Mengkaji Islam Dan Pluralisme Di Indonesia Mujiburrahman ♣
Kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau-‐pulau yang dipersatukan di bawah kekuasaan satu negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya.1 Karena itu, yang menjadi persoalan bukanlah kenyataan bahwa bangsa ini adalah amat beragam (yang memang tak bisa disangkal), melainkan cara kita memandang dan mengelola keragaman tersebut. Saya kira di sinilah letak pentingnya “pluralisme” yang kiranya dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang positif terhadap keragaman, disertai dengan usaha yang sungguh-‐sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan berkeadilan. Para pendiri bangsa ini jelas sangat menyadari akan masalah keragaman ini. Pertanyaan penting yang harus dijawab mereka saat mendirikan negara ini adalah: atas dasar apakah kiranya segala yang beranekaragam itu dapat dipersatukan? Sejarah mencatat bahwa ada dua jawaban yang berbeda terhadap masalah ini. Satu kelompok mengatakan bahwa kita bisa bersatu atas dasar “kebangsaan” dan satu kelompok lagi mengatakan bahwa kita bisa bersatu atas dasar “agama”, yakni agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Sejarah bangsa kita juga penuh dengan catatan mengenai dialektika yang terus-‐menerus terjadi antara paham kebangsaan di satu pihak dan paham keislaman di pihak lain. Dialektika itu kadang bahkan berujung pada tindak kekerasan yang berdarah-‐darah, tetapi kadangpula terjadi suatu sintesis dan integrasi secara damai. Nampaknya disinilah letak pentingnya persoalan Islam dan pluralisme di Indonesia. Tentu saja, masalah Islam dan pluralisme di Indonesia tidak saja terbatas pada soal dialektika Islam dan kebangsaan semata, melainkan lebih dari itu. Masalah Islam dan pluralisme terasa semakin mendesak terutama setelah kita memasuki era Reformasi dimana kita memulai lagi suatu proses demokratisasi bangsa ini yang sempat agak tertunda beberapa dekade sebelumnya. Di Era Reformasi yang demokratis ini, kebebasan berpendapat dan berkumpul jauh lebih terjamin dibandingkan dengan di era sebelumnya. Kebebasan ini tentu saja punya konsekuensi, yang antara lain adalah munculnya beragam wacana dan gerakan secara terbuka di masyarakat. Suara-‐suara yang dulu dibungkam, kini mulai terdengar, sedangkan suara-‐suara lama juga tetap bergema. Di antara hiruk pikuk beragam suara itu, nampaknya suara yang cukup nyaring terdengar selama ini adalah suara-‐suara atas nama Islam. Dengan kata lain, di Era Reformasi ini nampak semakin terasa bahwa pluralisme pertama-‐tama adalah masalah internal kaum Muslim sendiri, yakni bagaimana setiap aliran Makalah disampaikan dalam workshop “Metodologi Penelitian Islam dan Pluralisme” yang dilaksanakan oleh PSIK, Universitas Paramadina Jakarta, 24 Juli 2007. 1Barangkali menarik dicatat bahwa mendiang Clifford Geertz dalam sebuah papernya mengatakan tentang Indonesia: “It is not just locally, accidentally and temporarily pluralist. It is, to commit a philosophical solecism and a political truth, pervasively, essentially, and permanently so.” Lihat Clifford Geertz, “The Near East in the Far East: On Islam in Indonesia” (Occassional Paper of the School of Social Science, December, 2001), 11. ♣
dalam Islam itu menyikapi aliran-‐aliran Islam lainnya. Selain masalah internal ini, tentu saja sangat penting pula masalah bagaimana kaum Muslim seharusnya menyikapi pihak luar, yakni non-‐Muslim. Apa yang telah dikemukakan diatas menunjukkan betapa pentingnya masalah yang kita bahas dalam workshop ini. Dalam kerangka acuan yang diberikan panitia disebutkan bahwa kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk merumuskan metodologi penelitian pluralisme dan mengidentifikasi masalah-‐masalah seputar Islam dan pluralisme, melainkan juga berupaya mengaitkannya dengan proses demokratisasi, pembentukan masyarakat sipil dan agenda-‐ agenda ke depan. Dalam makalah ini saya akan mencoba mengidentifikasi masalah-‐masalah seputar Islam dan pluralisme di Indonesia dengan melihatnya sebagai sebuah realitas yang dinamis di ruang publik. Dengan melihat Islam di ruang publik sebagai realitas yang plural dan berinteraksi dengan realitas-‐realitas lainnya, saya berharap penelitian Islam dan pluralisme di Indonesia pada gilirannya dapat membimbing kita menuju proses demokratisasi yang sehat di negeri ini. Ruang Publik, Islam dan Demokratisasi Istilah offentlichkeit yang diterjemahkan menjadi “ruang publik” (public sphere) diperkenalkan oleh filosof Jerman, Jürgen Habermas, dalam sebuah bukunya yang diterbitkan tahun 1962 dan juga sebuah artikel pendek yang diterbitkan tahun 1964.2 Dalam kedua karyanya ini, Habermas mengembangkan argumen bahwa kelahiran demokrasi di Eropa berasal dari ruang publik yang tumbuh di kalangan kelas borjuis. Apa yang dimaksud Habermas dengan ruang publik disini adalah suatu ruang dimana para anggota masyarakat dapat berdiskusi dan berdebat mengenai masalah-‐masalah yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak (public interest).3 Adanya café-‐café, salon-‐salon, klub-‐klub diskusi serta media cetak yang berkembang di Eropa abad ke-‐18 telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan terbuka. Tumbuhnya ruang publik ini seiring dengan bangkitnya kapitalisme di Eropa. Ruang publik inilah yang menjadi dasar utama bagi pertumbuhan demokrasi perwakilan di Eropa. Ruang publik abad ke-‐18 bagi Habermas adalah bentuk ideal dari partisipasi masyarakat dalam membicarakan kepentingan publik secara terbuka dan rasional. Berbagai surat kabar pada masa itu, kata Habermas, tidak sekadar berperan sebagai organ yang menyebarkan berita, melainkan sebagai media yang efektif dalam merangsang diskusi publik, dan pada Artikel ini terlebih dahulu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan terbit tahun 1974. Lihat Jürgen Habermas, “The Public Sphere: An Encyclopedia Article (1964)” Terj. Sara Lennox dan Frank Lennox New German Critique No.3 (Autumn, 1974), 49-55. Sedangkan karyanya yang dalam bentuk buku itu, terjemahan Inggrisnya baru terbit tahun 1989 dengan judul The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society Terj. Thomas Berger & Frederick Lawrance (Cambridge: Polity Press, 1989). 3 Habermas nampaknya tidak pernah membuat formulasi khusus mengenai definisi ruang publik. Namun definisi yang dibuat Charles Taylor nampaknya sejalan dengan pandangan Habermas. Menurut Taylor, ruang publik adalah “ruang bersama dimana anggota masayarakat bertemu melalui berbagai media: cetak, elektronik dan juga secara tatap muka, untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama; dan dengan demikian mereka dapat membentuk pandangan yang sama atas masalah-masalah tersebut.” Lihat Charles Taylor, “Modernity and the Rise of the Public Sphere”, The Tanner Lectures on Human Values No. 14 (1993), 220. 2
gilirannya dapat mengontrol kebijakan negara. Namun, menurut Habermas, dalam perkembangan berikutnya, ruang publik yang ideal itu dihancurkan oleh kekuatan yang membangkitkannya juga, yakni kapitalisme. Menyadari akan kekuatan media, para pemilik modal dan penguasa berlomba-‐lomba menggunakan media cetak dan elektronik bukan untuk menyebarkan berita dan diskusi demi kepentingan bersama, melainkan untuk suatu propaganda atau untuk kepentingan tersembunyi. Di sisi lain, melemahnya ruang publik ini telah diimbangi oleh meluasnya hak-‐hak asasi manusia yang dijamin oleh sistem kesejahteraan sosial yang berlaku di berbagai negara Eropa. Pandangan Habermas mengenai ‘ruang publik’ abad 18 telah banyak dikritik orang sebagai tidak sesuai dengan kenyataan dan terlalu idealistik.4 Jauh dari apa yang diidealkan Habermas, ruang publik di Eropa abad 18 itu tidaklah bersifat egaliter. Ada banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa ruang publik kaum borjuis Eropa itu membuat diskrimisi atas anggota masyarakat lain berdasarkan faktor kekayaan, gender dan agama. Selain itu, Habermas juga dianggap mengabaikan kenyataan bahwa ada banyak publik, bukan satu publik, yang terus bertarung untuk kepentingan mereka masing-‐masing. Asumsi tesis Habermas bahwa melalui ruang publik, masyarakat pada akhirnya akan dapat mencapai keputusan bersama berdasarkan pertimbangan rasional belaka juga perlu dipertanyakan. Dalam kenyataan, setiap orang atau kelompok kepentingan akan mengajukan argumen yang dalam pandangan mereka masing-‐masing adalah rasional. Artinya, mengandaikan adanya rasionalitas universal dalam masalah kepentingan umum seringkali tidak sesuai dengan realitas. Terlepas dari kritik-‐kritik diatas, pandangan Habermas mengenai ruang publik telah memberikan suatu sudut pandang yang penting mengenai perubahan masyarakat secara umum dan pertumbuhan demokrasi secara khusus. Melalui ide ruang publik ini, Habermas menunjukkan dengan baik bahwa perkembangan demokrasi tidak semata-‐mata tergantung kepada pemerintah, tetapi terutama kepada kekuatan dan budaya politik yang berkembang di masyarakat. Dengan ungkapan lain, demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan melainkan budaya politik masyarakat. Sekarang, bagaimana peran agama di ruang publik? Sekurang-‐kurangnya hingga tahun 1990-‐an, Habermas tidak begitu memperhitungkan peran agama ketika ia menjelaskan pandangannya mengenai ruang publik. Sebagai seorang pemikir yang masih berpegang teguh pada semangat pencerahan dan menegaskan bahwa pemikiran modern di Barat bersifat pos-‐ metafisis, maka dapat dipahami kalau Habermas cenderung melihat agama sebagai masalah pribadi (private) belaka. 5 Tetapi dalam sebuah artikelnya yang baru terbit tahun 2006 lalu, Habermas dengan jelas memberikan perhatian kepada peran agama di ruang publik.6 Perhatian Habermas pada agama ini tidak terlepas dari perkembangan politik global terkait dengan masalah terorisme dan perang Irak di satu pihak, dan perkembangan politik Amerika Serikat yang nampak semakin menunjukkan keterlibatan agama, khususnya Protestan, dalam Lihat artikel-artikel dalam Craig Calhoun (ed.), Habermas and the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1992). 5 Lihat William J. Meyer, “Private Faith or Public Religon? An Assessment of Habermas’s Changing View of Religion” The Journal of Religion (1995), 371-91. 6 Jürgen Habermas, “Religion in the Public Sphere” Terj. Jeremy Gaines European Journal of Philosophy 14:1 (2006), 1-25. 4
mendukung terpilihnya kembali Bush, di pihak lain. Kenyataan bahwa agama semakin berperan di ruang publik Amerika menunjukkan bahwa kemodernan tidak akan serta merta melahirkan privatisasi agama.7 Dalam artikel yang dikutip di atas, Habermas mencoba menjawab pertanyaan: Bagaimana sebaiknya peran agama diletakkan dalam sebuah negara demokratis yang secara tegas memisahkan agama dan negara? Menurut Habermas, setiap warga negara yang memegang teguh ajaran agamanya harus diberi hak untuk mengemukakan pendapatnya mengenai masalah-‐masalah publik dengan menggunakan argumen dan nalar keagamaannya. Di pihak lain, warga negara yang berpandangan sekuler tentu harus diberikan hak yang sama pula untuk membicarakan masalah publik. Dengan demikian, ketika kedua belah pihak berdiskusi, diharapkan akan terjadi suatu “proses belajar yang saling melengkapi” (compelementary learning process). Habermas menolak pandangan John Rawls yang mengatakan bahwa apabila seorang beragama ingin membicarakan masalah publik, dia harus meninggalkan “bahasa agama” dan menggantinya dengan “bahasa sekuler” yang netral. Menurut Habermas, pandangan Rawls ini sulit diterima karena bagaimanapun juga seorang yang teguh dalam beragama akan berusaha untuk selalu mengikuti ajaran agamanya dalam setiap langkah hidupnya, dan memaksa orang semacam ini untuk keluar dari horizon bahasa keagamaannya adalah memberikan beban yang berlebihan padanya. Di sisi lain, Habermas setuju bahwa jika masalah publik itu sudah memasuki institusi negara seperti lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka bahasa agama tidak boleh lagi digunakan demi terjaganya netralitas negara terhadap berbagai pandangan dunia dan agama yang berbeda di negara yang bersangkutan. Sebagai seorang pemikir Barat, Habermas memang tidak banyak memberikan perhatian terhadap masalah ruang publik di negeri-‐negeri Muslim. Di sisi lain, tidak sedikit ilmuwan sosial yang mengkaji berbagai masyarakat Islam tertarik untuk melihat kehadiran Islam di ruang publik.8 Ketertarikan mereka itu antara lain karena hampir di semua masyarakat Muslim, agama adalah persoalan publik yang sangat terkait dengan politik. Selain itu, arus deras informasi yang disalurkan melalui media elektronik dan cetak telah dapat membuka ruang publik dalam masyarakat Islam, bahkan di negara yang sangat otoriter sekalipun. Seperti halnya di Indonesia, di negara-‐negara Timur Tengah orang dengan relatif gampang dapat menemukan café-‐café internet, warung telekomunikasi, VCD dan DVD (asli atau bajakan), disamping melimpahnya media cetak berupa surat kabar, majalah, buku-‐buku hingga brosur dan pamplet. Singkatnya, media cetak dan elektronik telah membuka ruang publik bagi masyarakat Muslim. Para ilmuwan itu juga menemukan kenyataan bahwa kemunculan ruang publik ini pada gilirannya membuka peluang bagi fragmentasi dan penyebaran otoritas keagamaan di masyarakat. Lembaga atau perorangan yang mengklaim dirinya sebagai satu-‐ satunya suara kebenaran cenderung akan mendapat tantangan dari kelompok lain. Ruang publik mulai membuka kesempatan yang luas bagi setiap orang untuk memilih, berdebat dan 7Casanova
menyatakan bahwa di beberapa negara telah terjadi “deprivatisasi agama” dimana agama memasuki ruang publik untuk menyuarakan pembelaan HAM, mengumandangkan suara moral melawan kekuatan kapitalis yang tidak adil, dan melindungi tradisi agama dari campur tangan negara. José Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: The University of Chicago Press, 1994), 57-8. 8 Lihat Dale F. Eickelman dan Jon Anderson (eds.), New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, edisi revisi, (Bloomington: Indiana University Press, 2003).
menawarkan tafsiran lain terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Alhasil, ruang publik telah membuka jalan bagi partisipasi politik dan demokratisasi di berbagai masyarakat Muslim, meskipun dengan kadar yang berbeda-‐beda. Berbagai Masalah Islam dan Pluralisme di Indonesia Dalam bagian ini, saya akan mencoba mengidentifikasi secara garis besar berbagai masalah seputar Islam dan pluralisme di Indonesia yang nampaknya layak diteliti dan dianalisis dari sudut pandang kehadiran dan dinamika masalah tersebut di ruang publik. Ada beberapa Indonesianis yang telah mencoba menganalisis kehadiran Islam di ruang publik Indonesia, misalnya Robert W. Hefner, John R. Bowen dan Kenneth M. George,9 namun nampaknya kajian-‐kajian tersebut masih perlu dikembangkan lebih jauh, khususnya dalam konteks Islam dan pluralisme. Secara umum barangkali problematika Islam dan pluralisme di Indonesia dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok masalah: pertama, masalah Islam dalam kaitannya dengan kebijakan-‐kebijakan keagamaan negara, dan kedua, masalah Islam sebagai wacana dan gerakan. Kedua kelompok masalah ini saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, meskipun tidak tumpang tindih. Yang pertama terletak pada negara, sedangkan yang kedua berkembang di masyarakat. Sebenarnya, yang kedualah yang berada di ruang publik, namun yang pertama seringkali (meskipun tidak selalu) lahir karena adanya desakan atau negosiasi antara negara dan masyarakat. Dalam pengantar makalah ini telah disinggung mengenai adanya hubungan dialektis antara paham kebangsaan dan keislaman dalam sejarah bangsa kita. Dalam sejarah itu, telah terjadi hubungan yang bersifat konfrontatif dan juga integratif antara keduanya. Secara umum disini dapat dikatakan bahwa yang membuat bangsa ini bertahan hingga sekarang nampaknya adalah karena adanya kompromi-‐kompromi yang berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dihapuskannya tujuh kata dari Piagam Jakarta dan diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” di satu pihak, serta didirikannya Departemen Agama di pihak lain, jelas menunjukkan adanya kompromi itu. Maka karena kompromi itulah negara kita ini tidak jelas “jenis kelaminnya”, bukan negara sekuler, bukan juga negara agama (negara bukan-‐bukan). Di dalamnya terdapat ruang abu-‐abu untuk sengketa dan negosiasi. Saya kira di sinilah menarik dan uniknya Indonesia ini. Dalam kaitannya dengan kajian Islam dan pluralisme, tentu akan menarik untuk diteliti bagaimana berbagai kebijakan keagamaan negara lahir dari proses perdebatan dan negosiasi di ruang publik. Konteks sosial politik yang melatarbelakingnya tentu saja sangat penting. Pada saat mana negara kita dikuasai oleh sistem yang otoriter seperti pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-‐1965) dan Orde Baru (1966-‐1998), tentu saja kebebasan mengungkapkan pendapat di ruang publik sangat terbatas sehingga kadang-‐kadang informasi di balik layar jauh lebih penting ketimbang apa yang dinyatakan secara eksplisit di media. Tetapi di Era Lihat Robert W. Hefner, “Civic Pluralism Denied? The New Media and Jihadi Violence in Indonesia” dalam Eickelman dan Anderson, New Media in the Muslim World, 159-75; John R. Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), dan Kenneth M. George, “Designs on Indonesia’s Muslim Communities” The Journal of Asian Studies Vol. 57 No. 3 (August, 1998), 693-713. 9
Reformasi sekarang ini, kita nampaknya sudah memiliki ruang publik yang cukup bebas sehingga kajian-‐kajian terhadap masalah kebijakan keagamaan negara akan sangat menarik jika dilihat dari sudut bagaimana kebijakan itu diwujudkan melalui proses interaksinya dengan perdebatan di ruang publik. Berbagai kebijakan keagamaan negara seperti mengenai izin pembangunan rumah ibadah, perkawinan menurut hukum agama dan hukum sekuler, perkawinan antar agama, dukungan pemerintah terhadap lembaga-‐lembaga pendidikan keagamaan, pelajaran agama yang diwajibkan di sekolah dan universitas, pengaturan mengenai penyiaran agama dan sebagainya, semua ini adalah masalah-‐masalah yang seringkali kontroversial dan diperdebatkan di ruang publik. Pada masa Orde Baru di mana ruang publik masih tidak sebebas sekarang, tentu saja perdebatan terbuka mengenai isu-‐isu tersebut tidak selalu dapat diikuti dari media atau diskusi terbuka.10 Hal ini nampak berbeda ketika di Era Reformasi ini orang begitu ramai meperdebatkan pasal tentang pelajaran agama di RUU Sisdiknas, atau ramainya orang membicarakan RUU KUB dan RUU APP. Di sisi lain, jika di masa Orde Baru kita sulit membayangkan adanya “Perda Syari’ah”, maka di masa sekarang ia justeru muncul dan dilaksanakan di daerah-‐daerah tertentu. Jadi, sekarang ini kajian tentang Islam dan pluralisme dilihat dari bagaimana kebijakan-‐kebijakan negara dipengaruhi atau direspons di ruang publik oleh masyarakat sangatlah terbuka lebar. Selain masalah-‐masalah seputar kebijakan-‐kebijakan keagamaan negara, yang tak kalah menariknya adalah kajian terhadap berbagai wacana dan gerakan Islam yang berkembang saat ini. Kehadiran berbagai wacana Islam di ruang publik Indonesia saat ini begitu melimpah untuk diteliti. Berbagai media cetak seperti surat kabar, tabloid, majalah, bulletin dan sebagainya yang menyuarakan berbagai versi tentang Islam dalam kaitannya dengan kepentingan publik begitu “berhamburan” di masyarakat. Belum lagi kalau kita berbicara tentang fenomena buku-‐buku Islam, baik yang bersifat akademik ataupun populer, termasuk majalah anak-‐anak dan buku-‐buku cerita bergambar untuk anak-‐anak. Satu hal di sini juga perlu dicatat bahwa karya-‐karya sastra—baik yang jelas-‐jelas berbasis ideologi keislaman tertentu seperti novel-‐novel yang ditulis oleh mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP), ataupun oleh mereka yang cenderung sekuler tetapi juga menyinggung soal-‐soal agama—sangat layak untuk kita teliti. Demikianpula media elektronik seperti radio, televisi, internet, kaset, VCD dan DVD yang seringkali menyiarkan hal-‐hal yang bersifat keislaman. Pertanyaan-‐pertanyaan penting yang mungkin perlu diajukan dalam kajian wacana keislaman ini antara lain adalah: apa saja isu-‐isu publik yang dibicarakan? Apa argumen-‐ argumen yang dikemukakan? Bagaimana satu kelompok menanggapi posisi kelompok lain, termasuk kelompok non-‐Muslim? Sejauh mana suatu wacana menyebar di masyarakat dan bagaimana tanggapan orang lain terhadapnya? Apakah sebuah wacana berhasil atau tidak berhasil melahirkan suatu kebijakan publik negara? Adakah terjadi kompromi-‐kompromi ketika suatu wacana diperdebatkan, dan mengapa? dst. Wacana keislaman seringkali tidak terlepas dari gerakan-‐gerakan Islam yang tumbuh dan berkembang. Karena itu dalam mengkaji wacana-‐wacana keislaman di ruang publik, perlu
Untuk kajian masa Orde Baru, lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (Amsterdam: ISIM/Amsterdam University Press, 2006). 10
diperhatikan dari mana datangnya wacana-‐wacana itu. Gerakan-‐gerakan Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, atau LSM-‐LSM yang lahir dari tradisi keagamaan dua organisasi ini, biasanya menawarkan wacana-‐wacana keislaman tertentu, yang berbeda dengan wacana-‐wacana keislaman kelompok lain seperti Hizbut Tahrir, FPI dan Majelis Mujahidin. Demikianpula gerakan-‐gerakan mahasiswa Islam seperti HMI, PMII dan KAMMI mungkin akan mengusung wacana-‐wacana yang berbeda, baik dalam diskusi terbuka atau aksi-‐aksi di jalan. Semua ini adalah lahan yang subur untuk kajian Islam dan pluralisme. Dalam mengkaji gerakan-‐gerakan keislaman ini, seorang peneliti antara lain dapat menanyakan: Bagaimana gerakan-‐gerakan itu menyikapi isu-‐isu publik, dan bagaimana mereka sebagai suatu kekuatan sosial dapat mempengaruhi kebijakan negara? Bagaimana hubungan antara satu gerakan Islam dengan gerakan Islam lainnya dalam menyikapi isu publik tertentu? Apa saja strategi yang dilakukan oleh gerakan-‐gerakan itu dalam memperjuangkan pendirian mereka mengenai isu publik tertentu? Bagaimana hubungan gerakan Islam itu dengan kekuatan-‐kekuatan sosial di luar Islam? dst. Menuju Demokratisasi yang Sehat Di atas saya telah mencoba menunjukkan bahwa kajian-‐kajian terhadap berbagai masalah seputar Islam dan pluralisme dengan meneliti Islam yang hadir di ruang publik merupakan upaya memahami ragam dan dinamika Islam itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan proses pembentukan kebijakan keagamaan negara, ataupun dalam dinamika hubungan antara berbagai wacana dan gerakan Islam itu sendiri, dan/atau dengan wacana dan gerakan di luar Islam. Namun, kajian-‐kajian tersebut tentu tidak cukup kalau sekadar ingin memuaskan rasa ingin tahu kita belaka. Kajian-‐kajian seputar Islam dan pluralisme di ruang publik diharapkan dapat menyingkapkan kepada kita mengenai bagaimana kiranya agar ruang publik yang menjadi ranah kehadiran beragam kelompok Islam dan kelompok-‐kelompok lainnya dapat menjadi suatu kekuatan dalam mendewasakan demokrasi bangsa kita. Kajian-‐kajian yang mendalam di bidang ini diharapkan dapat mengungkapkan kepada kita apa saja kendala-‐ kendala sekaligus peluang-‐peluang dari kemungkinan terbentuknya sebuah konsensus tentang isu publik tertentu, khususnya yang berkaitan dengan agama, secara damai dan berkeadilan. Kemungkinan akan lahirnya konsensus mengenai isu publik tertentu dimana semua pihak dapat menerimanya dengan lapang dada bukanlah suatu hal yang mustahil. Dalam penelitian yang saya lakukan baru-‐baru ini di Makassar mengenai masalah penerapan Syariah, khususnya yang diperjuangkan oleh Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), ditemukan pandangan-‐pandangan positif dari sebagian tokoh masyarakat di kota itu mengenai tersedianya ruang publik yang bebas dimana baik para pendukung ataupun penolak gagasan formalisasi syari’at Islam itu dapat mengemukakan pandangan mereka secara terbuka. Misalnya, seorang pendeta, cendekiawan dan dosen STT Intim, Daniel Sopamena, mengatakan kepada saya: Justeru setelah Orde Baru perjuangan syariat Islam itu jauh lebih bersemangat oleh karena keran demokrasi dibuka. Orang kan tidak lagi malu-‐malu atau takut. Menurut pendapat saya, pada satu sisi kita memang kuatir terhadap kelompok-‐kelompok radikal
Islam yang memperjuangkan syariat Islam ini. Tapi pada sisi lain, saya lebih senang karena mereka lebih transparan, dan kita jadi tau aspirasi dari kelompok-‐kelompok ini. Dengan keterbukaan seperti ini kita lebih mengerti tiap-‐tiap orang dengan aspirasinya. Misalnya, yang memperjuangkan syariat Islam atau formalisasi agama itu ternyata mereka juga memiliki visi yang berbeda-‐beda.11 Sebagai tokoh agama minoritas (Kristen) tentu wajar kalau ada perasaan “terancam” dengan aspirasi formalisasi syariat Islam, tetapi Sopamena dapat melihat sisi positif dari munculnya aspirasi ini di Era Refromasi karena adanya keterbukaan dan transparansi, yakni adanya ruang publik yang bebas. Lantas bagaimana pandangan tokoh KPPSI sendiri? Aswar Hasan, mantan Sekeretaris Jenderal KPPSI dan sekarang menjabat Ketua Divisi Penyiaran, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, mengatakan kepada saya: Terjadi sebuah dinamika yang begitu kencang ketika terjadi Reformasi. Islam sebagai sebuah kekuatan politik formal maupun informal tiba-‐tiba bangkit semua. Fenomena kebangkitan politik formal misalnya ditunjukkan oleh lahirnya PKS, sedangkan KPPSI merupakan wujud informal yang tidak masuk ke dalam struktur. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengartikulasikan model format Islam. Problematika teman-‐teman di informal [seperti KPPSI] adalah bagaimana mengartikulasikan aspirasi Islam dalam sebuah kebijakan politik, misalnya dalam bentuk perda. Nah, perda-‐perda syariah ini kemudian mengalami kontroversi-‐kontroversi. Meskipun secara kolektif emosional mendapatkan dukungan, tetapi apakah itu wujud nyata model Islam yang kita harapkan? Belum kayaknya. Teman-‐teman NGO yang kritis kemudian mengkritisi: bagaimana dengan aspirasi minoritas? Misalnya tentang perda jilbab, bagaimana mungkin mereka harus dipaksa berjilbab? Di kalangan internal sendiri juga dipertanyakan, apakah memang begini syariat Islam diterapkan? Bagaimana kalau ditinjau dari sudut hukum Islam yang sebenarnya? Jadi, ini semua belum selesai…Di kalangan KPPSI kemudian terjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa perda itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai syariat Islam. Akhirnya terdapat titik temu dan diputuskan untuk menyebutnya “Perda Amar Ma’ruf Nahi Munkar”… Pada akhirnya, pasal-‐pasalnya malah tidak merujuk ke syariat, melainkan kepada hukum pidana yang ada. Saya pikir itu menarik sebagai proses terbangunnya sistem politik antara demokrasi dan Islam dengan fenomena aspirasi syariat Islam. Bagaimana model finalnya nanti? Saya sendiri orang dalam, belum tau.12 Saya rasa apa yang dikemukakam oleh Daniel Sopamena dan Aswar Hasan diatas menunjukkan dengan jelas bahwa salah satu isu yang terkait dengan Islam dan pluralisme di Indonesia saat ini, yakni perda syariat Islam, ternyata masih berproses dalam sebuah dinamika yang mungkin pada akhirnya berujung pada satu konsensus yang melegakan. Debat-‐debat di ruang publik nampaknya tidaklah sia-‐sia. Mungkin inilah apa yang dimaksud oleh Habermas dengan “proses belajar yang saling melengkapi” itu, bukan sekadar antara pandangan agama 11 12
Wawancara dengan Daniel Sopamena, Makassar, 20 Juni 2007. Wawancara dengan Aswar Hasan, Makassar, 24 Juni 2007.
dan sekuler, melainkan juga antara berbagai pandangan di kalangan agama itu sendiri. Proses saling belajar ini memang tidak mudah, tetapi juga tidak mustahil untuk diwujudkan, bukan? Wallāhu a‘lam bi al-‐shawāb. Banjarmasin, 10 Juli 2007.