Kesaksian Achadi (Bagian 1) Roso Daras http://rosodaras.wordpress.com/2013/04/29/kesaksian-achadi-bagian-1/
Sebagai mantan Menteri di era Bung Karno, sebagai seorang Sukarnois, kesaksian Moch. Achadi tentu saja layak dicermati. Setidaknya, layak dicatat dalam memori kita sebagai anak bansga. Baru-baru ini, atas prakarsa sejumlah pihak yang hendak menggugat Tap MPRS No. 33 tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Sukarno. Secara langsung atau tak langsung, ketetapan itu menuding Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI. Ketetapan itu menjadi sikap MPRS untuk enjatuhkan Sukarno dari kekuasaan dengan dugaan pengkhianatan. Bahasa lain, Tap itulah yang memuluskan Soeharto menduduki tahta kepresidenan. Achadi termasuk yang mengetahui sejarah pemutarbalikan fakta. Achadi lantas menuangkan butir-butir kesaksian tersebut. Satu copy diserahkan kepada Yayasan Bung Karno, dan satu copy lagi diserahkan kepada saya saat bertemu di Yayasan Bung Karno, Menteng, pertengahan April 2013. “Tolong ditulis di blognya dik Roso yaaa… agar generasi penerus setidaknya mencatat sudut pandang saya,” ujar Achadi. Jika kemudian kesaksian Achadi menjadi materi yang tengah Anda simak, bukan semata karena saya sudah meng-iya-kan permintaan Achadi. Lebih dari itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelurusan sejarah Sang Proklamator, sudah selayaknya menjadi concern bersama. Menjadi concern bangsa. Dalam kesaksian sepanjang delapan lembar HVS itu, tentu terlalu panjang jika saya jadikan satu postingan. Karenanya, saya memecah menjadi beberapa bagian. Ini adalah bagian pertama. Dalam kesaksian tersebut, Achadi memulainya dengan memerinci peristiwa-peristiwa yang erat terkait dengan kejadian G30S/PKI. Pertama, dengan dalih menggagalkan kup dewan jenderal, terjadi penculikan jenderal-jenderal oleh pelaku G30S tanggal 1 Oktober 1965 dinihari. Gerakan 30S 1
dipimpin oleh Letkol Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Latief dari Kodam Jaya, Jenderal Suparjo dari Siliwangi (Komandan Tempur Dwikora wilayah Kalimantan Barat). Hari itu juga, Jenderal Suparjo berusaha menghadap Presiden Sukarno untuk mendapat dukungan (atas gerakan menggagalkan kup dewan jenderal). Jam 09.00 pagi, ia sudah berada di Istana, tetapi gagal berjumpa Bung Karno. Nah, sekitar pukul 13.00, organisasi yang menamakan G30S itu mengeluarkan pengumuman melalui RRI bahwa G30S membentuk Dewan Revolusi dengan ketua Letkol Untung dan kawan-kawan sebagai kekuasaan tertinggi dan mendemisionerkan kabinet. Hal ini, menurut Achadi, jelaslah merupakan perbuatan kup atau kudeta. Sebab, UUD 1945 jelas menyebutkan, yang berhak mengubah/mengganti kabinet adalah Presiden. Kesaksian butir kedua dari Achadi menjelaskan ihwal Sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor. Moch. Achadi sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi hadir dalam rapat sidang tersebut. Pernyataan tegas Presiden Sukarno dalam Sidang Kabinet itu antara lain, “G30S itu salah, dan yang dituju adalah saya. Dan dengan terjadinya G30S maka revolusi Indonesia mundur 20 tahun!” Bulan Oktober itu pula, dibentuk Tim Khusus untuk membantu Presiden Sukarno menghadapi epilog peristiwa G30S. Susunan Tim Khusus itu adalah Ketua Chairul Saleh, Ketua MPRS, Ketua Periodik Front Nasional, Wakil Perdana Menteri III. Sedangkan Wakil Ketua terdiri atas Jenderal Soeharto, KSAD, Kepala Staf KOTI. Anggota-anggotanya adalah Jenderal Achmadi (Menteri Penerangan), Ketua GIII KOTI, Jenderal Sutardjo, Jaksa Agung, Sudibyo, Menteri Sekjen Front Nasional, Drs. Moch. Achadi yang juga Rektor Universitas Bung Karno. Point berikutnya yang dipaparkan Achadi adalah peristiwa Sidang Kabinet Dwikora tanggal 17 Januari 1966 di Istana Bogor, di mana Achadi pun hadir. Sebelum sidang, ada pertemuan antara Presiden Sukarno dengan pimpinan organisasi-organisasi KAMI-KAPI yang waktu itu aktif berdemonstrasi dengan semboyan Tritura (Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet, turunkan harga). Dalam sidang yang juga dihadiri pimpinan KAMI – KAPI tersebut, Presiden Sukarno tegas-tegas menyatakan, bahwa ada petunjuk dan gejala-gejala yang merupakan gerakan untuk mendongkel kepemimpinan Presiden Sukarno. Menghadapi hal
2
tersebut, Bung Karno memerintahkan, siapa yang setuju dengan kepemimpinannya, agar menyusun barisan. Berdasar pidato Presiden Sukarno tersebut (tentang pembentukan barisan Sukarno), maka gerakan-gerakan pendukung Bung Karno muncul di mana-mana dengan nama Barisan Sukarno. Sementara itu, Tim Khusus yang disebut di atas, mengadakan sidang dan memutuskan Tim Khusus sebagai pimpinan Barisan Sukarno. SK Presiden untuk ini telah siap ditandatangani Presiden Sukarno. Hingga di sini, tampak Bung Karno masih sangat berpengaruh. Hingga kemudian peristiwa berlanjut ke Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara Jakarta, di mana Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit. Sidang Kabinet dipimpin langsung Presiden Sukarno. Ketika Bung Karno tengah berpidato sekitar 10 menit, diinterupsi Jenderal Sabur, Komandan Cakrabirawa (pengawal presiden). Dia melaporkan bahwa Istana telah dikepung oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Keadaan tidak aman dan seyogianya Presiden meninggalkan Istana menuju Bogor dengan naik helikopter. Walhasil, sebelum sidang tuntas, Presiden Sukarno diikuti Waperdam I Dr Subandrio dan Waperdam III Chairul Saleh meninggalkan Istana Jakarta menuju Bogor. Sidang Kabinet dilanjutkan dengan dipimpin Waperdam II Dr. Leimena. Usai sidang, diadakan makan siang bersama. Saat itu diumumkan, para menteri diimbau tidak meninggalkan Istana hingga suasana benar-benar aman. Achadi bersama Menteri Pertahanan Jenderal Sarbini dan Menteri Penerangan Jenderal Achmadi makan satu meja. Kemudian datang Jenderal Amirmachmud sebagai Panglima Kodam Jaya bergabung di meja makan itu. Amirmachmud menyatakan dengan tegas bahwa Jenderal Sabur tidak benar telah melaporkan kepada presiden bahwa Istana tidak aman. Apalagi, Sabur tidak menanyakan kepada Amirmachmud terlebih dahulu. “Saya sebagai Panglima Kodam yang berhak menyatakan keamanan di Jakarta, termasuk di sekitar Istana. Amirmachmud juga menyatakan selain dirinya, ada Jenderal Soeharto sebagai KSAD maupun Kepala Staf KOTI, karena di Jakarta terdapat banyak pasukan yang bergerak di luar komando Kodam Jaya. Saat itu, Amirmachmud juga menyatakan sore ini akan menyusul Bung Karno ke Bogor untuk menyatakan hal itu. “Kami semua, di meja makan itu, sepakat dengan pernyataan Amirmachmud. Kebetulan ada Jenderal Sarbini selaku Menteri Pertahanan,” ujar Achadi. 3
Kesaksian Achadi (Bagian 2) Achadi melanjutkan kesaksiannya. Point ke-5, adalah fase keluarnya Surat Perintah Presiden 11 Maret 1966. Achadi mengisahkan, peristiwa di Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 19.00. Ketika itu, menghadap tiga orang jenderal TNI-AD masing-masing Amirmachmud (Panglima Kodam Jaya sekaligus Rektor UBK Cabang Banjarmasin), M. Jusuf (Menteri Perindustrian Rakyat yang juga Rektor UBK cabang Makassar), dan Basuki Rachmat (Panglima Kodam Brawijaya yang juga Rektor UBK Cabang Surabaya). Setelah berbicara kurang lebih satu jam, maka ditandatanganilah Surat Perintah Penugasan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto yang isinya antara lain, Jenderal Soeharto dapat mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk kelancaran jalannya pemerintahan dan revolusi demi; 1). Kewibawaan dan kepemimpinan Presiden Sukarno, Pemimpin Besar Revolusi, 2). Menjaga keamanan Presiden dan keluarganya, 3). Melaksanakan dengan pasti ajaran Bung Karno, 4). Melaksanakan koordinasi dengan Angkatan yang lain, 5). Melaporkan pelaksanaan tugas ini kepada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Surat Perintah itu ditandatangani di Bogor. Oleh karena itu, tercantum kalimat di bawah, “Bogor, 11 Maret 1966″. Achadi menegaskan hal itu, mengkritisi Supersemar yang pernah beredar di era Orde Baru yang di bawahnya tertulis, “Jakarta, 11 Maret 1966″. Dengan kata lain, Achadi memastikan bahwa Supersemar yang beredar bukanlah Surat Perintah yang asli. Hingga kini, keberadaan Supersemar itu sendiri simpang-siur. Faktanya, tidak pernah ada naskah otentik Supersemar. Karenanya, sejumlah kalangan ada yang mengkritisi, bagaimana mungkin sebuah rezim bisa berdiri di atas surat penugasan yang palsu? Achadi kembali merunut peristiwa ke kejadian tanggal 13 Maret 1966 sekitar pukul 20.00 di Istana Bogor. Ketika itu, Bung Karno menggelar sekaligus memimpin rapat. Hadir Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto yang diwakili oleh Jenderal Hartawan (Soeharto lagi-lagi tidak hadir dengan alasan sakit). Hadir pula Wakil Perdana Menteri I Dr Subandrio, Waperdam II Leimena, Waperdam III Chaerul Saleh, Panglima Angkatan Laut Laksamana Mulyadi dan Wakilnya Jenderal Marinir Hartono, Panglima Angkatan Udara Marsekal Sri Mulyono Herlambang, Panglima
4
Angkatan Kepolisian Jenderal Sucipto Yudodihardjo, Menteri Penerangan Achmadi, dan Achadi sendiri. Setelah membahas perkembangan situasi dan pelaksanaan Supersemar, maka Presiden memutuskan untuk mengeluarkan surat kepada Jenderal Soeharto yang isi pokoknya adalah, bahwa Supersemar pada hakikatnya hanyalah merupakan penugasan untuk pengamanan teknis. Surat tersebut dibawa oleh Waperdam II Dr Leimena untuk disampaikan kepada Jenderal Soeharto. Nah, pada tanggal 14 Maret 1966 malam hari, setelah membahas dengan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Sucipto tentang adanya penahanan beberapa menteri, maka pagi harinya, Achadi didampingi AKBP Sadikun dan Slamet Saroyo menghadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka, dan melaporkan ihwal tindakan Soeharto melakukan penahanan terhadap sejumlah menteri. Oleh Presiden langsung dijawab, bahwa hal itu tidak benar, karena jenderal Soeharto datang kepadanya meminta izin untuk mengawal beberapa menteri yang menurut informasi mau didatangi demonstran. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, jenderal Soeharto meminta izin Bung Karno untuk mengawal mereka, mencegah insiden yang mungkin terjadi. Achadi sontak menjawab, bahwa keterangan Soeharto tidak benar. Achadi bahkan bersaksi, bahwa kediamannya pun sudah diduduki pasukan dan Yon Pomad. Mendengar kesaksian Achadi, Bung Karno memerintahkan dia untuk sementara menunggu di Guest House Istana sambil menunggu sidang KOTI. Bung Karno kemudian memanggil anggota KOTI. Tanggal 16 Maret, sidang KOTI tidak bisa dilaksanakan karena Istana Merdeka dikepung pasukan Baret Merah. Sedangkan Jenderal Soeharto mengeluarkan pengumuman untuk menahan 16 orang menteri kabinet Dwikora dengan berlindung pada legalitas Supersemar. Bung Karno sangat terkejut dengan sepak terjang Soeharto, yang sering absen dalam rapat kabinet dengan alasan sakit, tetapi justru mengeluarkan keputusan-keputusan yang bisa diartikan pembangkangan. Achadi menggarisbawahi, penahanan maupun pemberhentian para menteri tidak pernah ada surat keputusan resmi dari Presiden Sukarno sebagai kepala pemerintahan yang paling berhak sesuai konstitusi. Karenanya, peristiwa penahanan 16 menteri itu dipertanyakan keabsahannya secara hukum. Dengan kata lain, Soeharto telah membubarkan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan secara tidak sah. 5
Achadi menegaskan, “Itu fakta sejarah. Itu sungguh-sungguh terjadi. Silakan generasi muda mencermati dengan kacamata jernih. Betapa sesungguhnya Soeharto sejak saat itu sudah melakukan praktek makar,” ujar Achadi pula. Tidak berhenti sampai di situ. Soeharto kemudian mengganti anggota-anggota DPR dan MPRS dengan tamengg Supersemar, sehingga anggota DPR dan MPRS yang mendukung Bung Karno disingkirkan, diganti dengan orang-orang yang berperan mendongkel Bung Karno. Lagi-lagi, langkah itu sama sekali tidak dilakukan secara konstitusional, karena tidak ada SK Presiden yang sah. Kesaksian Achadi (Bagian 3) Suasana politik sangat tegang, tidak menentu, hampir-hampir jalannya pemerintahan limbung. Bung Karno, menurut kesaksian Achadi, dengan penuh keprihatinan tetap terus berjuang mencegah pertumpahan darah dan perpecahan bangsa. Salah satu langkah yang dia tempuh adalah merombak kabinet menjadi Kabinet Ampera yang kemudian menunjuk Jenderal Soeharto sebagai ketua presidium. Para menteri yang diangkat pun menampung aspirasi atau tepatnya desakan politik yang ada ketika itu. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1966 dengan judul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, dan naskah pidatonya masih ada hingga kini, Bung Karno menyatakan berkali-kali bahwa SP 11 Maret 1966 bukanlah “transfer of authority”, melainkan suatu perintah penugasan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Ternyata perkembangan selanjutnya adalah bahwa dalam periode Kabinet Ampera dengan ketua presidium Soeharto, dikeluarkan kebijakan sebagai berikut: a. UU No 7 tahun 1966 tentang Penyelesaian Masalah Utang-Piutang antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda. b. UU No. 8 tahun 1966 tentang Pendaftaran sebagai Anggota Asian Development Bank (ADB) c. UU No. 9 tahun 1966 tentang Pendaftaran Kembali Indonesia sebagai Anggota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. 6
d. UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) mencabut UU No 16 tahun 1965 (bulan Agustus tentang penanaman modal asing). Bung Karno menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia, sementara Soeharto menggantinya dengan UU No 1 tahun 1967 tersebut, sehingga modal asing pun berduyun-duyun masuk dan menguasai perekonomian Indonesia. Hingga sekarang. Kesaksian Achadi (Bagian 4) Moch. Achadi terus memantau perkembangan situasi pasca peristiwa G30S. Dalam kesaksiannya, ia juga menuliskan kronologi atau perkembangan proses pendongkelan terhadap Presiden Sukarno. Ia memulainya dengan langkah pertama, saat MPRS yang anggota-anggotanya telah diganti (tanpa SK Presiden Sukarno) memanggil Presiden Sukarno untuk mempertanggung-jawabkan peristiwa G30S. Dalam melayani permintaan tersebut, Presiden menyampaikan pidato yang berjudul “Nawaksara” dan kemudian disusul dengan “Pelengkap Nawaksara”. Intinya, bahwa peristiwa G30S disebabkan oleh tiga hal; 1). Keblingernya pimpinan PKI, b). Kelihaian subversi neokolonialisme, 3). Adanya oknum-oknum yang tidak benar. Pidato Bung Karno itu ditolak MPRS, dan dalam sidang-sidang berikutnya, MPRS mengeluarkan Tap MPRS 1966 antara lain, Tap MPRS No IX/1966 yang mengukuhkan Supersemar dari “sekadar” perintah penugasan Presiden Sukarno menjadi Tap MPR tanpa dilampirkan Supersemar (SP 11 Maret) yang asli atau salinan sesuai aslinya. Kemudian keluar lagi Tap MPRS No XV/1966 yang memberikan jaminan bahwa pengemban Tap MPRS No. IX/1966 yaitu Letnan Jenderal Soeharto setiap waktu menjadi Presiden “apabila Presiden berhalangan”. Achadi mengajak segenap elemen bangsa mencermati bahwa Tap MPRS No IX/1966 yang mengukuhkan SP 11 Maret tanpa dilampiri fisik SP 11 Maret yang asli ataupun salinan sesuai aslinya, adalah sesuatu yang patut dipertanyakan keabsahannya secara hukum. “Logika politiknya bagaimana? Ketetapan MPRS yang mengukuhkan sebuah surat keputusan, tetapi tidak dilampiri surat keputusan yang dimaksud. Hal ini jelas terjadi karena memang sejak awal sudah ada upaya pengaburan SP 11 Maret, bahkan bisa dianggap sebagai sebuah upaya penghilangan SP 11 Maret,” ujar Achadi.
7
Achadi lantas melanjutkan pertanyaannya, bahwa SP 11 Maret atau Supersemar, jika kita runut dari kronologi historis di atas, adalah landasan yang dipakai pijakan Soeharto untuk menjadi Presiden. Bahkan MPRS yang telah diduduki oleh orang-orang pro-Soeharto pun mengeluarkan ketetapan MPRS yang menggunakan SP 11 Maret sebagai pijakan, dan pengukuhan Soeharto sebagai Presiden bilamana Bung Karno berhalangan. Sementara itu, surat perintah yang dijadikan landasan berdirinya sebuah rezim, pada kenyataannya tidak pernah ada secara fisik. Tidak dilampirkan dalam Tap MPRS, tidak dipublikasikan, tidak berada di arsip nasional, tidak ada di pusat dokumentasi sekretariat negara, pendek kata, seperti lenyap. Yang muncul adalah Supersemarr “gadungan” karena jelas-jelas berbeda isi, jumlah lembar halaman, dan berbeda tempat pembuatan SP. Jika SP11 Maret asli tertulis “BOGOR”, maka di SP 11 Maret gadungan tertulis “JAKARTA”. Proses pendongkelan Bung Karno terus berlangsung. Pada tanggal 20 Februari 1967 sekitar pukul 17.00, Presiden Sukarno di Istana Merdeka menandatangani penyerahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto, didampingi beberapa petinggi militer yang menerima surat tersebut. Achadi sendiri menerima informasi yang agak berbeda. Ia mendapat informasi dari seorang kolonel yang bertugas di Kodam Brawijaya (Jawa Timur), bahwa Divisi Brawijaya, dipimpin Panglimanya, Jenderal Soemitro, diiringi mantan-mantan Pangdam Brawijaya seperti Kolonel Sungkono, Kolonel Bambang Supeno, Jenderal Sarbini, Jenderal Sudirman (ayahnya Basofi Sudirman), menghadap Bung Karno. Mereka memohon kepada Bung Karno agar menyerahkan kekuasaan ‘eksekutif’ kepada jenderal Soeharto, demi mencegah perpecahan bangsa. Pengertian ‘eksekutif’ bukanlah lembaga kepresidenan dan kepala negara, tetapi setingkat perdana menteri. Sesuai konstitusi dan pengalaman-pengalaman yang lalu, di mana eksekutif pernah dijabat perdana menteri Sjahrir (Kabinet 1945), Amir Sjarifuddin (Kabinet 1948), Ir Djuanda (Kabinet Karya), Subandrio, Dr Leimena, dan Chaerul Saleh. Ketika itu, Presiden menanyakan, apa jaminannya kalau hal itu tidak disalahgunakan (oleh Soeharto). Rumpun Brawijaya menjawab, “Rumpun Brawijaya akan bertanggung-jawab”. Kesaksian Achadi (Bagian 5) Melanjutkan kesaksian Achadi, sampailah rangkuman tulisan ini pada bagian ke-5, 8
tentang perkembangan proses pendongkelan terhadap Presiden Sukarno. Bagian ini memuat kesaksian Achadi (dan juga telah dicatat dalam lembar sejarah) ihwal Pidato Laporan Pangloma Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Pengemban Ketetapan MPRS No IX/1966 di hadapan Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967 (Jenderal Soeharto). Achadi mencuplik kesimpulan atas laporan Soeharto, yang menyimpulkan bahwa Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung atau dalang ataupun tokoh G30S. Sekalipun demikian, MPRS mengeluarkan Tap (Ketetapan) XXXIII tahun 1967 yang isinya: a. Mencabut kekuasaan Sukarno. b. Mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. c. Melarang Bung Karno melakukan kegiatan politik. d. Menyerahkan persoalan hukum Bung Karno kepada Jenderal Soeharto sebagai pemegang Tap MPRS No IX/1966 dan Pejabat Presiden. Perkembangan selanjutnya yang disaksikan Achadi adalah, bahwa Pemerintah RI dengan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, dalam bulan November 1967 mengirim delegasi dalam pertemuan di kota Genewa (Swiss) dengan Rockefeller dan Raksa-raksasa Kapitalis Barat. Atas peranan Mafia Berkeley maka pemerintah yang menyebut dirinya Orde Baru itu langsung mendapat dukungan IGGI, Bank Dunia, ADB, UNDP, IMF, dll. Menutup rangkaian kesaksian Achadi seputar proses pendongkelan Bung Karno, ia menulis, “Nekolim menguasai ekonomi Indonesia”. Kesaksian Achadi (Bagian 6 – Selesai)
Sampailah kita ke bagian akhir kesaksian Achadi seputar prosesi pendongkelan Bung Karno dari perspektif dirinya selaku saksi hidup,
9
sekaligus saksi mata. Pada bagian akhir, Achadi merumuskannya ke dalam enam butir kesimpulan, dan diakhiri dengan satu paragraf sebagai penutup kesaksiannya. Kesimpulan Pertama, penetapan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta adalah dilakukan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 18 Agustusw 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia. Penetapan tersebut dilakukan setelah penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Perlu dicermati bahwa MPRS adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang dibentuk bukan oleh Pemilihan Umum tetapi oleh Surat Keputusan Presiden Sukarno, berdasarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959. Oleh karena itu, apakah MPRS ini mempunyai hak hukum ketatanegaraan untuk mengganti Presiden Sukarno. Juga hal ini karena MPRS bukanlah yang menetapkan Bung Karno sebagai Presiden RI. Kedua, Semua tindakan politik Jenderal Soeharto sebagaimana yang tersebut dalam kesimpulan pertama di atas, dengan menggunakan SP 11 Maret tanpa melampirkan SP 11 Maret yang asli atau salinan yang asli, apakah bisa dinyatakan sah secara hukum? Apalagi surat Presiden Sukarno pada 13 Maret 1966 telah menegaskan makna dari SP 11 Maret, serta pidato kenegaraan Presiden 17 Agustus 1966 (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) yang menegaskan bahwa SP 11 Maret bukanlah “transfer of authority”, maka secara hukum ketatanegaraan adalah supaya SP 11 Maret tidak dimanipulasikan. Ketiga, Bahwa Presiden Sukarno menghadapi langkah-langkah penyelewengan SP 11 Maret itu tidak mengambil tindakan hukum secara semestinya, tiada lain untuk mencegah pertumpahan darah, perpecahan bangsa dan rakyat Indonesia yang telah dengan susah payah ia perjuangkan untuk bersatu sejak tahun 20-an. Keempat, Ternyata perlu dimaklumi bahwa SP 11 Maret yang asli hilang dan tidak diketahui siapa yang menyimpan. Hal ini berdasarkan pernyataan Jenderal Soeharto sendiri maupun Mensesneg (waktu itu), Moerdiono. Sedangkan, menurut hukum yang berlaku, menghilangkan arsip negara mempunyai sanksi pidana. Kelima, TAP MPRS No. XXXIII/1967 yang mengganti Presiden Sukarno dengan Jenderal Soeharto, setelah mencermati keseluruhan kesaksian di atas, jelas merupakan antiklimaks dari skenario terselubung untuk menggantikan pimpinan negara dan pemerintah RI yang bisa memenuhi kepentingan kekuatan-kekuatan asing bekas penjajah (neo-kolonialisme). Kesemuanya dilaksanakan dengan 10
memanipulasikan ketentuan-ketentuan dan hukum, serta melanggar asas peri kemanusiaan yang adil dan beradab (Pancasila): Intimidasi, teror, penangkapan, penahanan, dan seterusnya. Keenam, Tidak bisa diragukan lagi kebenaran dari Presiden Sukarno di sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1967 dan tanggal 7 Januari 1966 di Istana Bogor, Pidato 17 Agustus 1966, serta Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara di depan Sidang MPRS 1966. Nah, di bagian penutup, Achadi menuliskannya sebagai berikut: Berdasarkan semua ungkapan di atas, maka TAP MPRS XXXIII/1966 tidak bisa dibenarkan secara hukum, harus dihapus, apalagi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Pahlawan Nasional. Dan karenanya, pimpinan MPRS pada waktu itu, beserta anggota sidang MPRS yang mengeluarkan TAP MPRS XXXIII/1966 harus bertanggung jawab. Demikian kesaksian lengkap Moch. Achadi, Mantan Menteri Tansmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, serta mantan Rektor Universias Bung karno 1964-1966. (roso daras)
11