BAB I PENDAHULUAN
MAKALAH TUGAS AKHIR Judul
Nama NRP
: Pemanfaatan Program Bantu Analisa Struktur LUSAS Untuk Mengevaluasi Ketahanan Api Elemen Struktur Beton Bertulang Pada Contoh Kasus ACI 216R-89 : Winda Raisa Oktora Intansari : 3108100005
Dosen Pembimbing 1. Endah Wahyuni ST., MSc., PhD 2. Dr.Tech. Pujo Aji , ST., MT. ABSTRAK Kebakaran gedung yang sering terjadi menyebabkan banyak bangunan yang secara stuktur masih utuh tetapi harus dihancurkan karena akan dibangun kembali. Oleh sebab itu perlu adanya studi program untuk mengetahui ketahanan api elemen struktur terhadap suhu. Tugas akhir ini menggunakan program bantu LUSAS yang bertujuan mengaplikasikan kasus-kasus ACI 216R-89 untuk mengetahui ketahanan api berdasarkan suhu yang terjadi. Analisa pada program menggunakan analisa termal untuk mengetahui proses transfer panas (heat transfer) elemen. Pemodelan elemen plat pada program LUSAS dapat dilakukan untuk mengetahui katahanan api berdasarkan suhu. Dalam analisa termal pada program, beban temperatur hanya dapat menggunakan suhu konstan. Analisa dibagi menjadi dua bagian yaitu analisa mencari suhu permukaan dan analisa mencari suhu tulangan yang dilakukan dengan mengganti cover dan thermal conductivity dari model yang telah dibuat. Hasil dari analisa program menunjukkan bahwa suhu permukaan analisa program lebih kecil daripada suhu api standar konstan. Sedangkan untuk suhu tulangan hasil analisa program lebih besar daripada suhu tulangan pada grafik distribusi temperatur plat ACI 216R-89 . Berdasarkan analisa suhu permukaan yang telah dilakukan, didapatkan perbandingan suhu permukaan hasil analisa LUSAS dengan suhu permukaan dari grafik api standar yang telah dimodifikasi menjadi suhu konstan dengan menggunakan teori energi yaitu memiliki ratarata 16.3% (untuk nilai k berbeda) dan 15.7% (untuk nilai k sama). Sedangkan perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan suhu tulangan dari grafik distribusi temperatur pada plat yaitu memiliki rata-rata 14.9% (untuk nilai k berbeda) dan 15.7% (untuk nilai k sama). Variasi pemodelan plat yang dibuat dalam analisa termal pada LUSAS membuktikan bahwa proses transfer panas pada program LUSAS sudah sesuai dengan teori thermal conductivity. Kata kunci : LUSAS, elemen struktur beton, ketahanan api, heat transfer, analisa termal
Latar Belakang Api merupakan elemen yang berbahaya untuk kinerja sebuah struktur bangunan. Kinerja dari beton dan tulangan akan berkurang serta dapat mengalami keruntuhan apabila sebuah struktur terkena beban api. Namun semua itu berdasar pada besarnya beban api dan berapa lama api menyala, karena api adalah beban yang sulit untuk diprediksi penyebaran dan tingkat suhunya. Kebakaran gedung merupakan pendistribusian beban api secara global karena terkadang jika terjadi kebakaran hampir seluruh struktur terkena beban api. Pendekatan simulasi metode numerik yaitu dengan metode elemen hingga. Metode ini dapat meninjau struktur yang dipecah menjadi elemen-elemen kecil berhingga yang dihubungkan satu sama lainnya melalui titik – titik nodal yang terdapat pada tepi elemen. Saat ini tidak banyak program yang dapat memodelkan perilaku material dengan tepat terutama akibat beban api (temperature). Oleh sebab itu perlu adanya studi program mengenai ketahanan api elemen struktur beton. Tugas akhir ini menggunakan program LUSAS. Program bantu ini dipilih karena selama ini program LUSAS telah digunakan dalam beberapa analisa struktural dan termal. Kelebihan dari program ini yaitu tidak hanya dapat menganalisis struktur frame saja tetapi juga dapat menganalisis proses transfer panas pada elemen-elemen struktur. Oleh karena itu program ini dapat dicoba untuk menganalisa kondisi termal dari suatu struktur apabila terkena beban kebakaran. Pemodelan pada program ini dilakukan pada penampang struktur bangunan sesuai dengan contoh kasus pada ACI 216R89. Simulasi program dilakukan berdasarkan kasus yang diambil dari ACI 216R-89 dan kemudian dibandingkan. Seringkali ketidakpahaman pada saat menggunakan program seperti LUSAS dapat menyebabkan kesulitan saat melaksanakan pekerjaan dan hasil analisa yang diharapkan tidak didapatkan. Studi pemanfaatan LUSAS dengan beban api (temperature) diperlukan untuk mengetahui apakah program ini dapat memberikan analisa sesuai dengan perhitungan ACI 216R-89. Selain itu studi secara obyektif pada LUSAS yang dikombinasi dengan beban api (temperature) akan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap pengguna program tersebut dan memaksimalkan penggunaannya. Perumusan Masalah • Permasalahan Utama: Bagaimana mengaplikasikan contoh kasus ACI 216R-89 pada program LUSAS agar diketahui ketahanan api berdasarkan suhu yang terjadi? Detail Permasalahan:
1
1.
2.
3.
Bagaimana membuat pemodelan elemen struktur beton plat berdasarkan kasus yang terdapat pada ACI 216R-89? Bagaimana hasil analisa suhu yang terjadi pada elemen struktur beton plat dari analisa termal program LUSAS? Bagaimana hubungan dan perbandingan hasil analisa program LUSAS dengan perhitungan dari kasus plat ACI 216R-89 ?
Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: • TujuanUtama: Mengaplikasikan contoh kasus ACI 216R-89 pada program LUSAS untuk mengetahui ketahanan api berdasarkan suhu yang terjadi. Detail Tujuan: 1. Memodelkan elemen beton plat pada LUSAS yang akan dihubungkan dengan manual ACI 216R-89. 2. Mendapatkan hasil analisa suhu yang terjadi pada elemen struktur beton plat dari analisa termal program LUSAS . 3. Mengetahui hubungan dan perbandingan hasil keluaran program LUSAS dengan perhitungan dari kasus plat ACI 216R-89. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Tugas akhir ini menggunakan contoh kasus yang berada pada ACI 216R-89. 2. Kasus yang diambil adalah kasus ketahanan plat satu arah terhadap beban api 3. Menggunakan satu program bantu yaitu program LUSAS 14.03. 4. Pemodelan dilakukan dalam bentuk 2D (dua dimensi) 5. Analisa yang dilakukan dikhususkan pada analisa termal yang disediakan LUSAS untuk mencari ketahanan api terhadap suhu. 6. Pemodelan plat yang dilakukan merupakan beton normal. 7. Penulisan tugas akhir ini tidak mencakup kegiatan eksperimental dan tidak membahas mengenai desain elemen beton bertulang sebelum beban api dimasukkan. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah 1. Bagi dunia konstruksi dapat digunakan sebagai referensi atau pertimbangan dalam merencanakan suatu struktur secara keseluruhan ataupun analisa penampang saja, dimana para perancang dapat dengan tepat memilih dan menggunakan program sesuai kebutuhannya sehingga dapat memodelkan dan menganalisa dengan mudah.
2.
Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan mengenai ketahanan elemen beton terhadap beban api sebelum terjadi runtuh (collapse) dengan memanfaatkan program bantu LUSAS. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Umum Dalam merencanakan suatu struktur bangunan seharusnya mempertimbangkan ketahanannya terhadap api. Jenis, ukuran, dan posisi bangunan tentu mempengaruhi tingkat ketahanan api yang diperlukan untuk elemen-elemen bangunan seperti elemen beton bertulang. Kajian mengenai ketahanan struktur terhadap beban api jarang dilakukan dalam eksperimen di laboratorium. Keterbatasan ketersediaan alat dan fasilitas pendukung lain yang menjadi hambatan dalam eksperimen ini. Oleh karena itu dapat dilakukan analisis dengan menggunakan studi numerik atau dapat dikatakan dengan menggunakan program bantu analisa struktur. Pendekatan dengan menggunakan analisa numerik ini tentu saja mengacu dan dibandingan dengan peraturan yang ada, sehingga dapat dilihat perbedaan antara analisa program dan hitungan ataupun dengan hasil ekperimen di laboratorium. Penggunaan analisa numerik sudah berkembang pesat dalam dunia teknologi. Perkembangan ini ditandai dengan adanya metode yang sering digunakan yaitu metode elemen hingga (finite element methode). Material Beton Beton untuk beton bertulang merupakan campuran dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen hidrolik (Portland cement), agregat kasar, agregat halus, air dan bahan tambah jika diperlukan. Adanya beberapa macam material tersebut membuat sifat beton menjadi heterogen, hal tersebut menjadikan perilaku beton sulit untuk didefinisikan. Namun pada tahap analisis dan desain, beton sering dianggap sebagai meterial yang homogen dalam pengertian sederhana. Beton mempunyai kuat tekan yang tinggi, hal inilah yang membuat beton banyak dipakai sebagai elemen struktur terutama yang memikul gaya tekan, seperti kolom. Propertis material beton dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu jangka panjang dan jangka pendek (Nawy 1998). Kuat tekan, kuat tarik, kuat geser dan modulus elastisitas beton termasuk dalam propertis material beton dalam jangka pendek, sedangkan rangkak dan susut masuk dalam jangka panjang. Thermal Conductivity dan Spesific Heat pada Beton Thermal conductivity pada beton biasanya bervariasi sesuai dengan aliran panasnya. Untuk beton normal nilai thermal conductivity cenderung mengalami penurunan seiring dengan pertambahan temperatur. Nilai dan perubahan thermal conductivity dengan
2
temperatur bagaimanapun juga tergantung pada tingkat kristalinitas dari aggregate. Semakin tinggi kristalinitas maka semakin tinggi thermal conductivity dan temperatur berkurang. Thermal conductivity pada beton ringan cenderung meningkat bersamaan dengan kenaikan temperatur, tetapi nilai tersebut hampir mendekati konstan. Grafik yang menunjukkan hubungan temperatur dan thermal conductivity pada beton seperti pada gambar 2.3.
dengan komposisi kimia pada suhu ruangan, bagaimanapun elevasi temperatur bisa dianggap identik untuk struktur baja. Gambar 2.8 menunjukkan hubungan thermal conductivity baja terhadap temperatur. Untuk nilai thermal conductivity pada tulangan baja juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus : k = -0.022T + 48 untuk
0≤T≤900°C (2.4)
k = 28.2 dimana
untuk T > 900°C k = Thermal conductivity (W/m°C) T = Suhu baja tulangan (°C)
Gambar 2-1 Grafik thermal conductivity dari beton normal dan beton ringan terhadap suhu (ASCE Manual and Reports) Nilai spesific heat adalah tipikal untuk volumetric spesific heat (hasil dari perkalian spesific heat dan berat jenis) pada beton normal dan beton ringan. Berdasarkan gambar 5.4 nilai spesific heat yang terbesar atau kondisi puncak berada pada suhu ke 500 °C.
Gambar 2-3 Grafik thermal conductivity baja tulangan terhadap suhu (ASCE Manual and Reports) Spesific heat dari material merupakan karakteristik yang menggambarkan jumlah input panas yang dibutuhkan untuk menaikkan satu satuan massa material satu satuan temperatur. Pada gambar 2.9 merupakan hubungan volumetric spesific heat dengan temperatur.
Gambar2-2 Grafik volumetric spesific heat dari beton normal dan beton ringan terhadap suhu (ASCE Manual and Reports) Material Baja Tulangan Tulangan baja dalam beton bertulang merupakan kombinasi dua material yang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga akan saling menguntungkan jika keduannya bersatu. Tulangan baja kuat dalam menerima tarik sedangkan beton kuat dalam menerima tekan. Thermal Conductivity dan Spesific Heat pada Baja Temperatur meningkat pada baja sebagai hasil dari aliran panas yang merupakan fungsi dari thermal conductivity material. Nilai dari propertis ini bervariasi
Gambar 2-4 Grafik volumetric spesific heat baja tulangan terhadap suhu (ASCE Manual and Reports) Thermal diffusivity adalah ukuran dari inersia termal. Dalam sebuah zat dengan thermal diffusivity yang tinggi, maka panas dapat bergerak cepat melalui zat bergantung pada kapasitas panas volumetrik.
3
Hubungan thermal conductivity, spesific heat, dan thermal diffusivity yaitu : 𝑘𝑘
𝑎𝑎 = 𝜌𝜌𝜌𝜌
(2.5)
Dimana : 𝑎𝑎= thermal diffusivity 𝑘𝑘= thermal conductivity 𝜌𝜌= berat jenis 𝑐𝑐= spesific heat Ketahanan Elemen Struktur Beton Terhadap Api Plat dan balok merupakan elemen beton yang saling berkaitan. Jika bagian bawah plat terkena api, maka bagian bawah plat akan lebih luas dari bagian atas plat, sehingga akan terjadi defleksi pada plat. Selain itu kekuatan tarik dari beton serta tulangan di dekat bagian yang terkena api (bagian bawah plat) akan menurun seiring dengan kenaikan temperatur yang terjadi. Ketika kekuatan tulangan baja pada temperatur tinggi dapat mengurangi tegangan dalam baja, maka akan terjadi lentur yang kemudian mengalami keruntuhan (Gustaferro dan Lin 1986). Jika plat hanya diberikan beban api dari bawah maka momen nominal akan konstan dan dihitung dengan rumus: 𝑎𝑎
𝑀𝑀𝑛𝑛 = 𝐴𝐴𝑠𝑠 𝑓𝑓𝑦𝑦 ( 𝑑𝑑 − 2 )
(2.6)
Kriteria Sisa Kekuatan Elemen Gedung Pasca Kebakaran Rochman, 2006 menyatakan bahwa gedunggedung yang mengalami kebakaran akan mengalami kerusakan akibat dari tingkat yang paling ringan, sedang, sampai berat tergantung dari tinggi temperatur dan durasi kebakaran. Lebih lanjut dijelaskan untuk melihat seberapa kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, terdapat beberapa kriteria yaitu sebagai berikut. a. Perubahan secara fisik Perubahan fisik merupakan langakah awal dalam penentuan criteria kerusakan beton sebelum dilanjutkan ke dalam perhitungan analitis. Mendasarkan pada perubahan secara fisik yang terjadi pada permukaan beton kriteria kerusakan beton terdiri dari: 1. Perubahan warna permukaan beton 2. Ada atau tidak adanya retak permukaan (surface cracks) pada permukaan beton 3. Ada atau tidak adanya pengelupasan/spalling dari selimut beton dari elemen struktur
b.
Perhitungan penurunan kekuatan pada elemenelemen beton pasca kebakaran Perhitungan penurunan kekuatan pada elemenelemen beton pasca kebakaran mutlak harus dilakukan agar terdapat bukti yang akurat mengenai masih layak atau tidaknya sebuah gedung pasca kebakaran. Dengan adanya analisa ini diharapkan akan terdapat metode perbaikan yang tepat bagi sebuah gedung setelah mengalami kebakaran sesuai klasifikasi kerusakannya.
Metode Analisa Ketahanan Api Pada Struktur Gedung Beton Bertulang Pada umumnya metode analisa yang digunakan terdiri dari 2 tahap yaitu tahap transfer panas dan tahap analisa struktur (Caldas, Saosa, dan Fakury 2010). Berikut akan dijelaskan mengenai kedua tahap tersebut : Tahap Transfer Panas Tahap transfer panas digunakan untuk mengevaluasi distribusi temperatur pada struktur tersebut. Hal ini nantinya dapat digunakan untuk mendapatkan regangan termal dan mengevaluasi kekakuan serta degradasi kekuatan. Saat kondisi terkena beban api ketahanan material penyusun struktur tersebut seperti beton maupun baja akan menurun sedangkan deformabilitas serta regangan termal akan meningkat. Tahap Analisa Struktur Terdapat suatu metode analisa struktur untuk menentukan ketahanan suatu struktur terhadap api yang disebut metode rational design. Metode ini menerangkan bahwa teori kekuatan yang telah digunakan untuk mendesain struktur beton bertulang dalam melawan beban layan dapat diaplikasikan untuk mendesain ketahanan api pada suatu struktur beton bertulang. Kondisi termal dan mekanis dari material beton dan baja berbeda secara non-linear terhadap temperatur. Oleh karena itu jika temperatur pada material dalam waktu yang telah diberikan saat terjadi kebakaran (adanya unsur api) serta kekuatan dari material saat temperatur tersebut terjadi telah diketahui maka kekuatan nominal dari struktur tersebut dapat ditentukan (Gustaferro dan Lin 1986). Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga adalah sebuah metode numerik untuk pemecahan terhadap masalah fisik yang sering dijumpai pada analisis teknik. Metode ini merupakan metode pendekatan karena metode analitis akan sangat rumit dalam menyelesaikan problem masalah fisik yang komplek. Metode telah berkembang sekitar tahun 1950an dan berkembang dengan sangat hingga sekarang. Hal ini seiring dengan berkembang pesatnya teknologi komputer yang kian hari semakin
4
canggih. Seiring dengan perkembangan komputer, diikuti juga munculnya berbagai macam software komersial untuk analisis finite elemen seperti LUSAS. Metode elemen hingga amat sering dipakai untuk memecahkan masalah kesetimbangan dalam struktur, output dari hasil perhitungan harga simpangan pada titik dapat menentukan regangan dan tegangan struktur tersebut. Selain itu Metode ini juga dipakai untuk menghitung analisis termal seperti distribusi suhu, aliran panas dan lain-lainya. Pendekatan dengan metode elemen hingga merupakan suatu analisis pendekatan berdasarkan asumsi peralihan atau asumsi tegangan (Cook 2002). Metode elemen hingga memiliki kelebihan sebagai berikut: 1. Metode ini dapat diaplikasikan pada berbagai macam masalah seperti perpindahan panas, analisis tegangan, dan sebagainya. 2. Dalam metode elemen hingga tidak ada batasan geometri dimana struktur yang dianalisa bisa saja memiliki berbagai bentuk. 3. Tidak ada batasan pada kondisi batas dan pembebanan. 4. Pemodelan struktur dapat semirip mungkin dengan struktur yang sesungguhnya. 5. Hasil akan lebih akurat dengan meningkatkan jumlah mesh (jaringan). 6. Dapat mengkombinasikan elemen yang berbeda seperti beton bertulang. Heat Transfer (Transfer Panas) Analisa transfer panas pada umumya untuk menganalisa elemen padat, cairan dan gas. Dalam analisa metode elemen hingga adalah mudah dan biasanya mungkin untuk menggunakan mesh untuk perhitungan temperatur dan analisa tegangan dengan menginstruksikan software untuk menghitung titik-titik temperatur berikut analisa tegangannya. Aliran panas yang terjadi dalam elemen yang padat bersifat konduksi. Daya konduksi dan sifat thermal yang lainnya merupakan fungsi dari temperatur, seperti modulus elastisitas dapat bergantung pada temperatur. Ketergantungan temperatur tidak membuat masalah untuk analisa tegangan nonlinear, tetapi membuat masalah untuk konduksi panas nonlinear. Masalah konduksi panas tentu akan menjadi nonlinear jika ada kondisi batas radiasi karena aliran panas dimana tergantung pada kekuatan keempat temperatur penuh dan bukan pada perbedaan suhu yang sederhana (Cook 2002). Hal-hal yang mempengaruhi analisa transfer panas yaitu : c = specific heat (J/kgK) f = aliran panas (W/m2) h = koefisien perpindahan panas konvektif (W/m2K) k = konduktifitas termal (W/mK)
Q T T fl t ρ
= tingkat dari panas dalam elemen per satuan volume (W/m3) = Temperatur ( °C atau °K ) = Temperatur dari cairan yang berbatasan di luar lapisan batas (°K) = time (s) = massa jenis (kg/m3)
Thermal Conductivity dan Spesific Heat Konduksi termal adalah suatu fenomena transpo rt dimana perbedaan temperatur menyebabakan transfer energi termal dari satu daerah benda panas ke daerah yang sama pada temperatur yang lebih rendah. Panas yang di transfer dari satu titik ke titik lain melalui salah satu dari tiga metoda yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Bila panasyang di transfer tidak di ikuti dengan perpindahan massa dari benda disebut dengan peristiwa konduksi. Konduktivitas termal menyatakan kemampuan bahan me nghantarkan kalor. Thermal Expansion Thermal expansion adalah kecenderungan suatu materi/unsur untuk mengalami perubahan volume dalam menanggapi perubahan suhu. Tingkat ekspansi dibagi berdasarkan perubahan suhu yang disebut koefisien thermal expansion dan umumnya bervariasi dengan suhu. Thermal Loads. Stresses (Beban Panas) Tegangan pada model elastic finite element yang berasal dari suhu dapat dihitung. Prosedur pengerjaannya tidak terbatas pada tulangan dan elemen balok saja. Hal tersebut digunakan untuk semua finite element yang berdasar pada perpindahan dan menggunakan perpindahan nodal sebagai degree of freedom. Kenaikan suhu tidak seharusnya menghasilkan tegangan. Dengan mempertimbangkan material yang homogeny, isotropic, dan linear elastik, yang mana tumpuan berpengaruh untuk mencegah deformasi (lendutan) yang disebabkan oleh perubahan temperatur. Kemudian jika temperatur adalah linear pada diagram cartesius dan koefisien thermal expansion tidah berhubungan dengan temperatur maka tidak akan terjadi tegangan termal. Seharusnya untuk perubahan temperatur T, tegangan inisial pada elemen batang adalah σ 0 = -Eε 0 , dimana regangan inisial ε 0 adalah αT. Jika koefisien thermal expansion α bergantung pada temperatur, ε 0 harus dihitung sebagai integral dari αdT dari temperatur awal sampai temperatur akhir (Cook 2002). Seperti pada penjelasan sebelumnya pada pemuaian volumetrik.
5
Program bantu LUSAS Pada tugas akhir ini akan dilakukan analisa terhadap elemen beton sesuai kasus pada ACI 216R-89 yang mana nantinya dapat merepresentasikan perilaku yang sama dengan hasil yang diperoleh dari analisa perhitungan pada ACI 216R-89. Pada analisa pemodelan ini akan dilakukan dengan program bantu berbasis finite element methode yaitu LUSAS. Dibandingkan dengan program bantu lainnya yang juga berbasis finite element methode, LUSAS memiliki beberapa fasilitas yang terbilang lengkap untuk menganalisis sebab pada dasarnya program ini dikembangkan untuk menganalisis masalah non-linier. Gambar dibawah ini merupakan contoh pemodelan pada LUSAS.
BAB III METODOLOGI
Mulai
Studi literatur dan identifikasi data
Pemodelan elemen pada LUSAS
tidak
Analisa termal pemodelan kasus
ya
Hubungan dan perbandingan Hasil analisa dengan Perhitungan manual
Kesmpulan
Gambar 20-5 Contoh pemodelan pada LUSAS (Animasi perubahan temperatur pada pertengahan-bagian dari balok beton)
Selesai
Gambar 3.1 Diagram alir pengerjaan BAB IV PROSEDUR PEMODELAN DENGAN LUSAS Umum LUSAS merupakan salah satu dari sekian banyak program bantu analisa struktur yang berbasis Finite Element Method (Metode Elemen Hingga). Program bantu ini menawarkan banyak pilihan dalam menganalisa sebuah kasus atau masalah. Prosedur pemodelan ini akan dijelaskan secara singkat mengenai istilah-istilah pada program, peralatan-peralatan yang disediakan, langkah pemodelan, serta jenis analisa dan hasil outputnya. Pengenalan Istilah dalam Analisa LUSAS Sistem analisa dalam program LUSAS ini terbagi menjadi tiga tahapan utama yang harus dimengerti terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam pemodelan. Adapun tiga tahapan utama tersebut yaitu : • Modelling (pemodelan)
6
• •
Running the analysis (menjalakan pemodelan/analisis) Viewing the result (Melihat hasil analisa)
Modelling (pemodelan) Pemodelan merupakan langkah awal dalam mengolah suatu kasus pada struktur atau elemen struktur yang akan di analisa. Pemodelan dalam LUSAS memperhitungkan unsur gambaran geometri dari struktur serta mendefinisikan karakteristik perilaku dalam hal ini yaitu sifat fisik seperti bahan, pembebanan dan tumpuan. Secara garis besar pemodelan ini terbagi menjadi beberapa bagian penting yaitu : a. Geometry (geometri) Model yang dibuat dalam LUSAS diasumsikan sebagai gambaran grafis yang terdiri dari beberapa koordinat posisi yang saling berhubungan sehingga disebut dengan ruang 3D (tiga dimensi) dimana hal tersebut merupakan geometri dari model. Geometri yang dimaksud yaitu berupa titik, garis, luas permukaan dan volume. Keempat geometri tersebut saling berhubungan dimana titik akan membentuk garis, garis akan membentuk permukaan dan permukaan akan membentuk sebuah volume. Membuat geometri dapat dilakukan scara numeric, contoh dalam kasus membuat koordinat dapat dilakukan dengan menggunakan kursor atau dengan menyalin dan mengubah-ubah bagian yang ada pada model. b. Attributes (perlengkapan) Attributes yaitu perilaku yang di berikan pada model yang telah dibuat atau faktor-faktor yang dikenakan di atasnya. Ada beberapa tipe atribut yang mewakili jenis perilaku dari model. Contoh atribut yaitu pembebanan dan tumpuan dimana keduanya sangat berbeda, dan contoh atribut bahan yaitu bahan isotropic, anisotropic, and orthotropic. Dalam setiap kasus yang hendak dimodelkan, atribut adalah hal pertama yang harus dibuat, kemudian atribut tersebut dikenakan pada model yang telah dibuat. Proses ini disebut dengan proses penugasan (pendefinisian). Penugasan sering kali memberikan informasi tambahan khusus tanpa mendefinisikan atribut atau geometri. Ini berupa arah, faktor skala, dan hal-hal seupa lainnya. Atribut geometri merupakan atribut khusus yang digunakan ketika beberapa atau semua model terdiri dari garis atau bidang permukaan saja (2D). Tugasnya yaitu memberikan informasi berupa tampilan dan perilaku dari garis, serta ketebalan dari bidang permukaan. c. Loadcases (pembebanan) Loadcases merupakan istilah untuk suatu kumpulan pembebanan. Setiap loadcases akan diselesaikan secara terpisah dan hasil analisa juga tersedia secara terpisah. Hasil analisa juga dapat dikombinasikan jika diperlukan. Dalam analisis
d.
e.
f.
linear sebaiknya pembebanan dilakukan secara bersamaan, seperti beban angin dan beban gravitasi dapat diterapkan bersama. Dalam analisis nonlinear, loadcases setara dengan tahap analisis dimana pada setiap loadcases, pembebanan, perletakan, atau jenis dari analisa bisa diubah. Meshing (jaringan) Meshing adalah pengaturan model/elemen dimana model/elemen yang telah dibuat harus dipecah menjadi node dan elemen yang lebih kecil. Semakin rapat mesh yang dibuat maka akan semakin akurat analisa yang dilakukan oleh LUSAS. Atribut mesh bisa dibuat dan diterapkan pada geometri dengan cara yang sama seperti atribut lainnya. Atribut mesh menjelaskan bahwa jenis, jumlah node dan elemen yang akan digunakan adalah untuk mewakili setiap bagian dari geometri. Keuntungan dari pendekatan dengan mesh (jaringan) ini yaitu kita dapat mengubah kerapatan dari mesh tanpa mengganggu geometri atau model yang sudah dibuat. Dengan mengubah data mesh pada atribut mesh maka secara otomatis kerapatan mesh akan berubah di setiap bagian pada model. Demikian juga jenis elemen dapat diubah dengan cara yang sama seperti dijelaskan diatas. Dalam LUSAS secara otomatis setiap mesh yang dibuat ataupun di ubah akan terus di update. Tetapi ketika hasil analisa sedang ditampilkan maka mesh tidak akan terupdate meskipun sudah di ubah. Selain itu mesh juga dapat dikunci agar tidak dapat diubah-ubah lagi. Utilities (keperluan) Utilities merupakan jenis analisa yang memerlukan atau membuat data tambahan yang mirip dengan atribut tetapi tidak bisa diterapkan atau ditugaskan pada geometri. Contoh dari utilities yaitu nilai-nilai yang diunakan untuk membuat grafik. Controls Controls digunakan untuk mengontrol proses analisa dari suatu model. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya analisa statis linear lebih mudah daripada analisa non-linear, tetapi kadangkadang perlu untuk mengontrol proses dari analisa itu sendiri.
Running the analysis (menjalakan pemodelan/analisis) Running the analysis merupakan tahap setelah proses pemodelan selesai dengan sempurna. Model yang telah selesai dibuat kemudian dianalisa menggunakan LUSAS Solver dimana LUSAS Solver ini akan memproses atau menganalisa model tersebut dan akan mengeluarkan hasil analisa pada tahap selanjutnya.
7
Viewing the result (Melihat hasil analisa) Setelah LUSAS Solver selesai menganalisa model, hasil analisa akan tersedia di LUSAS Modeller. Hasil yang tersedia dapat dilihat dan dapat dikombinasikan dengan beberapa atribut untuk membuat plot pada grafik misalnya untuk membuat perbandingan antara suhu dan waktu pada saat terjadi transfer panas. Langkah-Langkah Pemodelan Langkah-langkah pemodelan elemen beton dengan program LUSAS dapat melalui bebarapa tahapan, yaitu : 1. Membuat bentuk pemodelan elemen sesuai dengan yang diinginkan. Dalam tahap pemodelan awal ini terdiri dari beberapa tahap untuk membuat geometri model : a. Membuat bentuk penampang elemen dengan menggunakan menu geometry atau bisa langsung pada quick access toolbar untuk membuat titik, garis, area, atau volume. b. Setelah membuat geometri yang diinginkan dan telah didefinisikan sebagai garis, area, atau volume, maka warna garis akan berubah sesuai definisi masing-masing. c. Membuat grouping untuk memudahkan input attributes pada penampang jika model yang dibuat berbeda material, meshing, dll. 2. Melakukan input variabel atau nilai pada attributes, yaitu meshing, geometry, material, support dan loading, yang merupakan dasar keperluan dalam pemodelan, sehingga data yang digunakan harus sesuai dengan model yang dibuat. 3. Membuat mesh sesuai dengan bentuk model dan jumlah mesh harus diperhitungkan karena semakin kecil mesh maka semakin akurat. Setelah selesai maka akan muncul mesh yang dibuat pada treeview attributes. 4. Melakukan input data geometric jika model membutuhkan ketebalan atau thickness dalam pemodelan dua dimensinya. Setelah selesai maka akan muncul geometric yang dibuat pada treeview attributes. 5. Melakukan input material sesuai dengan model yang akan didefinisikan. Pada bagian ini harus diperhatikan dan merupakan salah satu bagian yang penting karena akan mendefinisikan jenis material dan karakteristiknya dimana mempengaruhi kemampuan kerja bahan. Setelah selesai melakukan input maka akan muncul material yang dibuat pada treeview attributes. 6. Melakukan input tumpuan pada model, disini tersedia berbagai macam tumpuan sesuai dengan yang kita inginkan. Setelah selesai membuat tumpuan akan muncul tumpuan (support) yang dibuat pada treeview attributes. Namun pada analisa termal penampang disini tidak perlu menggunakan
tumpuan karena tumpuan tidak begitu berpengaruh pada tahap transfer panas. 7. Melakukan input beban pada model. Tersedia jenis beban yang ingin digunakan, salah satunya beban temperature, dan sebagainya. Setelah membuat input beban sesuai yang diinginkan akan muncul beban beban (loading) yang dibuat pada treeview attributes. 8. Setelah semua input yang dibutuhkan selesai dibuat, maka harus didefinisikan pada model dengan cara memblok bagian model yang akan didefinisakan dan mendrag attributes satu per satu yaitu mesh, geometric, material, tumpuan, dan beban pada model. Jika semua telah terdefinisi maka gambar attribut yang ada pada tereeview akan berwarna. 9. Setelah semua terdefinisi maka pemodelan disimpan dan program siap untuk dirunning. Namun sebelum melakukan running harus dilakukan pengecekan dan pengaturan loadcase pada treeview loadcases. Pengaturan ini bertujuan untuk memilih proses running sesuai yang diinginkan yaitu analisa secara linear atau non-linear. Kemudian setelah pengaturan dilakukan maka siap dilakukan running program. 10. Setelah proses running selesai maka akan muncul hasil analisa yang dapat dilihat langsung pada lembar kerja LUSAS. Hasil dapat dibuat dalam bentuk diagram. Pemodelan ini bertujuan untuk membuat analisa non-linear elemen beton terhadap pengaruh temperatur, kemudian akan dihubungkan dengan hasil yang didapat dari hitungan manual apakah hasilnya sesuai atau tidak. Prosedur Analisa dan Hasil Output Program Dalam program LUSAS terdapat beberapa jenis analisa yang dapat digunakan. Analisa yang akan digunakan pada kasus ini yaitu termal. Jenis analisa ini dipilih karena pembebanan kasus difokuskan pada beban temperature dan analisa transfer panas. Berikut jenis analisa dan hasil output yangada pada LUSAS. Analisa Struktural dan Hasil Output Analisa struktural pada LUSAS dapat dipilih pada menu user interface saat tampilan awal new model. Analisa struktural ini tentu akan memberikan hasil yang berbeda dengan pilihan user interface yang lain. Pada user interface struktural ini juga dapat menganalisa model jika diberi beban temperatur, hanya saja pada outputnya nanti analisanya adalah analisa umum bukan khusus pada termal atau suhu. Analisa struktural akan memberikan jenis analisa umum yang mencakup struktur. Hasil output dari analisa ini bermacam-macam yaitu : tegangan, regangan, momen, deformasi, retak, dan sebagainya. Dalam analisa struktural, suhu diperhitungkan dengan adanya koefisien thermal expansion dimana koefisien ini digunakan untuk menganalisa deformasi
8
yang terjadi terhadap model akibat suhu, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Untuk proses analisa transfer panas terhadap waktu tidak bisa menggunakan analisa struktural ini, sehingga diperlukan analisa khusus pada termal. Analisa Termal dan Hasil Output Analisa termal pada LUSAS juga dapat dipilih pada menu user interface saat tampilan awal new model. Analisa termal ini lebih menekan kan pengaruh suhu dan mengabaikan beban-beban lain, sehingga pada tahap pemodelan bebannya hanya ada pilihan input beban untuk beban temperatur. Oleh karena hanya memperhitungkan pengaruh suhu maka suhu lingkungan juga digunakan, bukan hanya beban suhu saja yang terjadi dan dianggap sebagai beban. Pada user interface termal ini karena hanya melihat dari pengaruh suhu maka hasil output analisanya juga tentang termal saja, tidak secara struktural seperti momen dan sebagainya. Namun dari sini dapat dianalisa berapa lama atau waktu elemen kita bertahan sampai suhu maksimum. LUSAS termal dapat menganalisis panas karena konduksi, konveksi dan radiasi. Dalam menganalisa suatu model dengan menggunakan analisa termal, yang sangat berpengaruh adalah nilai dari thermal conductivity dan specific heat model tersebut. Thermal conductivity yaitu kemampuan material untuk menghantarkan panas sedangkan specific heat yaitu kemampuan material menyimpan panas dalam tubuhnya. Namun kekurangan dari analisa termal ini adalah tidak bisa melihat deformasi yang terjadi pada model, oleh karena itu koefisien thermal expansion tidak digunakan dalam analisa ini. Adapun hasil yang disediakan pada analisa termal adalah analisa lapangan, transfer panas, dan panas permukaan. Oleh karena itu beban-beban yang disediakan oleh analisa termal ini juga berupa hanya beban-beban yang berhubungan dengan suhu saja. Prosedur dan langkah pemodelan terhadap kedua analisa ini pada dasarnya sama saja, yaitu pembuatan geometri, mesh, material, tumpuan dan beban. Selanjutnya hanya inputan dan hasil output yang berbeda ssuai dengan kebutuhan analisa oleh program.
berdasarkan suhu permukaan yang terjadi. Parameter yang digunakan dalam pemodelan ini adalah geometri, suhu, dan waktu. Pemodelan dan Analisa Termal Kasus Elemen Plat Hasil yang akan dinalisa dengan program bantu LUSAS yaitu dalam kondisi nonlinear. Nonlinear yang dimaksudkan adalah waktu, dimana waktu berperan penting dalam proses transfer panas. Sehingga waktu dibuat nonlinear untuk mengetahui suhu maksimum. Dari analisa model tersebut nantinya akan dicari suhu maksimum permukaan atau suhu yang dapat ditahan oleh plat. Pemodelan plat berdasarkan data kasus ACI 216R89 sebagai berikut: Plat satu arah memiliki tulangan berdiameter 12.7 mm dengan spasi 150 mm dan kuat lelehnya sebesar 410 MPa (410 x 106 N/m2). Plat tersebut terbuat dari beton dengan agregat yang mengandung karbon dengan berat jenis 2400 kg/m3. Mutu beton yang digunakan adalah 28 Mpa (28 x 106 N/m2). Cover beton diketahui sebesar 19 mm. Plat tersebut memiliki ukuran (4500 x 1000 x 150) mm. beban hidup yang bekerja diketahui sebesar 4.8 kPa (0.0048 x 106 N/m2). Suhu yang terjadi pada permukaan bawah tulangan (cover) sampai terjadi failure berdasarkan perhitungan adalah 710°C selama 3 jam. Analisa Termal Penampang Plat dengan LUSAS Tahap Pemodelan Geometri Tahap awal untuk membuat model pada program LUSAS yaitu pemodelan geometri. Elemen yang dimodelkan berbentuk 2 dimensi pada penampang plat karena studi ini merupakan studi awal untuk mengaevaluasi ketahanan api elemen struktur dengan menggunakan program LUSAS. Sebelum mulai membuat model, lembar kerja atau kotak dialog new model saat awal membuka program harus diisi terlebih dahulu.
BAB V PEMODELAN KASUS DAN HASIL ANALISA Umum Dalam membuat pemodelan elemen struktur dapat dilakukan dengan beberapa tahap seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pemodelan ini bertujuan untuk menganalisa ketahanan api elemen struktur yang nantinya akan dibandingkan dengan manual. Analisa yang digunakan adalah analisa termal karena tujuan dari pemodelan ini adalah untuk mengetahui ketahanan api dari elemen plat dan dinding
Gambar 5.1 Tampilan awal lembar kerja
9
Gambar 5.2 Pengisian lembar kerja Analisa termal dengan LUSAS pada tahap ini menggunakan fasilitas user interface thermal, dimana pada analisa ini hanya khusus menganalisa tentang panas yang terjadi pada material terhadap waktu. Sehingga pada analisa ini beban-beban lain seperti beban hidup dan beban mati diabaikan. Beban mati dan beban hidup dalam analisa ini telah diperhitungkan sebelumnya pada perhitungan manual untuk mencari waktu ketahanan api dan suhu yang terjadi pada tulangan. Pada saat pengisian lembar kerja, hal yang harus diperhatikan adalah pengisian units atau satuan yang akan digunakan sebagai acuan dalam menginput data-data. Setelah pengisian lembar kerja selesai (gambar 5.2), maka selanjutnya membuat model penampang dengan tulangan satu arah. Penampang plat dimodelkan searah tulangan sehingga dibuat dengan lebar 1 m dan tinggi 0.15 m. Langkah pembuatan geometri seperti pada gambar 5.3 sampai gambar 5.5.
Gambar 5.4 Pengisian koordinat penampang
Gambar 5.5 Hasil pendefinisian menjadi line Setelah line didefinisikan, selanjutnya membuat tulangan dengan menggunakan fasilitas sweep dimana nantinya garis akan didefinisakn sebagai surface secara otomatis. Pendefinisian menggunakan sweep dilakukan secara bertahap sebanyak 3 kali sesuai garis yang ingin dibuat. Tulangan bawah dipasang sejarak 19 mm dari permukaan bawah plat, sehingga dalam arah Y disweep sejarak 0.019 m. Selanjutnya tulangan atas sejarak 0.112 m dari tulangan bawah dan jarak tulangan atas ke permukaan atas adalah 0.019 m. Sehingga akan menjadi plat dengan tinggi 0.15 m. Perubahan warna garis menjadi hijau menandakan model telah didefinisikan sebagai surface. Hasil pendefinisian geometri plat pada gambar 5.6.
Gambar 5.3 Proses pemodelan Plat menggunakan line
Gambar 5.6 Hasil pendefinisian menjadi surface menggunakan sweep
10
Pada treeview groups akan terlihat seperti gambar 5.11 dibawah ini yang menandakan kedua grup sedang aktif di lembar kerja.
Gambar 5.11 Tanda aktif grup pada treeview groups
Gambar 5.7 Hasil pendefinisian menjadi penampang plat Model penampang plat dua dimensi ini menggunakan tulangan sehingga tulangan dan beton harus didefinisikan masing-masing sesuai data yang ada. Oleh karena itu harus dibuat dalam grup tulangan dan grup beton agar pendefinisian attributes menjadi lebih mudah. Gambar 5.8 merupakan proses pembuatan grup, dimana kedua tulangan di blok terlebih dahulu kemudian dibuat menjadi grup bar, sedangkan untuk material beton diblok secara surface dan dibuat menjadi grup concrete.
Setelah grup dibuat, langkah selanjutnya membuat attribute untuk model, yang pertama harus dilakukan yaitu membuat meshing. Meshing pada tulangan dan beton dibuat berbeda, yaitu meshing garis pada tulangan dan mesing permukaan pada beton. Untuk tulangan dipilih mesh kemudian line, sedangkan untuk beton dipilih mesh kemudian surface. Proses pembuatan mesh pada gambar 5.12 sampai gambar 5.15.
Gambar 5.12 Proses input meshing
Gambar 5.8 Proses membuat grup
Gambar 5.9 Penamaan grup tulangan
Gambar 5.13 Pengisian data meshing tulangan
Gambar 5.10 Penamaan grup beton
11
Gambar 5.16 Proses input geometric
Gambar 5.14 Pengisian data meshing beton 1
Gambar 5.17 Input data total luas tulangan Gambar 5.15 Pengisian data meshing beton 2 Pembuatan meshing pada beton dilakukan sebanyak dua kali karena elemen beton terbagi dua yaitu pada tengah-tengah antar tulangan dan beton sebagai cover. Beton sebagai cover tidak bisa disamakan dengan meshing pada beton tengah-tengah tulangan karena lebar beton arah sumbu Y sangat kecil sehingga cukup dibuat 1 meshing untuk arah Y. Selain itu nilai perbandingan meshing harus diperhatikan karena rasio meshing yang disarankan oleh program LUSAS ini adalah kurang dari 5 agar tidak terjadi warning. Setelah meshing selesai dibuat maka selanjutnya menentukan geometri dari model. Model penampang dua dimensi ini untuk geometri tulangan berupa input total luas tulangan dan untuk beton berupa ketebalan yaitu 1 m panjang sehingga perlu didefinisikan pada model. Gambar 5.16 sampai gambar 5.18 merupakan langkah untuk membuat geometri.
Gambar 5.18 Input data geometrik surface Langkah selanjutnya apabila pembuatan data geometri telah selesai dilakukan adalah memasukan data material beton. Adapun material yang digunakan adalah material isotropis dengan data material yang dibutuhkan yaitu thermal conductivity (k) dan spesific heat (c), dimana data tersebut didapatkan dari grafik pada gambar 5.19 dan gambar 5.20 untuk thermal conductivity. Untuk nilai spesific heat pada gambar 5.21 dan gambar 5.22. Grafik tersebut menerangkan hubungan antara suhu dan thermal conductivity, begitu juga hubungan antara suhu dengan spesific heat. Nilai spesific heat pada gambar 5.21 dan gambar 5.22 sudah menjadi nilai volumetrik, sehingga tidak perlu dikalikan lagi dengan berat jenis beton pada saat menginput data.
12
Gambar 5.19 Grafik thermal conductivity baja tulangan terhadap suhu
Nilai thermal conductivity dan spesific heat berubah seiring dengan perubahan suhu. Untuk nilai thermal conductivity pada beton normal apabila suhu yang terjadi semakin besar maka nilai thermal conductivitynya semakin kecil. Sedangkan nilai thermal conductivity untuk beton ringan semakin besar suhunya maka nilai thermal conductivitynya semakin semakin besar pula. Sedangkan untuk spesific heat beton normal dan beton ringan apabila suhu semakin besar maka nilai spesific heatnya semakin besar pula, tetapi jika telah sampai pada puncak kapasitasnya maka sebaliknya semakin besar suhu akan semakin kecil spesific heatnya. Namun perubahan nilai spesific heat pada beton tidak terlalu besar perbedaannya meskipun perubahan suhunya besar.
Gambar 5.20 Grafik thermal conductivity dari beton normal dan beton ringan terhadap suhu Gambar 5.23 Proses input data material isotropis
Gambar 5.21 Grafik volumetric spesific heat baja tulangan terhadap suhu
Pada saat memasukkan nilai thermal conductivity dan spesific heat dalam program LUSAS yang harus diperhatikan adalah suhu yang terjadi pada permukaan, dimana kedua nilai tersebut akan berubah seiring dengan perubahan suhu. Oleh karena itu jika suhu pada permukaan plat diubah maka kedua nilai tersebut juga berubah, sehingga dilakukan uji coba sampai mendapatkan suhu yang diinginkan yang terjadi pada tulangan. Tetapi untuk data material tulangan tetap sama karena suhu yang dicari pada tulangan adalah tetap 710°C sehingga data material tulangan baja seperti pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Data material tulangan baja Name Thermal conductivity (k) Spesific heat (c)
Gambar 5.22 Grafik volumetric spesific heat dari beton normal dan beton ringan terhadap suhu
13
Value 34 W/m°C 6.2 x 106 J/m3°C
Gambar 5.26 Hasil pendefinisian attribute tulangan Gambar 5.24 Input data material tulangan Proses input data material beton yang akan digunakan disesuaikan dengan nilai pembebanan suhu permukaan pada proses pembebanan. Oleh karena itu pada saat memilih suhu permukaan, nilai thermal conductivity dan spesific heat pada beton juga didapatkan dan kemudian diinput dan didefinisikan pada elemen. Proses pendefinisian material beton sama dengan proses input material tulangan. Dalam analisa termal, support atau tumpuan tidak perlu digunakan, karena model merupakan penampang dari plat dan tumpuan yang disediakan oleh analisa termal ini hanya tumpuan bebas, jepit, dan spring. Penggunaan tumpuan juga tidak terlalu berpengaruh dalam proses transfer panas pada elemen. Selanjutnya sebelum membuat pembebanan, attribute yang telah dibuat didefinisikan dahulu pada model sesuai materialnya. Dengan mengaktifkan model tulangan saja pada treeview groups (gambar 5.25), maka attribute tulangan dapat dengan mudah didefinisikan. Cara yang sama dapat dilakukan saat mendefinisikan attribute pada beton.
Setelah semua attribute tulangan didefinisikan, selanjutnya attribute beton didefinisikan dengan mengaktifkan grup beton dengan cara yang sama seperti grup tulangan. Hasil pendefinisian semua attribute terhadap model terlihat pada treeview attribute dimana gambar disebelah kiri pada masing-masing attribute telah berwarna.
Gambar 5.27 Hasil pendefinisian seluruh attribute Tahap Pembebanan Pada tahap ini dilakukan pembebanan terhadap penampang struktur yang telah dimodelkan. Pada saat menginput beban, hal yang harus diperhatikan adalah jenis beban yang akan digunakan. Dalam LUSAS khusus untuk analisa termal beban-beban lain seperti beban hidup dan berat sendiri tidak diperhitungkan. Hal ini dikarenakan analisa hanya fokus pada panas yang terjadi pada material. Namun berat jenis material tetap digunakan dimana berhubungan langsung dengan nilai spesific heat. Jenis beban yang disediakan oleh LUSAS untuk analisa termal dapat dilihat pada gambar 5.28.
Gambar 5.25 Proses pengaktifan grup tulangan
Gambar 5.28 Jenis beban
14
Proses input beban akan dilakukan sebanyak dua kali sesuai jenis beban yang diperlukan. Jenis beban yang akan dikenakan yaitu prescribed temperature dan environmental temperature. Untuk beban prescribed temperature merupakan beban suhu yang sudah ditetapkan dan nantinya akan dikenakan pada bagian permukaan bawah penampang, sedangkan beban environmental temperature merupakan beban suhu lingkungan, dimana beban ini akan membantu proses analisa nonlinear pada program. Tabel 5.2 Data pembebanan Name Suhu Lingkungan koefisien transfer panas konvektif
Value 20 °C 500 W/m2°C
dikenakan secara penuh atau tidak dikali dengan faktor reduksi. Sebelum melakukan running juga perlu dilakukan pengaturan pada model data. Untuk loadcase 1 diatur agar running dilakukan secara nonlinear dengan beberapa kali waktu yang ditetapkan. Kita juga dapat menentukan berapa kali faktor pembebanan yang akan diberikan dan kita juga dapat mengatur berapa kali step waktu untuk melihat perubahan suhu. Analisa nonlinear terhadap waktu dan suhu dilakukan dengan dua loadcase, pengaturan loadcase sangat penting dalam analisa nonlinear ini. Loadcase 1 dimana terdiri dari beban suhu lingkungan, sedangan loadcase 2 terdiri dari beban beban yang telah ditetapkan (prescribed temperature). Pengaturan loadcase untuk analisa nonlinear dapat dilihat pada gambar 5.31 sampai gambar 5.33.
Gambar 5.31 Penempatan beban 1 Gambar 5.29 Input beban environmental temperature Untuk input beban prescribed temperature akan dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan nilai thermal conductivity dan spesific heat beton. Proses tersebut dilakukan sampai mendapatkan suhu di permukaan bawah tulangan sebesar 710°C dalam waktu 3 jam dengan tinggi cover 19 mm. Hasil pendefinisian beban dapat dilihat pada gambar 5.30. Gambar 5.32 Penempatan beban 2
Gambar 5.30 Pembebanan Tahap Running Setelah semua tahapan pemodelan selesai dilakukan maka tahap selenjutnya adalah running program. Sebelum melakukan running pengaturan untuk loadcase diperlukan dimana beban nantinya akan
Gambar 5.33 Pendefinisian loadcase
15
Pengaturan dilakukan dengan mengklik kanan loadcase 1 pada treeview loadcases dan pilih controls kemudian pilih nonlinear and transient akan keluar kotak dialog pengaturan nonlinear dan dapat dilihat pada Gambar 5.34. Loadcase 1 ini hanya terdiri dari beban suhu lingkungan saja. Proses setting nonlinear pada loadcase 1 berfungsi sebagai suhu inisial dari beton tersebut sehingga akan terjadi proses transfer panas pada elemen.
Gambar 5.34 Pengaturan kondisi nonlinear loadcase 1
Hasil Analisa Pada analisa menggunakan program ini memang tidak bisa terlepas dari perhitungan manual dimana dari perhitungan manual didapatkan suhu maksimum yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan suhu kebakaran yang terjadi. Setelah melakukan trial and error pada proses pemasukkan beban temperatur sampai didapatkan suhu pada cover sebesar 710°C selama 3 jam maka suhu yang terjadi pada permukaan bawah plat adalah 829.32°C. Dengan nilai suhu permukaan sebesar 829.32°C, maka nilai thermal conductivity dan spesific heat plat adalah 1.2 W/m°C dan 2,600,000 J/m3°C. Suhu permukaan yang didapat merupakan pendekatan suhu konstan yang terjadi menggunakan program berbasis finite element pada saat kebakaran atau suhu maksimum sampai plat tersebut mengalami keruntuhan (failure). Hasil analisa LUSAS untuk ketahanan api elemen plat adalah 829.32°C sedangkan berdasarkan ACI 216R-89 dapat mengetahui suhu permukaan dengan menggunakan grafik api standar. Oleh karena itu analisa menggunakan program bantu diperlukan untuk kemudian dijadikan pembanding.
Untuk pengaturan loadcase 2 sama dengan pengaturan loadcase 1. Pengisian data nonlinear pada loadcase 2 ini untuk maksimum waktu dibuat selama 3 jam atau 10800 detik sesuai dengan perhitungan manual ketahanan api elemen plat pada ACI 216R-89. Waktu perubahan suhu dibuat per 10 detik sehingga maksimal perubahan waktu adalah 1080 kali.
Gambar 5.37 Kondisi plat setelah 3 jam Dari kontur suhu plat pada gambar 5.37 terlihat bahwa suhu maksimum yang terjadi adalah 829.32°C dan suhu minimum yang terjadi adalah 235.256 °C selama 3 jam. Kurva nonlinear waktu terhadap suhu dapat dilihat pada gambar 5.38. Kurva tersebut menunjukkan suhu yang terjadi pada tulangan dalam waktu 3 jam atau 10800 detik adalah 710°C. Gambar 5.35 Pengaturan kondisi nonlinear loadcase 2
Temperatur, deg C
Proses transfer panas pada permukaan bawah tulangan (cover) 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Waktu, jam
Gambar 5.38 Grafik transfer panas pada permukaan bawah tulangan
Gambar 5.36 Proses analisa
16
Analisa Perbandingan Suhu Permukaan Untuk Desain Plat Beton Bertulang Tahan Api Pada dasarnya dalam mendesain dan analisa termal elemen plat dan balok adalah sama. Oleh karena itu pada pemodelan yang dilakukan menggunakan elemen plat sesuai kasus dan konsisi eksisting yang ada pada ACI 216R-89. Dalam tahapan desain ulang dengan menggunakan program LUSAS yang paling mempengaruhi ketahanan api elemen plat dan balok adalah tebal cover yang digunakan. Dalam proses heat transfer pada LUSAS semakin tebal suatu elemen maka semakin lama proses transfer panas yang terjadi. Analisa program ini sesuai dengan teori yang ada. Cover merupakan bagian yang paling penting dalam menentukan ketahanan api. Semakin tebal cover yang digunakan maka semakin besar ketahanan apinya. Pemodelan dan analisa akan menggunakan kasus yang sama seperti pada kasus sebelumnya. Pada desain kali ini tebal cover diubah mulai dari tebal minimum sesuai yang ditetapkan SNI 03-2847-2002 pasal 9.7.1(b) yaitu 15 mm sampai tebal maksimum yang dapat diakomodasi oleh tabel pada ACI 216R-89 yaitu 40 mm. Variabel yang akan dimainkan dalam pemodelan adalah cover, waktu dan suhu permukaan. Suhu yang terjadi pada permukaan bawah tulangan diestimasi tetap 710°C karena waktu berubah bersamaan dengan perubahan cover. Penentuan suhu permukaan pada plat tidak terlepas dari nilai thermal conductivity (k) dan spesific heat (c). Oleh karena itu input data material terhadap program pada analisa ini menggunakan nilai thermal conductivity dan spesific heat yang berbeda-beda disesuaikan dengan suhu permukaan yang terjadi. Namun nilai dari thermal conductivity dan spesific heat untuk suhu permukaan yang terjadi tidak terlalu jauh berbeda, bahkan untuk nilai spesific heat adalah sama untuk suhu di atas 800°C . Berikut pada tabel 5.3 merupakan hasil analisa perbandingan suhu permukaan terhadap cover dan waktu.
Tabel 5.3 Analisa suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan nilai k berbeda Cover (mm)
Waktu (jam)
k (W/ m° C)
c (J/m3°C)
Suhu tulang an (°C)
Suhu Permukaa n (°C)
15
2.2
1.22
2,600,000
710
819.95 829.32
19
3
1.2
2,600,000
710
25
3.5
1.18
2,600,000
710
858.48
30
4.1
1.17
2,600,000
710
872.28
2,600,000
710
889.95
2,600,000
710
900.65
35
4.5
40
5
1.16 1.15
Ilustrasi hubungan kenaikan suhu terhadap waktu dan cover tersebut dapat dilihat pada gambar 5.39.
Hubungan Cover, Waktu, dan Suhu Permukaan Suhu Permukaan, deg C
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa kenaikan suhu sangat cepat di saat awal waktu sampai pada detik ke 30 menit atau 0.5 jam. Selanjutnya kenaikan suhu berlangsung secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa proses transfer panas semakin lama waktu maka suhu akan merambat perlahan dan kenaikkannya lebih lambat.
1200 1000 800 600 400 200 0 0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Gambar 5.39 Grafik hubungan suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan suhu tulangan sama Berdasarkan gambar 5.39 bahwa semakin besar cover beton semakin besar pula waktu ketahanan apinya dan diikuti dengan kenaikan suhu permukaan. Kenaikan suhu permukaan tersebut berubah seiring dengan perubahan nilai thermal conductivity dan spesific heat. Namun pada saat kondisi dilapangan tentu saja kita tidak bisa langsung menentukan kedua nilai tersebut jika terjadi kebakaran. Oleh karena itu akan dibuat perbandingan antara suhu permukaan dengan nilai thermal conductivity dan spesific heat yang berbeda-beda dengan suhu permukaan dengan nilai thermal conductivity dan spesific heat tetap atau sesuai dengan kondisi eksisting. Perbandingan tersebut tetap menggunakan cover dan waktu yang sama seperti pada desain yang terlihat pada gambar 5.39. Namun karena nilai spesific heat dari ke-enam model adalah sama, maka yang diubah hanya nilai thermal conductivity saja. Hasil analisa suhu permukaan dengan nilai thermal conductivity dan spesific heat sesuai dengan kondisi eksisting dapat dilihat pada tabel 5.4.
17
k (W/m °C)
c (J/m3°C)
2.2
1.2
2,600,000
710
821.1
3
1.2
2,600,000
710
829.32
25
3.5
1.2
2,600,000
710
856.49
30
4.1
1.2
2,600,000
710
868.53
35
4.5
1.2
2,600,000
710
883.83
40
5
1.2
2,600,000
710
891.62
Cover (mm)
Waktu (jam)
15 19
Suhu tulanga n (°C)
Suhu Permuka an (°C)
Pada gambar 5.41 merupakan proses transfer panas pada cover untuk suhu failure pada permukaan bawah tulangan sama dengan 710 °C. Gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk cover yang lebih kecil proses transfer panas yang terjadi lebih cepat dibandingkan pada cover yang lebih besar. Proses Transfer Panas Pada Tulangan 800 700 Suhu tulangan, deg C
Tabel 5.4 Analisa suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan nilai k tetap
600 Cover 15 mm
500
Cover 19 mm 400
Cover 25 mm
300
Cover 30 mm Cover 35 mm
200
Cover 40 mm
100
Tabel 5.5 Perbandingan besar suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu berdasarkan nilai k
0 0
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
k (W/m°C)
Suhu Permukaan (°C) (k berbeda)
k (W/m°C)
Suhu Permukaan (°C) (k sama)
2.2
1.22
819.95
1.2
821.1
3
1.2
829.32
1.2
829.32
858.48
1.2
856.49
872.28
1.2
868.53 883.83 891.62
Cover (mm)
Waktu (jam)
15 19 25
3.5
30
1.18
4.1
1.17
35
4.5
1.16
889.95
1.2
40
5
1.15
900.65
1.2
Suhu Permukaan, deg C
Perbandingan Suhu Permukaan terhadap nilai k 1000
Gambar 5.41 Proses transfer panas pada permukaan bawah tulangan (710°C) Berdasarkan tabel distribusi temperatur yang digunakan untuk menentukan suhu pada permukaan bawah tulangan, ternyata suhu failure untuk masingmasing tinggi cover plat berbeda. Semakin tinggi cover beton, semakin lama waktu ketahanan apinya maka suhu pada cover semakin turun. Oleh sebab itu pemodelan akan dilakukan lagi untuk mencari suhu permukaan sesuai dengan kriteria failure sesuai dengan grafik distribusi temperatur pada plat. Model yang digunakan tetap sama seperti pada pemodelan sebelumnya, hanya saja suhu yang dicari pada cover berbeda. Grafik distribusi temperatur pada plat ditunjukkan pada gambar 5.42 berikut.
950 900 850
. 5
k sama
800
k berbeda
750 700 0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Gambar 5.40 Perbandingan besar suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu berdasarkan nilai k Pada table 5.5 menjelaskan bahwa dengan nilai thermal conductivity yang sama, suhu permukaan yang terjadi tidak terlalu jauh berbeda. Namun dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa jika nilai thermal conductivity turun maka suhu permukaan suhu permukaan semakin besar, sedangkan jika thermal conductivity naik maka suhu permukaan yang terjadi semakin kecil. Hal ini membuktikan bahwa proses transfer panas pada program LUSAS sudah sesuai dengan teori thermal conductivity pada beton normal, dimana semakin besar nilai thermal conductivity maka semakin kecil suhu yang terjadi dan sebaliknya. Gambar 5.42 Grafik distribusi temperatur pada plat
18
Tabel 5.6 Suhu failure pada permukaan bawah tulangan terhadap cover dan waktu
15
Waktu (jam) 2.2
Suhu tulangan (°C) 710
19
3
710
25
3.5
670
30
4.1
640
35
4.5
600
40
5
580
Cover (mm)
sebab itu suhu permukaan hasil analisa LUSAS pun semakin menurun. Hal ini dikarenakan walaupun cover semakin tinggi, tetapi waktu semakin lama dan suhu pada permukaan bawah tulangan menurun, sehingga suhu pada permukaan pun semakin menurun. Perbedaan besar suhu untuk masing-masing jenis k tidak terlalu jauh sehingga untuk perbandingan dengan manual nantinya akan digunakan salah satu jenis suhu dengan nilai k yang sama atau yang berbeda. Gambar 5.43 adalah ilustrasi dari hasil analisa untuk suhu permukaan dengan suhu permukaan bawah tulangan berbeda.
Perbandingan Suhu Permukaan Terhadap nilai k Suhu Permukaan, deg C
Setelah dilakukan pemodelan dan trial and error untuk mencari suhu permukaan untuk plat dengan kriteria suhu failure sesuai dengan grafik distribusi temperatur, maka hasil yang didapat adalah sebagai berikut : Tabel 5.7 Analisa suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan kriteria failure berbeda (nilai k berbeda) Suhu Permuk aan (°C)
Cover (mm)
Waktu (jam)
15
2.2
1.22
2,600,000
710
819.95
19
3
1.2
2,600,000
710
829.32
25
3.5
1.24
2,600,000
670
804.35
30
4.1
1.27
2,600,000
640
774.93
35
4.5
1.3
2,700,000
600
739.74
40
5
1.33
2,700,000
580
716.45
Tabel 5.8 Analisa suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan kriteria failure berbeda (nilai k sama) Cover (mm)
Waktu (jam)
k (W/m°C )
15
2.2
1.2
19
3
1.2
25 30
3.5 4.1
1.2 1.2
35
4.5
1.2
40
5
1.2
c (J/m3°C) 2,600,00 0 2,600,00 0 2,600,00 0 2,600,00 0 2,600,00 0 2,600,00 0
Suhu tulanga n (°C)
821.1
710
829.32
670 640
750 700 650
500
727.4
20
30
40
50
Proses Transfer Panas Pada Tulangan 800 700 600 cover 15 mm
500 400
cover 19 mm
300
cover 25 mm
200
cover 30 mm
100
cover 35 mm
0 0
580
10
Pada gambar 5.44 merupakan proses transfer panas pada cover untuk suhu pada permukaan bawah tulangan berbeda. Gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk cover yang lebih kecil proses transfer panas yang terjadi lebih cepat dibandingkan pada cover yang lebih besar. Proses transfer panas pada gambar 5.44 memiliki perilaku yang sama dengan grafik distribusi temperatur, dimana sebagai contoh pada waktu yang sama, untuk cover yang lebih besar suhu yang terjadi pada cover akan semakin kecil. Hal ini membuktikan bahwa proses transfer panas hasil analisa program memiliki perilaku yang sama atau sesuai dengan hasil percobaan.
782.44 746.1
k berbeda
550
Gambar 5.43 Perbandingan hubungan suhu permukaan terhadap cover beton dan waktu dengan suhu tulangan berbeda terhadap nilai k
808
600
k sama
600
Cover, mm
Suhu Permuka an (°C)
710
800
0
Suhu tulangan, deg C
c (J/m3°C)
Suhu tulang an (°C)
k (W/m° C)
850
1
2
3
4
5
6
cover 40 mm
Waktu, jam
Gambar 5.44 Proses transfer panas pada permukaan bawah tulangan
Tabel 5.7 dan 5.8 menunjukkan bahwa semakin besar cover dan waktu maka suhu failure pada permukaan bawah tulangan semakin menurun. Oleh
19
Hubungan dan Perbandingan Suhu Permukaan Hasil Analisa Program dengan Manual ACI 216R-89 Analisa termal menggunakan program LUSAS dalam mengevaluasi ketahanan api elemen struktur beton bertulang tentu tidak terlepas dari perhitungan manual. Analisa dengan perhitungan manual adalah untuk menentukan waktu dan suhu pada permukaan bawah tulangan untuk mencapai failure. Sedangkan analisa termal adalah untuk menentukan suhu permukaan yang terjadi. Kedua analisa ini sangat berkaitan dalam mendesain elemen struktur yang tahan terhadap temperatur tinggi, dalam hal ini adalah kebakaran. Pada perhitungan manual ACI 216R-89 dapat menentukan suhu permukaan beton dengan menggunakan api standar pada grafik Standar TimeTemperature Curve For Control Of Fire Tests pada ASTM E 119. Dengan menggunakan grafik tersebut ketika waktu mencapai 3 jam maka suhu pada permukaan yang terkena api diperkirakan sebesar 1050°C. Namun suhu tersebut merupakan suhu api standar dimana suhu semakin meningkat seiring dengan kenaikan waktu. Sedangkan untuk analisa program hanya dapat memasukkan suhu api konstan, sehingga nilai api standar tersebut dijadikan nilai konstan. Nilai suhu konstan api standar tersebut adalah 900°C. Nilai api standar konstan didapatkan dengan menggunakan teori pendekatan energi dimana luasan dari energi api standar dibagi dengan waktu (jam) akan menghasilkan api standar konstan. Gambar 5.45 merupakan kurva temperatur untuk api standar.
Tabel 5.9 Perhitungan suhu api standar konstan Luas
L/t
15
Waktu (t) (jam) 2.2
17.68
8.04
Suhu api standar konstan (°C) 860
19
3
25.20
8.40
900
25
3.5
30.16
8.60
940
30
4.1
36.05
8.79
950
35
4.5
40.13
8.92
980
40
5
45.23
9.05
990
Cover (mm)
Berdasarkan hasil analisa termal LUSAS terlihat bahwa suhu yang terjadi pada waktu 3 jam dengan cover 19 mm adalah 829.32°C. Terdapat perbedaan antara estimasi suhu manual ACI 216R-89 dengan hasil analisa program. Pada tabel 5.10 merupakan perbandingan suhu api standar konstan dengan suhu permukaan konstan hasil analisa program untuk kriteria suhu failure pada permukaan bawah tulangan adalah sama.
Tabel 5.10 Perbandingan suhu api standar konstan dengan suhu hasil analisa program (suhu failure pada tulangan sama)
Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu tulanga n (°C)
Suhu Permuka an (°C) (k berbeda)
Suhu Permuka an (°C) (k sama)
Suhu Api Standar konstan (°C)
15
2.2
710
819.95
821.1
860
19
3
710
829.32
829.32
900
25
3.5
710
858.48
856.49
940
30
4.1
710
872.28
868.53
950
35
4.5
710
889.95
883.83
980
40
5
710
900.65
891.62
990
Gambar 5.46 merupakan ilustrasi untuk tabel 5.10 yang menunjukkan perilaku kenaikan suhu permukaan api standar dengan suhu permukaan hasil analisa program untuk kriteria suhu failure pada cover adalah sama. Gambar 5.45 kurva temperatur untuk api standar dan api aktual Api standar konstan merupakan suhu dimana dari awal waktu sampai waktu terjadi failure suhunya adalah tetap. Suhu api standar yang dibuat konstan dengan teori energi dapat dilihat pada tabel 5.9.
20
Tabel 5.11 Perbandingan suhu api standar konstan dengan suhu hasil analisa program (suhu failure pada tulangan berbeda)
Suhu Permukaan, deg C
Perbandingan suhu permukaan api standar dengan analisa LUSAS 1050 1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300
Suhu Permukaan hasil LUSAS (k berbeda) Suhu permukaan api standar Suhu Permukaan hasil LUSAS (k sama)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Cover , mm
Pada gambar 5.46 terlihat kedua suhu permukaan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Perbedaan nilai hasil analisa LUSAS dengan api standar tidak begitu jauh. Oleh karena itu analisa program menunjukkan bahwa semakin tinggi cover maka semakin lama waktu ketahanannya serta semakin besar suhu permukaan yang terjadi untuk kriteria suhu failure adalah sama. Prosentase nilai error antara suhu permukaan (untuk suhu dengan nilai k berbeda) dengan api standar konstan diperoleh error minimum sebesar 4.66% dan error maksimum sebesar 9%, sehingga rata-rata nilai error yang dihasilkan adalah 7.9%. Sedangkan prosentase nilai error pada suhu permukaan (untuk suhu dengan nilai k sama) dengan api standar konstan diperoleh error minimum sebesar 4.5% dan error maksimum sebesar 9.9%, sehingga rata-rata nilai error yang dihasilkan adalah 8.3%. Namun dari perbandingan ketiga suhu permukaan tersebut terlihat bahwa perilakunya sama-sama mengalami kenaikan. Suhu permukaan hasil analisa program untuk kriteria suhu failure pada permukaan bawah tulangan adalah berbeda-beda ternyata memiliki perilaku yang berbeda dengan api standar.
Wa ktu (jam )
Suhu tulanga n (°C)
Suhu Permukaa n (°C) (k berbeda)
Suhu Permuka an (°C) (k sama
Suhu Api Standar konstan (°C)
15
2.2
710
819.95
821.1
860
19
3
710
829.32
829.32
900
25
3.5
670
804.35
808
940
30
4.1
640
774.93
782.44
950
35
4.5
600
739.74
746.1
980
40
5
580
716.45
727.4
990
Pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa suhu permukaan analisa program setelah mencapai puncak yaitu pada waktu 3 jam suhu yang terjadi selanjutnya akan semakin turun seiring bertambahnya waktu. Analisa program menunjukkan bahwa semakin kecil suhu pada tulangan maka suhu permukaan yang terjadi juga semakin kecil. Hal tersebut disebabkan karena waktu yang terjadi juga semakin lama. Gambar 5.47 merupakan ilustrasi untuk tabel 5.11 yang menunjukkan perilaku suhu permukaan api standar konstan dengan suhu permukaan hasil analisa program untuk kriteria suhu failure pada permukaan bawah tulangan berbeda. Prosentase nilai error antara suhu permukaan (untuk suhu dengan nilai k berbeda) dengan api standar konstan diperoleh error minimum sebesar 4.66% dan error maksimum sebesar 27.6%, sehingga rata-rata nilai error yang dihasilkan adalah 16.3%. Sedangkan prosentase nilai error pada suhu permukaan (untuk suhu dengan nilai k sama) dengan api standar konstan diperoleh error minimum sebesar 4.5% dan error maksimum sebesar 26.5%, sehingga rata-rata nilai error yang dihasilkan adalah 15.7%.
Perbandingan Suhu Permukaan Api Standar dengan Analisa LUSAS Suhu Permukaan, deg C
Gambar 5.46 Perbandingan suhu permukaan api standar konstan dengan analisa LUSAS berdasarkan cover dan waktu (1)
Cover (mm)
1100 1000 900 800 700 600 500 400 300
Suhu Permukaan LUSAS (k sama) Suhu Permukaan LUSAS (k berbeda) Suhu Api Standar
0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Gambar 5.47 Perbandingan suhu permukaan api standar konstan dengan analisa LUSAS berdasarkan cover dan waktu (2)
21
Analisa Perbandingan Suhu Tulangan Untuk Desain Plat Beton Bertulang Tahan Api Analisa mencari besar suhu tulangan yang dihasilkan program LUSAS bertujuan untuk membandingkan suhu tulangan dan analisa transfer panas pada program dengan suhu tulangan manual ACI 216R-89. Hal ini dilakukan agar program dapat digunakan untuk memprediksi ketahanan api jika terjadi suatu kebakaran tanpa menggunakan bantuan perhitungan manual. Analisa dilakukan dengan menginput suhu permukaan berdasarkan suhu api standar konstan. Api standar konstan digunakan karena pada dasarnya api standar tersebut sebagai gambaran dari suhu kebakaran yang terjadi. Setelah melakukan pemodelan dan tahap running, maka hasil yang didapatkan untuk besar suhu pada permukaan bawah tulangan adalah sebagai berikut pada tabel 5.12 dan 5.13. Tabel 5.12 Analisa suhu tulangan terhadap cover beton dan waktu dengan nilai k berbeda
Cover (mm)
Wakt u (jam)
k (W/m°C )
c (J/m3°C)
15
2.2
1.18
2,600,000
860
742.521
19
3
1.15
2,600,000
900
766.959
25
3.5
1.14
2,600,000
940
773.401
30
4.1
1.13
2,600,000
950
768.359
35
4.5
1.12
2,600,000
980
775.852
40
5
1.11
2,600,000
990
773.519
Suhu tulangan LUSAS (k berbeda) (°C)
Suhu tulangan LUSAS (k tetap) (°C)
Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu permukaan = Suhu api standar (°C)
15
2.2
860
742.521
743.545
19
3
900
766.959
770.26
25
3.5
940
773.401
778.886
30
4.1
950
768.359
776.259
35
4.5
980
775.852
786.827
40
5
990
773.519
787.884
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa suhu tulangan hasil analisa LUSAS lebih besar daripada suhu tulangan pada manual ACI. Ilustrasi dari tabel 5.12 dapat dilihat pada gambar 5.48 dan berikut. Gambar 5.48 menunjukkan bahwa suhu tulangan yang dihasilkan program hampir sama untuk setiap cover dengan waktu ketahanan api masing-masing.
Suhu tulangan (°C)
Perbandingan Suhu TulanganAnalisa LUSAS Berdasarkan nilai k Suhu Tulangan, deg C
Suhu permukaan = Suhu api standar (°C))
Tabel 5.14 Perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS berdasarkan nilai k
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Suhu Tulangan LUSAS (k bebeda) Suhu Tulangan LUSAS (k sama)
0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Tabel 5.13 Analisa suhu tulangan terhadap cover beton dan waktu dengan nilai k sama
Waktu (jam)
k (W/m° C)
c (J/m3°C)
Suhu tulanga n (°C)
Proses Transfer Panas Pada Tulangan (k
15
2.2
1.2
2,600,000
860
743.545
19
3
1.2
2,600,000
900
770.26
25
3.5
1.2
2,600,000
940
778.886
30
4.1
1.2
2,600,000
950
776.259
35
4.5
1.2
2,600,000
980
786.827
40
5
1.2
2,600,000
990
Proses transfer panas pada tulangan hasil analisa LUSAS dengan menggunakan suhu permukaan api standar dapat dilihat pada gambar 5.49 dan 5.50.
berbeda) Suhu tulangan, deg C
Cover (mm)
Suhu permukaan = Suhu api standar (°C))
Gambar 5.48 Suhu tulangan hasil analisa LUSAS
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Cover 15 mm Cover 19 mm Cover 25 mm Cover 30 mm Cover 35 mm Cover 40 mm 0
787.884
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
Gambar 5.49 Proses transfer panas pada tulangan akibat api standar (k berbeda)
22
Hubungan Suhu Tulangan, Cover, dan Waktu
Proses Transfer Panas Pada Tulangan (k 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Cover 15 mm Suhu Tulangan, deg C
Suhu tulangan, deg C
sama) Cover 19 mm Cover 25 mm Cover 30 mm Cover 35 mm Cover 40 mm 0
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
Gambar 5.50 Proses transfer panas pada tulangan akibat api standar (k tetap)
Tabel 5.15 Suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan menggunakan suhu permukaan terbesar hasil LUSAS Cover (mm)
Waktu (jam)
k (W/m °C)
c (J/m3°C)
Suhu Permuka an (°C)
15
2.2
1.2
2,600,000
829.32
Suhu tulanga n (°C) 717.12
19
3
1.2
2,600,000
829.32
710.003
25
3.5
1.2
2,600,000
829.32
687.593
30
4.1
1.2
2,600,000
829.32
678.135
35
4.5
1.2
2,600,000
829.32
666.481
40
5
1.2
2,600,000
829.32
660.699
20
30 Cover, mm
40
50
Gambar 5.51 Suhu tulangan berdasarkan suhu permukaan terbesar hasil analisa LUSAS Gambar 5.51 menunjukkan bahwa suhu tulangan yang terjadi semakin kecil bersamaan dengan kenaikkan tinggi cover dan waktu. Jika suhu kebakaran yang terjadi adalah sama untuk setiap cover dan waktu yang terjadi juga sama, maka suhu tulangan yang terjadi hasil analisa program yaitu semakin besar cover maka semakin kecil suhu tulangannya. Gambar 5.52 menunjukkan proses transfer panas pada tulangan. Proses Transfer Panas Pada Tulangan Akibat Suhu Permukaan Terbesar Analisa P rogram Suhu Tulangan, deg C
Proses transfer panas pada gambar 5.49 dan gambar 5.50 menunjukkan bahwa suhu pada tulangan hampir sama untuk setiap cover, dimana waktu yang digunakan adalah waktu ketahanan apinya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jika ketahanan api elemen struktur terhadap waktu telah didesain terlebih dahulu, maka analisa LUSAS memberikan hasil suhu tulangan yang hampir sama untuk setiap ketahanan apinya. Suhu tulangan yang hampir sama ini membuktikan bahwa analisa sebelumnya yaitu pada saat mencari suhu permukaan dengan menyamakan kriteria failure untuk seluruh cover adalah 710 °C menghasilkan suhu permukaan yang semakin besar sesuai dengan suhu api standar. Suhu permukaan yang didapatkan dari hasil analisa LUSAS berdasarkan pemodelan sebelumnya jika digunakan sebagai patokan api standar LUSAS bisa digunakan untuk suhu yang paling besar yaitu 829.32 °C. Suhu permukaan tersebut dipilih karena suhu tersebut adalah hasil analisa program untuk kriteria suhu tulangan yang berbeda sesuai grafik distribusi temperatur. Suhu tersebut dipilih karena dapat menyeimbangkan suhu tulangan yang terjadi. Hasil analisa program dengan menggunakan suhu permukaan terbesar hasil trial and error pada analisa suhu permukaan sebelumnya dapat dilihat pada table 5.15.
10
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Cover 15 mm Cover 19 mm Cover 25 mm Cover 30 mm Cover 35 mm Cover 40 mm
0
1
2
3
4
5
6
Waktu, jam
Gambar 5.52 Proses transfer panas pada tulangan akibat suhu permukaan terbesar dari analisa LUSAS Hubungan dan Perbandingan Suhu Tulangan Hasil Analisa Program dengan Manual ACI 216R-89 Perbandingan ini dimaksudkan agar dapat melihat bagaimana perilaku dan besar suhu tulangan pada program agar dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu kebakaran. Besar suhu tulangan akan sangat menentukan apakah elemen plat sudah masih bisa digunakan atau sudah rusak. Tabel 5.16 merupakan perbandingan suhu tulangan hasil analisa program dengan manual ACI 216R-89 dengan mengunakan suhu api standar sebagai perkiraan suhu terjadinya kebakaran.
23
ACI dengan suhu tulangan hasil program merupakan fungsi cover dikali koefisien. Tabel 5.16 Perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan manual ACI 216R-89
Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu permukaa n = Suhu api standar (°C)
Suhu tulangan LUSAS (k berbeda) (°C)
Suhu tulangan LUSAS (k sama) (°C)
Suhu tulang an ACI (°C)
15
2.2
860
742.521
743.545
710
19
3
900
766.959
770.26
710
25
3.5
940
773.401
778.886
670
30
4.1
950
768.359
776.259
640
35
4.5
980
775.852
786.827
600
40
5
990
773.519
787.884
580
Tabel 5.17 Prosentase error suhu tulangan dengan suhu permukaan api standar konstan (k berbeda) Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu tulangan ACI (°C)
Suhu tulangan LUSAS (k berbeda) (°C)
Error (%)
Selisih suhu (∆)(°C)
Koef. (α)
15
2.2
710
742.521
4.38
32.521
2.17
19
3
710
766.959
7.43
56.959
3.00
25
3.5
670
773.401
13.37
103.401
4.14
30
4.1
640
768.359
16.71
128.359
4.28
35
4.5
600
775.852
22.67
175.852
5.02
40
5
580
773.519
25.02
193.519
4.84
Rata-rata error
Suhu Tulangan, deg C
Perbandingan Suhu Tulangan ACI 216R-89 dengan Suhu Tulangan Analisa LUSAS 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Suhu Tulangan LUSAS (k bebeda) Suhu Tulangan LUSAS (k sama) Suhu Tulangan ACI 0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Gambar 5.53 Perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan manual ACI 216R-89 Gambar 5.53 merupakan ilustrasi dari tabel 5.16 yang menunjukkan bahwa suhu tulangan yang dihasilkan program hampir sama untuk setiap cover dengan waktu ketahanan api masing-masing sedangkan hasil percobaan ACI semakin besar cover dan waktu maka semakin rendah suhu tulangannya. Dapat dilihat bahwa suhu yang dihasilkan program lebih besar daripada suhu manual ACI. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor yang sangat mempengaruhi seperti besar thermal conductivity dan spesific heat beton yang digunakan pada saat percobaan ACI serta faktor lain seperti kelembaban dan lain sebagainya. Perbandingan suhu tulangan dengan menggunakan suhu permukaan api standar konstan memiliki prosentase error sebagai berikut pada tabel 5.17 dan 5.18 sesuai nilai thermal conductivitynya. Untuk mengatasi error yang terjadi akan dicoba mencari koefisien yang dapat digunakan untuk menyamakan suhu tulangan manual ACI dengan suhu tulangan hasil analisa program. Koefisien dicari dengan menggunakan pengaruh dari cover, dimana selisih antar suhu tulangan
14.9%
Tabel 5.18 Prosentase error suhu tulangan dengan suhu permukaan api standar konstan (k sama) Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu tulangan ACI (°C)
Suhu tulangan LUSAS (k sama) (°C)
Error (%)
Selisih suhu (∆)(°C)
Koef. (α)
15
2.2
710
743.545
4.51
33.545
2.24
19
3
710
770.26
7.82
60.26
3.17
25
3.5
670
778.886
13.98
108.886
4.36
30
4.1
640
776.259
17.55
136.259
4.54
35
4.5
600
786.827
23.74
186.827
5.34
40
5
580
787.884
26.39
207.884
5.20
Rata-rata error
15.7%
Prosentase pada tabel 5.17 dan 5.18 menunjukkan bahwa semakin besar cover dan waktu maka semakin besar prosentase error yang terjadi. Perbedaan prosentase error berdasarkan nilai thermal conductivity antara tabel 5.17 dan 5.18 juga tidak terlalu jauh berbeda. Nilai koefisien yang didapatkan ternyata tidak sama dan perbedaannya cukup jauh untuk kategori koefisien, sehingga nilai koefisien tersebut kurang akurat jika dirata-rata. Koefisien yang didapat hanya bisa digunakan untuk analisa plat dalam kasus ini, karena kurang akurat jika digunakan dalam kasus plat yang lain. Analisa selanjutnya dilakukan dengan membandingkan suhu tulangan hasil analisa program dengan suhu tulangan manual ACI, dimana analisa program menggunakan suhu permukaan terbesar dari analisa program sebagai perkiraan suhu terjadinya kebakaran.
24
Tabel 5.19 Perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan manual ACI 216R-89 (suhu permukaan dari analisa LUSAS) Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu permukaan (°C)
15
2.2
829.32
Suhu tulangan LUSAS (°C)
Suhu tulangan ACI (°C)
717.12
710
19
3
829.32
710.003
710
25
3.5
829.32
687.593
670
30
4.1
829.32
678.135
640
35
4.5
829.32
666.481
600
40
5
829.32
660.699
580
Suhu Tulangan, deg C
Perbandingan Suhu Tulangan ACI dengan Analisa Program 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Suhu tulangan ACI Suhu tulangan LUSAS
0
10
20
30
40
50
Cover, mm
Gambar 5.54 Perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan manual ACI 216R-89 (suhu permukaan dari analisa LUSAS) Gambar 5.54 merupakan ilustrasi dari tabel 5.19 yang menunjukkan bahwa suhu tulangan yang dihasilkan program semakin menurun untuk setiap cover dengan waktu ketahanan api masing-masing. Perilaku suhu tulangan tersebut sama dengan suhu ACI dimana semakin suhu tulangan semakin menurun. Perlu diingat bahwa ini dikarenakan suhu yang permukaan yang digunakan adalah sama untuk semua cover dan waktu. Dapat dilihat bahwa suhu yang dihasilkan program tetap lebih besar daripada suhu manual ACI. Perbandingan suhu tulangan dengan menggunakan suhu permukaan hasil analisa program yang terbesar memiliki prosentase error sebagai berikut pada tabel 5.20. Untuk mengatasi error yang terjadi akan dicoba mencari koefisien yang dapat digunakan untuk menyamakan suhu tulangan manual ACI dengan suhu tulangan hasil analisa program. Koefisien dicari dengan menggunakan pengaruh dari cover, dimana selisih antar suhu tulangan ACI dengan suhu tulangan hasil program merupakan fungsi cover dikali koefisien.
Tabel 5.20 Prosentase error suhu tulangan dengan suhu permukaan dari analisa LUSAS Cover (mm)
Waktu (jam)
Suhu tulangan ACI (°C)
Suhu tulangan LUSAS
Error (%)
Selisih suhu (∆)(°C)
Koef. (α)
15
2.2
710
717.12
0.99
7.12
0.47
19
3
710
710.003
0.00
0.003
0.00
25
3.5
670
687.593
2.56
17.593
0.70
30
4.1
640
678.135
5.62
38.135
1.27
35
4.5
600
666.481
9.97
66.481
1.90
40
5
580
660.699
12.21
80.699
2.02
Nilai koefisien yang didapatkan ternyata tidak sama, hal ini sama dengan koefisien pada perbandingan sebelumnya yang menggunakan suhu permukaan api standar konstan. Oleh karena itu nilai koefisien tersebut kurang akurat jika dirata-rata. Koefisien yang didapat hanya bisa digunakan untuk analisa plat dalam kasus ini, karena kemungkinan kurang akurat jika digunakan dalam kasus plat yang lain. Evaluasi ketahanan api hasil analisa program berdasarkan suhu tulangan terhadap waktu ketahanannya memberikan hasil suhu tulangan yang hampir sama pada setiap cover.. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa program bantu LUSAS dapat digunakan untuk mengevaluasi ketahanan api berdasarkan suhu tulangan yang terjadi, namun analisa yang dihasilkan lebih besar daripada hasil percobaan ACI 216R-89. Hasil analisa suhu tulangan yang lebih besar oleh LUSAS menunjukkan bahwa elemen plat lebih cepat dinyatakan failure. Hal ini berarti analisa program dapat dikatakan lebih aman. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Setelah melakukan studi tentang program LUSAS dengan melakukan beberapa studi kasus maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemodelan elemen plat pada program LUSAS dapat dilakukan untuk mengetahui katahanan api berdasarkan suhu. Dalam analisa termal pada program, beban temperatur hanya dapat menggunakan suhu konstan. 2. Analisa untuk mencari suhu permukaan dilakukan dengan mengganti cover dan thermal conductivity dari model yang telah dibuat. Proses analisa dengan cara trial and error dimana parametenya adalah suhu tulangan harus sesuai dengan grafik distribusi temperatur plat pada ACI 216R-89. Hasil dari analisa program menunjukkan bahwa suhu permukaan analisa program lebih kecil daripada suhu api standar konstan.
25
3. Berdasarkan analisa suhu permukaan yang telah dilakukan, didapatkan perbandingan suhu permukaan hasil analisa LUSAS dengan suhu permukaan dari grafik api standar yang telah dimodifikasi menjadi suhu konstan dengan menggunakan teori energi yaitu memiliki rata-rata 16.3% (untuk nilai k berbeda) dan 15.7% (untuk nilai k sama). 4. Analisa untuk mencari suhu tulangan dilakukan dengan mengganti cover dan thermal conductivity dari model yang telah dibuat. Proses analisa menggunakan parameter suhu api standar konstan sebagai suhu permukaan. Hasil dari analisa program menunjukkan bahwa suhu tulangan analisa program lebih besar daripada suhu tulangan pada grafik distribusi temperatur plat ACI 216R-89 . 5. Berdasarkan analisa suhu tulangan yang telah dilakukan, didapatkan perbandingan suhu tulangan hasil analisa LUSAS dengan suhu tulangan dari grafik distribusi temperatur pada plat yaitu memiliki rata-rata 14.9% (untuk nilai k berbeda) dan 15.7% (untuk nilai k sama). 6. Variasi pemodelan plat yang dibuat dalam analisa termal pada LUSAS membuktikan bahwa proses transfer panas pada program LUSAS sudah sesuai dengan teori thermal conductivity. Pada beton normal semakin besar nilai thermal conductivity (k) maka semakin cepat elemen tersebut menghantarkan panas dan sebaliknya. Saran Dari pengalaman yang didapat selama menulis tugas akhir ini, penulis menyarankan : 1. Perlu dilakukan studi kasus dengan perencanaan yang lebih matang terhadap program bantu LUSAS, khususnya dalam analisa termal. 2. Perlu dilakukan studi program lagi tentang analisa termal agar dapat dijadikan pembanding dengan program LUSAS. 3. Mahasiswa teknik sipil pada umumnya perlu mempelajari dan mengikuti perkembangan teknologi program bantu yang dapat menganalisa termal seperti LUSAS ini.
DAFTAR PUSTAKA America
Concrete Institute (2001), Guide For determaining The Fire Endurance of Concrete Elements, ACI 216R-89
Gustaferro,AH & Lin, T.D. 1986. Rational Design Of Reinforced Concrete Members for Fire Resistance. Fire Safety Journal. USA
Fathony, M, (2001), ”Perkiraan Kekuatan Bahan Bangunan, Setelah Kebakaran”, Konstruksi September-Oktober Febriana,F. 2010. Pengaruh Suhu dan Waktu Pembakaran Beton Terhadap Kuat Tekan Beton. Sumatra Utara Siwi. 2008. Re Desain Struktur Beton Bertulang Dengan Tipe D Pada Asrama Kaltim Ruhui Rahayu. Yogyakarta Nugraha dan Antony, 2007, Pengaruh Variasi Lama Pembakaran Terhadap Kekuatan Baja Tulangan Beton Bertulang. (disunting dari http://comes.umy.ac.id/file.php/1/arsip /ilmiah3/ pada tanggal 20 Mei 2011 pukul 18.30 WIB) Badan Standarisasi Nasional (2008), Cara Uji Bakar Bahan Bangunan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah Dan Gedung, SNI 1740-2008 Badan
Standarisasi Nasional (2008), Cara Uji Ketahanan Api Komponen Struktur Bangunan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah Dan Gedung, SNI 1741-2008.
Lasino, Cahyadi, Fajri .2008.Ketahanan Pelat Komposit Aldeck Terhadap Api Dan Kinerja Pelat Baja Gelombang Sebagai Pengganti Tulangan Positif. Bandung.Bayuasri, Indarto, Antonius.2006. Perubahan Perilaku Mekanis Beton Akibat Temperatur Tinggi.PILAR Vol. 15 Nomor 2, September 2006 : hal. 117 – 126. Schaffer,E.L, dkk. 1982.Structural Fire Protection. ASCE Manuals and reports on Engineering practice. New York. Irwanto, Aditya. 2011. Pemodelan Respons Non-Linear Material Beton Akibat Beban Aksial Dengan Menggunakan Software Berbasis Finite Element Analysis. Surabaya : ITS ASTM E119 tentang Standard Test Methods for Fire Test of Building Construction Materials Lusas 14.3 user’s guide Cook. Robert, Malkus. David, Plesha. Michael, Witt. Robert. 2002. ”Concept and Aplications of finite Element Analysis”. Denver : John Wiley & Sons. www.lusas.com
26