MANAJEMEN WAKAF DI INDONESIA (Analisis Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Mengembangkan Wakaf Produktif) Oleh: Rusydi Sulaiman Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, berdomisili di Pangkalpinang, Email:
[email protected] Abstract:
BE
L
In Indonesia, waqf could not run effectively because of some problems; public policy, public trust and management of waqf and so on . It was different with other moslem countries, such as Egypt and Malaysia, also Singapore even it is not moslem country, etc. As an Islamic Philanthropy, Waqf contributed significantly to build community.This article describes about waqf in Indonesia: Strengthening the role of Syari’ah Finacial Insitution. It consists of pradigm of waqf, some policies to waqf in Indonesia, Waqf and Social-justice, the institutionalization of Waqf management, the role of Syari’ah Finacial Institution in developing productive waqf, and Waqf Center: a case in Kep. Bangka Belitung.. Two
Productive Waqf, Waqf Management, The institution of
N
Key-words: Waqf, Syari’ah Finacial
SA
S
BA
types of Syari’ah Financial Instituiton which manages money-waqf are an instituiton of bank and non-bank. As financial institution, both have a big role in developing a product and commercial-service to have an invest and other profit then. So a productive waqf should be well-managed to create out-standing community.
ST
AI
A. Pendahuluan Wakaf merupakan aset umat yang kenyataannya memberikan kontribusi cukup signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di negara-negara muslim yang telah mampu mengelola wakaf atau yang memiliki lembaga khusus wakaf. Wakaf biasanya dikelola secara efisien, kreatif dan ditunjang oleh sarana prasarana wakaf yang sangat memadai karena ia merupakan pilar utama filantropi Islam. Tidak juga di Indonesia, wakaf belum tampil dalam bentuk yang seutuhnya seperti di Negara-negara Timur Tengah, karena masih dalam proses mencari pola, bentuk dan sistem pengelolaannya. Terkadang wakaf yang alih-alih memberikan pelayanan kepada masyarakat, tapi justru membebani mereka dengan biaya operasional dan ongkos pelayanan yang sangat tinggi. Dalam hal yuridis dan perlindungan terhadap wakaf pun masih menjadi hambatan yang berarti. Pemerintah belum menunjukkan perhatian khusus ke arah pengembangan yang positif. Bila dibandingkan dengan Singapura yang notabene bukan negara muslim, Negara ini (Indonesia) sangat lamban. Tak satupun asset wakaf yang dikelola perorangan, semuanya dikelola secara korporat dan berada di bawah naungan MUIS (Majlis
1
S
BA
BE
L
Ugama Islam Singapura). Satu anak perusahaan, yaitu WAREES (Wakaf Real Estate Singapura) telah ditunjuk untuk mengelola wakaf; tidak sekedar membangun fisik, melainkan menjadi konsultan manajemen dan bisnis pengembangan aset wakaf.1 MUIS merupakan lembaga yang sangat independen dan mendapat trust cukup besar dari pemerintahnya. Juga di negara muslim seperti Mesir, sejak tahun 1946 dikeluarkan Qanun No.46 tahun 1946 yang mengatur seluruh potensi dan pengelolaan wakaf secara umum dan intens dikembangkan dengan situasi dan kondisi dengan tetap berdasarkan Syari'at Islam. Wakaf di negara tersebut berkembang sangat dinamis dan memberikan dampak sosial ekonomi secara nyata kepada masyarakat.2 Kenyataan tersebut paling tidak memotivasi semua pihak di negara ini dalam hal ghirah mengelola wakaf, apalagi pasca diberlakukannya Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2006. Satu hal yamg harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan aset wakaf dan mengelolanya dengan manajemen yang baik dan efektif. Sebagai respon terhadap fenomena di atas, tulisan ini akan membahas tentang Manajemen Wakaf di Indonesia: Analisis Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Mengembangkan Wakaf Produktif. Bahasan terdiri dari beberapa sub bahasan, yaitu: paradigma wakaf. Asas legalitas: beberapa kebijakan terhadap perwakafan di Indonesia, wakaf dan keadilan sosial, manajemen pengelolaan wakaf produktif, peran lembaga keuangan syari’ah terhadap wakaf produktif, dan kasus Wakaf Center di Kep. Bangka Belitung.
1
ST
AI
N
SA
B. Paradigma Wakaf Walaupun keberadaan wakaf di Indonesia tak terlepas dari dinamika interrelasi antar umat Islam, rezim penguasa dan konstalasi sosial politik yang mengitarinya, wakaf tetap saja berjalan, dan lembaga-lembaga wakaf tidak serta merta menggantungkan pertumbuhannya pada negara. Dalam situasi sangat sulit sekalipun, wakaf tetap digandrungi dan lembaganya semakin survive. Secara normative-teologis, keharusan wakaf telah merupakan bagian keyakinan umat Islam. “Ma Yutsaabu ‘ala Fi’lihi wa Yu’aaqabu ‘ala Tarkihi”. Begitu besar pahala bagi mereka yang menyisihkan hartanya dalam bentuk wakaf. Hanya saja Terdapat beberapa keuanggulan yang dapat dipetik dari pengelolaan ZIS dan Wakaf di Singapura, yaitu: Pertama, tidak ada interfensi pemerintah terhadap wakaf yang dikelola warganya. Bagi pemerintah, sesuatu yang telah berjalan dengan baik tak perlu diotak atik dan tak perlu diatur dalam peraturan dan Undang Undang tertentu. Lima kata kunci dalam Singapore 21 Vision adalah: Strong Families, Everi Singaporean Matters, Opportunities for all, The Singapore Hearbeat, and Active Citizenship. Kedua, kondisi ekonomi Singapur yang telah membaik memberikan kekeluasaan pengelolaan wakaf. Aset wakaf dalam bisnis tertentu menghasilkan pajak sekaligud sebagai asset Negara. Ketiga, MUIS (Majlis Ugama Islam Singapur) terkondisikan untuk menjadi professional. MUIS membentuk WAREES untuk mengeola seluruh asset wakaf di Singapura yang sebagiannya dikembangkan dalam bentuk bisnis. Lihat Eri Sudewo, Pengelolaan ZIS dan Wakaf di Singapura, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di jakarta 2 Departemen Agaa RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departen Agama RI, 2005).,h.8
2
3
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
pemahaman yang demikian tentang wakaf sepertinya sulit untuk mengarahkan wakaf menuju keadilan sosial di tengah masyarakat. Secara harfiah, wakaf berarti menahan, akan tetapi pengertian sebenarnya adalah pemberian harta benda sebagai amal bagi kesejahteraan harta tertentu bagi tujuan agama yang baik. Secara aktual, penahanan benda tertentu dari kepemilikan orang yang beruntung dan memberikan keuntungan atau derma dengan tujuan yang baik kepada orang lain atau orang miskin.3 Menurut Imam Muhammad Idris alSyafi’i, Imam Malik dan dua murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad, wakaf mengisyaratkan penghilangan kepemilikan keuntungan yang diabdikan dan pemberian pada kepemilikan Allah (‘ala Hukm milk Allah) karena keuntungannya harus digunakan demi kesejahteraan manusia dari awal sampai akhir.4 Ketika wakaf dibuat, beberapa orang ditetapkan sebagai manajer (Mutawalli), dan harta wakaf selalu tetap menyisakan harta kekayaan wakaf dan tidak dapat berubah karakteristiknya. Wakaf diberikan untuk kesejahteraan umum, bukan untuk seseorang sebagai harta pusaka atau hibah, yaitu: waqf ahli (wakaf keluarga) dan waqf al-Khairi (wakaf kebaikan).5 Wacana hukum wakaf disebut fikih wakaf berupa sejumlah aturan hukum bagaimana wakaf seharusnya dipraktikkan dalam kerangka syari’ah.6 Dalam perkembangannya wakaf tidak dipahami sebatas benda tak bergerak (Bab VI Pasal 16 Ayat 1 huruf a), melainkan benda bergerak (Bab VI Pasal 16 ayat 1 huruf b) yang tidak bisa habis karena dikonsumsi berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun secara formal telah diatur, namun kenyataannya masih menyisakan polemik (khilafiyah) di kalangan sebagian ulama. Di beberapa Negara muslim, uang sebagai harta benda bergerak yang dikeluarkan sangatlah efektif penerapannya, disebut wakaf tunai (Wakaf Produktif). Paling tidak ada tiga tahapan pemahaman tentang pengelolaan wakaf di Indonesia, yaitu: periode tradisional,
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), terj. Oleh Rusydi Sulaiman dan Zaimudin, dari Syari’ah: The Islamic Law, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2002).,h. 431-431 4 Lihat al-Syafi’I, Kitab al-Umm, jilid 3.,h. 281 5 A.rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), terj. Oleh Rusydi Sulaiman dan Zaimudin, dari Syari’ah: The Islamic Law.,h.432 6 Secara tematik, wacana fikih wakaf klasik memiliki tiga masalah penting, yaitu: pertama, masalah pendidirian sebuah wakaf yang mencakup formulasi hukum mengenai rukun dan syarat syahnya sebuah wakaf. Kedua, isu seputar status hokum dar sebuah wakaf. Isu ini mencakup kepemilikan harta wakaf dan status wakaf apabila mengalami kerusakan. Ketiga, yang juga tidak kalah pentingnya mengenai administrasi wakaf itu sendiri. Dalam fikih klasik, tema penting seputar prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan wakaf tidak memperoleh perhatian khusus. Penekanannya lebih kepada sifat amanah nazhir. Lihat Tuti A.Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006).,h.37
3
semi professional dan periode professional.7 Wakaf tunai yang masih menjadi wacana cukup lama di Indonesia perlu disosialisasikan secara intensif agar diserpon cepat dan segera dirasakan manfaatnya bagi permasalahan ekonomi umat Islam. Negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Mesir, Marokko, Kuwait, dan Qatar cukuplah sebagai Negara percontohan dalam mengelola harta benda wakaf produktif.
S
BA
BE
L
C. Asas Legalitas Wakaf: Beberapa Kebijakan Wakaf sebenarnya telah menjadi bagian kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia sejak masalah tersebut (bagian dari Syari’ah) diajarkan kepada mereka. Namun legalitas perwakafan baru diberlakukan pada tahun 1905 oleh Kolonial Belanda, yaitu dalam seperangkat hukum positif yang direvisi dalam surat edaran tahun 1931, dan diperbaharui lagi dalam peraturan tahun 1934 dan 1935. Disebutkan bahwa pemerintah tidak bermaksud menghalangi kebebasan umat Islam dalam menjalankan peribadatan mereka. Pembatasan pendirian rumah ibadah baru boleh dilakukan apabila dikehendaki untuk kepentingan umum. Edaran tersebut memerintahkan agar para bupati mendaftar rumah-rumah ibadah di wilayahnya masing-masing terutama menyangkut asal ususlnya, dipakai untuk shalat jum’at atau tidak, ada pekarangan atau tidak, serta ada wakaf atau tidak.8 Sebagai penegasan edaran sebelumnya, dinyatakan bahwa seandainya terjadi sengketa dalam penyelenggaraan ibadah antar umat Islam, bupati boleh mejadi penengah bila 7
ST
AI
N
SA
Pertama, periode tradisional, wakaf masih dipahami dalam kategori ibadah mahdhah. Hampir semua harta benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik (benda tidak bergerak), seperti masjid, pesantren, pesantren, kuburan dan semacamnya. Keberadaan wakafpun belum memberikan kontribusi social yang lebih luas, dan masih bersifat sangat konsumtif. Nazhir yang diberi amanah juga belum meiliki kemampuan manajerial dalam mengelola tanah atau bangunan yang diwakafkan. Pemahaman secara umum tentang wakaf pada periode ini adalah: kebiasan lisan masih banyak digunakan dalam ikrar wakaf untuk benda yang tidak bergerak Benda tersebut tidak diperbolehkan untuk ditukar dengan benda lain Kedua, periode semi professional. Dalam periode ini model pengelolaannya hamper sama dengan periode sebelumnya, hanya sudah mulai dikembangkan dengan cara produktif. Sebagai contoh, masjid yang diwakafkan sudah ditambah dengan bangunan lain seperti balai pertemuan, pernikahan, seminar dan kegiatan lainnya. Tanah-tanah wakaf sudah diberdayakan untuk lahan pertanian, pendirian usaha kecil seperti totko, penggilingan padi dan lainnya meskipun pola pengelolaannya masih tradisional dan belum dinamis. Selain itu, wakaf dikelola dengan pola pengkajian dan penelitian secara intensif sebagaimana yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Ketiga, periode professional. Dalam periode ini wakaf sudah diberdayakan secara professional-produktif dalam bidang manajemen, SDM, kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk wakaf yang tidak hanya berupa harta yang tidak bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan political-will pemerintah secara penuh. Munculnya gagasan wakaf tunai oleh Prof M.A. Mannan dari Bangladesh dan wakaf investasi oleh Dompet Dhua’afa Republika yang bekerja sama dengan batasa Capital (BTS) merupakan contoh yang dikembangkan dalam periode ini. Periode ini juga ditandai dengan dikeluarkannya UU wakaf baru, peran UU Otonomi Daerah, Perda, kebijakan moneter nasional, UU Perpajakan dan sebagainya. Tanah-tanah wakaf yang memiliki posisi strategis lalu diberdayakan ekonominya secara maksimal, kemudian hasilnya digunakan untuk kesejahteraan umum. Lihat Departemen Agama RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departen Agama RI, 2005).,h.1-5 8 Pernyataan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Sekretaris Gubernenen tgl. 31 januari 1905 Nomor 435 termuat dalam Bijblad Nomor 6196, ditujukan kepada Kepala daerah di Jawa dan Madura
4
9
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
diminta.9 Hal tersebut dianggap satu bentuk intervensi pemerintah terhadap masalah social keagamaan umat Islam. Sampai periode kemerdekaan, persoalan yang dihadapi umat Islam sepertinya semakin beragam dan sangat tidak memadai, termasuk perwakafan. Peraturan Kolonial Belanda yang dikeluarkan oleh sekretaria Gubernemen memberi pengaruh terhadap kebijakan pemerintah selanjutnya, karena UUPA No.50.1960 tentang perwakafan tidak menunjukkan adanya Good Will pemerintah. Undang Undang tersebut hanya mengatur wakaf tanah (benda tak bergerak), sama halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, yaitu tentang perwakafan tanah milik. Walaupun demikian, dua peraturan tersebut (terutama UUPA No.50 Tahun 1960) dianggap sebagai titik awal pembaharuan perwakafan di Indonesia. Penguatan wakaf sebagai pilar ekonomi filantropi Islam mengalami kendala formil, tidak seperti yang duberlakukan terhadap kelembagaan zakat yang kemudian diatur dalam Undang-Undang RI No. 38 tahun 1999 dan Kep. Menteri Agama RI No.581 tahun 1999. Peraturan-peraturan tentang wakaf belum tampil dalam bentuk yang integral dan lengkap.10 Sehingga belum memberikan dampak perbaikan sosial yang berarti, apalagi tidak didukung oleh keberdaan nazhir yang tidak professional dan amanah. Regulasi wakaf baru disebut sebagai tahap yang cukup maju setelah diterbitkannya Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004.11 Diharapkan dengan peraturan tersebut, sektor wakaf mampu mem-back up ekonomi Negara yang baru akan bangkit dari krisis. Para ulama menyambut antusias kebijakan pemerintah yang sangat berpihak kepada umat Islam yang sebelumnya diprediksi stagnan. Tentunya yang demikian akan membuka kran partisipasi publik terhadap wakaf, dan sekaligus mempererat hubungan pemerintah dan rakyat. Stigma miring yang selama ini melekat pada segala urusan perwakafan lambat laun menuju ke arah yang lebih positif. Sejak itu bermunculanlah lembaga-lembaga wakaf sebagai Nadzir yang mengelola harta benda akibat transaksi wakaf dari umat Islam (Muwakif). Ternyata pemerintah telah merintis dan memberi andil besar dalam menginisiasi dan memfasilitasi lahirnya Undang-Undang Perwakafan, terkhusus Undang-Undang No,41 Tahun 2004, dan juga Undang-Undang No.42 tahun 2006. Pernyataan tersebut tercantum dalam Surat Edaran sekretaris Gubernemen tgl. 24 desember 1934 No. 3088/A, termuat dalam Bijblad tahun 1934 No. 13390 10 Beberapa peraturan perundang-undangan wakaf sebelumnya adalah: Peraturan Menteri Agama RI No/1 Tahun 1978 tentang pelaksanaan PP.No.28 tahun 1077, Peraturan Birjen Bimas Islam Depag RI. No. Kep/D/75/1978, Inpres No.1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). . Lihat Departemen Agaa RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departen Agama RI, 2005).,h.10 11 Undang-Undang tersebut terdiri dari sebelas bab dan tujuh puluh satu pasal, yaitu :pertama, ketentuan umum. Kedua, dasar-dasar wakaf. Ketiga, pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf. Keempat, perubahan status harta benda wakaf. Kelima, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Ieenam, badan wakaf Indonesia. Ketujuh, penyelesaian sengketa. Kedelapan, pembinaan dan pengawasan. Kesembilan, ketentuan pidana dan sanksi administrasi. Kesepuluh, ketentuan peralihan. Kesebelas, ketentuan penutup. Lihat Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, 2005
5
Departemen Agama (sekarang—Kementerian Agama) merupakan fasilitator sekaligus regulator Rancangan Undang-Undang Perwakafan tahun 2004. Lembaga inilah yang memantau seluruh kegiatan dan peraturan perundang-undangan wakaf yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan kekinian untuk kemudian mengusulkan perubahan kebijakan bersama.12
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
D. Wakaf dan Keadilan Sosial Selain zakat, infaq dan shadaqah, wakaf juga merupakan pilar penting filantropi Islam di Indonesia. Berbagai lembaga wakaf telah bermunculan di penjuru dunia, dan lembaga-lembaga tersebut pada umumnya dibentuk oleh individu dan prganisasi yang memiliki sumber daya dan mendedikasikannya untuk tujuan-tujuan yang spesifik. Para pemanfaatnya adalah anggota keluarga, orang-orang yang miskin dan tidak mampu, institusi keagamaan,usaha-usaha kebudayaan, jasa dan layanan kesehatan, dan sebagainya. Lembaga filantropi ini merupakan usaha kemanusiaan yang telah muncul sebelum Islam lahir pada fajar abad ke-7 M.13 Namun disayangkan keberadaannya yang sangat potensial dalam memberikan kontribusi terhadap masalah kemiskinan di Indonesia belumlah berjalan efektif sesuai harapan masyarakat. Harta benda wakaf yang semestinya dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang dan peruntukan yang beragam, karena pemahaman yang sangat normatif, maka ia tidak produktif dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Beberapa kendala antara lain adalah: pertama, pandangan umum masyarakat yang cenderung melihat wakaf sebagai persoalan peribadatan saja, sehingga mereka hanya berkutat pada pelayanan keagamaan. kedua, kapasitas manajerial dan profesionalisme pengelola wakaf (nazhir) masih rendah, sehingga tidak ditemukan inovasi pengembangan wakaf untuk kesejahteraan social. ketiga, peran pemerintah dalam upaya pengembangan wakaf belumlah maksimal, khususnya dalam mendorong fungsi wakaf untuk memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam pengertian yang lebih luas dan berwawasan global. Didasarkan kepada keperihatinan atas kondisi tersebut, para ahli hukum Islam bersama-sama pemerintah menata dunia wakaf yang berujung pada penetapan UU Wakaf No.41 Tahun 2004. Bagaimana implementasi UU wakaf tersebut termasuk peraturan pemerintah , masih harus mengalami uji public. Dan apakah UU tersebut benar-benar berpihak kepada pada pengembangan wakaf untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial atau sekedar untuk memenuhi formalisme dan liberalisme administrasi hukum dan fikih wakaf belaka. 14 Dalam Pasal perihal peruntukan harta benda wakaf, paradigma dan visi wakaf menunjukkan perkembangan yang menarik. Ia mulai bergerak dari kansernnya yang cenderung terbatas pada urusan-urusan keagamaan (dalam arti sempit) sehingga mencakup public-interest yang lebih luas. Dari tujuan, fungsi dan 12
Departemen Agama RI., Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departen Agama RI, 2004).,h.101 13 Tuti A.Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan.,h.1 14 Tuti A.Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan.,h. 4
6
S
BA
BE
L
peruntukannya, Undang-Undang Wakaf membuka peluang bagi interpretasi kreatif (creative interpretation) oleh siapapun sehingga memungkinkan mobilisasi dan revitalisasi wakaf untuk mencapai tujuan dan jangkauan yang luas. 15 Bila hal tersebut dilakukan secara optimal, maka berbagai problematika sosial yamg akan muncul dapat diatasi dan menjadi agenda para pengelola (stake holder) wakaf. Seperti isu gender mainstreaming (pendidikan, kesejahteraan umum), pencegahan HIV dan markoba (kesehatan), human trafficking dan child abuse (kesejahteraan umum). Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Wakaf, namun diharapkan dapat dipahami secara mendalam dalam konteks perluasan pelayanan wakaf. Opsi lain yang mungkin perlu dilakukan adalah menyempurnakan Undang-Undang tersebut sebagai landasan operasional peruntukan harta benda wakaf. Maka beberapa aspek penting sebagai indikator dalam hal wakaf yang harus dilakukan penguatannya adalah sebagai berikut: pertama, potensi wakaf dan pemanfatannya. Kedua, manajemen kelembagaan wakaf: nazhir wakaf, pengelolaan wakaf (status nazhir, manajemen wakaf, sumber dana, metode penggalian harta wakaf, pola pengembangan, dan pengawasan dan pelaporan keuangan). Ketiga, aspek hukum dan perundang-undangan (kepastian hukum tanah wakaf, persepsi tentang UU wakaf). Keempat, persepsi dan praktek fikih wakaf: pembaharuan fikih wakaf (cash wakaf, penukaran harta wakaf dan peruntukannya). Kelima, wawasan sosial keagamaan dan keadilan social.
ST
AI
N
SA
E. Manajemen Pengelolaan Wakaf Produktif Bila wakaf harus dikelola dengan baik untuk kemaslahatan umat, maka diperlukan lembaga wakaf yang integrated. Program-program yang ditawarkan juga selalu bervariatif tanpa mengurangi substansi wakaf tersebut. Wakaf produktif misalnya dikelola dengan baik sehingga memberikan manfaat/ keuntungan yang optimal bagi masyarakat. Pengelolaan harta wakaf secara konvensional selama ini hendaknya diubah ke arah yang lebih kreatif, inovatif, professional, produktif serta akuntabel disertai sistem kontrol/ pengawasan yang baik. Contoh yang kontemporer adalah bagaimana menarik wakaf tunai (cash-wakaf) dari masyarakat untuk kegiatan kegiatan produktif/ usaha maupun untuk perluasan kekayaan wakaf, seperti pembelian tanah untuk pengembangan kampus.16, pemberdayaan lahan-lahan untuk berbagai investasi dan lainnya. 15
Chaedir Bamualim, Evaluasi Kebijakan Publik Filantropi Islam: Studi kasus UU Wakaf, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di Jakarta.,h. 4 16 Beberapa contoh bentuk pengembangan wakaf produktif di beberaoa Negara di Timur Tengah adalah sebagai berikut: 1. Mesir Code Civil 1952: construction, plantation, leasing and profit sharing. 2. Iraq Code Civil 1960: building, plantations,dan profit-sharing. 3. Syiria Code Civil, 1958: constructions and buildings, plantations, profit-sharing. 4. Lebanese Proverty Law 1930: ijaratain dan Muqotaah. 5. Lybia Code Civil: leasing, mugharasah, muzaara’ah. 6. Malaysia: hotel, pertokoan, rumah sewa dan perusahaan. Lihat Zainal Abidin, Manajemen Pengelolaan Wakaf Produktif, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di Jakarta.,h. 4
7
AI
N
SA
S
BA
BE
L
Tidak mudah bagi lembaga atau Badan Wakaf tertentu untuk melakukan hal tersebut, dikarenakan dibutuhkan modal yang cukup dan SDM yang amanah dan professional. Bila tidak mampu mengelolanya, maka tidak mustahil akan rugi dan hilangnya harta wakaf yang telah dikeluarkan muwakif. Pertanggungjawabannya kemudian kepada Allah. Beberapa lembaga pendidikan yang telah memiliki Badan Wakaf dan mampu mengelola harta wakaf dan kekayaan lainnya dalam berbagai sektor bisnis bagi penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah Badan Wakaf Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo, Badan Wakaf UII Yogyakarta, Badan Wakaf UMI Ujung Pandang, Badan Wakaf UISU Medan dan Badan Wakaf UNISULA Semarang. Keberhasilan lembaga-lembaga tersebut dalam mengelola kekayaan wakaf ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: badan yang mengelola harta wakaf (Nazhir), pemberdayaan harta wakaf pada sektor/ bidang-bidang yang lebih produktif, serta manajemen yang professional. Agar sebuah Badan Wakaf menjadi solid, diperlukan rencana strategis (strategic planning), yaitu: merumuskan secara jelas visi/misi (organisasi, yayasan, badan wakaf); melakukan analisis kondisi eksternal – internal organisasi; mengindentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi; identifikasi SWOT (kekuatan, kelemaha, peluang dan tantangan);merumuskan strategi umum organisasi; merumuskan program jangka pendek, menengah, jangka panjang (prioritas/ tahapan program, proyek-proyek operasional, budget). Beberapa isu strategis dalam mengelola Badan Wakaf, diantaranya adalah sebagai berikut: persepsi isu-isu fiqih wakaf (tradisional vs modern), manajemen pengelolaan wakaf (konvensional vs modern), SDM (Nadzir, pengurus BW, pelaksana), profesionalisme, organisasi (individual vs lembaga/ Badan Hukum), sumber dana (modal, donator, upah/ honor), benda wakaf (tetap vs bergerak, cash wakf), pemberdayaan wakaf (inovatif/ produktif), akuntabilitas (transparansi keuangan/ program, prasarana dan sarana, koordinasi/ pembinaan Badan Wakaf Daerah.
ST
F. Optimalisasi Wakaf Uang: Peran Lembaga Keuangan Syari’ah Walaupun keberadaan wakaf uang di Indonesia masih juga diperdebatkan oleh kalangan tertentu, namun sudah bermunculan lembaga syari’ah atau Badan Wakaf yang mengembankannya. Dua tipikal lembaga keuangan syari’ah yang mengelola wakaf uang tersebut adalah lembaga perbankan dan non-perbankan. Terutama perbankan syari’ah sebagai lembaga keuangan selain memiliki peran dan berfungsi dalam mengembangkan produk dan jasa yang berorientasi pada investasi, diharapkan professional dalam mengelola dana wakaf.17 Hanya kemudian dipertanyakan: seberapa efektif tingkat pengelolaan harta wakaf oleh lembaga keuangan tersebut atau sekedar menjadi penampung?
17
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2010).,h. 185
8
18
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
Adanya sikap antusias terhadap perwakafan, sejumlah lembaga perbankan telah beranjak dari model konvensional ke sistem syari’ah, seperti BSM (Bank Syari’ah Mandiri), Bank Muamalat Syar’i, dan lainnya.18 Bank-bank tersebut terus berusaha menerapkan beberapa bentuk transaksi berdasarkan aturan syrai’ah Islam dalam mengelola dana wakaf, seperti mudharabah dan musyarakah. Dana-dana wakaf yang tertampung akan aman, kerena dijamin keamanannya oleh LPS (Lembaga Penjamin Syari’ah) di sebuah bank. Ketentuan-ketentuan perbankan dalam kegiatan usaha bank yang terkait dengan masalah wakaf, antara lain: SK. Dir. BI No. 32/34/KEP/DIR tgl. 19 Mei 1999 tentang bank umum berdasarkan prinsip syari’ah, pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)”.19 Dengan ketentuan tersebut, bank umum dapat berperan sebagai penerima dan penyalur dana wakaf, sedangkan peran bank syari’ah sebagai pengelola dana wakaf. Beberapa keunggulan peran bank syari’ah dalam investasi wakaf adalah: pertama, jaringan kantor yang lebih luas. Jumlah kantor yang mencapai 174 buah tentunya akan memudahkan proses sosialisasi penggalangan dana wakaf serta penyalurannya. Kedua, kemampuan sebagai Fund manager. Sebagai lembaga pengelola dana masyarakat, bank dianggap mampu memngelola dana tunai wakaf yang dapat dipertanggungjawabkan kepada wakif. Dan ketiga, pengalaman dan bidang jaringan informasi dan peta distribusi. Tidak hanya dalam bentuk optimalisasi pengelolaan dana tunai, akan tetapi efektifitas penyalurannya sesuai dengan yang diinginkan. Keempat, citra positif yang terus dipertahankan.20 Adapun alternatif peran bank syari’ah dalam wakaf tunai antara lain: sebagai nazhir penerima, penyalur dan pengelola dana wakaf. Secara internal, lembaga bank syari’ah berdaya guna mendongkrak perekonomian umat Islam. Sedangkan lembaga keuangan syari’ah (non-perbankan) yang selama ini tampil sangat tradisional, belakangan mulai beranjak mengelola dan Bank Syari’ah adalah bank yang yang beroperasi sesuai dengan [insip=prinsip syari’at Islam, dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits. Pendapat lain menyebutkan, lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam. Adapun secara yuridis, dapat dilihat dalam Undang Undang No.10 tahun 1998 pasal 1 butir 13. Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hokum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara penyimpanan dan pembiayaan berdasarkan: titipan (wadi’ah), prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), dan pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak banl oleh pihak lain (ijarah wa iqtina’). Beberapa ayat yang menjadi dasar prinsip syari’ah tersebut adalah: QS, al-Nisa’ (4): 29, QS, al-Baqarah (2): 282, QS, al-Shad (38):24, QS, al-Baqarah (2): 275 dan 278-279, QS, al-Hasyr (59): 18, QS, al-Nisa’ (4): 58 19 Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari’ah,.,h. 185 20 Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari’ah,.,h. 185-186
9
S
BA
BE
L
mengembangkan wakaf produktif, termasuk wakaf uang. Disamping lembaga seperti BAZ, LAZ, BWI, bermunculan Badan Wakaf swasta yang cukup produktif, yaitu: Wakaf Center, Badan Wakaf Pesantren yang berada di bawah naungan yayasan pesantren, Yayasan Wakaf Paramadina, Dompet Dhu’afa Republika dan lainnya. Wakaf yang dikelola oleh lembaga tersebut selalu mengandaikan adanya produktifitas asset ekonomi satu atau beberapa orang yang kemudian mendistribusikannya bagi kepentingan umum. 21 Melalui pengelolaan harta wakaf dalam bentuk sertifikat wakaf tunai dan pembuatan kinerja portofolio investasi, wakaf juga bias menerobos dan mengurangi kemiskinan yang melanda masyarakat.22 Pengelolaan wakaf secara produktif bisa disebarkan ke beberapa sektor strategis, misalnya melalui manajemen investasi, kredit mikro, portofolio keuangan syari’ah dan sector investasi langsung. Musthafa Edwin Nasution (Ketua IAEI) menggambarkan bahwa potensi terkumpulnya dana wakaf tunai berupa uang yang didermakan oleh umat dari berbagai tingkatan profesinya bias mencapai 3 trilyun rupiah dalam jangka waktu 1 tahun. Sementara estimasi kementerian Agama, jika diasumsikan bahwa 49 juta umat Islam membayar wajaf sebanyak 100 ribu pertahun, maka akan terukumpul uang hasil wakaf sebesar 400 milyar rupiah. Jika pembayaran meningkat menjadi 500 ribu per tahun, maka jumlah dana terkumpul menjadi 20 trilyun. Jika bagi hasil bank syari’ah sekitar 10%, maka nilai bagi hasil sekitar 2 trilyun per tahun. 23
ST
AI
N
SA
G. Wakaf Center di Kepulauan Bangka Belitung Salah satu Badan Wakaf di Indonesia yang memiliki cabang di Kepulauan Bangka Belitung adalah Wakaf Center yang berpusat di Jakarta. Lembaga ini terus melakukan upaya produktif dalam meningkatkan pelayanan dan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat. Sebagaimana Badan Wakaf lainnya, Wakaf Center menawarkaan beberapa program, seperti: program konsultasi dan bimbingan pengelolaan wakaf, program pengadaan wakaf qur’an dan buku islami, program bina sekolah mandiri, program peningkatan SDM, program pengadaan dan atau perberdayaan sarana dan prasarana lembaga pendidikan Islam, rumah ibadah, klinik atau rumah sakit Islam serta sarana dan prasarana umum untuk kemmaslahatan umat, program pengembangan potensi ekonomi umat lewat berbagai instrument, investasi yang sesuai dengan kriteriia wakaf, dan program penyelematan akidah umat Islam. Adapun beberapa sektor bisnis dan lainnya yang dikelola antara lain adalah khitan center, ayam bakar gaul, bakso sony, dan SMK. Dana wakaf tunai yang diserahkan kepada Wakaf Center (sebagai nazhir), diambil 12,5% dalam bentuk infaq untuk pembinaan dan operasional pengelola wakaf berdasarkan perjanjian (etrcantum dalam surat ikrar kesediaan wakaf uang (tunai) maslahat umat), yang 21
Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan Wakaf Produktif, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas dan Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI, 2010).,h.8 22 Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan Wakaf Produktif.,h. 16 23 Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan Wakaf Produktif.,h. 27
10
ditandatangani oleh muwakif dan saksi. Dan proyek investasi dana wakaf yang ditawarkan Wakaf Center antara lain adalah: deposito syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah, murobahah, dan property. Dalam perkembangnnya, Wakaf Center dinilai sukses dan cukup mendapat trust dari umat Islam, khususnya cabang lembaga ini yang berada di Kep. Bangka Belitung. Apalagi dana wakaf yang terhimpun selalu dipertanggungjawabkan melalui laporan tertulis (dalam News letter Water) yang juga diberikan kepada muwakif, serta diaudit oleh akuntan public yang amanah. Tidak sulit berwakaf di Wakaf Center, karena lembaga ini memiliki fasilitas yang setiap saat dapat digunakan, yaitu: Auto Debet bank, kantor wakaf Center, layanan jemput bulanan, wakaf sekaligus, internet wakaf dan SMS wakaf.
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
Penutup Demikian pembahasan tentang “Manajemen Wakaf di Indonesia”. Mudahmudahan wakaf yang awal keberadaannya sangat normatif (tradisional) menjadi lebih produktif (professional) dan dapat dikelola dengan manajemen yang baik dan mendapat trust dari masyarakat, khususnya para muwakif. Dan mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan untuk mewakafkan harta benda wakaf, baik berupa benda tak bergerak maupun benda bergerak, Wa Allahu A’lam bi al-Shawaab. Good luck and Have a goog time forever. Amin.
11
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Eri Sudewo, Pengelolaan ZIS dan Wakaf di Singapura, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di Jakarta Departemen Agaa RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departemen Agama RI, 2005).
BE
L
A.rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), terj. Oleh Rusydi Sulaiman dan Zaimudin, dari Syari’ah: The Islamic Law, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2002).
BA
al-Syafi’I, Kitab al-Umm, jilid 3
S
Tuti A.Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006).
SA
Departemen Agaa RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departemen Agama RI, 2005).
AI
N
Surat Edaran Sekretaris Gubernenen tgl. 31 januari 1905 Nomor 435 termuat dalam Bijblad Nomor 6196.
ST
Surat Edaran sekretaris Gubernemen tgl. 24 desember 1934 No. 3088/A, termuat dalam Bijblad tahun 1934 No. 13390 Departemen Agaa RI., Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departemen Agama RI, 2005) Departemen Agaa RI., Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Pentelenggaraan haji, Departemen Agama RI, 2004). Chaedir Bamualim, Evaluasi Kebijakan Publik Filantropi Islam: Studi kasus UU Wakaf, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di Jakarta
12
Zainal Abidin, Manajemen Pengelolaan Wakaf Produktif, makalah dalam “Workshop Wakaf dan Keadilan Sosial”, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-The Ford Foundation, tgl 25-28 Juli 2006 di Jakarta Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2010
ST
AI
N
SA
S
BA
BE
L
Kementerian Agama RI, Model Pemberdayaan Wakaf Produktif, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas dan Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama RI, 2010)
13