KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Disusun Oleh :
YUNITA SEPTIANI 106011000208
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh Yunita Septiani NIM. 106011000208
Di bawah Bimbingan Dosen Pembimbing Skripsi
Eri Rosatria, M.Ag NIP. 19477017 196608 2 001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasyah pada tanggal 16 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjan S1 (S. Pd. I) dalam Bidang Pendidikan Islam
Jakarta , 16 Maret 2011 Panitia ujian Munaqasyah Tanggal
Tanda Tangan
……….
….................
……….
….................
……….
….................
……….
….................
Ketua Panitia (Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam) (Bahrissalim, M. Ag) NIP. 19680307 199803 1 002 Sekretaris (Sekretaris Jurusan Pendidikan) (Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag) NIP. 19680328 200002 1 001 Penguji I (Dra. Djunaidatul Munawaroh, M.Ag) 19580918 198701 2 001 Penguji II (Ahmad Irfan Mufid, M.A) 19740318 20031 2 002 Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA NIP. 19751005 198703 1 003
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................
3
C. Tujuan Penulisan ...............................................................
3
D. Manfaat Penulisan .............................................................
3
E. Metodologi Penulisan ........................................................
3
F. Kajian yang Relevan ...........................................................
4
G. Teknik Penulisan ................................................................
4
KONDISI
SOSIAL
BUDAYA
DAN
POLITIK
MASYARAKAT BAGHDAD
BAB III
A. Kondisi Sosial-Budaya masyarakat Baghdad ......................
5
B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad .................................
7
BIOGRAFI AL-MA’MUN A. Al-Ma’mun dan Latar Belakang Keluarganya .................... 11 1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun ........................ 11 B. Kehidupan Al-Ma’mun ...................................................... 13 1. Masa Kecil Al-Ma’mun ............................................... 13 2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun ........................ 14 C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah ................................... 21 1. Asal mula Munculnya Paham Mu’tazilah ..................... 22 2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah ...................... 24 3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah .............................. 25
iv
BAB IV
UPAYA-UPAYA AL-MA’MUN
YANG
DALAM
DILAKUKAN
KHALIFAH
MENGEMBANGKAN
ILMU
PENGETAHUAN A. Gerakan Penerjemahan ...................................................... 28 1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan ............................................................... 28 2. Munculnya Gerakan Penerjemahan .............................. 30 3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan Penerjemahan ...... 32 B. Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar ............................. 35 1. Upaya Khalifah Al-Ma’mun dalam Pengembangan Kegiatan Belajar Mengajar ........................................... 35 C. Pengembangkan Instituti Pendidikan .................................. 40
BAB V
HASIL YANG DICAPAI KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN A. Berkembangnya Baitul Hikmah ......................................... 42 B. Berkembangnaya Berbagai Cabang Ilmu Pengetahuan pada Masa Khalifah Al-Ma’mun ................................................ 47 1. Faktor-faktor
yang
menyebabkan
Pesatnya
Perkembangan Sains dan Filsafat ................................. 47 2. Perkembangan cabang-caban Ilmu Pengetahuan ........... 48 3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam berbagai Bidang Ilmu pengetahuan ............................................. 56
BAB VI
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 65 B. Saran ................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 67
v
KATA PENGANTAR Teruntai pujian penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“KHALIFAH
AL-MA’MUN
DAN
JASANYA
DALAM
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”. Shalawat teriring salam penulis sampaikan kepada sang revolusioner nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dalam berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing seminar proposal skripsi beserta staff Fakultas yang telah membantu secara administratif sehingga mempelancar penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Bahrissalim, M.A dan bapak Sapiudin Shidiq, M. Ag, Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) beserta staff. 3. Ibu Hj. Eri Rosatria MA, Dosen Pembimbing skripsi yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 4. Bapak Abdul Ghofur, MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Bapak pimpinan dan karyawan/karyawati Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan
i
Perpustakaan Imam Jama yang telah memberikan pelayanan dan pinjaman buku-buku yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini. 6. My Best Teacher, ayahanda K. H. Moch. Barzach Hidayat M. A dan Uminda Hj. Suryati 7. Ayahanda dan Ibunda yang dengan tenaga, peluh keringat dan air mata serta iringan do’a juga semangat sehingga mampu membuat ananda tetap teguh berjuang mencapai salah satu hal terbaik dalam hidup. 8. All brothers and sisters (A’ Din Haidi Sutrisna, Teh Yuhaeni, A’ Kosasih, A’ Azru, A’ Hendy, Bank Bogem, Yanuar Huda, Dhe Ncexs, Dhe Mhedy, Dhe Handy, Dhe Zaenal, Dhe Mely, Dhe Mput, Dhe Muhyi, Dhe Ipay, Dhe Chory, Iif dan Ipul) terimakasih untuk perhatian, kesabaran, semangat, kemanjaan, kerepotan, waktu, canda tawa dan air mata yang membuat penulis merasa berarti. 9. My Power Ranger, Phoel”(Ranger Ungu), Nenk Fathia (Ranger Merah), Nienk (Ranger Hijau), Nona Timas (Ranger Pink), dan Cyta (Ranger Biru) moga kita tetap bisa berkumpul membasmi rasa jenuh, bosan, pusing dan capek dengan sejuta petualangan. 10. My Favorit class, warga masyarakat E angkatan tahun 2006 yang penuh cerita (Sya”, Dhe”, Try, Wati, Qi”, Wely, Sule, Ozi, Shofi, Syifa, Ujank, Aan, Emy, dll) 11. Team rusuh di Jurusan, pak Faza, Fuzie, Ina, Arif, Iwat, K’Adhe, dan Imunk. Moga keberadaan kita bikin sejarah perubahan di jurusan. Team Lab. FITK (P’Yudhi, P’ Tanenji, P’Irfan, K’Iwan, bu Yati, Eka, Ephee, dan Linda) yang beda tempat tapi tetap kompak. 12. Sahabat spesial yang pernah hadir dan mengisi hari dalam kehidupan penulis walaupun hanya sejenak namun mampu menghadirkan berbagai rasa bahagia, kecewa, sedih, sakit, sepi, jenuh. Terima kasih untuk semuanya. 13. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.
ii
Demikianlah semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya atas kebaikan yang telah diperbuat. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta,
April 2011
Penulis
iii
ABSTRAK
Yunita Septiani, Khalifah Al-Ma’mun dan Jasanya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Khalifah al-Ma’mun merupakan salah satu khalifah daulah Abbasiyah yang termasuk ke dalam The Golden Age (zaman keemasan). Selama masa pemerintahannya banyak hal yang beliau lakukan khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, paham Mu’tazilah yang turut mempengaruhi pemikirannya, dan pengaruh pemikiran Persia yang tidak lain adalah daerah asal ibunya sedikit banyak mempengaruhi pemikiran al-Ma’mun. kedudukan akal yang sangat dijunjung tinggi yang juga membuat al-Ma’mun banyak melakukan pembaharuan dan terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Gerakan penerjemahan yang sudah dimulai oleh khalifah al-Manshur kembali digalakkan pada masa al-Ma’mun. Al-Ma’mun tidak segan-segan memberi imbalan besar kepada para penerjemah. Para pejabat pada masanya juga diwajibkan menguasai 2 bahasa, para pelajar dan ilmuan diberi fasilitas untuk melakukan rihlah ilmiah bahkan ketika menaklukkan suatu daerah bukan harta benda yang jadi fokus utama al-Ma’mun melainkan manuskrip-manuskrip yang dimiliki oleh daerah tersebut yang akan dipinjam Al-Ma’mun untuk kemudian diterjemahkan dan dijadikan koleksi tambahan di Baitul Hikmah. Baitul Hikmah yang dibangun oleh ayahnya Harun ar-Rasyid juga tidak luput dari perhatian beliau, keberadaan Baitul Hikmah begitu dimanfaatkan oleh al-Ma’mun sebagai tempat untuk para ilmuan berdiskusi, juga sebagai tempat berkembanganya ilmu pengetahuan. Dari kegiatan itulah muncul berbagai cabang ilmu pengetahuan dan para ilmuan yang sangat berguna bagi perkembangan umat Islam. Kata kunci : Khalifah al-Ma’mun, Jasanya dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah merupakan hal yang tidak boleh dilupakan sepanjang perjalanan hidup manusia, karena keberadaan sejarah dapat membuat manusia belajar untuk dapat hidup lebih baik. Sejarah yang pernah terjadi terkadang terulang kembali pada masa kini dengan atau tanpa disadari. Salah satu sejarah Islam yang cukup menarik perhatian adalah sejarah Daulah Abbasiyah yaitu daulah atau kerajaan yang muncul setelah daulah Umayyah. Tidak seperti daulah sebelumnya yang lebih mengutamakan kekuatan
militer
mengembangkan
dalam ilmu
pemerintahannya,
pengetahuan
dan
pada
daulah
meningkatkan
Abbasiyah
kesejahteraan
masyarakat menjadi hal yang sangat diperhatikan terutama pada masa pemerintahan beberapa khalifah. Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). 1 Walaupun sempat diwarnai perang saudara namun pemerintahan alMa’mun tidak kalah megah dan maju dengan kepemimpinan ayahnya Harun ar-Rasyid. Bahkan beliau melanjutkan perkembangan Baitul Hikmah yang 1
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40
1
2
telah dibangun Harun ar-Rasyid menjadi pusat ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah digunakan sebagai tempat diskusi dan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah yang hasilnya sangat bermanfaat untuk kerukunan masyarakat. Selain itu, pada masa ini, gerakan penerjemahan sangat digalakkan. Dari gerakan penerjemahan inilah mulai banyak bermunculan hasil karya para ilmuan yang karyanya diberi imbalan dengan gaji atau emas setara dengan berat karya mereka. Minat membaca masyarakat yang juga cukup tinggi turut membuat perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya. Paham Mu’tazilah yang juga sangat mempengaruhi pemikiran alMa’mun membuat dia sangat menjunjung tinggi kegunaan akal sehingga memunculkan berbagai macam upaya dan penemuan baru untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan.2 Perhatiannya yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuanlah yang kemudian memunculkan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Para dermawan pada saat itu pun tak ragu untuk membelanjakan hartanya untuk membantu para penuntut ilmu dan para ilmuan dalam melakukan perjalanan (Rihlah Ilmiah) demi untuk mendapatkan bahan yang dapat menambah khazanah keilmuan mereka. Dapat dikatakan pada masa itu para penuntut ilmu dan para ilmuan benar-benar berada dalam masa kejayaan ilmu pengetahuan. Dari kerja keras merekalah kemudian bermunculan berbagi macam karya yang tidak hanya berguna tapi sangat membanggakan umat Islam. Dari latar belakang masalah di atas maka penulis menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ”.
2
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet Ke-IV, H. 128
3
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar permasalahan terarah, maka masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah jasa dan hasil yang dicapai khalifah AlMa’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah “Apa saja jasa dan hasil yang dicapai khalifah AlMa’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan?”
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka penulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejarah khalifah Al-Ma’mun dan jasa-jasa serta hasil yang dicapai khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dilakukan pada masanya yang membuat khalifah AlMa’mun menjadi salah satu khalifah yang paling gemilang pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah.
D. Manfaat Penulisan Hasil penulisan ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang sejarah dan sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
E. Metodologi Penelitian Dalam penulisan ini penulis menggunakan library research atau penelitian kepustakaan (Deskriftif Analitif), yaitu meneliti, menghimpun dan mengkaji beberapa literatur dan kepustakaan yang ada relevansinya dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini. Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah dan Kebudayaan Islam karya Ahmad Syalaby. Sedangkan sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern karya Dudung Abdurrahman, kitab Al-Kamil fit-Tarikh
4
karya Ibnul Atsir, Sejarah Kekuasaan Islam karya Fa’al M. Fahsin, , Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah karya Fadil SJ, dan lain-lain.
F. Kajian yang Relevan Dalam proses penulisan skripsi ini penulis belum mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang khalifah al-Ma’mun secara khusus.
G. Teknik Penulisan Untuk teknik penulisan skripsi ini penulisan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi , Tesis dan Disertasi, oleh UIN Jakarta Press, 2009.
BAB II KONDISI SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK MASYARAKAT BAGHDAD A. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Baghdad Masa kejayaan peradaban Islam, ditandai oleh kebhineka tunggal ikaan, dalam berbagai aspek peradaban. Diwarnai oleh keberagaman dalam bidang kehidupan keagamaan, keberagaman dalam pemikiran-pemikiran kefilsafatan, keberadaan dalam warna dan corak keseniannya, timbulnya sistem sosial politik yang diwarnai oleh peradaban dan budaya local yang berbeda-beda, dengan tingkat perekonomian serta ilmu pengetahuan, serta tekhnologi yang beragam yang kesemuanya saling mendukung dan dijiwai sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan hidup umat manusia lahir batin, dunia akhirat.1 Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan ini. Pusat kekuasaan Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur seperti Persia, India, China, dan Nusantara dan wilayah barat seperti Negara-negara 1
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN Malang Press, 2008) cet. Ke-I, h. 149
5
6
Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Wilayah imperium ini membentang sepanjang 6.500 kilometer dari Sungai Indus di India di sebelah timur sampai ke perbatasan barat Tunisia, Afrika Utara di sebelah barat dan selua 3000 kilometer dari Aden, Yaman di selatan sampai pegunungan Armenia, Kaukasia di utara. Penduduk Daulah Abbasiyah terdiri dari berbagai etnik dan suku bangsa yang hidup di wilayah yang memiliki cuaca dan kondisi geografis yang sangat berbeda.2 Khalifah al-Mansur salah satu khalifah daulah bani Abbasiyah dan pegawai-pegawainya yang mempunyai ide membuat ibukota yang baru itu. Tempatnya baik, berangin, udaranya nyaman, dibentengi oleh alam asli dari serangan-serangan musuh, mudah mengadakan hubungan dengan kebanyakan wilayah-wilayah kerajaan Islam. Letaknya di tebing Sungai Dajlah dan melalui sungai itulah datang barang-barang dagangan dari India, Sind, Cina, Basrah, Ahwaz, Mausil, Diar Bakar dan Diar Rabi’ah. 3 Mula-mula yang dibangun ialah dua tembok: tembok sebelah dalam dan tembok sebelah luar. Ukuran garis bulatan tengah tembok sebelah dalam ialah 1,200 hasta, tingginya 35 hasta dan lebarnya dari sebelah bawah ialah 20 hasta. Sementara tembok sebelah luar, lebarnya dari sebelah bawah ialah 50 hasta dan dari sebelah atasnya 20 hasta dan tingginya 30 hasta. Lebar di antara kedua tembok itu ialah 60 hasta. Keseluruhan tembok tersebut mempunyai gerbang berhadapan dengan empat ruas jalan raya, dan masing-masing gerbang menghadap ke satu arah tertentu yang masing-masing mempunyai nama sendiri-sendiri yaitu Gerbang Kufah, Gerbang Basrah, Gerbang Khurasab dan Gerbang Syam. Di antara tiap-tiap gerbang itu terdapat kubah dibuat dari emas, di atas setiap kubah terdapat 28 menara. Pembangunan kota Baghdad menghabiskan dana sebesar 4,000,833 dirham, dan sebagian besar pekerja-pekerja yang terlibat dalam pembangunan 2
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta, LESFI, 2004), Cet. Ke-II, h. 97-98 3 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h.177
7
itu adalah insinyur dan orang-orang kenamaan. Di antarany adalah al-Hajjaj bin Artaah yang turut merancang pembangunan kota itu, dan Imam Abu Hanifah yang bertugas menghitung batu-batu yang diperlukan. 4 Kehidupan sosial masyarakat Islam terdiri dari orang muslim dan non muslim (dzimmi). Dari segi etnis, orang muslim dibedakan atas orang Arab dan non Arab (‘ajam) seperti keturunan Turki, Persia, Qibthi, Syiria, Barbar, Andalusia (Vandal) dan lain sebagainya. Kehidupan sosial masyarakat pada mulanya, menunjukkan adanya struktur kelompok atau kelas yang terdiri dari : 1. Kelas penguasa, yaitu kelompok orang Arab yang memegang kekuasaan; 2. Kelas menengah, yang terdiri dari orang Islam yang bukan Arab (penduduk asli suatu daerah yang kemudian masuk Islam; 3. Kelompok
non-muslim
yang
berada
di
bawah
perlindungan
pemerintah/kekuasaan Islam, disebut kaum dzimmi; 4. Kelompok kaum pekerja, yang terdiri fari kaum budak belian; namun pada masa kejayaan peradaban Islam (Abbasiyah) telah terjadi pembauran antara kelompok-kelompok tersebut. 5 Kemegahan dan kemakmuran Baghdad turut pula membuat peradaban kamu muslimin semakin maju dan jauh lebih hebat dari peradaban bangsa Eropa. Kaum muslimin tidak saja mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang didapat dari bangsa Eropa tapi dengan kemahiran, kecerdasaan, sikap ingin menelaah kaum muslimin berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut menjadi lebih bermanfaat. Sehingga pada perkembanggannya kaum muslimin tidak lagi berguru kepada orang-orang Yunani seperti yang dilakukan sebelumnya.
B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad Gerakan revolusi Abbasiyah juga mempergunakan suku Arab Selatan, orang-orang Qais Yaman yang membenci Bani Umayyah karena tersingkir dari lingkaran kekuasaan Bani Umayyah yang lebih memilih pesaing mereka, 4 5
Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 178 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 154
8
suku Arab dari wilayah Utara, Qais, dan Mudar. Orang-orang Yaman inilah yang menjadi salah satu tulang punggung kekuatan Abu Muslim al-Khurasani, jenderal Persia yang menjadi salah satu inti kekuatan gerakan Revolusi Abbasiyah. Gerakan penggulingan imperium Umayyah ini sukses berkat organisasi tentara yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim al-Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang terdiri dari orang Arab dan non-Arab yang diperlakukan secara setara. Dialah yang memulai pemberontakan terbuka terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang pertama dapat ditaklukkan adalah wilayah Khurasan. Setelah ditalukkan, wilayah ini menjadi basis kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. 6 Kekuasaan Harun Al- Rasyid amat luas, yang terbentang di daerahdaerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah Timur. Puncak kejayaaan pemerintahan Bani Abbas pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, Al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi, dan politik. Pada tahun 791 M, Harun Al-Rasyid, atas permintaan Ratu Zubaidah, menunjuk ketiga anak laki-lakinya Al-Amin, AlMa’mun, dan Al-Qasim sebagai calon-calon pengganti secara berturut-turut setelah kematiannya. Tampaknya di sini kelemahan Harun. Karena sangat sayangnya pada Zubaidah, ia sering menuruti kemauan isterinya. Untuk memberikan latihan politik kepada anak-anaknya, Harun membagi imperium ke dalam tiga bagian. Al-Amin diberi tanggung jawab atas wilayah Barat, al-Ma’mun wilayah Timur, dan al-Qasim bertanggung jawab atas wilayah Mesopotamia.7 6
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern, h.
99 7
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40
9
Ar-Rasyid membaiat anaknya Muhammad Al-Amin sebagai “Putra Mahkota” pada hari Kamis bulan Sya’ban 173 Hijriah, dan diberikan kekuasaan daerah Syam dan Irak. Kemudian juga membaiat anaknya Abdullah Al-Ma’mun di Ra’fah pada tahun 183 H, dan diberi kekuasaan daerah Hamdan sampai akhir Masyriq (wilayah timur).8 Ketika masih menjadi putera mahkota, al-Ma/mun diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw. Berkat bantuan wazirnya. Al-Fadhal bin Sahal, popularitas yang diperolah AlMa’mun di daerah Persia semakin lama semakin meningkat yang kemudian mengakibatkan timbulnya perselisihan dengan kakaknya khalifah Al-Amin. Oleh Al-Amin, kedudukan Al-Ma’mun sebagai putera mahkota dicopot, digantikan oleh putera Al-Amin sendiri yang bernama Musa. Pada mulanya Al-Ma’mun tidak berkeberatan untuk melepaskan kedudukannya tersebut, namun wazinya, Al-Fadhal bin Sahal mendesaknya untuk menolak tindakan pemecatan yang dilakukan oleh Al-Amin.9 Ketegangan di antara Al-Amin dan Al-Ma’mun mulai muncul dan berkembang berkaitan dengan status otonomi Propinsi Khurasan. Para perwira militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah Al-Amin untuk menguasai propinsi penting ini, meskipun berarti harus menyingkirkan saudaranya sendiri Al-Ma’mun, dan melanggar piagam Perjanjian Makkah tahun 186 H/802 M. Desakan militer ini juga didukung oleh Al-Fadhl bin ArRabi, hajib istana yang telah menjadi orang kepercayaan khalifah. Selama 2 tahun, pihak Baghdad mendesak Al-Ma’mun agar mau tunduk kepada kekuasaan khalifah. Al-Ma’mun sendiri sebenarnya tidak melakukan persiapan yang memadai jika ternyata Baghdad menggunakan kekerasan. Kekuatan militernya sangat kecil dan kesetiaan mereka juga tidak dapat diandalkan. Akan tetapi, berkat nasihat menterinya Al-Fadhal bin Sahal, ia menolak desakan Baghdad. Menurut Al-Fadhal bin Sahal, Al-Ma’mun bekerja
8
Syauqi Abu Khalil, Harun Ar-Rasyid Amirul Khulafa (Pustaka Azzam, Jakarta, 2002), Cet. Ke-
9
Ensiklopedi Islam, (Departemen Agama RI, Jakarta, 1988), h. 124
I, h. 53
10
sama dengan para kepala suku dan pemimpin golongan tertentu di Khurasan yang kurang menyukai dominasi Baghdad atas negeri mereka.10 Perpecahan kedua saudara ini bertambah serius setelah Al-Amin mengubah isi piagam wasiat Harun Al-Rasyid yang menyatakan bahwa Harun ar-Rasyid akan melantik al-Ma’mun setelah al-Amin serta meletakkan wilayah Khurasan hingga Hamdan di bawah pemerintahan al-Ma’mun, namun Khalifah al-Amin justru mengangkat Isa bin Isa menjadi gubernur Khurasan. Kemudian, sebuah angkatan perang, yang menurut sebuah riwayat, berjumlah 40 ribu orang, dipersiapkan untuk membebaskan Khurasan. Untuk menghadapi balatentara yang besar ini, Al-Ma’mun mengangkat Tahir bin AlHusain (775-822 M) untuk memimpin satu unit pasukan sekitar 5.000 orang. Tahir bin Al-Husain sendiri menyatakan bahwa ini merupakan misi bunuh diri. Akan tetapi, ketika kedua pasukan bertempur di pinggir kota Rayy bulan Mei 811 M, Ali bin Isa dari pihak Baghdad terbunuh dan pasukannya kocarkacir. Para sejarawan memandang perselisihan antara Al-Ma’mun dan AlAmin sebagai perselisihan antara orang-orang Persia dan orang-orang Arab. Karena dalam perselisihan tersebut, Al-Ma’mun didukung oleh orang-orang Persia, sedangkan Al-Amin yang ibunya orang Arab didukung oleh orang Arab. Ini berarti kemenangan “pengaruh” Persia atas pengaruh Arab. 11
10
Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, , 2003) Cet. Ke-II, h. 95 11 Musyarifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, ( Jakarta : Prenada Media, 2003), Cet. I, H. 50
BAB III BIOGRAFI AL-MA’MUN A. Latar Belakang Keluarga Al-Ma’mun 1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun Al-Ma’mun adalah putera dari Harun al-Rashid yang merupakan putra dari al-Mahdi, ia dilahirkan di Ravy pada Februari 763 M. dia diberi pendidikan oleh Barmakiy yang berbakat, Yahya bin Khalid. Pada usia 23 tahun, dia menggantikan saudaranya Hadi sebagai Khalifah Abbasiyah pada September 786 M. Segera setelah diangkat, dia menunjuk Yahya Barmakiy sebagai Perdana Menteri dan selama 17 tahun kemudian, Yahya dan empat putranya, memimpin kerajaan dan memegang kekuasaan penuh atas kekhalifahan Abbasiyah.1 Ibu Harun ar-Rasyid bernama Khaizuran, seorang bekas sahaya (ummu al-Walad) yang dijadikan permaisuri oleh al-Mahdi. Harun alRasyid berperawakan tinggi, berkulit putih, gemuk dan tampan. 2 Harun ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. ketika usianya baru dua puluh tahun dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada masa pemerintahan ayahnya. Selain itu
1
M. Atiqul Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta : Diglossia, 2007), cet ke- I, h. 273 2 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta : IAIN, 1988), h. 316
11
12
dia juga dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam segala perkara. Dia melakukan ibadah haji sebanyak sembilan kali. 3 Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai 2 sifat yang sangat berlawanan, ketika marah Harun begitu garang dan menggeletar seluruh tubuh, dan kalau memberi nasihat, dia menangis tersedu sedan. Harun mendekati pelawak-pelawak penglipur lara yang karut dan juga pahlawanpahlawan yang cakap dan gagah. Sehingga
Harun ar-Rasyid
diumpamakan sebagai angin ribut yang kencang dan kadang-kadang pula sebagai bayu yang bertiup sepoi-sepoi basah. Di sisi lain Harun ar-Rasyid lebih banyak menggunakan akal dari pada emosi.4 Selain itu, Harun dikenal sebagai sosok khalifah yang selalu setia mendengarkan nasihat-nasihat dan sering kali menangis karena takut kepada Allah. Dia adalah salah seorang khalifah yang memiliki sifat-sifat utama. Dia seorang yang fasih dalam berbicara. Juga salah seorang ulama di antara mereka dan orang yang paling mulia dan terhormat. Di antara kerja mulia yang dia lakukan untuk ilmu pengetahuan adalah pendirian Baitul Hikmah, sebuah akademi yang menjadi mercusuar ilmu dan peradaban di dunia pada masa itu. Sebuah akademi yang darinya muncul obor bagi kebangkitan sains di Eropa setelah itu. 5 Harun ar-Rasyid menikah dengan Zubaidah binti Ja’far bin abu Ja’far Al-Manshur. Zubaidah adalah seorang wanita mulia yang memiliki wawasan yang luas dan perhatian yang besar terhadap para ulama, penyair dan dokter. Dia seorang yang cerdik, pintar, fasih dalam berbicara dan menguasai ilmu balaghah.
Dia adalah sepupu Harun ar-Rasyid yang
begitu disayanginya Zubaidah adalah ibu dari al-Amin. Kemudian Harun menikah lagi dengan Marajil seorang bekas hamba sahaya dari Persia yang meninggal tidak lama setelah melahirkan al-Ma’mun. 3
Ahmad Al-Uasairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX, (Jakarta : Akbarmedia, 2009), cet. Ke-VII, h. 227 4
Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 72
5
Ahmad Al-Uasairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX, h. 228
13
Harun meninggal pada tahun 193-H/808 M. Dia memerintah selama 23 tahun karena terserang suatu penyakit di suatu tempat bernama Tus ketika akan menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh Rafi’ bin Laith di daerah Khurasan.6
B. Kehidupan Al-Ma’mun 1. Masa kecil Al-Ma’mun Abdullah Abul-Abbas Al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 198-218 H/ 813-833 M. Al-Ma’mun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya Al-Amin 194-198 H/809-813 M.7 Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan kedua putranya Al-Ma’mun dan Al-Amin kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab al-Muwatha, karangan Imam Malik sendiri dalam waktu yang sangat singkat, Al-Ma’mun telah menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tatanegara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.8 Harun Al-Rasyid pun mempercayakan anak-anaknya dengan memberi tanggung jawab penuh kepada guru pribadi. Al-Ma’mun berada di bawah bimbingan Ja’far Ibn Yahya seorang yang bijak dalam berbicara, bijaksana dalam berpikir, murah hati dan pemaaf . Ja’far juga mengusulkan kepada Harun untuk mencalonkan al-Ma’mun sebagai khalifah yang kemudian disambut baik oleh Harun 9 Al-Ma’mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan 6
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h. 124 7 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 114 8 Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalam http://eone26donk.blog.com, 06 September 2010 9 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : Grasindo, 2002) h. 41
14
nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran beliau nyanyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh.10 Dalam Al-Tabari (ay. 32, hal 231) dijelaskan bahwa sosok AlMa’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang. 11 2. Masa remaja dan dewasa Al-Ma’mun Al- Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan Al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku di zamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan. Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian masa keemasan Islam itu bernama Al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam s Al-Ma’mun dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dia mendorong dan
menyukai
mempromosikan
ilmu
diadakannya
pengetahuan
ia
berbagai mendirikan
diskusi.
Untuk
perpustakaan,
observatorium dan lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi berkembang dan dilindungi olehnya.12 10
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 121-122 Michael Cooperson, “Al-Ma’mun”, (Oxford, Oneworld Publications, 2005), dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011 12 Masudul Hasan, History of Islam : Clssical Period 571-1258 C. E., (Adam Publishers, Delhi, 1992), Cet. Ke-I, h. 219 11
15
Khalifah Al-Ma’mun terkenal sebagai seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, dan bertoleransi. Seandainya beliau mengatur rencana jahat untuk menyingkirkan orang, maka yang memaksa beliau berbuat demikian ialah keadaan dan masalahmasalah besar yang begitu mendesak. Beliau tidak melakukannya karena tunduk kepada hawa nafsu atau untuk memenuhi keinginan menumpahkan darah, tetapi sebaliknya untuk melenyapkan huru-hara dan pemberontakan. Fenomena lain ternyata kelihatan pada usaha-usaha pembunuhan yang digalakkan oleh Al-Ma’mun. pembunuhan tersebut hanyalah ke atas siapa yang ditakuti bisa membahayakan saja, tidak melihat keluarga si mangsa atau perampasan harta benda. Di samping itu, hal yang juga menyangkut diri Al-Ma’mun. yaitu seolah-olah apa yang terjadi itu tidak ada hubungannya dengan dirinya, dan beliau sendiri berusaha sepenuh tenaga untuk meringankan kesan buruk yang menimpa keluarga korbannya itu. 13 Pemaaf adalah salah satu dari sifat Al-Ma’mun yang paling nyata. Beliau memaafkan Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ yang telah menghasut berbagai pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahim Al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di Baghdad semasa Al-Ma’mun berada di Merw, walaupun Al-Mu’tashim dan Al-Abbas bin Al-Ma’mun menyarankan agar Ibrahim dibunuh. Beliau memaafkan Al-Husain AdhDhahak yang pernah mengatakan bahwa sesudah kematian Al-Amin, AlMa’mun tidak akan merasa gembira memegang jabatan khalifah, karena beliau adalah orang yang senantiasa diburu dan disingkirkan. Khalifah Al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi. Al-Ma’mun menikah dengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin Sahl salah satu menteri dalam pemerintahan al-Ma’mun yang juga masih saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Mengenai peristiwa ini Ibnu Tabatiba 13
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 289-290
16
menceritakan bahwa Al-Hasan telah mengeluarkan belanja besar serta menaburkan mutiara yang tiada terkira banyaknya karena perkawinan itu. Al-Hasan telah membagi-bagikan buah-buah tembikar yang diletakkan sekeping kertas kecil bertulis dengan nama salah satu perkebunannya. Siapa yang mendapatkan tembikar yang berisi kertas tersebut, maka dia diberikan kebun yang telah ditetapkan itu. Undangan yang dibuat terlalu besar sehingga Al-Ma’mun sendiri menganggapnya sebagai pemborosan. Untuk menyambut khalifah Al-Ma’mun, Al-Hasan telah membentangkan hamparan tenunan emas bertahtakan seribu mutiara.14 Pernikahan ini dirayakan dengan pertunjukan dan arak-arakan besar-besaran yang tidak biasa. Buran memberikan pengaruh yang besar kepada khalifah. Dermanya begitu besar, dan dia mendirikan beberapa rumah sakit di Baghdad.15 Pada masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk menceraikan isterinya karena tidak kunjung memberikannya keturunan. Namun atas bantuan dari hakim Suriah yang bersimpati kepada isterinya maka perceraian itu pun tidak terjadi. Selama menjadi khalifah , Al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak pindah ke Baghdad. Suatu pemberontakan di Kuffah yang dilakukan oleh Abu Suraya yang berhasil ditumpas oleh Hartsama mengundang kemarahan para anak buahnya di Baghdad sehingga menimbulkan kegaduhan dan kekacauan.16 Kemenangan ini merupakan titik balik bagi Al-Ma’mun. posisinya di Khurasan tidak tergoyahkan dan pengaruhnya di wilayah lain semakin besar. Tidak lama kemudian, Al-Ma’mun diproklamirkan sebagai khalifah. Pada saat yang sama reputasi khalifah Al-Amin di Baghdad semakin menurun. Ia tidak berhasil merekrut angkatan perang baru karena sukusuku Arab kurang mempercayainya. Ia tampaknya memang lebih mempercayai dan memanjakan tentara yang berasal dari Khurasan, akan 14
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 125 Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991), Cet. Ke-II, h. 271 16 Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, h. 96 15
17
tetapi satu persatu kota di daerah lain juga dapat dikuasai. Akhirnya bulan Agustus 812 M kota Baghdad terkepung oleh para pendukung AlMa’mun. pengepungan ini berlangsung selama setahun lebih dan akhirnya khalifah tertangkap dan terbunuh ketika ingin melarikan diri. Terbunuhnya khalifah telah menurunkan prestise kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Kota Baghdad mengalami dekadensi akibat perang dan barulah pada tahun 819 M khalifah Al-Ma’mun memindahkan pusat pemerintahannya dari Khurasan ke Baghdad dan sejak itu Bahgdad mulai aman kembali. Pada tahun-tahun berikutnya, Al-Ma’mun mengadakan konsolidasi seluruh wilayah Islam yang telah terkoyak-koyak akibat perang saudara. Pemerintahan Al-Ma’mun menandai pemisahan antara periode awal dan periode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu kekhalifahan pada tahun-tahun pertama sekarang turun dari panggung kekuasaan. Di antara kelompok ini, yang paling penting adalah para abnâ’ (keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan). Klan Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peran penting selama ini, setelah periode ini, peranan mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama juga halnya dengan keluarga-keluarga Arab, seperti AlMuhallabi dan Syaibani. Mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan Al-Ma’mun, kelompok-kelompok tersebut digantikan oleh orang-orang baru yang dengan ideologi baru ingin menerapkan metode pemerintahan yang baru pula. Kelompok yang paling penting dan berpengaruh adalah yang dipimpin saudara khalifah Al-Ma’mun sendiri yang bernama Abu Ishaq.17 Setelah perang saudara berakhir dengan kemenangan Al-Ma-mun, beliau naik tahtah. Masa kekhalifahan Al-Ma’mun selama dua puluh tahun itu bisa dibagi ke dalam dua bagian , yaitu : (a) Kehausan Al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan dirinya di dalam mempelajari kebudayaan dan membahas filsafat di Merv, dengan menyerahkan tugas pemerintahannya 17
Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , h. 96
18
kepada Al-Fadhal bin Sahal. Al-Fadhal bin Sahal mulai menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan Al-Ma’mun kepadanya. Fadhal bernafsu untuk tetap memegang kekuasaan di Merv, kabar mengenai keadaan yang sebenarnya di Barat tidak diperkenankan sampai kepada khalifah, dan beliau dibiarkan tidak mengetahui sama sekali tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Irak dan Siria. (b) Dalam masa empat belas tahun berikutnya, Al-Ma’mun memegang sendiri kendali pemerintahan. Pada tahun 819 M Al-Ma’mun mengambil alih tanggung jawab atas imperium. Dengan kembalinya beliau berkuasa, semua kekacauan berhenti. Al-Ma’mun menyibukkan diri dengan bersemangat dalam pekerjaan mereorganisasi pemerintahan. Pemerintahan Kota Suci dipercayakan kepada seorang bani Ali. Kufah dan Basrah diserahkan kepada kedua orang saudara Khalifah. Tahir bin Hussain diangkat menjadi Gubernur Khurasan. Anak Tahir yang bernama Abdullah dipercayai memegang jabatan Gubernur Siria dan Mesir, bersama-sama dengan tugas menaklukkan Nasar Okaili.18 Kemenangan yang diraih Al-Ma’mun dalam perang saudara yang terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun sedikit banyak meninggalkan berbagai masalah katidakpuasan dari beberapa pihak yang kemudian memunculkan pemberontakan-pemberontakan antara lain : a. Pemberontakan Abus-Saraya Abus-Saraya as-Sari bin Mansur as-Syaibani, salah seorang panglima besar di dalam angkatan bersenjata yang dipimpin oleh Hartsama disingkirkan oleh al-Fadhl bin Sahal, setelah keberhasilannya dalam pertarungan menentang al-Amin, dan digantikan dengan saudara al-Fadhl sendiri, yaitu al-Hasan bin Sahl. Abus-Saraya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan kota Kufah yang dikejar oleh tentara pemerintah, yang dapat menawannya setelah Abus-Saraya mendapat cidera parah di dalam salah satu pertempuran, di mana tentaranya mengalami kekalahan besar. AbusSaraya kemudian dibawa menghadap Al-Hasan bin Sahal, yang kemudian memerintahkan supaya ia dibunuh dan disalibkan, yaitu
18
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, ”(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991),h. 229
19
pada tahun 200 H. Gerakan pemberontakan itu berjalan selama 10 bulan. b. Pemberontakan Nasr bin Syabats Nasr bin Syabats ialah seorang bangsawan Arab yang melihat merosotannya kedudukan bangsa Arab dan kuatnya pengaruh bangsa Parsi hasil dari pembunuhan tehadap Al-Amin serta pemindahan kekuasaan kepada Al-Ma’mun. Dia telah bangkit memimpin suatu pemberontakan untuk mempertahankan keturunan Arab. Pemberontakannya mulai pada tahun 198 H, setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap Al-Amin, dan menjadikan kota Yaksum di utara Syria sebagai pusat gerakannya. Khalifah Al-Ma’mun telah memerintahkan Tahir bin Al-Husain supaya menyerahkan pemerintahan kota Baghdad kepada Al-Hasan bin Sahal dan keluar untuk memerangi Nasr. 19 c. Pemberontakan Baghdad dan pelantikan Ibrahim bin al-Mahdi sebagai khalifah Setelah terjadi pembunuhan terhadap Al-Amin, Al-Fadhal bin Sahal mencoba menggunakan kekuasaannya dengan sewenangwenang. Dia telah melantik saudaranya Al-Hasan bin Sahal sebagai pegawai pemerintah di Iraq. Al-Fadhal sendiri berkuasa atas seluruh wilayah Khurasan. Khalifah al-Ma’mun memejamkan mata dan tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Al-Fadhal bin Sahal juga telah menyingkirkan dua panglima yang telah membuat kemenangan, yaitu Tahir dan Harstamah agar berada jauh dari Baghdad. Selain itu AlFadhal melantik seorang dari golongan Alawiyah sebagai putra mahkota, dengan demikian dia telah merintis jalan bagi pemindahan kekuasaan dari golongan Abbasiyah kepada golongan Alawiyah. d. Pemberontakan Zatti Menurut Ibnu Khaldun, Zatti ialah suatu kelompok dari berbagai keturunan yang mengambil kesempatan untuk membuat perlawanan sewaktu pihak tentara sedang sibuk mengalami peperangan. Mereka telah menutup jalan yang menuju ke Basrah, serta merusak kampung-kampung dan wilayah-wilayah. Mereka hanya bertujuan untuk menculik dan menimbulkan kekacauan. e. Pemberontakan orang-orang Mesir Di Mesir meletus suatu pemberontakan yang timbul di antara kaum Arab Utara dan kaum Arab Selatan. Kaum Arab Utara memberi dukungan kepada Al-Amin sedangkan kaum Arab Selatan memberi dukungan kepada Al-Ma’mun. Sebagian orang Mesir mengambil kesempatan dari pemberontakan ini dan bangkit menentang orang19
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 130
20
orang Arab. Al-Ma’mun mewakilkan kepad Abdullah bin Tahir untuk menumpas pemberontakan tersebut. Abdullah telah berhasil menjalankan tugasnya, tetapi kepada ia meninggalkan negeri Mesir, pemberontakan itu kembali meletus, menyebabkan Al-Ma’mun terpaksa pergi sendiri untuk memperbaiki keadaan di sana serta memulihkan keamanan dan ketentraman. Sedangkan di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan alMa’mun ialah Yahya bin Aktsam al-Tamimi yang menjadi Qadhi Besar (Hakim Besar) dan juga salah satu ahli Hadist yang terkemuka, Ahmad bin Abu Daud al-Mu’tazili seorang alim yang disegani di istana. Karena usianya yang panjang, dia telah berpeluang berhubungan dengan banyak khalifah-khalifah, serta Qadhi Besar di zaman al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan di permulaan zaman al-Mutawakkil.20 Tidak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan daulah Abbasiyah salah satu masanya adalah pada pemerintahan khalifah AlMa’mun. sosok yang sejak belia sudah menunjukkan sikap dan sifat yang baik sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapat sejak belia ini pula yang dapat menjadi landasan bagaimana beliau menjalankan pemerintahannya termasuk kepeduliannya yang teramat sangat terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Perhatian yang sangat besar beliau tunjukkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang beliau lakukan untuk mewujudkan kecintaan dan perhatiaannya terhadap ilmu pengetahuan yang bukan hanya bermanfaat bagi dirinya pribadi tapi dapat menjadi salah satu sumber kekuatan terbesar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di kemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan. Al-Ma’mun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. usianya saat itu 48 tahun. Semoga Allah merahmatinya dengan bakti dan kebaikan yang disumbangkan kepada agama Islam dan kaum muslimin.21
20 21
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 141 Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 144
21
C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah Dikalangan umat Islam, sejalan dengan perkembangan akal pikiran yang menurut Islam memang harus dikembangkan, timbullah berbagai macam aliran keagamaan yang mempunyai sikap dan pandangan keagamaan yang berbeda-beda. Tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal pada pertikaian politik yang kemudian merembes atau meningkat pada masalah keagamaan. 22 Secara garis besar aliran-aliran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dalam bidang akidah (teologis), hukum dan tasawuf. Dalam bidang akidah (teologi) terdapat golongan Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Dalam bidang hukum ada berbagai mazhab seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sementara itu, dalam bidang tasawuf berubah menjadi organisasi-organisasi keagamaan yang disebut Thariqah. Thariqah yang muncul pada masa itu antara lain : Qodariyah, Rifayah, Baidawiyah, Dasuqiyah, Bayyuniyah, dan Sadziliyah.23 Dalam bidang akidah (teologi) beberapa aliran atau golongan sempat menimbulkan konflik keagamaan antara lain : 1. Syiah Golongan Syiah bergabung dan aktif bekerja sama dengan keluarga Abbas dalam menjatuhkan daulat Umayyah. Namun, setelah diketahui bahwa keluarga Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka sendiri dan kemudian membentuk dinasti Abbasiyah, kaum Syiah mengambil sikap melawan mereka. Seperti dalam kasus Muhammad, salah seorang anggota keluarga Ali bin Abi Thalib. Dia tidak bersedia membaiat kekhalifahan Abbasiyah dan bahkan mengirimkan saudaranya, Ibrahim bin Abdillah, untuk menyemarakkan kampenyenya. Kekalahan syiah ini membawa lembaran sejarah baru bagi golongan Syiah itu sendiri.
22
A. Hanafi, Teologi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 8-9 Fadil SJ, pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN Malang Press, 2008), cet. I, h. 153 23
22
2. Khawarij Pada masa khalifah al-Manshur, kelompok ini mengadakan pemberontakan di Afrika yang dipimpin oleh Abu Hatim. Saat melawan golongan ini, al-Manshur mengirimkan pasukan sebanyak 60 ribu personel dibawah pimpinan Yazid bi Hatim bin Qabishah. Pertempuran ini menelan 30 ribu orang.24 3. Qodariyah Mazhab Qodariyah didirikan oleh Ma’bad Ibn Khalid Al-Juhani (699 M/79H). mazhab ini berpandangan bahwa manusia mampu berbuat dank arena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an seperti tangan Tuhan, melihat dan mendengar, dipahami secara takwil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah. 4. Jabariyah Paham jabariyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Shafwan (745 M/127 H). pandangan utama paham ini bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan, kebajikan, dan kejahatannya. Manusia dalan hal ini tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak danperbuatannya; karena itu tidak ada
kekuasaan
manusia
untuk
melakukan
pilihan
atas
segala
perbuatannya.25 1. Asal mula munculnya Paham Mu’tazilah Gerakan Mu’tazilah dimulai pada akhir abad pertama hijriah. Asalusul gerakan ini dimulai dari seorang ulama yang termasyhur. Hasan AlBasyri. Suatu hari ia ditanya pendapatnya tentang perbedaan pendapat antara Murjiah dan Khawarij, yaitu apakah seorang Muslim yang melakukan dosa besar harus dianggap sebagai seorang mukmin atau seorang kafir. Sementara Hasan sedang mempertimbangkan pertanyaan itu, salah seorang muridnya, Wasil bin Ata, menjawab bahwa orang-orang 24
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta : Cv. Artha Rivera, 2008), h. 81 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 170 25
23
seperti itu tidak termasuk orang mukmin ataupun seorang kafir, tetapi harus ditempatkan di tengah-tengah (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Hasan tidak menyetujui pendapat Wasil, dan karenanya
Wasil
memisahkan diri dari aliran itu dan mendirikan suatu aliran sendiri. Karena itulah para pengikut Wasil disebut kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang memisahkan diri. “Meskipun cerita itu secara harfiah tidak benar, mungkin lebih aman kalau menganggap bahwa sekte baru yang dilahirkan di Basrah di antara murid-murid Hasan itu adalah kehidupan dan jiwa gerakan agama dalam abad pertama hijriah”. Kaum Mu’tazilah adalah penegak paham keinginan bebas dan rasionalisme, dan menolak paham takdir. Kemunculannya patut diperhatikan karena hal itu merupakan suatu reaksi etika terhadap ekses-ekses ajaran dan kebiasaan kaum Khawarij yang sangat fanatik. Dia juga melancarkan serangan yang berapi-api terhadap kelemahan etika kaum konformis politik, yaitu kaum Murjiah. Sementara kaum Murjiah mengikuti paham takdir, kaum Mu’tazilah mengikuti pemikiran bebas. Perbedaan mereka dengan kaum Khawarij terletak di dalam kenyataan bahwa kaum Mu’tazilah tidak begitu menekankan pada karya sebagai satu-satunya ukuran kepercayaan yang benar. Selama abad kedua, kaum rasionalis berhubungan dengan logika dan filsafat Yunani. Oleh karena itu, pada tahap permulaan gerakannya, hampir tidak ada pengaruh asing, dan mereka lebih merupakan puritan yang kaku daripada rasionalis.26 Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti ‘mengasingkan diri’. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Bashri, setelah melihat Washil memisahkan diri. Hasan Al-Bashri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut : I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orangorang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. ‘Mengasingkan diri’ bisa berarti mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat khawarij. 26
Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”, h. 272
24
Menurut teori lain nama Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orangorang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan Mu’tazilah menurut penulis sejarah Al-Thabari dan Al-Fuda memang sudah dipakai pada zaman itu. Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl Tawhid wa Ahl Al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah yang buku-bukunya banyak ditemukan kembali pada abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teoligi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibn AlMurtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu. 27
2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah Prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam istilah al-ushul al-khamsah atau ‘pokok-pokok yang lima’ yaitu al-tawhid, al-manzilah bayna al-manzilatayn, al-wa’d wa al-wa’id, al-‘adl, dan al amr bi alma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Prinsip al-tawhid dalam Mu’tazilah dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa disamakan dengan sesuatu, tidak ber-jism, tidak berunsur, bukan subtansi, bahkan Tuhanlah yang menciptakan segala yang berbadan, berunsur, dan bersubtansi. Bagi Mu’tazilah, Tuhan tidak memiliki sifat sebab apabila Tuhan memiliki sifat maka Tuhan berdimensi banyak. Tuhan hanya memiliki zat atau esensi. Prinsip al-manzilah bayna al-manzilatayn dimaksudkan bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya bukan mukmin, tetapi bukan juga kafir, melainkan fasik. Posisinya antara mukmin dan kafir. Di akhirat ia bukan penghuni surga bukan juga penghuni neraka. Tingkatannya berada di bawah orang mukmin tetapi di atas orang fasik.
27
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet Ke-IV, H. 128-129
25
Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih ringan daripada yang diterima orang kafir. Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya. Prinsip al’adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang diperintahkanNya dengan daya yang diberikan kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukankeburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia menghendaki. Sedangkan prinsip al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar menurut Mu’tazilah bahwa semua kaum Muslim wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa saja yang tidak sejalan dengan paham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inkuisisi.28 3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah Aliran rasional ini dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh kaum Sunni. Perselisihan ini mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun menduduki jabatan khalifah (813-833 M). Ketika itu Al-Ma’mun menjadikan aliran ini sebagai aliran resmi Negara. Hal ini mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni. Keresahan itu terfokus kepada pemaksaan gagasan Muktazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu serupa dengan hadis dan sekaligus makhluk. Peristiwa ini disebut Mihnah.
28
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171-173
26
Al-Ma’mun
kemudian
membuat
kebijakan
untuk
meneliti
keyakinan para pejabat Negara, seperti hakim, kadi, dan ulama, sehubungan dengan mihnah. Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah akan dipecat. Ulama yang tetap mempertahankan pendapat ortodoksnya akan disiksa, sebagaimana yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh.29 Khalifah al-Ma’mun begitu keras menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat berpegang kepada pendapat al-Qur’an itu makhluk. Banyak para penulis yang mengecam sikap keras al-Ma’mun yang menggunakan mata pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas para alim ulama yang menentang prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil mungkin bisa menemukan alasan tentang sikap al-Ma’mun itu. Bagi alMa’mun, perkara tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya, andaikan ada kaitannya dengan dirinya tentu beliau akan mudah memberi maaf, karena sudah menjadi tabiat al-Ma’mun suka memberi maaf. Tetapi baginya perkara tersebut sudah menyangkut masalah keislaman yang menyangkut pokok aqidah, dan beliau berpendapat siapa yang tidak mengakuinya maka keluar dari aqidah Islam. Oleh karena itu, al-Ma’mun mengumumkan sebagai khalifah masalah-masalah
agama
dan
kaum Muslimin yang mengurus dunia
untuk
mereka,
al-Ma’mun
berkewajiban tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama itu dalam urusan erajaan dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari pikiran yang beliau anggap salah dan sesat. Al-Ma’mun semakin bertambah marah terhadap golongan ahli Hadis, karena sikap mereka yang jumud (beku) dan tidak mempertahankan pendapat mereka dengan dalildalil naqli. 30 Paham Mu’tazilah adalah pelopor yang sungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai 29
Fahsin M. Fa’al, “Sejarah Kekuasaan Islam”, (Jakarta, CV. Artha Rivera, 2008) h. 84-
85 30
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 138
27
kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu tampaknya adalah konsekuensi logis dari dambaan mereka kea rah pemikiran sistematis.31 Paham
Mu’tazilah
yang
bersifat
rasional
ini
pula
yang
mempengaruhi pola pemikiran Al-Ma’mun sehingga menjadi salah satu sebab mengapa beliau sangat mendukung sagala macam kegiatan yang membutuhkan peran serta pemikiran seperti diadakannya diskusi dan perdebatan sehingga berbagai macam pola pemikiran pun muncul, beliau juga
membuat
berbagai
macam
pembaharuan
dalam
upaya
mengambangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada saat itu para ilmuan memiliki kebebasan untuk berpendapat dan menghasilkan karya ilmiahnya.
31
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 171
BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN A. Gerakan Penerjemahan 1. Faktor-faktor yang memyebabkan munculnya gerakan penerjemahan Gerakan penerjemahan yang mulai berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjamahan di antaranya adalah : a. Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, helenisme, dan helenistik ke penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor historis yang luar biasa. Menurut analisis Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting itu di antaranya adalah : Pertama, peran orang-orang Kristen ortodoks sebagai Nestorian. Mereka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk mereka. Pada saat penaklukan kaum Muslim ke Persia dan Romawi, mereka menyambut dengan suka cita karena kaum Muslim telah bertindak toleran dan oleh mereka dianggap sebagai kaum pembebas. Kedua, penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Yang Agung dan para penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahuan Yunani ke Persia dan India, tempat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan pemikiran-pemikiran asli. Ketiga, peran Akademi Jundishapur di Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas
28
29
Alexandria, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu pengetahuan India, Grecian, Syria, helenistik, Hebrew, dan Zoroastrian.1 Keempat, karya ilmiah Yahudi merupakan faktor yang tidak dapat dilupakan. Para penerjemah Hebrew merupakan alat yang hebat dalam alih pengetahuan ini karena keterampilan berbahasa mereka. 2 b. Para ilmuan di utus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran. c. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah timur seperti Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra. 3 d. Khalifah al-Ma’mun mensyaratkan agar para pejabat pemerintahannya yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa. Dan memang dari sanalah sumber tenaga para tenaga penerjemah buku direkrut. Salah satu jalur pendatangannya adalah melalui Harran, kota di
Mesopotamia,
yang memang banyak
penduduknya
masih
menggunakan bahasa Yunani. Jalur datangnya para penerjemah lainnya adalah melalu Jund-i-Shahpur di Khuzistan. Kota ini dibangun oleh Kaisar Sasanid Shahpur I sebagai tempat para tawanan yang dibawa dari Syiria. Kota ini menjadi pusat ilmu kedokteran. Gerakan penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh khalifah al-Mansur yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Ma’mun. Gerakan penerjemahan menjadi begitu semarak dilakukan karenak banyak faktor yang mendukung kegiatan tersebut diantaranya kecintaan al-Ma’mun kepada ilmu pengetahuan yang membuatnya sangat menganjurkan perburuan karya-karya dan manuskripmanuskrip penting di berbagai daerah yang ditaklukannya untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa setempat agar mudah untuk dipelajari dan dipahami. 1
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2002) H.151 2 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, H.151 3 Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, (LESFI, Yogyakarta, 2003), Cet. Ke-I, h.124
30
2. Munculnya gerakan penerjemahan Al-Ma’mun sebagai pengganti Harun al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan bukubuku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Suyuthi menyatakaan : “ Al-Ma’mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya”. Selama 20 bulan tinggal di Bagdad beliau tidak mau mendengar sembarang nyanyian. Faktor penyebabnya adalah karena ia harus berkonsentrasi penuh untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh. Ia juga berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan dan bukubuku yang ia baca.4 Gerakan penerjemahan tumbuh di bawah kekhalifahan Abbasiyah yang menggantikan Umayyah pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibu kota dari Syria ke Irak telah memperkuat pengaruh orang-orang Timur Tengah dan melemahkan pengaruh Laut Tengah. Beberapa karya yang erat hubungannya dengan ketatanegaraan dan upacara istana diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Buku matematika juga diterjemahkan dari bahasa India. Namun penerjemahan yang terpenting dan terbanyak tercatat dari bahasa Yunani, baik yang diterjemahkan langsung maupun versi Syiria. Penerjemahnya orang-orang non- Muslim atau yang baru masuk Islam. Sebagian besar orang Kristen, sebagian kecil beragama Yahudi, dan selebihnya orang-orang Sabia.5 Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa keemasan karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu-ilmu 4
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, H. 44 5 Bernard Lewis, Muslim Menemukan Eropa, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988), Cet, Ke-I, h. 59
31
pragmatis (kebutuhan sehari-hari) seperti kedokteran. Naskah astronomi dan matematika juga diterjemahkan. Namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerita pendek dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini dianggap
kurang
bermanfaat
dan
dalam
bahasa
Arab
sendiri
perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat berkembang. Paham rasional Mu’tazilah menjadi tulang punggung penyerapan ilmu-ilmu “Asing” agar kemajuan umat Islam segera dapat dicapai. 6 Ketika kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium, seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam. Khalifah Al-Ma’mun secara baik-baik meminta sebuah kopian Almagest atau al-Kitabu-I-Mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.7 Membanjirnya terjemahan buku dari bahasa Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab tersebut jelas menunjukkan bahwa waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca yang aktif. Sedangkan pusat kebudayaan Arab yang sedang tumbuh pada saat itu adalah Bagdad. Kota itu terletak di tepi sungai Tigris, tidak jauh dari Ctesiphon, bekas ibu kota kerajaan Persia dan ibu kota kerajaan sebelumnya, Parta Arsacadid/Bagdad sendiri dibangun pada 762 M sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Selain dipenuhi bangunan megah, kota ini juga dilengkapi dengan gedung perpustakaan yang lengkap. 8 Menurut W. Muir, “Melalui kesibukan para pekerja ilmuan ini, bangsa-bangsa Eropa yang telah lama tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan dapat mengenal kembali kekayaan ilmunya, yang sebelum ini
6
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, h.
125 7
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2006) , dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011 8 Muhammad Subarkah, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam http://www.republika.co.id, 26 Februari 2009
32
mereka tidak mengenal pengetahuan dan filsafat Yunani kuno. Sebuah pusat Observatory didirikan di dataran Tadmore untuk kepentingan penelitian astronomi dan geometri, observasi antariksa mengalami kemajuan pesat pada masa ini”. Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. 9 Tradisi
intelektual
terbangun
serta
membudaya.
Gerakan
penerjemahan semakin bergairah, begitu pula perdebatan ilmiah, yang mencakup multidisiplin ilmu. Semua itu berkat dedikasi dan dukungan luar biasa dari al-Ma’mun. “Dia merupakan kekuatan pendorong di belakang modernisasi Islam serta penguasaan sains dn teknologi”. Tegas Ehsan Masood. 10 Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filasafat, kimia, dan sejarah.11
3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan penerjemahan Di Baghdad didirikan Sekolah Tinggi Penerjemah yang pertama di dunia, dilengkapi dengan berbagai taman pustaka. Disinilah orang dapat mengenal Hunain Ibnul Ishaq (809-833 M), seorang yang termasyhur dalam ilmu kedokteran dan filsafat. Bahkan buku-buku kedoteran yang
9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Cet. X, h. 55-57 10 Yusuf Assidiq, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalam http://batavies.co.id, 06 Januari 2011 11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, h. 57
33
sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama “Materia Medica” adalah berasal dari Hunain. Ia juga sempat menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat, sebanyak 100 buah ke dalam bahasa Syria, dan 39 buah ke dalam bahasa Arab. Penulis-penulis Eropa mengakui, bahwa Hunainlah pemberitahu teori Galen dalam berbagai pengetahuan ke dunia Barat. Di samping meringkas dan memberi komentar buah karya Galen, ia juga mengarang sendiri. Buku-buku karangannya dalam bahasa Arab dan Persia banyak dijumpai, misalnya soal jawab. Bukunya yang ternama ialah sepuluh soal tentang mata. Buku ini disusun secara sistematis untuk pelajar-pelajar ilmu ophthalmology (Ilmu mata). Perkembangan ilmu opthamology sekarang adalah berkat jasa Hunain. Dokter-dokter mata sekarang sebenarnya harus merasa, bahwa Hunain adalah bapaknya. Nama yang dianggap sebagai penerjemah besar adalah Hunayn ibn Ishaq (810 M-877 M/194 H-263 H). Ia adalah seorang cendekiawan Kristen yang memberi andil berarti bagi kebangkitan sains Islam sebagai penerjemah dan penyalur sains Yunani. Ia lahir di Hira, ayahnya seorang Apoteker. Ia belajar di Jundishapur dan bagdad di bawah bimbingan dokter ternama Ibn Maskawih. Kemudian merantau ke Anatolia untuk melengkapi pengetahuan bahasa Yunani (Grika). Ia dan murid-muridnya, termasuk anak dan kemenakannya, membuat terjemahan naskah yang paling tepat dan baik dari bahasa syiria dan Grika ke dalam bahasa Arab. Ia memainkan peran besar dalam peningkatan minat kaum Muslim pada sains Grekohelenistik. Hunayn sendiri adalah seorang dokter ternama yang karyanya dikutip oleh berbagai pengarang muslim di kemudian hari. Ia juga menulis tentang astronomi, meteorology, dan terutama filsafat. Karyanya Aforisma Filosof dalam versi Ibrani sangat terkenal di Barat dan ia terpandang karena pengkajian dan terjemahannya atas semua filsafat Galen. Nama lain yang cukup penting dalam bidang penerjemahan adalah Tsabit Ibn Qurrah (826 M-901 M/211 H-288 H). Tsabit menulis karya
34
abadi dalam bidang ilmu medis dan filsafat. Ia menguasai astronomi dan matematika. Ia juga banyak menulis naskah tentang astronomi, teori bilangan, fisika, dan cabang matematika lainnya, yang amat besar pengaruhnya pada para saintis muslim. Gema dari pandangan ilmiahnya, terlebih lagi tentang teori getaran, terdengar sepanjang abad pertengahan di dunia barat. 12 Tokoh lain yang juga berperan dalam usaha penerjemahan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab adalah : a. Yuhana bin Masawaih b. Ishak bin Hunain c. Muhammad bin Musa Khawarazmi d. Sa’id bin Harun e. Umar bin Al-Farrakhan13 Akibat penerjemahan buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan masuknya kebudayaan Helinesia ke dalam kebudayaan Islam telah menciptakan suasana subur di kalangan kaum muslimin tertentu untuk berkembangnya pemikiran yang rasional. Meskipun bukan golongan rasional imam, namun jelas mereka adalah pelopor yang mengingatkan pemikiran tentang ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap mereka yang rasionalis bertitik tolak dari pandangan bahwa akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu. Sikap yang demikian ini akan mendorong umat Islam mempergunakan segala kekuatan akal untuk memahami agama, akhirnya akan melahirkan intelektual muslim di segala lapangan ilmu antara lain muncul filosof Islam yang tidak kalah dengan filosof Yunani. Demikian juga dokter ulung, ahli kimia, ahli matematika, ahli ilmu bintang, ahli musik, ahli optik, ahli geografi, dan lain-lain. 14
12
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekunstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h. 155-156 13 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1992) h. 64 14 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Pernada Media, Jakarta, 2003), Cet. Ke-I, h. 81
35
Dapat diketahui dengan jelas, betapa pada masa khalifah alMa’mun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat beliau meneruskan bahkan mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh khalifah sebelumnya bahkan beliau tidak menjadikan perbedaan suku, bangsa, agama, dan ras sebagai penghalang untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan melalui gerakan penerjemahan. Beliau sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dimiliki kaum muslim tapi beliau mencari cara bagaimana ilmu pengetahuan yang juga dikuasai oleh bangsa barat yang mayoritas non muslim dapat juga dipelajari oleh kaum muslim. Gerakan penerjemahan berbagai macam buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menurut beliau dapat meningkatkan minat dan kecintaan kaum muslim terhadap ilmu pengetahuan yang dapat menghantarkan mereka menuju kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. B. Optimalisasi Kegiatan Balajar Mengajar 1. Upaya khalifah al-Ma’mun dalam Pengembangkan Kegiatan Belajar Mengajar Kemajuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya pada masa alMa’mun telah banyak mengundang perhatian para ahli baik di Barat maupun di Timur. Kemajuan suatu bangsa dan Negara salah satunya disebabkan karena kualitas manusia yang hidup dalam bangsa dan Negara tersebut. Kualitas manusia itu dihasilkan dari kualitas proses pendidikan yang dijalaninya. Upaya khalifah al-Ma’mun dalam pengembangkan kegiatan belajar mengajar dapat dilihat dari kegiatan berikut : a. Aktivitas Belajar Langsung dengan Syekh Pada masa al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah ditulis guru dengan tangan. Kehidupan
36
demikian, berlangsung dalam halaqoh-halaqoh yang diselenggarakan oleh ulama. 15 Murid duduk berkeliling berhadapan dengan seorang syekh (guru). Guru memberikan pelajaran kepada semua murid yang hadir. Guru memulai dengan membaca bismillah dan memuji Allah serta bershalawat kepada Rasul Allah, baru kemudian memulai pelajaran. Jika guru menghafal pelajaran atau dituliskannya diktat, maka dibacakan pelajaran itu dengan perlahan-lahan, lalu murid menulis apa yang
dibacakan
guru.
Setelah
selesai
dibacakan,
lalu
guru
menerangkan hal-hal yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan tersebut. Keterangan itu dituliskan oleh murid di pinggir kertas. Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya seorang pelajar membacakannya untuk membetulkan kalau ada pelajar yang salah menuliskannya. Dari diktat-diktat yang dituliskan itulah, telah lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak beriburibu naskah, sehingga menjadi kitab yang termasyhur. Jika telah tamat ilmu yang diajarkan guru, lalu guru menandatangani satu naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh pelajar-pelajar itu, serta menerangkan bahwa guru telah membacakan naskah itu kepada pelajar yang menuliskannya. Kemudian guru memberikan ijazah kepada pelajar bahwa ia berhak mengajarkan atau meriwayatkan kepada pelajar yang lain. Jadi, dalam halaqah, ijazah tidak diberikan oleh sekolah, melainkan oleh guru sendiri. Seorang pelajar yang tamat pelajarannya, ia mengatakan : Saya mendapat ijazah dari guru (syekh) fulan’, bukan dari sekolah apa. Pelajar tidak memilih sekolah yang baik melinkan memilih guru (syekh) yang termasyhur kealimannya dan kesolehannya. Murid bebas memilih guru. Kalau pelajaran guru tidak memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah guru yang lain. 16
15
W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (Jakarta : Gramedia, 1997), h. 97 16 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 60-61
37
Dari kegiatan ini dapat dilihat bagaimana nikmatnya kegiatan menuntut ilmu pada masa itu, dimana seorang murid memiliki kebebasan untuk memilih guru dan pelajaran yang ingin diambil tanpa harus merasa dipaksa sehingga kegiatan belajar akan belajar lebih optimal. Seorang murid pada masa itu dapat menyalurkan minat dan keinginannya kepada suatu ilmu dengan guru yang sesuai dengan keinginannya sehingga murid tersebut akan bersungguh-sungguh dan senang hati dalam mendalami suatu ilmu pelajaran. 17 Sungguh berbeda dengan pendidikan zaman sekarang yang seakan menuntut seorang murid untuk mengikuti pola pendidikan yang sudah diatur dengan berbagai mata pelajaran dan guru yang sudah ditentukan dan harus diterima serta diikuti oleh setiap murid. Tidak berarti pola tersebut tidak baik hanya banyak fakta yang menunjukkan setiap anak tidak dapat menguasai secara penuh seluruh mata pelajaran yang diajarkan, hanya beberapa mata pelajaran yang mungkin dapat dikuasai dengan baik bahkan tidak sedikit yang hanya mampu mengikuti tanpa dapat menguasai mata pelajaran tersebut dengan baik dan banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. b. Aktivitas Berdebat sebagai Latihan Intelektual Tokoh-tokoh yang muncul dalam sejarah adalah mereka yang kritis, berani, dan tegas dalam ilmu yang diyakininya benar. Mereka yang menjalani pendidikan Tinggi di lembaga-lembaga formal melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap kehidupan intelektual. Kehidupan para ilmuwan yang benar-benar tekun dan telah berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi mufti, menjadi penasihat, atau tutor di rumah hartawan bagi sejumlah mahasiswa, pengakuan sebagai ilmuan dan status sosial yang disandangnya cukup menjadi justifikasi hasil kerja keras mereka.
17
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : 1989), h.135
38
Murid yang paling cerdas membantu syekh sebagai mu’id dan memperoleh bayaran untuk melanjutkan studinya. Pada sore hari, mu’id mengulangi materi yang disampaikan oleh syekh pada pagi hari dan membantu para murid yang mendapatkan kesulitan belajar dengan berbagai penjelasan. Kegiatan ini berlangsung nonformal sepanjang sore sampai malam hari. Para murid banyak menggunakan waktu untuk menghafal sepanjang sore dan malam hari. Umumnya para murid diberi waktu tiga hari-Selasa, Jum’at, dan Sabtu untuk belajar sendiri dan melakukan aktivitas pribadi. Hari Jum’at dan hari besar Islam sering kali diisi dengan debat khusus antara staf pengajar dengan mahasiswa, ditambah dengan ceramahceramah ilmiah. 18 Kegiatan ini sangat menunjang optimalisasi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping seorang murid menerima ilmu pengetahuan yang diberikan guru, murid tersebut pun diberi kesempatan untuk dapat mengeluarkan pendapat dan pandangan yang berbeda mengenai suatu ilmu pengetahuan sehingga tidak jarang memunculkan ilmu pengetahuan yang baru. Seorang murid pada masa ini pun mempunyai kesempatan untuk dapat berbagi ilmu pengetahuan dan membantu teman yang lain jika dirasa telah mempunyai kemampuan yang cukup. Sehingga ilmu yang telah didapatkan akan semakin berkembang menjadi lebih baik dan hal tersebut pun didukung dengan kondisi sang guru yang mau menerima kritik, saran dan pandangan mengenai suatu ilmu yang mungkin berbeda dengan apa yang telah dimiliki sang guru. c. Aktivitas Rihlah Ilmiah Tradisi rihlah ilmiah tampaknya berjalan sudah sejak lama. Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak khalifah Harun al-Rasyid, misalnya murid muslim mengadakan perjalanan sejauh
18
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : 1989), h. 135
39
India, Srilanka, Semenanjung Malaysia dan Cina, bahkan sejauh Korea melalui laut 19. Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai keluar negeri untuk menuntut ilmu pengetahuan. Mereka merantau meninggalkan keluarga dan tanah tumpah darahnya meskipun harus berjalan kaki. Aktivitas keilmuan pada masa al-Ma’mun mencapai masa keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, karena khalifah sendiri seorang ulama besar. Majelis al-Ma’mun penuh oleh para ahli ilmu, ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh alMa’mun dari segala penjuru dunia yang telah maju. Terkadang, alMa’mun sendiri berperan aktif dalam berdiskusi dan berdebat dengan para ahli tersebut. Para pelajar melakukan rihlah keluar negeri bukan hanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru, melainkan juga ada yang
hendak
mengadakahn
penyelidikan
sendiri.
Mereka
mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka mencatat apa yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi sumber yang asli yang dapat dipertanggung jawabkan. Kegiatan rihlah ilmiah ternyata sudah sejak zaman khalifah alMa’mun telah dilakukan. Bahkan pada masa ini kegiatan tersebut dilakukan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Kegiatan ini memang menjadi salah satu kegiatan yang juga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan rihlah pada masa ini benar-benar dimanfaatkan untuk kegiatan ilmu pengetahuan. Tidak jarang diantara mereka mampu menghasilkan karya dan berhasil melakukan penyelidikan terhadap suatu ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula setiap dermawan dan hartawan seakan tahu betul akan pentingnya kegiatan ini sehingga banyak diantara mereka yang dengan tulus ikhlas menyisihkan sebagian harta mereka untuk para penuntut ilmu. 19
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.135
40
C. Pengembangkan Institusi Pendidikan Khalifah al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi.
Menurut tinjauan dan pendapatnya sesungguhnya pertikaian
dalam beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam terpecah belah, terbagi kepada beberapa golongan. Untuk menghindari hal tersebut diadakannya majelis Munazarah tempat mendiskusikan persoalan agama yang pelik, majelis ini bersidang dihadapan al-Ma’mun sendiri serta dihadiri ulamaulama yang kenamaan. Hasil pembahasan tersebut kemudian diumumkan kepada khalayak ramai (rakyat) agar mereka beramal menurut hukum yang sama berdasarkan atas pendapat-pendapat yang telah disatukan, supaya jangan timbul juga perselisihan. Awal dari lembaga-lembaga pendidikan dalam sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari fungsi dan peranan masjid. Di samping sebagai pusat pelaksanaan ibadah shalat maka masjid berfungsi pula sebagai penyebar ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajar berbagai macam ilmu dan di masjid telah disiapkan pula ruangan baca atau perpustakaan khusus. Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu : Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, dan istana. Kurikulum yang diajarkan pada pendidikan dasar meliputi materi pelajaran : a) Membaca dan menghafal al-Qur’an, b) Pokok-pokok agama Islam, seperti : wudhu, shalat, dan shaum, c) Menulis, d) Tarikh, e) Membaca dan menghafal syair, f) Berhitung, dan g) Dasar-dasar nahwu dan sharaf Kurikulum seperti ini tidak seragam di seluruh daerah, mengingat situasi dan kondisi setempat yang berbeda-beda. Kedua, pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni dan ilmu pengetahuan. Kurikulum yang diajarkan pada pendidikan menengah meliputi : a) Al-Qur’an, b) Bahasa dan satra Arab, c) Fiqh,
41
d) Tafsir, e) Hadits, f) Nahwu/sharaf, g) Ilmu-ilmu eksakta, h) Mantiq, i) Falaq, j) Tarikh, k) Ilmu-ilmu kealaman, l) Kedokteran, dan m) Musik. Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan seperti bait al- Hikmah dan Dar al-Ulum di Kairo. Kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya keberagaman, namun secara umum lembaga pendidikan tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu agama dan satra. Fakultas ini mempelajari : a) Tafsir, b) Hadits, c) Fiqh/Ushul Fiqh, d) Nahwu/Sharaf, e) Balagah, f) Bahasa dan sastra Arab, Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari : a) Mantiq, b) Ilmu alam dan kimia, c) Musik, d) Ilmu-ilmu eksakta, e) Ilmu ukur, f) Falaq, g) Ilmu teologi, h) Ilmu hewan, i) Ilmu nabati, dan j) Ilmu kedokteran. 20 Pembagian tingkatan pendidikan di atas masih terbuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam fungsi lembaga masjid yang kadangkadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran tingkat tinggi.
20
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Angkasa, Bandung, 2005), h.-139-140
BAB V HASIL YANG DICAPAI KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN A. Berkembangnya Baitul Hikmah Baitul Hikmah atau Darul Ilmi di Baghdad didirikan pada masa Harun ar-Rasyid menjadi khalifah (170-193 H/786 809 M). Kemudian diteruskan dan diperbesar oleh khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Pada Baitul Hikmah bukan saja diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahkan juga ilmu-ilmu hikmah, yaitu ilmu alam, kimia, falak dan lain-lain. Lembaga pengetahuan itu pun menjelma menjadi tempat para ilmuwan Muslim melakukan penelitian dan menimba ilmu. Pada era kekuasaan alMa’mun, Baitul Hikmah pun dilengkapi dengan observatorium. Sejarah mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belahan dunia mana pun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Baitul Hikmah. 1 Keberadaan Baitul Hikmah yang semakin berkembang menunjukkan betapa besar kecintaan al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan. Bukan saja sebagai salah satu bentuk jasa beliau dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Baitul Hikmah seakan menjadi syurga bagi para penuntut ilmu dan para ilmuan pada masa itu. Para penuntut ilmu dan para ilmuan benar-benar merasakan begitu banyak manfaat yang didapat sejak Baitul Hikmah dibangun hingga 1
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2006) , dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011
42
43
mengalami perkembangan yang begitu pesat baik dalam bidang keilmuan maupun
semakin
banyak
karya-karya
yang
dihasilkan
dari
proses
penerjemahan dan perburuan-perburuan manuskrip penting lainnya. Di Baitul Hikmah, segala macam ilmu pengetahuan dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Studi yang berkembang pesat di lembaga itu antara lain : matematika, astronomi, kedokteran, zoologi, serta geografi. Sebagai khalifah yang dikenal sangat inovatif, al-Ma’mun meminta para ilmuwan Muslim tak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari peradaban lain saja. Ia mendorong para ilmuan Muslim untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Upaya itu akhirnya tercapai. Baghdad pun menjelma menjadi kota yang paling kaya raya di dunia dan menjadi pusat pengembangan intelektual pada era itu. Saat itu, penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa populasi terbesar saat itu. Selama kepemimpinannya, Baitul Hikmah telah melahirkan sederet ilmuwan Muslim terkemuka di dunia.2 Guru-guru besar yang memimpin Baitul Hikmah adalah ulama yang luar biasa, sehingga membuat Baitul Hikmah menjadi sangat terkenal. Baitul Hikmah mempunyai perpustakaan yang besar, Khalifah Harun ar-Rasyid mengumpulkan berbagai kitab untuk mengisi perpustakaan tersebut di antaranya adalah : kitab-kitab ilmu Islam, kitab-kitab ilmu kedokteran, dan ilmu falak yang diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Baitul Hikmah adalah perguruan tinggi yang mempunyai perpustakaan umum, bahkan itulah Universitas Islam yang pertama. Di sana berkumpul ulama-ulama dan pembahas-pembahas den para mahasiswa-mahasiswa datang dari segala penjuru dunia Islam. Dari sana disebarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu filsafat, kedokteran dan lain-lain. Di Baghdad didirikan alat peneropong bintang-bintang oleh AlMa’mun. peneropong bintang itu berhubungan langsung dengan Baitul Hikmah. Al-Ma’mun menyuruh ulama untuk mempelajari kitab Majisthi yang 2
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011
Sejarah
Para
Penguasa
Islam”,
dalam
44
berisi ilmu falak. Lalu al-Ma’mun menyuruh ulama membuat alat peneropong itu untuk mempelajari hal ihwal bintang-bintang sebagaimana dibuat oleh Bathlimus, pengarang Al-Majisthi. Alat peneropong itu kemudian mereka namai “Peneropong Al-Ma’muni”3 Al- Ma’mun juga mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip berharga yang di dapat dari berbagai daerah di antaranya adalah pemerintah Byzantium.4 Perburuan manuskrip-manuskrip inilah yang menjadi salah satu kegiatan yang sangat penting dilakukan pada masa al-Ma’mun. Saat melakukan penaklukan ke suatu daerah bukan harta benda yang menjadi fokus utama bagi al-Ma’mun melainkan karya-karya para ilmuan di daerah tersebut serta manuskrip-manuskrip yang kemudian dipinjam untuk diterjemahkan dan dijadikan koleksi tambahan di Baitul Hikmah. Sehingga pada masa itu tidak heran koleksi buku-buku di perpustakaan Baitul Hikmah sangat beragam dan lengkap melebihi koleksi buku-buku di perpustakaan lainnya pada masa itu. Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Tetapi kerja penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mun (813-833). Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah lembaga khusus untuk kerja penerjemahan tersebut, yang dikenal dengan sebutan “Rumah Kebijaksanaan” (Bayt al- Hikma). 5 Lembaga khusus ini yang kemudian dimanfaatkan para ilmuan dan para penerjemah untuk menerjemahkan berbagai macam karya. Imbalan yanga sangat besar diberikan oleh al-Ma’mun yang semakin membuat para penerjemah semakin giat melakukan gerakan penerjemahan.
3
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1992) Cet. Ke-VII, h. 62-65 4 Husayn Ahmad Amin, Seratus tokoh dalam Sejarah Islam, (PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001) h. 72 5 W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (PT. Gramedia, Jakarta, 1995) h. 45
45
Karya-karya para ilmuan yang diterjemahkan antara lain : karya Aristoteles, Galen, Palto, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy, dan Alexander dari Aphrodisias.6 Ibnu Abi Usaibi’ah telah menyebut bahwa khalifah Harun al-Rasyid melantik Yuhannah bin Masuwaih sebagai penerjemah buku-buku lama yang terdapat di Ankara, Amuriyah dan di seluruh negeri Romawi, sewaktu ditaklukkan oleh kaum muslimin, serta menjadikannya sebagai orang yang bertanggung jawab di bidang terjemahan. Di samping buku-buku Yunani yang dibawa ke Baitul Hikmah dari Ankara dan Amuriyah itu, di sana terdapat pula buku-buku lain yang dibawa dari Pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masri telah menyebutkan perkara ini. khalifah al-Ma’mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis harta simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan ahli-ahli falsafah yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah khalifah al-Ma’mun berdamai dengan pemerintah di pulau tersebut dan meminta pemerintah itu mengirim kepadanya simpanan buku-buku Yunani yang berada di Pulau Cyprus. Pemerintah itu lantas berunding dengan orang-orangnya dan meminta pikiran mereka tentangan rancangannya untuk mengirim buku-buku tersebut kepada Khalifah al-Ma’mun. semua yang berunding telah menolak rancangannya, kecuali seorang padri yang mendukung dengan alasan buku-buku yang mengandung ilmu-ilmu ‘aqli itu pasti akan merusakkan pemerintahan Abbasiyah dan menjerumuskan ulama-ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu ia mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada Khalifah alMa’mun dengan secepatnya. Pikirannya telah diterima dan buku-buku itu pun segera dikirim kepada Khalifah al-Ma’mun yang merasa amat gembira dan puas hati. Di sana juga terdapat sejumlah buku-buku yang telah dibawa ke Baitul Hikmah dari Constantinople. 7
6
Mehdi Nakosten, ”Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisi Abad Keemasan Islam”, (Surabaya, Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-I, h. 15 7 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997), Cet. Ke-IX, h. 201
46
Buku-buku dari Yunani merupakan salah satu buku yang banyak diterjemahkan dan diburu oleh al-Ma’mun untuk kemudian diterjemahkan. Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan buku-buku yang memberi manfaat langsung bagi perkembangan umat Islam pada masa itu tetapi juga buku-buku yang memang penting untuk diterjemahkan dan sudah tidak terdapat lagi di daerah lainnya, walaupun kemudian muncul rencana untuk menyesatkan umat Islam melalui buku yang dipinjam namun al-Ma’mun tetap dengan senang hari menerima dan menerjemahkan karya tersebut karena pasti akan ditemukan manfaat lain tidak hanya sekedar kemudharatan saja. Mengenai hal ini Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa Khalifah alMa’mun mempunyai hubungan perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu hari beliau telah menulis kepada raja Roma itu meminta izin untuk menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma menurut yang dipilih. Raja Roma telah menyambut permintaan itu, tidak menolaknya. Dengan itu maka Khalifah al-Ma’mun pun melantik serombongan tokohtokoh, di antaranya al-Hajjaj binMatar, Ibnu al-Batriq, Salam ketua Baitul Hikmah dan lain-lainnya. Mereka ini telah membawa kembali buku-buku yang telah mereka pilih.
Khalifah
al-Ma’mun
telah
mengarahkan
mereka
supaya
menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhanna bin Masuwaih adalah termasuk di dalam rombongan yang dikirimkan ke negeri Roma itu. Khalifah al-Ma’mun juga telah mendapatkan tenaga Hunain bin Ishak yang masih berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku cerdik pandai disalin oleh orang-orang lain. Diriwayatkan bahwa khalifah al-Ma’mun memberikan kepada Hunain bin Ishak emas seberat buku-buku yang diterjemahkannya ke bahasa Arab.8
8
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, h. 202-203
47
Karya besar yang terpenting pada masa al-Ma’mun adalah pembangun Baitul Hikmah yang membuat Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 9 Baitul Hikmah berkembang dan mencapai puncaknya pada masa alMa’mun yang kemudian membuat berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang pesat pada masa itu dan secara tidak langsung melahirkan para ilmuan penting yang kontribusi dan karyanya sangat bermanfaat bagi perkembangan umat Islam. Menjadi catatan tersendiri bagi sejarah kemajuan umat Islam.
B. Berkembangnya Berbagai Cabang Ilmu Pengetahuan pada Masa Khalifah Al-Ma’mun Dinasti Abbasiyah (terutama saat dipimpin oleh para khalifah awal seperti al-Manshur, al-Rasyid, al-Ma’mun dan beberapa khalifah setelah mereka) adalah merupakan periode kecemerlengan peradaban Islam. Hal ini disebabkan karena mereka sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bermakna. 10 1. Faktor-faktor yang menyebabkan Pesatnya perkembangan Sains dan Filsafat Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa Dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut : a. Kontak Islam dan Persia menjadi jembatan berkembangnya sains dan filsafat karena secara kultural Persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani. b. Etos keilmuan para khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun yang begitu mencintai ilmu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, ( PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000), Cet. Ke-X, h. 53 10 Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005), h. 123
48
c. d.
e.
f.
g.
peradaban Islam diprakasai oleh penguasa atau memperoleh patronase penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun. Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil oleh khalifah untuk keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan. Aktivitas penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab demikian besar dan ini didukung oleh khalifah yang memberi imbalan yang besar terhadap para penerjemah. Relatif tidak adanya pembukaan daerah kekuasaan Islam dan pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas Negara terjamin sehingga konsentrasi pemerintah untuk memajukan aspek sosial dan intelektual menemukan peluangnya. Adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Situasi sosial Bahgdad yang kosmopolitan di mana berbagai macam suku, ras, dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain. 11 Faktor-faktor yang telah disebutkan itulah yang sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa al-Ma’mun. faktor-faktor yang sangat menunjang dan mempermudah lahir dan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan bahkan beberapa di antaranya mencapai tingkatnya pada masa itu. Pada dasarnya al-Ma’mun yang memang mencintai ilmu pengetahuan dan bersikap terbuka terhadap segala macam bentuk pembaharuan yang terkait dengan ilmu pengetahuan juga menjadi salah satu dasar pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu.
2. Perkembangan cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu antara lain : a. Ilmu Agama Ilmu agama yang dimaksud di sini adalah ilmu-ilmu yang muncul di tengah-tengah suasana hidup keislaman, berkaitan dengan agama dan bahasa al-Qur’an. Syalabi menyebutkan “ilmu-ilmu Islam” dan sebagian cendekiawan lain menyebutkannya “ilmu-ilmu naqli”. 11
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 147-149
49
Ilmu pengetahuan agama telah berkembang sejak masa Dinasti Umayyah. Namun pada masa Dinasti Abbasiyah, ia mengalami perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Cabang ilmu pengetahuan dalam bidang agama antara lain : 1) Ilmu Tafsir Pada
masa
Dinasti
Abbasiyah
ilmu
tafsir mengalami
perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran secara sistematis, menyeluruh, serta terpisah dari hadis. Menurut riwayat Ibnu Nadim, orang pertama yang melakukan penafsiran secara sistematis berdasarkan tertib muashaf adalah al-Farra’ (w. 207 H). 12 Berbagai aliran muncul seperti Ahl as-Sunnah, Syi’ah, Muktazilah mempengaruhi penafsiran al-Qur’an.13 Dari berbagai tafsir yang telah ada, diketahui bahwa corak tafsir ada dua macam. Pertama, tafsir bi al- ma’tsur, yaitu penafsiran al-Qur’an berdasarkan sanad dan periwayatan, meliputi penafsiran alQur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis, dan al-Qur’an dengan perkataan sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu penafsiran berdasarkan ijtihad. 14 2) Ilmu Hadis Pada masa Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian hadis dilakukan dengan giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama sebelumnya. Perlu diketahui bahwa pengondifikasian hadis sebelum masa Abbasyah dilakukan tanpa melalui penyaringan sehingga antara hadis Rasulullah dan hadis palsu bercampur. Berkenaan dengan keutamaan hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an, maka para ulama Islam pada masa Abbasiyah berusaha semaksimal mungkin menyaring hadis Rasulullah agar diterima sebagai sumber
12
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (CV. Artha Rivera, Jakarta, 2008), h. 69 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (UIN Malang Press, Malang, 2008) Cet. Ke-I, h. 161 14 Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 69 13
50
hukum. Penyaringan Hadist (al-Sunnah) diadakan dengan cara kritik terhadap sanad (jalur penyampaian hadits) maupun matan (isi hadits). 3) Ilmu Kalam Ilmu kalam lahir karena dorongan untuk membela agama Islam dari pemikiran-pemikiran orang-orang Kristen dan Yahudi yang mempergunakan filsafat sebagai senjata, juga untuk memecahkan persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Orang-orang Mu’tazilah mempunyai andil besar dalam mengembangkan ilmu kalam yang pemecahannya bercorak filsafat. 15 Kaum Mu’tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu Kalam, karena mereka gigih membela Islam dari serangan Yahudi, Nasrani dan Watsani. Menurut riwayat, mereka mengirim para juru dakwah ke segnap penjuru untuk menolak serangan musuh.16 4) Ilmu Fikih Di antara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama adalah terdapatnya empat imam mazhab fikih yang ulung. Mereka adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam mazhab tersebut merupakan para ulama fikih yang paling agung dan tiada nilai tandingannya di dunia Islam. Metode pengambilan (istinbat) hukum yang dipergunakan oleh para fuqaha pada masa itu dapat dibedakan menjadi ahl al-ra’yi dan ahl al-hadis. Aliran pertama mengistinbatkan hukum berdasarkan sejumlah nash-nash yang jelas jejaknya (Ma’tsur) jika tidak terdapat nash yang jelas, serta banyak mendasarkan pemikiran hukumnya kepada kemampuan akal pikiran dan pengalaman. Aliran ini terdapat di Kuffah dan tokohnya yang paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. Aliran yang kedua mengistinbatkan hukum berdasarkan hadits-hadits Rasulullah. Aliran ini banyak terdapat di Madinah dan 15 16
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 74 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164
51
tokohnya adalah Imam Malik. Di antara aliran ahl-al-ra’yi yang liberal dan aliran ahl al-hadits yang konservatif terdapat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal yang cenderung memadukan kedua metode aliran tersebut. 17 Penetapan hukum yang dilakukan oleh keempat imam besar ini memiliki metode masing-masing. Yang menarik bahwa pada umumnya keempat imam besar hukum Islam tersebut sama-sama menggunakan logika hukum yang diadopsi dari Aristoteles. 18 Pertentangan para ulama dalam hal materi fiqh (Hukum Islam) memberikan gambaran betapa luasnya ruang lingkup Hukum Islam. Untuk menghindari adanya pertentangan yang lebih luas yang dapt membawa kepada akibat-akibat yang negatif, maka para ulama fiqh berusaha menyusun Ilmu Ushul Fiqh yang dapat dijadikan sebagai pegangan umum bagi semua para ahli hukum. 19 Keempat pemikir hukum Islam tersebut dalam wacana pemikiran hukum Islam kemudian dikenal dengan istilah empat imam mazhab fikih. Namun, keempat mazhab fikih tersebut hanya dianut oleh masyarakat Islam Sunni, sedangkan untuk penganut Syi’ah, mazhab yang dianut adalah Imam Ja’fari.20 5) Ilmu Tasawuf Ilmu Tasawuf, yaitu salah satu ilmu yang tumbuh dan matang dalam zaman Daulah Abbasiyyah, ilmu Tasawuf adalah ilmu syariat yang baru diciptakannya. Inti ajarannya : tekun beribadah dengan menyerahkan
diri
sepenuhnya
kepada
Allah,
meninggalkan
kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri dalam beribadah.
17
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 69-74 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2002), h. 162 19 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 173 20 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah,h. 169 18
52
b. Ilmu-ilmu Umum 1) Etika (Akhlak) Etika (Akhlak) Islam bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa karya ilmiah telah dihasilkan dalam bidang ini. paling tidak ada tiga corak penulisan ; pertama, pelajaran akhlak berupa anekdot, pepatah dan kata-kata hikmah. Kedua adalah semacam cerita-cerita, filsafat popular tentang moral yang diperoleh pada fable (dongeng tentang binatang yang dapat bicara), dan ketiga pepatah dari Lukman serta untaian hikmah dari para Sahabat. 2) Humaniora Kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam juga mencakup bidang Humaniora. Dalam bidang ini peradaban Islam tercermin dalam bidang Ilmu Bahasa dan sastra. Ilmu Bahasa tumbuh dan berkembang, karena bahasa Arab semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan Ilmu Bahasa (ulum al-lughah) yaitu : Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Arudh, Qamus, dan Insya’. Kota Basrah dan Kufah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan Ilmu Lughah; keduanya saling berlomba dalam bidang tersebut, sehingga muncul “Aliran Basrah” dan “Aliran Kuffah” yang masing-masing memiliki pendukung dan bangga dengan lairannya. Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh dengan Manthiq (logika) dibandingkan dengan Aliran Kuffah, sehingga mereka dinamakan ahli Manthiq.21 3) Filsafat Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara ajaran Islam dan kebudayaan
klasik
Yunani
yang terdapat di
Mesir,
Suriah,
Mesopotamia, dan Persia, dan mulai berkembang pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Para filsuf muslim yang terkenal dan kemudian menjadi tokoh filsafat dunia, antara lain, adalah Ya’qub 21
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164-167
53
bin Ishaq al-Kindi 9796-873 M). ia dikenal sebagai flsuf Arab yang telah menulis sekitar 50 buku, sebagian besar di bidang filsafat.22 Gelombang
penerjemahan
sangat
berpengaruh
terhadap
meluasnya tradisi helenistik ke dunia Islam. Umat Muslim banyak yang menekuni tradisi intelektual Yunani, terutama filsafat, sehingga terjadilah apa yang disebut Azra sebagai “helenisasi pemikiran Islam dan Islamisasi pemikiran helenistik”. Wajarlah jika tradisi helenistik kemudian membanjiri khazanah keilmuan kaum Muslim karena pada awalnya filsafat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu eksanta yang dipelajari kaum Muslim dengan tekun. Kenyataannya banyak sekali orang yang menjadi ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli kedokteran, fisika, kimia, dan sekaligus filsafat.23 4) Kedokteran Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu kedokteran telah mencapai puncaknya yang tertinggi dan telah melahirkan para dokter yang sangat terkenal. Di antara mereka, yang sangat terkemuka adalah Yuhannah bin Musawih (w. 242 H) dengan al-‘Asyr al-Maqalat fi al-‘Ain (tentang pengobatan penyakit mata). 24 Perkembangan ilmu kedokteran sejalan dengan perkembangan ilmu filsafat. Mula-mula al-Mansur mengundang seorang dokter kepala dari Jundishapur kemudian berturut-turut mengundang dokterdokter ternama dari Syria, Mesir, Bizantium dan India untuk berkumpul di Baghdad. Buku-buku Yunani, Iran, India, dan lain-lain diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Buku-buku Yunani yang menjadi standar ialah karya dari Hippocrates, Galen, Paul, Alexander Thales, Discerides dan lain-lain.25
22
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 75 Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, h.186 24 Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 76 25 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h.180 23
54
5) Astronomi Astronomi membantu umat Islam dalam menentukan letak Ka’bah. Di sisi lain, astronomi juga membantu praktik ramal-meramal garis politik para khalifah dan amir yang berdasarkan perhitungan kerjanya kepada peredaran bintang. 26 Pada awal abad kesembilan sudah ada dilakukan observasiobservasi yang pertama dan teratur di sebelah Barat Daya Parsi dengan mempergunakan alat-alat yang sudah agak sempurna; dan sebelum pertengahan pertengahan abad tersebut berlalu maka Khalifah alMa’mun telah mendirikan pos-pos observasi astronomi di Baghdad dan di luar kota Damasik. Alat-alat astronomi yang dipakai pada zaman itu terdiri dari kwadrat, astrolabium, jarum matahari, dan bulatan dunia. Dengan
cara
demikian
ahli-ahli
astronomi
khalifah
menyelenggarakan salah satu pekerjaan pengukuran tanah yang paling sukar, yaitu pengukuran derajat busur. Maksud pekerjaan itu ialah untuk menetapkan ukuran kebesaran lingkaran dunia, berdasarkan pendapat yang ada bahwa dunia ini bulat bentuknya. Hasil pengukuran yang dilangsungkan di daratan sebelah Utara sungai Eufrat dan di sekitar Palmyra menyatakan, bahwa panjang suatu derajat busur ialah 56 2/3 mil Arab. Ketelitian ukuran tersebut sangat mengagumkan, karena ukuran panjang derajat busur yang sebenarnya pada tempat itu hanyalah 2877 kaki lebih pendek.27 6) Matematika Ilmu ini dibawa oleh ilmuan India pada masa Khalifah alManshur melalui buku Sind qwa Hind. Dari terjemahan buku ini oleh al-Fazzari, dikenallah sistem angka Arab dan angka nol yang mempermudah perhitungan.selanjutnya, ilmu ini dikembangkan lagi
26 27
h. 145
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 77 Philip K. Hitti, Dunia Arab Sejarah Ringkas, (Sumur Bandung, Bandung), Cet. Ke-VII,
55
oleh al-Khwarizmi dan Habash al-Hasib dengan memuat tabel angkaangka. 28 Ilmu Hitung (Matematika) adalah satu cabang ilmu yang berkembang pesat dikalangan umat Islam, karena hukum-hukum syariat tentang zakat dan waris menuntut perhitungan aritmatika. 29 7) Geografi Pada masa Dinasti Abbasiyah, daerah perdagangan semakin luas. Sebagai ibukota Negara, hubungan Bagdad dengan kota-kota lain, baik melalui darat maupun laut, berkembang pesat dan lalu lintasnya ramai sekali. Hal itu menimbulkan usaha untuk memudahkan perjalanan, di antaranya dengan membuka jalan-jalan baru. 30 Ilmuan-ilmuan muslim juga sangat memperhatikan bumi dan segala isinya. Ilmu tentang bumi pada zaman modern terbagi menjadi beberapa disiplin ilmu, Geografi, Geologi, Geofisika, dan Meteorologi. Perkembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan di atas semakin menunjukkan begitu pesatnya transformasi ilmu pengetahuan pada masa itu. Al-Ma’mun yang memang menjunjung tinggi keguanaan akal dan memberi kebebasan dalam berpikir membuat berbagai cabang ilmu pengetahuan dapat berkembang pesat pada masa itu. Ilmu fikih dan filsafat mencapai masa puncaknya pada masa ini tidak lain dikarenakan adanya keterkaitan antara ilmu fikih dan filsafat atau lebih tepatnya metode yang digunakan para imam mazhab dalam menetapkan hukum Islam sama-sama menggunakan logika yang diadopsi dari Aristoteles. Pada masa itu pula masyarakat memiliki kebebasan untuk mengikuti mazhab yang diyakininya sehingga setiap mazhab memiliki pengikut yang meyakini ajaran yang telah diajarkan Imam mazhab. Kebebasan berpikir dan berpendapat membuat para mujahid semakin 28
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h.78 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah,h. 184 30 Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 78-79 29
56
giat berijtihad sehingga memperluas ruang lingkup hukum Islam karena itu untuk menghindari pertentangan yang tidak berujung maka dibentuklah pedoman umum berupa ilmu ushul fiqih yang dapat menjadi pedoman bagi para ahli hukum. Sedangkan dalam bidang filsafat pada masa itu benar-benar mencapai puncaknya. Kaum muslim banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Mereka sangat asyik mendalami pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Bagi ilmuan Muslim, filsafat Yunani telah membantu mereka dengan alat-alat yang sangat bermanfaat, seperti dialektika, silogisme, dan logika deduktif, untuk memecahkan persoalan-persoalan teoritis pengetahuan dan ilmu-ilmu agama yang merupakan poros kehidupan di dunia Islam. Kegiatan penerjemahan yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Yunani juga turut memberi andil semakin berkembangnya filsafat di kalangan kaum muslim pada masa itu.
3. Munculnya
Tokoh-tokoh
Penting
dalam
berbagai
Bidang
Ilmu
pengetahuan Hadirnya berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari kemunculan tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut yang tidak hanya sebagai tokoh utama lahirnya ilmu-ilmu tersebut tapi juga sebagai penggerak kemajuan ilmu-ilmu tersebut hingga dikenal khalayak ramai hingga hari ini. Karena jasa dan buah pemikiran mereka umat manusia khususnya umat Islam dapat hidup lebih maju dari sebelumnya khususnya pada masa khalifah Al-Ma’mun yang amat sangat perduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan. a. Tokoh-tokoh dalam bidang Ilmu Agama 1) Dalam bidang Ilmu Tafsir : a) Ibnu Jarir al-Thabary, dengan tafsirnya Jami’al- Bayan fi Tafsir alQur’an sebanyak 30 juz. (menggunakan metode tafsir bi alma’tsur)
57
b) Ibnu Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad Abdulhaq bin Athiyah) 481-546 H. c) As-Suda yang mendasarkan tafsirannya pada Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dan para sahabat lain. Wafat 127 H. 31 d) Muqatil bin Sulaeman (wafat 150 H) yang tafsirannya terpengaruh dengan taurat. e) Muhammad bin Ishak, yang dalam tafsirannya banyak mengutip cerita Israiliyat. f) Abu Bakar Asam (Mu’tazilah) wafat 240 H. g) Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany (Mu’tazilah), wafat322 H. kitab tafsirnya berjumlah 14 jilid. h) Ibnu Jaru al-Asady (Mu’tazilah), wafat 387 H. beliau menafsirkan bismillah ke dalam 120 macam. i) Abu Yunus Abus Salam al-Qazwany (Mu’tazilah), wafat 483 H. beliau menafsirkan al-Qur’an sangat luas, tafsir surah al-fatihah meliputi 7 jilid. 2) Dalam bidang Ilmu Hadits : a) Imam Bukhari yaitu Abu Abdullah Muhammad bi Abil Hasan alBukhari, lahir di Bukhara 194 H dan wafat di Baghdad 256 H. kitabnya al-Jami’al-Shahih al-Musnad al- Mukhtashar min alHadits Rasulillah saw wa Sunanih wa Ayyamin, terkenal dengan sebutan Shahih Bukhari. b) Imam Muslim, yaitu Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibn Muslim Ibn Ward Ibn Qusyairi, wafat tahun 261 H di Naisabur. Kitabnya al-Jami’ al-Shahih, terkenal dengan sebutan Shahih Muslim. c) Ibnu Majah, yaitu Muhammad bin Yazid Majah al-Qazwainy, wafat tahun 273 H. kitabnya al-Sunan terkenal dengan Sunan Ibnu Majah.
31
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 161
58
d) Abu Daud, yaitu Abu Daud Sulaeiman bin Asy’as al-Azdy alSajastany, wafat di Basrah tahun 275 H. Kitabnya as-Sunan, terkenal dengan sebutan Sunan Abu Daud. e) At-Tirmidzi, yaitu al-Hafidh Abu Isa Muhammad bin Isa adhDhahak at-Tirmidzi f) An-Nisa’I, yaitu Abdur Rahman Ahmad bin Ali an Nisa’I wafat di Makkah tahun 303 H. kitabnya as-Sunan terkenal dengan sebutan Sunan Nisa’i. g) Al-Hakim an-Naisabury, wafat tahun 405 H h) Abdul Fatah Salim bin Aiyub ar-Razy, wafat tahun 447 H32 i) Al-Ajiry, wafat 360 H j) Al-Baihaqy, wafatnya tahun 458 H 3) Dalam bidang Ilmu Kalam : 1) Washil bin Atha’, Abu Huzail, al-Juba’I, al-Allaf, al-Nazzam, Abu Hasan al-Asy’ary, al-Baqillani, al-Juwaeni dan Hujjatul Islam Imam Ghazali. 4) Dalam bidang Ilmu Fikih : 1) Imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqh al-Akbar 2) Imam Malik dengan karyanya al-Muwaththa 3) Imam Syafi’i dengan karyanya al-Umm 4) Imam Ahmad bin Hanbal dengan karyanya al-Kharraj 5) Dalam bidang ilmu Tasawuf : 1) Al-Qusairy. Nama lengkapnya Abu Kasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusairy, wafat tahun 465 H. beliau alim dalam ilmuilmu Fiqh, Tafsir, Hadis, Adab, Syair dan terutama Tasawuf. Kitab karangannya adalah al-Risalat al-Qusyairiyah. 2) Syahabuddin. Nama lengkapnya Abu Hafas Umar bin Muhammad Syahabuddin Syahrawardy, wafat di Baghdad tahun 632 H. kitab karangannya dalam ilmu tasawuf yaitu Awariif al-Ma’arif 33 32 33
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 163 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164
59
3) Imam Ghazali. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali lahir di Thus pada abad ke-5 Hijriyah, dan meninggal tahun 502 H. madzhab yang dianutnya adalah madzhab Syafi’i. beliau membawa aliran baru dalam tasawuf dan muncul kitab karangannya Ihya’ Ulum al-Din, inti dari kitab tersebut adalah
perpaduan
ajaran
tasawuf
dengan
ajaran
hidup
bermasyarakat, sehingga ilmu tasawuf merupakan satu ilmu yang dibukukan setelah sebelumnya hanya masuk ke dalam sistem ibadah saja. Kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali sangat banyak, baik kitab tasawuf atau lainnya. Di antaranya al-Basith, alWasithul Muhith bi Aqtharil Basith, al-Wajiz, Maqashid alFalsafah, al-Munziqu Minadh Dhalal, al-Madhnun, Bidayatul Hidayah, Sirrul Alamin wa Kasyfu Mafid Darain, Jawahirul Qur’an, Fadhahul Bathiniyah, Gharibul Auwal fi Ajaibid Dual, dan Tanzihul Aur’an ‘anil Matha’in. b. Tokoh-tokoh dalam bidang Ilmu Umum 1) Dalam bidang etika (akhlak) yaitu : a) al-Durrah al-Yatimah oleh Ibnu al-Muqaffa (wafat 757), alMawardi (wafat 1058) dalam buku Adab al-Dunya wa al-Din, Ibnu Maskawiyah dalam Tahdzib al-Akhlaq, Imam Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din. 2) Dalam bidang Humaniora 1) Subawaihi (wafat 183 H), yaitu Abu Basyar Umar bin Usman. Kitab karangannya terdiri dari 2 jilid dengan tebal 1.000 halaman 2) Mu’az al-Harra (wafat tahun 187 H), yaitu Abu Muslim, orang yang mula-mula membuat tasrif 3) Al-Kisai (wafat 198 H), yaitu Ali bin Hamzah. Banyak mengarang kitab-kitab tentang bahasa 4) Al-Farra’ (wafat 208 H), yaitu Abu Zakaria Yahya bin Zaiyad alFarra. Kitab Nahwu karangannya terdiri dari lebih dari 6.000 halaman. 5) Al-Khalil bin Ahmad (wafat 189 H), yaitu Abu Abdur Rahman slKhalil bin Ahmd al-Bashary. Karangannya Kitab al-‘Ain 6) Muarraj as-Sudusy (wafat th. 195 H), yaitu Abu Fuad Muarraj bin Umar as-Sudusy. Karangannya antara lain, kitab al-Anwa’, kitab alGharib al-Qur’an, kiab al-Jamahir al-Qabaili, dan kitab alMasecuite Ani 7) Abu Usman al-Maziny (wafat 249 H)
60
8) Abdurrahman al-Hamzany (wafat 327 H) 9) Ibnu Khulawaihi (wafat 370 H), yaitu Abu Abdullah al-Husain bin Ahmad Khalawaihi 10) Mathraz al-Barudy (wafat 345 H) 34 3) Dalam bidang Ilmu Filsafat : a) Al-Kindi (801-873 M/185-260 H). Al- Kindi Di kalangan kaum muslimin, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu Yusuf ibn Ishaq dan terkenal dengan sebutan “filosuf Arab” keturunan Arab asli. Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun 796 M. Orang tuanya adalah gubernur di Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke Baghdad dan mendapat lindungan dari khalifah Al- Ma’mun (813-833 M) dan Khalifah AlMu’tashim (833-842 M). Al-Kindi menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan al-Kindi kelihatannya turut aktif dalam gerakan penerjemahan ini tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan dari pada menerjemahkan karena ia orang yang berada, ia dapat membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang perlu baginya. Ia membagi filsafat kepada tiga bagian : ilmu fisika (ilmu thibbiyyat) sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-riyadhi) sebagai tingkatan tengah-tengah, dan ilmu keTuhanan (Ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu adakalanya berhubungan dengan seauatu yang dapat diindera, yaitu benda atau fisika adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi, dan musik; atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu ke-Tuhanan. Al-Kindi meninggal tahun 873 M. b) Ar-Razy (864-925 M/250-313 H), nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhamamd bin Zakaria ar-Razi, ia dilahirkan dan tumbuh dewasa di Rayy, dekat Teheran Persia, tetapi pernah hidup berpindah-pindah. Ia adalah dokter terbesar yang dilahirkan pada zaman puncak kejayaan Islam 35 c) Al-Farabi (872-950 M/259-339 H), nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Uzlagh bin Thurkhan al-Faraby, adalah filosuf kenamaan setelah al-Kindi, ia lahir di dearah Farab, selatan Samarkand (Transaxonia) Ia adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Thankhan. Sebutan al-Farabi diambil dari kota 34 35
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 165 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 168
61
Farab tempat lahirnya tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran, ibunya wanita Turkistan. Ia penah menjadi perwira tentara Turkistan. Sejak kecil al-farabi suka belajar dan mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai ialah Iran, Turkistan, dan Kurdistan, tetapi tampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Syiria yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat waktu itu. Setelah besar ia menuju Baghdad untuk belajar antara lain kepada Abu Bisri ibn Mathius. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada logika. Baghdad pusat pemerintahan dan ilmu, tetapi karena ia waktu pertama kali datang belum menguasai bahasa Arab, maka ia belajar bahasa Arab dan ilmu nahwu kepada Abu Bakar as-Sarraj. Sesudah itu pindah ke Harran untuk berguru kepada Yuhana ibn Jilan, kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Di Baghdad ia selama 30 tahun. Selama waktu itu ia mempergunakan waktunya untuk mengarang, mengajar dan mengulas buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain Yahya ibn ‘Ady. Ia wafat pada tahun 337 H/950 M pada usia 80 tahun. Di antara karangannya adalah : 1. Aghradh ma ba’da al-Thabi’ah 2. Al-Jam’u baina Ra’yi al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua filosof maksudnya Plato dan Aristoteles) 3. Tahsil Al-Sa’adah (mencari kebahagiaan) 4. Uyun al-Masail (pokok-pokok persoalan) 5. Ara’u ahli al-Madariah al-Fadhilah (pemikiran-pemikiran penduduk kota utama-negeri utama). 6. Ihsha’u al-alum (statistik ilmu) d) Ibnu sina (980-1036 M/370-428 H) Ia dikenal selain sebagai seorang dokter yang mendapat julukan “Bapak Dokter” oleh penulis Barat karena pengaruhnya terhadap ilmu kedokteran di Barat berkat bukunya Al-Qanun fi al-Thib yang sampai penghujung tahun 1500 masih tetap menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa, juga dikenal dalam filsafat dengan julukannya al-Syaikh alRais (kyai Utama). 36 Karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah : 1. Asy-Syifa. Buku ini buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina , terdiri dari empat bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). 2. An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku Asy-Syifa dan pernah diterbitkan bersama buku al-Qanun dalam ilmu 36
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 172
62
kedoteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir. 3. Al-Isyarat wa Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis kemudian diterbitkan di Kairo lagi pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia. 4. Al- Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan oleh orang karena ketidakjelasan maksud judul buku dan naskah. Naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carles Nailino berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat. e) Ibnu Bajjah (wafat 523 H/1138 M), nama lengkapnya, adalah Abu BAkar Muhammad bin Yahya Ibnu Bajjah. Ia lahir di Zaragoza, Andalusia (Spanyol). f) Ibnu Tufail(1106-1185 M/500-581- H), nama lengkapnya adalah Abu Bakr bin Abdul Malik bin Thufail, ia lahir di Wadi Asy (dekat Granada, Spanyol) dan wafat di Marakech. g) Ibnu Rusyd (1126-1198 M/520-595 H), nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusydi, ia lahir di Kordoba, berasal dari keluarga hakim dan meninggal di Marakech. h) Al-Abhary (wafat 663 H), yaitu Atsiruddin Mufadhdhal bin Umar al-Abhary, karangan-karangannya tentang Filsafat, manthiq, dan thib37 4) Dalam bidang Ilmu Kedokteran : a) Ibnu Masiwahi (wafat 243 H), yaitu abu Zakaria Yuhana bin Masiwahi, ayahnya seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundisabur. Karangannya tentang kedokteran 37
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 174
63
b) Ibnu Sahal (wafat 255 H), yaitu Sabur bin Sahal, direktur Rumah Sakit Jundisabur. Karangannya tentang thib dan farmasi c) Abu Bakar ar-Razy (wafat 320 H), yaitu Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razy. Dokter yang paling masyhur di zamannya, sehingga menjadi ketua dokter Rumah Sakit di Baghdad d) Ali bin Abbas (wafat 354 H) e) Ibnu Sina (wafat 428 H), kecuali filosof beliau juga dokter yang ahli dan masyhur 5) Dalam bidang Ilmu Astronomi : a) Abu Ma’syar al-Falaky (wafat 272 H), yaitu Ja’far bin Umar alFalaky, yang terkenal dengan nama Abu MA’syar al-Falaky b) Jabir Batany (wafat 319 H), yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Jabir al-Batany al-Hiranya ash-Shaby, yang telah menetapkan letak bintang. c) Abu Hasan (277-352 H), yaitu Abu HAsan Ali bin Abi Abdillah Harun Bin Ali d) Al-Biruny (wafat tahun 440 H), yaitu Muhammad bin Ahmad alBiruny e) Al-Farghani (Alfraganus) sekitar tahun 860 f) Al-Battani (albatanius) 859-929 bersama Sabit bin Qurrah (836901) merupakan penerus al-Farghani 6) Dalam bidang Matematika : a) Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M), ia juga ahli geografi terkemuka. Kitabnya antara lain : al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (Kompendium tentang Hitung alJabar dan Persamaan), al-Hisab al-Jabar wa al-muqababah.38 b) Al-Nasawi (wafat 1040).
Ia
adalah orang pertama
yang
menguraikan pembagian pecahan dan mencari akar pangkat dua dari suatu bilangan dengan cara yang hampir sama dengan cara yang dikenal saat ini. 38
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 176
64
c) Abu Kamil al-Suja al-Hasib al-Mishri, kitabnya adalah : Kitab fi alJam wa al-Tafriq (penambahan dan pengurangan dan Kitab alKhatha’ain (tentang dua kesalahan). d) Abu al-Wafa al-Khurasani (940 998 M). Ia adalah ahli matematika yang mengembangkan trigonometri e) Abu Ja’far al-Khazin al-Khurasani (wafat 960 M) telah membuktikan kemiringan zodiac dan berhasil merumuskan penyelesaian persoalan persamaan pangkat tiga. 7) Dalam bidang Geografi : 1) Hisyam al-Kalbi, yang masyhur pada abad kesembilan, khususnya dalam studi mendalam mengenai kawasan Arab 2) Al-Khawarizmi, ia mengoreksi pandangan Ptolemaeus tentang Geografi 3) Abu Ubaid al-Bakri (wafat 1094) dia menulis dua kitab terkenal : al-Mu’jam al-Isti’jam (Ensiklopedi Geografi), Kitab al-Masalik wa al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan) 4) Al-Biruni dengan karyanya al-Athar al-Baqiyah fi Qanun alKihaliyah 39
39
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 190
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas, penulis mendapatkan beberapa temuan yang perlu diungkapkan. Di antara temuan-temuan yang perlu dikemukakan di sini adalah: 1. Al-Ma’mun adalah salah satu Khalifah dari Daulah Abbasiyah yang masa pemerintahannya mendapat julukan The Goden Age (Masa Keemasan). Pribadinya yang dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang, menguasai beragam ilmu pengetahuan, seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, bertoleransi, arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir, berdiskusi, pemaaf, dan jarang bermain membuat dan membentuknya menjadi pribadi seorang pemimpin yang patut untuk dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. 2. Jasa-jasa beliau dalam usahanya mengembangkan ilmu pengetahuan di antaranya adalah : a. Gerakan Penerjemahan, kegiatan ini benar-benar digalakkan pada masa Al-Ma’mun. b. Mengoptimalisasikan kegiatan belajar mengajar c. Mengembangkan institusi pendidikan
65
66
3. Hasil yang dicapai oleh khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah : a. Berkembangnya Bait al-Hikmah menjadi lebih baik dari sebelumnya b. Seiring berkembangnya Bait al-Hikmah, mulai banyak bermunculan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari dan sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Di antaranya yaitu : 1) Ilmu-ilmu Agama seperti : ilmu Tafsir. Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, ilmu Kalam, ilmu Tasawuf, ilmu Etika/Akhlak, dan Humaniora 2) Ilmu-ilmu Umum seperti : Ilmu Filsafat, Kedokteran, Astronomi, Matematika, dan Geografi c. Munculnya tokoh-tokoh penting diantaranya adalah : 1) Dalam bidang ilmu Umum yaitu : Abu Yusuf ibn Ishaq (al-Kindi), Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Thankhan (al-Farabi), Ibnu Sina, dan Al-Fazari a) Dalam bidang ilmu Agama yaitu : 1) Ulmu Hadis yaitu Ibnu Jarir al-Thabary, Ibnu Athiyah alAndalusy Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Al-Hakim an-Naisabury 2) Dalam bidang ilmu Kalam : Washil bin Atha’, Abu Huzail, al-Juba’I, al-Allaf, al-Nazzam, Abu Hasan al-Asy’ary, alBaqillani, al-Juwaeni dan Hujjatul Islam Imam Ghazali 3) Dalam bidang tasawuf yaitu : Al-Qusairy. Syahabuddin., Abu Usman al-Maziny (wafat 249 H), Abdurrahman alHamzany (wafat 327 H) B. Saran-saran 1. Bagi para pemimpin hendaknya dapat mencontoh tindakan Al-Ma’mun yang sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat penting
sebagai
bekal
untuk
pembangunan
dan
perkembangan
pemerintahan menjadi lebih maju. 2. Semoga akan lebih banyak lagi bahan-bahan yang dapat memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam bidang sejarah.
DAFTAR PUSTAKA A. Hanafi, Teologi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1974) Abdurrahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta : LESFI, Cet : ke- I 2003 Al-Qardhawi, Yusuf, Meluruskan Sejarah Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2001 Arief, Armai, Dr. MA., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung : Angkasa, 2005 Armstrong, Karen, A Short History : Sepintas Sejarah Islam, Surabaya : Ikon Teralitera, Cet : ke-4, 2004 Assidiq, Yusuf, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalam http://batavies.co.id, 06 Januari 2011 As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2006, dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011 Atsir, Ibnul, Al-Kamil fi Tarikh, Beirut : Dar Sader, 1871 Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988 Fa’al, Fahsin M., Sejarah Kekuasaan Islam, Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008 Fadil SJ, Drs, M. Ag., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang : UIN Malang Press, Cet : ke- I, 2008 Hasan, Masudul, Prof., History of Islam : Classical Period 571-1258 C. E, Delhi, Adam Publisher, Cet: ke- I, 1992 Hitti, Philip K., Dunia Arab Sejarah Ringkas, Bandung : Sumur, Cet : ke- II Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalam http://eone26donk.blog.com, 06 September 2010 Khalil, Syauqi Abu, Dr., Harun Ar-Rasyid Pemimpin dan Raja yang Mulia, Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. Ke- I, 2002 Lapidus, Ira M., Sejarah sosial umat Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-I, 1999
67
68
Lewis, Bernard, Muslim Menemukan Eropa, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet : ke-I, 1988 Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, Cet : ke- III, 1993 Nakosten Mehdi, ”Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisi Abad Keemasan Islam”, Surabaya : Risalah Gusti, Cet. Ke-I, 1996 Nasution, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Jakarta : Mizan,Cet ke-IV, 1996 Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet : ke- II, 2003 Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Jakarta : Grasindo, 2002 Subarkah, Muhammad, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam http://www.republika.co.id, 26 Februari 2009 Sunanto, Musyrifah, Prof. Dr. Hj., Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta : Prenada Media, Cet : ke- I, 2003 Syalaby, Ahmad, Prof. Dr., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD, cet : ke- III, 1991 Watt, W. Mongomery, Islam dan Peradaban Dunia : Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995 Yatim, Badri, Dr. M.A, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet: ke- X, 2000 Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, Cet : ke- VII, 1992