LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
KONSTRUKSI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PURWOKERTO 2015
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
KONSTRUKSI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
Oleh: Dr. H. Abdul Basit, M. Ag NIP. 19691219 199803 1 001
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PURWOKERTO 2015
1
ABSTRAK
KONSTRUKSI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
Oleh: Dr. H. Abdul Basit, M. Ag NIP. 19691219 199803 1 001
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PURWOKERTO 2015
2
KONSTRUKSI ILMU KOMUNIKASI ISLAM Oleh: Abdul Basit
Abstrak Wacana ilmu dakwah menjadi ilmu komunikasi Islam menarik untuk diperdebatkan. Apakah ilmu dakwah sama dengan ilmu komunikasi Islam ataukah ilmu dakwah menjadi bagian dari ilmu komunikasi Islam atau sebaliknya. Perdebatan tersebut berimbas pada nomenklatur, gelar akademik, dan kajian ilmu dakwah yang ada di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mendeskripsikan ilmu komunikasi Islam dalam perspektif filsafat ilmu. Tulisan ini bertitik tolak dari penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan post positifivistik rasionalistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ontologis, ilmu komunikasi Islam merupakan bagian dari ilmu dakwah yang berupaya menyampaikan informasi, gagasangagasan dan sikap-sikap yang benar dan akurat menurut Islam. Kemudian secara epistemologis, ilmu komunikasi Islam dibangun berdasarkan prinsip tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, ummah, taqwa, dan amanah serta menggunakan paradigma yang individualism-conformity, transcendatalism-existensialism, intuitive rational processes, dan egalitarian-hierarchical. Adapun metode yang digunakan tetap mengacu pada epistemologi Islam yaitu metode bayani, tajribi, burhani, dan irfani. Selanjutnya, secara aksiologi, ilmu komunikasi Islam dibangun di atas landasan nilai dan etika yang bersumber dari al-Qur’an dan al-hadits serta bertujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu manusia terhadap ilmu, mengembangkan teori komunikasi Islam, mengatasi permasalahan komunikasi manusia, dan sebagai media manusia dalam meningkatkan kualitas diri dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Key words: ilmu, komunikasi Islam, ontologi, epistemologi, dan aksiologi
Pendahuluan Pergulatan pemikiran tentang ilmu dakwah hingga sekarang masih mengemuka dan terus berkembang. Dalam pertemuan di IAIN Walisongo Semarang (2008) terjadi perdebatan yang menarik apakah ilmu dakwah menjadi bagian dari ilmu agama Islam ataukah menjadi bagian dari ilmu-ilmu sosial. Ilyas Supena menawarkan gagasan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu sosial karena ilmu dakwah sebagai ilmu disipliner yang memiliki objek kajian pada dimensi keberagamaan. 1 Sedangkan
1
Ilyas Supena, “Pengembangan Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Sosial”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja yang diselenggarakan IAIN Walisongo tanggal 19-20 Desember 2008.
3
Amrullah Ahmad menyatakan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu agama Islam yang mengacu pada model dakwah yang dilakukan oleh nabi Muhammad. 2 Di luar forum tersebut, Andi Faisal Bakti terus menyuarakan bahwa ilmu dakwah adalah ilmu komunikasi Islam seperti ilmu tarbiyah menjadi ilmu pendidikan Islam atau ilmu syari’ah menjadi ilmu hukum Islam. Bakti juga beralasan bahwa term-term yang ada di ilmu dakwah memiliki kesamaan dengan term-term yang ada di dalam ilmu komunikasi. Perbedaan hanya pada pesan komunikasi yang spesifik berupa ke-Islaman. Jika terdapat kesamaan-kesamaan mengapa kita tidak mau mengatakan bahwa ilmu dakwah adalah ilmu komunikasi Islam, kata Bakti. 3 Pergulatan tentang keilmuan dakwah ini juga berimplikasi pada hal-hal teknis yang tidak kalah pentingnya, diantaranya: Pertama, adanya perbedaan nomenklatur pada Fakultas Dakwah yang ada di Indonesia. Ada yang menggunakan nama Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, ada yang Fakultas/Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam, ada yang menggunakan nama Fakultas Dakwah dan Ilmu-Ilmu Sosial, ada yang hanya menggunakan Fakultas Dakwah saja, dan bahkan ada yang menggunakan gabungan Fakultas Dakwah, Ushuluddin dan Adab. Terlepas dari persoalan efektivitas pada pengelolaan Fakultas, hal yang menarik untuk dikritisi, mengapa pada kampuskampus yang telah mapan Fakultas-nya seperti UIN, nama Fakultas Dakwah dibedakan dengan kata sambung “dan” dengan ilmu Komunikasi. Apakah hal tersebut dimaknai bahwa studi tentang dakwah berbeda dengan studi komunikasi Islam atau dalam bahasa yang lain, ada perbedaan antara ilmu dakwah Islam dengan ilmu komunikasi Islam. Kedua, gelar yang digunakan oleh alumni Fakultas Dakwah yang mengacu pada Peraturan Menteri Agama RI No. 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Peguruan Tinggi Agama ternyata alumni Fakultas Dakwah bergelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I). Dari gelar tersebut menunjukkan bahwa ilmu dakwah Islam adalah ilmu komunikasi Islam. Karena gelar menunjukkan warna keilmuan yang ada di Fakultas, seperti Fakultas syariah yang menetapkan gelarnya menjadi Sarjana Syari’ah (S.Sy), maka di Fakultas tersebut tentu akan dikaji tentang ilmu-ilmu ke-syari’ah-an. Demikian halnya dengan dakwah, jika gelarnya menunjukkan Sarjana Komunikasi Islam, maka fakultasnya pun menjadi 2
Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan-Konsentrasi Studi”, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja di IAIN Walisongo Semarang, 19-20 Desember 2008. 3 Andi Faisal Bakti, “Applied Communication”, Makalah tidak dipublikasikan dan dialog peneliti dengan beliau di Universitas Pancasila Jakarta, pada tanggal 24 April 2015.
4
Fakultas Komunikasi Islam dan keilmuan yang dibahasnya pun menjadi ilmu Komunikasi Islam. Realitas yang ada ternyata Fakultasnya Dakwah dan ilmu yang dibahasnya juga ilmu dakwah. Kontradiksi yang terjadi di lapangan tersebut menunjukkan betapa paradigma keilmuan Fakultas Dakwah belum terbangun landasan filosofinya secara mandiri sehingga amat lentur dengan perubahan-perubahan. Jika alasan perubahan gelar akademik hanya mengikuti pasar dan trend perkembangan teknologi komunikasi, tanpa mempertimbangkan konstruksi keilmuannya, maka peran Fakultas Dakwah hanya mempersiapkan skill para alumninya. Padahal dalam brand image yang selalu dikampanyekan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) bahwa PTKI tidak hanya menciptakan lulusannya sebagai ahli modin (pembaca do’a), tetapi mencetak ilmuwan muslim yang berwawasan luas, profesional dan berakhlak karimah. Pada konteks ini tentunya keilmuan dakwah harus diarahkan pada penguatan basis keilmuan yang mandiri, baik secara teoritis, metodologis, maupun praktis-empiris. Dengan cara demikian diharapkan alumni Fakultas Dakwah tidak hanya terserap dalam pasar kerja, tetapi juga memiliki kreativitas untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu mengembangkan dakwah secara profesional. Salah satu upaya untuk mengatasi kontradiksi tersebut diperlukan kajian yang serius dan mendalam tentang dakwah Islam. Paradigma dakwah hendaknya dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta kebutuhan masyarakat. Orientasi yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan adalah melakukan proses pencangkokan teori-teori ilmu komunikasi yang diintegrasikan dengan sumber ajaran Islam sehingga akan melahirkan ilmu komunikasi Islam yang mandiri. Proses semacam ini juga dilakukan oleh ilmu komunikasi, yang akar utamanya berasal dari psikologi, sosiologi, dan filsafat. 4 Bertitik tolak dari penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana konstruksi (bangunan) ilmu komunikasi Islam? Signifikansi dari penelitian ini, yaitu: Pertama, wacana tentang ilmu komunikasi masih didominasi oleh kajiankajian komunikasi yang bersifat “sekuler”, masih sedikit kajian-kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran agama, khususnya Islam. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menambah wacana baru tentang kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Islam. 4
Nina W. Syam menulis beberapa buku seri pohon komunikasi yang diterbitkan oleh Simbiosa Rekatama Media, seperti Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi dan sebagainya.
5
Kedua, pembidangan ilmu yang ada di Kementerian Agama perlu diperkuat dengan paradigma keilmuan di masing-masing bidangnya. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk dapat memperjelas posisi keilmuan dakwah Islam dalam konteks pembidangan ilmu yang ada. Ketiga, kajian-kajian yang ada di Fakultas Dakwah masih kuat dengan kajian-kajian yang bersifat normatif-tekstual. Dengan adanya penelitian ini, pengembangan ilmu dan profesi yang ada di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam semakin berkembang. Keempat, minimnya kajian ilmu komunikasi Islam yang ada saat ini, maka penelitian ini bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk penelitian lebih lanjut tentang ilmu komunikasi Islam. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini mendapatkan data-data berupa ungkapan-ungkapan, pernyataanpernyataan, catatan-catatan, tingkah laku orang yang terobservasi, dan berbagai simbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. 5 Berkenaan dengan penelitian ini, data-data yang diperoleh berupa pernyataan-pernyataan, catatan-catatan dan berbagai simbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. Dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif tersebut akan terungkap secara mendalam dan komprehensif tentang konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu komunikasi Islam. Kemudian, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan postpositivistik rasionalistik. Menurut Noeng Muhadjir, pendekatan ini digunakan untuk mengkonstruk pemaknaan atas realitas sensual, logik ataupun etik. Argumentasi dan pemaknaan atas realitas, termasuk hasil-hasil penelitian terdahulu, menjadi penting sebagai landasan pendekatan rasionalistik tersebut. 6
Islamisasi Sains Komunikasi Islamisasi ilmu yang muncul pada abad ke-20 merupakan respons kritis dari ilmuwan muslim atas peradaban global Barat yang sekuler dan jauh dari nilai-nilai ilahiah. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, salah seorang penggagas gerakan Islamisasi ilmu, menyatakan bahwa “Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu yang sesuai dengan pandangan Islam”. 7 Sementara, menurut Syed M. Naquib Al-attas, Islamisasi ilmu adalah “membebaskan manusia dari tradisi magis, mitos, animistik, 5
Robert Bodgan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: Usaha Nasional), 1993, hlm. 30. 6 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin), 2000, hlm. 84. 7 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka), 1984.
6
kultur nasional, dan dari jeratan sekuler yang membelenggu akal dan bahasa”. 8 Dari dua pendapat
tokoh
tersebut
berarti
Islamisasi
ilmu
merupakan
gerakan
untuk
mengislamkan disiplin-disiplin ilmu dan membebaskan manusia dari berbagai tradisi dan pengetahuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Awal mula munculnya gagasan Islamisasi ilmu tidak terlepas dari pro dan kontra di kalangan pembaharu. Fazlurrahman, seorang pembaharu dari Pakistan, merupakan salah seorang yang menentang adanya gerakan Islamisasi ilmu. Menurut Fazlurraham dalam artikel “The American Journal of Islamic Social Science (AJISS)”, orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahui Islami. Satu-satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat muslim. Islamisasi ilmu tidak diperlukan karena pada dasarnya semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnatullah dan Islamisasi tidaknya ilmu terletak pada moralitas manusia sebagai pengguna iptek. 9 Meskipun proyek islamisasi ilmu mendapatkan perlawanan dari sebagian ilmuwan muslim, tetapi proyek tersebut hingga kini mengalami perkembangan dan banyak yang merespons secara positif. Berbagai pertemuan ilmiah diadakan untuk meneruskan proyek islamisasi ilmu tersebut, seperti konferensi internasional tentang pendidikan di Mekah pada tahun 1977 dan konferensi internasional islam dan modernisme di Istambul tahun 1997. Harus diakui bahwa proyek Islamisasi ilmu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak hanya sekedar memberikan label Islam terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi dibutuhkan kerja keras dengan cara memahami pandangan dunia Islam tentang ilmu dan sekaligus juga memahami budaya dan peradaban Barat. Menurut Ziauddin Sardar, “Islamisasi bukan hanya sintesis ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu Islam, melainkan harus dimulai dari aspek ontologi dengan membangun world view dengan berpijak pada epistemologi Islam”. 10 Salah satu ilmu yang perlu diislamisasikan adalah ilmu komunikasi. Sama halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkembang di Barat, ilmu komunikasi juga merupakan ilmu yang dibangun dari paradigma yang sekuler dan mengabaikan nilainilai dan etika agama. Menurut Hamid Mowlana, beberapa kajian tentang komunikasi 8
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Secularism, Kualalumpur, 1978. Fazlur Rahman, “Islamisasi ilmu pengetahuan sebuah respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, hlm. 106. 10 Dikutip dari Budi Handrianto “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam Adian Husaini, et.al. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), 2013, hlm. 27. 9
7
internasional menunjukkan ada dua karakteristik yang telah berkembang pada dua dekade terakhir ini yaitu: Pertama, terjadi kecenderungan etnosentrisme dalam sistem komunikasi massa yang berkembang di dunia dan di negara-negara industri. Kedua, adanya arus informasi yang “asimetris” di dunia sehingga muncul ketidakseimbangan dan distribusi kekuasaan yang tidak sama antara negara adikuasa dengan negara-negara berkembang. 11 Jika arus informasi yang berkembang di dunia ini dikuasai oleh Barat atau negaranegara adikuasa seperti yang diungkapkan oleh Mowlana tersebut, maka secara otomatis budaya dan etika yang disebarkan adalah budaya-budaya dan etika-etika Barat yang notabene sekuler dan mengabaikan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini tentu negara-negara berkembang, khususnya negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebagai negara yang sangat rentan dipengaruhi oleh budaya dan etika Barat. Mengingat sebagian besar negara-negara muslim adalah para pemasok informasi dan pengguna teknologi informasi yang berasal dari Barat. Dalam melakukan islamisasi komunikasi, seperti yang disarankan oleh Ziauddin Sardar bertitik dari perubahan world view tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu. Caranya bisa melakukan perombakan ilmu yang ada dan memberikan alternatif baru. Dalam hal ini diperlukan kajian-kajian dan penemuan-penemuan baru yang secara terus menerus dipublikasikan. Ismail Raji al-Faruqi memberikan petunjuk teknis untuk melakukan proses islamisasi tersebut yaitu: 1.
Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya.
2.
Survey disiplin ilmu
3.
Penguasaan khazanah Islam: ontology
4.
Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis
5.
Penentuan relevansi islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6.
Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini.
7.
Penilaian secara kritis terhadap khazanah islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini.
8.
Survey permasalahan yang dihadapi umat Islam 11
Hamid Mowlana, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Research, 3 (4), 2007. hlm. 23.
8
9.
Survey permasalahan yang dihadapi manusia
10. Analisis dan sintesis kreatif 11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam 12. Penyebaran ilmu yang sudah diislamkan. 12 Gagasan yang dikemukakan al-Faruqi memang sangat ambisius dan ideal, karenanya ada sebagian yang keberatan dengan gagasan beliau. Kemudian para ilmuwan mencoba memberikan alternatif dengan cara membangun paradigma integratif atau melalui proses integrasi antara ilmu Barat dengan ilmu Islam. ada tiga pandangan tentang paradigma integrasi ilmu: 13 Pertama, paradigma integrasi ilmu integratif adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam satu kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Sementara sumber-sumber ilmu lain seperti indera, akal dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Kedua, paradigma integrasi ilmu integralistik yang melihat ilmu berintikan pada ilmu dari Tuhan seperti paradigma ilmu integratif, tapi bedanya ada pada perlakuan hubungan ilmu-ilmu agama dan umum. Paradigma ini memandang Tuhan sebagai sumber ilmu, dengan fungsi tidak untuk melebur sumber-sumber lain tetapi untuk menunjukkan bahwa sumber-sumber lainnya sebagai bagian dari sumber ilmu dari Tuhan. Pengetahuan sebenarnya merupakan suatu usaha menciptakan teori atau metode sendiri dan tidak meniru metode-metode dari luar. Hal tersebut mungkin dengan cara mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu Tauhid. Ketiga, paradigma integrasi ilmu dialogis/terbuka adalah cara pandang terhadap ilmu yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu yang ada secara proporsional dengan tidak meninggalkan sifat kritis. Terbuka artinya suatu ilmu atau sekumpulan ilmu dapat bersumber dari agama atau ilmu-ilmu sekuler yang diasumsikan dapat bertemu saling mengisi secara konstruktif. Dari ketiga paradigma integrasi tersebut, dalam konteks penelitian ini, penulis menggunakan paradigma integrasi ilmu dialogis/terbuka. Karena ilmu komunikasi yang bersumber dari Barat dan ilmu dakwah yang bersumber dari Islam, secara substansial bisa saling memperkuat dan berdialog dalam kerangka untuk mengembangkan 12
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka), 1983, hlm. 99. Pendapat ini diadopsi dari Kusmana (Ed), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2006, hlm. 49-55. 13
9
kebutuhan manusia dalam berkomunikasi, baik dengan Tuhan, antar sesama, maupun dengan alam semesta. Oleh karena itu, pada pembahasan berikut akan diuraikan tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam sebagai hasil dari proses islamisasi sains komunikasi.
Ontologi Ilmu Komunikasi Islam Komunikasi dipahami sebagai proses pengiriman informasi yang saling memahami sehingga terbentuk gagasan, ide, opini, dan perilaku yang diinginkan. Pemahaman ini sejalan dengan pengertian komunikasi yang disampaikan oleh Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” yang memunculkan istilah “Science of Communication” yang ia definisikan sebagai “suatu upaya sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya asas-asas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap”. 14 Pemahaman komunikasi seperti yang dikemukakan di atas dan beberapa definisi lain, menunjukkan bahwa komunikasi yang ada di Barat atau komunikasi non-Islami cenderung mengabaikan nilai atau etika sehingga perubahan dari proses komunikasi hanya bersifat alamiah. Padahal etika merupakan unsur yang amat penting untuk mengarahkan dan membimbing para pelaku dalam mensukseskan proses komunikasi. Oleh karena itu, Islam melihat kelemahan ini menjadi titik masuk untuk mengembangkan ilmu komunikasi Islam. Pentingnya etika dalam komunikasi Islam dinyatakan oleh Zulkiple Abd. Ghani dan Mohd Safar Hasim “Ethics becomes a core principle in designating communication function, and verifying the end products unders the religious doctrine of ‘enjoining what is good and forbidding what is evil”. 15 A. Muis juga mengakui bahwa perbedaan antara komunikasi Islam dengan komunikasi nonIslami terletak pada etika yang berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits. 16 Selain itu, komunikasi yang ada di Barat atau komunikasi non-Islami dalam kajian epistemologi ilmunya kurang mengapresiasi realitas yang bersifat metafisik sehingga sumber kebenaran yang berasal dari intuisi dan wahyu tidak mendapatkan tempat. Implikasi dari pemahaman tersebut, komunikasi transenden atau komunikasi manusia dengan Tuhan atau hal-hal yang ghaib tidak menjadi bahasan dalam komunikasi non14
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori,…..hlm. 13. Zulkiple Abd. Ghani and Mohd Safar Hasim, “Islamic Values and Ethics in Communication”, Islamiyyat 25 (1), 2004, p. 61-69. 16 A. Muis, Komunikasi Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2001, hlm. 34. 15
10
Islami. kenyataannya, secara naluriah semua manusia membutuhkan kehadiran dan peran Tuhan dalam kehidupannya. Diakui atau tidak, eksistensi dan peran Tuhan tidak bisa diabaikan begitu saja. Adanya alam semesta, kematian, dan utusan Tuhan merupakan bukti-bukti nyata tentang adanya Tuhan di muka bumi ini. Pada titik kelemahan ini sebenarnya para ilmuwan Muslim telah mengajukan alternatif dalam membangun epistemologi Islam. Bertitik tolak dari kelemahan-kelemahan tersebut, penulis sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Kamal al-din Ali Yusuf tentang komunikasi Islam yakni “tindakan menyampaikan informasi, gagasan-gagasan dan sikap-sikap yang benar dan akurat menurut Islam” (the act of transmitting ma’lumat (information, ideas and attitudes) which are true and accurate according to Islam). definisi tersebut selain mengandung unsur etika dan landasan filosofinya, juga tidak terlepas dari makna komunikasi yang dikemukakan oleh Carl. I Hovland. Selanjutnya, perbedaan antara ilmu komunikasi Islam dengan ilmu dakwah yaitu: Pertama, dari sisi makna ilmu komunikasi Islam lebih sempit dibandingkan dengan ilmu dakwah. Menurut al-Bayanuni, “dakwah adalah menyampaikan Islam kepada manusia, mengajarkannya, dan mempraktekkannya dalam kehidupan”. Dari definisi tersebut berarti dakwah bukan hanya sekedar menyampaikan atau memanggil saja, tetapi lebih jauh ada internalisasi dan transfomasi dalam ucapan, gagasan, tindakan maupun sikap. Karenanya, perubahan dan keteladan (uswah hasanah) menjadi unsur penting dalam aktivitas dakwah. Pemahaman dakwah bukan hanya proses penyampaian saja didasarkan pada pernyataan al-Qur’an dalam surat Fushshilat ayat 33:
ِ ِ َ َوﻣﻦ أَﺣﺴﻦ ﻗَـﻮﻻ ِﻣ ﱠﻤﻦ دﻋﺎ إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ وﻋ ِﻤﻞ ﺻﺎﻟِﺤﺎ وﻗ ِِ ﻴﻦ ََ ْ ْ ُ َ ْ ْ ََ َ ً َ َ ََ َ ﺎل إِﻧﱠﻨﻲ ﻣ َﻦ اﻟ ُْﻤ ْﺴﻠﻤ Artinya: “dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah da mengerjakan kebajikan dan berkata ‘sungguh, aku termasuk orangorang muslim (yang berserah diri)”. Sementara ilmu komunikasi Islam, pengertiannya lebih menunjukkan pada penyampaian informasi saja, tidak melibatkan proses internalisasi dan transformasi. Kalau pun terjadi internalisasi dan transformasi lebih disebabkan karena adanya proses komunikasi. Artinya internalisasi dan transformasi merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam proses komunikasi.
11
Kedua, Dalam ilmu dakwah terdapat empat paradigma yaitu tabligh (Komunikasi dan Penyiaran Islam), irsyad (Bimbingan dan Konseling Islam), tadbir (Manajemen Dakwah), dan tathwir (Pengembangan Masyarakat Islam). Keempat paradigma tersebut dalam proses pengembangannya diperkuat oleh ilmu komunikasi, Psikologi dan Konseling, Manajemen, dan Sosiologi. Keempat paradigma tersebut memiliki wilayah kajian yang berbeda-beda. Sedangkan ilmu komunikasi Islam, menurut penulis, bisa dibangun dari dua paradigma saja yaitu tabligh dan irsyad., yakni proses penyampaian ajaran Islam secara massal atau individual serta untuk kelompok kecil. Adapun objek material, ilmu komunikasi Islam adalah mengkaji aktivitas manusia. Manusia yang dikaji dalam ilmu komunikasi Islam tentunya manusia yang ada dalam perspektif Islam. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (QS. 95: 4). Kesempurnaan manusia bukan hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi manusia juga diberikan kelebihan dalam unsur rohaniah, seperti adanya nafsu, hati, akal, jiwa, dan ruh. Dengan kesempurnaan tersebut, manusia dapat menjalankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam konteks komunikasi, manusia dalam perspektif Islam adalah manusia yang mampu berkomunikasi dengan dirinya, sesama manusia, dengan alam semesta dan bahkan bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Melalui panca indera, akal, dan hati, manusia mampu melakukan berbagai komunikasi yang diperlukan untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, ilmu komunikasi Islam ketika mengkaji komunikasi manusia tidak hanya terbatas pada komunikasi yang bersifat horisontal saja, tetapi diperlukan juga kajian komunikasi yang bersifat vertikal. Inilah yang membedakan komunikasi Islam dengan komunikasi yang ada di Barat. Selain itu, objek ilmu komunikasi Islam yang berbeda dengan ilmu sosial lainnya pada objek formal. objek formal ilmu komunikasi Islam adalah pesanpesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (komunikator) berdasarkan kepada Al-Quran dan AlSunah. secara umum, pesan yang ada dalam ilmu komunikasi non-islam dengan komunikasi Islam tidak ada perbedaan. Hanya saja pesan yang ada dalam komunikasi Islam perlu mendapatkan penguatan dari nilai-nilai yang ada di dalam al-Qur’an dan alSunnah. Artinya pesan yang disampaikan tidak mengandung unsur-unsur yang bisa melanggar etika maupun norma-norma agama dan masyarakat. Pesan-pesan yang disampaikan mengandung unsur kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan oleh seorang komunikator.
12
Epistemologi Ilmu Komunikasi Islam Epistemologi ilmu komunikasi Islam, menurut Hamid Mowlana, 17 dibangun atas lima prinsip utama yaitu: Pertama, prinsip tauhid. Berdasarkan prinsip tauhid ini, seluruh kegiatan dan etika dalam komunikasi Islam akan jelas arahannya. Segala bentuk kegiatan yang dapat merusak aqidah umat Islam hendaknya ditolak. Dalam hal ini fungsi dari komunikasi Islam adalah mengarahkan atau menyampaikan kepada manusia agar dirinya terbebas dari segala macam berhala yang membelenggu mereka, menghindari dari ketergantungan dengan orang lain, dan memotivasi untuk mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih baik. Kemudian, media massa islam juga diarahkan untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan Islam dalam konteks universal sehingga ajaran islam bisa diterima oleh semua manusia. Kedua, prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks komunikasi Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar dapat dijadikan pegangan oleh para pekerja komunikasi Islam. Para pegiat media massa contohnya, mereka tidak hanya menjadikan media massa sebagai lahan untuk bisnis dan media hiburan, tetapi memiliki tanggung jawab sosial untuk membangun individu dan masyarakat yang lebih Islami. Ketiga, prinsip ummah. Ummah sebagai organisasi sosial menekankan pada kebersamaan dan kolektivitas yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran Islam. selanjutnya, kontrak sosial antar anggota dan pemimpin menjadi basis utama ummah. Kontrak sosial dibentuk tidak berdasarkan pada kehendak bebas atau pada pilihan bebas, tetapi berdasarkan pada aturan-aturan yang dikehendaki Allah. Untuk menjaga keharmonisan dan kesatuan ummah, maka diperlukan komunikasi Islam. Fungsi komunikasi islam dalam hal ini bertujuan agar hubungan antara individu, masyarakat, dan Tuhan bisa berjalan dengan baik. Keempat, prinsip taqwa. Jika pengetahuan teknis, kemampuan manajerial, ketrampilan komunikasi, dan sebagainya tidak diikat dengan sifat taqwa yang ada pada dirinya, maka kemampuan-kemampuan tersebut kurang mendapatkan legitimasi yang kuat. Bisa jadi satu waktu, pelaku tersebut akan menyimpangkan pesan-pesan komunikasi kepada hal-hal yang melanggar ajaran Islam. jika pelaku komunikasi 17
Hamid Mowlana, Global Communication in Transition, (London: Sage Publications), 1996, p. 119-126. Lihat juga, Hamid Mowlana, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Reasearch, 3 (4), 2007, p. 23-33.
13
dibekali oleh prinsip taqwa, insya Allah mereka akan terbimbing ke dalam jalan kebenaran dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Prinsip amanah. Kesadaran tentang adanya amanah yang diberikan kepada manusia menjadi dasar penting dalam komunikasi Islam. Seorang yang melakukan proses komunikasi atau melakukan pekerjaan komunikasi akan bertindak hati-hati dan penuh perhitungan manakala menyadari bahwa seluruh aktivitas yang dilakukannya merupakan amanah yang diberikan Allah kepadanya. Kemudian, seorang yang diberikan amanah juga adalah seorang yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dengan baik. Selanjutnya, epistemologi ilmu komunikasi Islam juga dibangun atas empat paradigma pokok yang berbeda dengan komunikasi Barat, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad I. Ayish, 18 yaitu: 1. Paradigma Individualism-conformity Paham individualis merupakan nilai sentral yang ada dalam Islam, namun demikian paham tersebut tidak sama dengan paham yang berkembang di Barat. Paham individualis di Barat betul-betul meninggalkan kehidupan sosial atau kelompok. Sementara dalam Islam paham individualisnya tetap menghargai atau mengakui adanya kehidupan sosial atau kelompok. Berdasarkan paham tersebut, maka komunikasi dalam Islam dipahami sebagai proses yang membebaskan individu dari belenggu yang menghambat manusia dalam membangun kebersamaan dan kolektifitas sosial. Selain itu, komunikasi Islam juga berperan dalam proses fasilitasi penyatuan individu dalam komunitas yang lebih besar (ummah) baik secara sosial maupun spiritual. 2. Paradigma transcendentalism-existensialism Ciri khas komunikasi Islam mengakui adanya realitas yang bersifat transenden dan realitas yang bersifat profan. Realitas yang transenden bersifat sempurna dan absolut, sementara realitas yang profan bersifat tidak sempurna dan relatif. Untuk mengetahui realitas yang transenden, manusia menggunakan hati dan inteleknya, sedangkan untuk mengetahui realitas yang profan digunakan melalui indera dan akal. Kedua pengetahuan yang diperoleh manusia tersebut hendaknya sejalan dengan apa yang ada dalam sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. 3. Paradigma Intuitive-ratioal processes 18
Muhammad I. Ayish, “Beyond Western-Oriented Communication Theories: A Normative ArabIslamic Perspective”, The Public Vol. 10 (2003), 2, p. 79-92.
14
Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang paling utama bagi seorang Muslim. Keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran wahyu yang diturunkan Tuhan melalui proses intuisi yang ada di dalam hati manusia. Melalui Wahyu itulah manusia meyakini adanya Tuhan, mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengakui adanya balasan atau hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Selain wahyu yang diakui kebenarannya melalui proses intuisi, umat Islam juga mengakui peran akal yang bersifat rasional dalam memajukan peradaban manusia. Akal merupakan pemberian Tuhan yang paling besar kepada manusia yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya di dunia. Proses pemikiran yang berasal dari akal akan menghasilkan pengetahuan komunikasi yang bersifat rasional dan komprehensif. Pengetahuan rasional yang diperoleh umat Islam tidak dalam pengertian sekuler, tetapi tetap bersandar kepada kebenaran yang berasal dari wahyu. Oleh karena itu, proses pengetahuan komunikasi yang ada dalam Islam disandarkan kepada pengetahuan yang bersifat rasional dan intuitif. 4. Paradigma egalitarian-hierarchical Islam mengakui bahwa semua umat Islam memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan. Ketaqwaanlah yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Jika seseorang dipercaya sebagai pemimpin, tidak dipahami bahwa orang tersebut memiliki kedudukan yang mulia, tetapi ia diberi amanah oleh Tuhan untuk menjalankan amanah tersebut secara adil. Islam tidak mengakui adanya kekuasaan yang bersifat individual (monarki) dan juga kekuasaan yang bersifat kelompok. Semua orang memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Prinsip egalitarian inilah yang menjadi pemandu dalam proses komunikasi Islam, termasuk dalam pengelolaan media massa Islam. Bertitik tolak dari prinsip dan paradigma ilmu komunikasi Islam tersebut, maka metode yang digunakan ilmu komunikasi Islam dalam pengembangan ilmunya, yakni: Pertama, metode bayani. Metode ini dipergunakan untuk memahami atau menganalisis teks-teks untuk mencari makna yang terkandung dalam teks tesebut atau mencari makna dibalik teks tersebut. Metode ini juga digunakan untuk melakukan istinbath hukum (penetapan hukum) terhadap satu atau beberapa permasalahan hukum yang sedang berkembang di masyarakat. Metode bayani merupakan metode klasik yang telah lama dipraktekkan oleh para ahli kalam dan kaum ushulliyun atau ahli hukum. Dalam konteks
15
ilmu komunikasi Islam, metode ini dapat digunakan dalam mengkaji teks-teks komunikasi, khususnya dalam kajian komunikasi massa. Kedua, metode tajribi (observasi atau eksperimen). Metode ini digunakan untuk meneliti objek-objek fisik yang empiris. Alat pokok yang digunakan untuk melakukan eksperimen atau observasi adalah indera. Namun demikian, indera banyak memiliki kelemahan-kelemahan, karenanya memerlukan alat bantu berupa mikroskop, teleskop, dan lain sebagainya. Awalnya, metode ini banyak digunakan oleh para ilmuwan alam. Kemudian dalam perkembangan berikutnya (pada abad ke-19), metode tajribi juga bisa digunakan untuk mengkaji ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi Islam, khususnya oleh kalangan positivisme. Dalam pandangan positivisme, ilmu pengetahuan dapat menggambarkan kenyataan secara apa adanya dan perolehan ilmu pengetahuan hanya melalui metode ilmiah yang objektif. Kedua pandangan kaum positivisme tersebut menjadi lahan kritik bagi kaum post-positivisme. Menurut kaum postpositivisme, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori dan penuh dengan nilai. Kemudian teori tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris karena memungkinkan terjadi anomali dan hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah. 19 Ketiga, metode burhani. Menurut Mulyadi Kartanegara, metode burhani merupakan salah satu metode rasional atau logis yang paling akurat dan banyak digunakan dalam bidang logika, filsafat, matematika, dan bidang-bidang empiris lainnya. 20 Metode ini pada dasarnya digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis. Tujuan dari metode ini adalah: Pertama, untuk mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar. Kedua, untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah. Ketiga, untuk memberi kita sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan. 21 Keempat, metode irfani. Metode ini digunakan untuk menangkap kebenaran yang bersifat intuitif atau hati. Ciri khas dari metode intuitif yaitu: pertama, sifat langsung dalam menangkap objek yang non-empiris melalui pengalaman (merasakan secara 19
Lihat Katherine Miller, Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts, (London: Mc Graw Hill), 2003, hlm. 35-50. 20 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 56. 21 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…hlm. 56.
16
langsung pengalaman terhadap objeknya). Kedua, metode intuitif dapat diperoleh melalui pengetahuan yang bersifat hudhuri (kehadiran objek dalam diri si subjek). Ketiga, metode intuitif dapat diperoleh melalui pengalaman “eksistensil” atau pengalaman khusus yang unik tanpa dibatasi oleh ruang, waktu atau kausalitas. 22 Metode ini didasarkan pada kepercayaan bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitas-realitas non-fisik karena manusia juga dikaruni hati. Keempat metode tersebut dapat digunakan dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Belum banyak penelitian-penelitian yang dapat mengaplikasikan keempat metode tersebut dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Oleh karena itu, menjadi tantangan kita bersama untuk mengembangkan ilmu komunikasi Islam dengan menggunakan keempat metode tersebut. Apa yang telah dicapai oleh ilmuwan komunikasi sekuler selama ini belum banyak menyentuh keempat metode tersebut, terutama pada metode yang bersifat irfani. Selanjutnya, berkaitan dengan validitas ilmu komunikasi Islam dapat disejajarkan dengan bentuk analisis disiplin ilmu lainnya, seperti Filsafat, Psikologi, Antropologi, Sosiologi dan Sejarah, karena keilmuan komunikasi Islam mempunyai kedekatan relasi kuasa antara teks dengan konteks yang berdasarkan data dan fakta. Namun harus disadari bahwa doktrin normatif Al-Quran tidak bisa diganggu gugat dengan memproduksi ayat dalam rangka menyesuaikan dengan realitas yang ada, meskipun keilmuannya tetap pada wilayah dinamika ilmu. Oleh karena itu, validitas ilmu komunikasi Islam tidak hanya bersandarkan pada nilai-nilai yang ada di masyarakat atau berdasarkan pada penemuan yang diperoleh di lapangan, tetapi juga disesuaikan dengan nilai-nilai atau ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits . Aksiologi Ilmu Komunikasi Islam Di dalam ajaran Islam, tujuan mencari ilmu bukan hanya untuk mencari kepuasan atau keingintahuan manusia (curiosity) saja, tetapi juga untuk mengetahui jejak Tuhan di muka bumi (vestigia dei) 23 atau dalam bahasa yang lain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut Ali Abdul Azhim, tujuan terbesar ilmu dalam Islam adalah komunikasi dengan Allah, karena Dia merupakan zat yang Maha Tinggi untuk 22 23
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…hlm. 60-61. Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 132.
17
kebenaran, kebaikan, dan keindahan. 24 Sebagaimana firman Allah “dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ar-Rum: 27). Jika tujuan mencari ilmu dalam Islam tersebut dikaitkan dengan tujuan untuk mempelajari ilmu komunikasi Islam, maka akan didapatkan bahwa tujuan dari mempelajari ilmu komunikasi Islam adalah: Pertama, mengembangkan rasa ingin tahu manusia (curiosity) dalam memahami diri manusia, masyarakat dan lingkungan. Kedua, menciptakan dan mengembangkan teori-teori komunikasi yang berlandaskan nilai-nilai Islam, sehingga dalam praktek kita dapat menjadi pekerja komunikasi yang baik, terampil dan profesional dalam melaksanakan tugas serta dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, membantu manusia dalam mengatasi berbagai persoalan komunikasi manusia, baik komunikasi dengan Tuhan, manusia, maupun dengan alam semesta. Keempat, sebagai media manusia dalam mengembangkan kualitas diri dan juga dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada empat peran penting ilmu komunikasi Islam. Keempat peran ini tidak bisa dihilangkan meskipun teknologi komunikasi telah berkembang begitu cepat dan sophisticated. Pertama, peran ilmu komunikasi Islam adalah untuk mengenal diri manusia itu sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri menjadi bekal yang utama bagi manusia dalam menjalankan aktivitas di dunia dan juga untuk mengenal Tuhannya. Siapa dirinya dan untuk apa ia hidup di dunia? Merupakan sebagian kecil dari pertanyaan yang perlu dijawab oleh manusia. Karena itu, manusia diperintahkan secara proaktif untuk mencari tahu tentang eksistensi dan perannya. Manusia diberikan oleh Allah akal, indera, dan hati agar dipergunakan dengan sebaikbaiknya. Salah satu ilmu yang dapat membantu manusia dalam pencarian dirinya adalah melalui komunikasi. Manusia bisa melakukan komunikasi intrapersonal dengan cara melakukan kontemplasi, tafakkur, berdo’a atau introspeksi diri (QS. 2: 187, 59:18). Dengan cara tersebut, manusia bisa memperoleh kebenaran dan bahkan bisa menemukan Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan juga para ahli sufi. Jika melalui komunikasi intrapersonal manusia belum menemukan kebenaran yang dicarinya, maka manusia bisa melakukan hubungan interpersonal dengan bertanya
24
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Rosda), 1989, hlm. 279.
18
kepada orang yang lebih mengetahui, “maka tanyalah kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahui” (QS.16:43). Pencarian diri manusia dapat tercapai manakala manusia secara proaktif mencari informasi dari berbagai sumber. Informasi amat diperlukan untuk menentukan kemana arah tujuan hidup yang sebenarnya?. Infomasi juga diperlukan manusia untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Selanjutnya, informasi juga diperlukan untuk menilai lawan bicara atau orang yang akan dimintai informasi oleh saudara. Terakhir, informasi diperlukan untuk menentukan sikap atau tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian, fungsi informasi dalam komunikasi Islam menjadi faktor penting dalam rangka pencarian identitas manusia. Kedua, peran ilmu komuikasi Islam untuk menjalin hubungan kemanusiaan (human relation) yang bersandarkan kepada ajaran Islam. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia pasti membutuhkan orang lain, baik secara disengaja ataupun tidak disengaja, atau secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap orang lain merupakan kebutuhan yang bersifat naluriah (fitri). Untuk memenuhi kebutuhan makan atau minum, sejak dahulu kala manusia membutuhkan orang lain. Sistem barter dalam perdagangan yang ada dalam sejarah perkembangan ilmu ekonomi menunjukkan bahwa manusia selalu membutuhkan orang lain. Demikian juga, secara naluriah manusia membutuhkan lawan jenisnya untuk mendapatkan kehangatan dan memenuhi kebutuhan seksualnya. Dari sanalah lahir lembaga perkawinan dengan segala pranatanya. Ayat 13 dalam surat al-Hujurat dapat dijadikan landasan pokok untuk melakukan hubungan kemanusiaan. Manusia diciptakan oleh Allah bersuku-suku dan berbangsabangsa tidak lain untuk saling kenal mengenal (ta’aruf). Untuk melakukan ta’aruf atau hubungan kemanusiaan dengan baik, prinsip taqwa dan ukhuwah menjadi modal utama yang perlu dikembangkan (QS. 49: 10-13). Ketiga, peran ilmu komunikasi Islam untuk mentransfer nilai-nilai Islam dari satu generasi kepada generasi selanjutnya melalui proses pendidikan dan dakwah. Setiap manusia pasti menghendaki adanya generasi penerus, baik dalam kehidupan rumah tangga, sosial, dan bernegara. Generasi yang akan dilahirkan tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Allah mengajarkan kepada manusia supaya mempersiapkan generasi pelanjutnya, generasi yang kuat dan sehat supaya dia mampu menghadapi tantangan zamannya (QS. 4: 9).
19
Jika generasi yang disiapkan adalah generasi yang lemah, dikhawatirkan generasi tersebut tidak mampu bersaing dan berinteraksi dengan kehidupan zaman yang semakin kompleks dan kompetitif. Mereka akan tertinggal dan hidup di bawah tekanan negaranegara lain. Kita bisa belajar banyak dari bangsa-bangsa yang hilang dari peradaban dunia akibat tidak dipersiapkannya generasi yang kuat. Dalam kerangka penyiapan generasi inilah peran komunikasi Islam amat urgen. Misalnya, media massa Islam dapat menjadi media pendidikan masyarakat. Di dalamnya norma-norma atau ajaran-ajaran Islam dapat disosialisasikan melalui media massa. Beberapa contoh isi materi yang bisa dimuat dalam media islam, diantaranya: bagaimana pendidikan karakter menurut Islam, cara berkomunikasi yang efektif dalam keluarga, cara membimbing remaja, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya. Intinya, tema-tema yang diangkat tentunya tema-tema yang bisa mempersiapkan generasi muda bisa bersaing di masa depan. Keempat, peran ilmu komunikasi Islam untuk membangun persatuan dan kesatuan umat. Komunikasi Islam memiliki peran penting dalam merekat kesatuan umat dan peran ini tidak bisa digantikan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun dalam realitas kita berbeda-beda secara bahasa, agama, dan budaya, tetapi sebenarnya kita berasal dari umat yang satu (QS. 2:213). Kesatuan umat ini menjadi pesan sentral yang ada dalam al-Qur’an. Dengan paham kesatuan umat ini akan lahir prinsip-prinsip persaudaraan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Konflik sering terjadi, salah satu pemicunya karena tidak adanya komunikasi yang baik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Oleh karena itu, komunikasi Islam dapat mengambil peran penting ini untuk menghindari atau mengurangi adanya konflik. Selain peran, faktor etika juga menjadi unsur penting dalam ilmu komunikasi Islam. Umat Islam percaya bahwa komunikasi manusia tidak hanya dilakukan secara horisontal melainkan juga vertikal kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an dinyatakan “dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) yang berdo’a apabila dia berdo’a kepadaku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)ku dan beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran” (QS. 2;186). Komunikasi manusia dengan Tuhan dilakukan melalui shalat dan kewajiban-kewajiban agama lainnya yang diakui oleh Islam. Komunikasi timbal balik (mutual communication) antara Tuhan dengan manusia merupakan instrument yang amat penting dalam kehidupan manusia dan ini
20
akan menjadi karakter manusia dalam menentukan komunikasi manusia dengan yang lainnya. Kemudian, manusia yang berbeda-beda secara suku, bahasa, dan ras serta agama diminta oleh Tuhan untuk saling kenal mengenal (QS. 49:13). Ta’aruf merupakan lahan awal untuk menjalin komunikasi sosial selanjutnya. Melalui ta’aruf, seseorang membuka dirinya dan saling mengapresiasi sehingga komunikasi bisa berjalan. Jika muncul persepsi yang negatif terhadap orang lain tentu proses komunikasi tidak akan berlangsung dengan baik karena itu islam melarang seseorang merendahkan dan memberi sebutan sebagai ejekan pada orang lain (QS. 49: 11), berburuk sangka, memata-matai, dan menggunjing satu sama lain (QS. QS. 49: 12), dan berbagai etika komunikasi interpersonal lainnya. Tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk etika berkomunikasi secara sosial agar manusia dapat menunjukkan perilaku yang baik (akhlak mahmudah). Lebih jauh lagi, etika dalam ilmu komunikasi Islam diarahkan untuk menjawab beberapa persoalan yang muncul dalam pengembangan komunikasi sekuler dimana ada peraturan-peraturan tetapi tidak ada tindakan-tindakan, banyak teknologi tanpa kemanusiaan, banyak teori tanpa praktek, adanya perubahan global tanpa memperhatikan perubahan individual, dan ada etika individual tanpa kesadaran dunia. Etika lain yang menjadi perhatian dalam Ilmu komunikasi Islam menyangkut pada berita itu sendiri. Hendaknya umat Islam memperhatikan berita yang disampaikan oleh orang-orang munafik, musyrik atau orang-orang yang ingin menghancurkan agama dan masyarakat. Misalnya, “siapa saja orang fasiq yang datang kepadamu dengan membawa
berita
apa
saja,
janganlah
tergesa-gesa
untuk
menerima
dan
mengeksposenya, carilah informasi dan ungkaplah kebenarannya” (QS. 49:6), membocorkan rahasia atau keamanan negara (QS. 4: 83), menuduh berzina (QS. 24:23), menyiarkan berita cabul (QS. 24:19), dan berbagai berita lainnya. Oleh karena itu, secara teknis nabi mengajarkan agar kita bisa menjaga lidah agar tidak keliru, jika tidak bisa, lebih baik diam (Falyakul khairan au liyasmut) atau La takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu). Terakhir adalah etika yang berhubungan dengan pengembangan dan penelitian ilmiah. Beberapa ayat al-Qur’an menekankan tentang pentingnya membaca bagi kehidupan manusia (QS. 96;1-5). Membaca tidak hanya terbatas pada membaca ayatayat Qur’an melainkan juga membaca alam semesta dan diri sendiri (QS. Fushshilat:
21
53). Membaca merupakan modal utama manusia dalam pengembangan ilmu. Hasil bacaan manusia kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, dan ini pun mendapatkan penekanan dalam Islam yang mengajarkan manusia melalui tulisan (QS. 96:4-5, 68:1). Kemudian manusia juga diajarkan oleh ayat beberapa cara berpikir untuk mengembangkan bacaan dan tulisannya, seperti cara berpikir induktif (QS. 6:74-83), deduktif (QS. 88:17-20), analogi (QS. Fathir: 19-21). komparatif (QS. 13:4), dan historis (QS. 10:92). Kemampuan manusia dalm berpikir bisa menghasilkan ilmu dan peradaban manusia. Bahkan, Islam juga menekankan tentang sikap ilmiah yang perlu dibangun oleh ilmuwan muslim seperti disiplin (QS. 62:10), kerja keras (QS. 94:7), memanfaatkan waktu dengan baik (QS. 103:1-3), jujur secara ilmiah (QS. 6:7), dan mewariskan ilmu kepada orang lain (QS. 2:159).
Kesimpulan Dalam perspektif filsafat ilmu, konstruksi ilmu komunikasi Islam tidak terlepas pada kajian ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu. Berdasarkan perspektif tersebut, kesimpulan yang ada dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, secara hakikat, komunikasi Islam berbeda dengan komunikasi sekuler atau non Islam dan dari ilmu dakwah. Perbedaan dengan komunikasi non-islam terutama pada aspek landasan filosofi, konsep manusia, konsep masyarakat, etika, dan metode dalam pengembangan ilmu. Sedangkan, perbedaannya dengan ilmu dakwah terletak pada wilayah kajian dakwah yang lebih luas, bukan hanya pada aspek transmisi ajaran Islam saja, melainkan juga pada internalisasi dan transformasi ajaran Islam. Kedua, secara ontologis ilmu komunikasi Islam memiliki objek kajian yang jelas yakni segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan proses penyampaian pesan-pesan yang dilakukan oleh komunikator berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Manusia yang dimaksud dalam Islam adalah manusia yang bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, sesama manusia, alam semesta, dan Tuhan. Komunikasi dengan Tuhan menjadi titik sentral untuk menentukan proses dan tindakan komunikasi lainnya. Konsep manusia inilah yang berimplikasi pada kajian epistemologi Ilmu komunikasi Islam. Ketiga, sumber kebenaran yang ada dalam ilmu komunikasi Islam pada prinsipnya sama dengan sumber kebenaran yang digunakan oleh ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam epistemologi islam. Adapun sumber kebenaran yang digunakan oleh ilmu komunikasi Islam adalah indera, akal, intuisi, dan wahyu.
22
Keempat, prinsip dasar yang dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam adalah prinsip tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, ummah, taqwa, dan amanah. Sedangkan paradigma yang digunakan adalah individualism-conformity, transcendentalism-existensialism,
intuitive-rational
processes,
dan
egalitarian-
hierarchical. Dari prinsip dan paradigma tersebut dikembangkan metode bayani, tajribi, burhani, dan irfani dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Kemudian validitas ilmu komunikasi bukan hanya bersandarkan pada hasil-hasil temuan di masyarakat melainkan juga bersandarkan pada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Kelima, secara aksiologis ilmu komunikasi Islam menekankan pada tujuan mencari ilmu dalam Islam, yakni ingin memberikan kepuasan dan kemanfaatan bagi manusia serta dalam kerangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan tersebut menjadi titik tolak dalam pengembangan ilmu komunikasi. Karenanya, peran ilmu komunikasi Islam, selain untuk mengenali diri manusia itu sendiri, juga dimaksudkan untuk menjalin hubungan kemanusiaan, mentransmisikan nilai-nilai Islam kepada generasi penerus, dan untuk membangun persaudaraan dan persatuan. Peran tersebut dapat dilakukan secara baik manakala nilai dan etika yang ada dalam komunikasi Islam diterapkan dalam proses komunikasi dan pengembangan ilmu komunikasi Islam. Nilainilai dan etika yang dibangun bersandarkan kepada nilai dan etika yang ada di dalam alQur’an dan al-sunnah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan JurusanKonsentrasi Studi”, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja di IAIN Walisongo Semarang, 19-20 Desember 2008. Akhtar, Shabbir, The Quran and the Secular Mind, (London: Routledge), 2008. Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah), 2009. Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos), 1999. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q. Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011. Arif, Syamsuddin, “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Gema Insani), 2013. Arneson, Pat (Ed.), Perspectives on Philosophy of Communication, (Indiana: Purdue University Press), 2007. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Secularism, Kualalumpur, 1978. Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Rosda), 1989. Aziz, Moh. Ali, Ilmu Dakwah, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana), 2009. Ayish, Muhammad I., “Beyond Western-Oriented Communication Theories: A Normative Arab-Islamic Perspective”, the Public Vol. 10, 2003. Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam buku Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), 1998. Bakti, Andi Faisal, “Applied Communication”, Makalah tidak dipublikasikan. __________ dan Venny Eka Meidasari, “Trendsetter Komunikasi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam”, Jurnal Komunikasi Islam, Volume 02, Nomor 01, Juni 2012. Baalbaki, Munir dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid: Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya), t.t. al-Bayanuni, M. Abu al-Fath, Al-Madkhal ila ‘ilm al-da’wah, (Beirut: Muassasah alRisalah), 1991.
24
Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: Usaha Nasional), 1993, hal. 30. Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2006. Dermawan, Andy (Ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI), 2002. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003. Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah Pendekatan Filosofis dan Praktis, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka), 1984. Ghani, Zulkiple Abd. and Mohd Safar Hasim, “Islamic Values and Ethics in Communication”, Islamiyyat 25 (1), 2004. Griffin, EM, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2003. Handrianto, Budi, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam Adian Husaini, et.al. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), 2013. Hussain, Mohd Yusof, Contemporary Issues in Islamic Communication, (Malaysia: the International Islamic University Press), 2012. Imanuddin, “ Filsafat Ilmu Dalam Pengkajian Islam”, Dalam M. Arfan Mu’ammar dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: Ircisod), 2013. Kartanegara, Mulyadhi, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan), 2002. ________, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi), 1969. Khiabany, Gholam, “De-westernizing media Theory, or reverse orientalism: Islamic Communication as theorized by Hamid Mowlana”, Dalam Media, Culture & Society Vol. 25, (London: Sage Publications), 2003. Kusmana (Ed), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2006. Kusnawan, Aef (Ed.), Dimensi Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009.
25
Maslina, Konsep Etika Komunikasi Islam Menurut Jalaluddin Rakhmat, (Banjarmasin: Antasari Press), 2006. Meuleman, Johan, “Dakwah, Competition for authorithy, and Development”, Bijdragen tot de Taal, Landen Volkenkunde, Vol. 167, No. 2-3, 2011. Mile dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI-Press), 1992. Miller, Katherine, Communication Theories Perspectives, Processes, and Contexts, Second Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2005. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2001. Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition the End of Diversity?, (London: Sage Publications), 1996. ________, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Research, 3 (4), 2007. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin), 2000. Muhtadi, Asep Saeful, Komunikasi Dakwah Teori Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2012. Muis, A., Komunikasi Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2001. Mulyana, Deddy, “Pengantar: Peluang Mengembangkan Kajian Komunikasi”, Dalam Ujang Saefullah, Kapita selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak), t.t. Omar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, (Jakarta; Widjaya), 1993. Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga), 2005. Radford, Gary P., On the Philosophy of Communication, (Australia: Thomson Wadsworth), 2005. Rahman, Fazlur, “Islamisasi ilmu pengetahuan sebuah respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4. Rakhmat, Jalaluddin, “Konsep-Konsep Antropologis”, Dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), 1994. ________, Islam Aktual, (Bandung: Mizan), 1996.
26
Reardon, Kathleen K., Interpersonal Communication Where Minds Meet, (California: Wadsworth Publishing Company), 1987. Riyanto, Waryani Fajar, Studi Islam Indonesia (1950-2014), (Solo: Kurnia Kalam Semesta dan STAIN Pekalongan Press), 2014. Rubin, Rebecca B., et.al, Communication Research: Strategies and Sources, (Australia: Wadsworth), 2000. Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr, Communications Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media, (New York: Longman), 1992. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati), 2007. Stout, Daniel A. (Ed.), Encyclopedia of Religion, Communication, and Media, (New York: Routledge), 2006. Suhandang, Kustadi, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2013. Sukayat, Tata, Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Mabadi ‘Asyarah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2015. Sulthon, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003. Supena, Ilyas, “Pengembangan Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Sosial”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja yang diselenggarakan IAIN Walisongo tanggal 19-20 Desember 2008. Syabibi, M. Ridho, Metodologi Ilmu Da’wah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & STAIN Bengkulu), 2008. Syahputra Iswandi, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007. Syam, Nina W., Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2013. Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Jakarta; Gaya Media Pratama), 1997. Thayer, Lee, Communication and communication systems, (Illinois: Richard D Irwin,inc), 1968. al-Wa’i, Taufik, al-Da’wah ila Allah, (Mesir: Dar al-Yaqin), 1995.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii DAFTAR ISI..............................................................................................................iii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Rumusan Masalah.....................................................................
7
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian...........................................
7
D. Telaah Pustaka..........................................................................
8
E. Metode Penelitian.....................................................................
17
F. Sistematika Penulisan...............................................................
21
EPISTEMOLOGI KURIKULUM DAN PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM A. Epistemologi Ilmu Komunikasi................................................
23
B. Epistemologi Ilmu Dalam Islam...............................................
29
C. Islamisasi Sains Komunikasi…................................................
34
BAB III ONTOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM A. Term Komunikasi Dalam Al-Qur’an .......................................
39
B. Pengertian Ilmu Komunikasi Islam..........................................
51
C. Ilmu Komunikasi Islam dan Ilmu Dakwah...............................
54
D. Objek Kajian Ilmu Komunikasi Islam.......................................
58
BAB IV EPISTEMOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM A. Prinsip-Prinsip Komunikasi Islam.............................................
iii
60
BAB V
B. Paradigma Ilmu Komunikasi Islam..........................................
63
C. Metode Ilmu Komunikasi Islam................................................
65
D. Validitas Ilmu Komunikasi Islam……………………………..
68
AKSIOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM A. Tujuan Ilmu Komunikasi Islam……………………………….
69
B. Peran Ilmu Komunikasi Islam………………………………..
70
C. Nilai dalam Ilmu Komunikasi Islam………………………….
73
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................
77
B. Rekomendasi.............................................................................. 78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iv
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dakwah merupakan kewajiban umat Islam yang telah digariskan oleh Allah swt. 1 Kewajiban tersebut baik secara individual maupun secara kolektif. Para ulama telah sepakat dan tidak terjadi perbedaan dalam menafsirkan perintah Al-Qur’an tentang kewajiban berdakwah. Kalaupun terjadi perbedaan hanya pada apakah kewajiban tersebut merupakan kewajiban individual (fardlu a’in) ataukah kewajiban kolektif (fardlu kifayah). 2 Karenanya, kewajiban tersebut mesti dilaksanakan oleh umat Islam. Pada awalnya, pelaksanaan kewajiban dakwah dilakukan oleh setiap individu muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudian dalam perkembangannya, kegiatan dakwah menjadi seni ketrampilan dalam berkhutbah atau public speaking oleh sebagian orang atau yang dilakukan oleh Para Sahabat, Tabiin dan para Ulama. Kegiatan dakwah semakin berkembang ketika aktivitas dakwah bersentuhan dengan kegiatan ke-Islaman yang dilakukan oleh Negara dan atau oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan atau keagamaan. Pada konteks yang terakhir ini, aktivitas dakwah mulai terrencana dan terorganisir dengan baik sehingga efektivitas dakwah dapat dirasakan keberadaannya. 3 Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, kegiatan dakwah perlu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Pada konteks Indonesia era tahun 70-an, kebutuhan tenaga terampil untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan amat diperlukan oleh Pemerintah pada saat itu. Karenanya, Pemerintah membuka Perguruan Tinggi Dakwah yang diharapkan dapat menghasilkan tenaga-tenaga terampil untuk menjadi penggerak pembangunan.
1
QS. Ali-Imran (3) ayat 104, An-Nahl (16) ayat 125, al-Hajj (22) ayat 67, Fushilat (41) ayat 33, dan Asy-Syura (42) ayat 15, 2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi), 1969, hal. 390. 3 Johan Meuleman, “Dakwah, Competition for authorithy, and Development”, Bijdragen tot de Taal, Landen Volkenkunde, Vol. 167, No. 2-3, 2011, hal. 240.
2
Pada saat dakwah masuk ke Perguruan Tinggi ternyata persoalannya tidak hanya pada penyiapan da’i-dai pembangunan saja, tetapi juga perlu diperkuat oleh landasan ilmiah dari aktivitas dakwah. Problematika dakwah tersebut, pada tahun 80-an telah mendapatkan respons dari para akademisi dan ilmuwan untuk memecahkan persoalan tersebut. Berbagai pertemuan dan seminar digelar untuk membahas eksistensi dan keilmiahan ilmu dakwah. Bahkan pada tahun 2003 telah dibentuk Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia (APDII) di Bandung, yang salah satu tugasnya adalah merumuskan keilmuan dan profesi dakwah. 4 Pergulatan pemikiran tentang ilmu dakwah hingga sekarang masih mengemuka dan terus berkembang. Dalam pertemuan terakhir (2008) di IAIN Walisongo Semarang terjadi perdebatan yang menarik apakah ilmu dakwah menjadi bagian dari ilmu agama Islam ataukah menjadi bagian dari ilmu-ilmu sosial. Ilyas Supena menawarkan gagasan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu sosial karena ilmu dakwah sebagai ilmu disipliner yang memiliki objek kajian pada dimensi keberagamaan. 5 Sedangkan Amrullah Ahmad menyatakan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu agama Islam yang mengacu pada model dakwah yang dilakukan oleh nabi Muhammad. 6 Di luar forum tersebut, Andi Faisal Bakti terus menyuarakan bahwa ilmu dakwah adalah ilmu komunikasi Islam seperti ilmu tarbiyah menjadi ilmu pendidikan Islam atau ilmu syari’ah menjadi ilmu hukum Islam. Bakti juga beralasan bahwa term-term yang ada di ilmu dakwah memiliki kesamaan dengan term-term yang ada di dalam ilmu komunikasi. Perbedaan hanya pada pesan komunikasi yang spesifik berupa ke-Islaman. Jika terdapat kesamaan-kesamaan
4
Aef Kusnawan (Ed.), Dimensi Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009,
hal. 9-12. 5
Ilyas Supena, “Pengembangan Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Sosial”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja yang diselenggarakan IAIN Walisongo tanggal 19-20 Desember 2008. 6 Amrullah Ahmad, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan JurusanKonsentrasi Studi”, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja di IAIN Walisongo Semarang, 19-20 Desember 2008.
3
mengapa kita tidak mau mengatakan bahwa ilmu dakwah adalah ilmu komunikasi Islam, kata Bakti. 7 Pergulatan tentang keilmuan dakwah ini juga berimplikasi pada hal-hal teknis yang tidak kalah pentingnya, diantaranya: Pertama, adanya perbedaan nomenklatur pada Fakultas Dakwah yang ada di Indonesia. Ada yang menggunakan nama Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, ada yang Fakultas/Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam, ada yang menggunakan nama Fakultas Dakwah dan Ilmu-Ilmu Sosial, ada yang hanya menggunakan Fakultas Dakwah saja, dan bahkan ada yang menggunakan gabungan Fakultas Dakwah, Ushuluddin dan Adab. Terlepas dari persoalan efektivitas pada pengelolaan Fakultas, hal yang menarik untuk dikritisi, mengapa pada kampus-kampus yang telah mapan Fakultas-nya seperti UIN, nama Fakultas Dakwah dibedakan dengan kata sambung “dan” dengan ilmu Komunikasi. Apakah hal tersebut dimaknai bahwa studi tentang dakwah berbeda dengan studi komunikasi Islam atau dalam bahasa yang lain, ada perbedaan antara ilmu dakwah Islam dengan ilmu komunikasi Islam. Kedua, gelar yang digunakan oleh alumni Fakultas Dakwah yang mengacu pada Peraturan Menteri Agama RI No. 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Peguruan Tinggi Agama ternyata alumni Fakultas Dakwah bergelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I). Dari gelar tersebut menunjukkan bahwa ilmu dakwah Islam adalah ilmu komunikasi Islam. Karena gelar menunjukkan warna keilmuan yang ada di Fakultas, seperti Fakultas syariah yang menetapkan gelarnya menjadi Sarjana Syari’ah (S.Sy), maka di Fakultas tersebut tentu akan dikaji tentang ilmu-ilmu ke-syari’ah-an. Demikian halnya dengan dakwah, jika gelarnya menunjukkan Sarjana Komunikasi Islam, maka fakultasnya pun menjadi Fakultas Komunikasi Islam dan keilmuan yang dibahasnya pun menjadi ilmu Komunikasi Islam. Realitas yang ada ternyata Fakultasnya Dakwah dan ilmu yang dibahasnya juga ilmu dakwah.
7
Andi Faisal Bakti, “Applied Communication”, Makalah tidak dipublikasikan dan dialog peneliti dengan beliau di Universitas Pancasila Jakarta, pada tanggal 24 April 2015.
4
Kontradiksi yang terjadi di lapangan tersebut menunjukkan betapa paradigma keilmuan Fakultas Dakwah belum terbangun landasan filosofinya secara mandiri sehingga amat lentur dengan perubahan-perubahan. Jika alasan perubahan gelar akademik hanya mengikuti pasar dan trend perkembangan teknologi komunikasi, tanpa mempertimbangkan konstruksi keilmuannya, maka peran Fakultas Dakwah hanya mempersiapkan skill para alumninya. Padahal dalam brand image yang selalu dikampanyekan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) bahwa PTKI tidak hanya menciptakan lulusannya sebagai ahli modin (pembaca do’a), tetapi mencetak ilmuwan muslim yang berwawasan luas, profesional dan berakhlak karimah. Pada konteks ini tentunya keilmuan dakwah harus diarahkan pada penguatan basis keilmuan yang mandiri, baik secara teoritis, metodologis, maupun praktis-empiris. Dengan cara demikian diharapkan alumni Fakultas Dakwah tidak hanya terserap dalam pasar kerja, tetapi juga memiliki kreativitas untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan mampu mengembangkan dakwah secara profesional. Salah satu upaya untuk mengatasi kontradiksi tersebut diperlukan kajian yang serius dan mendalam tentang dakwah Islam. Paradigma dakwah hendaknya dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta kebutuhan
masyarakat.
Orientasi
yang
sangat
memungkinkan
untuk
dikembangkan adalah melakukan proses pencangkokan teori-teori ilmu komunikasi yang diintegrasikan dengan sumber ajaran Islam sehingga akan melahirkan ilmu komunikasi Islam yang mandiri. Proses semacam ini juga dilakukan oleh ilmu komunikasi, yang akar utamanya berasal dari psikologi, sosiologi, dan filsafat. 8 Alasan mendasar untuk melakukan perubahan paradigma (shifting paradigm) dakwah, yaitu: Pertama, istilah-istilah dakwah seperti da’i, mad’u, materi, media, metode dan yang lainnya merupakan istilah-istilah yang dipergunakan sebelumnya oleh ilmu komunikasi. Kedua, aktivitas dakwah merupakan aktivitas yang berorientasi pada proses penyampaian pesan dan 8
Nina W. Syam menulis beberapa buku seri pohon komunikasi yang diterbitkan oleh Simbiosa Rekatama Media, seperti Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi dan sebagainya.
5
interpretasi makna. Proses ini juga tidak jauh berbeda dengan aktivitas komunikasi.
Menurut Taufik al-Wa’i terjadi kesamaan antara dakwah dan
komunikasi dalam cara/metode (al-wasilah), orientasi (al-hadap), media (aladah), dan tujuan (al-ghayah). 9 Ketiga, aktivitas dakwah---juga komunikasi--merupakan aktivitas yang bisa masuk pada berbagai sistem kehidupan masyarakat. Oleh Karena itu, keilmuan dakwah---termasuk komunikasi--didukung dengan berbagai disiplin keilmuan lain yang berhubungan dengan sistem kehidupan masyarakat seperti Filsafat, Psikologi, Sosiologi, dan Manajemen. Selain itu, perubahan paradigma dakwah menjadi ilmu komunikasi Islam dimaknai dalam kerangka Islamisasi sains. Ilmu komunikasi seperti halnya ilmuilmu yang berasal dari Barat telah memiliki andil yang besar dalam menimbulkan krisis global yang sekarang ini sedang menimpa peradaban manusia. Berbagai masalah global yang menimpa peradaban Barat Modern, seperti rusaknya lingkungan manusia, terjadinya alienasi dalam diri manusia, munculnya sikap dan perilaku pragmatisme dan hedonisme, semakin berkembangnya praktek-praktek liberalisme dan kapitalisme, serta berbagai krisis lainnya. 10 Semua itu tentu menjadi pemicu bagi ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Ada beberapa hal yang prinsip dalam pengembangan ilmu Islam, diantaranya: Pertama, dalam sejarah Islam tidak terjadi dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Semua ilmu yang dikembangkan manusia dan dapat memberikan kemanfaatan merupakan ilmu yang berasal dari Tuhan. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” (QS. 2: 32). Kedua, dalam Islam, pengembangan ilmu tidak semata-mata memenuhi rasa ingin tahu (curiosity) manusia, tetapi juga dimaksudkan untuk mengetahui jejak-jejak Tuhan di muka bumi. Seorang yang
9
Taufik al-Wa’i, Al-Da’wah Ila Allah; Al-Risalah, Al-Wasilah, Al-Hadap, (Mesir: Dar al-Yaqin), 1995, hal. 427. 10 Haidar Bagir dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam buku Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), 1998, hal. 7-15.
6
berilmu mestinya diimbangi dengan iman yang kokoh kepada Tuhan dan beramal untuk memberikan kemanfaatan pada manusia. Ketiga, secara ontologis, ilmu dalam Islam mengakui objek yang fisik dan non-fisik. Implikasi dari pandangan ontologis tersebut, ada tiga metode dalam epistemologi Islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu: Pertama, melalui indera yang sangat kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan saja benda-benda inderawi dengan cara mengabstraksi makna universal dari data-data inderawi, tetapi juga objek-objek non fisik (ma’qulat) dengan cara menyimpulkan. Ketiga, hati (qalb) yang menangkap objek-objek non fisik atau metafisika melalui kontak langsung dengan objek-objeknya yang hadir dalam jiwa seseorang. 11 Keempat, al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam memberikan ruang yang terbuka bagi manusia untuk mengembangkan ilmu dan Al-Qur’an juga dapat menjadi inspirasi atau petunjuk bagi manusia dalam pengembangan ilmu. Menurut Shabbir Akhtar “the Qur’anic mandate ordering the uses of the intellect is a central religious obligation. The Qur’an condemns the disbeliever as unintelligent and irrational, a dumb animal who fails to reason and to ponder the signs God. The devout believer engages in “deep reflections” (Tadabur QS. 38:29). Sinners in hell confess: if only we had listened (to the warning of prophets) and reasoned correctly (na’qilu), we should not now be among the companions of the blazing fire (QS. 67: 10)”. 12 Bertitik tolak dari penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang konstruksi (bangunan) ilmu komunikasi Islam. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab problematika yang ada dalam pengembangan pendidikan Islam di Fakultas Dakwah dan sekaligus juga memberikan alternatif dalam pengembangan ilmu dakwah serta dapat menjadi wacana baru dalam gerakan Islamisasi sains.
11 12
60.
Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: MIzan), 2002, hal. 66. Shabbir Akhtar, The Quran and the Secular Mind, (London: Routledge), 2008, hal.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Bagaimana konstruksi ilmu komunikasi Islam?” Selanjutnya, untuk memudahkan proses pembahasan, maka masalah pokok tersebut diturunkan dalam sub rumusan masalah sebagai berikut? 1. Apa hakekat dari ilmu komunikasi Islam? 2. Bagaimana ontologi ilmu komunikasi Islam? 3. Sumber kebenaran apa saja yang dapat dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam? 4. Bagaimana epistemologi ilmu komunikasi Islam? 5. Bagaimana aksiologi ilmu komunikasi Islam?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah mengkonstruksi dan merumuskan ilmu komunikasi Islam. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan menjelaskan tentang: hakekat ilmu komunikasi Islam, ontologi ilmu komunikasi Islam, sumber kebenaran ilmu komunikasi Islam, epistemologi dan aksiologi ilmu komunikasi Islam. Adapun signifikansi dari penelitian ini, yaitu: Pertama, wacana tentang ilmu komunikasi masih didominasi oleh kajian-kajian komunikasi yang bersifat “sekuler”, masih sedikit kajian-kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran agama, khususnya Islam. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menambah wacana baru tentang kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Islam. Kedua, pembidangan ilmu yang ada di Kementerian Agama perlu diperkuat dengan paradigma keilmuan di masing-masing bidangnya. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk dapat memperjelas posisi keilmuan dakwah Islam dalam konteks pembidangan ilmu yang ada. Ketiga, kajian-kajian yang ada di Fakultas Dakwah masih kuat dengan kajian-kajian yang bersifat normatiftekstual. Dengan adanya penelitian ini, pengembangan ilmu dan profesi yang ada di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam semakin berkembang. Keempat, minimnya kajian ilmu komunikasi Islam yang ada saat ini, maka penelitian ini
8
bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk penelitian lebih lanjut tentang ilmu komunikasi Islam.
D. Telaah Pustaka atau Kajian Terdahulu Kajian tentang komunikasi Islam telah dilakukan oleh beberapa ahli dengan berbagai sudut pandangannya. A. Muis dalam buku Komunikasi Islami menyatakan bahwa komunikasi Islami 13 merupakan bagian dari komunikasi manusia (human communication) pada umumnya. Proses, model, pesan, simbol, informasi, khalayak dan lain sebagainya yang menjadi ciri khas dalam komunikasi manusia, juga terdapat dalam komunikasi Islami. Perbedaan yang mendasar antara komunikasi Islami dengan komunikasi pada umumnya terletak pada landasan filosofi dan etika yang berasal dari al-Qur’an dan al-hadits. 14 Pernyataan A. Muis tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi peneliti untuk mengkritisi lebih jauh tentang komunikasi Islam. A. Muis belum mengkaji secara mendalam tentang komunikasi Islam dalam perspektif keilmuan. Apalagi dikaitkan dengan keilmuan dakwah Islam yang secara jelas dinyatakan secara eksplisit di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Sementara Andi Faisal Bakti, mencoba menyamakan komunikasi Islam dengan dakwah Islam. Bakti mengkonstruksi ilmu dakwah berdasarkan bangunan teori yang ada di dalam ilmu komunikasi umum (sekuler). Menurutnya, penafsiran modern dari nilai-nilai Islam harus dibawa ke dalam komunitas non muslim sehingga Islam dapat dipahami. Demikian juga, nilainilai yang bersumber dari Barat dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan Islam 15. Bakti ingin mempertegas bahwa teori-teori dakwah dapat dikembangkan dengan cara mengadopsi teori-teori yang berasal dari ilmu komunikasi yang telah kokoh keberadaannya. Pendapat Bakti juga diperkuat dengan pendapat Hamid Mowlana yang menyatakan bahwa dakwah (tabligh) 13
Dalam buku tersebut, A. Muis membedakan antara komunikasi Islami dengan komunikasi Islam. Komunikasi Islami adalah proses penyampaian pesan antara manusia yang didasarkan pada ajaran Islam. Sedangkan komunikasi Islam adalah sistem komunikasi umat Islam. Lihat A. Muis, Komunikasi Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2001, hlm. 6566. 14 A. Muis, Komunikasi Islami….., hlm. 34-36. 15 Andi Faisal Bakti, “Applied Communication”, Makalah tidak dipublikasikan.
9
merupakan sebuah teori tentang komunikasi dan etika ( tabligh is a theory of communication and ethics). 16 Gagasan Bakti tersebut dapat menjadi titik pijak dalam penelitian ini dan bisa dikatakan bahwa penelitian ini merupakan tindak lanjut dari gagasan yang dikembangkan oleh Bakti. Peneliti akan mengkaji lebih jauh bagaimana konseptualisasi ilmu komunikasi Islam secara ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu. Dari sisi aksiologi komunikasi Islam telah dilakukan kajian oleh Maslina dalam buku Konsep Etika Komunikasi Islam. Dalam buku tersebut, Maslina mengkaji beberapa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan etika komunikasi Islam. Ayat-ayat tersebut ditafsirkan menurut pandangan Jalaludin Rakhmat. 17 Senada dengan Maslina, Mafri Amir juga menulis tentang Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam. Berbeda dengan Maslina, buku Amir lebih dalam mengkaji etika kewartawanan yang jujur, akurat, bebas dan bertanggung jawab serta kritik yang konstruktif. Dasar-dasar etika komunikasi massa yang ditulis oleh Amir didasarkan kepada ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. 18 Buku Maslina dan Mafri Amir tersebut juga menjadi bahan tambahan untuk memperkuat penelitian ini, khususnya dalam aksiologi ilmu komunikasi Islam. Selanjutnya, Mohd Yusof Hussain menulis buku tentang Contemporary Issues in Islamic Communication. buku tersebut merupakan kumpulan dari tulisan para ilmuwan dan praktisi media massa. Buku tersebut menyoroti tentang media massa dalam perspektif Islam dan praktek-praktek media massa di Negara-negara Islam, khususnya radio dan televisi. 19 buku ini memang tidak secara langsung berkaitan dengan penelitian ini. Tetapi buku ini dapat menjadi bahan pendukung untuk melihat aksiologi dan praktek ilmu komunikasi Islam di
16
Hamid Mowlana, Global Communication in Transition the End of Diversity?, (London: Sage Publications), 1996, hal. 116. 17 Maslina, Konsep Etika Komunikasi Islam Menurut Jalaluddin Rakhmat, (Banjarmasin: Antasari Press), 2006. 18 Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos), 1999. 19 Mohd Yusof Hussain, Contemporary Issues in Islamic Communication, (Malaysia: the International Islamic University Press), 2012.
10
media massa. Tulisan yang sejalan dengan Mohd Yusof Hussain adalah tulisan dari Andi Faisal Bakti dan Venny Eka Meidasari tentang “Trendsetter Komunikasi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam”. tulisan ini juga menyoroti tentang praktek-praktek komunikasi digital dalam penyiaran dakwah Islam. 20 Beberapa tulisan lain yang berbicara tentang aplikasi komunikasi dalam kegiatan dakwah adalah Toto Tasmara yang menyatakan bahwa dakwah adalah komunikasi khas yang berbeda dengan komunikasi lainnya, terutama berkaitan dengan cara dan tujuan yang akan dicapai. 21 Begitu juga dengan Asep Saeful Muhtadi yang menulis tentang Komunikasi Dakwah Teori Pendekatan dan Aplikasi. Dalam buku tersebut, Muhtadi ingin menghadirkan dakwah Islam di tengah derasnya arus informasi dan komunikasi. Dakwah Islam tidak lagi dilakukan secara konvensional hanya dengan mengandalkan mimbar-mimbar sebagai saluran komunikasi lisan, tetapi perlu memanfaatkan media baru atau media massa. 22 Kedua buku memang tidak secara langsung bicara tentang komunikasi Islam, apalagi berkaitan dengan teori ilmu komunikasi Islam. Meskipun demikian, kedua buku tersebut dapat menjadi bahan untuk memperkuat hasil penelitian ini. Tulisan-tulisan lain yang dapat membantu merumuskan ilmu komunikasi Islam yang akan diteliti oleh peneliti adalah buku-buku yang membahas tentang ilmu dakwah. Buku-buku ilmu dakwah memang berbicara tentang teori-teori dakwah, tetapi tidak secara spesifik berbicara tentang ilmu komunikasi Islam. Karenanya, buku-buku ilmu dakwah ditempatkan sebagai pembanding dalam merumuskan ilmu komunikasi Islam. beberapa peneliti buku ilmu dakwah yang peneliti ketahui diantaranya: Toha Yahya Omar, 23 Andy Dermawan (Ed.), 24 Muhammad Sulthon, 25 M. Ridho Syabibi, 26 Moh.Ali Aziz, 27 Enjang AS dan 20
Andi Faisal Bakti dan Venny Eka Meidasari, “Trendsetter Komunikasi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam”, Jurnal Komunikasi Islam, Volume 02, Nomor 01, Juni 2012, hal. 1-26. 21 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta; Gaya Media Pratama), 1997, hal. 39. 22 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah Teori Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2012. 23 Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah, (Jakarta; Widjaya), 1993. 24 Andy Dermawan (Ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI), 2002 25 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003.
11
Aliyudin, 28 Samsul Munir Amin, 29 Aef Kusnawan (Ed), 30 Kustadi Suhandang, 31 dan Tata Sukayat 32 Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan memetakan beberapa kajian terdahulu dan memposisikan kajian yang akan dilakukan oleh peneliti sebagai berikut: NO 1
KAJIAN Komunikasi Islam
PENEMUAN Penerapan
ilmu
komunikasi
dan
etika
komunikasi dalam kegiatan dakwah Islam serta membedakan antara kajian komunikasi Barat dengan Islam. 2
Komunikasi Dakwah
Pendekatan dan aplikasi dakwah dalam media massa dan media digital.
3
Ilmu Dakwah
Kajian sistematis, metodis dan ilmiah tentang dakwah Islam dan pengembangannya.
4
Ilmu
Komunikasi Kajian sistematis dan ilmiah tentang ontologi,
Islam
epistemologi dan aksiologi ilmu komunikasi Islam (peneliti)
E. Kerangka Teori Dalam
kehidupan
sehari-hari,
manusia
tidak
akan
lepas
dari
komunikasi. 33 Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, aktivitas
26
M. Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Da’wah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & STAIN Bengkulu), 2008 27 Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah,Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana), 2009. 28 Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah Pendekatan Filosofis dan Praktis, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. 29 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah), 2009. 30 Aef Kusnawan (Ed.), Dimensi Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. 31 Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2013. 32 Tata Sukayat, Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Mabadi ‘Asyarah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2015. 33 Komunikasi merupakan gejalan inherent (melekat) dengan kehidupan manusia. Berbagai variasi hubungan yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala komunikasi sangat kompleks dan luas, yang melahirkan berbagai macam konsep komunikasi, yakni komunikasi dengan manusia, komunikasi dengan alam sekitar dan komunikasi dengan Tuhan. Lihat Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2013, hal. 3.
12
komunikasi tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tanpa ada komunikasi, manusia
tidak
bisa
mengembangkan
pengetahuan
dan
peradabannya.
Pengetahuan berkembang karena manusia bisa mengembangkan nalar dan memiliki bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan bahasa, manusia bisa menuliskan hasil-hasil penemuannya dan tulisan tersebut bisa disebarkanluaskan kepada orang lain. Kemudian orang lain membaca, mengkritisi dan melakukan penelitian untuk pengembangan lebih lanjut. Terjadilah dialektika dan dinamika dalam pengembangan ilmu di kalangan manusia dan pada akhirnya, manusia bisa menciptakan peradaban. Pada awalnya, perkembangan komunikasi manusia amat sederhana, hanya mengandalkan pada komunikasi lisan (retorika). Seiring dengan perkembangan manusia, maka kebutuhan manusia akan komunikasi semakin berkembang. Manusia membutuhkan komunikasi yang berbasis media supaya memiliki daya jangkau yang jauh. Bahkan, sekarang ini kebutuhan manusia akan komunikasi tidak hanya berbasis media, melainkan juga berbasis jaringan dan digital. 34 Implikasinya, manusia tentu membutuhkan skill untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Manusia perlu belajar menggunakan handphone, komputer, internet, dan sebagainya. Selain itu, manusia juga bisa berkarir di televisi, radio, jurnalistik, advertising, public relation, dan humas dengan memiliki skill dalam komunikasi. Untuk bisa membangun skill yang profesional diperlukan ilmu komunikasi.
Menurut
Onong
Uchjana
Effendy
bahwa
perkembangan
komunikasi menjadi ilmu komunikasi yang mandiri tidak datang begitu saja, tetapi melalui proses dan perjuangan panjang dari para ilmuwan sosial. 35 Selanjutnya, untuk bisa mengembangkan ilmu komunikasi diperlukan adanya konseptualisasi, yakni proses abstraksi dalam bentuk statemen dan proposisi mengenai realitas menjadi teori. Teori ini yang merupakan substansi ilmu komunikasi. Sebab isi suatu ilmu ini adalah teori tentang objek kajiannya dan teori berfungsi sebagai ekplanasi, prediksi dan evaluasi.
34
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003, hal. 2-13. 35 Onong Uchjana Effendy, Ilmu…, hal. 15.
13
Untuk membentuk ilmu komunikasi yang mandiri tentu memerlukan bangunan komunikasi,
keilmuannya. bertitik
Proses
tolak
untuk
dari
filsafat
mengawali ilmu
bangunan
komunikasi.
keilmuan Mengingat
perkembangan ilmu pada umumnya berpangkal pada filsafat. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filosofis yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu, seperti: a. Pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi: objek apa yang ditelaah ilmu komunikasi? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang menghasilkan pengetahuan. b. Pertanyaan epistemologi: bagaimana proses memungkinkannya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Apa saja yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa saja kriterianya? Cara/teknik/sarana apa saja yang membantu kita dalam memperoleh pengetahuan yang berupa ilmu? c. Pertanyaan ontologi: untuk apa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana keterkaitan antara cara penggunaan ilmu dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? 36 Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan mengadopsi cara kerja yang dikembangkan oleh ilmu komunikasi atau ilmu sosial lainnya, seperti diuraikan di atas. Artinya penelitian ini akan menggunakan filsafat ilmu komunikasi sebagai pijakan teori yang akan digunakan oleh peneliti dalam mengkonstruk ilmu komunikasi Islam. Komunikasi Islam yang dimaksudkan oleh peneliti merupakan komunikasi yang dilakukan oleh manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Komunikasi adalah salah satu dari aspek-aspek kehidupan yang paling menarik, penting dan kompleks. Kemampuan berkomunikasi manusia, tidak sekedar membedakan manusia dari
36
Nina W. Syam, Filsafat…. hal. 218.
14
hewan, tetapi menempatkan manusia sebagai pencari kebenaran yang mengacu pada filsafat, ilmu, dan agama yang lebih komprehensif. Dari pengertian tersebut ada dua kata kunci penting yang membedakan komunikasi Islam dengan komunikasi Barat, yakni pandangan tentang makna komunikasi dan konsep manusia. Dua kata kunci itu pula yang menjadi titik pijak untuk pengembangan ilmu komunikasi Islam. Dalam kajian-kajian komunikasi di Barat, ilmu komunikasi hanya diletakkan pada konteks komunikasi manusia (human communication) dan nilainilai yang digunakan pun tidak berdasarkan pada nilai-nilai agama (Tuhan). Menurut Kathleen K. Reardon, karakteristik dari komunikasi manusia adalah: Pertama, manusia berkomunikasi untuk berbagai alasan. Kedua, komunikasi mempunyai efek yang sengaja atau tidak disengaja. Ketiga, komunikasi selalu dilakukan secara timbale balik. Keempat, komunikasi melibatkan sekurangkurangnya dua orang yang memiliki tingkatan yang berbeda atau saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kelima, komunikasi yang dilakukan oleh manusia tidak mesti sukses, tetapi bisa jadi mengalami kegagalan. Keenam, komunikasi melibatkan penggunaan simbol. 37 Sedangkan dalam komunikasi Islam, selain melakukan kajian tentang komunikasi manusia, juga mengkaji komunikasi manusia dengan alam sekitar dan komunikasi manusia dengan Tuhan. Manusia menempatkan alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran untuk menerapkan sikap tunduk kepada Allah. Manusia harus menyertai alam sekitarnya dalam bertasbih memuji Allah (QS. 17: 44). Sementara, berkenaan dengan Tuhan, manusia tidak hanya diperintah untuk beribadah kepada-Nya, tetapi lebih jauh menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengingat Allah terus menerus (QS.33: 4142). Kemudian mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang serba suci dan mulia dalam perilaku sehari-hari dan perlu diwujudkan dengan cara ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat.
37
Kathleen K. Reardon, Interpersonal Communication Where Minds Meet, (California: Wadsworth Publishing Company), 1987, hal. 2-3.
15
Berkaitan dengan konsep manusia, al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar), psikologis dan sosial. Selain itu, dalam diri manusia ada dua komponen esensial yang membentuk hakekat manusia yang membedakannya dengan binatang, yakni potensi mengembangkan iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut ‘amal shaleh. Karenanya ilmu dan iman adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. 38 Konsep manusia dalam Islam tidak membedakan antara peran iman, ilmu dan ‘amal shaleh. Semuanya dilakukan secara seimbang. Sementara dalam konsep Barat, manusia hanya diposisikan sebagai makhluk pencari ilmu dan amal saja, tanpa diikat dengan iman. Setelah membedakan paradigma dasar dalam ilmu komunikasi Islam. Selanjutnya, peneliti akan membahas ontologi ilmu komunikasi Islam. Upaya yang dilakukan, pertama-tama mengkritisi term-term yang ada di dalam ilmu komunikasi, kemudian diperbandingkan dengan term-term yang ada di ilmu dakwah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan cara tersebut akan terungkap secara komprehensif makna dan hakikat dari ilmu komunikasi Islam. Di samping itu, peneliti juga akan meletakkan ontologi ilmu komunikasi Islam dalam perspektif epistemologi Islam. Realitas sebagai sumber ilmu dalam epistemologi Islam mengakui adanya realitas yang bersumber dari inderawi, akal, etik (sosial), dan transendental. Dengan pengakuan tersebut, maka sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu dapat dijadikan reference dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Kemudian dalam pembahasan epistemologi Ilmu komunikasi Islam, pertama-tama diuraikan tentang prinsip-prinsip dasar dalam ilmu komunikasi Islam yang bersumber dari pendapat para ulama dan ilmuwan, seperti pendapat As-Syaukani tentang berita benar yang diakui sebagai sumber ilmu. Menurut AsSyaukani yang dikutip oleh Syamsuddin Arif, 39 berita itu ada tiga macam: Pertama, berita yang sudah pasti benar (al-maqtu bi idqihi), baik yang diketahui 38
Jalaluddin Rakhmat, “Konsep-Konsep Antropologis”, Dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), 1994, hal. 80. 39 Syamsuddin Arif, “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Gema Insani), 2013, hal. 117.
16
benarnya “secara pasti” (bid-daruroh) maupun yang diyakini dan dinyatakan benar (isi dan sumbernya) setelah diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiah (binazar). Kedua, berita yang sudah pasti dusta/palsu/salah/keliru (al-maqtu bi kizbihi), baik yang diketahui salahnya secara pasti dan langsung maupun yang diketahui dengan jalan jalan pembuktian (bi-istidlal). Ketiga, berita yang tidak dapat dipastikan benar atau salahnya (ma layuqta’ bi sidqihi wa kizbihi), yaitu berita dan sumber yang tidak diketahui sama sekali asal usulnya atau tidak jelas sumbernya, termasuk disini berita yang mengandung kemungkinan benar, namun
belum
pasti
benar
maupun
yang
mengandung
kemungkinan
dusta/palsu/salah meski belum tentu dusta/palsu/salah. Kemudian
dibahas
tentang
metode
dalam
pengembangan
ilmu
komunikasi Islam yang mengacu pada tiga pola pengembangan epistemologi yang dikembangkan oleh Abid al-Jabiri, yakni epistemologi bayani, burhani, dan irfani. Epistemologi bayani yaitu menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif). Epistemologi burhani lebih menekankan pada kekuatan natural manusia berupa indera, pengalaman dan akal dalam mencapai pengetahuan. Terakhir epistemologi irfani berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek ilmu/pengetahuan. 40 Selanjutnya dalam epistemologi ilmu komunikasi Islam juga dibahas tentang sumber kebenaran dan validitas kebenaran yang tidak terlepas dari paham ontologi ilmu dalam Islam. Sumber kebenaran dalam ilmu komunikasi Islam tidak terlepas dari wahyu, akal, kalbu, dan indra. Adapun proses memperoleh sumber tersebut terkait erat dengan peran jiwa manusia yang memfungsikan seluruh potensinya berupa indera, akal sehat, intuisi, dan berita yang benar (proses penafsiran) serta pengalaman langsung. Terakhir dalam kajian ilmu komunikasi Islam terkait dengan aksiologi. Dalam konteks ini pembahasan tentang etika dan peran ilmuwan muslim dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam amat urgen untuk dibahas. Selain itu,
40
Dikutip dari Imanuddin, “ Filsafat Ilmu Dalam Pengkajian Islam”, Dalam M. Arfan Mu’ammar dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: Ircisod), 2013, hal.62.
17
dibahas
juga
tentang
nilai-nilai
yang
mesti
diinseminasikan
dalam
pengembangan ilmu komunikasi Islam. Untuk memperjelas kerangka teori (kerangka berpikir) dalam penelitian tentang konstruksi ilmu komunikasi, peneliti akan menampilkan bagan/peta konsep (concept map) sebagai berikut:
ontologi Filsafat ilmu komunikasi
Ilmu Komunikasi Islam
Ditelaah
epistemologi
Epistemologi ilmu islam
aksiologi
Hakekat ilmu Pengertian Objek kajian Sumber ilmu Ruang lingkup kajian
Prinsip-prinsip Metode ilmiah Teori kebenaran Validitas ilmu
Tujuan Fungsi Etika Peran ilmuwan Nilai-nilai
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini mendapatkan data-data berupa ungkapan-ungkapan, pernyataanpernyataan, catatan-catatan, tingkah laku orang yang terobservasi, dan berbagai simbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. 41 Berkenaan dengan penelitian ini, data-data yang diperoleh berupa pernyataan-pernyataan, catatancatatan dan berbagai symbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. Dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif tersebut akan terungkap secara mendalam dan komprehensif
tentang konsep ontologi, epistemologi dan
aksiologi ilmu komunikasi Islam.
41
Robert Bodgan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: Usaha Nasional), 1993, hal. 30.
18
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan postpositivistik yang ditandai dengan pencarian makna dibalik data. Menurut Noeng Muhadjir, pendekatan postpositivistik dibagi menjadi empat yaitu:
postpositivistik
rasionalistik,
postpositivistik
phenomenologik
interpretatif, postpositivistik teori kritis, dan postpositivistik pragmatisme meta etik. 42 Dari keempat bagian tersebut, penelitian ini akan menggunakan pendekatan postpositivistik rasionalistik. Karena peneliti ingin mendapatkan data yang bersifat holistik tentang ilmu komunikasi Islam. Sifat holistik yang dituntut oleh postpositivistik rasionalistik, menurut Noeng Muhadjir, adalah digunakannya konstruksi pemaknaan atas realitas sensual, logik ataupun etik. Argumentasi dan pemaknaan atas realitas, termasuk hasil-hasil penelitian terdahulu, menjadi penting sebagai landasan pendekatan rasionalistik. 43 Operasionalisasi dari pendekatan postpositivistik tersebut, peneliti akan menyusun grand concept yang bersumber dari filsafat ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebagai landasan untuk menjawab permasalahan penelitian ini. Kemudian, dari grand concept tersebut, peneliti akan menggunakan alur berpikir logis dengan memilih pola berpikir kontekstual dan eklektik. Artinya peneliti akan mengkonstruksi ilmu komunikasi Islam dengan menggunakan pendekatan multidisiplin seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan manajemen yang menjadi basis dasar dalam pengembangan ilmu komunikasi serta memberikan pemaknaan secara kontekstual atau sesuai dengan situasi kekinian. 2. Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data Data utama dari penelitian ini bersumber dari buku-buku, majalah, laporan penelitian dan sumber lainnya yang dapat membantu menjawab permasalahan penelitian ini. Buku-buku yang dijadikan sumber rujukan dalam penelitian ini, diantaranya: a.
Gary P. Radford, On the Philosophy of Communication, (Australia: Thomson Wadsworth), 2005.
42
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin), 2000, hal. 79. 43 Noeng Muhadjir, Metodologi…hal. 84.
19
b.
Pat Arneson (Ed.), Perspectives on Philosophy of Communication, (Indiana: Purdue University Press), 2007.
c.
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q. Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011.
d.
Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2013.
e.
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Communications Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media, (New York: Longman), 1992.
f.
Katherine Miller, Communication Theories Perspectives, Processes, and Contexts, Second Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2005.
g.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009.
h.
EM Griffin, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2003.
i.
Hussain, Mohd Yusof, Contemporary Issues in Islamic Communication, (Malaysia: the International Islamic University Press), 2012.
j.
Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition the End of Diversity? (London: Sage Publications), 1996.
k.
Daniel A. Stout (Ed.), Encyclopedia of Religion, Communication, and Media, (New York: Routledge), 2006.
l.
Taufiq al-Wa’i, al-Da’wah ila Allah: al-Risalah, al-Wasilah, al-Hadap, (Mesir: Dar al-Yakin), 1995.
m. Shabbir Akhtar, The Qur’an and the Secular Mind, (London: Routledge), 2008. Adapun teknik pengumpulan data digunakan langkah-langkah sebagai berikut: a.
Mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan filsafat ilmu komunikasi, komunikasi Islam, komunikasi dakwah, komunikasi profetik, dan ilmu komunikasi Islam.
20
b.
Bahan-bahan dipilah-pilah atau dikategorisasi ke dalam sub pembahasan yaitu ontologi ilmu komunikasi Islam, epistemologi ilmu komunikasi Islam, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam.
c.
Data yang telah dikategorisasi dimasukkan dalam pembahasan yang lebih spesifik dan mendalam dengan cara diperbandingkan dan dikritisi satu pendapat dengan pendapat lainnya.
3. Analisa Data Berbeda dengan penelitian kuantitatif dimana analisa datanya dilakukan setelah data terkumpul, sedangkan penelitian kualitatif proses pengumpulan data dan analisa data terjalin sirkulasi. Mile dan Huberman menggambarkan sirkulasi terjadi antara pengumpulan data, penyajian data, reduksi data, dan kesimpulankesimpulan. Semuanya dilakukan dalam proses yang tidak terpisah. 44 Dari pengumpulan data dibuat reduksi data untuk memilah data yang relevan dan bermakna yang selanjutnya disajikan. Data dipilah ke dalam tiga sub permasalahan dalam penelitian ini, yaitu ontologi ilmu komunikasi Islam, epistemologi ilmu komunikasi Islam, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam. Dalam proses reduksi data, peneliti memilih data yang relevan dan bermakna, memfokuskan pada data yang mengarah pada pemecahan masalah, penemuan, pendalaman
atau
untuk
menjawab
pertanyaan
penelitian.
Kemudian
menyederhanakan dan menyusun secara sistematis dengan memfokuskan hal-hal yang dianggap penting tentang hasil dan temuan. Selanjutnya disajikan dalam bentuk penyajian data atau penelitian laporan dan menarik kesimpulankesimpulan. Dalam menganalisis dan menafsirkan data digunakan langkah-langkah sebagai berikut: 45 Pertama, perbandingan data-data yang ada dari beberapa sumber, baik dari ilmu komunikasi, ilmu dakwah, al-Qur’an, al-Hadits, dan sumber lain, untuk dikategorisasi. Kedua, integrasi kategori dan kawasannya.
44
Mile dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI-Press), 1992, hal. 20. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 210-213. 45
21
Data yang telah dikategorisasi itu dimasukkan dalam pembahasan yang lebih spesifik dengan mengacu pada teori yang digunakan. Ketiga, pembatasan teori. Teori yang dipakai berasal teori yang ada dalam filsafat ilmu komunikasi dan Epistemologi ilmu dalam Islam. Teori dipakai sebagai bahan pisau analisis untuk memahami persoalan yang diteliti. Dengan teori, peneliti akan memperoleh inspirasi untuk bisa memaknai persoalan. Memang teori bukan satu-satunya alat atau bahan untuk melihat persoalan yang diteliti. Pengalaman atau pengetahuan peneliti sebelumnya yang diperoleh lewat pembacaan literatur, mengikuti diskusi ilmiah, seminar, ceramah dan sebagainya bisa dipakai sebagai bahan tambahan untuk memahami persoalan secara lebih mendalam. Teori dipakai sebagai informasi pembanding atau tambahan untuk melihat gejala yang diteliti secara lebih utuh. Karena tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami gejala atau persoalan tidak dalam konteks mencari penyebab atau akibat dari sebuah persoalan lewat variabel yang ada melainkan untuk memahami gejala secara komprehensif, maka berbagai informasi mengenai persoalan yang diteliti wajib diperoleh. Informasi dimaksud termasuk dari hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai persoalan yang sama atau mirip. Keempat, perumusan teori. Hasil dari analisis teori yang dipakai, peneliti merumuskan tentang ilmu komunikasi Islam. Penemuan ilmu pada dasarnya adalah perumusan atau penemuan ilmu.
G. Sistematika Laporan Penulisan laporan penelitian ini akan dibuat menjadi enam bab yaitu: bab pertama berisi pendahuluan yang didalamnya dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Kemudian pada bab kedua dibahas tentang landasan teori yang berisi tentang epistemologi ilmu komunikasi, epistemologi Ilmu dalam Islam, dan islamisasi sains komunikasi. Di dalam epistemologi ilmu komunikasi dibahas tentang pengertian ilmu komunikasi, objek ilmu komunikasi, dan proses penelitian ilmu komunikasi. Sedangkan dalam epistemologi ilmu dalam islam
22
dibahas tentang hakekat ilmu dalam Islam, kriteria kebenaran ilmu dalam Islam, dan metode pengembangan ilmu dalam Islam. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tentang ontologi ilmu komunikasi Islam yang meliputi term komunikasi Islam dalam perspektif al-Qur’an, pengertian ilmu komunikasi Islam, ilmu komunikasi islam dan ilmu dakwah, serta objek kajian ilmu komunikasi Islam. Pada bab keempat akan diuraikan tentang epistemologi ilmu komunikasi Islam yang meliputi prinsip-prinsip dalam ilmu komunikasi Islam, paradigma ilmu komunikasi Islam, metode ilmu komunikasi Islam, dan validitas ilmu komunikasi Islam. Kemudian pada bab kelima akan diuraikan tentang aksiologi ilmu komunikasi Islam yang meliputi Tujuan dari ilmu komunikasi Islam, peran ilmu komunikasi Islam, dan etika dalam ilmu komunikasi Islam Selanjutnya, kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian ini akan dibahas pada bab keenam.
23
BAB II ISLAMISASI ILMU KOMUNIKASI
Pada bab kedua ini, penulis menjelaskan tentang bangunan teori yang berhubungan dengan ilmu komunikasi Islam. Bangunan teori disusun dari tiga konsep dasar yakni epistemologi ilmu komunikasi, epistemologi ilmu dalam Islam, dan Islamisasi ilmu. Ketiga konsep tersebut disusun menjadi satu bangunan yang penulis istilahkan dengan Islamisasi ilmu komunikasi. Maksud dari Islamisasi ilmu komunikasi adalah perpaduan antara ilmu komunikasi dengan ilmu Islam. Perpaduan yang disusun mengarah pada penggabungan antara term-term atau teori-teori yang ada dalam ilmu Islam dengan term-term atau teori-teori yang ada di dalam ilmu komunikasi menjadi satu kesatuan yang tersusun dalam struktur ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam.
A. Epistemologi Ilmu Komunikasi 1. Pengertian Ilmu Komunikasi Dalam memberikan pemahaman tentang arti ilmu komunikasi, alangkah bijak apabila ditelusuri terlebih dahulu dinamika perkembangan ilmu komunikasi, dari semenjak tumbuh di Yunani hingga berkembang saat ini di Eropa dan Amerika. Dalam catatan sejarah, arti ilmu komunikasi senantiasa mengalami perkembangan yang begitu signifikan seiring dengan perkembangan setting social yang mengiringinya. Awal mula ilmu komunikasi berasal dari perkembangan retorika di Yunani (500 SM). Bermula dari kisah orang-orang Syracuse yang dikuasai oleh sistem Pemerintahan Tiran yang menindas rakyat dan menyerobot tanah milik rakyat. Orang-orang Syracuse melakukan pembelaan di pengadilan agar mereka mendapatkan tanahnya kembali. Saat itu, siapa saja yang memiliki ketrampilan berbicara dan berlogika untuk meyakinkan hakim di pengadilan, akan mendapatkan kembali tanahnya. Pada konteks ini, komunikasi diartikan sebagai alat untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak publik yang tertindas. 1
1
Iswandi Syahputra, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007, hlm. 2.
24
Kemudian pada zaman kaisar Romawi, Gaius Julius Caesar (100-44 SM), mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan pengumuman yang dinamakan Acta Diurna. Kegiatan pemberitaan melalui Acta Diurna tersebut merupakan cikal bakal lahirnya kegiatan jurnalistik. 2 Dalam hal ini, komunikasi dipahami sebagai penyebaran informasi melalui pemberitaan atau kegiatan tulis menulis. Selanjutnya, komunikasi yang bermula dari sebuah fenomena, seperti disebutkan di atas, berkembang menjadi kegiatan yang bersifat ilmiah. Pada tahun 1969, Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” memunculkan istilah “Science of Communication” yang ia definisikan sebagai suatu upaya sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya asas-asas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap”. 3 Sekarang ini, ilmu komunikasi sudah tidak lagi dipahami sekedar praktik berbicara untuk tukar menukar pesan atau hanya bertegur sapa antarmanusia. Luasnya spektrum keilmuan komunikasi membuat ahli komunikasi memahami komunikasi dalam berbagai tradisi komunikasi. Menurut Robert Craig, ada tujuh tradisi komunikasi yang memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu komunikasi, 4 yaitu: tradisi retorika, semiotika, fenomenologis, sibernetika, sosiopsikologis, sosio-budaya, dan kritis. Berikut ini gambaran tentang ketujuh tradisi berkaitan dengan teori yang akan dikembangkan dan masalah yang dibicarakan: 5
Tradisi Retorika
Semiotika
Komunikasi Berteori Seni
dalam
praktik Membutuhkan
urgensi
social,
bercakap-cakap
pertimbangan dan pendapat kolektif
Penyelesaian
Salah
intersubjektif 2
Masalah dalam komunikasi
paham
atau
kekosongan
melalui antara sudut pandang yang subjektif
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003, hlm. 6. 3 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori,…..hlm. 13. 4 Pendapat Craig dikutip dari Katherine Miller, Communication Theories, (Boston: Mc Grew Hill), 2005, hlm. 13. 5 Elvinaro Ardianto & Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011, hlm. 34.
25
tanda-tanda Fenomenologis Pengalaman dari orang Ketidakhadiran, kegagalan untuk lain, dialog
meneruskan,
keaslian
hubungan
antarmanusia Sibernetika
Proses informasi
Gaduh; muatan melebihi batas; muatan berada di bawah batas; kegagalan atau virus dalam system
sosiopsikologis Ekspresi, interaksi, dan Situasi pengaruh
menghendaki
adanya
manipulasi karena adanya sikap untuk
mencapai
hasil
yang
terspesifikasi Sosio-budaya
(Re) produksi dan tata Konflik, alienasi, ketidaksejajaran, tertib social
Kritis
Refleksi
yang
berkesinambungan
kegagalan koordinasi. tidak Ideology pembicaraan
hegemoni, yang
situasi
menyimpang
dari susunan yang ada
Ketujuh tradisi yang dikemukakan oleh Craig tersebut, di kalangan ahli komunikasi masih menjadi perdebatan akademik. Karena komunikasi merupakan ilmu interdisipliner, maka orang mendefinisikan atau memahami komunikasi tergantung dari perspektif yang digunakannya, apakah bersumber dari psikologi, sosiologi, semiotika, atau sumber lainnya. Oleh karena itu, amat sulit untuk memahami ilmu komunikasi hanya berdasarkan pada satu sudut pandang saja. Ilmu komunikasi adalah ilmu yang serba ada, serba mencakup, dan serba makna. 2. Objek Ilmu Komunikasi Semua ilmu yang mempelajari perilaku manusia berada dalam satu lingkaran social dan memiliki keterikatan yang sangat erat satu dengan lainnya. Persamaannya bukan saja karena ia berada dalam satu lingkaran yang sama (sosial), tetapi juga karena ia memiliki objek material yang sama, yakni mempelajari perilaku manusia, baik yang berhubungan dengan aktivitas manusia di sektor ekonomi, pemerintahan, hukum, komunikasi dan sebagainya.
26
Perbedaan antara ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya terletak pada objek formalnya. Objek formal memberikan kriteria secara spesifik dan menjadi pembeda dengan ilmu yang lainnya. Tanpa memiliki objek formal, satu ilmu tidak bisa dikatakan ilmu karena sulitnya untuk dibedakan dengan pengetahuan atau ilmu-ilmu lainnya. Berkenaan dengan ilmu komunikasi yang notabene menjadi bagian dari ilmu sosial, maka objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yakni mempelajari perilaku manusia. Sementara, Objek formal ilmu komunikasi adalah mempelajari pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi yang mengarah pada perubahan social termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku individu, kelompok, masyarakat, dan pengaturan kelembagaan. 6 3. Proses Penelitian dalam ilmu Komunikasi Secara substansial, proses penelitian yang ada dalam ilmu komunikasi tidak berbeda dengan proses penelitian ilmu sosial lainnya. Menurut Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, orang terlibat dalam penelitian ketika mereka mencoba untuk mengetahui sesuatu dengan cara yang sistematis. 7 Proses penelitian yang sistematis dalam ilmu komunikasi menggunakan tiga tahapan: Pertama, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan fakta, data, dan nilai-nilai yang terkandung dari proses komunikasi. Kedua, pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada di masyarakat. Ketiga, menyusun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dalam membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian tentu seorang peneliti harus memahami wilayah kajian dalam komunikasi. Dalam perkembangan ilmu komunikasi kontemporer, wilayah kajian komunikasi begitu luas dan terus mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Deddy Mulyana, kita dapat mengembangkan wilayah kajian komunikasi bukan hanya kajian komunikasi
yang
sudah
ditentukan
oleh
International
Communication
Association, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi, komunikasi massa, komunikasi politik, komunikasi kesehatan, komunikasi pembangunan dan 6
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat …hlm. 24. Lihat juga Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2006, hlm. 64. 7 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009, hlm. 10.
27
sebagainya, melainkan juga pada komunikasi lainnya yang seperti komunikasi transcendental, komunikasi antar gender, komunikasi keluarga, komunikasi lingkungan, dan lain sebagainya. 8 Selain itu, seorang peneliti juga perlu memahami teori-teori yang akan dijadikan landasan dalam menyusun hipotesis dan merumuskan permasalahan yang akan diajukan. Teori diperlukan untuk memprediksi, mengendalikan dan menjelaskan realitas atau fenomena social yang menjadi topic penelitian kita. Di kalangan ilmuwan komunikasi terjadi perdebatan tentang apa yang mendasari sebuah teori yang memadai dalam komunikasi. Perbedaan terjadi bergantung pada bagaimana teori tersebut dihasilkan, jenis penelitian yang digunakan, cara teori tersebut dipresentasikan, dan aspek komunikasi yang disampaikan. Dari perbedaan-perbedaan tersebut muncul beragam teori yang ada dalam komunikasi. Oleh karena itu, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss menyarankan beberapa langkah yang mesti dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan teori-teori yang sistematis, yaitu: Pertama, memahami ruang lingkup dari teori yang akan digunakan. Jangan sampai menggunakan teori yang ruang lingkupnya luas untuk meneliti masalah yang sempit atau sebaliknya menggunakan teori yang memiliki ruang lingkup sempit untuk meneliti masalah yang luas. Kedua, perlunya konsistensi logis antara teori dan asumsinya. Mengingat asumsi disusun berdasarkan satu disiplin ilmu yang sesuai dengan bidang keahliannya. Jika peneliti akan meneliti komunikasi antar individu, maka teori dan asumsinya dibangun dari disiplin ilmu komunikasi antar individu. Ketiga, teori yang akan digunakan mampu menyelesaikan masalah yang akan diteliti, baik dalam tataran praktis maupun secara teoritis sehingga ilmu yang dihasilkan betul-betul memberikan kemanfaatan bagi pengembangan ilmu dan kemanusiaan. Keempat, validitas teori. Ada tiga criteria dalam validitas teori yaitu dilihat dari nilai kegunaan, kesesuaian, dan bisa digeneralisasi. Kelima, carilah teori yang paling sederhan dan mudah digunakan untuk memecahkan persoalan
8
Deddy Mulyana, “Pengantar: Peluang Mengembangkan Kajian Komunikasi”, Dalam Ujang Saefullah, Kapita selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007, hlm. iii.
28
penelitian. Keenam, teori tersebut memiliki keterbukaan sehingga dapat dinilai atau dikritisi. 9 Setelah peneliti membuat pertanyaan yang sesuai dengan wilayah kajian komunikasi dan didasarkan pada teori yang dipilihnya, tugas selanjutnya adalah melakukan pengamatan terhadap masalah yang telah dirumuskan. Metode-metode pengamatan berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang lainnya. Ada yang mengamati catatan-catatan dan artefak-artefak, ada juga yang menggunakan metode keterlibatan secara langsung, dan bahkan ada yang menggunakan alat-alat bantu dan percobaan-percobaan yang dilakukan di laboratorium. Metode apapun yang digunakan, hal yang terpenting bahwa metode tersebut mampu menjawab permasalahan yang sedang diteliti. Tahap terakhir dalam proses penelitian adalah menyusun jawaban. Pada tahapan ini, peneliti mencoba untuk mendefinisikan, menggambarkan, dan menjelaskan pokok-pokok permasalahan yang sedang diteliti. Dalam menyusun jawaban tentu harus memperhatikan tahapan-tahapan sebelumnya. Kemampuan dalam merangkai kata dan menyusun kalimat merupakan unsur penting dalam menyusun jawaban. Selain itu juga seorang peneliti perlu memiliki kemampuan berpikir logis dan sistematis. Tidak mungkin berhasil menyusun kalimat yang runtut dan berkesinambungan manakala seorang tidak memiliki kemampuan berpikir logis dan sistematis. Meskipun tahapan penelitian telah dilakukan semuanya, tetapi perlu juga dibangun komitmen dalam diri peneliti bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut perlu dipublikasikan baik dalam jurnal maupun dalam bentuk buku. Hasil publikasi ini akan mendapatkan penilaian dari publik tentang kemanfaatan ilmu yang dikembangkannya dan sekaligus dapat dijadikan bahan penelitian lebih lanjut. Komitmen inilah yang tumbuh dalam tradisi akademik di Barat sehingga ilmu komunikasi terus menerus mengalami perkembangan yang signifikan.
9
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi….hlm. 40-42.
29
B. Epistemologi Ilmu Dalam Islam 1. Hakekat Ilmu Dalam Islam Dalam Islam, istilah ilmu dan pengetahuan seringkali dipersamakan dengan kata dasar “allama” yang berarti mengetahui. Sementara dalam dunia Barat, istilah ilmu disebut dengan science, sedangkan pengetahuan adalah knowledge. Selain itu, dalam term Barat, pengetahuan dikatakan sebagai science apabila pengetahuan tersebut memiliki objek yang jelas (empiris), tersusun dengan menggunakan metode ilmiah, dan dirangkai atau dijelaskan secara sistematis. Karenanya dalam kacamata Barat, hal-hal yang bersifat supranatural atau metafisika tidak menjadi kajian ilmu (science). Istilah ilmu yang ada dalam Islam dapat ditemukan dalam sumber ajaran Islam yang otentik, yakni al-Qur’an. Istilah “ilmu” beserta ramifikasinya merupakan istilah yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Ada kurang lebih …..ayat yang memperkenalkan istilah ilmu dan ramifikasinya. Banyaknya istilah ilmu yang disebutkan di dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan tentang pengembangan ilmu dan menempatkan posisi yang mulya bagi orang yang memiliki ilmu. Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan membedakan dengan orang yang tidak memiliki ilmu. Ilmu dalam Islam amat penting keberadaannya. Selain untuk menjadi bekal manusia dalam menjalani kehidupan, ilmu juga berfungsi untuk mencari jejak Tuhan di muka bumi ini. 10 Dengan berbekal ilmu, seseorang bukan saja sukses dalam mengarungi dunianya, tetapi ia bisa mendekatkan diri kepada Tuhannya. Orang yang berilmu tinggi, tetapi dirinya jauh dari Tuhan berarti ilmunya belum memberikan kemanfaatan pada dirinya dan orang tersebut belum memahami tujuan dari mencari ilmu yang sesungguhnya. Ilmu pada hakekatnya merupakan anugerah atau cahaya yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 32 ”Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan/ilmu yang ada pada kami kecuali apa yang telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha mengetahui dan Maha Bijaksana”. Untuk mendapatkan anugerah tersebut, manusia telah 10
132.
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm.
30
diberikan bekal oleh Allah swt berupa akal yang ada dalam dirinya. Melalui akal itulah manusia bisa berpikir dan mengembangkan ilmu. Selanjutnya, dalam pandangan Islam, ilmu itu tidak bebas nilai. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu berbeda dengan fakta. Di dalam ilmu ada fakta dan penjelasan dari sang ilmuwan. Karenanya, ilmu tidak bisa bersifat netral atau objektif dalam arti sebenar-benarnya atau dalam bahasa yang lain, ilmu tidak bisa bebas nilai. Ilmu sangat terkait dengan budaya, paradigma, dan agama dari seorang ilmuwan. Sejak dahulu, ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuwan di wilayah tersebut. 11 Bahkan, Menurut Mujamil Qomar, ilmu dalam Islam meletakkan nilai-nilai di permukaan agar jelas dan menjadikan nilai –nilai tersebut sebagai aturan main yang harus ditaati. 12 Unsur lain yang membedakan ilmu dalam Islam dengan ilmu yang ada d Barat berkaitan dengan sumber dan metode ilmu. Dari sisi sumber, ilmu berasal dari Tuhan. Kemudian Tuhan memberikan potensi kepada manusia untuk menangkap dan menganalisa realitas yang menjadi bahan telaahan ilmu. Manusia oleh Allah diberikan potensi berupa akal, panca indera, dan hati. Ketiga alat tersebut dipergunakan oleh manusia untuk mendapatkan ilmu. Akal, oleh kalangan rasionalis, dianggap sebagai alat yang kompeten untuk dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan ilmu. Akal memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengkritisi berbagai realitas yang ada dan mungkin ada. Dengan akal, manusia dapat bertanya tentang dimana sebuah “benda” berada, kapan suatu peristiwa terjadi, apa yang menyebabkan peristiwa terjadi, dimana dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan berbagai pertanyaan lain yang tidak bisa dilakukan oleh indera. Menurut Mulyadhi Kartanegara, kelebihan istimewa yang dimiliki oleh akal adalah kecakapan dan kemampuannya dalam menangkap esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya. Selain itu, akal manusia juga dapat mengetahui konsep universal dari suatu objek yang bersifat abstrak. Dengan
11 12
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 131. Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga), 2005, 106.
31
kemampuan tersebut, akal manusia bisa menyimpan jutaan “makna” atau “pemahaman” tentang pelbagai objek ilmu yang bersifat abstrak. 13 Selain akal, indera juga menjadi alat yang kompeten untuk mendapatkan ilmu, bahkan menurut kalangan empirisisme, indra dipandang sebagai satusatunya sumber ilmu. Indera juga memiliki peran yang signifikan dalam mengenal dunia sekeliling kita dan yang menyebabkan manusia bisa beradaptasi dengan lingkungannya serta bisa survive dalam menjalani kehidupannya. Al-Qur’an dalam beberapa ayat memberikan penekanan tentang pentingnya panca indera manusia dalam melakukan tindakan seperti pendengaran, penglihatan, dan tangan manusia. Meskipun indera sebagai alat yang bisa diandalkan untuk mendapatkan ilmu, tetapi banyak kritikan dari ilmuwan yang ditujukan kepada keandalan indera dalam memperoleh ilmu. Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan empiric yang dihasilkan oleh indera, kualitas kebenaran dari pengetahuan ini tergolong paling rendah. Begitu pula, indera tidak mampu menangkap esensi dari suatu benda atau peristiwa. Indera dapat mengenal bahwa warna bunga matahari itu berwarna kuning, tetapi indera tidak mampu menjawab mengapa warna bunga itu berwarna kuning dan siapa yang menyebabkan bunga tersebut berwarna kuning. Kelemahan yang dimiliki oleh indera tersebut, bisa ditutupi oleh akal. Akal bisa menjelaskan substansi atau esensi dari suatu benda atau peristiwa. Meski demikian, akal pun juga memiliki kelemahan, diantaranya: Pertama, akal tidak bisa memahami persoalan-persoalan hidup yang berkaitan dengan emosi dan perasaan. Kedua, akal tidak mampu memahami keunikan sebuah moment atau ruang sebagaimana dialami secara langsung oleh seseorang. Ketiga, akal tidak mampu memahami objek penelitiannya. Dia hanya mampu mengenal benda atau sesuatu yang bersifat simbolis. Untuk menutupi kelemahan yang dimiliki oleh akal dan indera tersebut, manusia diberi potensi oleh Tuhan berupa hati. Hati manusia mampu memahami kehidupan emosional dan perasaan manusia, memahami keunikan-keunikan setiap peristiwa atau kejadian yang dialami manusia, dan hati mampu mengenal objek
13
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 25.
32
penelitiannya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan yang diperoleh dari hati adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. 14 Contohnya, seorang akan mengerti tentang manisnya cinta manakala orang tersebut mengalami proses percintaan. Jika dia hanya membaca melalui buku-buku atau mendapatkan cerita dari orang lain, maka orang tersebut belum merasakan manisnya cinta. Implikasi dari perbedaan sumber ilmu antara Islam dengan Barat, maka metode untuk mendapatkan ilmu pun mengalami perbedaan. Barat dalam mengembangkan ilmu menggunakan metode ilmiah yang dikenal dengan istilah hipotetico-verifikasi, yakni metode observasi atau eksperimen dan metode logis atau demonstrative. Sedangkan Islam, selain menggunakan metode observasi (untuk objek-objek fisik) dan demonstratif (untuk objek-objek non fisik), juga menggunakan metode intuitif (irfani) untuk objek-objek non fisik dengan cara yang lebih langsung. Dengan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat ilmu dalam Islam berbeda dengan arti science yang ada di Barat. Ilmu dalam Islam merupakan anugerah (cahaya) dari Tuhan. Karenanya pencarian, pengembangan, dan penggunaannya pun tidak bertentangan dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan manusia pun dalam mengembangkan ilmu dapat memanfaatkan seluruh potensi yang diberikan oleh Tuhan berupa akal, indera dan hati. 2. Kriteria Kebenaran Ilmu Dalam Islam Adanya perbedaan konsep ilmu antara Islam dengan Barat berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan kriteria kebenaran. Dalam konsep Islam, kebenaran ada yang bersifat absolut dan ada yang bersifat relatif. Kedua kebenaran tersebut diakui dan digunakan dalam mengembangkan ilmu. Kemudian kedua kebenaran tersebut juga tidak saling bertolak belakang, melainkan saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Apa yang diungkapkan oleh al-Qur’an dalam skala tertentu dapat dibuktikan oleh manusia melalui observasi dan penalaran yang logis. Sebaliknya, apa yang diupayakan oleh manusia dapat disandarkan rujukannya pada al-Qur’an.
14
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 26
33
Kebenaran yang bersifat absolut adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu atau al-Qur’an. Wahyu memberi kekuatan yang sangat besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai ajaran normatifdoktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Kemudian wahyu juga memberikan bantuan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan akal dan panca indera. Bahkan wahyu juga bisa mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu berangkat dari sikap percaya (iman) terhadap pernyataan-pernyataan wahyu, tanpa koreksi sama sekali, sehingga bersifat apriori. Kebenaran apriori adalah kebenaran yang diberikan (perennial truth) dan bukan kebenaran yang diupayakan (acquired truth) melalui metode ilmiah. Meskipun demikian, dalam memperoleh kebenaran wahyu memerlukan proses berpikir. Manusia dituntut untuk memahami kandungan ayat melalui proses penafsiran ataupun melalui pengalaman langsung sehingga manusia tersebut bisa mendekati pada kebenaran yang absolut tersebut. Di samping itu, sains Islam juga mengakui adanya kebenaran yang bersifat relatif. kebenaran yang bisa terus menerus ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia terhadap ilmu tersebut melalui metode ilmiah. Kebenaran yang relatif tersebut bisa bersumber dari upaya yang dilakukan oleh akal, indera, maupun intuisi. Konsekuensi logis dari perbedaan kriteria kebenaran yang ada dalam Islam dengan Barat berdampak pada perbedaan dalam metode pengembangan ilmu. Metode Islam memiliki karakter tersendiri sesuai dengan karakteristik ilmu dan kebenaran yang ada dalam Islam. Oleh karena itu, pada bahasan berikut akan dijelaskan tentang metode pengembangan ilmu dalam Islam. 3. Metode Pengembangan Ilmu Dalam Islam Di kalangan ilmuwan muslim klasik telah berkembang beberapa metode dalam pengembangan ilmu, diantaranya adalah metode tajribi, istinbath, tarikhi, dan sam’iy. Metode tajribi banyak digunakan oleh ilmuwan muslim dalam mengkaji masalah-masalah alam atau eksakta. Metode istinbath lebih terkait dengan penggalian hukum Islam. kemudian metode tarikhi berkaitan dengan pengungkapan peristiwa-peristiwa masa lampau. Sedangkan metode sam’iy
34
berhubungan dengan wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh indera dan akal manusia. Biasanya banyak digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang berasal dari wahyu Allah. Seiring dengan perkembangan zaman dan merespons berbagai metode yang berkembang di dunia Barat, maka beberapa metode tersebut mengalami perkembangan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada tiga metode yang digunakan para ilmuwan muslim dalam pengembangan ilmu, yakni metode observasi atau eksperimen (tajribi) untuk objek-objek fisik, metode logis (burhani) untuk objekobjek non-fisik, dan metode intuitif (irfani) untuk objek non-fisik dengan cara yang lebih langsung. 15 Ketiga metode tersebut dalam proses pelaksanaannya tidak rigid, melainkan saling memperkuat antara satu dengan lainnya. Dari ketiga metode tersebut, metode intuitif merupakan metode yang dipertanyakan keabsahannya oleh kalangan Barat. Padahal metode ini merupakan metode yang penting dan menutupi kelemahan yang ada pada metode yang ada di Barat. Kekhasan metode intuitif terletak pada sifatnya yang langsung. Sifat langsung metode intuitif dapat dianalisis ke dalam beberapa hal. Pertama, Metode intuitif bisa dicapai melalui pengalaman langsung, seperti orang memahami cinta, tidak bisa hanya membaca literature tentang cinta, tetapi merasakan secara langsung pengalaman bercinta. Kedua, sifat langsung intuitif bisa dilihat dari apa yang sering disebut sebagai ilm hudhuri. Pengetahuan intuitif ditandai dengan hadirnya objek di dalam diri si subjek. Seperti ungkapan Rumi “bisakah anda menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R. tentu saja tidak, anda kata Rumi, “baru menyebut nama, cari yang punya nama”. Ketiga, sifat kelangsungan metode intuitif ini dapat dilihat melalui pengalaman “eksistensial”. Intuisi mengenal objeknya bukan melalui kategorisasi, melainkan mengenalnya secara intim kasus per kasus. 16
C. Islamisasi Sains Komunikasi Islamisasi ilmu yang muncul pada abad ke-20 merupakan respons kritis dari ilmuwan muslim atas peradaban global Barat yang sekuler dan jauh dari nilai-nilai 15 16
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 60. Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…….hlm. 61
35
ilahiah. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, salah seorang penggagas gerakan Islamisasi ilmu, menyatakan bahwa Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu yang sesuai dengan pandangan Islam. Sementara, menurut Syed M. Naquib Al-attas, Islamisasi ilmu adalah “membebaskan manusia dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, dan dari jeratan sekuler yang membelenggu akal dan bahasa. Dari dua pendapat tokoh tersebut berarti Islamisasi ilmu merupakan gerakan untuk mengislamkan disiplin-disiplin ilmu dan membebaskan manusia dari berbagai tradisi dan pengetahuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Awal mula munculnya gagasan Islamisasi ilmu tidak terlepas dari pro dan kontra di kalangan pembaharu. Fazlurrahman, seorang pembaharu dari Pakistan, merupakan salah seorang yang menentang adanya gerakan Islamisasi ilmu. Menurut Fazlurraham dalam artikel “The American Journal of Islamic Social Science (AJISS)”, orang tidak dapat menemukan suatu metodologi atau memerinci suatu strategi untuk mencapai pengetahui Islami. Satu-satunya harapan umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi adalah memelihara pemikiran umat muslim. Islamisasi ilmu tidak diperlukan karena pada dasarnya semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnatullah dan Islamisasi tidaknya ilmu terletak pada moralitas manusia sebagai pengguna iptek. 17 Meskipun proyek islamisasi ilmu mendapatkan perlawanan dari sebagian ilmuwan muslim, tetapi proyek tersebut hingga kini mengalami perkembangan dan banyak yang merespons secara positif. Berbagai pertemuan ilmiah diadakan untuk
meneruskan
proyek
islamisasi
ilmu
tersebut,
seperti
konferensi
internasional tentang pendidikan di Mekah pada tahun 1977 dan konferensi internasional islam dan modernism di Istambul tahun 1997. Harus diakui bahwa proyek Islamisasi ilmu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak hanya sekedar memberikan label Islam terhadap pengetahuan kontemporer, tetapi dibutuhkan kerja keras dengan cara memahami pandangan dunia Islam tentang ilmu dan sekaligus juga memahami budaya dan peradaban Barat. Menurut Ziauddin Sardar, Islamisasi bukan hanya sintesis ilmu-ilmu 17
Fazlur Rahman, “Islamisasi ilmu pengetahuan sebuah respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, hlm. 106.
36
modern dengan ilmu-ilmu Islam, melainkan harus dimulai dari aspek ontologi dengan membangun world view dengan berpijak pada epistemologi Islam. Salah satu ilmu yang perlu diislamisasikan adalah ilmu komunikasi. Sama halnya dengan ilmu-ilmu social lainnya yang berkembang di Barat, ilmu komunikasi juga merupakan ilmu yang dibangun dari paradigm yang sekuler dan mengabaikan nilai-nilai dan etika agama. Menurut Hamid Mowlana, beberapa kajian tentang komunikasi internasional menunjukkan ada dua karakteristik yang telah berkembang pada dua decade terakhir ini yaitu: Pertama, terjadi kecenderungan etnosentrisme dalam sistem komunikasi massa yang berkembang di dunia dan di negara-negara industri. Kedua, adanya arus informasi yang “asimetris” di dunia sehingga muncul ketidakseimbangan dan distribusi kekuasaan yang tidak sama antara negara adikuasa dengan negara-negara berkembang. 18 Jika arus informasi yang berkembang di dunia ini dikuasai oleh Barat atau negara-negara adikuasa seperti yang diungkapkan oleh Mowlana tersebut, maka secara otomatis budaya dan etika yang disebarkan adalah budaya-budaya dan etika-etika Barat yang notabene sekuler dan mengabaikan nilai-nilai agama. Dalam konteks ini tentu negara-negara berkembang, khususnya Negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebagai Negara yang sangat rentan dipengaruhi oleh budaya dan etika Barat. Mengingat sebagian besar Negaranegara muslim adalah para pemasok informasi dan pengguna teknologi informasi yang berasal dari Barat. Dalam melakukan islamisasi komunikasi, seperti yang disarankan oleh Ziauddin Sardar bertitik dari perubahan world view tentang ontology, epistemology, dan aksiologi ilmu. Caranya bisa melakukan perombakan ilmu yang ada dan memberikan alternative baru. Dalam hal ini diperlukan kajian-kajian dan penemuan-penemuan baru yang secara terus menerus dipublikasikan. Ismail Raji al-Faruqi memberikan petunjuk teknis untuk melakukan proses islamisasi tersebut yaitu:
18
Hamid Mowlana, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Research, 3 (4), 2007. hlm. 23.
37
1.
Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya.
2.
Survey disiplin ilmu
3.
Penguasaan khazanah Islam: ontology
4.
Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis
5.
Penentuan relevansi islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu
6.
Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini.
7.
Penilaian secara kritis terhadap khazanah islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini.
8.
Survey permasalahan yang dihadapi umat Islam
9.
Survey permasalahan yang dihadapi manusia
10. Analisis dan sintesis kreatif 11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam 12. Penyebaran ilmu yang sudah diislamkan. 19 Gagasan yang dikemukakan al-Faruqi memang sangat ambusius dan ideal, karenanya ada sebagian yang keberatan dengan gagasan beliau. Kemudian para ilmuwan mencoba memberikan alternative dengan cara membangun paradigm integrative atau melalui proses integrasi antara ilmu Barat dengan ilmu Islam. ada tiga pandangan tentang paradigm integrasi ilmu: 20 Pertama, paradigm integrasi ilmu integrative adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam satu kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Sementara sumber-sumber ilmu lain seperti indra, akal dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Kedua, paradigm integrasi ilmu integralistik yang melihat ilmu berintikan pada ilmu dari Tuhan seperti paradigm ilmu integrative, tapi bedanya ada pada perlakuan hubungan ilmu-ilmu agama dan umum. Paradigm ini memandang Tuhan sebagai sumber ilmu, dengan fungsi tidak untuk melebur sumber-sumber 19
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka), 1983, hlm. 99. Pendapat ini diadopsi dari Kusmana (Ed), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2006, hlm. 49-55. 20
38
lain tetapi untuk menunjukkan bahwa sumber-sumber lainnya sebagai bagian dari sumber ilmu dari Tuhan. Pengetahuan sebenarnya merupakan suatu usaha menciptakan teori atau metode sendiri dan tidak meniru metode-metode dari luar. Hal tersebut mungkin dengan cara mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu Tauhid. Ketiga, paradigma integrasi ilmu dialogis/terbuka adalah cara pandang terhadap ilmu yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jneis ilmu yang ada secara proporsional dengan tidak meninggalkan sifat kritis.terbuka artinya suatu ilmu atau sekumpulan ilmu dapat bersumber dari agama atau ilmu –ilmu sekuler yang diasumsikan dapat bertemu saling mengisi secara konstruktif. Dari ketiga paradigm integrasi tersebut, dalam konteks penelitian ini, penulis menggunakan paradigma integrasi ilmu dialogis/terbuka. Karena ilmu komunikasi yang bersumber dari Barat dan ilmu dakwah yang bersumber dari Islam, secara substansial bisa saling memperkuat dan berdialog dalam kerangka untuk mengembangkan kebutuhan manusia dalam berkomunikasi, baik dengan Tuhan, antar sesama, maupun dengan alam semesta. Oleh karena itu, pada pembahasan berikut akan diuraikan tentang ontology, epistemology, dan aksiologi ilmu komunikasi Islam sebagai hasil dari proses islamisasi sains komunikasi.
39
BAB III ONTOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
Ontologi merupakan bagian penting dari filsafat ilmu yang membahas tentang hakekat dari ilmu pengetahuan. Di dalam ontologi dibahas tentang apa yang dimaksud dengan ilmu, apa yang membedakan ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dan darimana sumber ilmu tersebut didapat. Berkenaan dengan ontologi ilmu komunikasi Islam, penulis akan menelaah terlebih dahulu beberapa term yang ada di dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan komunikasi. Penelaahan dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh kandungan yang ada dalam term-term tersebut dan sekaligus sebagai bahan untuk mengetahui ontologi ilmu komunikasi Islam, khususnya yang terkait dengn makna dan hakekat dari ilmu komunikasi Islam.
A. Term Komunikasi Dalam Al-Qur’an Seperti yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa makna komunikasi pada dewasa ini begitu luas dan serba mencakup, karenanya penulis agak kesulitan untuk menentukan kata kunci dari term komunikasi. Namun demikian, penulis mencoba untuk menjelaskan beberapa term yang agak dekat maknanya dengan komunikasi dalam konteks proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan, diantaranya: 1. Tabligh Istilah tabligh berasal dari kata dasar balagha yang berarti “mencapai, tiba di, sampai kepada (to reach, arrive at, get to)”. 1 Di dalam al-Qur’an, istilah tabligh dan ramifikasinya sangat variatif dan jumlahnya kurang lebih sekitar 65 ayat dalam 32 surat. Dari sekian banyak ayat tersebut, tidak semua istilah tabligh mengandung makna menyampaikan risalah atau mengandung makna dakwah, seperti terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 93:
ِ ﺎدو َن ﻳَـ ْﻔ َﻘ ُﻬﻮ َن ﻗَـ ْﻮﻻ َﺣﺘﱠﻰ إِ َذا ﺑَـﻠَ َﻎ ﺑَـ ْﻴ َﻦ اﻟ ﱠ ُ ﺴ ﱠﺪﻳْ ِﻦ َو َﺟ َﺪ ﻣ ْﻦ ُدوﻧِ ِﻬ َﻤﺎ ﻗَـ ْﻮًﻣﺎ ﻻ ﻳَ َﻜ 1
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid: Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya), t.t, hlm. 154.
40
Artinya: “Hingga ketika dia sampai di antara dua gunung, didapatnya di belakang (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan”. Dalam ayat tersebut makna balagha diartikan sebagai “tiba di (tempat tertentu)” dan hal tersebut juga sejalan dengan makna dalam ayat lainnya yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 86 dan ayat 90. Makna lain yang juga tidak berhubungan dengan penyampaian risalah terdapat di beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya terdapat dalam surat al-Nur ayat 59 yang berarti mencapai kedewasaan.
ِ ُ وإِ َذا ﺑـﻠَ َﻎ اﻷﻃْ َﻔ ِﱠ ِ ﻚ ﻳُـﺒَـﻴﱢ ُﻦ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َ ِﻳﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـ ْﺒﻠِ ِﻬ ْﻢ َﻛ َﺬﻟ ْ ْﺤﻠُ َﻢ ﻓَـﻠْﻴَ ْﺴﺘَﺄْذﻧُﻮا َﻛ َﻤﺎ ُ ﺎل ﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ َ َ َ اﺳﺘَﺄْ َذ َن اﻟﺬ ِ ِ ِِ ﻴﻢ ٌ ﻴﻢ َﺣﻜ ٌ آﻳَﺎﺗﻪ َواﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠ Artinya: “dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah
Allah
menjelaskan
ayat-ayat-Nya
kepadamu,
Allah
Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana”. Adapun ayat al-Qur’an yang berhubungan secara langsung dengan makna menyampaikan risalah kurang lebih ada 25 ayat. Nabi Nuh merupakan orang pertama yang mendapatkan tugas menyampaikan risalah, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 61- 62:
ِ ِ ِ ٌ ﺿﻼﻟَﺔٌ َوﻟَ ِﻜﻨﱢﻲ َر ُﺳ ﺼ ُﺢ َ َﻗ ﻮل ِﻣ ْﻦ َر ﱢ َ ﺲ ﺑِﻲ َ ْ(أُﺑَـﻠﱢﻐُ ُﻜ ْﻢ ِر َﺳﺎﻻت َرﺑﱢﻲ َوأَﻧ٦١ ) ﻴﻦ َ ب اﻟ َْﻌﺎﻟَﻤ َ ﺎل ﻳَﺎ ﻗَـ ْﻮم ﻟَْﻴ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﻋﻠَ ُﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َﻣﺎ ﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻮ َن Artinya: “Dia (Nuh) menjawab: wahai kaumku. Aku tidak sesat, tetapi aku ini seorang Rasul dari Tuhan seluruh alam. Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”. Selanjutnya, Nabi Hud juga mempunyai tugas yang sama dengan Nabi Nuh, yakni menyampaikan risalah dari Tuhan, sebagaimana dijelaskan dalam surat alA’raf ayat 67-68 yang artinya “Dia (Hud) menjawab, wahai kaumku. Bukan aku
41
kurang waras, tetapi aku ini adalah Rasul dari Tuhan seluruh alam. Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku dan pemberi nasehat yang terpercaya kepada kamu”. Demikian juga dengan Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib yang bertugas menyampaikan risalah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat alA’raf ayat 79 dan ayat 93. Tugas yang sama juga diberikan kepada Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 67:
ِ ﺖ ِرﺳﺎﻟَﺘَﻪُ واﻟﻠﱠﻪُ ﻳـ ْﻌ ﻚ ِﻣ َﻦ ُ ﻳَﺎأَﻳّـ َﻬﺎ اﻟ ﱠﺮ ُﺳ َ ﺼ ُﻤ َ ﻚ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢ َ ﻮل ﺑَـﻠﱢ ْﻎ َﻣﺎ أُﻧْ ِﺰ َل إِﻟَْﻴ َ َ َ َ ﻚ َوإِ ْن ﻟَ ْﻢ ﺗَـ ْﻔ َﻌ ْﻞ ﻓَ َﻤﺎ ﺑَـﻠﱠ ْﻐ ِ ِ ِ اﻟﻨ ﻳﻦ َ ﱠﺎس إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻻ ﻳَـ ْﻬﺪي اﻟْ َﻘ ْﻮَم اﻟْ َﻜﺎﻓ ِﺮ Artinya: “wahai Rasul. Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. Dari keterangan ayat-ayat tersebut di atas jelaslah bahwa tugas untuk menyampaikan risalah merupakan tugas yang diberikan kepada para Nabi atau utusan Allah swt. Kemudian tugas untuk menyampaikan risalah tersebut diberikan kepada umatnya, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya “sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat”. Menurut al-Bayanuni, tabligh merupakan tahapan awal dalam berdakwah. Tahapan berikutnya adalah pengajaran dan pendalaman ajaran Islam. setelah itu, penerapan ajaran Islam dalam kehidupan. 2 Sementara, Taufik al-Wa’i menggunakan istilah tabligh untuk menyebut kegiatan da’wah bilqaul dan da’wah bil-‘amal atau dalam bahasa al-Wa’i menyebut al-tabligh bi al-qawl dan altabligh bi al-‘amal, 3 sehingga makna tabligh menjadi sangat luas sekali yang berarti sama dengan dakwah itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu dakwah, tabligh dimaknai sebagai salah satu kajian spesifik tentang kegiatan dakwah yang bersifat massif baik secara langsung (public communication) dan atau menggunakan media cetak dan elektronik (mass communication). Ilmu tabligh akan diperkuat dengan ilmu komunikasi, khususnya 2
M. Abu al-Fath al-Bayanuni, Al-Madkhal ila ‘ilm al-da’wah, (Beirut: Muassasah alRisalah), 1991, hlm. 17. 3 Taufik al-Wa’i, al-Da’wah ila Allah, (Mesir: Dar al-Yaqin), 1995, hlm. 241 dan 357.
42
komunikasi publik dan komunikasi massa. Beberapa bahasan yang masuk dalam komunikasi
publik
(public
communication),
communication pedagogy, debate, environmental
diantaranya:
argumentation,
communication, freedom of
speech, legal communication, performance studies, persuasion and attitude change, political communication, public address,
rhetorical theory and
criticism,voice and diction. Sedangkan bahasan yang termasuk dalam komunikasi massa (mass communication), diantaranya: advertising, broadcasting and telecommunications, comparative media systems, economic of media industries, film and cinema, journalism, media effects, media ethics, new technologies, policy and regulation, popular culture, public relations. 4 Dari cakupan komunikasi publik dan komunikasi massa yang begitu luas, maka kegiatan tabligh mencakup semua kegiatan tersebut. Beberapa diantaranya yang sudah familiar di masyarakat, yaitu: khutbah, tabligh akbar, seminar, pentas seni, menulis di media cetak, dan berbagai kegiatan di media elektronik seperti radio, televisi, dan film. 2. Qaulan Perkataan qaulan merupakan bentuk masdar dari kata qala-yaqulu-qaulan yang berarti perkataan/ucapan/firman. Perkataan qala dan ramifikasinya banyak terdapat di dalam al-Quran. Kata qala bisa ditujukan pada perkataan Tuhan, Rasul, seorang Tokoh, dan bahkan masyarakat luas. Dalam tulisan ini tidak diuraikan tentang makna qala dalam arti perkataan, tetapi secara khusus akan dibahas tentang ungkapan qaulan yang dirangkai dengan kata sifat yang mengiringinya, yakni qaulan ma’rufa, qaulan karima, qaulan maysura, qaulan sadida, qaulan baligha, dan qaulan layna. Kata qaulan yang dirangkai dengan kata sifat akan memiliki makna yang terkait dengan etika dalam berkomunikasi. Ungkapan qaulan ma’rufa ditemukan pada 4 tempat: QS. Al-Baqarah ayat 235, al-Nisa ayat 5 dan 8, serta al-Ahdzab ayat 32. Dari keempat ayat tersebut, makna qaulan ma’rufan cenderung pada komunikasi yang menggunakan perasaan atau ungkapan yang pantas, terutama pada kalangan wanita, anak yatim yang belum dewasa, dan juga terhadap orang miskin.
4
Pendapat ini penulis kutip dari Rebecca B. Rubin, et.al, Communication Research: Strategies and Sources, (Australia: Wadsworth), 2000, hlm.6-7.
43
Menurut Jalaluddin Rakhmat yang dikutip oleh Mafri Amir, qaulan ma’rufa berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencarikan pemikiran, dan menunjukkan kesulitan kepada orang lemah baik secara material maupun secara psikologis. 5 Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 263 memberikan contoh praktis bagaimana cara melakukan penolakan terhadap para peminta-minta, yakni dengan perkataan yang baik dan permohonan maaf.
ِ ِ ِ ٍ ِ ٌ ﻗَـﻮ ٌل ﻣﻌﺮ ﻴﻢ َ وف َوَﻣﻐْﻔ َﺮةٌ َﺧ ْﻴـ ٌﺮ ﻣ ْﻦ ٌ ﺻ َﺪﻗَﺔ ﻳَـ ْﺘﺒَـﻌُ َﻬﺎ أَ ًذى َواﻟﻠﱠﻪُ ﻏَﻨ ﱞﻲ َﺣﻠ َُْ ْ Artinya: “perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. Kata al-Ma’ruf dalam bahasa Arab diartikan sebagai kebaikan yang bersifat lokal, yang berbeda dengan kata al-khair yang berarti kebaikan yang bersifat universal. Dengan demikian, qaulan ma’rufa bisa juga diartikan sebagai perkataan baik yang sesuai dengan konteks budaya masyarakatnya. Kemudian ungkapan qaulan yang kedua adalah qaulan karima yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 23 yang artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Allah dan hendaklah berbuat baik kepada ibu Bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia (qaulan karima)”. Dalam ayat tersebut, makna qaulan karima adalah perkataan dengan penuh rasa hormat. Dalam konteks ayat tersebut, perkataan yang disampaikan kepada orang tua hendaknya menggunakan kata-kata yang sopan dan penuh hormat. Orang tua adalah orang yang paling berjasa dalam kehidupan seseorang. Allah memberikan kedudukan yang mulia kepada orang tua, bahkan keridlaan Allah terletak pada keridlaan orang tua. Dengan posisi yang mulia tersebut amat wajar 5
hlm. 86.
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos), 1999,
44
apabila seorang anak dalam berkata hendaknya menggunakan kata-kata yang penuh hormat. Jika ayat tersebut dimaknai secara luas dalam konteks berkomunikasi, maka ayat tersebut mengajarkan agar kita berkomunikasi dengan orang lain yang lebih tua dari kita, hendaknya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sopan dan penuh rasa hormat. Bahkan, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Salah satu bentuk penghormatan kepada yang lebih tua adalah dengan cara berkomunikasi yang sopan dan penuh hormat. Ungkapan qaulan yang ketiga adalah qaulan maysura. Dalam komunikasi massa dianjurkan untuk menyajikan tulisan atau bahasa yang mudah dicerna. Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang mudah, ringkas, dan tepat. Dalam AlQur’an ditemukan istilah qaulan maysura yang merupakan tuntunan untuk melakukan komunikasi dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan.
ِ ﻮرا َ ﺎء َر ْﺣ َﻤ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢ َ َوإِ ﱠﻣﺎ ﺗُـ ْﻌ ِﺮ َ ﻚ ﺗَـ ْﺮ ُﺟ ًﺴ َ َﺿ ﱠﻦ َﻋ ْﻨـ ُﻬ ُﻢ اﺑْﺘﻐ ُ ﻮﻫﺎ ﻓَـ ُﻘ ْﻞ ﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻗَـ ْﻮﻻ َﻣ ْﻴ Artinya: “Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut” (QS. Al-Isra: 28). Ayat tersebut terletak setelah ada perintah agar memberikan hak (bantuan) kepada keluarga dekat, orang miskin, dan musafir, dan adanya larangan boros, karena boros itu bentuk kerja syetan (QS. Al-Isra ayat 26-27). Sasaran komunikasi yang terdapat dalam ayat tersebut adalah keluarga terdekat, orang miskin dan para musafir. Mereka memang mempunyai bahagian dari harta yang kita punyai, yang biasanya diberikan dalam bentuk sedekah atau hadiah. Tetapi dalam prakteknya memang sulit bagi seseorang untuk melakukan secara kontinu. Kadang bisa diberikan, dan kadang jumlahnya kurang dari biasa. Ketika tak bisa diberi, kepada mereka harus dikatakan kata-kata yang wajar. Artinya dengan memilih ungkapan yang tidak akan menyinggung perasaannya dan tidak membuat hiba hatinya. Ketiga sasaran yang disebut ayat itu adalah orang-orang yang berpotensi untuk bersedih dan berhiba hati, karena sangat membutuhkan bantuan. Orang biasanya
45
akan minta tolong terlebih dahulu pada keluarga dekat daripada orang lain. Alangkah sedihnya, jika keluarga yang diharapkan membantu justru membalas dengan ucapan kasar. Demikian pula orang miskin dan musafir. 6 Dalam berkomunikasi ada dua dimensi penting yang dapat dijadikan pertimbangan yaitu menyampaikan isi dan mendefinisikan hubungan sosial. Kesamaan dalam isi dapat mengakrabkan para komunikator atau menjauhkannya. Kemudian dalam berkomunikasi juga keberadaan hubungan sosial tidak bisa dipisahkan. Orang yang berkomunikasi dituntut untuk bisa menjalin hubungan sosial yang hangat dengan lawan bicaranya. Dalam konteks ini, berkomunikasi dapat menjalin silaturrahim dan Islam melarang umatnya untuk memutus silaturrahim, sebagaimana sabda Rasulullah “tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturrahim” (HR. Muttafaq Alaihi). Dari penjelasan di atas, istilah qaulan maysura merupakan proses komunikasi tatap muka yang menampilkan ucapan yang lemah lembut dan memelihara keharmonisan antar komunikator. Sejalan dengan qaulan maysura, yakni menampilkan ucapan yang lemah lembut, al-qur’an juga menggunakan perkataan qaulan layyina. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat Thaha (20) ayat 44:
ﺸﻰ َ ﻓَـ ُﻘﻮﻻ ﻟَﻪُ ﻗَـ ْﻮﻻ ﻟَﻴﱢـﻨًﺎ ﻟَ َﻌﻠﱠﻪُ ﻳَـﺘَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮ أ َْو ﻳَ ْﺨ Artinya: “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Ayat ini berbicara tentang perintah Allah swt kepada Musa dan Harun agar pergi
menemui
Fir’aun
untuk
menyampaikan
ayat-ayat
Allah
dengan
menggunakan kata-kata yang lembut. Istilah layyina digunakan untuk menunjuk perilaku anggota badan, seperti dinyatakan dalam surat an-Nur ayat 10 yang berkaitan dengan struktur fisik dan surat al-Imran ayat 159 yang berkaitan dengan kondisi hati. Dengan demikian, perkataan qaulan layyina berarti perkataan lemah lembut yang disertai sikap dan perilaku yang juga lemah lembut. Apalagi konteks ayat tersebut, Musa dan Harun harus menghadap kepada penguasa yang tiran. Jika
6
Mafri Amir, Etika Komunikasi…..hlm. 90.
46
tidak digunakan kata-kata yang lemah lembut dikhawatirkan akan menimbulkan kemarahan. Dari ayat tersebut bisa diambil pelajaran dalam etika berkomunikasi kepada para pemimpin khususnya dan masyarakat luas pada umumnya bahwa berkomunikasi perlu menggunakan kata-kata yang lemah lembut, tidak menggunakan nada-nada yang tinggi, emosional, dan mencaci maki orang lain. Luqman mengingatkan kepada anaknya “kalau bicara dengan manusia lunakkan suaramu karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai” (QS. Luqman ayat 19). Selanjutnya, istilah qaulan lainnya yang dibahas dalam al-Qur’an adalah qaulan baligha, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 63:
ِ أُوﻟَﺌِ َ ﱠ ض َﻋ ْﻨـ ُﻬ ْﻢ َو ِﻋﻈ ُْﻬ ْﻢ َوﻗُ ْﻞ ﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ أَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ِﻬ ْﻢ ﻗَـ ْﻮﻻ ْ ﻳﻦ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ َﻣﺎ ﻓِﻲ ﻗُـﻠُﻮﺑِ ِﻬ ْﻢ ﻓَﺄَ ْﻋ ِﺮ َ ﻚ اﻟﺬ ﺑَﻠِﻴﻐًﺎ Artinya: “mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasehat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya” Ayat tersebut membicarakan tentang perilaku orang munafik yang menghalangi orang lain untuk mematuhi hukum Allah. Untuk menegur atau memberi peringatan kepada orang munafik agar tidak melakukan hal yang demikian, maka al-Qur’an mengajarkan agar menggunakan qaulan baligha. Istilah baligha artinya sampai atau jelas. Jadi perkataan qaulan baligha berarti perkataan yang jelas dan dapat menyentuh hati orang yang diajak berkomunikasi. Menurut Jalaluddin Rakhmat, pengertian qaulan baligha memiliki dua makna: pertama, qaulan baligha terjadi bila pembicara menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya. Kedua, qaulan baligha terjadi bila pembicara menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus. 7
7
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, (Bandung: Mizan), 1996, hlm. 83.
47
Terakhir adalah qaulan tsaqila (QS. 73: 35) yang berarti perkataan yang berbobot. Suatu perkataan dipandang berbobot apabila perkataan itu mampu memberikan jalan keluar dari problematika kehidupan. Dengan shalat tahajud, kita akan memiliki kekuatan spiritual. Kedekatan kita kepada Allah menjadikan kita memiliki kontak langsung dengan-Nya sehingga Allah menurunkan kemampuan kepada kita yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dari penjelasan tentang qaulan diatas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman dalam berkomunikasi yaitu: Pertama, istilah qaulan digunakan oleh alQur’an dalam konteks komunikasi lisan, khususnya komunikasi interpersonal. Tidak ada satu ayat pun yang bisa dimaknai lebih luas dalam konteks komunikasi massa. Kedua, istilah qaulan digunakan oleh al-Qur’an dalam konteks etika berkomunikasi antar individu baik terhadap orang yang berbeda paham (keyakinan), kalangan tertindas (lemah), dengan penguasa, dan bahkan dengan Tuhan. Ketiga, etika berkomunikasi antar individu yang perlu dikembangkan adalah: berkata dengan jelas, mudah dipahami, lemah lembut, berbobot, dan efektif. Keempat, dalam menyampaikan perkataan hendaknya juga diiringi dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal dan lokal. 3. An-Naba Kata an-naba, menurut M. Quraish Shihab, hanya digunakan untuk berita yang penting, berbeda dengan kata khabar yang pada umumnya digunakan juga untuk berita-berita sepele. Bahkan sementara ulama menyatakan bahwa berita baru dinamai ‘naba apabila mengandung manfaat besar dalam pemberitaannya, adanya kepastian atau paling tidak dugaan besar tentang kebenarannya. 8 Penyifatan an-naba dengan kata al-adzim (QS. 78: 2) menunjukkan bahwa berita tersebut bukanlah hal biasa, tetapi luar biasa bukan saja pada peristiwanya tetapi juga pada kejelasan dan bukti-buktinya, sehingga mestinya ia tidak dipertanyakan lagi. Memang bukti-bukti tentang keniscayaan kiamat sungguh sangat jelas (QS. 10: 23).
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati), 2007, hlm. 6.
48
Demikian juga Allah memberitahu (qad nabbaanallah) nabi Muhammad bahwa berita (khabar) yang dibawa orang munafik itu bohong berkaitan dengan alasannya tidak ikut berperang (QS. 9: 94). Dalam konteks ayat tersebut menunjukkan bahwa an-naba mengandung berita yang penting dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal yang sama juga dinyatakan dalam alQur’an al-Tahrim ayat 3 yang menyatakan bahwa Allah memberitahu kepada Nabi Muhammad (qala nabbani) tentang rahasia yang sedang dibicarakan sebagian isteri Rasulullah. Demikian juga, Allah memberitahu kepada Yusuf bahwa Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan itu kepada mereka (saudara-saudaranya), sedang mereka tidak menyadarinya (QS. 12: 15). Oleh karena itu ketika ada berita dari orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah dengan mengatakan bahwa sesembahan mereka dapat menolong mereka di hadapan Allah (QS. 10: 18) merupakan berita yang diragukan kebenarannya dan itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Dari berbagai keterangan dari al-Qur’an jelaslah bahwa makna an-Naba berkaitan
dengan
berita
yang
valid
atau
bisa
dipertanggungjawabkan
kebenarannya, terutama berita-berita yang berasal dari Allah, baik menyangkut kebangkitan di akhirat dan segala prosesinya maupun berita-berita yang terkait dengan kehidupan manusia. 4. Mujadalah (dialog) Secara bahasa, kata mujadalah berasal dari kata jaadala yang berarti berdebat, berbantah dengan, atau bertengkar dengan. Sedangkan kata mujadalah sendiri berarti perdebatan. 9 Kata mujadalah sinonim dengan kata munajaah, munadharah, muhawarah, dan mughalabah. Di dalam al-Qur’an, istilah mujadalah lebih banyak disebutkan dalam bentuk kata kerja yujadilu atau tujadilu dan tidak satu pun menyebut secara langsung term mujadalah. Ada kurang lebih 29 ayat yang menyebut kata mujadalah beserta ramifikasinya. Dari sekian ayat tersebut, makna umumnya lebih pada pembantahan manusia terhadap kebenaran dan eksistensi Tuhan.
9
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak), t.t, hlm. 189.
49
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling banyak membantah atau menentang (QS. 18: 54). Sebagai buktinya, umat nabi Nuh membantah kerasulan Nuh dengan tujuan untuk melenyapkan kebenaran yang ada (QS. 40: 5). Demikian pula, orang-orang kafir membantah tentang kehadiran rasul, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 56:
ِ ﺎد ُل اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ َﻛ َﻔﺮوا ﺑِﺎﻟْﺒ ِ ِ ُ ﺎﻃ ِﻞ ﻟِﻴ ْﺪ ِﺣ ِ ِ ﺸ ِﺮﻳﻦ وﻣ ْﻨ ِﺬ ِرﻳﻦ وﻳﺠ ْﺤ ﱠﻖ َ ﻀﻮا ﺑِﻪ اﻟ ُ َ ُ َ َ ُ َ َ ُ َ َ ﻴﻦ إِﻻ ُﻣﺒَ ﱢ َ َوَﻣﺎ ﻧُـ ْﺮﺳ ُﻞ اﻟ ُْﻤ ْﺮ َﺳﻠ َواﺗﱠ َﺨ ُﺬوا آﻳَﺎﺗِﻲ َوَﻣﺎ أُﻧْ ِﺬ ُروا ُﻫ ُﺰًوا Artinya: “Dan kami tidak mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, tetapi orang yang kafir membantah dengan (cara) yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran) dan mereka menjadikan aya-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan terhadap mereka sebagai olok-olokan”. Bantahan manusia bukan hanya terhadap rasul utusan Tuhan, tetapi manusia juga melakukan bantahan tentang Allah. Padahal mereka tidak memiliki pengetahuan, tanpa petunjuk, tanpa wahyu, dan hanya mengikuti syetan (QS. 22: 3 dan 8). Mengingat berbantahan itu menjadi sifat dasar yang dimiliki oleh manusia, maka Allah memerintahkan kepada manusia melakukan mujadalah (berbantahan atau perdebatan) dengan cara yang ihsan atau yang terbaik (QS. 16:125). Karena itu, diperlukan adanya kaifiyat (tata cara) bermujadalah. Nani Machendrawaty dan Aef Kusnawan menulis satu buku tentang Kaifiyat Mujadalah yang didalamnya menjelaskan tentang tatacara berdiskusi dan berdebat baik secara lisan maupun tulisan. Dalam konteks komunikasi Islam, mujadalah merupakan bentuk dialog atau perdebatan baik secara lisan maupun tulisan yang diikat oleh etika yang bersifat ahsan (yang terbaik). 5. Iqra (baca) Kata iqra berasal dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Di dalam kamus kata qara’a diartikan dengan beragam makna, yaitu: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui
50
ciri-ciri sesuatu dan sebagainya, yang ke semuanya bermuara pada arti menghimpun. 10 Dalam al-Qur’an kata qaraa banyak disebutkan berkaitan dengan pembacaan terhadap al-Qur’an atau membaca kitab lainnya “maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kita sebelummu….” (QS. 10: 94). Berbeda dengan makna qaraa pada umumnya yang terkait dengan membaca al-Qur’an atau kitab, pada kata iqra yang ada di dalam surat al-alaq ayat pertama tidak terkait dengan membaca al-Qur’an atau kitab dan bahkan tidak menunjukkan adanya objek bacaan. Karena itu, para ulama tafsir menafsirkan ayat tersebut berarti membaca apa saja yang bisa terjangkau, baik berupa bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 11 Untuk bisa membaca dengan baik manusia dilengkapi dengan berbagai peralatan yang ada dalam diri manusia. Mata merupakan salah satu alat indera yang amat penting dalam membaca. Pada konteks ini, Allah banyak menyinggung peran mata dalam kehidupan manusia. Seperti firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 179:
ِ ﻮب ﻻ ﻳـ ْﻔ َﻘ ُﻬﻮ َن ﺑِ َﻬﺎ وﻟَ ُﻬﻢ أَ ْﻋﻴﻦ ﻻ ﻳـ ْﺒ ِ وﻟََﻘ ْﺪ َذرأْﻧَﺎ ﻟِﺠ َﻬﻨﱠﻢ َﻛﺜِﻴﺮا ِﻣﻦ اﻟ ِ ْْﺠ ﱢﻦ َواﻹﻧ ﺼ ُﺮو َن ُ ٌُ ْ َ َ ٌ ُﺲ ﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻗُـﻠ َ َ ً َ َ َ ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْﻐَﺎﻓِﻠُﻮ َن َ ِﺿ ﱡﻞ أُوﻟَﺌ َ ِﺑِ َﻬﺎ َوﻟَ ُﻬ ْﻢ آ َذا ٌن ﻻ ﻳَ ْﺴ َﻤﻌُﻮ َن ﺑِ َﻬﺎ أُوﻟَﺌ َ َﻚ َﻛﺎﻷﻧْـ َﻌ ِﺎم ﺑَ ْﻞ ُﻫ ْﻢ أ Artinya: “Dan sungguh akan kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayatayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah”.
10 11
Lihat Ahmad Warson MUnawir, Kamus….hlm. 1184-1185 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol. 15, hlm. 393.
51
Selain menggunakan term a’yun (ainun), al-Qur’an juga seringkali menyebut term al-abshar dan ramifikasinya untuk mengartikan mata. Dari term alabshar tersebut, makna melihat bukan hanya menggunakan mata secara fisik tetapi memerlukan analisa secara batiniah (mata hati), seperti kita diperintahkan untuk menganalisa diri kita sendiri “wa fi anfusikum apala tubshirun” (QS. 51:21). Berbeda dengan al-abshar, al-Qur’an juga menggunakan kata nadzara untuk mengartikan penglihatan, lagi-lagi konteksnya pada analisa yang memerlukan penelitian secara ilmiah, “apala yandzuruna ilal ibili kaifa khuliqat…” (QS. 88: 17-20). Alat bantu lain yang dipergunakan oleh manusia untuk membaca adalah aqal. Makna aqal pun bersifat musytarak atau memiliki banyak makna. Secara umum al-Qur’an mengartikan aqal dalam konteks penggunakan rasio/budi/otak manusia. Aqal membantu bacaan manusia untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran atau persepsi. Seperti manusia yang berakal diminta oleh Allah untuk memperhatikan penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam sebagai tanda kekuasaan Allah (QS. 3: 191-192). Selanjutnya, hati juga dipergunakan sebagai alat bantu membaca. Al-Qur’an menyatakan dalam surat Muhammad ayat 24:
ٍ ُأَﻓَﻼ ﻳَـﺘَ َﺪﺑﱠـﺮو َن اﻟْ ُﻘ ْﺮآ َن أ َْم َﻋﻠَﻰ ﻗُـﻠ ﻮب أَﻗْـ َﻔﺎﻟُ َﻬﺎ ُ Artinya: “Maka tidaklah mereka menghayati al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci”. Dalam konteks ayat tersebut, manusia diminta untuk mengkaji al-Qur’an atau mengkaji ayat Allah yang ada di alam semesta, salah satunya dengan menggunakan hati. Hati biasanya dipergunakan untuk membaca hal-hal yang bersifat intuisi, perasaan maupun pengalaman-pengalaman yang bersifat eksitensial ataupun pribadi. Dengan demikian, manusia dalam membaca ayat qauliyah maupun ayat kauniyah memerlukan bantuan dari mata, aqal, dan hati. Dengan memaksimalkan ketiga potensi terebut akan dihasilkan bacaan yang komprehensif dan universal.
B. Pengertian Ilmu Komunikasi Islam
52
Untuk memberi pengertian tentang ilmu komunikasi Islam bukanlah perkara yang mudah. Paling tidak, ada dua alasan yang mendasarinya; Pertama, ada perbedaan dalam membahasakan term komunikasi ke dalam bahasa Arab. Ada yang mengatakan al-ittishal, 12 al-i’lam, 13 dan tabligh. 14 Perbedaan ini akan berimplikasi pada sulitnya pencarian key word yang ada di dalam rujukan Islam (Al-Qur’an maupun al-hadits). Sementara, al-Qur’an sendiri mempunyai termterm yang begitu variatif ketika berbicara komunikasi. Kedua, ilmu komunikasi merupakan ilmu yang serba ada dan serba mencakup sehingga wilayah kajian komunikasi begitu luas. Karenanya penulis agak kesulitan untuk memotret makna dan hakekat komunikasi secara lebih detail. Untuk
mengatasi
kesulitan
tersebut,
penulis
mencoba
melokalisir
pemahaman tentang komunikasi dengan mengutip pendapat Lee Thayer bahwa ada empat definisi komunikasi yang dianggap representatip, yaitu: 1. Communication is the prosess of effecting an interchange of understanding between two or more people. (Komunikasi adalah proses pertukaran pemahaman antara dua orang atau lebih secara efektif). 2. Communication is the mutual interchange of ideas by any effective means. (Komunikasi adalah pertukaran pemahaman tentang ide-ide atau gagasangagasan untuk menghasilkan makna yang tepat) 3. “….the imparting or interchange of thoughts, opinions, or information by speech, writing, or signs”. (Penanaman atau pertukaran pikiran, opini, atau informasi melalui ucapan, tulisan atau tanda) 4. Communication is the arrangement of environmental stimuli to produce certain desired behavior on the part of the organism (komunikasi adalah pengaturan stimulus lingkungan untuk menghasilkan perilaku yang dikehendaki pada suatu organism). 15 12
Istilah ittishal yang berarti informasi/komunikasi banyak digunakan dalam nomenklatur yang dipakai oleh perguruan tinggi seperti UIN Jakarta yang menggunakan istilah Fakulti da’wah wa al-ittishal. 13 Istilah al-I’lam digunakan oleh Taufik al-Wa’I untuk membedakannya dengan istilah dakwah Islam. Lihat Taufik al-Wa’I, al-Da’wah ila Allah, …hlm. 427. 14 Istilah Tabligh digunakan oleh Hamid Mowlana dalam bukunya Global Communication in Transition the End of Diversity?, (London: Sage Publications), 1996. 15 Lee Thayer, Communication and communication systems, (Illinois: Richard D Irwin,inc), 1968, hlm. 13.
53
Dari empat definisi tersebut, ada tiga kata kunci berkaitan dengan komunikasi yaitu: Pertama, adanya saling pengertian antara pengirim pesan dengan penerima pesan. Kedua, adanya pertukaran ide, gagasan atau informasi baik secara lisan, tulisan maupun tanda. Ketiga, adanya perubahan perilaku akibat dari proses komunikasi. Berdasarkan penjelasan di atas berarti komunikasi dipahami sebagai proses pengiriman informasi yang saling memahami sehingga terbentuk gagasan, ide, opini, dan perilaku yang diinginkan. Pemahaman ini sejalan dengan pengertian komunikasi yang disampaikan oleh Carl I. Hovland dalam karyanya “Social Communication” yang memunculkan istilah “Science of Communication” yang ia definisikan sebagai suatu upaya sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya asas-asas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap”. 16 Pemahaman komunikasi seperti yang dikemukakan di atas dan beberapa definisi lain, menunjukkan bahwa komunikasi yang ada di Barat atau komunikasi non-Islami cenderung mengabaikan nilai atau etika sehingga perubahan dari proses komunikasi hanya bersifat alamiah. Padahal etika merupakan unsur yang amat penting untuk mengarahkan dan membimbing para pelaku dalam mensukseskan proses komunikasi. Oleh karena itu, Islam melihat kelemahan ini menjadi titik masuk untuk mengembangkan ilmu komunikasi Islam. Pentingnya etika dalam komunikasi Islam dinyatakan oleh Zulkiple Abd. Ghani dan Mohd Safar Hasim “Ethics becomes a core principle in designating communication function, and verifying the end products unders the religious doctrine of ‘enjoining what is good and forbidding what is evil”. 17 A. Muis juga mengakui bahwa perbedaan antara komunikasi Islam dengan komunikasi non-Islami terletak pada etika yang berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits. 18 Selain itu, komunikasi yang ada di Barat atau komunikasi non-Islami dalam kajian epistemologi ilmunya kurang mengapresiasi realitas yang bersifat metafisik sehingga sumber kebenaran yang berasal dari intuisi dan wahyu tidak 16
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori,…..hlm. 13. Zulkiple Abd. Ghani and Mohd Safar Hasim, “Islamic Values and Ethics in Communication”, Islamiyyat 25 (1), 2004, p. 61-69. 18 A. Muis, Komunikasi Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2001, hlm. 34. 17
54
mendapatkan tempat. Implikasi dari pemahaman tersebut, komunikasi transenden atau komunikasi manusia dengan Tuhan atau hal-hal yang ghaib tidak menjadi bahasan dalam komunikasi non-Islami. kenyataannya, secara naluriah semua manusia membutuhkan kehadiran dan peran Tuhan dalam kehidupannya. Diakui atau tidak, eksistensi dan peran Tuhan tidak bisa diabaikan begitu saja. Adanya alam semesta, kematian, dan utusan Tuhan merupakan bukti-bukti nyata tentang adanya Tuhan di muka bumi ini. Pada titik kelemahan ini sebenarnya para ilmuwan Muslim telah mengajukan alternatif dalam membangun epistemologi Islam. Bertitik tolak dari kelemahan-kelemahan tersebut, penulis sepakat dengan definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Kamal al-din Ali Yusuf tentang komunikasi Islam yakni “tindakan menyampaikan informasi, gagasan-gagasan dan sikap-sikap yang benar dan akurat menurut Islam” (the act of transmitting ma’lumat (information, ideas and attitudes) which are true and accurate according to Islam). definisi tersebut selain mengandung unsur etika dan landasan filosofinya, juga tidak terlepas dari makna komunikasi yang dikemukakan oleh Carl. I Hovland.
C. Ilmu Komunikasi Islam dan Ilmu Dakwah Hamid Mowlana bisa dikatakan sebagai tokoh awal dalam menggagas komunikasi Islam. beberapa tulisannya telah dipublikasikan sejak tahun 1979. Beliau bukan saja menggagas tentang perbedaan antara komunikasi Islam dengan komunikasi Barat, tetapi juga mengkaji tentang model masyarakat Islam yang berbeda dengan masyarakat Barat. Komunikasi dan masyarakat Islam yang dibahas Mowlana berdasarkan pengalaman revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979. Konsep yang dikembangkan oleh Mowlana berkaitan dengan komunikasi Islam adalah konsep Tabligh. Istilah tabligh tidak dipahami dalam pengertian propaganda seperti halnya pemahaman Barat. Tabligh bagi Mowlana merupakan sebuah forum umum untuk berpartisipasi dalam sharing kebudayaan. Forum tersebut dibangun berdasarkan empat prinsip dasar dalam ajaran Islam
55
yaitu prinsip tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, ummah, dan taqwa. 19 Keempat prinsip inilah yang melandasi bangunan komunikasi Islam. Kajian komunikasi Islam yang dilakukan oleh Mowlana tersebut telah menginspirasi beberapa kajian lanjutan tentang komunikasi Islam baik yang terjadi di Malaysia, Indonesia dan belahan dunia lainnya. Di sisi lain, pada tahun 1970an juga berkembang kajian tentang ilmu dakwah, khususnya di Indonesia. Kajian ilmu dakwah didasari dari kebutuhan perguruan tinggi dalam melegitimasi keberadaan Fakultas/Jurusan Dakwah dan sekaligus dapat menjawab problematika dakwah serta mengorganisir kegiatan dakwah yang semakin berkembang di masyarakat. Kajian dakwah yang semula cenderung pada kajian-kajian yang bersifat deduktif (normatif-doktriner), mulai merambah pada kajian-kajian yang bersifat induktif dari fenomena sosial yang ada di dalam kehidupan umat Islam. Sekarang ini, studi dakwah Islam sudah menggunakan berbagai pendekatan yang berasal dari ilmu-ilmu sosial, seperti psikologi, komunikasi, manajemen, sosiologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 20 Adanya dua perkembangan ilmu tersebut tentunya amat menggembirakan kita selaku umat Islam. selanjutnya, ketika kedua ilmu tersebut bertemu dalam era kekinian, pertanyaan yang muncul dikalangan ilmuwan muslim, apakah kedua ilmu tersebut sama ataukah berbeda. Jika terjadi kesamaan dan perbedaan, dimana letak persamaan dan perbedaan kedua ilmu tersebut? Asep Saeful Muhtadi merupakan salah seorang yang berpendapat bahwa ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi berbeda baik dalam tataran teoritis maupun secara praktis. Lebih lengkapnya beliau menyatakan: “Dalam konteks ilmu, kedua istilah itu berbeda. Komunikasi dan dakwah merupakan satu disiplin ilmu tersendiri: ilmu komunikasi dan ilmu dakwah, keduanya memiliki objek masing-masing, baik objek formal maupun objek material. Secara etimologis, keduanya juga berbeda. Komunikasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, to communicate atau dalam bentuk kata bendanya communication yang secara sederhana berarti menyampaikan. 19
Lihat Gholam Khiabany, “De-westernizing media Theory, or reverse orientalism: Islamic Communication as theorized by Hamid Mowlana”, Dalam Media, Culture & Society Vol. 25, (London: Sage Publications), 2003, p. 415-422. 20 Untuk mengetahui perkembangan kajian dakwah dan komunikasi yang berkembang di Indonesia bisa dibaca dalam rekaman kegiatan ACIS yang diadakan setiap Tahun oleh Kementerian Agama RI melalui tulisan Waryani Fajar Riyanto, Studi Islam Indonesia (19502014), (Solo: Kurnia Kalam Semesta dan STAIN Pekalongan Press), 2014, hlm. 495-504.
56
Sedangkan dakwah berasal dari bahasa arab, da’a, yad’u da’watan, yang berarti memanggil. “Menyampaikan” dengan “memanggil” tentu berbeda. Keduanya memiliki konsep sendiri-sendiri. Secara sederhana bukti perbedaan itu juga dapat ditelusuri dari sisi pengalihbahasaan kedua kata itu. Jika communication (bahasa Inggris) diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia tidak serta merta menjadi da’wah. Atau sebaliknya, jika kata da’wah (bahasa Arab) diterjemahkan ke dalam bahas Inggris, ia pun tidak menjadi communication”. 21 Adanya perbedaan tersebut yang mendasari Asep Saeful Muhtadi selanjutnya menulis dan mengembangkan istilah komunikasi dakwah. Maksud dari istilah tersebut adalah menyoroti aktivitas dan teori dakwah dalam perspektif komunikasi. Sebelum Muhtadi, istilah komunikasi Dakwah juga diperkenalkan oleh Toto Tasmara (1997). Menurut beliau, dakwah merupakan komunikasi khusus dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Istilah komunikasi dakwah selanjutnya dipertanyakan oleh Iswandi Syahputra. Menurutnya, dakwah tidak dapat disebut dengan komunikasi dakwah, dalam pengertian memasukkan dakwah ke dalam ranah keilmuan komunikasi. Karena ilmu komunikasi memiliki struktur dan tradisi keilmuan sendiri. Ilmu komunikasi telah melewati suatu proses ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang cukup panjang dan mendalam. Kemudian dalam tradisi dan literatur ilmu komunikasi tidak dikenal istilah komunikasi dakwah. Untuk itu, Syahputra mengusulkan istilah komunikasi profetik yang diakui juga tidak ada dalam literatur ilmu komunikasi. 22 Maksud dari komunikasi profetik adalah komunikasi kenabian yang sarat dengan nilai dan etika. Komunikasi profetik yang dikemukakan oleh Syahputra lebih berorientasi pada kajian komunikasi pada umumnya dan kurang mengaitkan dengan dakwah sehingga tulisan ini tidak bisa dijadikan pedoman untuk mengkaji lebih jauh korelasi antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi. Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua hal penting yang perlu diperjelas terkait dengan perbedaan antara ilmu komunikasi Islam dengan ilmu dakwah yaitu: 21
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2012, hlm. 7. 22 Iswandi Syahputra, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan, (Bandung: simbiosa Rekatama Media), 2007, hlm. 217.
57
Pertama, penulis sepakat dengan pernyataan Muhtadi yang membedakan ilmu komunikasi dengan ilmu dakwah secara etimologis. Tetapi penulis ingin menambahkan bahwa perbedaan etimologis tersebut berimplikasi pada perbedaan pemaknaan antara komunikasi dengan dakwah. Menurut al-Bayanuni, “dakwah adalah
menyampaikan
Islam
kepada
manusia,
mengajarkannya,
dan
mempraktekkannya dalam kehidupan”. Dari definisi tersebut berarti dakwah bukan hanya sekedar menyampaikan atau memanggil saja, tetapi lebih jauh ada internalisasi dan transfomasi dalam ucapan, gagasan, tindakan maupun sikap. Karenanya, perubahan dan keteladan (uswah hasanah) menjadi unsur penting dalam aktivitas dakwah. Pemahaman dakwah bukan hanya proses penyampaian saja didasarkan pada pernyataan al-Qur’an dalam surat Fushshilat ayat 33:
ِ ِ َ َوﻣﻦ أَﺣﺴﻦ ﻗَـﻮﻻ ِﻣ ﱠﻤﻦ دﻋﺎ إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ وﻋ ِﻤﻞ ﺻﺎﻟِﺤﺎ وﻗ ِِ ﻴﻦ ََ ْ ْ ُ َ ْ ْ ََ َ ً َ َ ََ َ ﺎل إِﻧﱠﻨﻲ ﻣ َﻦ اﻟ ُْﻤ ْﺴﻠﻤ Artinya: “dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah da mengerjakan kebajikan dan berkata ‘sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)”. Dari pengertian tersebut, Taufik al-Wa’i mengklasifikasikan beberapa kegiatan yang masuk dalam da’wah bil-qaul dan da’wah bil-‘amal. Khutbah, pembelajaran/majelis taklim, muhadharah, perdebatan, dan amar ma’ruf nahi munkar merupakan aktivitas dakwah yang masuk dalam da’wah bil-qaul. Sedangkan pada da’wah bil-‘amal, al-wa’i memasukkan qudwah hasanah (keteladanan), manajemen masjid, manajemen majelis taklim, dan manajemen perguruan tinggi. Sementara dalam ilmu komunikasi, termasuk dalam ilmu komunikasi Islam, pengertiannya lebih menunjukkan pada penyampaian informasi saja, tidak melibatkan proses internalisasi dan transformasi. Kalau pun terjadi internalisasi dan transformasi lebih disebabkan karena adanya proses komunikasi. Artinya internalisasi dan transformasi merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam proses komunikasi. Kedua, Dalam ilmu dakwah terdapat empat paradigma yaitu tabligh (Komunikasi dan Penyiaran Islam), irsyad (Bimbingan dan Konseling Islam), tadbir (Manajemen Dakwah), dan tathwir (Pengembangan Masyarakat Islam).
58
Keempat paradigma tersebut dalam proses pengembangannya diperkuat oleh ilmu komunikasi, Psikologi dan Konseling, Manajemen, dan Sosiologi. Keempat paradigma tersebut memiliki wilayah kajian yang berbeda-beda. Sedangkan ilmu komunikasi Islam, menurut penulis, bisa dibangun dari dua paradigma saja yaitu tabligh dan irsyad., yakni proses penyampaian ajaran Islam secara massal atau individual serta untuk kelompok kecil. Dengan demikian, ilmu komunikasi Islam merupakan bagian dari ilmu dakwah, yang secara khusus mengkaji tentang pengiriman pesan dari da’I kepada mad’u secara akurat dan benar berdasarkan ajaran Islam. Ilmu bantu yang dapat digunakan adalah komunikasi publik, komunikasi massa, psikologi, konseling, komunikasi antar individu, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi intrapersonal.
D. Objek Kajian Ilmu Komunikasi Islam Ada beberapa syarat agar suatu disiplin ilmu dipandang mampu berdiri sendiri, yaitu memiliki objek tersendiri, bersifat empiris, sistematis, universal, dapat diverifikasi dan mempunyai nilai guna bagi kehidupan manusia. Dari persyaratan tersebut, ilmu komunikasi Islam tidak jauh berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Artinya ilmu komunikasi Islam telah memenuhi persyaratan sebagai ilmu yang mandiri. Mengingat ilmu komunikasi Islam bertitik tolak dari ilmu komunikasi yang diperkuat melalui landasan filosofi (paradigma) yang bersumber dari ajaran Islam dan diperkuat pula oleh etika yang bersandar dari alQur’an dan al-Hadits. Hal yang membedakan ilmu komunikasi Islam dengan ilmu-ilmu lainnya pada objek dari ilmu tersebut. Pada objek material, ilmu komunikasi Islam mengkaji aktivitas manusia. Manusia yang dikaji dalam ilmu komunikasi Islam tentunya manusia yang ada dalam perspektif Islam. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (QS. 95: 4). Kesempurnaan manusia bukan hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi manusia juga diberikan kelebihan dalam unsur rohaniah, seperti adanya nafsu, hati, akal, jiwa, dan ruh. Dengan kesempurnaan tersebut, manusia dapat menjalankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah.
59
Dalam konteks komunikasi, manusia dalam perspektif Islam adalah manusia yang mampu berkomunikasi dengan dirinya, sesama manusia, dengan alam semesta dan bahkan bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Melalui panca indera, akal, dan hati, manusia mampu melakukan berbagai komunikasi yang diperlukan untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, ilmu komunikasi Islam ketika mengkaji komunikasi manusia tidak hanya terbatas pada komunikasi yang bersifat horizontal saja, tetapi diperlukan juga kajian komunikasi yang bersifat vertikal. Inilah yang membedakan komunikasi Islam dengan komunikasi yang ada di Barat. Selain itu, objek ilmu komunikasi Islam yang berbeda dengan ilmu sosial lainnya pada objek formal. objek formal ilmu komunikasi Islam adalah pesanpesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (komunikator) berdasarkan kepada Al-Quran dan Al-Sunah. secara umum, pesan yang ada dalam ilmu komunikasi non-islam dengan komunikasi Islam tidak ada perbedaan. Hanya saja pesan yang ada dalam komunikasi Islam perlu mendapatkan penguatan dari nilainilai yang ada di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Artinya pesan yang disampaikan tidak mengandung unsur-unsur yang bisa melanggar etika maupun norma-norma agama dan masyarakat. Pesan-pesan yang disampaikan mengandung unsur kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan oleh seorang komunikator.
60
BAB IV EPISTEMOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti cara dan “logos” yang berarti ilmu. Dengan demikian, epistemologi berarti ilmu atau pengetahuan tentang cara. Pengertian yang lain disampaikan oleh Jujun S, Suriasumantri, bahwa epistemologi adalah sebuah langkah yang dilakukan dalam teori ilmu pengetahuan yang biasanya mempertanyakan tentang bagaimana mendapatkan pengetahuan dan menyusunnya dengan benar. Sehingga dapat menjawab permasalahan mengenai dunia empiris sekaligus dapat meramalkan dan mengontrol gejala alam. Kajian epistemologi bersangkutan dengan filsafat ilmu yang mencakup sumber (struktur), metode (method), esensi, dan validitas kebenaran ilmu pengetahuan (validity of knowledge). Dengan demikian dapat dipahami, bahwa epistemologi ilmu komunikasi Islam adalah berupa kajian filosofis tentang sumber, metode, esensi dan validitas ilmu komunikasi Islam. Posisi sumber menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam. Sedangkan metode menguraikan cara mendapatkan ilmu tersebut dari sumbernya. Sementara esensi memaparkan tentang hal-hal yang menjadi karakter ilmu komunikasi, dan validitasnya mengkaji verifikasi komunikasi Islam dari segi scientific. Berikut ini uraian tentang epistemologi ilmu komunikasi Islam sebagai berikut:
A. Prinsip-Prinsip Komunikasi Islam Menurut Hamid Mowlana, ada empat prinsip utama dalam komunikasi Islam, 1 yaitu: 1.
Prinsip Tauhid Prinsip tauhid merupakan prinsip yang fundamental dalam komunikasi
Islam. Prinsip ini mengajarkan tentang konsep kesatuan, koherensi, dan harmoni
1
Hamid Mowlana, Global Communication in Transition, (London: Sage Publications), 1996, p. 119-126. Lihat juga, Hamid Mowlana, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Reasearch, 3 (4), 2007, p. 23-33.
61
di antara seluruh ciptaan Tuhan yang ada di alam semesta. Semua ciptaan Tuhan (makhluk) berasal dari Allah. Karena itu, manusia hendaknya dibebaskan dari segala perbudakan yang ada. Tidak boleh manusia mensekutukan Tuhan dengan makhluk ciptaan Tuhan. Prinsip Tauhid juga membebaskan manusia dari segala kedaulatan atau kekuasaan seseorang atau kelompok. Karenanya, seluruh hukum manusia, isi komunikasi, media massa, dan segala macam bentuk forum atau kegiatan yang membatasi kekuasaan Tuhan hendaknya ditolak. Dengan berdasarkan prinsip tauhid ini, seluruh kegiatan dan etika dalam komunikasi Islam akan jelas arahannya. Segala bentuk kegiatan yang dapat merusak aqidah umat Islam hendaknya ditolak. Dalam hal ini fungsi dari komunikasi Islam adalah mengarahkan atau menyampaikan kepada manusia agar dirinya terbebas dari segala macam berhala yang membelenggu mereka, menghindari dari ketergantungan dengan orang lain, dan memotivasi untuk mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih baik. Kemudian, media massa islam juga diarahkan untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan Islam dalam konteks universal sehingga ajaran islam bisa diterima oleh semua manusia. 2.
Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar Prinsip amar ma’ruf nahi munkar merupakan prinsip tanggung jawab social
dari seorang muslim. Prinsip ini mengajarkan agar seseorang hendaknya terlibat dalam proses mempersiapkan generasi muslim yang siap untuk menerima ajaran Islam. setiap individu muslim mempunyai tanggung jawab untuk mengajak orang lain (berdakwah kepada orang lain) dengan cara-cara yang diajarkan oleh alQur’an, yakni hikmah, nasehat yang baik, dan berdebat dengan baik (QS. 16:125). Tanggung jawab social ini bukan hanya dibebankan kepada individu muslim saja, melainkan juga institusi-institusi umat, seperti media cetak (pers), radio, televisi, dan film. Dalam konteks komunikasi Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar dapat dijadikan pegangan oleh para pekerja komunikasi Islam. Para pegiat media massa contohnya, mereka tidak hanya menjadikan media massa sebagai lahan untuk bisnis dan media hiburan, tetapi memiliki tanggung jawab social untuk membangun individu dan masyarakat yang lebih Islami.
62
3.
Prinsip Ummah Konsep ummah merupakan konsep yang melampaui batas-batas negara
(konsep nation-state) dan politik. Semua umat Islam adalah bersaudara (QS. 49:10). Dengan konsep ini, fondasi suatu Negara tidak berdasarkan kepada ras, melainkan pada ketaqwaan dan system social Islam, yakni persamaan, keadilan, dan kepemilikan bersama. Tidak ada individu atau kelompok yang bisa mendominasi, mengeksploitasi atau memanipulasi Negara. Ummah sebagai organisasi social menekankan pada kebersamaan dan kolektivitas yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran Islam. selanjutnya, kontrak social antar anggota dan pemimpin menjadi basis utama ummah. Kontrak social dibentuk tidak berdasarkan pada kehendak bebas atau pada pilihan bebas, tetapi berdasarkan pada aturan-aturan yang dikehendaki Allah. Untuk menjaga keharmonisan dan kesatuan ummah, maka diperlukan komunikasi Islam. Fungsi komunikasi islam dalam hal ini bertujuan agar hubungan antara individu, masyarakat, dan Tuhan bisa berjalan dengan baik. 4.
Prinsip Taqwa Secara umum pengertian taqwa adalah “takut kepada Allah” atau
kemampuan seseorang untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat yang berasal dari lingkungan. Jika ditelusuri lebih jauh, makna taqwa bisa melampaui dari arti tersebut. Taqwa bisa menunjukkan pada tingkat kapasitas individual, spiritual, moral, etis dan psikologis seseorang yang lebih tinggi dan terbebas dari keinginan-keinginan material duniawi. Karena di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang melekat dan membebaskan manusia dari sifat-sifat kebinatangan. Jika pengetahuan teknis, kemampuan manajerial, ketrampilan komunikasi, dan sebagainya tidak diikat dengan sifat taqwa yang ada pada dirinya, maka kemampuan-kemampuan kurang mendapatkan legitimasi yang kuat. Bisa jadi satu waktu, pelaku tersebut akan menyimpangkan pesan-pesan komunikasi kepada halhal yang melanggar ajaran Islam. jika pelaku komunikasi dibekali oleh prinsip taqwa, insya Allah mereka akan terbimbing ke dalam jalan kebenaran dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
63
5.
Prinsip Amanah Setiap orang diberikan oleh Allah berupa amanah, baik secara material
maupun secara rohaniah. Agama yang dianut oleh manusia pada dasarnya amanah yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Demikian pula dengan harta, jabatan, dan anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Bahkan, pekerjaan yang sedang kita laksanakan juga merupakan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Kesadaran tentang adanya amanah yang diberikan kepada manusia menjadi dasar penting dalam komunikasi Islam. seorang yang melakukan proses komunikasi atau melakukan pekerjaan komunikasi akan bertindak hati-hati dan penuh perhitungan manakala menyadari bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan merupakan amanah yang diberikan Allah kepadanya. Seorang yang diberikan amanah juga adalah seorang yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab dalam melaksanakan. Tidak mungkin Allah akan memberikan amanah kepada manusia manakala manusia tidak mampu melakukannya. Karena dikatakan sebagai orang yang bodoh dan zalim ketika manusia tidak menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya (QS. 33:72).
B. Paradigma Ilmu Komunikasi Islam Berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam komunikasi Islam seperti yang dijelaskan di atas, setidaknya ada empat paradigma yang bisa dijadikan sandaran dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Pendapat ini penulis elaborasi dari gagasan Muhammad I. Ayish yang menyatakan ada empat paradigma atau perspektif yang membedakan antara komunikasi Islam dengan komunikasi Baratsekuler, 2 yaitu: 1.
Paradigma Individualism-conformity Paham individualis merupakan nilai sentral yang ada dalam Islam, namun
demikian paham tersebut tidak sama dengan paham yang berkembang di Barat. Paham individualis di Barat betul-betul meninggalkan kehidupan sosial atau kelompok. Sementara dalam Islam paham individualisnya tetap menghargai atau mengakui adanya kehidupan sosial atau kelompok. 2
Muhammad I. Ayish, “Beyond Western-Oriented Communication Theories: A Normative Arab-Islamic Perspective”, The Public Vol. 10 (2003), 2, p. 79-92.
64
Berdasarkan paham tersebut, maka komunikasi dalam Islam dipahami sebagai proses yang membebaskan individu dari belenggu yang menghambat manusia dalam membangun kebersamaan dan kolektifitas social. Selain itu, komunikasi Islam juga berperan dalam proses fasilitasi penyatuan individu dalam komunitas yang lebih besar (ummah) baik secara sosial maupun spiritual. 2.
Paradigma transcendentalism-existensialism Ciri khas komunikasi Islam mengakui adanya realitas yang bersifat
transenden dan realitas yang bersifat profane. Realitas yang transenden bersifat sempurna dan absolute, sementara realitas yang profane bersifat tidak sempurna dan relative. Untuk mengetahui realitas yang transenden, manusia menggunakan hati dan inteleknya, sedangkan untuk mengetahui realitas yang profane digunakan melalui indera dan akal. Kedua pengetahuan yang diperoleh manusia tersebut hendaknya sejalan dengan apa yang ada dalam sumber ajaran Islam, yakni alQur’an dan al-Hadits. 3.
Paradigma Intuitive-ratioal processes Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang paling utama bagi seorang
Muslim. Keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran wahyu yang diturunkan Tuhan melalui proses intuisi yang ada di dalam hati manusia. Melalui Wahyu itulah manusia meyakini adanya Tuhan, mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengakui adanya balasan atau hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Selain wahyu yang diakui kebenarannya melalui proses intuisi, umat Islam juga mengakui peran akal yang bersifat rasional dalam memajukan peradaban manusia. Akal merupakan pemberian Tuhan yang paling besar kepada manusia yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya di dunia. Proses pemikiran yang berasal dari akal akan menghasilkan pengetahuan komunikasi yang bersifat rasional dan komprehensif. Pengetahuan rasional yang diperoleh umat Islam tidak dalam pengertian sekuler, tetapi tetap bersandar kepada kebenaran yang berasal dari wahyu. Oleh karena itu, proses pengetahuan komunikasi yang ada dalam Islam disandarkan kepada pengetahuan yang bersifat rasional dan intuitif.
65
4.
Paradigma egalitarian-hierarchical Islam mengakui bahwa semua umat Islam memiliki kedudukan yang sama
dihadapan Tuhan. Ketaqwaanlah yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Jika seseorang dipercaya sebagai pemimpin, tidak dipahami bahwa orang tersebut memiliki kedudukan yang mulia, tetapi ia diberi amanah oleh Tuhan untuk menjalankan amanah tersebut secara adil. Islam tidak mengakui adanya kekuasaan yang bersifat individual (monarki) dan juga kekuasaan yang bersifat kelompok. Semua orang memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Prinsip egalitarian inilah yang menjadi pemandu dalam proses komunikasi Islam, termasuk dalam pengelolaan media massa Islam.
C. Metode Ilmu Komunikasi Islam Metode yang digunakan dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam tidak terlepas pada epistemology yang ada dalam Islam. oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar yang ada dalam epistemology Islam juga berlaku dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. Prinsip-prinsip dasar yang ada di dalam epistemology Islam diantaranya berhubungan dengan konsep manusia, konsep ilmu, dan konsep kebenaran yang dijadikan sandaran dalam pengembangan ilmu. Kedudukan manusia begitu mulia dihadapan Tuhan dan akan diangkat derajatnya manakala manusia tersebut mau mencari dan mengembangkan ilmu. Manusia dengan segala potensi yang dimilikinya mampu mengembangkan ilmu dan peradaban. Indera, akal, dan hati yang diberikan Tuhan kepada manusia dapat dijadikan alat utama dalam memperoleh ilmu. Kejayaan Islam pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah menjadi bukti nyata bahwa umat Islam dapat memaksimalkan potensi dirinya dalam pengembangan ilmu sehingga bisa mencapai puncak kejayaan Islam dalam membangun peradaban. Kemudian ilmu yang dikembangkan oleh manusia tidak semata-mata ingin memuaskan rasa ingin tahu manusia, tetapi lebih jauh digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang memiliki ilmu dalam perspektif Islam adalah orang yang memiliki kedekatan dengan Tuhan. Karenanya, perilaku orang yang berilmu dalam Islam tidak sombong (tawadlu), jujur dalam
66
menyampaikan kebenaran, memiliki tanggung jawab social yang tinggi, dan bersedia untuk mendapatkan kritik atau perbaikan dari orang lain. Bagi ilmuwan muslim, ilmu merupakan pemberian atau anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Pemberian Tuhan bisa saja dicabut atau hilang dari dirinya manakala ia berperilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Oleh karena itu pencarian dan pengembangan ilmu dalam Islam diarahkan dalam kerangka mencari kebenaran dan sekaligus memberikan kemanfaatan pada diri, keluarga dan masyarakat. Kebenaran-kebenaran yang ada dalam Ilmu islam, bukan hanya bersifat empiris sensual saja, melainkan juga pada kebenaran yang bersifat logis, intuitif dan wahyu. Untuk memperoleh kebenaran-kebenaran tersebut, dalam epistemology Islam dan juga digunakan dalam ilmu komunikasi Islam, terdapat empat metode yang sudah teruji validitasnya, yaitu: Pertama, metode bayani. Metode ini dipergunakan untuk memahami atau menganalisis teks-teks untuk mencari makna yang terkandung dalam teks tesebut atau mencari makna dibalik teks tersebut. Metode ini juga digunakan untuk melakukan istinbath hukum (penetapan hukum) terhadap satu atau beberapa permasalahan hukum yang sedang berkembang di masyarakat. Metode bayani merupakan metode klasik yang telah lama dipraktekkan oleh para ahli kalam dan kaum ushulliyun atau ahli hukum. Dalam konteks ilmu komunikasi Islam, metode ini dapat digunakan dalam mengkaji teks-teks komunikasi, khususnya dalam kajian komunikasi massa. Kedua, metode tajribi (observasi atau eksperimen). Metode ini digunakan untuk meneliti objek-objek fisik yang empiris. Alat pokok yang digunakan untuk melakukan eksperimen atau observasi adalah indera. Namun demikian, indera banyak memiliki kelemahan-kelemahan, karenanya memerlukan alat bantu berupa mikroskop, teleskop, dan lain sebagainya. Awalnya, metode ini banyak digunakan oleh para ilmuwan alam. Kemudian dalam perkembangan berikutnya (pada abad ke-19), metode tajribi juga bisa digunakan untuk mengkaji ilmu-ilmu social, termasuk ilmu komunikasi Islam, khususnya oleh kalangan positivisme. Dalam pandangan positivisme, ilmu pengetahuan dapat menggambarkan kenyataan secara apa adanya dan perolehan ilmu pengetahuan hanya melalui metode ilmiah yang objektif. Kedua pandangan kaum positivisme tersebut menjadi lahan kritik
67
bagi kaum post-positivisme. Menurut kaum post- positivisme, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori dan penuh dengan nilai. Kemudian teori tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris karena memungkinkan terjadi anomaly dan hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah. 3 Ketiga, metode burhani. Menurut Mulyadi Kartanegara, metode burhani merupakan salah satu metode rasional atau logis yang paling akurat dan banyak digunakan dalam bidang logika, filsafat, matematika, dan bidang-bidang empiris lainnya. 4 Metode ini pada dasarnya digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis. Tujuan dari metode ini adalah: Pertama, untuk mengatur dan menuntun akal kea rah pemikiran yang benar. Kedua, untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah. Ketiga, untuk member kita sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan. 5 Keempat, metode irfani. Metode ini digunakan untuk menangkap kebenaran yang bersifat intuitif atau hati. Ciri khas dari metode intuitif yaitu: pertama, sifat langsung dalam menangkap objek yang non-empiris melalui pengalaman (merasakan secara langsung pengalaman terhadap objeknya). Kedua, metode intuitif dapat diperoleh melalui pengetahuan yang bersifat hudhuri (kehadiran objek dalam diri si subjek). Ketiga, metode intuitif dapat diperoleh melalui pengalaman “eksistensil” atau pengalaman khusus yang unik tanpa dibatasi oleh ruang, waktu atau kausalitas. 6 Metode ini didasarkan pada kepercayaan bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk menangkap realitasrealitas non-fisik karena manusia juga dikaruni hati. Keempat metode tersebut dapat digunakan dalam pengembangan ilmu komunikasi
Islam.
Belum
banyak
penelitian-penelitian
yang
dapat
mengaplikasikan keempat metode tersebut dalam pengembangan ilmu komunikasi 3
Lihat Katherine Miller, Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts, (London: Mc Graw Hill), 2003, hlm. 35-50. 4 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 56. 5 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…hlm. 56. 6 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar…hlm. 60-61.
68
Islam. oleh karena itu, menjadi tantangan kita bersama untuk mengembangkan ilmu komunikasi Islam dengan menggunakan keempat metode tersebut. Apa yang telah dicapai oleh ilmuwan komunikasi sekuler selama ini belum banyak menyentuh keempat metode tersebut, terutama pada metode yang bersifat irfani.
D. Validitas Ilmu Komunikasi Islam Validitas biasa dikatakan sebagai nilai kebenaran sebuah teori. Kebenaran dalam sebuah ilmu bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak, karena dimungkinkan adanya beragam kebenaran dalam sebuah pengalaman. Menurut Stepehn W. LittleJohn dan Karen A. Foss bahwa validitas sebagai sebuah criteria teori memiliki tiga arti: Pertama, validitas adalah nilai. Validitas ini mengacu pada kepentingan atau keperluan akan teori, apakah teori itu bernilai? Kedua, validitas berarti kesesuaian. Apakah konsep atau hubungan yang ditentukan oleh teori benar-benar dapat diobservasi? Teori-teori nomotetik menganggap bahwa hanya satu yang sesuai, sedangkan kalangan teoritis praktis percaya bahwa sejumlah teori dapat sesuai secara berkelanjutan. Ketiga, validitas adalah generalisasi bahwa semua teori sama persis dengan ruang lingkup teori yang telah dibahas sebelumnya. Berangkat dari pemahaman validitas seperti disebutkan di atas, validitas ilmu komunikasi Islam dapat juga disajajarkan dengan bentuk analisis disiplin ilmu lainnya, seperti filsafat, psikolog, antropologi, sosiologi dan sejarah, karena keilmuan komunikasi Islam mempunyai kedekatan relasi kuasa antara teks dengan konteks yang berdasarkan data dan fakta. Namun harus disadari bahwa doktrin normatif Alquran tidak bisa diganggu gugat dengan memproduksi ayat dalam rangka menyesuaikan dengan realitas yang ada, meskipun keilmuannya tetap pada wilayah dinamika ilmu. Oleh karena itu, validitas ilmu komunikasi Islam tidak hanya bersandarkan pada nilai-nilai yang ada di masyarakat atau berdasarkan pada penemuan yang diperoleh di lapangan, tetapi juga disesuaikan dengan nilai-nilai atau ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’a dan al-hadits.
69
BAB V AKSIOLOGI ILMU KOMUNIKASI ISLAM
Dalam filsafat ilmu, aksiologi ilmu merupakan salah satu bahasan yang menanyakan untuk apa ilmu dipergunakan oleh manusia? Pertanyaan tersebut melahirkan kajian tentang tujuan mengkaji ilmu, peran ilmu bagi kehidupan manusia, dan perdebatan tentang standar nilai yang dijadikan pegangan dalam pengembangan ilmu. Berdasarkan pandangan filsafat ilmu tersebut, maka berkaitan dengan aksiologi ilmu komunikasi Islam dalam tulisan ini akan akan dijelaskan tentang tujuan dari ilmu komunikasi islam, peran ilmu komunikasi Islam, etika dalam ilmu komunikasi Islam, dan nilai-nilai islam dalam pengembangan ilmu komunikasi.
A. Tujuan Ilmu Komunikasi Islam Di kalangan para filosof dan ilmuwan telah terjadi perdebatan tentang tujuan dari mencari atau mengembangkan ilmu. Ada yang berpendapat bahwa tujuan dari mencari ilmu adalah untuk ilmu itu sendiri. Pendapat lain menyatakan bahwa tujuan dari mencari ilmu adalah untuk menambah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dalam menjalani kehidupan. Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak terlepas dari perspektif yang dijadikan pedoman dalam menyusun tujuan tersebut. Di dalam ajaran Islam, tujuan mencari ilmu bukan hanya untuk mencari kepuasan atau keingintahuan manusia (curiosity) saja, tetapi juga untuk mengetahui jejak Tuhan di muka bumi (vestigia dei) 1 atau dalam bahasa yang lain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut Ali Abdul Azhim, tujuan terbesar ilmu dalam Islam adalah komunikasi dengan Allah, karena Dia merupakan zat yang Maha Tinggi untuk kebenaran, kebaikan, dan keindahan. 2 Sebagaimana firman Allah “dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ar-Rum: 27).
1
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003, hlm. 132. Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Rosda), 1989, hlm. 279. 2
70
Jika tujuan mencari ilmu dalam Islam tersebut dikaitkan dengan tujuan untuk mempelajari ilmu komunikasi Islam, maka akan didapatkan bahwa tujuan dari mempelajari ilmu komunikasi Islam adalah: Pertama, mengembangkan rasa ingin tahu manusia (curiosity) dalam memahami diri manusia, masyarakat dan lingkungan. Kedua, menciptakan dan mengembangkan teori-teori komunikasi yang berlandaskan nilai-nilai Islam, sehingga dalam praktek kita dapat menjadi pekerja komunikasi yang baik, terampil dan profesional dalam melaksanakan tugas serta dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, membantu manusia dalam mengatasi berbagai persoalan komunikasi manusia, baik komunikasi dengan Tuhan, manusia, maupun dengan alam semesta. Keempat, sebagai media manusia dalam mengembangkan kualitas diri dan juga dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
B. Peran Ilmu Komunikasi Islam Peranan komunikasi dalam kehidupan manusia sudah tidak diragukan lagi keberadaannya. Semua aktivitas manusia dalam kesehariannya tidak terlepas dari kegiatan komunikasi. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, manusia senantiasa melakukan proses komunikasi. Pada saat bangun tidur, manusia berdo’a kepada Tuhan yang telah memberikan nikmat yang besar sehingga dia bisa hidup kembali di dunia dan bermohon agar diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan di hari ini dengan sebaik-baiknya. Berdo’a merupakan salah satu aktivitas komunikasi transenden yang dilakukan oleh manusia. Selanjutnya, manusia melakukan interaksi dengan anggota keluarga baik pada saat sarapan atau mempersiapkan diri berangkat ke sekolah atau ke tempat pekerjaan. Demikian pula, di tempat bekerja atau di sekolah, manusia senantiasa melakukan komunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Setelah kembali ke rumah pun manusia akan melakukan komunikasi dengan anggota keluarga atau masyarakat yang ada di sekitarnya. Hingga menjelang tidur pun, manusia tetap melakukan komunikasi, khususnya dengan Tuhan sang pemilik kehidupan manusia. Untuk memudahkan pemahaman kita tentang peran ilmu komunikasi Islam, maka pada tulisan ini akan diuraikan empat peran penting dalam ilmu komunikasi
71
Islam. Keempat peran ini tidak bisa dihilangkan meskipun teknologi komunikasi telah berkembang begitu cepat dan sophisticated. Pertama, peran ilmu komunikasi Islam adalah untuk mengenal diri manusia itu sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri menjadi bekal yang utama bagi manusia dalam menjalankan aktivitas di dunia dan juga untuk mengenal Tuhannya. Siapa dirinya dan untuk apa ia hidup di dunia? Merupakan sebagian kecil dari pertanyaan yang perlu dijawab oleh manusia. Karena itu, manusia diperintahkan secara proaktif untuk mencari tahu tentang eksistensi dan perannya. Manusia diberikan oleh Allah akal, indera, dan hati agar dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 21
َﺼ ُﺮون ِ ﺴ ُﻜ ْﻢ أَﻓَﻼ ﺗُ ْﺒ ِ َُوﻓِﻲ أَ ْﻧﻔ Artinya: “Dan pada diri kamu mengapa tidak kamu pikirkan (telaah)?”. Ayat tersebut menantang manusia untuk mengkaji dirinya. Salah satu ilmu yang dapat membantu manusia dalam pencarian dirinya adalah melalui komunikasi. Manusia bisa melakukan komunikasi intrapersonal dengan cara melakukan kontemplasi, tafakkur, berdo’a atau introspeksi diri (QS. 2: 187, 59:18). Dengan cara tersebut, manusia bisa memperoleh kebenaran dan bahkan bisa menemukan Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan juga para ahli sufi. Jika melalui komunikasi intrapersonal manusia belum menemukan kebenaran yang dicarinya, maka manusia bisa melakukan hubungan interpersonal dengan bertanya kepada orang yang lebih mengetahui, “maka tanyalah kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahui”, demikian kata Tuhan dalam QS.16:43. Pencarian diri manusia dapat tercapai manakala manusia secara proaktif mencari informasi dari berbagai sumber. Informasi amat diperlukan untuk menentukan kemana arah tujuan hidup yang sebenarnya?. Infomasi juga diperlukan manusia untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Selanjutnya, informasi juga diperlukan untuk menilai lawan bicara atau orang yang akan dimintai informasi oleh saudara. Terakhir, informasi diperlukan untuk menentukan sikap atau tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian, fungsi informasi dalam komunikasi Islam menjadi faktor penting dalam rangka pencarian identitas manusia.
72
Kedua, peran ilmu komuikasi Islam untuk menjalin hubungan kemanusiaan (human relation) yang bersandarkan kepada ajaran Islam. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia pasti membutuhkan orang lain, baik secara disengaja ataupun tidak disengaja, atau secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap orang lain merupakan kebutuhan yang bersifat naluriah (fitri). Untuk memenuhi kebutuhan makan atau minum, sejak dahulu kala manusia membutuhkan orang lain. Sistem barter dalam perdagangan yang ada dalam sejarah perkembangan ilmu ekonomi menunjukkan bahwa manusia selalu membutuhkan orang lain. Demikian juga, secara naluriah manusia membutuhkan lawan jenisnya untuk mendapatkan kehangatan dan memenuhi kebutuhan seksualnya. Dari sanalah lahir lembaga perkawinan dengan segala pranatanya. Ayat 13 dalam surat al-Hujurat dapat dijadikan landasan pokok untuk melakukan hubungan kemanusiaan. Manusia diciptakan oleh Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tidak lain untuk saling kenal mengenal (ta’aruf). Untuk melakukan ta’aruf atau hubungan kemanusiaan dengan baik, prinsip taqwa dan ukhuwah menjadi modal utama yang perlu dikembangkan (QS. 49: 10-13). Ketiga, peran ilmu komunikasi Islam untuk mentransfer nilai-nilai Islam dari satu generasi kepada generasi selanjutnya melalui proses pendidikan dan dakwah. Setiap manusia pasti menghendaki adanya generasi penerus, baik dalam kehidupan rumah tangga, social, dan bernegara. Generasi yang akan dilahirkan tentu harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Allah mengajarkan kepada manusia supaya mempersiapkan generasi pelanjutnya generasi yang kuat dan sehat supaya dia mampu menghadapi tantangan zamannya (QS. 4: 9). Jika generasi yang disiapkan adalah generasi yang lemah, dikhawatirkan generasi tersebut tidak mampu bersaing dan berinteraksi dengan kehidupan zaman yang semakin kompleks dan kompetitif. Mereka akan tertinggal dan hidup di bawah tekanan Negara-negara lain. Kita bisa belajar banyak dari bangsa-bangsa yang hilang dari peradaban dunia akibat tidak dipersiapkannya generasi yang kuat. Dalam kerangka penyiapan generasi inilah peran komunikasi Islam amat urgen. Misalnya, media massa Islam dapat menjadi media pendidikan masyarakat. Di dalamnya norma-norma atau ajaran-ajaran Islam dapat disosialisasikan melalui
73
media massa. Beberapa contoh isi materi yang bisa dimuat dalam media islam, diantaranya: bagaimana pendidikan karakter menurut Islam, cara berkomunikasi yang efektif dalam keluarga, cara membimbing remaja, berinteraksi dengan lingkungan, dan sebagainya. Intinya, tema-tema yang diangkat tentunya tematema yang bisa mempersiapkan generasi muda bisa bersaing di masa depan. Keempat, peran ilmu komunikasi Islam untuk membangun persatuan dan kesatuan umat. Komunikasi Islam memiliki peran penting dalam merekat kesatuan umat dan peran ini tidak bisa digantikan dengan kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun dalam realitas kita berbeda-beda secara bahasa, agama, dan budaya, tetapi sebenarnya kita berasal dari umat yang satu (QS. 2:213). Kesatuan umat ini menjadi pesan sentral yang ada dalam al-Qur’an. Dengan paham kesatuan umat ini akan lahir prinsip-prinsip persaudaraan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Konflik sering terjadi, salah satu pemicunya karena tidak adanya komunikasi yang baik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Oleh karena itu, komunikasi Islam dapat mengambil peran penting ini untuk menghindari atau mengurangi adanya konflik.
C. Nilai Dalam Ilmu Komunikasi Islam. Salah satu bahasan penting dalam aksiologi ilmu menyangkut aspek nilai. Daalam pandangan kaum positivism bahwa nilai tidak boleh berperan dalam praktek penelitian. Jika nilai berperan dalam penelitian, maka objektivitas ilmu yang dihasilkan akan hilang. Pandangan klasik dan ekstrim ini banyak mendapatkan perlawanan, terutama dari kalangan post-positivisme dan juga dari para ilmuwan muslim. Menurut Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees 3 setidaknya ada tiga pandangan yang berbeda tentang posisi nilai dalam praktek penelitian yaitu: Pertama, peran nilai dalam penelitian social bisa dipilih dengan membedakan Howard yang membedakan antara nilai non epistemic dan nilai epistemic. Nilai
3
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011, hlm. 69-70.
74
epistemic yang bisa diterima sebagai dasar ilmu, sedangkan nilai non epistemic tidak boleh mempengaruhi sikap ilmuwan. Pandangan kedua menyatakan bahwa beberapa orientasi nilai begitu melekat pada pola pikir kita sehingga secara tidak sadar dipegang oleh semua ilmuwan. Seperti dinyatakan oleh Stephani Shields bahwa sejumlah besar penelitian pada perbedaan gender pada abad ke-20 dipengaruhi oleh bias sejarah yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan secara alamiah dan social. Pandangan ketiga menyatakan bahwa peran nilai dalam penelitian bukan hanya persoalan pilihan, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif dalam gerakan perubahan social. Ilmuwan ketika terlibat dalam penelitian dipengaruhi oleh nilainilai dalam pemilihan masalah penelitian dan juga dalam perumusan teori serta dalam sikap penelitian. Dari perbedaan pandangan terhadap nilai dalam proses penelitian, ilmuwan komunikasi Islam memandang bahwa nilai merupakan prinsip pokok dalam komunikasi manusia dan juga dalam penelitian ilmu komunikasi. 4 Umat Islam yang melakukan proses komunikasi dan melakukan penelitian adalah orang yang telah terikat oleh nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, karenanya akhlak mahmudah yang dipegang oleh umat Islam bukan hanya penting untuk proses komunikasi dan penelitian komunikasi, tetapi lebih jauh terikat dengan ketaatan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Dengan demikian nilai-nilai bukan hanya pilihan melainkan sebuah realitas yang inheren dalam diri se peneliti dan ikut terlibat untuk melakukan perubahan, baik pada tataran teoritis maupun praktis.
D. Etika Dalam Ilmu Komunikasi Islam Seperti yang penulis uraikan pada bab sebelumnya bahwa etika menjadi unsur penting yang membedakan komunikasi Islam dengan komunikasi Barat atau non-Islam. Etika berkaitan dengan apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam konteks komunikasi berarti etika berhubungan dengan baik dan buruknya perilaku dan pesan-pesan yang disampaikan dalam proses berkomunikasi. Etika yang ada
4
75
dalam komunikasi Islam disandarkan kepada ajaran Islam yang bersumber dari alQur’an dan al-Hadits. Dari term-term komunikasi yang ada di dalam al-Qur’an dan sebagian telah penulis uraikan pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa etika dalam komunikasi Islam amat penting. Etika yang dibahas dalam al-Qur’an lebih banyak membahas
etika
yang
bersifat
oral
communication
dan
interpersonal
communication, baik komunikasi manusia dengan Tuhan, sesama manusia, maupun komunikasi manusia dengan alam semesta. Umat Islam percaya bahwa komunikasi manusia tidak hanya dilakukan secara horisontal melainkan juga vertikal kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an dinyatakan “dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) yang berdo’a apabila dia berdo’a kepadaku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran” (QS. 2;186). Komunikasi manusia dengan Tuhan dilakukan melalui shalat dan kewajiban-kewajiban agama lainnya yang diakui oleh Islam. komunikasi timbal balik (mutual communication) antara Tuhan dengan manusia merupakan instrument yang amat penting dalam kehidupan manusia dan ini akan menjadi karakter manusia dalam menentukan komunikasi manusia dengan yang lainnya. Selain membahas etika berkomunikasi dengan Tuhan, ilmu komunikasi Islam juga menekankan tentang pentingnya komunikasi social. Manusia yang berbeda-beda secara suku, bahasa, dan ras serta agama diminta oleh Tuhan untuk saling kenal mengenal (QS. 49:13). Ta’aruf merupakan tahan awal untuk menjalin komunikasi social selanjutnya. Melalui ta’aruf seseorang membuka dirinya dan saling mengapresiasi sehingga komunikasi bisa berjalan. Jika muncul persepsi yang negative terhadap orang lain tentu proses komunikasi tidak akan berlangsung dengan baik karena itu islam melarang seseorang merendahkan dan memberi sebutan sebagai ejekan pada orang lain (QS. 49: 11), berburuk sangka, mematamatai, dan menggunjing satu sama lain (QS. QS. 49: 12), dan berbagai etika komunikasi interpersonal lainnya. Tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk etika berkomunikasi secara social agar manusia dapat menunjukkan perilaku yang baik (berakhlak mahmudah). Lebih jauh lagi, etika dalam ilmu komunikasi Islam diarahkan
untuk
menjawab
beberapa
persoalan
yang
muncul
dalam
76
pengembangan komunikasi sekuler dimana ada peraturan-peraturan tetapi tidak ada tindakan-tindakan, banyak teknologi tanpa kemanusiaan, banyak teori tanpa praktek, adanya perubahan global tanpa memperhatikan perubahan individual, dan ada etika individual tanpa kesadaran dunia. Etika lain yang menjadi perhatian dalam Ilmu komunikasi Islam menyangkut pada berita itu sendiri. Hendaknya umat Islam memperhatikan berita yang disampaikan oleh orang-orang munafik, musyrik atau orang-orang yang ingin menghancurkan agama dan masyarakat. Misalnya, “siapa saja orang fasiq yang datang kepadamu dengan membawa berita apa saja, janganlah tergesa-gesa untuk menerima dan mengeksposenya, carilah informasi dan ungkaplah kebenarannya” (QS. 49:6), membocorkan rahasia atau keamanan Negara (QS. 4: 83), menuduh berzina (QS. 24:23), menyiarkan berita cabul (QS. 24:19), dan berbagai berita lainnya. Oleh karena itu, secara teknis nabi mengajarkan agar kita bisa menjaga lidah agar tidak keliru, jika tidak bisa, lebih baik diam (Falyakul khairan au liyasmut) atau La takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu). Terakhir adalah etika yang berhubungan dengan pengembangan dan penelitian ilmiah. Beberapa ayat al-Qur’an menekankan tentang pentingnya membaca bagi kehidupan manusia (QS. 96;1-5). Membaca tidak hanya terbatas pada membaca ayat-ayat Qur’an melainkan juga membaca alam semesta dan diri sendiri (QS. Fushshilat: 53). Membaca merupakan modal utama manusia dalam pengembangan ilmu. Hasil bacaan manusia kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, dan ini pun mendapatkan penekanan dalam Islam yang mengajarkan manusia melalui tulisan (QS. 96:4-5, 68:1). Kemudian manusia juga diajarkan oleh ayat beberapa cara berpikir untuk mengembangkan bacaan dan tulisannya, seperti cara berpikir induktif (QS. 6:74-83), deduktif (QS. 88:17-20), analogi (QS. Fathir: 19-21). komparatif (QS. 13:4), dan historis (QS. 10:92). Kemampuan manusia dalm berpikir bisa menghasilkan ilmu dan peradaban manusia. Bahkan, Islam juga menekankan tentang sikap ilmiah yang perlu dibangun oleh ilmuwan muslim seperti disiplin (QS. 62:10), kerja keras (QS. 94:7), memanfaatkan waktu dengan baik (QS. 103:1-3), jujur secara ilmiah (QS. 6:7), dan mewariskan ilmu kepada orang lain (QS. 2:159).
77
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Bertitik tolak dari pembahasan yang telah penulis lakukan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian ini sebagai berikut: Pertama, secara hakikat, komunikasi Islam berbeda dengan komunikasi sekuler atau non Islam dan dari ilmu dakwah. Perbedaan dengan komunikasi non-islam terutama pada aspek landasan filosofi, konsep manusia, konsep masyarakat, etika, dan metode dalam pengembangan ilmu. Sedangkan, perbedaannya dengan ilmu dakwah terletak pada wilayah kajian dakwah yang lebih luas, bukan hanya pada aspek transmisi ajaran Islam saja, melainkan juga pada internalisasi dan transformasi ajaran Islam. Kedua, secara ontologis ilmu komunikasi Islam memiliki objek kajian yang jelas yakni segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan proses penyampaian pesan-pesan yang dilakukan oleh komunikator berdasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Manusia yang dimaksud dalam Islam adalah manusia yang bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, sesama manusia, alam semesta, dan Tuhan. Komunikasi dengan Tuhan menjadi titik sentral untuk menentukan proses dan tindakan komunikasi lainnya. Konsep manusia inilah yang juga akan berimplikasi pada kajian epistemology Ilmu komunikasi Islam. Ketiga, sumber kebenaran yang ada dalam ilmu komunikasi Islam pada prinsipnya sama dengan sumber kebenaran yang digunakan oleh ilmu-ilmu yang dikembangkan dalam epistemology islam. adapun sumber kebenaran yang digunakan oleh ilmu komunikasi islam adalah indera, akal, intuisi, dan wahyu. Keempat,prinsip dasar yang dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu komunikasi islam adalah prinsip tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, ummah, taqwa, dan amanah. Sedangkan paradigma yang digunakan adalah individualism-conformity, transcendentalism-existensialism, intuitive-rational process, dan egalitarian-hierarchical. Dari prinsip dan paradigma tersebut dikembangkan metode bayani, tajribi, burhani, dan irfani dalam pengembangan ilmu komunikasi Islam. kemudian validitas ilmu komunikasi bukan hanya bersandarkan pada hasil-hasil temuan di masyarakat melainkan juga bersandarkan pada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Kelima, secara aksiologis ilmu komunikasi Islam menekankan pada tujuan mencari ilmu dalam Islam, yakni ingin memberikan kepuasan dan kemanfaatan bagi manusia serta dalam kerangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan tersebut menjadi titik tolak
78
dalam pengembangan ilmu komunikasi. Karenanya, peran ilmu komunikasi Islam, selain untuk mengenali diri manusia itu sendiri, juga dimaksudkan untuk menjalin hubungan kemanusiaan, mentransmisikan nilai-nilai Islam kepada generasi penerus, dan untuk membangun persaudaraan dan persatuan. Peran tersebut dapat dilakukan secara baik manakala nilai dan etika yang ada dalam komunikasi Islam diterapkan dalam proses komunikasi dan pengembangan ilmu komunikasi Islam. nilai-nilai dan etika yang dibangun bersandarkan kepada nilai dan etika yang ada di dalam al-Qur’an dan al-sunnah.
B. Rekomendasi Kajian ilmu komunikasi Islam yang penulis paparkan di atas titik tekannya pada kajian Islam tentang komunikasi, terutama dari filsafat ilmu. Kajian banyak diturunkan dari isyarat-isyarat atau term-term yang bersumber dari al-Qur’an dan itu pun masih sangat terbatas dibandingkan dengan isyarat al-Qur’an yang begitu komprehensif memberikan informasi tentang ilmu. Karena itu, penulis merekomendasikan kepada para peneliti selanjutnya untuk melakukan kajian-kajian sebagai berikut: Pertama, perlunya pengujian atau penurunan teks dalam kajian-kajian komunikasi di dalam realitas social, khususnya dalam praktek human communication. Kedua, diperlukan adanya kajian yang komprehensif terhadap komunikasi yang ada di al-Qur’an dan al-Hadits, terutama komunikasi interpersonal, komunikasi transenden, komunikasi social, dan komunikasi massa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah, “Konstruksi Keilmuan Dakwah dan Pengembangan Jurusan-Konsentrasi Studi”, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja di IAIN Walisongo Semarang, 19-20 Desember 2008. Akhtar, Shabbir, The Quran and the Secular Mind, (London: Routledge), 2008. Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah), 2009. Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos), 1999. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q. Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2011. Arif, Syamsuddin, “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Dalam Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Gema Insani), 2013. Arneson, Pat (Ed.), Perspectives on Philosophy of Communication, (Indiana: Purdue University Press), 2007. Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Rosda), 1989. Aziz, Moh. Ali, Ilmu Dakwah, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana), 2009. Ayish, Muhammad I., “Beyond Western-Oriented Communication Theories: A Normative Arab-Islamic Perspective”, The Public Vol. 10 (2003). Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam buku Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), 1998. Bakti, Andi Faisal, “Applied Communication”, Makalah tidak dipublikasikan. __________ dan Venny Eka Meidasari, “Trendsetter Komunikasi di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam”, Jurnal Komunikasi Islam, Volume 02, Nomor 01, Juni 2012. Baalbaki, Munir dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid: Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya), t.t. al-Bayanuni, M. Abu al-Fath, Al-Madkhal ila ‘ilm al-da’wah, (Beirut: Muassasah al-Risalah), 1991. Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, (Surabaya: Usaha Nasional), 1993, hal. 30. Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2006.
Dermawan, Andy (Ed.), Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: LESFI), 2002. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003. Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah Pendekatan Filosofis dan Praktis, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka), 1983. Ghani, Zulkiple Abd. and Mohd Safar Hasim, “Islamic Values and Ethics in Communication”, Islamiyyat 25 (1), 2004. Griffin, EM, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2003. Hussain, Mohd Yusof, Contemporary Issues in Islamic Communication, (Malaysia: the International Islamic University Press), 2012. Imanuddin, “ Filsafat Ilmu Dalam Pengkajian Islam”, Dalam M. Arfan Mu’ammar dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: Ircisod), 2013. Kartanegara, Mulyadhi, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan), 2002. ________, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan), 2003. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi), 1969. Khiabany, Gholam, “De-westernizing media Theory, or reverse orientalism: Islamic Communication as theorized by Hamid Mowlana”, Dalam Media, Culture & Society Vol. 25, (London: Sage Publications), 2003. Kusmana (Ed), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2006. Kusnawan, Aef (Ed.), Dimensi Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran), 2009. Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009. Maslina, Konsep Etika Komunikasi Islam Menurut Jalaluddin Rakhmat, (Banjarmasin: Antasari Press), 2006. Meuleman, Johan, “Dakwah, Competition for authorithy, and Development”, Bijdragen tot de Taal, Landen Volkenkunde, Vol. 167, No. 2-3, 2011. Mile dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI-Press), 1992. Miller, Katherine, Communication Theories Perspectives, Processes, and Contexts, Second Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2005.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2001. Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition the End of Diversity?, (London: Sage Publications), 1996. ________, “Theoretical Perspectives on Islam and Communication”, China Media Research, 3 (4), 2007. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin), 2000. Muhtadi, Asep Saeful, Komunikasi Dakwah Teori Pendekatan dan Aplikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2012. Muis, A., Komunikasi Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2001. Mulyana, Deddy, “Pengantar: Peluang Mengembangkan Kajian Komunikasi”, Dalam Ujang Saefullah, Kapita selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak), t.t. Omar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, (Jakarta; Widjaya), 1993. Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga), 2005. Radford, Gary P., On the Philosophy of Communication, (Australia: Thomson Wadsworth), 2005. Rahman, Fazlur, “Islamisasi ilmu pengetahuan sebuah respon”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4. Rakhmat, Jalaluddin, “Konsep-Konsep Antropologis”, Dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), 1994. ________, Islam Aktual, (Bandung: Mizan), 1996. Reardon, Kathleen K., Interpersonal Communication Where Minds Meet, (California: Wadsworth Publishing Company), 1987. Riyanto, Waryani Fajar, Studi Islam Indonesia (1950-2014), (Solo: Kurnia Kalam Semesta dan STAIN Pekalongan Press), 2014. Rubin, Rebecca B., et.al, Communication Research: Strategies and Sources, (Australia: Wadsworth), 2000. Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr, Communications Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media, (New York: Longman), 1992.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati), 2007. Stout, Daniel A. (Ed.), Encyclopedia of Religion, Communication, and Media, (New York: Routledge), 2006. Suhandang, Kustadi, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2013. Sukayat, Tata, Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Mabadi ‘Asyarah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2015 Sulthon, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2003. Supena, Ilyas, “Pengembangan Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Sosial”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Keilmuan Dakwah dan Prospek Kerja yang diselenggarakan IAIN Walisongo tanggal 19-20 Desember 2008. Syabibi, M. Ridho, Metodologi Ilmu Da’wah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & STAIN Bengkulu), 2008. Syahputra Iswandi, Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007. Syam, Nina W., Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2013. Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Jakarta; Gaya Media Pratama), 1997. Thayer, Lee, Communication and communication systems, (Illinois: Richard D Irwin,inc), 1968. al-Wa’i, Taufik, al-Da’wah ila Allah, (Mesir: Dar al-Yaqin), 1995.