KINETIKA PENYISIHAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA AIR BAKU PDAM TIRTAWENING KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN KOAGULAN TAWAS BERBAHAN BAKU ALUMINIUM DARI TUTUP KALENG BEKAS KINETICS OF TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) REMOVAL IN PDAM TIRTAWENING BANDUNG RAW WATER WITH ALUM-BASED COAGULANT MADE OF ALUMINUM USED CAN CAPS Nida Mariam1 dan Marisa Handajani2 Program Studi Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected] dan
[email protected] Abstrak: Pengolahan air minum diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Baku mutu air minum diatur dalam PERMENKES RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Salah satu pengolahan air yang dapat dilakukan adalah dengan koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan tawas. Tutup kaleng bekas minuman ringan mengandung maksimum 90% aluminium, yang dapat digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan tawas. Pada penelitian ini akan dipelajari studi kinetika penyisihan TSS pada air baku PDAM Tirtawening Kota Bandung dengan menggunakan tawas berbahan baku tutup kaleng bekas tersebut. Kadar aluminium pada tutup kaleng bekas minuman ringan adalah 43%, dimana berpotensi sebagai bahan koagulan tawas. Tiga Produksi tawas dari 8 gram tutup kaleng dapat menghasilkan 53,4074 gram KAl(SO4)2.12H2O, 51,8033 gram KAl(SO4)2.11H2O, dan 50,8847 gram KAl(SO4)2.10H2O. Tawas dengan kadar hidrat besar akan menurunkan komposisi aluminium. Semakin besar kadar hidrat, maka semakin kecil komposisi aluminium, dan kemampuan tawas dalam menurunkan kekeruhan dan menyisihkan TSS semakin berkurang. pH air sangat berpengaruh pada kinerja tawas dari tutup kaleng bekas. pH optimum koagulan dari tutup kaleng bekas adalah 7. Tawas KAl(SO4)2.10H2O memiliki dosis optimum 30 mg/L dan mampu menurunkan kekeruhan dan menyisihkan TSS secara optimum. Selain itu, tawas KAl(SO4)2.10H2O mampu membuat flok lebih besar sehingga mempercepat pengendapan. Hasil pengolahan air baku menggunakan tawas dari tutup kaleng bekas memenuhi baku mutu air minum. Tawas dari tutup kaleng bekas memiliki kemampuan menurunkan kekeruhan dan TSS yang lebih baik dibandingkan tawas komersial. Kata kunci: koagulasi, flokulasi, aluminium, tutup kaleng bekas, dan tawas. Abstract: Treatment of drinking water is required to fulfill the public needs. Drinking water quality standard is regulated in Health Minister Regulation No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Coagulation-flocculation using alum coagulant is a water treatment that can be adopted. Used can caps of soft drink contain maximum 90% aluminum, which can be used as raw material in the production of alum. This research will study the kinetics of TSS removal in raw water of PDAM Tirtawening Bandung using alumunium compunds from used caps. Raw water after pre-sedimentation from Regional Water Corporation (PDAM) Tirtawening is used in the investigation. Raw water after pre-sedimentation characteristics shows that turbidity parameter did not accordance with water quality standard. The average mass of the caps over the three days was 4.0609 grams. Whereas, average aluminum content of the three cap samples was 43%. Can caps have the potential to be used as raw material for making adequate alum. 8 grams of used can caps generate 53.4074 grams of KAl(SO4)2.12H2O, 51.8033 of KAl(SO4)2.11H2O, and 50.8847 of KAl(SO4)2.10H2O. Alum with large hydrate levels will reduce aluminum composition, that will make reducing turbidity and TSS were not effective. pH of the water is very important on the performance of alum which made from can caps. pH optimum coagulant from can caps is 7. Batch 3 alum has optimum dose of 30 mg/L, and is able to reduce turbidity and TSS better than the other alum. Also, Batch 3 alum is able to make floc bigger, so can accelerate the deposition of floc. Results of treatment of raw water using alum derived fromcancaps meet drinking water quality standards. Can caps based alum has the ability to reduce turbidity and TSS better than commercial alum. Keywords: coagulation, flocculation, aluminum, used can caps, and alum.
5-51
PENDAHULUAN Air minum merupakan salah satu kebutuhan vital bagi kehidupan. Kandungan air pada badan manusia hidup adalah rata-rata 65% atau 47 liter per orang dewasa. Sekitar 2,5 liter air harus diganti dengan air yang baru, dan sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5 liter berasal dari air minum (Winarno, 1997). Dengan demikian kebutuhan air untuk tubuh manusia merupakan hal yang pokok. Untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air minum, dilakukan pengolahan dari sumber air, baik air permukaan maupun air tanah. Air sungai merupakan air baku yang digunakan secara umum pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia. Pada proses pengolahan air minum berkaitan dengan penurunan kekeruhan air baku untuk air minum. Kekeruhan dalam air tersebut disebabkan oleh zat-zat tersuspensi dalam bentuk lumpur kasar, lumpur halus, dan koloid. Air yang memenuhi standar kesehatan harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/MENKES/PER/IV/2010, yang mengatur tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Dengan demikian, perlu upaya penurunan kekeruhan dan TSS (Total Suspended Solid), hal itu agar air minum yang dikonsumsi memenuhi standar kesehatan. Pada umumnya, pengolahan air minum melewati proses sedimentasi, koagulasi-flokulasi, filtrasi, dan disinfeksi (Baghvand, dkk., 2010). Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan koagulasi-flokulasi. Koagulasi-flokulasi merupakan proses kimia yang dilakukan untuk menyisihkan kekeruhan dan partikel koloid berukuran 1-200 milimikron. Koagulan yang dapat digunakan salah satunya adalah tawas. Tawas, sebagai garam logam, akan bereaksi dengan alkalinitas di dalam air untuk menghasilkan flok hidroksida logam tak larut yang akan menggabungkan partikel koloid (Pisse, dkk., 2009). Selain itu, tawas sering digunakan karena murah, mudah diperoleh, dan mudah pula dalam penyimpanan ataupun pengangkutan (Al-Zahrani, dkk., 2004). Bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat tawas adalah aluminium. Aluminium dapat diperoleh dari tutup kaleng bekas minuman ringan. Tutup kaleng bekas minuman ringan mengandung maksimum 90% aluminium, yang dapat digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan koagulan. Selain dapat mereduksi sampah tutup kaleng bekas, potensi daur ulang dari tutup kaleng bekas sangat menjanjikan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan aluminium dari tutup kaleng bekas sebagai bahan baku pembuatan koagulan tawas, yang selanjutnya akan digunakn untuk studi kinetika penyisihan TSS pada air baku PDAM Tirtawening Kota Bandung. Hal diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk mereduksi sampah tutup kaleng bekas, sekaligus memanfaatkannya sebagai bahan baku koagulan dalam mengolah air baku untuk air minum.
METODOLOGI Pada dasarnya pengolahan dengan koagulan ditujukan untuk menurunkan kekeruhan dan Total Suspended Solid (TSS) dari air baku, untuk digunakan sebagai air minum dengan syarat-syarat yang ditentukan. Koagulan yang digunakan adalah tawas hasil pemanfaatan aluminium dari tutup kaleng bekas minuman ringan. Mekanisme pembentukan koagulan tawas dari aluminium tutup kaleng bekas penting untuk ditelaah. Selanjutnya, akan dilakukan studi kinetika pada pengolahan air baku PDAM menggunakan koagulan tawas berbahan baku aluminium dari tutup kaleng bekas tersebut. Karakterisasi Air Baku Sampel merupakan air baku PDAM Tirtawening Kota Bandung sebelum dan setelah proses pra-sedimentasi. Pada saat pengambilan sampel dicatat tanggal, waktu, dan lokasinya. Karakterisasi air meliputi temperatur (SNI 06-6989.23-2005), pH (SNI 06-6989.11-2004), turbiditas (SK SNI M-03-1989-F), konduktivitas (SNI 06-6989.1-2004), TDS (Total 5-52
Dissolved Solid) (SK SNI M-03-1989-F), dan TSS (Total Suspended Solid) (SNI 06-6989.32004). Pengambilan Tutup Kaleng Bekas Tutup kaleng bekas yang digunakan adalah tutup kaleng bekas minuman ringan. Tutup kaleng bekas didapatkan dari pengumpul yang berada di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Taman Sari. Pengambilan sampel pada tutup kaleng bekas dilakukan secara acak, kemudian dianalisis kandungan aluminiumnya. Prosedur yang sama diulang kembali dengan mengambil sejumlah tutup kaleng bekas yang lain dengan berat yang sama. Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali untuk melihat kandungan aluminium rata-rata setiap gram tutup kaleng bekas. Pembuatan Koagulan Tawas Tutup kaleng bekas yang sudah dibersihkan dan digunting menjadi bagian yang kecil ditimbang sebanyak 8 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan KOH 3,56 M sebanyak 100 mL dan dipanaskan dengan api kecil. Proses pemanasan dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan tersebut selanjutnya, disaring dan didinginkan, kemudian ditambahkan H2SO4 6 M secara perlahan sebanyak 100 mL sambil diaduk. Setelah itu, disaring dan larutan didinginkan di dalam es. Kristal tawas yang terbentuk dipisahkan dengan corong Buchner, kemudian dicuci dengan etanol 50% sebanyak 50 mL. Endapan dikeringkan, setelah kering, selanjutnya ditimbang hingga memiliki berat yang konstan, Manurung dan Ayuningtyas (2010). Jar Test Kondisi optimum ditentukan dengan hasil penurunan kekeruhan dan TSS. Variasi yang dilakukan adalah dosis tawas yakni 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 mg/L, serta pH yaitu 3, 5, 7, 9, dan 11. Sebanyak 500 ml air baku dengan kekeruhan tertentu ditambah koagulan dengan dosis tertentu dan pH tertentu, kemudian diputar pada kecepatan 200 rpm selama 2 menit kemudian diperlambat sebesar 60 rpm selama 15 menit. Pengambilan sampel dilakukan setelah diendapkan selama 1 jam. Sampel diambil dari ketinggian sekitar 3 cm dari permukaan. Selanjutnya diukur kekeruhan akhir, konduktivitas, TSS, dan TDS sampel. SMMWE 2710 Potensial Zeta Pengukuran potensial zeta dilakukan dengan alat The Delsa Nano C yang menggunakan Photon Correlation Spectroscopy (PCS). PCS digunakan untuk menentukan ukuran partikel melalui pengukuran laju fluktuasi intensitas sinar laser yang dihamburkan oleh partikel pada saat sinar laser melalui fluida. Sedangkan, Electrophoretic Light Scattering (ELS) digunakan untuk menganalisis pergerakan electrophoretic partikel bermuatan, sehingga potensial zeta dapat ditentukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Air Baku Air baku PDAM Tirtawening Bandung sebelum pra-sedimentasi memiliki lokasi di Dago Bengkok, sedangkan air baku setelah pra-sedimentasi memiliki lokasi di Jalan Badak Singa No. 10. Karakterisasi air baku digunakan untuk mengetahui komposisi dan sifat air. Pada dasarnya, air baku akan berpengaruh pada proses koagulasi dan flokulasi yang akan dilakukan. Hasil karakterisasi air PDAM Tirtawening Bandung ditunjukkan pada Tabel 1.
5-53
Tabel 1. Karakteristik Air PDAM Tirtawening Bandung Sebelum dan Setelah PraSedimentasi. Parameter Warna Suhu (oC) pH Konduktivitas (µs/cm) DO (mg/L) Kekeruhan (NTU) TDS (mg/L) TSS (mg/L)
Sebelum Pra-Sedimentasi Coklat Tua (Diatas 25 Pt-Co) 20,47 7,28 110,33 5,93 77,37 312 228
Setelah Pra-Sedimentasi Coklat Muda (Diatas 25 Pt-Co) 20,90 6,99 100,57 5,89 58,60 118 110
Baku Mutu* 6,5 – 8,5 5 500 -
*Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/MENKES/PER/IV/2010
Berdasarkan hasil karakterisasi air baku, apabila dibandingkan dengan parameter yang ada dalam baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 492/MENKES/PER/IV/2010, kekeruhan air baku merupakan parameter yang belum terpenuhi. Koagulasi dan flokulasi diperlukan untuk menyisihkan koloid pada air baku setelah pra-sedimentasi agar dapat memenuhi baku mutu. Analisa lumpur dilakukan dengan mengendapkan lumpur secara gravitasi. Penentuan kadar lumpur kasar sangat penting dalam menganalisa air. Gambar 1 menunjukkan hasil analisa lumpur air baku. 0.35 Volume (mL)
0.3 Air Baku Sebelum Pra-sedimentasi
0.25 0.2
Air Baku Setelah Prasedimentasi
0.15 0.1 0.05 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Waktu (Menit)
Gambar 1. Analisa Lumpur Air Baku Sebelum dan Setelah Pra-Sedimentasi. Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa kandungan lumpur di dalam air baku sebelum pra-sedimentasi lebih tinggi dibandingkan setelah pra-sedimentasi. Selanjutnya, kecepatan pengendapan dari lumpur pada air baku setelah pra-sedimentasi lebih tinggi dibandingkan air baku sebelum pra-sedimentasi. Oleh karena itu, air baku setelah prasedimentasi memiliki beban lumpur yang lebih rendah dibandingkan air baku sebelum prasedimentasi, sehingga akan lebih mudah apabila digunakan dalam pengolahan selanjutnya. Karakterisasi Tutup Kaleng Tutup kaleng bekas dikumpulkan selama dua hari pada 30-31 Januari 2013 di Tempat Penampungan Sementara (TPS) Taman Sari. Tutup kaleng yang digunakan adalah tutup kaleng minuman ringan “Larutan Penyegar”. Pengambilan sampel tutup kaleng dilakukan selama tiga hari menghasilkan massa tutup kaleng rata-rata sebesar 4,0609 gram. Hasil analisis kadar aluminium dan besi dari tiga sampel tutup kaleng adalah 43,00 % dan 0,34 %. Oleh karena itu, potensi aluminium dari tutup kaleng memadai untuk dijadikan bahan baku pembuatan koagulan, terutama untuk pembuatan tawas. 5-54
Produksi Koagulan Tawas Aluminium pada tutup kaleng bekas minuman ringan dibersihkan sebelum direaksikan dengan bahan kimia. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang dapat bereaksi dengan bahan kimia lain. Saat penambahan KOH 3,56 M, reaksi berjalan cepat dan bersifat eksoterm (menghasilkan panas). Reaksi yang terjadi adalah: 2Al (s) + 2 KOH (aq) + 6 H2O (l) → 2 KAl(OH)4 (aq) + 3 H2 (g) Pelarutan aluminium pada larutan KOH 20% merupakan reaksi reduksi-oksidasi. Ion Al(OH)4- adalah ion kompleks yang disebut aluminate. Pada reaksi ini terbentuk gas hidrogen yang ditandai dengan adanya gelembung udara. Gelembung akan hilang setelah aluminium bereaksi. Agar tidak terbentuk Al(OH)3, ditambahkan KOH 20% secara berlebih. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi, sedangkan penyaringan dilakukan untuk menghilangkan residu plastik dan dekomposisi dari cat yang terdapat pada produk minuman tersebut. Larutan yang diperoleh, kemudian ditambah H2SO4 6 M kemudian disaring untuk menyisihkan pengotor. Reaksi yang terjadi adalah: 2 KAl(OH)4 (aq) + H2SO4 (aq) → 2 Al(OH)3 (s) + 2 H2O (l) + K2SO4 (aq) Reaksi di atas merupakan reaksi asam-basa, dimana ion H+ dari asam sulfat akan dinetralkan dengan basa Al(OH)4- untuk membentuk Al(OH)3. Dilakukan penambahan larutan H2SO4 agar seluruh senyawa K[Al(OH)4] dapat bereaksi sempurna. Selanjutnya, Al(OH)3 yang terbentuk langsung bereaksi dengan H2SO4 dengan persamaan reaksi: 2 Al(OH)3 (s) + 3 H2SO4 (aq) → Al2(SO4)3 (aq) + 6 H2O (l) Pada reaksi sebelumnya, penambahan H2SO4 akan membentuk Al(OH)3 dan K[Al(OH)4], namun H2SO4 berlebih akan melarutkan Al(OH)3 menjadi Al2(SO4)3. Senyawa Al2(SO4)3 yang terbentuk bereaksi kembali dengan H2SO4 hasil reaksi sebelumnya membentuk kristal yang diharapkan adalah KAl(SO4)2.12H2O berwarna putih, (Manurung dan Ayuningtyas, 2010). Reaksi yang terjadi adalah: Al2(SO4)3 (aq) + K2SO4 (aq) + 24 H2O (l) → 2KAl(SO4)2.12H2O Pada proses pendinginan, kristal tawas terbentuk secara lambat. Oleh karena itu, proses ini dapat dipercepat dengan pembentukan bibit kristal terlebih dahulu. Pendinginan dilakukan agar kristal tawas larut dalam air pada temperatur ruang. Kristal tawas disaring dengan saringan vakum, kemudian dicuci dengan etanol 50%. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang terdapat di kristal, namun tidak turut melarutkannya. Selain itu, proses tersebut membuat kristal menjadi cepat kering, karena alkohol lebih cepat menguap dibandingkan air. Proses produksi tawas dari aluminium tutup kaleng bekas dilakukan sebanyak tiga kali (tiga batch) dan menghasilkan tawas dengan massa yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan hasil produksi tawas. Tabel 2. Produksi Tawas Berbahan Baku Tutup Kaleng Bekas. Keterangan Tawas Batch 1 Tawas Batch 2 Tawas Batch 3
Massa Tutup Kaleng Bekas (gram) 8,0000 8,0000 8,0000
Massa Tawas (gram) 53,4074 51,8033 50,8847
Pada umumnya, reaksi pembentukan tawas akan berjalan seperti reaksi-reaksi sebelumnya. Namun, karena adanya perbedaan pembentukan hidrat, terjadi perbedaan massa tawas. Hidrat adalah suatu kristal yang terbentuk karena adanya interaksi ikatan hidrogen dari H air (H2O) dengan O dari sulfat (SO42-). Kandungan uap air ruang berbeda-beda setiap saat atau dapat dikatakan kandungan air di ruangan selalu dinamis berubah, dan air tersebut dapat berpotensi ikut bereaksi di dalam 5-55
produksi apabila kondisinya menunjang. Selain itu, perbedaan massa tawas pun dapat terjadi karena kondisi lingkungan reaksi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi keberjalanan reaksi yang ada. Tawas dari aluminium tutup kaleng bekas batch 1, 2, dan 3 tidak mengandung timbal dan arsen, begitupun dengan tawas komersial, sehingga aman untuk digunakan. Hasil analisis tawas berbahan baku aluminium dari tutup kaleng bekas ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3. Karakterisasi Tawas Berbahan Baku Aluminium dari Tutup Kaleng Bekas. Tawas
Senyawa Kimia
Batch 1 Batch 2 Batch 3 Komersial
KAl(SO4)2.12H2O KAl(SO4)2.11H2O KAl(SO4)2.10H2O KAl(SO4)2.12H2O
Kadar Aluminium (%) 9,80 9,89 10,01 3,36
Kadar Kalium (%) 2,50 2,12 1,98 2,88
Kadar Sulfat (%) 42,46 45,27 47,35 48,52
Kadar Air (%) 45,24 42,72 40,66 45,24
Penentuan Dosis Optimum Penentuan dosis optimum dilakukan dengan percobaan jar test. Jar Test adalah metode untuk menguji proses koagulasi. Hasil uji ini akan menjadi acuan dosis koagulan. Dosis optimum tawas batch 1 adalah 40 mg/L. Tabel 4 menunjukkan hasil pengolahan air menggunakan tawas batch 1 dan tawas komersial pada dosis 40 mg/L. Tabel 4. Perbandingan Tawas Batch 1 dan Tawas Komersial. Parameter Kekeruhan (NTU)
Tawas Batch 1 2,87
Tawas Komersial 18,6
Konduktivitas (µs/cm)
109,7
102,5
TDS (mg/L)
96,9
86
TSS (mg/L)
58,8
83,33
Pada tawas batch 1, kekeruhan dan TSS air dapat disisihkan secara signifikan dibandingkan tawas komersial. Selanjutnya, dosis optimum untuk tawas batch 2 adalah 30 mg/L. Tabel 5 menunjukkan hasil pengolahan air menggunakan tawas batch 1 dan tawas komersial pada dosis 30 mg/L. Tabel 5. Perbandingan Tawas Batch 2 dan Tawas Komersial. Parameter Kekeruhan (NTU)
Tawas Batch 2 8,33
Tawas Komersial 18,1
Konduktivitas (µs/cm)
135,3
131,9
TDS (mg/L)
67,6
65,9
TSS (mg/L)
82,33
83,5
Pada tawas batch 2, kekeruhan dan TSS air juga dapat disisihkan secara signifikan dibandingkan tawas komersial, namun masih belum memenuhi baku mutu. Kemudian, dosis optimum untuk batch 3 yang diperoleh adalah 30 mg/L. Tabel 6 menunjukkan hasil pengolahan air menggunakan tawas batch 1 dan tawas komersial pada dosis 40 mg/L.
5-56
Tabel 6. Perbandingan Tawas Batch 3 dan Tawas Komersial. Parameter Kekeruhan (NTU)
Tawas Batch 3 4,04
Tawas Komersial 18,1
Konduktivitas (µs/cm)
135,3
131,9
TDS (mg/L)
67,6
65,9
TSS (mg/L)
57,84
83,5
Pada tawas batch 3, kekeruhan dan TSS air juga dapat disisihkan secara signifikan dibandingkan tawas komersial. Selanjutnya, untuk tawas komersial memiliki dosis optimum 50 mg/L. Tawas batch 3 memiliki kemampuan menyisihkan kekeruhan dan TSS lebih baik karena tawas batch 3 memiliki kadar aluminium yang lebih tinggi dibandingkan tawas lainnya. Pada proses koagulasi, aluminium dalam bentuk Al3+ berperan sangat penting (Poulin, dkk, 2008). Kemampuan penyisihan juga dipengaruhi oleh kadar hidrat. Semakin besar kadar hidratnya maka komposisi atom lain akan berkurang, sehingga semakin besar kadar hidrat akan mengurangi komposisi ion aluminium, yang merupakan ion aktif yang berperan dalam penyisihan partikel koloid di dalam air. Penelitian ini juga menguji kadar kalium dan aluminium setelah menggunakan tawas dari tutup kaleng bekas. Aluminium dapat mengganggu sistem syaraf manusia (Sielichi, dkk., 2010). Kadar aluminium pada air yang telah diolah dengan menggunakan tutup kaleng bekas masih memenuhi baku mutu. Penentuan pH Optimum pH adalah parameter yang penting dalam pengolahan air. pH akan mempengaruhi korosivitas air, efisiensi klorinasi, dan rasa. Hasil efisiensi penurunan kekeruhan dan penyisihan TSS menunjukkan bahwa pengolahan air dengan menggunakan tawas batch 1, 2, dan 3 memiliki pH optimum 7. Pada pH 5, pengolahan air menggunakan tawas batch 1, 2, dan 3 masih dapat dilakukan. Pada pH 3, 9, dan 11 hasil penyisihan fluktuatif dan tidak konsisten. Hal ini karena pada pH 3, 9 dan 11 keadaan air terlalu asam ataupun basa, sehingga akan mempengaruhi kinerja tawas. Oleh karena itu, kinerja tawas yang efektif dalam mengolah air berada pada rentang 5-7 Pengaruh Kekeruhan Awal terhadap Efisiensi Penurunan Kekeruhan Pada dasarnya kekeruhan awal akan mempengaruhi efisiensi penurunan kekeruhan. Kekeruhan awal berkaitan dengan koloid di dalam air yang harus diolah dengan koagulasi. Kekeruhan pada musim kemarau pada air baku PDAM Tirtawening Bandung adalah 46,33 NTU, sedangkan pada musim hujan 88 NTU (Ariesta, 2011). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan variasi kekeruhan awal yakni 50 dan 100 NTU. Tawas batch 3 merupakan tawas yang dapat menurunkan kekeruhan lebih baik. Selanjutnya, semakin tinggi kekeruhan awal, maka semakin besar pula efisiensi penurunan kekeruhan. Jumlah partikel koloid di dalam air yang banyak, maka akan menyebabkan kekeruhan menjadi tinggi. Partikel koloid akan berikatan dengan koagulan (Pisse, dkk., 2009). Apabila partikel koloid semakin banyak maka akan semakin banyak pula ikatan antara koloid dan koagulan. Ikatan antara koloid dan koagulan akan mendukung pembentukan flok yang banyak pula, sehingga kekeruhan dapat diturunkan. Kekeruhan yang rendah akan menyebabkan kontak antar partikel semakin lemah, sehingga pada kondisi ini penurunan kekeruhan akan lebih kecil. Analisa Potensial Zeta Potensial zeta merupakan muatan listrik yang ada dalam emulsi cair atau dispersi yang bersifat koloid. Partikel koloid di air, khususnya air di alam, dalam hal ini air sungai 5-57
yang dijadikan air baku PDAM, secara umum bermuatan negatif (Peternelj, 2009). Potensial zeta negatif menandakan kestabilan dari partikel koloid yang ada. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil pengukuran potensial zeta sebesar -12,57 mV. Penambahan elektrolit kationik atau polielektrolit, seperti tawas akan mendukung terjadinya pembentukan flok. Muatan positif yang berasal dari tawas akan menetralkan muatan negatif dari partikel koloid. Pembentukan flok akan terjadi ketika potensial zeta mendekati nol. Pada penelitian ini, tawas batch 3 digunakan untuk mengolah air dengan menggunakan dosis 30 mg/L. Hasil analisis potensial zeta menunjukkan bahwa besar potensial zeta larutan tersebut adalah -0,06 mV. Hal itu mengindikasikan partikel koloid mampu didestabilasi, sehingga flok terbentuk. Selain itum hal ini juga mengindikasikan bahwa tawas dari tutup kaleng bekas merupakan elektrolit kationik, yang mampu mendestabilkan partikel kolid melalui mekanisme penetralan muatan, sehingga pembentukan flok terjadi dan partikel koloid nantinya dapat disisihkan. Analisa Flok Air baku yang memiliki kekeruhan maka mengandung zat padat terlarut ataupun koloid bermuatan listrik. Muatan tersebut menyebabkan terbentuknya lapisan ganda listrik. Penambahan koagulan tawas ke dalam air baku akan menyebabkan terbentuknya senyawa multi positif hidrokso yang dapat dengan cepat diserap pada permukaan partikel koloid. Pengadukan akan meningkatkan tumbukan, dan partikel koloid terdestabilisasi dan selanjutnya akan terbentuk flok. Flok menggumpal dan semakin lama semakin besar kemudian mudah mengendap. Air baku pada dasarnya memiliki kekeruhan dan padatan terlarut yang terkandung di dalamnya. Gambar 2 menunjukkan proses pembentukan flok mulai dari terbentuk hingga diendapkan di dalam air.
(a) Flok Mulai Terbentuk (b)Pembesaran Flok (c)Flok yang Mengendap Gambar 2. Pembentukan Flok dengan Menggunakan Tawas dari Tutup Kaleng Bekas Pada penelitian ini ukuran flok yang dari tawas batch 1, 2, 3, dan komersial diukur dengan menggunakan mikrometer pada mikroskop. Tabel 7. Ukuran Flok Tawas Batch 1, 2, 3, dan Komersial. Keterangan Tawas Batch 1 Tawas Batch 2 Ukuran Partikel dalam Air (mm) 0,05 Ukuran Flok Setelah Pengadukan Cepat (mm) 0,100 0,110 Ukuran Flok Setelah menit Pengadukan Lambat 0,275 0,185 Setelah 3 Menit (mm) 0,340 0,275 Setelah 6 Menit (mm) 0,350 Setelah 9 Menit (mm) 0,405 0,830 Setelah 12 Menit (mm) 0,415 Setelah 15 menit (mm) 0,440 0,870
5-58
Tawas Batch 3
Tawas Komersial
0,175
0,100
0,220 0,900 1,225 1,525
0,200 0,300 0,340 0,400
2,125
0,430
Berdasarkan Tabel 7 di atas, dapat dilihat bahwa ukuran flok terbesar adalah tawas batch 3, selanjutnya tawas batch 2, dan tawas batch 1. Tawas komersial memiliki ukuran flok terkecil. Pada proses koagulasi dengan menggunakan pengadukan cepat flok terbentuk dan pada pengadukan lambat, flok yang kecil semakin lama semakin membesar. Flok tersebut akan mengendap dan nantinya akan disisihkan. Kecepatan Pengendapan Proses flokulasi pada pengolahan air dilakukan untuk mempercepat penggabungan flok yang telah terbentuk pada proses koagulasi. Partikel koloid yang telah didestabilkan akan saling bertumbukan, melakukan tarik-menarik, kemudian membentuk flok yang semakin lama semakin membesar dan mudah mengendap. Pada penelitian ini dilakukan penentuan kecepatan pengendapan.
Volume Flok (mL)
12 10 8 Tawas Batch Batch 11 Tawas
6
Tawas Tawas Batch Batch 22 4
Tawas Tawas Batch Batch 33
2
Tawas Tawas Komersial Komersial
0 0
2.5
5
7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 Waktu (Menit)
Gambar 3. Volume Flok Tawas Batch 1, 2, 3, dan Komersial. Berdasarkan Gambar 3 dapat terlihat bahwa tawas batch 3 memiliki kecepatan pengendapan paling tinggi, selanjutnya tawas batch 2, batch 3, dan terakhir tawas komersial. Volume flok yang dapat disisihkan pun semakin besar berdasarkan ukuran flok dan juga kecepatan pengendapannya. Kecepatan pengendapan flok tawas batch 1 adalah 0,462 cm/menit, tawas batch 2 adalah 0,848 cm/menit, tawas batch 3 adalah 1,049 cm/menit, dan tawas komersial adalah 0,327 cm/menit. Pengaruh pH dan Dosis Tawas Pada penelitian ini ditentukan seberapa besar pengaruh pH dan dosis tawas terhadap penyisihan TSS dan penurunan kekeruhan. Berdasaran pengolahan statistik dengan Analysis Variance (ANOVA) Single Factor, dosis tawas memiliki pengaruh terhadap penurunan kekeruhan dan penyisihan TSS, namun tidak signifikan. Sedangkan, pH memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kekeruhan dan penyisihan TSS. Oleh karena itu, pH air harus sesuai pada kondisi optimum, apabila tidak maka perlu proses netralisasi atau optimasi pH terlebih dahulu. pH dapat mempengaruhi kelarutan dari koagulan. pH optimum digunakan untuk menunjang kinerja koagulan dalam hal ini tawas, agar memiliki kelarutan besar. Ion aquometalik semakin mudah terbentuk disebabkan oleh koagulan yang mudah larut. Kemudahan terbentuknya ion aquometalik akan mendukung semakin cepatnya koloid ternetralisasi membentuk flok. pH yang semakin besar akan mengurangi kelarutan air an akan menghambat pembentukan flok. Begitupun apabila pH terlalu asam, maka akan mempengaruhi pembentukan flok.
5-59
KESIMPULAN Aluminium dari tutup kaleng bekas minuman ringan dapat dimanfaatkan sebagai koagulan tawas untuk mengolah air baku PDAM. Kadar aluminium pada tutup kaleng bekas minuman ringan adalah 43%, dimana berpotensi sebagai bahan koagulan tawas. Dari tiga produksi tawas, setiap 8 gram tutup kaleng dapat menghasilkan 53,4074 gram KAl(SO4)2.12H2O (tawas batch 1), 51,8033 gram KAl(SO4)2.11H2O, (tawas batch 2), dan 50,8847 gram KAl(SO4)2.10H2O (tawas batch 3). Tawas dengan kadar hidrat besar akan menurunkan komposisi aluminium. Al3+ merupakan ion aktif yang dapat digunakan sebagai bahan penetral muatan negatif partikel koloid. Semakin besar kadar hidrat, maka semakin kecil komposisi aluminium, dan kemampuan tawas dalam menurunkan kekeruhan dan menyisihkan TSS semakin berkurang. pH air sangat berpengaruh pada kinerja tawas dari tutup kaleng bekas. pH optimum koagulan dari tutup kaleng bekas adalah 7. Tawas batch 3 memiliki dosis optimum 30 mg/L dan mampu menurunkan kekeruhan dan menyisihkan TSS secara optimum. Selain itu, tawas batch 3 mampu membuat flok lebih besar sehingga mempercepat pengendapan flok yakni 1,049 cm/menit. Hasil pengolahan air baku menggunakan tawas dari tutup kaleng bekas memenuhi baku mutu air minum. Tawas dari tutup kaleng bekas memiliki kemampuan menurunkan kekeruhan dan TSS yang lebih baik dibandingkan tawas komersial. Daftar Pustaka Baghvand, A., Zan, A. D, Mehrdadi, N., dan Karbasi, A. 2010. Optimizing Coagulation Process for Low to High Turbidity Waters Using Aluminium and Iron Salts. American Journal of Environmental Sciences. Vol. 5, 442-448. Li, L., Fan, M., Brown, R. C., Koziel, J. A., dan Van, L. J. 2009. Production of a New Wastewater Treatment Coagulant from Fly Ash with Concomitant Flue Gas Scrubbing. Journal of Hazardous Material. Vol. 162, 1430-1437. Manurung, M. dan Ayuningtyas, I. F. 2010. Kandungan Aluminium pada Kaleng Bekas dan Pemanfaatannya dalam Pembuatan Tawas. Jurnal Kimia. Vol. 4, 180-186. Pise, C. P., Gidde, M. R., dan Bhalerao, M. R. 2009. Study of Blended Coagulant Alum and Moringa oleifera for Turbidity Removal. Journal of Environmental Research and Development. Vol. 2, 517-527. Poulin, E., Blais, J. F., dan Mercier, G. 2008. Transformation of Red Mud From Aluminium Industry Into Coagulant For Wastewater Treatment. Journal of Hydrometallurgy. Vol. 92, 16-25. Sielichi, J. M., Kayem, G. J., dan Sandu, I. 2010. Effect of Water Treatment Residuals (Aluminium and Iron Ions) on Human Health and Drinking Water Distribution Systems. International Journal of Conservation Science. Vol 1, 175-182.
5-60