DEKONSTRUKSI IJTIHAD: REVITALISASI KEBEKUAN NALAR MELAMPAUI DOGMATISME Oleh: Akmal Bashori Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Email:
[email protected] Abstract One of the principal reasons for the failure of Muslims to reconcile Islam law is that the process of ijtihad was closed several centuries ago. However, the sacred texts of Islam need to be interpreted in the light of contemporary realities and modern knowledge. For ijtihad to be performed successfully in a society, democracy and freedom of expression must prevail. While scholars of Islamic law clearly have very important roles to play in the revived practice of ijtihad, they should not have exclusive responsibility over this practice. Faithfulness to the text needs to be combined with creative imagination to produce the most enlightened reinterpretations (decontruction), suitable for the twenty-first century. Muslim scholars have particular opportunities as well as a responsibility to lead a revival of ijtihad. Muslim scholars in the university have the freedom to think creatively while still being faithful to the texts, and their new interpretations could stimulate new thinking among the more traditional religious establishments. Keywords: Deconstruction, Ijtihad, Reasoning
A. Pendahuluan Teori
perlu
ortodoks
menyatakan
Al-
Qur`an bukan hanya ipsissima verba
di
jelaskan
oleh
cendikiawan
(Nasution, 1996: 108). Dalam
memahami
serta
melainkan juga ghairu makhlûq yang
mengembangkan nilai ajaran Islam di
bersifat eternal. Ia merupakan sumber
atas, diperlukan suatu metodologi yang
pijakan umat Islam, di dalamnya -ibarat
mampu
sualayan-
aplicable terhadap sumber ajaran pokok
tersedia
beragam
materi.
memberikan
interpretasi yang
Menurut Fazlur Rahman (2000: 36) Al-
Islam dalam realitas
Qur`an
Metode
mempunyai
bermoral,
ide-ide
sosial,
hukum.
Ia
juga
tentang
psikologis
(Abdul Wahhab
semangat
dasar
ekonomi,
menetapkan
materi
dan
kosmologis
Khallaf,
2010: 27).
yang
bersumber (independent
pada legal
kaum muslimin.
dimaksud usaha
yakni ijtihâd
reasoning),
Muhammad Iqbal (1989: 117)
oleh disebut
The principle of the movement. Tanpa
Namun, tema-tema tersebut -khususnya
ijtihad
dalam bidang hukum- tanpa penjelasan
akan pernah berdiri kokoh, dan tidak
lebih lanjut mengenai maksud, rincian
mampu menjawab tantangan zaman.
pelaksaan
dan
sebagainya,
untuk
itu
konstruksi hukum Islam tidak
Vol. II No. 02, November 2016
Namun,
celakanya
yang
untuk mengurai kemandekan pemikiran
harusnya dapat membawa arus progresif
tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan
terhenti
doktrin
ini akan mengemukakan permasalahan,
tertutupnya pintu ijtihad (Abu Zahrah,
pertama, sejauhmana ketundukan nalar
tth:
lagi dengan
menghadapi nash yang bersifat absolut?
adanya pandangan bahwa hasil ijtihad
Kedua, bagaimana peran nalar di tengah
(fikih); 1) lebih identik dengan wahyu,
ketidak-berdayaan
ketimbang
membendung kebekuan ijtihad? Kedua
lantaran
86-87).
manusia;
ijtihad
beredar
Diperparah
sebagai 2)
produk
fikih
telah
nalar
cendikiawan
dipandang
permasalahan
itu
akan
di
dekati
sebagai ekspresi kesatuan yang universal
menggunakan
nalar
ketimbang sebagai ekspresi keragaman
perpijak pada kerangka berpikir pada
yang partikular; 3) fikih telah mewakili
epistemologis.
uṣûli,
dengan
hukum dalam bentuk cita-cita ketimbang sebagai respons atau refleksi kenyataan secara
realis;
4)
fikih juga memilih
stabilitas ketimbang perubahan (Noel. J.
B. Hasil Temuan dan Pembahasan 1. Menggugat Mujtahid
Coulson, 1969).
Konsep
Atho’ Mudzar (1998: 101) menduga anggapan
di
atas
merupakan
Kualifikasi
ijtihad
Skill
sebenarnya sangat
kental melekat pada kitab-kitab fikih
biang
(Qodri A. Azizy, 2004: 67). Sangat
keladi terjadinya kemandekan pemikiran
mengada-ada ketika berbicara tentang
fikih (ijtihad) di dunia Islam selama ini.
fikih
Sehingga Fazlur Rahman (1965: 149)
memproduksi, karena fikih adalah produk
akhirnya
berkesimpulan
jadi,
menjadi
barang
tradisi
langka.
Hal
ijtihad ini
tanpa
proses
ijtihad.
menyertakan
itulah
Ditelisik
yang
proses
dinamakan
dari sisi etimologi,
berdampak pada stagnasi hukum Islam
ijtihad merupakan bentuk dari kata benda
dan matinya kreatifitas pemikiran ummat
dari konjungsi (taṣrîf) kata ijtihada-
selama
yajtahidu-ijtihâdan
berabad-abad.
Dampak
lain
yang
mengandung
adalah tumpulnya apresiasi ummat atas
pengertian usaha keras dan pengerahan
sumber-sumber
segala
hukum dan akar-akar
spiritual. Dari
kemampuan
untuk
maksud tertentu (Haq, 2009: 8). di
atas
Ahmed
An-Na’im
cendikiawan
perlu
mengatakan
penggunaan
tradisi
pengertian
umum
pemikiran dan mendekonstruksi ijtihad
interpretasi
al-Quran
nampaknya
latar para
membangkitkan
298
mencapai
belakang
kembali
(1990: ijtihad
45) dalam
relevan
dengan
dan
sunnah.
Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan
pada
umum atau
menilai ijtihad di atas merupakan ijtihad
implikasi yang luas dari suatu teks Al-
dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti
Qur`an
luas menurutnya,
dan
makna
Harun Nasution (1996: 108-109)
sunnah berbeda dengan
ijtihad
juga berlaku
aturan langsung dari teks yang jelas dan
pada bidang selain hukum Islam, juga
terinci, maka teks dan prinsip syari’ah
mujtahid-mujtahid
itu
melalui
hukum, politik, aqidah tasawuf, falsafah,
penalaran hukum. Dari sisi ini jelaslah
dan tata negara. Dengan tugas penerapan
bahwa
tersebut, maka akan menjadi jelaslah
harus
dihubungkan
bahwa
fundamental
ijtihad
dan
pembentukan
adalah konsep
sangat
hukum
aktif dalam Islam.
Oleh
ketentuan
dalam
masalah
hukum-hukum
tentang
masalah yang tidak dikenal oleh ulama’
karena itu, memerlukan kerja keras dan
terdahulu
cerdas guna memperoleh hukum yang
mujtahid tingkat pertama. Oleh sebab itu
amali
istinbâṭ
ada beberapa persayaratan yang harus
hukmin
dimiliki
dengan
(Badlu
metodologi
al-wus’i
fî
nail
syar’iyyin
‘amaliyyin
bi
istinbâth)
(Asy-Syaukani,
ṭarîq tt:
al250;
Khallaf, 2010: 216).
dua
mengambil
hukum
oleh
macam, dari
pertama, bentuk
lahir
dikategorikansebagai
mujtahid
untuk
dapat
melaksanakan ijtihad. Mujtahid harus memiliki kualifikasi kemampuan
Di lihat dari segi bentuknya, ia terdapat
yang
melahirkan
sebagai
untuk
hukum-hukum syariat
pendekatannya. mujtahid
acuan
dari
Dalam Islam seorang
memiliki
kedudukan
yang
nash, apabila hukum bisa didapat dari
tinggi.
Ia berdiri menggantikan posisi
nash-nash itu. Kedua, mengambil hukum
Nabi
Muhammad
dari rasionalitasnya, apabila dalam nash
memiliki
itu ada ‘illat jelas atau diistinbathkan
menyampaikannya kepada umat manusia,
darinya.
terdapat
dan menjadi seorang yang memberikan
dalam ‘illat ini dan nash tidak mencakup
pengajaran dan petunjuk kepada mereka
hukumnya.
(asy-Syarafi, 1998: 28-29).
Peristiwa
dimaksud
Ini dikenal dengan nama
SAW,
ilmu
karena
ia
kenabian,
qiyâs (Khudhari Bek, 66). Jadi, ijtihad
Oleh karena itu untuk menghindari
mengandung dua faktor; Pertama, ijtihad
kesalahan dan jebakan dalam berijtihad
yang khusus untuk menetapkan suatu
dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas
hukum
dan memiliki pengetahuan yang cukup
dan
penjelasannya.
Kedua,
ijtihad khusus untuk menerapkan dan
tentang
seluk
beluk
masalah
ijtihad.
mengamalkan hukum (ijtihad taṭbiqi).
Paling
tidak
calon
mujtahid
harus
Dekonstruksi Ijtihad
299
Vol. II No. 02, November 2016
dengan jelas mampu membedakan di
kaidah umum (al-qawâ’id al-kulliyah)
mana ia seharusnya berijtihad (Rahmat,
hukum Islam.
1996: 180). Dalam hal ini, sebagian
Ketiga, pernyaratan penting (asy-
ulama sangat ketat dalam memberikan
syurût
kualifikasi ijtihad, meski sebagian yang
persyaratan
lain cukup longgar. Namun demikian,
mujtahid.
syarat-syarat yang mereka ajukan secara
(1)
umum mengajak
menguasai
yang
lebih
kembali pengetahuan
orisinil
yang
yakni
beberapa
penting
dipunyai
Syarat-syarat
menguasai
ini mencakup;
bahasa
Arab;
(2)
uṣûl
fiqh;
(3)
ilmu
sumber-
mengetahui ilmu mantik atau logika; dan
sumber dan tujuan syariat (al-Syarafi,
(4) mengetahui hukum asal suatu perkara
1998: 30). Masalah ijtihad sebenarnya
(al-barâ`ah
bukan masalah mau atau tidak mau,
persyaratan pelengkap (asy-syurûṭ at-
persoalan mampu dan tidak mampu.
takmîliyah) yang mencakup (1) tidak ada
Memaksa
orang
tentang
al-hâmmah)
Keempat,
tidak
mampu
dalil qaṭ’iy bagi masalah yang ijtihadi
bahaya,
sebab
(2) mengetahui khilâfiyah atau tempat
untuk melakukan ijtihad seseorang harus
tempat perbedaan dan (3) memelihara
memenuhi
kesalehan dan ketaqwaan diri.
berijtihad
yang
al-asliyah).
mengundang
syarat-syarat
tertentu
yang
bisa membawa ke derajat mujtahid. Muhammad
Jika
ada
seorang
memiliki
Musa Towana dalam
kualifikasi tersebut, menurut sarjana uṣûl
Amir Mu’alim (2004: 58), (bandingkan
al-fiqh ia berhak menyandang predikat
dengan Muhamad al-Baqir, 1996: 166-
“Mujtahid”. Kriteria ideal ini merupakan
167),
mengelompokkan
rumusan yang diangkat sesuai dengan
ijtihad
ke
bagian.
beban ijtihad yang cukup berat itu. Oleh
Pertama, persyaratan umum (asy-syurûṭ
karenanya, kriteria-kriteria di atas adalah
al-‘âmmah), yang meliputi; (1) Baligh
kriteria untuk seorang mujtahid mutlaq
(2) Berakal sehat (3) Kuat daya nalarnya
dan bukan mujtahid
pada umumnya.
(4)
Namun
mujtahid-mujtahid
beriman
persyaratan
dalam
Syarat-syarat
atau pokok
beberapa
mukmin.
Kedua, al-
yang bukan mujtahid mutlaq, juga harus
asâsiyyah) yaitu syarat-syarat mendasar
mempunyai kualifikasi kemampuan yang
yang
mengacu pada kriteria-kriteria di atas.
menuntut
(asy-syurûṭ
setidaknya,
mujtahid
supaya
memiliki kecakapan (1) mengetahui AlQur`an
(2)
memahami syariah, 300
dan
memahami
sunnah
maksud-maksud
Bagi as-Syatibi (w. 790H), untuk
(3)
mecapai ke derajat mujtahid, seorang
hukum
fakih yang penting harus memiliki dua
(4) mengetahui kaidah-
skill,
yaitu
1)
mampu
memahami
Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
maksud-maksud syariat (maqâṣid asy-
Akan
syarî’ah) dan 2) sanggup meng-istinbaṭ-
mengingat pada masa klasik belum ada
kan hukum berdasarkan pemahamannya
tradisi kodifikasi (tadwîn) hadits-hadits
sendiri terhadap maqâṣid asy-syarî’ah
secara intensif,
tersebut
solusi
(asy-Syatibi,
Pembagian ijtihad
dan
yang
89).
patut
kita
untuk
untuk
dapat
maklumi
itu salah satu berijtihad
maka
tentang
seorang harus hafal paling tidak 1000
al-Syatibi
hadis. Namun, di era sekarang di mana
jelas bahwa syarat
tradisi pembukuan sudah merebak dan
dikemukakan
mujtahid
harus
yakni
al-maṣâliḣ
yang
[IV]:
penjelasan
tersebut, Nampak
didefinisikan
t.t
tetapi,
memenuhi
kualifikasi
al-mursalah,
sebagai
metode
diberlakukan
ijtihad
ketika
sesuatu
bahkan
teknologi
sudah
melampaui
batasnya sehingga seorang cukup dengan membuka sesuai
E-book
dengan
atau
tema
yang
hadis,
akan
ijtihadkan,
syariat, dalam hal ini juga tidak ada
persyaratan harus menghafal setumpuk
sumbernya
hadis
ijma
dan
selainnya
semisal qiyâs.
dalam
sudah
tidak
otomatis
mempunyai
relevansinya.
Persyaratan tersebut memang tidak ada
secara
di
masalah tidak ada sumber nasnya dalam
dari
maka
kitab
nash
Al-Qur`an
maupun
Hal ini menurut Qodri A. Azizy (2004: 108-110) perlu kajian mendalam
sunnah. Hal ini semata-mata digariskan
dan
oleh para ulama sebagai hal yang mutlak
meredefinisikan ijtihad untuk kemudian
perlu menurut akal sehat,
memunculkan konsep ijtihad baru atau
mengambil
teladan
dari
dan juga para
imam
sekaligus
modern.
keberanian
Beliau
untuk
menyarankan
besar, para mujtahid dimasa lalu. Agar
hendaknya
dengan
metodologi yang dapat dibentuk sebagai
demikian
dapat
mencegah
menjadi
hasil
dirinya dalam barisan mujtahid, padahal
berijtihad
kemampuan
kepribadiannya
dipadukan dengan tuntutan zaman dan
meraih kedudukan
pertanggung jawaban tradisi akademik.
masih
jauh
untuk
mulia itu. Entah
kritis
formulasi
banyak orang yang ingin memasukkan
maupun
kajian
sebuah
Ijtihad
terhadap
secara
konvensional
konsep yang
Oleh karena itu, formulasi ijtihad baru siapa
yang
merumuskan
juga
sudah
menjadi
untuk
tidak
dapat
kualifikasi yang super ketat di atas, kalau
dibangun,
kita lihat sejarahnya, sebelum abad ke III
langsung lepas sama sekali dari proses
H syarat-syarat ijtihad yang begitu ketat
continuity
dari berijtihad
belum muncul. Jadi terjadi paradoks.
Formulasi
ini
Dekonstruksi Ijtihad
tentu
tuntutan
saja
juga
masa lalu.
diperlukan
bagi 301
Vol. II No. 02, November 2016
mereka yang akan menghasilkan gelar akademik tertinggi setara Doktor (S3), sehingga
akan
mampu
mendemonstrasikan karya originalnya. Mengakhiri diskusi terhadap syarat-
formula—kemampuan hitam diatas putih—apabila dengan gelar akademik. Kedua, pengetahuan tentang masalah-masalah keislaman. Ketiga memiliki perbandingan pengetahuan dengan system, orang, dan institusi lainnya).
syarat ijtihad sekaligus merespon apa yang
disampaikan
rasanya
perlu
disampaikan Iskandar
Qodri
A.
mencermati apa
Dari pernyataan
Faruki tersebut
Azizy,
dapat dianggap sebagai “syarat ijtihad”
yang
yang sederhana dan global, serta tidak
Abu
Hanifah
dalam
Usman
(1994:
151)
bersifat
“formal-tekhnis”.
Persyaratan
tersebut tidaklah harus dimiliki secara
mengatakan “hum rijâl wa nahnu rijâl
individual
(kita tidak perlu terikat dengan konsep
orang sesuai dengan disiplin kemampuan
masa lampau, kita sama-sama sarjana).
masing-masing,
Oleh karena itu, menarik kiranya untuk
melahirkan juga seperti apa di-langsir
dicatat pernyataan Kemal Faruki (1994:
oleh Qodri A. Azizy yakni ijtihad secara
86), tentang hal-hal yang harus dimiliki
tematik (mawdhu’iy) melalui research
seseorang
dalam akademik tertinggi setara dengan
kemampuan pemahaman
agar
dapat untuk
secara
memiliki melakukan
benar,
melainkan
yang
beberapa
kemudian
akan
Doktor (S3).
dia
menyatakan; “.....The Qur’an stresses three factor making for ability to understanding trucht. First, and foremost, is amanator trustworthiness and character, which is not susceptible of being determined by any external formula, let alone by an academic degree. The second, is knowledge of Islamic subjects. The third, is comparative knowledge of comparative system, people and institution.” (al-Quran menekankan tiga factor -yang harus dimiliki seseorang- agar mampu melakukan pemahaman secara benar. Pertama dan yang terpenting adalah amanat, atau dapat dipercaya. Sifat ini tidak cukup hanya dibuktikan dengan eksternal
302
saja
2. Nash Qaṭ’iy Sabagai Official Closed Corpus? Ajaran
Islam
dapat
dibedakan
menjadi dua kelompok. Pertama, ajaran Islam
yang
bersifat
absolut
(immutability), universal dan permanen, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak
universal,
tidak
permanen,
melainkan dapat diubah dan berubah (adaptability). Termasuk kelompok yang kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan Kerangka
melalui berfikir
proses ini
sering
ijtihad. muncul
dikalangan ahli ushul fiqh dan pakar
Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
pembaharuan dalam Islam. Di kalangan
interpretative
ahli Uṣûl al-fiqh dikenal dikotomi antara
terhadap maksudnya dengan pengertian
dalil qaṭ’iy dan ẓanny baik eksistensinya
yang
(wurûd)
penunjukannya
kemungkinan pentakwilan maka ia harus
(dalâlah) (Fathurahman Jamil, 1999: 43).
diterapkan. Dan tidak ada peluang untuk
maupun
Para
ahli
mengenai
hukum Islam sepakat
penggunaan
Al-Qur`an
sebagai sumber hukum yang pertama yang
utama
dalam
menentukan
dan
jelas
berijtihad
yang
dan
dalam
menunjukkan
tidak
mengandung
kasus-kasus
yang
menerapkannya (Wahab Khallaf, 1972: 338). Doktrin
semacam itu,
selanjutnya
mengambil kesimpulan hukum. Mereka
dapat dilihat dalam kaidah “Lâ masâgho
tidak
meragukan eksistensi Al-Qur`an
li al-ijtihâd fîmâ fîhi naṣṣun ṣârihun
dari ayat yang pertama sampai ayat yang
qaṭ’iyyun (tidak ada kebolehan berijtihad
terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat Al-
mengenai sesuatu yang padanya ada
Qur`an langsung menunjuk pada materi
nash yang jelas dan qaṭ’iy) (Abdul
hukum
jumlahnya.
Wahab Khallaf, 1972: 338). Doktrin
Menurut Khallaf (34-35), bahwa ayat
tersebut telah membuat jurang pemisah
hukum dalam bidang muamalah berkisar
yang dalam antara nash dan ijtihad.
antara 230-250 ayat. Selebihnya terbagi
Artinya mereka meyakini bila ada nash
kedalam beberapa aspek. Dari jumlah
qaṭ’iy maka ijtihad sama sekali dilarang.
ayat hukum yang sedikit tersebut, ulama
Sebaliknya peran dan potensi ijtihad
uṣûl juga ternya masih terjadi diskursus.
baru diakui jika tidak ada nash qaṭ’iy
apakah ayat yang qaṭ’iy al-wurûd boleh
membuat hubungan yang antagonistis
dilakukan ijtihad atau tidak?
antara
yang
terbatas
Sarjana uṣûl seperti; Asy-Saukani, Khudhary Wahab
Beik, Khallaf
Abu dan
Zahrah, lain
Abd
sebagainya
sepakat bahwa nash yang qaṭ’iy tidak ada
celah
untuk
dan
ijtihad
seperti ini,
tidaklah sejalan dengan maksud Tuhan menurunkan wahyu-Nya. Sehingga perlu ada judicial review. Persepsi
semacam
sangat
Sepanjang dalil itu dalâlah-nya qaṭ’iy
persepsi
itu
maka dalâlah-nya terhadap maknanya
cenderung
dan
nash
ditentukan (theory-determined) dan teori
tersebut, bukanlah suatu tempat suatu
yang telah diarahkan (theory-directed)
pembahasan dan ijtihad. Berdasarkan hal
oleh epistemologi klasik (Hans Albert,
ini
2014: 88). Sehingga Mohammed Arkoun
maka
ayat-ayat
Dekonstruksi Ijtihad
dari
hukum
yang
sendiri
kepada
teori
terlebih
sudah
menjalar
hukum
luas,
ini
ijtihad.
pengambilan
melakukan
nash
tidak yang
lagi, jarang telah
303
Vol. II No. 02, November 2016
(2002: 57) menganggap doktrin keserba-
garapan ijtihad, meskipun nash tersebut
sempurnaan di atas menjadikan ayat-ayat
menurut ushuliyyun dikatagorikan qaṭ’iy
Al-Qur`an yang bersifat qaṭ’iy menjelma
dalâlah-nya).
sebagai Official Closed Corpus (korpus tertutup
resmi).
Arkoun
(1994: 33)
Toh, ijtihad ini -benar atau salahterdapat dua kemungkinan yang akan
kemudian
mengidentifikasi
dua
timbul kemudian. Pertama, jika ijtihad
konsekuensi
dari
Al-
tersebut
penggiringan
sesuai
dengan
apa
yang
Qur`an sebagai korpus tertutup di atas;
dikehendaki Allah SWT, maka pelaku
pertama, semua pendekatan dan metode
ijtihad
analisis
yakni
dibatasi
sehingga
tidak
bisa
akan memperoleh dua pahala, pahala
ijtihad
pahala
melampaui pagar dogmatik (dogmatic
menggapai
enclosure); dan kedua, intepretasi yang
ternyata hasil ijtihad itu tidak sesuai
dianggap
dengan yang dikehendaki Allah SWT,
memiliki
otoritas
dalam
keislaman adalah corpus ortodoks.
kebenaran.
dan Kedua,
jika
maka hanya memperoleh satu pahala,
Semestinya sudut pandang demikian
yakni pahala
harus dikembangkan dan dielaborasi jika
1997: 292).
orang ingin menilai relevansi hubungan
kepada
keduanya (nash qaṭ’iy dengan ijtihad)
ḣakama al-ḣâkim fajtahada fa aṣâba
harus
interaktif-
falahu ajrâni, wa iża ḣakama fajtahada
komplementatif atau dalam istilah lain
fa `akhṭa`a falahu ajr” (seorang hakim
“ta’alluq at-talâzum wa al-musâḣabah”
apabila
(saling melengkapi dan membutuhkan).
ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
Maksudnya agar suatu nash bermakna
pahala apabila ia berijtihad dan ternyata
aplikatif dan ijtihad juga memerlukan
keliru (tidak mencapai kebenaran) maka
nash sebagai obyek sasarannya.
ia mendapat satu pahala) (HR. Bukhari).
diubah
Kebutuhan
menjadi
terhadap
ijtihad
ijtihad
saja
(al-Jarhazi,
Hal tersebut didasarkan
Sabda
Rasulullah
berijtihad
saw;
kemudian
“iża
ternyata
ini
juga bukan hanya berlaku bagi nash-nash yang ẓanny melainkan juga nash yang
3. Melampaui Dogmatisme: Membongkar Hegemoni Teks
qaṭ’iy ad-dalâlah-nya. Oleh karena itu,
Buntut
menurut Supena dan Fauzi (2002: 279)
mengakibatkan
kaidah di atas perlu diubah menjadi “kull
diperketat
an-naṣṣ majâl al-ijtihâd walau kâna
dan akhirnya menjadi sangat terbatas.
sâriḣan
qaṭ’iyya
ad-dalâlah
‘inda
uṣûliyyin” (setiap nash adalah menjadi 304
Sehingga
dari
persepsi interpretasi
dengan
banyak
di
atas,
Al-Qur`an
sejumlah kualifikasi
kaum
muslimin
terpenjara oleh ketertutupan dogmatik Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
ini. Namun, belakangan muncul suara-
Menurut cendikiawan muslim Iran,
suara non-konvensional yang mencoba
Abdolkarim
menggugat pemahaman ortodoks di atas
artikelnya
dengan mengedepankan cara pandang
democracy.org/SoroushAddress.shtml;
berbeda.
terhadap
diakses, 16/9/2016) tak dapat di nafikan
otoritas masa lalu ini mulai mendapatkan
bahwa ide-ide Mu’tazilah masih menjadi
sambutan
hangat
dengan
inspirasi muslim kontemporer. Kendati
munculnya
kesadaran
sarjana
hanya
Gugatan-gugatan
seiring para
Soroush
dalam
sebuah
(www.islam-
segelintir
yang
menghubungkan
muslim yang berpikir progresif untuk
gagasan pembaharuannya dengan ide-ide
bangkit dari pemasungan tekstual yang
Mu’tazilah.
menyebabkan
kemandekan
dan
kebuntuan intelektual dan moral. Sebagian
besar
Muhammad -seorang
dari
mereka
Syahrur
insinyur
bukunya
dari
al-Kitâb
misalnya
Syria-
wa
dalam
al-Qur`ân:
mengagumi dan memberi penghargaan
Qirâ`ah Mu’âṣirah (1990) dan Dirâsah
tinggi Mu’tazilah terhadap akal meskipun
al-Islâmiyah Mu’âṣirah fi ad-Dawlah wa
mempunyai
sinis
al-Mujtama’ (1994), ia “mendekontruksi”
seperti Abu Zaid, Fazlur Rahman (2000:
Al-Qur`an dan bersikap kritis terhadap
60-62) juga memuji teori etika rasional
tradisi
Mu’tazilah,
mendistorsi
pandangan
namun
(agak)
ia juga menyebut
fikih
yang
dianggapnya
risalah
Islam.
telah
Pendekatan
mereka terdampar diujung suatu ekstrem.
Syahrur
Arkoun (2002: 13) memberikan penilaian
eksistensial terhadap otoritas masa lalu,
tinggi
menyingkirkan
kepada
kontribusinya persoalan
Mu’tazillah
karena
membuat “thinkable”
sejumlah seperti
isu
keterciptaan kalam Tuhan. Namun, ia juga
menyebutkan
Mu’tazilah
terlalu
Al-Qur`an,
dogmatik
dalam
kemaren
menurutnya,
seolah-olah dan
harus
Nabi baru wafat
memberitahukan
kita
Mu’tazilah
tentang kitab ini (ka `anna an-nabî
sebagai salah satu dari sekian banyak
tuwuffiya hâdiṡan wa bâllaghana hâża
kelompok merebut menentukan
menyebut
(baca:
hidup.
dibaca
hanya
tafsir
dalam konteks di mana dan kapan ia
pada akal manusia sebagai
Syahrur
tradisi
gugatan
ijtihad) klasik dan mendekati Al-Qur`an
terfokuskan
logosentrisme-nya.
mengandung
yang
berkompetisi
untuk
al-kitâb) (Syahrur, 1990: 44). Dengan
penguasa
untuk
pernyataan
tunggal
tentang
pengaruh idiologi
Islam. Dekonstruksi Ijtihad
Syahrur
bernada merancang
komprehensif
untuk
provokasi suatu
ini,
program
“menantang” 305
Vol. II No. 02, November 2016
perspektif tradisional tentang Al-Qur`an
(3) al-ḣad al-`adnâ wa al-ḣad al-`a’lâ
yang
oleh
ma’an (batas minimal dan maksimal,
(al-
keduanya disebutkan); (4) al-ḣad al-
dianggap
warisan
telah
aksioma
dirusak
yang
musykil
musallamât al-maurûṡah al-musykilah)
`adnâ
dalam diskursus keislaman.
wâḣidah
Konsep kunci Syahrur (1990: 43) adalah
“Ardhiyah
“ardhiyah
Cukup
al-`a’lâ
nuqṭah
(disebut batas minimal dan
maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-ḣad al-`a’lâ bi khatt muqârib li
dapat
mustaqîm (tidak sampai batas maksimal
premis-premis
dan tidak menyentuh batas minimalnya);
yang
sebagai
al-ḣad
atau
ma’rifiyah”
diterjemahkan saintifik.
‘ilmiyah”
wa
kiranya
dan (6) al-ḣad al-`a’lâ mujîb mughlaq lâ
untuk
yajûz tajâwuzuh, wa al-ḣad al-`adnâ
kompleksitas
sâlib yajûz tajâwuzuh (batas maksimal
kehendak Ilahi terus berkembang dengan
positif dan batas minimal negatif, serta
perkembangan
keduanya
karena
beralasan
kemampuan
menyelami
manusia
situasi
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi. (ingat, Syahrur sendiri adalah profesor
teknik!),
memungkinkan
maka
pembacaan
sangat terbarunya
bertemu
di
titik
tengah)
(Mohammad Syahrur, 1990: 453-466). Aplikasi
dari
teorinya
tersebut,
Syahrur mencontohkan dalam artikelnya
terkini.
“Reading The Religious Text a New
mengusulkan
Approach” misalnya, dalam hal waris
kontemporer
dan qiṣâṣ atau hukuman bagi pencuri.
(qirâ`ah mu’âṣirah)” yang diyakini lebih
Ketentuan potong tangan sebagaimana
baik dan maju dibanding kesarjanaan
terekam dalam QS al-Maidah [5]: 38,
Islam
merupakan
al-ḣad
maksimal).
Karena
lebih Dalam model
menyentuh konteks
kepentingan ini,
ia
“pembacaan
terdahulu,
karena
dilengkapi
dengan peralatan yang canggih. Misalnya, ia memperkenalkan teori
memberikan
al-`a’lâ itu
hukuman
tidak melebihi
(batas boleh dari
“ḣudûd” (bentuk jamak dari kata ḣad
potong tangan (hudûd
Allâh), tetapi
yang
dalam
memungkinkan
secara
etimologi berarti batas)
(hukum
positif)
dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an.
memberikan hukuman yang lebih ringan
Menurutnya Al-Qur`an yang mempunyai
dari itu. Dalam hal ini mujtahid boleh
ayat
berijtihad
qaṭ’iy
masih
berlaku
lapangan
menentukan
hukuman
bagi
ijtihad di dalamnya. Ia menyebutkan 6
pencuri sesuai dengan situasi dan kondisi
macam teori ḣudûd yaitu; (1) al-ḣad al-
yang dihadapinya. Disini, bentuk modus
`adnâ
operandi, motivasi dan nilai barang yang
(disebutkan
batas
minimalnya);
(2) al-ḣad al-`a’lâ (Batas maksimalnya); 306
dicuri
harus
menjadi
bahan
Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
pertimbangan
dalam
memberikan
hukuman.
bunyi
verbal
nash
yang
selama
ini
dianggap qaṭ’iy dalâlah-nya.
Sebagaimana
Umar
bin
Khatab
Diantara
contoh
ijtihad
Umar
dalam menghukum pencuri yang pada
tersebut adalah: Pertama, menghilangkan
masa
dalam
hukuman potong tangan bagi pencuri
Arabia.
pada musim paceklik. Hal demikian tidak
Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh
sejalan dengan bunyi nash (QS. [5]: 38).
bahaya
ancaman
Kedua, menghilangkan bagian zakat bagi
hukuman terhadap pencuri yang disebut
mu`allaf qulûbuhum (orang yang masih
dalam
Al-Qur`an
dilaksanakan
lemah imannya). Berkaitan dengan hal ini
oleh
khalifah
berdasarkan
Khalifah
itu
masyarakat
terjadi di
kelaparan
semenanjung
kelaparan
tersebut,
tidak Umar
pertimbangan
(darurat)
dan
kemaslahatan jiwa masyarakat.
bahwa
nash
mengijtihadkan
bin dan
Khattab
berseberangan
dengan nash dalam kasus orang mu`allaf
Teori ḣudûd versi Syahrur tersebut menunjukkan,
Umar
pada waktu itu tidak diberi zakat. Padahal
Al-Qur`an
dalam Al-Qur`an surat at-Taubah: 60
yang menurut uṣûliyyun yang diyakini
disebutkan bahwa pembagian zakat sudah
sebagai ayat qaṭ’iy ternyata masih dapat
ditetapkan
dilenturkan
berhak
maknanya.
Dengan
teori
golongan-golongan menerima
zakat,
yang termasuk
ḣudûd ini, mengakui keberadaan nash
mu`allaf di dalamnya, yaitu (diantaranya)
qathiy al-dalalah berikut konsekuensinya
orang-orang yang baru memeluk agama
menjadi tidak relevan lagi. Hal ini berarti
Islam yang seyogyanya dilindungi karena
juga
masih lemah imannya dan karena ia
merontokkan
ijtihad
tidak
boleh
anggapan
bahwa
menyentuh
nash
qaht’iy. Tidak dapat diterima.
memeluk
agama
Islam
hubungannya
dengan keluarganya (mungkin) terputus.
Apabila dilakukan pelacakan studi
Pada
zaman
Rasulullah
golongan
ini
(traccer study) dari sejarah pemikiran
memperoleh bagian zakat. Akan tetapi
hukum
lebih
masa khalifah Umar bin Khattab, beliau
menekankan pada nilai universal yang
menghentikan pemberian zakat kepada
dikandung nash sebagai mana uraian di
mu`allaf
atas,
bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah
Islam,
disadari
pemikiran
atau
yang
tidak
disadari
berdasarkan
terinspirasi oleh oleh pemikiran (baca:
banyak
ijtihad) Umar bin Khattab, yang secara
diberikan keistimewaan kepada golongan
terang terangan berani menyimpang dari
khusus dalam tubuh umat Islam.
Dekonstruksi Ijtihad
sehingga
tidak
pertimbangan
perlu
lagi
307
Vol. II No. 02, November 2016
Dari
fenomena
mununjukkan sangat situasi
hasil dari suatu
dipengaruhi oleh di
tersebut,
mana
dipengaruhi,
oleh
penalaran
manusia,
ijtihad
sehingga sekarang ia mengambil jarak
kondisi dan
terpisah dari keilahiaanya dan menjadi
hukum
tersebut
dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan
teks manusiawi. Berdasarkan uraian tersebut, maka
proses ijtihad yang dilaksanakan sering
dapat
menghasilkan
rumusan yang bervariasi
terhadap sesuatu mensyaratkan adanya
ketika konteks persoalan yang timbul
tiga makna yang saling terkait. Pertama,
berbeda. Sebagai sebuah produk ijtihadi,
bahwa sesuatu yang telah menjadi objek
hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu
dekonstruksi itu telah eksis sebelumnya,
yang
kedua, sesuatu itu telah “ditelan” zaman
sakral
dan
menutup
pintu
perbedaan maupun perubahan. Dengan
dinyatakan bahwa dekonstruksi
sehingga kehilangan nilai aktualisasi dan
demikian,
menurut
relevansinya
dengan
konteks
historis
Musahadi (2012: 36) ijtihad memberikan
tertentu, ketiga, adanya upaya untuk
kemungkinan
menjadikan sesuatu itu baru sehingga
epistemologis
bagi
pembaharuan hukum Islam karena ia memuat
dua
mengeluarkan
konsep.
aktual dan relevan dengan zamannya.
Pertama
hukum dari sumbernya,
dan kedua, taṭbîq yakni mengaplikasikan
C. Simpulan Dari pemaparan di atas dapat kita
hukum dari kasus-kasus yang aktual
ambil
untuk suatu kebutuhan historis tertentu.
Al-Qur`an,
Oleh karena itu, berangkat dari titik tersebut
Abu
mengatakan
Zaid
ketika
(1992:
93)
Al-Qur`an
yang
kesimpulan
bahwa
merupakan
sungguhpun
kitab
panduan
yang di dalamnya terdapat serba-serbi permasalahan namun, membahasnya
Al-Qur`an tidak
hingga
tuntas.
Oleh
metafisik dan sakral diwahyukan kepada
karena itu diperlukan usaha konseptual
Nabi
yang bersifat metodologis untuk dapat
Muhammad
-Berbeda
dengan
asalnya yang bersifat Ilahiyah- ia mulai
mengeluarkan
memasuki ruang
sejarah dan tunduk
(ijtihad) sehingga dapat dipahami oleh
pada aturan main sejarah dan sosiologis.
stiap orang. Akan tetapi seribu sayang
teks
usaha
tersebut
(muta’annas)
menjadi merangkul
manusiawi ke
dalam
dirinya semua elemen masyarakat Arab
ijtihad
kualifikasi
hukum
dari
sumbernya
harus ditempuh dengan
yang
hampir
tak
dapat
dijangkau oleh manusia sekarang.
abad ke VII M, seperti elemen kultural,
Untungnya banyak pemerhati dunia
politik dan idiologi. dan masih terus
keislaman yang berusaha menggugat ke-
308
Dekonstruksi Ijtihad
Vol. II No. 02, November 2016
tak
terjangkauan
sehingga berpijar
tradisi seiring
kebutuhan
syarat
tersebut,
berpikir
kembali
dengan
masyarakat
banyaknya
akan
jawaban
melakukan ijtihad, dengan doktrin ini akan
berimplikasi
pemikiran.
pada
Mengatasi
kemandekan permasalahan
tersebut cendikiawan berusaha bangkit
dalam kasus hukum (baru) yang dalam
dan
Al-Qur`an belum ada penjelasan secara
membongkar
komprehensif.
Qur`an). Nash yang dianggap absolut,
Melalui
gelar
melakukan
dekonstruksi
hegemoni
(Al-
kesarjaannya seorang akademisi—mulai
oleh
dari tingkat S1-Doktor, paling tidak—
didekonstruksi sehingga menjadi corpus
diperkenankan melakukan ijtihad secara
terbuka, karena pada dasarnya Al-Qur`an
independent
bersifat
berdasarkan
tema
sebagian
teks
ijtihad
adaptability,
cendikiawan
seperti
yang
(permasalahan) yang ia teliti mekipun
dilakukan oleh Fazlur Rahman, Syahrur,
bersifat tematik (mauḍû’iy).
Nasr Hamid Abu Zaid dan kawan-
Di lain pihak, nash yang bersifat imuttabelity oleh sebagian cendikiawan dianggap
tidak
ada
celah
kawannya. ***
untuk
Dartar Pustaka Azizy, A. Qodri. 2004. Reformasi Bermadzhab; Sebuah Iktisar Menuju Ijtihad Saintific Modern, Jakarta: Teraju. Albert, Hans. 2014. Rekonstruksi Nalar kritis, Yogyakarta: IRCiSoD. Edisi Baru. Arkoun, Mohammed. 2002. The Unthought In Contemorary Islamic Thought, London: Islamic Books. ___________. 1994. Rethinking Islam, Boulder: Westview. Al-Baqir, Muh, Otoritas dan ruang lingkup ijtihad, dalam Ijtihad dalam Sorotan, Haidar Baqir dan Syafiq Basri. 1996. Bandung: Mizan. Cet, IV. Biek, Muhammad Khudhori. 2007. Ushul al-fiqh, terj. Faiz el Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani.
Dekonstruksi Ijtihad
___________. Tth. Tarikh Tasyri’ alIslami, Kairo: Maktabah Al-Azhar. Coulson, Noel. J. 1969. Conflict and Tension In Islamic Jurisprudence, Chicago: The University of Chicago Press. Faruki, Kemal. 1994. Jurisprudence, Delhi: Publishers, Cet. I.
Islamic Adam
Haq, abdul,et al. 2009. Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Kalista. Jilid 2. Iqbal, Muhammad. 1989. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Institut of Islamic Culture. Jamil, Faturahman. 1999. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet II.
309
Vol. II No. 02, November 2016
al-Jarhazi, Abdullah bin Sulaiman. 1997. al-mawahib al-saniyyah, Beirut: Dar al-Fikr. Khallaf, Abdul Wahab, 2010, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Dar al-Kutub alIlmiyah. ___________. 1968. Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islami, ttp. ___________. 1972. Mashadir alTasyri’ al-Islami Fi Ma La Nashsha Fih, Kuwait: Dar al-Islam. Cet III. Al-Khatib, ‘Abdul Karim. 1984. Saddu bab al- Ijtihad wa ma Tarattaba, Beirut: Muassah Risalah. Musahadi. 2012. Mazhab Konservatif Versus Mazhab Kritis; Kajian Hukum Islam di Pesantren,Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books. Mudzar, M Atho’. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. Muallim, Amir & Yusdani. 2004. Ijtihad dan Legislasi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: UII Press. Nasution, Harun, Ijtihad Sumber Ajaran Islam, dalam Ijtihad dalam Sorotan, Editor, Haidar Baqir dan Syafiq,1996, Bandung: Mizan. Cet, IV. An-Naim, Abdullah Ahmed. 1990. Dekonstruksi Syariah; Wacana Asy-Syaukhani, M, tt, Irsyad al-Fuhul. Beirut: Darul Ihya’ at-turas Arabi. Al-Syatibi. tth. al-Muwafaqat. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Grapindo Persada.
310
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International dalam Islam, Yogyakarta: LKis Group. Julid I. Rahman, Fazlur. 1965. Islamic Methodologi in History. Karachi: Central Institute Of Islamic Research. ___________. 2000. Revival and Reform in Islam. Oxford: Oneworld. ___________. 2000. Islam, Bandung: Pustaka. Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina. Supena ilyas dan M. Fauzi. 2002. Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media kejasama Walisongo Prees. Syahrur, Muhammad. 1990. al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus: al-Ahali. ___________ Reading The Religious Text a New Approach, dalam www.islam21.net/peges/keyissues/key 1-7.htm diakses, 12/9/2016 al-Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd alRahman. Tth. al-‘Asybah wa alNazha’ir fi al-furu’. Surabaya: Alharomain. Asy-Syarafi, Abdul Majid. 1998. alijtiahad al-jama’i fi al-Tasyri’ alIslami, Qatar: Wizaratul awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah. Zahrah, Muhammad Abu. Tth. Fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah. Matba’ah al-Madaniy. Zaid, Nazr Hamid Abu. 1992. Naqd alKhitab al-Dini. Kairo: Sina’ li alNashr.
Dekonstruksi Ijtihad