KONFIRMASIONISME: PERSPEKTIF EMPIRISME SKEPTIS Marlina Sopiana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Problem epistemologi selalu berkaitan dengan perkembangan pengetahuan. Perkembangan pengetahuan dapat dilacak melalui perkembangan ilmu yang telah berkembang pesat sejak revolusi di abad ke-17. Perkembangannya tidak hanya ditandai dengan kemunculan teori-teori yang mempunyai kapasitas eksplanatoris yang luas. Akan tetapi, perkembangan ilmu pengetahuan juga dikarakterisasi oleh standar operasi yang digunakan tanpa disadari, yaitu konfirmasionisme. Penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa konfirmasionisme sebagai metodologi gagal dalam memberikan fondasi bagi pengetahuan kita. Kata Kunci: Konfirmasionisme, Metodologi, Induksi, Verifikasi, Modelling, Ketidakpastian, Kekeliruan naratif, Fraktal
Confirmationism: A Perspective of Sceptical Empiricism Abstract The problem of epistemology always concerning about the growth of knowledge. The growth of knowledge can be traced by studying the growth of scientific knowledge which already undergone a terrific development since its revolution in the 17th century. Its development not only visible by the emerging of numerous theories that has a far-ranging explanatory action but also characterized by an insensibly standard operation named confirmationism. This undergraduate thesis is an effort to remark the failure of confirmationism as a methodology in giving a solid ground to our knowledge Key words: Confirmationism, Methodology, Induction, Verification, Modelling, Uncertainty, Narrative Fallacy, Fractal.
Pendahuluan Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita tidak hanya mengenal teori tetapi juga metode yang memungkinkan teori itu terbentuk. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang seringkali tidak disadari pengoperasiannya dalam ilmu pengetahuan, yaitu sebuah meta-teori yang menentukan pilihan metode kita. Dalam terminologi Thomas Kuhn kita mengenal adanya “paradigma”. Paradigma oleh Kuhn diartikan sebagai sebuah kriteria yang digunakan oleh komunitas ilmu pengetahuan untuk memilih problem yang diasumsikan mempunyai solusi atau problem-problem yang diakui sebagai problem saintifik oleh komunitas ilmu pengetahuan dan oleh karenanya menjadi fokus untuk dikaji. 1 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
“We have already seen, however, that one of the things a scientific community acquires with a paradigm is a criterion for choosing problems that, while the paradigm is taken for granted, can be assumed to have solutions. To a great extent these are the only problems that the community will admit as scientific or encourage its members to undertake. Other problems, including many that had previously been standard, are rejected as metaphysical, as the concern of another discipline, or sometimes as just too problematic to be worth the time.”1 Definisi Kuhn tentang paradigma dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution tidak rigoris, sehingga seringkali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan paradigma. Apakah benar-benar ada hal semacam paradigma itu? Apakah ia sebuah metode atau teori atau hal yang lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kita dapat melihat pemaparan Mantzavinos dalam tulisannya yang berjudul A Note on Methodological Individualism. Dalam tulisan ini Mantzavinos menjelaskan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara sebuah prinsip metodologi atau sebuah postulat yang berada pada level meta-bahasa terkait teori-teori sosial dengan sebuah teori yang dibuat untuk memberikan eksplanasi atas fenomena sosial. “In this note I would like to elaborate on the distinction between methodological individualism and rational theory and to argue a simple point that seems to me to be systematically neglected: methodological individualism is a postulate which is part of the metalanguage about social scientific theories, whereas rational choice theory is designed to offer explanations of human action and is part of the descriptive language about social phenomena.”2 Untuk memperjelas perbedaan diantara keduanya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Perbedaan antara metodologi dengan teori. 1
Kuhn, Thomas. 1996. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press. hlm 37. 2 Mantzavinos. C. 2009. A note on Methodological Individualism, in Raymond Boudon: A Life in Sociology, (eds.) Cherkaoui, Mohamed and Peter Hamilton. Oxford: Bardwell Press. hlm 211-212. 2 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
Mantzavinos dalam uraiannya secara spesifik menyebutkan sebuah contoh, yaitu methodological individualism sebagai prinsip metodologi dalam ilmu sosial. Namun, hal semacam prinsip metodologi atau yang dalam terminologi Kuhn disebut sebagai „paradigma” ini bekerja dalam berbagai domain ilmu pengetahuan dan pengetahuan secara umum. Bahwa dalam sebuah domain khusus ilmu pengetahuan ataupun dalam ilmu pengetahuan secara luas terdapat paradigma yang bekerja, kita dapat melihatnya melalui penelusuran sejarah, baik secara kronologis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan maupun melalui perkembangan metodisnya dalam filsafat. Penelitian ini berusaha mennunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan kita saat ini dikarakterisasi oleh sebuah prinsip metodologi yang oleh penulis disebut sebagai konfirmasionisme.
Kemunculan Konfirmasionisme Konfirmasionisme dalam pengertian paling umum dapat dikatakan sebagai pendekatan yang didasarkan oleh bukti-bukti yang mendukung suatu teori, asumsi, atau pengetahuan jenis apapun. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan konfirmasionisme berkaitan dengan bukti-bukti empiris yang mendukung sebuah teori. Dalam filsafat kontemporer telah dikembangkan berbagai teori konfirmasi yang dalam terminologi umumnya dapat digunakan secara bergantian dengan istilah “evidential support” atau “inductive strength”. Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara teori konfirmasi dengan
konfirmasionisme
sebagai
sebuah
pendekatan
yang
berada
pada
tataran
metalanguage, meskipun keduanya berkaitan dengan induksi dan bukti-bukti empiris. “In contemporary philosophy, confirmation theory can be described as the area that effort have been made to take up the challenge of defining models of non-deductive reasoning. In central technical term –confirmation-has often been used in more or less interchangeably with “evidential support”, “inductive strength” and the like. Here we will generally comply with this liberal usage, although more subtle conceptual and terminological distinction could be usefully drawn.”3 Konfirmasionisme sebagai pendekatan terhadap ilmu pengetahuan dapat dijelaskan melalui perkembangan dari metode induksi yang kemudian dikuatkan oleh verifikasionisme dan pada perkembangan terakhir berujung pada dikembangkannya model-model ilmu pengetahuan.
3
Confirmation. http://plato.stanford.edu/entries/confirmation/ 3 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
Metode induksi yang dipromosikan oleh Francis Bacon dimulai dengan pengkoleksian sebanyak mungkin observasi-observasi empiris dari berbagai jenis fenomena (Bacon bukan seorang ilmuwan, yang dia kumpulkan sebenarnya adalah data-data dari observasi empiris yang pernah dilakukan pada masanya). Kemudian darinya akan ditarik hukum universal, dengan begitu ilmu pengetahuan pada akhirnya dapat menjelaskan penyebab dari sebuah fenomena, misalnya gerak di bumi bukan sekedar menyodorkan deskripsi demonstratif bagaimana sebuah benda jatuh dari ketinggian tertentu. Bacon mempunyai obsesi besar untuk mengumpulkan sebanyak mungkin hasil observasi empiris dan memasukkannya ke dalam sebuah buku yang nantinya akan menjadi panduan bagi ilmuwan untuk menarik kesimpulankesimpulan umum dari hubungan antara fenomena yang terangkum dalam buku tersebut. Buku ini tidak pernah komplit, namun pendekatan induksi yang digunakannya mempunyai pengaruh luas.4 Induksi sebagai standar metode dalam ilmu pengetahuan memang baru digunakan setelah Bacon, namun jenis penyimpulan induktif sebagai sesuatu yang berbeda dari jenis penyimpulan deduktif sudah lama digunakan dan menjadi perdebatan. Secara sederhana penyimpulan induktif berarti pengambilan kesimpulan umum dari premis-presmis partikular yang didapat dari observasi. “Inductive inference: A species of non-deductive reasoning in which the conclusion generalizes in the information given in the premises. Example: the inference from “All observed ravens have been black” to “All ravens are black” is inductive. Likewise for the inference, “The sun has risen every day in the past; therefore the sun will rise tomorrow.”5 Observasi menjadi kata yang digandrungi pada awal perkembangan ilmu pengetahuan modern. Bukan hanya dalam cakupan ilmu-ilmu alam, tetapi juga merambah pada ilmu-ilmu sosial. Keberhasilan ilmu alam dengan metodenya membawa pengaruh pada ilmuwanilmuwan sosial yang kemudian mencoba menerapkan metode ilmu alam untuk penelitian ilmu sosial. Auguste Comte (1798-1857) mengembangkan cabang ilmu baru yang dia namakan fisika sosial (sekarang lebih dikenal sebagai sosiologi). Hal ini menunjukkan semangat empirisme dan positivisme yang kemudian melahirkan aliran positivisme logis dalam kajian filsafat ilmu.
4
Gower, Barry. 1997. Scientific Method: An Historical and Philosophical Introduction. London: Routledge. hlm 41-42. 5 Huemer, Michael. 2002. Epistemology Contemporary Readings. New York: Routledge.Hlm. 293. 4 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
Induksi tidak hanya digunakan dalam penelitian ilmu pengetahuan tetapi juga dalam komunikasi sehari-hari. Pertukaran ide dan informasi dalam komunikasi sehari-hari menggunakan pola penyimpulan induktif. Dari sekedar percakapan ringan mengenai cuaca hingga berita-berita di surat kabar nasional menggunakan pola ini untuk memberikan kesan logis dalam penuturannya. Berangkat dari gagasan positivisme, yang kemudian dikembangkan menjadi positivisme logis, metode induksi semakin dikuatkan dengan standar justifikasi yang dinamakan verifikasi. Sebuah pengetahuan (proposisi yang didapat dari penyimpulan induktif) berarti apabila dapat diverifikasi atau dikonfirmasi melalui data empiris. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, pandangan ini berusaha memisahkan antara ilmu pengetahuan dan non-ilmu pengetahuan melalui pendekatan positivistik. Verifiability sebagai sebuah kriteria kebenaran yang dipromosikan oleh kaum positivisme logis sangat erat kaitannya dengan logika penyimpulan induktif. Sebuah teori dinyatakan verified apabila mendapat cukup bukti yang dikumpulkan melalui observasi dan atau eksperimen. Induksi yang ditopang oleh verifikasionisme menambah kepercayaan kita pada hasilhasil penemuan dari ilmu pengetahuan. Teori-teori yang telah terverifikasi melalui observasi dan eksperimen kemudian dijadikan panduan untuk menjelaskan berbagai fenomena yang telah dan atau akan ditemukan. Prediksi menjadi obsesi besar ilmu pengetahuan. Dalam keperluan prediksi dibutuhkan model pengetahuan yang dianggap dapat merepresentasikan keadaan alami fenomena. Dengan kata lain, keadaan dunia diproyeksikan menjadi sebuah model baku yang dapat digunakan untuk membuat prediksi atas fenomena-fenomena yang memiliki kemiripan dalam presisi tertentu. Dalam perkembangannya beberapa teori yang telah terverifikasi ataupun model yang telah mendapatkan cukup bukti pendukung mempunyai kecenderungan untuk digunakan seperti scripture yang kebenarannya bersifat niscaya. Observasi dan eksperimen yang dilakukan setelahnya semata-mata berlangsung untuk mencari tambahan bukti atau data untuk mengkonfirmasi secara terus-menerus teori tersebut. Sebagai contoh misalnya model geosentris Ptolemy. Model geosentris tidak hanya bertahan karena gereja memeliharanya, namun praktisi astronomi sendiri pada saat itu terus mengembangkan model ini dengan penambahan data atau perhitungan yang mengkonfirmasi model tersebut. Penambahan epicycle dalam model geosentris merupakan upaya mengkonfirmasi yang dilakukan ilmuwanilmuwan seperti Tycho Brahe. Dalam konteks lebih baru misalnya teori Big Bang yang merupakan pencapaian besar astrofisika modern. Teori Big Bang dengan kapasitas 5 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
eksplanatorisnya untuk menjelaskan alam semesta telah mewujud menjadi teori yang terlalu besar untuk gagal. Dalam sebuah artikel yang berjudul Cosmology and its Fatal Law, Bryan Belrad penulis buku Testing The Big Bang (2007) menyebut teori Big Bang sebagai sebuah tirani dalam kosmologi dan konfirmasionisme yang mempertahankannya sebagai sebuah penyakit serius dalam ilmu pengetahuan. “Confirmationism is a serious sickness for any science. It happens when practitioners of the afflicted discipline forget that science, in principle, is never about being “right”, it is about being “more correct” than those who came before. It it based on the idea that no matter how much humanity knows, there is always something more, something beyond, which we do not know. It happens when scientist assume that they know all there is to know, and there can be no more. It happens when scientists forget the lessons of the past, and ignore valuable information of the present, in order to steer the future into saying „this guy was right‟”6 Dalam domain ilmu ekonomi dikenal modelling yang digunakan untuk memprediksi fenomena ekonomi. Modelling diturunkan dari ilmu statistik.. Pada abad 20, statistik merupakan area applied science yang berkembang paling pesat bersama-sama dengan sistem computing. Statistik oleh R. A. Fisher dikatakan sebagai matematika yang diaplikasikan ke dalam data observasi. Ada tiga hal praktis yang mendahului terbentuknya ilmu statistik, yaitu kegiatan sensus dan inventarisasi; penelitian tentang permainan kesempatan, seperti permainan dadu, kartu; dan pengukuran estimasi kesalahan secara kuantitatif.7 Hal ketiga inilah yang paling berpengaruh dalam perkembangan statistik. Penelitian tentang estimasi kesalahan ini melahirkan model normal distribution yang sangat terkenal dan masih terus digunakan sejak kemuncullannya di abad 19. Model ini pertamakali diperkenalkan oleh Karl Friedrich Gauss (1777-1855) dengan menerapkan hitungan matematika dalam perhitungan kemungkinan kesalahan dalam menentukan posisi planet. Dengan melakukan perhitungan ini ia ingin memprediksi kemungkinan kesalahan itu dalam upaya untuk mereduksinya. Setelah Gauss, model ini diaplikasikan dalam berbagai penelitian ilmiah. Namun, paling banyak berkembang di wilayah ilmu ekonomi. Model Gaussian ini diaplikasikan dalam analisis berbagai fenomena ekonomi dalam rangka membuat prediksi ekonomi terutama dalam wilayah yang menunjukkan dimensi
6
Cosmology and Its Flaw. http://www.sciences360.com/index.php/cosmology-and-its-fatal-flaw-223427/ 7 Mark, John.1990. Sciennce and the Making of Modern World. Oxford: Heinemann Educational Books Ltd. hlm 324-325. 6 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
ketidakpastian seperti pasar modal, pasar valuta asing, dan lain sebagainya. Beberapa ilmuwan sosial bahkan menerima nobel ekonomi dari hasil mengembangkan model ini. Kecenderungan kita untuk melakukan konfirmasi atas sebuah pengetahuan terlihat jelas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, konfirmasionisme tidak hanya mengenai kita dalam domain ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita mempunyai kecenderungan yang sama. Misalnya, persebaran informasi melalui surat kabar ditumpangi keperluan untuk membentuk narasi tentang sebuah peristiwa. Data-data dikumpulkan untuk mendukung sebuah narasi dan semakin banyak data positif yang disajikan semakin besar posibilitas narasi tersebut untuk diterima masyarakat.
Kekeliruan Naratif Kemunculan konfirmasionisme sangat erat dengan keperluan naratif kita dalam proses mempersepsi informasi, kita cenderung menggunakan cara pikir Platonis. Hal ini berkaitan dengan sifat alami sistem berpikir kita yang melalui perkembangan neuroscience diketahui sebagai sebuah mesin pencari bentuk. Cara pikir Platonis mengandaikan adanya narasi ideal untuk setiap hal. Cara pikir ini merupakan sebuah kekeliruan besar manusia atau lebih tepatnya penipuan terhadap dirinya sendiri. Keteraturan dan kesederhanaan yang ditawarkan oleh cara pikir ini memang memabukkan. Kenyataan bahwa kondisi dunia sangat acak tidak menjadikannya sadar akan kekeliruannya ini. “We like stories, we like to summarize, and we like to simplify, i. e, to reduce the dimension of matters….. what I call the narrative fallacy. (It is actually a fraud, but, to be more polite, I will call it a fallacy.) The fallacy is associated with our vulnerability to overinterpretation and our predilection for compact stories over raw truths. It severely distorts our mental representation of the world; it is particularly acute when it comes to the rare event.”8 Sebuah narasi atau sebuah cerita lebih mudah untuk diingat ketimbang potonganpotongan informasi yang kita dapat secara acak melalui berbagai indra kita. Gagasan tentang sebab memegang peranan penting dalam terciptanya sebuah narasi yang koheren meskipun tidak secara niscaya berkorespondensi dengan realitas. Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya
8
Taleb, Nassim Nicholas. 2007. The Black Swan: The Impact of The Highly Improbable. New York: Random House. hlm 63. 7 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
The Black Swan memperlihatkan kecenderungan manusia dalam mempersepsi informasi9 dalam bentuk narasi sebagai sebuah kekeliruan yang akut. Kekeliruan yang hampir tidak mungkin dihindari karena adanya asimetri antara sifat alami informasi yang acak dengan sistem berpikir manusia yang selalu mencari bentuk atau keteraturan. Baik mitos, teori ataupun modelling sama-sama mengandung kekeliruan naratif ini. Dimana ketiganya merupakan upaya manusia untuk memahami realitas dengan mereduksinya ke dalam dimensi yang lebih sederhana, teratur, dan mempunyai relasi sebab-akibat. Teori dan modelling lebih jauh lagi digunakan untuk memprediksi kejadian-kejadian yang secara kuantitatif mempunyai kemiripan dengan narasinya. Kebanyakan orang yang dikatakan “ahli” dalam bidang tertentu menempatkan teori dan modelling sebagai sesuatu yang pasti, yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang secara akurat tanpa menyadari bahwa kedua bentuk “narasi” canggih ini merupakan penyederhanaan dari realitas yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari yang dapat dikuantifikasikan.
Ketidakpastian Induksi dan kekeliruan naratif menghadirkan dunia yang terlihat lebih sederhana dari yang sebenarnya. Konfirmasi berulang melalui bukti-bukti positif yang ditambahkan untuk mendukung sebuah narasi tentang apapun membuat kita merasa dapat mempunyai pengetahuan yang pasti tentang sesuatu, apapun itu. Kata ketidakpastian kini tidak lagi tegas merujuk pada keadaan yang kontradiktif dengan kepastian, melainkan kepada keadaan kurangnya kepastian dalam derajat tertentu. Ketidakpastian yang banyak dibicarakan pada ilmu-ilmu yang mengkaji tentang ketidakpastian lebih merujuk kepada keadaan yang “less certain” bukan “uncertainty”. Kerancuan ini merupakan konsekuensi logis dari penalaran induktif yang dengan prinsip probabilitasnya mengisyaratkan adanya derajat kepastian tertentu. Tabel berikut menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “uncertainty”.
9
Taleb menggunakan istilah informasi untuk merujuk pada hal-hal yang sama, yang dalam terminologi Hume disebut sebagai matter of fact dan pada Popper disebut sebagai singular statement atau basic statement. 8 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
Tabel 3.1 Relasi antara kelengkapan dan ketidaklengkapan informasi yang menentukan keberhasilan prediksi atas suatu kejadian.
Pada tabel di atas terlihat bahwa kepastian terdefinisikan dari simetri antara kelengkapan informasi dengan ketepatan prediksi yang dihasilkan dari informasi tersebut. Sementara asimetri antara kelengkapan informasi dengan ketepatan prediksi yang dihasilkan dari informasi tersebut mendefinisikan ketidakpastian. Jika kita balik posisi definien dengan definiendum-nya. Kita akan mendapatkan proposisi berikut: 1. Kepastian adalah simetri antara kelengkapan informasi dengan keberhasilah prediksi. 2. Ketidakpastian adalah asimetri antara kelengkapan informasi dengan ketepatan prediksi. Dengan melihat problem induksi yang telah lama diperdebatkan oleh filsuf seperti Hume dan Popper, kita dapat mengetahui bahwa kelengkapan informasi tidak mungkin dicapai, artinya proposisi pertama batal secara prinsip. Dengan kata lain, kita tidak pernah berada dalam kondisi kepastian yang ada hanyalah ketidakpastian.
Logika END (Evidence of No Disease) Nicholas Nassim Taleb dalam bukunya The Black Swan mengeksplisitkan kembali problem epistemologi yang selama ini sudah sering diperbincangkan oleh berbagai filsuf ilmu pengetahuan. Problem ini terkait kekeliruan yang menempatkan keterbatasan epistemologis kita
sebagai
batas
ontologi
dunia.
Dengan
menggunakan
istilah
“END”
Taleb
menggambarkan kegagalan kita dalam memahami informasi. Dalam diagnosa seorang dokter misalnya, END yang berarti evidence of no disease selalu dikacaukan dengan NED atau no evidence of disease. Seorang dokter dengan kelengkapan alat canggih yang digunakannya hanya dapat menggapai apa yang disebut dengan no evidence of disease. Namun, seringkali
9 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
mereka jatuh pada kekeliruan yang oleh Taleb disebut sebagai round-trip fallacy10 dengan salah mengartikannya sebagai evidence of no disease. Melalui bias konfirmasi NED ini ditransformasikan menjadi END dalam sebuah diagnosa yang disampaikan oleh seorang dokter kepada pasiennya. Sebagai contoh dalam kasus kanker. Dengan menggunakan alat-alat paling canggih saat ini seorang dokter dapat melacak keberadaan sel kanker. Ketika sel kanker tidak ditemukan melalui pemetaan itu, seorang dokter akan mengatakan bahwa seseorang sehat karena tidak ditemukan bukti adanya sel kanker dalam tubuh pasien. Ketiadaan bukti atas sel kanker ini dikacaukan dengan bukti tidak adanya sel kanker. Logika yang keliru ini berlaku pada berbagai klaim pengetahuan induktif yang memungkinkannya mengeliminasi berbagai kemungkinan-kemungkinan karena ketiadaan bukti atas keberadaannya. Bukan bukti atas ketidakberadaannya.
Empirisme yang Skeptis Empirisme11 seperti yang dimaksudkan oleh Hume dengan mempertimbangkan pengetahuan berupa matters of fact dan relation of idea tidak terelakkan menjadi pandangan yang paling mencukupi untuk menyediakan dasar bagi pengetahuan. Penekanannya pada pengalaman memberikan ruang untuk membangun sebuah sistem pengetahuan yang mungkin dapat diverifikasi atau difalsifikasi karena sifatnya yang dapat diamati dan direproduksi melalui observasi dan eksperimen. Taleb melihat ada dua jenis empirisme yang bekerja dalam sistem pengetahuan kita. Pertama, empirisme naif yang percaya bahwa akumulasi pengalaman atau induksi dapat mengantarkan kita pada kebenaran. Kedua, empirisme negatif yang menolak finalitas induksi dan menempatkan kebenaran sebagai garis horizon yang terus dikejar, namun tak pernah sampai. Empirisme naif digambarkan melalui ilustrasi tentang Kalkun. Dikisahkan seekor ayam kalkun dalam kurun waktu seribu hari diberi makan terus-menerus, hal ini memicu kepercayaan bahwa ia akan terus hidup dan diberi makan. Suatu hari menjelang Thanksgiving ayam kalkun ini dipotong. Tentu ayam kalkun yang selama seribu hari diberi makan teratur tidak menyangka bahwa di hari ke seribu, tangan yang biasa memberinya makan berubah menjadi penjagal. Kisah Kalkun ini mengajarkan kita bahwa akumulasi pengalaman tidak 10
Kekeliruan dalam memahami ketiadaan bukti atas sesuatu dengan bukti tidak adanya sesuatu itu. Lihat Taleb. 2007. The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable. hlm 310. 11 Pandangan bahwa semua ide (gagasan) merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami. Lihat Lorens Bagus. 2002. Kamus Filsafat. hlm 198. 10 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
dapat dijadikan sandaran. Pengalaman seribu hari Kalkun diberi makan tidak mendefinisikan hari ke seribu satu “Sometimes a lot of data can be meaningless; at other times one single piece of information can be very meaningful. It is true that a thousand days cannot prove you right, but one day can prove you to be wrong.”12 Kisah Kalkun ini menjadi simbol kerapuhan penalaran induksi yang digunakan dalam empirisme naif. Kegagalan empirisme naif tidak terletak pada pengalaman sebagai dasar dari pengetahuan. Akan tetapi, pada bagaimana kita mengabstraksikan pengalaman. Bagi Taleb, kebanyakan dari kita bersikap seperti Kalkun. Kita berusaha memproyeksikan masa depan melalui pengalaman di belakang. Jika pada Taleb problem ini dikaitkan langsung dengan tujuan praktis ilmu pengetahuan, yaitu untuk membuat prediksi. Pada Popper problem ini diformulasikan secara lebih teoritis. “Accordingly, people who say of a universal statement that we know its truth from experience usually mean that the truth of this universal statement can somehow be reduced to the truth of singular ones, and that this singular ones are known by experience to be true; which amounts to saying that the universal statement is based on inductive inference.”13 Bagi Popper, universal statement tidak dimungkinkan karena yang kita punya hanya data-data singular, seberapapun banyaknya. Dengan mengatakan bahwa kita mengetahui keseluruhan kemungkinan dari sesuatu berdasarkan pengalaman atau menyatakan sebuah universal statement yang didasarkan pada pengalaman, kita seolah mengatakan bahwa pengalaman hidup Kalkun dapat direduksi ke dalam pengalamannya di hari ke-10, atau ke100, atau ke-101. Ketidakmungkinan induksi dalam terminologi Taleb dapat dikatakan sebagai ketidaklengkapan informasi. Konsekuensinya kita akan selalu berada dalam kondisi ketidakpastian. Oleh karena itu, pengetahuan kita harus dibangun bukan dengan mengejar kepastian (yang tidak mungkin dicapai) tetapi dengan merangkul ketidakpastian itu melalui apa yang disebut dengan empirisme negatif. Empirisme negatif berbeda dengan empirisme naif meski keduanya menggunakan pengalaman sebagai dasar. Hal utama yang ditolak oleh empirisme negatif adalah finalitas dari penyimpulan induksi. Para pemikir yang mengadvokasi gagasan empirisme negatif menyadari keterbatasan epistemologis kita dan menjadikannya acuan untuk tidak terburu-buru
12 13
Taleb. 2007. op cit. hlm 57. Popper, Karl. 2002. The Logic of Scientific Discovery. New York: Routledge. hlm 4. 11 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
mengambil kesimpulan universal tentang apapun. Dengan keterbatasan kita yang dapat dihasilkan hanyalah simpulan negatif. Gagasan tentang empirisme negatif telah muncul pada karya Hume An Enquiry Concerning Human Understanding dan juga pada Peirce. Namun, gagasan ini baru menemukan bentuk proseduralnya pada Popper dalam metode falsifikasi yang diadvokasinya. Secara sederhana falsifikasi bekerja dengan cara berikut: 1. Ilmuwan menetapkan sebuah hipotesis (conjecture). 2. Ilmuwan bekerja untuk membuktikan bahwa hipotesisnya salah (refutation).14 Dengan mencari diskonfirmasi bukan konfirmasi, kita akan selalu terbuka dengan kemungkinan-kemungkinan
diluar
kerangka
teori
kita.
Kita
tidak
mengeliminasi
kemungkinan-kemungkinan itu, justru mencarinya dengan terus-menerus mencari pembuktian terbalik atas sebuah teori. Jika teori itu benar kita dapat terus memakainya (hingga terbukti salah) dan jika teori itu salah kita tidak akan terlalu terkejut dan kerugian yang kita terima akan lebih kecil. Taleb mengakui ini bukanlah pekerjaan mudah. Baik conjecture dan refutation merupakan hal yang kita dapat dari pengalaman. Dengan kata lain, kita berusaha menggagalkan sebuah teori yang didapat dari pengalaman dengan menggunakan pengalaman juga. “Of course, it is not easy to “falsify,” i.e., to state that something is wrong with full certainty. Imperfections in your testing method may yield a mistaken “no.” The doctor discovering cancer cells might have faulty equipment causing optical illusions; or he could be a bell-curve-using economist disguised as a doctor. An eyewitness to a crime might be drunk. But it remains the case that you know what is wrong with a lot more confidence than you know what is right. All pieces of information are not equal in importance.”15 Empirisme negatif bukannya tidak memperhitungkan fakta-fakta yang didapat melalui penyimpulan induksi, namun empirisme macam ini tidak melompat pada kesimpulan yang terburu-buru dari logika induktif dimana fakta-fakta yang teramati dijadikan dasar untuk menarik hukum universal. Bagaimanapun kita dapat lebih mudah menandai apa yang salah 14
Istilah conjecture dan refutation muncul dalam karya Popper yang berjudul The Logic of Scientific Discovery. Dalam karyanya ini Popper mengkritik filsuf ilmu pengetahuan , terutama kaum positivisme yang menurutnya mengacaukan persoalan logika dengan persoalan psikologis. Falsifikasi yang dia ajukan dalam karyanya sepenuhnya berbicara tentang persoalan logika dari ilmu pengetahuan. Jika Popper hanya berbicara soal ilmu pengetahuan, Nicholas Nassim Taleb membawa prinsip ini ke wilayah praktis untuk mengkaji baik ilmu pengetahuan (terutama ilmu ekonomi) dan pengetahuan sehari-hari. 15 Taleb. 2007. op.cit. hlm 57-58. 12 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
ketimbang menyatakan apa yang benar karena persoalan ketidaklengkapan informasi yang tidak bisa kita lampaui. Empirisme negatif dan falsifikasi sebagai bentuk proseduralnya seringkali dituduh tidak aplikatif. Popper sendiri dengan tegas menyatakan bahwa filsafat ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan persoalan logika terkait validitas ilmu pengetahuan. Bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh dan bagaimana ilmu pengetahuan itu diterapkan bukanlah persoalan filsafat ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita tidak hidup dalam wilayah ilmu pengetahuan yang rigoris. Terlebih lagi hampir semua jenis pengetahuan yang kita tahu saat ini berbentuk data statistik. Bagaimana cara kita memfalsifikasi data statistik? Taleb secara tidak langsung menjawab pertanyaan ini dengan empirisme skeptis (skeptical empiricism) yang dipromosikannya. Dengan mengawinkan antara empirisme dengan skeptisisme parsial16. Taleb menggunakan prinsip falsifikasi bukan untuk secara tegas memfalsifikasi sebuah pengetahuan atau teori yang mana saat ini kebanyakan berbentuk data statistik. Dia menggunakannya untuk menandai kesalahan. Proses ini menjadi penting ketika kita dihadapkan pada kecenderungan para “statistician”17 yang selalu mencari data-data yang mengkonfirmasi sebuah pengetahuan tentang apa pun. Bagaimana proses penandaan ini bekerja? Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali anomali.
Mencermati Anomali Persoalan logika END merupakan konklusi atau manifestasi dari kekeliruan naratif yang bertabrakan dengan keadaan dunia yang acak. Jika ditelusuri persoalan ini tidak hanya muncul dari keterbatasan epistemologis kita atau pun keterbatasan teknologi yang merupakan perpanjangan indra kita. Persoalan END juga dapat muncul dari cara kita menyikapi faktafakta yang tidak terkategori atau fakta anomali. Anomali yang dalam pengertian paling umum dipahami sebagai kejadian langka atau sangat langka seringkali dibiaskan demi memenuhi kebiasaan naratif kita. Terkait dengan anomali, Taleb memaparkan adanya dua wilayah yang mungkin bagi pengetahuan kita tentang dunia. Pertama, wilayah Mediocristan dimana anomali biasanya 16
Disebut parsial untuk membedakannya dengan skeptisisme Phyrronian yang meragukan segalanya. Tidak mengakui prinsip apa pun. 17 Dalam konteks ini statistician bukan hanya merujuk pada praktisi ilmu statistik, akan tetapi juga meliputi setiap subjek pengetahuan. 13 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
tidak dapat terbaca karena kecenderungannya untuk menggunakan model distribusi normal atau Gaussian dalam membaca data. Kedua, wilayah Extremistan dimana anomali akan selalu tampak mencolok. Khusus untuk wilayah ini kita tidak dapat menggunakan model Gaussian. Dalam model Gaussian, semakin besar data atau semakin banyak jumlah sampel yang digunakan akan mengurangi kepekaan kita terhadap anomali. Wilayah Mediocristan dan Extremistan bukanlah dua wilayah nyata yang terpisah secara ontologis. Keduanya merupakan kategori yang digunakan Taleb untuk keperluan metodologis dalam membaca realitas. Baginya, wilayah Mediocristan diisi oleh hal-hal yang umumnya determinan, yang tidak berubah dalam jangka waktu yang sangat panjang dan oleh karenanya tidak ada satu data tunggal yang akan mempengaruhi keseluruhan data secara signifikan. Hal-hal yang dia maksudkan di dalam wilayah Mediocristan biasanya yang berhubungan dengan hal-hal fisik, seperti misalnya tinggi badan, berat badan, penurunan permukaan tanah, dan lain sebagainya. Kacamata Gaussian masih dapat digunakan untuk membaca data-data yang dihasilkan dalam wilayah ini. Sementara wilayah Extremistan diisi oleh hal-hal yang biasanya berhubungan dengan kondisi sosial yang sangat dinamis, seperti misalnya kekayaan, keadaan ekonomi suatu Negara, harga saham, dan lain sebagainya. Dalam wilayah Extremistan satu data tunggal dapat mempengaruhi keseluruhan data. Dalam wilayah ini tidak dikenal standar deviasi. Anomali akan mendominasi keseluruhan data. Kacamata Gaussian tidak dapat digunakan untuk membaca data-data ini. Pengaplikasian Gaussian pada wilayah Extremistan akan membawa kita pada kekeliruan yang mengandung bahaya laten, yaitu kerentanan kita terhadap negative Black Swan. Model Gaussian dikembangkan dari sistem pengukuran kekeliruan yang pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Gauss untuk mengukur estimasi kekeliruan dalam upayanya menemukan posisi planet dalam semesta. Model ini pada awalnya digunakan dalam ilmu astronomi yang objek materialnya adalah benda fisik, yaitu planet-planet yang umumnya tidak mengalami perubahan ataupun pergerakan yang fluktuatif (kecuali pada saat pembentukannya, yaitu pada peristiwa Big Bang jika peristiwa itu benar terjadi). Dari sini kita dapat melihat kompatibilitas antara model Gaussian dengan wilayah pengetahuan yang oleh Taleb disebut sebagai Mediocristan. Dalam wilayah Mediocristan bukannya tidak ada anomali. Namun, kemunculannya yang sangat jarang dan selisihnya yang kecil akan segera tenggelam dalam garis distribusi normal seiring bertambahnya sampel dalam sebuah set data. Misalnya kita ingin mengukur tinggi badan orang Indonesia. Dari sepuluh sampel kita mendapatkan lima orang dengan tinggi badan 168cm, empat orang dengan tinggi badan 14 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
170cm, dan satu orang dengan tinggi badan 182cm. Selisih 12cm untuk ukuran tinggi badan sudah cukup besar untuk mengatakan bahwa kita menemukan satu fakta anomali. Dengan satu set data ini kita akan mendapatkan kurva yang mempunyai puncak yang cukup tinggi karena tingginya selisih antara satu data dengan sisa data lainnya. Namun, begitu sampel ditambah, fakta anomali akan tenggelam dalam agregat dan kurva yang kita dapatkan akan semakin landai, semakin mendekati garis distribusi normal. Sebagai ilustrasi kita dapat melihat gambar berikut:
Gambar 4.1 Model Gaussian yang menunjukkan bahwa kurva melandai seiring bertambahnya persebaran data. 18
Misalnya garis lengkung pertama yang memperlihatkan adanya puncak yang tinggi merepresentasikan set data tinggi badan orang Indonesia yang terdiri dari sepuluh sampel dengan satu fakta anomali, yaitu satu orang dengan tinggi badan 182cm. Garis lengkung kedua menunjukkan adanya penurunan tinggi puncak kurva dikarenakan pertambahan jumlah sampel yang tidak diiringi dengan pertambahan fakta anomali, misalnya sampel bertambah menjadi seratus. Garis lengkung ketiga menunjukkan bahwa garis lengkung kurva semakin mendekati garis normal seiring bertambahnya jumlah sampel yang sekali lagi tidak diiringi dengan pertambahan fakta anomali. Dalam satu set data yang besar, fakta anomali akan terus ditenggelamkan oleh agregat dari keseluruhan data yang diobservasi. Hal ini dapat ditoleransi jika set data yang kita bangun terkait dengan hal-hal yang berada pada wilayah Mediocristan, artinya terjadi pengendapan resiko terhadap kemunculan Black Swan namun resiko ini sangat kecil. “As the reader can see, the main point of the Gaussian bell curve is, as I have been saying, that most observations hover around the mediocre, the mean, while the odds of a deviation decline faster and faster (exponentially) as you move away from the mean. If you need to retain one single piece of information, just remember this dramatic speed of decrease in the odds as you 18
Diambil dari buku The Black Swan: The Impact of The Highly Improbable. hlm 238. 15 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
move away from the average. Outliers are increasingly unlikely. You can safely ignore them.”19 Bagaimana jika model ini digunakan untuk membaca data dalam wilayah Extremistan? Misalnya untuk mengukur kekayaan atau pendapatan per-kapita20 suatu Negara. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa pada set data yang berasal dari Mediocristan, anomali akan ditenggelamkan oleh agregat. Hal ini menimbulkan ilusi distribusi normal, namun tidak terlalu berbahaya mengingat selisihnya umumnya kecil atau sangat kecil. Sementara pada set data yang berasal dari Extremistan, anomali akan membanjiri agregat. Hal ini juga menimbulkan ilusi distribusi normal, namun kali ini sangat berbahaya mengingat selisihnya yang sangat besar atau luar biasa besar. Bagaimanapun, jika kita menggunakan kacamata Gaussian selisih ini tidak lagi tampak dan oleh karenanya menyimpan bahaya laten yang sangat besar.
Membaca Ketidakteraturan Asimetri pengetahuan yang kita miliki, yaitu antara sistem berpikir kita yang Platonis dengan keadaan dunia yang acak menjadikan prediksi tidak dimungkinkan. Kerentanan kita terhadap Black Swan semakin meningkat seiring terus bergesernya kehidupan kita ke wilayah Extremistan. Namun, Taleb menyatakan ada beberapa Black Swan yang dapat didomestifikasi dengan bantuan logika fraktal. Dia menyebutnya sebagai Mandelbrotian gray swan atau Mandelbrotian randomness merujuk pada orang pertama yang memperkenalkan logika fraktal, yaitu Benoit Mandelbrot. “Thus Mandelbrot‟s fractals allows us to account for a few Black Swan, but not all. I said earlier that some Black Swan arise because we ignore sources of randomness. Others arise when we overestimate the fractal exponent. A gray swan comcerns modelable extreme events, a black swan is about unknown unknowns.”21 Gray swan merujuk pada peristiwa ekstrem yang dapat ditempatkan dalam model. Fraktal hanya dapat mengubah Black Swan menjadi Gray Swan atau dengan kata lain mengubah ketidakpastian menjadi resiko, bukan kepastian. Caranya adalah dengan membaca data dari wilayah Extremistan dengan menggunakan logika fraktal. Fraktalitas pertamakali 19
Taleb. 2007. op.cit. hlm 250. Pendapatan per-kapita merupakan model distribusi kekayaan yang mengasumsikan bahwa agregat kekayaan suatu Negara dibagi jumlah penduduknya dapat merepresentasikan kekayaan rata-rata per warga negaranya. 21 Ibid. hlm 272. 20
16 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
diperkenalkan oleh Benoit Mandelbrot dalam bukunya The Fractal Geometry of Nature (1977). Fraktalitas digunakan untuk membaca alam yang menurutnya tidaklah teratur sebagaimana yang dipercayai oleh para pemuja Euclidian geometry. “I coined fractal from the Latin adjective fractus. The corresponding Latin verb frangere means “to break:” to create irregular fragments. It is therefore sensible-and how appropriate for our needs!-that, in addition to “fragmented” (as in fraction or refraction), fractus should also mean “irregular,” both meanings being preserved in fragment.”22 Fraktal diambil dari kata fractus yang berarti fragmen yang tidak teratur. Pendekatan fraktal lebih tepat digunakan untuk membaca dunia yang memang tidak teratur. Tidak seperti Gaussian yang menggunakan hukum large numbers dimana penambahan data dalam kacamata Gaussian akan memperhalus penampakan suatu set data, atau membiaskan ketidakteraturannya. Fraktalitas menggunakan prinsip self-affinity, dimana ketidakteraturan itu diperlihatkan terus-menerus. “The key here is that the fractal has numerical or statistical measures that are (somewhat) preserved across scales-the ratio is the same, unlike the Gaussian.”23 Fraktalitas membuka jalan untuk membaca data dalam wilayah Extremistan, wilayah yang acak, wilayah yang dipenuhi sampel yang disproporsional satu dengan yang lain, wilayah yang rentan untuk melahirkan Black Swan terutama saat kita salah memahaminya sebagai wilayah Mediocristan dan berusaha membacanya dengan kacamata Gaussian. Peristiwa ekstrem yang dapat dimitigasi dari potensi Black Swan menjadi gray swan misalnya adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi mengandung variabel-variabel yang berasal dari wilayah Extremistan, yaitu kekayaan yang diatur dalam sebuah sistem yang semakin hari semakin terkait satu sama lain. Unifikasi sistem finansial memberikan ilusi kepastian atas wilayah ini dan meningkatkan kerentanan kita terhadap satu kejatuhan besar.
Dengan
menggunakan logika fraktal kita dapat memprediksi kemungkinan kejadian ini. Kita hanya bisa memprediksi kemungkinan kejadiannya, bukan kejadiannya secara persis. Bahwa kejadian itu mungkin terjadi pada titik tertentu dalam sejarah kehidupan kita dapat dilihat dari persebaran kekayaan yang terus menunjukkan disproporsionalitas. Sistem ekonomi yang semakin seragam dengan sejumlah bank-bank besar yang menguasai sebagian yang sangat besar dari seluruh kekayaan dunia membuat kita rentan akan kejatuhan sistemik jika salah
22
Mandelbrot, Benoit. 1983. The Fractal Geometry of Nature. New York: W. H. Freeman and Company. hlm 4. 23 Taleb. 2007. Op cit. hlm 260. 17 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
satu bank itu jatuh. Seberapa besar kerugian yang akan kita alami tidak dapat diprediksi mengingat begitu banyak titik yang terhubung dalam sistem finansial raksasa yang oleh Taleb disebut sebagai globalisme naif. Menurut Taleb, selain untuk membaca data dari wilayah Extremistan, logika fraktal juga seharusnya bisa diterapkan dalam membangun sistem ekonomi kita. Fraktal yang berasal dari kata fractus yang berarti fragmen-fragmen yang tidak beraturan lebih mungkin digunakan untuk mengatur sistem ekonomi kita demi menghindari satu kejatuhan besar dalam satu waktu. Dengan mempertahankan sistem yang terfragmentasi dengan bank-bank kecil yang menguasai sebagian porsi kekayaan dunia dengan sistem yang tidak seragam, kita akan terhindar dari kejatuhan besar yang mempunyai dampak destruktif sangat tinggi. Bagi Taleb, lebih baik jatuh jutaan kali dari ketinggian rendah ketimbang jatuh satu kali dari ketinggian yang sangat tinggi.
Kesimpulan Ilmu pengetahuan tidak hanya diisi dengan teori-teori berupa set eksplanasi yang bekerja pada level bahasa deskriptif. Akan tetapi, ilmu pengetahuan juga dikarakterisasi oleh standar operasi berupa prinsip atau postulat yang bekerja pada level meta-bahasa dan digunakan secara tidak sadar oleh para ilmuwan. Dengan penelusuran konteks sejarah dan metodis dari perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa keyakinan metodologi yang bekerja adalah konfirmasionisme. Kecenderungan konfirmasi semakin nyata ketika ilmu pengetahuan telah mempunyai sebuah standar metode, yaitu induksi yang dikuatkan dengan standar justifikasi berupa prinsip verifiability. Pengetahuan berupa teori-teori yang dihasilkan melalui prosedur ini kemudian terus-menerus dicarikan bukti-bukti pendukung untuk mengkonfirmasi terus-menerus teori tersebut hingga berujung pada pengembangan model-model ilmu pengetahuan. Persoalan yang muncul kemudian adalah model-model ini seringkali disalahartikan sebagai sesuatu yang berkorespondensi langsung dengan keadaan dunia. Hal ini muncul dari asimetri antara sistem berpikir manusia dengan keadaan dunia yang acak. Sistem berpikir manusia masih mewarisi cara berpikir Platonis yang selalu mencari bentuk. Sementara dunia terus-menerus memunculkan kejadiankejadian acak yang perlu dicermati. Konfirmasionisme sebagai sebuah keyakinan metodik bekerja tanpa disadari. Kesuksesan atau kegagalannya dapat kita lihat dari perkembangan pengetahuan atau ilmu 18 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
pengetahuan dibawah set keyakinan ini. Melalui pemaparan di artas terutama kaitannya dengan anomali, kita dapat melihat bahwa konfirmasionisme gagal dalam memberikan fondasi bagi pengetahuan kita. Melalui distingsi metodologis antara wilayah Mediocristan dengan Extremistan dan dibantu dengan logika fraktal yang mengakomodasi anomali dengan lebih baik dibandingkan dengan kacamata Gaussian yang umumnya dipakai oleh para statistician, kita dapat menempatkan skeptisisme filosofis kita di posisi yang tepat. Artinya, kita dapat menandai kekeliruan konfirmasionisme untuk kemudian melahirkan kewaspadaan epistemik sekaligus memberikan ruang untuk putusan-putusan praktis.
Catatan Kritis Epistemologi nyatanya tidak melulu soal kriteria benar atau salah. Dalam tulisan ini misalnya dibahas sebuah problem yang mengandaikan kriteria lain, yaitu sukses atau tidaknya sebuah keyakinan metodik dalam mendasari pengoperasian ilmu pengetahuan dan pengetahuan sehari-hari kita. Dalam uraian yang berujung pada pernyataan tesis dari penulis, terlihat sebuah problem yang bernama “konfirmasionisme”. Dalam penelitian ini konfirmasionisme sebagai keyakinan metodik dianggap gagal dalam memberikan fondasi bagi pengetahuan dan ilmu pengetahuan kita. Akan tetapi, apakah serta-merta set keyakinan itu hilang? Tentu saja tidak. Sebagaimana pengoperasiannya yang tidak disadari, kegagalan metodologi ini juga tidak serta-merta dirasakan oleh manusia. Dalam kegiatan sehari-hari dan dalam penelitian ilmiah, induksi tetap menjadi jalan utama. Konfirmasionisme tetap bekerja, konsekuensi ekstremnya, yaitu kemungkinan kemunculan Black Swan begitu jauh dari keseharian. Taleb dengan empirisme skeptisnya menawarkan kebajikan dalam menyikapi problem ini. Distingsi metodologis yang dibuatnya antara wilayah Mediocristan dan wilayah Extremistan menghadirkan kebaruan dalam pembahasan epistemologi, terutama mengenai ketidakpastian. Namun, ini tidak cukup untuk memberikan solusi atas problem yang diuraikan dalam penelitian ini atau dengan meminjam terminologi Kuhn kita dapat mengatakan proposal Taleb tidak cukup untuk menghasilkan “revolusi”. Penelitian ini sangat terbatas. Fokus utamanya hanya untuk menandai kekeliruan dalam operasi pengetahuan kita. Penelitian ini hanya mencoba mengeksplisitkan problem yang tanpa disadari mengenai kita semua sebagai subjek pengetahuan.
19 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014
Penulis menyadari bahwa pembatasan masalah dalam penelitian ini juga merupakan upaya reduksionis yang rentan dengan bias konfirmasi. Upaya penelusuran kita tentang sesuatu selalu ditumpangi oleh narasi-narasi yang telah kita ketahui sebelumnya (foreknowledge) dan otak kita yang merupakan mesin pencari bentuk memerlukan latihan keras untuk melampaui lingkaran kekeliruan ini. Meskipun jauh dari solusi penelitian ini menjadi penting sebagai langkah awal untuk memahami problem esensial manusia terkait pengetahuan dimana perkembangan pengetahuan kita tanpa disadari telah dihambat oleh bias konfirmasi.
Daftar Referensi Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Belrad, Bryan. 2007. “Cosmology and Its Fatal Law” http://www.sciences360.com/index.php/cosmology-and-its-fatal-flaw-2-23427/ diakses pada tanggal 29 juni 2014, pukul 14:47 WIB. Gower, Barry. 1997. Scientific Method: An Historical and Philosophical Introduction. London: Routledge. Huemer, Michael. 2002. Epistemology Contemporary Readings. New York: Routledge. Kuhn, Thomas. 1996. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press. Mandelbrot, Benoit. 1983. The Fractal Geometry of Nature. New York: W. H. Freeman and Company. Mantzavinos. C. 2009. A note on Methodological Individualism, in Raymond Boudon: A Life in Sociology, (eds.) Cherkaoui, Mohamed and Peter Hamilton. Oxford: Bardwell Press. Mark, John. 1990. Science and the Making of Modern World. Oxford: Heinemann Educational Books Ltd. Plato Stanford Encyclopedia of Philosophy “Confirmation” http://plato.stanford.edu/entries/confirmation/ diakses pada tanggal 7 Mei 2014, pukul 20.26 WIB. Popper, Karl. 2002. The Logic of Scientific Discovery. New York: Routledge. Taleb, Nassim Nicholas. 2007. The Black Swan: The Impact of The Highly Improbable. New York: Random House. 20 Konfirmasionisme : perspektif..., Marlina Sopiana, FIB UI, 2014