BIDANG PROGRAM : BIOLOGI KONSERVASI LAPORAN P2M
SOSIALISASI KONSERVASI HUTAN ADAT MELALUI PENDEKATAN ERGOLOGI BERORIENTASI KEARIFAN LOKAL DI DESA TIGAWASA KECAMATAN BANJAR, BULELENG
OLEH
PROF. DR. NYOMAN WIJANA, M.Si PROF. DR. IBP. ARNYANA, M.Si DR. IGAN. SETIAWAN, M.Si DRS. SANUSI M, M.Pd
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA 2015
LEMBAR PENGESAHAN a.Judul Program : Sosialisasi Konservasi Hutan Adat Melalui Pendekatan Ergologi Berorientasi Kearifan Lokal di Desa Tigawasa Kecamatan Banjar, Buleleng
b. Jenis Program
: Sosialisasi
c. BidangKegiatan
:BiologiKonservasi
d. IdentitasPelaksana
:
1. KetuaPelaksana
:
- Nama
: Prof. Dr. NyomanWijana, M.Si
- NIP
: 196012311984031012
- NIDN
: 0001126006
- Pangkat/Golongan
: Pembina Utama/ IV e
- Alamat Kantor
: Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah
: Dusun Tegal Desa Sangsit, Kec. Sawan, Buleleng
2. Anggota 1 - Nama
: Prof. Dr. IBP. Arnyana, M.Si.
- NIP
: 195812311986011005
- NIDN
: 003111125821
- Pangkat/Golongan
: Pembina Madya/IV d
- Alamat Kantor
: Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah
: BTN Banyuning Singaraja
2. Anggota 2 - Nama
: Dr. IGAN Setiawan, M.Si
- NIP
: 196107171986011003
- NIDN
: 0017076102
- Pangkat/Golongan
: Penata Tk I /IIId
- Alamat Kantor
: Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah
: Perumahan Banyuning Indah Blok B No. 46 Singaraja
2. Anggota 3 - Nama
: Drs. Sanusi M, M.Pd
- NIP
: 19584071983031001
- NIDN
: 0019055701
- Pangkat/Golongan
: Penata /IIIc
- Alamat Kantor
: Jalan Udayana Singaraja
- Alamat Rumah
: Singaraja
e. Biaya yang Diperlukan
: Rp11.200.000,-
f. Lama Kegiatan
: 12 Bulan
Daftar Isi HalamanJudul …………………………………………………………………………
i
HalamanPengesahan…………………………………………………………………...
ii
Bab I Pendahuluan 1.1 LatarBelakang……………………………………………………………………...
1
1.2 AnalisisSituasi……………………………………………………………………...
3
1.3 Identifikasi Dan RumusanMasalah………………………………………………...
6
Bab II KajianPustaka 2.1. VegetasiHutan……………………………………………………………………..
7
2.2. PendekatanErgologi……………………………………………………………….
8
2.3. KearifanLokal……………………………………………………………………..
17
2.4. TujuanKegiatan……………………………………………………………………
18
2.5. ManfaatKegiatan…………………………………………………………………..
19
Bab III MateridanMetodePelaksanaan 3.1. KerangkaPemecahanMasalah…………………………………………………….
20
3.2. RuangLingkupdanKeterbatasan………………………………………………….
20
3.3. KhalayakSasaran…………………………………………………………………..
21
3.4. Keterkaitan…………………………………………………………………………
21
3.5. MetodeKegiatan…………………………………………………………………...
22
Bab IV HasildanPembahasan 4.1. JumlahPeserta……………………………………………………………………..
24
4.2. AktivitasKegiatan ………………………………………………………………...
24
4.3. ProdukKegiatan……………………………………………………………………
25
Bab V Simpulandan Saran 5.1. Simpulan (sementara)……………………………………………………………...
30
5.2. Saran- saran………………………………………………………………………..
30
DaftarPustaka………………………………………………………………………….
30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian yang telah dilakukan oleh Wijana (2013) adalah
menggali tentang
biodiversity hutan yang ada di Desa Bali Aga khususnya Desa Tigawasa. Dari hasil kajian tersebut dapat ditarik simpulan umum yaitu: (1) Hutan yang ada di desa Tigawasa masih merupakan hutan primer; (2) Pola pengelolaan hutan di Desa Tigawasa mengacu pada pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal, (3) komposisi spesies di hutan Desa Tigawasa terdistribusi dalam ruang yang rapat dan mengelompok. Simpulan khusus yang mengarah kepada parameter vegetasi yaitu 1) karakteristik spesies tumbuhan yang menyusun vegetasi hutan adat yang ada di desa Tigawasa adalah sebanyak 24 spesies tumbuhan,2) Pola struktur tegakan hutan adat yang ada di desa Tiga Wasa adalah berbentuk kurve J terbalik atau tipe L atau tegakan tidak seumur; 3) indeks keanekaragaman spesies tumbuhan pada vegetasi hutan adat yang ada di desa Tigawasa rata-rata 3,3829. Pola pengelolaan hutan adat di hutan desa adat Tigawasa mengacu pada Dresta atau tradisi yang ada di desa tersebut. Dengan melihat kondisi hutan yang ada di desa Bali Aga tersebut, perlu dilakukan suatu bentuk kegiatan pelestraian hutan / bioconservation. Pelestarian dilakukan dengan mengadakan sosialisasi konservasi melalui revegetasi atau reforestasi di Desa Tigawasa. Pelestarian ini bertujuan untuk menjaga stabilitas vegetasi hutan adat yang ada di Desa Tigawasa. Isu sentral dalam kaitannya dengan revegetasi yang dilakukan oleh pemerintah, pelaksanaannya di lapangan telah banyak mengalami kegagalan. Kegagalan terjadi akibat kurang matangnya perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan revegetasi tersebut. Dana yang dikeluarkan, habis sedemikian rupa akibat dari mismanajemen. Tumbuhan yang ditanam di daerah di mana revegetasi itu dilakukan, tidak dirawat sehingga tanaman tersebut mati. Bahkan sering terjadi, tanaman yang digunakan untuk revegetasi adalah tanaman yang tidak mempertimbangkan tumbuhan asli setempat, sehingga tanaman tersebut mengalahkan tanaman aslinya. Dalam pengabdian ini, pelaksanaan sosialisasi tentang pelestarian hutan adat dengan menggunakan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. Hal ini dimaksudkan untuk tetap mengangkat kearifan lokal yang ada di desa tersebut yang sudah bersifat familiarisme, membudaya, dan menjadi kepercayaan yang merasuk sebagai jiwa hati. Pendekatan ergologi adalah gabungan dari Ergonomi Total dan Ekologi. Ergonomi Total mengkaji melalui konsep SHIP (sistemik, holistik, interdisiplin, dan partisipatori) dan
TTG (teknologi tepat guna). Kajian ini menekankan pada sikap, instrumen, dan lingkungan (kerja) agar selaras dan harmonis serta nyaman untuk meningkatkan produktivitas kerja. Ekologi mengkaji tentang lingkungan (abiotik, biotik dan culture) di mana lingkungan agar senantiasa dalam keadaan equilibrium. Dengan demikian antara manusia dan lingkungannya terjadi harmonisasi, kenyamanan. Konsep ini di dalam filosofi Hindu di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana.
Artinya, kajian ergonomi dan ekologi yang dilakukan dilandasi oleh
kearifan lokal yang ada di desa tersebut. Keberhasilan tentang pengelolaan lingkungan khususnya dalam pelestarian hutan, dengan menggunakan kearifan lokal telah berhasil dilakukan di Desa Tenganan Pegeringsingan Kabupaten Karangasem-Bali (Wijana, 2000). Sementara ini, belum ada bentuk pengabdian masyarakat yang terkait pola antara program revegetasi atau reforestasi dengan penggunaan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. Dengan demikian sangat dipandang perlu dan urgen untuk dilakukan pengabdian
masyarakatdalam
bentuk
sosialisasi
implementasipendekatan
ergologi
berorientasi kearifan lokal dalam konservasi hutan adat agar tercapai tujuan pelestarian hutan dan harmonisasi kehidupan manusia dengan lingkungannya dapat tercapai. 1.2 Analisis Situasi 1.2.1 Tingkat Pendidikan Data tingkat pendidikan masyarakat sampel Desa Tigawasa disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat Sampel di Desa Tigawasa
No
Tingkat Pendidikan
Desa Tigawasa Jumlah(orang)
Persentase (%)
1
Tidak Sekolah
2
6.67
2
SR/SD
13
43.34
3
SMP
9
30
4
SMA
2
6.67
5
Sarjana
4
13.33
Jumlah
30
100
Dari Tabel di atas tampak bahwa tingkat pendidikan masyarakat pada
masing-
masing desa berbeda–beda yaitu pada Desa Tigawasa 6,67% tidak sekolah, 43,34% bersekolah di sekolah rakyat (SR) atau sekolah dasar (SD), 30% memiliki pendidikan SMP, 6.67% memiliki pendidikan SMA, serta 13.33% memiliki pendidikan Sarjana Strata 1 (S1). Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan kepribadian seseorang. Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi bermanfaat, karena baik dengan sengaja maupun tidak sengaja menyebarluaskan pengetahuannya sewaktu mereka bergaul dalam masyarakat. Orang yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga lebih mudah memahami sikap orang lain sehingga lebih menciptakan kerukunan di dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pula kecakapan seseorang untuk mengambil sikap demi kelangsungan hutan yang ada di desa. 1.2.2 Tingkat Penghasilan Tingkat penghasilan selama satu bulan Masyarakat sampel Desa Tigawasa dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Rekapitulasi Tingkat Penghasilan Selama Satu Bulan Masyarakat Desa Tigawasa No Tingkat Penghasilan
Desa Tigawasa Jumlah(orang)
Persentase (%)
1
<1.000.000.
21
70
3
1.000.000.
4
13.33
4
> 1.000.000
5
16.67
Jumlah
30
100
Dari Tabel 1.2 tampak bahwa tingkat penghasilan masyarakat Desa Tigawasa 70% warga berpenghasilan lebih kecil dari Rp.1.000.000, 13,33% berpenghasilan sebesar Rp.1.000.000 dan 16,67% memiliki penghasilan > Rp.1.000.000. Semakin
tinggi
penghasilan maka kepedulian terhadap hutan juga semakin tinggi, sehingga warga masyarakat yang sudah sukses atau memiliki penghasilan lebih, sering menyumbangkan bibit untuk konservasi. 1.2.3 Peran Pemerintah Dalam Konservasi Peran pemerintah terhadap keberlangsungan hidup hutan yang ada di desa Tigawasa secara umum dapat dinyatakan bahwa :
1. Pemerintah belum menyentuh secara keseluruhan dalam pengelolaan kondisi hutan yang ada di desa tersebut. Hal ini dapat terlihat dari kondisi hutan yang ada di Desa Tigawasa belum pernah dilakukan, sehingga masyarakat sangat membutuhkan tentang pengetahuan dan pengelolaan yang terkait dengan hutan; 2. Pemberian bibit untuk konservasi di desa tersebut kurang mempertimbangkan konsep in-situ dan ex-situ. Pemerintah hanya memberikan bibit tumbuhan sebatas penyelesaian “proyek” sesuai dengan tahun anggaran; 3. Penghargaan terhadap upaya pelestarian hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Tigawasa, belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting sebagai “reward” yang diberikan kepada masyarakat untuk termotivasi dalam melaksanakan konservasi. 4. Kondisi jalan yang sangat rusak untuk menuju ke Desa Tigawasa dan yang menuju ke hutan di dusun Cangkongan, sebagai pertanda kekurangpedulian pemerintah terhadap semangat masyarakat dalam melaksanakan konservasi. 1.2.4 Kendala dan Solusi Dalam Konservasi Kendala-kendala yang dialami masyarakat Tigawasa dalam konservasi dapat diktiarkan dalam Tabel 1.3. Tabel 1.3 Kendala-kendala yang Dialami dan Solusi yang Dianjurkan Dalam Konservasi di Hutan Desa Tigawasa NO
KENDALA
DESA TIGAWASA
1
Kesadaran
Kesadaran
masyarakat Peningkatan
Tigawasa
tinggi
melakukan konservasi. 2
Pengetahuan
Pengetahuan tentang
Penyuluhan
konservasi
untuk masyarakat melalui Pendekatan Ergologi pengetahuan
masih masyarakat melalui Pendekatan Ergologi
Penyuluhan dengan
kesadaran
masyarakat Peningkatan
rendah 3
SOLUSI
yang
konservasi
terkait Pemerintah dan akademisi perlu belum melakukan penyuluhan
pernah dilakukan 4
Gotong Royong
Gotong yang dilakukan oleh Untuk masyarakat, menjaga
baik
masyarakat
Tigawasa,
dalam kegiatan gotong royong perlu
kebersihan dipertahankan
dan
lebih
lingkungan menjaga
maupun kelestarian
dalam ditingkatkan
lagi.melalui
hutan Pendekatan Ergologi
tidak mengalami kendala yang berarti 5
Kondisi Lahan
Kondisi lahan di kawasan Dilaksanakan revegetasi dengan hutan tidak sebagai kendala memperhatikan yang berarrti.
Revegetasi
kondisi
lahan.
dilaksanakan
pada
musim hujan dengan Pendekatan Ergologi 6
Kondisi Vegetasi
Pemanfaatan tumbuhan lokal Untuk
meningkatkan
dan asli dari hutan tersebut spesies
tumbuhan
populasi di
dalam
untuk kepentingan revegetasi ekosistem hutan, perlu dilakukan belum pernah dilakukan
revegetasi yang didahului dengan pembibitan dengan menggunakan konsep in-situ. Untuk itu perlu dilakukan
pembibitan
dengan
mengambil benih dari hutan yang ada di desa tersebut.
1.3 Identifikasi dan Rumusan Masalah Dari uraian di atas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah perlunya dilakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan konservasi hutan adat yang ada di desa Tigawasa. Perlu dicari suatu bentuk pendekatan yang digunakan untuk pengimplementasian dari sosialisasi tersebut. Perlunya dilakukan antisipasi terhadap kerusakan hutan di masa mendatang. Oleh karenanya diperlukan suatu tindakan untuk menjaga kelestarian hutan adat yang ada di Desa Tigawasa tersebut. Dalam pengabdian ini akan dirumuskan masalah yang akan dilaksanakan : 1. Pentingnys sosialisasi konservasi hutan adat dengan pendekatan ergologi berbasis kearifan lokal di Desa Tigawasa untuk dapat meningkatkan sikap konservasi masyarakat yang ada di Desa Tigawasa tersebut. 2. Tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat untuk tetap menjaga kelestarian hutan adat yang ada di Desa Tigawasa tersebut.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Vegetas Hutan Kerusakan hutan di Indonesia semakin menghawatirkan. Berdasarkan data yang ada untuk tahun 2000 luas kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta ha yang terdiri dari 9,75 juta ha hutan lindung, 3,9 juta ha hutan konservasi, dan 41 juta ha hutan produksi. Kerusakan lahan di luar kawasan hutan mencapai 41, 69 juta ha. Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali tahun 2002 menunjukkan bahwa dari luas lahan 127.271,5 ha kawasan hutan yang ada kondisi tegakan/vegetasi hutannya yang masih bagus seluas 56,06%, hutan bervegetasi belukar atau semak sebesar 25,55% dan sisanya berupa hutan kritis atau sangat rawan sampai kosong adalah sebesar 18,39%. Ada 3 faktor penyebab kerusakan hutan di Bali yakni kebakaran, penebangan liar, dan pembibrikan. Kebakaran hutan tahun 2002 mencapai 544,19 ha; penebangan liar 83,17 m3/th; dan pembibrikan mencapai 5.245, 77 ha (Adnyana dan Suwarna, 2007). Perambahan hutan terus berjalan hingga tahun 2011 (Bali Post, 7 Maret 2011), dan bahkan ada kejadian yang cukup menarik yakni masyarakat yang peduli akan kelestarian hutan ditembak pada saat orang tersebut melakukan penghijauan di tengah hutan pemerintah (Bali Post, 12 April 2011). Fenomena lain yang hangat menjadi warta di media cetak adalah meluapnya air Danau Buyan dan Danau Tamblingan sampai merendam pemukiman penduduk, tempat wisata, dan lahan pertanian masyarakat sekitar. Hal ini diprediksi akibat terjadinya alih fungsi lahan yakni dari ekosistem hutan menjadi ekosistem pemukiman dan pertanian (Bali Post, 11 dan 13 April 2011). Sebagaimana kerusakan hutan yang telah terjadi di Indonesia umumnya dan Bali khususnya, telah dilakukan revegetasi atau reforestasi. Namun keberhasilan dari pelaksanaan aktivitas ini kurang berhasil. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pelaksana anrevegetasi tersebut di antaranya : 1. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang revegetasi atau reforestasi masih sangat terbatas; 2. Pemahaman jenis tanaman yang akan ditanam dan digunakan untuk pelaksanaan revegetasi atau reforestasi masih sangat rendah; 3. Pemahaman tentang kondisi lingkungan, di mana revegetasi atau reforestasi akan dilakukan, belum dipahami secara komprehensif;
4. Sumber daya lingkungan yang ada di sekitar lokasi di mana revegetasi atau reforestasi akan dilaksanakan, yang berkontribusi terhadap keberhasilan revegetasi atau reforestasi, belum dipahami secara menyeluruh, masih bersifat partial; 5. Sumber daya manusia yang ada di sekitar lokasi di mana revegetasi itu dilakukan, belum dilibatkan secara total; 6. Kaidah-kaidah ilmiah tentang ekologi vegetasi terutama terkait dengan parameter vegetasi belum dipahami secara menyeluruh; 7. Biaya yang dianggarkan untuk revegetasi atau reforestasi sering tidak tepat sasaran; dan 8. Pemerintah belum membuat pertimbangan yang matang mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Dengan melihat factor kegagalan di atas, maka perlu dicarikan pola pelaksanaan revegetasi atau reforestasi. Dalam penelitian ini akan diimplementasikan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan (revegetasi, pemeliharaan dan pengamanan) melalui pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. 2.2 PendekatanErgologi Pendekatan ergologi adalah suatu bentuk pendekatan yang menggabungkan antara ergonomi dengan ekologi. Dalam pendekatan ergonomi menggunakan kaidah-kaidah ergonomi berupa SHIP (sistemik, holistik, interdisiplin, partisipasi) dan TTG (teknologi tepat guna). Pendekatan ergonomi ini dikenal dengan pendekatan Ergonomi Total. Pendekatan ergonomi total (PET) adalah suatu bentuk pendekatan dalam pembelajaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ergonomi berupa SHIP dan TTG sebagai dasar acuan untuk memecahkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi sehingga efektivitas dapat tercapai, menimbulkan rasa nyaman bagi peserta didik, kondisi tubuh tetap dalam keadaan sehat, dan efesiensi pada segala aspek dapat terrealisasi. Teknologi tepat guna (TTG) di mana pendekatan ini terdiri atas enam aspek meliputi aspek teknis, ekonomis, ergonomis, sosio-kultural, hemat energi dan tidak merusak lingkungan. Manuaba (2004a; 2005b) menguraikan satu persatu dari sisi teknis, ekonomis, ergonomis, sosio-kultural, hemat energi, dan tidak merusak lingkungan. Demikian pula dari konsep SHIP diuraikan secara rinci dan aplikasinya dalam dunia pendidikan seperti di bawah ini. Aspek Teknologi Tepat Guna (TTG) (1) Teknis Secara teknis bisa dipertanggungjawabkan berarti bahwa melalui pendekatan holistik teknik yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, sesuai
dengan standar, bahan yang biasa dipakai, metode pembuatan, perlindungan proteksi, aspek legal, masukan para spesialis, mudah dirawat, komponen yang biasa, daya tahan, dan kemampuan daur ulang. Dalam aplikasi konsep ini ke dalam dunia pendidikan khususnya dalam penelitian ini, agar sesuai dengan kriteria yang sudah dijabarkan seperti di atas maka dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan menggunakan alat-alat sederhana yang bisa diperoleh dari lingkungan sekitar. Hal ini bermakna sebagai konsep pemanfaatan bahan berorientasi daur ulang. Secara teknis juga dimaksudkan pelibatan para ahli ergonomi yang dalam hal ini dilakukan oleh peneliti sendiri yang memiliki bidang keilmuan ergonomi.
(2) Ekonomis Secara ekonomis harus dikaji melalui pendekatan holistik sehingga keputusan akhir sesuai dengan kebutuhan dan prioritas yang ada. Faktor yang harus diperhitungkan ada keterkaitan dengan pasar, finansial, dan perbelanjaan, komponen biaya pengeluaran, jadwal waktu, keuntungan bagi stakeholders, kompetisi, menyampaikan dan menual desain pemecahan, besarnya pasar, demografi, tipe pasar, trend masa depan, kebijakan pelayanan, dan perhitungan akan beban dan penyimpanan. (3) Ergonomis Secara ergonomis, prinsipnya harus bisa built-in masuk di dalam proses desain/perencanaan, seperti memenuhi kebutuhan pengguna, pengetahuan tentang bukan pengguna, profil pengguna, kebutuhan pemakai, kenyamanan pengguna, mudah digunakan, pemeliharaan produk, kepuasan pengguna, produk dan pengguna serasi, konteks dari penggunaan produk, prilaku pengguna, keamanan produk, tuntutan fisik pengguna, tuntutan mental pada pengguna, instruksi pengguna, umpan balik pengguna. Perbaikan kondisi lingkungan atau kondisi hutan yang mengalami kerusakan maka dilakukan penanaman kembali atau revegetasi. Dalam pelaksanaan revegetasi ini tentu memperhatikan cara dan aturan yang memenuhi kaidah-kaidah ergonomi. (4) Sosio-Kultural Secara sosio-kultural, teknologi tersebut harus dapat meliputi norma, nilai, kebiasaan, keinginan, impian, agama, kepercayaan, kebutuhan pemakai. Produk hendaknya jangan sampai menimbulkan kepada hal-hal atau problem yang kritis dan tabu untuk mereka, aestetika, nilai yang kuat dan berkualitas harus diperhitungkan. (5) Hemat Energi
Hemat akan energi berarti bahwa produk harus mempunyai kontribusi yang bermakna terhadap prinsip pembangunan berlanjut dan tidak malahan menghancurkan keberadaannya. Produk harus bisa secara efektif dan efesien berkontribusi kepada pembangunan berlanjut di dalam rangka menggunakan listrik, air dan lahan. Dalam pelaksanaan pembelaran tidak dibatasi oleh ruang tetapi dapat dilaksanakan di lapangan secara langsung. Pelaksanaan pembelajaran di lapangan tentu memperhatikan energi metabolisme peserta pelatihan dengan kelengkapan dari delapan aspek ergonomi. (6) Tidak Merusak Lingkungan Tidak merusak lingkungan atau melakukan pelestarian lingkungan, dimaksudkan agar produk tidak memberikan sesuatu kepada lingkungannya, seperti kantong plastik, polusi ke berbagai sasaran seperti lahan, sungai, air dan udara. Setiap emisi dari produk harus tidak menyebabkan polusi sebagai polutan. Konsep terpenting dari aspek ini adalah terwujudnya clean and green. Aspek SHIP (1) Sistemik Pengertian sistem menurut Wignjosoebroto (2000) adalah sekelompok elemen-elemen (sub-sistem) yang terorganisir dan memiliki fungsi yang berkaitan erat satu dengan lainnya guna mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari definisi sistem yang disampaikan oleh Wignjosoebroto sebagai pakar ergonomi dapat dinyatakan bahwa sistem itu sebagai suatu kesatuan yang berstruktur di mana kesatuankesatuan tersebut terdiri dari sejumlah komponen yang saling berpengaruh dan masingmasing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan fungsi struktur yaitu mencapai tujuan dari sistem itu sendiri. (2) Holistik Holistik berarti bahwa antara satu sistem dengan sistem lainnya pasti ada kaitannya, jadi tidak bisa dilepaskan begitu saja (Manuaba, 2004; 2005). Sebagai suatu contoh hubungan antar sistem ini yang holistik dapat dilihat kembali pada sistem manusia-mesin. Suatu sistem akan terjadi dalam satu lingkungan dan perubahan-perubahan yang timbul dalam lingkungan itu akan mempengaruhi sistem dan elemen-elemen sistem tersebut. Suatu sistem dapat dibagi ke dalam sub sistem dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan aktivitas manusia sebagai suatu system akan dapat pula dibagi-bagi kedalam job operations (subsistem), job position (jobsubsistem), duties (komponen), task (unit-unit), subtask (parts), dan task elemen (behavioral elements).
Mengacu pada konsep aplikasi holistik dalam dunia pendidikan, hal ini bermakna bahwa dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya antara penanaman konsep pada tatanan teori (kognitif) dengan penanaman konsep pada tatanan praktikum (psikomotor) dan afektif tidak bisa dilepaskan. Lebih lanjut, hal ini bermakna pula bahwa bila salah satu atau ketiganya mengalami masalah atau diprediksi menimbulkan masalah maka harus dipecahkan secara menyeluruh dan bukan secara partial. (3) Interdisipliner Interdisipliner berarti bahwa semua disiplin terkait harus diikutsertakan di dalam menganalisis suatu permasalahan (Manuaba, 2004 c). Hal ini berarti bahwa manusia dengan keterbatasannya tetapi memiliki kemampuan skill atau spesialisasi yang spesifik pada masing-masing diri manusia yang berbeda-beda. Lebih lanjut Manuaba (2004 d) menyampaikan bahwa dengan dimilikinya spesialisasi di masing-masing unit kerja, bukan berarti masing-masing unit bekerja sendiri-sendiri akan tetapi masing-masing unit membentuk team work dalam landasan kerja yang ergonomik. Dalam team work, masing-masing skill yang mereka miliki dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang ada sesuai sudut pandang skill yang mereka miliki dengan tetap mengacu pada tatanan kerja team work. Hasil yang diperoleh dari kerja team work yang terdiri dari berbagai komponen skill tersebut adalah terbentuknya suatu sistem yang efektif, efesien dan tidak ada sisa-sisa permasalahan atau yang diperkirakan dapat menimbulkan permasalahan setelah sistem itu berjalan.
(4) Partisipasi Partisipasi merupakan terlibatnya orang secara mental dan emosional di dalam satu kelompok yang merangsang mereka untuk berkontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab untuk apa yang dihasilkannya (Manuaba, 1999a dan 1999b; Adiputra, dkk; 1977). Ada 3 ide penting di dalamdefinisiiniialahadanyaketerlibatan (involvement), kontribusi (contribution) dantanggungjawab (responsibility). Partisipasi berarti adanya keterlibatan mental dan emosional daripada hanya aktivitas otot. Keterlibatan tidak hanya karena keterampilannya, tetapi lebih kepada orang tersebut sendiri secara utuh. Keterlibatan ini merupakan proses psikologis dan tidak karena sekedar ikut dalam tugas. Sibuk dengan pekerjaan dari mereka yang terlibat tidak selalu bisa disebut sebagai partisipasi.
Dalam Ekologi menggunakan prinsip-prinsip ekologi. Pendekatan ini digunakan sebagai dasar acuan untuk memecahkan permasalahan pembelajaran yang dihadapi sehingga efektivitas dapat tercapai, menimbulkan rasa nyaman, kondisi tubuh tetap dalam keadaan sehat, dan efesiensi pada segala aspek dapat terrealisasi. Bila konsep Ergonomi dikaitkan dengan Ekologi sebagai dasar dari kajian lingkungan maka integrasi tersebut dapat digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.1. UPAYA PENGELOLAAN HUTAN MANAJEMEN/ PENGELOLAAN SAMPAH
Mengurangi efek negatif thd manusia ERGONOMI TOTAL
EKOLOGI
SHIP TTG Sistemik ; Ekonomis ; Teknis ; Holistik ; Interdisipliner ; Ergonomis ; Sosiobudaya ; Partisipatori. Hemat energi ; Melindungi lingkungan.
Sustainability Siklus Biogeokimiawi Carrying capacity
Gambar 2.1. Skema Ergologi sebagai Integrasi Antara Ergonomi dan Ekologi (DiadopsidariSudiarno, dkk. 2012)
Antara Ergonomi dan Ekologi memiliki keterkaitan seperti tampak pada Gambar 2. EKOLOGI
ERGONOMI Ilmu yang mengarahkan penggunaan pengetahuan secara sistematis mengenai relevansi karakteristik MANUSIA dalam mencapai kesesuaian perancangan sistem interaksi antara manusia, peralatan/ perkakas, mesin, lingkungan, tugas, pekerjaan, sistem organisasi, kebijakan, dan keputusan sehingga dapat menjamin pecapaian tujuan secara spesifik.
Ilmu yang mempelajari hubungan organisme - organisme/ kelompok organisme (komponen biotis), khususnya MANUSIA terhadap lingkungannya (komponen abiotis). Teori Ekologi juga menaruh perhatian pada pengelolaan lingkungan hidup akibat pencemaran. MANUSIA
Gambar 2.2 Keterkaitan antara Ergonomi dan Ekologi (Diadopsi dari Sudiarno, dkk. 2012)
Dalam upaya pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya degradasi dengan menggunakan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal dapat digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.3.
1. 1. 2. 2. 3. 4. 5.
PertimbanganFUNGSIONAL factor edafik, AKTIVITAS klimatik dan biotik Waste Generation ; Pewadahan sampah ; Pertimbangan kearifan lokal Pengumpulan sampah ; Pemindahan & pengangkutan ; Pengolahan & pembuangan akhir. FASILITAS
Mencegah ; Minimalisasi ; Penggunaan kembali ; Daur ulang ; Recovery energi ; Pembuangan akhir.
Sarana prasarana masyarakat Bak sampah ;
1. 2. 3. 4. 5.
Reforestasi atau Revegetasi
Pemerintah ; Masyarakat/ komunitas ; Sektor swasta; Perguruan tinggi/ peneliti.
STAKEHOLDER
1. 2. 3. 4.
AKTIVITAS FUNGSIONAL & FASILITAS
Aspek Pemberdayaan Masyarakat ASPEK MANAJEMEN/ (Sistemik, Holistik, Interdisipliner, Partisipatif)
PENGELOLAAN SAMPAH <Sistemik - Holistik - Interdisipliner - Partisipatori>
PEMBIAYAAN & RETRIBUSI
1.
S MI NO GO ER
PILIHAN TEKNOLOGI
Gerobak sampah ; Tempat Pembuangan Sementara ; Truk pengangkut ; Tempat Pembuangan Akhir.
KemandirianMas yarakat
1. APBD Kota ; 2. Retribusi kebersihan.
LEGALITAS & HUKUM
ER GO NO MI S
1. 2. 3. 4. 5. 6.
PELES TARIA N HUTAN
1. Awig-Awig
1. Peraturan Pemerintah ; Legenda Daerah. 2.2.Peraturan
3. Religius
Gambar 3. Bagan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ergologi (Diadopsi dari Sudiarno, dkk. 2012)
Implementasi dari Gambar2.3 di atas, dapat dilihat padaTabel2.1. Tabel 2.1. Kaitan Antara Ergonomi Total, Ekologi, danKearifanLokal. NO ERGONOMI TOTAL
EKOLOGI
1
Memperhatikan
Teknis
Edafik,
KEARIFAN LOKAL
Faktor Memperhatikan Ala Ayuning
Klimatik,
dan Dewase,
Parameter Vegetasi
Darma
Nandur
Taru,
Pemaculan,
Asta
Kosala Kosali 2
Ekonomis
Efesiensi dalam pembiayaan Gotong
royong,Menyama
: Pembuatan pupuk organik, Braya,Ngayah,
Ngaturang
penggalian lubang tanam, Bakti, Dana Punia, Karma pembibitan,
penanaman, Phala, Awig-awig
perawatan, konsumsi dll 3
Ergonomis
Memperhatikan altitude dan Memperhatikan fisiografi kerja,
Sarana Patra, Teben-Deliwan, Tegeh-
Motivasi
kerja, Endep, Asta Kosala Kosali,
Kerja (K3) Sosiokulutral
Pemaculan,
kegiatan,
tanaman
Sesikut
Awak
Memperhatikan kondisi dan Kepercayaan lokasi
Kala
lahan,
Keselamatan dan Kesehatan Darma
4
Desa
yang
kebermanfaatan
jenis mitos
masyarakat,
macanduwe,
lelipi
ditanam, selem.Suara krama, paruman, tanaman pawisik, Alas duwe, Alassuci,
yang ditanam (tanaman in- puram retiwi, Alas tenget, situ,
tanaman
bernilai ekonomi)
langka, Teben
keliwan,tegeh-endep,
Desa Kala Patra, Rerainan, Ale ayuning Dewasa, Pala gantung, pala Bungkah.
5
HematEnergi
Memperhatikan intensitas
data Melaksanakan cahaya, Upacaramapagtoya,
ketersedian air, kesuburan tumpekngatag, lahan
nangglukmerana,
mecaru,
wanakertih,Desa
Kala
Patra,AlaAyuningDewasa, AstaKosalaKosali 6
TidakMerusakLingkungan Konsep
pelestarian Memperhatikan
lingkungan
Tri
Hita
melalui Karana,
revegetasi atau reforestasi
Sad Kertih, Karma Phala, Tenget, Duwe, Mretiwi
7
Sistemik
Memperhatikan
factor Sinkronisasi
Abiotik (edafik, klimatik), Parisuda, biotic dan culture
Tri Tindak
Kaya landaye,
(ABC Karma Phala
Environment) 8
Holistik
Memperhatikan keterkaitan Melihat genah pertiwi, surya, ABC Environment
wana, lan Sarwasentana,
Sarwawidya,
Sarwa Swadarmaning Krama 9
Interdisiplin
Memperhatikan
aspek Sarwasentana,
Sarwawidya,
sumber daya alam, fisiologi Sarwa Swadarmaning Krama tanaman, hama dan penyakit dll. Dengan melibatkan ahliahli dan masyarakat serta stakesholder 10
Partisipatori
Revegetasi atau reforestasi
Gotong royong, Tatwamasi, Dana punia, Swadarmaning Krama, Sukaduka,
Manyamabraya, Cerik
Kelih,Tua
Bajang, Luh Muani, Sugih Tiwas Karma phala.
2.3 Kearifan Lokal Kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data yang ada untuk tahun 2000 luas kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta ha yang terdiri dari 9,75 juta ha hutan lindung, 3,9 juta ha hutan konservasi, dan 41 juta ha hutan produksi. Kerusakan lahan di luar kawasan hutan mencapai 41, 69 juta ha (Wijana, 2013). Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Bali tahun 2002 menunjukkan bahwa dari luas lahan 127.271,5 ha kawasan hutan yang ada kondisi tegakan/vegetasi hutannya yang masih bagus seluas 56,06%, hutan bervegetasi belukar atau semak sebesar 25,55% dan sisanya berupa hutan kritis atau sangat rawan sampai kosong adalah sebesar 18,39%. Ada 3 faktor penyebab kerusakan hutan di Bali yakni kebakaran, penebangan liar, dan pembibrikan. Kebakaran hutan tahun 2002 mencapai 544,19 ha; penebangan liar 83,17 m3/th; dan pembibrikan mencapai 5.245, 77 ha (Adnyana dan Suwarna, 2007). Berkaitan dengan data di atas sangat perlu menggali kembali konsep kearifan lokal yang ada di masing-masing desa setempat atau Bali pada umumnya, yang diimplementasikan ke dalam pengeloaan lingkungan. Secara konseptual, kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan dan secara lebih spesifik merupakqan bagian dari sistem pengetahuan tradisional. Di antara keberanekaragaman jenis kearifan lokal, ditemukan adanya beberapa kearifan lokal yang memiliki kualitas dan keunggulan dengan kandungan nilai-nilai universal seperti nilai historis, religius, etika, estetika, sains, dan teknologi yang disebut local genius. Filosofi Tri Hita Karana adalah salah satu contoh local genius kebudayaan Bali.Filosofi ini penuh dengan kandungan nilai, etika lokal, sedangkan di pihak lain juga mencakup kandungan nilai-nilai universal secara kosmos, theos, antropos, dan logos dengan focus konvigurasi nilai harmoni (Geriya, 2007). Lebih lanjut Geriya (2007) menyatakan bahwa secara substantif, pokok-pokok isi kearifan local meliputi unsur-unsur : (1) konseplokal, (2) cerita rakyat (folklore), (3) ritual keagamaan, (4) kepercayaan lokal, (5) berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai system prilaku dan kebiasaan publik. Secara fungsional, kearifan local merupakan perangkat tradisi yang mencakup tiga dimensi : (1) dimensi potensi budaya yang meliputi unsure tangible dan intangible, (2) dimensi metode dan pendekatan yang mengedepankan kearifan dan kebijakan, (3) dimensi arah dan tujuan yang menekankan harmoni, keseimbangan dan keberlanjutan.
Secara konkrit, eksistensi kearifan local sebagai unsure living culture, pada tataran konsep nampak dari masih hidupnya konsep Tri Hita Karana; pada unsur cerita rakyat Nampak pada hidupnya cerita lipi selem bukit di Tenganan dengan tema pelestarian hutan; pada tataran ritual pada berlanjutnya upacara tumpek bubuh dan tumpek kandang dengan tema pelestarian flora dan fauna; adanya kepercayaan tenget terhadap hutan atau sumber air dan pantangan pencemaran areal sawah atau sungai yang diatur dalam awig-awig subak (Geriya, 2007). Lebih lanjut Wiana (2007) menyebutkan bahwa konsep Hindu dalam pelestarian lingkungan hidup termaktub di dalam Tattwa Hindu yang dirumuskan kedalam ajaranSad Kertih yaitu : (1) Atma Kertih, (2) Samudra Kertih, (3) Wana Kertih, (4) Danu Kertih, (5) Jagat Kertih, dan (6) Jana Kertih. Dalam penelitian ini berkaitan dengan Wana Kertih yaitu upaya untuk pelestarian hutan dengan karakteristik upacara dan upakara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. 2.4 TujuanKegiatan Tujuandarikegiataniniadalahuntukmengetahui: 1. Peran pendekatan ergologi berbasis kearifan local dalam sosialisasi konservasi hutan adat yang ada di DesaTigawasa dapat meningkatkan sikap konservasi masyarakat yang ada di Desa Tigawasa tersebut? 2. Tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat untuk tetap menjaga kelestarian hutan adat yang ada di DesaTigawasa? 2.5 Manfaat Kegiatan Manfaat kegiatan ini adalah untuk 1. Meningkatkan sikap konservasi masyarakat yang ada di DesaTigawasa; 2. Memberi solusi kedepan dalam menjaga kelestarian hutan adat yang ada di Desa Tigawasa; dan 3. Meningkatkan kognisi masyarakat yang ada di Desa Tigawasa dalam konservasi hutan adat.
BAB III MATERI DAN METODE PELAKSANAAN 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah
ERGOLOGI E R G O N O M I
MASALAH: STABILITAS HUTAN ADAT
KEARIF AN LOKAL
E K O L O G I
SOLUSI: SOSIALISASI
N
PRODUK : KOGNISI, SIKAP, TINDAK LANJUT KE DEPAN DALAM KONSERVASI
Gambar 3.1 Kerangka PemecahanMasalah 3.2 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Ruang lingkup kegiatan ini hanya sebatas pada sosialisasi konservasi hutan adat dengan pendekatan ergologi berorientasi kearifan lokal. Di luar kegiatan tersebut belum dapat dilaksanakan seperti kegiatan pembibitan, pembuatan lubang, penanaman, perawatan tanaman dan lain-lain belum dapat dilaksanakan karena kegiatan tersebut memerlukan pendanaan yang
cukup besar dan waktu yang diperlukan juga cukup lama. Kegiatan ini lebih menekankan untuk meningkatkan kognisi, sikap konservasi, dan menggali langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk menjaga dan mengamankan hutan adat di masa yang akan datang. 3.3 Khalayak Sasaran Khalayak sasaran untuk kegiatan ini adalah seluruh masyarakat dan hutan adat yang ada di Desa Tigawasa. Untuk khalayak sasaran masyarakat akan diwakili oleh beberapa komponen masyarakat seperti pengurus desa dinas dan adat, tokoh masyarakat, masyarakat umum, penglingsir, dan teruna teruni. 3.4 Keterkaitan Kegiatan ini memiliki keterkaitan dengan instansi di sektor jenjang pendidikan yaitu : 1. Pihak LPM Undiksha sebagai pihak penyedia/penyandang dana dan nara sumber. Hal ini bermakna juga bahwa pelaksanaan kegiatan ini sebagai implementasi dari salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi; 2. FMIPA berperan langsung dalam kegiatan ini dengan melibatkan staf pengajar dalam melaksanakan kegiatan P2M; 3. Masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan ini merupakan sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan sikap konservasinya; 4. Hutan adat sebagai objek dalam kegiatan ini, agar tetap stabil dan berkesinmabungan perlu direncanakan tindakan yang dapat dilakukan di masa yang akan datang; Keterkaitan bidang ilmu yang dikuasai oleh pelaksana adalah sangat relevan yaitu teridiri dari staf dosen yang mendalami tentang Ergonomi dan pendidikan Biologi khususnya Ilmu Lingkungan.
3.5 Metode Kegiatan Sebagaimana sudah disampaikan di atas, bahwa dalam kegiatan ini digunakan pendekatan Ergologi berorientasi kearifan lokal. Pendekatan Ergologi merupakan gabungan antara ergonomi dan ekologi. (lihat Gambar 1,2, dan 3). Keterkaitan antara ergonomi, ekologi dan kearifan lokal sudah disampaikan pada Tabel 2. Untuk mentransfer informasi dengan landasan pendekatan ergologi tersebut digunakan metode ceramah, diskusi, dan drill. Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan ini dilakukan kegiatan : 1) Pengurusan ijin kegiatan ke Kepala Desa dan Kelian Adat; 2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan kegiatan; Tahap Pelaksanaan Aktivitas dari seluruh kegiatan P2M ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 3.1. Rincian Jenis Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan P2M di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng HARI KE 1
JENIS KEGIATAN Registrasi Pembukaan oleh Kepala Desa /Ketua LPM Undiksha. Informasi dan diskusi tentang Konservasi hutan Informasi dan diskusi tentang Kearifan Lokal Informasi dan diskusi tentang Ergologi dan kaitannya dengan Konservasi Observasi hutan adat
WAKTU PELAKSANAAN 07.00 – 08.00 08.00 – 08.30
PELAKSANA Panitia Panitia
08.30 - 10.00
Nara sumber
10.00 – 11.30
Nara Sumber
11.30 – 13.00
Nara Sumber
13.00 – 15.30
Peserta dan Nara Sumber
3.6 Rancangan Evaluasi Kegiatan Untuk mengevaluasi keberhasilan dari kegiatan pengabdian ini dilakukan dengan cara(1) melihat dari daftar hadir jumlah peserta, (2) aktivitas peserta, (3) kesan dan pesan dari peserta serta 4) penerapan konsep ergologi di lapangan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 JumlahPeserta Jumlah peserta dari kegiatan ini dihadiri oleh 27 orang peserta (daftar hadir lihat Lampiran 1) yang terdiri atas Kepala Dusun selaku wakil dari Kepala Desa, anggota masyarakat, anggota PKK dan sekaa teruna teruni (STT). Mengacu pada pengertian partisipasi, maka dengan melihat jumlah peserta yang terlibat langsung dengan objek dan subjek sasaran maka hal ini sudah memenuhi kriteria dari partisipasi itu yakni involvement artinya ikut sertanya peserta secara langsung dalam melibatkan diri dalam suatu kegiatan. 4.2 Aktivitas Kegiatan Hasil pengabdian masyarakat ini dilihat dari aktivitas kegiatan yang dilaksanakan, nampaknya memberikan hasil yang sangat memuaskan. Indikator yang dapat digunakan adalah : 1. Peserta secara antusias mengikuti kegiatan ini dari awal sampai dengan akhir kegiatan; 2. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh peserta yang berkaitan dengan konsep Konservasi Hutan Adat dan Ergologi; 3. Adanya interaksi aktif antara peserta-peserta, peserta – penyelenggara; 4. Sambutan dari pejabat yang hadir, memberikan apresiasi yang positif terhadap pelaksanaan kegiatan ini. Bahkan untuk di masa mendatang agar dapat diselenggarakan kembali kegiatan ini, karena kegiatan semacam ini jarang disentuh dari pihak-pihak terkait. Kondisi di atas sangat didukung oleh pengertian dari SHIP dan TTG. Sistematik artinya bahwa dalam pemberian informasi dan diskusi dalam kegiatan ini melibatkan sistem masyarakat tradisional. Pemberian informasi didasarkan atas tingkat pengetahuan dari peserta dan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Holistik artinya bahwa dalam melaksanakan kegiatan konservasi yang menggunakan pendekatan Ergologi tidak hanya
berdasarkan kognitif teoritis semata tetapi didasarkan atas galian kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat. Melibatkan semua steakholder mulai dari pejabat setempat sampai dengan lapisan masyarakat yang paling bawah, termasuk organisasi yang ada. Interdisiplin artinya bahwa konservasi tidak hanya berdasarkan reguler formal, tetapi juga dari sisi ekonomis, ekologis, teknologis, sosio-kultural, dan sosio-politis. Partisipasi merupakan terlibatnya orang secara mental dan emosional di dalam satu kelompok yang merangsang mereka untuk berkontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab untuk apa yang dihasilkannya. TTG merupakan instrumen yang menggunakan peralatan teknologi yang tepat guna, yang tidak hanya berdasarkan teknologi canggih, tetapi menggunakan teknologi masyarakat setempat yang tradisional dan membudaya. (Winaja, 2015, Wijana, 2008; Manuaba, 1999 a dan 1999 b; Adiputra, dkk; 1977). Ada 3 ide penting di dalam definisi ini ialah adanya keterlibatan (involvement), kontribusi (contribution) dan tanggung jawab (responsibility). Partisipasi berarti adanya keterlibatan mental dan emosional daripada hanya aktivitas otot. Keterlibatan tidak hanya karena keterampilannya, tetapi lebih kepada orang tersebut sendiri secara utuh. Keterlibatan ini merupakan proses psikologis dan tidak karena sekedar ikut dalam tugas. Sibuk dengan pekerjaan dari mereka yang terlibat tidak selalu bisa disebut sebagai partisipasi. 4.3 Produk Kegiatan Ada beberapa kearifan lokal yang dapat digali dari diskusi dengan masyarakat setempat dan dijadikan pegangan dalam pelaksanaan konservasi oleh masyarakat setempat pula yaitu: Secara umum dapat disampaikan bahwa pengelolaan hutan yang ada di Desa Tigawasa tersebut mengacu pada Dresta atau tradisi yang ada di desa tersebut. Dresta atau tradisi yang dijalankan tersebut sesuai dengan warisan yang mereka terima dari leluhur mereka yang
bercirikan kebaliagaan mereka. Seperti anggapan yang bernuansa positif adalah bahwa hutan adalah suatu pura yang mretiwi, artinya bahwa hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaraan upacara agama. Tradisi lainnya yang bernuansa kearah pelestarian hutan adalah pelaksanaan dalam pemanfaatan hutan sebagai keperluan atas wargamasyarakat setempat.
Dalam
pemanfaatan hutan oleh masyarakat setempat harus melalui tahapan yang mengikutiaturan yang sudah disepakati bersama. Dan kesepakatan tersebut juga sebagai dresta yang berlangsung secara turun temurun. Pengelolaan hutan ini sepenuhnya dikelola oleh desa adat yang dibantu oleh wargamasyarakat. Pengelolaan terkait dengan hal pokok yakni(1) pengelolaan untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara di purahutan,
(2) pengelolaan tata cara mencari kayu, dan(3)
pembuatan batas-batas kawasan hutan dengan tegalan milik warga. Dari ketig apengelolaan tersebut, selanjutnya akanberpengaruh terhadap kelestarian hutan tersebut. Dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan pelaksanaan upacara agama di dalam purahutan tersebut ditempuh langkah-langkah berikut. Pertama dilakukan rapat atau paum yang dihadiri oleh seluruh wargadesa. Dalam rapat atau paumtersebut, dirembugkan berbagai hal yang terkait dengan akan dilaksanakannya upacara di purahutan. Kedua, apabila ada kesepakatan, maka upacara akan dilaksanakan. (3) Aapabila ada “sesuatu” yang dirasakan olehmasyarakat setempat atau oleh seseorang yang dianggap dan dipercaya oleh masyarakat setempat, maka upacara di pura hutan tersebut tidak dijalankan. Oleh karenanya, pelaksanaan upacara di pura hutan tersebut dari sisi waktu, tidak berjalan secara reguler. Ada beberapa upacara yang berhubungan dengan hutan yaitu: 1) Sabha Ngubeng :merupakan sabha yang dilaksakan di pura pengubengan. Dalam upacara ini tidak menggunakan gong, menggunakan canang capahan sebagai sarana
upacara. Capahan terdiri dari gantal metali benang (gantal yang terdiri daribase /sirih, makna :basa/bumbu), pamor (makna : suci), gambir (makna: gambaran atau tujuan), buah/pinang (makna : memperoleh kesimpulan yang baik setiap rapat) , temako/tembakau (makna : iklas menerima). Jadi tujuan digunakan capahan pada upacara ini adalah pada setiap rapat bias berbicara yang baik ,memaparkan rencana, iklas menerima sesuatu yang diberikan oleh para ulu dan mendapat tempat yang bagus. 2) Sabha Mamiut :merupakan upacara yang di laksanakan di purapemantenan dan purabaung. Upacara ini menggunakan guling meplahpah, dansesayutasoroh. 3) Sabha Sabuh Baas: upacara ini dilaksanakan di pura Kayehan Sanghyang. Upacara ini menggunakan banten guling meplahpah dan sesayut duang soroh. 4) Sabha Nyeta: upacara ini dilaksanakan di Pura Pememan. Upacara ini menggunakan banten guling meplahpah dan sesayut duangsoroh 5) Sabha Malguna: Upacara ini dilaksanakan di Pura Munduk Taulan. Banten yang digunakan dalam upacara ini sama dengan banten yang digunakan dalam upacara Sabuh Baas danNyeta. Pengambilan kayu di hutan untuk keperluan pura, ada beberapa tahap yang harusditempuh, yaitu (1) masyarakat yang memerlukan kayu harus menghadap Para Ulu untuk meminta ijin pengambilan kayu di hutan, (2) masyarakat menghadap kepada balian desa (orang pintar) untuk dicarikan hari baik untuk pengambilan kayu di hutan, (3) pengambilan kayu yang ada di hutan, di damping oleh aparat desaadat, (4) pengambilan kayu yang dimaksud sesuai dengan ijin yang telah dimiliki. Pengambilan kayu tidak boleh dari yang disepakati, dan bila dalam penebangan nya melebih dari hasil kesepakatan, maka akan dikenakan sangsi adat.
Pengelolaan hutan tentang tata cara pembatasan area hutan dengan kebun warga yaitu dengan membuat pagehan (bahan pembatas yang dibuat dari kayu yang masih hidup atau pagar hidup). Pagehan ini dibuat setelah ada pengukuran dari pemerintah desa tentang luas dari tanah warga tersebut. Tujuan dari dibuat pagehan adalah sebagai pembatas antara kebun dengan pura hutan, sehingga warga tidak sembarangan memasuki memperluas perkebunannya ke pura hutan. Dengan adanya pagehan ini, masyarakat yang memiliki kebun yang berdampingan dengan purahutan ini, apabila secara sengaja memperluas areal perkebunannya atau memasuki pura hutan, maka yang bersangkutan akan mengalami bencana, sakit atau bentuk lain secara niskala. Kepercayaan ini telah berlangsung secara turun temurun dan telah banyak fenomena itu dialami oleh masyarakat setempat. Terkait dengan kondisi hutan, adat, dalam pelaksanaan observasi dan sekaligus memberikan informasi tentang konservasi hutan, dapat dibuatkan dalam bentuk dokumentasi. Dokumentasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 4.1. Kondisi Hutan Adat Desa Tigawasa Bagian Dalam
r Gambar 4.2. Kondisi Hutan Adat Desa Tigawasa yang Berbatasan dengan Kebun Warga Setempat
Gambar 4.3. Suasana Pelaksanaan P2M di DesaTigawasa 2015
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan (Sementara) Simpulan yang dapat ditarik dari kegiatan ini adalah: 1. Kegiatan pelaksanaan P2M ini mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari masyarakat Desa Tigawasa khususnya masyarakat yang ada di sekitar Hutan Adat. 2. Pemahaman masyarakat tentang konservasi hutan menjadi lebih meningkat. 3. Kesadaran masyarakat terkait peran dan pentingnya konservasi hutan menjadi lebih meningkat. 4. Disadari bahwa kearifan local yang mereka miliki sebagai aset yang dapat digunakan sebagai acuan dalam konservasi hutan adat yang ada di desa tersebut. 5. Tindak lanjut dari kegiatan P2M ini adalah(a) penyempurnaan laporan kegiatan P2M dan(b) masih dipandang perlu untuk didiskusikan lagi dengan anggota P2M. DaftarPustaka Adnyana, Sandi I Wayan dan Suwarna, I wayan. 2007. Permasalahan dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Dalam Buku Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana. Geriya, I Wayan. 2007. Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup Daerah Bali. Dalam Buku Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana. Manuaba, A. 2004. Pendekatan Total PerluuntukAdanya Proses ProduksidanProduk yang Manusiawi, Kompetitifdan Lestari. Makalah disampaikan pada Pertemuan seminar Teknik Industri di Universitas Atmajaya, Yogyakarta 2004. Sudiarno, Adithya; SritomoWignjosoebroto; UdisubaktiCiptomulyono. 2012. PerspektifErgologi (IntegrasiErgonomidanEkologi) DalamManajemen/PengelolaanSampah. http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&biw=&bih=&q=ergologi&meta=&oq =ergologi&aq=f&aqi=g-s1&aql=&gs_l=firefoxhp.3..0i10.687804l690473l0l699916l8l8l0l0l0l0l244l1280l1j5j2l8l0.frgbld. Diaksestanggal 10 April 2012.
Wiana, I Ketut. 2007. Konsep Hindu Tentang Pelestarian Lingkungan. Dalam Buku Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar : UPT Penerbit Universitas Udayana. Wignjosoebroto, S. 2000. Ergonomi, Studi Gerak. Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya. Wijana, Nyoman dan I NengahSumardika. 2009. PelestarianJenisJenisTumbuhanBergunaMelaluiKearifanLokal di DesaAdatTengananPegringsingan, KabupatenKarangasem, Bali.DimuatdalamprosidingKonservasi Flora Indonesia dalamMengatasiDampakPemanasan Global. Kebun Raya “EkaKarya – LIPI. Hal. 724 731. ISBN 978-979-799-447-1. Wijana, Nyoman; Ida bagusPutuArnyana. 2013. AnalisisStrukturVegetasiHutanAdat, UpayaPengelolaanBerbasisKearifanLokal Dan PemberdayaanMasyarakatMelaluiPendekatanErgologi Di DesaBali AgaBuleleng – Bali. HasilPenelitian. TidakDiterbitkan. Wijana, Nyoman. 2014. PembelajaranIlmuLingkunganMelaluiPendekatanErgologiBerorientasiBeberapaaspekErg onomiUntukMeningkatkanHasilBelajarMahasiswaJurusanPendidikanBiologi FMIPA Undiksha. Jurnal IKA Vol. 12, No. 1, Maret 2014. ISSN 1829-5282. Hal 88-100. Wijana, Nyoman. 2014. AnalisisKomposisidanKeanekaragamanSpesiesTumbuhandi HutanDesaBali AgaTigawasa, Buleleng – Bali. JurnalSainsdanHumanioraLemlitUndiksha. Vol. 1 No. 1, April 2014. Hal 55-65. Wijana, Nyoman. 2015. IlmuLingkungan. Yogyakarta: GrahaIlmu.