VII.
KONTINUM GERAKAN EKOLOGI DI PESANTREN
7.1. Gerakan Ekologi di Pesantren: Ekologi Dalam atau Ekologi Dangkal? Barnhill dan Gottlieb (2001) menjelaskan konsepsi ekologi dalam dengan agama. Konsepsi ekologi dalam menjelaskan pertanyaan yang mendalam tentang etika lingkungan dan penyebab mendasar dari problematika lingkungan. Kemudian, ekologi dalam menunjukkan fundamen yang menjadi basis nilai yang tentu beragam dan menjadi nilai yang dibagi kepada sesama pegiat lingkungan. Konsepsi ekologi dalam berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ecosophies meskipun konsepsi ini selalu berkaitan dengan kekhasan dan dibedakan sesuai dengan konteks dan tradisi agama masing-masing. Barnhill dan Gottlieb kemudian menyebutkan kualitas yang menunjukkan karakteristik dari ekologi dalam sebagai berikut: “… (a) an emphasis on the intrinsic value of nature (biocentrism or ecocentrism); (b) a tendency to value all things in nature equally (biocentric egalitarianism); (c) a focus on wholes, e.g., ecosystems, species, or the earth itself, rather than simply individual organisms (holism); (d) an affirmation that humans are not separate from nature (there is no “ontological gap” between humans and the natural world); (e) an emphasis on interrelationships; (f) an identification of the self with the natural world; (g) an intuitive and sensuous communion with the earth; (h) a spiritual orientation that sees nature as sacred; (i) a tendency to look to other cultures (especially asian and indigenous) as source of insight; (j) a humility toward nature, in regards to our place in the natural world, our knowledge of it, and our ability to manipulate nature in a responsible way (“nature knows best”); (k) A stance of “letting nature be,” and a celebration of wilderness and hunter-gatherer societies…” Dari beberapa karakteristik ekologi dalam ini, beberapa hal kemudian mendapatkan kritik yang dianggap tidak relevan dengan kondisi Islam. Dalam diskursus etika lingkungan Islam, kedudukan Sang Pencipta adalah absolut, sebagai pemilik tunggal dari seluruh makluk hidup di jagat semesta. Sementara itu, kedudukan makhluk adalah sama yang bertugas untuk menyembah Allah SWT dan menjadi tanda keagungannya. Oleh karena itu, dalam konsepsi Islam, Manusia di dudukkan sebagai khalifah yang bertugas menjaga amanat Tuhan sebagai wakilnya dibumi. Wakil yang tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada untuk kepentingan dirinya, tetapi mempergunakannya untuk
kemaslahatan manusia dan makhluk lainnya. Ammar (2001) menjelaskan secara rinci pandangannya sebagai berikut: “… Islam has in common with deep ecology its respect for nature and earth. Both Islam and deep ecology view humans as part of this creation and not superior to it. Beyond this commonality the Islamic vision of linking humans to nature, nature and humans to God, and the protection of nature become complex and at many points difficult to compare with deep ecology. Islam, for example does not view creation as sacred in itself. Rather, it respected as a reflection of sacredness, because it I the creation of God… in contrast to some deep ecologist who view action in nature as undesired intervention and corruption, I argue that in Islam action is the only course that fulfills the charge humans were given by God, namely to keep the equilibrium of use and protection of earth…” Menjadi pertanyaan besar adalah sejauhmana gerakan yang muncul dari pesantren ini, seperti yang tergambar diatas memiliki pengaruh hingga mampu merubah perilaku mereka yang terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan ini pada akhirnya dapat dilihat apakah telah mewujud sebagai gerakan ekologi dalam ataukah masih berada pada gerakan ekologi dangkal. Artinya, konstruksi teologis seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk gerakan, pada fase terakhir harusnya mampu merubah pandangan aktor yang inheren dengan nilai teologi yang dipahaminya. Inti ekologi dalam sebenarnya terletak pada platform yang diusungnya (McLaughlin, 1995). Platform ini lah yang membedakan antara ekologi dalam dengan ekologi dangkal. Ekologi dangkal yang cenderung antroposentrik yang meneropong problem lingkungan hanya dari kacamata ilmu pengetahuan dan teknologi dan cenderung mencari solusi teknis, sedangkan ekologi dalam mendorong perubahan fundamental dan radikal yang menyangkut transformasi cara pandang dan nilai, baik secara pribadi dan budaya, yang kemudian mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik (Adiwibowo, 2008). Jadi, terlepas dari persoalan dan kritik diatas, persoalan perubahan paradigmatik dan nilai menjadi sesuatu yang wajib dalam konstruksi ekologi dalam. Perwujudan gerakan ekologi di pesantren ini setidaknya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Devall dan Sessions dengan melihat apakah pesantren secara umum telah mengadaptasi dua norma dalam ekologi dalam yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan biocentric equality
96
(persamaan atau kesetaraan biosentris) yang bermuara pada perubahan paradigmatik tersebut. Keraf (2002) juga menyebutkan beberapa prinsip dalam ekologi dalam yaitu (a) biospheric egalitarianism; (b) non-antroposentrime; (c) realisasi diri (self-realization); (d) pengakuan dan penghargaaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis; dan (e) eco-politics. Meskipun demikian, sebagaimana digambarkan pada bab sebelumnya, dalam melihat gerakan yang dilakukan di dua pesantren ini, penting untuk memisahkan antara kyai dengan santri dan masyarakat, terutama dalam konteks kesadarannya. Ini tidak terlepas dari peran mereka sebagai pemimpin baik secara formal, kultural maupun keagamaan. Artinya, proses pergeseran dapat terjadi secara parsial, yaitu hanya terjadi pada kyai, sementara pada masyarakat maupun santri, proses pergeseran dan gerak perubahan pandangan tersebut dapat membutuhkan waktu yang lebih lama. Gerakan ekologi yang dilakukan di pesantren Al Amin secara umum memperlihatkan bahwa gerakan ini berada pada dua wilayah yang berbeda. Pada satu sisi, Kyai Basith memiliki kesadaran bahwa pada prinsipnya manusia memiliki tanggungjawab untuk membangun hubungan yang baik dengan alam (hablu mina al alam), akan tetapi dua norma diatas tampak kurang terlihat dalam praktik gerakan mereka. Secara diametris, justru motif ekonomi yang menjadi tekanan dalam upaya memperluas gerakan ekologi tersebut. Alasan ini sebenarnya yang menjadi dasar utama kenapa sebagian murid Kyai mau terlibat dalam gerakan tersebut. Artinya, dalam konteks pergeseran pemahaman relasi yang awalnya hanya memahami relasi Tuhan-Manusia dan Manusia-Manusia, kemudian memmperluas cakupannya menjadi Tuhan-Manusia, Manusia-Manusia, Manusia-Alam, menjadi potret awal bahwa sebenarnya ide kyai dalam gerakan ini telah memperlihatkan adanya kesetaraan biosentris. Konstruksi semacam ini sebenarnya merupakan perubahan fundamental dalam tafsir teologi yang dilakukan oleh seorang muslim, karena dalam berbagai kesempatan, sulit ditemukan individu yang memahami bahwa manusia juga harusnya memiliki hubungan yang bersifat teologis dan
97
egaliter terhadap alam, tetapi justru menjadi sumber perusak dan mendominasi alam dengan konstruksi berpikir antroposentrik. Kyai Basith sebenarnya telah mengalami pergeseran paradigmatik. Ia memandang alam – dalam kasus gerakannya ini adalah penanaman pohon – memiliki nilai intrinsik yang lebih penting, daripada hanya sekedar kepentingan ekonomi. Nilai intrinsik yang diungkapkan semacam peran pohon dalam ekosistem, fungsi teologisnya dengan bertasbih serta sedekah oksigen yang selalu menjadi kepercayaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya pergeseran tersebut telah terjadi. Kyai kemudian menempatkan aspek ekonomi pada urutan terakhir dari konsepsi yang diusungnya. Kemudian, pada praktiknya, kyai meyakini, bahwa sulit untuk memperkenalkan ide tersebut kepada masyarakat, karena problem utama di masyarakat adalah sebenarnya pada aspek ekonomi. Setelah masyarakat diperkenalkan dengan pendekatan ekonomi, secara perlahan, pintu penyadaran akan nilai yang dimiliki oleh kyai di introdusir dan di diseminasikan kepada anggota kelompok tani tersebut. Pendekatan ekonomi yang dibangun kyai, bukanlah semata-mata karena problem untung-rugi, tetapi tekanan pada aspek ekonomi ini memiliki alasan kuat karena ini menyangkut kebutuhan dasariah masyarakat. Dalam pandangan kyai, problematika ekologi yang terjadi belakangan ini merupakan hasil kulminasi keserakahan manusia dan juga problem ekonomi yang menghimpit mereka sehingga memunculkan beberapa kasus seperti penggundulan hutan dan kekeringan. Tekanan ekonomi ini memperlihatkan perhatian kyai pada aspek keadilan sosial (social justice) yang belakangan ini menjadi kabur dan tidak mendapat perhatian dari banyak pemimpin negara. Kritik terbesar yang kyai lakukan dalam suatu kasus dialamatkan kepada negara, yang dalam hal ini pemerintah Kabupaten Sukabumi. Kyai selalu berada pada posisi oposisi dan mengkritisi kebijakan pemerintah
karena dua alasan. Alasan pertama adalah
alasan kultural, yang memang antara pemerintah dengan pesantren Al Amin berbeda secara kultural. Alasan kedua adalah alasan kepemimpinan. Alasan ini yang menjadi perhatian utama sehingga pada Pemilu lalu, kyai mendorong muridnya yang juga teman diskusinya untuk maju, bertarung lewat jalur independen. Kondisi ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan terjadinya
98
kolaborasi antara pesantren Al Amin dengan pemerintah karena perbedaan prinsip tersebut sehingga jalan satu-satunya adalah dengan memunculkan kandidat yang secara kultural dan emosional sejalan dengan pesantren. Contoh yang paling aktual adalah dalam pelaksanaan kerjasama antara pesantren Al Amin dengan Aqua, tidak ada keterlibatan dan peranan pemerintah disana. Pemerintah hanya didudukkan pada konteks seremonial. Bahkan, pada beberapa kesempatan, aparatur desa justru merasa bahwa apa yang dilakukan oleh pesantren Al Amin ini justru lebih dulu dibanding dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat dengan program one man one tree. Pengakuan aparatur desa seperti terlihat pada pernyataan berikut ini: “…Pada prinsipnya, pemerintah Desa menyambut baik. Jadi program kyai (abuya) ini yang dipelopori dari desa, pesantren konservasi, model pesantren konservasi ini baru kali ini terjadi di Kabupaten Bogor. Jadi mudah-mudahan 45 (empat puluh lima) pesantren yang ada di Desa Tangkil, mungkin ini akan menjadi contoh atau sebagai Pilot Project. Jadi program pemerintah yang selama ini, yang disebut program one man one tree, ternyata dari Hejo Daun ini sudah duluan (lebih dahulu), jadi program pemerintah belum berjalan, malah sudah mendahului. Nah, satu itu. Keduanya, faktor secara ekonomis, masyarakat kami merasa sangat terbantu. Jadi untuk kedepannya, lahan masyarakat ini sejumlah 168 hektar, mudah-mudahan dengan gagasan buya ini, seperti awal tadi bilang, pondok-pondok pesantren yang ada khususnya di wilayah Desa Tangkil, minimal harus berguru kepada Al-Amin ini, ke Hejo Daun ini, untuk meningkatkan, untuk ekspansi perluasan…” Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Kyai selalu mendorong dan mengajarkan murid-muridnya untuk bertindak secara seimbang baik pada sisi konteks maupun teks. Sikap terhadap alam ataupun lingkungan seperti pohon juga memiliki hak hidup sehingga harus dihargai layaknya hak azasi manusia serta posisinya yang juga sebagai makhluk Allah SWT yang harus dijaga juga mengemuka sebagai kerangka pikir Kyai. Manusia menurutnya harus bersikap sama dengan ketika dia bersikap kepada sesama manusia. Pluralitas sikap demikian penting karena memperlihatkan bagaimana kesejajaran antara makhluk yang menjadi fundamen teologi dan menyadari bahwa kesemuanya merupakan bukti kebesaran Allah SWT. Kyai Basith memperlihatkan corak pandangan ekologi dalam baik dalam konstruksi teologis yang dimilikinya, maupun alasan pemberdayaan masyarakat
99
yang dilakukannya. Meskipun demikian, corak pandangan ini dirasa masih pada taraf awal karena meskipun perubahan pandangan secara individual telah terjadi, tetapi pada taraf yang masih dini. Sebagian flatform lain yang menjadi indicator kedalam belum terlihat seperti sikap kyai terhadap upaya pengurangan populasi manusia masih belum terdeksi apakah menunjukkan pergeseran paradigmatik menjadi ekologi dalam. Meskipun demikian, pada derajat yang minimal, dalam upaya menyelamatkan lingkungan, kyai tidak lagi menempatkan solusinya pada kerangka dasar ekologi dangkal yang mengandalkan upaya modernisasi dan penggunaan teknologi, tetapi mendorong terbangunnya kesadaran dan pemaknaan atas nilai esoteris makhluk selain manusia. Kondisi yang berbeda justru terjadi pada level teknis anggota kelompok tani Hejo Daun. Persoalan perubahan paradigmatik yang menjadi tekanan di level kyai, ternyata belum terlihat optimal terjadi. Kondisi ini dilatari oleh fokus mereka yang lebih pada upaya mencari solusi ekonomi, keluar dari himpitan dan keterbatasan akses atas sumberdaya. Sebagian anggota kelompok merasa bahwa apa yang dilakukan oleh kyai dengan penanaman Sengon ini memiliki manfaat keekonomian yang bisa mendongkrak taraf hidup mereka. Meksipun demikian, secara bertahap, mereka menyadari dan memahami nilai-nilai transenden yang dimaksud oleh kyai, bahwa gerakan ini bukan hanya gerakan ekonomi an sich, tetapi lebih dari itu merupakan gerakan moral dan gerakan sosial. Kondisi ini tergambar dari pernyataan informan berikut: “…Abuya menyampaikan, kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan niat kita ibadah, ada nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon menghasilkan oksigen itu hingga dewasa menghasilkan oksigen hingga dua orang. Dengan alam lain, dengan burung menghasilkan makanan, tempat berlindung, dengan tanah bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu diterangkan, masyarakat mau dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan ekonomi, nah kebutuhan mereka itu tidak hanya dengan ibadah saja, apalagi diterima dengan kondisi keimanan seperti tadi mereka tidak begitu saja menerima, dengan jarak satu hingga lima tahun…” Lambatnya pergeseran ini, secara umum bisa dilihat dari tesis Abdurrahman Wahid yang menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu sub kultur. Kontruksi kultural yang terbangun di pesantren, yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya memperbesar peluang transfer pengetahuan kepada aktor-aktor
100
yang ada didalamnya. Akan tetapi, kondisi sub kultural ini tidak terjadi di pesantren Al-Amin dalam konteks gerakan ekologi (penanaman sengon). Ini dikarenakan, hampir seluruh anggota kelompok tani tidaklah secara intens dan terpola hidup dalam kultur pesantren. Poros utama pesantren pada nilai keagamaan tidaklah sama dengan kehidupan mereka di lingkungan masingmasing sehingga, internalisasi nilai teologi menjadi hal yang kedua, setelah pemenuhan hajat ekonomi. Rasa syukur atas pencapaian ekonomi – hasil dari penanaman – seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan salah satu contoh yang paling nyata bagaimana sebenarnya faktor ekonomi menjadi sangat dominan. Meskipun makna syukur tersebut mencerminkan kesadaran teologisnya, tetapi ternyata tidak memperlihatkan kesadaran ekologi teologi yang menjadi cita luhur kyai Abdul Basith. Oleh karena itu, di pesantren Al Amin, meskipun pada level kyai, ekologi dalam tercermin dalam pandangan kyai, tetapi pada level murid maupun masyarakat, ekologi dalam belum tercermin. Sementara itu, gerakan ekologi yang terbangun di pesantren Daarul Ulum Lido memperlihatkan sikap terhadap lingkungan yang terefleksikan dari sikap Kyai yang mendorong kecintaan terhadap alam sebagai bagian dari kecintaan terhadap Allah SWT. Selain itu, sebagian santri juga memperlihatkan sikap dan ungkapan kecintaan terhadap alam merupakan kesatuan sehingga upaya merusaknya merupakan upaya merusak kehidupan. Pandangan kyai yang menempatkan posisi manusia dengan alam setara dan manusia juga memiliki ketergantungan terhadap alam memperlihakan bagaimana sebenarnya cara pandang yang merefleksikan ekologi dalam. Hubungan dengan alam bukanlah hubungan menguasai seperti konstruksi yang dibangun oleh ekologi dangkal, melainkan hubungan kasih sayang, hubungan kecintaan. “…Manfaat yang bisa diambil oleh mereka bahwa kita selama ini menanamkan kepada anak-anak kita (santri) itu agar mereka mencintai makhluk tuhan. Ketika kita bicara mengenai mencintai makhluk tuhan, tidak hanya sebatas manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam sekitarnya, karena kita meyakini bahwa alam bisa hidup tanpa kita, tetapi kita tidak bisa hidup tanpa alam…”
101
Pola hubungan ini kemudian tidak di letakkan hanya pada tataran ideal dan hanya sebagai konstruksi moralitas-etik, melainkan diletakkan pada aras praktik. Pilihan untuk menetapkan salah satu wilayah dalam pesantren sebagai zona harim memperlihatkan bagaimana kesadaran individual tersebut harus tertular secara kultural dan melembaga dalam pesantren. Pada taraf minimal, simbolisasi konservasi menurut konsepsi Islam ini memperteguh bahwa setiap santri harus turut menjaga keberlangsungan alam. Dengan adanya harim zone kemudian, santri bisa mempelajari banyak hal. Dengan harim zone pula, santri bisa mengaplikasikan ilmu yang selama ini dipelajari di kelas secara praktis. Kesadaran dan cara pandang yang senada juga diungkapkan oleh ustadz yang menjadi staf pengajar di pesantren ini. Bahkan, sebelum adanya harim zone, ia telah melakukan kegiatan penanaman yang menurutnya merupakan dorongan moral sebagai seorang muslim. Contoh kasus lain adalah, adanya sikap seorang santri senior yang ketika itu memiliki posisi strategis, memberikan hukuman kepada santri lain yang mencabut tanaman secara sembarangan dengan sikap yang sangat baik, yaitu dengan memerintahkan untuk membersihkan sampah sejumlah tertentu. Pilihan hukuman semacam ini menurutnya adalah upaya untuk mendorong kesadaran santri tersebut untuk mencintai dan menghargai lingkungan. Sikap ini merefleksikan usaha untuk menumbuhkan pandangan biospheric egalitarianism yang memandang kesetaraan seluruh makhluk sehingga harus diperlakukan dan didudukkan pada martabat yang sama Pola
hidup
yang
berlangsung
dalam
kehidupan
pesantren
juga
memperlihatkan pola hidup yang egaliter, yang mengusung ide kesederhanaan. Dalam pesantren terdapat nilai yang coba dibangun dengan sebutan Panca Jiwa. Nilai ini merupakan nilai yang dibangun oleh KH. Imam Zarkasyi, Gontor yang banyak ditularkan dan di implementasikan oleh pesantren, terutama pesantren modern. Prinsip kesederhanaan ini terlihat dari larangan untuk menggunakan halhal yang mencolok dan membedakan antar masing-masing santri, sikap yang tidak berlebihan, asketis serta juga tidak kikir. Pada sisi fisik, pesantren juga memiliki infrastruktur yang tidak membedakan satu santri dengan santri lainnya sehingga harapan untuk tidak terjadi kesenjangan antara satu dengan lainnya terus dilakukan oleh pesantren. Ini merupakan salah satu potret realisasi nilai aksetisme
102
yang diajarkan oleh Islam. Kondisi demikian diharapkan mampu memupuk rasa tenggang rasa serta budaya jujur dan sederhana. Berikut potret pernyataan tersebut: “…Saya pikir, di pesantren Modern termasuk di Pesantren Daarul Ulum Lido itu mempunyai ruh yang kita sebut dengan panca jiwa pesantren. Semua pesantren modern itu sama. Panca jiwa pesantren ini dilahirkan oleh (Alm) KH. Imam Zarkasyi, Gontor. Panca jiwa pesantren itu antara lain Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan. Saya pikir, kerakusan tadi itu adalah memang salah satu sifat yang ada pada manusia, tetapi dengan adanya kesederhanaan itu kita berusaha menanamkan kepada mereka untuk tidak rakus. Mereka sederhana yang artinya memanfaatkan sesuatu itu sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya dan selama ini yang terjadi di daarul ulum lido sifat kerakusan hingga merusak lingkungan belum pernah terjadi, bahkan kita sebaliknya…” Selain itu, harim zone menjadi arena simbolis dan praksis yang dapat memupuk prinsip pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis karena disatu sisi, santri dan komponen pesantren lainnya memiliki kesadaran dan kewajiban untuk merawat zona tersebut, minimal pada setiap Jumat bagi seluruh santri dan Ikapala setiap waktu sebagai penanggungjawab sehari-harinya. Sementara itu, harim zone menjadi zona dan lahan pembelajaran mereka untuk memperkaya khazanah ekologi serta pengetahuan biosferik mereka. Ini menunjukkan, bahwa pesantren mengedepankan hak hidup tanaman dan makhluk lainnya, sementara manusia juga bisa belajar dari tanaman tersebut. Ini terlihat dari pernyataan berikut ini: “…Manfaatnya harim zone, ilmu-ilmu yang dahulu bisa diperlebih disini, bisa lebih diperdalam. Terus juga, tidak cuma diperdalam saja, tapi juga mengenal. Selain mengenal juga lebih mendekatkan diri kepada alam bebas…” Jika ditilik dengan norma diatas, prinsip dasar ekologi dalam terlihat mengemuka di pesantren ini meskipun masih pada tahap embrio. Perubahan cara pandang, dari kebanyakan pesantren lainnya serta perhatian besar terhadap isu lingkungan, meskipun umur pesantren yang relatif muda menjadi salah satu faktor tumbuhnya gerakan ekologi dalam tersebut. Selain itu, Conservation International yang banyak memberikan penyadaran, juga bermain pada upaya memantik kesadaran kalangan pesantren tersebut. Selain itu, Kyai melihat bahwa upaya 103
menyikapi dan melihat problem lingkungan serta upaya mencari solusi pemecahannya bukan pada wilayah teologis semata, tetapi juga menyelesaikannya dengan melihatnya sebagai problem kemanusiaan. Selain itu, gerakan yang dilakukan di internal pesantren, yang menggunakan media formal maupun informal di dalam pesantren, serta pesantren yang terlihat seperti enclave, mampu menjaga putaran ide serta gerakan ekologi tersebut. Sub kultur pesantren mampu mempertahankan gerakan tersebut secara baik karena ritual dan aktivitas yang dilakukan dalam kompleks pesantren secara terus menerus sehingga gagasan dan gerakan terus di reproduksi dan diwariskan dan meluas meskipun tidak terlepas dari tantangan dan problematika yang dihadapinya. Meskipun demikian, sebenarnya gerakan harim zone ini juga tidaklah menjawab persoalan mendasar yang terjadi di pesantren ini. Dalam beberapa aspek, sebenarnya pesantren Daarul Ulum Lido dihadapkan pada beberapa persoalan seperti belum mewabahnya kesadaran santri dalam menjaga kesehatan dan kebersihan. Ini menunjukkan bahwa, gerakan yang dilakukan selain masih bersifat simbolik, juga masih didominasi oleh segelintir aktor dalam pesantren. Sifat gerakan yang masih eksklusif menjadi penghambat perluasan ide dan upaya mendorong terbangunnya kesadaran yang lebih masif di kalangan pesantren. Pada tataran tertentu, gerakan ekologi ini harus didorong pada upaya mewujudkan gerakan ekologi yang inklusif, terbuka dan mampu membangun kesadaran seluruh santri dalam pesantren, yang pada gilirannya meluas keluar lingkungan pesantren. Artinya, jika dilihat dalam jenjang munculnya gerakan ekologi, tahapan yang dilalui oleh pesantren ini juga tidak berlangsung secara tuntas. Jenjang saat ini yang penulis rasakan di pesantren tersebut adalah upaya melakukan internalisasi teologi ekologi, meskipun masih berlangsung pada pusaran aktor yang terlibat saja dan belum meluas pada santri lainnya. Jenjang perluasan gerakan untuk membangun kesadaran masyarakat diluar pesantren belum dilakukan dan perlu mendapat perhatian sehingga gerakan yang berlangsung di pesantren tidak bersifat eksklusif milik pesantren, tetapi menjadi milik bersama antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya.
104
7.2. Potensi Masa Depan Gerakan Ekologi di Pesantren Gerakan ekologi di pesantren yang terjadi di dua pesantren diatas, baik yang merupakan refleksi individual maupun hasil induksi pengetahuan aktor luar pesantren perlu dilihat dalam kerangka yang lebih besar sehingga dapat diproyeksikan kontinuitas gerakan tersebut. Bagi pesantren yang merupakan komunitas supra-sosial (meminjam istilah Hermansah), konstruksi teologi ekologi yang dibangun perlu dijaga kesinambungannya, proses pewarisannya maupun kontinuitas idenya, sehingga keberlanjutan gerakannya menjadi terjamin dan terarah. Keberlanjutan ini perlu diteropong baik dari sisi konstruksi teologi ekologi, proses manifestasi gerakannya maupun kontinum gerakan ekologi tersebut. Kontinum merupakan suatu kondisi dimana proses perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain berjalan secara gradual serta tanpa menumbulkan perubahan mendadak1. Dalam filsafat, kontinum merupakan suatu konsep tentang suatu realitas, atau suatu dimensi realitas yang tidak terpecah-pecah. Whitehead memandang peristiwa-peristiwa dalam ruang-waktu sebagai terjadi dalam suatu kontinum yang ekstensif (Bagus, 1996). Dari sisi kontruksi ideologi, tafsir yang dilakukan oleh kyai yang terdapat di pesantren tradisional menjadi rentan tergerus oleh waktu. Tafsir dan penafsir tunggal semacam ini menjadi terkendala ketika pewaris kepemimpinan pesantren tidak memiliki kemampuan sepadan atau bahkan lebih baik dari kyai Abdul Basith. Artinya, faktor kapasitas dan kapabilitas dalam memaknai teologi ekologi serta melakukan kontekstualisasi dengan problematika yang dihadapi dapat menjadi ganjalan besar apabila pewarisan ide tersebut tidak berjalan. Disisi lain, proses pewarisan ide yang terjadi di pesantren modern, yang memiliki sistem pengkaderan dan regenerasi yang lebih baik memungkinkan kontinuitas program tersebut tetap terjaga. Selain itu, bagi pesantren tradisional semacam pesantren Al Amin, relasi sosial yang terbangun memiliki peranan paling besar, karena kekuasaan besar, terutama otoritas penafsir keagamaan yang dimiliki oleh kyai menjadi salah satu kekuatan utamanya, yang mendorong tumbuhnya inovasi berbagai gerakan baik 1
http://en.wikipedia.org/wiki/Continuum
105
gerakan sosial maupun gerakan ekologi. Relasi yang terbangun, baik antara kyai dengan murid maupun kyai dengan masyarakat disekitar, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kharisma yang dimiliki oleh kyai tersebut. Sistem pewarisan secara genealogis, menjadi ujian pertama karena bukan tidak mungkin kondisi ini menyebabkan masalah. Kualifikasi yang dimiliki oleh kyai merupakan hasil pengujian dalam kurun ruang dan waktu yang relatif panjang. Artinya, relasi yang terbangun antar kyai dengan murid maupun masyarakat yang mengikutinya itu telah terbangun selain karena warisan relasi secara genealogis, juga merupakan pengakuan atas kapasitas yang dimilikinya. Pewaris tahta selanjutnya, haruslah memiliki kemampuan yang sama dan kondisi ini secara bertahap dilakukan oleh kyai saat ini. Proses pengkaderan sedang dilakukan, meskipun belum terlibat dalam konteks gerakan, tetapi pengenalan terhadap sistem pesantren telah dilakukan. Riset yang dilakukan di pesantren Luhur Al Wasilah (Yamin, 2007) memperlihatkan pola gerakan yang sama seperti di pesantren Al Amin. Poros gerakan bertumpu pada sosok kyai yang mampu menggerakkan sebagian masyarakat Garut untuk ikut dalam kegiatan konservasi. Akan tetapi, pertanyaan terbesarnya, bagaimana kondisi gerakan tersebut selanjutnya? Dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia, praktik pemberdayaan masyarakat dapat dilacak pada kurun 70 hingga 90an. Pondok Pesantren AnNuqayah, Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pondok Pesantren Pabelan banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat, mulai dari pengembangan ekonomi pedesaan, perbaikan sanitasi, penghijaun dan lainnya telah mereka lakukan. Hal yang menarik adalah, ketiga pesantren ini memiliki lembaga tersendiri yang bertugas secara khusus mengorganisir dan mengelola praktik pemberdayaan masyarakat (Effendy, 1980; Rahardjo, 1985). Potret ini yang belum ditemukan dalam gerakan di pesantren Al Amin, sehingga potensi tergerus menjadi terbuka ketika pola pewarisan kepemimpinan dan pemaknaan akan gerakan tidak berjalan secara baik. Sementara itu, sejarah telah membuktikan, praktik gerakan di pesantren diatas justru memperlihatkan konsistensi dan kontinuitas yang relatif baik meskipun tetap dilakukan adaptasi seiring dengan perubahan generasi dalam pesantren masing-masing.
106
Kemudian, manifestasi gerakan yang melibatkan masyarakat sebagai aktor gerakan dengan stimulan ekonomi memperlihatkan symptom atau gejala yang juga berpotensi menahan laju perkembangannya. Proses penanaman Sengon yang dilakukan saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal karena baru memasuki tahun-tahun pertengahan, sehingga ketika penanaman tersebut tidak memberikan keuntungan bagi mereka, yang dimungkinkan hanyalah distrust dan erosi kepercayaan terhadap kyai. Selain itu, tersendatnya kerjasama pesantren Al Amin dengan Aqua seringkali menjadi pertanyaan bagi masyarakat akan nasib aktivitas mereka. Kondisi ini dapat menyebabkan tidak bergeraknya posisi masyarakat yang saat ini dirasa masih berada pada titik ekologi dangkal, kemudian mampu menggeser paradigma berfikirnya menjadi ekologi dalam karena terpaku pada aspek ekonomi saja. Padahal, praktik ekonomi tersebut hanya stimulan yang dilakukan oleh kyai Basith. Praktik primer yang diperkenalkan sebenarnya jauh lebih besar meskipun terkesan normatif seperti pengenalan nilai intrinsik pohon, dan sebagainya. Selain itu, transfer ide, yang harusnya dilakukan secara repetitif, dilakukan berulang-ulang, hingga saat ini tidak dilakukan secara konsisten dan teratur. Pengajian yang dilakukan oleh kyai, yang dapat dimaknai sebagai salah satu sarana yang dimiliki oleh pesantren dan masyarakat perlu di revitalisasi dan di kontekstualisasikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengajian tidak hanya berkutat pada pembahasan keagamaan saja, tetapi diperluas menjadi pembahasan sosial keummatan. Praktik ini telah dilakukan oleh pesantren An Nuqayah melalui bekrembek (Effendy, 1980). Sementara itu, pada pesantren Daarul Ulum Lido, gerakan ekologi yang dilakukan hingga saat ini dapat bertahan karena tafsir terhadap gerakan tersebut tidak di monopoli oleh seorang kyai atau sekelompok orang. Proses pergumulan ide yang dilakukan secara dialektik antara aktor di pesantren dengan diluar pesantren setidaknya mampu menjaga kesegaran ide tersebut sehingga pesantren dapat terus melakukan interpretasi atas teologi ekologi. Namun, tafsir yang dilakukan tersebut bukan merupakan tafsir tunggal sehingga memungkinkan disparitas struktur kognisi yang berbeda antara masing-masing individu. Hal ini menyebabkan sulitnya menyatukan pandangan karena masing-masing memiliki
107
sudut pandang yang berbeda. Disitulah posisi sistem harusnya berperan. Sistem harus mampu mensintesakan berbagai struktur kognisi tersebut sehingga menghasilkan rumusan yang disepakati oleh seluruh pihak. Harim zone, meskipun diapresiasi, tetapi tetap menimbulkan kritik dan riak di dalam internal pesantren karena perbedaan struktur tersebut. Artinya, meskipun terdapat keleluasaan dalam mengadopsi interpretasi luar, perlu ditetapkan aturan main sehingga ketika jejaring tidak hanya pada satu simpul dan meluas, pesantren tidak mengalami destruksi ide gerakan. Langkah pengembangan gerakan dengan meningkatkan relasi dari sekedar bouding capital, tetapi menjadi bridging capital atau bahkan linking capital (Woolcock dan Narayan, 2006) menjadi penting dilakukan sehingga kontinuitas gerakan dapat terus dilakukan tanpa bergantung pada satu aktor luar pesantren. Selain pada level pesantren, pada level komunitas santri, mobilisasi ide yang selama ini hanya berputar dalam struktur kognisi anggota-anggota kelompok, perlu ditularkan dan didiseminasikan kepada kepada santri lainnya sehingga, memperbanyak pengaruh dan pemahaman atas prinsip-prinsip ekologi dalam seperti yang telah disebutkan diatas. Pertarungan gagasan baik pada level santri maupun pada level pesantren, meskipun terjadi, tetapi tidak sampai menihilkan tafsir yang dilakukan sebelumnya. Bahkan, pada titik tertentu justru memperkaya khazanah gerakan serta menjadi pandang kritis bagi keberlangsungan gerakan tersebut. Pertarungan gagasan ini lah yang dirasa akan terus mendinamisir gerakan yang terjadi di pesantren Daarul Ulum Lido. Penting untuk digarisbawahi, bahwa meskipun praktik gerakan telah dilakukan, baik pada pesantren Al Amin maupun pesantren Daarul Ulum Lido, peran besar pengetahuan agama masing-masing aktor dalam menafsirkan teologi ekologi harus terus diperhatikan sebagai instrumen dasar dalam mendorong perubahan karena bagaimanapun konteks gerakan yang akan dilakukan, aktor tersebut akan selalu menginterpretasikan sesuai kadar pengetahuan mereka. Sementara, disisi lain, aktor di pesantren akan terus mengakutalisasikan problematika yang berkembang dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka pahami.
108