cara Memperoleh Persamaan Garis Linear Persamaan garis y = a + bx Untuk memperoleh nilai a dan b digunakan kuadrat terkecil (least square) ∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
∑
∑ ∑
∑
∑
Linearitas ditentukan berdasarkan nilai koefisien korelasi (r)
√
∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
57
Lampiran 7. Cara Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuntitasi
Batas deteksi
√
:
∑ Batas kuantitasi:
Rumus Yi = a + bx Kosentrasi 0,48 µg/mL
Yi
= a + bx = 1,7908091 + 4402,4227 (0,48) = 2114,95
Kosentrasi 0,96 µg/mL
Yi
= a + bx = 1,7908091 + 4402,4227 (0,96) = 4228,12
Kosentrasi 1,93 µg/mL
Yi
= a + bx = 1,7908091 + 4402,4227 (1,93) = 8485,26
Kosentrasi 4,8 µg/mL
Yi
= a + bx = 1,7908091 + 4402,4227 (4,8) = 21133,42
Kosentrasi 9,64 µg/mL
Yi
= a + bx = 1,7908091 + 4402,4227 (9,64) = 42441,15
Simpangan baku residual S(y/x) = √
∑
= 88,13
Batas deteksi
Batas kuantifikasi
: =
= 0,06 µg/mL
=
= 0,2 µg/mL
:
58
Lampiran 8. Cara Perhitungan Uji Perolehan Kembali Penambahan spike v
= volume standar yang ditambahkan
c
= konsentrasi standar yang ditambahkan
g
= bobot sampel yang ditimbang
Penambahan spike 1
= 91,27 µg/g
Penambahan spike 2
= 91,38 µg/g
% perolehan kembali
x 100%
a
= kadar terukur sampel yang ditambahkan spike
b
= kadar rata-rata sampel yang tidak ditambahkan spike
c
= penambahan spike
Recovery 1
x 100% = 96,4 %
Recovery 2
x 100% = 95,29%
Rata-rata recovery
= 95,8%
59
Lampiran 9. Cara Perhitungan Konsentrasi dan Kadar α-Tokoferol Perhitungan konsentrasi : Y = a + bx Y = 1,7908091 + 4402,4227 x
A
= 2,305 µg/mL = 2,417 µg/mL
B
= 3,71 µg/mL = 3,69 µg/mL
C
= 2,65 µg/mL = 2,609 µg/mL = 2,658 µg/mL
D
= 2,55 µg/mL Perhitungan kadar : Kadar α-tokoferol dalam sampel = A
B
C
D
=
x 1 = 0,23 mg/g
=
x 1 = 0,24 mg/g
=
x1 = 0,37 mg/g
=
x1 = 0,37 mg/g
=
x1 = 0,27 mg/g
=
x1 = 0,26 mg/g
=
x1 = 0,27 mg/g
=
x1 = 0,26 mg/g
x FP
60
Lampiran 10. Kandungan Kimia Penyusun Minyak Lemak Hasil GCMS Kandungan Asam Lemak Minyak Biji Kelor Hasil Ekstraksi No Spesiikasi Senyawa Spektrometri Massa Abundance 1 Nama : Methyl palmitate Scan 1094 (16.370 min): SAMPEL1.D\ data.ms Waktu Retensi: 16.38 140000 74.0 Quality: 98 120000 Rumus senyawa: C15H31COOCH3 100000 Berat molekul: 270.45 O
80000
CH3
H3C
60000 O
40000 43.1 143.0 227.1
20000 97.1
270.1
185.1 120.1
0 40
60
313.0
354.9
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
m/ z-->
2
Nama : Methyl stearate Waktu Retensi: 17.96 Quality: 99 Rumus senyawa: C17H35COOCH3 Berat molekul: 298.5
Abundanc e
S c a n 1 2 3 5 (1 8 .0 6 8 min ): S A M P L E 1 E .D \ d a ta .ms 14000
7 4 .1
13000 12000 11000
4 3 .1
10000 2 0 7 .0
9000
CH3
O
4 5 7 .3
8000 7000
H3C
6000
O
5000 4000
1 1 1 .1
1 4 3 .1
2 8 1 .0
3000 2000 1000
3 5 5 .1
2 3 9 .2
1 7 5 .0
4 0 1 .1
3 1 3 .2 0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
m/ z-->
3
Abundance
Nama : trans-Oleic acid Waktu Retensi: 18.18 Quality: 99 Rumus senyawa: C17H33COOH, Δ9 trans Berat molekul: 282.46 HO
S c a n 1 3 0 6 (1 8 . 1 7 1 m in ): S A M P E L 1 . D \ d a t a . m s 5 5 .1 110000 100000 90000 8 3 .1
80000 70000
CH3
60000 50000
O
40000
1 1 1 .0
30000 2 6 4 .1 20000 1 5 1 .1
10000
2 0 7 .0 1 7 9 .1
0 40 m / z -->
60
2 3 5 .1
2 9 7 .1 3 2 6 .9 3 5 5 .0
4 0 5 .2
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420
61
4
Nama : Methyl oleat Waktu Retensi: 17.81 Quality: 99 Rumus senyawa: C17H33COOCH3 Berat molekul: 296.48
Abundance
S c a n 1 2 6 3 (1 7 . 8 0 6 m in ): S A M P E L 1 . D \ d a t a . m s 240000
5 5 .1
220000 200000 180000 8 3 .1
160000
CH3
140000 120000 2 6 4 .1 100000 1 1 1 .1
80000
2 2 2 .2 60000
O
1 8 0 .1
40000
H3C
1 4 1 .0 2 9 6 .1
20000
O 3 2 7 .0 3 5 5 .0
0 40
60
4 0 4 .9
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 420
m / z -->
5
A b u n d a n c e
Nama : Ethyl oleat Waktu Retensi: 18.36 Quality: 99 Rumus senyawa: C17H33COOC2H5 Berat molekul: 310.51
S c a n
1 3 2 8
(1 8 .3 5 8
m in ) : S A M P E L 1 . D \ d a t a . m s
5 5 .1 8 5 0 0 0 8 0 0 0 0 7 5 0 0 0 7 0 0 0 0 6 5 0 0 0 8 3 .1 6 0 0 0 0 5 5 0 0 0
CH3
5 0 0 0 0 4 5 0 0 0 4 0 0 0 0 3 5 0 0 0 2 6 4 .1
1 1 1 .1
3 0 0 0 0 2 5 0 0 0
2 2 2 .2
2 0 0 0 0 1 8 0 .1
H3C
O
1 5 0 0 0 1 0 0 0 0
1 5 2 .1 3 1 0 .2
O
5 0 0 0 3 5 5 .0 0 4 0 m / z -->
6 0
8 0
4 2 9
1 0 0 1 2 0 1 4 0 1 6 0 1 8 0 2 0 0 2 2 0 2 4 0 2 6 0 2 8 0 3 0 0 3 2 0 3 4 0 3 6 0 3 8 0 4 0 0 4 2 0
62
Lampiran 11. Data hasil uji statistik a. Uji Pearson Correlations suhu suhu
Pearson Correlation
kadar 1
Sig. (2-tailed)
.333
N kadar
-.866
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
3
3
-.866
1
.333
N
3
3
b. Uji Spearman Correlations suhu Spearman's rho
suhu
kadar
Correlation Coefficient
kadar
1.000
-.866
Sig. (2-tailed)
.
.333
N
3
3
-.866
1.000
.333
.
3
3
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
63
Lampiran 12. Kromatogram Standar α-Tokoferol
64
65
Lampiran 13. Kromatogram sampel
66
67
68
Lampiran 14. Sertifikat Analisis α-Tokoferol