Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
iii
iii
Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) – Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan “Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI. SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta). Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku). Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) – Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama. Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota. Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS. Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia. Jakarta, Juni 2003 Kepala Badan Pusat Statistik
Dr. Soedarti Surbakti
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
i
i
Kata Pengantar Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan “concentrated level epidemic”. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu. Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini. Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Jakarta,
Mei 2003
Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI
Dr. Umar Fahmi Achmadi
ii
ii
Laporan Hasil SSP 2003 –Maluku
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi
i iii
Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci
v vii
1. Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Survei Surveilans Perilaku
1
Sasaran Survei
2
Metode Survei
3
Sketsa Lokasi
4
2. Karakteristik Sosial dan Demografi
5
Struktur Umur
5
Status Perkawinan
5
Tingkat Pendidikan
6
Daerah Asal
6
Mobilitas
7
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
7
Lama Bekerja
8
Tarif
8
Rata-rata Pendapatan
9
3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
11
Pernah Mendengar HIV/AIDS
11
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS
11
Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
12
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
12
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS
14
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
iii
iii
4. Persepsi Berisiko
17
Merasa Berisiko
17
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko
17
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan
18
5. Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom
21
Antara Pengetahuan dan Perilaku
22
Seks Anal dan Narkoba
23
6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
25
Infeksi Menular Seksual (IMS)
25
Jenis Keluhan IMS
26
Tempat Berobat
26
7. Kesimpulan dan Saran
iv
21
29
Pengetahuan dan Persepsi Berisiko
29
Perilaku Berisiko dan Kondom
30
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
30
Usulan Tindakan
30
iv
Laporan Hasil SSP 2003 –Maluku
Daftar Gambar Gambar
Judul Gambar
2.1
Struktur umur responden
2.2
Tingkat pendidikan responden
2.3
Propinsi asal responden
2.4
Rata-rata umur pertama kali berhubungan seks
2.5
Rata-rata uang jasa seks komersial pada hubungan seks yang terakhir
3.1
Responden yang pernah mendengar HIV/AIDS
3.2
Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS
3.3
Tingkat pengetahuan tentang cara yang tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
3.4
Cara yang diketahui agar tidak tertular HIV/AIDS
3.5
Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS
4.1
Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS
4.2
Responden yang tidak merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut alasannya
4.3
Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut tingkat pendidikan
5.1
Tingkat penggunaan kondom pada seks komersial
5.2
Tahu bahwa kondom dapat mencegah penularan HIV/AIDS tetapi tidak menawarkan dan tidak memakainya dalam hubungan seks komersial terakhir
5.4
Alasan tidak menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
5.5
Responden dan masing-masing pasangan seksnya yang pernah menggunakan narkoba suntik
6.1
Pemakaian kondom pada responden yang mengalami gejala IMS
6.2
Jenis keluhan IMS
6.3
Responden yang pernah mengalami gejala IMS menurut cara yang dilakukan saat mengalami gejala IMS tersebut
6.4
Responden yang mengalami gejala IMS menurut tempat berobat/fasilitas kesehatan
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
v
v
vi
vi
Laporan Hasil SSP 2003 –Maluku
Tabel Indikator Kunci
Indikator
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
66,4
92,5
2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
41,1
58,5
3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
-
8,7
0,9
6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
40,0
22,3
7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
16,2
3,6
8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
0,0
0,5
9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir
9,4
7,5
10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
70,0
53,3
5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
vii
vii
viii
vii
Laporan Hasil SSP 2003 –Maluku
1
Pendahuluan
Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.
Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan
Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.
Survei Surveilans Perilaku Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari survei generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik untuk HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program.
Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
1
1
hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko. Manfaat Surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS lebih efektif.
Sasaran Survei Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti pekerja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita pekeja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan atau mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya. Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia termasuk Kota Ambon yang dilaksanakan bulan Maret 2003, difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung). Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2003 adalah sebagai berikut:
2
•
Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
•
WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu.
2
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Metode Survei Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Penghitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung dengan responden sebanyak 250 orang dan 20 lokasi WPS tidak langsung dengan responden sebanyak 200 orang, namun dalam implementasinya di lapangan target sebesar itu tidak dapat dicapai, karena baik jumlah lokasi maupun responden yang tersedia tidak sesuai target. Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Kota Ambon Propinsi Maluku dicantumkan dalam tabel berikut ini. Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kota Ambon
Kota Kota Ambon
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
26
107
24
200
Cakupan wilayah SSP di Propinsi Maluku adalah Kota Ambon, dengan sasaran survei adalah WPS langsung dan WPS tidak langsung. Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Dinas Kesehatan Propinsi Maluku, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Propinsi Maluku, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologik HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan (Depkes). Dengan dipilihnya Kota Ambon, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua. Perkiraan populasi WPS langsung, dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistem putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Pemilihan sampel secara acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Untuk WPS langsung, seluruh populasi yang diperoleh dari hasil listing menjadi responden SSP, karena jumlahnya lebih kecil dari target yang ditentukan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
3
Metode acak dilakukan pada setiap pemilihan sampel
3
4
4
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
2
Karakteristik Sosial dan Demografi
Struktur Umur Struktur umur WPS di Kota Ambon menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS tidak langsung jauh lebih muda dibanding WPS langsung. Sebagian besar atau sekitar 76 persen WPS tidak langsung berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, sedangkan persentase WPS langsung pada kelompok umur tersebut hanya 33,6 persen.
WPS langsung berusia 5 tahun lebih tua dari WPS tidak langsung
WPS langsung mempunyai rata-rata usia 30,7 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 25,7 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan ratarata umur sekitar 5 tahun. Gambar 2.1. Struktur Umur Responden
12
WPS Tidak Langsung
WPS Langsung
4
32
7
22
0 Kurang dari 20 tahun
33
16
41
20
40
20 - 24 tahun
25 - 29 tahun
Persen
8
25
60
30 - 34 tahun
80
100
35 tahun atau lebih
Status Perkawinan Sebagian besar WPS langsung berstatus cerai (82,2 persen) dan hanya 4,7 persen berstatus belum kawin. Namun proporsi WPS tidak langsung yang berstatus belum menikah dan cerai hampir sama, masing-masing sebesar 44,7 persen dan 45,7 persen. Secara umum, WPS yang berstatus cerai lebih besar dari yang belum menikah masing-masing 58,6 persen dan 30,6 persen.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
5
Cukup banyak responden WPS yang berstatus belum menikah
5
Tingkat Pendidikan WPS langsung pada umumnya berpendidikan lebih rendah dari WPS tidak langsung
WPS langsung sebagian besar berpendidikan rendah, responden yang tidak tamat SD 52,3 persen dan tamat SD 32,7 persen. Sebaliknya untuk WPS tidak langsung yang berpendidikan tinggi sangat dominan. WPS langsung yang menamatkan SLTP 37,0 persen dan SLTA atau lebih tinggi 38,0 persen. Secara umum WPS di Ambon untuk semua tingkat pendidikan persentasenya hampir sama.
Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden
7
WPS Tidak Langsung
18
37
38
52
WPS Langsung
0
Tidak Tamat SD
20
Tamat SD
33
40
Tamat SLTP
Persen
60
12
80
3
100
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Daerah Asal Hampir semua (92,5 persen) WPS langsung berasal dari Jawa Timur, dan sisanya 4,7 persen berasal dari Jawa Tengah. WPS langsung yang berasal dari penduduk setempat hanya 0,9 persen saja. Berbeda dengan WPS langsung, WPS tidak langsung yang bukan berasal dari Provinsi Ambon, banyak berasal dari beberapa daerah, terutama Jawa Timur (27,0 persen), Sulawesi Utara (26,5 persen), dan Sulawesi Selatan (14,0 persen).
6
6
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden
27
WPS Tidak Langsung
3
27
43
93
WPS Langsung
0
Jatim
20
Jateng
40
Persen
Sulut
5 11
60
80
100
Lainnya
Mobilitas Mobilitas pekerja seks cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 33,6 persen WPS langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. WPS tidak langsung yang “mengaku” pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain hanya sebanyak 17,5 persen. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS, khususnya WPS langsung di Ambon adalah cukup tinggi.
Sekitar 33,6 persen WPS langsung pernah kerja di daerah lain
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Rata-rata usia WPS langsung saat pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda yaitu 16,6 tahun dan WPS tidak langsung 18,1 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang untuk WPS langsung dan WPS tidak langsung masing-masing 30,7 tahun dan 25,8 tahun, maka dapat dikatakan bahwa WPS yang beroperasi di Ambon telah melakukan hubungan seks masing-masing selama 14 tahun untuk WPS langsung dan 7 tahun untuk WPS tidak langsung. Jika dilihat rata-rata umur pertama kali berhubungan seks pertama kali dengan umur saat ini, WPS langsung dua kali lebih lama dibandingkan dengan WPS tidak langsung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
7
Usia pertama kali berhubungan seks antara WPS langsung dan WPS tidak langsung hampir sama
7
Gambar 2.4. Rata-rata Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
20
17
18
Umur
16 12 8 4 0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Lama Bekerja WPS langsung lebih lama bekerja dari pada WPS tidak langsung
Untuk penjaja seks lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama ia berprofesi sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Perbedaan lamanya menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung relatif kecil. Secara rata-rata WPS langsung menjual seks selama 45,8 bulan, sedangkan WPS tidak langsung selama 32 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV di kalangan WPS adalah jumlah pelanggan. Jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu oleh WPS langsung adalah 9 orang dan WPS tidak langsung adalah 1 orang.
Tarif
Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung
8
Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 62,3 ribu oleh WPS langsung dan Rp 467,5 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dapat diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat.
8
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
WPS Tidak Langsung
467
WPS Langsung
62
0
100
200
300 Ribuan Rp
400
500
Rata-rata Pendapatan Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 542 ribu atau Rp 1,6 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 420,8 ribu seminggu atau Rp 1,3 juta sebulan. Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Ambon, yaitu sebesar Rp 850 ribu (BPS, 2003. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002).
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
9
Tidak terdapat perbedaan yang berarti antara pendapatan WPS langsung dan WPS tidak langsung
9
10
10
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
3
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Kota Ambon menunjukkan bahwa 83,4 persen responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara kedua kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS tidak langsung 92,5 persen. Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
93
WPS Langsung
66
0
20
40
60
80
100
Persen
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pengetahuan paling rendah terdapat pada kelompok WPS langsung, yaitu kurang dari 45 persen yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang HIV/AIDS yaitu penyakit kelamin, atau penyakit yang tak bisa disembuhkan. Di kalangan WPS langsung ada sekitar 30 persen yang menyatakan tidak pernah mendengar HIV/AIDS.
Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS
11
11
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS 70
62
60
Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin
Persen
50
41
40
40
Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan
30 17
20
16 8
10
Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Cukup banyak responden yang tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, ternyata 37,5 persen responden mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Bahkan di antara WPS tidak langsung sekitar 44 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Cukup banyak kelompok sasaran, terutama WPS langsung, yang menyatakan tidak tahu cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Sementara sisanya dengan persentase cukup besar memberi jawaban yang salah (Gambar 3.3).
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pemahaman responden tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas
Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menuntun seseorang untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar ia tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyatannya, perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat
12
12
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara menghindar tersebut ditanyakan dengan 2 tahapan bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS langsung (34,6 persen) dan WPS tidak langsung (47,5 persen).
Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
44
WPS Langsung
38
21
0
10
51
20
30
40 50 Persen
Tes darah
60
70
80
90
Tidak tahu
Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya. Penelusuran (probing) ini telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “berhubungan seks hanya dengan satu pasangan”, yang naik dari 12 persen dari jawaban spontan menjadi 53 persen ketika dilakukan probing pada WPS tidak langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya hanya sebagian di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang aman bagi mereka. Ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena WPS memberikan pelayanan seks. Pengetahuan tersebut menjadi tidak relevan bagi pekerja seks. Dari ketiga kategori kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan WPS tidak langsung lebih baik dari WPS langsung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
13
13
Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS
Tidak melakukan hubungan seks
Menggunakan kondom saat berhubungan seks
Menghindari penggunaan jarum suntik bersama
Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan
100
58
60 44
41
31
48
35 20
33 17
6 WPS-TL
WPS-L
WPS-TL
WPS-L
Setelah diprobing
Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja
10
8
12 WPS-TL
11 0
WPS-L
22
WPS-TL
40
53 44
WPS-L
Persen
80
Jaw aban Spontan
Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (8 persen), dan WPS tidak langsung (3,2 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban “tidak tahu”, yaitu mencapai 52,3 persen, dengan rincian pada WPS langsung dan tidak langsung masing-masing 66,7 persen dan 46,6 persen. Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi.
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya
14
Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah penyakit menular seksual (IMS) oleh 34,6 persen WPS langsung dan 35,5 persen WPS tidak langsung. Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya tidak dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat
14
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.5 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV.
Gambar 3.5. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
35
Makan makanan yang bergizi
20
Tidak menggunakan secara bersama alat makan
WPS Tidak Langsung
12
WPS Langsung
15
11
Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain
6
36
Minum obat sebelum berhubungan seks
35 0
20
40
Persen
60
80
100
Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satunya adalah pemberian suntikan untuk “pencegahan” IMS dan HIV (54,2 persen WPS langsung dan 22,0 persen WPS tidak langsung). Depkes sudah lama tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila petugas kesehatan masih memberikan suntikan, itu adalah diluar program Depkes. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan, maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
15
Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih sangat tinggi
15
16
16
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
4
Persepsi Berisiko
Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Pemahaman tentang risiko pada kelompok WPS relatif lebih rendah, terutama WPS langsung di mana sebanyak 78,6 persen yang menjawab “tidak berisiko” dan “tidak tahu” tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS tidak langsung sekitar 78,3 persen yang merasa “tidak berisiko” dan “tidak tahu”.
Lebih dari tiga perempat WPS merasa tidak berisiko dan tidak tahu dirinya berisiko
Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
22
WPS Langsung
21
0
10
57
22
52
20
30
Merasa berisiko
40
50 Persen
27
60
70
80
Tidak merasa berisiko
90
100
Tidak tahu
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Sekitar 25,6 persen WPS langsung dan 9,3 persen WPS tidak langsung yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), namun 15,4 persen di antara WPS langsung dan 8,4 persen di antara WPS tidak langsung berkeyakinan bahwa berobat lebih dahulu membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah). Lebih dari 50 persen WPS baik langsung maupun tidak langsung merasa tidak berisiko karena merasa pasangannya bersih. Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS tidak langsung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
17
Sebagian besar WPS yang tidak merasa berisiko beralasan karena “yakin pasangannya bersih”
17
Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
100 WPS Langsung
Persen
80
WPS Tidak Langsung 56
60 40
54
26
20
15
9
8
0 Karena selalu menggunakan kondom
Karena yakin pasangannya bersih
Karena berobat terlebih dahulu
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi WPS dalam merasa berisiko tertular HIV/AIDS
Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Ambon kurang menggambarkan dugaan tersebut, khususnya pada WPS tidak langsung, bahkan pada kelompok WPS langsung polanya terbalik. Di antara WPS tidak langsung yang tidak tamat SD hanya 20 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV, sementara sebanyak 60 persen lainnya menyatakan tidak berisiko, dan 20 persen tidak tahu. Pola yang sama terlihat pula pada tingkat pendidikan tamat SD, SLTP dan SLTA. Pada kelompok WPS tidak langsung untuk semua tingkat merasa tidak berisiko berkisar dari 53,5 persen sampai dengan 66,7 persen, dan dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagiannya juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS.
18
18
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan
100
Persen
80 60 40 24
21
20
20
17
20
26 18
0 0 WPS Langsung Tidak Tamat SD
Tamat SD
WPS Tidak Langsung Tamat SLTP
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Menarik untuk disampaikan bahwa di kalangan WPS langsung persentase yang merasa berisiko terhadap tingkat pendidikan yang ditamatkan polanya berbeda, karena kesadaran merasa berisiko pada kelompok yang belum tamat SD lebih tinggi dari kelompok manapun yaitu 24,2 persen menyatakan berisiko tertular HIV, dan 48,5 persen menyatakan tidak berisiko, sementara ada 27,3 persen yang menyatakan tidak tahu. Perlu dikaji lebih jauh mengapa terdapat perbedaan yang besar antara WPS langsung dan WPS tidak langsung dalam hal pemahaman mengenai risiko tertular HIV. Meskipun berpendidikan tinggi (SLTA ke atas), kesadaran mengenai risiko tertular HIV jauh lebih tinggi di kalangan WPS langsung walaupun tingkat pendidikannya lebih rendah.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
19
19
20
20
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
5
Pola Perilaku Berisiko
Penggunaan Kondom Responden yang menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir masih sangat rendah, yaitu 40 persen pada WPS langsung, dan 22 persen pada WPS tidak langsung. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS langsung yang tingkat penggunaan kondomnya lebih tinggi dibandingkan WPS tidak langsung, sebanyak 16,2 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, sementara hanya 3,6 persen pada WPS tidak langsung yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir.
WPS Langsung lebih banyak pakai kondom dibandingkan dengan WPS tidak langsung
Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial
100
Persen
80 60 40 40 16
20
22 4
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir
Rendahnya penggunaan kondom pada kelompok WPS tidak langsung tampaknya karena sulit memperoleh kondom di lokasi. Responden WPS tidak langsung yang menjawab dengan mudah memperoleh kondom di lokasi hanya 8,0 persen saja. Sebaliknya kelompok WPS langsung sangat mudah memperoleh kondom di lokasi (99,1 persen.) Pada kelompok WPS langsung kecenderungan untuk selalu menawarkan penggunaan kondom kepada pelanggan lebih dari 25,6 persen, dan kadang-kadang menawarkan kondom mencapai 27,9 persen, sedangkan sekitar 16,3 persen tidak pernah menawarkan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
21
Sebagian besar responden WPS tidak langsung tidak menawarkan kondom kepada pelanggannya
21
Pada kelompok WPS tidak langsung kecenderungan untuk tidak menawarkan kondom kepada pelanggan sangat tinggi yaitu 58,7 persen, sementara itu yang selalu menawarkan kondom sangat rendah, hanya mencapai 4,8 persen saja.
Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom Dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir
80 70 70 59
60
53
Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada hubungan seks komersial terakhir
persen
50 40 30
Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir
16
20 10 0
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Antara Pengetahuan dan Perilaku
Sebagian besar responden tidak sesuai antara perilaku dengan pengetahuannya
Data menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, yang umumnya lebih muda, lebih berpendidikan, dan mempunyai pelanggan lebih beruang daripada WPS langsung yang relatif kurang berpendidikan, ternyata mempunyai kepedulian yang lebih rendah terhadap HIV dan risiko hubungan seks tanpa pelindung daripada WPS langsung. Ini ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase WPS langsung yang selalu pakai kondom setiap berhubungan seks. Namun bagi kedua kelompok tersebut, kesenjangan antara pengetahuan dan kesediaan kondom di satu sisi dan perilaku atau prakteknya di sisi lain sangatlah lebar. Rendahnya WPS tidak langsung yang menawarkan kondom kepada pelanggannya di satu sisi dan rendahnya persentase penggunaan kondom di kalangan WPS tidak langsung sekaligus mengindikasikan rendahnya kesadaran pelanggan dan kemauan menawarkan pemakaian kondom dari kedua kelompok sasaran ini. Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah dalam penggunaan kondom. Responden yang tidak menggunakan
22
22
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan baik responden WPS langsung maupun WPS tidak langsung menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar karena pelanggannya tidak menghendaki atau karena tidak ada/tidak tersedia atau “merasa pelanggannya bersih” (Gambar 5.3). Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena “tidak ada/tidak tersedia kondom di lokasi” memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada kegunaannya saja, akan tetapi diperlukan pula tindakan untuk kemudahan memperoleh kondom di lokasi perlu dipikirkan kembali. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan dan ketersediaan/kemudahan memperoleh kondom di lokasi.
Gambar 5.3. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir
100 WPS Langsung
Persen
80
WPS Tidak Langsung
60 40
32
41 26
21
20
15 2
1
3
22 6
1
5
0 Tidak ada/tidak tersedia
Pelanggan Terasa kurang tidak enak mau/terasa kurang enak
Akan lebih mesra
Merasa bersih
Lainnya
Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggannya tentunya bukan satusatunya perilaku yang berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik, pada pecandu narkoba. Data mengenai prevalensi HIV di kalangan waria di Ambon tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 1 di antara 5 waria terinfeksi HIV. Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk waria.
Prevalensi yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik
23
23
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Penggunaan narkoba suntik (injecting drug users/IDU) merupakan orangorang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS.
Gambar 5.4. Responden dan masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik
4 3.0
Persen
3
2 0.9
1
0.5 0.0
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik
Hasil SSP untuk Ambon menunjukkan bahwa sangat sedikit responden yang mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4, sebagian responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik, meskipun persentasenya relatif kecil. Penggunaan narkoba suntik dan seks komersial merupakan cara penularan utama HIV di Indonesia.
24
24
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
6
IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari kedua kelompok berisiko, cukup rendah dari kalangan WPS langsung (9,3 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung sebanyak 7,5 persen yang terkena gejala tersebut. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Penyakit tersebut mereka terima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Dari WPS langsung yang mengalami gejala IMS, 50 persen diantaranya tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara itu di kalangan WPS tidak langsung hampir semuanya (90 persen). Setelah ditelaah lebih jauh ternyata kecil sekali persentase WPS yang selalu pakai kondom.
Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS
100
90
Persen
80
60
Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
50
40
20
Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir
10 0
0 WPS Langsung
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
WPS Tidak Langsung
25
25
Jenis Keluhan IMS
Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita kalangan WPS
Secara umum, keputihan disertai bau tak sedap merupakan jenis IMS yang diderita oleh hampir semua kalangan WPS. Selain keputihan, banyak juga di antara mereka yang menderita benjolan di sekitar kelamin dan luka/koreng di daerah alat kelamin. Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya, ketika berhubungan seks.
Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS
100 80 80
70
Luka/koreng di daerah alat kelamin
Persen
60
Benjolan di sekitar alat kelamin
40 20
20
20
20
Keputihan
13
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Tempat Berobat Petugas kesehatan merupakan pilihan utama pengobatan keluhan IMS yang dialami
Sekitar 30 persen WPS langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan IMS, dan sekitar 40 persen WPS tidak langsung yang terkena gejala juga mengobati sendiri. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien. Ada sekitar 80 persen WPS langsung yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya berobat ke fasilitas kesehatan dan sekitar 67 persen WPS tidak langsung melakukan hal yang sama. Hasil SSP di Ambon menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat mencari pengobatan IMS yang dialami oleh kelompok sasaran.
26
26
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara menurut yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut
WPS Tidak Langsung
53
WPS Langsung
7
20
70
0
20
20
0
40
Persen
20
60
10
80
100
Berobat ke petugas kesehatan
Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati
Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik
Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain
Dokter praktek merupakan tempat berobat yang paling banyak dikunjungi WPS tidak langsung, sedangkan Mantri kesehatan/bidan merupakan pilihan terbanyak WPS langsung
Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati gejala IMS yang dialami ternyata berbeda antar kelompok sasaran. Responden WPS tidak langsung mempunyai pilihan tempat berobat yang dominan, yaitu pada dokter praktek (75 persen), sementara untuk WPS tidak langsung lebih dominan pergi ke petugas kesehatan mantri/bidan (71,4 persen). Jelas terlihat alasan pilihan ini mempunyai korelasi yang kuat terhadap rata-rata pendapatannya dan juga bisa karena akses yang mudah atau karena sudah berlangganan.
Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
WPS Tidak Langsung
13
75
29
WPS Langsung
0
0 12
0
20
71
40
0
60
80
100
persen
Rumah Sakit
Dokter Praktek
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
Mantri Kesehatan/Bidan
27
Lainnya
27
28
28
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
7
Kesimpulan dan Saran
Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Di Ambon, intervensi pendidikan seperti ini tidak cukup meluas. WPS langsung maupun WPS tidak langsung dalam setahun terakhir yang pernah mengikuti pertemuan mengenai pencegahan HIV masing-masing sebesar 66,4 persen dan 57,5 persen. Cakupan kampanye “pengetahuan dasar” yang sangat rendah ini diduga menjadi salah satu sebab masih rendahnya tingkat pengetahuan kelompok sasaran tentang perlindungan dasar seperti penggunaan kondom di antara kelompok yang berisiko tinggi terhadap HIV. Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Ambon. Hasil ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV di daerah ini. Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran pertama surveilans perilaku di Ambon, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Temuan kunci Pengetahuan dan persepsi risiko •
Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan detil tentang HIV, tentang cara pencegahannya masih sangat rendah.
•
Adalah sangat berbahaya dengan adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV.
•
Bahkan di antara mereka yang mempunyai pengetahuan cukup tidak selalu siap mengubah perilakunya ke perilaku yang sehat.
•
Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Ada ketidaksesuaian yang substansial terjadi pada
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
29
29
orang-orang yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.
Perilaku berisiko dan kondom •
WPS tidak langsung dilaporkan merupakan pengguna kondom yang paling rendah di antara penjaja seks di Ambon.
•
Masih rendahnya tingkat penggunaan kondom, karena sulitnya memperoleh kondom di tempat transaksi seks berada. Hal ini menyebabkan WPS tidak menggunakan kondom, selain karena pelanggannya tidak suka atau merasa pasangannya bersih.
•
Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV. Yang juga mengkhawatirkan adalah bahwa responden percaya pasangan mereka yang menggunakan narkoba suntik juga cukup berarti jumlahnya.
Kesehatan dan pemeliharaan kesehatan •
Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas mereka yang pernah tertular IMS adalah mereka yang melaporkan tidak menggunakan kondom.
•
Banyak orang mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.
•
Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS adalah tempat praktek dokter dan mantri kesehatan/bidan. Tidak jelas benar apakah tenaga medis ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak.
•
Proporsi yang cukup tinggi dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi diri” dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, dan merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kaum perempuan yang telah “merasa aman” dengan adanya injeksi tersebut.
Usulan tindakan
30
•
Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, detil, dan relevan, tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk orangorang yang berisiko tinggi.
•
Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan “insentif” bagi
30
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan kondom untuk mencobanya. •
Dalam semua aktivitas promosi kondom, tekankan akan pentingnya/ perlunya penggunaan kondom pada seks berisiko.
•
Bekerja sama dengan para pemilik rumah bordil, panti pijat, karaoke, diskotik, salon, dan bar untuk menganjurkan para germo/mucikari/ mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung bagi para pelanggan.
•
Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa orang-orang yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang.
•
Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa meminum obat merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.
•
Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan “jasa” tersebut.
•
Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat obatan yang tepat.
•
Bekerjasama dengan pekerja pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.
•
Melakukan penilaian secara detil mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersil, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Maluku
31
31