1
KONSEP AKHLAK PESERTA DIDIK TERHADAP GURU DALAM KITAB ADA>B AL-‘A>LIM WA AL-MUTA’ALLIM KARYA KH. HASYIM ASY’ARI DAN KONTRIBUSINYA DALAM TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Disusun Oleh: BAASITH FATHURROHMAAN NIM. 210312066 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2016
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Orang akan sangat senang dan bahagia jika hidup bersama dengan orang-orang beriman yang beriman dan shalih. Sesungguhnya, kenikmatan hidup bukan hanya dinikmati oleh mereka yang hidup bersamanya. Pelakunya sendiri akan merasakan kenikmatan yang sama, bahkan lebih dalam. Karena selain mendapatkan respon positif dari orang lain di dunia, orang yang berakhlak mulia telah dijanjikan oleh Allah mendapatkan pahala yang melimpah ruang di akhirat kelak.1 Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan orang tua di rumah, guru di sekolah dan pimpinan serta tokoh masyarakat di lingkungan. Kesemua lingkungan ini merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan, yang berarti pula tempat dilaksanakannya pendidikan akhlak.2 Konsep KH. Hasyim Asy‟ari dan al-Zarnuji, sebagai manifestasi akhlak peserta didik terhadap guru, maka peserta didik harus memiliki rasa hormat dan patuh kepada gurunya yang tidak boleh putus seumur hidup. Disamping itu rasa 1
Wahid Ahmadi, Risalah Akhlak, Panduan Perilaku Muslim Modern (Solo: Era Intermedia,
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 38.
2004), 20.
1
3
hormatnya mutlak yang ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi. Baik KH. Hasyim Asy‟ari maupun al-Zarnuji sepakat bahwa penghormatan terhadap guru merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar. Dalam pandangan keduanya, posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan merupakan bapak spiritual. Oleh karenanya kedudukan guru sangatlah terhormat dan tinggi karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian spiritual dan keselamatan akhirat.3 Salah
satu
tujuan
pendidikan
Islam
adalah
untuk
membantu
pembentukan akhlak yang mulia. Kaum Muslim telah bersetuju bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pemikiran Islam bukanlah untuk mengisi otak Peserta Didik dengan maklumat-maklumat kering dan mengajar mereka pelajaran-pelajaran yang belum mereka ketahui.4 Sementara
itu
Mohd.
Athiyah
al-Abrasyi,
mengatakan
bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah Atas Pemikiran al Zarnuzi dan KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Teras, 2007), 1-2. 4 Khoiron Rosyadi, Pendidik Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 162. 3
4
pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya
pedidikan.
Selanjutnya
al-Attas
mengatakan
bahwa
tujuan
pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.5 Krisis nilai berkaitan dengan masalah sikap menilai sesuatu perbuatan tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah, dan hal-hal lain yang menyangkut perilaku etis individual dan sosial.6 Salah satu perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam dinding kelas, tanpa berpengaruh di luar kelas atau sekolah.7 Begitu juga globalisasi di bidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transportasi dan informasi. Para peserta didik saat ini telah mengenal berbagai pesan pembelajaran, baik yang besifat pedagogis-terkontrol maupun nonpedagogis yang sulit terkontrol. Sumbersumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol akan dapat memengaruhi perubahan budaya, etika dan moral para peserta didik atau masyarakat. Sebagai
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Depok: Raja Grafindo Perkasa,
2014), 32. 6
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 38. Jamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) , 21. 7
5
eksesnya adalah munculnya sikap sadisme, kekerasan, pemerkosaan, dan sebagainya.8 Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ”Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru dalam Kitab
Ada>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asy’ari dan Kontribusinya dalam Tujuan Pendidikan Islam”.
B. Rumusan Masalah 1.
Apa kandungan kitab Ada>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari?
2.
Bagaimana kontribusi konsep akhlak peserta didik terhadap guru dalam kitab
Ada>b al-‘a>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari dalam tujuan pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui kandungan kitab Ada>b al-‘a>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari.
8
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2009), 16.
6
2.
Untuk mengetahui kontribusi konsep akhlak peserta didik terhadap guru dalam Kitab Ada>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari dalam tujuan pendidikan Islam.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan khususnya secara toeritis maupun praktis, antara lain: 1.
Secara Teoritis Pemikiran ini diharapkan dapat memberikan khazanah pendidikan Islam dan khususnya untuk memberikan wawasan kepada Peserta didik tentang konsep akhlak peserta didik terhadap guru dalam kitab Ada>b al-
‘A>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari. 2.
Secara Praktis a.
Memberikan pencerahan untuk menjadi seorang peserta didik yang taat dan selalu menjaga akhlak yang baik dihadapan pendidik, serta mengembangkan ilmu yang telah dipelajari untuk melaksanakan tugas hidup dalam kehidupan dunia dan akhirat.
b.
Sebagai bahan informasi bagi perserta didik untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai peserta didik dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan agama Islam.
7
E. Kajian Teori dan Telaah Hasil Penelitian Terdahulu 1.
Kajian Teori a.
Konsep Akhlak 1) Muhammad ibn Sahnun Adab atau etika pelajar dalam mempelajari al-Qur‟an yang dikemukakan ibnu Sahnun adalah akhlak mulia seperti yang diajarkan agama, sunnah dan shar’i, serta menekankan pada hubungan baik antara guru dan murid, juga bagaimana praktik pengamalan al-Qur‟an yang merupakan kewajiban dasar bagi semua siswa agar mereka memberikan penghormatan terhadap al-Qur‟an setinggi-tingginya.9 2) Al-Haris al-Muhasibi Diantara hal yang dapat memuliakan dalam proses pembelajaran, hendaknya setiap guru dan murid memiliki etika (sopan santun). Dalam hal ini hendaknya guru bersikap tawad}u kepada para siswa, memiliki rasa simpati kepada mereka. Adapun bagi para siswa, hendaknya melakukan penghormatan dan menciptakan ketenangan yang bermanfaat, dengan penghargaan yang bertambah.10
9
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 297. 10 Ibid., 307.
8
3) Ahmad ibn Miskawih Karakteristik pemikiran ibn Miskawih dalam pendidikan akhlak secara umum dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya, watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. 11 Adapun
pemikiran
ibn
Miskawih
tentang
konsep
pendidikan akhlak sebagaimana berikut: a) Tujuan pendidikan akhlak: ibn Miskawih mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin, yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kenahagiaan yang sejati dan sempurna. b) Tujuan pendidikan akhlak: pendidikan mempunyai tugas dan tangungjawab untuk meluruskan peserta didik melalui ilmu rasional, agar mereka dapat mencapai kebahagiaan intelektual dan mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis. c) Tentang materi pendidikan akhlak: mengklasifikasikan materi pendidikan akhlak kedalam tiga klasifikasi, yaitu: 1)) Hal-hal yang wajib bagi bagi kebutuhan tubuh manusia. 2)) Hal-hal yang wajib bagi jiwa manusia.
11
Ibid.,310.
9
3)) Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.12 4) Muhammad al-Ghazali Siswa yang baik hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut: a) Belajar dengan niat taqarru>b (mendekatkan diri) kepada Allah, sehingga ia dituntut untuk selalu menyucikan dirinya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. b) Hendaknya menjauhi sedapat mungkin urusan keduniaan dan mengurangi dalam menggandrunginya. Sebab terkadang dapat melelaikannya dari menuntut ilmu. c) Hendaknya bersikap rendah hati dan tawad}u’, tidak berbangga diri dihadapan gurunya, yang menyebabkan dia lebih besar atau lebih hebat dari gurunya. d) Murid yang baru hendaknya tidak mempelajari ilmu-ilmu yang berlawanan, sebelum ia mempelajari dan menguasai suatu ilmu yang mendalam, sebab dikhawatirkan pikirannya menjadi kacau dan bingung jika berdiskusi dengan ilmu lainnya. e) Mempelajari ilmu yang wajib terlebih dahulu dan tidak mengabaikan pelajaran terpuji lainnya.
12
Ibid., 312.
10
f)
Bertahap
dalam
mempelajari
ilmu
pengetahuan,
tidak
menyelami bermacam-macam ilmu secara serentak, tetapi hendaknya memperhatikan tertibnya, dan mendahulukan serta memulainya dari yang lebih penting. g) Tidak mempelajari disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan tersusun secara sistematis dan berjenjang secara alami, yang menjadi sarana mempelajari ilmu yang lain. h) Hendaknya mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.13 Dilihat dari beberapa pengertian ilmu akhlak dan unsur-unsur yang terdapat didalamnnya, ilmu akhlak sebagai ilmu yang tidak berdiri sendiri karena berkaitan dengan tingkah laku manusia, dan ilmu akhlak sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang sama dengan cabang ilmu lainnya dalam ilmu-ilmu sosial dilihat dari berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengetahui gejala jiwa manusia dengan mengacu pada segala sesuatu yang konkret untuk mengetahui segala yang abstrak atau perbuatan sebagai gambaran isi hati manusia. Dalam sosiologi segala yang tampak sebagaimana adanya pada yang tampak yang sifatnya fenomenologis, sedangkan dalam ilmu akhlak segala yang tampak dalam bentuk perbuatan tidak berarti sebagai gambaran original hati manusia karena isi hati bukan sesuatu yang awalnya 13
Ibid., 332-333.
11
menampakkan diri. Jadi hakekat isi hati berada pada hasil penjelasan observatif terhadap individu yang teliti, sedangkan dalam sosiologi gejala kejiwaan bukan objek yang seharusnya dikaji karena apa yang ada adalah kenyataan yang sebenarnya dan tidak diperlukan keharusan menyatakan kenyataan yang berasal dari kenyataan. Dalam ilmu akhlak, perbuatan manusia berasal dari isi hatinya, tetapi yang berhak manilai isi hati hanya diri manusia itu sendiri, sedangkan yang paling yang paling mengetahui isi hati adalah Allah Swt. Oleh karena itu, ilmu akhlak membahas objek penting pada diri manusia, yaitu pengkajian tentang hati sebagai kekuatan jiwa manusia dalam bertindak yang menjadi latar belakang diterima atau ditolaknya suatu perbuatan oleh Allah Swt.14 Sebagai sebuah ilmu, tentu ilmu akhlak merupakan akumulasi dari berbagai pengetahuan tentang tingkah laku manusia yang memiliki ciri-ciri berikut: 1.
Akhlak manusia adalah objek penelitian, yang dapat dikaji secara eksperimental dan merupakan bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial.
2.
Semua perbuatan manusia dapat diteliti dalam berbagai pendekatan misalnya pendekatan psikologis, sosiologis, antropologis dan filosofis.
14
2010), 24.
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia,
12
3.
Ilmu akhlak dikaji secara sistematis dan logis, sebagaimana kajiannya dari unsur-unsur internal dan eksternal yang menjadi latar belakang lahirnya suatu tindakan, seperti kajian tentang niat atau motivasi tindakan, cara-cara bertindak terhadap kehidupan dan sebagainya.
4.
Dapat diuji secara ilmiah, misalnya perilaku sosial keagamaan diuji dampaknya terhadap kehidupan individu sebagai pelakunya, yaitu dampak terhadap kehidupan keluarga, kepemimpinan dalam rumah tangga, kesabaran menghadapi kehidupan, pola kehidupan keluarga dan sebagainya. Teori yang dirumuskan beraitan dengan akhlak menggambarkan
eksistensi ilmu akhlak, sedangkan konsep-konsep dari rumusan teoritis melahirkan berbagai istilah yang baku, misalnya akhla>k al-kari>mah dan
akhla>k al-majmu>mah.15 b.
Konsep Tujuan Pendidikan 1) Ali ibn Muhammad al-Qabisiy Secara umum, pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam, yaitu: a) Mengembangkan kekuatan akhlak anak. b) Menumbuhkan rasa cinta agama. c) Berpegang teguh terhadap ajarannya.
15
Ibid., 25 -26.
13
d) Mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni. e) Anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafkah. Selanjutnya, menurut al-Qabisiy, tujuan pendidikan anak adalah mengenal agama terlebih dahulu, sebelum mengenal yang lain. Oleh karena itu, menurutnya wajib hukumnya memberikan pelajaran agama kepada meraka. 2) Muhammad al-Ghazali Al-Ghazali membagi tujuan pendidikan Islam menjadi tiga macam: 1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan saja. 2) Tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. 3) Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.16 Selain tujuan diatas, dikatakan oleh al-Ghazali bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk para ilmuan yang memiliki keluhuran akhlak dan budi pekerti tang baik. Tujuan ini
16
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh , 301-325.
14
kelihatannya mengarah pada sifat moral dan religius, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.17 2.
Telaah Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu mengenai akhlak peserta didik yang dapat penulis temukan diantaranya adalah: 1.
Nur Kholis (243002068) dengan judul skripsi “Etika Pendidik dan Peserta Didik KH. Hasyim Asy‟ari dalam Perspektif Pendidikan Islam Masa Kini (Kajian Kritis kitab Ada>b al-’A
Etika pendidik menurut KH.
Hasyim Asy‟ari yaitu mengajar dan mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, mendewasakannya dengan memperhatikan aspek kepribadian dan kompetensi, arah dan tujuan pendidikan, ilmu yang diajarkan, dan evaluasi. 3.) Implikasi penerapan konsep etika belajar mengajar menurut KH. Hasyim Asy‟ari adalah membentuk manusia menjadi pribadi-pribadi yang sempurna (al-Insa>n al-Ka>mil) yang dapat
17
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh , 326.
15
merealisasikan pada kehidupan sehingga memberi pengaruh pada nilainilai budaya pendidikan nasional secara umum. Penelitian tersebut memang membahas tentang KH. Hasyim Asy‟ari, tetapi menurut hemat penulis akan lebih mengkhususkan penelitian tentang akhlak murid terhadap guru, ini yang menjadi perbedaan dengan penelitian sebelumnya. 2.
Mhd. Amir Zaid (210310144) dengan judul skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Perspektif KH. Hasyim Asy‟ari dalam Kitab Irsha>d
al-Mu’mini>n Tersusun dalam Kitab Irsha>d al-Sa>ri Karya KH. Ishom alDin dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter” dengan hasil penelitian 1.) Nilai pendidikan akhlak dalam kitab Irsha>d al-Mu’mini>n karya KH. Hasyim Asy‟ari adalah membahas tentang akhlak bagian pertama yaitu menjelaskan tentang sejarah (sifat) Nabi Muhammad Saw., bagian kedua yaitu menjelaskan tentang sejarah (perjalanan)
Shalaf al-Sho>lih. 2.) Nilai pendidikan akhlak menurut perspektif KH. Hasyim Asy‟ari dalam kitab Irsha>d al-Mu’mini>n sesuai atau relevan dengan pendidikan karakter, karena dilihat dari pendidikan akhlak yang terkandung dalam kitab Irsha>d al-Mu’mini>n karya KH. Hasyim Asy‟ari yang mengarah pada penanaman kepribadian yang baik menurut agama Islam. Selain itu dilihat dari tujuannya saja antara pendidikan akhlak
16
dengan pendidikan karakter itu memiliki makna yang sama yaitu untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi pribadi yang baik. Di dalam penelitian ini juga masih umum dalam meneliti tentang akhlak, kitab yang dibahas juga membahas akhlak Nabi Saw. Aspek ini juga yang membedakan dengan panelitian yang akan dilakukan penulis. Padahal penulis ingin mengkhususan penelitian akhlak peserta didik terhadap guru. 3.
Sri Wahyuti (210310286) dengan judul skripsi “Pembinaan Akhlak Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran Melalui Kitab Washo>ya al-Aba>i Li
al-Abna>i Madrasah Diniyah Sulamul Huda Siwalan Mlarak Ponorogo” dengan hasil penelitian 1.) Kondisi akhlak siswa Madrasah Diniyah Sulamul Huda Siwalan Mlarak Ponorogo sebelum pembelajaran kitab
Washo>ya al-Aba>i Li al-Abna>i masih terdapat sebagian siswa yang memiliki akhlak yang kurang bagus. Akhlak kurang bagus ini ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari seperti kurang disiplin, sering mengabaikan perintah dan nasehat dari asatidz serta terhadap asatiz kurang sopan dalam berbicara dan bersikap. 2.) pembelajaran kitab
Washo>ya al-Aba>i Li al-Abna>i dalam pembinaan akhlak Madrasah Diniyah Sulamul Huda Siwalan Mlarak Ponorogo dilakukan melalui metode penerapan pembelajaran dalam kitab Washo>ya al-Aba>i Li al-
Abna>i dan strategi cerita. Melalui cerita adab-adab yang baik dalam
17
belajar, menghafal da diskusi, siswa lebih tertarik karena cara penyampaian cerita dan isi ceritanya sangat sesuai dengan usia siswa di Madrasah Diniyah Sulamul Huda. Selain metode cerita, pembiasaan akhlak dalam belajar, menghafal dan berdiskusi juga dilakukan sehingga pembinaan akhlak siswa tercapai. Siswa lebih menghargai asatiz didalam maupun diluar kelas. Adab siswa ketika belajar, menghafal dan berdiskusi lebih teratur. 3.) Faktor pendukung dan penghambat dalam pembinaan akhlak siswa Madrasah Diniyah Sulamul Huda Siwalan Mlarak Ponorogo melalui kitab Washo>ya al-Aba>i Li al-Abna>i antara lain berasal dari keluarga, madrasah serta masyarakat. Diantara faktor penghambatnya adalah kurangnya dukungan dari keluarga orang tua dan masyarakat, orang tua kurang memperhatikan perkembangan anak. Selain itu, pembiasaan yang kurang terpuji juga dilakukan orang tua dan masyarakat sehingga banyak ditiru para siswa. Faktor pendukungnya diantaranya dengan mengajarkan kitab Washo>ya al-Aba>i Li al-Abna>i, membiasakan shalat berjamaah, berdoa sebelum dan sesudah belajar serta mengucapkan salam ketika bertemu asatiz. Walaupun penelitian ini membahas akhlak peserta didik namun penulis ingin lebih memfokuskan akhlak peserta terhadap guru. Dan penelitian ini juga lebih menekankan pada proses pembelajarannya.
18
4.
Ali
Ahmadi
(243012055)
dengan
judul
skripsi
“Efektifitas Metode Pembelajaran Pondok Pesantren Salafy dalam Pembentukan Akhlak Santri di Era Global (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darul Muttaqin Jati Prahu Karangan Trenggalek Tahun 2005) denga hasil penelitian 1.) Penerapan metode pembelajaran pondok pesantren salafiyah di pondok pesantren salafiyah Darul Muttaqin Jati Prahu Karangan Trenggalek yaitu dengan menerapkan metode sorogan, bandongan atau wekton, halaqoh, lalaran/hafalan, teladan, pembiasaan, penyampaian materi akhlak, nasehat dan metode hukuman. 2.) Pembentukan akhlak santri di era globalisasi di pondok pesantren Darul Muttaqin adalah dengan memberikan pendidikan uswatun hasanah (contoh yang baik), membiasakan hal-hal yang positif, menyampaikan materi akhlak, menegakkan atau menciptakan terlaksananya peraturan atau tata tertib pondok pesantren. 3.) Penerapan metode pembelajaran pondok pesantren salafiyah dalam pembentukan akhlak santri di era global di pondok pesantren Darul Muttaqin Jati Prahu Karangan Trenggalek dapat berjalan secara efektif untuk dapat mempertahankan di era global. Penelitian ini memang membahas tentang akhlak peserta didik tetapi lebih fokus pada medode pembejalaran, ini letak perbedaan yang akan ditiliti penulis. Dari telaah terhadap hasil penelitian terdahulu tersebut sudah ada yang meneliti pendidikan akhlak dan etika pendidik
19
dan peserta didik karya KH. Hasyim Asy‟ari, namun dalam penelitian ini penulis mengkhususkan untuk meneliti mengenai akhlak peserta Didik terhadap Guru dalam kitab Ada>b al ‘a>lim Wa al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy‟ari dan relevansinya terhadap tujuan pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian a.
Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
historik.
Pendekatan
dimaksudkan
untuk
mengkaji
pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan karyanya, khususnya yang berkaitan dengan konsep akhlak peserta didik terhadap guru dalam kitab Ada>b al
‘a>lim Wa al-Muta’allim. Mencari bab yang berkaitan dengan akhlak yang harus dimiliki peserta didik dalam kitab Ada>b al-‘A
20
b.
Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian kajian pustaka (library research). Yang dimaksud dengan kajian pustaka (library research) adalah telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu
masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. 18 Sedangkan dilihat dari jenis datanya penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. 2.
Sumber Data Sumber data primer adalah bahan atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian. Adapun sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah kitab Ada>b al-‘A
Fi> ma> Yahta>j Ilaihi al-Muta’a>llim Fi> Ahwa>li Ta’allumihi Wa Ma> Yatawaqqafi ‘Alaihi al-Mu’allimi Fi Maqa>ma>ti Ta’li>mihi. Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamy, Pondok Pesantren Tebuireng, 1415 H. Yang dimaksud sumber data sekunder di sini adalah buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan masalah dalam kajian ini. Antara lain: a.
Ramayulis dkk., Eksiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Di Dunia Dan Indonesia (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005). 214-218. b. 18
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 16. Tim penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Ponorogo: STAIN, Tarbiyah, 2015), 53-54.
21
c.
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Tentang Ahl al-Sunnah Wa al-Jama >’ah (Surabaya: Khalista, 2010).
d.
Syamsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2013). 203-211.
e.
Beni Ahmad Saebanin dkk., Ilmu Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010).
f.
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2008). 205271.
g.
Mustofa, Akklak-Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997). 149-163.
h.
Barmawie Umary, Materi Akhlak (Solo: CV Ramadhani, 1989).
i.
Musthafa al-„Adawy, Fikih Akhlak. Terj. Salim Bazemool dan Taufik Damas Lc (Jakarta: Qisthi Press, 2006).
j.
Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid (Yogyakarta: Teras, 2007).
k.
Al-Zarnuji, Ta’li>m al-Muta’allim, (Indonesia: Darul Ihya‟il Kutubil Arabiyah, t.tb).
l.
Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo:Stain Po Press, 2007).
m. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). n.
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014).
22
3.
Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Penulis mencari data-data (tulisan, gambar, atau karya-karya monumental) terkait pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari tentang akhlak peserta didik terhadap guru, dan data-data lain yang berkaitan dengan pembahasan. Karena penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, maka material atau sumber penelitian diambil dari kepustakaan KH. Hasyim Asy‟ari dan tujuan pendidikan Islam dan sumber-sember lain yang berkaitan dengan materi. Penulis mencoba mencari data-data yang sekiranya memiliki hubungan dengan penelitian melalui buku-buku referensi, seperti buku tentang akhlak atau etika, pemikiran tentang tokoh pendidikan Islam, dan lain sebagainya.
4.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, teknis analisis data yang digunakan yaitu analisis isi (content analysis), adalah teknik yang dipakai untuk menarik kesimpulan melalui sebuah usaha menemukan karakteristik pesan, yang penggarapannya dilakukan secara obyektif dan sistematis. Selain itu content analysis juga digunakan untuk membandingkan isi buku dengan
buku lain yang masih mempunyai bidang kajian yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu, maupun mengenai buku.19
19
172-173.
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
23
Di samping itu dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu penulisannya maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu. 20 Sementara itu, untuk memperoleh pemaparan yang objektif dalam hal ini, tak lain adalah dengan menggunakan metode berfikir induktif dan deduktif. Metode berpikir induktif adalah salah satu cara berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa tertentu kemudian ditarik suatu kesimpulan generalisasi yang bersifat umum sedangkan deduktif ialah menjelaskan atau menggambarkan data yang ada. Dalam prakteknya, metode ini tidak terbatas pada pengumpulan data saja, tetapi juga meliputi penjelasan dan analisis terhadap data tersebut.21 Dengan metode ini berusaha mengalisis isi dan menjelaskan pemikiran masalah yang dibahas. Dalam penelitian ini akan membahas isi kitab karya KH. Hasyim Asy‟ari yaitu Ada>b al-‘A
20
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), 72-73. 21 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), 41.
24
G. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan penyusunan laporan hasil penelitian, maka pembahasan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub yang berkaitan erat yang merupakan kesatuan yang utuh yaitu: Bab I, adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori dan atau telaah hasil penelitian terdahulu, metode penelitian yang terdiri dari pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data, dan sistematika pembahasan. Bab II, Kajian Teoritis. Bab III, Paparan Data, meliputi: Data Umum dan data Khusus. Bab IV Analisis Data. Bab V, Penutup. Yang meliputi; Kesimpulan dan Saran.
25
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Kandungan Kitab Dalam kitab Ada>b al-‘A<
Bab Pertama Keutamaan Ilmu dan Ulama, Keutamaan Mengajar dan Mempelajari Ilmu a.
Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
b.
Derajat ulama melebihi 70 derajat orang-orang mukmin.
c.
Allah akan menjadi saksi orang-orang yang mempunyai ilmu.
d.
Setiap sesuatu akan memintakan maaf kepada orang yang mempelajari ilmu.
e.
Barang siapa yang berjalan dalam bidang keilmuan maka sama saja berjalan untuk masuk surga.22
2.
Bab Kedua Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya a.
Membersihkan hatinya.
b.
Memperbarui niatnya, yaitu untuk mencari ridla Allah.
c.
Berusaha memperoleh ilmu ketika masih muda.
Nur Cholis, Etika Pendidik dan Peserta Didik KH. Hasyim Asy‟ari Dalam Perspektif Pendidikan Islam Masa Kini: Kajian Kritis Kitab Adab Al-„Alim Wa Al Muta‟alim (Ponorogo: Skripsi Stain Ponorogo, 2005), 51. 22
24
26
3.
d.
Menerima dengan ikhlas hati segala sesuatu yang ia terima.
e.
Membagi waktu malam dan siang harinya.
f.
Menyedikitkan makan dan minum.
g.
Melatih dirinya untuk selalu bersikap wira’i.
h.
Mengurangi makanan yang bisa menimnulkan kebodohan.
i.
Menguragi tidur.
j.
Meninggalkan pergaulan yang kurang ada manfaatnya.23
Bab Ketiga Akhlak Peserta Didik Terhadap Pendidik a.
Shalat istikha>ra siapa yang pantas menjadi gurunya.
b.
Berusaha sungguh-sungguh untuk mencari sosok guru yang berwawasan luas.
c.
Taat kepada gurunya dalam segala urusan.
d.
Memandang gurunya sebagai orang yang tinggi, mulia dan terhormat.
e.
Tidak melupakan kewajibannya, tidak pernah melupakan jasa-jasa guru dan kebaikannya, keagungan, kemuliaan, mendo‟akannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
f.
Bersabar atas sifat dan perilaku guru.
g.
Janganlah menghadap guru di tempat khusus tanpa seizinnya.
h.
Apabila duduk dihadapan guru maka duduk yang sopan dan baik.
i.
Berbicara sopan dihadapan gurunya sebaik mungkin.
23
Ibid., 52-53.
27
j.
Jika mendengarkan penjelasan guru tentang hukum atau cerita, syair, padahal
peserta
didik
hafal,
maka
peserta
didik
hendaknya
mendengarkannya dengan baik dan seksama sambil mengambil faidahnya. k.
Tidak mendahului atau menyertai guru ketika sedang menjelaskan suatu masalah atau menjawab pertanyaan.
l.
Jika seorang guru memberikan sesuatu, maka terimalah dengan tangan kanan. Jika berupa cerita atau tulisan tentang syara‟ dan sebagainya, maka sebarkanlah.24
4. Bab Keempat Etika Peserta Didik Terhadap Pelajaran dan Hal-Hal Yang Dipegangi Bersama Pendidik dan Teman-Temannya. a.
Memulai belajar dari pelajaran yang fard}u „ain.
b.
Mengikuti fard}u „ain dengan mempelajari kitab Allah melalui pemahaman terhadap tafsirnya, serta ilmu-ilmu lain yang menjadi pendukungnya.
c.
Tidak terjebak dengan perselisihan para ulama, dan antara manusia secara mutlak tentang masalah „aqliyya dan shar’iyya.
d.
Sebelum mengahapal hendaknya peserta didik mentas}hih terlebih dahulu.
e.
24
Mempercepat usaha untuk mencari ilmu.
Ibid., 54.
28
f.
Ketika peserta didik menjelaskan apa yang ia hapal, walaupun masih dalam bentik ikhtisar dan menguraikan permasalahan dan faedah yang penting, maka diperbolehkan membahas keilmuannya yang lebih luas melalui kitab-kitab yang penjelasannya panjang dan terus menerus menelaah apa yang ia amati dari berbagai macam segi keilmuan.
g.
Selalu mengikuti halaqa gurunya dalam setiap pelajaran.
h.
Menetapi lingkaran pengajaran diharapkan seorang guru yang memberikan kebaikan para peserta didik.
i.
Tidak malu bertanya tentang sesuatu yang dianggapnya sulit.
j.
Bersabar menjaga gilirannya, kecuali ia mendapat rid}a dari orang-orang lain.
k.
Menjaga kesopanan ketika duduk dihadapan guru.
l.
Tekun pada satu pelajaran sebelum memahami dengan baik.
m. Bersemangat akan berhasil.25 5.
Bab Kelima Etika Pendidik Terhadap Dirinya a.
Merasa dekat dan terawasi kepada Allah.
b.
Senantiasa berlaku takut kepada Allah dalam segala ucapan dan tindakan.
c.
Membiasakan bersikap tenang dalam hati.
d.
Senantiasa bersikap wira’i.
e.
Membiasakan sifat tawad}u’ (rendah diri).
25
Ibid., 56.
29
f.
Selalu bersikap khushu’ kepada Allah.
g.
Menjadikan Allah sebagai tempat meminta pertolongan.
h.
Tidak menjadikan ilmu sebagai sarana untuk pencapaian tujuan duniawi.
i.
Tidak diskriminatif antara peserta didik yang berasal dari anak miskin.
j.
Bersikap zuhu>d dalam urusan dunia sebatas apa yang ia butuhkan.
k.
Menghindari perilaku yang hina menurut adat dan syara‟.
l.
Menjauhkan diri dari tempat-tempat yang kotor dan maksiat walaupun jauh dari keramaian.
m. Memelihara shiar-shiar Islam dan lahiriah hukum Islam. n.
Menghidupkan sunnah dan meniadakan segala urusan bid‟ah.
o.
Memelihara segala hal yang sunnah menurut syari‟at baik fi’liya maupun qauliyya.
p.
Senantiasa bergaul dengan sesama dengan akhlak yang baik.
q.
Mensucikan batin dan lahirnya dari akhlak yang jelek dan menghiasi dengan akhlak karimah.
r.
Senantiasa bersemangat mengemban ilmu dan amal.
s.
Tidak membedakan status, nasab dan usia dalam mengambil hikmah dari semua orang.
t.
Menyibukkan diri untuk mengarang, menyimpulkan dan menyusun kitab.26
26
Ibid., 57-58.
30
6.
Bab Keenam Etika Pendidik Terhadap Pelajaran a.
Suci dari hadats dan kotoran.
b.
Bila keluar rumah hendaknya bedo‟a.
c.
Menyampaikan salam kepada peserta didik.
d.
Memulai belajar dengan bacaan al-Qur‟an.
e.
Mendahulukan pelajaran yang utama, dan ditutup dengan pelajaran yang dapat menghaluskan hati.
f.
Menjaga ketertiban majlis, sehingga tidak menimbulkan keramaian.
g.
Menampakkan kasih sayang dan berlapang dada pada setiap orang yang datang kepadanya.
h. 7.
Memulai pelajaran dengan basmalah.27
Bab Ketujuh Etika Pendidik Terhadap Peserta Didik a.
Selalu berharap ridla Allah dan menyebarkan ilmu.
b.
Tidak berhenti mengajar walaupun niat peserta didiknya tidak ikhlas.
c.
Mencinti peserta didiknya seperti mencintai dirinya.
d.
Tidak mempersulit di dalam pertemuan dan penyampaian ilmu.
e.
Dengan menjaga agar tetap bersungguh-sungguh dalam mengajar.
f.
Mencarikan waktu luang bagi peserta didik untuk mengulangi pelajaran dan menguji kemampuan peserta didik.
g.
Apabila ada peserta didik yang melakukan sesuatu yang belum waktunya sebaiknya guru menasehatinya secara halus.
27
Ibid., 59-62.
31
h.
Tidak menampakkan kelebihan peserta didik atas peserta didik yang lain.
i.
Memiliki rasa kasih sayang kepada peserta didik.
j.
Membiasakan memberi
contoh
terhadap
peserta didik, seperti
menyebarkan salam. k.
Berusaha untuk membantu kebaikan peserta didik.
l.
Jika sebagian peserta didik tidak ada, maka guru hendaknya menanyakan keadaan peserta didik kepada orang yang dekat dengannya.
m. Rendah hati dengan peserta didik dan orang-orang yang datang bertanya kepadanya. n. 8.
Bertutur kata baik pada peserta didik.28
Bab Kedelapan Etika Bersama Kitab Sebagai Alat Ilmu a.
Dengan kitab bermaksud untuk menghasilkan ilmu.
b.
Suka meminjam buku kepada orang lain.
c.
Jika menyalin kitab maka jangan diletakkan di bumi.
d.
Jika meminjam atau membeli maka awal dan akhir kitab jangan dihilangkan.
e.
28 29
Jika menyalin sebaiknya pada waktu suci.29
Ibid., 62-66. Ibid., 66.
32
B. Pengertian Akhlak Akhlak merupakan komponen dasar Islam yang ketiga yang berisi tentang ajaran tentang tata perilaku atau sopan santun. Atau kata lain, akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran Islam yang mengatur perilaku menusia. Dalam pembahasan akhlak diatur mana perilaku yang tergolong baik dan perilaku buruk. Akhlak maupun syariah pada dasarnya membahas perilaku manusia, yang berbeda diantara keduanya adalah objek material. Syariah melihat perbuatan manusia dari segi hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sedangkan akhlak melihat perbuatan manusia dari segi nilai atau etika, yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk.30 Akhlak mmerupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran Islam, karena perilaku manusia merupakan objek utama ajaran Islam. Bahkan maksud diturunkannya agama adalah untuk membimbing sikap dan perilaku manusia agar sesuai dengan fitrahnya. Agama menyuruh manusia agar meninggalkan kebiasaan buruk dan menggantikannya dengan sikap dan perilaku baik. Agama menuntun manusia agar memelihara dan mengambangkan kecenderungan mental yang bersih dan jiwa yang suci.31 Apabila dilihat dalam konteks kehidupan era dunia modern saat ini, yang ditandai dengan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan
30 31
Edi Suresman dkk., Pendidikan Agama Islam (Bandung: Upi Press, 2006), 16. Ibid., 16.
33
perilaku moral dan juga kehidupan beragama, maka menjadikan semua bentuk tatanan kehidupan yang dianggap telah mapan, tidak terkecuali bentuk-bentuk keputusan etika dan moral yang selama ini telah diyakini kebenarannya mulai dipertanyakan secara kritis dan rasional.32 Kata akhlak berasal dari bahasa Arab khulu>q yang jamaknya akhla>q. Menurut bahasa, akhlak artinya perangai, tabiat dan agama. 33 Dalam kamus bahasa Arab, khulq berarti tabi>’a, tabiat dan watak, yang dalam bahasa inggris sering diterjemahkan charakter. Secara konseptual, pengertian akhlak telah banyak dikemukakan oleh para ulama, semisal ibnu Maskawaih. Dia mendefinisikan akhlak sebagai: “the state the soul which causes it to perform its action without and deliberation.
Artinya, suatu kondisi jiwa yang menyebabkan ia bertindak tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Hal ini disebabkan seseorang telah membiasakan perilaku tersebut. Itulah sebabnya, salah satu cara membentuk akhlak anak sejak kecil, orang tua perlu membiasakan anaknya untuk melakukan perilaku tertentu. Sementara itu, imam al-Ghazali juga memberikan definisi akhlak agak mirip dengan ibn Maskawaih, yaitu akhlak adalah sebuah kondisi mental yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, yang darinya lalu muncul perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 32
Amril, Etika Islam:Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat, Kemasyarakatan, Kependidikan dan Perempuan, 2002), 6. 33 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 4-7.
34
Dari dua definisi diatas, maka jelaslah bahwa akhlak sebenarnya berasal dari kondisi mental yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, disebabkan ia telah membiasakannya, sehingga ketika akan melakukan perbuatan tersebut ia tidak perlu lagi memikirkannya, seolah perbuatan tersebut telah menjadi gerak reflek. Sebagai contoh adalah akhlak seorang muslim yang terpuji. Setiap mau tidak ia selalu menggosok gigi, berwudlu lalu berdoa. Hal itu dilakukan terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan baginya, seolah menjadi perbuatan yang bersifat
reflek,
yang tidak
perlu
lagi
berpikir
panjang
untuk
melakukannya.34 Ciri-ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak: pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dengan tanpa disadari perbuatan tersebut secara otomatis telah menjadi darah daging dalam diri seseorang. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran lagi. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
34
Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci menuju Revolusi Hati (Bantul: Kaukaba Dipantara, 2013), 1-3.
35
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Hal ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang seseungguhnya dapat dilakukan melalui cara yang kontinyu dan terus-menerus. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.35
C. Pengertian Peserta Didik Dalam konteks pendidikan, ada beberapa istilah yang dipakai dalam menyebut anak didik, diantaranya adalah murid, peserta didik dan anak didik. Semua istilah tersebut mempunyai implikasi yang berbeda. Murid merupakan bentuk isim fail dari kata ara>da-uri>du-iara>datan-muri>dun, yang berarti orang yang menginginkan. Istilah murid ini mengandung arti kesungguhan dalam belajar, memuliakan guru. Dalam konsep murid ini juga terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib. Sebutan istilah murid ini bersifat umum, 35
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 4-7.
36
sama umumnya dengan sebutan anak didik dan peserta didik. Akan tetapi istilah murid ini khas pengaruh agama Islam. Dalam Islam sebutan ini diperkenalkan oleh para sufi. Sementara sebutan anak didik mengandung arti bahwa guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Namun sebutan anak didik ini, pengajaran masih berpusat kepada guru, tetapi tidak seketat pada “gurumurid” seperti diatas.36 Sebutan yang selanjutnya adalah peserta didik, yakni sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini, aktifitas pelajar dalam proses pembelajaran dianggap salah satu kata kunci. Pengertian anak didik secara terminologi, secara umum dapat diartikan sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis, untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa anak didik merupakan anak yang belum dewasa, yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Atau dengan kata lain, anak didik merupakan bahan mentah dalam proses pendidikan, yang memerlukan arahan-arahan dan bimbingan.
36
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT Rosdakarya, 2014), 207.
37
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami anak didik, sebab kesalahan dalam memahami hakikat anak didik akan mengakibatkan kesalahan yang fatal. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah anak didik.37 Mengacu dari beberapa istilah, murid diartikan sebagai orang yang berada taraf pendidikan dan dalam berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam undang-undang pendidikan No. 2 Tahun 1989 disebutan istilah peserta didik. Bandingkan dengan undang-undang pendidikan No. 20 tahun 2003. Dalam hal ini peserta didik dilihat sebagai seseorang yang nilai kemampuannya sebagai individu dan sebagi makhluk sosial mempunyai identitas moral. Identitas tersebut harus dikembangkan hingga optimal dan kehidupan sebagai warga negara mencapai kriteria yang diharapkan. Secara teoritis, subjek didik dilihat sebagai seseorang yang harus mengembangkan diri. Akan tetapi ia juga memperoleh pengaruh dan bantuan yang memungkinkan bertanggung jawab atas diri sendiri.38 Menurut obyek atau sasarannya pembahasan tentang akhlak biasanya diketegorikan menjadi akhlak terhadap Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan. Berikut penjelasannya:
37
Ibid., 208. Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif (Jakarta: Amzah, 2013), 120. 38
38
1.
Akhlak Kepada Allah a.
Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk mengabdi kepada-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seseorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan, antara lain adalah shalat.
b.
Berdzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati.
c.
Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah.
d.
Tawakkal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menyerahkan segala keputusan dari Allah, karena Allah yang paling tahu apa yang terbaik bagi hambanya yang berserah diri.39
2.
Akhlak Kepada Manusia a. Akhlak kepada diri sendiri 1) Sabar adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika menerima musibah yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika tertimpa musibah.
39
Srijanti dkk., Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 10-11.
39
2) Syukur adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dalam ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatan nikmat Allah sesuai dengan tuntunan-Nya. 3) Tawadhu‟ yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawdhu‟ lahir dan kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh.40 b.
Akhlak kepada orang tua Akhlak kepada orang tua adalah berbuat baik kepadanya dengan ucapan dan perbuatan. Allah mewasiatkan agar manusia berbuat baik kepada ibu bapak. Berbuat baik kepada orang tua dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan, antara lain: menyayangi dan mencintai keduanya sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, menaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha. Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi terus berlangsung walaupun mereka telah meninggal dunia dengan cara mendoakan dan meminta ampunan untuk mereka.
40
Ibid., 10.
40
c.
Akhlak kepada keluarga Akhlak kepada keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi kata-kata maupun perilaku. Komunikasi yang di dorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang yang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir kepercayaan orang tua kepada anak. Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterkaitan batin, keakraban dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapus kesenjangan diantara mereka.41
3.
Akhlak Kepada Lingkungan Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat, kebaikan dan kedamaian bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup. Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur ini untuk disikapi oleh manusia 41
Ibid., 11-12.
41
dengan kerja keras mengelola dan memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana firman-Nya. Alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat-lipat, sebaiknya alam yang dibiarkan merana atau hanya diambil manfaatnya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia. Akibat akhlak yang buruk terhadap lingkungan dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hutan yang menghacurkan hutan dan habitat dan hewanhewannya. Eksploitasi kekayaan laut yang tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi laut melahirkan kerusakan hebat habitat hewan laut. Semua itu karena semata-mata mengejar keuntungan ekonomi yang bersifat sementara, mendatangkan kerusakan alam yang parah yang tidak bisa direhabilotasi dalam waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun.42
D. Perbedaannya Dengan Etika Dan Moral 1.
Etika Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Poerwadarminta mengartikan dengan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam hal ini dipahami, etika berhubungan dengan tingkah laku manusia. Istilah etika sebagai dikemukakan para ahli sesuai sudut pandang yang mereka gunakan. 42
Ibid., 13-14.
42
2.
Moral Moral dapat diartikan sebagai pengungkapan dapat tidaknya suatu perbuatan atau tindakan manusia diterima oleh sesamanya dalam hidup bermasyarakat. Frans Magnis Suseno menjelaskan kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Sedangkan norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan manusia, sedangkan nilai itu sendiri terbentuk atas dasar cipta, rasa dan karsa.43
E. Tanda-Tanda Akhlak Islamiyah 1.
Kebajikan yang Mutlak Sungguh tidak satupun dari sekian banyak madzhab akhlak yang mampu menjamin kebaikan yang sempurna, menyeluruh, bersih dari mementingkan diri sendiri atau mengutamakan segolongan manusia terhadap orang lain, serta bersih pula dari memenuhi ajakan hawa nafsu dan pengaruh lingkungan. Islamlah yang dapat menjamin kebajikan yang mutlak. Islam telah menciptakan akhlak yang luhur yang menjamin kabaikan murni, baik untuk perseorangan maupun masyarakat di setiap lingkungan, keadaan dan waktu.
43
Damanhuri, Akhlak: Prespektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili (Jakarta: Lectura Press, 2013), 34-36.
43
Islam menyuruh seseorang bergairah melaksanakan kebajikan, karena kebajikan itu adalah baik dan harus dilakukan. Islam mencegahnya dari perbuatan yang buruk dan menjadikannya benci mengerjakannya karena perbatan itu adalah jelek dan harus ditinggalkan.44 2.
Kebaikan yang Merata Tanda dari akhlak Islamiah ialah menjamin kebaikan untuk seluruh umat manusia disegala zaman dan segala tempat. Islamiah itu mudah dan tidak mengandung perintah berat yang tidak dapat dikerjakan karena di luar kamampuan. Islam menciptakan akhlak yang mulia serta luhur yang dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima oleh hati yang hidup serta dikokohkan oleh akal yang sehat.45
3.
Kemantapan Akhlak Islamiah bersumber dari agama yang menjamin kabaikan yang mutlak dan selalu sesuai untuk semua manusia. Dan ditandai dengan sifat yang tetap, langgeng serta mantap. Hal ini karena yang menciptakannya adalah Allah, yang selalu memeliharanya dengan menjamin kebaikan yang mutlak merata serta abadi.46
44
Ahmad Muhammad Al-Hufiy, Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad Saw. (Bandung: Pustaka Setia, 2000). 56. 45 Ibid., 59. 46 Ibid., 62.
44
4.
Kewajiban yang Dipatuhi Sesungguhnya kewajiban ini disenangi
dan ditaati karena
merupakan perintah atau larangan dari Allah. Manusia pun terdidik atas kewajiban ini sehingga merasa terikat dan tunduk kepada-Nya, bahkan meyakini bahwa kepatuhannya mewujudkan kebaikan, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat serta mendekatkan mereka untuk mencapai pahala dari Allah.47 5.
Pengawasan yang Menyeluruh Seseorang tidak berani melanggarnya, kecuali setelah ragu-ragu atau mundur, kemudian dia akan menyesali perbuatannya. Kadang-kadang penyesalan itu mendorongnya untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan yang salah lagi. Hal itu karena agama merupakan pengawas yang kuat demikian pula hati nurani yang hidup, yang disandarkan kepada agama, juga dengan akal sehat yang dibimbing oleh agama serta diberi petunjuk, yang juga merupakan pengawas.48
F. Faktor-Faktor Pembentukan Akhlak 1.
Faktor Internal a.
47 48
Insting atau Naluri
Ibid., 63. Ibid., 64.
45
Insting adalah karakter yang melekat dalam jiwa seseorang yang dibawanya sejak lahir. Ini merupakan faktor pertama yang memunculkan sikap dan perilaku dalam dirinya. Tetapi karakter ini dipandang masih primitif dan harus dididik dan diarahkan. b.
Adat atau kebiasaan Adat atau kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Perbuatan tersebut sudah menjadi keseharian dan rutinitas, sehingga menjadi ciri dari perbuatan tersebut.
c.
Keturunan Maksudnya adalah perpindahannya sifat-sifat tertentu dan orang tua kepada anak. Tanpa di latih ataupun perbuatan tersebut sudah nampak dan membekas pada diri ahli warisnya.49
2.
Faktor Eksternal a.
Lingkungan Alam Alam yang melingkupi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang. Lingkungan alam dapat mematangkan perumbuhan bakat yang dibawanya. Lingkungan alam ini dapat berpengaruh terhadap perangai dan pembawaan seseorang.
49
M. Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern: Membangun Karakter Generasi Muda (Bandung: Marja, 2012), 27.
46
b.
Lingkungan Pergaulan 1) Keluarga atau Rumah Keluarga merupakan salah satu sumber yang memberikan dasar-dasar ajaran bagi seseorang dan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan mental. Sebelum seorang anak bergaul dengan lingkungan sekitarnya, terlebih dahulu ia menerima pengalamanpengalaman dari keluarga di rumah. 2) Lingkungan Sekitar Lingkungan sekitar adalah lingkungan di luar rumah tempat individu bersosialisasi dengan tetangga, pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga memberikan pengaruh terhadap keperibadian, mental dan perilakunya. Seseorang yang tinggal di lingkungan yang baik dalam dirinya tertanam sifat-sifat yang baik pula. Sebaliknya, individu yang tinggal di lingkungan yang buruk akan cenderung memiliki perilaku yang buruk pula.50 3) Lingkungan Sekolah atau Tempat Kerja Lingkungan sekolah atau tempat kerja, dimana individu melakukan sebagian aktivitasnya di tempat tersebut, berkompetensi untuk memberikan pengaruh terhadap karakter dan perilakunya. Karena dalam lingkungan ini walaupun tidak sedekat keluarga
50
Ibid., 28-29.
47
namun sangat dekat dengan kegiatan sehari-hari, secara tidak sadar akan membawa pengaruh.51
G. Pembinaan Akhlak 1.
Mau’id}at Hasanah Mau’id}a adalah bahasa Arab yang berasal dari al-wa’d}u artinya memberi pelajaran akhlak terpuji serta memotivasi pelaksanaannya dan menjelaskan akhlak tercela serta memperingatkannya atau meningkatkan kebaikan dengan apa-apa yang melembutkan hati.
2.
Menggunakan Kisah-Kisah Islam telah memperlihatkan kecenderungan yang bersifat fitrah ini melalui kisah, yaitu melalui daya pikat yang dimiliki kisah tersebut. Tujuannya agar daya pikat itu menjadi salah satu sarana pembinaan dan pembentukan akhlak. Islam juga telah mempergunakan berbagai jenis kisah, diantaranya kisah nyata yang bersifat historis serta mempunyai nilai, baik tempat, pelaku maupun peristiwa. Kemudian kisah nyata yang mengedepankan contohcontoh perilaku manusia.
3.
Membuat Perumpamaan Ini merupakan salah satu metode mau’id}a nasihat yang cukup mahir. Di antara metode ini dalam al-Qur‟an disebutkan tentang kalimat 51
Ibid., 30.
48
yang baik, kalimat yang hak dan Islam, kalimat yang buruk, kalimat yang batil dan syirik. 4.
Metode Dialog Metode ini berupa tanya jawab dan telah menarik perhatian pendengar terhadap mau’id}a yang disampaikan. Diantara metode ini seperti dalam khotbah haji wada’, yaitu ketika Rasul bertanya kepada para shahabatnya.52
H. Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Salah satu cara menghormati ilmu adalah menghormati guru. Sayyidina Ali menyatakan: “aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajarku, walaupun satu huruf saja. Bila ia bermaksud menjualku maka ia bisa menjualku, bila ia bermaksud memerdekakanku maka ia bisa memerdekakanku, dan bila ia bermaksud memperbudakku maka ia bisa memperbudakku”. Salah satu cara menghormati guru adalah tidak kencang berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di sisinya, tidak menanyakan sesuatu sesuatu ketika ia sudah bosan, menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai ia keluar. Kesimpulannya seorang murid harus berusaha mendapat ridhanya, menghindari kemungkarannya, dan
52
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 91-103.
49
patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah, sebab tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan maksiat kepada sang pencipta.53 Juga salah satu cara menghormati guru adalah menghormati anakanaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya. Guru kami Shaikhul Islam Burhanuddin Shihabul Hidayah pernah berceritas bahwa seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk duduk dalam suatu majelis pengajian, sesekali ia berdiri dan duduk lagi. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai sikapnya ia menjawab: “sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak lain di halaman rumah, setiap kali aku melihatnya aku berdiri sebagai penghormatanku kepada guruku”.54 Walaupun sudah menjadi orang besar tetap harus menghormati gurunya. Hakim Agung Fakhruddin al-Arsabandi seorang pemimpin para imam di Marwa sangat dihormati oleh Sultan (Raja), ia berkata: ”saya dapat merasakan kedudukan ini karena berkah hormat saya kepada guru. Saya melayani guru saya, yaitu Abu Yazid al-Dabusi. Saya memasak makanan untuk beliau dan saya tidak ikut memakannya.”55 Shaikh Imam al-Ajal Syamsul Aimmah al-Hulwani terpaksa keluar dari Bukhara dan pindah ke suatu desa karena suatu peristiwa yang menimpanya.
Ahmad Ma‟ruf Asrori, Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu. Terj. Ta’limul Muta’allim (Surabaya: al-Miftah, 2012), 44. 54 Ibid. 55 Ibid. 53
50
Murid-muridnya mengunjunginya kecuali shaikh Imam al-Qadhi Abu Bakar azZarnuji, saat mereka bertemu, Imam al Hulwani bertanya: ”mengapa kamu tidak mengunjungiku?”. Shaikh Abu Bakar Menjawab:”saya sibuk melayani ibu saya”. Al-Hulwani kemudian berkata: ”kamu akan mendapatkan karunia umur panjang tetapi kamu tidak akan mendapat anugerah nikmatnya belajar”. Ternyata hal itu terbukti Shaikh Abu Bakar lebih banyak tinggal di desa dan tidak teratur dalam belajar. Maka barang siapa membuat sakit hati gurunya ia tidak akan mendapat berkah ilmu dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit, sebuah sya‟ir mengungkapkan: ”sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati, bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah dengan kebodohanmu bila kamu menentang Guru”.56 Dikisahkan, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid mengurus putranya kepadanya kepada al-Ashma‟i agar diajarkan tata krama. Pada suatu hari Khalifah melihat al-Ashma‟i berwudhu dan membasuh kakinya, Khalifah pun menegur kepada al-Ashma‟i, ia berkata:”saya mengutusnya kepadamu agar kamu mengajarkan ilmu dan tata krama kepadanya, mengapa kamu tidak menyuruhnya menyimkan air dengan salah satu tangannya dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain”.57
56 57
Ibid., 45. Ibid., 45.
51
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merupakan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu: 1.
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarru>b kepada Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
2.
Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berijtihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan manusia.58
3.
Bersikap tawad}u' dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4.
Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela.
58
Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 130.
52
6.
Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah manuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu yang fard}u ‘ain menuju yang fard}u kifaya.
7.
Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.59
8.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9.
Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah, sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan serta memberi nasehat keselamatan hidup dunia akhirat. 11. Peserta didik harus tunduk pada nasehat pada pendidik sebagaimana tunuknya orang sakit terhadap dokternya.60 Dalam Ihya >’ ‘Ulu>m al-Di>n , al-Ghazali mengklasifikasikannya ke dalam 10 bentuk ketaatannya yang harus dilakukan oleh peserta didik, yaitu sebagai berikut. 1.
Membersihkan jiwa. Al-Ghazali menekankan pentingnya hal ini sebagai persyarat keberhasilan belajar. Seorang peserta didik harus membersihkan
59 60
Ibid., 131 Ibid., 132.
53
jiwanya dari sifat-sifat buruk, seperti pemarah, rakus dan sombong. Ia senantiasa menekankan bahwa kegiatan belajar adalah ibadah spiritual dan pelaksanaannya mensyaratkan pembersihan hati. Ia membandingkan proses ini dengan wudhu yang dengan ini kaitannya dengan shalat.61 2.
Memusatkan perhatian kepada studi dan jangan sampai terganggu dengan urusan-urusan duniawi dan seyogyanya pergi jauh dari keluarga atau tanah airnya. Bagi al-Ghazali, konsentrasi penuh adalah suatu keharusan.
3.
Menghormati guru. Peserta didik harus tunduk di hadapan gurunya dan mematuhi setiap perintahnya. Jika berbeda pendapat, ia sebaiknya mengikuti pandangan gurunya dan mengesampingkan pendapatnya. Peserta didik harus rajin bertanya, tetapi harus sangat menekankan adab. Ia hanya dianjurkan bertanya pada waktu yang tepat dengan cara yang baik dan hanya menanyakan hal yang kira-kira sudah dapat ia serap. Al-Ghazali memberikan pandangan bahwa penuntut ilmu hendaklah seperti tanah gembur yang menerima hujan deras. Tanah itu menyerap hujan dan meratakannya ke seluruh bagian.
4.
Menghindarkan diri tidak terlibat dalam kontroversi kalangan akademis. Ini relevan untuk peserta didik pemula, sebab kontroversi dapat menyebabkan kebingungan sehingga tidak tertarik lagi pada studinya. 62
61
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif (Jakarta: Amzah, 2013), 126. 62 Ibid., 127.
54
5.
Berupaya semaksimal mungkin untuk mempelajari setiap cabang ilmu pengetahuan yang terpuji dan memahami tujuannya.
6.
Peserta didik hendaknya tidak mendalami ilmu pengetahuan secara sekaligus karena kemampuan manusia memiliki keterbatasan. Perlu tahapan dan memprioritaskan yang terpenting.
7.
Peserta didik hendaknya tidak naik ke tingkat yang lebih tinggi jika belum menguasai betul ilmu yang sedang dipelajarinya. Al-Ghazali memandang bahwa ilmu yang satu dan yang lain saling berkesinambungan. Untuk itu, hendaklah ilmu yang dipelajari hari ini diselaraskan dengan materi yang sebelumnya, sehingga benar-benar menguasai ilmu tersebut.
8.
Memastikan kebaikan dan nilai dari disiplin ilmu yang sedang atau ingin ditekuni. Hal ini dapat dilakukan dengan dua langkah, yaitu memperhatikan hasil akhir dari suatu disiplin ilmu dan menguji keaslian prinsip-prinsip ilmu tersebut.63
9.
Peserta didik dituntut untuk merumuskan tujuan dari ilmu yang telah didapatnya. Meskipun demikian, tujuan yang paling utama adalah membersihkan
dan
menghiasi
jiwa
dengan
keutamaan,
sekaligus
mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang tidak boleh menuntut ilmu untuk tujuan duniawi, seperti jabatan atau kekuasaan, namun memprioritaskan akhirat. Akan tetapi, juga tidak mengkesampingkan ilmu-ilmu lain, seperti
63
Ibid., 128.
55
ilmu nahwu dan ilmu bahasa. Kedua ilmu itu dikategorikan kedalam rumpun ilmu pengantar dan pelengkap. 10. Peserta didik mengetahui hubungan antara ilmu dan tujuannya, sehingga ia dapat memilih mana ilmu yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak. Hal ini sangat menentukan ke arah mana ia akan berjalan dan menjadi suatu keutamaan baginya untuk mengetahui apa yang ia pelajari.64 Di antara kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap siswa dan dikerjakan adalah sebagai berikut: 1.
Sebelum memulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk karena belajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Ibadah tidak sah kecuali dengan hati yag suci, berhias dengan moral yang baik, seperti berkata benar, ikhlas, takwa, rendah hati, zuhu>d dan menerima apa yang ditentukan Tuhan, serta menjauhi sifatsifat yang buruk seperti dengki, iri, benci, sombong, menipu, tinggi hati dan angkuh.
2.
Dengan belajar itu, ia bermaksud hendak mengisi jiwanya dengan fad}il> ah mendekatkan diri kepada Allah, bukanlah dengan maksud menonjolkan diri, berbangga-bangga dan gagah-gagahan.
3.
Bersedia mencari ilmu, termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air. Tanpa ragu-ragu, bepergian ketempat-tempat yang paling jauh sekalipun bila dikehendaki untuk mendatangi guru. 64
Ibid., 129.
56
4.
Jangan terlalu sering mengganti guru, tetapi harus berpikir panjang dulu sebelum bertindak mengganti guru.
5.
Hendaklah
ia
menghormati
guru
dan
memuliakannya
serta
mengagungkannya karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik. 6.
Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan dia untuk menjawab, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat duduknya dan jangan bicara kecuali setelah mendapatkan izin dari guru.65
7.
Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu guru, jangan pula minta kepada guru membukakan rahasia, segera meminta maaf kepada guru jika tergelincir lidahnya.
8.
Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, baik siang ataupun malam untuk memperoleh pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
9.
Jika saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antar siswa sehingga tampak seperti anak-anak yang sebapak.
10. Terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan kepada guru, “si anu bilang begini, berbeda dari yang bapak katakan,” dan jangan pula ditanya kepada guru siapa teman duduknya.
Muhammad „Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 155. 65
57
11. Tekun belajar, mengulangi pelajarannya diwaktu senja dan menjelang Shubuh. Waktu antara Isya‟ dan makan sahur adalah waktu yang penuh berkah. 12. Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faidahnya, jangan meniru apa yang didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu, seperti mantik dan filsafat.66 Jama‟ah menyusun tiga belas kode etik penuntut ilmu dalam bergaul denga gurunya. 1.
Murid yang ingin menuntut ilmu harus memilih calon guru secara cermat. Pilihan mesti dipertimbangkan hati-hati dengan kriteria, serta plus-minus calon guru. Setelah pertimbangan memadai dan shalat istikha>ra, ia dapat mengambil kesimpulan. Ia harus memilih guru yang di kenal baik akhlak, tinggi ilmu dan keahlian, berwibawa, santun dan penyayang.67
2.
Murid harus mengikuti dan mematuhi guru. Seperti orang sakit mematuhi nasehat dokter. Rasa hina dan kecil di depan guru justru merupakan pangkal keberhasilan dan kemuliaan.68
66
Ibid.,156 -157. Hasan Asari, Etika Akademis dalam Islam: Studi Tentang Kitab Tazkirat Al-Sami’ Wa AlMutakallim Karya Ibnu Jama’ah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), 80. 68 Ibid., 81. 67
58
3.
Murid harus mengagungkan guru dan meyakini kesempurnaan ilmunya. Orang yang berhasil hingga menjadi ilmuan besar, sama sekali tidak boleh berhenti menghormati guru.
4.
Murid harus mengingat hak guru atas dirinya sepanjang hayat dan setelah wafat. Ia menghormati sepanjang hidup guru. Meski wafat murid tetap mengamalkan dan mengambangkan ajaran guru, rajin menziarahi kubur, mendo‟akan dan bersedekah atas namanya. Ia memperhatikan kesejahteraan anak cucu dan kerabat guru.
5.
Murid bersikap sabar terhadap perlakuan kasar guru. Hendaknya berusaha untuk memaafkan perlakuan kasar, turut memohon ampun dan bertaubat untuk guru. Yang penting ia tidak membiarkan proses belajar terganggu oleh kejadian. Kasih sayang guru pun tetap terpelihara.69
6.
Murid harus menunjukkan rasa terima kasih terhadap ajaran guru. Melalui itulah ia mengetahui apa yang harus dilakukan dan dihindari. Ia memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Meskipun guru menyampaikan informasi yang sudah diketahui murid. Ia tidak boleh menunjukkan yang sudah diketahui.
7.
Murid tidak mendatangi guru tanpa izin lebih dahulu, baik guru sedang sendiri maupun bersama orang lain. 70
69 70
Ibid., 82. Ibid., 83.
59
8.
Murid harus duduk sopan di depan guru. Tidak dibenarkan berpaling atau menoleh tanpa keperluan jelas, terutama saat guru berbicara kepadanya. Tidak mengibaskan lengan baju untuk membersihkan debu.71
9.
Berkomunikasi dengan guru secara santun dan lemah lembut. Tidak menyatakan kenapa atau mengapa atau menurut siapa dalam merespon pernyataan guru.
10. Jika guru mengungkapkan satu soal, atau kisah atau sepengal syair yang sudah dihapal murid, ia harus tetap mendengarkan dengan antusias, seolaholah belum pernah mendengar. Bila guru bertanya, apakah sudah mengetahui, murid harus menjawab ia masih ingin menerima ilmu tersebut dari guru karena lebih berkah. 11. Murid tidak boleh terburu menjawab pertanyaan guru atau anggota majelis lain meskipun mengetahui. Kecuali guru memberi isyarat ia memberi jawaban.72 12. Dalam hubungan dengan guru, murid harus mengamalkan tangan kanan. Ketika memberi atau menerima sasuatu dari guru, harus menjaga sikap wajar, tidak terlalu dekat hingga jaraknya terkesan mengganggu guru. 13. Murid didepan guru jika berjalan pada malam hari dan dibelakangnya bila siang hari.73
71
Ibid., 84. Ibid., 85. 73 Ibid., 86. 72
60
BAB III PAPARAN DATA
A. Data Umum 1.
Biografi KH. Hasyim Asy’ari a.
Kelahiran KH. Hasyim Asy‟ari lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24 Dhulhijjah, 1287, bertepatan dengan 14 Pebruari 1871. Ayahnya bernama Kyai Asy‟ari, ulama asal Demak, yang merupakan keturunan ke-8 dari Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Pajang di tahun 1568, dan Jaka Tingkir ini merupakan anak Brawijaya IV yang menjadi raja Majapahit. Sedangkan ibunya bernama Halimah, putri Kyai Usman, pendiri dan pengasuh pesantren Gedang Jawa Timur, tempat ia dilahirkan. Kyai Usman ini juga seorang pemimpin t}ari>qa ternama pada akhir abad ke-19.74 Nama lengkap KH. Hasyim Asy‟ari adalah Muhammad Hasyim Asy‟ari ibn „Abd al-Wahid ibn „Abd al-Halim (yang mempunyai gelar Pangeran Bona) ibn Abd al-Rahman (yang dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo) ibn Abdullah ibn Abdu al-
Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah Atas Pemikiran al Zarnuzi dan Kh. Hasyim Asy’ari, 53. 74
59
61
„Azis ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq (dari Raden Ainul Yaqin, yang disebut Sunan Giri.75 Ayahnya KH. Hasyim Asy‟ari adalah pendiri pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya, Kiai Usman adalah kiai terkenal dan pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah, adalah pendiri pesantren Tambak beras, Jombang. Wajar saja apabila KH. Hasyim Asy‟ari menyerap lingkungan agama dari lingkungan pesantren keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama Islam. Ayah KH. Hasyim Asy‟ari sebelumnya merupakan santri terpandai di pesantren Usman. Ilmu akhlaknya sangat mengagumkan sang Kiai sehingga ia dikawinkan dengan anaknya Halimah (perkawinan merupakan hal yang biasa dilakukan di pesantren untuk menjalin ikatan antar Kiai). Ibu KH. Hasyim Asy‟ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan dua perempuan: Muhammad, Leler, Fadil dan Nyonya Arif. Ayah KH. Hasyim Asy‟ari berasal dari tingkir dan keturunan Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi, KH. Hasyim Asy‟ari juga dipercayai merupakan keturunan dari keluarga bangsawan.
75
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 135-136.
62
KH. Hasyim Asy‟ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi‟ah, Ahmad, Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Sampai umur lima tahun, beliau dalam asuhan orang tua dan kakeknya di pesantren Gedang di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama Islam dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam. Suasana ini tidak diragukan lagi memengaruhi karakter KH. Hasyim Asy‟ari yang sederhana dan rajin belajar. Pada tahun 1876, ketika KH. Hasyim Asy‟ari berumur enam tahun, ayahnya mendirikan pesantren keras, sebelah selatan Jombang, suatu pegalaman yang kemungkinan besar memengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik. 76 b.
Perkembangan Hidup Bakat kepemimpinannya KH. Hasyim Asy‟ari sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia
76
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2013), 203-205.
63
membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama. Selain itu, sejak kecil KH. Hasyim Asy‟ari juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya. Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandiriannya
yang
ditanamkan
sang
kakek
(Kiai
Usman),
mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Itu sebabnya, KH. Hasyim Asy‟ari selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mancari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.77 Setelah beberapa tahun belajar di Mekkah, akhirnya pada tahun 1313 H/1899 M, KH. Hasyim Asy‟ari memutuskan pulang ke tanah air. Sesampainya di tanah air, ia tidak langsung mendirikan pesantren, tetapi terlebih dahulu mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, dan kemudian antara tahun 1903-1906 beliau mengajar di kediaman mertuanya, kemuning kediri. Pada tahun yang sama KH. Hasyim Asy‟ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di dukuh Tebuireng untuk mendirikan sebuah pesantren yang belakangan terkenal dengan nama pesantren Tebuireng Jombang. Pendirian pesantren 77
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2013), 205.
64
menjadi babakan awal dan memberikan kesempatan bagi KH. Hasyim Asy‟ari mengaktualisasikan kapasitas keilmuannya, bukan hanya untuk dirinya melainkan juga masyarakat Jawa dan Nusantara.78 Disana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari bangunan kecil inilah embrio pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh KH. Hasyim Asy‟ari sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah, sedangkan bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.79 Di pesantren inilah KH. Hasyim Asy‟ari mencurahkan pikirannya sehingga karena kealimannya, terutama dibidang hadis, pesantren ini berkembang begitu cepat dan terkenal dengan pesantren Hadis. KH. Hasyim Asy‟ari dalam mengelola Tebuireng membawa perubahan baru. Beberapa perubahan dan pembaharuan yang dilakukan pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Asy‟ari antara lain mengenalkan sistem madrasah. Sebelumnya sejak tahun 1899 M, Tebuireng menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Akan tetapi sejak tahun 1916 M, mulai dikenalkan sistem madrasah, dan tiga tahun kemudian Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl al-Sunnah Wa alJama’ah (Surabaya: Khalista, 2010), 85. 79 Syamsul, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam, 207. 78
65
yakni pada tahun 1919 M, mulai dimasukkan mata pelajaran umum, dimana langkah ini merupakan hasil rumusan KH. Maksum, menantu KH. Hasyim Asy‟ari.80 Jasa KH. Hasyim Asy‟ari selain daripada mengembangkan ilmu di Tebuireng ialah keikutsertaannya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bahkan ia sebagai Shaikhul Akbar dalam perkumpulan ulama yang terbesar di Indonesia. Selain daripada itu KH. Hasyim Asy‟ari duduk dalam pucuk pimpinan MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Begitu pula dalam gerakan pemuda dan kelaskaran, seperti: GPII Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Mujahidin dan lain-lain, ia menjadi penganjur dan penasihatnya. Dalam gerakan tersebut, beliau bukan saja mengorbankan buah pikirannya, tetapi juga harta bendanya. Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mnegharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa bidang sawah, hasil perniagaannya. Beliau seorang shalih, sungguh beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan jabatan, baik di zaman Belanda, atau di zaman Jepang.
Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah Atas Pemikiran al Zarnuzi dan KH. Hasyim Asy’ari, 56. 80
66
Kerap kali beliau diberi pangkat dan jabatan, tetapi ia menolaknya dengan bijaksana.81 c.
Pendidikan Menginjak usia 15 tahun, KH. Hasyim Asy‟ari berkelana ke berbagai pesantren yakni ke pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilin Madura, dan akhirnya ke pesantren Siwalan Surabaya. Di pesantren ini beliau menetap selama dua tahun, dan karena kecerdasannya, beliau diambil menantu oleh Kyai Ya‟qub, pengasuh pesantren tersebut. Kemudian beliau dikirim oleh mertuanya ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Beliau kemudian bermukim di sana selama tujuh tahun dan tidak pernah pulang, kecuali pada tahun pertama saat putranya yang baru lahir meninggal yang kemudian disusul istrinya. Selama di Makkah, KH. Hasyim Asy‟ari belajar dibawah bimbingan ulama terkenal, seperti Shaikh Amin al-Athor, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawi, Shaikh Mahfudz al-Tirmasi, dan sebersentuhan dengan paham Wahabi yang sedang gencar-gencarnya. Dan beliau tertarik dengan ide pembaharuan ini.
81
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 205.
67
Namun beliau tidak setuju dengan beberapa pemikiran Wahabi yang kebablasen dalam beberapa pembaharuannya. Gerakan ini gencar dilakukan oleh Muhammad Abduh. KH. Hasyim Asy‟ari setuju dengan gagasan Muhammad Abduh tersebut untuk membangkitkan semangat Islam, tetapi beliau tidak setuju dengan hal pelepasan diri dari Madzhab.82 Selain ahli dalam bidang agama, KH. Hasyim Asy‟ari juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia adalah seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya. Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, selepas memimpin shalat Shubuh. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah Shubuh adalah al-Tahri>ri dan al-Shifa >’ fi Huqu>q al-Mus}afa karya al-Qadhi „Iyadh. Kemudian setelah menunaikan shalat Dhuha, KH. Hasyim Asy‟ari kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, selesai pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi santri senior. Kitab yang diajarkan, antara lain, kitab al-Muhaddzab karya al-Shairazi dan
Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah Atas Pemikiran al Zarnuzi dan KH. Hasyim Asy’ari, 53-56. 82
68
al-Muwatta ’ karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini
biasanya berakhir pada pukul 10.00. Selepas shalat Dhuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu Ashar hingga menjelang Maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat Ashar. Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya‟. Ia mengajar di Masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab
Ihy>a’ Ulu>m al-Di>n karya Imam Ghazali, dan tafsir adalah tafsir alQur’an al-Adzi>m karya Ibnu Katsir.83 d.
Wafat KH. Hasyim Asy‟ari KH. Hasyim Asy‟ari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 H. dalam usia 79 tahun. 84 Dengan meninggalkan peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuireng yang tertua dan terbesar untuk kawasan Jawa Timur dan yang telah mengilhami para alumninya untuk mengembangkannya
di
daerah-daerah
lain
walaupun
dengan
83
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam,
84
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, 136.
207-208.
69
menggunakan nama yang lain bagi pesantren-pesantren yang mereka dirikan. Banyak alumni Tebuireng yang bertebaran di seluruh Indonesia, menjadi Kyai dan guru-guru agama yang masyhur dan ada di antara mereka yang memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan republik Indonesia, seperti menteri agama dan lain-lain.85 2.
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan di Abad 20 a.
Sosial Kondisi sosial dalam bidang pendidikan lebih didominasi oleh pendidikan barat. Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan barat, karena dengan mengenyam pendidikan ini maka seseorang mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi sebagai pengawasan dan pemegang kekuasaan. Kondisi sosial dalam perbedaan ras juga menhadapi praktik dari kolonial belanda. Dalam diskriminasi ras, warna kulit seseorang menetukan statusnya. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu pribumi yang berlainan suku. Kondisi sosial dalam tipe tempat tinggal, rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang
85
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 205-206.
70
khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua secara langsung menunjukkan status pemiliknya. b.
Ekonomi Indonesia
merupakan masyarakat kolonial yang serba
terbelakang, misalnya saja bidang ekonominya. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia masih dipengaruhi oleh reaksi-reaksi para penjajah yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Reaksi penjajah tersebut yaitu sistem yaitu eksploitasi. Dengan pertentangan kepentingan tersebut menyebabkan keadaan ekonomi pada masa pergerakan nasional masih tetap terbelakang. Kondisi ekonomi menjadi terbelakang karena sistem produksi yang lama yang tidak mampu menghadapi kapitalis kalonial yang mempunya organisasi dan teknoligi modern.86 c.
Politik Di abad ini lahir beberapa organisani keagamaan Islam, antara lain: 1.) Sarekat dagang Islam, tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo didirikan sarekat dagang Islam dengan pendirinya H. Samanhordi. Organisasi ini memiliki ciri-ciri Islam dan ekonomisme. Tujuannya ialah melindungi dan menjamin kepentingan perdagangan muslim terhadap ancaman persaingan dengan pedagang Cina.
86
Hajati dkk., Sejarah Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka Poesponegoro, 2008).
71
2.) Sarekat Islam, pada tahun 1911 di Solo berdiri sarekat Islam sebagai kelanjutan dari sarekat dagang Islam, tujuannya adalah mengembangkan jiwa berdagang di kalangan kaum muslim, melepaskan ketergntungan ekonomi dari bangsa-bangsa asing, memberi bantuan bagi pedagang muslimin yang kekurangan modal dan memajukan pengajaran dan berjuang mengankat derajat rakyat pribumi.87 3.
Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari Pada zamannya, tepatnya sejak permulaan tahun 1900-an hingga paruh akhir 1940-an, KH. Hasyim Asy‟ari termasuk salah satu intelektual Muslim Jawa yang produktif. Beberapa karya dari berbagai disiplin kajian Islam
berhasil
diselesaikan.
Karya-karya
tersebut
ditulis
dengan
menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Salah satu karya KH. Hasyim Asy‟ari yang sangat populer di dunia pendidikan hingga saat ini adalah, ada>b al-‘A
ma>
Yahta>j Ilaih al-Muta’allim Fi> Ahwa>l Ta’allum ma Yatawaqqaf ‘Alaih alMuta’allim fi Maqa>mat al-Ta’li>m (etika pengajar dan pelajar tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengajar dalam kegiatan pembelajaran) karya ini merupakan resume dari tiga kitab yang menguraikan tentang pendidikan Islam, yaitu kitab Adam al-Muta’allim fi> T{ari>q al-Ta’allu>m 87
http://defineconnotation.com, diakses pada tanggal 26 Juli 2016 pukul 12.00 WIB.
72
(pengajaran untuk pelajar: tentang cara-cara belajar) yang dikarang oleh Shaikh Burhanuddin al-Zarnuji, dan kitab rad}kirat al-Shaml wa al-
Mutakallim fi> Adaan fi> al-Nahy ‘an muqa>ta’at al-Arha>m wa al-Aqarib wa al-
Ikhwa>n
(penjelasan
mengenai
larangan
memutuskan
hubungan
kekeluargaan, kekerabatan dan persahabatan). Dalam buku ini KH. Hasyim Asy‟ari mengurai tata cara menjalin silaturrahim, bahaya atau larangan memutuskannya dan arti membangun interaksi sosial. Kitab ini lebih merupakan risalah (catatan, sebuah buku kecil) karena hanya memiliki 17 halaman. Kitab ini diselesaikan pada hari Senin, 20 Syawal 1360 H/1940 M.88 Sebagai salah satu tokoh yang membidangi lahirnya Nahdhatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy‟ari juga menulis risalah untuk organisasi tersebut. Risalah yang dibuatnya itu diberi judul Muqaddima>t al-Qanu>nu al-
Asa>si> li Jam’iya>ti Nahda>t al-‘Ulama>’ (Pembukaan Anggaran Dasar
88
Syamsul, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam, 210.
73
Organisasi Nahdlatul Ulama‟) dengan tebal sepuluh halaman. Yang menarik, risalah tersebut memuat ayat-ayat al-Qur‟an dan beberapa Hadits yang menjadi basis legitimasi organisasi Nahdlatul Ulama. Tidak hanya itu, risalah tersebut juga memuat pendapat-pendapat legal KH. Hasyim Asy‟ari mengenai berbagai persoalan agama. KH. Hasyim Asy‟ari juga menulis juga menulis Risa>la fi> Ta’qi>d al-
Akhdh bi Ahad al-Mudhahib al-A’imma al-Arba>’a (risalah tentang argumentasi kepengikutan terhadap empat madhhab). Risalah ini lebih menitik beratkan pada uraian mengenai arti penting bermadhhab dalam fiqh. Selain itu, KH. Hasyim Asy‟ari juga menekankan betapa pentingnya berpegang kepada salah satu diantara empat madhhab yang ada. Meskipun hanya setebal empat halaman, risalah secara umum juga menguraikan metodologi penggalian hukum, metode ijtiha>d, serta respon atas pernyataan ibn Hazm tentang taqli>d.89 Kitab-kitab lain yang ditulis KH. Hasyim Asy’ari adalah: 1.
Mawa >’iz (beberapa nasihat).
2.
Al-Nu>r al-Mubi>n fi> Mahabbat Sayyid al-Mursali>n (cahaya yang jelas
menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul).
89
Syamsul, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam, 210.
74
3.
Al-Tanbi>ha>t al-Wajiba> Liman Yathna al-Mawlid bi al-Munkara>t
(peringatan untuk orang-orang yang melaksanakan peringatan maulid Nabi dengan cara-cara kemungkaran).
Risa>lat Ahl al-Sunnat wa al-Jama>’at fi> Hadi>th al-mawta’ wa Ashrat al-
4.
Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnat wa al-Bid’ah (Risalah Ahlussunnah Wa al-Jama‟ah mengenai hadis-hadis tentang kematian dan tanda-tanda hari kiamat serta penjelasan mengenai sunnah dan bid‟ah).
Dhaw’ al-Misba>h fi> Baya>n Ahka>m al-Nika>h (cahaya lampu yang
5.
benderang menerangkan hukum-hukum nikah). Ad-Durra>t al-Muntashira>t fi> Masa>il Tis’a ‘Ashara (mutiara yang
6.
memancar dalam penjelasan dalam 19 masalah). 7.
Al-Risa>la fi> al-Aqa>id (risalah tantang keimanan).
8.
Al-Risa>la fi> al-Tasawuf (risalah tentang tasawuf).
9.
Ziya>da>t Ta’liqa>t ‘ala> Manzu>ma>t al-Shaikh ‘abd Allah ibn Ya>si>n al Fasuruani (catatan tambahan: sanggahan argumentasi terhadap syairsyair karya Abdullah ibn Yasin al Fasuruani).
10. Tamyi>z al Haqq min al-Bati>l (perbedaan antara yang benar dan salah).90
90
Syamsul, Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam, 210.
75
B. Data Khusus 1.
Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru dalam Kitab Ada>b al-
‘Ab al-‘A
Wa al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asy‟ari terdapat pada Bab 3, yaitu sebagai berikut: m. Sepatutmya peserta didik sebelum belajar berpikir secara mendalam dan melakukan sholat istikha>rah, siapa yang pantas dijadikan sebagai gurunya. Hendaknya peserta didik memilih guru yang sesuai dengan bidangnya, kapasitas keilmuannya tidak diragukan, profesional, kasih sayang, muru‟ah, mempunyai metode pembelajaran yang baik dan memahami pelajaran yang diajarkan. n.
Berusaha sungguh-sungguh untuk mencari sosok guru yang berwawasan luas, mempunyai ilmu syari‟at dan guru kepercayaan dari guru-guru lain yang hidup pada zamannya, guru yang suka membahas berbagai masalah keilmuan dan suka bergaul.91
o.
Peserta didik hendaknya taat kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak boleh keluar dari pandangan dan aturan, bahkan diibartakan peserta didik seperti pasien dengan dokter yang akan mengobatinya.
Nur Cholis, Etika Pendidik dan Peserta Didik KH. Hasyim Asy‟ari Dalam Perspektif Pendidikan Islam Masa Kini: Kajian Kritis Kitab Adab Al-„Alim Wa Al Muta‟alim (Ponorogo: Skripsi Stain Ponorogo, 2005), 54. 91
76
p.
Peserta didik hendaknya memandang gurunya sebagai orang yang tinggi, mulia dan terhormat. Dalam hal ini, peserta didik tidak memanggil dengan kata-kata ta’ khita>b (kamu), tetapi dengan katakata ya’ sayyidina atau ya’ usta>z.}
q.
Peserta didik tidak melupakan kewajibannya, tidak pernah melupakan jasa-jasa guru dan kebaikannya, keagungan, kemuliaan, mendo‟akannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia, menjaga keturunan, kerabat, orang-orang yan dikasihi, menekan dirinya untuk selalu berziarah kemakam
beliau, minta
ampun,
bershadaqah,
menampakkan budi pekerti yang baik, mengambil petunjuk dari guru, baik di dalam agama dan ilmunya. r.
Peserta didik hendaknya bersabar atas sifat dan perilaku guru. Sikap tersebut tidak menjadi penghalang bagi peserta didik untuk menimba ilmu dan meyakini kesempurnaan guru dan mencoba mentakwil keburukan guru dengan baik, yaitu beranggapan bahwa sesungguhnya perilaku guru pada hakikatnya bertolak belakang dengan apa yang nampak.
s.
Janganlah menghadap guru di tempat khusus tanpa seizinnya, baik dari beliau maupun orang lain, terlebih dahulu menyampaikan salam, peserta didik hendaknya berpakaian bersih, wangi dan sopan.92
92
Ibid., 55.
77
t.
Apabila duduk dihadapan guru maka duduk yang sopan dan baik, duduk bersimpuh atau ketika tahiyat akhir dengan tawadu’ rendah hati, tenang dan khusyu‟.
u.
Hendaknya peserta didik berbicara sopan dihadapan gurunya sebaik mungkin, janganlah mungkin bertanya dengan pertanyaan untuk apa, menurut pendapat saya ataupun pendapat siapa, dari mana dan sejenisnya.
v.
Jika mendengarkan penjelasan guru tentang hukum atau cerita, syair, padahal
peserta
didik
hafal,
maka
peserta
didik
hendaknya
mendengarkannya dengan baik dan seksama sambil mengambil faidahnya. w. Peserta didik tidak mendahului atau menyertai guru ketika sedang menjelaskan
suatu
masalah
atau
menjawab
pertanyaan,
tidak
membandingkan dan juga tidak menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang hal tersebut. x.
Jika seorang guru memberikan sesuatu, maka terimalah dengan tangan kanan. Jika berupa pelajaran maka dibaca, jika berupa cerita atau tulisan tentang syara‟ dan sebagainya, maka sebarkanlah, dan bila selesai jangan mengembalikan pemberian guru dengan melipat kecuali dikehendakinya, dan masih banyak ungkapan yang menggembirakan
78
tentang etika mengembalikan sesuatu kepada guru dalam kitab yang menerangkan akhlak.93
2.
Tujuan Pendidikan Islam Pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan bermacammacam yang sudah dinyatakan para pakar pendidikan Islam, sebagaimana berbagai pendapat dalam dataran etimologi. Sayyid Muhammad al-Nuquid al-Attas memberikan konsep yaitu: “sekiranya kita ditanya, apakah pendidikan itu?, maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana: pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”. Ada tiga tiga hal unsur pokok pembentuk pendidikan yang dapat diambil dari jawaban tersebut, yaitu: proses, kandungan dan penerima. Maknanya adalah: proses adalah penanaman sebuah pendidikan yang mengandung sebuah metode adanya sistem yang komperhensif dengan cara bertahap dan berkelanjutan. Dan sesuatu disini dimaksudkan pada kandungan, nilai yang ditanamkan yaitu berupa ilmu yang haqiqi dan diyakini kebenarannya yang sesuai dengan konsep yang ada dalam agama Islam yang tercermin dalam alQur‟an. Hal ini didasarkan dari asumsi bahwa semua ilmu bersumber dan
93
Ibid., 56.
79
datang dari Allah Swt. sedangkan diri manusia adalah penerima proses dan kandungan tersebut yang tak lain adalah peserta didik.94 Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasyi, pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan. Menurut marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dari pengertian ini pendidikan ditopang dengan adanya tiga unsur pokok, pertama harus ada usaha yang berupa bimbingan bagi perkembangan potensi jasmani dan rohani secara berimbang. Kedua, adanya usaha yang dilakukan itu berdasarkan atas ajaran Islam. Ketiga, usaha itu bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utama menurut ukuran Islam. Lebih luas lagi yaitu pendapat dari guru besar pendidikan Islam di Tunisia, Muhammad Fadhil al-Jamali yang mengajukan pengertian pendidikan Islam dengan upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang
94
Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 21-22.
80
tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik pada level akal, perasaan maupun perbuatan.95 Tujuan pendidikan Islam adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah proses pendidikan berakhir. Tujuan ini di klasifikasikan kepada tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan Islam yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan maupun dewasa ini. Namun dapat dipahami bahwa beragamnya konsep dan teori tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik bagi masyarakatnya. Namun demikian, berkembangnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam tidak pernah melenceng dari prinsip dasar yang menjadi asas berpijak dalam pengembangan tujuan pendidikan yang dimaksud. Diantara prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip universal, keseimbangan, kejelasan, dinamis dan relevan.96 Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, tentunya tidak dapat dilepaskan dari hakekat pendidikan Islam itu sendiri. Manusia adalah
95
Ibid., 23-24. Armai Arief, Pengantar Ilmu Pendidikan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 27. 96
81
makhluk yang sadar tujuan, dari arti setiap aktifitasnya senantiasa disadari dan memiliki tujuan yang hendak dicapainya.97 Tujuan ini haruslah komperhensif mencakup semua aspek, serat terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Adapun aspek tersebut diantaranya: 1.
Tujuan normatif, yaitu tujuan yang ingin dicapai berdasarkan normanorma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi. Misalnya: a.
Tujuan formatif, untuk memberikan persiapan dasar yang korektif.
b.
Tujuan selektif, untuk membedakan yang benar dan yang salah.
c.
Tujuan determinatif, untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d.
Tujuan integratif, untuk memadukan fungsi psikis ke arah tujuan umum.
e.
Tujuan aplikatif, penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.
2.
Tujuan fungsional, tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta
didik
untuk
memfungsikan
daya
kognisi,
afeksi
dan
psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi:
97
Tobroni, Pedidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), 49.
82
a.
Tujuan individual, untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan kedalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
b.
Tujuan sosial,
pemberian nilai-nilai kedalam kehidupan sosial
dengan orang lain dalam masyarakat. c.
Tujuan moral, untuk berperilaku sesuai dengan tuntunan moral.
d.
Tujuan profesional, untuk mengamalkan keahliannya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.98
3.
Tujuan operasional, tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial. Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu: a.
Tujuan umum, untuk mengupayakan bentuk manusia kamil.
b.
Tujuan khusus, yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik.
c.
Tujuan tak lengkap, yang berhubungan dengan nilai hidup saja. Misalnya kesusilaan, keindahan dan lain sebagainya.
d.
Tujuan insidental, tujuan yang timbul karena kebetulan, bersifat sesaat.
e.
Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase tertentu dari tujuan umum.
98
Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendididkan Islam, 75-76.
83
f.
Tujuan intermedier, berkaitan dengn penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara.99 Proses pendidikan terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia
tidak lepas dari tiga unsur, yaitu jasad, ruh dan akal. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam secara umum harus dibangun berdasarkan tiga komponen tersebut, yang masing-masing harus dijaga keseimbangannya. Maka dari sini, tujuan pendidikan Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga.100 1.
Pendidikan Jasmani Keberadaan manusia telah diprediksi sebagai khalifah yang akan berinteraksi dengan lingkungannya, maka keunggulan fisik memberikan indikasi kualifikasi yang harus diperhitungkan, yaitu kegagahan dan keperkasaan seorang raja. Fisik memang bukan tujuan utama segala-galanya. Akan tetapi, ia sangat berpengaruh dan segala-galanya. Ia sangat berpengaruh dan memang peran penting, sampai-sampai kecintaan Allah terhadap orang mukmin lebih diprioritaskan untuk orang yang mempunyai keimanan yang kuat dan fisik yang kuat dibanding dengan orang yang mempunyai keimanan yang kuat tetapi fisiknya lemah. Pendidikan jasmani merupakan usaha untuk menumbuhkan, menguatkan dan memelihara jasmani dengan baik. Dengan demikian,
99
Ibid., 78. Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Pendidikan Islam (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2012), 117. 100
84
jasmani mampu melaksanakan berbagai kegiatan dan beban tanggung jawab yang dihadapinya dalam kehidupan individu dan sosial. Disamping mampu dalam menghadapi berbagai penyakit yang mengancamnya. 101 2.
Pendidikan Akal Pendidikan akal adalah peningkatan pemikiran akal dan latihan secara teratur untuk berpikir benar. Pendidikan intelektual akan mampu memperbaiki pemikiran tentang ragam pengaruh dan realitas secara tepat dan benar. Hal ini akan menghasilkan keputusan atas segala sesuatu yang dipikirkan menjadi tepat dan benar, tujuan pendidikan akal Dengan demikian, tujuan pendidikan akal terikat perhatiannya dengan perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan diri.102
3.
Pendidikan Akhlak Akhlak mempunyai kedudukan sangat penting dalam ajaran Islam, untuk mencapai keridhoan Allah. Sendi-sendi agama yang bertumpu pada tiga komponen, yaitu iman, Islam dan ihsan. Ketiganya merupakan sistem yang dalam praktek tidak dapat dipisahkan satu sama
101 102
Ibid., 118. Ibid., 119.
85
lain, tetapi merupakan totalitas untuk mewujudkan akhla>k al kari>mah dalam setiap perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupan. Pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan utama yang harus disuritauladankan oleh guru pada anak didik. Tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang bermoral, jiwa bersih, cita-cita yang benar
dan
akhlak
yang
tinggi,
mengetahui
kewajiban
dan
pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, dapat membedakan buruk dan baik, memilih fad}ila karena cinta fad}ila, menghindari perbuatan tercela dan mengingat Tuhan disetiap melakukan pekerjaan. Pendidikan akhlak bertujuan untuk membina kualitas manusia prima dengan ciri-ciri antara lain: a.
Beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
b.
Berakal sehat atau mempunyai kemampuan akademik, yaitu mampu mengembangkan kecerdasannya dengan mencintai ilmu terutama yang sesuai dengan bakatnya.
c.
Mempunyai kematangan kepribadian, berbudi luhur, jujur, amanah, berani, qona>a, sabar/tangguh, syukur, bertanggung jawab, cinta tanah
air,
mempertebal
semangat
kesetiakawanan sosial, dan percaya diri.
kebangsaan
dan
rasa
86
d.
Mempunyai keterampilan belajar, bekerja dan beramal shalih, disiplin, bekerja keras, mandiri, penuh perilaku yang inovatif dan kreatif, sehat jasmani dan rohani.103 Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan, tujuan-
tujuan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam struktur program instruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi gradual yang semakin meningkat. Bila dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu, pendidikan Islam bisa dibagi dalam beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut: 1.
Tujuan instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2.
Tujuan instruksional umum,
diarahkan pada penguasaan atau
pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan. 3.
Tujuan kurikuler, yang ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi pendidikan.
4.
Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTP/SLTA.
103
Ibid., 120.
87
5.
Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal atau non formal, maupun sistem informal.104 Dalam ajaran Islam, seluruh aktifitas manusia bertujuan meraih
tercapainya insan yang beriman dan bertakwa. Dengan demikian apabila anak didik telah beriman dan bertakwa, artinya telah tercapai tujuannya. Apabila dikaitkan dengan pendidikan Islam yang bertujuan mencetak anak didik yang beriman, wujud dari tujuan itu adalah akhlak anak didik. Adapun akhlak anak didik itu mengacu pada kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan formal maupun non formal. Beberapa indikator tercapai tujuan pendidikan Islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan mendasar.105 a.
Tujuan tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang membutuhkannya.
104
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Toeritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 27. 105 Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 146.
88
b.
Tujuan tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran keshalihan emosional sehingga mampu memperhatikan kedewasaan menghadapi masalah dalam kehidupannya.
c.
Tujuan tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah dan Rasulullah Saw. dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pendidikan Islam yang telah diuraikan diatas dapat
disitematisasi sebagai berikut: a.
Terwujudnya insan akademik yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
b.
Terwujudnya insan kamil yang berakhlakul karimah.
c.
Terwujudnya insan muslim yang berkepribadian.
d.
Terwujudnya insan yang cerdas dalam mengaji dan mengkaji ilmu pengetahuan.
e.
Terwujudnya insan yang bermanfaat untuk kehidupan orang lain.
f.
Terwujudnya insan yang sehat jasmani dan rohani.
g.
Terwujudnya karakter muslim yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia.106
106
Ibid., 147.
89
BAB IV ANALIS DATA
A. Analisis Terhadap Kandungan Kitab Ada>b al-‘Ab al-‘Ab al-‘A
88
90
keikhlasan, membagi waktu, menyedikitkan makan dan minum, wira’i, mengurangi makanan yang menyebabkan bodoh dan meninggalkan pergaulan yang kurang manfaat. Pada bab selanjutnya akhlak peserta didik terhadap pendidik menyangkut masalah pemilihan guru, usaha dalam memilih guru, ketaatan kepada guru, guru adalah orang yang dimuliakan, tetap mengingat kewajiban sebagai peserta didik, sabar atas perilaku guru, tidak menghadap guru, sopan terhadap guru, tidak memperlihatkan pengetahuan yang sudah diketahui dan menyebarkan ilmu yang didapat dari guru. Selanjutnya akhlak peserta didik terhadap pelajaran dan hal-hal yang dipegangi bersama guru dan teman-temannya, dalam bab ini ada tiga belas sub pembahasan, yang membahas tentang pelajaran yang harus didahulukan oleh peserta didik, peserta didik juga tidak boleh terjebak dengan perbedaan ulama, berusaha dengan giat untuk memperoleh ilmu, sabar menanti gilirannya bersama teman-teman ketika, menjaga kesopanan terhadap guru dan bersemangat akan keberhasilannya. Pembahasan tentang pendidik terletak pada bab enam sampai tujuh, seperti akhlak peserta didik yang sebelumnya, akhlak pendidik juga mempunyai akhlak terhadap dirinya sendiri sebagai pendidik. Dalam bab ini ada sepuluh bab yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Bab enam membahas tentang akhlak pendidik terhadap pelajaran, dalam pembahasan ini KH. Hasyim Asy‟ari menjelaskan akhlak pendidik mulai dari
91
sebelum berangkat, guru seharusnya sabar atas perlakuan peserta didik walaupun peserta didik tidak ikhlas mencari ilmu tetapi guru harus tetap mengajar. Bab ketujuh membahas akhlak guru terhadap peserta didik, untuk memberikan contoh yang baik KH. Hasyim Asy‟ari juga memberikan penjelasan kepada para guru selain untuk menyampaikan ilmu tetapi juga memberikan contoh perilaku yang baik, selain bisa menguasai teori pendidik juga harus bisa memberikan praktek akhlak yang terpuji bagi peserta didik dan juga berusaha membantu peserta didik dalam mencari ilmu. Selain itu juga kepada guru untuk berkata yang baik kepada peserta didik.
B. Analisis Kontribusi Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Dalam Kitab Ada>b al-‘Ab al-‘A
Muta’allim ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan Islam. Dan tujuan pendidikan Islam sendiri bisa dikelompokkan atas tiga tujuan yaitu pendidikan akal, pendidikan jasmani dan pendidikan akhlak. Justru yang menjadi tujuan yang terpenting dalam tujuan pendidikan Islam adalah tentang pendidikan akhlak yang mulia. Baik akhlak kepada guru, teman, kerabat serta setiap orang yang berada disampingnya. Tidak hanya manusia saja yang yang dihormati oleh
92
peserta didik, tetapi lingkungan sekitarnya juga harus menjadi objek akhlak baik dari peserta didik. Dari beberapa konsep akhlak peserta didik menurut KH. Hasyim Asy‟ari dalam kitab Ada>b al-‘A
Menurut KH. Hasyim Asy‟ari hendaknya peserta didik melakukan shalat
istikha>ra siapa yang pantas menjadi gurunya. Hal ini relevan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu terwujudnya insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Sebelum belajar peserta didik untuk mendekatkan diri kepada Allah agar tidak salah memilih guru, sehingga peserta didik benar-benar mendapatkan guru yang profesional dan kapasitas keilmuannya mumpuni. Pendapat ini juga diperkuat dengan pendapatnya jama‟ah tentang kode etik penuntut ilmu dalam bergaul dengan gurunya. Yang mengemukankan bahwa peserta didik yang ingin menuntut ilmu harus memilih calon guru secara cermat. Setelah dipertimbangkan memadai dan shalat istikha>ra. 2.
Menurut KH. Hasyim Asy‟ari peserta didik harus taat kepada gurunya dan segala urusan. Hal ini juga dikuatkan oleh jama‟ah, peserta didik diibaratkan seperti orang sakit untuk mematuhi nasehat dokter. Dalam hal ini relevan dengan indikator tujuan pendidikan Islam, peserta didik harus memiliki keshalihan emosional.
93
3.
Menurut KH. Hasyim Asy‟ari peserta didik harus memandang gurunya sebagai sosok yang terhormat dan sosok yang harus dimuliakan. Hal ini didukung oleh pendapat Muhammad „Athiyah al-Abrasy tentang kewajibankewajiban peserta didik kepada gurunya, yang mana peserta didik harus menghormati dan memuliakan guru serta mengagungkan karena Allah. Pendapat ini relevan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu terwujudnya insan kamil yang berakhalakul karimah untuk sesama manusia.
4.
Menurut pendapat KH. Hasyim Asy‟ari peserta didik harus bersabar terhadap perilaku gurunya, peserta didik harus mentakwil perilaku buruk dari gurunya adalah pelajaran bagi peserta didik untuk mencapai tingkat kesuksesan dalam menimba ilmu. Pendapat ini juga sesuai dengan tujuan pendidikan Islam bahwa peserta didik harus mempunyai kesabaran emosional sehingga mampu memperhatikan kedewasaan menghadapi masalah dalam kehidupannya.
5.
Menurut KH. Hasyim Asy‟ari peserta didik harus mempunyai sifat sopan kepada gurunya, baik ketika duduk bersama dengan gurunya maupun ketika berbicara. Dan tidak boleh bertanya yang bisa menyinggung hati guru, seperti untuk apa, menurut pendapat siapa dan lain sebagainya. Hal ini relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu bertujuan untuk membentuk moral, agar peserta didik berperilaku sesuai tuntunan moral,
tidak
berpendapat seenaknya sendiri tanpa ada aturan yang membentenginya.
94
Jama‟ah menguatkan pendapat ini bahwa peserta didik harus mengagungkan guru dan meyakini kesempurnaan ilmunya. 6.
Menurut pendapat KH. Hasyim Asy‟ari jika peserta didik mendengarkan penjelasan guru tentang hukum atau cerita padahal peserta didik hafal, maka peserta didik tetap harus mendengarkan dengan seksama. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat jama‟ah, peserta didik harus menunjukkan rasa terima kasih kepada gurunya meskipun guru menyampaikan informasi yang sudah diketahui murid. Dan ia tidak boleh menunjukkan yang sudah diketahui. Pendapat ini juga relevan dengan tujuan pendidikan Islam untuk terwujudnya insan yang berakhlakul karimah, akhlak dalam hal ini adalah akhlak yang khusus terhadap guru.
7.
Menurut pendapat KH. Hasyim Asy‟ari jika guru memberikan sesuatu maka peserta didik harus menerima dengan tangan kanan. Jika menerima tulisan tentang syara‟ dan sebagainya, hendaknya peserta didik menyebarkan ke khalayak umum. Pendapat ini relevan dengan tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan karakter muslim yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia.
95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah mengadapan penelitian yang mendalam dengan prosedur yang telah direncanakan, maka kajian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Analisis Terhadap Kandungan Kitab Ada>b al-‘Ab al-‘A
96
2.
Analisis Konsep Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Dalam Kitab
Ada>b al-‘A
Melakukan shalat istikha>ra ketika memilih guru. Agar memdapatkan guru yang mumpuni dalam bidang keilmuan dan menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
b.
Peserta didik taat kepada gurunya, untuk mendapatkan keshalihan emosional.
c.
Memuliakan dan menghormati guru.
d.
Sabar tehadap perilaku guru sehingga mampu mencapai tingkat kedewasaan dalam menghadapi masalah kehidupannya.
e.
Berperilaku sopan sesuai tuntunan moral, baik ketika bertemu maupun berbicara.
f.
Tetap mendengarkan penjelasan guru walaupun peserta didik sudah mengetahui.
g.
Menerima sesuatu dari guru dengan tangan kanan, dan menyebarkan ilmu yang didapat dari guru kepada sesama manusia.
3.
Saran-saran Dari kajian tetang pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari diharapkan menjadi bahan tolak ukur bagi dunia pendidikan untuk memperhatikan akhlak peserta
97
didik kepada gurunya. Tidak hanya memperhatikan kecerdasannya saja tetapi juga memperhatikan akhlak agar mudah mendapatkan ridho dari gurunya. Dengan akhlak yang baik terhadap gurunya, ilmu akan mudah terserap oleh peserta didik dan guru pun akan semangat dalam memberikan ilmu. Jadi dalam mencari ilmu peserta didik harus mengaplikasikan prinsip keikhlasan dan semangat yang tinggi untuk mendalami ilmu pengetahuan.
98
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Wahid. Risalah Akhlak, Panduan Perilaku Muslim Modern (Solo: Era Intermedia, 2004). al-Abrasyi, Muhammad „Athiyah. Prinsip-Prinsip Dasar (Bandung: Pustaka Setia, 2003).
Pendidikan
Islam
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad. Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad Saw. (Bandung: Pustaka Setia, 2000). Amril.
Etika Islam:Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat, Kemasyarakatan, Kependidikan dan Perempuan, 2002).
Arief, Armai. Pengantar Ilmu Pendidikan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Toeritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2011). Asari, Hasan. Etika Akademis dalam Islam: Studi Tentang Kitab Tazkirat Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim Karya Ibnu Jama’ah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008). Asrori, Ahmad Ma‟ruf. Etika Belajar bagi Penuntut Ilmu. Terj. Ta’limul Muta’allim (Surabaya: al-Miftah, 2012). Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Cholis, Nur. Etika Pendidik dan Peserta Didik KH. Hasyim Asy’ari Dalam Perspektif Pendidikan Islam Masa Kini: Kajian Kritis Kitab Adab Al-‘Alim Wa Al Muta’alim (Ponorogo: Skripsi Stain Ponorogo, 2005). Damanhuri, Akhlak: Prespektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili (Jakarta: Lectura Press, 2013). Gunawan, Heri. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014).
99
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 2004). Jamaluddin. Aly, Abdullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999). Jauhari, Muhammad Rabbi Muhammad. Keistimewaan Akhlak Islami (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Kurniawan, Syamsul. Mahrus, Erwin. Jejak Pemikiran dan Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2013). Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif (Jakarta: Amzah, 2013). Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2009). Mustaqim, Abdul. Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci menuju Revolusi Hati (Bantul: Kaukaba Dipantara, 2013). Nafis, Muhammad Muntahibun. Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011). Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2009). ____________. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Depok: Raja Grafindo Perkasa, 2014). Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007). Pamungkas, M. Imam. Akhlak Muslim Modern: Membangun Karakter Generasi Muda (Bandung: Marja, 2012). Rosyadi, Khoiron. Pendidik Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Saebani, Beni Ahmad. Akhdiyat, Hendra. Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
100
Srijanti. dkk., Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007). Suresman, Edi. dkk., Pendidikan Agama Islam (Bandung: Upi Press, 2006). Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). Sya‟roni. Model Relasi Ideal Guru dan Murid, Telaah Atas Pemikiran al Zarnuzi dan KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Teras, 2007). Tim penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Ponorogo: STAIN, Tarbiyah, 2015). Tobroni, Pedidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2008). Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994). Zuhri, Achmad Muhibbin. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Surabaya: Khalista, 2010).