Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
iii
iii
Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) – Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan “Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI. SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta). Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku). Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) – Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama. Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota. Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS. Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia. Jakarta, Juni 2003 Kepala Badan Pusat Statistik
Dr. Soedarti Surbakti
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
i
i
Kata Pengantar Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan “concentrated level epidemic”. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu. Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini. Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Jakarta,
Mei 2003
Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI
Dr. Umar Fahmi Achmadi
ii
ii
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi
i iii
Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci
v vii
1. Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Survei Surveilans Perilaku
1
Sasaran Survei
2
Metode Survei
3
Sketsa Lokasi
5
2. Karakteristik Sosial dan Demografi
7
Struktur Umur
7
Status Perkawinan
7
Tingkat Pendidikan
8
Daerah Asal
8
Mobilitas
9
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
9
Lama Bekerja
10
Tarif
10
Rata-rata Pendapatan
11
3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
13
Pernah Mendengar HIV/AIDS
13
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS
13
Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
14
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
14
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS
17
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
iii
iii
4. Persepsi Berisiko
19
Merasa Berisiko
19
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko
19
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan
20
5. Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom
23
Antara Pengetahuan dan Perilaku
24
Seks Anal dan Narkoba
26
6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
29
Infeksi Menular Seksual (IMS)
29
Jenis Keluhan IMS
30
Tempat Berobat
30
7. Kesimpulan dan Saran
iv
23
33
Pengetahuan dan Persepsi Berisiko
33
Perilaku Berisiko dan Kondom
34
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
34
Usulan Tindakan
35
iv
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Daftar Gambar Gambar
Judul Gambar
2.1
Struktur Umur Responden
2.2
Tingkat Pendidikan Responden
2.3
Propinsi Asal Responden
2.4
Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria
2.5
Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
3.1
Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
3.2
Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS
3.3
Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
3.4
Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS
3.5
Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS
3.6
Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
4.1
Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
4.2
Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
4.3
Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan
5.1
Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial
5.2
Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir
5.3
Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual
5.4
Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir
5.5
Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik
6.1
Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS
6.2
Jenis Keluhan IMS
6.3
Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut
6.4
Responden yang Mengalami Gejala IMS dan Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
v
v
vi
vi
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Tabel Indikator Kunci
Indikator
WPS Langsung
WPS Responden Tidak Pria Langsung
1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
85,6
94,0
87,8
2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
54,4
72,5
58,5
3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
42,5
4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
-
40,8
6,8
5,8
-
32,5
58,2
17,7
7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
7,8
23,6
3,6
8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
2,8
5,0
0,0
9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir
19,2
17,5
13,0
10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
81,3
57,1
55,3
5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir 6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
vii
vii
viii
vii
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
1
Pendahuluan
Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini nantinya akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.
Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan
Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.
Survei Surveilans Perilaku Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologi. Informasi hasil surveilans serologi akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, dan respon masyarakat terhadap pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologi. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologi akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
1
Manfaat Surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans HIV generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.
Sasaran Survei
Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS
Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita pekeja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks dan atau mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya. Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia termasuk di Propinsi Sumatera Selatan yang dilaksanakan bulan Januari-Februari 2003 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), dan lelaki yang bekerja sebagai sopir serta kernet truk. Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut:
2
•
Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
•
WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu, misalnya di salon, panti pijat.
•
Sopir truk dan kernetnya, adalah laki-laki yang bekerja sebagai sopir atau kernet truk antar kota. Dalam laporan ini sopir/kernet truk selanjutnya disebut “responden pria”.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Metode Survei Besar ukuran sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Penghitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung, 20 lokasi WPS tidak langsung, dan 20 lokasi responden pria, namun dalam kenyataannya ketersediaan lokasi sebanyak itu tidak selalu dapat dipenuhi, karena jumlah lokasi yang ada tidak mencapai target. Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Propinsi Sumatera Selatan dicantumkan dalam tabel berikut ini.
Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Sumatera Selatan
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Kota
Palembang
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
5
250
6
200
10
400
Cakupan wilayah SSP di Propinsi Sumatera Selatan adalah Kota Palembang dengan sasaran survei adalah WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria. Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi Sumatera Selatan, dan Dinas Kesehatan setempat, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Propinsi Sumatera Selatan, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologi HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan (Depkes). Dengan dipilihnya Kota Palembang, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
3
Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel
4
Pemilihan acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Karena jumlah lokasi hasil listing untuk WPS dan responden pria lebih kecil dari target yang ditentukan maka pemilihan sampel dilakukan secara sistematik sampling, langsung pemilihan responden (tanpa melalui pemilihan lokasi). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Sketsa Lokasi:
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
5
6
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
2
Karakteristik Sosial dan Demografi
Struktur Umur Struktur umur WPS di Kota Palembang menunjukkan bahwa WPS langsung umumnya lebih muda dibanding WPS tidak langsung. Sebagian besar atau sekitar 82 persen WPS langsung berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, sedangkan pada kelompok WPS tidak langsung sekitar 52 persen berada pada kelompok umur yang sama.
Rata-rata umur WPS langsung lebih muda dibanding WPS tidak langsung
WPS langsung mempunyai rata-rata usia 25,3 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 29,7 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan ratarata umur sekitar 4 tahun. Sementara itu untuk struktur umur responden pria, berada pada usia produktif dengan rata-rata umur 33,6 tahun. Gambar 2.1. Struktur Umur Responden
Responden Pria 3
16
4
WPS Tidak Langsung
WPS Langsung
19
16
Kurang dari 20 tahun
47
32
10
0
15
29
40
20 20 - 24 tahun
20
32
40
Persen
25 - 29 tahun
60 30 - 34 tahun
12
6
80
100
35 tahun atau lebih
Status Perkawinan Sebagian besar responden pria (79,2 persen) berstatus kawin dan sekitar 19,5 persen berstatus belum kawin, sementara yang berstatus cerai hanya sedikit sekali (1,3 persen). Sebanyak 40,4 persen responden pria yang berstatus kawin pernah membeli seks dalam setahun terakhir sementara diantara yang belum kawin sekitar 50,6 persen yang pernah membeli seks dalam setahun terakhir. Besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin menunjukkan bahwa penyebaran penyakit kelamin dan HIV ke dalam lingkungan keluarga cukup potensial.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Separuh responden pria belum kawin yang menjadi pelanggan WPS
7
Sebagian besar WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung berstatus cerai, yaitu masing-masing 74,7 persen pada WPS langsung dan 73,4 persen untuk WPS tidak langsung. Diantara WPS langsung terdapat 21 persen yang menyatakan belum kawin, sementara persentase WPS tidak langsung yang menyatakan belum kawin atau kawin masing-masing sekitar 13 persen.
Tingkat Pendidikan WPS pada umumnya berpendidikan rendah
Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (tamat SD atau kurang). WPS yang berpendidikan rendah lebih banyak terdapat pada kelompok WPS langsung daripada WPS tidak langsung. Dua pertiga (66,0 persen) dari kelompok WPS langsung berpendidikan paling tinggi tamat SD, sedangkan kelompok WPS tidak langsung yang tingkat pendidikannya sama ada sebanyak 54,5 persen. Secara umum WPS tidak langsung berpendidikan lebih tinggi dibanding WPS langsung. Lebih dari separuh responden pria mempunyai pendidikan cukup tinggi, yaitu sekitar 55 persen berpendidikan SLTP ke atas. Responden pria yang tidak tamat SD hanya sebagian kecil, yaitu 11,2 persen. Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden
Responden Pria
11
WPS Tidak Langsung
34
14
WPS Langsung
41
19
20 Tamat SD
18
28
47
0 Tidak Tamat SD
37
40
18
26
Persen
Tamat SLTP
60
80
8
100
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Daerah Asal Sebagian besar WPS adalah pendatang, sedangkan mayoritas responden pria berasal dari Sumatera Selatan
8
Lebih dari 20 persen WPS langsung berasal dari Propinsi Sumatera Selatan. WPS langsung yang bukan berasal dari Propinsi Sumatera Selatan kebanyakan berasal dari Jawa Barat (45,2 persen), Jawa Tengah (18,0 persen), Jawa Timur (5,6 persen) dan Lampung (4,8 persen). Sementara itu persentase WPS tidak langsung paling tinggi berasal dari penduduk Sumatera Selatan (29,5 persen). WPS tidak langsung yang bukan berasal dari Sumatera Selatan antara lain berasal dari Jawa Barat
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
(28,0 persen), Jawa Tengah (18,5 persen), Jawa Timur (8,0 persen) dan Lampung (6,0 persen). Pola yang sama terlihat juga pada kelompok pelanggan. Mayoritas responden pria berasal dari penduduk Sumatera Selatan (67,8 persen), sedangkan responden pria yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung masing-masing kurang dari 6 persen. Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden
68
Responden Pria
4 32
30
WPS Tidak Langsung
28
22
WPS Langsung
0
18
8
18
45
20
23
40
60
16
6
9
80
100
Persen Sumatera Selatan
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Lainnya
Mobilitas Mobilitas penjaja seks dan responden pria cukup tinggi, yaitu berpindahpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Kurang dari sepertiga WPS (langsung dan tidak langsung) menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS di Kota Palembang adalah cukup tinggi.
Kurang dari sepertiga WPS pernah kerja di daerah lain
Hasil SSP 2002 menunjukkan bahwa hampir semua responden pria (98,8 persen) yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir pernah melakukannya di luar Kota Palembang.
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Rata-rata usia responden pria saat pertama kali berhubungan seks masih relatif muda yaitu 21,2 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 33,6 tahun maka dapat dikatakan bahwa para responden pria di Kota Palembang telah melakukan hubungan seks rata-rata selama sekitar 12 tahun.
Usia ketika pertama kali berhubungan seks pada responden pria relatif muda
Jika dilihat dengan siapa mereka pertama kali berhubungan seks, ternyata sekitar 23 persen berhubungan seks pertama kali dengan WPS. Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan berhubungan seks pertama kali dengan istri (49,1 persen) dan dengan pacar/kekasih (24,5 persen).
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
9
Gambar 2.4. Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria
60 50
49
Persen
40 30
24
23
20 10
3
1
0 Istri
Pacar/kekasih
Kenalan/teman
WPS
Lainnya
Lama Bekerja Untuk penjaja seks lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama bekerja sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi dalam lama menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung. Secara rata-rata WPS langsung sudah menjalani pekerjaannya selama 34 bulan, atau 3 tahun kurang 2 bulan sedangkan WPS tidak langsung sudah menjalaninya selama 45 bulan atau 4 tahun kurang 3 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung adalah 6 hingga 7 orang dan WPS tidak langsung adalah 5 hingga 6 orang atau tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sementara itu, di antara responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS, rata-rata frekuensi berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir, hampir 3 kali.
Tarif Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung
Rata-rata uang yang diterima (sebagai pendekatan tarif) oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks komersial terakhir, yaitu sebesar Rp 82,5 ribu oleh WPS langsung dan Rp 147,1 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dapat diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. Hal ini terlihat dari tingginya persentase penggunaan kondom pada WPS tidak langsung seperti ditunjukkan pada Bab 5.
10
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
Responden Pria
43
WPS Tidak Langsung
147
WPS Langsung
83 0
20
40
60
80
100
120
140
160
Ribuan Rp
Dari gambar di atas terlihat bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria lebih rendah dibandingkan uang yang diterima oleh WPS, yaitu sekitar Rp 43,4 ribu. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa responden pria umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung.
Rata-rata Pendapatan Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan ratarata WPS. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 562 ribu atau Rp 1,7 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 860 ribu seminggu atau Rp 2,6 juta sebulan (dengan asumsi rata-rata hari kerja sebanyak 3 minggu dalam sebulan). Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Sumatera Selatan , yaitu sebesar Rp 332 ribu per bulan (BPS 2003, Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002).
Terdapat perbedaan pendapatan yang tajam antara WPS langsung dan WPS tidak langsung
Dibandingkan dengan pendapatan (upah) rata-rata pendapatan karyawan di Palembang, sebesar Rp 790 ribu per bulan (BPS, diolah dari data Susenas 2002), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
11
12
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
3
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Kota Palembang menunjukkan bahwa lebih dari empat per lima dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS tidak langsung (94,0 persen). Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
Responden Pria
88
WPS Tidak Langsung
94
WPS Langsung
86
0
20
40
60
80
100
Persen
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Pertanyaan lebih jauh kepada responden yang pernah mendengar HIV/AIDS mengenai penyakit tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden memang mengerti arti dari penyakit HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan dengan besarnya persentase ketika ditanyakan mengenai pertahuan HIV/AIDS secara detail. Antara 46 hingga 50 persen dari ketiga kelompok sasaran menjawab bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit kelamin, sementara sekitar 35 sampai 53 persen lainnya menjawab bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dari ketiga kelompok sasaran hanya sedikit yang menyatakan tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya, yaitu kurang dari 10 persen, bahkan pada kelompok WPS tidak langsung hanya 5,0 persen yang menyatakan tidak tahu.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Sekitar separuh dari responden yang pernah mendengar HIV/AIDS ternyata mengerti apa itu HIV/AIDS
13
Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS 60 50
53
50
48
46 41
Persen
40
Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin
35
30
Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan
20 10
10
5
9
Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Sebagian besar responden tidak tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, ternyata tidak sampai 30 persen responden yang mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Bahkan pada responden pria hanya sekitar 16 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Kelompok sasaran yang menyatakan tidak tahu juga sedikit, terutama WPS langsung (16,7 persen), sementara sisanya dengan persentase yang cukup besar memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3).
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
Pemahaman tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas
Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga dapat menuntun untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar seseorang tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyataannya, perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam 2 tahapan seperti sistem bertanya di atas.
14
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
26
16
Responden Pria
WPS Tidak Langsung
26
WPS Langsung
25
0
5
10
20
17
15 Tes darah
20
25 Persen
30
35
40
45
50
Tidak tahu
Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS tidak langsung (62,5 persen). Sementara itu, jawaban spontan yang paling banyak disampaikan oleh responden pria adalah tidak melakukan hubungan seks, meski proporsinya juga tidak banyak (32,5 persen). Perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya karena berbagai sebab. Misalnya, ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya. Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase, terutama terjadi untuk kategori jawaban “berhubungan seks hanya dengan satu pasangan”, yang naik dari 13,0 persen dari jawaban spontan menjadi 67,0 persen ketika dilakukan probing pada WPS tidak langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya tidak seorang pun di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang menarik bagi mereka.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
15
Gambar 3.4. Cara yang Diketahui Agar Tidak Tertular HIV/AIDS
Tidak melakukan hubungan seks 100
Menggunakan kondom saat berhubungan seks
80
Persen
Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan
72 64
58
60 40
Menghindari penggunaan jarum suntik bersama
38
32
32
62 54
67
62
58
59
55 48 39
37 23
10
14 6
8
WPS-L
13
Responden Pria
20
13
17
Setelah diprobing
Masih sangat sedikit responden pria di Kota Palembang yang menyadari manfaat kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV
16
Responden Pria
WPS-TL
WPS-TL
WPS-L
Responden Pria
WPS-TL
WPS-L
Responden Pria
WPS-TL
WPS-L
0
Jaw aban Spontan
Menarik untuk dicatat bahwa jauh lebih banyak penjaja seks (terutama WPS tidak langsung) dibandingkan kaum pria yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Bahkan di antara kaum pria yang menjadi pelanggan penjaja seks persentase yang menyebutkan secara spontan bahwa penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV juga relatif rendah. Sebagaimana terlihat pada Gambar 3.5 responden pria di Kota Palembang paling rendah pengetahuannya tentang penggunaan kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV dibandingkan responden pria di Semarang (Jawa Tengah) dan Sorong (Papua) pada periode survei yang sama.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 3.5. Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Mencegah Tertular HIV/AIDS
100
Persen
80 60
58
61 48
68
40
40 23
Setelah diprobing Jaw aban spontan
20 0 Palembang
Semarang
Sorong
Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang pemahamannya rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (18,1 persen), WPS tidak langsung (14,9 persen), dan responden pria (23,0 persen).
Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja
Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban “tidak tahu”, yaitu mencapai 26,0 persen pada WPS langsung dan masing-masing 33,0 persen dan 26,6 persen untuk WPS tidak langsung dan responden pria. Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban responden terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terutama terlihat pada kalangan WPS, meski juga tidak sedikit proporsi responden pria yang mempunyai pemahaman salah.
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan HIV/AIDS Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS) oleh lebih dari sepertiga WPS, baik WPS langsung (37,6 persen), maupun WPS tidak langsung (33,5 persen). Sekitar 30 responden pria juga berpikir bahwa minum obat dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya
17
Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berpikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.6 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV. Gambar 3.6. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
30
Makan makanan yang bergizi
36 Responden Pria
27
WPS Tidak Langsung 38
Tidak menggunakan secara bersama alat makan
23 32
Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain
30 20 30
Minum obat sebelum berhubungan seks
34 38 0
Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih tinggi
18
WPS Langsung
29
20
40
Persen
60
80
100
Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks di Kota Palembang yang secara reguler memperoleh suntikan untuk “pencegahan” IMS dan HIV (41,2 persen WPS langsung dan 51,5 persen WPS tidak langsung). Depkes sudah lama tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, itu adalah diluar program Depkes. Bila penyuntikanpenyuntikan tersebut dilaksanakan diluar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkalikali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
4
Persepsi Berisiko
Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Bahkan di antara responden pria hanya sepertiganya (33,1 persen) yang merasa berisiko. Pemahaman tentang risiko lebih dominan pada kelompok WPS, di mana lebih dari 50 persen merasa berisiko tertular HIV/AIDS.
Lebih dari 50 persen WPS merasa berisiko, sementara hanya sekitar 33 persen responden pria yang merasa berisiko
Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
Responden Pria
33
54
13 Merasa berisiko
WPS Tidak Langsung
56
30
Tidak merasa
14
Tidak tahu WPS Langsung
53
0
20
35
40
Persen
60
12
80
100
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Setengah dari WPS tidak langsung (51,8 persen) dan hampir 30 persen WPS langsung yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar). Sementara itu, di antara WPS langsung cukup banyak (18,7 persen) yang berkeyakinan bahwa berobat lebih dahulu membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah). Masingmasing sekitar seperempat dari setiap kelompok sasaran juga merasa tidak berisiko karena meyakini pasangannya bersih (juga pemahaman yang salah). Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
WPS tidak langsung umumnya lebih memahami risiko dan cara menghindarinya
19
Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
100
Persen
80 52
60 40
29
20
23
30
24
6
19
13 2
0 Karena selalu menggunakan kondom WPS Langsung
Karena yakin pasangannya bersih WPS Tidak Langsung
Karena berobat terlebih dahulu Responden Pria
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko
20
Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Kota Palembang tidak banyak menggambarkan dugaan tersebut, kecuali pada WPS tidak langsung, khususnya antara mereka yang tidak tamat SD dan jenjang pendidikan yang di atasnya. Di antara WPS tidak langsung yang tidak tamat SD terdapat sekitar 38 persen yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS, sementara dari yang berpendidikan tamat SLTP dan di atasnya lebih dari 60 persen yang merasa berisiko. Dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagiannya juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan
100
Persen
80 60
53
59
57 44
57
62
61
38
40
35
36 28
35
20 0 WPS Langsung Tidak tamat SD
WPS Tidak Langsung Tamat SD
Tamat SLTP
Responden Pria Tamat SLTA atau lebih tinggi
Menarik untuk disampaikan responden pria merupakan kelompok yang paling kurang menyadari risiko tertular HIV/AIDS dibandingkan kelompok WPS. Di kelompok pria ini perasaan berisiko tidak mempunyai hubungan dengan tingkat pendidikannya. Persentase yang merasa berisiko hanya 35,3 persen di antara yang berpendidikan SLTA ke atas, sama besar persentasenya dengan yang berpendidikan tidak tamat SD.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi perilaku seks kaum pria
21
22
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
5
Pola Perilaku Berisiko
Penggunaan Kondom Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (untuk responden pria) atau selama seminggu terakhir (untuk WPS) masih sangat rendah, yaitu sekitar 8 persen pada WPS langsung, dan bahkan kurang dari 4 persen di antara responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir.
WPS tidak langsung lebih banyak pakai kondom pada seks komersial
Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS tidak langsung yang tingkat penggunaan kondomnya paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya, sekitar 58 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, tetapi di antara mereka tersebut hanya sebanyak 23,6 persen yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir.
Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial 100
Persen
80 58
60 40
33 24
20
8
18 4
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)
Perbandingan antara yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir dengan yang selalu menggunakannya dalam seminggu terakhir jauh lebih buruk pada WPS langsung dan responden pria. Dari sekitar 18 persen responden pria yang menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir hanya sekitar 4 persen yang selalu menggunakannya dalam seminggu terakhir, sementara untuk WPS langsung komposisinya adalah 32,5 persen berbanding 7,8 persen.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
23
Tidak digunakannya kondom tampaknya sedikit berkaitan dengan ketersediaan kondom di lokasi. Dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa kondom tidak selalu tersedia atau tidak mudah diperoleh di seluruh lokasi terjadinya transaksi seks, 66,8 persen lokasi WPS langsung dan 83,5 persen lokasi WPS tidak langsung.
Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir
100 Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada seks komersial terakhir
Persen
80 59
60 40
31
30
20
Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir
13
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Antara Pengetahuan dan Perilaku
Sebagian besar responden pria tidak sesuai antara perilaku dengan pengetahuannya
Data menunjukkan bahwa di antara WPS, WPS tidak langsung, umumnya lebih tua, lebih berpendidikan, telah lama bekerja di bidang tersebut, dan mempunyai pelanggan lebih beruang, lebih suka menggunakan kondom daripada WPS langsung yang relatif kurang berpendidikan, dan yang pelanggannya dari kelompok orang yang mempunyai kepedulian rendah terhadap HIV dan risiko hubungan seks tanpa pelindung. Selain itu, di antara kedua kelompok tersebut, kesenjangan antara pengetahuan dan kesediaan kondom di satu sisi dan perilaku atau prakteknya di sisi lain sangatlah lebar. Di antara WPS langsung yang tahu bahwa pakai kondom dapat mencegah tertular HIV, sekitar 59,4 persen ternyata tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan di antara WPS tidak langsung hanya 30,8 persen yang tidak menggunakannya. Rendahnya persentase WPS tidak langsung yang tidak kondom kepada pelanggannya di satu sisi (hanya 12,8 tingginya persentase penggunaan kondom di kalangan langsung mungkin mengindikasikan tingginya kesadaran kondom.
24
menawarkan persen) dan WPS tidak untuk pakai
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Di kalangan pelanggan, mereka yang tahu tentang pencegahan terhadap risiko tertular HIV/AIDS sebagian besar ternyata tidak menerapkan pengetahuannya dalam hubungan seks. Bahkan diantara mereka yang tahu pencegahan tertular dengan memakai kondom, justru lebih dari 80 persen tidak menggunakannya dalam hubungan seks komersial terakhir.
Gambar 5.3. Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual
Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
81
Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks
47
Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir
49
Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir
44
0
20
40 Persen
Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah dalam penggunaan kondom. Orang-orang yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan sangat menarik bahwa responden wanita (WPS) dan responden pria menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar karena pelanggannya (responden pria) tidak menghendaki pakai kondom karena “merasa kurang enak”. Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena “keengganan” kaum laki-laki untuk menggunakannya memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
60
80
100
Lebarnya gap antara pengetahuan dan perilaku berisiko lebih disebabkan karena keengganan responden pria untuk menggunakan kondom dalam seks komersial
25
Gambar 5.4. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir
100
Persen
80 60
60 42 40 20
16
18
24
18 6
0
5
11
0 Tidak ada/tidak tersedia
Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak
Pasangan bersih
Responden Pria
Tanpa alasan
Lainnya
WPS
Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satusatunya perilaku berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba. Meskipun relatif kecil, ada juga di kalangan responden pria yang pernah berhubungan seks dengan waria, yaitu kurang dari 1 persen. Data mengenai prevalensi HIV di kalangan waria di Kota Palembang tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 1 di antara 5 waria terinfeksi HIV (SSP Waria, 2002). Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk waria. Pengguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) merupakan orangorang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN, Jakarta, 2002)*) .
*)
26
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002. Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata (halaman 7)
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 5.5. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik
7 6.0 6
5.2
5.0
Persen
5 4 3
2.8
2.8
2 1 0.0 0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik
Hasil SSP untuk Kota Palembang menunjukkan bahwa sekitar 2 sampai 5 persen WPS mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik, tetapi dari kalangan responden pria tidak ada yang menyatakan pernah menggunakannya. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5, sebagian responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik bahkan dengan persentase lebih besar. Penggunaan narkoba suntik dan seks komersial merupakan cara penularan utama HIV di Indonesia.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
27
28
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
6
IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari ketiga kelompok berisiko, cukup banyak dari kalangan WPS langsung (19,2 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung dan responden pria terdapat masing-masing sebanyak 17,5 persen dan 13,0 persen yang terkena IMS. Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS
100 82 Dari y ang mengalami gejala IMS, persentase y ang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
80
Persen
62 60
47 Dari y g mengalami gejala IMS, persentase y ang selalu pakai kondom dalam seks komersial setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)
40 20
6
2
5
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Data di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan IMS tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Penyakit tersebut diterima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi responden yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial.
Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS)
Di kalangan WPS langsung sekitar 62 persen yang menderita gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok responden pria rasionya lebih tinggi lagi yaitu sekitar 82 persen yang menderita IMS.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
29
Jenis Keluhan IMS Keluhan IMS pada perempuan dan lelaki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami lelaki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah dikeluhkan lelaki, sebaliknya penyakit keputihan dikeluhkan perempuan. Secara umum, keputihan disertai bau tak sedap merupakan jenis IMS yang banyak diderita oleh kalangan WPS, terutama WPS tidak langsung. Di kalangan WPS langsung, selain keputihan, banyak juga diantara mereka yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin (47,9 persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya.
Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita oleh kalangan WPS
Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS
100 83 80
Persen
67 60
57 48
47
45
Benjolan di sekitar alat kelamin
40
Keputihan disertai dengan bau tak sedap
20 20
Luka/koreng di daerah alat kelamin
13
Kencing nanah 0
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Sementara itu, keluhan berupa luka/koreng dan benjolan di sekitar alat kelamin, serta kencing nanah merupakan keluhan IMS yang kerap dialami responden pria. Sekitar 50 persen dari kalangan responden pria ini pernah mengalami ketiga jenis keluhan tersebut.
Tempat Berobat Lebih dari sepertiga WPS tidak langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan simptom IMS, dan sekitar 18,8 persen WPS langsung dan 34,0 persen responden pria yang terkena simpton juga mengobati sendiri.
30
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Gambar 6.3. Responden Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut
Responden Pria
55
WPS Tidak Langsung
30 Dokter
4 adalah praktek pilihan utama bagi WPS dan responden pria untuk pengobatan 23 keluhan IMS yang dialami
11
0
57
WPS Langsung
20
81
0
20
Berobat ke petugas kesehatan Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik
40
0
Persen
60
10
8
80
100
Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain
Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien. Sekitar 68,7 persen perempuan dan 63,8 persen lelaki yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya harus pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga. Hasil SSP di Kota Palembang menunjukkan bahwa petugas kesehatan merupakan tempat sebagian besar responden mencari pengobatan IMS yang dialami oleh ketiga kelompok sasaran. Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita ternyata sama antar kelompok sasaran. Mereka mempunyai pilihan tempat berobat yang dominan, yaitu praktek dokter. Namun demikian, puskesmas/pustu atau rumah sakit merupakan tempat yang juga cukup banyak dipilih mereka untuk berobat. Tidak jelas apa alasan pilihan ini, bisa karena akses yang mudah, karena sudah langganan atau biaya berobat yang berbeda. Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/ Fasilitas Kesehatan
Responden Pria
69
WPS Tidak Langsung
12
80
WPS Langsung
72
0 Dokter Praktek
20
13
40
Puskesmas/Pustu
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
Persen
60
Rumah Sakit
80
12
7
15
05
15
0
100
Mantri Kesehatan/Bidan
31
32
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
7
Kesimpulan dan Saran
Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Di Kota Palembang, intervensi pendidikan seperti ini tidaklah cukup meluas. Sekitar 31 persen WPS langsung, 60 persen WPS tidak langsung, dan hanya 9 persen responden pria yang mengatakan mereka pernah mengetahui atau memperoleh kampanye pencegahan HIV selama setahun terakhir. Cakupan kampanye “pengetahuan dasar” yang sangat rendah ini diduga menjadi salah satu sebab masih rendahnya tingkat pengetahuan kelompok sasaran tentang perlindungan dasar seperti penggunaan kondom di antara kaum lelaki yang berisiko tinggi terhadap HIV. Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Kota Palembang. Hasil SSP di kota ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV di daerah ini. Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran pertama surveilans perilaku di Kota Palembang, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Temuan Kunci Pengetahuan dan Persepsi Berisiko •
Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan rinci tentang HIV, tentang cara pencegahannya masih sangat rendah.
•
Ada kesenjangan yang lebar dalam pengetahuan di antara lelaki dengan perilaku berisiko tinggi, khususnya mengenai penting dan efektifnya penggunaan kondom untuk mencegah tertular IMS atau HIV.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
33
•
Adalah sangat berbahaya adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV.
•
Bahkan di antara responden yang mempunyai pengetahuan cukup tidak selalu siap mengubah perilakunya ke perilaku yang sehat.
•
Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Selain itu, ada ketidaksesuaian yang substansial terjadi pada orang orang yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.
Perilaku Berisiko dan Kondom •
Banyak kaum lelaki dalam kelompok responden SSP melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan dua perlima lelaki yang berstatus kawin melaporkan juga berhubungan seks di luar pasangan nikahnya.
•
Hampir setengahnya responden pria membeli seks dari WPS, yang menggunakan kondom sangat sedikit.
•
Rendahnya tingkat penggunaan kondom salah satunya adalah karena kondom tidak selalu tersedia di tempat transaksi seks berada.
•
Alasan sebagian besar WPS tidak menggunakan kondom adalah karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya.
•
Proporsi kaum lelaki yang melaporkan melakukan hubungan seks melalui anal dengan waria memang kecil.
•
Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV. Yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa responden percaya pasangan mereka yang menggunakan narkoba suntik juga cukup berarti jumlahnya.
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
34
•
Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas yang pernah tertular IMS adalah responden yang melaporkan tidak menggunakan kondom.
•
Banyak orang mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
•
Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS dan kaum lelaki pelanggannya adalah tempat praktek dokter. Tidak jelas benar apakah para dokter ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak.
•
Hampir separuh dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi diri” dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, dan merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kaum perempuan yang telah “merasa aman” dengan adanya injeksi tersebut.
Usulan Tindakan •
Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, rinci, dan relevan, tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk orangorang yang berisiko tinggi.
•
Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan “insentif” bagi kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan kondom untuk mencobanya.
•
Mempertimbangkan pelaksanaan promosi dan distribusi kondom di kalangan responden pria dan di tempat-tempat lain di mana kaum lelaki dengan perilaku risiko tinggi dapat secara berkala ditemui.
•
Dalam semua aktivitas promosi kondom, perlu ditekankan akan pentingnya/perlunya penggunaan kondom pada seks komersial.
•
Bekerja sama dengan pemilik rumah bordil, bar, dan panti pijat untuk menganjurkan para germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom.
•
Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa orang-orang yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang.
•
Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa meminum obat merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.
•
Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi penjaja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan “jasa” tersebut.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan
35
36
•
Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat-obatan yang tepat.
•
Bekerjasama dengan pekerja-pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.
•
Melakukan penilaian secara rinci mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Sumatera Selatan