KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
Politik Reformasi: Sutradara Film Independen Reka Ulang Makna Kewarganegaraan dalam Malaysian Gods dan Project 15Malaysia Khoo Gaik Cheng Australian National University Tulisan ini akan membahas sutradara film independen Malaysia yang kebanyakan memiliki karakater kosmopolitan dalam karya-karya mereka yang lebih berfokus pada subyektivitas humanis daripada kritik terhadap situasi politik nasional. Meskipun sebagian dari mereka menegaskan sikap kosmopolit-nya dengan membuat film dokumenter bermuatan kritik terhadap paham developmentalisme negara, korupsi, pelanggaran HAM, atau perusakan lingkungan, kebanyakan pembuat film indie menghindari afiliasi etnis yang sempit dan bekerja untuk memenuhi hasrat mereka membuat film seni atau film yang berpeluang meraup sukses komersial. Namun, ketegangan politik saat ini yang berujung pada kemenangan partai oposisi Pakatan Rakyat di empat negara bagian pada pemilu Maret 2008, sampai Barisan Nasional, partai mayoritas, tidak menguasai 2/3 suara seperti biasannya, sementara ada elemen UMNO yang tetap berusaha melemahkan oposisi, mendorong para sutradara film independen untuk mengangkat isu politik dalam karya mereka. Tulisan saya akan menganalisa karya dokumenter terbaru Amir Muhammad yang berjudul Malaysian Gods (2009), kemudian saya juga akan membahas sedikit tentang beberapa film indie lain untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang gerakan film indie secara menyeluruh. Versi asli Malaysian Gods menampilkan narator tanpa nama yang berjalan sepanjang rute demonstrasi Reformasi yaitu dari Masjid Negara menuju PWTC pada tanggal 20 September 2008. Film ini direkam secara real-time dalam satu rekaman panjang tanpa terputus dan ditayangkan untuk memperingati 10 tahun Reformasi di tahun 2008. Sutradara film ini kemudian membuat film yang sama sekali baru di tempat yang sama dengan latar belakang gerakan Reformasi 1998. Namun kali ini ia mewawancarai warga Malaysia berbahasa Tamil yang bekerja atau bertempat tinggal di Kuala Lumpur, tempat terjadinya demonstrasi Reformasi anti pemerintah. Film ini menarik benang merah antara kebangkitan politik warga keturunan India di Malaysia saat ini dengan momen Reformasi yang menandai lahirnya kesadaran politik Malaysia 11 tahun yang lalu.
International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
1
KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
Project 15 Malaysia—sebuah kompilasi 15 film pendek yang dibuat pada tahun 2009 oleh 15 sutradara—adalah sebuah kumpulan film yang bermula dari sebuah video musik indie produksi Malaysian Artists For Unity pada tahun 2008. Malaysian Artists For Unity beranggotakan seniman dari berbagai kalangan seperti musisi, pekerja teater rakyat, sukarelawan, dan termasuk di dalamnya sutradara film indie seperti Ho Yuhang dan Yasmin Ahmad. 15 Malaysia yang muncul sebagai tindak lanjut proyek seniman-seniman Malaysia ini mewakili keterlibatan dan kepedulian sipil mereka serta pandangan kosmopolit mereka terhadap wacana kontemporer di Malaysia tentang ras, agama, dan keadilan sosial. Film digital yang kaya dan kreatif ini membuka ruang dialog dan menyuguhkan ekspresi alternatif tentang makna menjadi orang Malaysia pada masa ketegangan rasial yang direkayasa dan korupsi politik seperti saat ini. Dengan cara demikian, mereka menunjukkan pola logis yang dapat dirujuk sejak penangkapan Anwar Ibrahim yang didakwa berdasarkan Internal Security Act pada tanggal 20 September 1998. Saya ingin menyampaikan bahwa melalui berbagai proyek film independen, para sutradara ini menyuarakan sekaligus me-reka ulang kewarganegaraan. Apa yang penting dalam merumuskan konsep-konsep yang berbeda tentang identitas orang Malaysia dalam film-film ini adalah bahwa, “tindakan ini secara tidak langsung mempertanyakan tanggung jawab masa depan terhadap orang lain” (Isin & Nielsen 4). Pada kasus Malaysian Gods, warga negara Malaysia keturunan Tamil ditampilkan sebagai “the other” yang representasinya sering dipinggirkan pada jaringan media yang bahasa dan kebudayaannya marginal . Tetapi hadirlah film dokumenter ini. Sebuah film yang dirancang dan diproduksi oleh warga Malaysia Melayu-Muslim dimana keseluruhan wawancara dilakukan dalam bahasa Tamil dengan sangat sedikit campuran bahasa Inggris dan Melayu. Untuk pertama kalinya warga negara Malaysia berbahasa Tamil yang senantiasa terpinggirkan diberi panggung untuk menyuarakan pendapat mereka tentang politik, membicarakan keseharian mereka, dan mengingat kembali masa-masa Reformasi serta memberikan pendapat tentang aksi politik komunitas India akhir-akhir ini. Setelah insiden yang melibatkan upaya Islamisasi yang dipaksakan, penghancuran kuil-kuil Hindu serta pengabaian hak-hak orang Tamil oleh pemerintah, kelompok Hindu Rights Action Force (Hindraf) mengorganisir demonstrasi besar-besaran pada bulan November 2007. Pada pemilu tahun berikutnya, warga negara Malaysia keturunan India melakukan boikot
International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
2
KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
terhadap Malaysian Indian Congress yang pemimpin puncaknya gagal untuk memenangkan kursi. Faktanya, eksplorasi film ini terhadap isu-isu di atas tidak terlalu tegas. Dari 18 orang yang diwawancarai, hanya 6 yang menyebutkan tentang Reformasi atau gerakan Hindraf atau menyuarakan ketidakpuasan atas kurangnya kesetaraan kesempatan. Film ini menampilkan sebagian kecil warga Malaysia berbahasa Tamil—para pedagang di daerah urban serta beberapa orang lain—sebagai orang kebanyakan yang rasional, pragmatis, dan jujur. Orang-orang yang lebih peduli pada kebutuhan ekonomi sehari-hari daripada situasi politik nasional. Meskipun penggambaran ini membantu mengikis stereotip negatif warga keturunan Tamil, ia tidak mewakili pandangan para pekerja ladang yang tergusur serta mereka yang berpartisipasi dalam demonstrasi Hindraf karena tergerak oleh pengalaman-pengalaman ketidak-adilan dan diskriminasi sebagai warga keturunan India di Malaysia. Jika tujuan Amir adalah untuk menarik benang merah antara Reformasi dan kebangkitan politik warga keturunan India, maka ia seharusnya memasukkan lebih banyak lagi warga keturunan dengan pandangan-pandangan politik yang lebih kuat serta mereka yang terlibat dalam demonstrasi Hindraf. Namun demikian, film ini sukses sebagai sebuah act of citizenship, sebagai sebuah usaha untuk menawarkan ruang bagi warga negara yang teralienasi untuk saling berempati satu sama lain. Film ini menyuarakan kerinduan kosmopolitan kaum muda Malaysia yang menganggap perbedaan ras dan etnis bukan sebagai penghalang melainkan sumber kekuatan.1 Kosmopolitanisme adalah sebuah konsep yang lebih liberal daripada pluralisme karena konsep ini mendekonstruksi sekaligus melampaui batas-batas yang dilestarikan oleh pluralis atas nama keunikan (Hollinger 1995: 85-86). Malaysian Gods mempertanyakan kesadaran kita yang bias ras dengan representasi lintas batas yang kosmopolit seperti penggambaran tentang sebuah lagu Melayu populer yang dimainkan dengan alat musik Cina oleh musisi Indian, 2 orang perempuan China yang fasih berbahasa Tamil, serta Selangor Chinese Assembly Hall, yang telah lama berfungsi sebagai ruang cosmopolitan hybrid dimana disana sering diselenggarakan festival musik indie di satu bagian gedung dan ibadah Wesak umat Buddha di bagian lainnya secara bersamaan.2 1
Namun, Hollinger sangat hati-hati untuk menarik garis pembeda antara universalisme—yang dianggap banyak kritikus sebagai konsep yang terlalu luas untuk mencakup keragaman, kekhususan dan sejarah—dan kosmopolitanisme yang lebih sensitif terhadap kebutuhan untuk solidaritas berkelanjutan yang lebih kecil dari spesies itu sendiri ( Hollinger 2006: xvii- xx). 2 Faktanya memang demikian, Selangor Chinese Assembly Hall dengan Civil Rights Committee-nya telah International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
3
KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
Proyek 15Malaysia juga dapat dilihat sebagai salah satu act of citizenship. Krisis politik dan berbagai kejadian yang memicu konflik antar agama dan antar ras yang merebak di Malaysia baru-baru ini mengusik para pembuat film sebagai individu sekaligus anggota masyarakat untuk segera memutar kameranya. Dalam film 15Malaysia (2009) para sutradara bersama-sama mendokumentasikan permasalahan sosial kontemporer. Film mereka menunjukkan bahwa kita hidup di negara yang penuh dengan ketidakadilan sosial dan represi; negara dimana jika seseorang angkat bicara maka ia dapat dengan mudah ditahan berdasarkan undang-undang Internal Security Act (One Future), negara yang memungkinkan anak-anaknya menjadi rasis atau mewarisi rasisme orang-orang dewasa (The Son, Chocolate), negara dimana pluralisme dapat berubah menjadi kesalahpahaman lintas budaya yang kadang lucu (Halal, Potong Saga), negara yang tingkat inflasinya tinggi (Duit Kecil), penuh dengan ketidaksetaraan sosial (House), dan korupsi yang dianggap lumrah (Slovak Sling, Rojak). Sejalan dengan keragaman tema dan isu yang diangkat, proyek ini juga melibatkan peserta yang beragam, mulai para sutradara film indie senior sampai sutradara-sutradara baru, seniman, dan animator. Meskipun secara umum mutu film proyek ini agak kurang berimbang, namun beberapa isu berhasil dikemas secara halus dan tak langsung, dengan menampilkan tokoh publik terkenal atau lokasi-lokasi yang strategis. Motivasi kosmopolit dibalik proyek ini adalah semangat untuk memperluas afiliasi, kasih sayang, dan empati terhadap etnik terpinggir dalam satu bangsa. Film ini adalah proyek patriotik anti rasis yang menyatakan ulang gagasan tentang sebuah bangsa atas nama rakyatnya yang beragam. Gagasan ini secara simbolis dilukiskan pada film Lumpur, sebuah film puitis tentang rasa memiliki terhadap sebuah bangsa yang berpusat pada kata Melayu ‘tanah air’ yang terdiri dari dua kata yaitu tanah dan air. Judul Lumpur ini muncul ketika sutradara mencampur sedikit tanah dengan air di dalam wadah. Ia juga mewawancarai beberapa orang dari berbagai latar belakang etnis untuk mengetahui pandangan mereka tentang kata tanah dan air. Di akhir film, ia menyaring air berlumpur itu dan meminum air bersih hasil saringan. Langkah di akhir film ini menunjukkan hubungan simbiosis antara manusia dengan lingkungannya (tanah dan air) yang banyak menyelenggarakan kegiatan-kegiatan progresif seperti protes damai untuk mendukung Aung San Suu Kyi pada bulan Mei 2009, seminar tentang perdagangan orang, mekanisme anti korupsi, dan forum publik untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi komunitas India di Malaysia. Banyak film independen oleh sutradara Malaysia ditayangkan di gedung ini termasuk Malaysian Gods (2009). International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
4
KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
menyampaikan pesan bahwa semua kelompok etnis sebenarnya saling bergantung satu sama lain untuk mewujudkan bangsa yang damai dan bersatu. Mengutip Haris Ibrahim, seorang advokat dan aktivis, pada sebuah wawancara tentang peran civil society dalam mempersatukan Malaysia lintas batasan etnis, “Setiap kita harus memiliki cinta, cinta terhadap sesama”3 Cinta disini dapat didefiniskan berdasarkan gabungan kata Yunani storge/kasih saying dan kepedulian, philia/persahabatan, dan agape/cinta kepada Tuhan atau sesembahan yang lain—sebuah cinta yang memberi dan tanpa pamrih yang diwujudkan dalam bentuk cinta kepada “yang lain” (bukan hanya kerabat tetapi juga orang asing sama sekali). Dengan semangat kasih saying, penghargaan terhadap perbedaan, dan tujuan yang sama, cinta ini merangkai kembali bayangan tentang masyarakat yang ideal melalui film independen dan video musik. Cinta yang patriotis adalah tema utama yang mengalir dalam nadi video musik “Here In My Home,” 15Malaysia dan Malaysian Gods.4 Pada akhir film Malaysian Gods muncul sebuah teks yang menyatakan bahwa pasca kebangkitan politik Malaysia tahun 2008, masyarakat tidak boleh berhenti bermimpi, “kita harus terus bergerak.” Sutradara 15Malaysia, Pete Teo, mengingatkan pada kita bahwa 15 film pendek tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan negara dan Malaysia membutuhkan lebih banyak lagi orang yang “berani maju ke muka dan terus menyalakan api reformasi.” Salah satu cara mendorong partisipasi yang lebih luas lagi atas proyek ini adalah dengan mengundang masyarakat luas untuk membuat film tentang negara “yang kita cintai” menggunakan format apapun berdurasi kurang dari 5 menit. Sampai saat ini 20 film telah diunggah ke dalam situs 15Malaysia.5
http://popteevee.popfolio.net/default.aspx?e=1049 The Fairly Current Show, Episode #92, aired 8 April 2010. Host Fahmi Fadzil interviews Haris Ibrahim on a report on PM Najib’s first year in office. 4 Another musical example is the hip hop self-parody, “I Am a Macha,” composed by the PopTeeVee team for “That Effing Show,” aired 24 February, 2010. http://popteevee.popfolio.net/default.aspx?e=1037 5 http://15malaysia.com/mymalaysia/ 3
International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
5
KHOO GAIK CHENG SUMMARY For participant information. Please do not cite. 14-6-2010
References Hollinger, David. Cosmopolitanism and Solidarity. Madison, Wisconsin: U of Winsconsin P, 2006. Hollinger, David. Postethnic America: Beyond Multiculturalism, New York: Basic Books, 1995. Isin, Engin F. and Greg M. Nielsen. Acts of Citizenship. London and New York: Zed Books, 2008. Khoo, Gaik Cheng. “Just Do-It-(Yourself): Independent Filmmaking in Malaysia.” InterAsia Cultural Studies 8.2 (2007): 227-247.
International workshop - Cultural Performance in Post-New Order Indonesia, 28-6-2010
6