Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
MENGUAK AKAR “KEKERASAN BERNUANSA AGAMA
[caption id="attachment_233" align="alignleft" width="115"]
Drs. Yusdani. M.Ag[/caption] Muqaddimah Agama dewasa ini seolah dan terkesan membuat gentar dan cemas lantaran seringnya tampil dengan wajah yang penuh kekerasan. Agama tampak kehilangan wajah ramahnya. Berbagai peristiwa kekerasan dalam masyarakat dunia yang menggunakan atau bernuansa agama seperti serangkaian bom bunuh diri di Israel yang mewaskan warga sipil biasa, teror gas beracun Aum Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di Jepang (1990-an), kekerasan rezim Taliban di Afghanistan atas nama ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara, kekerasan kelompok ektremis Yahudi Israel, pimpinan Rabi Mei Kahape atas warga Arab Palestina, bunuh diri masal pada Peoples Temple pimpinan Jim Jones di Guyana (1970-an), dan pada gerakan David Koresh di Texas (1990-an). Puncaknya tragedi WTC 11 September di Amerika yang mewaskan ribuan manusia yang tak tahu apa-apa.[1] Beberapa tahun belakangan ini termasuk juga di Indonesia, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Peristiwa bom Bali menewaskan ratusan nyawa, ledakan bom di Hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat-tempat lainnya. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis. Kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia selama tahun 2011 yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%). Berdasarkan data ini dapat dipahami bahwa selama tahun 2011, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 92 kasus.[2]
1 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Lebih jauh lagi dapat dijelaskan bahwa fakta-fakta pelanggaran kebebasan beragama selama tahun 2011 sebagaimana digambarkan di atas membuktikan bahwa paradigma pemerintah tentang pengaturan agama dan keyakinan masih bias mayoritas dan selalu menguntungkan mayoritas. Bahkan dalam implementasi di lapangan, penggunaan alasan ketertiban umum dan meresahkan masyarakat hanya diasosiasikan untuk kepentingan mayoritas guna membatasi kelompok minoritas. Penggunaan otoritas negara seperti kekerasan juga hanya diperuntukkan untuk melayani kelompok mayoritas.[3] Selain itu temuan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama tahun ini menunjukkan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama paling tinggi. Pasca tragedi Cikeusik Pandeglang Banten, intensitas pelanggaran kebebasan beragama kelompok ini justru semakin meningkat. Di berbagai daerah keluar aturan lokal yang membatasi aktifitas mereka, terjadi pemaksaan untuk keluar dari Ahmadiyah, termasuk dengan digelarnya “operasi sajadah” di berbagai daerah di Jawa Barat. Keluarnya berbagai peraturan kepala daerah terkait pembatasan aktifitas Ahmadiyah ini telah mendorong sikap masyarakat lebih agresif melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah.[4] Di tengah-tengah pro dan kontra ancaman kelompok agama fundamentalisme di atas, kini muncul pertanyaan, ada apa dengan agama? Apakah agama memang meligitimasi kekerasan, bahkan teror? Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Apakah radikalisme agama merupakan ancaman bagi sebuah bangsa yang majemuk? Pertanyaanpertanyaan semacam ini wajar terlontar, mengingat bahwa agama selama ini diklaim pemeluknya sebagai pembawa misi perdamaian dunia. Penjelasan Awal Kekerasan Bernuansa Agama Untuk menjelaskan lebih jauh mengapa agama demikian garang dan kejam, tidak dapat serta merta agama dituduh sebagai biang masalah. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas bergantung pada bagaimana orang memahami hakikat agama itu sendiri. Agama, dalam kaitan ini, harus dipahami dalam konteks relasinya dengan kehidupan riil manusia. Naif jika agama diposisikan bebas dari segenap kenyataan hidup tersebut. Agama, dalam konteks di atas merupakan kekuatan penting bagi kehidupan manusia. Karena itulah agama justru harus ditempatkan secara proporsional dalam konteksnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa "agama bukan pulau dalam dirinya" (no religion is an island).[5] Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sekarang agama harus dipahami dan ditafsirkan dalam konteks pluralisme global. Kenyataan plural dunia ini hendaknya dijadikan titik tolak dalam memahami posisi agama dewasa ini. Adanya berbagai bencana dan tragedi kemanusiaan yang melibatkan agama, seperti dikemukakan di atas, tidak lain adalah akibat terjadinya pembusukan dan pengorupsian agama. Setidaknya, terdapat lima tanda proses pembusukan dan pengorupsian agama, yaitu: 1. Klaim kebenaran.
2 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Adanya klaim ini pada gilirannya mendegradasi pemahaman umat beragama terhadap keSegala-Maha-an Tuhan. Biasanya hal ini disebabkan pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan kebenaran monolitik (tunggal). Penafsiran kitab suci, dengan demikian berperan penting dalam mewarnai sikap umat beragama.[6] 2. Ketaatan buta terhadap pemimpin agama. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan radikal, seperti People Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, atau Aum Shinrikyo di bawah pimpinan David Koresh di Texas, tak elak dari ketaatan buta ini. Darinya lahir keberagamaan yang membabi buta dan fanatisme berlebihan.[7] 3. Upaya-upaya membangun zaman ideal. Dalam hal ini dijelaskan bahwa jika visi agama tentang zaman ideal itu diwujudkan dan para pemeluknya meyakininya sebagai kehendak Tuhan sendiri, maka agama sebenarnya telah terkorup, dan karenanya jahat. Di Afghanistan, dapat disaksikan bagaimana rezim Taliban berbuat kekejaman terhadap warganya sendiri dengan dalih ketaatan terhadap syariat Islam.[8] 4.Tujuan menghalalkan segala cara. Tanda ini biasanya terjadi pada komponen-komponen agama, baik berkaitan identitas maupun institusi agama. Ambisi menunjukkan identitas agama Kristen, misalnya, telah mengakibatkan pembantaian orang Yahudi pada masa Nazi.[9] 5. Perang Suci Puncak dari keempat tanda di atas adalah merebaknya ide perang suci (holy war atau jihad). Di sepanjang sejarah, ide inilah yang melandasi terjadinya kekerasan dan konflik agama. Ini juga yang tampak pada peristiwa terjadinya pengeboman gedung WTC di Amerika, bom Bali dan aksi-aksi terorisme lainnya, juga berada dalam kerangka menegakkan perintah suci Tuhan yang dianggap pelakunya sebagai jalan suci.[10] Sedangkan di sisi lain munculnya radikalisme (agama) ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yaitu: Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (worldview) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang
3 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.[11] Sumber dan Faktor Penyebab Penjelasan tentang sumber dan faktor penyebab timbulnya kekerasan dan radikalisme agama tersebut di atas sedikit banyak pembenarannya akan segera tampak di permukaan tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso, di Ambon, dan lain-lain. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.[12] Keterangan di atas juga memiliki signifikansi strategis, di tengah menguatnya sentimen keagamaan berlebihan yang acapkali tak menguntungkan banyak pihak. Di samping itu uraian tersebut menyumbangkan betapa urgennya wacana keberagamaan yang patut diperhitungkan. Hal ini juga memberikan perspektif umat beragama yang banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antaragama. Analisis tersebut dapat menyumbangkan analisis kritik terhadap akar sinisme terhadap agama sekaligus mengajak penganut agama beragama secara kritis tanpa kehilangan semangat spiritualnya. Untuk konteks keindonesiaan yang sedang concerned terhadap isu-isu kemanusiaan, mengajak umat beragama di Indonesia bersama-sama mengubah visi keberagamaan dari visi keberagamaan yang sempit, normatif dan eksklusif menjadi inklusif historis dan humanis.[13] Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya satu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, juga dapat menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Tindakan radikalisme itu dilakukan bertujuan sebagai membela agama tetapi justru telah mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Orang-orang radikal kurang begitu menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau menggunakan media kekerasan. Semua orang menyambut baik ketika pengadilan Denpasar, Bali, menvonis mereka hukuman seumur hidup dan hukuman mati atas tindakan yang telah melenyapkan ratusan nyawa. Akan tetapi apakah itu efektif. Sebagian orang masih meragukan efektivitas hukuman itu untuk mengatasi aksi kekerasan atau terorisme. Cara itu masih menyisakan sejumlah persoalan karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah terorisme itu secara komprehensif. Hukuman hanyalah sebuah shock therapy. Oleh karena itu, terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain, pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua, penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Keempat, faktor eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan tidak adil
4 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
bereaksi. Oleh karena itu, terorisme hanya dapat dicegah secara fundamental kalau keempat pokok masalah tersebut disentuh.[14] Terkait dengan persoalan di atas, Vedi R. Hadiz, menjelaskan beberapa pendekatan yang selama ini dipakai dalam memahami proses radikalisasi. Menurutnya, dalam konteks Indonesia, setidaknya terdapat dua pendekatan yang dipakai selama ini. Pertama, Cultural Approach. Pendekatan ini menekankan pada tradisi yang melekat dalam diri Islam Indonesia. Dalam prosesnya pendekatan ini melihat bagaimana interpretasi individu terhadap ayat-ayat suci dan dampaknya dalam mempengaruhi perilaku politik (political behavior). Dalam beberapa karya ilmiah terkait radikalisme, pendekatan ini paling dominan dipakai dalam mempelajari Islam di Indonesia. Kedua, Security Apparoach. Pendekatan ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam, mereka hanya mencomot dan mengkomparasikan beberapa pemikiran. Hal tersebut menyebabkan munculnya indikator yang tidak jelas mengenai radikalisme. Lebih lanjut Vedi Hadiz mengatakan bahwa pendekatan pertama dan pendekatan kedua melahirkan perspektif good and bad moslem, atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Islam moderat dan Islam radikal. Implikasi dari pendekatan pertama dan kedua ialah tereduksinya masalah Islam dan politik dari permasalahan awalnya yang sangat kompleks, hanya sebatas menjadi masalah terorisme dan kekerasan. Padahal terorisme sendiri hanyalah akibat dari permasalahan sosial. Untuk menanggulangi hal tersebut, Vedi R.Hadiz menawarkan pendekatan baru dalam konteks keindonesiaan, namun sebenarnya ini pendekatan biasa dalam konteks International, yakni Historical Sociology Approach dan Political Economy Approach. Pendekatan ini melihat akar radikalisme yang berurusan dengan lingkungan sosial dan penyebabnya. Pendekatan tersebut memang bermuara pada kesimpulan bahwa ketidakadilan sosial sebagai akar radikalisme. Lebih jelas, Vedi memaparkan bahwa ide radikalisme bisa diterima di Indonesia karena tiga hal. Pertama, karena ide ini merupakan respon sosial terhadap globalisasi yang tidak bisa menepati janjinya untuk menyejahterakan rakyat. Kedua, karena tidak ada oragnisasi lain (kiri) yang bisa menampung dan mewadahi pemikiran dan keinginan mereka. Ketiga, karena liberalisme telah didomestifikasikan. Oleh karena itu, Islam menjadi satusatunya lensa yang tersedia kepada orang-orang yang merasa dibohongi modernitas untuk mengajukan perlawanan terhadapnya, karena ideologi lain sudah ambruk atau terdomestikasi.[15] Pembacaan yang lebih kritis akan radikalisme dan terorisme sebagai gejala modern sangat kompleks. Ia memiliki matriks yang bersinggungan secara inheren dengan arus modernisasi dan globalisasi yang memberi ruang dan, dalam beberapa hal, memaksa munculnya identitas parokial serta ekspresi politik berbalut kekerasan. Jangkauan pengaruhnya mengalir paralel dengan penyebaran modernisasi dan globalisasi.[16] Maraknya aksi-aksi kekerasan dan teror mengatasnamakan jihad pascatumbangnya rezim Orde baru pada 1998 menandai ekspansi dan meningkatnya pengaruh radikalisme Islam dalam
5 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
lanskap politik Indonesia kontemporer. Dalam konteks ini, dimensi ekonomi politik yang mewarnai pergeseran lanskap geopolitik global dan ketegangan hubungan agama-negara yang terjadi dalam ranah politik domestik selalu menjadi bagian penting yang berperan mendorong pertumbuhan radikalisme.[17] Ikhtitâm Sebagai penutup dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan di muka maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia selama tahun 2011 yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus. 2. Bahwa interpretasi kitab suci agama dapat menyediakan legitimasi dan berfungsi sebagai sumber daya pembingkaian (framing resource) bagi aktivisme kekerasan. 3. Bahwa fenomena kekerasan yang bernuansa agama bukan suatu gejala yang sederhana atau yang terpisah dari pergulatan ideologis, teologis dan persoalan tantangan dunia global. 4. Bahwa untuk memahami radikalisme atau kekerasan atas nama agama menuntut kajian secara menyeluruh dan lintas disiplin.
Marâji’
Abdillah, Masykuri. 2000. "Agama dalam Pluralitas Masyarakat Bangsa" dalam Harian Kompas (opini) Jumat 25 Februari 2000. Bayah, Abdullah bin Syaikh Mahfuz bin. 2007.al-Irhab at-Tasykhis wa al-Hulul. Riyad:Maktabah al-Ibyikan. Fadl, Khalid Abou El. 2003. Cita dan Fakta Toleransi Islam .Arasy. Hadiz,Vedi R..2011.“Ketidakadilan Sosial, Akar Radikalisme”, dalam Komunitas Vol.III
6 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
No.8-Agustus 2011, Jakarta: Maarif Institute For Culture and Humanity. Hasan, Noorhaidi. 2010.”Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”,dalam Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi Edisi Islam dan Dunia Perjumpaan di Tengah Perbenturan ,Jakarta: LP3ES, Vol.29, Oktober 2010. Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil. Bandung: Mizan. Muzadi, Hasyim. 2003. Kompas tanggal 2/9/03. Nasr, S.H. 2003. The Heart of Islam. Bandung: Mizan. Renaldi, Adrian. 2004. "Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?" http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/10/opi02.html,accessed,12 Januari 2011.
From
Sindhunata dalam Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil, (Bandung: Mizan. 2003). The Wahid Institute. 2011.“ Lampu Merah Kebebasan Beragama”, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
* Artikel ini adalah pengembangan lebih lanjut paper pengantar diskusi disampaikan dalam Sidang Majlis Mudzakkarah DPPAI UII, Rabu, 29 Februari 2012.
** Staf pengajar FIAI UII dan Periset PSI UII.
[1]Sindhunata dalam Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil, (Bandung: Mizan. 2003), hlm.13-21.
7 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[2] The Wahid Institute, “Lampu Merah Kebebasan Beragama”, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), hlm.1.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]Sindhunata dalam Charles Kimball, Kala Agama...., hlm.27.
[6]Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana Pengantar Dr. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil, (Bandung: Mizan,2003).,hlm. 84-119.
[7]Ibid, hlm.125-157.
[8]Ibid, hlm.164-191.
8 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[9]Ibid, hlm. 197-228.
[10]Ibid, hlm. 234-263.
[11]Adrian Renaldi, "Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?" From http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/10/opi02.html,accessed,12 Januari 2011.
[12]Menurut sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu kelompok sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu, yang juga menjadi asal tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski teori ini sampai kini masih menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil dalam pembentuk hal ini, di samping faktor-faktor lain seperti politik dan ekonomi. Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari fungsi ini adalah bahwa agama bisa terefleksi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya, dan sekaligus faktor disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama ini dipahami secara absolut dan eksklusif. Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian meluas menjadi kasus Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini. Memang kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, termasuk faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu faktor yang cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat bagaimana umat beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa yang plural ini, baca Masykuri Abdillah, "Agama dalam Pluralitas Masyarakat Bangsa" dalam Harian Kompas (opini) Jumat 25 Februari 2000.
[13]Pandangan senada pernah dikemukakan masing-masing dalam Cita dan Fakta Toleransi Islam (Arasy, 2003) karya Khalid Abou El Fadl dan The Heart of Islam karya Seyyed Hosein Nasr (Mizan 2003). Karya Nasr ini mencoba menghadirkan visi universal dan keterbukaan Islam baik secara normatif maupun historis. Nasr, dengan visi Islam tradisionalnya, menampik kekerasan atas nama agama. Baginya, pluralisme agama bukan untuk diperkeruh dengan berbagai konflik tetapi justru ditempatkan pada upaya pencapaian spiritualitas universal agama-
9 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
agama. Jika buku El Fadl dan Seyyed Hosein Nasr berbicara dalam konteks agama Islam, Kimball dengan karyanya tersebut memberikan perspektif seorang Kristiani yang banyak bergumul dengan soal-soal hubungan antar agama.
[14]Hasyim Muzadi, dalam Kompas tanggal 2/9/03.
[15] “Ketidakadilan Sosial, Akar Radikalisme”, dalam Komunitas Vol.III No.8-Agustus 2011, Jakarta: Maarif Institute For Culture and Humanity, hlm.4-5.
[16] Abdullah bin Syaikh Mahfuz bin Bayah, al-Irhab al-Tasykhis wa al-Hulul, (Riyad:Maktabah al-Ibyikan, 2007), hlm.39-42.
[17] Noorhaidi Hasan,” Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”,dalam Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi Edisi Islam dan Dunia Perjumpaan di Tengah Perbenturan ,Jakarta: LP3ES, Vol.29, Oktober 2010, hlm.3.
10 / 10 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)