Ekspansi Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi Vol. 4, No. 1, Mei 2012, 127 - 138
KOMPARASI TINGKAT PEMBIAYAAN MUḌÃRABAH PADA BPRS DAN BUS-UUS DI INDONESIA
Muhammad Muflih
Program Studi D-4 Keuangan Syariah, Politeknik Negeri Bandung
Abstract
This study proves that muḍārabah financing level in BPRS and BUS-UUS is not too fantastic. However, muḍārabah financing in BUS-UUS is better than BPRS. Within six years (2005-2010) BPRS only able to keep muḍārabah financing in the average level 6,2%, while BUS-UUS able to reach level 19,1%. This weakness caused by lack support of banking authorities, lack of human resources experience, and others.
Keywords: BPRS, BUS, UUS, muḍārabah
A. Pendahuluan Pembiayaan muḍārabah merupakan salah satu bentuk sistem kerjasama bagi hasil yang diterapkan di perbankan syariah di mana modal seratus persen berasal dari perbankan tersebut. Dengan diterapkannya pembiayaan bagi hasil publik mendapatkan fasilitas pemanfaatan modal sebagai instrumen penggerak roda ekonomi dan produksi di berbagai daerah. Kompatibilitas antara perbankan syariah selaku penggerak investasi bagi hasil dengan peningkatan investasi di berbagai sektor industri rupanya mengalami pasang surut. Setidaknya, hal ini dapat dilihat di Bangladesh. Pasang surut investasi muḍārabah di perbankan syariah Bangladesh tersebut diungkapkan oleh Muhammad Nurul Alam dalam penelitian berjudul Islamic Banking in Bangladesh: A Case Study of IBBL (2007). Dalam data yang diungkapkan oleh Muhammad Nurul Alam, kemajuan investasi bagi hasil terjadi di era delapan puluhan dengan peningkatan sekitar dari 13% ke 24%, umumnya dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan sektor komersil. Memasuki tahun sembilan puluhan investasi bagi hasil tersebut menurun drastis dan sempat mengalami penurunan dari 28% ke 9%. Pasang surut mengenai pembiayaan investasi bagi hasil muḍārabah tersebut menjadi pertanyaan besar bagi perbankan syariah di berbagai negara muslim lain, tak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki catatan yang cukup baik dalam perkembangan dana bank syariah. Khususnya dalam hal deposito muḍārabah, di tahun 2010 telah mampu mencapai 58% dari total penghimpunan dana pihak ketiga. Angka ini melampaui dana giro
127
Ekspansi
Perbankan Syariah yang hanya 11,9% dan tabungan yang hanya 30,1% (Bank Indonesia, 2010). Kemajuan dalam hal deposito muḍārabah ini menunjukkan bahwa minat publik
berinvestasi bagi hasil muḍārabah di perbankan syariah Indonesia cukup besar. Apakah ini pertanda kemajuan pula dalam hal pembiayaan investasi bagi hasil muḍārabah menjadi pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini. Jenis perbankan syariah di Indonesia bukan hanya Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS) saja, namun terdapat pula di dalamnya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di mana BUS-UUS lebih banyak beroperasi di perkotaan sedangkan BPRS lebih banyak beroperasi di daerah-daerah dan aksesnya terhadap pusat-pusat produksi dan ekonomi daerah sangat dekat. Dalam kaitan inilah penilaian terhadap pembiayaan investasi muḍārabah di Indonesia tidak
cukup dinilai hanya pada BUS-UUS, namun perlu pula diuji perbandingannya dengan BPRS. Untuk mendalami permasalahan ini, mari kita lihat perkembangan jumlah BUS, UUS, dan BPRS di Indonesai sebagai berikut. 160
150 138 131
140
BPRS
114
120
105
100 78
78
81
83
84
86
92
80
60 40 20 0
15
9
1
1 2
3 2
3 2
6
8
2
2
3
19 3
20
3
26
3
27
25
5
UUS 11 6 BUS
23
Gambar 1. Perkembangan Jumlah BPRS, BUS, dan UUS di Indonesia
Berdasarkan alur gambar di atas, tak dapat dipungkiri bahwa jumlah BPRS mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari tahun 1992 yang hanya 9 bank di tahun 2010 menjadi 150 bank. Peningkatan jumlah BPRS dari tahun 1992 hingga tahun 2010 ini mencapai 94%. Sedangkan jumlah BUS di tahun 1992 adalah 1 bank kemudian di tahun 2010 menjadi 11 bank. Peningkatan ini mencapai 90,9%. 128
M. Muflih Adapun jumlah UUS di tahun 1993 adalah 1 bank kemudian di tahun 2010 menjadi 23 bank. Peningkatan ini mencapai 95,6%. Menurut data perbandingan ini, UUS
mengalami perkembangan kelembagaan yang tertinggi, kemudian diikuti oleh BUS dan BPRS. Dari analisa ini dapat dikatakan bahwa BPRS memiliki potensi yang tidak kalah besar bila dibandingkan dengan BUS-UUS. Keberadaannya telah tersebar di daerah-daerah, kecamatan-kecamatan, dan wilayah-wilayah kecil di
Indonesia. Aksesnya terhadap publik di pedesaan lebih dekat daripada yang dimiliki oleh BUS-UUS. Dari sini dapat dikatakan bahwa BPRS memiliki peluang yang lebih besar dalam membangun hubungan kerjasama investasi bagi hasil dengan publik melalui jalur pembiayaan muḍārabah daripada BUS-UUS, mengingat mayoritas angkatan kerja di Indonesia berada di sektor pertanian dan usaha kecil menengah.
Sektor-sektor ini hidup di sekitar BPRS dan jarak akses BPRS dengan pengelola sektor tersebut lebih dekat daripada BUS-UUS. Dalam hal ini, patut dipertanyakan bagaimana tingkat pembiayaan muḍārabah BPRS bila dibandingkan dengan BUS-UUS ditinjau dari potensinya yang begitu besar dalam membangun ekonomi daerah. Untuk itulah maka penelitian ini mengangkat judul “Komparasi Tingkat Pembiayaan Muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS di Indonesia”.
B. Permasalahan Ada dua pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu (1) apakah peningkatan jumlah BPRS dan BUS-UUS berkorelasi dengan peningkatan pembiayaan muḍārabah? (2) apakah selama terjadi kemudahan akses publik terhadap BPRS dapat membuat pembiayaan muḍārabah lebih tinggi daripada BUSUUS? Temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai parameter kebijakan investasi bagi hasil bagi daerah-daerah di Indonesia.
C. Kerangka Teori Masudul Alam Choudhury dalam buku berjudul Contribution to Islamic Economic Theories (hlm. 74-77, 1986) mengemukakan bahwa alur investasi perbankan syariah didasari pada keseimbangan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) modal kerjasama bagi hasil muḍārabah. Dalam hal ini Choudhury menuliskan Sm = Dm, di mana Sm adalah suplai uang dari pihak nasabah investor dan Dm adalah permintaan uang dari pihak nasabah pengguna dana. Jika terjadi ketidakseimbangan di mana Sm > Dm maka boleh jadi ada desakan yang demikian besar dari pihak nasabah investor dan perbankan syariah terhadap nasabah 129
Ekspansi
Perbankan Syariah pengguna dana dalam pengerjaan proyek usaha agar menjadi lebih besar. Modal yang demikian besar ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak nasabah
pengelola dana karena proyek yang akan dijalankannya kelak di luar batas keinginannya. Motif aliran dana yang sangat besar ini muncul karena adanya ekspektasi terhadap keuntungan yang sangat besar pula. Penjelasan Choudhury tersebut masih berupa dugaan dan belum
menggambarkan kondisi investasi muḍārabah yang sesungguhnya. Dalam hal ini M. Fahim Khan dalam buku yang berjudul Essays in Islamic Economics (hlm. 78, 1995) menambahkan bahwa permasalahan risiko sering menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya tawaran investasi publik dengan bank syariah. Hal ini mengacu kepada prinsip al-ghunm bi al-ghurm dan al-kharāj bi al -ḍamān, yang memiliki arti
no riks no income. Bank akan menerima tawaran kerjasama investasi bagi hasil tersebut jika nasabah muḍārib memiliki kemampuan yang meyakinkan dalam menghindari atau mengendalikan keberadaan risiko tersebut. Kelompok nasabah investor yang memiliki andil besar dalam permodalan investasi bagi hasil muḍārabah tersebut juga akan terus mempercayakan pengelolaan modalnya pada bank syariah manakala prospek investasi tersebut semakin meningkat. Dengan demikian berdasarkan pendapat Fahim Khan tersebut, peningkatan prospek investasi muḍārabah akan mempengaruhi peningkatan suplai modal
terhadap
nasabah muḍārib. Alur hubungan antara konsep prospek investasi muḍārabah dengan konsep suplai dana atau modal muḍārabah sebagaimana yang dipaparkan di atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Prospek investasi tersebut dipengaruhi oleh aspek kemampuan pengusaha atau calon muḍārib dalam membangun daya tawar investasi. Hubungan kedua konsep ini dijelaskan oleh Amr Mohamed El Tiby dalam buku berjudul Islamic Banking: How to Manage Risk and Improve Profitability (hlm. 54-56, 2011). Dalam hal ini El Tiby menjelaskan, terjadinya suatu kerjasama antara rabb al-māl (pemilik dana) dengan muḍārib sangat ditentukan oleh gambaran dan perhitungan yang disepakati kedua belah pihak yang meliputi kesepakatan tentang proyeksi keuntungan, kesepakatan tentang pembagian hasil (profit sharing), kesepakatan tentang biaya operasional dan produksi, kesepakatan mengenai strategi daya saing investasi, dan sebagainya. Kesepakatan seperti ini tidak mungkin terjadi bilamana pihak muḍārib tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam menjalankan investasi tersebut. Oleh karena itulah bila hal ini dikaitkan dengan konteks perbankan syariah di Indonesia, maka permintaan yang dilakukan
130
M. Muflih oleh muḍārib terhadap perbankan syariah merupakan cermin kesiapan muḍārib dalam membentuk daya tawar tersebut.
Catatan para ahli tentang potensi bisnis pengusaha kecil di Indonesia sebenarnya sangat meyakinkan. Bungaran Saragih, dalam pidato ilmiah yang berjudul “Pembangunan Sistem Agribisnis di Indonesia” di IPB tanggal 19 April 2001 misalnya mengungkapkan bahwa banyak sekali jenis industri pertanian yang bisa
dikembangkan di Indonesia. Dia memisalkan, rumput laut yang sangat melimpah di Indonesia dapat dikembangkan untuk produksi kosmetik, makanan dan minuman bervitamin, dan lain-lain. Pengusaha kecil rumput laut itu dapat menjadi penyuplai bagi manufaktur kosmetik dan makanan minuman bergizi tersebut. Ia memisalkan pula, permintaan industri besar terhadap karet juga sangat besar dari tahun ke
tahun. Indonesia bisa menjadi pusat produksi karet dan bisa pula menjadi pusat industri berbahan dasar karet. Namun demikian, sokongan pendanaan untuk industri kecil ini masih sangat kecil. Bukan berarti bahwa perhatian yang begitu kecil yang terjadi selama ini mengindikasikan ketidakberdayaan para pengusaha kecil. Muhammad Yunus mengatakan, daya tawar bisnis pengusaha kecil itu lahir dari suatu lingkungan yang dapat menyerap potensi-potensi mereka. Dalam kaitan ini, dana muḍārabah perbankan syariah dapat memfungsikan terbangunnya lingkungan tersebut. Sementara itu, faktor risiko turut mempengaruhi terbangunnya suatu tingkat daya tawar investasi. Ada dua bentuk risiko yang perlu diperhitungkan calon muḍārib agar dapat mewujudkan daya tawar investasi, yaitu commercial risk dan operational risk (El Tiby, hlm. 55-56, 2011). Commercial risk ada karena dua hal, pertama ialah adanya kesenjangan antara waktu perolehan hasil dengan masa waktu kerja di mana perolehan hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kedua, risiko tersebut terjadi ketika performa pengusaha selama berlangsungnya
bisnis
tersebut
sangat
buruk
(underperforms).
Hal
ini
mempengaruhi kinerja investasi muḍārabah tersebut. Adapun operational risk terjadi karena masalah moral hazard yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara praktik pemenuhan biaya oleh muḍārib dengan harapan rabb al-māl dan tingginya tingkat kompetisi yang terjadi pada bisnis konvensional dan dapat berdampak pada lemahnya daya tahan bisnis calon muḍārib. Jika muḍārib mampu melakukan pengendalian risiko dengan cara yang sangat baik, perbankan syariah akan terus mendapatkan kepercayaan dari publik investor dalam hal pengelolaan dana investasi bagi hasil muḍārabah (Choudhury, hlm. 79-80, 1986). Hubungan antar konsep di atas menghasilkan alur berpikir sebagai berikut. 131
Ekspansi
Perbankan Syariah
Persepsi tentang Kemudahan Akses Modal di BPRS
Permintaan Modal Masyarakat Pedesaan
Kemampuan mengendalikan Risiko
Kemampuan Pengusaha Membangun daya tawar investasi
Peningkatan Prospek Investasi
Suplai Modal Muḍārabah
Persepsi tentang Kemudahan Akses Modal di BUS-UUS
Permintaan Modal Masyarakat Perkotaan
Gambar 2. Permintaan dan Suplai Modal Muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS
Alur gambar di atas menggambarkan hubungan antara permintaan dan suplai modal muḍārabah pada perbankan syariah, yang dalam hal ini adalah BPRS dan BUS-UUS. Alur gambar di atas ditambahkan dengan persepsi tentang kemudahan akses permodalan muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS. Perbedaan dasar antara keduanya adalah jenis dan tipikal kelompok masyarakat yang berada di sekitar bank tersebut, di mana BPRS berada di lingkungan masyarakat daerah dan pedesaan sedangkan
BUS-UUS
berada
di
lingkungan
masyarakat
perkotaan.
Bila
dibandingkan dari segi jumlah penduduk serta angkatan kerja masyarakat Indonesia yang didominasi oleh masyarakat daerah dan pedesaan, maka peran BPRS dalam melayani kerjasama bagi hasil akan lebih besar. Hal ini terjadi karena daerah dan pedesaan merupakan tumpuan hidupnya roda perekonomian dan pemenuhan hajat hidup dasar masyarakat Indonesia. Oleh sebab itulah maka persepsi masyarakat tentang kemudahan akses modal di BPRS menjadi alasan timbulnya permintaan akan modal muḍārabah. Hal ini juga terjadi pada masyarakat perkotaan yang melakukan permintaan modal muḍārabah pada BUS-UUS. Hubungan konsepkonsep ini melengkapi uraian gambar konseptual di atas.
132
M. Muflih D. Metodologi Analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan dua
pertanyaan, yaitu (1) apakah peningkatan jumlah BPRS dan BUS-UUS berkorelasi dengan peningkatan pembiayaan muḍārabah? (2) apakah selama terjadi kemudahan akses publik terhadap BPRS dapat membuat pembiayaan muḍārabah lebih tinggi daripada BUS-UUS? Pertanyaan pertama menguji hubungan dua
variabel, yakni perbankan syariah dan tingkat pembiayaan muḍārabah. Data pembiayaan tersebut bersumber dari persentase pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah yakni BPRS dan BUS-UUS terhadap nasabah muḍārib dari tahun 2005-2010. Pengujian hubungan kedua variabel tersebut dilakukan melalui analisis korelasi yang rumusannya adalah sebagai berikut.
𝑟𝑥𝑦 =
𝑁 {𝑁
𝑋 2−
𝑋𝑌 −( 𝑋 )( 𝑌) 𝑋 )2 {𝑁
𝑌 2 −( 𝑌)2 }
Oleh karena adanya perbedaan tipikal dan kategori antara BPRS dan BUSUUS, maka analisis korelasi dilakukan secara terpisah, di mana hasil dari masingmasing uji korelasi tersebut dibandingkan satu sama lain. Dengan kata lain, hal yang akan dilihat dari pengujian ini adalah mana di antara kedua jenis perbankan syariah tersebut yang memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dalam hal hubungan antara jumlah kelembagaan perbankan dengan tingkat pembiayaan muḍārabah, apakah BPRS ataukah BUS-UUS. Adapun pertanyaan yang kedua merupakan perbandingan dua sampel yakni tingkat pembiayaan muḍārabah pada BPRS dan tingkat pembiayaan muḍārabah pada BUS-UUS. Penelitian ini akan menguji apakah terdapat perbedaan tingkat penyaluran pembiayaan muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS selama terjadi kemudahan akses publik terhadap kedua perbankan tersebut. Alat uji yang digunakan adalah t-test atau t-student. Untuk keperluan pengujian ini digunakan data pembiayaan muḍārabah di BPRS dan BUS-UUS selama enam tahun, yakni tahun 2005-2010. Selama enam tahun tersebut BPRS dan BUS-UUS mengalami peningkatan jumlah kelembagaan yang signifikan. Tingkat dana pihak ketiga (DPK) selama tahun-tahun tersebut juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Terkesan terdapat kesamaan karakter dalam kedua bentuk pengujian di atas. Namun dalam hal ini dapat diungkapkan bahwa pada prinsipnya kedua bentuk pengujian tersebut memiliki perbedaan karakter yakni uji korelasi melakukan penekanan terhadap hasil hubungan antara dua kelompok data yaitu peningkatan jumlah kelembagaan dengan tingkat pembiayaan muḍārabah, sedangkan uji t 133
Ekspansi
Perbankan Syariah student hanya menguji satu jenis data saja yakni data pembiayaan muḍārabah. Tahun yang dipilih dalam uji t student tersebut berada dalam momentum
peningkatan jumlah kelembagaan BPRS dan BUS-UUS serta peningkatan akses publik terhadap kedua jenis bank tersebut. Ditambah lagi, karakteristik uji t student tersebut cukup menonjol karena mampu menguji ada atau tidaknya perbedaan antara dua data yang berpasangan. Namun demikian terlepas dari perbedaan
kedua bentuk analisis tersebut, keduanya saling melengkapi dalam pengungkapan tingkat pembiayaan muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS selama tahun 20052010.
E. Analisis Penelitian ini melakukan dua bentuk analisis, yaitu analisis korelasi antara
peningkatan jumlah lembaga perbankan, yakni BPRS dan BUS-UUS, terhadap tingkat pembiayaan bagi hasil muḍārabah dan kedua analisis tingkat pembiayaan muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS selama masa peningkatan akses publik di tahun 2005-2006 melalui uji t-student. Pada analisis pertama, uji korelasi dilakukan sebanyak dua kali yakni hubungan antara jumlah BPRS dengan tingkat pembiayaan muḍārabah dan hubungan antara jumlah BUS-UUS dengan tingkat pembiayaan muḍārabah. Sebelum uji hubungan korelasi antara BPRS dengan tingkat pembiayaan muḍārabah dilakukan, penulis menampilkan uraian data sebagai berikut. Tabel 1. Jumlah BPRS dan Tingkat Pembiayaan muḍārabah pada BPRS Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah BPRS 92 105 114 131 138 150
Pembiayaan Muḍārabah 7,23% 4,21% 4,49% 9% 9,1% 3,2%
Dalam kurun enam tahun (2005-210), rata-rata pembiayaan muḍārabah di BPRS sebesar 6,2%. Pembiayaan muḍārabah tertinggi terjadi pada tahun 2009 yakni sebesar 9,1%. Adapun pembiayaan muḍārabah terendah terjadi pada tahun 2010 yakni 3,2%. Dalam rentang enam tahun tersebut sebenarnya tingkat pembiayaan muḍārabah di BPRS tidak menunjukkan angka yang fantastis. Namun demikian, bila dilihat dari semakin bertambahnya jumlah BPRS yang hingga di tahun 2010 telah mencapai 150 bank, sangat menarik bila hal tersebut dikorelasikan 134
M. Muflih dengan tingkat pembiayaan muḍārabah. Dalam hal ini dipertanyakan apakah peningkatan jumlah kelembagaan tersebut mampu mengubah signifikansi tingkat
muḍārabah ataukah tidak. Setidaknya hasil pengujian ini dapat memberikan gambaran umum tentang karakteristik pembiayaan muḍārabah di BPRS. Hasil uji korelasi tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Tabel 2. Korelasi Jumlah BPRS dengan Pembiayaan Muḍārabah JUMLAH BPRS
JUMLAH BPRS PEMBIAYAAN MUDARABAH
PEMBIAYAAN MUDARABAH 1
0.01503478
1
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan korelasi jumlah BPRS dengan pembiayaan muḍārabah sebesar 0,015. Angka ini menunjukkan korelasi positif yang lemah. Bila dilihat dari Kurva Lind, angka tersebut lebih dekat dengan nol daripada satu. Dari hasil ini tidak tepat dikatakan bahwa peningkatan jumlah BPRS akan meningkatkan jumlah pembiayaan muḍārabah. Berikutnya adalah pengujian korelasi antara jumlah BUS-UUS dan pembiayaan muḍārabah. Sebelum pengujian tersebut dilakukan, terlebih dahulu dipaparkan data sebagai berikut. Tabel 3. Jumlah BUS-UUS dan Pembiayaan muḍārabah Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah BUS-UUS 22 23 29 32 31 34
Pembiayaan Muḍārabah 20,5% 19,9% 20,0% 19,4% 22,2% 12,6%
Berdasarkan penjelasan tabel di atas, dalam kurun enam tahun (2005-2010) rata-rata pembiayaan muḍārabah di BUS-UUS adalah 19,1%. Pembiayaan muḍārabah tertinggi terjadi di tahun 2009 yakni sebesar 22,2%. Sedangkan pembiayaan muḍārabah yang terendah terjadi di tahun 2010 yakni sebesar 12,6%. Tingkat pembiayaan muḍārabah di BUS-UUS sebenarnya juga tidak fantastis, namun lebih baik dari tingkat persentase yang terjadi di BPRS. Hasil uji korelasi pada BUS-UUS adalah sebagai berikut.
135
Ekspansi
Perbankan Syariah Tabel 4. Korelasi Jumlah BUS-UUS dengan Pembiayaan Muḍārabah JUMLAH BUSPEMBIAYAAN UUS MUDARABAH JUMLAH BUS-UUS 1 PEMBIAYAAN MUDARABAH -0.487130543
1
Dari hasil pengujian yang ditunjukkan di atas, nilai korelasi antara jumlah BUSUUS dan pembiayaan muḍārabah adalah sebesar -0,48. Bila dilihat dari Kurva Korelasi Lind, nilai tersebut masuk dalam kategori korelasi negatif yang cukup lemah. Ia lebih dekat pada angka nol daripada min satu. Oleh sebab itu tidak cukup kuat bila dikatakan peningkatan jumlah BUS-UUS di Indonesia akan meningkatkan tingkat pembiayaan muḍārabah. Dalam hal ini, dilihat dari segi hasil uji korelasi
jumlah kelembagaan dan tingkat pembiayaan muḍārabah, BPRS dan BUS-UUS berada dalam tingkat korelasi yang relatif lemah. Kedua-duanya tidak cukup dikatakan baik satu sama lain. Selanjutnya, melalui analisa t test penelitian ini akan mengungkapkan ada tidaknya perbedaan tingkat pembiayaan muḍārabah di tengah-tengah terjadinya peningkatan jumlah kelembagaan baik pada BPRS maupun pada BUS-UUS. Hasilnya dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 5. Hasil Uji T Test Pembiayaan Muḍārabah pada BPRS dan BUS-UUS t-Test: Paired Two Sample for Means BUSUUS
BPRS Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference Df
0.06205
0.1911
0.000664
0.001092
6
6
0.645129 0 5
t Stat
-12.3313
P(T<=t) one-tail
3.11E-05
t Critical one-tail
2.015048
P(T<=t) two-tail
6.21E-05
t Critical two-tail
2.570582
Dari penjelasan tabel di atas, ada dua jenis hasil t test yang disebutkan yakni pengujian dengan satu arah dan pengujian dengan dua arah. Pada daerah 136
M. Muflih keputusan satu arah, nilai kritis t test adalah 2,015. Nilai t test yang dihasilkan adalah 3,11 yang berarti bahwa tingkat pembiayaan muḍārabah di BPRS dan BUS-
UUS berbeda. Hal ini terjadi karena nilai t test yang dihasilkan tidak dapat melampaui batas nilai kritis. Sedangkan pada daerah keputusan dua arah, nilai kritis yang ditunjukkan adalah 2,57. Adapun nilai t test yang diperoleh adalah 6,21 yang berarti bahwa
tingkat pembiayaan muḍārabah di BPRS dan BUS-UUS berbeda. Bahkan tingkat perbedaannya lebih besar daripada yang dihasilkan melalui daerah keputusan satu arah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa BPRS belum dapat mengimbangi tingkat pembiayaan muḍārabah di BUS-UUS.
F. Kesimpulan Peningkatan jumlah kelembagaan BPRS yang berimplikasi kepada peningkatan kemudahaan akses publik rupanya belum dapat meningkatkan jumlah pembiayaan muḍārabah di perbankan tersebut. Terlebih hingga di tahun 2010 BPRS belum dapat mengimbangi tingkat pembiayaan muḍārabah BUS-UUS. Banyak hal yang dapat menjadi alasan kelesuan ini, di antaranya adalah minimnya suplemen sokongan otoritas kebijakan perbankan syariah terhadap pembiayaan bagi hasil muḍārabah di BPRS, minimnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) BPRS dalam pengelolaan bisnis muḍārabah, minimnya kemampuan BPRS dalam menganalisis risiko proyek bisnis bagi hasil muḍārabah, dan minimnya kemampuan BPRS dalam membaca potensi bisnis masyarakat di daerah dan pedesaan.
Daftar Pustaka Bank Indonesia. 2005. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2005. Jakarta: BI. Bank Indonesia. 2006. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2006. Jakarta: BI. Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2007. Jakarta: BI. Bank Indonesia. 2008. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2008. Jakarta: BI. Bank Indonesia. 2009. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2009. Jakarta: BI. Bank Indonesia. 2010. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2010. Jakarta: BI. 137
Ekspansi
Perbankan Syariah Masudul Alam Choudhury. 1986. Contribution to Islamic Economic Theories. New York: St. Marin’s Press.
Amr Mohamed El Tiby. 2011. Islamic Banking: How to Manage Risk and
Improve Profitability. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Mahmoud A. El-Gamal. 2006. Islamic Finance: Law, Economics, and Practice. Cambridge: Cambridge University Press. M. Fahim Khan. 1995. Essays in Islamic Economics. Leicester: The Islamic
Foundation. Mohd. Ma’sum Billah. 2003. Islamic Law of Trade and Finance A Selection of Issues. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers SDN. BHD. Daud Vicary Abdullah and Keon Chee. 2010. Islamic Finance Why It Makes
Sense Understanding its Principles and Practices. Singapore: Marshall Cavendish International (Asia). Muhammad Nejatullah Siddiqi. 1994. Issues in Islamic Banking. Leicester: The Islamic Foundation.
138
M. Muflih
139