Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
iii
iii
Daftar Isi Kata Pengantar
i
Daftar Isi
iii
Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci
v vii
1. Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Survei Surveilans Perilaku
1
Sasaran Survei
2
Metode Survei
2
Sketsa Lokasi
4
2. Karakteristik Sosial dan Demografi
5
Struktur Umur
5
Status Perkawinan
5
Tingkat Pendidikan
6
Daerah Asal
6
Mobilitas
7
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
7
Lama Bekerja
7
Tarif
8
Rata-rata Pendapatan
8
3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
11
Pernah Mendengar HIV/AIDS
11
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS
11
Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
12
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
12
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS
16
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
i
i
4. Persepsi Berisiko
17
Merasa Berisiko
17
Perasaan Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko
17
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan
18
5. Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom
21
Antara Pengetahuan dan Perilaku
22
Seks Anal dan Narkoba
23
6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
25
Infeksi Menular Seksual (IMS)
25
Jenis Keluhan IMS
26
Tempat Berobat
26
7. Kesimpulan dan Saran
ii
21
29
Pengetahuan dan Persepsi Berisiko
29
Perilaku Berisiko dan Kondom
29
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
30
Usulan Tindakan
30
ii
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Daftar Gambar Gambar
Judul Gambar
2.1
Struktur Umur Responden
2.2
Tingkat Pendidikan Responden
2.3
Propinsi Asal Responden
2.4
Umur WPS Pertama Kali Berhubungan Seks
2.5
Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
3.1
Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
3.2
Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS
3.3
Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
3.4
Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS
3.5
Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
4.1
Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
4.2
WPS yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
4.3
Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan
5.1
Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial
5.2
Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir
5.3
Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir
5.4
Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik
6.1
Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS
6.2
Jenis Keluhan IMS
6.3
Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut
6.4
Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
iii
iii
iv
iv
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Tabel Indikator Kunci
Indikator
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
89,7
90,4
2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
83,0
77,2
3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
-
4,1
1,8
6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
88,4
39,9
7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
55,8
25,4
0,0
0,5
9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir
15,4
11,7
10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
56,4
65,2
5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir
8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
v
v
vi
vi
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
1
Pendahuluan
Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini nantinya akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.
Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan
Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.
Survei Surveilans Perilaku Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistimatik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk pemantauan perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertular HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari Surveilans generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
1
hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku penduduk berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.
Sasaran Survei
Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS, yaitu WPS
Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita penjaja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia termasuk di Kota Jayapura di Propinsi Papua yang dilaksanakan bulan Januari-Februari 2003 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks, dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung. Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut: •
Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
•
WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu, misalnya di salon, panti pijat.
Metode Survei Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan
2
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung dan 20 lokasi WP tidak langsung, namun dalam kenyataannya di lapangan jumlah lokasi sebanyak itu tidak dapat dipenuhi, karena jumlah lokasi yang tersedia memang kurang. Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei di Kota Jayapura dicantumkan dalam tabel berikut ini. Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kota Jayapura
Kota
Kota Jayapura
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
5
253
10
197
Cakupan wilayah SSP di Propinsi Papua adalah Kota Jayapura, dengan sasaran survei adalah WPS langsung dan WPS tidak langsung. Untuk WPS langsung dicakup pula lokalisasi Tanjung Elmo, yang terletak di Jalan Raya Sentani. Lokasi ini ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi Papua dan Dinas Kesehatan setempat, dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di Propinsi Papua, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologi HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Dengan dipilihnya Kota Jayapura, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua. Perkiraan populasi WPS langsung dan WPS tidak langsung diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Pemilihan acak (random sampling) digunakan untuk pemilihan sampel. Karena jumlah lokasi hasil listing WPS lebih kecil dari target yang ditentukan maka pemilihan sampel dilakukan secara acak, langsung pemilihan responden (tanpa melalui pemilihan lokasi). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel
3
4
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
2
Karakteristik Sosial dan Demografi
Struktur Umur Struktur umur WPS untuk Kota Jayapura menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung. Rata-rata usia WPS langsung 30,3 tahun sedangkan WPS tidak langsung 26,6 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan rata-rata umur sebesar 4 tahun. Sekitar 43 persen WPS langsung berada pada kelompok usia di bawah 30 tahun, dan sekitar 75 persen WPS tidak langsung juga mengelompok pada usia 30 tahun ke bawah.
Umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung
Gambar 2.1. Struktur Umur Responden
12
WPS Tidak Langsung
WPS Langsung
5
0 Kurang dari 20 tahun
28
17
34
21
20 20 - 24 tahun
11
29
40
Persen
25 - 29 tahun
60 30 - 34 tahun
15
28
80
100
35 tahun atau lebih
Status Perkawinan Sebagian besar (78,1 persen) WPS langsung berstatus cerai dan sekitar 14,3 persen berstatus belum kawin, sementara yang berstatus kawin hanya sedikit (7,6 persen).
Sebagian besar WPS langsung berstatus cerai
Sedangkan pada kelompok WPS tidak langsung, 48 persen berstatus cerai, hampir 35 persen menyatakan belum kawin dan sekitar 17 persen menyatakan berstatus kawin.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
5
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan WPS pada umumnya rendah
Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (tamat SD ke bawah). WPS yang berpendidikan rendah sangat dominan pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 78 persen berpendidikan tamat SD ke bawah, sementara yang berpendidikan SLTP hanya sekitar 18 persen. WPS tidak langsung lebih banyak yang berpendidikan lebih tinggi dibanding dengan WPS langsung. WPS tidak langsung yang berpendidikan SLTA ke atas 23,9 persen, sementara WPS langsung yang berpendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 4 persen.
Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden
WPS Tidak Langsung
10
WPS Langsung
29
37
33
0
24
45
20 Tidak Tamat SD
40 Tamat SD
Persen
18
60
Tamat SLTP
80
4
100
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Daerah Asal Sebagian besar WPS berasal dari propinsi Jawa Timur
6
Sekitar 83 persen WPS langsung di Kota Jayapura berasal dari Propinsi Jawa Timur. WPS langsung yang berasal dari penduduk setempat hanya 9 persen, dan sisanya sebesar 8 persen berasal dari propinsi lain. Sedangkan WPS tidak langsung yang bukan penduduk setempat berasal dari Jawa Timur (43 persen) dan Sulawesi Utara (37 persen).
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden
WPS Tidak Langsung
8
WPS Langsung
9
0
43
2
37
10
83
20
40
31 4
60
80
100
Persen
Papua
Jawa T imur
Jawa T engah
Sulawesi Utara
Lainnya
Mobilitas Mobilitas penjaja seks ternyata cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 22 persen WPS langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Sementara sekitar 26 persen WPS tidak langsung mengaku pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS, khususnya WPS tidak langsung di Jayapura cukup tinggi.
Sekitar seperempat WPS pernah kerja di daerah lain
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Rata-rata usia saat pertama kali berhubungan seks baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung ternyata masih sangat muda yaitu 16,7 tahun untuk WPS langsung dan 17,6 tahun untuk WPS tidak langsung. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 28,7 tahun, maka dapat dikatakan bahwa para WPS yang beroperasi di Kota Jayapura telah melakukan hubungan seks rata-rata selama sekitar 10 tahun (Gambar 2.4.).
Usia WPS ketika pertama kali berhubungan seks, masih sangat muda
Lama Bekerja Bagi penjaja seks, lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi dalam lama menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung. Secara rata-rata WPS langsung sudah menjalani pekerjaannya selama 43 bulan atau 3,5 tahun sedangkan WPS tidak langsung baru menjalaninya selama 24 bulan atau 2 tahun.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Masa kerja WPS langsung satu setengah tahun lebih lama dibanding WPS tidak langsung
7
Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung adalah 4 sampai 5 orang dan WPS tidak langsung adalah 1 sampai 2 orang. Ini berarti pelanggan WPS langsung 2 kali lebih banyak dibanding WPS tidak langsung. Gambar 2.4. Umur WPS Pertama Kali Berhubungan Seks 50
Persen
40 30 20
17
18
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
10 0
Tarif Tarif WPS tidak langsung empat kali lebih mahal dari WPS langsung
Hasil SSP ternyata menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 125 ribu oleh WPS langsung dan Rp 491 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dan di beberapa daerah lain mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. Namun di Kota Jayapura tidak demikian, proporsi WPS tidak langsung yang menggunakan kondom selama seminggu terakhir masih lebih kecil daripada WPS langsung seperti ditunjukkan pada Bab 5.
Rata-rata Pendapatan Terdapat perbedaan pendapatan yang tajam antara WPS langsung dan WPS tidak langsung, dan antara WPS dengan rata-rata upah karyawan lainnya
8
Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan ratarata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 512 ribu atau Rp 1,5 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 884 ribu seminggu atau Rp 2,7 juta sebulan (dengan asumsi rata-rata hari kerja sebanyak 3 minggu dalam sebulan).
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Propinsi Papua, yaitu sebesar Rp 530 ribu per bulan (BPS, 2003. “Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002”). Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
WPS Tidak Langsung
491
WPS Langsung
125
0
100
200
300
400
500
600
Ribuan Rp
Dibandingkan dengan pendapatan (upah) rata-rata karyawan sebulan dari hasil Susenas 2002 untuk Kota Jayapura, yaitu sebesar Rp 1,1 juta per bulan (BPS, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
9
10
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
3
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS.
Sebagian besar WPS pernah mendengar HIV/AIDS
Hasil SSP menunjukkan bahwa sekitar 90 persen dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, pernah mendengar tentang HIV/AIDS.
Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
90
WPS Langsung
90
0
20
40
60
80
100
Persen
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian dari WPS tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 49 persen dapat secara cermat memberikan informasi lebih detail tentang HIV/AIDS yaitu penyakit kelamin, atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan (56,1 persen). Di kalangan WPS langsung ada sekitar 9 persen yang menyatakan tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya. Sedangkan di kalangan WPS tidak langsung yang mengaku tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya tercatat 5 persen.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS
11
Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS
70
64 56
60
Persen
50
49
Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin
41
40
Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan
30 20 9
10
5
Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Sekitar setengah dari seluruh responden tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan responden ternyata sekitar 55 persen WPS mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dengan kata lain pengetahuan WPS langsung maupun WPS tidak langsung relatif sama. Sekitar 23 persen kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, dan sisanya sekitar 22 persen memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3).
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pemahaman responden tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas
Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menuntun untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun kenyataannya, perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku, maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Ada 4 cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yang umum dikenal yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi
12
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam dua tahapan seperti sistim bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini diungkapkan oleh WPS langsung (82 persen) dan WPS tidak langsung (71 persen). Pengetahuan tentang menghindari tertular HIV/AIDS tampaknya terkait erat dengan kebiasaan
Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung menjawab cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuk dirinya. Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “Menghindari penggunaan jarum suntik bersama”, yang naik dari 19 persen dari jawaban spontan menjadi 68 persen ketika dilakukan probing pada WPS langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya sedikit di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan (Lihat Gambar 3.4).
Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
55
WPS Langsung
55
0
10
20
30
25
21
40
50
60
70
80
90
Persen Tes darah
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Tidak tahu
13
Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS Tidak melakukan hubungan seks
Menggunakan kondom saat berhubungan seks
Menghindari penggunaan jarum suntik bersama
Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan
100 83
77
82
68 71
60
62 48
44 37
19
22
Setelah diprobing
WPS-TL
WPS-L
4 WPS-TL
WPS-L
6
9 WPS-TL
21
WPS-L
20
0
41
WPS-L
40
WPS-TL
Persen
80
Jaw aban Spontan
Menarik untuk dicatat bahwa lebih banyak WPS langsung dibandingkan WPS tidak langsung yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja
Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (14,5 persen) dan WPS tidak langsung (8,9 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban “tidak tahu”, yaitu mencapai 38,3 persen pada WPS langsung dan 44,4 persen untuk WPS tidak langsung.
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan HIV/AIDS Pemahaman salah atau miskonsepsi terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terlihat lebih besar pada kalangan WPS langsung.
14
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah HIV/AIDS oleh sebagian besar WPS, baik WPS langsung (54,9 persen), maupun WPS tidak langsung (48,2 persen). Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berpikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.5 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV/AIDS, padahal secara prinsip salah.
Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan HIV/ AIDS sangatlah berbahaya
Gambar 3.5. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
18
Makan makanan yang bergizi
33
WPS Tidak Langsung WPS Langsung
Tidak menggunakan secara bersama alat makan
19 15
28
Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain
31
48
Minum obat sebelum berhubungan seks
55 0
20
40
60
80
100
Persen
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
15
Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, persentase WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih tinggi
16
Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks, terutama WPS langsung di Jayapura yang secara reguler memperoleh suntikan untuk mencegah IMS atau HIV (54,2 persen WPS langsung dan 27,9 persen WPS tidak langsung). Sudah lama Departemen Kesehatan tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, ini adalah di luar program Departemen Kesehatan. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti hepatitis.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
4
Persepsi Berisiko
Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan dan berperilaku berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko.
Hampir 40 persen WPS tidak langsung merasa berisiko, sementara WPS langsung sedikit lebih rendah
Pemahaman tentang risiko terhadap IMS atau HIV/AIDS pada WPS tidak langsung lebih besar dibandingkan pada kelompok WPS langsung. Pada kelompok WPS tidak langsung sebanyak 38,9 persen merasa berisiko tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS langsung sedikit lebih rendah yaitu sekitar 36,1 persen.
Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
WPS Tidak Langsung
39
WPS Langsung
36
36
0
10
20
25
47
30
40
50 Persen
Merasa Berisiko
60
17
70
80
Tidak Merasa
90
100
Tidak Tahu
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Pada umumnya lebih dari setengah dari WPS langsung (67,9 persen) dan WPS tidak langsung (51,6 persen) yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar). Tetapi diantara WPS tidak langsung banyak juga yang berkeyakinan bahwa pelanggannya bersih (20,3 persen), ini membuat ia merasa tidak berisiko (pemahaman yang salah).
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
WPS langsung umumnya lebih memahami risiko dan cara menghindarinya
17
Menariknya, persentase jawaban terhadap pemakaian yang benar lebih besar dibanding jawaban pemahaman yang salah. Data menunjukkan bahwa persentase mereka yang merasa berisiko dan berhubungan seks komersial menggunakan kondom (27,2 persen), lebih besar dari pada mereka yang punya pemahaman salah (tidak merasa berisiko karena yakin pasangannya bersih, 12,9 persen dan berobat lebih dahulu sebelum berhubungan seks 6,5 persen). Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung.
Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
100
Persen
80
WPS Langsung
68
WPS Tidak Langsung
52
60 40
20 20
8
8
3
0 Karena selalu menggunakan kondom
Karena yakin pasangannya bersih
Karena berobat terlebih dahulu
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko
18
Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP Kota Jayapura telah menggambarkan dugaan tersebut, khususnya pada WPS langsung, yaitu antara mereka yang hanya tamat SD dan jenjang pendidikan yang di atasnya. Di antara WPS langsung yang tamat SD hanya sebanyak 32,0 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV, sementara sebanyak 16,5 persen lainnya menyatakan tidak tahu, dan 51,5 persen tidak merasa berisiko. Di antara yang berpendidikan tamat SLTA ke atas lebih dari 44 persen merasa berisiko. Menarik untuk disampaikan bahwa di kalangan WPS langsung persentase yang merasa berisiko dengan pendidikan SD ke bawah pada umumnya lebih tinggi dibandingkan WPS tidak langsung. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 100
Persen
80 60 40 40
32
38
50
44
45
27
20
12
0 WPS Langsung Tidak tamat SD
Tamat SD
WPS Tidak Langsung Tamat SLTP
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Perlu dikaji lebih jauh mengapa terdapat perbedaan yang besar antara WPS langsung dan WPS tidak langsung dalam hal pemahaman mengenai risiko tertular HIV. Meskipun sama-sama tidak tamat SD, kesadaran mengenai risiko tertular HIV jauh lebih tinggi di kalangan WPS langsung dibandingkan WPS tidak langung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
19
20
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
5
Pola Perilaku Berisiko
Penggunaan Kondom Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir untuk WPS tidak langsung masih rendah, yaitu baru sekitar 25 persen, sedangkan pada WPS langsung ternyata lebih tinggi yaitu sekitar 56 persen. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS langsung yang tingkat penggunaan kondomnya sudah tinggi, yaitu sebanyak 88,4 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, tetapi di antara mereka tersebut hanya 55,8 persen yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir.
WPS langsung lebih banyak pakai kondom pada seks komersial
Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial
100
88
Persen
80 60
56 40
40
25
20 0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama seminggu terakhir
Tidak digunakannya kondom tampaknya bukan karena ketidaktersediaan kondom di lokasi, karena dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa kondom tersedia atau mudah diperoleh hampir di seluruh lokasi transaksi seks, yaitu di 93,3 persen di lokasi WPS langsung dan 61,4 persen di lokasi WPS tidak langsung.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
21
Antara Pengetahuan dan Perilaku Pengetahuan dan perilaku WPS langsung relatif lebih konsisten dari pada WPS tidak langsung
Data menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, yang umumnya berusia lebih muda, lebih berpendidikan, dan mempunyai pelanggan lebih beruang ternyata lebih banyak yang tidak menggunakan kondom daripada WPS langsung. Di antara WPS tidak langsung yang tahu bahwa pakai kondom dapat mencegah tertular HIV, sekitar 55 persen ternyata tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan di antara WPS langsung hanya 10 persen yang tidak menggunakannya. Tingginya persentase WPS tidak langsung yang tidak pernah menawarkan kondom kepada pelanggannya di satu sisi (25,2 persen) dan rendahnya persentase penggunaan kondom di kalangan WPS tidak langsung sangat menarik untuk disimak. Menurut pengakuan responden alasan tidak pakai kondom di kalangan WPS tidak langsung sekitar 21 persen karena pelanggan tidak mau.
Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir
100
Persen
80 55
60
Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir
40 25 20
7
Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada seks komersial terakhir
10
0 WPS Langsung
Lebarnya gap antara pengetahuan dan perilaku berisiko lebih disebabkan karena keengganan pelanggan (pria) untuk menggunakan kondom dalam seks komersial
22
WPS Tidak Langsung
Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji dari hasil SSP adalah dalam penggunaan kondom. Responden yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya. Sangat menarik bahwa WPS menunjukkan jawaban yang tidak konsisten, yaitu sebagian besar (43,7 persen) karena kondom tidak tersedia. Padahal menurut pengamatan petugas SSP kondom tersedia/mudah diperoleh di 80 persen dari seluruh lokasi transaksi jasa seks. Alasan berikutnya pelanggan tidak menghendaki pakai kondom karena “merasa kurang enak”.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena “keengganan” kaum laki-laki untuk menggunakannya memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak, pada umumnya tergantung pelanggan.
Gambar 5.3. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir
100 80
WPS Langsung
Persen
WPS Tidak Langsung 60
46
43
40 18
20
21
17 7
7
5
0 Tidak ada/tidak tersedia
Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak
Merasa bersih
Lainnya
Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satusatunya perilaku berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba. Pengguna narkoba suntik (injecting drug users/IDU) merupakan orang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN, Jakarta, 2002).∗)
∗)
Prevalensi mereka yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002. Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata (halaman 7)
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
23
Gambar 5.4. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 1,0 0,9 0,8 0,8 0,7
persen
0,6 0,5
Pernah menggunakan narkoba suntik
0,5
0,5
Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0,0
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Hasil SSP untuk Kota Jayapura menunjukkan bahwa sekitar 0,5 persen WPS tidak langsung dan pasangannya pernah memakai narkoba suntik, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4. Sementara itu, tidak ada WPS langsung yang menggunakan narkoba suntik, namun 0,8 persen pasangan seksnya menggunakan narkoba suntik.
24
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
6
IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari kedua kelompok berisiko yang jadi responden, cukup banyak dari kalangan WPS langsung (15,4 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung terdapat 11,7 persen.
Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS
100
Persen
80
70
Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
56
60
Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial seminggu terakhir
40
20
17 5
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Data di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Realitanya barangkali jauh lebih besar karena pada perempuan yang terkena IMS bisa saja tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Infeksi tersebut mereka derita terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS)
25
Di kalangan WPS tidak langsung yang terkena gejala IMS, sekitar 70 persen tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok WPS langsung hanya sekitar 17 persen. Proporsi WPS tidak langsung yang terkena IMS adalah yang tertinggi, dan ini barangkali refleksi dari perilaku seks sebagian besar WPS tidak langsung yang tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pelanggannya.
Jenis Keluhan IMS
Keputihan merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita oleh kalangan WPS
Secara umum, dari seluruh WPS yang mengalami gejala IMS keputihan disertai bau tidak sedap merupakan jenis IMS yang banyak dikeluhkan, terutama WPS langsung (92,3 persen). Di kalangan WPS tidak langsung, selain keputihan, banyak juga di antara mereka yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin (34,8 persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya.
Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS
100
92 83
Persen
80 Luka/koreng di daerah alat kelamin
60
20
Benjolan di sekitar alat kelamin
35
40
13 5
9
Keputihan disertai dengan bau tak sedap
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Tempat Berobat Petugas kesehatan masih merupakan pilihan utama responden untuk pengobatan keluhan IMS
26
Lebih dari 38 persen WPS langsung dan 34,8 persen WPS tidak langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan simptom IMS. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien, karena 72,6 persen dari responden yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut
WPS Tidak Langsung
65
WPS Langsung
0
56
0
18
5
20
40
17
21
18
60
80
100
Persen
Berobat ke petugas kesehatan
Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati
Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik
Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain
Hasil SSP di Kota Jayapura menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat mencari pengobatan IMS yang dialami oleh dua kelompok sasaran.
Klinik Lokalisasi adalah tempat pelayanan kesehatan yang lebih “akrab” bagi WPS langsung, tapi WPS tidak langsung lebih menyukai dokter praktek
Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita ternyata berbeda antar kelompok sasaran. WPS langsung mempunyai pilihan tempat berobat yang beragam dan dominan di klinik lokalisasi (45,4 persen). Sementara itu, kalangan WPS tidak langsung (60,0 persen) sangat percaya pada dokter praktek.
Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
70 60 60
Persen
50
Rumah Sakit Puskesmas/Pustu Dokter Praktek Mantri/Bidan Klinik Yayasan Klinik Lokalisasi
45
40 27
30
23
20
20 10
7
5 0
0
7
6 0
0 WPS Langsung
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
WPS Tidak Langsung
27
28
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
7
Kesimpulan dan Saran
Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun dan telah merambah ke seluruh dunia. Kita telah belajar tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Intervensi seperti ini di Kota Jayapura tampaknya memberikan hasil yang sangat berbeda antar kelompok responden. Lebih dari 81 persen WPS langsung pernah menghadiri pertemuan yang membahas pencegahan HIV/AIDS, sementara di kalangan WPS tidak langsung hanya 22,3 persen. Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Mereka sebagai kelompok berisiko tinggi memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang diterima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Kota Jayapura. Hasil SSP di kota ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV.
Temuan Kunci Pengetahuan dan Persepsi Risiko •
Banyak responden yang telah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan lebih rinci tentang bagaimana cara pencegahannya masih relatif rendah.
•
Di antara responden ada yang mempunyai keyakinan bahwa pasangan bersih dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV. Keyakinan ini jelas membahayakan karena berangkat dari pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS.
•
Banyak responden yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Selain itu, terjadi ketidaksesuaian yang substansial pada responden yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.
Perilaku Berisiko dan Kondom •
Terlepas dari masih rendahnya tingkat penggunaan kondom, kondom pada kenyataannya relatif mudah didapat di tempat transaksi seks.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
29
•
Alasan WPS tidak menggunakan kondom karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya tercatat cukup besar.
•
Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV.
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan •
Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi gejala yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas responden yang pernah tertular IMS adalah WPS tidak langsung yang melaporkan tidak menggunakan kondom.
•
Banyak responden mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.
•
Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS tidak langsung adalah tempat praktek dokter, sementara WPS langsung lebih memilih klinik di lokalisasi.
Usulan Tindakan
30
•
Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, rinci, dan relevan tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk kelompok masyarakat yang berisiko tinggi.
•
Menyediakan informasi termasuk demonstrasi “kampanye penggunaan bagi kaum lelaki yang mencobanya.
•
Bekerjasama dengan pemilik rumah bordil, bar, dan panti pijat untuk menganjurkan para germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung bagi para pelanggan.
•
Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa responden yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang.
•
Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa meminum obat dan cara lain yang keliru merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.
rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, penggunaannya, dan pengorganisasian kondom”. Kalau perlu berikan “insentif” tidak pernah menggunakan kondom untuk
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
•
Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan “jasa” tersebut.
•
Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat-obatan yang tepat.
•
Bekerjasama dengan pekerja-pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan riwayat perlakuan pengobatan yang pernah dialami.
•
Melakukan penilaian secara rinci mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Jayapura (Papua)
31